Peran Lee Myung Bak dalam Soft Power Korea Selatan melalui Korean Wave (2008-2011)
JURNAL
Oleh: Jino Dwi Putra (211000112) Iradat Ikrar Hartaman (211000109)
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN UNIVERSITAS PARAMADINA 2015
Peran Lee Myung Bak dalam Meningkatkan Citra Korea Selatan melalui Hallyu Wave (2008-2011) ABSTRACT In recent years, South Korea is becoming an attraction for international society from different walks of life. Currently South Korea emerged as the country's biggest pop culture had an influence that could rival its neighbours in the region of East Asia, especially Japan. The influence of culture belonging to South Korea called the Korean Wave (Hallyu), one form of the wave most prominent is K – Pop (Korean Pop). In fact, the Korean Wave has been there before the year 2010, which, in that year the most of the international society are aware of the existence of the new Korean pop culture through drama and music of Korea. But we should know that the real development of the Korean Wave is not experiencing a process runs only in the entertainment world, the Government of South Korea also helped in developing and advancing the industry in entertainment to disseminate the wave. During the major time of Korean Wave, Lee Myung – Bak took office as President of South Korea (2008-2013), at the time the president took an opportunity to do a variety of promotions to the Korean Wave in an effort to increase the power of South Korea in the international level. Does President Lee’s decision in the made of promoting Korean Wave are "vehicles" for South Korea in the launch of soft diplomacy to improve domestic conditions?
Keywords : Korean Wave, Soft Diplomacy, Leadership, Pop – culture.
Pendahuluan Korea Selatan dikenal sebagai salah satu negara maju di Asia. Hal itu dibuktikan dengan kemajuan pesat yang dialami Korea Selatan saat ini, baik dalam bidang teknologi maupun ekonomi. Namun, walaupun begitu masih banyak penduduk dunia yang melihat nama “Korea” dalam pandangan negatif (Korea Utara, Perang Korea, dan sebagainya), bahkan melihat Korea Selatan sebagai negara yang masih terbelakang karena adanya generalisasi dalam nama “Korea” yang mungkin merujuk pada Korea Utara.1 Menyadari hal ini, dalam satu dekade terakhir pemerintah Korea Selatan mencoba untuk meningkatkan citra (national branding) nya di mata internasional. Usaha peningkatan citra Korea Selatan itu dilakukan melalui diplomasi budaya nya yang fenomenal, bernama “Hallyu”. Hallyu, atau Korean Wave yang menjadi kebanggaan Korea Selatan dalam satu dekade ini memang menjadi faktor terbesar dalam meningkatnya citra Korea Selatan. Bagaimana Korea Selatan tampil sebagai hegemon baru dalam fenomena budaya. Istilah Hallyu sendiri merujuk pada sebuah fenomena dimana budaya Korea Selatan menyebar ke seluruh dunia dan pertama kali diciptakan oleh seorang jurnalis pada akhir tahun 1990 yang terkejut dengan popularitas hal-hal berbau korea, terutama drama dan musiknya. 2 Awalnya, budaya pop korea menjadi sensasi di Tiongkok dan Taiwan, hingga menyebar ke negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia dan Jepang. 3 ‘Demam’ yang disebabkan oleh Hallyu Wave tersebut tidak hanya menyebar di negara-negara Asia, tetapi juga hingga ke negara-negara barat. Hallyu Wave umumnya disebarkan dalam bentuk kesenian modern seperti musik, film, dan drama, tetapi juga dapat disebarkan melalui budaya tradisional seperti makanan, pakaian, dan masih banyak lagi. Dalam masa 5 tahun pemerintahannya (2008 – 2012), Presiden Lee Myung Bak memberikan porsi yang besar terhadap diplomasi budaya. Bagaimana Lee secara serius memanfaatkan Hallyu sebagai nation image Korea Selatan di 1
Keith Dinnie, Repositioning the Korea Brand to a Global Audience: Challenges, Pitfalls, and Current Strategy; Korea Economic Institute (KEI) Academic Paper Series 4 (9), 2009, hlm. 1 2 Mary E. Connor, The Koreas, Santa Barbara: ABC-‐CLIO, 2009, hlm. 342. 3 Ibid.,
mata internasional? Pemanfaatan Hallyu sebagai Soft Power Korea Selatan dibawah pemerintahan Lee Myung Bak membuat image Korea Selatan dimata internasional berangsur-angsur mengalami peningkatan hingga saat ini. Korea Selatan kini muncul sebagai hegemon baru dalam kancah budaya global menyaingi budaya Hollywood, terutama setelah munculnya lagu fenomenal Gangnam Style yang menjadi video klip yang terbanyak di tonton di situs jejaring youtube. Peran pemerintah pun tidak ketinggalan dalam proses penyebaran ini. Paper ini akan membahas lebih jauh mengenai peran Presiden Lee Myung Bak dalam kebijakannya memanfaatkan sektor budaya “Hallyu” sebagai soft power dalam meningkatkan citra Korea Selatan di mata internasional. Soft Power Konsep
power secara
umum
dalam
hubungan
internasional
dapat
dideskripsikan sebagai tingkat sumber daya atau kapabilitas yang dimiliki oleh suatu negara untuk mempengaruhi pihak (negara) lain. Power itu sendiri ada yang merupakan Hard Power dan Soft Power.4 Hard Power biasanya mengacu pada kekuasaan yang bersifat memaksa, seperti penggunaan kekuatan militer dan peperangan, bisa dilihat selama Perang Dunia I & II dimana setiap negara memainkan peran kekuatan militernya selama periode tersebut. Setelah itu, muncul sebuah refleksi terhadap Hard Power, yaitu Soft Power.5 Yang mana Soft Power itu sendiri merupakan keterbalikan dari Hard Power, biasanya mencakup ekonomi, diplomasi, dan pengaruh budaya. 6 Cakupan terakhir yaitu pengaruh budaya, merupakan salah satu senjata yang paling ampuh untuk memperluas hegemoni suatu negara terhadap negara lain dan menjadi salah satu bentuk soft power. Teori soft power itu sendiri diperkenalkan oleh Joseph Nye. Mengutip ungkapan dari Joseph Nye: “soft power is the ability to get what one wants 4
Joseph Nye, Foreign Policy, No. 80, Twentieth Anniversary, 1990, hlm. 153-‐171. Ibid., 6 Ibid., 5
through attraction rather than coercion or money. By projecting images of one’s own culture/nation that inspire the dreams and desires of others, soft power builds – and is built on – national prestige that travels globally”, dimana Nye menyebutkan bahwa soft power merupakan kemampuan negara dalam memimpin dunia bukan melalui paksaan militer, tapi melalui daya persuasi. Nye juga menjelaskan definisi dari power itu sendiri, power adalah kekuatan atau kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Nye menggolongkan power dalam dua spektrum perilaku yang berbeda, yakni hard power yang digolongkan dalam spektrum perilaku command power, yakni kemampuan untuk mengubah apa yang pihak lain lakukan (what others do) dan soft power dalam spektrum perilaku co – optive power, yakni kemampuan untuk dapat mempengaruhi dan membentuk apa yang pihak lain inginkan (what others want). Co – optive power dapat diperoleh melalui agenda setting (memanipulasi agenda pilihan politik sehingga pihak lain gagal mengekspresikan suatu preferensi politik tertentu karena merasa preferensi tersebut terlihat tidak realistis yang bersumber pada institusi) atau melalui attraction (daya tarik yang bersumber pada budaya, nilai-nilai dan kebijakan yang dimiliki). Dengan kata lain, Soft Power merupakan kemampuan untuk mendapatkan sesuatu tanpa paksaan dan ancaman, namun lebih kepada daya tarik.7 Soft power kemudian didefinisikan oleh Nye sebagai kekuatan untuk mempengaruhi pihak lain yang bertujuan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan (power) tersebut melalui penggunaan daya tarik daripada penggunaan kekerasan (coercion) atau imbalan (payment). Soft power bersumber dari aset-aset yang dapat digunakan untuk memproduksi daya tarik. Nye menjabarkan bahwa soft power suatu negara utamanya didasarkan pada tiga sumber, yaitu kebudayaan (culture, yang membuat negara tersebut menarik bagi pihak lain), nilai politik (political values, yang dianut negara tersebut di dalam maupun luar negeri) dan kebijakan luar negeri (foreign policies), yang membuat negara memiliki legitimasi dan otoritas moral). Kebudayaan sebagai salah satu sumber utama soft power dibagi lagi menjadi dua jenis, yakni high culture, seperti seni, literatur, dan 7
Joseph Nye, Soft Power: The means to success in world politics, Public Affairs, New York, 2004.
pendidikan yang menarik perhatian elit tertentu serta pop culture, yang berfokus pada produksi hiburan massal (mass entertainment). Soft power adalah attractive power (kekuatan daya tarik)
yang hanya dapat dihasilkan apabila sumber –
sumber yang dimobilisasi melalui diplomasi publik memiliki daya tarik yang cukup atraktif untuk mempengaruhi preferensi target atau penerima soft power yang dituju. Oleh karena itu, dalam pembentukan soft power, selain mengidentifikasi sumbernya perlu diidentifikasi pula faktor – faktor apa yang dapat membuat sumber-sumber soft power tersebut menarik dan dapat diterima oleh penerima soft power. Munculnya soft power telah mengubah cara – cara berhubungan berbagai negara, di antaranya Amerika Serikat sebagai negara yang mengembangkan soft power, Inggris, dan diikuti dua negara potensial asal Asia Timur, Korea Selatan dan Jepang. Negara-negara ini tidak hanya memiliki hubungan dan kerjasama di bidang politik, militer dan ekonomi, tetapi juga melalui pameran-pameran kebudayaan, pemberian beasiswa, bahkan ekspor budaya pop. Kesadaran akan pentingnya soft power telah membuat negara-negara ini berkompetisi dalam menyebarkan daya tariknya masing – masing. Amerika Serikat merupakan negara pelopor yang mengembangkan soft 8
power. Bisa dilihat, hegemoni-hegemoni yang diciptakan Amerika Serikat, walaupun diawali dengan Hard Power melalui Perang Dunia II, namun hegemoni yang ditimbulkan Soft Power nya justru lebih melekat dalam kehidupan kita sehari-hari, sebut saja perusahaan-perusahaan makanan asal Amerika Serikat yang sudah sangat mendunia seperti McDonalds, KFC, dan lain sebagainya, begitupun dengan budaya musik pop dan industri film Hollywood yang saat ini juga telah menjadi budaya lokal non mainstream di hampir seluruh negara di dunia.9 Selain Amerika Serikat, negara Barat lainnya seperti Inggris, juga bisa dibilang sukses dalam menyebarkan hegemoni nya dengan soft power di dunia. Melalui industri musik contohnya, Brit – Pop atau British Pop seperti The Beatles 8
Mark Beeson and Richard Higgott, Hegemony, Institutionalism and US Foreign Policy: Theory and Practice in Comparative Historical Perspective, 2003, hlm. 3. 9 Ibid.,
yang sangat fenomenal pada kurun waktu tahun 70 – an, sampai hari ini pun masih dikenal sebagai salah satu band terbaik di dunia yang pernah ada sepanjang masa. Selain melalui musik, Inggris juga berhasil menyebarkan diplomasi soft power nya melalui olahraga, dimana Liga Inggris (English Premier League) disebut – sebut sebagai liga sepakbola terbaik dan paling fenomenal di dunia. Sebut saja tim sepakbola papan atas Inggris seperti Manchester United, Liverpool, Arsenal, Chelsea, dan lain sebagainya, berhasil memikat hampir setengah penduduk di dunia untuk menjadi suporter loyal mereka. Selain kedua negara Barat yang disebut kan diatas tersebut, terdapat negara Asia atau negara Timur yang berhasil dalam diplomasi soft power, yaitu Jepang. Jepang yang mengalami kekalahan pada Perang Dunia II, pada saat itu berkonsentrasi untuk melakukan rekonstruksi ekonomi melalui diplomasi, salah satunya melalui diplomasi soft power, dimana Jepang yang juga merupakan negara yang menggunakan soft power untuk memperluas pengaruhnya di dunia. Jepang sendiri telah berhasil dalam mengglobalisasikan berbagai barang serta produksi entertainment nya kepada dunia, keberhasilan ini tidak lepas dari adanya Japan Cool atau yang lebih sering disebut dengan J – Cool dan juga adanya “Japan’s GNC” (Gross National Cool) yang merupakan sebuah gambaran keberhasilan Jepang terhadap penjualan barang – barangnya yang menyebabkan pasar global dipenuhi oleh barang-barang hasil negeri sakura tersebut. 10 Pemerintah Jepang melihat potensi dari bentuk diplomasi ini, seperti semakin populernya kartun khas Jepang yang dikemas dalam manga dan anime, makanan khas Jepang, J - Pop atau musik dan budaya pop Jepang, video games, dan lain sebagainya. 11 Bisa dikatakan penduduk Asia bahkan dunia telah menikmati “sushi, karaoke, rock garden, zen-inspired architecture, J – Pop (popular music), J-fashion, electronic gizmos and games (Sony PlayStation 3 and Nintendo), television dramas, manga (comics) and anime (cartoons)”.12 10
Anne Allison, The Cool Brand, Affective Activism and Japanese Youth: Theory, Culture & Society, 2009, hlm. 26. 11 Ibid., 12 Peng Er Lam, Japan’s Quest for “Soft Power”: Attraction and Limitation”, 2007, hlm. 37.
National Branding Korea Selatan : Sekilas Mengenai Korean Wave Usaha national branding pemerintah Korea Selatan dimulai tepatnya pada pemerintahan Kim Dae Jung. Pada tahun 2001, ia membentuk KOCCA (Korean Culture and Content Agency) sebagai sebuah institusi publik yang Bekerjasama dengan Kementerian Budaya dan Pariwisata, KOCCA didirikan sebagai agen kebijakan Kim yang menjadikan budaya sebagai prioritasnya, dengantujuan untuk mempromosikan industri budaya Korea Selatan dan mengembangkan pasar diluar negeri. 13 Setelah pembentukan KOCCA, sebagai persiapan menghadapi Piala Dunia 2002 yang pada saat itu Korea Selatan menjadi tuan rumah bersama Jepang, Korea mulai memperkenalkan slogan “Dynamic Korea” sebagai kampanye promosi berskala besar.14 Bagaimana kata “dynamic” pada saat itu membuat Korea Selatan dilihat sebagai Negara yang dinamis, penuh semangat dalam bidang olahraga dan aktivisme, dan implementasi slogan ini dianggap efektif sebagai bentuk peningkatan citra Korea Selatan. Alhasil, Korea Selatan berhasil menyelenggarakan Piala Dunia 2002 dan bahkan menjadi semi – finalis pada pagelaran sepakbola terakbar sedunia tersebut. Setelah pagelaran Piala Dunia, Korea Selatan melanjutkan promosi Negara nya melalui pembentukan Government Information Agency oleh presiden Roh Moo Hyun pada tahun 2003 sebagai badan ad – hoc yang mengawasi pengembangan national branding Korea Selatan.15 Roh memanfaatkan tempat – tempat bersejarah sebagai bagian dari promosi nya seperti Bulguk Temple, Jongmyo Shrine, dan lain sebagainya.16 13
R.M. James, Pop Goes Korea: Behind The Revolution in Movies, Music and Internet Culture, Stone Bridge Press, Berkeley, 2008, hlm. 122. 14 Ibid., 15 Li-‐Chih Cheng, “The Korea Brand: The Cultural Dimension of South Korea’s Branding Project in 2008”, dalam SAIS U.S.-‐Korea Yearbook 2008, diakses melalui http://uskoreainstitute.org/wp-‐ content/uploads/2010/02/Cheng.pdf, pada tanggal 4 Januari 2015, pukul 19.55 WIB. 16 Li-‐Chih Cheng, “The Korea Brand: The Cultural Dimension of South Korea’s Branding Project in 2008”, dalam SAIS U.S.-‐Korea Yearbook 2008, diakses melalui http://uskoreainstitute.org/wp-‐ content/uploads/2010/02/Cheng.pdf, pada tanggal 4 Januari 2015, pukul 19.55 WIB.
Selain melalui kampanye – kampanye branding tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa “Hallyu” atau “Korean Wave” menjadi salah satu soft power dan faktor terbesar dalam peningkatan citra Korea Selatan. Dimana Korea Selatan muncul sebagai penyebar hegemon baru dengan menyebarkan “virus” hallyu yang terdiri dari musik pop korea (K – Pop) dan Drama-drama Korea yang sudah mulai tersebar di berbagai negara-negara Asia seperti Tiongkok, Jepang, dan Taiwan sejak akhir 1990 – an. Hal ini membantu mempermudah Korea Selatan dalam meningkatkan citranya di mata internasional. Penyebaran Hallyu Wave ke negara – negara lainnya dimulai ketika pemerintahan Kim Dae Jung, dimana pada tahun 2003 grup boyband “TVXQ” mulai mendapat perhatian dari Negara-negara tetangga terutama Jepang yang pada saat itu mendirikan fanbase “TVXQ” terbesar di dunia. Penyebaran Hallyu semakin marak di tahun – tahun berikutnya melalui serial drama – drama Korea seperti “Full House”, “Autumn in my Heart”, “Princess Hours”, yang tersebar hingga ke wilayah Asia Tenggara. 17 Menyadari besarnya potensi yang bisa dicapai melalui Hallyu, presiden Korea Selatan 2008 – 2013, Lee Myung Bak memanfaatkan hal ini sebagai salah satu prioritas utama nya dalam meningkatkan citra Korea Selatan dimata internasional yang pada saat itu Korea Selatan masih dipandang sebelah mata.18 Peran Presiden Lee Myung Bak Lee Myung Bak merupakan presiden Korea Selatan yang ke – 10, menjabat dari tahun 2008 hingga awal tahun 2013. Lee mulai bekerja sebagai presiden Korea Selatan pada tanggal 25 Februari 2008 sebagai perwakilan dari Grand National Party, salah satu partai terbesar di Korea Selatan. Penggantinya, Park Geun Hye yang saat ini menduduki kursi kepresidenan, juga merupakan bagian 17
Dana, “The Korean Wave and The Question of Soft Power”, soulbeats, diakses melalui http://seoulbeats.com/2012/09/the-‐korean-‐wave-‐and-‐the-‐question-‐of-‐soft-‐power/, pada 5 Januari 2015, pukul 21.25 WIB. 18 Ibid.,
dari partai yang sama. 19 Sebelum memulai karirnya di bidang politik, Ia merupakan seorang CEO perusahaan otomotif ternama Korea Selatan, Hyundai, yang menjadikannya sebagai CEO termuda pada saat itu. 20 Pengalamannya sebagai CEO ini lah yang membuat Lee berfokus pada pertumbuhan ekonomi ketika ia menjabat sebagai presiden pada tahun 2008. Melihat potensi yang ada pada bidang budaya sebagai soft power dan obsesi Lee dalam meningkatkan citra Korea Selatan di mata internasional, Lee Myung Bak bergerak cepat dengan membentuk berbagai instrumen pemerintahan yang bergerak mendukung hal tersebut. Pemerintahan Lee Myung bak langsung menargetkan Korea Selatan menjadi sebuah Negara kreatif budaya dengan pengaruh soft power yang besar dan menjadi 5 besar industri budaya dunia.21 Strategi awal yang dirancang oleh pemerintah Lee berawal dari pemberantasan kasus – kasus piracy dan proteksi terhadap hak cipta di Korea Selatan, dimana memperkuat skill kreativitas anak-anak muda Korea Selatan menjadi fokus utama dalam perkembangan industri ini. 22 Meningkatkan kreativitas dan inovasi merupakan cara pemerintahan Lee dalam mengembangkan pengaruh soft power Korea di dunia dan memperkuat citra Korea Selatan sebagai bangsa budaya kreatif, peran pemerintah Korea Selatan dalam hal ini adalah untuk meningkatkan teknologi, dan mengembangkan infrastruktur.23 Dibawah pemerintahan Lee, kementrian Budaya, Olahraga dan Turisme mempunyai fokus utama yaitu meningkatkan national brand Korea Selatan dimana dengan strategi untuk membuka Korea Selatan secara inklusif. 24 Berdasarkan strategi itu, kementrian tersebut secara khusus mendukung sektor 19
“Profile: Lee Myung-‐bak”. BBC News, 25 April 2014, diakses melalui http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-‐pacific/7150162.stm, diakses pada 25 Januari 2015, pukul 23.15 WIB. 20 Ibid., 21 Yurena Kalshoven, Hallyu Power: A focus on soft power in Lee Myung Bak’s Cultural Policy, Master Thesis: MA Asian Studies 120EC (Korean Studies), Leiden University, 2013, hlm. 8. 22 Ibid., 23 Yurena Kalshoven, Hallyu Power: A focus on soft power in Lee Myung Bak’s Cultural Policy, Master Thesis: MA Asian Studies 120EC (Korean Studies), Leiden University, 2013, hlm. 5. 24 Li-‐Chih Cheng, “The Korea Brand: The Cultural Dimension of South Korea’s Branding Project in 2008”, dalam SAIS U.S.-‐Korea Yearbook 2008, diakses melalui http://uskoreainstitute.org/wp-‐ content/uploads/2010/02/Cheng.pdf, pada tanggal 4 Januari 2015, pukul 19.55 WIB.
seni dan budaya (Hallyu) dalam rangka menggaet pengakuan internasional yang lebih besar. Menteri Budaya pada pemerintahan Lee, Yoo In-Chon pernah menyatakan bahwa “Letting our culture be known to other countries is the top priority for the government. It is time that not only the economy but also our culture be known to other countries.”.25 Hal ini menandakan bahwa pemerintahan Lee Myung Bak benar – benar serius dalam meningkatkan citra Korea Selatan di mata internasional melalui kebijakan – kebijakannya dalam memperkenalkan budayanya, Hallyu. Selain kementrian Budaya, Olahraga, dan Turisme, Lee Myung Bak melibatkan beberapa kementrian lainnya. kementrian lain yang terlibat dengan upaya national branding ini adalah Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (Ministry of Foreign Affairs and Trade atau MOFAT). Disini MOFAT memiliki tiga afiliasi. The Korea International Cooperation Agency (KOICA) adalah yang terbesar, yang mengkhususkan diri dalam Official Development Assistance (ODA). Yang kedua adalah Korea Foundation, disini Korea Foundation mempromosikan cultural exchanges sebagai bagian dari national branding tersebut. Misalnya, pada tanggal 28 November 2008, Korea Foundation mengadakan konferensi tahunan national branding pertama secara besar-besaran di Seoul, di mana strategi branding Korea ke negara – negara Barat dieksplorasi.26 Berikutnya adalah Overseas Korean Foundation, yang menyediakan kegiatan budaya Korea untuk Korea di luar negeri. The Korea Foundation dan Overseas Korean Foundation mempunyai fungsi yang serupa, namun menargetkan audiens yang berbeda.27 Pada tahun kedua Lee menjabat sebagai presiden, ia semakin serius dalam mempromosikan Korea Selatan di mata internasional. Hal ini dibuktikan dimana pada bulan Januari 2009 ia membentuk Dewan Presiden dalam National Branding, yang terdiri dari 47 anggota, termasuk 13 pejabat pemerintah (8 di 25
Ibid., Li-‐Chih Cheng, “The Korea Brand: The Cultural Dimension of South Korea’s Branding Project in 2008”, dalam SAIS U.S.-‐Korea Yearbook 2008, diakses melalui http://uskoreainstitute.org/wp-‐ content/uploads/2010/02/Cheng.pdf, pada tanggal 4 Januari 2015, pukul 19.55 WIB. 27 Ibid., 26
antaranya adalah menteri) dan 34 anggota sipil (sebagian besar dari sektor swasta). Dewan ini dibentuk sebagai tanggapan atas terpuruknya Korea Selatan dalam Anholt – GfK Roper Nation Brands Index (NBI) tahun 2008 dimana Korea Selatan menempati peringkat 33 dari 50 negara.28 NBI itu sendiri merupakan sistem yang paling banyak diterima masyarakat internasional untuk mengukur reputasi global suatu negara – dengan kata lain, "brand image" suatu negara. Hal ini menandakan bahwa pada saat itu image dan reputasi Korea Selatan dimata internasional tidak bagus. Euh Yoon – dae, ketua perdana Dewan tersebut, menyebut hal tersebut sebagai hal yang "memalukan bagi Korea", terutama mengingat status Korea Selatan sebagai ekonomi kelima belas terbesar di dunia. Disini Euh menekankan pentingnya peningkatan national branding dalam meningkatkan daya saing Korea Selatan dalam ekonomi global.29 Setelah membentuk Dewan tersebut, Lee mencoba mempromosikan Korea Selatan lebih lanjut. Pada 2010, pemerintah Korea Selatan melalui KTT G20 mempromosikan Hallyu sebagai national image Korea Selatan.30 Upaya promosi melalui KTT G20 dapat dikatakan berhasil, awareness dunia terhadap Korea Selatan meningkat hampir sebesar 17% setelah penyelenggaraan KTT tersebut.31 Pemerintah Korea Selatan juga menyebutkan KTT G20 merupakan turning point bagi Korea Selatan yang sebelumnya Korea Selatan dianggap hanya sebagai follower agenda internasional, kini menjadi agenda – setter.32 Korea Selatan terus berusaha mengembangkan promosi Hallyu lebih jauh di Asia, bahkan hingga Amerika dan Eropa. Dalam hal ini pemerintah
28
“National brand committee plans to uplift to the 15 thranking within 5 years”; Korean.net, March 2009, diakses melalui http://eng.korean.net/wcms/view,jsp?bID=27273&pageID=01085266, pada 6 Januari 2015, pukul 00.26 29 Ibid., 30 Yurena Kalshoven, Hallyu Power: A focus on soft power in Lee Myung Bak’s Cultural Policy, Master Thesis: MA Asian Studies 120EC (Korean Studies), Leiden University, 2013, hlm.12. 31 Lucy Williamson, “Selling South Korea: No 'sparkling' brand image”, BBC News, 31 January 2012, diakses melalui http://www.bbc.com/news/world-‐asia-‐16713919, pada 26 Maret 2015, pukul 00.17 32 Ibid.,
memanfaatkan digitalisasi dengan menggunakan sosial media seperti Youtube.33 Dimana pada tahun 2010 penyanyi – penyanyi Korea (K – Pop) mulai mempromosikan lagu berbahasa Inggris dan banyak melakukan debut di Amerika Serikat dengan bantuan pemerintah, walaupun tidak semuanya berhasil dalam hal ini. Di Amerika Serikat sendiri, penyebaran Hallyu belum seluruhnya merata dan tetap terbatas pada imigran Korea – Amerika, seperti hanya tersebar di kota Los Angeles dan New York City.34 Namun, Hallyu terus menyebar keseluruh belahan dunia. Baik dari sektor musik maupun film / serial TV drama. Serial TV Jumong misalnya, yang ternyata sangat diterima dengan baik oleh penonton di negara – negara Islam, yang mencapai lebih dari 80 persen penonton di Iran.35 Di Eropa Timur juga misalnya, penyebaran Hallyu yang didorong oleh serial TV dan drama, dengan satu pemutaran Jumong menarik lebih dari 800.000 penonton dari Rumania.36 Serial TV lainnya yang ditayangkan oleh stasiun televisi Rumania juga secara konsisten menarik lebih dari 500.000 penonton per episode.37 Kesukesan penyebaran Hallyu berdampak pada sektor ekspor Korea Selatan yang dimana mengalami pertumbuhan sebesar 18% dan pertumbuhan signifikan sebesar 158,9% dalam sektor industri musik melalui K – Pop.38 Hallyu semakin sukses dan mendunia pada tahun 2011 dimana pada akhir tahun 2011 muncul fenomena “Gangnam Style” yang videonya di situs Youtube
33
Veramalla Anjaia, “Korean culture spreads across globe”, thejakartapost, diakses melalui http://www.thejakartapost.com/news/2011/07/18/korean-‐culture-‐spreads-‐across-‐globe.html, pada 6 Januari 2015, pukul 19.25 WIB 34 August Brown, “K-‐Pop enters American pop consciousness”, Los Angeles Times, diakses melalui http://articles.latimes.com/2012/apr/29/entertainment/la-‐ca-‐kpop-‐20120429/2, pada 8 Januari 2015, pukul 23.02 WIB 35 th “Iranians hooked on Korean tv drama”, December 20 2009, GlobalPost, diakses melalui http://www.globalpost.com/dispatch/middle-‐east/091216/iran-‐korea-‐tv, pada 8 Januari 2015, pukul 23.46. 36 “Roumanie. Mon feuilleton coréen, bien mieux qu’une telenovela“, Courrier International, diakses melalui http://www.courrierinternational.com/article/2011/02/15/mon-‐feuilleton-‐ coreen-‐bien-‐mieux-‐qu-‐une-‐telenovela, pada 8 Januari 2015, pukul 23.46 37 Ibid., 38 Yurena Kalshoven, Hallyu Power: A focus on soft power in Lee Myung Bak’s Cultural Policy, Master Thesis: MA Asian Studies 120EC (Korean Studies), Leiden University, 2013, hlm. 9.
ditonton lebih dari 1 milyar orang hingga saat ini.39 Pada tahun ini, semakin banyak event – event budaya Korea yang diselenggarakan di negara – negara eropa dan Amerika seperti event SMTown Live in Paris yang merupakan Konser K – Pop berskala besar pertama di Eropa yang dihadiri seluruh fans K – Pop dari benua Eropa.
40
Sektor ekspor Korea Selatan juga kembali mengalami
pertumbuhan pada tahun ini yaitu sebesar 33.3% dan pertumbuhan besar pada sektor musik sebesar 121.1% dan film sebesar 114%.41 Korea Selatan kembali mencapai surplus perdagangan dikarenakan ekspor mencapai jumlah 2 kali lipat dibanding impor nya, dimana ekspor ke Jepang dan Tiongkok tumbuh 29% dan 21%, sedangkan impor hanya tumbuh 3,8% dan 2,9%.42 Pada tahun ini juga pemerintah Korea Selatan melakukan survey terhadap fans aktif Hallyu dimana tercatat lebih dari 3 juta orang yang terdaftar dalam fan-site.43 Dengan usaha yang telah dilakukan Lee Myung Bak, Korea Selatan berhasil meningkatkan Anholt – Gfk Roper Nation Brands Index dari peringkat 32 menjadi 26 dalam kurun waktu antara 2008 dan 2011.44 Pada tahun 2012 dan akhir pemerintahannya, ekspor Korea Selatan terus mengalami peningkatan yaitu sebesar 34,9% secara keseluruhan, peningkatan signifikan sebesar 135% disektor musik, 20% disektor film, dan sektor – sektor lainnya seperti games yang meningkat sebesar 55,9%.45
Kesimpulan
39
Dapat dilihat pada www.youtube.com , dengan keyword “PSY-‐Gangnam Style”. Yurena Kalshoven, Hallyu Power: A focus on soft power in Lee Myung Bak’s Cultural Policy, Master Thesis: MA Asian Studies 120EC (Korean Studies), Leiden University, 2013, hlm. 16. 41 Regina Kim, South Korean Cultural Diplomacy an Efforts to Promote the ROK’s Brand Image in the US and the World, John Hopkins of Advanced International Studies, 2011, hlm. 3. 42 Yurena Kalshoven, Hallyu Power: A focus on soft power in Lee Myung Bak’s Cultural Policy, Master Thesis: MA Asian Studies 120EC (Korean Studies), Leiden University, 2013, hlm. 24. 43 Edwina Mukasa, “Bored by Cowell Pop? Try K-‐Pop”, theguardian, http://www.theguardian.com/music/2011/dec/15/cowell-‐pop-‐k-‐pop, diakses pada 10 Januari 2015, pukul 21.50 WIB 44 Luke Stanhope, “Korea’s Branding Woes”, The Diplomat, diakses melalui http://thediplomat.com/2014/10/koreas-‐branding-‐woes/, pada 25 Maret 2015, pukul 10.51 WIB. 45 Yurena Kalshoven, Hallyu Power: A focus on soft power in Lee Myung Bak’s Cultural Policy, Master Thesis: MA Asian Studies 120EC (Korean Studies), Leiden University, 2013, hlm. 26. 40
Tidak dapat dipungkiri bahwa memang citra menjadi penting bagi suatu Negara. Korea Selatan yang sebelumnya masih dipandang sebelah mata di dunia internasional, kini menjadi salah satu Negara yang dilihat sebagai Negara yang maju dan modern. Ini tidak terlepas dari peran pemerintah Korea Selatan yang serius dalam national branding. Peningkatan citra Korea Selatan mulai menjadi fokus pemerintahan sejak Korea Selatan menyelenggarakan Piala Dunia 2002 dengan slogan “dynamic Korea”, sejak saat itu, Korea Selatan perlahan mulai menunjukkan taji nya dimata internasional, dan citra Korea Selatan terus meningkat setiap tahunnya. Dalam hal ini, peran Lee Myung Bak dalam peningkatan citra Korea Selatan dimata internasional juga terbilang cukup besar. Bagaimana pada masa pemerintahannya pada tahun 2008 – 2013, Korea Selatan muncul sebagai hegemon baru dalam kancah budaya. Keseriusannya dalam mempromosikan budaya sebagai soft power Korea Selatan dengan pembentukan dewan khusus kepresidenan dalam hal ini cukup membuahkan hasil. Hal ini dibuktikan dengan semakin meluasnya virus Hallyu yang semakin mendunia, baik dari sektor musik maupun film / serial TV drama. Hallyu semakin sukses dan mendunia pada tahun 2011 dimana pada akhir tahun 2011 muncul fenomena “Gangnam Style” yang videonya di situs Youtube ditonton lebih dari 1 milyar orang hingga saat ini. Sektor ekspor Korea Selatan pun selalu meningkat drastis setiap tahunnya dikarenakan demand yang begitu tinggi dari masyarakat dunia terhadap Hallyu.
Daftar Pustaka Buku & Jurnal: Allison, Anne, The Cool Brand, Affective Activism and Japanese Youth: Theory, Culture & Society, 2009. Beeson, Mark and Richard Higgott, Hegemony, Institutionalism and US Foreign Policy: Theory and Practice in Comparative Historical Perspective, 2003. Cheng, Li-Chih, “The Korea Brand: The Cultural Dimension of South Korea’s Branding Project in 2008”, SAIS U.S.-Korea Yearbook 2008, 2008 Connor, Mary E., The Koreas, Santa Barbara: ABC-CLIO, 2009. Dinnie, Keith, “Repositioning the Korea Brand to a Global Audience: Challenges, Pitfalls, and Current Strategy”; Korea Economic Institute (KEI) Academic Paper Series 4 (9), 2009. Kalshoven, Yurena, “Hallyu Power: A focus on soft power in Lee Myung Bak’s Cultural Policy”, Master Thesis: MA Asian Studies 120EC (Korean Studies), Leiden University, 2013 Kim, Regina, South Korean Cultural Diplomacy an Efforts to Promote the ROK’s Brand Image in the US and the World, John Hopkins of Advanced International Studies Lam, Peng Er, Japan’s Quest for “Soft Power”: Attraction and Limitation, 2007. Nye, Joseph, Soft Power: The means to success in world politics, New York: Public Affairs, 2004. Nye, Joseph, Foreign Policy, No. 80, Twentieth Anniversary, 1990. R.M. James, Pop Goes Korea: Behind The Revolution in Movies, Music and Internet Culture, Stone BridgePress, Berkeley, 2008. Website http://www.bbc.com/news/world-asia-16713919 http://eng.korean.net/wcms/view,jsp?bID=27273&pageID=01085266 http://www.thejakartapost.com/news/2011/07/18/korean-culture-spreads-acrossglobe.html
http://articles.latimes.com/2012/apr/29/entertainment/la-ca-kpop-20120429/2 http://www.globalpost.com/dispatch/middle-east/091216/iran-korea-tv http://www.courrierinternational.com/article/2011/02/15/mon-feuilleton-coreenbien-mieux-qu-une-telenovela http://thediplomat.com/2014/10/koreas-branding-woes/ http://www.theguardian.com/music/2011/dec/15/cowell-pop-k-pop http://web.stanford.edu/group/sjeaa/journal111/Korea2.pdf http://seoulbeats.com/2012/09/the-korean-wave-and-the-question-of-soft-power/, http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/7150162.stm