Peran Kepuasan Kognitif, Kepuasan Emosional, dan Kepercayaan Merek dalam membangun Loyalitas Merek (Telaah Literatur) Muhammad Rachmat Universitas Khairun Abstraksi Artikel ini memaparkan antesenden loyalitas merek. Literatur menunjukkan bahwa kepuasan, baik emosional maupun kognisi, dan kepercayaan merek akan menumbuhkan loyalitas merek. Hal ini memberikan implikasi bahwa dalam menumbuhkan dan memelihara loyalitas merek dalam jangka panjang, produsen mesti memperhatikan bagaimana pelanggan terpuaskan, baik secara kognisi maupun secara emosional. Tercapainya kepuasan diharapkan akan menumbuhkan kepercayaan, dan selanjutnya akan meneguhkan komitmen pelanggan terhadap merek (loyalitas pelanggan) serta akan berdampak pada kukuhnya ekuitas merek. Kata kunci: kepuasan kognitif, kepuasan emosional, kepercayaan merek, loyalitas merek PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam menarik dan mempertahankan pelanggan, satu hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah membangun merek yang kuat dan memberikan kualitas pelayanan yang terbaik dalam rangka menyampaikan nilai bagi pelanggan. Pebisnis dan investor memandang merek sebagai aset perusahaan yang paling berharga, karena dalam pandangan konsumen, merek adalah wajah dari perusahaan, yang mengkomunikasikan nilai-nilai dan kualitas tertentu, sebagai jaminan atas kepercayaan dan reliabilitas (Susanto, 2007). Produk tidak hanya membutuhan identitas, namun lebih dari itu, tertanamnya emosi dan kepercayaan dalam produk menciptakan hubungan yang kuat dengan konsumen melalui merek sebagai wadah untuk menyampaikan nilai (delivering value) yang dijanjikan oleh perusahaan terhadap pelanggannya dan menjadi wadah pelanggan dalam mempersepsikan citra (image) dari suatu produk. Nilai dan citra merek yang terbentuk akan mengarahkan konsumen kepada loyalitas. Loyalitas jelas lebih merupakan sebuah fungsi dari brand name dan citra dibandingkan dengan berbagai peran fungsional dari atribut merek lainnya (Assael, 2004). Fenomena mengenai kepuasan emosional dan kepercayaan pada merek, hubungannya dengan loyalitas konsumen terhadap merek diteliti oleh Martin Lindstrom (Susanto, 2007) yang mengukur kesetiaan terhadap merek dari
43
sudut yang tidak lazim. Dengan survei yang melibatkan responden dari tigabelas negara, responden ditanya tentang kesediaannya untuk ditato logo merek favoritnya secara permanen di lengan atau anggota tubuh lainnya. Pendekatan yang cukup ekstrim ini ternyata menemukan tiga merek paling favorit yakni Harley-Davidson, Disney, Coca-Cola, dan Google. Loyalitas seperti yang ditunjukkan muncul karena terjalinnya kepuasan emosional terhadap layanan yang diterima konsumen dan didukung oleh citra merek yang baik. Ini merupakan sebuah contoh menarik bahwa dengan membangun dan mengelola merek dengan baik akan meningkatkan loyalitas konsumen yang pada gilirannya akan membangun ekuitas merek lebih kokoh. Di sisi lain, pengetahuan dalam membangun ekuitas merek yang kuat dan menggunakannya untuk memperjelas dan mengkomunikasikan merek menjadi mutlak diperlukan. Membangun dan mengelola ekuitas merek telah menjadi sebuah prioritas bagi perusahaan, di semua tipe industri dan di semua tipe pasar, oleh sebab itu, investasi terhadap merek diperlukan agar pelanggan mengetahui, merasakan, mengingat, mempercayai dan berpikir tentang merek, karena konsumen akan memutuskan berdasarkan kepercayaan mereka terhadap merek (Keller, 2000). Secara intuitif, tingkatan sebuah merek dipercayai oleh konsumen akan mempengaruhi keputusan apakah konsumen akan membeli merek tersebut, sehingga membangun ekuitas merek melalui loyalitas yang diperkuat oleh kepercayaan dan kepuasan pada merek menjadi penting. Kekuatan merek terletak di pikiran konsumen. Konsumen merasakan dan mempelajari merek dari waktu ke waktu. Ekuitas merek yang berada dalam pikiran konsumen, terdiri dari asosiasi, sikap dan perilakunya sehubungan dengan merek, sehingga memenuhi janji (keeping promise) yang telah diberikan kepada konsumen secara konsisten menjadi sangat penting, karena jika nilai yang diberikan sesuai dengan yang diharapkan oleh konsumen, maka konsumen akan merasa puas dengan merek tersebut (Keller, 2000). TELAAH LITERATUR Kepuasan dan Kepercayaan Merek Kepuasan konsumen adalah sebuah fungsi dari harapan dan expectancy disconfirmation (Oliver, 1980). Harapan dan expectancy disconfirmation adalah pernyataan kognitif yang dihasilkan melalui proses perbandingan dan mendahului keputusan kepuasan (Oliver, 1980). Oliver (1993) menjelaskan bahwa paradigma expectancy disconfirmation adalah paradigma kognitif karena proses membandingkan dalam penilaian disconfirmation memerlukan pertimbangan dalam memproses informasi. Berbeda dengan kognitif, proses afektif adalah pikiran untuk menjadi, setidaknya sebagian, tidak di bawah kontrol kesadaran.
44
Respon kognitif dan afektif dalam penilaian setelah pembelian (postpurchase) dapat dilihat sebagai komponen yang terpisah dalam merespon kejadian dan masing-masing memberikan pengaruhnya atas proses konsumsi. Dalam perspektif perilaku konsumen, kepuasan konsumen (consumer satisfaction) didefinisikan dalam dua pengertian. Pertama, sebagai tingkatan terpenuhi atau dilampauinya harapan konsumen oleh produk dan kedua, sebagai evaluasi purna beli oleh konsumen akhir atau pengambil keputusan (Dictionary of Marketing Terms, 2008). Dalam perspektif kepuasan pelanggan (costumer satisfaction), kepuasan didefinisikan sebagai kecocokan antara harapan pelanggan terhadap produk dan kinerja produk aktual (Dictionary of Marketing Terms, 2008). Harapan dibentuk berdasarkan informasi yang diperoleh dari salesperson, teman, keluarga, opini pimpinan, dan lainnya serta pengalaman sebelumnya dengan produk. Definisi lainnya, bahwa kepuasan konsumen muncul ketika konsumen membandingkan persepsinya terhadap kinerja produk pada harapannya, jika persepsi kinerja melebihi harapan, maka konsumen puas, sebaliknya jika persepsi kinerja di bawah harapan yang dikehendaki, maka konsumen tidak puas (Spreng, MacKanzie dan Olshavsky, 1996), dan bahwa kepuasan terjadi ketika harapan konsumen dipenuhi atau dilampaui dan ketika keputusan membeli dikuatkan (Aaker, 2003: 45). Oliver (1993) menjelaskan bahwa kepuasan seperti ini adalah kepuasan kognitif disebabkan karena konsumen menempatkan harapan sebelum konsumsi (preconsumption expectancy), memperhatikan kinerja (atribut) produk, membandingkan dengan harapan dari perspektif diskonfirmasi (disconfirmation), menggabungkannya dengan tingkat harapan dan membentuk penilaian kepuasan. Di sisi lain, Oliver (1980) juga setuju dengan pendapat Homans (1961) dalam Oliver (1980) bahwa kepuasan adalah hasil interaksi dari kognitif dan emosi. Hunt (1977) dalam Cronin et al (2000) mendefinisikan kepuasan sebagai evaluasi dari emosi. Fournier dan Mick (1999) berpendapat bahwa meaning dan emosi adalah komponen integral dari kepuasan. Emosi berperan dalam proses konsumsi. Emosi dalam konsumsi mengacu pada himpunan dari respon emosional yang ditimbulkan secara rinci selama pemakaian produk dari pengalaman konsumsi (Westbrook dan Oliver, 1991) dan kemungkinan emosi berkontribusi terhadap kepuasan (Oliver, 1993). Dalam penilaian kepuasan pengalaman konsumsi, sebagian dari kepuasan adalah kognitif dan sebagian lainnya adalah afektif (emosional) (Birtz dan Batteson, 1999, dalam Wong, 2004). Terdapat tiga komponen yang dapat diidentifikasi dalam defenisi kepuasan: (a) kepuasan pelanggan adalah sebuah respon (emosional atau kognitif), (b) respon tersebut berkenaan dengan fokus tertentu (harapan, produk, pengalaman, dan lain-lain), dan (c) respon tersebut terjadi dalam waktu tertentu (setelah konsumsi, setelah memilih, berdasarkan akumulasi pengalaman, dan lain-lain) (Giese dan Cote,
45
2000). Lebih jauh, Giese dan Cote (2000) mendiskusikan bahwa kepuasan adalah respon kognitif, afektif dan atau konatif, berdasarkan atas evaluasi yang berhubungan dengan produk, pengalaman dalam mengkonsumsi produk, dan atau yang berhubungan dengan atribut pembelian, dan diekspresikan sebelum memilih, setelah memilih, setelah mengkonsumsi, setelah memperpanjang pengalaman mengkonsumsi produk, atau hanya sekedar waktu lainnya disaat peneliti menanyakan konsumen tentang produk atau atributnya. Dari diskusi dan telaah literatur tersebut, Giese dan Cote (2000) mendefinisikan kepuasan konsumen sebagai rangkuman respon afektif dari intensitas yang berbeda, dengan waktu yang spesifik dan diarahkan pada aspek kunci (focal aspect) dari penerimaan dan atau konsumsi. Yu dan Dean (2001) berpendapat bahwa kepuasan memiliki dua komponen, yakni komponen kognitif dan komponen afektif. Komponen kognitif mengacu kepada penilaian persepsi kinerja dalam kaitannya dengan kecukupan dalam membandingkannya dengan standar harapan (expectations standards), sementara komponen afektif, dalam hal ini emosional, terdiri berbagai bentuk emosi, seperti kesenangan, keterkejutan, dan kekecewaan (Yu dan Dean, 2001). Emosi ini biasanya diniatkan (intentional) dan berbeda dengan konsep ‘mood’, yang umumnya diinduksi oleh berbagai faktor, dan biasanya tersebar (diffused) dan tidak diniatkan (non-intentional) (Yu dan Dean, 2001). Emosi memiliki dua dimensi, yakni emosi positif, yang dicerminkan oleh senang (happy), pengharapan (hopeful) dan takjub (positively surprised), serta emosi negatif, yakni, marah (angry), bersalah (guilty), sedih (depressed) dan terhina (humiliated) (Liljander dan Strandvik, 1996). Liljander dan Strandvik (1996) berpendapat bahwa emosi negatif tidak bertransformasi menjadi dissatisfaction, dan bahwa konsumen dengan sedikit emosi dapat tetap bisa dipuaskan oleh produk. Di sisi lain, emosi berpengaruh pada pengambilan keputusan. Emosi positif terkait dengan minat seseorang untuk mempertahankan rencana yang sedang berjalan dan membagi keluaran dari aktifitasnya (Bagozzi et al, 1999, dalam Yu dan Dean, 2001). Penilaian kepuasan emosional menjadi independen terhadap sense afektif secara keseluruhan, oleh sebab itu, komponen kognitif dan emosional dari kepuasan dipertimbangkan untuk dipisahkan (Yu dan Dean, 2001). Pengertian kepuasan secara menyeluruh dikemukakan oleh Kotler dan Keller (2006: 136) yang mendefinisikan kepuasan sebagai perasaan puas atau kecewa seseorang yang dihasilkan dari membandingkan kinerja produk yang dipersepsikan dalam hubungan dengan harapannya. Dalam perspektif ini, pernyataan tentang perasaan kecewa ataupun perasaan puas dikelompokan dalam respon afektif, sementara perbandingan kinerja yang dipersepsikan dan harapan, dikelompokan dalam respon kognitif. Sementara Spreng et al (1996) mendefinisikan kepuasan afektif sebagai reaksi emosional pada produk atau jasa.
46
Dari uraian di atas, diketahui bahwa kepuasan adalah respon konsumen baik berupa perbandingan antara kinerja yang diperoleh dan harapan kinerja yang diterima oleh konsumen maupun respon secara emosional dan keduanya bisa dipisahkan. Dalam penelitian ini, kepuasan kognitif didefinisikan sebagai evaluasi atas kinerja merek dari suatu produk. Definisi ini sejalan dengan definisi yang diajukan dalam Dictionary of Marketing Terms (2008), Oliver (1993) serta Kotler dan Keller (2006). Kepuasan emosional didefinisikan sebagai pernyataan emosional terhadap merek dari produk yang dikonsumsi, yang sejalan dengan definisi yang diajukan oleh Spreng et al (1996) Kepercayaan pada Merek Kepercayaan dan komitmen adalah variabel utama untuk memelihara hubungan dengan sukses (Morgan dan Hunt, 1994) termasuk hubungan merek dan konsumen. Hubungan merek dan konsumen adalah penting, memahami hubungan antara merek dan konsumen memerlukan analisis yang mendalam mengenai kepercayaan konsumen terhadap merek (Fournier, 1998). Kepercayaan adalah kesediaan untuk bersandar pada mitra dalam pertukaran atas dasar keyakinan (confidence) (Moorman, Deshpande dan Zaltman, 1993). Definisi kepercayaan lainnya adalah keyakinan untuk memperoleh sesuatu dari yang lain (DelgadoBallester dan Munuera-Aleman, 2005), dan sebagai kredibilitas dan perbuatan baik (benevolence) dari target yang dipercaya (Doney dan Cannon, 1997). Lebih jauh, Doney dan Cannon (1997) menjelaskan bahwa dimensi pertama dari kepercayaan berfokus pada kredibilitas objektif dan pengharapan atas pernyataan lisan atau tulisan dari pihak lain yang bisa didasarkan, sementara dimensi kedua dari kepercayaan, perbuatan baik adalah tingkatan satu pihak dengan tulus tertarik akan kesejahteraan (welfare) pihak lain dan termotivasi untuk mencari keuntungan gabungan. Kepercayaan muncul ketika satu pihak yakin pada reliabilitas (reliability) dan integritas pihak lain, dengan kata lain, kepercayaan adalah persepsi dari keyakinan atas reliabilitas dan integritas dari pihak lain (Morgan dan Hunt, 1994). Dalam konteks kepercayaan konsumen pada merek, kepercayaan pada merek adalah kerelaan (willingness) dari rata-rata konsumen untuk mempercayai (to rely) pada kemampuan dari merek untuk berkinerja sesuai dengan yang dijanjikan (Chaudhuri dan Holbrook, 2001). Definisi lainnya adalah sebagai keyakinan yang dibangun oleh konsumen dalam reliabilitas dan integritas merek (Chatterjee dan Chaudhuri, 2005), dan sebagai kerelaan konsumen untuk mempercayai merek dalam konteks resiko karena harapan bahwa merek akan menyebabkan outcomes yang positif (Lau dan Lee, 1999). Delgado-Ballester (2004) mengkritisi definisi yang diajukan oleh Chaudhuri dan Holbrook (2001). Menurut Delgado-Ballester (2004), definisi yang
47
diajukan oleh Chaudhuri dan Holbrook (2001) bisa diidentifikasi kedalam beberapa karakteristik. Pertama, kepercayaan pada merek yang diajukan oleh Chaudhuri dan Holbrook (2001) berfokus pada persepsi kinerja dari merek, yang identik dengan dimensi reliabilitas yang diajukan oleh Delgado-Ballester (2004). Namun disisi lain, Chaudhuri dan Holbrook (2001) mengabaikan aspek motivasional yang dihubungkan dengan konsep yang diajukan. Kedua, hubungannya dengan definisi Moorman et al (1993), Chaudhuri dan Holbrook (2001) menyertakan niat perilaku ‘kerelaan’ dalam definisi yang diajukannya, sementara Delgado-Ballester (2004) tidak menyertakan ‘kerelaan’, karena dalam pengukuran kepercayaan, ‘kerelaan’ menjadi menjadi redudant dalam definisi (Morgan dan Hunt, 1994). Hal ini terjadi karena keyakinan bahwa satu pihak dapat diandalkan oleh pihak lain akan berimplikasi pada niat berperilaku untuk mengandalkan. Jika satu pihak yakin, maka dia akan rela, jika tidak rela, maka tidak yakin. ‘Kerelaan untuk bergantung’ seharusnya dilihat sebagai outcome (atau sebagai indikator potensial) dari kepercayaan dan bukan sebagai bagian dari kepercayaan (Morgan dan Hunt, 1994). Delgado-Ballester, Munuera-Aleman dan Yague-Guillen (2003) serta Delgado-Ballester dan Munuera-Aleman (2005) mendefinisikan kepercayaan pada merek sebagai harapan keyakinan dari reliabilitas merek dan niat merek (brand intentions). Definisi yang diajukan oleh Delgado-Ballester dan Munuera-Aleman (2005) dan Chatterjee dan Chaudhuri (2005) memiliki makna yang sama dengan definisi yang diajukan oleh Doney dan Cannon (1997). Doney dan Cannon (1997) memberikan dua dimensi pada kepercayaan, yakni kredibilitas dan perbuatan baik. Kredibilitas dalam hal ini adalah menepati apa yang dijanjikan kepada pihak lain. Penjelasan ini sejalan dengan dimensi itegritas (Chatterjee dan Chaudhuri, 2005) dan reliabilitas merek (Delgado-Ballester dan Munuera-Aleman, 2005). Dimensi kedua adalah perbuatan baik, yang berkaitan dengan kemauan satu pihak untuk mendapatkan hal yang sama dari pihak lain. Penjelasan ini sejalan dengan dimensi reliabilitas (Chatterjee dan Chaudhuri, 2005) dan niat merek (Delgado-Ballester dan Munuera-Aleman, 2005). Delgado-Ballester (2004) menjelaskan bahwa kepercayaan yang didasarkan pada reliabilitas merek mewakili sekumpulan atribut dengan kemampuan teknik atau berdasarkan kompetensi (competence-based), karena dalam wilayah consumer-brand, ada harapan dan keinginan konsumen yang harus disampaikan dan dipuaskan. Reliabilitas merek sangat esensial dalam mempercayai sebuah merek, karena penyelesaian dari janji bahwa merek mewakili keyakinan tentang kepuasan pada masa mendatang. Lebih jauh, Delgado-Ballester (2004) menekankan dimensi ini sebagai sense untuk kemungkinan bahwa merek memuaskan keinginan individu secara konsisten dan positif. Dimensi berikutnya dari kepercayaan pada merek adalah niat merek.
48
Delgado-Balester et al (2003) menjelaskan bahwa niat merek didasarkan atas keyakinan (belief) bahwa merek akan memperhatikan keinginan konsumen ketika terjadi masalah pada konsumsi produk. Niat merek mewakili emotional security sebagai bagian dari individu (Delgado-Ballester, 2004). Lebih jauh, DelgadoBallester (2004) memaparkan bahwa aspek belief mendahului keberadaan dari bukti untuk membuat individu merasa bahwa perilaku dari merek diarahkan atau dimotivasi oleh kesenangan dan minat positif kearah kemakmuran dan niat, meskipun terjadi masalah dimasa mendatang dengan konsumsi dari produk, sehingga peran kepercayaan adalah untuk memampukan merek dan konsumen dalam memelihara dan terutama mengembangkan hubungan dengan menghapuskan persepsi ketidakpastian dan resiko dalam perilaku pembelian konsumen (Elliot dan Yannopoulou, 2007). Hubungan Kepuasan dan Kepercayaan pada Merek Selnes (1998) berpendapat bahwa kepercayaan adalah evaluasi agregat pada tingkatan tertinggi dari kepuasan dan karena itu, kepuasan adalah sumber kepercayaan. Hess dan Story (2005) berpendapat bahwa dalam hubungan personal, baik hubungan interpersonal maupun antara merek dengan individu (person), didasarkan atas kepercayaan dan dalam konteks pemasaran, sangat sulit memisahkan antara kepercayaan dengan kepuasan. Kepercayaan dan kepuasan adalah konstruk yang saling berhubungan (Hess dan Story, 2005). Lebih jauh, Hess dan Story (2005) menekankan bahwa kepuasan berperan dalam perilaku konsumen, dan bahwa kepuasan pada interaksi konsumen dan merek adalah antesenden dari kepercayaan. Lee (2006) berpandangan bahwa keseluruhan pengalaman mengkonsumsi (produk atau jasa) memiliki dampak atas kepercayaan, dengan mengkontribusikan keyakinan dalam memenuhi dan melindungi interest konsumen. Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara kepuasan dan kepercayaan. Kepuasan dalam mengkonsumsi suatu produk, akan menimbulkan kepercayaan terhadap produk tersebut. Pendapat ini didukung oleh Chaudhuri dan Holbrook (2001) yang berpendapat bahwa melalui pengalaman, persepsi dari keunikan nilai suatu merek diturunkan dari tingginya kepercayaan terhadap merek tersebut daripada merek lain yang tidak memilikinya, sehingga, kepuasan dan kepercayaan adalah konstruk yang saling berhubungan (Hess dan Story, 2005). Garbarino dan Johnson (1999) dalam penelitiannya terhadap pelanggan off-broadway, menemukan bahwa kepuasan memiliki hubungan yang positif dengan kepercayaan. Penelitian lainnya dalam konteks pengaruh kepuasan pada kepercayaan, dilakukan oleh Hess dan Story (2005) dalam menguji hubungan keduanya dalam konteks retails dan merek fast food, menemukan bahwa kepuasan berpengaruh positif pada kepercayaan. Hess dan Story (2005)
49
juga menyimpulkan bahwa hubungan antara merek dan konsumen dikuatkan olah kepercayaan dan kepuasan. Penelitian mengenai hubungan antara kepuasan dan kepercayaan pada merek juga dilakukan oleh Ranaweera dan Prabhu (2003) menemukan bahwa kepuasan berpengaruh langsung secara positif pada kepercayaan pada merek. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Zboja dan Voorhes (2006) dalam konteks persepsi konsumen terhadap merek dan retailer, Zboja dan Voorhes (2006) menemukan pengaruh positif dan langsung dari kepuasan pada kepercayaan konsumen terhadap merek. Penelitian DelgadoBallester dan Munuera-Aleman (2005) menemukan bahwa kepuasan memiliki pengaruh positif terhadap kepercayaan pada merek. Delgado-Ballester dan Munuera-Aleman (2005) membagi kepercayaan pada merek dalam dua dimensi, pertama, reliabilitas merek, berkaitan dengan asumsi konsumen bahwa merek telah mencapai kapasitas yang dibutuhkan untuk merespon kebutuhan konsumen, kedua, niat merek berkaitan dengan asumsi konsumen dalam hal keinginan merek untuk memenuhi janjinya kepada konsumen dan menguji keduanya secara terpisah. Dalam penelitiannya, Delgado-Ballester dan Munuera-Aleman (2005) menemukan bahwa kepuasan memiliki pengaruh positif terhadap kedua dimensi dari kepercayaan pada merek, baik pada reliabilitas merek maupun pada niat merek. Loyalitas Merek Day (1965) berpendapat bahwa loyalitas merek tidak bisa dipandang hanya sebagai pembelian yang konsisten pada merek yang sama, tetapi lebih dari itu harus memperimbangkan sikap (attitudes). Lebih jauh, Day (1965) memaparkan bahwa dalam pengukuran loyalitas yang didasarkan atas keputusan pembelian, harus membedakan antara loyalitas yang sebenarnya (true loyalty) dan loyalitas semu (spurious loyalty). Day (1965) menjelaskan bahwa poin kunci yang membedakan keduanya adalah bahwa pembeli yang dikategorikan loyalitas semu tidak menyertakan komitmen. Jacoby dan Kyner (1973) mendefinisikan loyalitas merek sebagai (1) bias (biased, non-random), (2) respon keprilakuan (misal pembelian), (3) diekspresikan setiap waktu, (4) dengan beberapa unit pembuatan keputusan, (5) pada berbagai alternatif merek dari kumpulan merek, dan (6) adalah fungsi dari proses psikologis (pembuatan keputusan, evaluasi). Lebih jauh, Jacob dan Kyner (1973) menjelaskan bahwa loyalitas merek secara esensial adalah fenomena hubungan (relational phenomenon), yang mendeskripsikan preferensi prilaku kearah satu atau lebih alternatif yang mengandung alternatif yang saling berkompetisi. Loyalitas merek dalam hal ini adalah fungsi dari penerimaan dan penolakan (Jacoby dan Kyner, 1973). Yoo dan Donthu (2001) mendefinisikan loyalitas merek sebagai kecenderungan untuk setia terhadap
50
sebuah merek (focal brand) yang ditunjukkan dengan niat untuk membeli merek focal sebagai pilihan utama. Aaker (2003: 76) berpandangan bahwa loyalitas merek mewakili sikap aktif (favourable attitude) pada merek yang menghasilkan tambahan pembelian yang konsisten terhadap merek. Aaker (2003: 76-77) juga memaparkan bahwa terdapat dua pendekatan dalam mempelajari loyalitas merek. Pendekatan instrument conditioning melihat pembelian yang konsisten terhadap sebuah merek secara terus-menerus sebagai indikasi dari loyalitas merek. Berdasarkan pada teori kognitif, loyalitas menunjukkan komitmen pada merek mungkin tidak direfleksikan dengan hanya mengukur perilaku pembelian secara terus menerus (continous behavior). Pengukuran attitudinal dikombinasikan dengan pengukuran perilaku diperlukan untuk mengidentifikasi loyalitas yang sesungguhnya. Definisi kognitif dari loyalitas merek bermakna bahwa loyalitas merepresentasikan komitmen (Aaker, 2003: 78). Chaudhuri (1999) berpendapat bahwa loyalitas merek adalah preferensi konsumen untuk membeli merek dalam sebuah kategori produk, dan merupakan hasil dari kualitas yang dipersepsikan. Oliver (1999) mendefinisikan loyalitas merek sebagai komitmen untuk membeli kembali (rebuy) atau berlangganan kembali (repatronize) produk atau jasa yang disukai secara konsisten dimasa mendatang, dengan demikian, menyebabkan pembelian berulang pada merek yang sama brand-set yang sama, meskipun pengaruh situasional dan usaha pemasaran memiliki dampak potensial untuk terjadinya perilaki berpindah (switching behaviour). Lebih jauh, Chaudhuri dan Holbrook (2001) memberi komentar bahwa definisi yang diajukan oleh Oliver (1999) memberikan penekanan pada dua aspek dari loyalitas merek. Aspek keperilakuan, loyalitas terdiri atas pembelian berulang dari merek, sementara loyalitas merek attitudinal termasuk derajat komitmen disposisional dalam hubungan dengan beberapa nilai keunikan yang diasosiasikan pada merek. Dari uraian, dapat disimpulkan bahwa loyalitas merek secara keseluruhan dapat diartikan sebagai pembelian berulang yang mencerminkan komitmen terhadap merek. Kepuasan dan Loyalitas Merek Punniyamoorthy dan Raj (2007) berpendapat bahwa kepuasan pelanggan adalah faktor utama yang mempengaruhi perilaku loyalitas, sebab itu, peningkatan kepuasan akan meningkatkan loyalitas. Peningkatan kepuasan membuat loyalitas merek meningkat. Bennett dan Rundle-Thiele (2004) juga berpendapat bahwa kepuasan dan loyalitas berhubungan erat. Penelitian yang dilakukan oleh Punniyamoorthy dan Raj (2007) dalam usahanya untuk membangun model empiris dalam pengukuran loyalitas merek pada tiga koran di Inggris, membangun model penelitiannya berdasarkan atas faktor-faktor yang
51
mempengaruhi loyalitas, mendukung hipotesis bahwa kepuasan berpengaruh pada loyalitas merek secara positif. Penelitian dalam konteks menguji hubungan antara kepuasan dan loyalitas dilakukan oleh Taylor, Celuch dan Goodwin (2004) pada konsumen industri dari peralatan manufaktur. Temuan dari Taylor et al (2004) mendukung hipotesis bahwa kepuasan menjadi faktor yang berkontribusi terhadap loyalitas merek attitudinal. Kepercayaan pada Merek dan Loyalitas Merek Morgan dan Hunt (1994) serta Garbarino dan Johnson (1999) berpendapat bahwa membangun dan mempertahankan kepercayaan adalah inti dari sebuah hubungan. Chaudhuri dan Holbrook (2001) berpendapat bahwa loyalitas ataupun komitmen adalah sebuah proses berkelanjutan dari pemeliharaan nilai dan hubungan yang diciptakan oleh kepercayaan. Lebih jauh, Chaudhuri dan Holbrook (2001) berpendapat bahwa kepercayaan pada merek muncul sebagai faktor penentu dari loyalitas merek atau komitmen pada merek dan konsisten dengan konsep marketing relationship. Kepercayaan pada merek menyebabkan munculnya loyalitas merek, karena kepercayaan melahirkan hubungan (Morgan dan Hunt, 1994). Konsumen yang memiliki orientasi hubungan akan dipengaruhi oleh kompenen sikap positif, yang dibangun melalui pengalaman (Garbarino dan Johnson, 1999). Penelitian dari Chaudhuri dan Holbrook (2001) menemukan bahwa semakin tinggi kepercayaan pada merek semakin tinggi pula loyalitas konsumen pada merek, sementara Delgado-Ballester dan Munuera-Aleman (2005) menjelaskan bahwa kepercayaan terhadap merek berkontribusi pada loyalitas merek sebagai ekspresi maksimal dari hubungan antara pelanggan dan merek yang sukses. Penelitian Punniyamoorthy dan Raj (2007) juga menemukan bahwa kepercayaan pada merek berpengaruh pada loyalitas merek. Penelitian yang dilakukan oleh Taylor, Celuch dan Goodwin (2004) dalam konteks konsumen industri peralatan berat, berpendapat bahwa kepercayaan pada merek adalah anteseden dari loyalitas. Taylor, Celuch dan Goodwin (2004) menemukan bahwa kepercayaan pada merek berpengaruh positif pada loyalitas. Penelitian yang dilakukan oleh Lau dan Lee (1999) menemukan bahwa kepercayaan terhadap merek berpengaruh positif pada loyalitas merek. Penelitian dari Lee (2006) mendukung hipotesis bahwa kepercayaan terhadap merek berpengaruh positif, baik pada behavioral brand loyalty yang rendah maupun yang tinggi. Penelitian mengenai pengaruh kepuasan terhadap dua dimensi dari kepercayaan pada merek yang dilakukan Delgado-Ballester dan Munuera-Aleman (2005) mendukung hipotesis bahwa reliabilitas merek dan niat merek berpengaruh secara positif pada loyalitas merek.
52
Kesimpulan Telaah literatur menunjukkan bahwa kepuasan, baik emosional maupun kognisi, dan kepercayaan merek akan menumbuhkan loyalitas merek. Hal ini memberikan implikasi bahwa dalam menumbuhkan dan memelihara loyalitas merek dalam jangka panjang, produsen mesti memperhatikan bagaimana pelanggan terpuaskan, baik secara kognisi maupun secara emosional. Tercapainya kepuasan diharapkan akan menumbuhkan kepercayaan, dan selanjutnya akan meneguhkan komitmen pelanggan terhadap merek (loyalitas pelanggan) serta akan berdampak pada kukuhnya ekuitas merek.
53
DAFTAR PUSTAKA Assael, H., (2004), “Consumer Behaviour: A Strategic Approach,” Houghton Mifflin Company. Bennett, R., and S. Rundle-Thiele (2004), “Customer Satisfaction Should not be the Only Goal,” Journal of Services Marketing, Vol.18(7), pp514-523. Chatterjee, S.C., and A. Chaudhuri (2005), “Are Trusted Brands Important?,” Marketing Management Journal, Vol.15, Issue 1, pp1-16. Chaudhuri, A., and M.B. Holbrook (2001), “The Chain of Effect from Brand Trust and Brand Affect to Brand Performance: The Role of Brand Loyalty,” Journal of Marketing, Vol.65 (April), pp81-93. Chaudhuri., A. (1999), “Does Brand Loyalty mediate Brand Equity Outcomes?,” Journal of marketing Theory and Practice, Spring, pp.136-146. Cronin, J.J., M.K. Brady., and G.T.M. Hult (2000), “Assesing the Effect of Quality, Value, and Customer Satisfaction on Consumer Behavioral Intentions in Service Environments,” Journal of Retailing, Vol.76(2), pp.193-218. Day, G.S., (1965), “A Two-Dimensional Concept of Brand Loyalty,” Journal of Advertising Research, Vol.9(3),pp.29-35. Delgado-Ballester, E., (2004), “Applicability of a Brand Trust Scale Across Product Categories; a multigroup invariance analysis,” European Journal of Marketing, Vol.38(5/6), pp573-592. Delgado-Ballester, E., and J.L. Munuera-Aleman (2005), “Does Brand Trust matter to Brand Equity?,” Journal of Product & Brand Management, Vol.14(3), pp187-196. Delgado-Ballester, E., J.L. Munuera-Aleman, M.J. Yague-Guillen (2003), “Development and Validation of a Brand Trust Scale,” International Journal of Market Research, Vol.45 Quarter 1, pp35-53. Dictionary Marketing Terms (2008) http://www.marketingpower.com, diakses 20 Maret 2008. Doney, P.M., and J.P. Cannon (1997), “An Examination of the Nature of Trust in Buyer-Seller Relationship,” Journal of Marketing, Vol.61(2) pp.35-51. Elliot., R., and N. Yannopoulou (2007), “The Nature of Trust in Brands: a psychosocial model,” European Journal of Marketing, Vol.41(9/10), pp988-998.
54