PERAN EFECTIVE MICROORGANISM-4 (EM-4) DALAM MENINGKATKAN KUALITAS FISIK DAN BIOLOGIS KOMPOS AMPAS TAHU Ambarwati, Yuli Kusumawati dan Dwi Linna Suswardany Abstract The aims of this research were to know: (1) the impact of EM-4 addition as much 150 ml, 250 ml, and 300 ml on physical quality of the dreg of tofu compost observed at odor, color, temperature, and humidity, (2) the impact of EM-4 addition as much 150 ml, 250 ml, and 300 ml on physical quality of the dreg of tofu compost observed at the present of actynomicetes and the absent of insect larvae. This is an experimental research with pretest-postest control group design. The data analyzed descriptively and analitically by One Way anova and t-test. The result showed that the EM-4 addition made compost : (1) putrid odor was not present, (2) had brown to black color, the 300 ml addition showed the darkest color, (3) high temperature can be reach faster on 300 ml EM-4 addition, (4) there was no insect larvae on compost, and (5) there was actinomycetes on compost. The impact of EM-4 addition on compost humidity was not significant (p=0.412). Keywords : the dreg of tofu, phisical quality of compost, biological quality of compost Permasalahan yang melatarbelakangi penelitian ini adalah bahwa sentra industri tahu yang terletak di Desa Branglor Kabupaten Sukoharjo dari proses produksinya telah menghasilkan limbah padat yang lebih dikenal dengan sebutan ampas tahu. Sebagian besar industri tahu tersebut memanfaatkan ampas tahunya untuk pakan ternak (babi) dan ada yang dijual untuk membuat tempe gembus, sisanya dibuang di pekarangan. Banyaknya ampas tahu yang dibuang tidak sama kuantitasnya setiap hari tergantung pada jumlah ampas tahu yang terjual. Ampas tahu yang dibuang di pekarangan tersebut dalam waktu dua hari sudah berbau busuk dan menjadi tempat berkembang biak lalat. Bau ini muncul karena terjadinya gas-gas akibat dekomposisi seperti CO2, H 2S, CH2 dan NH3. Sementara itu lalat yang berkembang biak berpotensi menularkan berbagai penyakit saluran pencernaan (Depkes RI, 1987). Ampas tahu yang dibuang begitu saja juga akan menghasilkan leachate dalam proses pembusukannya. Menurut Djabu et al. (1991) gerakan leachate dalam tanah akan mengikuti aliran air melebar sepanjang 9 m, sejauh 25 m dan menciut lagi sampai sejauh 95 m. Keberadaan leachate dalam tanah berbahaya bagi kesehatan karena mengandung bahan terlarut (nitrit) dan dapat mencemari air permukaan, air tanah serta badan-badan air (Depkes. RI, 1980). Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian untuk memanfaatkan ampas tahu, yang selama ini dibuang di pekarangan, sebagai kompos. Pembuatan kompos ampas tahu dapat dilakukan dengan berbagai cara, tetapi bentuk fisik ampas tahu yang mempunyai luas permukaan kecil dan menyebabkan proses pengomposan cenderung berlangsung dalam kondisi anaerob atau fakultatif anaerob, serta derajad keasaman ampas tahu yang mendekati asam, maka pengomposan yang sesuai untuk diterapkan adalah pengomposan dengan menggunakan EM-4 (Indriani, 2000 dan Murbandono, 2000). Infokes Vol 8 No 1 Maret – September 2004
1
Hasil penelitian Harijati (1998) menunjukkan bahwa pengomposan dengan menggunakan pupuk kandang, EM-4, urea dan tanpa aktivator menghasilkan kompos dengan kandungan unsur hara makro yang berbeda nyata secara statistik. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Hardianto (1999) yang menunjukkan bahwa EM-4 dapat digunakan untuk mempercepat proses pengomposan serta berpengaruh pada kualitas kompos yang dihasilkan. Berdasarkan hal tersebut maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana pengaruh penambahan EM-4 sebanyak 150 ml, 250 ml dan 300 ml terhadap kualitas fisik kompos ampas tahu ditinjau dari bau, warna, temperatur dan kelembaban? (2) Bagaimana pengaruh penambahan EM-4 sebanyak 150 ml, 250 ml dan 300 ml terhadap kualitas biologis kompos ampas tahu ditinjau dari keberadaan larva serangga dan actinomycetes ? Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) pengaruh penambahan EM-4 sebanyak 150 ml, 250 ml dan 300 ml terhadap kualitas fisik kompos ampas tahu ditinjau dari bau, warna, temperatur dan kelembaban (2) pengaruh penambahan EM-4 sebanyak 150 ml, 250 ml dan 300 ml terhadap kualitas biologis kompos ampas tahu ditinjau dari keberadaan larva serangga dan actinomycetes. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat eksperimental, yaitu objek (ampas tahu) diberi perlakuan pemberian EM-4 dengan jumlah yang berbeda-beda kemudian dibandingkan dengan kelompok tanpa pemberian EM-4 sebagai kontrol. Perlakuan tersebut diamati dalam beberapa waktu sampai terbentuk kompos. Adapun rancangan yang digunakan adalah pretes-postes dengan kelompok kontrol. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah penambahan EM-4, sedangkan variabel terikatnya adalah kualitas fisik (bau, warna, temperatur, dan kelembaban) dan biologis (keberadaan larva serangga dan actinomycetes) pada kompos ampas tahu. Pelaksanaan penelitian dilakukan di Desa Ngemplak Sukoharjo dengan mengambil ampas tahu dari Desa Branglor Sukoharjo. Pemeriksaan kelembaban dilakukan di Laboratorium Kimia Program Studi Kesehatan Lingkungan FIK UMS. Pemeriksaan bau, warna, temperatur, dan keberadaan actinomycetes serta larva serangga di Desa Ngemplak Sukoharjo. Penelitian ini diawali dengan menyiapkan kelompok penelitian sesuai dengan desain yang telah ditetapkan dengan ulangan pada masing-masing perlakuan sebanyak 3 kali. Dengan demikian jumlah perlakuan seluruhnya ada 9 dengan 1 kontrol. Prosedur pengomposan dilakukan berdasarkan teori pembuatan kompos menggunakan EM-4 menurut Indriani (2000) dan jumlah penambahan EM-4 ditentukan berdasarkan teori tersebut serta hasil penelitian Kurniawan (2003) tentang pengaruh penambahan EM-4 terhadap kecepatan pembentukan kompos dengan menggunakan penambahan sebanyak 200 ml, 250 ml, dan 300 ml pada campuran bahan kompos sebanyak 24 kg yang terdiri dari ampas tahu (10 bagian = 20 kg), bokashi (1 bagian = 2 kg) dan dedak (1 bagian = 2 kg). Pada penelitian tersebut diketahui bahwa ada pengaruh penambahan EM-4 terhadap kecepatan pembentukan kompos ampas tahu dan terdapat perbedaan pengaruh yang bermakna antara penambahan EM-4 250 ml dengan 300 ml dan antara 300 ml dengan 200 ml. Pada penambahan 200 ml dengan 250 ml tidak terdapat
Infokes Vol 8 No 1 Maret – September 2004
2
perbedaan pengaruh penambahan EM-4, sehingga dalam penelitian ini penambahan EM-4 dimodifikasi menjadi 150ml, 250ml, dan 300ml. Prosedur pengomposan dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut: a. Ampas tahu diperas dan dikeringkan dahulu selama 4 hari (sesuai dengan cuaca untuk mengurangi kadar airnya. b. Gula jawa diserut dahulu kemudian diambil sebanyak 5 sendok makan dan dicampur dengan air sebanyak 250 ml sampai rata (larutan A). c. EM-4 sebanyak 150 ml (sesuai perlakuan) dicampur dengan air sebanyak 250 ml (larutan B). Untuk kontrol tidak perlu ditambahkan EM-4, cairan ini diganti dengan air biasa. d. Ampas tahu (10 bagian = 20 kg), bokashi (1 bagian = 2 kg) dan dedak (1 bagian = 2 kg) dicampur merata setelah itu disiram larutan A sampai rata, kemudian disiram larutan B secara merata pula. e. Pencampuran dilakukan perlahan-lahan dan merata hingga kandungan airnya mencapai + 30–40%, yang diperkirakan dengan cara menggenggam bahan. Kandungan air + 30–40% ditandai dengan tidak menetesnya air bila bahan digenggam dan akan merekah bila genggaman dilepaskan. Bila belum sesuai kandungan airnya, bisa ditambahkan lagi air dalam jumlah yang sama untuk semua perlakuan sampai kelembaban ideal tercapai. f. Campuran bahan tersebut dimasukkan ke dalam kontainer plastik yang sudah ditandai sesuai dengan perlakuan masing-masing maupun sebagai kontrol. Kemudian ditutup dengan karung goni. g. Suhu kompos dipertahankan antara 40C – 50C. Untuk mengontrolnya setiap pagi (06.00-07.00), siang (12.00-13.00) dan sore (16.00-17.00) suhunya diukur. Mengingat ampas tahu ukuran permukaannya kecil-kecil dan berpotensi menimbulkan bau karena proses pengomposan yang cenderung anaerob, maka dilakukan pembalikan setiap sore. Demikian seterusnya sampai kompos matang. h. Perlakuan tersebut berlaku pada semua sampel penelitian sesuai dengan rancangan yang telah direncanakan. i. Setelah pencampuran bahan selesai, kemudian diperiksa kualitas fisik (bau, warna, temperatur dan kelembaban) serta kualitas biologis awalnya (keberadaan actinomycetes dan larva serangga). j. Setelah kompos matang yang ditandai dengan warna yang coklat kehitaman, tidak berbau, muncul actinomycetes, dan penurunan suhu sampai sekitar suhu awal pengomposan, kemudian dilakukan pengukuran akhir kualitas fisika dan biologis kompos. Data hasil pengukuran kualitas fisik (bau, warna, dan temperatur) kompos ampas tahu kemudian dianalisis secara deskriptif. Data kelembaban kompos dianalisis secara analitik menggunakan uji statistik Anova satu jalan yang dilanjutkan dengan uji t dengan menggunakan bantuan program komputer SPSS versi 10. Data hasil pengukuran kualitas biologis kompos yang ditinjau dari keberadaan larva serangga dan actinomycetes dianalisis secara deskriptif. HASIL Parameter Fisik Kompos
Infokes Vol 8 No 1 Maret – September 2004
3
Temperatur Temperatur kompos dipantau selama 36 hari, yaitu sampai temperatur kompos turun mendekati temperatur awal pengomposan. Rata-rata temperatur dari sepuluh sampel dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini. 60 50 40 30 20 10 0
Temperatur ( C)
Hari keKontrol A B C 1
5
9 13 17 21 25 29 33 Waktu pengomposan (hari)
Gambar 1. Grafik Temperatur Rata-Rata pada Kontrol dan Perlakuan selama Proses Pengomposan Keterangan: A = Perlakuan dengan penambahan EM-4 sebanyak 150 ml B = Perlakuan dengan penambahan EM-4 sebanyak 250 ml C = Perlakuan dengan penambahan EM-4 sebanyak 300 ml
Dari gambar di atas dapat diketahui kondisi temperatur selama proses pengomposan. Pada perlakuan B dan C mempunyai kecenderungan naik lebih cepat, kemudian turun perlahan-lahan. Sementara itu perlakuan A temperaturnya naik atau mencapai suhu tertinggi lebih lama dan turun dengan perlahan-lahan pula. Pada kontrol kenaikan dan penurunan suhunya tidak terlalu jauh rentangnya, hanya berkisar pada angka 30,0 C. Temperatur tertinggi yang dapat dicapai kontrol adalah 34,0 C, pada perlakuan A 49,7 C, perlakuan B 50,0 C, dan perlakuan C 50,7 C. Bau, Warna, dan Kelembaban Seperti pada temperatur kompos, bau dan warna kompos juga dipantau setiap hari selama 36 hari, namun kelembaban kompos hanya diperiksa sebelum penambahan EM4 dan sesudah penambahan saja. Pengukuran kelembaban sesudah penambahan EM-4 dilakukan setelah semua kompos matang, yaitu pada hari ke-37. Kondisi fisik kompos ditinjau dari parameter bau, warna, dan kelembabannya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Bau, Warna, dan Kelembaban Kompos Sebelum dan Sesudah Penambahan EM-4 Kontrol
Penambahan EM-4
Infokes Vol 8 No 1 Maret – September 2004
4
Parame Sebelum Sesudah ter Bau Khas busuk ampas tahu Warna PutihAbu-abu kuning kehitaman
Sebelum 150ml 250ml Khas Khas ampas ampas tahu tahu Putih kekuningan
300ml Khas ampas tahu
150ml Khas EM-4
Sesudah 250ml 300ml Khas Khas EM-4 EM-4
Coklat tua
Coklat tua
Kelembaban
43,0%
44.8%
32.7%
33.3%
40,0%
33,0%
44.3%
Coklat kehitam -an 31.7%
Parameter bau yang diukur sebelum penambahan EM-4 pada semua sampel memiliki bau yang sama yaitu bau khas ampas tahu. Setelah proses pengomposan selesai, semua perlakuan memiliki bau yang hampir mirip satu sama lain, yaitu bau yang lebih cenderung ke bau EM-4. Pada kontrol, setelah proses pengomposan selesai memiliki bau yang busuk. Sementara itu warna kompos yang ditunjukkan oleh sampel yang diberi penambahan EM-4 dari terkecil sampai terbesar menunjukkan gradasi dari warna coklat meningkat sampai coklat kehitaman. Parameter Biologis Kompos Keberadaan Larva serangga Pada semua sampel yang mendapat perlakuan penambahan EM-4, di akhir pengomposan tidak terdapat larva serangga baik pada permukaan maupun pada bagian yang lebih dalam pada tumpukan kompos. Pada kontrol terdapat banyak larva serangga. Keberadaan actinomycetes Semua sampel yang mendapat perlakuan penambahan EM-4 menunjukkan tanda terdapatnya actinomycetes pada permukaannya. Pada kontrol tidak terdapat actinomycetes. PEMBAHASAN Parameter Fisik Kompos Temperatur Temperatur tertinggi yang dapat dicapai oleh kontrol hanya 34,0 C. Hal ini terjadi karena kurangnya mikroorganisme pengurai bahan organik, sehingga proses penguraian berjalan lambat dan suhu optimum tidak tercapai (Indriani, 2000). Sementara itu, temperatur tertinggi pada perlakuan berkisar antara 49,7 C–50,7 C. Menurut Murbandono (2000) kisaran ini termasuk dalam suhu ideal pembuatan kompos, namun temperatur ini belum bisa memberantas bakteri patogen dan biji gulma pada kompos (Indriani, 2000 dan Polprasert, 1996) karena temperatur kompos yang dapat digunakan untuk memberantas bakteri patogen dan biji gulma adalah sebesar 60 C atau lebih. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Estrella et al. (2002) yang menyatakan bahwa Infokes Vol 8 No 1 Maret – September 2004
5
temperatur merupakan faktor utama yang menyebabkan organisme patogen dapat bertahan atau tidak dapat bertahan hidup pada bahan kompos saat proses pengomposan. Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa temperatur yang dapat menekan jumlah organisme patogen adalah 65–70 C. Salah satu cara untuk meningkatkan temperatur adalah dengan menambah tinggi tumpukan bahan antara 1,25 – 2 meter (Murbandono, 2000) dan dilakukan pembalikan. Pada penelitian ini sudah dilakukan pembalikan setiap hari mengingat volume dan tinggi tumpukan bahan dasar kompos (ampas tahu) yang kecil sehingga berpotensi mengubah kondisi pengomposan yang fakultatif anaerob menjadi anaerob. Bila proses anaerob yang berlangsung maka kompos akan mengalami pembusukan. Berarti bila ingin menaikkan temperatur kompos guna membunuh bakteri patogen, maka perlu menambah bahan kompos menjadi 2 kalinya atau lebih, dengan disertai pembalikan. Dari ketiga perlakuan yang paling cepat mencapai temperatur tertinggi dan paling cepat turun temperaturnya mendekati temperatur awal pengomposan adalah pada sampel yang diberi EM-4 sebanyak 300 ml. Hal ini terjadi karena jumlah penambahan mikroorganisme paling banyak memungkinkan menghasilkan panas yang lebih banyak pula (Polprasert, 1996). Bau Pada awal pengomposan, semua sampel memiliki bau yang khas ampas tahu, tetapi setelah proses pengomposan selesai terjadi perbedaan yang mencolok antara kontrol dengan perlakuan. Pada kontrol timbul bau busuk, sementara pada ke-9 sampel yang diberi penambahan EM-4 memiliki bau yang hampir sama dan cenderung masih berbau khas EM-4. Pembusukan yang terjadi pada kontrol dimungkinkan karena kekurangan bakteri pengurai akibat tidak dilakukan penambahan EM-4 (Indriani, 2000). Warna Pada awal pengomposan, warna yang dominan adalah warna ampas tahu, yaitu putih kekuningan. Setelah selesai pengomposan, semua perlakuan mengalami perubahan warna menjadi coklat kehitaman dan warna tersebut bergradasi sesuai dengan jumlah penambahan EM-4. Pada penambahan EM-4 yang paling banyak (300 ml) memiliki warna yang paling coklat kehitaman. Hal ini terjadi karena penambahan mikroorganisme dapat mempercepat proses pematangan kompos sehingga mencapai warna kematangan kompos yang lebih cepat pula dibandingkan dengan warna kematangan kompos pada sampel yang lain. Kematangan kompos dikatakan tercapai bila warnanya telah menjadi coklat kehitaman (Murbandono, 2000, Indriani, 2000, dan Polprasert, 1996). Hal ini juga sesuai dengan penelitian Kurniawan (2003) yang menyimpulkan bahwa pada penambahan EM-4 sebanyak 300 ml (paling banyak) dapat mencapai kematangan kompos tercepat dan dengan warna yang paling mendekati warna tanah. Kelembaban Hasil uji anova menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh penambahan EM-4 terhadap kelembaban kompos (p=0.412). Kelembaban kompos dalam penelitian ini sudah Infokes Vol 8 No 1 Maret – September 2004
6
merupakan kelembaban optimum untuk pengomposan menggunakan EM-4. Menurut Indriani (2000) dan Murbandono (2000) kelembaban optimum yang diperlukan dalam pengomposan menggunakan EM-4 adalah 30-40%. Terjadinya penurunan kelembaban rata-rata dari 43,65% di awal pengomposan menjadi 32,8% di akhir pengomposan terjadi karena adanya penguapan selama proses pengomposan. Penurunan kelembaban tersebut tidak menjadi masalah karena masih termasuk dalam kelembaban optimum untuk pengomposan menggunakan EM-4 (Indriani, 2000) dan sesuai dengan kelembaban optimum berdasarkan kesepakatan workshop internasional yang diselenggarakan oleh Food and Fertilizer Technology Center (FFTC), yaitu maksimum 35% (Musnamar, 2003) . Parameter Biologis Kompos Keberadaan Larva serangga Pada semua sampel yang mendapat perlakuan penambahan EM-4, di akhir pengomposan tidak terdapat larva serangga baik pada permukaan maupun pada bagian yang lebih dalam pada tumpukan kompos. Sebaliknya, pada kontrol terdapat banyak larva serangga karena kekurangan mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik sehingga yang terjadi adalah proses pembusukan. Bahan yang mengalami pembusukan ini mengundang serangga untuk datang dan berkembang-biak di sana (Polprasert, 1996). Keberadaan larva serangga pada akhir pengomposan merupakan indikator pengomposan yang tidak baik (Indriani, 2000, Murbandono, 2000, dan Polprasert, 1996). Keberadaan actinomycetes Semua sampel yang mendapat perlakuan penambahan EM-4 menunjukkan tanda terdapatnya actinomycetes pada permukaannya. Menurut Polprasert (1996) pada akhir pengomposan actinomycetes berperan penting dalam penguraian selulosa, lignin, dan komponen yang sulit untuk diuraikan lainnya, serta merupakan indikator kematangan kompos, sedangkan pada kontrol tidak terdapat actinomycetes karena proses yang terjadi adalah pembusukan. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Hasil analisis deskriptif pengaruh penambahan EM-4 terhadap kualitas kompos ampas tahu ditinjau dari sifat fisik (bau, warna, kelembaban dan temperatur) kompos menunjukkan: (1) Penambahan EM-4 menjadikan kompos tidak berbau busuk dan cenderung berbau seperti EM-4, (2) Penambahan EM-4 menjadikan kompos berwarna coklat kehitaman dan pada penambahan EM-4 yang paling banyak menunjukkan warna yang paling gelap, (3) Penambahan EM-4 menjadikan kompos memiliki kecepatan pencapaian temperatur tinggi yang lebih cepat pada bahan kompos yang diberi tambahan EM-4 paling banyak. 2. Hasil analisis analitik pengaruh penambahan EM-4 terhadap kualitas fisik kompos ampas tahu ditinjau dari kelembaban kompos menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh penambahan EM-4 terhadap kelembaban kompos (p=0.412), tetapi Infokes Vol 8 No 1 Maret – September 2004
7
kelembaban turun dari rata-rata sebesar 43,65% di awal pengomposan menjadi 32,8% di akhir pengomposan. 3. Hasil analisis diskriptif pengaruh penambahan EM-4 terhadap kualitas biologis kompos ampas tahu ditinjau dari keberadaan larva serangga dan actinomycetes menunjukkan penambahan EM-4 menjadikan kompos tidak mengandung larva serangga pada akhir pengomposan dan terdapat actinomycetes sebagai indikator kematangan kompos. Saran 1. Bagi pengusaha tahu Mengingat hasil pembuatan kompos ampas tahu dengan menggunakan EM-4 memiliki kualitas fisik yang cukup bagus, maka sebaiknya kelebihan ampas tahu yang ada tidak dibuang begitu saja, tetapi dapat dikomposkan untuk dipakai sendiri hasilnya ataupun diproduksi dalam skala besar bila memungkinkan. 2. Bagi peneliti lain Perlu dilakukan penelitian lanjutan terhadap kandungan mikroorganisme patogen pada kompos dengan bahan dasar ampas tahu yang menggunakan EM-4 karena proses pengomposan yang terjadi dipertahankan pada suhu 40-50 C. Padahal pemusnahan patogen baru dapat tercapai pada suhu 60-70 C. Perlu pula dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat pengaruh pemakaian kompos ampas tahu yang menggunakan EM-4 terhadap pertumbuhan tanaman tertentu, untuk melihat kesesuaian kompos ini sebagai pupuk tanaman. DAFTAR PUSTAKA Dep.Kes RI, 1980. Pedoman Bidang Studi Pembuangan Sampah. Akademi Penilik Kesehatan Teknologi Sanitasi. Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan. _______, 1987. Pembuangan Sampah. Akademi Penilik Kesehatan Teknologi Sanitasi. Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan. Jakarta: Proyek Pengembangan Pendidikan Tenaga Sanitasi Pusat. Djabu U, Koesmantoro H, Soeparman, Wiwoho A, Soedjono, Sanropie D, Indariwati, Marlina N, Soemini, Madelan, Pardjono, Mantariputra, Supriyo T, Sugeng D, Triastuti E, 1991. Pedoman Bidang Studi Pembuangan Tinja dan Air Limbah pada Institusi Pendidikan Sanitasi Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Depkes RI. Estrela, FS, Lopez MJ, Elorrieta MA, Vargas-Garcia MC, Morenos J, 2002. The Suppresive Activity of thr Composting Process on Phytopathogen Bacteria and Viruses. ORBIT Journal Vol I No.01 2002. Http://www.orbitonline.net/journal/archiv/01-02/0102_04_print.html Hardianto R, 1999. Pemanfaatan Mikroorganisme efektif dan bokashi untuk Pemulihan Kesuburan Tanah dan Peningkatan Produktivitas Usahatani di Lahan Kering. Infokes Vol 8 No 1 Maret – September 2004
8
Buletin Teknologi dan Informasi (Indonesia) Vol. 2 No.1 h.61-72 atau http://www.menlh.go.id /usaha-kecil/ Harijati. S, E. Indrawati, Dem Vi Sara, 1998. Pengaruh Kompos Berbahan Stimulator Berbeda terhadap Produksi Kangkung Darat (Ipomea reptans poir). Jakarta: Pusat Studi Indonesia Lemlit UT Indriani YH, 2000. Membuat Kompos Secara Singkat. Jakarta: Swadaya. Kurniawan A, 2003. Pengaruh Penambahan Berbagai Dosis EM-4 terhadap Waktu Pengomposan ampas Tahu di Desa Branglor Sukoharjo. Penelitian. Fakultas Ilmu Kesehatan. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Murbandono L, 2000. Membuat Kompos. Ed. Rev. Jakarta: Penebar Swadaya Musnamar EI, 2003. Pupuk Organik: Cair & Padat, Pembuatan, Aplikasi, Jakarta: Penebar Swadaya Polprasert C.1996. Organic Waste Recycling. 2nd ed. Baffins Lane. Chichester. West Sussex. Inggris: John Wiley and Sons Ltd.
Infokes Vol 8 No 1 Maret – September 2004
9