http://www.mb.ipb.ac.id
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Peran dan fungsi pemerintah pada era otonomi daerah adalah berupa pelayanan dan pengaturan (fasilitator, regulator dan dinamisator) antara lain dalam memperjuangkan terbitnya UUIPP, merumuskan kebijakan makro, penerapan norma, standar teknis dan prosedur suatu kegiatan pembangunan berdasarkan kebutuhan nasional. Sedangkan peran dan fungsi daerah adalah sebagai perencana sekaligus pelakul pelaksana kegiatan pembangunan di wilayahnya. Dalam konteks terakhir tersebut, konsekuensi yang timbul adalah bahwa organisasi pemerintah di daerah (Propinsi/Kabupaten/Kota) harus mampu menyiapkan sumberdaya manusia dan dukungan finansial yang memadai untuk menunjang keberhasilan pembangunan di wilayahnya. Dalam rangka memenuhi keinginan dan dalam konteks kebijakan makro yang juga merupakan fokus kebijakan pembangunan pertanian untuk menjawab tantangan otonomi daerah, maka program utama pembangunan peternakan nasional tahun 2000-2004 menurut Ditjen Bina Produksi Peternakan (2001) adalah
Program
Peningkatan Ketahanan Pangan dan
Program
Pengembangan Agribisnis yang dilaksanakan melalui pendekatan usahatani, komoditi dan wilayah terpadu beserta komponen pendukungnya dan melalui agribisnis terpadu dari hulu hingga hilir dalam satu kawasan pengembangan. Mengacu kepada program tersebut, Dinas Peternakan Propinsi Riau, telah menetapkan tiga program utama pembangunan peternakan
http://www.mb.ipb.ac.id
Daerah Riau, yakni : Program Peningkatan Ketahanan Pangan, Program Pengembangan Agribisnis Peternakan dan Program Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan. Program Peningkatan Ketahanan Pangan bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan komoditas pangan pokok dalam jumlah yang cukup, kualitas yang memadai dan tersedia sepanjang waktu melalui peningkatan produksi, produktivitas dan pengembangan produk olahan. Program Pengembangan Agribisnis diarahkan agar seluruh subsistem agribisnis secara produktif dan efisien menghasilkan berbagai produk peternakan yang memiliki nilai tambah dan daya saing yang tinggi baik di pasar domestik maupun pasar global yang diusahakan oleh pelaku usaha skala kecil, menengah dan besar. Program Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi perekonomian rakyat dengan menjadikan sektor pertanian rakyat sebagai basis dan sasaran kegiatan utama yang diusahakan oleh pelaku usaha skala kecil dan menengah. Program-program tersebut pada dasarnya dalam upaya menyediakan daging dan telur bagi kebutuhan konsumen melalui pemanfaatan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, teknologi dan didorong oleh potensi pasar yang terus meningkat setiap tahunnya seiring meningkatnya pendapatan masyarakat. Produksi daging tersebut dihasilkan dari berbagai jenis ternak, antara lain ternak sapi yang dipelihara oleh sebagian besar peternak skala kecil, sehingga semakin bertambahnya penduduk berarti semakin bertambah pula permintaan daging sapi, namun belum dapat diikuti oleh peningkatan jumlah produksi daging.
http://www.mb.ipb.ac.id
Mengutip data Statistik Peternakan Propinsi Riau Tahun 2000, produksi daging tahun 1999 rnencapai 25.369.144 kg dan yang berasal dari daging sapi hanya 3.826.359 kg atau 15,08 % dari jumlah ternak sapi yang dipotong sebanyak 31.735 ekor. Padahal dari populasi ternak sapi 140.897 ekor (1999), yang dapat dipotong hanya 21.783 ekor. Dengan demikian tingkat pernotongan ternak tersebut akan dapat rnenguras populasi ternak sapi, apabila tidak dilakukan upaya pengernbangan ternak secara terprograrn. Tabel 1. Populasi dan Perkernbangan Ternak Sapi di Propinsi Riau Tahun 1996-2000
Populasi (ekor) Perkernbangan
("4
146.313
155.882
147.459
140.897
144.678
7,78
6,54
-5,40
-4,45
2,68
Sumber : Buku Statistik Peternakan Propinsi Riau Tahun 2000 dan Ditjen Bina Produksi Petemakan, Dep. Pertanian Tahun 2001.
Dengan melihat Tabel 1, tampak bahwa populasi ternak sapi lima tahun terakhir ini hanya meningkat rata-rata 1,43 %. Hal ini disebabkan karena terjadinya krisis rnoneter akhir tahun 1997 yang dampaknya populasi ternak pada tahun 1998 dan 1999 rnenurun dan baru meningkat kernbali pada tahun 2000. Narnun, peningkatan populasi sebesar 2,68 % tersebut tidak dapat mengirnbangi pertumbuhan penduduk Riau sebesar 3,85 % (1999) yang rnenyebabkan semakin banyaknya permintaan konsurnsi daging sapi, sehingga dengan tidak seirnbangnya persediaan dan permintaan, rnaka peluang untuk rnengernbangkan ternak sapi di Propinsi Riau sernakin terbuka.
http://www.mb.ipb.ac.id
Jika ditinjau dari konsumsi daging per kapita, pada tahun 1999 mencapai 7,86 kg tetapi masih dibawah konsumsi daging nasional, yaitu 9,29 kg dari target standar gizi 10,l kg. Namun, ketersediaan daging sapi hanya 1,19 kg dari 7,86 kglkapitaltahun, berarti persediaan daging sapi sekitar 15 % pada tahun 1999. Demikian pula produksi daging sebanyak 25.369.144 kg yang dihasilkan oleh Daerah Riau hanya 74,27 % dan sisanya 25,73 % masih didatangkan dari luar, baik berasal dari impor maupun luar Riau seperti Sumatera Barat. Tabel 2. Produksi dan Pangsa Daging per Jenis Ternak di Propinsi Riau Tahun 1999
Kerbau 1.478.907 951.772 527.135 Kambing 1.055.351 40.433 1.014.918 36.746 4. Babi 2.787.787 2.824.533 5. Ayam Buras 5.967.413 5.968.168 755 6. Ayam ras 5.584.660 4.479.956 10.064.616 7. ltik 149.208 2.002 151.210 Jumlah 18.842.633 6.526.511 ( 25.369.144 Sumber : Buku Statistik Peternakan Propinsi Riau Tahun 2000
2. 3.
1
I
1
1 1
1
1 (
5,83 4,16 11,13 23,53 39,67 0,60 100,OO
Dari data pada Tabel 1 dan Tabel 2, terbuka peluang untuk mengembangkan komoditas ternak sapi di Daerah Riau. Pengembangan ternak tersebut dalam rangka
meningkatkan konsumsi daging sesuai
standar gizi dan sesuai dengan trend permintaan daging dari konsumen domestik yang terus meningkat serta untuk memenuhi permintaan pasar luar negeri (ekspor) mengingat letak geografis yang sangat strategis yang dimiliki Daerah Riau, karena berbatasan langsung dengan pasar luar negeri seperti Singapura.
http://www.mb.ipb.ac.id
Apabila melihat kontribusi terhadap penyediaan daging, maka sudah sepatutnya komoditas ternak unggas menjadi komoditas andalan dalam pengembangan peternakan dimasa yang akan datang. Namun, jika melihat potensi sumberdaya alam, sumberdaya peternak serta terknologi yang dapat dimanfaatkan dalam pengelolaan usaha ternak, maka ternak sapi seharusnya yang menjadi komoditas unggulan dalam pengembangan ternak di Daerah Riau, mengingat usaha ternak sapi hampir seluruhnya menggunakan komponen lokal (local base) yang telah dikuasai oleh para peternak. Hal ini diperkuat oleh hasil studi analisis potensi wilayah yang diiakukan Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor (1998), bahwa prospek pengembangan ternak di Daerah Riau masih sangat berpeluang untuk ternak ruminansia besar. Dari hasil studi tersebut tingkat kemampuan wilayah dalam penyediaan pakan ternak secara optimal dibandingkan dengan tingkat popuiasi ternak yang ada saat ini masih dapat menampung ternak sebanyak 1.391.833, 72 ST atau setara 2.408.01 8 ekor sapi. Oleh karena itu, Dinas Peternakan Propinsi Riau telah merespon dalam bentuk program pengembangan ternak sapi dalam kerangka meningkatkan ketahanan pangan dengan memanfaatkan sumberdana yang dialokasikan rnelalui APBD sebagai bentuk kepedulian Pemda dalam pemberdayaan masyarakat guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan. Dari latar belakang masalah tersebut, maka dipandang perlu untuk rnelakukan penelitian guna mengidentifikasi permasalahan dan faktorfaktor yang menentukan keberhasilan dan atau kegagalan pelaksanaan kegiatan. Disamping itu, juga dirumuskan strategi pengembangan ternak
http://www.mb.ipb.ac.id
sapi di wilayah yang telah ditetapkan sebagai sentra produksi ternak di Propinsi Riau, yaitu di Kabupaten Rokan Hulu, Kampar, lndragiri Hilir, lndragiri Hulu, Kepulauan Riau dan Natuna. B. ldentifikasi Masalah
Masalah yang dihadapi dalam upaya melakukan peningkatan produksi
ternak untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging sesuai
standar gizi melalui pengembangan ternak sapi, yaitu : 1. Sumberdaya manusia peternak masih rendah, sehingga adopsi teknologi menjadi lambat. 2. Usaha ternak sapi yang dilakukan masyarakat masih dalam skala kecil dan terpencar-pencar, sehingga tidak efisien. 3. Proses produksi ternak sapi yang melibatkan banyak tahapan
dengan pelaku dan wilayah yang berbeda menyebabkan usaha ternak sapi belum efisien. 4. Usaha ternak sapi masih bersifat usaha'sambilan dan cenderung .
berfungsi sebagai tabungan dan atau status sosial.
5. Masih sulitnya memperoleh modal pengembangan usaha sapi. 6. Sulitnya memperoleh sapi bibit dan sapi bakalan.
7. Penggunaan teknologi tepatguna dan tepat lokasi belum optimal. 8. Sistem dan mekanisme pasar belum berjalan dengan baik. 9. Sarana dan prasarana yang masih kurang, sehingga menyulitkan
dalam peningkatan populasi dan produksi. 10.Masih sulitnya memperoleh informasi harga pasar, menyebabkan bargaining position peternak menjadi lemah.
http://www.mb.ipb.ac.id
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka penelitian ini akan dibatasi pada permasalahan sebagai berikut : 1 Usaha ternak sapi yang dilakukan masyarakat tidak efisien, karena belum dipelihara dalarn skala ekonomis. 2. Usaha ternak sapi masih bersifat usaha sambilan dan cenderung berfungsi sebagai tabungan dan atau status sosial. 3. Modal untuk pengembangan usaha ternak sapi sulit diperoleh.
4. Sarana dan prasarana pengembangan ternak sapi belum mernadai. 5. lnformasi harga pasar produk peternakan masih sulit diperoleh.
D. Perumusan Masalah 1. Pertanyaan Manajemen : Bagaimana mengembangkan usaha ternak sapi berorientasi agribisnis, sehingga menjadi efisien ? 2. Pertanyaan Riset : Apa langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam upaya mengembangkan usaha ternak sapi ? 3. Pertanyaan lnvestigasi :
Mengapa usaha ternak sapi berorientasi agribisnis belum berkembang ? 4. Pertanyaan Pengukuran : Bagaimana agar usaha ternak sapi menjadi cabang usaha atau bahkan usaha pokok bagi peternak ?
http://www.mb.ipb.ac.id
E. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui wilayah prioritas pengembangan ternak sapi serta faktor-faktor eksternal dan internal dalam usaha ternak sapi berorientasi agribisnis. 2. Merumuskan beberapa alternatif strategi pengembangan ternak sapi berorientasi agribisnis. 3. Memilih strategi utama pengembangan ternak sapi berorientasi
agribisnis. 4. Menganalisis keterlibatan masing-masing lembaga (stakeholder) dalam upaya pengembangan ternak sapi berorientasi agribisnis. F. Manfaat Penelitian 1. Sebagai sumbangan pemikiran bagi pemerintah daerah, khususnya Dinas Peternakan dalam upaya pengembangan ternak sapi dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan. 2. Sebagai referensi dalam bentuk data dasar bagi penelitian lebih lanjut tentang pengembangan peternakan khususnya ternak sapi. G. Ruang Lingkup Penelitian Mengingat waktu dan biaya yang sangat terbatas, maka penelitian ini akan dibatasi pada kajian strategi pengembangan ternak sapi di Propinsi Riau dengan cara melakukan analisis eksternal, analisis internal, analisis Cornpetitif Profile Matrix (CPM) dan analisis Matriks SWOT, sehingga diperoleh beberapa alternatif strategi pengembangan ternak sapi pada wilayah sentra produksi prioritas. Alternatif strategi tersebut akan dilakukan urutan atau peringkat berdasarkan penjumlahan skor faktor-
http://www.mb.ipb.ac.id
faktor yang dipilih dari hasil analisis eksternal dan internal guna mengetahui alternatif prioritas. Selain itu, juga dilakukan analisis Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) untuk memilih strategi utama dari beberapa pilihan alternatif yang ada. Selanjutnya, dilakukan analisis kelembagaan dengan
menggunakan teknik
lnterprefative
Structural Modelling (ISM) guna rnengetahui pengaruh atau keterlibatan dari masing-masing lembaga (stakeholder) pelaksana dan pendukung pengembangan agribisnis ternak sapi . Daerah yang menjadi sampel penelitian dibatasi pada Kabupaten Rokan Hulu, Kampar dan lndragiri Hulu. Daerah-daerah ini sengaja dipilih sebagai sampel, karena merupakan kantong-kantong ternak sapi di Daerah Riau yang mempunyai prospek dan memiliki potensi terutama dalam penyediaan pakan hijauan dan peternak yang terampil dalam mengelola ternak sapi.