Jurnal Ultima Humaniora, Maret 2014, hal 14-29 ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 1
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral:
Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos1 YOGIE PRANOWO2
Dosen Nasionalisme di KALBIS Institute Pulomas Selatan Kav 22, Jakarta Timur 13210. Surel:
[email protected] Diterima: 17 Januari 2014 Disetujui: 20 Maret 2014
ABSTRACT Nowadays, our eyes are “forced” to feast upon the gleaming campaign advertisements of presidential candidates. Not only in screens, their personages have even packed road markings with flashy banners that bedazzle the eyes. They are putting out a wholesale of promises and vows! But are their words merely absolute dimensions with objective values? Or are they only clichés to actualize their ambitions on the upcoming 2014 General Elections? On that, the writer wants to try once again to raise Friedrich Nietzsche’s reasoning. Because through his thoughts, (it is as if) he wants to advise us – the soon-to-be electors in 2014 General Elections to come – to be able to assess a person properly through the ad hominem method. If the phrase ad hominem is commonly perceived as a type of ambiguous thinking, Nietzsche will say otherwise, that argumentum ad hominem in all conscience has a central role in its moral genealogy, that is as a method to diagnose our outlook of reality in a more profound way. By following Nietzsche’s advice, hopefully in the end we are able to evaluate and decide: who will be the person worthy of the title “Indonesia’s Number One”.
Keywords: ad hominem method, moral genealogy, will, “slave” and “master” morality, perspectivism.
Pada tahun 1987 seorang pelukis-seniman, Paul Gauguin mempublikasikan lukisannya tentang asal-usul manusia yang mengajak kita untuk berfikir dan mencari jawaban atas eksistensi diri kita.3 Karya ini menggambarkan siklus kelahiran, kehidupan, dan kematian— asal-usul, identitas, dan takdir tiap-tiap individu—dan persoalan personal.
“Das Kriterium der Wahrheit lieght in der Steigerung des Machtgefuls” (Nietzsche, Nietzsches Werke XXVI, 45)
Saya berterima kasih kepada Dr. A. Setyo Wibowo, dosen pengajar mata kuliah Gaya Filsafat Nietzsche pada Program Pasca Sarjana STF Driyarkara, yang telah memberi banyak masukan (dalam seri kuliahnya) bagi pengembangan tulisan ini. 2 Saat ini masih menyelesaikan studi master di bidang filsafat di STF Driyarkara Jakarta. 3 D’ou venons-nous? Qui sommes-nous? Ou allons-nous? Dari mana kita? siapa kita? dan akan kemana kita? Adalah pertanyaan yang menjadi cikal bakal lukisannya. Lihat berita selengkapnya di http://www.gauguin.org/where-do-wecome-from-what-are-we.jsp. 1
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 14
4/24/2014 8:39:44 AM
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
Sama seperti Nietzsche yang menganjurkan kita untuk mengenal diri kita lebih dalam4, Gauguin seakan juga ingin mengajak kita berefleksi untuk mengenal diri kita, dan meneguhkan “iman” kita, agar kita tahu apa tujuan hidup kita dan tahu kemana kita akan melangkahkan kaki ini agar tidak terjerumus pada hidup yang dekaden dan terserak. Akhir-akhir ini, marak dijumpai persoalan pluralisme di Indonesia, mulai dari perselisihan antar agama hingga perang suku. Bhinneka Tunggal Ika yang diyakini menjadi “kekuatan” nasionalpun harus bungkam, ia telah menutup mulutnya. Ia tidak lagi mau bersaksi ataupun menjelaskan apa maksud dari kebinekaannya itu. Dapat dikatakan bahwa Pancasila kita tinggal wacana kebangsaan yang abu abu, tak jelas juntrungannya. Alih-alih sebagai alat pemersatu bangsa, ideologi semacam itu malah menjadi doktrin untuk semakin menyengsarakan rakyat. Pemerintah seakan tak lagi peduli dengan nasib bangsanya. Hal itu dapat kita lihat dari minimnya usaha pemerintah dalam mengatasi persoalan kemanusiaan di negeri ini. Perlahan namun pasti, negeri ini terjangkit krisis moral akut: di sana-sini, orang sibuk dengan Blackberry, I-phone, I-pad, dan Apple-nya, namun mereka juga semakin cuek dengan realita kehidupan, tak peduli lagi dengan apa yang telah terjadi dengan keadaan sekitar. Setidaknya dalam lima tahun belakangan ini, peristiwa demi peristiwa “tak bermoral” pun marak terjadi, mulai dari teror bom buku, “perampokan” uang nasabah Citybank, kasus korupsi Ratu
YOGIE PRANOWO
15
Atut, hingga kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh Sitok Srengenge5 terhadap mahasiswi jurusan Sastra Jerman Universitas Indonesia menjadi bukti kemerosotan moral bangsa ini. Persoalan demi persoalan yang terjadi membuat rakyat gelisah. Rakyat merasa tak nyaman hidup di Indonesia. Perlahan namun pasti, banyak pihak baik individu maupun kelompok yang mulai mempertanyakan eksistensi bangsa ini dari ber bagai tempat, dan dengan kepentingan yang berbeda-beda pula. Sebenarnya ada apa dengan Indonesia? Siapa yang harus bertanggungjawab atas situasi kaos ini? Apakah Presiden beserta jajarannya atau masyarakat yang harus bertanggungjawab? Kegelisahan dan ketaknyamanan ini membuat rakyat bingung untuk percaya kepada siapa (lagi), rakyat menjadi bingung untuk memilih, sebab tak ada yang dapat menjamin secara pasti bahwa kehidupan rakyat Indonesia di masa mendatang akan jauh lebih baik dari sekarang. Apalagi kalau kita melihat sikap, dan tindak-tanduk para calon presiden dan wakilnya (entah dari partai politik manapun), seperti tak ada perbedaan. Parpol di Indonesia tampaknya tak punya sikap tegas, dan cen derung kekanak-kanakan. Semua tampak sama saja, baik partai X, partai Y, maupun partai Z, seperti tidak ada bedanya. Mereka semua sepakat mengatasnamakan rakyat, membela rakyat, pro rakyat, dan intinya embel-embel rakyat adalah harga mati untuk sebuah propaganda parpol (yang sebenar nya hanya sebuah kamuflase belaka). Inilah yang tampak dalam peta perpolitikan
“Kita bisa mengikuti langkah-langkah nietzschean justru ketika kita menjadi diri kita sendiri. Personalitas pengalaman nietzschean tidak bisa dipahami dari luar –seolah-olah menjadi pengamat yang membedah korpus nietzschean. Ia justru bisa dipahami manakala kita sendiri memahami pengalaman personal kita.” Setidaknya dalam kata pengantar buku Gaya Filsafat Nietzsche yang diuraikan oleh Sindhunata digunakan istilah Gnosi se auton yang bermakna: kenali dirimu sendiri! Lihat Wibowo, 2004 : xi. 5 Sitok Srengenge adalah seorang kurator seni di komunitas Salihara Jakarta. 4
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 15
4/24/2014 8:39:44 AM
16
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
bangsa kita dewasa ini. Tidak seperti di negara-negara maju, dengan dua atau tiga partai besar dimana posisi masing-masing partainya berbeda. Kebijakan dan sikap yang ditawarkanpun oleh partai tersebut juga jelas alias tidak hanya samar-samar berlindung di balik kata rakyat belaka. De ngan begitu, rakyat macam apa yang me reka perjuangkan pun menjadi jelas pula. Masyarakat tidak begitu dibingungkan. Mereka dapat melihat dengan jelas posisi partai mana yang lebih sesuai dengan aspirasi mereka, itulah partai yang mereka pilih. Berbeda jauh dengan di Indonesia, dengan banyaknya partai, bukan semakin jelas posisi dan sikap mereka, malah sebaliknya, semakin tidak dapat dibedakan, semakin tidak jelas.6 Sejak awal Februari 2014, kita sudah dapat menemukan pelbagai atribut partai yang menghiasi jalan-jalan kota besar di Indonesia. Mata kita “dipaksa” untuk melihat gemerlapnya iklan-iklan para kandidat calon presiden tersebut. Mereka mengobral janji! Namun apakah janji mereka dapat dipertanggungjawabkan nantinya dan bernilai objektif? Atau itu semua hanya klise untuk mewujudkan ambisi mereka pada Pemilu 2014 mendatang? Mengenai hal itu, saya ingin mencoba mengangkat kembali pemikiran seorang filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche lewat genealogi moralnya yang berlandaskan argumentum ad hominem. Sebab lewat pemikirannya, (seakan) ia ingin menasehati kita para calon penyoblos di Pemilu 2014 mendatang agar mampu menilai seseorang dengan tepat lewat metode yang ia usulkan. Jika istilah ad hominem biasanya kita dengar sebagai salah satu jenis dari kerancuan berfikir, Nietzsche akan
6
VOL II, 2014
berkata lain, bahwa argumentum ad hominem sesungghnya memiliki peran sentral dalam genealogi moralnya, yakni sebagai metode untuk mendiagnosis pandangan kita ter hadap realitas secara lebih mendalam. Nietzsche menggunakan argumen ad hominem untuk menelanjangi apa yang diterima orang begitu saja sebagai kebenar an dan moralitas. Caranya menelanjangi berbagai konsep kebenaran dan moralitas suatu pemikir adalah dengan mencari relasi esensial antara pikiran atau ide dengan pemikir bersangkutan. Cara menelanjangi berbagai konsep moralitas seperti inilah yang membenarkan argumen ad hominem (Solomon, 1996: 193). Baginya, kualitas atau nilai dari suatu pemikiran misalnya paham moralitas tergantung pada manusia bersangkutan dan konteks dimana nilai atau kualitas itu terbentuk. Kontekstualitas argumen ad hominem ini bisa kita temukan setidak-tidaknya pada dua ranah kehidup an praktis, yakni ranah profesional dan ranah kehidupan sehari-hari. Pada ranah profesional, kita biasanya mengakui dan menerima begitu saja kapasitas profesi yang dimiliki seseorang lewat gelar yang ia sandang, atau lewat sertifikat yang ia punya. Keahlian, sertifikasi, peng akuan internasional, merupakan beberapa contoh pengandaian yang berlaku di ranah profesional, dan yang pada akhirnya mendudukkan orang yang memegang keahlian tersebut pada suatu posisi atau profesi tertentu. Argumen ad hominem persis melakukan investigasi terhadap pengandaian tersebut, yakni dengan menilik objektivitas, atau semacam prinsip bebas nilai yang diterapkan dengan sumpah atau janji, serta diawasi oleh pranata kode etik posisi atau profesi itu. Argumen ad hominem menilik
Bdk. dengan sebuah ulasan menarik mengenai sikap para parpol di Indonesia yang ditulis di salah satu blog alumnus STF Driyarkara, yang saat ini sedang mengenyam pendidikan di Roma, Italy. http://nikolaskristiyantosj.wordpress.com/2012/08/19/parpol-butuh-sikap.
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 16
4/24/2014 8:39:44 AM
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
dasar pengandaian tersebut bukan pada sumber pengetahuannya, melainkan pada kaitan antara keahlian dengan pegangan ideologinya. Argumentum Ad hominem dan Genealogi Argumen ad hominem7 merupakan metode yang sering digunakan dalam kehidupan bersama terlebih dalam berbagai dialog ataupun debat. Bukan hal yang baru ketika masyarakat melihat (setidaknya di televisi) bagaimana antara satu calon pemimpin/ politisi dengan yang lainnya saling menye rang dengan menggunakan argumen ad hominem. Banyak hal yang bisa dikaitkan sebagai senjata, misalnya saja, membawa-bawa ras, agama, cara kerja masa lalu musuh-politik bersangkutan hingga kredibilitas partai tempat sang lawan tersebut bernaung.8 Sementara berbagai ide atau visi yang dilemparkan terkait kesejahtera an rakyat tidaklah diperhitungkan bahkan tidak ditanggapi oleh pihak lawan. Adapun tujuan penggunaan argumen ad hominem yang dipakai tersebut adalah untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa sang lawan bukanlah pribadi yang benarbenar sempurna dan layak memangku jabatan pemimpin. Lalu, sebenarnya apakah layak argumen ad hominem ini digunakan dalam
YOGIE PRANOWO
17
perdebatan? Kita bisa saja dengan cepat langsung mengatakan bahwa argumen ad hominem tidak tepat karena ketika seseorang menjadi seorang pemimpin, sudah seharusnyalah ia memiliki ide atau visi yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat, dan tidak hanya berdasarkan latar belakang ras ataupun agamanya saja. Namun, argumen ad hominem tidak sertamerta secara universal dapat dikatakan keliru. Argumen ad hominem sah saja digunakan dalam kasus-kasus tertentu. Mi salnya, pada kasus persidangan yang di dalamnya saksi yang memberi kesaksian kemudian “diserang” dengan pertanyaanpertanyaan yang tidak ada kaitannya de ngan kasus melainkan lebih mengarah kepada kehidupan saksi tersebut. Hal itu bisa saja dilakukan mengingat bahwa saksi bisa jadi dibayar untuk tidak mengatakan yang sebenarnya sehingga objektifitas dari ke saksiannya dipertanyakan. Jadi penekanan argumen ad hominem adalah membongkar hingga ke kedalaman sehingga apa yang dianggap kebenaran benar-benar ditelanjangi, dan dianalisis kemurnian atau objektivitasnya. Dengan strategi ad hominem, sebenarnya Nietzsche menampilkan diri sebagai seorang pemikir yang menaruh curiga pada setiap pernyataan dogmatis, yaitu pernyataan yang menetapkan konsep dan
Istilah ad hominem setidaknya oleh sebagian besar orang dikenal pertama kali dalam kelas-kelas logika. Memang benar bahwa ad hominem masuk dalam ranah logika, terutama dalam “kelompok” kerancuan berfikir. Dalam buku Pengantar Logika yang ditulis Arief Sidharta, dikemukakan bahwa argumentum ad hominem adalah bagian dari kerancuan relevansi. Lebih lanjut, Sidharta, yang mengutip Irving Copi, menjelaskan bahwa dalam kerancuan relevansi terdapat sepuluh jenis kerancuan, salah satunya adalah argumentum ad hominem. “Kerancuan ini (argumentum ad hominem) terjadi jika suatu argumen diarahkan untuk menyerang pribadi orangnya, khususnya dengan menunjukkan kelemahan atau kejelekan orang yang bersangkutan, dan tidak berusaha secara rasional membuktikan bahwa apa yang dikemukakan orang yang diserang itu salah”. Lihat. Sidharta, 2010: 60. 8 Sebagai contoh, dalam majalah Indonesia 2014 no. 6, volume 1, tahun 2013, tertulis: “Dua tahun lalu, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo dengan enteng menghinanya sebagai walikota (ndeso) yang bodoh karena menolak pembangunan mal di Solo […] Politisi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul pun menghinanya dengan sindiran ‘mana bisa tukang mebel jadi capres’”. Dari ungkapan tersebut, Jokowi terlihat diserang dengan menggunakan ad hominem, karena serangannya diarahkan kepada orang yang bersangkutan, bukan kepada argumentasinya. 7
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 17
4/24/2014 8:39:44 AM
18
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
teori tertentu untuk berlaku secara pasti dan universal. Selain itu, ia juga mengarahkan perhatiannya pada kecenderungan moral seseorang yang terwujud dalam kebajikan serta kecacatan moralnya. Kecurigaan Nietzsche tersebut dapat dipahami sebagai semacam diagnosis. Maksudnya, Nietzsche mendiagnosis berbagai bentuk acuan nilai dan mengungkapkan apa yang sesungguhnya menjadi pendorong orang untuk mematuhi atau melaksanakan nilai tersebut. Diagnosis Nietzsche ini bersifat spekulatif, dan cara kerjanya adalah melalui penerap an argumen ad hominem (Solomon, 2003: 99). Argumen ad hominem itu sendiri merupakan dasar dari genealogi moral. Artinya dengan menggunakan metode ad hominem sebenarnya Nietzsche ingin membongkar apa yang di fixed-kan begitu saja, baik oleh tradisi, maupun oleh ajaran agama. De ngan demikian ia ingin mencari sesuatu nilai yang lebih mendalam dari suatu realitas. Genealogi itu sendiri bagi Nietzsche adalah pertanyaan tentang apa yang kumaui sesungguhnya saat aku menghendaki sesuatu. Apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh kehendak, itulah yang dilacak dan dicari. Isi pemikiran filosofis, isi doktrin, dan metode saintifik digunakan hanya sebagai symptom. Persoalan yang diajukan oleh genealogi bukanlah kebenaran atau kesalahan doktrin ideal, melainkan persoalan tersebut hanya diperlakukan sebagai symptom untuk diselidiki oleh sang fisiopsikolog (Setyo Wibowo, 2004: 171). Lebih lanjut lagi, Nietzsche mengatakan bahwa terhadap apapun yang di fixed kan, hal tersebut akan didiagnosis ke kebertubuhan pemikir, ke soal bagaimana mekanisme penghendakan si pemikir bekerja. Metode ini mengarahkan bukan pada argumentasi
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 18
VOL II, 2014
rasional, tetapi mencari mengapa pemikir an seperti itu dikehendaki, dimaui, dan dipercayai (Setyo Wibowo, 2004: 172). Genealogi juga merupakan sebuah proyek untuk mencari asal-usul dari nilainilai. Hal ini diangkat oleh Nietzsche berdasarkan ketidaksetujuannya terhadap pandangan tradisional yang menganggap bahwa nilai-nilai memiliki kebenaran pada dirinya sendiri terlepas dari campur tangan manusia. Penelusuran historis terhadapnya mau menghalau asumsi-asumsi metafisis, sambil berpaling kepada situasi real terbentuknya nilai-nilai tersebut. Studi sejarah moralitas pada zaman Nietzsche sebenarnya sudah dimulai oleh Paul Ree. Akan tetapi, Nietzsche tidak setuju dengan pandangannya karena masih memuat asumsi-asumsi kebenaran final. Sejarah yang dimaksudkan Ree masih bercampur dengan teori evolusi Darwin yang mau menunjukkan alur maju sejarah perkembangan manusia. Hal ini ingin ditolak oleh Nietzsche. Ree memang menyusun sebuah “sejarah moralitas” namun sejarah yang dimaksud masih berkutat dengan spekulasi metafisis bahwa ada perkembangan linear menuju suatu tujuan tertentu seperti dalam teori evolusi. Apa yang ditawarkan oleh genealogi adalah sejarah yang berwarna ‘abu-abu’—tanpa cerita-cerita romantik perkembangan manusia, yang berkutat dengan “teks hieroglif panjang, yang sulit dipecahkan, dari masa lalu moralitas manusia”—inilah yang tidak dimiliki oleh Ree. Artinya, jika kita mau jujur mempelajari sejarah—dokumen-dokumen masa lalu, kita akan menemukan kompleksitas dan keterpecahan situasi-situasi dan kejadian-kejadian yang membentuk moralitas, yang tidak akan bisa kita kerangkakan ke
4/24/2014 8:39:44 AM
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
dalam sebuah alur yang rapi seperti teori evolusi. Inilah yang ingin ditunjukkan oleh genealogi: sejarah digunakan oleh genealog justru untuk mengungkap bahwa moralitas tidak punya “asal-muasal” (origin) yang utuh.9 Genealogi memang sebuah usaha untuk membongkar asumsi-asumsi mengenai nilai dalam pandangan tradisional serta memberi alternatif tafsiran yang baru. Namun, untuk mencapai hal itu orang tidak hanya berspekulasi saja, mengkritik sana-sini tanpa rujukan yang jelas. Sebaliknya, untuk mencapai kritik semacam itu seorang genealog harus terlebih dahulu mencemplungkan diri di antara tumpukan dokumen/ arsip-arsip sejarah; mengumpulkan berbagai macam sumber dari mana saja, mempelajarinya dengan teliti untuk kemudian menjadikannya alat membongkar asumsi-asumsi tradisional. Genealogi, seperti dikatakan Nietzsche dalam “Genealogy of Morals” pada bagian pengantar paragraf dua, adalah sebuah usaha untuk mencari asal-usul dari nilai-nilai (Nietzsche, 1956: 150). Namun, asal-usul seperti apa yang dimaksud? Berhadapan dengan dokumen-dokumen sejarah yang menunjukkan kompleksitas kejadiankejadian, penyimpangan-penyimpangan, dan kesalahan-kesalahan, seorang genealog tidak akan berpretensi untuk memperbaiki susunan tak beraturan ini dan menyusunnya dalam sebuah skema rapi. Sebaliknya
9
YOGIE PRANOWO
19
dengan dokumen-dokumen tersebut, ia akan menunjukkan bahwa apa yang ada di balik nilai-nilai yang kita pegang selama ini ternyata lahir dari segala macam kompleksitas kejadian-kejadian seperti itu, dan de ngan begitu punya asal-usul timpang yang dengannya tidak dapat lagi orang berkata bahwa nilai itu punya keluhuran yang intrinsik di dalamnya. Di sinilah letak peran dari argumentum ad hominem yang diguna kan Nietzsche. Argumentum ad hominem digunakan bukan dalam rangka menjelaskan kerancuan relevansi atau kesalahan berfikir, namun dalam rangka ingin menunjukkan sesuatu yang sungguh real, sesuatu yang melampaui, dan sesuatu yang bagi para genealog penting, yakni melihat/mendiagnosis gejala yang nampak dari tindakan agar akhirnya manusia atau kita dapat mengetahui realitas seada-adanya. Nietzsche menolak realitas yang seringkali ditujukan berada di balik dunia senyatanya, yang menurut Plato adalah ide, menurut Descartes adalah kesadaran, atau bagi Kant adalah das ding an sich. Bagi Nietzsche, realitas yang ada itu adalah realitas seada-adanya. Dalam hal ini, terlihat bahwa Nietzsche tidak ingin melihat terlalu jauh. Baginya, justru dengan melihat ke kejauhan ke dunia di sebrang sana, manusia seringkali lupa akan apa yang ada di sampingnya. Nietzsche ingin menunjukkan bahwa manusia seringkali ingin mem-
Pandangan mengenai genealogi Nietzsche ini pada akhirnya dikritik dan dilampaui oleh Foucault. Apa yang dipahami Foucault sebagai genealogi dalam banyak hal masih sejalan dengan Nietzsche, yaitu dalam hal konsep dasar dari genealogi sebagai sebuah usaha, dengan memakai sejarah, mengungkap asal-usul nilai-nilai yang akan membongkar asumsi finalitas. Namun, persis di sini juga terlihat perbedaan, bahwa Foucault menyerukan kematian subjek sementara Nietzsche tidak sampai se-ekstrem itu. Titik perbedaan lainnya adalah bahwa genealogi Foucault dipraktekkan di dalam sebuah disiplin studi yang ketat, bergumul dengan dokumen-dokumen sejarah, dan menuliskan fakta-fakta yang detail, sementara pada Nietzsche tidak. Dapat terlihat bahwa Foucault mengekstrimkan Nietzsche.“Genealogy does not oppose itself to history as the lofty and profound gaze of the philosopher might compare to the molelike perspective of the scholar; on the contrary, it rejects the metahistorical deployment of ideal significations and indefinite teleologies. It opposes itself to the search for ‘origins’.” Bdk. Foucault, 1998: 370.
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 19
4/24/2014 8:39:44 AM
20
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
buat fiksi tentang dunia yang lebih nyata dari kenyataan. Bagi Nietzsche, cogito, das ding an sich, dan roh absolut hanyalah kha yalan belaka (Wibowo, 2004: 112). Realitas seada-adanya itu bagi Nietzsche memiliki sifat kontradiktif, ambigu, kaos, juga benar dan salah10. Namun ia tidak berhenti disitu saja. Ia tentu saja berusaha untuk memahami realitas seadaadanya itu melalui kata. Dan pada saat bersamaaan, ia sadar mengenai keterbatasan kata itu sendiri. Walaupun demikian, ia tetap menggunakan kata, namun tidak berujung pada fiksasi sebuah idea atau konsep. Baginya, lewat kata yang ada, pemikiran dapat membuat kita paham atas apa yang lebih luas lagi (Wibowo, 2004: 236). Nietzsche beranggapan bahwa realitas bersifat kaotik dan konsep-konsep tentangnya selalu merupakan merupakan pengkata-an terlambat dalam usaha meng-kosmos-kan kaos tersebut. Realita yang kaotik ini membuat orang terserak-serak: terlempar dari satu situasi ke situasi lain, merasakan denyut-denyut hasrat yang tidak beraturan di dalam dirinya dan sebagainya. Manusia tidak akan tahan hidup di dalam realita yang membuatnya terserak seperti ini. Maka, dari dalam dirinya selalu ada kompleksitas kehendak yang bekerja untuk mengomando dirinya sendiri, keluar dari situasi keterpecahan menuju keutuhan. Namun, kehendak selalu dapat dibedakan antara yang kuat dan yang loyo. Genealogi adalah suatu usaha untuk mengungkap kehendak di balik setiap moralitas; apa yang terungkap bukan masalah benar-salahnya moralitas tersebut, melainkan kualitas ke hendak yang menghendakinya. Morali tas yang di-fixed-kan, diberi sifat ilahi,
10
VOL II, 2014
dan diluhurkan hanya menunjukkan sifat loyo dari kehendak seseorang. Genealogi akan memperlihatkan bahwa berhadapan dengan realitas yang kaotik, orang tersebut tidak mampu mengukuhkan dirinya sendiri sehingga memilih untuk mencari pegangan di luar dirinya yang dengannya ia merasa utuh. Hasilnya adalah moralitasbudak, yaitu moralitas yang di dalamnya orang memberikan diri tunduk kepada otoritas konsep-konsep atau nilai di luar dirinya. Apa yang akhirnya tampak melalui genealogi adalah bahwa di balik nilainilai yang dianggap luhur, punya esensi, tetap, dan sebagainya ternyata merupakan produk dari apa yang terpecah-pecah. Moralitas bermula dari respon orang terhadap realita yang kacau. Kalau ada asalmula, asal-mula tersebut bersifat kaotik dan penuh kesalahan. Patut diperhatikan disini bahwa konsep ‘realita sebagai yang kaotik’ dalam pemikiran Nietzsche harus dimengerti sebagai peng-kata-an terlambat dari realita. Nietzsche tidak bermaksud mengungkap realita pada dirinya atau mengakomodasi keseluruhan realita di dalam kata ‘kaotik’. ‘Realita kaotik’ hanyalah perkataan sementara yang tidak berpretensi menemukan sebuah kebenaran akhir. Perkataan ini tidak dimaksudkan untuk menangkap realita yang tidak terkatakan, yang sudah mendahului kata ‘realita kaotik’ itu sendiri. Peran Tubuh bagi Pemikiran Nietzsche sering mengklaim dirinya sebagai seorang psikolog (Solomon, 1996: 180), yang seringkali tidak ditanggapi secara serius oleh para filsuf. Apabila filsuf menyatakan dengan tegas tentang kebenaran dari suatu
Bdk. Wibowo, 2004: 111, 114.
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 20
4/24/2014 8:39:45 AM
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
hal yang dipercayai, maka para psikolog lebih tertarik kenapa seseorang memercayai sesuatu. Seorang psikolog lebih cenderung memeriksa mengapa seseorang berpegang atau percaya pada ‘kebenaran-khusus’ sedangkan seorang filsuf memeriksa apa ‘kebenaran’ itu. Nietzsche sendiri mengatakan bahwa psikologi-lah jalan menuju problem yang fundamental. Namun psikologi yang dimaksudkan Nietzsche bukanlah seperti pemahaman psikologi modern (yang pada umumnya). Psikologi bagi Nietzsche bukan berhubungan dengan kisah atau cerita tentang ‘pikiran. Psikologi bagi Nietzsche berhubungan dengan tubuh, tentang pembentukan diri melalui praktek (dinamika) sosial beserta pengarahnya. Apabila doktrin filosofis menyajikan keuniversalan dan keniscayaan, maka ana lisis psikologis pastilah tetap akan terikat pada kontingensi partikular dari kerpibadi an atau diri seseorang. Hal tersebut bisa terlihat pada serangan Nietzsche ter hadap Sokrates dimana ia malah mengejek Sokrates sebagai si miskin yang buruk rupa atau menyebut Kant sebagai dekadensi Jerman. Nietzsche memandang dirinya sendiri sebagai pakar diagnostik, dan filsafatnya sendiri terdiri dari begitu banyak diagnosis spekulatif, mengenai kebijaksanaan mau pun sifat buruk dari mereka yang bukunya dia baca. Argumentum ad hominem yang digunakan oleh Nietzsche tidaklah sebegitu telak membuktikan kesalahan dengan terkadang bertitik tolak dari emosi pathetic. Nietzsche melakukan refleksi, dan spekulasi tentang motif dan emosi tersembunyi yang menggerakkan orang-orang tentang “moral” dan secara dogmatis membela berbagai kepercayaan. Dia ingin memahami apa yang disebutnya sebagai “kehendak akan kebenaran” dan dia ingin merambah ke sifat asli dari sentimen prasangka tersebut sebagai belas kasih, kesalehan, dan terutama sekali apa yang terjadi dengan “cin-
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 21
YOGIE PRANOWO
21
ta”. Di atas itu semua, dia ingin melacak perubahan dari serangkaian kemunafik an yang khas serta tersembunyi namun membahayakan dari emosi-emosi yang memungkinkan munculnya sesuatu yang kemudian kita sebut sebagai “moralitas”, khususnya “ressentiment” beserta prinsip, dan prasangka moralnya yang berjangkauan jauh. Nietzsche juga merupakan seorang pemikir yang berusaha membawa kembali peran penting tubuh bagi pemikiran. Ia tidak setuju dengan pandangan bahwa pemikiran adalah sesuatu yang dapat lepas sama sekali dari tubuh. Pemikiran tidak hanya keluar dari roh atau jiwa manusia, melainkan dari seluruh kebertubuhan manusia itu sendiri, dari darah dan dagingnya. Nietzsche melawan setiap pemikiran dualistik tentang manusia yang memperlawankan tubuh dan jiwa. Baginya, tubuh adalah pemikiran dan tidak ada pemikiran yang tidak bertubuh (Wibowo, 2004: 43-44). Doktrin bahwa ada pemikiran yang terlepas dari kebertubuhan hanyalah merupakan pelarian seorang pemikir dari realita kebertubuhan yang penuh dengan impulsimpuls, keresahan-keresahan, hasrat, dan instabilitas yang sulit dikendalikan. Hal ini hanya akan menunjukkan keloyoan kehendak sang pemikir yang tidak berani berhadapan dengan realitas yang kaotik. Dengan buah pemikiran yang mereka anggap terlepas dari tubuh: esensi, sifat tetap, keluhuran, dan sebagainya. Mereka dapat merasa lebih nyaman, sebab realita mereka percayai sebagai suatu keteraturan. Apa yang ditunjukkan dari hal itu adalah bahwa pemikiran yang mencari esensi tetap hanyalah ilusi akibat kesalahpahaman me reka atas tubuh; “jangan-jangan semua filsafat sampai saat itu hanyalah sebuah eksegesis terhadap tubuh dan kesalahpahaman terhadap tubuh.” Menurut Nietzsche selu-
4/24/2014 8:39:45 AM
22
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
VOL II, 2014
ruh filsafat, etika, sains, atau pandangan yang sama di balik layar. Perjanjian damai apapun yang berpretensi menemukan ke- selalu saja terancam oleh kekuatan baru yang ingin meruntuhkannya. Nietzsche, benaran akhir. masih mengandaikan adanya pemberian “[…] apakah bukan penyakit yang mengilhastyle atau gaya pada realitas yang menganmi si filsuf. Kebutuhan fisik yang disamarkan daikan secara niscaya sebuah diri-seniman dengan topeng objektivitas, ide, intelek murni, atau subjek yang utuh (Wibowo, 2004: 253). bisa mengambil bentuk yang mengerikan— Di dalam pemikiran Nietzsche kita tidak dan setelah saya menghitung ini semua, saya hanya mengenal manusia dekaden, yang sendiri sering bertanya pada diri saya sendiri, terjerat di dalam permainan kekuasaan jangan-jangan semua filsafat sampai saat itu hanyalah sebuah eksegesis terhadap tubuh otoritas di luar dirinya. Kita juga mengenal dan kesalahpahaman terhadap tubuh.” (Nietzmanusia menaik, yang dengan kreativische, 2003) tas mengolah kaos di dalam dirinya menjadi kosmos tanpa terjebak di dalam ide Kutipan di atas ada dalam konteks fix. Hal ini mengandaikan adanya subjek membahas hubungan sakit dengan pe- “hidup”—yang lahir dari kompleksitas mikiran bahwa penyakit yang tidak diha- penguasaan dorongan kaos—yang tidak dapi secara waspada dapat membuat orang tunduk atau bergantung kepada kekuatan mengambil reaksi yang naif, yaitu lari ke- di luar dirinya, sebaliknya mampu meme pada pemikiran-pemikiran final. Dengan rintah dan mengukuhkan dirinya sendiri. ini genealogi menolak analisis pemikiran Nietzsche tidak memaksudkan kata yang melulu hanya berkutat pada soal dan konsep ‘kehendak’ dapat mengakobagaimana satu pemikiran kontras dengan modasi keseluruhan kedalaman realita. pemikiran lain atau bagaimana rasionali- ‘Kehendak Kuasa’ hanyalah peng-kata-an tas dari suatu sistem nilai. Genealogi akan terlambat dari realita yang tidak bisa bemengungkap relasi pemikiran seseorang gitu saja disingkap sepenuhnya. Di dalam dengan tubuhnya; pemikiran adalah ha- Nietzsche dibedakan realitas sebagai kesil dari bagaimana orang menanggapi ke- dalam-an dan realitas pada permukaan. adaan tubuhnya yang penuh instabilitas Peng-kata-an atau konsep-konsep kita dan keterserakan. Teori tradisional berang- mengenai realita hanyalah menyentuh gapan bahwa sebuah ide dapat ditegakkan permukaan realita, tetapi tidak pernah oleh suatu oknum karena memang sejak merengkuh ke-dalam-annya. Maka, pada awal oknum tersebut hendak memper- pemikiran Nietzsche selalu masih diberijuangkan sebuah tujuan. Penjara, misalnya, kan ruang bagi ke-dalam-an realita yang dibuat agar mendatangkan efek jera. Gene- tidak dapat disingkap begitu saja. Realitas alogi akan curiga dengan pemahaman se adalah kedua-duanya: ke-dalam-an dan perti ini. Genealogi akan menyingkapkan permukaan. bahwa apa yang mendorong munculnya ide-ide bukanlah suatu tujuan rasional meMoralitas dalam Perspektif Nietzschean lainkan permainan dominasi/ kekuasaan. Apa yang genalogi tunjukkan malah Lewat penggunaan argumen ad hominem, bahwa perjanjian damai itu sendiri adalah Nietzsche ingin kita melihat melampaui wujud dari dominasi yang sedang menang. permukaan moralitas tradisional untuk Dominasi lain tidak akan berhenti dan te masuk ke dalam perkembangan historus membayangi dan mengulangi adegan ris dan manusia aktual dibalik moralitas
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 22
4/24/2014 8:39:45 AM
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
tersebut (Solomon, 1996: 187). Apa yang dianggap benar secara moral tergantung pada konteks seperti bagaimana pandang an seseorang, budaya, dan pengalaman baik dalam keluarga, teman, kelas dalam masyarakat serta posisi finansial seseorang (Solomon, 1996: 195). Pandangan moralitas Nietzsche yang seperti ini sangat terkait dengan pandangan perspektivisme yakni, bahwa seseorang selalu mengetahui atau berpikir tentang sesuatu dari perspektif tertentu saja (Solomon, 1996: 195). Dari sinilah kita bisa melihat bagaimana bangunan moralitas Nietzsche juga terkait dengan perspektivisme. Lantas pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana menjelaskan posisi kebenaran seturut kerangka perspektivisme dalam pandangan moralitas Nietzsche? Pandangan moralitas Nietzsche yang lekat dengan perspektivisme melahirkan pertanyaan mengenai apakah ada kebenaran dalam dirinya sendiri? Perspektivisme jika tidak dibawa hati-hati dapat melahirkan kesalahan interpretasi sehingga jatuh pada relativisme. Ada dua kesalah an yang mungkin muncul yakni; pertama, anggapan bahwa interpretasi tidak memiliki dasar dan perspektif yang satu dengan lainnya tidak bisa dibandingkan. Kedua, perspektivisme tidak memiliki dasar darimana suatu perspektif tidak bisa di evalua si kebenarannya (Solomon, 1996: 196). Dengan kata lain, setiap pemikiran tidak bisa dievaluasi kebenarannya karena tidak memiliki dasar dan tidak bisa dibandingkan satu sama lain. Anggapan ini tentulah tidak tepat karena suatu perspektif selalu merupakan perspektif akan sesuatu. Sa ngat mustahil jika kita berbicara mengenai perspektif dari sesuatu tanpa melibatkan perbandingan perspektif dalam kaitannya dengan “sesuatu” tersebut. (Solomon, 1996: 196). Lalu bagaimana dengan kebenaran atau fakta itu sendiri? Jawabannya
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 23
YOGIE PRANOWO
23
bisa ditemukan dalam karyanya “Beyond Good and Evil” di mana ia mengklaim bahwa tidak ada fakta-fakta, yang ada adalah interpretasi. (Solomon, 1996: 196). Kebenaran terkait perspektivisme dalam filsafat Nietzsche ini harus dilihat dalam konteks moralitas yang dibangunnya. Nietzsche membedakan dua jenis moralitas yakni; moralitas tuan dan moralitas budak yang diperkenalkannya lewat genealogi moral yang tak lain adalah penyingkapan kedok nafsu-nafsu, berbagai kebutuhan, ketakutan, dan harapan yang terungkap dalam sebuah pandangan moralitas (Hardiman, 2011: 232). Baik kebenaran maupun moralitas yang berkembang dalam masyarakat adalah hasil bentukan dari kepribadian sang pemikir dan konteks kehidupannya. Dalam moralitas tuan, moral merupakan ungkapan hormat dan penghargaan terhadap diri mereka sendiri. Mereka sa ngat yakin bahwa apa yang dikerjakan adalah baik dalam arti “ningrat” namun tidak mengatakan bahwa moralitasnya berlaku universal (Hardiman, 2011: 232). Bagi para tuan, yang menjadi persoalan bukanlah baik atau jahat melainkan apakah tindakan tersebut merupakan tindakan “ningrat” atau rendah. Berbeda dengan moralitas kaum tuan, kaum budak sangat terobsesi dengan persoalan yang melibatkan ka tegori jahat dan keutamaannya (Solomon, 1996: 206). Dengan kata lain, suatu tindak an dilihat mereka dalam kerangka baik atau jahat. Salah satu contoh menarik yang diberikan Nietzsche terhadap jenis moralitas ini adalah perumpamaannya me ngenai domba dan elang. Dalam perumpamaan tersebut, para domba merasa sangat marah kepada elang yang selalu menukik dan berusaha untuk mengambil salah satu domba. Kemarahan para domba tidak bi sa dilampiaskan kepada elang karena mereka tidak mempunyai kemampuan
4/24/2014 8:39:45 AM
24
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
untuk melawan elang. Para domba yang membenci elang kemudian membentuk suatu pemikiran yakni elang merupakan makhluk yang jahat dan domba sebagai korban adalah yang baik. Berbeda dengan domba, sang elang justru sangat menyukai domba. Elang mencintai daging domba sehingga tidak ada alasan untuk membenci domba-domba itu.11 Cerita tersebut menggambarkan bagaimana Nietszche melihat moralitas di zamannya seperti layaknya para domba. Domba-domba tersebut tidak bisa menguasai elang dan dalam kemarahannya yang tak disertai kemampuan untuk membalas, para domba kemudian ber usaha menguasai elang dalam dunia nilai dimana elang dikategorikan sebagai “yang jahat”. Moralitas domba inilah yang disebut Nietszche sebagai moralitas kaum budak. Moralitas ini menuntut adanya suatu universalitas moral yang menguntungkan para kaum tertindas. Dengan membentuk dalam pikirannya bahwa kaum tuan adalah “jahat” maka setiap kualitas dan tindakan dari kaum tuan pun dijungkirbalikan. Segala kualitas baik yang dimiliki kaum tuan yakni, kedaulatan diri, kekuasaan, dan keningratan dibenci dan diganti oleh kualitas seperti, simpati, kelemahlembutan, kerendahan hati. (Hardiman, 2011: 233). Moralitas budak inilah yang dipertahankan oleh kebudayaan barat. Dengan demikian, moralitas budak dibentuk bukan oleh kumpulan persoalan sosial melainkan oleh kondisi pathetic dari pikiran, yang merupakan kumpulan emosi-emosi reaktif. (Solomon, 2006: 207). Emosi reaktif menunjukkan bahwa kaum budak tidaklah bertindak dari diri sendiri melainkan menunggu atau tergantung pada aksi dari luar. Apa yang mendorong
11
VOL II, 2014
moralitas kaum budak ini? Bagi Nietzsche, dorongan kuat terciptanya moralitas kaum muda adalah rasa benci yang tidak bisa disalurkan lewat tindakan (ressentiment). Menurut Nietzsche, rasa benci ini me rupakan emosi yang buruk dimana bagi kaum tuan, emosi seperti ini tidak ada dan tidak dapat dirasakan oleh mereka (Solomon, 2006: 210). Emosi kebencian yang dipendam oleh kaum budak ini suatu saat meledak menjadi kekuatan yang besar untuk mengalahkan kaum tuan. Namun usaha mengalahkan ini bukanlah terjadi di dalam dunia nyata seperti politik ataupun hukum melainkan terjadi pada dunia imajiner dimana tatanan nilai dijungkirbalikkan. Dengan kata lain, ressentiment menjadi daya kreatif untuk menciptakan nilai-nilai (Hardiman, 2011: 233). Nilai-nilai dari manusia unggul atau kaum muda diturunkan derajatnya sebagai “nilai yang jahat” sementara nilai kaum budak dinaikkan menjadi “nilai yang baik”. Moralitas kaum budak inilah yang dikenal sebagai moralitas kristiani dimana segala apa yang rendah, lemah, celaka, jelek, dan menderita malah disebut “baik” (Hardiman, 2011: 234). Dari penjabaran mengenai moralitas tersebut, kita bisa melihat bagaimana Nietzsche menggunakan argumen ad hominem untuk menjelaskan apa sebenarnya yang ada dibalik moralitas masyarakat. Ia mempertanyakan moralitas kristiani yang berkembang pada masanya dan mencoba menganalisa bukan pada seberapa benar argumen atau pemikiran terkait suatu mo ral melainkan mencoba menggali intensiintensi yang ada dibalik moral tersebut. Tujuan dari analisis Nietzsche ini bukanlah pertama-tama untuk mengagungkan moralitas kaum tuan di atas kaum budak,
Nietzsche mengilustrasikan cerita tersebut dalam teks ‘Genealogi Moral’ I, paragraf 13. Kutipan teks tersebut bisa dilihat juga dalam: Robert C. Solomon, 2006, hlm. 204-205.
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 24
4/24/2014 8:39:45 AM
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
melainkan semata-mata sebagai tanggapan kita kepada realitas yang kaos. Ia menunjukkan bahwa kita patut merasa curiga akan berbagai hal dibalik setiap klaim kebenaran dan moralitas. Jika kita kembali melihat pandangannya mengenai moralitas maka bisa kita katakan bahwa moralitas merupakan hasil bentukkan dari manusia bersangkutan dan konteks kehidupan dimana manusia itu berdiam. Namun, ia tidak hanya bermaksud menunjukkan bahwa moralitas merupakan hasil bentukkan dari manusia bersangkutan dan konteks kehidupan melainkan lebih dalam dari itu yakni, memeriksa manusia atau subjek bersangkutan apakah masuk dalam tipe manusia lemah/dekaden atau tipe kuat/ascenden (Wibowo, 2004: 171). Kedua tipe manusia di atas memiliki perbedaan dalam menerima realitas. Bagi tipe manusia lemah diperlukan kebutuhan untuk percaya. Dalam masyarakat Eropa saat itu, kepercayaan pada moralitas dan ajaran kristiani masih sangat diperlukan sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat Eropa menurut Nietzsche adalah masyarakat yang dekaden atau kelompok manusia lemah. Sementara manusia yang bertipe kuat adalah manusia yang mampu meng ambil jarak dari kebutuhan untuk percaya ini (Wibowo, 2004: 172). Dengan demikian, moralitas kristiani tidak hanya menjungkirbalikan nilai tetapi juga menunjukkan bahwa masyarakat Eropa saat itu masihlah merupakan kumpulan manusia-manusia lemah. Manusia yang lemah tergambar jelas pada perumpamaan mengenai domba dan elang dimana domba adalah gambaran manusia lemah. Dalam kelemahannya, para domba menciptakan konsep “elang sebagai yang jahat” dan mempertahankan hal tersebut sebagai suatu kepercayaan. Terkait dengan kebutuhan akan percaya yang melanda Eropa Nietszche menulis:
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 25
YOGIE PRANOWO
25
“Menurutku Di Eropa saat ini kristianisme masih dibutuhkan oleh kebanyakan orang. nya mengapa kristianisme masih dipercaya. Karena manusia memang terbentuk seperti itu. Jika ia membutuhkan sebuah ajaran iman, pun jika ajaran itu dibantah dengan seribu satu macam cara, dia tidak akan berhenti untuk memegangnya sebagai “benar”- sesuai dengan apa yang sangat terkenal dalam kitab suci: “bukti yang tak terbantahkan”......” (Wibowo, 2004: 175-176)
Melalui kutipan di atas kita bisa me ngetahui bagaimana pandangan Nietzsche terhadap situasi masyarakat Eropa zaman itu. Dari pandangannya mengenai kebutuh an akan percaya dan persoalan moralitas yang melanda Eropa ini, kita bisa melihat bagaimana Nietzsche berusaha sekaligus untuk mengambil jarak terhadap realitas dimana ia hidup. Dengan mengambil jarak ini, ia mampu menelaah secara lebih mendalam apa yang ada dibalik moralitas masyarakat zaman itu dengan menggunakan argumen ad hominem. Argumen ad hominem oleh Nietzsche justru dipergunakan bukan untuk menyerang setiap pemikir an yang berkembang, melainkan untuk menunjukkan bahwa setiap pemikiran termasuk di dalamnya moralitas perlu dikaji lebih mendalam sehingga kita menemukan pemahaman yang lebih menyeluruh. Filsafat Nietzsche tidak bisa hanya dinilai sebagai suatu pengakuan, dengan kata lain, isi dari filsafat Nietzsche bukan hanya terdiri dari persoalan psikologis semata. Namun tidak berarti bahwa argumen ad hominem tidak perlu diterapkan. Argumen ad hominem sendiri bukanlah semata-mata “penyerangan” atas seorang pemikir tapi lebih daripada itu, mencoba melihat latar belakang dan berbagai unsur yang mendorong terciptanya suatu pemikiran. Hal di atas sesuai dengan pandangan Nietzsche mengenai suatu pemikiran atau filsafat. Filsafat bagi Nietzsche pertama-tama bukan hanya merupakan argumen atau
4/24/2014 8:39:45 AM
26
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
penolakan sebuah argumen, tetapi filsafat adalah sebuah keterikatan (Solomon, 2006: 217). Filsafat memperlihatkan pandangan dari seorang filsuf dan mengartikan ke terikatannya dengan dunia serta relasinya dengan manusia lain (Solomon, 2006: 216). Dengan demikian, kita tidak hanya perlu bertolak dari isi pandangan seorang filsuf tetapi juga harus jeli memperhatikan apa yang ada dibalik pemikiran tersebut. Sebagai contoh, seseorang yang kelihat annya baik, belum tentu secara hakiki ia baik. Ada motif/dorongan tertentu yang harus diselidiki secara mendalam. Apakah seseorang yang berkelimpahan harta yang menyumbangkan sebagian hartanya untuk pembangunan sebuah rumah ibadah, pada dasarnya adalah seorang yang sungguhsungguh baik? Atau itu hanya klise, agar ia dianggap baik? Sama halnya dengan apa kah para kandidat calon presiden beserta jajarannya yang (misalkan saja) membagikan uang, sembako, dan sebagainya sungguh orang baik yang tulus membagikannya demi alasan kemanusiaan? Atau hal itu dilakukan semata-mata hanya untuk menarik simpati masyarakat agar memilihnya pada PEMILU mendatang? Bagi Nietzsche, konsep baik dapat ditinjau dari dualitas makna antinominya, yaitu buruk dan jahat. Sepanjang sejarah bagi Nietsche, telah terjadi penjungkir-balikan nilai oleh kaum budak.12 Budak mengatakan tidak pada segala sesuatu yang ada diluar diri nya, sementara tuan mengatakan ya. Bagi tuan, kekeliruan yang melahirkan tragedi bagi manusia adalah sebuah keberadaan di ranah yang keliru saja tetapi tidak jahat. Budak digambarkan sebagai orang yang terpecah dalam personalitasnya. Dalam “Genealogy of Morals” bagian satu para12
VOL II, 2014
graf 15 (Nietzsche, 1956: 182-185) dikatakan bahwa menurut Nietzsche, yang memperbudak manusia tak lain adalah adanya determinasi Allah yang ironisnya diciptakan dalam konsep manusia yang serba terbatas. Outletnya adalah kecemburuan hebat atau ressentiment terhadap yang berbau moralitas tuan. Ia mengekang diri demi pembalasan yang tidak mampu diusahakan kepada sang pemberani. Inilah yang harus dikerjakan: Nietzsche’s ja-saagen, a reevaluation of all values, a new determination, a new comportment toward existence. Evaluasi nilai baik dan buruk harus dilakukan agar manusia menjadi tuan atas dirinya sendiri. Re-evaluasi nilai berarti melampaui apa yang bagi moralitas popular merupakan baik dan buruk. Penggunaan ad hominem Pada bulan April tahun ini, bangsa Indonesia akan merayakan tahun politiknya, dengan agenda pencoblosan untuk memilih wakil rakyat untuk periode lima tahun kedepan. Namun, menjelang pesta politik tersebut, rakyat kebingungan untuk menentukan pilihannya. Rakyat bingung untuk memilih serta bingung untuk percaya kepada siapa, sebab seperti tak ada perbedaan antara sikap parpol yang satu dengan lainnya. Apalagi mendekati waktu pencoblosan, begitu banyak iklan-iklan yang bukan hanya ada di layar kaca televisi, tetapi juga di jalan-jalan ibukota yang kerap menyilaukan mata karena janji-janji mereka yang bernada sama, yakni demi kepenting an rakyat. Tidak jelas demi kepentingan rakyat yang mana dan seperti apa. Hal ini menimbulkan persoalan. Persoalan ini sebenarnya dapat diatasi jika pihak yang terlibat secara khusus, pihak
“ […] that the slaves revolt in morality begins with the Jews: a revolt which has two thousand years of history behind it and which has only been lost sight of because-it was victorious […]” Bdk. Nietzsche, 1956: 173-176.
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 26
4/24/2014 8:39:45 AM
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
yang ada dalam parpol mau merefleksikan hidupnya dengan lebih serius lagi, dengan lebih dalam lagi. Hal itu dapat ditempuh salah satu caranya dengan mendengarkan dan menjalankan laku-tapa dari pemikiran Nietzsche. Bagi Nietzsche kedalaman hanya bisa dialami sendirian lewat refleksi. Pengkataan akan kedalaman tak akan pernah me ngatakan kedalaman itu sendiri. Alih-alih mengungkapkan secara persis apa yang mau dikatakan, kata ternyata hanya topeng atas apa yang mau dikatakan. Kesadaran tajam akan keterbatasan kata sebagai topeng itulah yang membuat Nietzsche memasukkan dirinya pada permainan topeng. Topeng adalah penyamaran, dan sejauh itu pula, bagi Nietzsche, topeng adalah strategi untuk menyampaikan kedalaman. Dalam “The Gay Science” paragraf 381, Nietzsche mengatakan bahwa kita tidak hanya ingin dimengerti saat kita menulis sesuatu, tetapi juga supaya tidak dimengerti oleh sembarang orang.13 Dia tidak mau dipahami secara gampangan dan mengajak setiap pembacanya untuk menjadi dirinya sen diri. Pengalaman kedalaman mesti dimiliki justru supaya orang bisa menari di permukaan dengan topeng tanpa tergoda untuk mengeraminya. Topeng bagi Nietzsche, selain menyamarkan sesuatu di balik topeng juga berarti menyuarakan dan mengkomunikasikan secara lebih keras kedalaman yang ingin disuarakan. Nietzsche bermain dengan topeng, bertahan di level permukaan, bukan karena dia tidak tahu soal kedalaman tetapi justru karena dia tahu diri di depan apa yang mendalam. Lagipula sudah kodrat-
13
YOGIE PRANOWO
27
nya kedalaman untuk selalu menyelubu ngi dirinya dengan penyamaran. Mungkin salah satu sosok yang bermain dengan topeng adalah Jokowi. Kita lihat saja, bagaimana reaksi masyarakat ketika PDI-P mengumumkan bahwa kandidat presiden dari partai itu adalah Joko Widodo, seorang figur yang selama ini menjadi buah bibir dimana-mana. Begitu banyak reaksi yang muncul, ada yang me ngatakan bahwa Jokowi tak harus banyak berkampanye, karena kemenangan adalah keniscayaan buatnya, ada pula yang mengatakan bahwa pencalonannya sebagai presiden adalah kesalahan prosedural, lantaran masa jabatannya sebagai Gubernur DKI belumlah seumur jagung. Dengan adanya reaksi-reaksi tersebut Jokowi hanya bersikap tenang. Sikap Jokowi yang tenang ini memunculkan beberapa interpretasi. Pertama, sikap tenang Jokowi ini dinilai sebagai bukti kalau sebenarnya ia masih menyusun sebuah strategi besar dalam “peperangan” politik. Kedua, sikap tenang Jokowi ini menggambarkan sosok pemimpin yang arif bijaksana. Ketiga, sikap tenang Jokowi ini, tak berarti apa-apa alias karena ia memang tak tahu harus bersikap apa. Dengan pencalonannnya sebagai pre siden, dan jika kita mengacu pada argumentum ad hominem, maka sebenarnya kita tak boleh begitu saja menerima superioritas Jokowi, melainkan kita harus mendiagnosisnya seperti apa yang diusulkan oleh Nietzsche lewat genealogi moralnya. Dalam majalah Indonesia 2014 no 6, vol. 1, tahun 2013, dikatakan bahwa Jokowi hadir dalam momentum yang tepat. Ia hadir di tengah masyarakat Jakarta yang merindukan figur yang menarik seperti Jokowi. Daya tarik
“One does not only wish to be understood when one writes; one wishes just as surely not to be understood […] he didn’t want to be understood by just anybody […]” Bdk. Nietzsche, 2003: 245.
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 27
4/24/2014 8:39:45 AM
28
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
Jokowi terletak pada kebiasaannya blusukan dan gaya komunikasinya. Ia dianggap sebagai figur yang otentik, dan itu disukai oleh warga Indonesia, khususnya Jakarta. Lepas dari suka atau tidak suka terhadap sikap Jokowi, kita masih harus mempertanyakan kinerjanya di kursi pemerintahan. Selama masa Pemerintahannya di Solo, memang harus diakui bahwa Jokowi berhasil memberikan dampak positif, namun Solo berbeda dari Jakarta dan Indonesia. Menangani Jakarta, Jokowi juga terlihat begitu fasih manakala berhadapan de ngan rakyat kecil, ia pun berhasil merapikan pasar Tanah Abang, sehingga sekarang pasar itu tidak lagi terlihat kumuh. Namun kepemimpinannya dalam menangani Jakarta masih seumur jagung, dan kini ia telah dicalonkan oleh PDI-P sebagai calon presiden. Seandainya ia berhasil keluar sebagai pemenang dalam PEMILU mendatang, apakah seorang Jokowi mampu memegang tampuk pemerintahan Republik Indonesia? Kalau kita berpijak pada gagasan Nietzsche menyangkut strategi penerapan argumen ad hominem, dan pandangan genealogis terhadap moralitas, pertanyaan tersebut harus dijawab dengan menggunakan suatu diagnosis psikologis dan investigasi historis dengan terus bertanya dan mempertanyakan kehidupan sehariharinya berkenaan dengan kebijakan atau visi misi yang (akan) ia lontarkan kepada publik. Penutup Dengan gaya argumentasi filsafatnya, yakni dengan memakai analisis genealogi yang mengejawantahkan teori perspektivisme dan argumentasi ad hominem, Nietzsche menyerang ketetapan logika sebagai metode berpikir yang tunggal dan universal. Dengan demikian, argumentasi ad ho-
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 28
VOL II, 2014
minem yang menyasar karakter personal, dan motif pribadi seseorang sepatutnya tidak dibuang begitu saja sebagai sebuah kesesatan, melainkan dihargai berkat berbagai keutamaan yang telah ditunjukkan oleh diagnosis filosofis Nietzsche. Lewat pemikiran Nietzsche, kita diingatkan bahwa tak selamanya seseorang yang terlihat mengumbar janji, atau yang terlihat baik pada dasarnya sungguh orang baik. Kita harus mampu mendiagnosisnya melampaui apa yang terlihat, sebab seringkali apa yang tertangkap indera adalah tipuan. Lewat pemikirannya, kita diajak berefleksi untuk setidaknya mengetahui apa itu kedalaman, dan apa pentingnya bagi kehidupan sehari-hari. Dengan mengikuti nasehat Nietzsche, harapan saya adalah semoga pada akhirnya kita mampu menilai dan memutuskan untuk memilih siapa orang yang cukup pantas menjadi orang nomor satu di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Copleston, Frederick. (1963). A History of Philosophy Vol VII. London: Search Press. _______. (1975). Friedrich Nietzsche: Philosopher of Culture. New York: Barnes dan Nobles Books. Foucault, Michel. (1998). “Nietzsche, Genealogy, History” dalam Essential Works of Foucault 1954-1984, hlm. 369-391. New York: New Press. _______. (1988). Philosophy, Politics, Culture. Interview and Other Writings 1977-1984. London: Routledge. Hardiman, Budi F. (2011). Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern. Jakarta: Erlangga. Hollingdale, R.J. (1985). Nietzsche: The Man and His Philosophy. London: Ark Paperbacks.
4/24/2014 8:39:45 AM
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
Magnis-Suseno, Franz. (1998). “F. Nietzsche: Dekonstruksi Kemunafikan” dalam 13 Model Pendekatan Etika. Yogyakarta: Kanisius. Nietzsche, Friedrich. (2003). The Gay Science. Cambridge: Cambridge University Press. _______. (1956). The Birth of Tragedy and The Genealogy of Morals. NewYork: Doubleday dan Company, Inc. Sunardi, St. (1996). Nietzsche. Yogyakarta: LKiS. Sedgwick, Peter R. (2009). Nietzsche: The Key Concepts. Oxon: Routledge. Sidharta, Arief. (2010). Pengantar Logika. Bandung: PT Refika Aditama.
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 29
YOGIE PRANOWO
29
Solomon, Robert C. (1996). “Nietzsche ‘Ad Hominem’: Perspectivism, Personali ty and Ressentiment’” dalam Bernd Magnus dan Kathleen M. Higgins (Tim Editor), The Cambridge Companion to Nietzsche. Cambridge: Cambridge University Press. _______. (2003). “Friedrich Nietzsche”. dalam The Blackwell Guide to Continental Philosophy. Robert C. Solomon dan David Sherman (Tim Editor). Oxford: Blackwell Publishing Ltd. Spinks, Lee. (2003). Friedrich Nietzsche. London: Routledge. Wibowo, A. Setyo. (2004). Gaya Filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Galang Press.
4/24/2014 8:39:46 AM