PERAKARAN PADI DALAM HUBUNGANNYA DENGAN TOLERANSI TANAMAN TERHADAP KEKERINGAN DAN HASIL Didi Suardi Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No. 3A, Bogor 16111
ABSTRAK Lahan tadah hujan di daerah beriklim kering dengan curah hujan rendah dan dalam waktu relatif pendek mempunyai kendala cekaman kekeringan bagi pengelolaan padi sawah, gogo rancah, dan gogo. Pada kondisi lahan seperti ini diperlukan varietas padi yang toleran kekeringan, umur genjah, dan potensi hasil cukup tinggi. Akar yang mempunyai fungsi sangat penting dalam kelancaran penyerapan air dan hara serta kestabilan hasil, relatif kurang dipelajari dibanding bagian tanaman lainnya. Sifat perakaran menjadi salah satu faktor yang menentukan ketahanan tanaman terhadap kekeringan. Penelitian perakaran padi telah mendapatkan beberapa varietas yang perakarannya dalam, tebal, dan padat serta relatif toleran terhadap kekeringan. Varietas Salumpikit, OS4, Dular, MI-48 dan galur IR442-2-58 mempunyai perakaran dalam dan padat serta relatif tahan terhadap kekeringan. Padi nasional seperti Cisadane, Ayung, Cipunegara dan Krueng Aceh mempunyai perakaran dan reaksi terhadap kekeringan relatif sama seperti Salumpikit. Pengujian daya tembus akar dapat digunakan untuk mengetahui toleransi tanaman terhadap kekeringan dan keterpautannya dengan sifat (genetis) marka molekuler. Dengan menggunakan varietas Salumpikit dan Cabacu sebagai pembanding, persilangan varietas Cisadane x Cabacu, IR64 x Cabacu, dan IR64 x IRAT112 mempunyai daya tembus akar yang relatif tinggi dan sifat lain yang baik untuk menunjang potensi hasil. Penelitian perakaran diharapkan akan mendapat perhatian yang lebih dalam dengan adanya konsep terobosan terhadap potensi hasil yang telah dicapai. Padi tipe baru (PTB) dengan vigor akar yang baik sebagai salah satu komponen hasil diharapkan dapat meningkatkan persentase gabah isi yang menjadi kendala tipe tanaman ini. Perakaran PTB mempunyai vigor baik pada lapisan tanah dangkal. Kata kunci: Padi, akar, toleransi terhadap kekeringan, daya tembus akar, hasil
ABSTRACT Root of rice in relation to tolerance to drought and yields In rainfed lowland with dry climate and short period of rainfall, drought is the main constraint for yield of rice. Drought occurred even in irrigation system areas. Varieties of rice used should be relatively tolerance to drought, short duration and medium to high yield. Root, which is the foundation of plant, has an important factor for water and nutrients absorption, and relatively unstudied compare to the rest of plant. Root study, starting from 1980, had identified some times varieties with specific characteristics of root such as deeper and thicker root and relatively tolerance to drought. Salumpikit, OS4, Dular, MI-48 and IR442-2-58 lines are known as varieties which have deeper and thicker root and tolerance to drought. Domestic rice varieties such as Cisadane, Cipunegara, Krueng Aceh and Ayung are categorized as moderate to tolerance to drought with relatively good root characteristic. One method for identifying root character for drought is root penetration ability which had been use also for identifying some lines of rice which are linked with genetic characteristic in molecular marker study. Some of lines from Cisadane x Cabacu, IR64 x Cabacu and IR64 x IRAT112 crossing had been identified high root penetration ability and supported to high yield potential, where Salumpikit and Cabacu as control varieties. Research in rooting system of rice is hoped to get more attention, especially for supporting concept of new plant type for high yielding potential. The main constraint of new plant type of rice is high percentage of empty grain for high potential. Root developed of new plant type was suggested in relatively shallow soil profiles. Keywords: Oryza sativa, roots, drough resistance, root pressure, yields
L
ahan tadah hujan di daerah beriklim panas dengan curah hujan rendah dan dalam periode relatif pendek seperti tipe iklim C, D, dan E (Oldeman, 1979) masih memungkinkan untuk pengelolaan
100
padi sawah, gogo rancah, dan gogo, namun berisiko kekeringan (Mackill et al., 1996). Kekeringan bisa berakibat fatal dan berpengaruh pada kestabilan hasil (Babu et al., 1996) terutama bila varietas yang ditanam
berumur dalam dan relatif kurang tahan terhadap kekeringan (Hasmosoewignjo, 1962). Varietas padi yang ditanam pada lahan tadah hujan, mulai dari varietas Jurnal Litbang Pertanian, 21(3), 2002
unggul lokal, unggul nasional, unggul modern sampai Varietas Unggul Tahan Wereng (VUTW) mempunyai umur yang cenderung semakin genjah. Varietas Rantai Perak, Bengawan, Pelita, Cisadane, dan IR64 adalah di antara varietas dengan umur dalam mulai dari 160 hari (Rantai Perak) sampai umur genjah 115 hari (IR64). Di samping umur yang semakin genjah, potensi hasil pun relatif meningkat dan memberikan sumbangan yang semakin besar terhadap produksi padi nasional. Lahan tadah hujan di Indonesia dengan tipe kelas P II mempunyai luas 8.747.000 ha. (Suryatna et al., 1979). Menurut Badan Pusat Statistik (1998; 1999), saat ini lahan yang bisa ditanami padi satu sampai dua kali setahun mencapai lebih dari 2 juta ha. Luas sawah tadah hujan di Jawa mencapai 575.000 ha yang hanya bisa ditanami satu kali padi dan 188.000 ha dapat ditanami dua kali setahun. Umumnya petani menginginkan varietas yang berumur genjah, tahan terhadap kekeringan, dan potensi hasil relatif tinggi. Varietas padi akan tumbuh baik pada lingkungan dengan curah hujan terbatas dan merupakan tanaman ideal, apabila: 1) pertumbuhan tanaman sesuai dengan ketersediaan air yang memungkinkan tanaman terhindar dari kekeringan pada akhir pertumbuhan, 2) potensi hasil tinggi pada lingkungan yang cocok serta tanaman tidak terlalu tinggi dan indeks panen tinggi, 3) toleran terhadap kekeringan dan mampu mempertahankan kehijauan tanaman selama kekeringan (Fukai, 1998). Varietas unggul yang ditanam harus sesuai dengan kondisi spesifik lokasi agar hasil maksimal.
SIFAT AKAR DAN PERAKARAN PADI Akar merupakan fondasi bagi tanaman yang relatif kurang dipelajari dibandingkan dengan bagian tanaman lainnya (Khush, 1996). Sistem perakaran padi sangat beragam berdasarkan genotipenya. Sifat perakaran ini telah menarik perhatian beberapa ilmuwan untuk mempelajarinya dalam hubungannya dengan toleransi tanaman terhadap kekeringan (Mackill et al., 1996). Dalam keadaan normal, perakaran padi tumbuh sedikit kompak, penyebaran akar horizontal lebih dominan daripada Jurnal Litbang Pertanian, 21(3), 2002
yang tegak lurus ke dalam tanah (Grist, 1959). Pertumbuhan akar selanjutnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, tekstur, jenis tanah, air, udara, dan cara pengelolaan tanah. Perbedaan anatomi akar padi yang ditanam pada kondisi air tergenang dan lembap menyebabkan besarnya perbedaan ketahanan akar dalam menyerap air antara padi sawah dan padi gogo (Tomar dan Ghidyal, 1975). Ketahanan akar padi gogo mencapai 17 kali lebih besar daripada padi sawah. Keterbatasan air yang diserap mempengaruhi pembelahan sel, pertumbuhan, dan hasil. Penelitian perakaran padi yang dilakukan IRRI sejak tahun 1970 memperoleh hasil yang cukup beragam antara padi sawah dan padi gogo (Chang dan Vergara, 1975; International Rice Research Institute, 1979; 1989). Angus et al. (1979) yang mempelajari percepatan perpanjangan akar, mendapatkan bahwa panjang akar IR36 mencapai 27 cm pada umur 65 hari, sedangkan C171 mencapai panjang 55 cm pada umur 75 hari. Distribusi akar dari 7 varietas padi bisa mencapai kedalaman 80 cm di lahan kering (Yoshida dan Hasegawa, 1982). IR20 perakarannya hanya mencapai kedalaman 50 cm sedang padi gogo, OS4, Moroberekan, Salumpikit, dan 20A mencapai 80 cm. Kedalaman perakaran padi berkorelasi negatif dengan jumlah anakan dan tidak berkorelasi secara nyata dengan tinggi tanaman (Mackill et al., 1996). Perakaran yang dalam dan tebal, sehat, mencengkeram tanah lebih luas serta kuat menahan kerebahan memungkinkan penyerapan air dan hara lebih efisien terutama saat stadia pengisian gabah (Khush, 1995a). Penyebaran akar yang lebih luas di dalam tanah akan menurunkan tahanan akar dalam menyerap air tanah (Hirasawa, 1999). Perakaran padi berhubungan erat dengan sifat toleransi tanaman terhadap kekeringan (Chang dan Vergara, 1975; Hirasawa, 1999; Ingram et al., 1994; Mackill et al., 1996; Passiora 1982; Samson dan Wade, 1998; Yu et al., 1995). Varietas padi yang mempunyai perakaran panjang seperti OS4, MI-48 memiliki sistem perakaran padat, sedang Dular dan IR841-67-1 adalah di antara varietas padi sawah dengan perakaran paling panjang (de Datta et al., 1975). Salumpikit selain mempunyai akar yang dalam dan padat, juga daya tembus (penetrasi) akarnya tinggi (Yu et al., 1995).
Kekeringan yang merupakan kendala utama pada lahan tadah hujan bisa terjadi pada saat pembungaan di mana penurunan hasil paling tinggi. Kekeringan juga bisa terjadi pada stadia pembenihan dan stadia vegetatif (Hasmosoewignjo, 1962; Mackill et al., 1996; Reyniers et al., 1982). Terhambatnya perakaran padi masuk ke dalam tanah sawah akibat terbentuknya lapisan padat pada proses pelumpuran tanah (Samson dan Wade, 1998; Taylor, 1980) menyebabkan tanaman cepat mengalami kekeringan bila pengairan atau hujan terlambat. Varietas padi Salumpikit dianjurkan untuk lahan tadah hujan karena mempunyai perakaran yang daya tembus akarnya tinggi. Mekanisme sifat perakaran dalam hubungannya dengan ketahanan terhadap kekeringan dikemukakan O’Toole (Mackill et al., 1996). Hubungan tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1) perakaran yang dalam dan padat berpengaruh terhadap penyerapan air dengan besarnya tempat penampungan air tanah, 2) besarnya daya tembus (penetrasi) akar pada lapisan tanah keras meningkatkan penyerapan air pada kondisi di mana penampungan air tanah dalam, 3) penyesuaian tegangan osmosis akar meningkatkan ketersediaan air tanah bagi tanaman dalam kondisi kekurangan air. Teknik pengamatan akar dikemukakan oleh Yoshida (1981) yaitu dengan "root-box", "core sampling", dan "monolith". Metode "root-box" dapat mengamati besarnya nisbah akar dan tanaman padi. Metode lain meliputi daya cabut akar, aeroponik (Mackill et al., 1996), dan daya tembus akar (Yu et al., 1995). Skrining kekeringan tanaman di rumah kaca atau di lapangan, dengan melihat gejala-gejala pada pertumbuhan, penggulungan daun, penurunan tinggi tanaman, kekeringan daun, dan penurunan hasil telah dilakukan di IRRI.
PERAN PERAKARAN PADI DALAM PENINGKATAN HASIL Penelitian perakaran padi didorong oleh didapatkannya persamaan untuk menduga hasil padi yang ditentukan oleh besarnya evapotranspirasi pada lingkungan lahan tadah hujan. Berdasarkan pengamatan data hasil, data iklim dan tanah, serta koefisien tanaman selama tiga 101
tahun, Suardi (1981) memperoleh penduga hasil dengan persamaan sebagai berikut: Y = −1,11 + 2,83 STET64−0,0031STET642− 1,17 WD + 3,55CL−0,085STET642CL 2 R = 0,695* Y = hasil gabah (t/ha) STET64 = besarnya evapotranspirasi pada keadaan cekaman air selama 64 hari, dihitung dari 64 hari sebelum panen sampai panen. WD = bobot gulma CL = warna tanah (warna semakin gelap diduga bahan organik semakin tinggi, ketersediaan air tanah semakin tinggi). Hasil gabah ditentukan oleh besarnya evapotranspirasi selama pertumbuhan terutama pada periode 64 hari sebelum tanaman dipanen. Evapotranspirasi sangat dipengaruhi oleh koefisien tanaman. Peran akar dalam menyerap air tanah selama pertumbuhan menentukan kelancaran proses fotosintesis dalam menghasilkan gabah. Pada lahan tadah hujan beriklim kering, peran akar ini dinilai sangat penting, karena penyerapan air
tanah tergantung pada kemampuan akar menembus lapisan tanah lebih dalam. Dorongan lain dalam mempelajari perakaran padi yaitu setelah dilakukan penelitian neraca air pada lahan tadah hujan beriklim kering di Wangunharja (Cirebon) dan Walantaka (Serang) Jawa Barat (Suardi dan Damanhuri, 1992). Ketersediaan air tanah pada dua lokasi ditentukan oleh kepadatan tanah akibat pengolahan, dan fluktuasi hujan. Kemampuan akar yang bisa menyerap air sebanyak-banyaknya dari dalam tanah perlu dipelajari dengan teknik pengamatan yang mudah dilakukan, sederhana, dan tidak banyak memerlukan biaya.
menunjukkan perakaran yang padat dan panjang dengan tingkat toleransi terhadap kekeringan relatif tinggi. Varietas Cipunegara, Cisadane, Krueng Aceh, Ayung, DM59, dan B2790b-tb-162-2-5 mempunyai perakaran relatif panjang dan toleransi kekeringan relatif tinggi dibanding Salumpikit (Tabel 1). Faktor tanaman yang berkorelasi dengan skoring kekeringan adalah diameter akar dan Indeks Luas Daun (ILD). Semakin besar diameter akar, semakin tinggi toleransi tanaman terhadap kekeringan dengan r = −0,56*. Untuk indeks luas daun semakin tinggi, toleransi tanaman terhadap kekeringan semakin rendah dengan nilai korelasi r = 0,41*. Bobot kering akar dan panjang akar tidak menunjukkan korelasi nyata dengan toleransi terhadap kekeringan. Penelitian yang dilakukan Suardi dan Haryono (1994) dengan metode "rootbox" menunjukkan bahwa IAC 220/79 dan Centro America mempunyai sifat perakaran yang relatif sama dengan Salumpikit. Galur lainnya yang menunjukkan sifat akar relatif sama dengan Salumpikit adalah ICOXiB48-22, ICOXi-26-9, dan ICOXi-B-18-3.
PERAKARAN, KEKERINGAN, DAN HASIL PADI Pertumbuhan perakaran padi dipelajari melalui metode "root-box" pada ketinggian 100 cm, dan skoring kekeringan pada ketinggian percobaan 60 cm (Suardi dan Sumarno, 1982; Suardi dan Sudradjat, 1986). Beberapa galur/varietas padi
Tabel 1. Sifat beberapa galur/varietas padi dalam hubungannya dengan kekeringan, Bogor, rumah kaca, MP 1981/82. Akar Bobot kering (g)
Panjang (cm)
Diameter (mm)
Bobot kering jerami
Salumpikit Cipunegara B2790b-Tb-162-2-5
3,10 2 2,40
99,80 77,80 85
1,40 1,30 1,30
DM59 Krueng Aceh Cimandiri
2,20 1,60 1,90
86,80 72,70 60,80
Ayung PB54 Sentani
1,10 1,60 0,80
B3667d-Kp-105-2-2 IR4570-83-3-2 B3623g-Tb-48
Galur/varietas
Daun
Tinggi tanaman
Jumlah anakan
Nilai kekeringan2
127,20 99,30 89,20
10 23 31
1 1 1
1,20 1,20 1,40
103 83,30 74,50
13 15 19
1 1 1
2,90 4,30 3,60
0,30 0,80 0,30
70,50 81,70 89,50
9 15 5
1 3 3
19,60 13,80 9,50
9 6,40 4,10
1,40 1,40 0,80
68,50 99,20 71,50
9 16 13
3 3 3
1 1,10 0,70
11 14,10 8,70
5,50 6 3,80
1,60 0,90 0,20
79 85,30 66
19 14 10
5 5 5
1,20 1 1
15,60 11,40 15,80
5,60 4,80 7,10
1,20 0,80 1,60
122,50 78,80 82,50
10 13 18
5 7 −
Bobot kering (g)
ILD
19,30 18,60 20,90
6,50 8,80 9,80
1,80 2,70 2,70
1,40 1,30 0,90
11,60 12,40 10,40
5,90 5,60 5,70
74,50 56,50 63,50
1,20 1 1,20
6,10 8,90 8,50
3,10 2,20 1,20
88 77,50 70,80
1 1,30 1
PB46 PB52 Asahan
1,80 1,90 0,30
71,50 65,50 41
IR13655e-Tb-26-4-2 GH159 V20/PB54
2,50 2,20 3
86,70 62,20 94
1
(cm)
ILD = indeks luas daun. 1 = tahan kering, 3 = agak tahan kering, 5 = sedang, 7 = agak kurang tahan kering. Dihitung berdasarkan Standard Evaluation System for Rice IRTP-1976. Sumber: Suardi dan Sumarno (1982). 1 2
102
Jurnal Litbang Pertanian, 21(3), 2002
Penelitian untuk mempelajari sifat perakaran padi telah dilakukan pada kondisi ketersediaan air yang berbeda dengan kombinasi perlakuan sistem pengolahan secara disawahkan, gogo rancah, dan gogo (Suardi dan Haryono 1984). Varietas padi sawah Cipunegara yang mempunyai bobot akar relatif tinggi menunjukkan penurunan hasil yang drastis bila ditanam sebagai padi gogo. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya bobot jerami, bobot 1.000 butir, bobot gabah, dan tingginya gabah hampa. Bobot akar secara umum memberikan pengaruh nyata dari sistem pengolahan terhadap bobot gabah, jerami, dan daun ( Tabel 2 ). Varietas padi gogo IRAT13 tidak memberikan perbedaan yang nyata pada penampilan tanaman dibanding dua varietas padi gogo lainnya. Komponen hasil dan hasil gabah IRAT13 relatif stabil. Pada lahan kering, IRAT13 mempunyai kemampuan tumbuh yang tidak begitu dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Penelitian daya saing tanaman padi terhadap gulma dilakukan di lapangan, untuk mempelajari kemampuan beberapa varietas padi yang relatif berbeda penampilan perakaran dan tajuknya dalam bersaing dengan gulma (Suardi dan Pane 1983). Beberapa penelitian menunjukkan, varietas Cipunegara mempunyai perakaran relatif padat dan dalam, serta ILD tinggi sehingga mempunyai daya saing lebih baik dari IR36 dan Krueng Aceh pada perlakuan tanpa disiang dan tanpa herbisida (Tabel 3). Bobot biomassa (gabah dan jerami) relatif paling tinggi. Belum diketahui apakah perakaran varietas Cipunegara mempunyai sifat allelopathy yang mampu menekan pertumbuhan gulma seperti dikemukakan Dilday et al. (1998); Olofsdotter et al. (2000); Papadakis, (1978). Silitonga et al. (1993) dan Suardi (1988) mempelajari toleransi tanaman padi terhadap kekeringan. Dengan mengamati gejala pertumbuhan yang tidak normal, daya cabut, dan menggulungnya daun didapatkan beberapa varietas yang relatif tahan kekeringan. Salah satu varietas padi lokal yang relatif tahan terhadap kekeringan adalah Hawara Bunar. Penelitian daya tembus akar padi dengan metode yang digunakan Yu et al. (1995) dilakukan untuk mempelajari kemampuan akar menembus lapisan keras. Lapisan keras disimulasi dari campuran parafin (60%) dan vaselin (40%) setara dengan kekerasan 12 bar. Ketebalan Jurnal Litbang Pertanian, 21(3), 2002
Tabel 2. Jumlah gabah, persentase gabah hampa, bobot gabah, dan bobot akar varietas padi yang di sawah, gogo rancah, dan gogokan. Bogor, rumah kaca, MK 1983. Varietas
Sawah
Jumlah gabah per pot Tox1101 Cipunegara M1-48 IRAT13 Persentase gabah hampa (%) per pot Tox1191 Cipunegara M1-48 IRAT13
595 2.443 1.311 1.043
Gogo rancah
(24,20) (49,40) (35,20) (32)
55 23,50 41,50 36,90
683 2.278 1.754 1.174
(4,20) (2,70) (3,70) (3,90)
(25,90) (47,60) (41,90) (33,70)
50,20 24,30 42,50 33
Gogo 204 1.003 200 986
BNT
(14,20) (31,60) (13,50) (31,30)
0,05 = (6,80) 0,01 = (9,30) (x) = νx
(4,10) (2,80) (3,70) (3,30)
64,80 (4,60) 77,70 (5) 56,20 (4,30) 33 (3,30)
0,05 = (0,30) 0,01 (0,40) (x)= ArcSinνx
Bobot gabah (ka 14%) g/pot Tox1101 Cipunegara M1-48 IRAT13
8,45 51,70 17,20 22,23
10,18 46,11 21,49 24,78
1,30 4,86 1,21 24,11
0,05 = 2,12 0,01 = 2,91
Bobot akar per pot Tox1101 Cipunegara M1-48 IRAT13
6,17 17,28 10,01 13,13
2,93 21,65 15,21 18,13
2,90 18,35 3,46 15
0,05 = 7,54 0,01 = 10,33
Sumber: Suardi dan Haryono (1984).
Tabel 3. Bobot gabah, bobot jerami, bobot 1.000 butir, indeks luas daun (ILD) serta bobot gulma, KP. Pusakanegara, MK 1982. Bobot gabah (t/ha)
Bobot jerami (g/rp)
Bobot 1.000 butir (g)
ILD
Bobot gulma 60 hst(g)
PB36 1 2 3 4
4,19 5,44 4,67 5,86
190 201 135 167
23,70 23,70 23,80 23,60
1,20 1,50 1,30 1,50
Cipunegara 1 2 3 4
5,18 6,16 6,29 5,69
162 225 165 212
29,20 28,70 28,80 28,90
Krueng Aceh 1 2 3 4
4,88 6,90 6,04 6,32
143 178 171 182
26 26,30 26,30 26,60
BNT 0,05 0,01
1,03 1,41
− −
Perlakuan
0,54 0,74
Penurunan ( % ) Gulma
Hasil
14,40 0 9,60 11,90
0 100 33,40 17,40
23 0 14,20 −0,70
1,80 1,90 1,60 1,90
15 0 9,90 10,50
0 100 34 30
16 0 −0,20 7,70
1,40 1,80 1,60 1,60
12,70 0 8,90 9,60
0 100 30 24,40
29,30 0 12,50 8,40
− −
− −
− −
− −
1 = tanpa penyiangan, 2 = penyiangan dua kali (21 hst dan 42 hst), 3 = perlakuan herbisida (14 hst), dan 4 = penyiangan satu kali dan hidrasil satu kali (14 hst) Sumber: Suardi dan Pane (1983).
lapisan "lilin" (campuran parafin dan vaselin) bervariasi 3, 4, 5 mm, tergantung tujuan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perakaran IR64
hanya mampu menembus lilin pada ketebalan 4 mm pada campuran parafin (40%) dan vaselin (60%) setara kekerasan 5 bar. Perakaran Salumpikit mampu 103
menembus lapisan lilin pada ketebalan 3 mm pada campuran parafin (60%) dan vaselin (40%) setara kekerasan 12 bar. Varietas Kalimutu bahkan mampu menembus lilin pada ketebalan 4 mm pada campuran parafin (60%) dan vaselin (40%) setara kekerasan 12 bar (Suardi dan Moeljopawiro, 1999). Pengujian daya tembus akar beberapa galur/varietas padi pada campuran parafin (60%) dan vaselin (40%) dengan ketebalan 3 dan 4 mm diperoleh data bahwa varietas Cabacu mempunyai daya tembus akar cukup tinggi atau lebih baik dari Salumpikit. Cabacu adalah varietas padi yang relatif toleran kekeringan yang berasal dari Brasil. Panjang perakaran berkorelasi positif nyata dengan jumlah akar yang mampu menembus lapisan lilin untuk ketebalan lapisan 3 dan 4 mm. Gambar 1 adalah contoh dari pengaruh ketebalan lapisan lilin terhadap daya tembus akar dari galur padi TB262d-ck-6-B pada MK97, dimana akarnya menembus ketebalan lapisan lilin 3 dan 4 mm (Suardi dan Moeljopawiro, 1999). Pada penelitian selanjutnya, Cabacu akarnya disilangkan dengan varietas Cisadane dan IR64, untuk mempelajari keterpautan sifat daya tembus akar dengan sifat genetik (marka molekuler) toleran kekeringan. Pengujian daya tembus akar nampaknya merupakan metode yang cukup efisien untuk mempelajari toleransi padi terhadap kekeringan. IRRI telah menggunakannya dalam pemetaan genotipe gen. Sifat genetik akar yang menunjukkan sifat morfologinya telah dapat dipetakan (Zhang et al., 1999). Daya tembus akar plasma nutfah varietas padi lokal dengan pengujian teknik lapisan lilin dari Yu et al. (1995), telah dilakukan (Suardi dan Silitonga, 1999). Varietas Langke, Leukat Medan, Ketan Adang, Jambe Hasan, Irian, dan Hawara Bunar menunjukkan daya tembus akar dan panjang akar yang relatif tinggi. Besarnya transpirasi tanaman berkorelasi positif dengan jumlah akar yang menembus lapisan lilin dengan nilai koefisien r = 0,729**, yang berarti semakin besar jumlah akar yang menembus lapisan lilin semakin besar air yang ditranspirasikan. Penelitian marka molekuler daya tembus akar galur BC2F2 (persilangan varietas Cisadane x Cabacu) untuk ketahanan kekeringan, yang dilakukan Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan (Balitbio), Bogor, menghasilkan satu galur yang penampilannya cukup 104
Gambar 1.
Galur tanaman padi pada perlakuan ketebalan lapisan lilin 3 dan 4 mm dalam uji daya tembus akar (umur 40 hari setelah tanam benih).
menonjol. Galur ini tercatat dengan nomor persilangan Bio 205B-Mr-105. Di samping daya tembus akar relatif tinggi dengan toleransi kekeringan di lapang cukup tinggi, jumlah gabah per malai rata-rata lebih dari 200 butir dan jumlah anakan 10 batang/rumpun. Namun, kelemahannya galur Bio205B-Mr-105 ini mempunyai tinggi tanaman + 130 cm dengan panjang daun bendera lebih dari 40 cm sehingga pada lahan subur dikhawatirkan akan terjadi kerebahan yang tinggi. Dari penelitian Suardi (2001) tentang daya tembus akar persilangan varietas IR64 x Cabacu diperoleh beberapa galur persilangan BC2F3 yang mempunyai daya tembus akar relatif tinggi, namun sifatsifat lain yang menonjol seperti hasil tinggi
belum didapatkan. Pada turunan berikutnya diperoleh satu galur no. 947-2-1 yang selain mempunyai daya tembus akar relatif tinggi juga hasil gabah yang diperoleh relatif tinggi. Rata-rata jumlah dan panjang akar yang menembus lapisan lilin persilangan Cisadane x Cabacu, IR64 x Cabacu, dan IR64 x IRAT112 disajikan pada Tabel 4. IRAT112 telah dilepas sebagai varietas Gajah Mungkur yang relatif tahan kekeringan (Harahap et al., 1995). Pada persilangan varietas IR64 x IRAT112 (Gajah Mungkur) diperoleh beberapa galur BC2F2 yang selain mempunyai daya tembus akar relatif cukup tinggi juga hasil gabah tinggi. Galur-galur ini mempunyai jumlah gabah per malai > 200 butir dengan
Tabel 4. Jumlah galur persilangan BC2F2 dari Cisadane x Cabacu, IR64 x Cabacu dan IR64 x IRAT112 dan daya tembus akarnya, Balitbio MT 1998, 1999 dan 2000. Galur persilangan BC2F2 Cisadane x Cabacu IR64 x Cabacu IR64 x IRAT112
Kisaran Jumlah Jumlah Jumlah galur galur galur Jumlah Panjang ditanam DTA baik AT AT (cm) 200 400 400
135 388 380
17 367 342
1−4 1−17 1−7
1−26 1−48 1−17,50
Diameter AT (mm)
Musim
0,10−1,10 0,20−1 0,20−0,80
1998 1999 2000
DTA = daya tembus akar, AT = akar tembus. Sumber: Suardi et al. (2001).
Jurnal Litbang Pertanian, 21(3), 2002
gabah isi per malai yang akan meningkatkan jumlah gabah per pot/rumpun memungkinkan hasil gabah meningkat pula. Perakaran padi yang vigor (subur) dengan penyebaran mendatar atau masuk ke dalam tanah (vertikal) dengan daya tembus yang tinggi diharapkan mampu meningkatkan gabah isi, karena cekaman air berkurang. Galur Bio205B, Sintanur (B9645), dan IR 53234 mempunyai daya
persentase gabah isi berkisar 72,70− 95,50%. Di antara galur-galur tersebut, nomor 76-2 mempunyai jumlah gabah maksimum > 300 butir/malai (rata-rata > 200 gabah/malai), persentase gabah isi 77,20% tinggi tanaman < 100 cm dan umur 106 hari. Jumlah anakan rata-rata 16 batang. Pengamatan sederhana terhadap 10 contoh malai yang diambil secara acak dari suatu petakan (Tabel 5), menunjukkan hasil rata-rata dari no. 76-2 ini sebesar 5,60/ 115 g/hari atau 0,73 g/hari. Hasil ini lebih baik dibanding dengan Sintanur yang menunjukkan hasil 4,40/115 g/hari atau 0,61 g/hari. Percobaan perlu dilanjutkan untuk melihat lebih jauh sifat-sifat galurgalur tersebut dalam hubungannya dengan konsep padi tipe baru (NPT) yang dikemukakan Khush (1995a; 1995b). Matrik korelasi (Tabel 6) dari komponen hasil menunjukkan hanya jumlah gabah isi yang mempengaruhi bobot gabah secara nyata. Dari pengamatan terhadap galur NPT8 didapatkan jumlah gabah per malai rata-rata 306 butir, dengan persentase gabah isi 38,30% dan jumlah malai 13 malai/rumpun, dan perkiraan hasil hanya 0,38 g/hari. Peningkatan jumlah
tembus akar dan memberikan hasil gabah yang relatif tinggi. Galur No. 76-2 juga ternyata mampu memberikan hasil yang tinggi ( Suardi, 2000). Percobaan lain yang dilakukan di rumah kaca Balitbio pada MK 2001 menunjukkan bobot perakaran galur No. 76-2 (persilangan IR64 x IRAT112) dan No. 947-2 (persilangan IR64 x Cabacu) yang relatif lebih rendah namun hasil gabah relatif lebih tinggi (Tabel 7).
Tabel 7. Distribusi akar beberapa galur/varietas padi dalam pot dan hasil gabah di rumah kaca Balitbio 2001. Distribusi bobot akar (%) pada kedalaman
Galur/varietas
0−5 cm 5−10 cm No. 76-2 (Bio503B-76-2-1) No. 947-2 (Bio501B-94-2-1) NPT7 (IR65600-127-6-2MR-7) NPT8 (BP140F-MR-1 ) Sintanur Maros
>10 cm
Total (g/pot)
Hasil % gabah gabah isi (g/pot)
51 52,50 56,70
22,40 25,90 18,20
26,60 21,60 25,10
5,092 4,592 4,828
31,42 35,75 32,30
88,80 86,10 81,10
33,20 42,30 46,90
29,20 28,30 26,40
37,30 29,30 26,70
8,868 5,525 9,288
31,78 23,88 29,07
37,50 87,50 60
Sumber: Suardi (tidak dipublikasikan)
Tabel 5. Rata-rata komponen hasil galur/varietas padi, Bogor, MT 2001. Galur/varietas 76-2-1 Bio205B NPT8 Sintanur (B 9645) IR53234 RD15 947-2-1 IR39357 IRAT379
Bobot gabah (g/malai)
Jumlah gabah isi per malai
Bobot 1.000 butir (g)
Jumlah gabah per malai
Presentase gabah isi per malai
Panjang malai (cm)
5,60 5,80 3,40 4,40 5,30 3,30 3,30 2,80 4,50
195,10 208,30 115,90 149,80 157,10 117,90 121,30 115,90 119,40
27,10 28 29,30 29,50 34 27,90 27,70 23,90 37,70
247,30 267,40 306,50 116,80 174,70 127,60 134,80 124,50 138,50
79,40 77,80 38,30 89,40 89,90 92,40 89,80 92,90 86,40
30 29,80 31,30 26,10 27,40 26,20 25,90 21,50 28,60
Jumlah anakan per rumpun 15 8 13 16 6 15 15 15 8
Umur (hari) 115 120 115 115 75 115 115 80 90
Sumber: Suardi (tidak dipublikasikan).
Tabel 6. Matrik korelasi komponen hasil sembilan galur/varietas padi, MT 2001. Komponen hasil Bobot gabah per malai Jumlah gabah isi per malai Bobot 1.000 butir gabah Jumlah gabah per malai Presentase gabah isi per malai Panjang malai Jumlah anakan Umur tanaman
1
2
3
− 0,901** 0,349 0,485 0,136 0,587 −0,587 0,075
− −0,086 0,549 0,112 0,445 −0,296 0,275
− −0,074 0,085 0,389 −0,679* −0,350
4
− −0,758* 0,809** −0,163 0,446
5
6
7
8
− −0,540 −0,042 −0,240
− −0,354 0,460
− 0,472
−
Sumber: Suardi (tidak dipublikasikan).
Jurnal Litbang Pertanian, 21(3), 2002
105
Galur No. 76-2 dan No. 947-2 mempunyai distribusi akar pada kedalaman lapisan tanah 5 cm lebih dari 50%, pada lapisan tanah 5−10 cm relatif merata, dan > 10 cm di atas 20%. Distribusi akar seperti ini cukup efisien bagi penyaluran air dan hara ke bagian tanaman pada lahan irigasi teknis. Pada kondisi rumah kaca, hasil gabah galur No. 76-2 dan No. 947-2 cukup tinggi, meskipun bobot akar relatif rendah. Rendahnya hasil galur NPT7, NPT8, dan Maros terutama disebabkan persentase gabah hampa yang tinggi. Ketiga galur/ varietas ini mempunyai jumlah gabah per malai > 200 butir. Faktor lain yang memungkinkan kurangnya hasil gabah adalah fotosintesis yang kurang optimal. Peningkatan fotosintesis sangat penting bagi peningkatan hasil. Secara konvensional, sistem fotosintesis padi hanya memberikan peningkatan 50% dari yang diharapkan (Cantrell, 2000). Hasil penelitian Horton dan Murchic (2000) menunjukkan kapasitas fotosintesis galur NPT (IR65600-42-5-2 dan IR65600-129-11-2) lebih rendah dibanding IR72. Pentingnya perakaran padi dalam meningkatkan potensi hasil terlihat dengan dijadikannya vigor perakaran dalam menunjang potensi hasil padi galur NPT (Khush, 1996; Sarkarung dan Pantuwan, 2000). Sampai saat ini konsep NPT yaitu jumlah gabah per malai > 200 butir, mempunyai kendala tingginya persentase gabah hampa (Peng et al., 1999; 2000) dan perakaran terdapat pada lapisan tanah yang dangkal (Kubota et al., 2000). Jenis bulu dari Indonesia diidentifikasi sebagai donor yang mempunyai sifat-sifat jumlah anakan sedikit, malai besar, batang kekar, sistem perakaran yang vigor baik, serta tanaman pendek (Tabel 8). Pada lahan tadah hujan dengan iklim kering, pengairan bisa meningkatkan hasil. Namun, penggunaan varietas berumur genjah dengan perakaran yang mampu menembus lapisan tanah relatif keras, bisa membantu meningkatkan hasil karena memungkinkan terhindar dari kekeringan (Boling et al., 2000). Salah satu galur padi yang mempunyai penampilan baik, berumur sangat genjah, dan berdaya tembus akar cukup tinggi (relatif toleran kekeringan) yaitu IR53234-27-4-Si-3 (Gambar 2). Galur lain yang berumur sangat genjah namun daya tembus akarnya sedang, dan hasil cukup tinggi (+ 3−4 t/ ha) yaitu IR39357-71-1-1-2-2 (Suardi, 2000; Ismail et al., 2001). Pada percobaan di 106
Tabel 8. Beberapa varietas padi bulu yang digunakan sebagai tetua untuk tanaman padi tipe baru di IRRI, MH 1996. Genotipe Bali Ontjer Ase Bolong Kamandi Ketan Lumbu Kemandi Pance Jimbrung Gundil Kuning Pare Bogor Loas Gendjeh Sapongono Sarimahi Ribbon Sengkeu
Gabah Gabah Gabah isi setengah isi hampa ......................... % ......................... 83,80 71,40 69 67,80 63,70 65,20 61,40 54,70 45,60 37,30 33,40 18,90
5,90 10 17,30 19,60 17,40 13 20 22,10 24,70 29,90 33,40 37,90
10,30 18,60 13,70 12,50 18,90 21,80 18,60 23,20 29,70 32,80 27 43,20
Jumlah gabah per malai 53 171 140 145 131 142 128 132 158 109 107 133
Sumber: Peng et al. (1999).
rumah kaca, penyebaran akar kedua galur ini cukup baik dan perlu dipelajari lebih lanjut di lapangan.
KESIMPULAN
Gambar 2. Galur padi No. 2 (IR3935771-1-1-2-2 (kiri) dan No. 6(5) (IR53234-27-4-Si-3 (kanan) yang berumur sangat genjah (90 dan 85 hari) dan mempunyai daya tembus akar sedang dan tinggi.
Penelitian sistem perakaran padi dalam hubungannya dengan ketahanan terhadap kekeringan dan hasil perlu ditindaklanjuti, mengingat iklim yang tidak menentu dan kekeringan yang sulit diperkirakan. Konsep peningkatan potensi hasil padi dengan padi tipe baru (NPT) perlu ditunjang dengan perakaran yang baik (vigor) yaitu panjang/dalam, padat, ketebalan, dan daya tembus akar yang relatif tinggi. Sistem perakaran yang vigor pada berbagai lahan diharapkan mampu menjaga kestabilan dan hasil yang tinggi terutama lahan tadah hujan. Beberapa galur/varietas padi telah diidentifikasi mempunyai perakaran yang toleran terhadap kekeringan, dan diharapkan mampu memberikan hasil yang stabil. Uji daya tembus akar dengan metode Yu et al. (1995) dapat dikembangkan, dan bisa diterapkan karena cukup sederhana, murah, dan efisien. Pengujian skrining kekeringan dan daya hasil padi di lapangan perlu dilakukan sebagai tindak lanjut dari hasil pengujian di rumah kaca, agar diperoleh informasi toleransi tanaman terhadap kekeringan yang lebih lengkap dan akurat. Jurnal Litbang Pertanian, 21(3), 2002
DAFTAR PUSTAKA Angus, J.F., S.P. Libon, T.L. Hsiao, and H. Hasegawa. 1979. Yield, growth and root development in relation to water stress and water use for six upland crops and rice. Paper Presented at the 10 th Annual Scientific Meeting of the Crop Science Society of the Philippines. UPLB Philippines. April 23−25, 26 p. Babu, R.C., H.G. Zheng, M.S. Pathan, M.L. Ni, A.Blun, and H.T. Nguyen. 1996. Moleculer mapping of drought resistance traits in rice In Khush G.S. (Ed). Rice Genetics III Proceeding of the Third International Rice Genetics Symposium. IRRI, Los Banos, p. 637−642. Badan Pusat Statistik. 1998. Produksi Tanaman Padi dan Palawija di Indonesia. BPS, Jakarta. 195 hlm. Badan Pusat Statistik. 1999. Produksi Tanaman Padi dan Palawija di Indonesia. BPS Jakarta. 195 hlm. Boling, A., T.P. Tuong, B.A.M. Bouman, M.V.R. Murty, and S.Y. Jatmiko. 2000. Climate, agrohydrology, and management of rainfed rice production in Central Java: a modelling approach. In IRRI Report Program for 1999. IRRI, Los Banos. p. 38−39. Cantrell, R.P. 2000. Forenword. In Redesigning Rice Photosynthesis to Increase Yield. IRRI, Los Banos. p. 5. Chang, T.T. and B.S. Vergara. 1975. Varietal diversity and morpho-agronomic characteristics of upland rice In IRRI Upland Rice. IRRI, Los Banos. p. 72−90. De Datta, S.K., T.T. Chang, and S. Yoshida. 1975. Drought tolerance in upland rice In IRRI Upland Rice. IRRI, Los Banos. p. 101− 116. Dilday, R.H., W.G. Yan, K.A.K. Moldenhawer, and Gravois. 1998. Allelopathic activity in rice for controlling major aquatic weeds In M. Olofsdotter. Allelopathy in Rice. IRRI, Manila. p. 7−26. Fukai, S. 1998. Genotypic variation at lowsoil fertility in drought-prone rainfed lowland rice advances In Nutrient Management Research. IRRI, Los Banos. p. 273−288. Grist, D.H. 1959. Rice. Longmans, London. 472 p. Harahap, Z., E. Lubis, dan T. Susanto. 1995. Padi Unggul Toleran Kekeringan dan Naungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. 21 hlm. Hasmosoewignjo. 1962. Menaikkan Produksi Sawah Tadah Hujan. Djawatan Pertanian, Djakarta. 108 hlm. Hirasawa, T. 1999. Physiological tolerance of water deficits In O. Ito, J.O'Toole, and B. Hardy (Eds.) Genetic Improvement of Rice for Water-Limited Environments. IRRI, Los Banos. p. 89−98.
Jurnal Litbang Pertanian, 21(3), 2002
Horton, P. and E.H. Murchic. 2000. C4 photosynthesis in rice, some lessons from studies of C3 photosynthesis in field grown rice In Sheely (Ed.). Redesigning Rice Photosynthesis to Increase Yield. IRRI, Los Banos, p. 127−144. Ingram, K.T., F.O. Buano, O.D. Namuco, E.B. Yambao, and C.A. Beyronty. 1994. Rice root traits for drought resistance and their genetic variation In G.J.D. Kirk (Ed) Rice Roots Nutrient and Water Use. IRRI, Los Banos. p. 67−77. International Rice Research Institute. 1979. Annual Report for 1978. IRRI, Los Banos. 478 p. International Rice Research Institute. 1989. Annual Report for 1988. IRRI, Los Banos. 646 p. Ismail, B.P., Poniman, J.L. Wade, G.C. Mclaren, and H. Pane. 2001. Progress Report for the 2000 Research Activities Rainfed Lowland Rice Research Consortium Jakenan. In the Collaboration of CRIFC and IRRI. 6 p. Makalah seminar Puslitbangtan tanggal 11 Juni 2001. Khush, G.S. 1995a. Breaking the yield frontier of rice. Geo Journal 35(3): 329−332. Khush, G.S. 1995b. Modern Variety their real contribution to food supply equity. Geo Journal 35(3): 275−284. Khush, G.S. 1996. Prospects of Approaches to Increasing the Genetic Yield Potential of Rice In R.E. Evenson, R.W. Herdt, and M. Hossain (Eds). Rice Research in Asia. Progress and Priorities. IRRI-CAB International, Philippines. p. 59−71. Kubota, S., H. Samejina, E. Laureles, and O. Ito. 2000. Characterization of root system in a new plant type In IRRI Program Report for 1999. IRRI, Los Banos. p. 13. Mackill, D.J., W.R. Coffman, and D.P. Garrity. 1996. Rainfed Lowland Rice Improvement, IRRI, Manila. 242 p. Oldeman, L.R. 1979. An agroclimate map of Java. Contr. Central Res. Inst. Agric. Bogor (17): 22 p. Olofsdotter, M., L. Buch-Jensen, and B. Courtois 2000. Rice a model plant for allelopathy research In IRRI Program Report for 1999. IRRI, Los Banos. p. 52− 53. Papadakis, J. 1978. Root toxins and crop growth: allelopathy In U.S. Gupta (Ed.) Crop Physiology Oxford & 1 BH Publishing, New Delhi. p. 202−237 Passiora, Y.B. 1982. The role of root system characteristics in drought resistance of crop plants In IRRI. Drought Resistance in Crop with Emphasis on Rice. IRRI, Los Banos. p. 71−82.
Peng, S., K.G. Cassman, S.S. Virmani, J. Sheehy, and G.S. Khush. 1999. Yield potential trends of tropical rice since in the release of IR8 and the challenge of increasing rice yield potential. Crop Sci. 39: 1.552−1.559. Peng, S., R.C. Laza, R.M. Visperas, A.L. Sanico, K.G. Cassman, and G.S. Kush. 2000. Grain yield of rice cultivars and lines developed in the Philippines since 1966. Crop Sci. 40(2): 307−314. Reyniers, F.N., Truong-Bink, L. Jacquinot, and R. Nicon. 1982. Breeding for drought resistance in dry land rice In IRRI. Drought Resistance in Crops with Emphasis on Rice. IRRI. Los Banos. p. 272−291. Samson, B.K. and L.J. Wade. 1998. Soil physical constraint affecting root growth, water extraction, and nutrient uptake in rainfed lowland rice In J.K. Ladha (Ed.). Rainfed lowland rice. Advances in nutrient Management Research IRRI p. 231−244. Sarkarung, S. and G. Pantuwan. 2000. Improving rice for drought-prone rainfed lowland environments. Silitonga, T.S., S. Kartowinoto, dan D. Suardi. 1993. Penyaringan ketahanan 500 varietas/ galur padi terhadap kekeringan. Penelitian Pertanian 13(2): 52−57. Suardi, D.K. 1981. Estimation of Crop Coefficients and Other Parameters for an Evapotranspiration Model to Evaluate the Potential for Rice in Cropping Patterns. M.S. Thesis. UP. Los Banos Philippines. 111 p. Suardi, D. 2000. Kajian metode skrining padi tahan kekeringan. Buletin Agro Bio. 3(2): 67−73. Suardi, D. 1988. Ketahanan padi terhadap kekeringan di lapang. Buletin Penelitian 5: 29−37. Suardi, D. 2001 a . Pemilihan galur padi toleran kekeringan berdasarkan uji daya tembus akar dan hasil gabah. Berita Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan 20: 6−7. Suardi, D. 2001 b . Penelitian perakaran padi potensi hasil tinggi (makalah tidak dipublikasikan). Suardi, D. 2001 c . Adaptasi galur/varietas padi di lapangan (makalah tidak dipublikasikan). Suardi, D. dan R. Damanhuri. 1992. Penelitian neraca air dalam pola tanam lahan sawah tadah hujan tipe iklim C dan D Dalam Sridodo (Ed) Penelitian Komoditas dan Studi Khusus. p. 211−225. Suardi, D. dan H. Pane 1983. Daya saing padi terhadap gulma. Penelitian Pertanian 3(2): 63−65. Suardi, D. dan S. Haryono. 1984. Penampilan beberapa varietas padi yang ditanam sebagai padi sawah, gogo rancah dan gogo. Penelitian Pertanian 4(2): 51−55.
107
Suardi, D. dan S. Haryono. 1994. Keragaan sifat toleransi galur/varietas padi terhadap cekaman kekeringan Dalam Prasadja (Ed.) Risalah Hasil Penelitian Tanaman Pangan No. 3. Balai Penelitian Tanaman Pangan, Bogor.
Suardi, D. dan S. Moeljopawiro. 1999. Daya tembus akar sebagai kriteria seleksi ketahanan kekeringan pada padi: II. daya tembus akar beberapa galur/varietas. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 18(1): 35−40.
Suardi, D. dan Sumarno. 1982. Perakaran padi dalam kekeringan. Penelitian Pertanian 2(2): 59−63.
Suardi, D. dan T. Silitonga. 1999. Daya tembus akar plasma nutfah padi loka. Buletin Plasma Nutfah 4(1): 45−50.
Suardi, D., E. Lubis, dan S. Moeljopawiro. 2001. Daya tembus akar galur persilangan BC2F2 varietas padi unggul Dalam 1. Mariska, I.H. Somantri, Sutrisno, M. Machmud, R.D.M. Simanungkalit, Suyono, dan I.N. Orbani (Ed.) Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. hlm. 128−135.
Suardi, D. dan Sudradjat. 1986. Hubungan antara perakaran dan ketahanan tanaman padi terhadap kekeringan. Buletin Penelitian (4): 1−11.
Suardi, D. dan S. Moeljopawiro. 1999. Daya tembus akar sebagai kriteria seleksi ketahanan kekeringan pada padi: I pengaruh tingkat kekerasan dan ketebalan lapisan media campuran parafin dan vaselin terhadap daya tembus akar. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 18(1): 29−34.
108
Suryatna, E.S, I. Manwan, and S. Partohardjono. 1979. Rainfed lowland rice in Indonesia. In IRRI Rainfed Lowland Rice. IRRI Los Banos. p: 95−102. Taylor, H.M. 1980. Mechanical Insfectance to root growth. In IRRI Soil Related Constraints to Food Production in the Tropic. IRRI Los Banos. p. 389−404.
Yoshida, S. 1981. Fundamentals of Rice Crops Science. IRRI. Los Banos. 269 p. Yoshida, S. and S. Hasegawa. 1982. The food system. Its Development and function In IRRI Drought Resistance in crops with emphasis on rice. IRRI Philippines. p. 97− 114. Yu, L.X., J.D. Ray. J.C. O’Toole, and H.T. Nguyen. 1995. Use of wax-petrolatum layers for screening rice root penetration. Crop. Sci. 35:684−687. Zhang, J., H.G. Zheng, M.L. Ali, J.N. Tripathy, A. Aarti, M.S. Pathan, A.K. Sarial, S. Robin, T.T. Nguyen, R.C. Babu, B.D. Nguyen, S. Sarkarung, A. Blun and H.T. Nguyen. 1999. Progress on the molecular mapping of osmotic adjustment and root traits in rice. In O. Ito, J.O'Toole, and B. Hardy (Eds.) Genetic Improvement of Rice for WaterLimited Environments. IRRI, Los Banos. P. 307−317.
Tomar, V.S. and B.P. Ghidyal. 1975. Resistances to water transfort in rice plants. Agron. J. 40: 269−272.
Jurnal Litbang Pertanian, 21(3), 2002