Mardan
Peradaban Perspektif Al-Qur’an
PERADABAN PERSPEKTIF AL-QUR’AN Oleh: Mardan Abstract Muslims regard him as a great civilization. But in Indonrsia, Muslims were not able to demonstrate the existence of the Islamic civilization, because in general, Muslim nations are under the feet of colonization, poor, in ignorance and backwardness. In the perspective of the Qur'an, the quality of a person is determined by his faith in Allah. Is being determined by the quality of the faith of its science,; while quality is determined by the extent to which science has been practiced. Practice-practice knowledge that is based on the true faith of both physical-material and moral-spiritual that is, in essence, "Islamic civilization" and it was also the real wealth for every believer. Keywords: Civilization, Al-Quran
I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang egitu banyak persoalan yang dapat dibahas berkenaan dengan pembangunan Kampus UIN Alauddin sebagai “Kampus Peradaban”. Orasi ini tidak cukup memadai untuk mencakup keseluruhan persoalan itu. Kendatipun sedikit yang dapat disampaikan di sini, semoga dapat menjadi sumbangsi sekadarnya untuk mendorong kita mewujudkan harapan workshop ini, yakni sharing pemikiran mengenai model kampus peradaban serta langkah-langkah yang seharusnya dilakukan dalam mewujudkannya. Wacana tentang “peradaban” menjadi aktual diperbincangkan di kalangan intelektual baik melalui lembaga formal maupun informal terutama untuk menjawab provokasi tesis Samuel Huntington tentang “benturan peradaban” antara Barat dan Dunia Islam dilihat dalam bentuk konflik politik di Timur Tengah. Sehubungan dengan itu, dunia Islam sendiri punya tanggapan yang terbelah. Di satu pihak, tesis Huntington itu dipersepsi sebagai ancaman, karena tesis itu merupakan pembenaran terhadap agresi-agresi yang dilakukan oleh AS. Di lain pihak, Dunia Islam merasa “tersanjung/flattered”, karena dianggap sebagai kekuatan dunia, bahkan kekuatan alternatif. Masalahnya adalah apakah benar Dunia Islam itu merupakan sebuah entity tersendiri yang kuat, seperti yang digambarkan oleh Huntington? Memang, umat Islam menganggap dirinya sebagai sebuah peradaban besar. Akan tetapi di Indonrsia, agaknya Muhammad Natsir, yang merupakan tokoh Pergerakan Islam itu, pernah mengungkapkan bahwa kita tidak mampu menunjukkan keberadaan peradaban Islam itu, karena pada umumnya, bangsa-bangsa Muslim berada di bawah kaki penjajahan, miskin, dalam kebodohan dan kemunduran.1 Hal persis yang terjadi di kampus UIN Alauddin yang selalu disebut sebagai “kampus peradaban” tapi kita belum mampu menunjukkan keberadaannya sesuai dengan standar internasional. Dalam pada itu,
B
132
Jurnal Adabiyah Vol. XIV Nomor 2/2014
Mardan
Peradaban Perspektif Al-Qur’an
maka Natsir yang agaknya juga tersanjung dengan kata-kata orientalis di atas, hanya bisa mengungkap kembali peradaban Islam di masa kejayaannya, dengan menyebut berbagai nama dan pemikiran filsuf-filsuf Muslim di masa lalunya. Karena itu, istilah peradaban bagi umat Islam hanya menunjukkan masa lalunya itu. 2 Kendatipun dengan mengingat masa lalu itu, umat Islam berusaha melakukan renaissance (kebangkitan). Namun, “kebangkitan” di sini lebih bermakna sebagai “kebangkitan kembali masa kejayaan Islam dalam sejarah” daripada membangun masa depan. Dengan perkataan lain, jika berbicara mengenai “peradaban” umat Islam lebih mengalami “romantisme”, seperti halnya Barat sebelum maju, terlebih dahulu mengalami masa romantis terhadap kebudayaan Yunani-Romawi bersama-sama dengan kebudayaan Yahudi-Kristiani. Globalisasi yang merambah hampir semua bidang kehidupan manusia, menimbulkan beberapa konsekuensi, di samping kemudahan-kemudahan yang dibawanya. Di antaranya adalah kenyataan bahwa suatu kelompok manusia: baik dari aspek peradaban, agama, tradisi, dan jenis-jenis kegiatan kebersamaan lainnya, tidak dapat lagi terlepas dari masyarakat dunia, masing-masing saling mempengaruhi kehidupan dan perjalanan satu dan yang lainnya. Tatanan kehidupan bersama seperti itu, seharusnya tidak boleh ada yang merasa dirinya paling benar, karena umat manusia pada hakekatnya sama, asalnya satu, yakni sama-sama dari Adam-Hawa (QS al-Hujurat,49:13, QS al-Nisa’,4:1). Dalam perspektif antropologi al-Qur’an, kesatuan umat manusia itu seharusnya justru dijadikan momentum strategis untuk bekerjasama dan bersama-sama dalam membangun peradaban sebagai pengabdian kepada Allah sekaligus sebagai wujud pelaksanaan tugas mereka sebagai khali>fatullah di atas bumi,3 dengan menjelmakan potensi masing-masing melalui upaya pengejawantahan kualitas-kualitas Ilahiah yang termuat dalam asma>’ alh}usna>-Nya. Pesan-pesan al-Qur’an, khususnya tentang kekhalifahan yang demikian sentral, patut dikembangkan pemahamannya, mengingat potensinya sangat strategis untuk menjadi pangkal dalam membangun UIN Alauddin sebagai kampus peradaban. Ini penting dalam rangka meneladani jejak langkah dan semangat para kaum
Jurnal Adabiyah Vol. XIV Nomor 2/2014
133
Peradaban Perspektif Al-Qur’an
Mardan
hari Jum’at pada saat wukuf di ‘Arafah. Prinsip kesucian hidup, harta, dan kehormatan manusia itu telah mempengaruhi seluruh umat manusia. Giovani Picodella Mirandola, seorang pemikir humanism zaman Renaissance, mengakui bagaimana ia belajar menghargai manusia dari sumber-sumber Islam. Ia memang dikucilkan oleh masyarakat karena faham kemanusiaannya itu, tetapi pikiran rintisannya telah menyebar ke seluruh Eropa dan telah menjadi bagian dari wacana umum yang hangat. Mungkin sekali trilogi (kesucian hidup, kesucian harta, dan kesucian kehormatan manusia) Nabi saw. itu telah menetes kepada para tokoh kemanusiaan bahkan menggemparkan mereka, seperti John Lock dan Jefferson, meskipun dengan sedikit distorsi. Berdasarkan pandangan al-Qur’an tentang kehanifan dan fitrah itulah, sehingga setiap orang memiliki kesucian dan pembawaan kesucian. Dalam pada itu, manusia sebagai Khalifah Allah di bumi, seyogiyanya memelihara: 1. Fitrah dan kehanifan generasi yang sedang tumbuh, tidak dirusak oleh lingkungan sosial budayanya; 2. Nilai-nilai kemanusiaan asasi itu, seharusnya tumbuh dan berkembang baik, dan ini sudah menjadi kewajiban orang tua terhadap keturunanya, bahkan dapat diperluas untuk meliputi seluruh masyarakat. Keterpeliharaan kedua hal di atas sesudah kemampuan ilmu pengetahuan, manusia sebagai khalifah Allah akan mampu menlaksanakan tugas kekhalifahannya dengan sempurna. Tugas kekhalifahan dimaksud adalah tugas pengabdian hanya kepada Allah (QS al-Za>riyat, 51:56) dan membangun peradaban bumi (QS Hu>d, 11:61). Tugas kekhalifahan tersebut dinamakan tarbiyah yang memiliki makna dasar “meningkatkan”, yang sering juga diartikan “pendidikan”. Pendidikan dimulai dengan pemeliharaan dan peningkatan potensi kemanusiaan setiap pribadi yang berakar dalam design Tuhan sendiri untuk manusia. Dan yang disiapkan untuk mampu mengemban tugas kekhalifahan. Setiap orang harus dikembangkan dan mengembangkan diri untuk dapat memenuhi design penciptaan primordialnya yang suci, dalam kerangka semangat persatuan dan kesatuan manusia sejagad, dan dengan kesadaran sepenuh-penuhnya untuk memenuhi perjanjiannya dengan Sang Maha Pencipta. Pendekatan terhadap masalah kedudukan manusia sebagai khalifah Allah di atas bumi penting untuk dijabarkan demikian rupa sehingga membentuk susunan organic pemikiran yang utuh. Sebagai informasi awal, bahwa pada mulanya terjadi suatu "drama kosmis" yang melibatkan Tuhan, para malaikat, manusia, dan setan di suatu lokus primordial yang disebut Jannah. "Pengumuman" Tuhan bahwa Dia akan menjadikan seorang manusia sebagai khalifah-Nya di atas bumi, mendapat tanggapan reaktif para malaikat karena meragukan kemampuan manusia menjalankan tugasnya, mengingat potensinya untuk merusak dan menumpahkan darah. Secara tidak langsung para malaikat mengaku lebih berhak atas kehormatan sebagai khalifah Allah, karena mereka senantiasa bertasbih, memuji, dan mensucikan-Nya. Sangat menarik bahwa klaim para malaikat itu ditolak oleh Allah, dengan isyarat bahwa kesalehan pribadi semata, bukanlah jaminan bagi kesuksesan tugas kekhalifahan. Bahkan Allah punya rahasianya sendiri untuk Adam, yang para malaikat tidak dapat mengetahuinya (QS al-Baqarah, 2:30). Demikian firman Allah kepada para malaikat. Agaknya, Rahasia, yang oleh para malaikat tidak tahu itu adalah rencana Allah untuk mengajari Adam "segala Nama" (al-asma>'a kullaha>). Drama selanjutnya adalah ketika Allah memanggil para malaikat untuk menyebutkan segala nama itu, dan mereka tidak berhasil. Kemudian Allah menyuruh Adam, dan
134
Jurnal Adabiyah Vol. XIV Nomor 2/2014
Mardan
Peradaban Perspektif Al-Qur’an
berhasil. Akibatnya, para malaikat harus mengakui keunggulan Adam, dan secara formal, mereka diperintahkan untuk sujud kepadanya. Semuanya patuh menjalani perintah, kecuali Iblis (roh jahat).4 Allah mengutuk Iblis sebagai pembangkang, sombong, dan tergolong mereka yang kafir. Iblis menerima kutukan itu, tetapi memohon diberi kesempatan untuk menggoda manusia berbuat jahat, dan dikabulkan. Sejak itulah terjadi perseteruan antara manusia dan setan (masyarakat roh jahat). Drama diteruskan di mana Allah mempersiapkan Adam dan isterinya, Hawwa', tinggal di sebuah kebun (al-jannah). Ayah dan ibu pertama umat manusia itu diberi kebebasan yang amat besar untuk menikmati segala yang tersedia di kebun, kecuali dilarang mendekati sebuah pohon tertentu. Namun kedua nenek moyang manusia ini, ternyata tidak mampu menahan diri dari godaan syetan, seteru mereka sejak semula. Adam dan Hawa pun melanggar larangan Tuhan dan diusir dari surge jatuh ke bumi. Di tempat baru mereka, dua manusia pertama itu akan hidup menetap dan dapat bersenang-senang sementara, tapa juga akan berkembang biak menjadi sekumpulan makhluk yang saling bermusuhan. Namun dengan rahmat dan kemurahan-Nya, Allah tidak membiarkan Adam dan Hawwa' hidup tak menentu dan tanpa arah. Petunjuk hidup yang benar diturunkan kepada mereka dalam bentuk kalimat-kalimat, yang merupakan ajaran ketundukan. Melalui petunjuk itu, mereka berdua sadar dan bertobat, Allah pun menerima tobat keduanya dan sekaligus mengampuni dosa-dosanya (QS al-Baqarah, 2:31-33). Dari kisah al-Qur'an (QS al-Baqarah, 2:29-33) tentang Adam tersebut dapat didekati maknanya dan dapat ditarik beberapa simpulan untuk dijadikan inspirasi dalam membangun sebuah kampus berperadaban, sebagai berikut: 1. Kisah di atas menegaskan tentang martabat manusia yang tinggi, sebagai khalifah atau wali Tuhan di bumi; 2. Martabat itu berkaitan dengan konsep bahwa alam dengan segala isinya disediakan untuk menusia dan menjadi bidang garapannya, serta menjadi tempat pelaksanaan tugasnya sebagai khalifatullah fi al-'ard}. 3. Martabat itu juga berkaitan dengan nilai kemanusiaan universal. 4. Untuk menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah di atas bumi dalam rangka membangun kampus berperadaban, manusia dilengkapi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. 5. Kelengkapan martabat manusia adalah kebebasan, namun tetap mengenal batas (boleh makan semaunya, asalkan tidak mendekati sebatang pohon terlarang itu). 6. Pelanggaran terhadap batas itu membuat manusia jatuh tidak terhormat. 7. Dorongan untuk melanggar batas ialah nafsu serakah, yaitu perasaan yang tidak pernah puas dengan anugerah Tuhan. 8. Karena kelengkapan ilmu saja tidak menjamin manusia terhindar dari kejahatan, maka manusia memerlukan petunjuk Ilahi sebagai "spiritual safety net". 9. Dengan mengikuti petunjuk Ilahi itu, manusia dapat memperoleh kembali kebahagiaan surgawi-Nya yang telah hilang. II. PEMBAHASAN A. Spirit al-Qur'an tentang Peradaban 1. Esensi Peradaban. Dalam term lugawi, peradaban dipahami sebagai “kemajuan masyarakat”.5 Menurut Samuel Huntington, peradaban mengandung tiga macam pengertian: 1)
Jurnal Adabiyah Vol. XIV Nomor 2/2014
135
Mardan
Peradaban Perspektif Al-Qur’an
menunjuk pada keadaan beradab, yakni memiliki tabiat baik dan pengendalian diri. Ia berasal dari kata “adab” yang berarti “kehalusan dan kebaikan budi pekerti”.6 Pada masa permulaan Islam, kata adab selain berarti "akhlak yang baik", juga berarti "pengajaran dan pendidikan yang baik", seperti terlihat dalam sabda Nabi saw., yang berbunyi "addabani> rabbi> fa'ah}sana ta'di>bi>" (Tuhan-ku telah mendidikku dengan pendidikan yang sebaik-baiknya). Pada masa Kerajaan Abbasiyyah, kata adab berarti "semua ilmu pengetahuan yang dihasilkan umat manusia, termasuk berarti tatacara yang seharusnya ditaati dalam melaksanakan suatu pekerjaan (menaati aturan yang telah ada berkaitan dengan pekerjaan itu). Dalam kitab-kitab referensi Islam juga ditemukan kata adab yang berarti "etika atau tatacara yang baik dalam melakukan sesuatu pekerjaan, baik ibadah maupun mu'amalah duniawiyah.7 Dalam pada itu, peradaban tidak dapat dilepaskan dari keberadaban seluruh sisi kehidupan masyarakat. Beradab dalam bahasa, beradab dalam tradisi dan budaya, beradab dalam informasi dan telekomunikasi, beradab dalam politik, beradab dalam ekonomi, beradab dalam hukum; beradab terhadap lingkungan sekitarnya, juga beradab dalam bermasyarakat, berbangsa, dan beragama; 2) menunjuk pada makna kemajuan ilmu pengetahuan dan pendidikan; 3) menunjuk pada pada makna kebudayaan; 4) menunjuk pada makna "cinta pada pekerjaannya", serta 5) menunjuk pada makna yang sama dengan civilization. Suatu istilah untuk menggambarkan “keberaturan” yang melahirkan kemajuan serta kemakmuran “masyarakat kota” dan “peradaban dunia Islam” di masa lampau.8 Dalam pada itu, peradaban, pada hakekatnya, mencakup beberapa unsur, di antaranya: kecerdasan, berakhlak mulia/moral, disiplin, dan berkemajuan hidup bersama lahir- batin (kebahagiaan dan kesejahteraan sosial). Kemajuan dan kemakmuran bersama tidak akan terwujud tanpa “keteraturan”. Keteraturan tidak akan ada tanpa kehendak kuat mengendalikan hawanafsu atau ego masing-masing. Jika ego terkendali, manusia akan berada pada posisi kemanusiaannya yang murni. Kemanusiaan yang tak terkontaminasi oleh hawanafsu. Posisi kemanusiaan yang dalam agama diistilahkan sebagai fitrah. Dalam fitrah, hati dengan hati akan tersambung, manusia dengan manusia akan terhubung. Bila demikian, kemajuan dan kemakmuran bersama akan segera tercapai tanpa penghalang. 2. Eksistensi Peradaban dalam al-Qur'an. a. Ungkapan yang semakna peradaban. Dari makna-makna leksikal tentang "peradaban" di atas terlihat bahwa bila dikaitkan dengan konsep-konsep yang terdapat dalam al-Qur'an, ternyata tidak ada term yang secara langsung cocok dengan kata "peradaban". Namun, ada beberapa ungkapan yang mungkin sepadan makna dengan "peradaban", di antaranya: albalada a>minan (QS Ibra>hi>m,14:35), baladan a>minan (QS al-Baqarah,2:126), baldatun t}ayyibatun wa rabbun gafu>r (QS Saba',34:15), khaira ummatin (QS A
n,3:110), serta ummatan wasat}a> dan syuhada>' 'ala al-na>s (QS alBaqarah,2:143). a. Ungkapan al-balada a>minan (QS Ibra>hi>m,14:35), dan baladan a>minan (QS alBaqarah,2:126),
136
Jurnal Adabiyah Vol. XIV Nomor 2/2014
Mardan
Peradaban Perspektif Al-Qur’an
Kedua ayat di atas adalah berisi tentang doa Nabi Ibrahim kepada Tuhannya. Harapan yang dipinta sekali al-balada a>minan, dan di kali lain baladan a>minan. Penggunaan ma'rifah pada ayat pertama dan nakirah pada ayat kedua, meskipun mengandung perbedaan penafsiran, misalnya, yang nakirah mengandung arti "Makkah aman", dan yang ma'rifah mengandung arti "Makkah aman dan sejahtera saat Ibrahim dan putranya mendiami wilayah itu. Namun dari penggalan kedua ayat tersebut dapat diperoleh isyarat mengenai cita-cita baladan a>minan, yakni: 1) suatu negeri bukan tempat penyembahan berhala, tetapi tempat menegakkan ajaran salat, menebar keselamatan dan kedamaian, serta menuai keampunan Tuhan Pemelihara alam semesta; 2) negeri yang dicintai dan dirindukan oleh warganya, karena di samping menjanjikan kesejahteraan lahir, buah-buahan melimpah tanpa terpengaruh oleh musim, juga menjanjikan ketenteraman batin, penduduknya senantiasa dapat menyatakan kesyukuran kepada Allah swt., tanpa sedikit pun rasa takut.9 b. Ungkapan baldatun t}ayyibatun wa rabbun gafu>r (QS Saba',34:15),
Term baldatun t}ayyibatun wa rabbun gafu>r tersebut, oleh al-Qur'an menyebutkan pernah menjadi logo negeri Saba>. Negeri tersebut merupakan pemukiman yang aman dan menyenangkan, diapit dua lembah yang subur dan tertata apik. Penduduknya di samping dapat menikmati rezeki dari Allah swt., juga senantiasa dapat bersyukur kepada-Nya. Akan tetapi saat mereka lalai dan inkar nikmat, "logo" itu tercabut dengan sendirinya, negeri mereka porak-poranda dilanda banjir bandang dan kehidupan menjadi sulit dan tak menentu. Tidak berlebihan bila dari cela-cela khutbah al-Wada' Rasulullah saw. dilirik juga untuk menjadi acuan normatif suatu baldatun t}ayyibatun wa rabbun gafu>r itu, karena beliaulah yang dapat membumikan pesan-pesan al-Qur'an dalam realitas masyarakat yang berperadaban, yang rangkuman nilai normatifnya dapat dibingkai menjadi tiga pilar cita-cita universal, yang menjadi misi para rasul, filosof, wali, dan penganjur kemanusiaan, sebagai berikut: 1) ketauhidan, ini ditandai dengan pernyataan h}amdalah di awal khutbah; 2) kemanusiaan, pernyataan ini terlihat pada ungkapan "manusia adalah satu turunan, yakni semuanya dari Adam-Hawwa, karena itu seharusnya diperlakukan sama dan senantiasa bekerjasama dalam menegakkan tugas mereka sebagai khalifah Allah, yakni mengabdi hanya kepada Allah dan sekaligus berkewajiban untuk memakmurkan bumi"; 3) kesejahteraan, ini dipahami dari pengutipan ayat ke-3, QS al-Ma>'idah, di mana ayat tersebut menegaskan bahwa "Islam bukan hanya agama sempurna, tetapi juga mengandung misi "nikmat kesejahteraan sosial", bila diaktualisasikan dalam kehidupan nyata, menuju visi utama setiap mukmin, yakni memperoleh kerid}aan Allah swt. c. Ungkapan khaira ummatin (QS An,3:110), serta ummatan wasat}a> dan syuhada>' 'ala al-na>s (QS al-Baqarah,2:143).
Jurnal Adabiyah Vol. XIV Nomor 2/2014
137
Peradaban Perspektif Al-Qur’an
Mardan
Kedua ayat di atas menekankan bahwa khairah ummah (masyarakat yang paling ideal) dari Rasulullah saw. yang paling akhir, karena merupakan ummatan wasat}an (masyarakat penyerasi) dan syuhada> 'ala> al-na>s (masyarakat yang patut diteladani), memang selalu dituntut untuk merumuskan cita-cita masyarakat yang berperadaban, yang senantiasa berorientasi pada kewahyuan al-Qur'an dan sunnah Nabi saw., agar dengannya peradaban dunia senantiasa eksis. 2. Iqra’ jalan menuju peradaban. QS al-'Alaq, 96:1- 5,
Kitab suci umat Islam itu disebut Al-Qur'ân, yang berarti "bacaan sempurna/sesuatu yang wajib selalu dibaca." Karena itu, umat Islam seyogiyanya melakukan iqra’ setiap saat. a. Makna iqra' Kata "iqra'" terambil dari kata "qara'a", yang pada mulanya berarti "menghimpun". Dari sini ditemukan dalam kamus-kamus bahasa, arti yang beraneka ragam, antara lain: menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu. "Perintah membaca" di atas tidak ditemukan tentang objek yang harus dibaca dari wahyu tersebut, tidak dikaitkan dengan satu objek tertentu. Karena itu dapat disimpulkan bahwa objeknya bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata "baca" dengan makna-makna yang disebutkan di atas. Di antara objek-objek itu adalah: kitab suci, alam raya, masyarakat, koran, majalah, termasuk diri sendiri. Tetapi ingat, kesemuanya ini harus dikaitkan dengan "bismi rabbika" (demi karena Allah ) . Insya'-Allah hasil "iqra'" kita dapat mendatangkan kemurahan anugerah-Nya berupa pengetahuan, pemahaman, dan wawasan baru walaupun objek bacaannya sama, yang dengannya sedapat mungkin mewujudkan suatu kehidupan yang berperadaban. b. Iqra' kunci kemajuan. Turunnya Al-Qur’an bila dikaitkan dengan pendidikan, yang dimulai dengan "iqra'" (membaca) mengisyaratkan bahwa manusia diciptakan atau didesaian memang untuk belajar. Siapa yang tidak belajar, hidupnya pasti terkebelakang baik secara fisik maupun rohani. Karena Al-Qur’an-lah yang kemudian membimbing manusia dari kegelapan menjadi terang benderang; dari kekeringan jiwa menjadi kaya akan hati; serta menjadi pendobrak kebekuan ilmu pengetahuan, melalui firman-Nya yang berbunyi "iqra'". Tidak berlebihan bila dikatakan "membaca" adalah syarat utama lahirnya peradaban, semakin mantap bacaan suatu masyarakat, semakin tinggi pula peradaban masyarakat itu, demikian sebaliknya. Bahkan tidak mustahil pada suatu ketika "manusia" akan didefinisikan sebagai "makhluk membaca". Suatu definisi yang tidak kurang nilai kebenarannya dari definisi-definisi lainnya seperti "makhluk sosial," atau "makhluk berfikir," atau "makhluk bertuhan", QS al-A'râf,7:172 dan 179;
138
Jurnal Adabiyah Vol. XIV Nomor 2/2014
Mardan
Peradaban Perspektif Al-Qur’an
Toshihiko Izutsu (1914) berpandangan bahwa "suatu Negara tidak akan maju dan berperadaban tinggi, kalau tidak dimulai dengan pengembangan pendidikan sampai ke tingkat tinggi serta pengamalan akan ajaran agama yang baik dan benar bagi bangsanya." Ini dipahami dari wahyu pertama, yang berbunyi "iqra' bismi rabbika". Iqra’ sebagai symbol pentingnya ipteks, sedangkan bismirabbika sebagai symbol pentingnya diamalkan ajaran agama secara baik dan benar. Kedua hal inilah, yang diperoleh dari hasil perenungannya pada ayat pertama dari wahyu pertama alQur’an turun, kemudian disampaikan kepada bangsa Jepang di awal abad ke-20. Pemerintah Jepang, kemudian, menaikkan anggaran pendidikannya sebanyak 30% dari anggaran APBN per tahun, di samping dinstrukksikan agar seluruh masyarakat Jepang mengamalkan ajaran agamanya secara konsisten dan benar. Enam belas tahun kemudian, bangsa Jepang maju pesat, lahirlah peradaban Jepang yang menggetarkan dunia ketika itu hingga sekarang. Kalau yang menentukan majunya peradaban suatu Negara adalah umurnya, maka yang paling maju adalah Mesir dan Yunani. Kalau jumlah masyarakatnya, maka yang paling maju adalah Cina dan India. Kalau kekayaan sumber alamnya, maka Indonesia yang paling maju. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian. Justeru, yang menentukan kemajuan suatu bangsa adalah pendidikan dan pengamalan akan ajaran agamanya. Kalau kita tidak terdidik, agama tidak diamalkan dan tidak terjaga, jangan mimpi akan berperadaban, baik fisik lebih-lebih rohani (QS alMuâdilah, 58:11, " " (Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat). Dalam pada itu, bangsa Indonesialah mestinya yang paling maju, karena kekayaan alamnya yang melimpah dan memiliki umat Islam yang terbesar. Mestinya bangsa kitalah yang paling "iqra'", berberkah hidupnya, karena kedua komponen utama sebagai persyaratan untuk maju, sudah dimiliki. Sekarang, kenapa kita tidak maju? Karena kita tidak memanfaatkan sektor pendidikan secara optimal, serta belum mengamalkan bimbingan Al-Qur’an secara sungguh-sungguh dan ikhlash, terutama "iqra' bismi rabbika dan iqra' warabbukal akram". 3. Inisiatif untuk berubah. QS al-Ra’d,13:11;
Jurnal Adabiyah Vol. XIV Nomor 2/2014
139
Peradaban Perspektif Al-Qur’an
Mardan
Ayat ini mengandung informasi yang amat mendasar mengenai prinsip-prinsip perubahan yang ditekankan sekaligus diterapkannya, antara lain: a. You must change, if you don’t change, you lose or die. Syauqy Bey mendorong manusia untuk senantiasa membangun kesadaran dirinya melalui untaian syairnya,sebagai berikut: . b. Perubahan harus dimulai dari manusia terlebih dahulu melalui sisi dalamnya, sebagaimana diisyaratkan oleh kata bi anfusihim. c. Perubahan yang bermakna, karus melalui sekelompok manusia, bukan satu orang atau perorangan, sebagaimana diisyaratkan oleh bentuk jamak/plural yang digunakan ayat di atas. Sisi dalam manusia adalah idea-idea/nilai-nilai berupa ilmu pengetahuan dan pengalaman yang terdapat dalam benak seseorang, serta diyakini kebenaran dan manfaatnya. Di samping itu, juga seharusnya ada inisiatif atau tekad yang kuat untuk mau berubah sebagai hasil dari keyakinan tersebut. Apa yang dikemukakan oleh ayat di atas, telah dibuktikan oleh sejarah, yang menunjukkan bahwa keberhasilan Nabi Muhammad saw., baru terlihat secara jelas, setelah hijrah beliau ke Madinah, yang hanya dalam waktu 10 tahun mampu melahirkan peradaban Islam yang menakjubkan dunia ketika itu, bahkan sampai sekarang, yang didahului oleh tampilnya kelompok atau pioneer-pioner yang melakukan Ba'it al-Aqabah, baik yang pertama maupun yang kedua. Dalam rangka melakukan perubahan, al-Qur'an menempuh prinsip dasar yang dikemukakan oleh ayat al-Ra'd di atas. Kitab suci itu memulai dengan melakukan pendidikan nilai, baik nilai-nilai dalam wujud akidah, ibadah, dan akhlak maupun nilai-nilai yang bersifat lokal, temporal, yang kemudian pada saatnya melahirkan sikap dan perilaku yang menakjubkan dalam wujud peradaban Islam sebagai bagian dari peradaban dunia. Nilai-nilai tersebut diisyaratkan juga dalam QS An,3:104;
Dari ayat ini perlu digarisbawahi bahwa dengan konsep ma'ru>f, al-Qur'an membuka pintu yang amat lebar guna menampung perubahan nilai-nilai akibat perubahan dan perkembangan masyarakat. Hal ini agaknya ditempuh oleh al-Qur'an, karena suatu idea yang dipaksakan atau tidak sejalan dengan perkembangan budaya masyarakat, tidak akan dapat diterapkan. Karena itu, di samping al-Qur'an memperkenalkan dirinya sebagai pembawa ajaran yang sesuai dengan fitrah manusia, ia juga sejalan dengan perkembangan budaya masyarakat setempat, demi tercapainya cita-cita Islam, yakni terwujudnya peradaban Islam sebagai buah dari iman, ilmu, dan amal saleh. 3. Konsep taskhi>r kaitannya dengan peradaban. Oleh karena salah satu fungsi kekhalifahan manusia di bumi adalah membangun peradaban dunia (QS Hu>d, 11:61), lalu al-Qur’an menyebutkan bahwa Allah swt. Menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi adalah untuk manusia (QS al-Baqarah,2:29). Sehubungan dengan itu, Allah “menundukkan” untuk manusia segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi beserta segenap benda alam dan gejala alam, seperti: matahari dan rembulan, siang dan malam, daratan dan lautan, angin,
140
Jurnal Adabiyah Vol. XIV Nomor 2/2014
Mardan
Peradaban Perspektif Al-Qur’an
udara, kapal yang berlayar di laut, sungai-sungai, dan hewan ternak dan sebagainya. Istilah yang digunakan al-Qur’an untuk pengertian “menundukkan” adalah sakhkhara ( ) yang bentuk mas}darnya adalah taskhi>r ()ﺗﺴﺨﻴـﺮ, yang secara harfiah memang berarti “menundukkan” atau “membuat sesuatu lebih rendah”, QS Luqman,31:20,
Terjemahnya: Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan. Dalam pada itu, konsep taskhi>r memang terdapat dalam al-Qur’an, yakni penundukan alam untuk umat manusia. Konsep itu sekaligus juga berhubungan dengan "design" Tuhan, bahwa manusia adalah puncak ciptaan-Nya. Sebagai makhluk termulia, manusia harus "melihat ke atas" hanya kepada Tuhan; kemudian kepada sesamanya, harus melihat dalam garis mendatar yang rata, serta kepada alam harus "melihat ke bawah", dalam arti melihatnya dengan kesadaran bahwa dalam hirarki ciptaan Tuhan, alam adalah lebih rendah daripada manusia. Dari sini dapat dipahami logika syirik sebagai dosa terbesar, yakni karena syirik merupakan tindakan manusia mengingkari anugerah kemuliaan dan martabat sebagai puncak ciptaan. Karena itu dengan syirik, manusia merosot dari kedudukannya sebagai makhluk yang mengatasi alam menjadi yang berada di bawahnya. Al-Qur'an menegaskan bahwa agama kebenaran adalah agama kemanusiaan universal. Fitrah adalah hakikat dasar seluruh manusia dan setiap orang. Sedangkan kehanifan adalah kecenderungan alami yang ada pada jiwa setiap individu. Karena dari segi keuniversalan itu, al-Qur'an mengajarkan agar manusia percaya kepada semua Kitab Suci serta kehadiran para nabi. Jika kita dengan konsisten menggunakan pola pemahaman keagamaan masa klasik, sebagai garis edar, yang semua pemahaman tauhid itu harus berjalan, maka dengan mudah kita dapatkan berbagai contoh dan teladan, baik yang "konvensional" maupun yang 'tidak konvensional". Untuk dapat memenuhi fungsi dan tugas kekhalifahan dengan baik, manusia harus mengetahui sejarah, karena dalam sejarah itulah dapat dilihat bagaimana sunnatullah beroperasi. Semakin banyak mengetahui sunnatullah yang terdapat pada sumber daya alam yang telah ditundukkan Allah swt. untuk manusia, , semakin membuka kemungkinan hidup lebih sejahtera, serta memperoleh manfaat lebih besar menuju pembangunan masa depan peradaban manusia. III. PENUTUP A. Kesimpulan Dalam perspektif al-Qur'an, kualitas seseorang ditentukan oleh imannya kepada Allah swt., sedang kualitas iman ditentukan oleh ilmu pengetahuan yang dimilikinya,; sementara kualitas ilmu pengetahuan ditentukan oleh sejauhmana telah diamalkan. Pengamalan-pengamalan ilmu pengetahuan yang dilandasi iman yang benar baik fisik-material maupun moral-spiritual itulah, pada hakekatnya, "peradaban Islam" dan itu pulalah kekayaan sesungguhnya bagi setiap mukmin.
Jurnal Adabiyah Vol. XIV Nomor 2/2014
141
Mardan
Peradaban Perspektif Al-Qur’an
Endnotes: Lapian dkk. (ed.), Sejarah & Dialog Peradaban, dalam M. Dawam Raharjo “Benturan Ataukah Dialog Peradaban?”, (Cet.I; Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2005), h.1013. 2 Muhammad Natsir, Islam dan Kebangsaan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1954), h.3-9. 3 Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, ( New York, Toronto & London: New American Library, 1970), h.87. 4 Abu> Mans}u>r al-Jawa>li>qi, al-Mu'arrab, (Cet.II; Damaskus: Da>r al-Qalam, 1410 H/1990 M), h.122. 5 Wilfred Cantwell Smith, Modern Islam in India: A Social Analysis, Reprin Edition, (New Delhi: Usha Publication, 1979), h. 37. 6 Abu> al-H{usain Ah}mad bin Fa>ris bin Zakariya>, Mu'jam al-Maqa>yis fi> al-Lugah (Cet.I; Bairu>t-Libna>n: Da>r al-Fikr, 1994 M/1415 H), h.66-67. 7Prof.Dr. Azyumardi Azra, M.A., (ed.), Ensiklopedi Islam, Jilid I, (Cet.IX; Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), h.56-57. 8 Murad Wilfried Hofmann, Islam the Alternative, (Glasgow: Bell and Bain, Ltd., 1993), h.72. 9 Ibn 'A<syur, al-Syaikh Muh}ammad al-T{a>hir (1912 M). Tafsi>r al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r, Jilid III, Juz I-II, (Tu>nis: Da>r Suh}nu>n, 1997), h. 211. 1A.B.
DAFTAR PUSTAKA Abu> al-H{usain Ah}mad bin Fa>ris bin Zakariya>, Mu'jam al-Maqa>yis fi> al-Lugah Cet.I; Bairu>t-Libna>n: Da>r al-Fikr, 1994 M/1415 H. Abu> Mans}u>r al-Jawa>li>qi, al-Mu'arrab, Cet.II; Damaskus: Da>r al-Qalam, 1410 H/1990 M. Azra, Azyumardi. (ed.), Ensiklopedi Islam, Jilid I, Cet.IX; Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2001. Hofmann, Murad Wilfried. Islam the Alternative, Glasgow: Bell and Bain, Ltd., 1993. Ibn 'A<syur, al-Syaikh Muh}ammad al-T{a>hir (1912 M). Tafsi>r al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r, Jilid I-II, Juz I-II, Tu>nis: Da>r Suh}nu>n, 1997. Lapian A.B. dkk. (ed.), Sejarah & Dialog Peradaban, dalam M. Dawam Raharjo “Benturan Ataukah Dialog Peradaban?”, Cet.I; Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2005. Nasr, Seyyed Hossein. Science and Civilization in Islam, New York, Toronto & London: New American Library, 1970. Natsir, Muhammad. Islam dan Kebangsaan, Jakarta: Bulan Bintang, 1954. Smith,Wilfred Cantwell. Modern Islam in India: A Social Analysis, Reprin Edition, New Delhi: Usha Publication, 1979.
142
Jurnal Adabiyah Vol. XIV Nomor 2/2014