PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA USAHATANI PADI SAWAH DI DESA AMBARKETAWANG KECAMATAN GAMPING, SLEMAN – D.I. YOGYAKARTA Warnadi dan Irma Lusi Nugraheni E-mail:
[email protected] (Dosen Jurusan Geografi FIS UNJ) ABSTRAK Penenelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyerapan tenaga kerja dan pendapatan pada usaha tani padi sawah yang menggunakan teknolgi pertanian tradisional dan yang menggunakan teknologi pertanian moderen di Desa Ambarketawang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey. Dengan populasi penelitian 460 kepala kepala keluarga petani pemilik dan penggarap usaha tani padi sawah di lima dusun Desa Ambarketawang. Dengan sampel 92 kepala keluarga dengan analisis data dilakukan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Penyerapan tenaga kerja pada usaha tani padi sawah terhadap tenaga kerja di Desa Ambarketawang per musim per hektar yaitu 57 orang dengan lama hari kerja 59 hari. Daya serap usaha tani padi sawah terhadap tenaga kerja di Desa Ambarketawang sebesar 32,57%. Penggunaan traktor pada tahap pengolahan lahan lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan menggunaan bajak. Hal ini berarti semakin banyak jam kerja traktor pada tahap pengolahan lahan, semakin besar pula kemampuan petani dalam menyediakan tenaga kerja melalui suplai dan subtitusi yang dilakukan oleh teknologi tersebut. Herbisida sebagai salah satu alternatif bagi petani, menjadi semakin kuat posisinya karena terbukti lebih efisien dan efektif digunakan pada tahap penyiangan dibandingkan dengan cara matun; 2) Pengelolaan usaha tani padi sawah dengan menggunakan teknologi moderen lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan menggunakan teknologi tradisional. Ini ditunjukkan dengan adanya 9 responden (9,78 %) yang dapat mencapai tingkat pendapatan antara Rp 6.977.600 - Rp 8.620.000 per tahun ketika menggunakan teknologi moderen, sedangkan ketika menggunakan teknologi pertanian tradisional hanya 7 responden (7,61 %) yang dapat mencapai tingkat pendapatan tersebut. Hal ini terjadi, karena produktivitas lahan dengan menerapkan teknologi pertanian moderen lebih tinggi daripada ketika menerapkan teknologi pertanian tradisional; 3) Hambatan-hambatan yang dihadapi petani dalam melaksanakan aktivitas usaha tani padi sawah, yaitu tidak tersedianya modal apabila mengalami gagal panen (33,69%), kurang tersedianya tenaga kerja apabila musim tanam padi sawah bersamaan (20,65%), penggunaan herbisida yang tidak sesuai dosis mengakibatkan produktivitas lahan padi sawah menurun (11, 96 %), adanya hama padi sawah yang sulit diberantas (18,48 %) dan pengairan lahan sawah yang kurang memadai (5,22 %). Kata kunci: Tenaga Kerja, Usahatani Padi Sawah, Sleman. PENDAHULUAN Indonesia adalah negara agraris yang sebagian besar penduduknya hidup di bidang peretanian. Sektor pertanian bagi Bangsa Indonesia memegang peranan yang sangat penting karena sektor ini masih merupakan basis perekonomian utama. Usahatani padi sawah sebagai
pekerjaan pokok petani miskin ternyata masih dominan, dimana memberikan sumbangan 60 % terhadap total pendapatan rumah tangga mereka (Hadi Prayitno dan Lincolin Arsyad, 1987:151). Ada empat sumberdaya yang merupakan faktor produksi penting dalam usahatani yaitu : (1) lahan (tanah), meliputi
SPATIAL Wahana Komunikasi dan Informasi Geografi Vol. 10 No.1 Maret 2012
1
kuantitas dan kualitas, (2) tenaga kerja, meliputi kuantitas dan kualitas, (3) modal, meliputi modal tetap (tanah, mesin-mesin, bangunan, inventaris) dan modal kerja untuk pembelian input variable, dan (4) keterampilan manajemen dari petani (Hadi Prayitno dan Lincolin Arsyad, 1987:104). Luas lahan garapan usaha tani di Pulau Jawa sangat sempit, yaitu rata-rata = 0,25 ha dan di luar Pulau jawa luas ratarata <0,50 ha atas dasar tanah sawah yang tingkat produktivitasnya tinggi (dapat ditanam dua kali setahun). Modal yang dimiliki sebagian besar petani dalam mengusahakan pertanian relatif kecil, meskipun harga dasar gabah selalu naik setiap tahun menjelang masa tanam, tetapi kenaikan ini hampir selalu tidak cukup untuk mempertahankan kelangsungan usaha tani produsen padi. Hal ini menyebabkan rendahnya pendapatan petani dan kemampuan untuk menyimpan atau menabung uang dari hasil pertaniannya sangat kecil bahkan tidak ada, sehingga kesempatan untuk memperluas usahanya juga terbatas. Pada umumnya, keterampilan dan pendidikan petani juga rendah. Kondisi ini menyebabkan lambatnya daya tanggap (responsi) untuk menerima dan menerapkan teknologi baru yang sesungguhnya dapat meningkatkan produktivi-tas usaha tani. Teknologi usaha tani dalam suatu proses produksi pertanian dapat mempengaruhi efisiensi proses itu sendiri dan hasil produksi. Efisiensi waktu yang dihasilkan oleh penerapan teknologi usahatani dapat mengurangi waktu kerja pada lahan pertanian. Ada dua kemungkinan yang dapat ditimbulkan yaitu : pertama, dapat berakibat munculnya pengangguran dan menurunkan pendapatan petani : kedua, munculnya waktu luang yang merupakan daya dorong bagi tenaga kerja setempat sehingga dapat memanfaatkannya untuk melakukan diversifikasi mata pencaharian yang ada di
wilayah pedesaan, baik masih dalam sektor pertanian maupun bekerja di sektor lain. Desa Ambarketawang dengan jumlah penduduk 16.818 jiwa merupakan daerah yang sangat berpotensi sebagai penghasil beras, sehingga pembangunan pertanian khususnya padi sawah, diarahkan sebagai usaha melestarikan dan memantapkan swasembada beras secara kualitas maupun kuantitas. Usaha tani merupakan aktivitas sebagian besar penduduk, khususnya usaha tani padi sawah. Luas lahan pertanian di Desa Ambarketawang adalah 217 ha yang seluruhnya merupakan sawah irigasi 217 ha. Penduduk yang tercatat sebagai angkatan kerja berjumlah 8.215 orang dengan angkatan kerja yang sudah bekerja sebanyak 5.355 orang dan yang belum bekerja sebanyak 2. 860 orang. Sedangkan jumlah petani di desa ini adalah 1.263 orang. Sebagian besar dari penduduk yang belum bekerja (pengangguran) tersebut adalah generasi muda yang merupakan sumber tenaga potensial. Sektor pertanian yang tidak menarik bagi generasi muda, karena tidak memberikan kehidupan yang layak dan prospek kehidupan yang cerah. Disamping dari segi ekonomi tidak menguntungkan, dari segi sosial, lapangan kerja di sektor pertanian sering dianggap rendah karena selalu berlumuran dengan lumpur yang kotor dan kadang-kadang merasa menurunkan gengsi bila mengerjakan lahan pertanian. Oleh karena persepsi yang demikian ini, maka mereka berkeinginan meninggalkan sektor ini. Terlihatnya gejala kekurangan pekerja di bidang pertanian merupakan salah satu indikasi bahwa kegiatan pertanian di Desa Ambarketawang tersebut tidak berkembang secara optimal karena ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran pekerja. Penduduk yang berada di daerah tersebut sudah tidak bisa lagi menjamin terlaksananya pertanian yang efektif khususnya dalam hal ketenagakerjaan. Oleh karena itu sangatlah perlu diadakan
PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA USAHATANI PADI SAWAH DI DESA AMBARKETAWANG KECAMATAN GAMPING, SLEMAN – D.I. YOGYAKARTA; Warnadi dan Irm a Lusi Nugraheni
2
suatu penelitian yang dapat mengungkap kemampuan usaha tani padi sawah dalam menyerap tenaga kerja yang tersedia, berkaitan dengan uraian dari masalah di atas, maka penelitian ini diberi judul “Penyerapan Tenaga Kerja Pada Usaha Tani Padi Sawah di Desa Ambarketawang Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman”. Berdasarkan uraian di atas, masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1.Berapakah besarnya penyerapan tenaga kerja pada usaha tani padi sawah yang menggunakan teknologi tradisional dengan yang menggunakan teknologi moderen, di Desa Ambarketawang? 2.Berapakah besarnya pendapatan usaha tani padi sawah yang menggunakan teknologi tradisional dan yang menggunakan teknologi moderen di Desa Ambarketawang? 3.Hambatan-hambatan apa sajakah yang dihadapi petani dalam melaksanakan
kegiatan usaha tani padi sawah di Desa Ambarketawang? METODOLOGI PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey. Populasi penelitian adalah kepala keluarga petani pemilik dan penggarap usaha tani padi sawah di lima dusun Desa Ambarketawang yang berjumlah 460 kepala keluarga. Sampel penelitian diambil secara proporsional sebesar 20% (92 KK) dari populasi masing-masing dusun. Analisis data dilakukan secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola tataguna lahan Penggunaan lahan Desa Ambarketawang dikelompokkan menjadi dua yaitu lahan agraris dan lahan non agraris. Lahan agraris berupa persawahan, perkebunan, pertanian, dan tegalan. Sedangkan lahan non agraris berupa permukiman dan fasilitas umum.
Tabel 1. Penggunaan Lahan Desa Ambarketawang Tahun 2008 No 1
2
Penggunaan Lahan Agraris: a. Persawahan b. Perikanan c. Tegalan Non Agraris: a. Permukim an b. Fasilitas Umum Jumlah
Lahan persawahan di Desa Ambarketawang sebesar 217 hektar atau 35,95 % dari luas wilayah seluruhnya. Tata guna lahan untuk persawahan di Desa Ambarketawang didukung oleh adanya kondisi lahan yang relatif datar, jenis tanah yang subur, dan irigasi yang memadai sedangkan tata guna lahan untuk kegiatan non agraris mencapai 365,94 hektar atau 60,63 % dari luas wilayah Desa Ambarketawang. Berdasarkan luasan penggunaan lahan di atas, dimana penggunaan lahan non agraris lebih luas dibandingkan dengan pengguaan lahan
Luas Lahan (Ha)
Prosentase (%)
217.00 0.70 20.00
35.95 0.11 3.31
311.40 54.54 603.64
51.59 9.04 100.00
agraris, hal demikian dimungkinkan bahwa pada daerah penelitian ini telah terjadi alih fungsi lahan dari agraris ke non-agraris. Kondisi Demografi dan Sosial Ekonomi Jumlah Kepala Keluarga di Desa Ambarketawang berjumlah 4.256 KK, sehingga tiap rumah tangga rata-rata memiliki jumlah anggota sebanyak 4 orang. Laju pertumbuhan penduduk Desa Ambarketawang sebesar 1% pertahun (kategori rendah). Jumlah penduduk tersebut di atas menghuni wilayah seluas 603,64 ha atau 6,0364 km2, maka kepadatan penduduknya adalah 2.786
SPATIAL Wahana Komunikasi dan Informasi Geografi Vol. 10 No.1 Maret 2012
3
jiwa/km2. Jumlah penduduk di Desa Ambarketawang yang bermata pencaharian sebagai petani sebanyak 2.677 jiwa dengan luas lahan pertanian 2,377 km2. Ini berarti setiap 1 km2 lahan pertanian di Desa Ambarketawang digunakan oleh 1.126 petani. Berdasarkan kelompok umur, komposisi penduduk Desa Ambarketawang termasuk dalam karakteristik penduduk konstruktif atau berstruktur tua. Jumlah penduduk yang berumur =15 tahun sebanyak 25,3% (< 40 %) dan penduduk
yang berumur >65 tahun sebanyak 10,7% (>10%). Berdasarkan kelompok jenis kelamin, diketahui bahwa jumlah penduduk laki-laki 8.424 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 8.394 jiw a, maka sex rationya sebesar 100,36. Jadi dapat dikatakan bahwa di Desa Ambarketawang, jumlah penduduk perempuan sebanding dengan jumlah penduduk laki-laki, yaitu setiap 100 penduduk perempuan terdapat pula 100 penduduk laki-laki.
Tabel 2. Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin di Desa Ambarketawang Tahun 2003 No
Golongan Umur (tahun)
Jumlah Penduduk Lk Pr Σ 1 0-4 614 625 1239 2 5-9 740 759 1499 3 10-14 765 751 1516 4 15-19 740 738 1478 5 20-24 754 746 1500 6 25-29 640 638 1278 7 30-34 623 613 1236 8 35-39 596 584 1180 9 40-44 542 536 1078 10 45-49 420 415 835 11 50-54 382 384 766 12 55-59 380 374 754 13 60-64 330 329 659 14 65-69 302 316 618 15 70-74 304 300 604 16 >75 292 286 578 Jumlah 8424 8394 16818 Sumber: Data Profil DesaAmbarketawang tahun 2003
Berdasarkan Tabel 2, pula diketahui bahwa jumlah penduduk non produktif Desa Ambarketawang 4.254 jiwa atau 25,29% dan jumlah penduduk umur tidak produktif adalah 1.800 jiwa atau 10,70%. Jumlah penduduk produktif 10.764 jiwa atau 64%, maka rasio beban tanggungan (dependency ratio) adalah 56,24 yang artinya tiap 100 orang kelompok produktif harus menanggung beban hidup 56 orang
% 7,37 8,91 9,02 8,79 8,92 7,60 7,35 7,02 6,41 4,96 4,55 4,48 3,92 3,67 3,59 3,44 100
kelompok yang tidak produktif. Komposisi penduduk Desa Ambarketawang berdasarkan tingkat pendidikan, dalam hal ini pendidikan formal. Berdasarkan data tahun 2003, sebanyak 5.146 orang (30,60%) penduduk telah tamat tingkat pendidikan SD, dan sebanyak 556 orang (3,31%) telah tamat tingkat perguruan tinggi yang terdiri D1, D3, S1, S2,dan S3 (secara rinci disusun dalam tabel 3).
PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA USAHATANI PADI SAWAH DI DESA AMBARKETAWANG KECAMATAN GAMPING, SLEMAN – D.I. YOGYAKARTA; Warnadi dan Irma Lusi Nugraheni
4
Tabel 3. Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Ambarketawang Tahun 2003 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Tingkat Pendidikan Frekwensi Prosentase Belum Sekolah 329 1,97 Tidak Sekolah 914 5,43 Tidak tamat SD 1323 7,87 Tamat SD 5146 30,60 Tamat SLTP 4550 27,05 Tamat SLTA 4000 23,78 Tamat D1-D3 255 1,52 Sarjana: a. S1 269 1,60 b. S2 27 0,16 c. S3 5 1,03 Jumlah 16.818 100.00 Sumber: Data Profil Desa Ambarketawang 2003
Komposisi penduduk Desa Ambarketawang berdasarkan matapencaharian. Desa Ambarketawang memiliki potensi lahan pertanian yang cukup besar sehingga sebagian besar penduduknya bertumpu pada sektor
pertanian, baik itu sebagai pemilik lahan maupun buruh tani. Distribusi mata pencaharian penduduk Desa Ambarketawang dapat dilihat pada tabel berik ut.
Tabel 4. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa Ambarketawang 2003 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Mata Pencaharian Frekwensi PNS 917 ABRI 329 Swasta 375 Pedagang 342 Petani 2677 Pertukangan 237 Pensiunan 264 Jasa 214 Jumlah 5355 Sumber: Data Profil Desa Ambarketawang 2003
Penduduk Desa Ambarketawang yang bermata pencaharian sebagai petani yaitu sebanyak 2.677 orang (49,99%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di daerah penelitian masih memilih sektor pertanian sebagai sumber penghasilan utama. Kondisi fisik daerah penelitian menjadi faktor pendorong bagi penduduk untuk mengelola usaha pertanian. Sedangkan prosentase penduduk bermata pencaharian terendah yaitu bidang jasa yang ditekuni oleh 214 orang (3,99 %).
% 17,12 6,14 7,00 6,39 49,99 4,43 4,93 3,99 100,00
Karakteristik Responden Karakteristik responden yang akan diuraik an dalam penelitian ini adalah kondisi sosial ekonomi responden yang meliputi struktur umur, jumlah tanggungan rumah tangga, dan tingkat pendidikan. Umur merupakan unsur demografis yang penting dalam fenomena kependudukan dan masalah yang terkait di dalamnya. Perbedaan struktur umur responden akan menimbulkan perbedaan dalam aspek sosial ekonomi seperti masalah angkatan kerja, pertumbuhan penduduk dan masalah 5 SPATIAL Wahana Komunikasi dan Informasi Geografi Vol. 10 No.1 Maret 2012
pendidikan. Struktur umur akan mempengaruhi tingkat produktivitas petani karena umur berkaitan erat dengan kemampuan fisik petani untuk bekerja mengelola usaha taninya. Berdasarkan
data di lapangan, umur responden termuda yaitu 33 tahun dan tertua 67 tahun. Distribusi umur responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5. Komposisi Umur Responden di Desa Ambarketawang th 2008 No 1 2 3 4
Umur 33-41 42-50 51-59 =60 Jumlah
Tabel di atas menunjukkan bahwa 80,44% responden yang menggeluti sektor usahatani padi sawah adalah responden yang tergolong penduduk usia produktif, yaitu pada rentang usia 33 – 59 tahun dan hanya 19,56% yang tergolong pada usia tidak produktif. Jumlah tanggungan rumahtangga yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah anggota dalam
Frekuensi 21 29 24 18 92
% 22,83 31,52 26,09 19,56 100,00
satu rumahtangga yang menjadi tanggungan kepala rumahtangga dan mereka tinggal di dalam satu rumah ataupun di luar rumah untuk sesuatu kepentingan tetapi masih menjadi tanggung jawab kepala rumahtangga. Jumlah tanggungan rumah-tangga responden dalam penelitian ini disajikan pada tabel 6.
Tabel 6. Jumlah Tanggungan Rumahtangga Responden No 1 2 3 4 5
Jumlah tanggungan 1-2 3-4 5-6 7-8 =9 Jumlah
Berdasarkan tabel di atas sebagian besar responden mempunyai jumlah tanggungan rumah tangga antara 3-4 orang yaitu sebanyak 40 responden (43,48 %). Rata-rata jumlah tanggungan rumah tangga responden yaitu tiga orang. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden termasuk dalam keluarga kecil karena mempunyai jumlah tanggungan rumah tangga antara 1-4 orang.
Frekuensi 21 40 24 6 1 92
% 66,30 43,48 26,08 6,52 1,09 100,00
Tingkat pendidikan responden akan mempengaruhi pola pikir dalam mengelola usaha taninya terutama dalam penerimaan teknologi baru di bidang pertanian. Semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka semakin baik dalam menerapkan teknologi pertanian untuk meningkatkan produktivitas usaha taninya. Komposisi responden menurut tingkat pendidikan yang pernah ditamatkan dapat dilihat pada tabel berik ut.
PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA USAHATANI PADI SAWAH DI DESA AMBARKETAWANG KECAMATAN GAMPING, SLEMAN – D.I. YOGYAKARTA; Warnadi dan Irma Lusi Nugraheni
6
Tabel 7. Komposisi Responden Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Ambarketawang 2008 No 1 2 3 4 5
Tingkat Pendidikan Tidak sekolah Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat PT Jumlah
Sebagian besar responden tingkat pendidikannya rendah. Hal ini ditunjukkan dari besarnya jumlah responden yang tidak sekolah dan hanya menamatkan pendidikan di tingkat SD yaitu sebanyak 45 responden (48,91 %), sedangkan 22 responden (23,91 %) Tamat SLTA, 21 responden (22,83 %) tamat SLTP dan 4 responden (4,35%) tamat PT. (1) Faktor produksi usaha tani Faktor produksi usaha tani padi sawah yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu status dan luas pengusahaan lahan, tenaga kerja, modal, pengelolaan (managemen) yang digunakan dalam kegiatan produksi usah tani padi sawah. Skala dan distribusi faktor-faktor produksi akan menentukan tingkat serta distribusi pendapatan usah tani padi sawah. 1) Status dan luas pengusahaan lahan. Pengusahaan lahan dalam penelitian ini difokuskan pada kemampuan responden dalam mengusahakan lahan pertanian, baik sebagai pemilik maupun sebagai penggarap. Status dan luas pengusahaan lahan responden di Desa Ambarketawang dapat dilihat pada tabel berikut. Sebagian besar responden mengusahakan lahan padi sawah dengan luas 1.000-4.000 m2 yaitu sebanyak 51 orang (55,44 %) yang terdiri dari 34 orang dengan status lahan milik sendiri, 3 orang dengan lahan sewa, 1 orang dengan lahan sakap, 12 orang dengan lahan milik sendiri dan menyewa, dan 1 orang dengan lahan sendiri dan menyakap. Responden yang mengusahakan lahan sawah yang luasnya > 4.000 – 8.000 m2
Frekwensi
%
19 26 21 22 4 92
20,65 28,26 22,83 23,91 4,35 100,00
sebanyak 24 orang (26,09 %) yang terdiri dari 23 orang dengan lahan milik sendiri dan 1 orang dengan lahan sakap. Kemudian responden yang mengusahakan lahan padi sawah kurang dari 1.000 m2 sebanyak 9 orang (9,78 %) yang seluruhnya menggarap lahan milik sendiri. Dan responden yang mengusahakan lahan padi sawah lebih dari 8.000 m2 sebanyak 8 orang (8,69 %) yang seluruhnya menggarap lahan milik sendiri. Sedangkan rata-rata luas pengusahaan lahan di daerah penelitian yaitu 3.500 m2. Berdasarkan klasifikasi petani, maka petani di daerah penelitian tergolong petani kecil karena memiliki lahan antara 2.500 m2 – 5.000 m2. 2) Tenaga kerja dan sistem upah pada usaha tani padi sawah. Sebagian besar responden (63,04%) menggunakan 1 orang tenaga kerja rumah tangga laki-laki pada setiap musim. Responden yang menggunakan tenaga kerja rumah tangga laki-laki 3 orang per musim hanya 4,35 %. Dan selebihnya menggunakan 2 orang tenaga kerja rumah tangga laki-laki. Tabel 9. Penggunaan Tenaga Kerja Rumah Tangga Pada Usahtani Padi Sawah per Musim Tanam di Desa Ambarketawang Tahun 2008.Jumlah penggunaan tenaga kerja rumah tangga perempuan dengan frekwensi paling besar adalah 1 orang per musim tanam yaitu 82 responden (89,13%). Kemudian responden yang menggunakan tenaga kerja perempuan 2 orang per musim tanam sebanyak 9 orang (9,78%) dan responden yang menggunakan tenaga kerja
SPATIAL Wahana Komunikasi dan Informasi Geografi Vol. 10 No.1 Maret 2012
7
perempuan 3 orang per musim tanam sebanyak satu orang (1,09%). Kebutuhan tenaga kerja dalam pertanian dari waktu ke waktu tidak selalu sama. Keadaan ini dapat mempengaruhi pemanfaatan tenaga kerja rumah tangga yang tersedia. Dalam usaha tani sering terjadi saat-saat dimana kebutuhan tenaga kerja hanya sedikit, sehingga tenaga kerja rumah tangga tidak dapat dimanfaatkan dengan sebaik -baiknya. Tetapi dilain pihak ada saat-saat dimana kebtuhan tenaga kerja besar sekali atau memuncak yang kadang-kadang tidak dapat dicukupi oleh tenaga kerja rumah tangga sendiri. Pada keadaan ini, petani bersangkutan dapat meminta bantuan tenaga kerja dari luar usaha tani, bantuan usaha tani tolong menolong atau gotong royong, atau menyewa buruh tani dengan mengupah. Penggunaan buruh upahan merupakan salah satu alternatif yang dapat dipilih petani untuk memenuhi permintaan tenaga kerja dari lahan yang digarapnya. Beberapa keterbatasan petani yang menyebabkan peluang digunakannya buruh tani antara lain ketiadaan kapasitas petani dalam hal ketenagakerjaan, pengusahaan lahan yang relatif luas sehingga keperluan tenaga kerja tidak dapat dipenuhi hanya dari rumah tangga saja, dan toleransi waktu yang sempit sehingga tidak memberi kesempatan petani untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan tenaga sendiri dalam waktu yang lama. Faktor pendukung digunakannya buruh upahan yang lain adalah belum adanya atau terbatasnya teknologi substitusi tenaga kerja yang selain menghemat tenaga kerja juga menghemat biaya. Di daerah penelitian semua petani membutuhkan bantuan buruh tani upahan untuk mengerjakan tahap-tahap tertentu dalam usaha tani padi sawah. Diketahui bahwa sebagian besar responden menggunakan tenaga kerja buruh tani lakilaki dan perempuan berjumlah 6–11 orang per musim tanam yaitu masing-masing
sebanyak 37 orang responden (40,22 %) dan 32 responden (37,78 %). Jumlah penggunaan tenaga kerja buruh tani lakilaki dan perempuan dengan frekwensi terkecil yaitu antara 24–30 orang permusim tanam yaitu masing-masing 14 responden (15,22%) dan 13 responden (14,13 %). Tahap-tahap usaha tani padi sawah yang memerlukan tenaga kerja dalam jumlah besar adalah penanaman dan pemanenan. Selain itu, tahap-tahap usaha tani tersebut dibatasi oleh toleransi waktu yang jumlahnya sedikit sehingga pengerjaan tahap-tahap tersebut harus tepat waktu, tidak boleh melebihi terlalu cepat atau selesai terlalu lama, serta biasanya diusahakan supaya pengerjaan tahap-tahap tersebut berlangsung serentak untuk menghindari hama dan menyesuaikan dengan penyediaan air. Buruh borongan biasa digunakan baik oleh petani berlahan luas maupun sempit. Dasar perhitungan upah mereka adalah luas lahan yang dapat mereka kerjakan. Sistem ini banyak dijumpai pada tahap penanaman dimana besar kecilnya upah seseorang ditentukan oleh banyaknya orang yang ikut mengerjakan. Untuk pekerjaan yang sifatnya harian, misalnya menyiangi, upah yang diberikan adalah Rp 5.000 per hari per orang untuk tenaga kerja laki-laki dan perempuan. Tahap-tahap lain mempunyai perhitungan yang berbeda-beda, misalnya panen, dihitung berdasarkan hasil yang diperoleh kemudian di bagi tiga. Bagian buruh upahan tersebut adalah sepertiga dari hasil yang didapatkan. Apabila dihitung dengan upah uang, maka rata-rata upah uang yang didapatkan dari tahap pemanenan adalah Rp 7.000/orang. Pada tahap pengolahan lahan, upah uang diberikan kepada buruh tani upahan di luar biaya sewa bajak atau traktor. Biaya upah ini diberikan kepada tenaga kerja dan pengemudi bajak maupun traktor masingmasing sebesar Rp 8000/hari/orang. Angka-angka yang tercantum pada tabel 11
PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA USAHATANI PADI SAWAH DI DESA AMBARKETAWANG KECAMATAN GAMPING, SLEMAN – D.I. YOGYAKARTA; Warnadi dan Irma Lusi Nugraheni
8
ini merupakan tarif umum pengerjaan lahan. Adapun keputusan penggunaan buruh upahan pada akhirnya dikembalikan kepada petani yang bersangkutan. Petani-petani berlahan sempit biasanya tidak memerlukan bantuan dari tenaga buruh upahan kecuali pada tahap penanaman, pengolahan lahan dan pemanenan karena permintaan tenaga kerja dari lahannya tidak begitu besar sehingga dapat diselesaikan dengan tenaga kerja rumahtangga sendiri. Bagi petani berlahan luas pun masih ada pilihan untuk mengerjakan sendiri lahannya meskipun dengan beberapa konsekwensi seperti bekerja ekstra, penurunan kualitas karena pengerjaan yang tidak tepat waktu, usaha tani yang tidak efisien atau akibatakibat yang lain walaupun di satu sisi ia menghemat biaya karena tidak perlu membayar buruh upahan. Tetapi petani yang memandang bahwa penggunaan buruh tani upahan akan membantu pengerjaan lahan yang lebih efisien biasanya akan memanfaatkan tenaga buruh tersebut baik pada sebagian tahap maupun dalam keseluruhan tahap. (2) Penyerapan tenaga kerja Penyerapan tenaga kerja pada usaha tani padi sawah yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi jumlah tenaga kerja, hari kerja, jam kerja setara pria dan Hari Orang Kerja (HOK) yang dibutuhkan responden untuk menggarap usahatani padi sawah mulai dari tahap persemaian sampai dengan pemanenan. Metode yang digunakan untuk mengetahui jumlah penggunaan tenaga kerja, hari kerja, jam kerja setara pria, dan Hari Orang Kerja (HOK) pada setiap tahap usaha tani padi sawah adalah dengan menanyakan kepada responden mengenai jumlah tenaga kerja dan hari kerja yang dibutuhkan petani untuk mengerjakan suatu bidang lahan sawah pada setiap tahap kegiatan usahatani padi sawah. Jumlah jam kerja setara pria dan HOK dapat dihitung dengan data jumlah
tenaga kerja dan hari kerja yang sudah ada. Menurut asumsi Singh dan Bilings (dalam Sunaryati, 1997:81) bahwa kapasitas berproduksi manusia dalam mengerjakan setiap tahap kegiatan dalam usahatani berbeda-beda menurut umur dan jenis kelamin. Tenaga kerja yang berumur kurang dari 15 tahun atau lebih dari 60 tahun mempunyai prestasi kerja setengah dari tenaga kerja laki-laki berusia 15-60 tahun, sedangkan perempuan mempunyai prestasi kerja tiga perempat dari tenaga kerja laki-laki, maka penghitungan tenaga kerja pertama kali dilakukan dalam satuan HOK untuk menentukan jumlah jam kerja setara pria yang diperlukan. Satu HOK diartikan sebagai satu tenaga kerja yang bekerja selama satu hari kerja dimana dalam penelitian ini sama dengan enam jam kerja. Sebagai contoh, dalam suatu tahap usaha tani padi sawah, petani memerlukan dua tenaga kerja lakilaki dan dua tenaga kerja perempuan dewasa yang bekerja selama satu hari kerja maka dapat dikatakan bahwa petani tersebut memerlukan 21 jam kerja setara pria. Angka tersebut merupakan jumlah dari tenaga kerja laki-laki dan tenaga kerja perempuan dalam konversi standar yaitu jumlah jam kerja setara pria. Apabila ditranformasi kembali ke dalam jumlah tenaga kerja setara pria, maka petani tersebut memerlukan 3,5 HOK. Berdasarkan jawaban responden yang telah diolah, maka diperoleh data mengenai kebutuhan tenaga kerja, hari kerja, jam kerja setara pria dan HOK pada setiap tahap kegiatan usaha tani padi sawah. Berdasarkan tabel di atas, masing-masing tahap usaha tani padi sawah berbeda dalam hal kebutuhan tenaga kerja dan tuntutan waktu penyelesaiannya. Jumlah tenaga kerja laki-laki untuk setiap hektar lahan sawah di daerah penelitian yaitu 31 orang dengan jumlah hari kerja 33 hari. Angka ini berada di atas jumlah total penggunaan tenaga kerja
SPATIAL Wahana Komunikasi dan Informasi Geografi Vol. 10 No.1 Maret 2012
9
perempuan yaitu 26 orang dengan enam hari kerja. Hal ini dikarenakan tenaga kerja laki-laki mengerjakan setiap tahap usaha tani padi sawah, sedangkan tenaga kerja perempuan hanya diperlukan pada tahap penanaman dan pemanenan. Perbedaan jumlah jam kerja setara pria dalam usaha tani padi sawah pada masingmasing wilayah dikarenakan adanya perbedaan batasan operasional tahaptahap kegiatan usahatani, kondisi daerah yang berbeda, misalnya menyangkut tanah, ketersediaan air, dan lain-lain, faktor budaya setempat misalnya menyangkut efektivitas kerja, faktor validitas jawaban responden dan sebagainya. (3) Daya serap tenaga kerja Daya serap usaha tani padi sawah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah prosentase antara penduduk yang bekerja di sektor usaha tani padi sawah dibagi dengan jumlah angkatan kerja yang ada di Desa Ambarketawang. Jumlah angkatan kerja di Desa Ambarketawang adalah 8.215 orang dengan angkatan kerja yang sudah bekerja sebanyak 5.355 orang dan yang belum bekerja sebanyak 2.860 orang. Sedangkan jumlah penduduk usia kerja sebanyak 12.280 orang dan jumlah petani sebanyak 2.677 orang. Jumlah angkatan kerja dipengaruhi oleh jumlah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan jumlah penduduk usia atau struktur umur penduduk.TPAK adalah perbandingan jumlah angkatan kerja dengan jumlah penduduk usia kerja yaitu 10 tahun atau lebih (Mantra, 2000;302) dengan rumus sebagai berikut:
Berdasarkan perhitungan di atas, maka dapat diketahui bahwa daya serap usahatani padi sawah terhadap tenaga kerja di Desa Ambarketawang cenderung kecil yaitu 32,57%. Hal ini dikarenakan angkatan kerja khususnya angkatan kerja muda di Desa Ambarketawang lebih tertarik bekerja di luar sektor pertanian.
(4) Penggunaan tenaga kerja penuh dan tidak penuh Sebagian besar responden merupakan tenaga kerja penuh di sektor usaha tani padi sawah karena mempunyai jam kerja antara 36-42 jam per minggu yaitu sebanyak 64 orang (69,57%) dan responden yang termasuk dalam tenaga kerja tidak penuh yaitu 28 orang (30,43%). (5) Jumlah Tenaga Kerja pada Tahap Pengolahan Lahan dengan Menggunakan Bajak dan dengan MenggunakanTraktor Untuk mengetahui jumlah tenaga kerja dan hari kerja dalam mengolah lahan sawah, ketika masih menggunakan bajak dan setelah beralih menggunakan traktor, dilakukan wawancara dengan responden. Berdasarkan data jumlah tenaga kerja dan hari kerja tersebut, kemudian dilakukan perhitungan jumlah jam kerja setara pria dan Hari Orang Kerja (HOK) dengan menggunakan asumsi dari Singh dan Bilings. Biaya produksi dalam penelitian ini adalah keseluruhan biaya yang dikeluarkan oleh responden dalam mengolah lahan ketika menggunakan bajak dan setelah menggunakan traktor. Biaya tersebut meliputi biaya sewa bajak dan traktor, biaya upah tenaga kerja yang dihitung berdasarkan upah harian yaitu sebesar Rp 8.000 per orang dan biaya makan untuk dua kali sehari sebesar Rp 3.000 per orang. Traktor sebagai teknologi yang bersifat labour saving mampu membuat perbedaan yang sangat jauh dalam hal waktu yang diperlukan dan tenaga kerja yang dipergunakan. Dengan menggunakan bajak untuk mengolah lahan seluas satu hektar memerlukan tenaga kerja sebanyak 5 orang dengan 8 hari kerja, sedangkan dengan menggunakan traktor hanya memerlukan tenaga kerja sebanyak 3 orang dengan 4 hari kerja dengan konsekwensi ada pekerjaan tambahan yaitu mengolah secara manual sudut-sudut lahan yang tidak dapat dikerjakan oleh traktor.
PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA USAHATANI PADI SAWAH DI DESA AMBARKETAWANG KECAMATAN GAMPING, SLEMAN – D.I. YOGYAKARTA; Warnadi dan Irma Lusi Nugraheni
10
Mengolah lahan dengan menggunakan bajak, biaya produksi yang dikeluarkan responden meliputi sewa bajak untuk dua kali pembajakan per musim tanam sebesar Rp 340.000, upah tenaga kerja sebanyak 5 orang (1 orang pengemudi bajak dan 4 orang tenaga kerja lainnya) untuk 8 hari kerja, sebesar Rp 320.000 dan biaya makan sebesar Rp 120.000. Jadi total biaya produksi yang dikeluarkan oleh responden untuk mengolah lahan dengan menggunakan bajak yaitu Rp 780.000 per musim tanam. Pengolahan lahan dengan menggunakan traktor, mengeluarkan biaya produksi meliputi sewa traktor untuk dua kali pentraktoran sebesar Rp 400.000, upah tenaga kerja sebanyak 3 orang (1 orang pengemudi traktor dan 2 orang tenaga kerja lainnya) untuk 4 hari kerja, sebesar Rp 96.000 dan biaya makan sebesar Rp 36.000. Jadi total biaya produksi yang dikeluarkan oleh responden untuk mengolah lahan dengan menggunakan traktor yaitu Rp 532.000 per musim tanam. Dengan perhitungan ini, terdapat perbedaan biaya produksi yang besar pada tahap pengolahan lahan, antara menggunakan bajak dan menggunakan traktor sebesar Rp 248.000. Oleh karena itu, penggunaan traktor merupakan alternatif terbaik untuk pengolahan lahan sawah. Karena selain biayanya lebih murah, pengerjaannya juga lebih cepat dan kualitasnya tidak berkurang. (6) Jumlah Tenaga Kerja Pada Tahap Penyiangan dengan Menggunakan Watun dan dengan Menggunakan Herbisida Jumlah tenaga kerja pada tahap penyiangan dengan menggunakan watun dan dengan menggunakan herbisida per hektar per musim tanam dapat dilihat pada tabel berikut 15. Untuk mengerjakan lahan seluas satu hektar pada tahap penyiangan dengan bantuan alat watun, responden memerlukan tenaga kerja sebanyak 5
orang dengan 10 hari kerja. Sedangkan dengan menggunakan herbisida, responden hanya memerlukan tenaga kerja sebanyak 2 orang dengan 2 hari kerja. Jumlah biaya produksi yang dikeluarkan responden pada saat pe-nyiangan dengan menggunakan watun, meliputi upah tenaga kerja 5 orang untuk 10 hari kerja sebesar Rp 250.000 (Rp 5.000/org/h) dan biaya makan sebesar Rp 150.000 (Rp 3000/org/h). Jadi, total biaya produksi yang dikeluarkan oleh responden, yaitu Rp 400.000 per musim tanam. Jumlah biaya produksi yang dikeluarkan responden pada saat pe-nyiangan dengan menggunakan herbisida, meliputi pengadaan herbisida sebesar Rp 125.000 (untuk 10 botol dan digunakan 2 kali per musim tanam), upah 2 orang tenaga kerja untuk dua hari sebesar Rp 20.000 dan biaya makan sebesar Rp 12.000. Jadi total biaya produksi yang dikeluarkan responden, yaitu Rp 157.000 per musim tanam. Dengan perhitungan di atas, terdapat perbedaan biaya pada tahap penyiangan antara yang menggunakan watun dengan yang menggunakan herbisida dalam satu musim tanam sebesar Rp 243.000. Dengan melihat perbedaan biaya tersebut, maka herbisida sebagai teknologi baru dalam bidang pertanian terbukti lebih efis ien dan efektif serta merupakan alternatif terbaik pada tahap penyiangan karena biaya produksinya rendah, pengerjaan lebih cepat dan kualitas hasil panen pun tidak berkurang, upah tenaga kerja orang/hari lebih besar, dan kualitas makanan untuk tenaga kerja juga lebih baik. (7) Pendapatan Usaha Tani Padi Sawah yang Menggunakan Teknologi Pertanian Tradisonal dan yang Menggunakan Teknologi Pertanian Modern Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai produktivitas lahan padi sawah per tahun, jumlah biaya produksi pertahun dan pendapatan usah tani padi sawah per
SPATIAL Wahana Komunikasi dan Informasi Geografi Vol. 10 No.1 Maret 2012
11
tahun dengan menerapkan teknologi pertanian tradisonal dan modern. 1) Produktivitas lahan Produktivitas lahan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu hasil panen padi sawah yang diperoleh petani per tahun yang diukur dalam satuan kwintal gabah kering giling (GKG). Berdasarkan data di lapangan, terdapat perbedaan produktivitas padi antara lahan yang menggunakan teknologi pertanian tradisional dengan lahan yang menggunakan teknologi moderen. Hal ini karena, teknologi pertanian moderen memberikan keunggulan yang le bih daripada teknologi pertanian tradisional. Ketika menerapkan teknologi pertanian tradisional terdapat 6 responden (6,52 %) yang mencapai tingkat produktivitas antara 71,2 - 88 Kw GKG per tahun, sedangkan setelah beralih menerapkan teknologi pertanian moderen terdapat 10 responden (8,69 %) yang mencapai tingkat produktivitas yang sama. Adapun secara rinci, data produktivitas lahan padi sawah menggunakan teknologi pertanian tradisional dengan teknologi pertanian moderen per tahun dapat dilihat pada lampiran. 2) Pendapatan usaha tani padi sawah Pendapatan usaha tani padi sawah dalam penelitian ini adalah pendapatan yang diterima responden dari usaha tani padi sawah dikurangi biaya pengusahaan (produksi) yang diukur dalam satuan rupiah pertahun. Pendapatan usaha tani padi sawah yang diterima responden dihitung berdasarkan produktivitas lahan dikalikan dengan harga jual di tingkat petani kemudian dikurangi biaya produksi. Biaya produksi usaha tani padi sawah per tahun yang dikeluarkan responden, ketika menerapkan teknologi pertanian moderen lebih tinggi daripada ketika menerapkan teknologi pertanian tradisional. Hal ini ditunjukkan dengan adanya 6,52% responden yang mengeluarkan biaya produksi antara Rp 3.052.000 – Rp
3.780.000 per tahun ketika menerapkan teknologi pertanian moderen, sedangkan ketika menerapkan teknologi pertanian tradisional, ada 4, 35 % responden yang mengeluarkan biaya produksi yang sama. Keadaan ini disebabkan oleh biaya penggunaan pupuk anorganik (buatan) dan obat pemberantas hama pada teknologi pertanian moderen lebih besar daripada ketika menerapkan teknologi pertanian tradisional. Selanjutnya, perhitungan pendapatan dalam penelitian ini berdasarkan harga jual hasil panen padi dalam setahun, dimana responden dalam mengerjakan lahan, dengan teknologi pertanian tradisional maupun moderen sama-sama melakukan panen padi sawah sebanyak dua kali dalam setahun. Berdasarkan data di lapangan harga jual gabah kering giling di daerah penelitian adalah Rp 140.000/Kw. Rata-rata pendapatan bersih pertahun yang diterima petani ketika mengerjakan lahan dengan teknologi pertanian tradisional adalah Rp 1.254.000 sedangkan ketika menerapkan teknologi pertanian moderen adalah Rp 1.714.000. Adapun distribusi pendapatan usaha tani padi sawah menggunakan teknologi pertanian tradisional dengan teknologi pertanian moderen per tahun dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel di atas menunjukkan bahwa pengelolaan usaha tani padi sawah menggunakan teknologi moderen lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan menggunakan teknologi tradisional. Ini ditunjukkan dengan adanya 9 responden (9,78 %) yang dapat mencapai tingkat pendapatan antara Rp 6.977.600 - Rp 8.620.000 per tahun ketika menggunakan teknologi moderen, sedangkan ketika menggunakan teknologi pertanian tradisional hanya 7 responden (7,61 %) yang dapat mencapai tingkat pendapatan tersebut. Hal ini terjadi, karena produktivitas lahan dengan menerapkan teknologi pertanian moderen lebih tinggi daripada ketika menerapkan teknologi pertanian
PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA USAHATANI PADI SAWAH DI DESA AMBARKETAWANG KECAMATAN GAMPING, SLEMAN – D.I. YOGYAKARTA; Warnadi dan Irma Lusi Nugraheni
12
tradisional. Dengan demikian, penerapan teknologi pertanian moderen dapat meningkatkan produktivitas padi sawah yang berarti pula meningkatkan petani. Hal inilah yang menjadi faktor pemicu petani untuk secara bertahap meninggalkan teknologi tradisional dan beralih menggunakan teknologi moderen dalam usaha tani padi sawah. (8) Hambatan-Hambatan Upaya yang dilakukan petani dalam melaksanakan kegiatan pada setiap tahap usaha tani padi sawah sering mendapatkan hambatan. Kemampuan petani dalam mengatasi segala hambatan terhadap usaha tani padi sawah, berpengaruh terhadap produktivitas yang akan dicapai. Petani yang berhasil mengatasi segala hambatannya, maka akan mendapat produktivitas yang tinggi, dan sebaliknya bagi yang tidak berhasil mengatasi hambatan. Hambatan yang paling banyak dialami oleh responden yaitu tidak tersedianya faktor modal apabila mengalami gagal panen, sebanyak 31 responden (33,69%) mengalami hambatan ini. Kurang tersedianya tenaga kerja apabila musim tanam padi sawah bersamaan dialami oleh 19 responden (20,65%). Hambatan yang ketiga yaitu adanya hama yang sulit diberantas dialami oleh 17 responden (15,22%). Berdasarkan data di lapangan, hama yang sulit diberantas adalah hama tikus.Kurang memadainya pengairan lahan sawah dialami oleh 14 res-ponden (15,22%). Hambatan ini terjadi ketika musim kemarau. Hambatan yang paling sedikit dialami oleh responden yaitu, pemakaian herbisida yang tidak sesuai dosis. KESIMPULAN 1.Penyerapan tenaga kerja pada usaha tani padi sawah di Desa Ambar ketawang, per musim per hektar yaitu, 57 orang dengan 59 hari kerja. Daya serap usaha tani padi sawah terhadap tenaga kerja di Desa Ambarketawang sebesar 32,57 %.
2.Penggunaan traktor pada tahap pengolahan lahan lebih efektif dan efisien dibandingkan bajak. Hal ini berarti semakin banyak jam kerja traktor pada tahap pengolahan lahan, semakin besar pula kemampuan usaha tani dalam menyerap tenaga kerja melalui suplai dan subtitusi yang dilakukan oleh teknologi tersebut. 3.Herbisida sebagai alternatif yang saat ini disodorkan kepada petani menjadi semakin kuat posisinya karena terbukti lebih efisien dan efektif digunakan pada tahap penyiangan dibandingkan dengan cara matun. 4.Besarnya perbedaan pendapatan usaha tani padi sawah yang menggunakan teknologi pertanian tradisonal dengan yang menggunakan teknologi mode-ren menjadi faktor pemicu petani untuk beralih menerapkan teknologi pertanian moderen untuk mengelola setiap tahap usaha tani padi sawah. 5.Ada lima jenis hambatan yang dihadapi petani dalam usaha tani padi sawah yaitu, faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam yaitu, adanya hama padi sawah yang sulit diberantas; dan pengairan lahan sawah yang kurang memadai. Dan hambatan yang berasal dari manusia yaitu, tidak tersedianya modal apabila mengalami gagal panen; kurang tersedianya tenaga kerja apabila musim tanam padi sawah bersamaan; penggunaan herbisida yang tidak sesuai dosis; DAFTAR PUSTAKA AAK, 1999. Budidaya Tanaman Padi.Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Anonim, 2000. Data Profil Desa Ambarketawang Tahun 2000. Yogyakarta: Pemerintah Desa Ambarketawang. Esmara, Hendra, 1966. Perencanaan dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia. Gunardo, 1998. Teknologi Usaha Tani, Pendapatan Petani dan Diversifikasi Mata Pencaharian Di Kabupaten Kulon Progo. Yogyakarta: Tesis
SPATIAL Wahana Komunikasi dan Informasi Geografi Vol. 10 No.1 Maret 2012
13
Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Sumaatmadja, Nursid, 1988. Studi Geografi Suatu Mada. Pendekatan dan Analisi Keruangan. Bandung: Hernanto, Fadholi, 1996 . Ilmu Usaha Tani. Jakarta: Penerbit Alumni. Penerbit Swadaya. Sunaryati, Laras, 1998. Pemenuhan Kebutuhan Mantra, I.B, 2000. Demografi Umum. Yogyakarta: Pekerja Pada Usahatani Padi: Studi Kasus Pustaka Belajar. Pada Rumah Tangga Migran Di Desa Wingko Mubyarto, 1996. Membahas Pembangunan Desa. Sigromulyo dan Wingko Sanggrahan Yogyakarta: Aditya Media. Kecamatan Ngombol Kabupaten Purworejo. Prayitno, Hadi dan Lincolin Arsyad, 1987 . Petani Yogyakarta: Skripsi Sarjana Fakultas Geografi Desa dan Kemiskinan. Yogyakarta: BPFE. Universitas Gadjah Mada. Prodjopangarso, Hardjoso, 1977. Teknologi Suparyono dan Agus Setyono, 1997. Mengatasi Pedesaan. Yogyakarta: Lembaga Pemasalahan Budidaya Padi. Jakarta: PT. Pengembangan Masyarakat Universitas Gadjah Penebar Swadaya. Mada. Suyatno, 2002. Studi EksplorasiSistem Pertanian Smith, Harris Pearson dan Lambert Herry Wilkes, Organik Di Desa Sunbermulyo Kecamatan 1990. Mesin dan Peralatan Usaha Tani. Bambanglipuro Kabupaten Bantul Propinsi D.I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. yogyakarta. Yogyakarta: Skripsa Program Studi Sukman, Yernelis dan Yakup, 1991. gulma dan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Teknik Pengendaliannya. Jakarta: Rajawali Negeri Yogyakarta. Press. Tjarkrawiralaksana, Abbas dan Muhammad Cuhaya Soeriaatmadja, 1983. Usaha Tani. Jakarta: Depdikbud.
PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA USAHATANI PADI SAWAH DI DESA AMBARKETAWANG KECAMATAN GAMPING, SLEMAN – D.I. YOGYAKARTA; Warnadi dan Irma Lusi Nugraheni
14