PENYERAHAN UANG IWADH DALAM PRAKTIK ACARA PERADILAN AGAMA Oleh : Mahruddin Andry ( Pegawai PA. Sidikalang )
Pendahulan. Salah satu alasan perceraian para pencari keadilan dalam berperkara di Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah adalah karena suami melanggar sighat taklik talak yang pernah diucapkan oleh suami sesaat ketika selesai mengucapkan akad nikah di depan wali perempuan yang disaksikan oleh para saksi pernikahan. Sudah menjadi pekerjaan rutin bagi para Hakim dalam memeriksa jenis perkara tersebut. Karena sudah merupakan pekerjaan rutin maka tidak menjadi masalah dan tidak menjadi perhatian untuk membahas yang ada hubungannnya dengan judul tulisan ini. Sehingga bila perkara tersebut telah terbukti dan dikabulkan, penulis merasa perlu untuk mengulas bagaimana praktik orang-orang yang berperkara memberikan sejumlah uang sebagai iwadh yang merupakan syarat jatuhnya talak. Pengertian Taklik Talak. Pengertian taklik talak dapat dilihat dalam Buku I Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berbunyi “ Taklik talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang. Menurut As Sayyid Sabiq dalam bukunya fiqh as Sunnah bahwa ada dua bentuk talak; 1.
Al-Tanjiz
2. Al-Ta’liq (al-taklik) (As.Sayyid Sabiq 1405H:260) artinya 1. Talak yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya pada waktu seketika, 2. Talak yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya karena ada syarat yang digantungkan. Lebih lanjut As.Sayid Sabiq memberi definisi sebagai berikut:
Amma al mu’allaqu wa huwa ma ja’ala aj- jauju fihi husula at thalaqi muallaqan ‘ala syarthin. Mislu an yaqula aj jauju li jaujatihi, in dzahabti ila makani kadza, fa anti thaliqun.(Ibid). Artinya: Talak yang digantungkan ialah sesuatu yang diperbuat oleh suami (terhadap istrinya) yang mengandung arti talak yang digantungkan dengan adanya syarat (klausula). Contohnya seorang suami berkata kepada isterinya bahwa “ jika kamu pergi kesuatu tempat (tertentu) maka kamu tertalak”.
Talak mu’allaq di Indonesia disebut sebagai sighat taklik talak yang diucapkan suami terhadap isterinya, yang mengandung perjanjian. Perjanjian yang termasuk sighat taklik talak dapat dilihat dalam pasal 11 Peraturan Menteri Agama (Permenag) Nomor 3 Tahun 1975 yang menyebutkan :
Ayat (1) Calon suami isteri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam, Ayat (2) Perjanjian yang berupa taklik talak dianggap sah kalau perjanjian itu diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan, Ayat (3) Sighat taklik talak ditentukan oleh Menteri Agama.
Sighat taklik talak yang dimaksud ayat (3) Permenag Nomor 3 Tahun 1975 tersebut berbunyi sebagai berikut :
Sewaktu-waktu saya : (1) . Meninggalkan isteri saya dua tahun berturut-turut, (2) . Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya, (3) . Atau saya menyakiti badan/jasmani isteri saya,
(4) . Atau saya membiarkan (tidak mempedulikan) isteri saya enam bulan lamanya, kemudian isteri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan tersebut, dan isteri saya membayar uang sebesar Rp.1.000.-(seribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya……dst.
Dalam pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UUP Nomor 1 Tahun 1974) yang menyatkan bahwa : Ayat (1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut, Ayat (2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan, Ayat (3) Perjanjian dilangsungkan,
tersebut
mulai
berlaku
sejak
perkawinan
Ayat (4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Kalau memperhatikan pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut di atas, sighat taklik talak tidak temasuk suatu perjanjian dalam perkawinan, sehinga dapat dipahami bahwa dengan terbitnya Permenag Nomor 3 Tahun 1975 (yang pembuatannya tidak terlalu lama setelah lahirnya UUP Nomor 1 tahun 1974) maka pasal 29 UUP Nomor 1 Tahun 1974 tersebut terkesan telah terubah. Terubahnya pasal 29 UUP. Nomor 1 Tahun 1974 tersebut dikuatkan dengan terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor. 1 Tahun 1991 yang dijelaskan melalui pasal 45 KHI yang berbunyi “Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk: 1. Taklik talak dan
2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam”.
Menurut Ahmad Rofiq, “…. praktis perjanjian perkawinan seperti dijelaskan dalam penjelasan pasal 29 UUP Nomor 1 Tahun 1974 telah diubah (menurut penulis terubah) atau setidaknya diterapkan bahwa taklik talak termasuk salah satu macam perjanjian perkawinan…..”( Ahmad Rofiq 2000:154)
Pelanggaran Shighat Taklik Talak. Karena taklik talak merupakan suatu perjanjian, maka bila salah satu poin yang pernah diucapkan ketika akad nikah dilanggar oleh suami, maka isteri mempunyai hak untuk menggugat cerai terhadap suaminya ke Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariah. Orang awan masih ada yang memahami bahwa bila sighat taklik talak itu dilanggar maka secara otomatis jatuh talak suami terhadap isterinya. Hal itu banyak penulis jumpai dimasyarakat yang mempunyai anggapan seperti itu, bahkan mereka (para isteri) telah menikah dengan suami barunya tanpa terlebih dahulu melalui prosedur perceraian yang harus ditempu. Dalam poin 4 sighat taklik talak redaksinya sangat jelas bahwa apabila suami melanggar perjanjian itu, maka isteri mempunai hak untuk mengadu ke Pengadilan dan aduannya itu terbukti dan isteri bersedia memberikan sejumlah uang sebagai iwadh maka jatuhlah talak suaminya yang ditetapkan dalam suatu diktum/amar Putusan Pengadilan. Penyerahan uang iwadh Sebagai Syarat Jatuhnya Talak. Penyerahan uang iwadh kepada Majelis hakim merupakan syarat mutlak yang harus diberikan oleh Penggugat, tanpa adanya penyerahan uang iwadh, maka persyaratan jatuhnya talak satu khul’i tidak terpenuhi, sehingga talak satu khuli pun tidak pernah terjadi. Penyerahan Uang Iwadh Dalam Praktik
Setelah Majelis Hakim memeriksa perkara cerai gugat dengan alasan bahwa suami telah melanggar sighat taklik talak dan gugatan tersebut telah terbukti, maka Majelis Hakim dapat mengabulkan gugatan Penggugat. Gugatan Penggugat yang telah terbukti itu tidak serta merta dikabulkan yang akan dituangkan dalam dictum/amar putusan, tetapi harus ada syarat taklik talak yang dilanggar oleh suami dipenuhi oleh isteri yaitu menyerahkan kepada Majelis Hakim sejumlah uang yang telah ditetapkan ketika suami mengucapkan sighat taklik talak ketika menikah dengan isterinya . Lalu kapan waktu Penggugat menyerahkan sejumlah uang sebagai iwadh kepada Hakim. Dalam praktik ada beberapa cara yang diterapkan oleh Hakim dalam acara persidangan. 1. Ketika Majelis Hakim selesai musyawarah dan mengambil konklusi bahwa perkara yang diajukan Penggugat telah terbukti dan perlu untuk dikabulkan, dalam persidangan Majelis Hakim menganjurkan kepada Penggugat agar menyerahkan sejumlah uang seperti yang pernah diucapkan oleh suami sebagai iwadh kepada Majelis Hakim. 2. Ketika Majelis Hakim akan membacakan putusan, Penggugat dianjurkan agar menyerahkan sejumlah uang sebagai iwadh kepada Majelis Hakim. Menurut penulis cara penyerahan uang iwadh kepada Majelis Hakim seperti tersebut di atas, nampaknya kurang tepat bila ditinjau dari acara persidangan yang harus dilakukan oleh Majelis, dengan alasan sebagai berikut: 1. Cara petama seperti yang penulis sebutkan di atas artinya Majelis Hakim telah membuka rahasianya sendiri bahwa perkara belum diputus tetapi para pihak (isteri atau suami) telah mengetahui bahwa perkara yang diajukan oleh Penggugat aan dikabulkan oleh Majelis, karena para pihak telah mengetahui bahwa syarat jatuhnya talak telah dipenuhi oleh Penggugat, pada hal itu merupakan larangan keras bagi hakim membuka rahasia suatu perkara apakah dikabulkan atau lain-lain jenis putusannya. Nah kalau hal ini dilakukan maka memungkinkan pihak lawan (Tergugat) akan konplin bahkan bisa memicuh halhal yang tidak diinginkan baik dalam persidangan maupun di luar persidangan bahkan Tergugat dapat berpendapat bahwa dalam perkara tersebut ada sesuatu permainan hukum yang dilakukan oleh Penggugat kepada Majelis.
Menurut pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 48Tahun 2009 menyatakan bahwa “ Putusan diambil berdasarkan permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia”. Artinya “sebelum putusan diambil, Majelis hakim secara rahasia melakukan sidang musyawarah…..” (Ahmad Mujahidin 2008:338). 2. Cara kedua seperti yang penulis sebutkan di atas, Majelis juga melakukan suatu cara yang kurang tepat dengan alasan seperti yang penulis uraikan pada cara pertama tersebut di atas. Artinya bahwa para pihak telah mengetahui bahwa perkara yang diajukan oleh Penggugat akan dikabulkan oleh Majelis Hakim, Pada hal sehausnya para pihak baru dapat mengetahui posisi putusan itu setelah Majelis hakim membaca dictum/amar putusannya, sehingga kemungkinankemungkinan yang akan terjadi seperti penulis sebutkan pada cara pertama tersebut tidak akan terjadi. 3. Penulis berpendapat bahwa, penyerahan uang iwadh kepada Majelis tidaklah seperti cara pertama dan cara yang kedua tetapi yang sangat tepat adalah : - Pada waktu Majelis Hakim membacakan pertimbangan hukum dalam putusannya, tepatnya ketika majelis Hakim setelah membacakan pertimbangannya mengenai perkara yang diajukan oleh Penggugat dapat dikabulkan. Contohnya . Menimbang bahwa ……..gugatan Penggugat dapat dikabulkan. Menimbang, bahwa meskipun gugatan Penggugat dikabulkan berdasarkan taklik talak yang diucapkan Tergugat, untuk jatuhnya talak satu khul’i Tergugat atas diri Penggugat, maka Penggugat harus menyerahkan uang iwadh sebesar Rp……….. (………) dan ternyata Penggugat menyerahkan uang sebesar tersebut di atas kepada majelis Hakim sebagai iwadh (pengganti talak Tergugat kepada Penggugat), maka Majelis Hakim berpendapat bahwa syarat taklik talak telah terpenuhi, maka Majelis Hakim akan menetapkan jatuh talak satu khul’i Tergugat atas diri Penggugat. Walaupun Majelis Hakim menyatakan bahwa perkara gugatan Pengugat dikabulkan, tetapi tidak berarti talak satu khul’i telah terjadi sebelum Penggugat menyerahkan uang iwadh. Setelah Penggugat menyerahkan uang iwadh kepada majelis hakim, dan talak satu khul’i telah terjadi, maka majelis hanya menetapkan telah
jatuh talak satu khul’i terhadap diri Penggugat yang dituangkan dalam dictum/amar putusannya. Kesimpulan. Dari uraian tersebut di atas dapat diambil konklusi sebagai berikut : 1. Penyerahan uang ‘iwadh sebagai syarat taklik talak telah terpernuhi yang diserahkan kepada Majelis Hakim tidak tepat bila diserahkan setelah majelis Hakim musyawarah. 2. Penyerahan uang iwadh seperti poin pertama tersebut di atas juga kurang tepat bila dilakukan pada sidang akan dibacakan putusan. 3. Penyerahan uang iwadh sebaiknya dilakukan oleh Penggugat setelah Majelis Hakim membaca putusan dalam pertimbangan hukum bahwa perkara Penggugat dapat dikabulkan Penutup. Demikian tulisan ini penulis buat dengan harapan mendapat masukanmasukan dari semua pihak. Atas perhatiannya penulis haturkan “bujur mbue, njuah-juah banta karina”. (terima kasih banyak, selamat sejahtera kita semua) Amin.
DAFTAR BACAAN 1. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. 2. Permenag Nomor 3 Tahun 1975, 3. Kompilasi Hukum Islam, 4. As.Sayyed Sabig , Fiqhu al. Sunnah Jilid II,Darun al Kitabi al Arabiy, 1958/1405, Beirut, Libnan, 5. Drs.Ahmad Rafiq, MA, Hukum Islam Di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada,2000,Jakarta,
6. Drs. Ahmad Mujahidin, MH, Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia,Ikartan Hakim Indonesia,2008, Jakarta .