BAB II LANDASAN TEORI
A. Faktur Pajak
1.
Pengertian Faktur Pajak Pasal 1 huruf t Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai No 8 tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang nomor 18
Tahun 2000 menjadi Pasal 1 angka 23 merumuskan : "Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau
penyerahan Jasa Kena Pajak atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai".
Menurut Undang-undang No 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No 18 Tahun 2000 Pasal 1 angka 24 dan angka 25, yang dimaksud dengan Faktur Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau penerimaan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak. Sedangkan Faktur Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai Terutang yang wajib
dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang
Kena
Pajak,
Jasa
Kena
Pajak,
atau
ekspor
Barang
Kena
Pajak.
Pengkreditan Faktur Pajak adalah melaporkan Faktur Pajak Masukan kedalam SPT Masa PPN sebagai pengurang besaraya PPN Keluaran yang dilaporkan di SPT Masa PPN.
Menurut Undang-undang No 6 tahun 1983 sebagaimana terakhir diubah dengan Udang-undang No 16 Tahun 2000, Pasal 1 angka 10, angka 11 dan angka 12, yang dimaksud dengan Surat Pemberitahuan (SPT)
adalah
surat yang
oleh
Wajib
Pajak
digunakan untuk
melaporkan
penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Sedangkan SPT Masa PPN adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak PPN. SPT Tahunan PPh Pasal 25/29 adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau bagian Tahun
Pajak.
SPT
memperhitungkan,
ini
dan
digunakan
membayar
Wajib
pajak
Pajak
untuk
menghitung,
penghasilannya
sendiri.
Sedangkan Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim atau atau jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan takwim. Misalnya
transaksi pembelian di bulan Oktober 2005 disebut dengan transaksi pembelian pada Masa Pajak Oktober 2005.
2.
Fungsi Faktur Pajak
Berdasarkan memori penjelasan Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 1 huruf t Undang-undang PPN 1984, Faktur Pajak berfungsi sebagai: a.
bukti pungutan pajak bagi Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
b.
bukti pembayaran pajak ditinjau dari sis pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak atau orang pribadi atau badan yang mengimpor Barang Kena Pajak ;
c.
sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan
Ditinjau dari fungsinya, dapat dikatakan bahwa Faktur Pajak memegang
posisi sentral dalam mekanisme PPN di Indonesia berdasarkan UU PPN 1984.
3.
Jenis Faktur Pajak
Pasal 13 ayat (1) Undang-undang No 8 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No 18 tahun 2000, jenis-jenis Faktur Pajak adalah sebagai berikut:
a.
Faktur Pajak Standar adalah Faktur Pajak yang dibuat sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan tertentu yang digunakan sebagai sarana untuk mencatat transaksi penjualan Barang Kena Pajak dan atau Jasa
Kena Pajak yang dibuat oleh Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b.
Faktur Pajak Sederhana
Menurut Keputusan Direktur Jenderal Pajak No Kep-524/PJ./2000 sebagaimanadiubahdenganKep-425/PJ./2001 Pasal 1 Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan secara langsung kepada konsumen
akhir, atau penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak kepada pembeli dan atau penerima Jasa Kena Pajak yang tidak diketahui identitasnya secara lengkap, dapat membuat Faktur Pajak Sederhana.
c.
Dokumen-dokumen lain yang dapat dianggap sama dengan Faktur Pajak Standar diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor Kep522/PJ./2000 sebagaimanadiubah dengan Kep-312/PJ./2001,yaitu :
1) Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang dilampiri Surat Setoran Pajak dan atau bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk impor Barang Kena Pajak;
2)
Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah difiat muat oleh pejabat yang berwenang dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampirkan dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut;
3)
Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/dikeluarkan oleh BULOG/DOLOG untuk penyaluran tepung terigu;
4) Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuat/dikeluarkan oleh PERTAMINA untuk penyerahan BBM dan atau bukan BBM;
10
5) Tanda
pembayaran
atau
kuitansi
untuk
penyerahan
jasa
telekomunikasi;
6) Ticket, tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill), atau Delivery Bill, yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri; 7) Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfataan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean;
8) Nota Penjualan Jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhanan;
9) Tanda pembayaran atau kuitansi listrik.
4.
Syarat-syarat Faktur Pajak a.
Saat Pembuatan
Faktur Pajak Standar harus dibuat selambat-lambatnya :
1.
Pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang
Kena Pajak dan atau penyerahan keseluruhan Jasa Kena Pajak dalam hal pembayaran diterima setelah bulan penyerahan Barang
Kena Pajak dan atau penyerahan keseluruhan Jasa Kena Pajak, kecuali pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya, maka Faktur
Pajak
Standar harus dibuat paling
penerimaan pembayaran; atau
lambat pada saat
11
2.
Pada
saat
penerimaan
pembayaran
dalam
hal
penerimaan
pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak; atau
3.
Pada saat penerimaan pembayaran termijn dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
4.
Pada saat Pengusahan Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
b.
Bentuk, Ukuran, dan Pengadaan Bentuk
dan
ukuran
Faktur
Pajak
Standar
disesuaikan
dengan
kepentingan Pengusaha Kena Pajak. Pengadaan formulir Faktur Pajak Standar dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak.
c.
Tata Cara Pembuatan
Faktur Pajak Standar paling sedikit dibuat dalam rangkap 2 (dua), yaitu: 1.
Lembar ke 1 ; untuk Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak sebagai bukti Pajak Masukan;
2.
Lembar ke 2 : untuk Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak Standar sebagai bukti Pajak Keluaran.
Dalam hal Faktur Pajak Standar dibuat lebih dan rangkap 2 (dua), maka harus dinyatakan secara jelas penggunaannya dalam lembar Faktur Pajak yang bersangkutan, misalnya :
12
Lembar ke
3
:
untuk Kantor Pelayanan
Pajak
(dalam
hal
penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak
dilakukan
kepada
Pemungut
Pajak
Pertambahan Nilai).
d.
Isi Faktur Pajak
Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak, sekurangkurangnya harus memuat:
1.
Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak;
2.
Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak dan atau penerima Jasa Kena Pajak ;
3.
Jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga;
4.
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
5.
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut;
6.
Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
7. Nama, jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
13
5.
Faktur Pajak Cacat
Menurut Untung Sukardji (2006 : 246) yang dimaksud dengan Faktur Pajak Standar Cacat adalah Faktur Pajak Standar tetapi pengisiannya tidak
sesuai dengan ketentuan yang berlaku misalnya pengisian data tidak benar, pengisiannya tidak lengkap, melewati batas waktu penerbitan Faktur Pajak
dan Faktur Pajak Standar yang dibuat oleh pengusaha yang belum dikiikuhkan atau telah dicabut pengukuhannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.
6.
Larangan Membuat Faktur Pajak
Dalam Pasal 14 UU PPN 1984 diatur larangan membuat Faktur Pajak, sebagai berikut;
a.
Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP dilarang membuat Faktur Pajak
b.
Dalam hal Faktur Pajak telah dibuat, maka Pengusaha dimaksud wajib menyetor pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak ke kas Negara
7.
Pengkreditan Pajak Masukan
a.
Prinsip dasar pengreditan Pajak Masukan Sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU PPN
1984 prinsip dasar
pengreditan Pajak Masukan dirinci secara garis besar sebagai berikut: 1) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama. (Pasal 9 ayat 2).
14
2) Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan. (Pasal 9 ayat 2a). 3) Apabila dalam suatu Masa Pajak, jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada jumlah Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang wajib dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak (pasal 9 ayat 3).
4) Apabila dalam suatu Masa Pajak, jumlah Pajak Masukan lebih besar daripada jumlah Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan
Pajak
Masukan
yang
dapat
diminta
kembali
atau
dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. (Pasal 9 ayat 4). 5) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berhubungan
langsung
dengan
kegiatan
usaha
melakukan
penyerahan kena pajak. (Pasal 9 ayat 5 jo ayat 8 huruf b). 6) Meskipun
berhubungan
langsung
dengan
kegiatan
usaha
menghasilkan penyerahan kena pajak, dalam hal-hal tertentu tidak tertutup
kemungkinan
Pajak
Masukan
tersebut
tidak
dapat
dikreditkan. (Pasal 9 ayat 8 dan Pasal 16 B ayat 3)
b.
Persyaratan Umum Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan Menurut Untung Sukardji (2006 : 279) kriteria umum bahwa suatu Pajak Masukan dapat dikreditkan, adalah apabila memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
15
1) Memenuhi persyaratan formal, yaitu :
a)
tercantum dalam Faktu Pajak standar atau dalam dokumen yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;
b) belum dilakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat 92) dan ayat (9) UU PPN 1984 dan Pasal 12 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 143 tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2002.
2)
Memenuhi persyaratan materiil, yaitu :
a)
berhubungan
langsung
dengan
kegiatan
usaha
melakukan
penyerahan kena pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (5) dan ayat (8) huruf b UU PPN 1984;
b) belum dibebankan sebagai biaya.
c.
Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan Berdasarkan Pasal 9 ayat (8) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana
diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk : 1) perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; 2) perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
16
3)
perolehan
station
dan
pemeliharaan kendaraan
wagon,
van,
dan
kombi
bermotor
kecuali
sedan, jeep,
merupakan
barang
dagangan atau disewakan; 4) pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; 5) perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya adalah berupa Faktur Sederhana; 6) perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13ayat(5);
7) pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
8) perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
9) perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.
17
8.
Pelaporan Faktur Pajak Masukan di dalam SPT Masa PPN
Pajak Masukan dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan Undang-undang No 18 Tahun 2000 Pasal 9 ayat (2) dan (2a) sebagai berikut: a.
Pelaporan pada Masa Pajak yang sama Pembeli melaporkan Faktur Pajak Masukan didalam SPT Masa PPN
pada bulan terjadinya transaksi. Pelaporan Faktur Pajak Masukan dicantumkan dalam lampiran SPT Masa PPN bagian Pajak Masukan Yang Dapat Dikreditkan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran (1).
b.
Pelaporan pada Masa Pajak Tidak Sama Berdasarkan Pasal 9 ayat (9) UU PPN 1984 menentukan bahwa Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada
Masa Pajak berikutnya selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya
Masa
dibebankan
sebagai
Pajak
biaya
yang
dan
bersangkutan
belum
sepanjang
dilakukan
belum
pemeriksaan.
Pelaporan Faktur Pajak Masukan dicantumkan dalam lampiran SPT Masa PPN bagian Pajak Masukan Yang Dapat Dikreditkan, tetapi dikolom keterangan ditulis "MTS" yaitu Masa Tidak Sama. Hal ini untuk membedakan Pajak Masukan yang dilaporkan tepat waktu dan tidak tepat waktu. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran (2).
18
9.
Faktur Pajak Fiktif
Yang dimaksud dengan Faktur Pajak fiktif (bermasaiah) menurut Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ.53/2003 antara lain adalah :
a.
Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP);
b.
Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha dengan nama, NPWP, dan Nomor Pengukuhan PKP Orang Pribadi atau badan lain;
c.
Faktur Pajak yang digunakan oleh PKP yang tidak diterbitkan oleh PKP Penerbit;
d.
Faktur Pajak yang secara formal memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5)
Undang-undang PPN, tetapi tidak memenuhi secara material yaitu
tidak ada penyerahan barang dan atau uang atau barang tidak
diserahkan kepada pembeli sebagaimana tertera pada Faktur Pajak.; e.
Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP yang identitasnya tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
19
10. Modus Operandi
Dibawah ini diberikan contoh modus operandi jaringan penerbit faktur pajak fiktif sesuai dengan Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S1703/PJ.700/2001, antara lain: a.
Kasus Group PTINR
PT INR sebagai PKP memperoleh faktur "Pajak Masukan" dari group perusahaan
yang
terdaftar
di
beberapa
KPP.
Setelah
dilakukan
pengamatan ternyata beberapa perusahaan dari group tersebut tidak melaporkan SPT Masa PPN, sehingga atas faktur "Pajak Keluaran"nya
("Pajak Masukan" PT INR) tidak ada penyetoran pajaknya.
PT INR membuat faktur "Pajak Keluaran" untuk PKP diluar group dan untuk PKP di dalam group perusahaan. Selanjutnya PKP didalam group membuat faktur "Pajak Keluaran" untuk PKP diluar group.
Pengkreditan faktur "Pajak Masukan" hanya berupa daftar angka, dan pada penyerahan faktur "Pajak Keluaran", tidak dibarengi adanya transaksi jual-beli yang sebenamya (tidak ada penyerahan barang dan tidak ada penerimaan uang).
b.
Kasus Group CV SA
Group CV SA menerima pesanan dari oknum bank untuk melakukan tugas sebagai berikut:
20
1.
Membuat Rencana Impor Barang (RIB);
2) Membuat rencana aplikasi LC; 3)
Membuat surat ke Surveyor Indonesia untuk mendapatkan Laporan Kebenaran Pemeriksaan Barang;
4) Membuat PIUD/PIB beserta dokumen-dokumen SSP PPN Impor, SSP PPh Pasal 22 dan SSBC Bea Masuk; 5) Membuat Surat Kuasa untuk pengeluaran barang dari pelabuhan (nama orang yang menerima kuasa dikosongkan); 6) Membuat Faktur Pajak Keluaran.
Atas permintaan seseorang yang datang membawa PIUD/PIB asli yang ditunjukkan kepada CV SA untuk dibuatkan faktur "Pajak Keluaran",
invoice dan kwitansi atas nama pihak lain. Untuk tugas yang dilakukan tersebut, CV SA menerima fee dari oknum bank, dan SSP PPN Impor dan SSP PPh Pasal 22 asli dan foto copy PIUD/PIB.
d.
KasusPTLJKM;
PT LKJM sebagai PKP setiap bulan melaporkan SPT Masa PPN kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Sebelum dilakukan proses perekaman dan pemberkasan, SPT Masa PPN tersebut melalui oknum petugas di seksi PPN dipinjam tanpa melalui prosedur peminjaman
oleh seseorang.
Selanjutnya SPT Masa PPN tersebut dipalsukan
dengan cara merubah rincian faktur "Pajak Masukan" dan rincian faktur "Pajak Keluaran" yang nilainya digelembungkan dan SPT Masa
21
PPN tersebut dimasukkan kembali ke KPP melalui Tempat Pelayanan Terpadu, yang selanjutnya SPT Masa PPN Palsu tersebut dikirim ke bagian komputer untuk direkam. Dalam keadaan demikian, setiap kali KPP yang bersangkutan menerima permintaan konfirmasi Faktur Pajak ("Pajak Masukan" vs "Pajak Keluaran") dari KPP lain dalam rangka restitusi PPN atau pemeriksaan pajak akan selalu dijawab "ada".
e.
KasusPTPC;
PT PC sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) setiap bulan melaporkan SPT Masa PPN kepada KPP. Selanjutnya atas SPT Masa PPN tersebut dilakukan perekaman dan pemberkasan. Melalui oknum petugas di
seksi PPN tersebut dipinjam tanpa melalui prosedur peminjaman oleh seseorang.
Selanjutnya SPT Masa PPN tersebut dipalsukan dengan cara merubah rincian faktur "Pajak Masukan" dan rincian "Pajak Keluaran" yang nilainya digelembungkan. Selanjutnya SPT Masa PPN yang palsu
tersebut dikirim lagi ke bagian komputer untuk direkam. Dalam keadaan demikian SPT Masa PPN mengalami perekaman ulang. Pada saat KPP yang bersangkutan menerima permintaan konfirmasi Faktur Pajak ("Pajak Masukan" vs "Pajak Keluaran") dari KPP lain dalam rangka restitusi PPN atau pemeriksaan pajak bisa terjadi semula dijawab "tidak ada" kemudian berubah menjadi "ada" setelah adanya perekaman ulang.
22
f.
Kasus Perusahaan Baru Terdapat beberapa perusahaan yang baru didirikan dengan kriteria sebagai berikut:
1)
Perusahaan baru didirikan dan meminta pengukuhan Nomor Pokok
Pengusaha Kena Pajak; 2) Lokasi/alamat perusahaan tidak mencerminkan gambaran kegiatan usaha yang dilakukan, misalnya : a)
Rumah tinggal biasa yang dikontrak satu tahun;
b) Poskeamanan; c)
Tanah Kosong;
d) Kuburan; e)
Bahkanalamat yang tidak dikenal;
3) Modal usaha relatif kecil;
4) Omzet
(rincian
Keluaran")
faktur
"Pajak
Masukan"
sangat besar dan tidak
dan
sebanding
faktur
"Pajak
dengan modal
perusahaan;
5) Untuk mengelabuhi Kantor Pelayana Pajak, pada umumnya PKP
tersebut setiap bulannya selalu ada setoran PPN, tetapi setoran tersebut relatif kecil bila dibandingkan dengan nilai "Faktur Pajak" yang dilaporkannya;
6) Data (Copy KTP, KK, Keterangan Domisili, dll) yang digunakan untuk pengukuhan NPWP pada umumnya palsu/tidak
sesuai
dengan kenyataan. Selanjutnya dalam waktu relatif singkat setelah
23
perusahaan baru terdaftar,
KPP yang bersangkutan menerima
permintaan konfirmasi Faktur Pajak dari KPP lain dalam rangka restitusi PPN. Karena "Pajak Masukan" dan "Pajak Keluaran" tersebut merupakan lembar-lembar tembusan yang berbeda dari satu dokumen Faktur Pajak dalam konfirmasi selalu dijawab "ada".
11. Sanksi Administrasi
a.
Sanksi atas Faktur Pajak
Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf e dan ayat (4) UU KUP ditetapkan bahwa Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP tetapi membuat Faktur Pajak atau Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP tetapi tidak membuat Faktur Pajak atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak dikenakan sanksi beupa denda administrasi sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
b.
Sanksi atas Pengreditan Faktur Pajak.
Berdasarkan Pasal 13 ayat (3) UU KUP ditetapkan sanksi admiistrasi berupa kenaikan sebesar 100 % dari PPN yang kurang dibayar apabila berdasarkan hasil pemeriksaan pajak diketahui terdapat Pajak Masukan yang tidak seharusnya dikreditkan tetapi dikreditkan oleh Wajib Pajak. Namun apabila koreksi atas Faktur Pajak Pembelian (Pajak Masukan) tersebut dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak, maka sanksi administrasi
24
yang akan timbul adalah sebesar 2 % perbulan dari besarnya koreksi atas Faktur Pajak Masukan tersebut. Sanksi ini akan ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak yang dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan Pajak.
12. Laporan Perpajakan Perusahaan a.
Pelaporan Bulanan dengan SPT Masa PPN Untuk melaporkan transaksi perusahaan secara bulanan, setiap perusahaan wajib menghitung,
memperhitungkan, membayar,
dan
melaporkan sendiri melalui SPT Masa PPN. Lampiran yang wajib pada SPT Masa PPN ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-12/PJ./1994 tanggal 6 Februari 1995 jo Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-386/PJ./2002 tanggal 13 Agustus 2002. Adapun bentuk SPT Masa PPN beserta lampirannya sebagai
berikut: 1). Formulir 1195
- SPT Masa PPN Induk;
2). Formulir 1195 Al
- Daftar Pajak Keluaran dan PPn BM;
3). Formulir 1195 A2
- Daftar Pajak Keluaran dan PPnBM Yang TidakDipungut/Ditunda/Ditangguhkan/Di bebaskan/Ditanggung Pemerintah (DTP);
4). Formulir 1195 A3
- Daftar Pajak Keluaran dan PPnBM Kepada Pemungut PPN;
25
5). Formulir 1195 Bl
-
Daftar
Pajak
Masukan
Yang
Dapat
Dikreditkan;
6). Formulir 1195 B2
- Daftar Pajak Masukan dan PPnBM Yang Memperoleh
Pembayaran
Pendahuluan
dari BAPEKSTA Keuangan;
7). Formulir 1195 B3
-
Hasil
Penghitungan
Masukan
(
PM
Kembali )
Yang
Pajak Telah
Dikreditkan/TidakDipungut/Ditangguhkan /Dibebaskan;
8). Formulir 1195 B4
- Daftar Pajak Masukan Yang Tidak Dapat Dikreditkan;
9). Formulir 1101 BM
- SPT Masa Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Sesuai dengan Pasal 3 ayat (3) Undang-undang No 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No 16
tahun 2000, batas waktu pelaporan SPT Masa adalah paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya untuk setiap masa pajak. Misalnya transaksi bulan Januari 2005 maka pelaporan SPT Masa PPN paling lambat dilakukan tanggal 20 bulan Februari 2005. Sedangkan batas waktu pembayaran menurut Pasal 9 ayat (3) Undang-undang diatas,
pajak kurang bayar adalah setiap tanggal 15 bulan berikutnya untuk setiap masa pajak. Contohnya untuk Masa Pajak Januari 2005 tersebut
26
terdapat kurang bayar Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah), atas kurang bayar ini harus disetorkan ke kas negara paling lambat tanggal 15bulanFebruari2005.
b.
Pelaporan Tahunan dengan SPT Tahunan PPh Pasal 25/29 Untuk melaporkan kondisi keuangan dalam satu tahun buku (dalam istilah pajak disebut tahun pajak) setiap perusahaan wajib menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri laporan keuangannya kedalam SPT Tahunan PPh Pasal 25/29 setiap awal tahun berikutnya. Laporan ini memuat laporan laba rugi, neraca, perubahan modal, daftar akiva, dan perhitungan pajak PPh Pasal 25/29 yang kurang atau lebih bayar untuk satu tahun pajak.
Pelaporan SPT Tahunan PPh Pasal 25/29 diatur dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-undang No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang No 16 Tahun 2000, dilakukan paling lambat tanggal 31
Maret tahun berikutnya setelah tahun pajak berakhir.
Misalnya untuk tahun pajak 2005, pelaporan SPT Tahunan PPh Pasal 25/29 paling lambat tanggal 31 Maret 2006. Sedangkan pembayaran atas PPh Pasal 25/29 yang kurang dibayar paling lambat tanggal 25 Maret tahun berikutnya setelah tahun pajak berakhir. Sebagai contoh
untuk tahun pajak 2005 terdapat kurang bayar PPh Pasal 25/29 sebesar Rp 500.000.000 (Lima Ratus Juta Rupiah), atas kurang bayar ini harus
telah disetorkan ke kas negara paling lambat tanggal 25 Maret 2006.
27
B. Pembelian
Faktur Pajak Masukan sangat terkait dengan pembelian yang dilakukan perusahaan. Pembelian merupakan cara untuk mendapatkan barang dagangan
dan atau jasa dari pihak lain dengan menyerahkan sejumlah uang atau barang untuk membayar nilai barang dan atau jasa yang diperoleh sesuai dengan kesepakatan antara pihak penjual dan pihak pembeli. Menurut PSAK No 14 angka 07 nilai pembelian barang meliputi harga barang, bea masuk dan pajak lainnya (kecuali yang kemudian dapat ditagih kembali oleh perusahaan kepada Kantor Pelayanan Pajak) dan biaya pengangkutan, penanganan, dan biaya
lainnya yang secara langsung dapat diatribusikan pada perolehan barang jadi, bahan, dan jasa. Diskon dagang, rabat, dan pos lain yang serupa dikurangkan dalam menentukan nilai pembelian.
Dokumen-dokumen
yang
menyertai
proses
pembelian,
menurut
Mulyadi (1990 : 248) adalah sebagai berikut: 1.
Surat Permintaan Pembelian; Dokumen ini merupakan dasar pembelian, surat ini dibuat oleh bagian
gudang atau pemakai barang untuk meminta barang dengan kualifikasi, jumlah dan mutu tertentu. 2.
Surat Permintaan Penawaran Harga;
Surat ini merupakan surat yang dibuat bagi pembelian kepada calon penjual untuk mendapatkan informasi atas barang dan harga barang yang
dibutuhkan oleh pembeli.
28
3.
Surat Penawaran Harga;
Surat ini berisi penawaran harga barang dengan segala ketentuannya sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh pembeli atau dimiliki oleh penjual. 4.
Bukti/Surat Pesanan Barang;
Berisi daftar barang yang dipesan oleh pembeli sesuai dengan kesepakatan dengan pemasok. 5.
Surat Jalan;
Merupakan dokumen yang memuat sejumlah barang yang dikirimkan kepada pembeli sesuai dengan surat pesanan barang. 6.
Faktur/Nota Penjualan;
Adalah dokumen yang berisi nama barang, kuantitas, harga satuan, dan total harga serta ketentuan pembayaran yang dipersyaratkan atas barang yang telah dikirim dan disetujui untuk dibeli. 7.
Faktur Pajak;
Merupakan dokumen perpajakan yang dibuat dengan syarat dan ketentuan yang tertentu yang merupakan sarana pelaporan transaksi penjualan
maupun bukti pembelian yang isinya sama dengan faktur/nota penjualan.
Adapun alur pembelian yang baik dan sehat, menurut Mulyadi (1990 : 264) adalah sebagai berikut:
1.
Penggunaan formulir bernomor urut tercetak;
29
2.
Pemasok dipilih berdasarkan jawaban penawaran harga bersaing dari berbagai pemasok;
3.
Barang hanya diperiksa dan diterima oleh bagian penerimaan barang jika bagian ini telah menerima tembusan surat order pembelian dari bagian pembelian;
4.
Bagian penerimaan barang melakukan pemeriksaan barang yang diterima dari pemasok dengan cara menghitung dan menginspeksi barang tersebut dan membandingkannya dengan tembusan surat order pembelian;
5.
Terdapat pengecekan harga, syarat pembelian, dan ketelitian perkalian dalam faktur dari pemasok sebelum faktur tersebut diproses untuk dibayar;
6.
Catatan yang berfungsi sebagai buku pembantu utang secara periodik direkonsiliasi dengan rekening kontrol utang dalam buku besar;
7.
Pembayaran faktur dilakukan sesuai dengan syarat pembayaran guna mencegah kehilangan kesempatan untuk memperoleh potongan tunai;
8.
Bukti kas keluar beserta dokumen pendukungnya dicap lunas oleh bagian pengeluaran kas setelah cek dikirimkan kepada pemasok.
C. Profitabilitas 1.
Pengertian Profitabilitas
Pemegang saham hams memiliki ukuran untuk menilai tingkat keberhasilan manajemen dalam menjalankan kegiatan usaha selain dengan melihat besar kecilnya tingkat keuntungan. Salah satunya adalah dengan mengetahui
persentase
keuntungan
dibandingkan
penjualan,
ataupula
30
persentase
keuntungan
dibandingkan
dengan
modal
yang
disetor.
Persentase ini disebut dengan tingkat Profitabilitas perusahaan. Menurut
Amin
Widj aj a
Tunggal
(1995
:
166)
pengertian
profitabilitas adalah sebagai berikut: "Rasio Keuntungan Bersih terhadap Penjualan dinyatakan sebagai angka persentase
dan
keuntungan
angka
bersih
ini
diperolehnya
dengan
angka
dengan
jumlah
membagi
penjualan.
jumlah
Angka
ini
menggambarkan tingkat keuntungan yang diperoleh dan menunjukkan keberhasilan
atau tidaknya
manajemen
dibandingkan produksi dan
distribusi sebagai keseluruhan."
Menurut Fred Weston dan Thomas Copeland (1996 : 232)
"Profitabilitas merupakan hasil akhir bersih dari berbagai kebijakan dan keputusan.
Rasio ini untuk mengukur efektivitas manajemen yang
ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan dari penjualan dan investasi perusahaan."
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat Profitabilitas
merupakan ukuran untuk menilai apakah manajemen berhasil atau tidak dalam mengelola perusahaan.
31
2.
Tehnik Mengukur Tingkat Profitabilitas Untuk menghitung besarnya tingkat profitabilitas perusahaan, menurut Fred Weston dan Thomas Copeland (1996 : 232) terdapat beberapa model analisis sebagai berikut: a.
Margin Laba atas Penjualan {profit margin on sales) Margin ini dihitung dari laba bersih sesudah pajak dibagi
dengan penjualan, menghasilkan laba untuk setiap rupiah (atau satuan moneter lain) penjualan. Rasio ini dinyatakan sebagai angka persentasi
dan angka ini menggambarkan tingkat keuntungan yang diperoleh (rate of return) dan menunjukkan berhasil atau tidaknya manajemen dibandingkan produksi dan distribusi secara keseluruhan. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut:
MarjinLaba
=
Laba Bersih
x
100%
Penjualan
b.
Hasil Pengembalian atas Total Aktiva (Return On Total Assets) Rasio ini mencoba mengukur efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan
seluruh
sumber
dayanya,
kadang-kadang
disebut
dengan Hasil Pengembalian atas Investasi (Return On Investment, ROI). Berdasarkan perhitungan sebelum pajak maka rasionya adalah (EBIT/Total Aktiva). Kita juga perlu mengetahui apa yang akan tersisa sesudah pajak, akan tetapi
perhitungan ini agak rumit karena beban
bunga, merupakan unsur pengurang dalam perhitungan pajak. Karena
32
adanya bunga sebagai pengurang pajak, maka perlu ditambahkan beban bunga sesudah pajak pada laba bersih sebagai pembilang dari rasio hasil pengembalian aktiva. Rumusnya adalah sebagai berikut:
Return On Investment - (Laba Bersih + Beban Bunga Bersih) x 100% Total Aktiva
c.
Hasil Pengembalian atas Modal (Net Worth).
Rasio laba bersih sesudah pajak terhadap modal (return on net
worth) mengukur tingkat hasil pengembalian dari investasi para pemegang saham. Rasio keuntungan terhadap kekayaan bersih adalah
penting, mengingat ia menunjukkan tingkat keuntungan dari modal pemiliknya. Misalnya kekayaan bersih ialah modal saham ditambah laba ditahan sejumlah Rp 6.000.000,- dan keuntungan bersih sesudah pajak adalah Rp 600.000,- maka pemilik yaitu pemegang saham dari perusahaan tersebut mendapatkan keuntungan bersih dari penanaman modalnya sebesar 10%. Ini tentu tidak berarti para pemegang saham akan mendapatkan deviden 10 % pula, mengingat sebagian keuntungan tentunya diperlukan tetap berada didalam perusahaan sebagai laba ditahan untuk memperkuat modal perusahaan. Rumus :
Return On Net Worth
=
Laba Bersih Modal
x 100%
33
Tujuan utama analisis ini adalah untuk menghitung kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan (laba bersih). Analisis ini sangat diperlukan oleh pemegang saham maupun calon pemegang saham untuk memperkiraan berapa lama modal yang ditanamkan akan kembali
(Tingkat
Pengembalian
Modal).
Ini
sangat
penting
karena
dalam
mengambil keputusan investasi yang menjadi perhatian utama adalah berapa lama modal tersebut akan kembali dan berapa lama pemegang saham akan mulai memperoleh keuntungan dari modal yang ditanam.
Misalnya
berdasarkan
dibandingkan
dengan
analisis modal
diatas
bersih
yaitu
adalah
10
tingkat %
keuntungan
berarti
minimal
dibutuhkan waktu 10 tahun untuk dapat mengembalikan modal yang ditanam. Jangka waktu ini bisa jadi bertambah lama karena tidak semua
keuntungan
akan
diberikan kepada pemegang
saham dalam
bentuk
deviden. Dari sinilah pemegang saham ataupun calon pemegang saham harus membandingkannya lebih dahulu dengan instrumen investasi yang lain, sebelum memutuskan untuk menanamkan, menambah, atau menarik modal yang ditanam.
3.
Hubungan Faktur Pajak Bermasalah dengan Profitabilitas Seperti telah disinggung di Bab I, dengan adanya koreksi terhadap Faktur Pajak Masukan yang dikreditkan dalam SPT Masa PPN, akan berakibat adanya penambahan PPN Kurang Bayar yang harus disetorkan ke kas negara. Penambahan PPN ini merupakan tambahan pengeluaran
34
bagi perusahaan yang menambah beban usaha pada periode tersebut. Hal ini tentu berdampak pada penurunan besarnya laba usaha, laba bersih, maupun laba ditahan perusahaan. Dengan adanya perubahan besarnya laba bersih dan laba ditahan
perusahaan,
maka
tingkat
prestasi
manajemen
dalam
mengelola
perusahaan juga akan berubah. Tingkat prestasi ini diukur dengan menilai
besarnya laba bersih dibandingkan dengan penjualan, atau laba bersih dibandingkan dengan modal yang ditanam, atau yang kita kenal dengan tingkat profitabilitas perusahaan.
D. Likuiditas 1.
Pengerian Likuiditas Untuk
mengetahui
kemampuan
perusahaan
dalam
membayar
kewajiban-kewajibannya, pemegang saham harus memperoleh informasi
mengenai keadaan kekayaannya dibandingkan dengan kewajibannya. Hal ini untuk menghindarkan perusahaan mendapatkan komplain dari pemasok karena
ketidakmampuan
perusahaan
membayar
hutang
tepat
pada
waktunya. Ukuran kemampuan perusahaan untuk melakukan pembayaran hutang disebut dengan tingkat likuiditas perusahaan. Adapun pengertian likuiditas sebagai berikut:
35
Menurut J. Fred Weston & Thomas E Copeland (1995 : 255) likuiditas atau ratio lancar adalah :
"Rasio lancar merupakan ukuran yang paling umum digunakan untuk mengetahui kesanggupan memenuhi kewajiban jangka pendek, rasio
lancar tersebut menunjukkan seberapa jauh tuntutan dari kreditur jangka pendek dipenuhi oleh aktiva yang diperkirakan menjadi uang tunai dalam periode yang sama dengan jatuh tempo hutang"
Sedangkan menurut Bambang Riyanto (1995 : 26) yang dimaksud dengan likuiditas adalah:
"Suatu perusahaan yang mempunyai kekuatan membayar, sedemikian besar sehingga mampu memenuhi segala kewajiban fiansialnya yang segera harus dipenuhi. Maka dapat dikatakan bahwa perusahaan tersebut adalah "likuid" dan sebaliknya bagi perusahaan yang tidak mempunyai 'kemampuan membayar' maka perusahaan dikatakan 'illikuid'. Apabila
kemampuan membayar tersebut dihubungkan dengan kewajiban kepada pihak luar (kreditor) maka dinamakan'likuiditas badan usaha\ apabila kemampuan membayar tersebut dihubungkan dengan kewajiban finasial
untuk menyelenggarakan proses produksi, maka dinamakan "likuiditas perusahaan".
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa likuiditas merupakan
indikator mengenai posisi keuangan jangka pendek suatu perusahaan yang
36
mencerminkan kemampuan perusahaan untuk membayar semua kewajiban
fiansialnya dalam jangka pendek dengan menggunakan aktiva lancar. Likuiditas perusahaan tidak hanya berkenaan dengan keadaan keseluruhan keuangan perusahaan, tetapi juga berkaitan dengan kemampuan untuk merubah aktiva lancar menjadi uang kas.
2.
Teknik analisis likuiditas
Menurut Shopar Lumbantoruan (1996 : 413) terdapat dua jenis ratio yang dapat digunakan untuk mengukur likuiditas yaitu : a.
Rasio-Lancar (Current Ratio)
Rasio Lancar (Current Ratio) ialah perbandingan antara aktiva lancar dengan utang jangka pendek. Rasio yang rendah menunjukkan likuiditas yang kurang baik. Dalam posisi seperti ini perusahaan akan sulit membayar utang-utangnya. Rasio yang tinggi menunjukkan keadaaan likuiditas yang berlebih.
Adapun rumus perhitungannya adalah sebagai berikut: Rasio Lancar
=
Aktiva Lancar
x
100%
Hutang Lancar
Rasio Lancar biasanya dipergunakan sebagai alat untuk mengukur keadaan likuiditas sesuatu perusahaan, dan juga merupakan petunjuk untuk dapat mengetahui kemampuan membayar perusahaan, apabila memberikan kredit berjangka pendek kepada perusahaan tersebut.
37
Dasar perbandingan itu juga menunjukkan apakah jumlah
aktiva lancar itu cukup melampaui besamya kewajiban lancar. Dan apabila dilakukan likuidasi atas aktiva-aktiva tersebut walaupun hasilnya dibawah nilai dari yang tercantum di neraca, namun masih tetap terdapat cukup kas ataupun yang dapat dikonversikan menjadi
uang
kas
didalam
waktu
singkat,
sehingga
dapat
memenuhi
kewajibannya. Namun demikian selalu ada kemungkinan, bahwa suatu perusahaan yang mempunyai angka rasio yang tinggi, ternyata tidak mampu membayar utang lancarnya. Hal ini disebabkan distribusi yang
kurang baik dari aktiva lancar terhadap kewajiban lancar. Misalnya persediaan
terlampau
banyak
jumlahnya
dibandingkan
dengan
kemungkinan yang ada untuk menjualnya, sehingga perputarannya lambat.
Kenaikan
persediaan
yang
disertai
dengan
merosotnya
penjualan mungkin menyebabkan terlalu besamya modal kerja. Jumlah piutang yang ada mungkin merupakan akumulasi piutang yang sudah lama jatuh tempo atau mungkin piutang yang tidak dapat ditagih lagi.
b.
Rasio Cepat (Acid Test Ratio atau Quick Ratio) Quick ratio atau acid test ratio adalah suatu perbandingan yang lebih
tajam daripada rasio lancar. Rasio ini hanya memperhitungkan unsur aktiva lancar yang benar-benar likuid atau cepat untuk dijadikan uang.
38
Aktiva lancar yang masih membutuhkan waktu lama untuk dijadikan uang tunai dikeluarkan dari perhitungan. Menurut Amin Widjaja Tunggal (1995 :
159) untuk dapat
menghitung rasio ini, aktiva lancar dibagi menjadi 2 golongan yaitu ; a.
Uang tunai dan jenis aktiva yang "cepat" atau yang agak lambat
likuid sifatnya, seperti piutang dan pos-pos lain, yang segera tersedia atau yang akan dapat diterima dengan segera, sehingga akan dapat dipergunakan untuk membayar kewajiban lancar yang sedang berjalan. b.
Jenis aktiva yang kurang cair sifatnya, seperti persediaan yang
memerlukan waktu yang agak panjang, sebelum dapat dikonversi menjadi uang tunai.
Untuk mendapatkan Acid Test ratio, maka aktiva "cepat" dibagi dengan total kewajiban lancar (current liabilities). Acid Test
Ratio kerapkali disebut pula Quick Ratio. Persediaan tidak termasuk kedalam golongan "aktiva cepat", karena membutuhkan waktu untuk menjual persediaan, disamping masih terdapat pula keraguan mengenai dapat atau tidaknya persediaan itu dijual.
Adapun rumus untuk menghitung besarnya rasio cepat (Quick ratio) adalah sebagai berikut: Rasio Cepat
= (Aktiva Lancar - Persediaan) Hutang Lancar
x 100 %
39
Jika suatu perusahaan mempunyai Quick ratio sebesar 100 % atau lebih, maka perusahaan tersebut berada dalam keadaan keuangan yang
baik
3.
Hubungan Faktur Pajak Bermasalah dengan Likuiditas
Seperti bermasalah
halnya
dengan
hubungan
tingkat
antara
Faktur
Pajak
Pembelian
profitabilitas,
Faktur
Pajak
Pembelian
bermasalah berdampak pula terhadap tingkat likuiditas perusahaan. Hal ini
terutama karena adanya kewajiban pajak tambahan yang hams dibayar perusahaan. Penambahan Pembayaran ini berpengaruh terhadap posisi kas/bank perusahaan.
Dengan adanya perubahan posisi kas/bank dengan sendirinya mempengaruhi jumlah aktiva lancar maupun total aktiva perusahaan dan
juga mempengaruhi struktur permodalan perusahaan.
Aktiva Lancar
merupakan unsur utama dalam perhitungan besarnya tingkat likuiditas perusahaan.