2010
Penyempurnaan Sistem Administrasi Pajak Pertambahan Nilai
Priyanto Rustadi
Sistem administrasi atas pemungutan PPN yang ada saat ini masih sangat rentan terhadap penyelewengan yang dilakukan oleh WP. Kelemahan terletak pada sistem administrasi mulai dari hulu ke hilir, sejak dari registrasi sampai kontrol yang harus dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Dokumen ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk memperbaiki sistem administrasi mulai dari registrasi, Manajemen Faktur Pajak, Return Processing sampai dengan Manajemen Case Selection dalam Audit sebagai tindakan kontrol oleh Direktorat Jenderal Pajak
[Type the company name] [Type the company address] [Type the phone number] [Type the fax number]
1 Penyempurnaan Sistem Administrasi PPN PENYEMPURNAAN SISTEM ADMINISTRASI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 1. Latar Belakang Masalah 2. Tinjauan dan Studi Banding Sistem di Negra Lain a. Tax on Consumtion b. Cash Reciept System – Korea c. Compliance Management on VAT Return - Canada 3. Penyempurnaan Sistem Administrasi PPN di Indonesia a. Registration Management b. Compliance Management c. Manajemen Faktur Pajak 4. Kesimpulan dan Saran
2 Penyempurnaan Sistem Administrasi PPN 1.
Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang mengenakan pajak atas konsumsi masyarakat, baik di tingkat pemerintah, dunia usaha maupun rumah tangga. Pengenaan pajak atas konsumsi diambil sebagai salah satu pemenuhan kebutuhan negara atas penerimaan dari sektor pajak. Seperti layaknya negara-negara lain yang melakukan pemungutan pajak atas komsumsi, Indonesia menikmati penerimaan atas pajak sektor ini kurang-lebih 30% dari total penerimaan pajak. Berikut ditampilkan grafik porsi penerimaan pajak atas konsumsi di negara-negara anggota OECD. Rata-rata penerimaan pajak dari pajak atas konsumsi sebesar 30% dari seluruh penerimaan pajak.
Dalam praktenya terdapat beberapa jenis pajak atas konsumsi, antara lain: 1. 2. 3. 4.
Sales Tax; Manufacturer and Wholesale Taxes; Retail Sales Tax; Value Added Tax/Goods and Services Tax.
Semua jenis pajak atas konsumsi diatas pada dasarnya mengenakan pajak saat terjadi pengalihan atas barang dan jasa. Sales tax dikenakan pajak saat terjadi pengalihan barang dan jasa disetiap tingkatan distribusi, dari mulai manufaktur sampai dengan retail. Untuk Manufacturer and Wholesale taxes pengenaan pajak hanya pada tingkatan manukfaktur dan distributor utama, sedang Retail Sales Tax penggenaan pajak hanya pada tingkat retailer saja. Kelemahan utama dari pengenaan pajak diatas adalah terjadinya cascading effect, yaitu pengenaan pajak atas pajak itu sendiri. Koreksi atas cascading effect ini terdapat pada sistem pemungutan dengan menggunakan VAT/GST. Sejak reformasi perpajakan Indonesia tahun 1983, pemerintah memilih menggunakan Pajak
Pertambahan Nilai (VAT) dengan metode indirect subtraction method (invoice method) dalam mengenakan pajak atas konsumsi ditingkat belanja negara, dunia usaha maupun rumah tangga. Model pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dengan menggunakan metode indirect subtraction method (invoice method) sangat rentan terhadap penyalahgunaan. Penghitungan PPN dengan metode ini dilakukan dengan cara menngurangkan pajak atas input terhadap pajak atas output : t (output) – t (input) t = pajak output = seluruh transaksi penjualan input = seluruh transaksi pembelian Bukti dari setiap transaksi tersebut diwakili dengan Faktur Pajak (Faktur Pajak Keluaran = output, Faktur Pajak Masukan = input), sehingga Faktur Pajak Masukan nilainya akan sama dengan uang atau check, karena bisa dikreditkan atas Pajak Keluaran. Disinilah letak kelemahan sistem pengenaan PPN dengan metode indirect subtraction method (invoice method). Tanpa adanya suatu sistem pengawasan yang baik mustahil mengharapkan tidak terjadi penyelewengan/penyalahgunaan Faktur Pajak ini. Tulisan ini membahas bagaimana seharusnya suatu sistem pengawasan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, mulai dari saat Wajib Pajak melakukan registrasi sebagai Pengusaha Kena Pajak, manajemen pengawasan atas penerbitan dan pengkreditan Faktur Pajak, sampai dengan pengawasan atas pengajuan restitusi Pajak Pertambahan Nilai dengan mekanisme audit selection yang berdasarkan risk analysis management.
3 Penyempurnaan Sistem Administrasi PPN 2.
Tinjauan dan Studi Banding Sistem di Negra Lain
Tinjauan yang dijadikan dasar dalam tulisan ini merupakan suatu sistem yang telah diterapkan di negara lain yang secara nyata sistem administrasi perpajakannya jauh lebih maju dari Indonesia. Beberapa hal memang harus disesuaikan dengan kondisi peraturan dan tata cara perpajakan yang dianut oleh pemerintah Indonesia. Berikut adalah negara yang dijadikan sebagai studi banding: Korea Selatan Pemerintah pusat Korea Selatan menerapkan suatu sistem yang disebut Cash Recipt System yang digunakan untuk meningkatkan transparansi. Dengan sistem ini diharapkan cash economy dapat tercatat dalam sistem. Model CRS ini nanti akan kita bahas dalam penerapannya guna mengawasai penggunaan Faktur Pajak di Indonesia Canada Canada Revenue Agency merupakan salah satu negara yang menganut sistem pemungutan pajak atas konsumsi berupa GST dan mereka berhasil mengendalikan penyalahgunaan kredit pajak melalui program : 1. Prepayment Risk Assessment for GST/HST 2. High Risk Analysis for GST/HST Return Secara singkat mereka melakukan risk assesment pada saat wajib pajak mendaftar dan pada Surat Pemberitahuan telah dilaporkan. Dengan risk assesment ini mereka dapat mendeteksi setiap wajib pajak yang berisiko tinggi terhada penyalahgunaan kredit pajak segera setelah mendaftar maupun saat mereka telah melaporkan Surat Pemberitahuannya. a. Tax on Cunsumption Secara umum pajak atas atas konsumsi dapat diartikan sebagai pengenaan pajak saat masyarakat mengeluarkan uang untuk konsumsi baik konsumsi dalam bentuk barang maupun jasa. Dasar pengenaan pajak (tax base) atas konsumsi adalah uang yang dikeluarkan untuk konsumsi bersangkutan. Pajak atas konsumsi biasanya berbentuk pajak tidak langsung (sales tax, Value Added Tax, Goods and Services) adalah pajak yang dikumpulkan oleh
perantara/penjual (retail store, wholeseller) dari orang yang menanggung pajak sesungguhnya (pembeli). Selanjutnya perantara/penjual tersebut yang melaporkan pemungutan pajak kepada pemerintah melalui surat pemberitahuan (tax return). Itulah mengapa pajak ini disebut pajak tidak langsung, karena yang melaporkan pajak kepada pemerintah bukan orang yang menanggung pajak sesungguhnya. Contoh tax on consumption: a.1. excise tax (cukai) An excise or excise tax (sometimes called a duty of excise special tax) is an inland tax on the sale, or production for sale, of specific goods or a tax on a good produced for sale, or sold, within a country or licenses for specific activities. Excises are distinguished from customs duties, which are taxes on importation. Excises are inland taxes, whereas customs duties are border taxes. http://en.wikipedia.org/wiki/Excise
Exise tax adalah : - pajak penjualan, produksi untuk dijual, atau impor; - atas barang tertentu; - barang tersebut biasanya mempunyai sifat dan karakteristik tertentu, sehingga konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; - dapat digunakan untuk mengendalikan peredaran barang tertentu seperti etil alkohol (ethanol), minuman yang mengandung etil alkohol, dan tembakau. a.2. Retail Sales Tax A sales tax is a tax paid to a governing body by a seller for the sales of certain goods and services. Usually laws allow (or require) the seller to collect funds for the tax from the consumer at the point of purchase. Laws may allow sellers to itemized the tax separately from the price of the goods or services, or require it to be included in the price (tax-inclusive). The tax amount is usually calculated by applying a percentage rate to the taxable price of a sale. http://en.wikipedia.org/wiki/Sales_tax
Dapat diartikan pajak penjualan adalah: - pajak atas penjualan barang atau jasa tertentu;
4 Penyempurnaan Sistem Administrasi PPN - dikenakan disatu tingkat jalur distribusi yaitu retailer; - retailer ditunjuk oleh pemerintah sebagai pemungut pajak, dan mereka yang mempunyai kewajiban melaporkan dan menyetorkan pajak yang dipungut there is subtantial discussion about the retail sales tax versus VAT, but the main problem of the former seem to bethe following (Tait, 18): the higher the rate, the more collection weight is put upon the weakest link in the chain – the retailer, especially numerous small retailer. All the revenueis at risk. It has been suggested that this is also true of VAT if the retailer successfully claims all his credit on purchases, but clearly it is more difficult to do so under the accounting requirement of VAT. The audit and invoice trail is poorer than under VAT, especially for service. There have to be troublesome “end-use exemptions”. Revenue is not secured at the easiest stage, that is at the time of importation, and this can be crucial for many developing countries. Pada pajak penjualan ini cascading effect sangat tinggi, atas suatu barang pajaknya bisa dikenakan berkali-kali, termasuk pajak itu sendiri akan dipajaki di rantai penjualan berikutnya. Hal ini dapat disebabkan sulitnya mengawasi apakah suatu barang digunakan untuk proses produksi lebih lanjut atau digunakan oleh konsumen akhir. Penanggung pajak terbesar akan jatuh pada rantai penjualan paling akhir. Selain itu pada pajak penjualan dituntut budaya pencatatan yang baik (record keeping), karena pembuktian hanya dapat dilakukan melalui audit. Demi alasan kemanusiaan, kesejahteraan masyarakat, dan lain-lain pajak konsumsi tidak lepas dari pengecualian-pengecualian. Karena sifatnya, tujuan pengecualian dapat saja tidak tercapai. a.3. Manufacturer and Wholesale Taxes is a single-stage tax levied on manufacturers, wholesalers or retailers. However, some undesireable cascading can be found even in countries that use or have used single-stage sales taxes (Australia, Audtria, Belgium, Canada, Luxemburg, Mexico, Morocco, the Netherlands, New Zealand, and the United Kingdom). Cascading
occurs whenever taxable goods are produced using taxed inputs. (Tait, 15) Pengenaan pajak dilakukan pada satu tingkat rantai distribusi saja, apakah ditingkat pabrikan saja, ditingkat pedagang besar saja atau pada tingkat retail saja. Cascading effect masih mungkin terjadi walau pengenaan pajak hanya pada satu tingkat distribusi. Cascading terjadi saat pabrikan memproduksi suatu barang kena pajak yang menggunakan bahan baku dari pabrikan lain yang tentunya bahan baku tersebut mengandung pajak. a.4. Value Added Tax merupakan pajak atas konsumsi yang bebas dari cascading effect, karena pemajakan dikenakan hanya pada value added (nilai tambah) atas suatu barang. Value added is the alue thas a produces (wheather a manufacturer, distributor, advertising agent, hairdresser, farmer, race horse trainer, or circus owner) adds to his raw materials product or service. That is the inputs (the raw materials, transport, rent, advertiseng, and so on) are bought, people are paid wages to work on these inputs and, when the final goods or service is sold, some profit is left. So vlue added an be looked at from the additive side (wages plus profits) or from the subtractive side (output minus inputs) (Tait, 4) Value Added = wages + profits = output - input Terdapat empat metode pengenaan VAT sebagai berikut : (1)
PPN = t (upah + keuntungan) the additive-direct / account method.
(2)
PPN = t (upah) + t(keuntungan) the additiveindirect method.
(3)
PPN = t (output – input) the substractive-direct method.
(4)
PPN = t (output) – t(input) the substractiveindirect method /invoice method / credit method
Keempat metode diatas didasari pada dua perspektif utama yaitu penghitungan nilai tambah dari penjumlahan upah dan keuntungan (additive), serta dari selisih output dikurangi input (substractive). Berikut ini akan dipaparkan metode substractive yang aplikasinya secara luas telah diterapkan banyak Negara.
5 Penyempurnaan Sistem Administrasi PPN a)
The substractive-direct method.
c)
Memberikan informasi besarnya pajak pada mata-rantai sebelumnya. Sistem yang lain yaitu additive method dan substractive direct method secara teknik tidak mampu memberikan informasi besarnya pajak pada mata-rantai produksi dan distribusi sebelumnya dan kejelasan apakah pajaknya sudah dibayar.
d)
Tidak perlu menghitung keuntungan terlebih dahulu. Jumlah pajak tidak perlu dihitung dengan menghitung keuntungan terlebih dahulu, karena penghitungan pajak dilakukan dengan mengurangkan nilai pajak hasil penjualan terhadap nilai pajak hasil pembelian. Sedangkan bila menggunaan additive direct method (atau account method) dan additive indirect method, pengusaha harus menghitung dulu jumlah keuntungan. Hal ini tidak mudah, dan untuk itu pengusaha di dalam pembukuannya harus memilah-milah kategori produk sesuai dengan tarif PPN-nya, serta input-nya sesuai dengan jumlah pajak yang terhutang.
e)
Dalam substractive direct method dihitung dulu pertambahan nilai yang terjadi. Dalam substractive direct method atau business transfer tax, pertambahan nilai yang terjadi harus dihitung terlebih dahulu. Ini dilakukan dengan cara mengurangkan input terhadap output-nya. Dalam prakteknya, cara ini kurang disukai oleh para pengusaha jika harus dilakukan setiap bulan. Karena pembelian, penjualan maupun persediaan dalam sebulan dapat berfluktuasi dengan signifikan. Idealnya metode ini digunakan jika periode yang dipakai adalah tahunan. Disamping itu, tarif pajak yang digunakan sebaiknya adalah tarif tunggal.
f)
Periode penghitungan besarnya pajak lebih fleksibel. Periode penghitungan besarnya pajak yang terhutang tidak saja dapat dihitung setahun sekali, melainkan triwulanan, bulanan, bahkan kalau dikehendaki seminggu sekali;
g)
Dapat menggunakan multi tarif. Tarif yang berbeda-beda dapat digunakan sehingga lebih fleksibel, karena bertumpu pada invoice. Untuk additive method hanya dapat dipakai untuk tarif tunggal, sedangkan untuk substractive direct method akan sulit bila tarifnya berbeda-beda karena pembukuan atau catatan harus dibedakan untuk komoditi yang tarif pajaknya berbeda.
Dalam metode ini, pajak dihitung dengan cara mengurangi harga penjualan dengan harga pembelian dan langsung dikalikan dengan tarif. b)
The substractive-indirect method (invoice or credit method)
Dalam metode ini, pajak dihitung dengan cara mengurangi selisih pajak yang dipungut saat penjualan (output tax) dengan jumlah pajak yang dibayar saat pembelian (input tax). Dalam metode ini yang dicari adalah selisih pajaknya, bukan selisih harga jual-belinya, oleh karena itu metode ini dikenal dengan credit method. Sarana yang digunakan mencari selisih pajak terhutangnya adalah faktur pajak yang didapat saat pembelian dan faktur pajak yang dibuat saat penyerahan. Keduanya merupakan dokumen sumber yang membuktikan pajak telah dipungut. Karena dalam pengawasan penerapan metode ini begitu menekankan pada penggunaan faktur pajak, maka metode ini dinamakan juga dengan invoice method. Keunggulan substractive indirect method / invoice method / credit method dibandingkan sistem yang lain adalah: (Tait, 5) a)
Faktur pajak mengkaitkan pajak terutang dengan transaksi yang menyebabkan timbulnya hutang pajak. Hal ini menjadikan metode ini paling unggul dibandingkan dengan yang lain baik dari sudut yuridis maupun dari teknis pemungutan. Kedudukan faktur pajak menjadi sangat penting karena selain sebagai bukti adanya suatu transaksi, juga sebagai bukti adanya pembayaran pajak yang terhutang.
b)
Menciptakan audit trail atau jejak lacak. Faktur pajak menciptakan suatu audit trail atau “jejak lacak” yang baik bagi fiskus dalam melakukan pemeriksaan karena dapat menunjukkan adanya transaksi pembelian dan penjualan. Hal ini memaksa penjual maupun pembeli untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik dan merangsang mereka untuk melakukan pembukuan dengan tertib, baik dan benar. Jika tidak maka pengusaha kena pajak akan mengalami berbagai kendala sehubungan dengan pengkreditan Pajak Masukan atas Pajak Keluaran sebab Faktur Pajak Masukan merupakan bukti sah atas pajak yang telah dibayar.
6 Penyempurnaan Sistem Administrasi PPN
b. Cash Receipt System (CRS) – Korea Sumber: Presentasi NTS kepada tim studi banding dari DJP di NTS Seoul, Juni 2010.
CRS : Backround 1. Meningkatkan transparansi. Dengan sistem ini seluruh cash ekonomi menjadi tercatat kedalam sistem keuangan negara. 2. Melindungi penerimaan negara dari sektor pajak - Tercatat pada tahun 2004 konsumsi prinadi di korea sebanyak 61% merupakan transaksi kas sementara sisanya sebesar 31% menggunakan kartu kredit - Hal ini dapat mendorong: o Tidak dilaporkannya penghasilan dari transaksi kas kedalam SPT Tahunan penjual; o Penghindaran pajak sangat mudah; o Sangat sulit membuktikannya dalam pemeriksaan. 3. What is CRS: - Track & trance cash economy - Automatically pick up cash transaction - Putting a tag on cash 4. Efektif mulai berlaku sejak 1 Januari 2005 CRS : How it work? -
-
Tidak terlalu membebani penjual maupun pembeli; Efektif dalam mengungkap transaksi kas; Menggunakan jaringan IT yang telah ada, yaitu dengan menggunakan jaringan kartu kredit yang telah ada, dengan menambahkan chip yang diberikan gratis oleh NTS; Ketika penbeli bertransaksi menggunakan kas: o Menunjukan ID (kartu kredit, nomor telepon, resident ID) o Penjual menerbitkan cash reciept o Informasi transaksi ini otomatis terkirim ke NTS
CRS : Legal Frame Work 1. Kewajiban berpartisipasi: - Badan usaha yang menjual langsung barang dagangan atau jasa ke konsumen akhir orang pribadi - Pelayanan kesehatan seperti dokter, apotik dll - Jasa profesional seperti pengacara, akuntan, dll - Orang pribadi yang menjual barang daganan atau jasa kepada konsumen akhir orang pribadi, dengan syarat peredaran usaha tahun sebelumnya telah mencapai KRW 24 juta atau lebih. 2. Permintaan berpartisipasi: - Sebelum 31 maret, atau dalam jangka waktu 3 bulan sejak didirikan/dimulainya usaha untuk usaha baru 3. Sanksi jika tidak berpartisipasi - Sanksi administrasi 0.5% dari jumlah peredaran selama tidak berpartisipasi (dihitung harian) - Penolakan pemberian fasilitas perpajakan dalam penyampaian SPT Tahunan CRS : Reward for reporting non-compliance 1. Ketidak patuhan dapat berbentuk: - Penjual menolak menerbitkan cash reciept; - Besarnya cash reciept berbeda dengan transaksi sebenarnya; - Pembatalan cash receipt oleh penjual tanpa diketahui oleh pembeli. 2. Reward and penalty - Untuk pelapor: 20% dari nilai yang dilaporkan - Untuk pedagang: sanksi administrasi 5% dari nilai terlapor dan penolakan pemberian fasilitas-fasilitas perpajakan. CRS : Consumer’s benefits 1. Income dedection - Cash receipt dari: diri sendiri, istri, anak dll - Nilai pengurangan : total pengeluaran cash receipt, kartu kredit, kartu debet - (Total pengeluaran – (tatal pendapatan X 20%)) X 20% [max. KRW 5 juta] 2. Otomatis diikutsertakan dalam undian berhadiah
7 Penyempurnaan Sistem Administrasi PPN
CRS : Issuers’s benefits 1. VAT credit (tidak berlaku untuk badan usaha) Tax Credit = Cash Receipt + Credit Card Value X 1.3% Untuk usaha tertentu 2.6% 2. Tax benefit karena kenaikan penghasilan 3. Income tax credit 4. Dibebaskan dari pemeriksaan selama jangka waktu tertentu CRS : Operator’s benefits 1. US$ 18 per Cash Receipt terminal yang terinstal 2. 2,3 cent per penerbitan cash receipt (1,62 cent untuk transaksi online) CRS : Result 1. Total nilai cash receipt yang diterbitkan selama tahun 2009 telah mencapai KRW 68 Triliun. 2. Total transaksi yang dapat ditangkap sistem keuangan menjadi 66% pada tahun 2008 (sebelumnya 39% pada tahun 2004)
Tujuan utama dari compliance program CRA adalah: 1. Kepercayaan publik pada integritas sistem perpajakan 2. Perlindungan atas basis pajak Tujuan tersebut akan tercapai dengan menyediakan: 1. Kualitas layanan dan bantuan untuk mendukung mereka yang ingin patuh; 2. Tindakan penegakan hukum yang bertanggung jawab dan efektif terhadap mereka yang tidak patuh. Kualitas layanan dan tindakan hukum diatas agar tepat sasaran perlu dilakukan hal-hal berikut: 1. Identifikasi issue dan analisis; 2. Risk assessment; 3. Pengembangan dan implementasi compliance strategy; 4. Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan. Key compliance strategy:
Key Issues and initiatives : Model CRS ini dapat diaplikasikan pada sistem penerbitan invoice/faktur pada Value Added Tax dengan invoice-based credit methods. Mekanisme kerjanya akan dijelaskan pada bab Manajemen Faktur Pajak. c. Compliance Management on VAT Returns – Canada Sumber: materi presentasi tim CRA kepada tim dari DJP saat studi banding di CRA Ottawa, Canada, Januari 2005
Strategic approach to compliance:
1. 2. 3. 4. 5.
GST/HST Fraud; Agresive tax planning and tax avoidance; Audit of large business; International transactions; Maintaining a credible audit presence.
Issue untuk mengatasi GST/HST fraud adalah: “Caught attention of media and Parliament due to several large-value high-profile criminal trials for GST fraud” Pendekatan yang digunakan untuk mewujudkan tercapainya menanggulangi GST/HST fraud adalah: Mengadopsi pendekatan multi-faceted untuk deteksi dini potensi pelanggaran yang terdiri dari: 1. GST/HST Enhanced Registration and Review (GERR) 2. High-Risk Analysis Team (HRAT) 3. Seperate GST/HST prepayment audit teams.
8 Penyempurnaan Sistem Administrasi PPN
ARRO ditempatkan untuk mengidentifikasi orangorang yang mendaftarkan diri yang berpotensi tidak ada usaha atau bisnis yang cenderung untuk mengklaim refund yang bukan haknya. Canada dibagi menjadi 5 wilayah untuk tujuan ini tim & dengan pengecualian dari 1 region ada satu tim per daerah. Setiap tim bervariasi terdiri atas 1 sampai 5 auditor. Program nasional diimplementasikan sejak bulan Juni 2003 High Risk Analysis Team telah mengidentifikasi beberapa ciri pendaftar yang berisiko tinggi, contohnya:
pendaftar baru. Beberapa contoh alat yang digunakan: o Departmental mainframe systems o Internet sites o Off the shelf computer programs o Internally developed computer applications Auditor menggunakan pengalaman dan profesional judgement mereka dalam menganalisis informasi yang dikumpulkan.
Berikut beberapa contoh kesimpulan yang dihasilkan dari unit ini adalah sebagai berikut:
Address found in High Risk Database Address is on Canada Post’s Maildrop Database Correctional Facility Address T1 High Risk Too Young to operate a Business Spousal record Business address distance from personal address Social assistance history Exporting Previous bankruptcy dsb berikut adalah tata kerja proses penentuan Wajib Pajak GST/HST berisiko tinggi:
Hasil statistik per tahun dari proses risk assesment terhadap registrant GST/HST baru sebagai berikut: • • • • •
New registrations Number treated by GERR Referred to ARRO Deemed by ARRO to be high risk Referred by ARRO to HRAT
230,000 125,000 30,000 7% 2%
Kesimpulan : GST/HST Enhanced Registration Review Setiap hari menerima daftar dari semua pendaftaran yang terjadi pada hari sebelumnya Cocokan dengan kriteria seleksi untuk setiap pendaftaran baru Jika satu atau lebih kriteria seleksi yang cocok, pendaftaran dirujuk ARRO ARRO review and analyze the case Auditor menggunakan berbagai alat untuk membantu dirinya dalam penilaian risiko
Registration Risk Review merupakan team effort; Membantu mengurangi kerugian negara dengan cara mengidentifikasi registrant yang berisiko tinggi sebelum mereka melakukan kecurangan dengan me-refund kelebihan pembayaran pajak yang tidak sah; Keberhasilan ARRO sangat dipengaruhi oleh pengalaman auditor dan profesional judgement mereka.
9 Penyempurnaan Sistem Administrasi PPN Prepayment Risk Assessment
Prosedur ini diterapkan pada semua SPT GST/HST yang input tax credit-nya lebih besar dari pajak yang dipungut dari pembeli, di Indonesia dikenal dengan istilah SPT Lebih Bayar, baik SPT LB yang dimintakan kelebihannya (refund) atau kelebihannya dikompensasi dengan hutang pajak lain. 1st step of Risk Assessment Terdapat 25 automated audit selection criteria yang digunakan untuk menganalisis semua SPT lebih bayar setelah datanya di-capture kedalam sistem; Lebih bayar (refund) yang diklaim wajib pajak yang tidak masuk dalam 25 kriteria diatas langsung dibayarkan tanpa melalui pemeriksaan; Kriteria yang dimaksud dikelompokan menjadi tiga issue: o Issue yang berhubungan dengan klaim atas lebih bayar tertentu: Melebihi treshhold yang ditetapkan Tax Service Office (TSO) GST/HST = 0 Klaim yang diajukan sama persis dengan periode sebelumnya Pengkreditan kalim yang telah lewat waktu atau mendekati; o Issue yang berhubungan dengan wajib pajak; Klaim yang diajukan bukan penduduk canada; Klaim yang diajukan oleh bukan registrant (PKP) atau tidak layak sebagai registrant; Registrant baru; Netfiler/telefiler dan melebihi treshhold tertentu; Registrant yang SPT Tahunannya telah jatuh tempo; Registrant yang sering berpindahpindah tempat; o Issue yang berhubungan dengan sejarah pelaporan wajib pajak: Melebihi batasan yang ditentukan TSO sehubungan dengan audit; o Issue lain yang dapat dijadikan kriteria antara lain: Nature of business Business location Reporting history Account status Audit history
Local knowledge and exertise Associated and related persons Registrant knowledge of GST/HST Amount of refund Maturity of business Business cycle Economic condition Fraud and gross negligence Type of retun Etc
2nd step of Risk Assessment Setelah diperoleh daftar registrant yang berisiko tinggi, tahap selanjutnya adalah review atas prepayment. Setiap TSO memiliki screener yang berpengalaman untuk mereview setiap prepayment yang tidak melalui audit karena alasan beban kerja. Proses review meliputi: - memverifikasi bahwa pengembalian dana tersebut sesuai dengan ketentuan ETA, bebas dari kesalahan perhitungan material dan bukan duplikat; - menentukan apakah ada indikasi fraud. Seorang screener dituntut untuk memiliki keahlian, pengalaman dan local knowledge yang baik dalam menentuk tingkat risiko dari suatu klaim lebih bayar. Dalam setiap kesimpulannya dia akan memberikan keputusan apakah suatu klaim lebih bayar dapat disetujui tanpa harus melalui proses audit, harus melalui proses audit atas prepaymen atau menolak sampai dengan adanya post-audit. Dalam kondisi tertentu seorang screener ataupun auditor dapat mempertimbangkan audit atas klaim lebih bayar dalam bentuk field audit atau desk audit. Statistik Prepayment Risk Assessment
Total SPT GST/HST dalam satu tahun kurang lebih mencapai angka 6 juta SPT, 2 juta diantaranya mengklaim lebih bayar; 65% dari yang lebih bayar disetujui lebih bayarnya melalui mekanisme risk assessment; 35% dari yang lebih bayar dilakukan manual screening oleh sreener di TSO; Dari total SPT lebih bayar yang akhirnya diaudit sebelum dilakukan pengembalian lebih bayar kurang lebih hanya 2%; Prepayment audit terdiri dari 40% field audit dan sisanya sebesar 60% melalui desk audit; Rata-rata melakukan screening per-SPT adalah 12 menit.
10 Penyempurnaan Sistem Administrasi PPN 3.
Penyempurnaan Sistem Administrasi PPN di Indonesia
a. Registration Management Maraknya penyalahgunaan faktur pajak saat ini merupakan indikasi lemahnya administrasi perpajakan di Indonesia. Penyalahgunaan faktur pajak (Faktur Pajak Fiktif) hanya dapat dideteksi setelah kerugian terjadi. Hal itu sebenarnya dapat dihindari jika administratur perpajakan dapat mendeteksinya sejak awal. Deteksi dini tersebut dimulai dari kontrol yang ketat dalam mekanisme PPN termasuk pendaftaran PKP. Peningkatan pengawasan sejak awal atau sebelum kerusakan terjadi menurut Goran Normann dapat dilakukan sejak Wajib Pajak melakukan pendaftaran (registration). Di Indonesia hal ini telah dilakukan dengan cara verifikasi lapangan dalam prosedur pengukuhan atau resgistrasi Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (NPPKP), tetapi dilakukan dan diadministrasikan secara lokal oleh masing-masing kantor pelayanan pajak. Secara nasional tidak ada pengawasan lebih lanjut, padahal dalam beberapa kasus kelompok pengusaha nakal hanya dapat diketahui di tingkat nasional bukan lokal (Aaron, 139) Langkah peningkatan efektifitas dan efisiensi dalam pengawasan mekanisme PPN harus dilakukan secara terarah dan tepat guna dengan melakukan suatu penilaian resiko (risk assessment) atas SPT Masa PPN lebih bayar. Sepertinya perlu dikembangkan suatu sistem yang mampu menganalisis resiko setiap SPT Masa PPN yang diterima berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Pada dasarnya risk assessment merupakan suatu proses memberikan atribut nilai kepada setiap unit berdasarkan tingkat resiko yang telah ditentukan. Dalam proses ini mutlak diperlukan pengetahuan mendalam mengenai business nature dari setiap unit yang akan dinilai. Risk assessment banyak digunakan dalam proses dunia perbankan khususnya dalam pemberian kredit untuk menilai resiko terjadinya default dalam pemberian fasilitas kredit, dan digunakan juga sebagai salah satu poin dasar dalam pelaksanaan manajemen internal kontrol yang baik dalam setiap perusahaan. Dalam proses pemeriksaan SPT PPh, sebenarnya risk assessment telah dijalankan seiring dengan berjalannya prosedur pemeriksaan SPT PPh berdasarkan kriteria seleksi yang didalamnya memperhatikan tingkatan resiko setiap SPT PPh. Dalam pemeriksaan SPT Masa PPN, risk
assessment belum dijalankan secara spesifik karena dianggap telah tercakup dalam unsur kriteria seleksi berdasarkan skor resiko di SPT PPh. Model risk assessment sebagai sarana pemilihan SPT Masa PPN yang akan diperiksa bukan merupakan suatu hal yang baru. Negara maju seperti Canada telah menerapkan pola ini dalam mekanisme pemilihan SPT Masa PPN yang akan diperiksa. Canada merupakan salah satu negara anggota OECD, yang memiliki sistem administrasi perpajakan cukup baik untuk dapat dijadikan role model. Negara berpenduduk 30,3 juta ini memiliki total 23,8 juta individual tax payers dan 2,1 juta GST registrants (pengusaha kena pajak). Mekanisme pelaporan SPT PPN dirancang untuk memudahkan registrant dalam melaporkannya dengan mempertimbangkan cost benefit. Jika dijumlahkan terdapat total keseluruhan sebanyak 6,8 juta SPT PPN yang tercakup didalamnya sebanyak 2,1 juta SPT MASA PPN lebih bayar restitusi. Melalui prosedur risk assessment, dilakukan pemilihan mendalam SPT dengan kriteria resiko tinggi untuk diperiksa. Hasil akhir dari proses ini didapatkan sekitar 40.000 SPT MASA PPN lebih bayar restitusi yang akan diperiksa. Keseluruhan proses ini dilakukan oleh Canada Revenue Agent (CRA) sebagai badan pemerintahan resmi yang berwenang mengatur perpajakan dan bea cukai. Proses risk assessment ini amat meringankan beban pemeriksaan SPT PPN lebih bayar restitusi bagi 40.000 pegawai CRA dengan terfokus dan terkoordinasinya kegiatan pemeriksaan pada SPT PPN beresiko tinggi. Sumber daya yang ada dalam hal ini dapat diarahkan pada kegiatan lain yang memerlukan perhatian khusus. Sebagai tambahan, total hasil pemeriksaan pajak selama tahun 2002-2004 adalah sebanyak 301.000 pemeriksaan yang meliputi berbagai jenis pajak. Hal ini menjadi bukti bahwa dengan terfokusnya pemeriksaan pada SPT dengan resiko pelanggaran tinggi, maka efektifitas dan efisiensi pemeriksaan dengan sendirinya akan meningkat. Risk assesment tidaklah cukup jika hanya dilakukan pada saat Wajib Pajak/PKP melaporkan SPT-nya. Risk sudah harus di-assess saat PKP mendaftarkan diri, sehingga secara dini DJP dapat menilai PKP apakah berisiko tinggi terhadap fraud atau tidak. Pengukuhan PKP sebagai suatu kontrol dasar dalam terlaksananya mekanisme PPN yang baik membutuhkan prosedur yang mampu memberikan keyakinan memadai bahwa PPN berjalan dengan
11 Penyempurnaan Sistem Administrasi PPN baik. Dalam bukunya yang berjudul Value Added Tax, Alan Tait di halaman 270-303 mengungkapkan bahwa penanganan atas pengukuhan PKP membutuhkan kriteria yang jelas sebagai dasar dikukuhkannya pengusaha menjadi PKP. Kriteria tersebut juga mewajibkan pengusaha untuk memiliki kejelasan tempat kegiatan usaha dan realisasi usaha yang akan dijalankan. Hal ini diimplementasikan oleh DJP dengan menerbitkan aturan pelaksanaan pengukuhan PKP Dalam praktiknya, kriteria dalam pengukuhan PKP didasarkan dalam PMK 68/PMK.03/2010 tentang batasan pengusaha kecil yang dikecualikan dari kewajiban untuk mengukuhkan diri menjadi PKP adalah batasan omset sebesar Rp. 600 juta selama setahun. Pengusaha dengan omset tidak lebih dari Rp. 600 juta tidak diwajibkan untuk mendaftarkan diri menjadi PKP, tetapi bila mereka menginginkan untuk dikukuhkan sebagai PKP, maka mereka dapat dikukuhkan sebagai PKP dan memikul hak dan kewajiban yang sama dengan PKP lainnya. Penentuan batasan kriteria Rp 600 juta setahun ini didasarkan pada besaran kegiatan usaha dengan mempertimbangkan kemampuan pengusaha untuk menjalankan kewajiban PPN. Pengusaha dengan omset lebih dari Rp. 600 juta dipandang memiliki kemampuan dalam menjalankan kewajiban pungut, setor, dan lapor PPN yang terhutang. Setelah kriteria pengusaha kena pajak tersebut terpenuhi, selanjutnya adalah mekanisme pengukuhan PKP. Prosedur pengukuhan PKP sebagaimana diatur dalam PER-62/PJ/2010 merupakan suatu formalisasi bentuk pemberian wewenang kepada PKP untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terhutang atas penyerahan barang dan jasa dalam kegiatan usahanya. Dalam prosedur pengukuhan PKP ini, DJP melakukan langkah pengamanan atas pemberian wewenang untuk memungut PPN dengan melakukan penelitian di lapangan atas kebenaran kegiatan usaha PKP. Secara sekilas langkah ini nampak cukup bijak dilakukan. Langkah ini memberikan kemudahan bagi PKP, maupun bagi fiskus dalam pelaksanaannya. Terlebih lagi bila dicermati, pengukuhan PKP itu dilakukan oleh administrasi pajak pada level lokal yaitu KPP. Dengan demikian, menjadi tugas tiap KPP dalam memutuskan dikabulkannya permohonan pengukuhan PKP yang diajukan. Dalam proses pengukuhan PKP ini, belum terlihat adanya campur tangan dari administrasi pajak pada level diatas KPP.
Bila diperhatikan, terlihat bahwa praktik yang diatur dalam PER-62/PJ/2010 telah sesuai dengan konsep-konsep teoritis yang dikemukakan oleh para ahli. Akan tetapi, dibandingkan dengan negara yang menjadi benchmark DJP dalam administrasi seperti Kanada, disana masih terdapat suatu prosedur lebih lanjut dalam pengukuhan PKP yaitu adanya suatu unit yang diberi nama High Risk Analysis Team (HRAT) yang berada di atas level KPP yang berfungsi menganalisis tingkat resiko setiap PKP yang baru terdaftar dan mengkoordinasikan pengukuhan PKP yang dilakukan seluruh KPP menjadi suatu database yang tepat guna dalam mendukung penelaahan resiko setiap PKP baru. HRAT tidak hanya bertindak sebagai analis resiko PKP, tetapi juga mempertimbangkan kemampuan calon PKP dalam menjalankan kewajibannya sebagai PKP apabila pengukuhannya dikabulkan. Pertimbangan ini dilakukan dengan memperhatikan kualitas calon PKP tersebut. Proses pengukuhan PKP yang hanya memperhatikan keberadaan dan kebenaran lokasi usaha PKP tanpa melihat lebih dalam hal-hal yang berhubungan dengan kualitas calon PKP dalam melaksanakan kewajiban pungut, setor, lapor PPN yang terhutang akan membawa dampak ketidakpatuhan PKP dalam melaksanakan kewajiban PPN-nya dikemudian hari. Contoh yang mungkin dapat terjadi dalam proses pengukuhan PKP dengan penekanan kualitas calon PKP dalam mengemban kewajiban pungut, setor, lapor PPN dijabarkan sebagai berikut: a) Kesesuaian antara jenis usaha dengan lokasi usaha. Terdapat hubungan yang erat antara jenis usaha dan lokasi usaha. Dibeberapa KPP banyak terjadi lokasi usaha PKP yang tidak sesuai dengan lingkungan usahanya. Misalnya pabrikan dengan lokasi usaha diluar yang seharusnya seperti di wilayah pemukiman atau bahkan ditanah pemakaman. Ketidak sesuaian itu bisa menjadi faktor awal kecurigaan aparat pajak dalam memberikan pengukuhan PKP karena calon PKP seperti itu dengan mudah menghilangkan diri setelah melakukan penyelewengan PPN. b) Track Record pendiri/pengurus perusahaan. Pada saat pendaftaran, KPP tidak melakukan analisis track record pendiri/pengurus perusahaan. Analisis ini akan menjadi suatu penghalang bagi pengusaha yang masuk dalam kategori daftar hitam untuk mengalihkan kegiatan usaha yang sebelumnya telah di black
12 Penyempurnaan Sistem Administrasi PPN list dengan mendirikan badan usaha baru. Contoh termudah dapat dilihat dalam kasus perbankan di indonesia dimana pemilik suatu bank yang masuk kategori buruk, dapat dengan mudah menutup usahanya, dan kemudian memdirikan usaha baru dengan harapan dapat memiliki image yang baru. Dalam hal ini, data base DJP harus bisa mengantisipasi perusahaan baru dengan track record pengurus/pendiri yang mencurigakaan. c) Keterkaitan antara modal usaha dengan jenis usaha. Jenis Usaha-usaha tertentu membutuhkan modal besar yang hanya mampu dilakukan oleh pemodal besar. Bagi PKP yang baru berdiri, PM atas perolehan barang modal merupakan PM yang dapat dikreditkan pada awal berdirinya usaha, sehingga sangat wajar bila SPT Masa PPN PKP akan menunjukkan Lebih Bayar. Ketimpangan antara modal disetor dengan jenis usaha bisa jadi merupakan indikasi kecurangan SPT MASA PPN Lebih Bayar bagi perusahaan yang baru berdiri dengan mengharapkan restitusi PPN pada awal berdirinya. Penjelasan diatas hanya sedikit dari contoh pembentukan risiko yang menempel pada wajib pajak/PKP. DJP sebaiknya membentuk suatu unit khusus setingkat eselon 4 atau eselon 3 yang khusus mengawasi dan menilai setiap risiko segera setelah wajib pajak mendaftar atau ditetapkan secara jabatan. Hasil kerja tim ini adalah penilaia risiko atas Wajib Pajak/PKP apakah berisiko tinggi, sedang atau rendah. Untuk Wajib Pajak/PKP yang berisiko tinggi artinya setiap faktur pajak yang diterbitkan dan semua SPT yang dilaporkan berisiko tinggi. Atas SPT Wajib Pajak lain yang mengkriditkan Faktur Pajak dari Wajib Pajak yang berisiko tinggi akan menjadi risiko tinggi juga. Dan seterusnya.
Sementara ini di Indonesia sampai saat ini, amanat pasal 17B Undang-undang KUP untuk memeriksa setiap SPT Masa PPN Lebih Bayar restitusi dijalankan tanpa perencanaan yang pasti. Intinya, setiap SPT Masa PPN Lebih Bayar restitusi pasti akan diperiksa tanpa memandang apakah SPT tersebut memiliki resiko tinggi terhadap pengamanan penerimaan negara atau tidak. Keseluruhan dari sistem pemilihan SPT Masa PPN ini membawa dampak sebagai berikut: Tidak Memperhatikan Tingkat Resiko Pelanggaran Pajak. Pemeriksaan seluruh SPT Lebih Bayar restitusi dapat mengecohkan perhatian fiskus terhadap SPT lainnya yang memiliki resiko tinggi terhadap pelanggaran. Di beberapa KPP dengan mayoritas PKP terdaftar bergerak dibidang ekspor, nature SPT Masa PPN yang disampaikan adalah SPT Lebih Bayar. Dalam kondisi ini petugas di KPP akan banyak tersita waktu dan tenaga untuk memeriksa permohonan restitusi sehubungan dengan banyaknya klaim lebih bayar PPN. Mereka bahkan tidak sempat melakukan pemeriksaan atas SPT KB atau bahkan SPT Lebih Bayar kompensasi sekalipun. Padahal dapat saja SPT kurang bayar atau lebih bayar kompensasi ini lebih layak untuk diperiksa. Jaringan restitusi ekspor fiktif dalam rangka restitusi PPN biasanya melibatkan banyak perusahaan pendukung seperti perusahaan penerbit faktur pajak fiktif dan perusahaan agen pelayaran. Dalam praktiknya perusahaan pendukung inilah yang sesungguhnya lebih layak diperiksa terlebih dahulu sebelum restitusi itu dapat dikeluarkan. Berikut digambarkan ilustrasi sederhana rangkaian restitusi fiktif:
b. Compliance Management Compliance management dalam rangka mengamankan penerimaan negara dari tindakan penyalahgunaan Faktur Pajak dapat dimulai dari pemilihan SPT yang akan diaudit dengan benar. Di negara-negara yang telah maju sitem administrasi perpajakannya dalam memilih SPT yang akan diaudit menggunakan risk manajement yang sangat baik.
Keseluruhan ”ilustrasi” diatas, memberikan gambaran sederhana bahwa pemilihan SPT Masa PPN Lebih Bayar restitusi yang diprioritaskan untuk diperiksa justru tidak sepenuhnya memberikan jaminan pengamanan penerimaan negara. Bagaimanapun juga sistem pemilihan SPT harus
13 Penyempurnaan Sistem Administrasi PPN dapat mencermati resiko pelanggaran yang terkandung dalam tiap-tiap SPT Pemborosan Sumber Daya Dibeberapa Kantor Pelayanan Pajaka tertentu yang memang nature Wajib Pajak-nya adalah industri tertentu yang bertujuan eksport tenaga auditor habis hanya untuk melakukan pemeriksaan atas SPT PPN Lebih Bayar. Mereka tidak sempat melakukan pemeriksaan atas SPT selain yang lebih Bayar, walau sangat mungkin SPT selain yang Lebih Bayar punya risiko yang sama seperti SPT lebih bayar. Memperhatikan kondisi yang ada saat ini semakin jelas bahwa DJP membutuhkan suatu sistem penilaian resiko atas SPT Masa PPN yang akan diperiksa. Mencurahkan seluruh sumber daya demi pengamanan penerimaan negara melalui pemeriksaan seluruh SPT Lebih Bayar restitusi bukanlah suatu langkah yang tepat. Akan lebih bijak bila penggunaan sumber daya yang terbatas itu dialokasikan kepada fungsi-fungsi pengawasan sesuai dengan tingkat resiko yang mempengaruhi penerimaan PPN. Segenap kondisi dan kelemahan dari sistem yang ada dapat menjadi acuan dasar untuk perbaikan kearah yang lebih baik Berdasarkan tinjauan terhadap sistem pemilihan SPT PPN di Canada, dapat dibuatkan suatu acuan dasar dalam membuat model penentuan resiko pemilihan SPT Masa PPN. Model ini dipadukan antara ”prepayment risk assessment system” di Canada dan model pemilihan SPT Kriteria Seleksi yang selama ini baru difokuskan terhadap SPT Tahunan Pajak Penghasilan. Penyusunan Formulasi Kriteria Resiko Dan Rencana Pemeriksaan Tahunan Formula Kriteria resiko yang disusun oleh Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan (P2) merupakan formula strategis di tingkat nasional dan regional. Kriteria yang disusun harus dapat menjadi alat ”cegah-deteksi” atas kecurangan PPN yang ada di level nasional. Disamping itu, dalam penyusunan formula, harus terdapat kesesuaian antara kriteria resiko dengan sumber daya DJP untuk melakukan audit sebagaimana tertuang di rencana pemeriksaan. Dalam proses penyusunan formula ini, harus memperhatikan trend bisnis global atas keseluruhan kegiatan usaha nasional maupun berdasarkan Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) PKP. Pemahaman mendalam atas trend ini akan menghasilkan KLU terpilih yang memiliki resiko
tinggi terhadap pelanggaran. Sebagai contoh, trend ekspor garmen yang menurun akan diikuti dengan kondisi lesunya kegiatan usaha eksportir garmen. Dengan demikian, seandainya secara nasional terjadi peningkatan klaim restitusi oleh eksportir garment, maka kegiatan usaha ini dapat menjadi KLU terpilih untuk lebih diprioritaskan dalam pemeriksaan. Besaran omset PKP dapat dilihat secara nasional, regional, maupun lokal. Potensi pajak yang belum tergali dapat lahir dari besaran omset ini. Dengan demikian, adalah suatu hal yang logis bila besaran omset menjadi salah satu faktor dalam formulasi kriteria resiko. Berikutnya adalah Keterkaitan antara PKP satu sama lain dalam konteks hub istimewa (group usaha). Database Kanto Pusat DJP harus memiliki kemampuan untuk melihat keterkaitan ini dalam konteks transaksi tidak wajar yang mempengaruhi penerimaan negara. Beberapa critical point selain yang dijabarkan diatas dapat menjadi pertimbangan penyusunan formula kriteria resiko seperti sifat kegiatan usaha, kondisi geografis, ketentuan peraturan selain pajak yang mengatur tiap-tiap klasifikasi usaha, dan lainnya. Formulasi ini akan selalu membutuhkan perbaikan yang berkesinambungan untuk mencapai hasil yang maksimal, oleh karena itu feedback dari proses sebelumnya harus diperhatikan untuk dijadikan bahan masukan. Selain berbagai pertimbangan diatas, hal mendasar yang harus menjadi formula kriteria resiko adalah proses cross-check PK-PM yang dilakukan di tingkat nasional. Berbekal perekaman yang baik dan sistem informasi komputer yang mendukung lalu lintas data antar KPP dan KPP ke Kantor Pusat, proses cross-check PK-PM akan mampu memberikan data PKP yang diduga nakal dan berpotensi melakukan kecurangan faktur pajak fiktif. Hasil cross-check PK-PM yang tidak sesuai harus menjadi acuan diberikannya skoring resiko yang tinggi. Keseluruhan formulasi kriteria resiko diatas akan menghasilkan skoring resiko tiap PKP baik di tingkat nasional, regional, maupun lokal. Masterfile data sebagai sumber informasi pengambilan keputusan Dukungan database yang updated dan valid menjadi kunci dari proses skoring SPT. Sinkronisasi database hasil perekaman PK-PM di KPP dengan master file di pusat dapat dilakukan secara real time update maupun dengan batch update. Untuk tipe KPP Besar dan KPP Madya, proses
14 Penyempurnaan Sistem Administrasi PPN sinkronisasi dengan pusat data bisa dilakukan secara real time update, tetapi untuk KPP Pratama dan KPP yang belum dimodernisasi maka sinkronisasi dengan batch update dapat dimaklumi. Hal yang harus diperhatikan dalam sinkronisasi ini adalah kemampuan mainframe dalam melakukan proses, kanal saluran komunikasi data dan aplikasi yang terpadu sebagai supporting hardware dan software. Selain database perekaman PK-PM, Direktorat DIP sebagai pengelola masterfile harus mengorganisasikan berbagai sumber data lainnya yang diperlukan sehubungan dengan pelaksanaan skoring SPT Masa PPN baik yang berasal dari internal DJP maupun eksternal DJP.
b. Kriteria yang berhubungan dengan PKP. i.
Perhatikan statusnya apakah ia adalah PKP atau bukan
ii.
Bagi PKP baru yang belum pernah diperiksa, maka pemeriksaan pendahuluan mutlak diperlukan untuk mengetahui kondisi lingkungan usaha yang sebenarnya.
iii.
Ekualisasi omset antara PPh dan PPN. perbedaan yang terlalu mencolok dan ketidakmampuan PKP untuk melakukan ekualisasi bisa jadi merupakan indikasi penyelundupan omset.
iv.
Bila alamat PKP berbeda dengan master file, atau PKP selalu berpindah-pindah, maka pengawasan yang ketat mutlak diperlukan.
v.
Perhatikan PKP yang semula berstatus NE, tetapi tiba-tiba melapor SPT Masa PPN dengan jumlah penyerahan yang relatif besar.
vi.
Perhatikan penyerahan PKP dan status permodalan usahanya. Dapat terjadi dilapangan, PKP dengan modal kecil tetapi mampu melakukan penyerahan dalam jumlah relatif besar. Hal ini perlu perhatian mendalam
Scoring SPT Masa PPN Dengan penentuan formulasi kriteria resiko yang telah disusun oleh Direktorat P2 dan tersedianya master file data nasional, Direktorat TIP membuat program komputer yang secara sistematik akan langsung melakukan skoring SPT Masa PPN yang direkam di sistem. Hasil dari proses skoring SPT Masa PPN ini adalah tabel inventaris SPT Masa PPN yang disusun berdasarkan tingkat resiko secara lokal. Tabel inventaris ini akan dikirim ke KPP secara on-line melalui jaringan intranet. Sebagai pertanggungjawaban kepada Direktorat P2, Direktorat TIP akan membuat rincian global skoring SPT Masa PPN baik bersifat nasional, regional, maupun lokal sebagai bahan evaluasi. Penyusunan Formula Kriteria Lokal Pada level lokal, KPP juga akan menyusun formulasi kriteria sebagai acuan screener dalam melakukan penelaahan. Formulasi ini dibuat oleh KPP dengan memperhatikan local knowledge yang dimilikinya. Kriteria yang digunakan oleh KPP akan bergantung pada kondisi wilayah masing-masing, tetapi secara umum kriteria itu minimal meliputi: a. Kriteria yang berhubungan dengan jumlah restitusi. i.
ii.
Dalam kriteria ini, akan ditentukan batas restitusi yang dipandang wajar dalam kegiatan usaha PKP. Batasan wajar disini dapat diketahui dari berbagai cara diantaranya adalah perbandingan PK dan PM, rasio (PK-PM)/PK maupun rasio penjualan dan pembelian. klaim restitusi yang berasal dari pengkreditan PM yang telah lewat dari batas waktunya yaitu tiga masa pajak (tiga bulan), akan langsung ditolak.
vii. Perhatikan kurang bayar SPT PPh PKP, bandingan dengan omset PPN. Bila tidak wajar, berikan perhatian khusus. Dalam perkembangannya tidak menutup kemungkinan terdapat kriteria lain yang dipandang perlu untuk ditetapkan. Hal ini merupakan evaluasi atas kriteria lokal yang perlu dilakukan terusmenerus. Proses Screening (Penelaahan) Proses screening dilakukan oleh screener yang berpengalaman dalam audit, memiliki pengetahuan yang mendalam tentang kondisi lingkup usaha PKP, dan tentunya pemahaman pengetahuan perpajakan. Bila dicermati, maka pihak yang tepat untuk melakukan proses screening adalah Account Representative (AR) yang berada di bawah seksi pengawasan dan konsultasi (WASKON). AR merupakan unsur vital di KPP sebagai pengawas dan konsultan PKP. Sebagai pihak yang ditujukan untuk mengawasi kepatuhan perpajakan PKP, account representative memiliki local knowledge yang mendasar tentang individu PKP yang berada dalam pengawasannya. Hal ini sangat sejalan
15 Penyempurnaan Sistem Administrasi PPN dengan kemampuan yang dibutuhkan oleh screener. Beberapa kendala yang mungkin muncul bila AR menjadi Screener adalah adanya konflik kepentingan fungsi AR itu sendiri. Dimasa mendatang, penerimaan pajak tidak hanya ditargetkan pada level KPP, tetapi juga pada level AR. Dengan pembebanan target ini, AR harus berupaya keras untuk bisa mencapainya. Sangat mungkin sekali timbul konflik kepentingan antara fungsi AR sebagai Konsultan yang memberikan pelayanan dan kemudahan kepada PKP dengan fungsi penerimaan pajak. Sebagai konsultan, AR akan berupaya memberikan pelayanan terpadu kepada PKP termasuk dengan memberikan kemudahan restitusi melalui proses screening. Tetapi sebagai penerima target pajak, AR akan berusaha mengamankan target pajak termasuk mempertimbangkan agar proses restitusi diatur sedemikian rupa supaya tidak menggagalkan target penerimaan pajak. Keputusan AR dalam proses screening bisa menjadi tidak netral. Keduanya terlihat saling bertolak belakang, dan profesionalisme AR menjadi taruhannya. Pertimbangan lainnya adalah memisahkan fungsi screener dan fungsi AR. Hal ini membutuhkan proses perekrutan dan pelatihan yang tidak singkat. Berbeda dengan menjadikan AR sebagai screener yang bisa siap langsung digunakan. Terlepas dari kontroversi diatas, proses screening akan menghasilkan keputusan apakah suatu restitusi SPT Masa PPN Lebih Bayar dikeluarkan melalui prepayment audit atau post payment audit? Disini Screener akan melakukan peran utamanya dengan mempertimbangkan kriteria lokal dan profesionalismenya. Proses screening akan dituangkan dalam suatu screening report yang harus dipertanggungjawabkan screener. Bila dihasilkan keputusan postpayment audit, maka restitusi PKP akan dicairkan dengan menerbitkan assessment lebih bayar. Dasar penerbitan assessment itu adalah screening report yang ditandatangani oleh Screener. Bisa dibandingkan bahwa fungsi screening report kurang lebih sama dengan fungsi penelitian dalam restitusi WP patuh. Keputusan prepayment audit dihasilkan bila screener dengan pertimbangan profesionalisme merasa PKP tidak memenuhi kriteria lokal yang telah ditetapkan. Putusan ini dituangkan dalam Screening report dengan mencantumkan segala dasar pertimbangan screener. screener bersama-
sama dengan auditor akan mempertimbangkan kedalaman ruang lingkup audit. Dalam screening report, akan dicantumkan pos-pos yang memerlukan perhatian mendalam untuk diaudit. Hal ini dilakukan untuk mempermudah auditor dalam mendapatkan gambaran kegiatan usaha PKP, ruang lingkup audit, program audit, dan prosedur audit yang akan dijalankan. Pemeriksaan SPT Masa PPN Audit dijalankan oleh tenaga fungsional pemeriksa yang kompeten, terdidik, dan profesional. Berdasarkan masukan dari screener, auditor mempertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan lapangan dengan tingkat kedalaman tertentu. Proses audit akan menitikberatkan pada pos-pos yang memerlukan perhatian mendalam sebagaimana tertuang dalam screening report. Tetapi tidak menutup kemungkinan, apabila dipandang perlu auditor dapat memperluas cakupan audit selain dari pos-pos tersebut. Dalam hal ini kedalaman ruang lingkup audit merupakan wewenang pemeriksa sepenuhnya. DJP mewajibkan agar pemeriksaan pajak memperhatikan norma-norma pemeriksaan dan pedoman pelaksanaan pemeriksaan kantor/lapangan sehingga hak dan kewajiban fiskus maupun PKP tetap dapat dipertanggungjawabkan. Hasil akhir pemeriksaan akan dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Kelak LHP ini akan menghasilakan assessment yang merupakan produk pemeriksaan. Pembandingan Screen report Dan LHP Salah satu mekanisme control ialah adanya pembandingan antara Screening report dan LHP. Screening report merupakan hasil kerja screener dari proses screening yang memutuskan apakah suatu SPT Masa PPN akan diperiksa atau tidak. Sedangkan LHP merupakan laporan pemeriksaan yang disusun sesuai dengan progam audit dan prosedur audit yang baku. Kedua jenis laporan ini dapat dibandingkan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Ketidak cermatan screener dalam melakukan screening akan diimbangi dengan kedalaman ruang lingkup audit yang dilakukan pemeriksa. Dapat saja terjadi, seorang screener melakukan pekerjaannya secara tidak profesional dengan mengalokasikan seluruh screening report kepada prepayment audit yang akan menjadi beban kerja auditor. Bila ternyata LHP mengindikasikan rendahnya resiko dengan tingkat kepatuhan PKP yang tinggi, maka hasil screening dan hasil audit menjadi bertolak belakang. Penyebabnya bisa
16 Penyempurnaan Sistem Administrasi PPN berasal dari: pertama, rendahnya profesionalitas screener sehingga patut diberikan bimbingan, kedua, kriteria resiko baik lokal maupun nasional yang ditetapkan mungkin sudah tidak up to-date sehingga perlu diperbaharui, ketiga, auditor justru tidak cakap dalam melakukan pemeriksaan. Apapun penyebabnya, perbandingan ini dapat menjadi masukan bagi sistem baik di Direktorat P2 maupun di KPP serta bagi pemeriksa untuk terus menerus melakukan perbaikan (continuous improvemnet) terhadap kriteria sebelumnya. Proses pembandingan dilakukan oleh petugas yang independen terhadap screener maupun auditor dan sedapat mungkin disupervisi oleh pejabat setingkat kepala seksi. Mekanisme kontrol ini mensyaratkan adanya pemisahan fungsi screener dan auditor. Screener dapat saja dilakukan oleh auditor, atau sebaliknya tetapi tidak boleh terjadi kondisi dimana satu SPT Masa PPN discreening dan diaudit oleh orang yang sama karena hal ini akan menimbulkan distorsi. Seleksi Dalam Post-payment Audit Klaim restitusi yang diterima PKP tanpa melalui audit harus dikontrol dengan ketat. Beberapa dari klaim tersebut perlu dilakukan post payment audit untuk mengontrol apakah hasil keputusan proses screening sudah tepat. Pemilihan klaim restitusi yang akan dilakukan post payment audit pada dasarnya bisa mengacu kepada pemeriksaan khusus (riksus). Terdapat beberapa indikasi klaim restitusi yang perlu dilakukan post payment audit seperti: a) Terdapat data baru atau data yang semula belum terungkap pada proses screening yang bila diketahui sebelumnya dapat merubah keputusan sceening. b) Adanya dugaan melakukan tindak pidana di bidang perpajakan c) Pengaduan masyarakat. d) Permintaan PKP. e) Pertimbangan DJP f) Untuk memperoleh informasi atau data tertentu dalam rangka pelaksanaan peraturan perpajakan. Hasil dari post payment audit ini akan dianalisis sebagai bahan masukan perbaikan kriteria baik di tingkat lokal maupun nasional.
17 Penyempurnaan Sistem Administrasi PPN c. Manajemen Faktur Pajak Model Cash Receipt System yang dipraktekan Korea dalam mengendalikan transaksi cash dapat diterapkan dalam pengawasan Faktur Pajak.
Proses penerbitan Faktur Pajak adalah sebagai berikut:
Setiap PKP penerbit Faktu Pajak diwajibkan memiliki mesin EDC (Electronic Data Capture) yang teregister di server DJP; Setiap kali PKP menerbitkan Faktu Pajak dia memasukan informasi sesuai yang disyaratkan dalam Faktur Pajak yang berlaku, selanjutnya mengirim data tersebut ke server DJP untuk diberi Nomor Faktur; PKP mencetak Faktur Pajak dan mengirimkan ke PKP Pembeli;
Pelaporan SPT Masa PPN:
Dengan telah tersedianya data Faktur Pajak keluaran dan masukan setiap PKP di server DJP proses pelaporan akan menjadi sederhana; Pelaporan diwajibkan menggunakan e-filing; PKP logging ke sistem informasi DJP menggunakan password dan username yang telah diregistrasi sebelumnya; PKP mengkases draft SPT Masanya, meyakinkan bahwa semua Faktur Pajak keluaran dan masukan telah tersedia dengan benar dan lengkap, setelah yakin PKP menyetujui draft SPT bersangkutan.
Keunggulan manajemen Faktur Pajak model ini adalah:
Faktur Pajak dapat ditangkap oleh sistem informasi DJP saat terjadi transaksi, tidak perlu menunggu PKP melaporkan SPT Masa dan pegawai DJP melakukan perekaman; Pengkreditan Pajak Masukan oleh PKP pembeli akan segera diyakini kebenarannya karena Faktur Pajak lawan transaksi telah tersedia di dalam sistem, dan telah dilaporkan dan dibayar (jika ada kurang bayar) PPN-nya oleh PKP Penjual. DJP tidak perlu melakukan perekaman SPT Masa dalam bentuk kertas yang mengkonsumsi biaya; Wajib Pajak tidak perlu datang ke KPP hanya untuk melaporkan SPT Masa PPN-nya;
Tindak lanjut yang perlu didiskusikan lebih lanjut dengan pihak terkait:
Membangun sistem baru tidaklah murah, perlu studi mendalam dalam menyediakan suatu
4.
sistem informasi yang handal dan sesuai dengan kondisi geografis dan infrastruktur internet yang tersedia; Pengadaan mesin EDC oleh seluruh PKP akan menambah biaya yang harus ditanggung oleh PKP, apakah mungkin ditanggung oleh DJP? Butuh proses diseminasi yang memadai kepada PKP untuk ikut serta dalam program ini. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan 1. Sistem pengawasan pengukuhan PKP yang ada saat ini belum memadai untuk mengantisipasi penyelundupan PPN. Tidak ada langkah pengawasan lebih lanjut di diatas tingkat KPP dalam menganalisis secara kualitatif kemampuan calon PKP dalam memenuhi kewajibannya, dan menganalisis tingkat resiko yang mungkin ada terhadap PKP yang bersangkutan. 2. Tidak seluruh SPT PPN yang memohon restitusi perlu dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Ketentuan pasal 17B UU KUP yang mewajibkan setiap SPT PPN Restitusi harus diperiksa tidak memperhatikan resiko yang terkandung dalam setiap SPT sehingga masih membuka peluang terjadinya penyelewengan pajak. 3. Pemilihan SPT Masa PPN yang akan diperiksa masih belum sesuai dibandingkan dengan negara yang menjadi role model. Mekanisme pemilihan SPT PPN yang akan diperiksa belum terarah pada SPT PPN yang beresiko tinggi. Sangat berbeda jauh dengan negara yang dijadikan benchmark yaitu Kanada yang telah menerapkan efktifitas dan efisiensi tinggi dalam pemeriksaan pajak dengan melakukan prepayment risk assessment dalam penentuan SPT PPN yang akan diperiksa. Pemilihan SPT PPN di Indonesia masih bersifat tradisional dengan memandang setiap SPT PPN Lebih Bayar restitusi beresiko tinggi dan dengan demikian harus diperiksa. 4. Mekanisme penerbitan Faktur Pajak saat ini masih memungkinkan PKP menyalahgunaan Faktur Pajak dengan
18 Penyempurnaan Sistem Administrasi PPN mengkreditkan Faktur Pajak yang tidak sah. Dengan penerbitan nomor Faktur Pajak dikelola langsung secara online oleh DJP diharapkan penyalahgunaan Faktur Pajak tidak sah dapat dikurangi secara siqnifikan karena pada bulan berikutnya sudah langsung dapat direkonsiliasi dengan Faktu Pajak lawan. Saran 1. Melakukan kontrol yang tepat atas PKP yang dimulai dari verifikasi saat pendaftaran dengan menganalisis kemampuan calon PKP dalam menjalankan kewajiban PPN hingga menilai kemungkinan dilakukannya pelanggaran oleh PKP tersebut. Analisis ini hendaknya dilakukan oleh unit yang lebih tinggi dari KPP baik dengan membentuk suatu sub unit tersendiri di Kanwil maupun dengan mengefektifkan fungsi koordinator pengawasan pengukuhan PKP di lingkungan Kanwil. 2. Memelihara kemutakhiran data PKP yang pada tahap awal dilakukan dengan registrasi ulang seluruh PKP. Dalam tahapan selanjutnya kemutakhiran data ini harus senantiasa terjaga dengan memantau keaktifan kegiatan usaha PKP dan lokasi kegiatan usaha PKP. 3. Mengamandemen kebijakan pemeriksaan atas seluruh SPT PPN Lebih Bayar sebagaimana tertuang dalam Pasal 17B UU KUP dengan kebijakan pemeriksaan yang memperhatikan tingkat resiko SPT PPN terutama SPT PPN Lebin Bayar. 4. Menerapkan prosedur penilaian tingkat resiko atas setiap SPT PPN yang diterima. Proses ini merupakan suatu risk assessment yang harus dilalui oleh seluruh SPT khususnya SPT PPN Lebih Bayar. Proses ini amat menekankan pada tingkat local knowledge wilayah masingmasing KPP. Keberadaan AR sebagai pengawas dan konsultan WP merupakan suatu langkah awal yang baik dalam program Know your tax payer guna meningkatkan local knowledge. 5. Mengubah model penomoran Faktur Pajak yang sebelumnya dilakukan oleh PKP menjadi dilakukan oleh DJP dengan
cara menangkap saat terjadi transaksi sehingga dapat segera direkonsiliasi dengan Faktur Pajak lawan transaksi.
Daftar Pustaka Aaron, Henry. 1982. Vat Experience of Some European Countries. Deventer: Kluwer Law and Taxation Publisher. Lang, Michael., Melz, Peter., and Kristoffersson, Eleonor. 2009. Value Added Tax and Direct Taxation: Similiraties and Differences. IBFD. Schenk, Alan, and Oldman, Oliver. 2007. Value Added Tax: A Comparative Approach. Cambridge University Press. Tait, Alan. 1988. Value Added Tax: International Practice and Problem. International Monetary Fund, Washington. Valado, Marcos. Comparative Analysis of the Value Added Tax (VAT) and Retail Sales Tax (RST): A Contribution to Tax Reform Studies in the U.S. ___________. 2011.Consumption Tax Trends 2010: VAT/GST and Excise Tax Rate, Trends and Administration Issue. OECD. Yamin, Luiyanto., dan Putranti, Titi Muswati. 2009. Model Penyelewengan Pajak Menggunakan Faktur Pajak Fiktif. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol 16, No. 1. Rustadi, Priyanto. 2006. Tesis: Penilaian Risiko (Risk Assessment) atas Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. Universitas Indonesia.