PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN DI KRAGILAN, KADIPIRO OLEH KANTOR PERTANAHAN KOTA SURAKARTA
Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh Andi Muttaqin NIM : E.0004082
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi) PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN DI KRAGILAN, KADIPIRO OLEH KANTOR PERTANAHAN KOTA SURAKARTA
Disusun oleh : ANDI MUTTAQIN NIM : E.0004082
Disetujui untuk Dipertahankan Dosen Pembimbing
LEGO KARJOKO, S.H., M.H. NIP. 131 792 948
ii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi) PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN DI KRAGILAN, KADIPIRO OLEH KANTOR PERTANAHAN KOTA SURAKARTA Disusun oleh : ANDI MUTTAQIN NIM : E.0004082
Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta pada : Hari : Kamis Tanggal : 17 April 2008
TIM PENGUJI 1. Pius Triwahyudi, S.H., M.Si. Ketua
: ……………………………………
2. Wasis Sugandha, S.H., M.H. Sekretaris
: ……………………………………
3. Lego Karjoko, S.H., M.H. Anggota
: ……………………………………
MENGETAHUI Dekan,
Moh. Jamin, S.H., M.Hum. NIP. 131 570 154
iii
MOTTO
“Kesulitan akan terasa mudah dengan senyuman orang yang percaya diri.” “Pahamilah sebuah kejujuran, dan gunakanlah kejujuran dalam setiap langkah hidup-Mu, karena sesungguhnya kejujuran merupakan sesuatu hal yang akan membawa hati dan pikiran-Mu merasa tenang” “Optimislah, walau engkau berada di pusaran angin” “Di setiap relung kahidupan ada kegelapan, tiada pilihan kecuali menyalakan lentera dalam jiwamu” “Jadilah seperti seekor angsa, terlihat tenang dipermukaan, namun sebenarnya kakinya bergerak bak kesetanan mendayung di bawah permukaan” “Sayangilah yang kau dapat walau tak seindah yang kau inginkan” “Sesungguhnya kita tidak dapat menyenangkan orang dengan harta tetapi senangkanlah mereka dengan senyuman dan budi bahasa” “Jangan merasa kecewa bila orang tidak menyayangi kita, tetapi hendaklah kita takut jika tidak mempunyai harga diri” “Lebih baik hidup dalam keterasingan, daripada harus hidup dalam kebohongan dan topeng kemunafikan” “Lupakan jasa baikmu terhadap orang lain, tapi jangan kamu lupakan jasa baik orang lain terhadap dirimu” “Tindakan paling berani yang bisa kamu lakukan saat kamu sedang merasa ketakutan adalah berpura-pura berani dan bertindak sewajarnya” “Kalau ada yang ingin kamu gapai dalam hidup ini, kamu harus mengejarnya. Tak ada seorang pun yang bisa menghentikanmu kecuali dirimu sendiri”
iv
PERSEMBAHAN
Hasil penulisan ini penulis persembahkan kepada : Dzat yang Maha Besar, Allah SWT, tempat kumempercayakan segalanya Subhaanallaah Wal Hamdulillaah Wa Laa Ilaa Ha Illallaah Wallahu Akbar Pemimpin dunia akhiratku, Rasulullah SAW, yang telah menunjukkan jalan terang yang sebenarnya Asyhadu An Laa Ilaaha Illaallaah Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasuulullaah Ayahanda Suwarno dan Ibunda Supartini yang selalu mencurahkan kasih sayang dan cintanya serta mendidik penulis untuk selalu tetap di jalan yang benar Adikku tersayang, Sari Rachmawati, yang selalu menjadi orang terdekat penulis baik senang, bahagia, sedih maupun duka Untuk temen-temen semua, yang telah berbagi kebahagiaan dengan penulis, mengajarkan makna hidup kepada penulis, membagi tawa-canda serta senyum kepada penulis Semua sahabatku, kalian merupakan suatu kekayaan yang tak ternilai harganya, yang selalu ihklas berbagi suka dan duka, thanks for all Segenap Civitas Akademika FH UNS Tercinta Viva Justisia
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, dzat yang maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan kesempatan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan hukum ini, dengan judul ”Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Kragilan, Kadipiro Oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta”. Penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa penulisan hukum ini, alhamdulilah dapat terrselesaikan berkat dukungan dan kerjasama dari banyak pihak. Oleh karena itu perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih penulis lewat rangkaian kata-kata ini kepada: 1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 2. Ibu Zeni Luthfiyah, S.Ag., M.Ag., selaku pembimbing akademik penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing penulis yang penuh kesabaran membimbing penulis sehingga terwujudnya penulisan hukum ini. 4. Bapak Ir. Suyono, S.H., selaku Kepala Kantor di Kantor Pertanahan Kota Surakarta, yang memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di Kantor Pertanahan Kota Surakarta. 5. Bapak Radiyanto, S.H., selaku Sub Seksi Sengketa dan Konflik Pertanahan di Kantor Pertanahan Kota Surakarta, yang dengan penuh kesabaran mengarahkan dan membantu penulis selama melakukan penelitian di Kantor Pertanahan Kota Surakarta. 6. Bapak Ari Machkota, S.H., M.Hum., Bapak Kuntadi, S.H., Bapak Moko, S.H., dan Ibu Ir. Sri Kursini Maruti, selaku Pegawai di Kantor Pertanahan Kota Surakarta yang membantu penulis selama melakukan penelitian di Kantor Pertanahan Kota Surakarta. 7. Ayahanda Suwarno, Ibunda Supartini, serta adikku Sari Rachmawati, terima kasih atas dukungan moril maupun materiil, baik cinta maupun kasih sayang
vi
kepada penulis, yang selalu mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan penulisan hukum ini. 8. Teman-teman di Fakultas Hukum, yang selalu memberikan beraneka warna kehidupan pada penulis. 9. Seluruh dosen dan karyawan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang selalu mempermudahkan penulis dalam menimba ilmu baik di kelas maupun di luar kelas di Fakultas Hukum. 10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu menyelesaikan penulisan hukum ini. Penulis sadar bahwa dalam penulisan hukum ini, isi substansi masih jauh dari sempurna. Hal ini karena keterbatasan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan dan saran yang menunjang kesempurnaan penulisan hukum ini. Doa penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, agar penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan bagi pihak yang membutuhkan, dengan rendah hati penulis ucapkan terima kasih.
Surakarta,
April 2008
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ............................................................ iii HALAMAN MOTTO .......................................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN ...........................................................................
v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xi ABSTRAK ........................................................................................................... xii BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................
1
B. Perumusan Masalah ........................................................................
3
C. Tujuan Penelitian ............................................................................
3
D. Manfaat Penelitian ..........................................................................
4
E. Metode Penelitian ...........................................................................
4
F. Sistematika Penulisan Hukum ........................................................
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 11 A. Kerangka Teori ............................................................................... 11 1. Tinjauan Umum Tentang Sengketa Pertanahan ....................... 11 a. Pengertian Sengketa ........................................................... 11 b. Sengketa Pertanahan .......................................................... 13 c. Penyelesaian Sengketa Pertanahan .................................... 14 2. Tinjauan Umum Tentang Mediasi ............................................ 18 a. Pengertian Mediasi ............................................................ 18 b. Keunggulan dan Tujuan Mediasi ....................................... 19 c. Tipe-tipe dan Fungsi Mediator .......................................... 20 d. Tahap-tahap Mediasi ......................................................... 22
viii
3. Tinjauan Umum Tentang Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Pemberian Hak Milik dan Pendaftarannya ............. 24 a. Peraturan
Perundang-undangan
Mengenai
Pemberian Hak Milik ......................................................... 24 b. Peraturan
Perundang-undangan
Mengenai
Pelaksanaan Pendaftaran Tanah ........................................ 32 4. Tinjauan Umum Tentang Kantor Pertanahan ........................... 37 a. Pengertian Kantor Pertanahan ........................................... 37 b. Fungsi Kantor Pertanahan dan Sebelas Agenda Pertanahan Nasional .......................................................... 37 c. Struktur Organisasi Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota ................................................................. 40 B. Kerangka Pemikiran........................................................................ 48 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN..................................... 50 A. Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Kragilan, Kadipiro Oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta ................................................. 51 B. Hasil
Penyelesaian
Sengketa
Pertanahan
Oleh
Kantor
Pertanahan Kota Surakarta Sebagai Dasar Pemberian Hak Milik Kepada Okupusan Tanah di Kragilan, Kadipiro .................. 70 BAB IV SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 81 A. Simpulan ...................................................................................... 81 B. Saran
............................................................................................ 82
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur Organisasi Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota ................. 47 Gambar 2. Kerangka Pemikiran .......................................................................... 48 Gambar 3. Alur Pemikiran .................................................................................. 50
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I
Surat Permohonan Ijin Penelitian
Lampiran II
Surat Keterangan Penelitian dari Kantor Pertanahan Kota Surakarta
Lampiran III
Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kota Surakarta Nomor : 570/724/2005
tentang
Pembentukan
Sekretariat
Penanganan
Sengketa Pertanahan Kantor Lampiran IV
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun 1992 tentang Susunan dan Tugas Panitia Pemeriksaan Tanah
Lampiran V
Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kota Surakarta No. 500 / 01 / 2006 tentang Penetapan Lokas Dan Penunjukan Peserta Kegiatan Tata Laksana Pertanahan (P3HT) Kantor Pertanahan Kota Surakarta Tahun Anggaran 2006 (contoh)
Lampiran VI
Berita Acara Mediasi (contoh)
Lampiran VII
Surat Pemberian Kuasa (contoh)
Lampiran VIII Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Tanah (contoh) Lampiran IX
Risalah Panitia Pemeriksaan Tanah “A” Nomor : 502/520.1/0154/Pan “A”/XII/2006 (contoh)
Lampiran X
Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kota Surakarta No. 0154-520.1-33-72-2006 tentang Pemberian Hak Milik Kepada Tri Warsito Purwatno Dan Kawan-Kawan 54 (Lima Puluh Empat) Orang Atas 54 (Lima Puluh Empat) Bidang Tanah Seluruhnya Seluas 3093 m2 Terletak di Kalurahan Kadipiro Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta (contoh)
Lampiran XI
Contoh Surat Keterangan Tanah
Lampiran XII
Contoh Surat Pernyataan Penguasaan / Penggarapan Tanah
Lampiran XIII Contoh Surat Permohonan Tanah Negara Lampiran XIV Daftar 15 orang pemegang Hak Atas Tanah Lampiran XV
Daftar 54 orang pemohon Hak Milik atas tanah
xi
ABSTRAK Andi Muttaqin, 2008. PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN DI KRAGILAN, KADIPIRO OLEH KANTOR PERTANAHAN KOTA SURAKARTA, Fakultas Hukum UNS. Penelitian ini mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai apakah penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai fungsi Kantor Pertanahan Kota Surakarta dan apakah hasil penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta dapat dijadikan dasar pemberian hak milik kepada okupusan tanah di Kragilan, Kadipiro. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif. Data penelitian ini menggunakan bahan hukum. Bahan hukum dikumpulkan dengan dengan teknik studi kepustakaan. Teknik analisis yang digunakan adalah silogisme deduksi dengan metode interpretasi bahasa (gramatikal) dan Interpretasi sistematis, dengan aturan-aturan hukum mengenai pertanahan dipandang sebagai premis mayor, dan premis minornya berupa fakta yuridis, yaitu penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta dan hasil penyelesaian sengketa pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta sebagai dasar pemberian hak milik kepada okupusan tanah di Kragilan, Kadipiro sebagai dasar dalam menarik kesimpulan. Dari hasil penelitian dan pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan landasan hukum oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta dalam menyelesaikan sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro yakni Pasal 2 dan Pasal 3 huruf n Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional Jo. Pasal 54 huruf c Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Dan Kantor Pertanahan Jo. Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan dan Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kota Surakarta Nomor 570/724/2005 tentang Pembentukan Sekretariat Penanganan Sengketa Pertanahan Kantor Pertanahan Kota Surakarta. Hasil daripada penyelesaian sengketa pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta ini dapat dijadikan dasar pemberian hak milik kepada okupusan tanah di Kragilan, Kadipiro setelah ditindak lanjuti dengan pembuatan Surat Pelepasan Hak Atas Tanah. Implikasi penelitian yaitu berupa rekomendasi bahwa Pemerintah Daerah atau Badan Pertanahan Nasional segera menerbitkan peraturan mengenai kewenangan Kantor Pertanahan dalam penyelesaian sengketa tanah garapan, dan juga segera menerbitkan peraturan mengenai mekanisme pemberian hak terkait dengan kewenangan Kantor Pertanahan dalam penyelesaian sengketa tanah garapan. Kata kunci : penyelesaian, sengketa tanah.
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan manusia itu sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah. Mereka hidup di atas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah. Sejarah perkembangan dan kehancurannya ditentukan pula oleh tanah, masalah tanah dapat menimbulkan persengketaan dan peperangan dahsyat karena manusia-manusia atau suatu bangsa ingin menguasai tanah orang atau bangsa lain karena sumber-sumber alam yang terkandung di dalamnya (G. Kartasapoetra dkk, 1990 : 1). Berkaitan dengan kenyataan bahwa tanah merupakan sumber daya alam yang langka yang bersifat tetap serta digunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia akan perumahan, pertanian, perkebunan maupun kegiatan industri yang mengharuskan tersedianya tanah, sebagai negara berkembang, Indonesia yang memiliki jumlah penduduk yang banyak, juga mengalami masalah pertanahan yang biasanya menimbulkan konflik antara pemegang hak dengan orang lain. Konflik tersebut biasanya mengenai ganti rugi tanah yang akan digunakan untuk pembangunan, sengketa kepemilikan tanah dan masih banyak masalah-masalah yang kompleks. Selama ini, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam menangani masalah pertanahan masih bersifat pasif / menunggu keinginan para pihak yang bersengketa, sehingga terkesan kurang peduli terhadap kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi permasalahan pertanahan yang semakin kompleks dan untuk meminimalkan timbulnya konflik pertanahan dalam masyarakat, maka Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk ke depannya dituntut lebih proaktif dalam penyelesaian konflik pertanahan sesuai dengan Sebelas Agenda BPN RI khususnya Agenda ke-5 “Menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa, dan konflik pertanahan di seluruh Indonesia secara
xiii
sistematis” serta TAP MPR RI No : IX / MPR / 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Pasal 4 : “d. Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia” dan Pasal 5 : “d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana Pasal 4 Ketetapan ini”, dengan harapan “kata-kata konflik pertanahan tidak akan terdengar lagi”, sehingga masyarakat merasa lebih tenang terhadap kepemilikan hak atas tanahnya (http://bpn-solo.com/files/buku_PPAN_ISI.pdf). Dalam melakukan tindakan penyelesaian sengketa / konflik pertanahan yang ada, Badan Pertanahan Nasional pun juga dituntut untuk tetap mengedepankan keadilan, sehingga diharapkan dalam mengambil suatu keputusan, tidak merugikan para pihak, bahkan mampu mewujudkan suatu penyelesaian secara damai diantara para pihak yang bersengketa, mengingat selama ini sengketa pertanahan cenderung diselesaikan melalui lembaga peradilan yang lebih bersifat win-lose solution. Di Kota Surakarta, dari berbagai titik konflik pertanahan yang telah teridentifikasi oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta, salah satunya terletak di Kampung Kragilan, Kadipiro. Di wilayah tersebut, konflik terjadi antara 15 orang pemegang sertifikat hak atas tanah dengan 54 orang okupusan terhadap lahan seluas + 3093 m2 yang terletak di Kampung Kragilan Rt 8, Rw 24, Kelurahan Kadipiro, yang merupakan hak milik dari 15 orang pemegang sertifikat hak atas tanah. Untuk melaksanakan Sebelas Agenda BPN RI, khususnya Agenda ke-5 serta amanat dari TAP MPR RI No : IX / MPR / 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam tersebut dengan tetap mengedepankan keadilan, maka Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam hal ini adalah Kantor Pertanahan Kota Surakarta sebagaimana Tugas Pokok dan Fungsinya dalam menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan, salah satunya ditempuh melalui jalur mediasi penyelesaian konflik beserta administrasinya.
xiv
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul : PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN
DI
KRAGILAN,
KADIPIRO
OLEH
KANTOR
PERTANAHAN KOTA SURAKARTA.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai fungsi Kantor Pertanahan Kota Surakarta ? 2. Apakah hasil penyelesaian sengketa pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta dapat dijadikan dasar pemberian hak milik kepada okupusan tanah di Kragilan, Kadipiro ?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui apakah penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai fungsi Kantor Pertanahan Kota Surakarta. b. Untuk mengetahui apakah hasil penyelesaian sengketa pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta dapat dijadikan dasar pemberian hak milik kepada okupusan tanah di Kragilan, Kadipiro. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis di bidang hukum, khususnya hukum agraria, terutama mengenai penyelesaian sengketa pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta. b. Sebagai strategi pemberdayaan mahasiswa melalui pengayaan wawasan dan peningkatan kompetensi dalam rangka peningkatan kualitas lulusan
xv
yang memiliki daya saing dan berkemampuan untuk tumbuh menjadi wirausaha mandiri. c. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam ilmu hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum agraria pada khususnya, terutama mengenai penyelesaian sengketa pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta. 2. Manfaat Praktis a. Untuk mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. b. Untuk dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang membutuhkan pokok bahasan yang dikaji, dengan disertai pertanggungjawaban secara ilmiah.
E. Metode Penelitian Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang dihadapi dengan mengadakan klasifikasi yang berdasarkan pada pengalaman, dapat ditentukan teratur dan terpikirkannya alur yang runtut dan baik untuk mencapai suatu maksud (Winarno Surakhmat, 1998 : 131). Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Dalam menyusun skripsi ini, jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian normatif. Penelitian normatif adalah penelitian yang mengkaji hukum sebagai norma. Dengan kata lain penelitian yang dilakukan
xvi
dengan cara meneliti bahan pustaka dan data sekunder lainnya yang berkaitan dengan obyek penelitian. 2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat preskriptif, yaitu : suatu penelitian yang dimaksudkan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu (Soerjono Soekanto, 2006 : 10). Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, maka ilmu hukum mempelajari mengenai tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum (Peter Mahmud, 2005 : 22). Disini
peneliti
menguraikan
bagaimana
seharusnya
proses
penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta, beserta tindak lanjutnya. 3. Pendekatan Penelitian Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach),
yaitu
pendekatan
dengan
menggunakan legislasi dan regulasi (Peter Mahmud, 2005 : 97). Karena yang diteliti adalah berbagai peraturan yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian, dalam hal ini adalah berbagai peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan obyek penelitian. 4. Jenis Data Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data atau fakta yang digunakan oleh seseorang secara tidak langsung dan diperoleh melalui peraturan perundang-undangan, laporan, makalah, dokumen, doktrin, bahan-bahan kepustakaan, dan sumber-sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, yaitu tentang proses penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta, beserta tindak lanjut dari hasil penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta.
xvii
5. Sumber Data Sumber data adalah tempat diketemukannya data. Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini adalah sumber data sekunder, yaitu menggunakan bahan-bahan kepustakaan yang dapat berupa peraturan perundangan, dokumen, buku-buku, laporan, arsip, makalah, dan literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian hukum ini meliputi : a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer dalam penulisan hukum ini adalah norma atau kaidah dasar dalam hukum di Indonesia dan beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sebagai berikut : UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya, UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrasi dan APS, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Dan Kantor
xviii
Pertanahan, Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun 1992 tentang Susunan dan Tugas Panitia Pemeriksaan Tanah. b.
Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer sehingga dapat membantu memahami dan menganalisis bahan hukum primer, yaitu buku-buku, literatur-literatur, berkas-berkas atau dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
c.
Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tertier, adalah bahan-bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan bahan-bahan dari internet yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
6. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam suatu penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam penulisan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, yaitu merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan peraturan perundangundangan, dokumen-dokumen, data-data dan literatur lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan. Dalam hal ini, data diklarifikasikan kepada pejabat yang terkait, yaitu Kepala Sub Seksi Sengketa dan Konflik Pertanahan, Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah serta Kepala Sub Seksi Penetapan Hak Tanah Kantor Pertanahan Kota Surakarta. 7. Teknik Analisis Data Untuk memperoleh jawaban terhadap penelitian hukum ini digunakan silogisme deduksi dengan metode : a. Interpretasi bahasa (gramatikal), yaitu memberikan arti kepada suatu istilah atau perkataan sesuai dengan bahasa sehari-hari. Jadi, untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang, maka ketentuan undang-
xix
undang itu ditafsirkan atau dijelaskan dengan menguraikannya menurut bahasa umum sehari-hari (Sudikno Mertokusumo, 2004 : 57). b. Interpretasi sistematis,
yaitu menafsirkan peraturan perundang-
undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum (Sudikno Mertokusumo, 2004 : 59). Jadi undang-undang merupakan suatu kesatuan dan tidak satupun ketentuan di dalam undang-undang merupakan aturan yang berdiri sendiri (Peter Mahmud, 2005 : 112). Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrasi dan APS, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Dan Kantor Pertanahan, Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun 1992 tentang Susunan dan Tugas Panitia Pemeriksaan Tanah sebagai premis mayor. Adapun yang menjadi premis minor adalah :
xx
a. Penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta. b. Hasil penyelesaian sengketa pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta sebagai dasar pemberian hak milik kepada Okupusan tanah di Kragilan, Kadipiro. Melalui proses silogisme akan diperoleh simpulan (conclusio) berupa hukum positif in conreto yang dicari mengenai penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro, oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta.
F. Sistematika Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan karya ilmiah, maka penulis menyiapkan suatu sistematika dalam penyusunan penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum terdiri dari 4 (empat) bab, yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, hasil penelitian dan pembahasan, serta simpulan dan saran ditambah dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang disusun dengan sistematika sebagai berikut : Dalam bab I, diuraikan mengenai gambaran awal penelitian ini, yang meliputi latar belakang penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta, kemudian mengenai perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian yang dipergunakan dalam melakukan penelitian. Dalam bab II, diuraikan mengenai landasan teori berdasarkan literaturliteratur yang penulis gunakan, tentang hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Hal tersebut meliputi : tinjauan umum tentang sengketa pertanahan, tinjauan umum tentang mediasi, tinjauan umum tentang peraturan
perundang-undangan
mengenai
pemberian
hak
milik
dan
pendaftarannya, serta tinjauan umum tentang Kantor Pertanahan. Hal tersebut ditujukan agar pembaca dapat memahami tentang permasalahan yang penulis teliti.
xxi
Dalam bab III, diuraikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan. Dalam pembahasan dapat dianalisa bahwa penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai fungsi Kantor Pertanahan Kota Surakarta. Dalam hal ini, berlandaskan Pasal 2 dan Pasal 3 huruf n Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Jo. Pasal 54 huruf c Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2006, dan juga berlandaskan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 serta Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kota Surakarta Nomor 570/724/2005. Dari hasil penyelesaian sengketa pertanahan yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta, dapat dijadikan dasar pemberian Hak Milik kepada okupusan tanah di Kragilan, Kadipiro dengan ditindak lanjuti terlebih dahulu dalam bentuk pembuatan Surat Pelepasan Hak Atas Tanah, selanjutnya dilakukan pendaftaran tanah sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Dalam bab IV, diuraikan mengenai simpulan dan saran. Adapun kesimpulannya, yaitu bahwa penyelesaian sengketa sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai fungsi Kantor Pertanahan Kota Surakarta, dan hasil penyelesaian sengketa pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta dapat dijadikan dasar pemberian Hak Milik kepada okupusan tanah di Kragilan, Kadipiro.
xxii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
G. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Sengketa Pertanahan a. Pengertian Sengketa “Sengketa dalam pengertiannya yang luas adalah hal yang lumrah dalam kehidupan bermasyarakat, yang dapat terjadi saat dua orang atau lebih berinteraksi pada suatu peristiwa / situasi dan mereka memiliki persepsi, kepentingan, dan keinginan yang berbeda terhadap peristiwa / situasi tersebut” (Indonesian Institute for Conflict Transformation, 2006 : 27). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian “sengketa” adalah : 1) Sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat; pertengkaran; perbantahan. 2) Pertikaian; perselisihan. 3) Perkara (dalam pengadilan) (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001 : 1037) Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali oleh perasaan tidak puas yang bersifat subjektif dan tertutup yang dapat dialami oleh perorangan maupun kelompok. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan apabila terjadi conflict of interest. Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua. Apabila pihak kedua dapat menanggapi dan memuaskan pihak pertama, selesailah konflik tersebut. Tetapi apabila reaksi dari pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai-nilai yang berbeda, terjadilah apa yang dinamakan dengan sengketa (Suyud Margono, 2004 : 34). Proses sengketa terjadi karena tidak adanya titik temu adanya pihak-pihak yang bersengketa dan secara potensial, dua pihak yang mempunyai pendirian / pendapat yang berbeda dapat beranjak ke situasi
xxiii
sengketa. Dengan demikian secara garis besar dapat ditarik kesimpulan, bahwa
sengketa
atau
konflik
merupakan
pertentangan
atau
ketidaksesuaian antara para pihak yang akan dan sedang mengadakan hubungan atau kerjasama yang disebabkan karena tidak adanya titik temu antara para pihak tentang suatu hal. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang sedang mengalami proses transisi dari masyarakat agraris (pedesaan) menuju masyarakat industri (perkotaan) seperti sekarang ini, seringkali sengketa disebabkan oleh adanya perbenturan antara nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai baru (modern). Nilai-nilai tradisional yang dipegang teguh oleh generasi dulu mulai luntur, sedangkan nilai-nilai baru belum sepenuhnya terbentuk dan diterima. Sengketa yang terjadi pada masyarakat transisi, biasanya meliputi : 1) Sengketa tradisional (berkisar tentang keluarga, warisan dan tanah); 2) Sengketa bisnis yang rumit serta sarat dengan unsur keuangan, perbankan modern, peraturan perundangan, etika, pemenuhan kontrak, dan sebagainya; 3) Sengketa lingkungan yang rumit dengan masalah pembuktian ilmiah dan hubungan administrasi pusat-daerah; dan 4) Sengketa tenaga kerja yang diwarnai dengan masalah hak asasi manusia, reputasi negara, dan perhatian masyarakat internasional. (Suyud Margono, 2004 : 85) Adapun pemicu terjadinya sengketa, misalnya : 1) Kesalahpahaman 2) Perbedaan penafsiran 3) Ketidakjelasan pengaturan 4) Ketidakpuasan 5) Ketersinggungan 6) Kecurigaan 7) Tindakan yang tidak patut, curang, tidak jujur
xxiv
8) Kesewenang-wenangan atau ketidakadilan 9) Keadaan yang tidak terduga (Indonesian Institute for Conflict Transformation, 2006 : 28) b. Sengketa Pertanahan Pengertian sengketa pertanahan termuat secara jelas dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, yang berbunyi : “sengketa pertanahan adalah perbedaan pendapat mengenai : 1) keabsahan suatu hak; 2) pemberian hak atas tanah; 3) pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihannya dan penerbitan tanda bukti haknya, antara pihak-pihak yang berkepentingan maupun antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan instansi di lingkungan Badan Pertanahan Nasional”. Dalam rumusan pengertian sengketa atau konflik selalu terdapat unsur para pihak sebagai pelaku atau subyek yang terlibat di dalamnya. Begitu juga dalam pengertian sengketa pertanahan yang termuat dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1999, di mana sengketa pertanahan terjadi antara pihak-pihak yang berkepentingan maupun antara pihakpihak yang berkepentingan dengan instansi di lingkungan Badan Pertanahan Nasional mengenai keabsahan suatu hak, pemberian hak atas tanah, dan pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihannya dan penerbitan tanda bukti haknya. Para pihak yang berkepentingan di sini dapat dikatakan sebagai subyek perselisihan. Dalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1999, dijelaskan bahwa pihak-pihak yang berkepentingan adalah pihak-pihak yang merasa
xxv
mempunyai hubungan hukum dengan bidang tanah tertentu atau pihak lain yang kepentingannya terpengaruh oleh status hukum tanah tersebut. Jadi, pada hakikatnya kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh antara perorangan dengan perorangan, perorangan dengan badan hukum, badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya (http://fiaji.blogspot.com/2007/09/penyelesaian-sengketapertanahan-fia-s.html). c. Penyelesaian Sengketa Pertanahan Penyelesaian sengketa pertanahan dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu penyelesaian sengketa pertanahan melalui pengadilan dan penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan. 1) Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Pengadilan Penyelesaian
sengketa
pertanahan
melalui
pengadilan
merupakan bentuk penyelesaian dalam ruang lingkup hukum perdata, dimana pada intinya berisi tentang perbuatan melanggar hukum, dan ganti rugi. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), perbuatan melanggar hukum dan ganti rugi diatur dalam Pasal 1365, yang berbunyi bahwa, “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Dalam hubungannya dengan penyelesaian ganti kerugian sebagai konsekuensi tanggung jawab atas perbuatan melanggar hukum, maka ketentuan dalam Pasal 1365 ini terkait erat dengan Pasal 1243 yang menyatakan bahwa, “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena terpenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah
xxvi
dilampaukannya”. Sedangkan dalam kaitannya dengan pembuktian, perlu dikemukakan Pasal 1865 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, “Barangsiapa
mengajukan
peristiwa-peristiwa
atas
mana
ia
mendasarkan sesuatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwaperistiwa itu, sebaliknya barangsiapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pertahanan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu”. Dari pengertian ketiga pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa seorang penggugat baru akan memperoleh ganti kerugian apabila ia berhasil membuktikan adanya unsur kesalahan pada pihak tergugat. Kesalahan disini merupakan unsur yang menentukan pertanggungjawaban, yang berarti bila tidak terbukti adanya kesalahan, tidak ada kewajiban memberi ganti kerugian. Adapun
karateristik
daripada
penyelesaian
sengketa
pertanahan melalui pengadilan, yaitu : a) Prosesnya sangat formal (terikat pada hukum acara) b) Para pihak berhadapan untuk saling melawan, adu argumentasi dan pengajuan alat bukti c) Pihak ketiga netralnya (hakim) tidak ditentukan para pihak dan keahliannya bersifat umum d) Prosesnya bersifat terbuka / transparan e) Hasil akhir berupa putusan yang didukung pertimbangan / pandangan hakim (Indonesian Institute for Conflict Transformation, 2006 : 29) 2) Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Luar Pengadilan Indonesia merupakan salah satu negara yang sering terjadi sengketa pertanahan, yang penyelesaiannya banyak dilakukan melalui lembaga pengadilan. Namun dengan lamanya proses pengadilan, serta mahalnya biaya yang harus dikeluarkan mendorong masyarakat untuk
xxvii
mencari jalan lain yang lebih efektif dalam menyelesaikan sengketa pertanahan di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan ini pada dasarnya dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk yang dipilih untuk dijadikan forum penyelesaian, dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu dengan tujuan untuk menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif dari adanya sengketa pertanahan tersebut. Pelaksanaan mengenai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam Undang-undang tersebut, alternatif penyelesaian sengketa diartikan sebagai lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (Pasal 1 ayat (10) UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Adapun karateristik daripada Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), yaitu : a) Privat, sukarela dan konsensual (didasarkan atas kesepakatan para pihak) b) Kooperatif; tidak agresif/bermusuhan dan tegang c) Fleksibel dan tidak formal/kaku d) Kreatif e) Melibatkan partisipasi aktif para pihak dan sumber daya yang mereka miliki f) Bertujuan untuk mempertahankan hubungan baik (Indonesian Institute for Conflict Transformation, 2006 : 36) Dengan adanya undang-undang ini, maka telah memberikan kepastian hukum bagi berlakunya lembaga penyelesaian alternatif
xxviii
sengketa di luar pengadilan, termasuk di dalamnya adalah mediasi. Hanya sayangnya dalam undang-undang ini tidak mengatur secara rinci dan tegas tentang bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa kecuali mengenai arbitrase. Undang-undang ini sebenarnya lebih cocok disebut UU Arbitrase, karena hanya mengatur tentang keberadaan lembaga arbitrase dan mekanisme proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, sedangkan lembaga lain hanya diatur dalam satu pasal, yaitu Pasal 6. Dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, disebutkan bahwa penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. Dalam hal sengketa atau beda pendapat tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat tersebut diselesaikan melalui bantuan seseorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 hari dengan bantuan seseorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator. Setelah penunjukan mediator oleh lembaga alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus dapat dimulai, dan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis bersifat final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan dan
xxix
wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. Apabila usaha perdamaian diantara para pihak tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan tertulis secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaian melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc.
2. Tinjauan Umum Tentang Mediasi a. Pengertian Mediasi Mediasi dapat diartikan, bahwa para pihak yang bersengketa mengizinkan pihak ketiga untuk terlibat ke dalam sengketa dan membantu para pihak untuk mencapai penyelesaian. Hal ini tidak berarti bahwa para pihak selalu berkehendak untuk melakukan atau menerima sepenuhnya apa yang dikemukakan pihak ketiga (Indonesian Institute for Conflict Transformation, 2006 : 60). Selain itu, mediasi juga dapat diartikan sebagai suatu penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator (Pasal 1 ayat (6) PerMA 2/2003). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mediasi diartikan sebagai
proses
pengikutsertaan
pihak
ketiga
(mediator)
dalam
penyelesaian suatu perselisihan melalui penasihat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001 : 726). Dari beberapa pengertian mediasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa mediasi merupakan upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersifat netral dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog para pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran, dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat. Penyelesaian sengketa melalui mediasi ini tidak terdapat unsur paksaan antara para pihak dan mediator, karena para pihak secara
xxx
sukarela meminta kepada mediator untuk membantu menyelesaikan konflik yang sedang mereka hadapi. Mediasi sebagai suatu alat penyelesaian sengketa, dewasa ini lebih dipandang sebagai suatu alternatif penting bagi ajudikasi penyelesaian sengketa. Pada tahun-tahun belakangan ini pengadilan, masyarakat, maupun industri telah berpaling kepada mediasi sebagai metode yang lebih disukai dalam penyelesaian bentuk-bentuk sengketa tertentu. Biaya yang mahal, lamanya waktu, serta tidak efisiensinya penyelesaian melalui pengadilan juga telah mendorong para pihak untuk menggunakan mediasi, terutama dalam sengketa yang bersifat polisentrik, yaitu sengketa yang melibatkan banyak pihak persoalan, seperti sengketa tanah maupun yang lainnya, para pihak lebih memilih jalan mediasi daripada penyelesaian melalui pengadilan. b. Keunggulan dan Tujuan Mediasi Adapun beberapa keunggulan dari penyelesaian sengketa melalui mediasi, diantaranya adalah sebagai berikut : 1) Relatif lebih murah dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang lain; 2) Adanya kecenderungan dari pihak yang bersengketa untuk menerima dan adanya rasa memiliki putusan mediasi; 3) Dapat menjadi dasar bagi para pihak yang bersengketa untuk menegoisasi sendiri sengketa-sengketanya di kemudian hari; 4) Terbukanya kesempatan untuk menelaah masalah-masalah yang merupakan dasar dari suatu sengketa; 5) Membuka kemungkinan adanya saling kepercayaan diantara pihak yang bersengketa, sehingga dapat dihindari rasa bermusuhan dan dendam (Munir Fuady, 2003 : 50). Apabila dibandingkan dengan penyelesaian melaui pengadilan atau litigasi yang bersifat formal, memaksa, memandang ke belakang, serta bertujuan menentukan pihak mana yang menang dan kalah (win-
xxxi
lose) berdasarkan alat-alat bukti yang dikemukakan oleh para pihak atau jaksa (dalam pidana), mediasi merupakan bentuk penyelesaian yang lebih bersifat informal, sukarela, memandang ke depan, bekerjasama atas dasar kepentingan guna menyelesaikan sengketa yang dapat menguntungkan kedua belah pihak (win-win solution). Dengan demikian, tujuan yang akan dicapai dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan sifatnya tegas dan kesimpulan pihak ketiga, yaitu hakim atau arbiter, berkenaan dengan masalah di waktu lalu akan menentukan hasilnya. Sedangkan tujuan penyelesaian sengketa melalui mediasi adalah untuk menghasilkan suatu rencana atau kesepakatan kedepan yang dapat diterima dan dijalankan oleh para pihak yang bersengketa. Selain itu, mediasi juga mempersiapkan
para
pihak
yang
bersengketa
untuk
menerima
konsekuensi dari keputusan yang mereka buat dengan mengurangi kekhawatiran dan dampak negatif lainnya dari suatu konflik, karena para pihak yang bersengketa telah dibantu untuk mencapai konsensus melalui mediasi. c. Tipe-tipe dan Fungsi Mediator Dalam menyelesaikan konflik atau persengketaaan, para pihak dapat memilih atau menunjuk mediator yang disepakati. Ada beberapa macam tipe mediator yang dapat kita temui, seperti : 1) Mediator Hubungan Sosial Sebuah jalinan atau hubungan sosial yang ada atau tengah berlangsung sebagai upaya untuk mempertahankan keserasian atau hubungan baik dalam sebuah komunitas, karena si mediator maupun para pihak sama-sama menjadi bagian di dalamnya. 2) Mediator Autoritatif Mediator autoritatif adalah mereka yang berusaha membantu pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perbedaanperbedaan diantara mereka, tetapi si mediator sesungguhnya memiliki posisi yang kuat dan berpengaruh, sehingga mereka memiliki potensi
xxxii
atau kapasitas untuk mempengaruhi hasil akhir dari sebuah proses mediasi. Namun, seorang mediator autoritatif selama ia menjalankan peran sebagai mediator tidak menggunakan kewenangan atau pengaruhnya
itu
karena
didasarkan
pada
keyakinan
atau
pandangannya, bahwa pemecahan yang terbaik terhadap sebuah kasus bukanlah ditentukan oleh dirinya sebagai pihak yang berpengaruh atau berwenang, tetapi harus dihasilkan oleh upaya-upaya pihak-pihak yang bersengketa sendiri. 3) Mediator Mandiri Mediator yang menjaga jarak antara para pihak maupun dengan persoalan yang tengah dihadapi oleh para pihak. Mediator tipe ini lebih banyak ditemukan dalam masyarakat atau budaya yang telah mengembangkan tradisi kemandirian dan menghasilkan mediatormediator profesional. (Indonesian Institute for Conflict Transformation, 2006 : 65 – 66) Menurut Fuller, ada tujuh fungsi mediator, yakni : a) Sebagai katalisator (catalyst) Mendorong lahirnya suasana konstruktif dan kondusif bagi perundingan, mempersempit terjadinya polarisasi b) Sebagai pendidik (educator) Membuat para pihak mampu menangkap alasan atau nalar guna menangkap atau menolak usulan / permintaan satu sama lain c) Sebagai penerjemah (translator) Menyampaikan dan merumuskan usulan para pihak dalam bahasa dan ungkapan yang enak didengar tanpa mengurangi maksud yang ingin dicapai d) Sebagai nara sumber (resource person) Mampu mendayagunakan atau melipatgandakan sumber-sumber informasi yang tersedia
xxxiii
e) Sebagai penyandang berita jelek (bearer of bad news) Siap menerima resiko sebagai korban dari situasi perundingan yang berpotensi berlangsung secara emosional f) Sebagai agen realitas (agen of reality) Memberi pengertian bagi para pihak jika permintaan atau usulan yang disampaikan mungkin tidak masuk akal dan tidak realistis g) Sebagai kambing hitam (scapegoat) Siap sebagai pihak yang menjadi tumpuan kesalahan para perunding (Suyud Margono, 2004 : 60) Dalam
melaksanakan
tugasnya,
seorang
mediator
dapat
melakukan dua macam peran, yaitu peran pasif dan peran aktif. Kedua peran tersebut dapat dilakukan oleh mediator tergantung pada kondisi pada saat itu, apakah dia harus berlaku aktif atau pasif. Seorang mediator harus berperan pasif ketika para pihak yang bersengketa memiliki kepedulian yang tinggi dan lebih aktif untuk menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi sehingga mediator hanya berperan sebagai penengah dan mengarahkan penyelesaian sengketa serta mengatur perundinganperundingan, memimpin rapat dan sebagainya. Sedangkan seorang mediator harus bersikap aktif dalam penyelesaian sengketa ketika para pihak yang sedang berselisih bersikap pasif atau menunggu dan sulit berkomunikasi. Dalam kondisi yang demikian mediator harus cepat tanggap dan mengambil inisiatif melakukan berbagai tindakan. d. Tahap-tahap Mediasi Menurut Gary Goodpaster, pelaksanaan mediasi terdiri dari empat tahap. Keempat tahap itu adalah sebagai berikut : 1) Tahap pembentukan forum dalam tahap ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut : a) Rapat bersama dan moderator membuka sidang mediasi
xxxiv
b) Mediator menjelaskan tentang peran dan wewenang c) Mediator berusaha membangun kepercayaan para pihak dalam proses negosiasi d) Mediator
menjelaskan
aturan
dasar
dari
mediasi,
aturan
kerahasiaan (confidentially) dan ketentuan rapat-rapat e) Mediator menjawab pertanyaan-pertanyaan para pihak f) Bila para pihak sepakat melanjutkan perundingan, mediator meminta komitmen para pihak untuk mengikuti aturan yang disepakati 2) Tahap informasi a) Rapat Bersama (1) Mediator memberi kesempatan kepada masing-masing pihak untuk berbicara (2) Masing-masing pihak menyampaikan fakta dan posisi menurut versi masing-masing (3) Mediator bertindak sebagai pendengar yang aktif, dan dapat menyampaikan pertanyaan-pertanyaan (4) Mediator menerapkan aturan kepantasan dan mengontrol interaksi para pihak b) Kaukus (1) Mediator mengadakan pertemuan dengan para pihak secara terpisah (caucus) untuk mengembangkan informasi lebih lanjut
dan
mengetahui
keinginan,
kepentingan
dan
kemungkinan penyelesaian masing-masing pihak. (2) Mediator membuat rumusan ulang berdasarkan informasi yang dikembangkan pada pertemuan (rapat bersama) dan kaukus, mediator mengutarakan inti persengketaan (kasus posisi) 3) Tahap pemecahan masalah Mediator secara bersama-sama maupun secara terpisah berupaya :
xxxv
a) Mengidentifikasi isu-isu b) Memberi pengarahan kepada para pihak tentang tawar-menawar untuk pemecahan masalah c) Mengubah pendirian para pihak dari posisi (positional based) menjadi kepentingan (interest based) d) Membantu para pihak menaksir, menilai, dan memprioritaskan kepentingan-kepentingan e) Memperluas atau mempersempit sengketa jika perlu f) Membuat agenda negosiasi g) Memberikan penyelesaian alternatif 4) Tahap pengambilan keputusan a) Mediator bekerja dengan para pihak untuk: (1) Membantu mereka mengevaluasi pilihan (2) Menetapkan trade off dan menawarkan paket penyelesaian (3) Memperkecil perbedaan-perbedaan (4) Menemukan basis yang adil bagi alokasi bersama b) Mediator jika perlu dapat melakukan (1) Menekan para pihak (2) Menemukan rumusan untuk menghindarkan rasa malu (face saving) (3) Membantu para pihak menghadapi para pemberi kuasa (Munir Fuady, 2003 : 48)
3. Tinjauan Umum Tentang Peraturan Perundang-undangan Mengenai Pemberian Hak Milik dan Pendaftarannya a. Peraturan Perundang-undangan Mengenai Pemberian Hak Milik Ketentuan yang berkaitan dengan pemberian hak milik diatur di dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu :
xxxvi
1) Ketentuan-ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria Ketentuan-ketentuan konversi yang mengatur mengenai konversi hak-hak atas tanah sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menjadi Hak Milik menurut konsepsi UUPA adalah ketentuan Pasal I, Pasal II dan Pasal VII. Dari ketentuan konversi tersebut, pada prinsipnya hak-hak atas tanah yang memberikan kewenangan yang paling kuat kepada pemiliknya, yang sejalan dengan konsepsi Hak Milik atas tanah menurut UUPA, seperti misalnya : a) Eigendom atas tanah; b) hak agrarisch eigendom; c) hak milik yayasan; d) hak andarbeni; e) hak atas druwe; f) hak atas druwe desa; g) hak jesini; h) hak grant Sultan; i) landerijenbezitrecht; j) altijddurende erfpacht; k) hak usaha atas bekas tanah partikelir; l) hak gogolan; m) pekulen; dan n) sanggan selama dan sepanjang pemegang haknya pada saat ketentuan konversi ini
berlaku adalah
Warga
Negara
Indonesia tunggal,
akan
dikonversikan menjadi Hak Milik menurut konsepsi UUPA. Jika pemegang haknya Warga Negara Asing, maka hak-hak tersebut akan dikonversikan menjadi hak-hak yang sesuai dengan peruntukannya dan yang dimungkinkan untuk dikuasai oleh pemiliknya sesuai
xxxvii
dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 21 ayat (1), yang kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam ayat (3) dan ayat (4) UUPA. 2) Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 6 / 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah untuk Rumah Tinggal Menurut Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 6 / 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah untuk Rumah Tinggal ini, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah untuk rumah tinggal kepunyaan perseorangan Warga Negara Indonesia yang luasnya 600 m2 atau kurang, atas permohonan yang bersangkutan, dihapus dan diberikan kembali kepada bekas pemegang haknya dengan Hak Milik. Dengan demikian, berarti Tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah untuk rumah tinggal kepunyaan perseorangan Warga Negara Indonesia yang luasnya 600 m2 atau kurang yang sudah habis jangka waktunya dan masih dipunyai oleh bekas pemegang hak tersebut, atas permohonan yang bersangkutan diberikan Hak Milik kepada bekas pemegang haknya. Dalam rumusan Pasal 1 huruf a, dan Pasal 2 ayat (3), dapat diketahui bahwa pemberian status Hak Milik didahului dengan penghapusan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dalam Buku Tanah dan Sertipikat serta daftar umum lainnya atas bidang tanah yang akan diberikan status Hak Milik tersebut. Selanjutnya atas pemberian status Hak Milik tersebut dibuatkan Buku Tanahnya dan menerbitkan Sertipikat Hak Milik dengan didasarkan pada data fisik yang tercantum dalam pendaftaran Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang dihapuskan hak atas tanahnya tersebut (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004 : 47). Mengenai perubahan Hak Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah untuk rumah tinggal di atas Hak Pengelolaan atas nama Instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Tingkat I, Pemerintah
Daerah
Tingkat
xxxviii
II
atau
BUMN/BUMD,
dapat
ditingkatkan statusnya menjadi Hak Milik berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 6 / 1998 apabila hal tersebut disetujui secara tertulis oleh pemegang Hak Pengelolaan yang bersangkutan dengan disertai pernyataan bahwa tanah tersebut terletak di kawasan yang menurut perencanaan tanah Hak Pengelolaan itu memang diperuntukkan bagi pemukiman. Bila Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai tersebut adalah atas tanah Hak Pengelolaan PERUM PERUMNAS, maka persetujuan itu wajib diberikan oleh
PERUM PERUMNAS sepanjang mengenai tanah
yang dipergunakan untuk rumah tinggal, mengingat bidang tugas pemegang Hak Pengelolaan ini adalah memang mengembangkan perumahan dan pemukiman (Boedi Harsono, 2002 : 326). 3) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 / 1998 tentang Perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai Atas Tanah untuk Rumah Tinggal yang Dibebani Hak Tanggungan menjadi Hak Milik Dari penjelasan yang diberikan sehubungan dengan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 6 / 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah untuk Rumah Tinggal di atas, dapat diketahui bahwa pemberian status Hak Milik selalu didahului dengan penghapusan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dalam Buku Tanah dan Sertipikat serta daftar umum lainnya atas bidang tanah yang akan diberikan status Hak Milik tersebut. Ini berarti, dalam Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang akan diubah statusnya menjadi Hak Milik telah dibebani dengan Hak Tanggungan, maka dengan hapusnya Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang dibebani dengan Hak Tanggungan tersebut, maka hapus pulalah Hak Tanggungan yang dibebankan di atas bidang tanah dengan status Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai itu. Agar kreditor pemegang Hak Tanggungan tetap terjamin hak (kebendaannya) tersebut, maka perlu diletakkan kembali Hak
xxxix
Tanggungan baru di atas bidang tanah yang sama, tetapi dengan status Hak Milik. Untuk lebih menjelaskan akan status hapusnya Hak Tanggungan yang dibebankan di atas bidang tanah dengan status Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang dihapus tersebut, dan selanjutnya kewajiban untuk meletakkan kembali Hak Tanggungan di atas bidang tanah yang sama dengan status Hak Milik tersebut, maka dibuatlah ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 / 1998 tentang Perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai Atas Tanah untuk Rumah Tinggal yang Dibebani Hak Tanggungan menjadi Hak Milik (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004 : 47 – 48). Dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 / 1998 ini, memberikan kepastian kepada kreditor, bahwa kreditnya akan dijamin dengan Hak Tanggungan Baru atas Hak Milik yang akan diperoleh pemberi Hak Tanggungan, yaitu dengan memberikan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan kepada kreditor, sebelum Hak Milik yang diperolehnya dimohonkan pendaftaran. Pemberian kuasa tersebut sah menurut hukum, karena sudah ada kepastian bahwa pemberi kuasa itu akan memperoleh Hak Milik yang akan dibebani Hak Tanggungan yang bersangkutan. SKMHT tersebut kemudian dapat digunakan oleh kreditor, selaku kuasa pemegang Hak Milik, melakukan pembebanan Hak Tanggungan baru atas Hak Milik tersebut. Dengan sendirinya, untuk keperluan Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan-nya, diberikan juga kuasa kreditor untuk menerima sertipikat Hak Milik tersebut setelah selesai didaftar. Dari pihak PPAT, yang bertugas membuat SKMHT dan APHT-nya, juga diharapan pemahaman mengenai arti kebijakan Pemerintah dalam pemberian Hak Milik tersebut dan bantuan dalam penetapan biaya pembuatannya. Dalam pasal 4 ditetapkan bahwa bagi tanah untuk RSS/RS biaya tersebut tidak lebih dari Rp 50.000,- dan
xl
bagi tanah untuk rumah tinggal yang lain Rp 10.000,-. Sedangkan untuk pencatatan hapusnya Hak Tanggungan yang semula membebani hak yang hapus dan pendaftaran Hak Tanggungan yang baru, tidak dipungut biaya (Boedi Harsono, 2003 : 528 – 529). 4) Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 / 1997 Jis. No 15 / 1997 dan No. 1 / 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS) Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 / 1997 Jis. No 15 / 1997 dan No. 1 / 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS) ini adalah ketentuan khusus yang berhubungan dengan pemberian Hak Milik atas tanah, yang termasuk dalam kriteria Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS). Dalam rumusan ketentuan Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 Keputusan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 / 1997 Jis. No 15 / 1997 dan No. 1 / 1998 tersebut, dijelaskan bahwa terhadap bidang tanah yang : a) harga perolehan
tanah
dan
rumah
tidak
lebih
daripada
Rp 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah), dan b) di atasnya telah dibangun rumah dalam rangka pembangunan massal atau kompleks perumahan. maka, dalam memberikan status Hak Milik atas bidang tanah tersebut, proses penyelesaian perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai menjadi Hak Milik akan mengikuti ketentuan yang diatur dalam Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 6 / 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah untuk Rumah Tinggal (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004 : 52 – 57).
xli
5) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 / 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 / 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan ini merupakan ketentuan umum yang berlaku bagi perolehan Hak Milik. Dalam Pasal 8 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 / 1999 ini, dinyatakan bahwa Hak Milik dapat diberikan kepada : a) Warga Negara Indonesia b) Badan-badan Hukum yang ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yaitu : (1) Bank Pemerintah; (2) Badan Keagamaan dan Badan Sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah. Kemudian, dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), dijelaskan bahwa permohonan Hak Milik atas tanah negara diajukan secara tertulis dan permohonan tersebut harus memuat : a) keterangan mengenai pemohon; b) keterangan mengenai tanahnya, yang meliputi data yuridis dan data fisik; c) dan lain-lain : (1) keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanahtanah yang dimiliki oleh pemohon, termasuk bidang tanah yang dimohon; (2) keterangan lain yang diangap perlu. Permohonan hak atas tanah ini dilakukan terhadap : a) Tanah Negara bebas : belum pernah melekat sesuatu hak
xlii
b) Tanah Negara asalnya masih melekat sesuatu hak dan jangka waktunya belum berakhir, tetapi dimintakan perpanjangannya c) Tanah Negara asalnya pernah melekat sesuatu hak dan jangka waktunya telah berakhir untuk dimintakan pembaharuannya, di sini termasuk tanah-tanah bekas hak Barat maupun tanah-tanah yang telah terdaftar menurut UUPA. Sebelum mengajukan permohonan hak, pemohon harus menguasai tanah yang dimohon dibuktikan dengan data yuridis dan data fisik yang dimiliki. Data yuridis adalah bukti-bukti atau dokumen penguasaan tanah, sedangkan data teknis adalah Surat Ukur dan SKPT atas tanah dimaksud. Permohonan hak yang diterima oleh Kantor Pertanahan diproses antara lain dengan penelitian ke lapangan oleh Panitia Pemeriksa Tanah (Panitia “A”), kemudian apabila telah memenuhi syarat maka sesuai kewenangannya dan diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak atas Tanah. Pemohon mendaftarkan haknya untuk memperoleh sertipikat hak atas tanah setelah membayar uang pemasukan ke Kas Negara dan atau BPHTB jika dinyatakan dalam surat keputusan tersebut. Dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran SK pemberian hak untuk memperoleh sertipikat tanda bukti hak adalah : a) surat permohonan pendaftaran b) surat pengantar SK Pemberian Hak c) SK Pemberian Hak untuk keperluan pendaftaran d) Bukti
pelunasan
uang
pemasukan
atau
dipersyaratkan e) identitas pemohon (http://tanahkoe.tripod.com/bhumiku/id15.html)
xliii
BPHTB
apabila
b. Peraturan Perundang-undangan Mengenai Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Adapun ketentuan yang berkaitan dengan pendaftaran tanah terdapat di dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu : 1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Dalam Pasal 19 UUPA dinyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Ketentuan lain yang mengatur tentang pendaftaran tanah adalah Pasal 23 ayat (1) UUPA yang menentukan bahwa hak milik, demikian pula setiap peralihannya, hapusnya dan pembebannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan yang dimaksudkan dalam Pasal 19. Pasal 32 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa hak guna usaha termasuk syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA. Sedangkan Pasal 38 ayat (1) UUPA menentukan bahwa hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya demikian juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA. 2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 3) Peraturan Menteri Negara Agraria/KBPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang dimaksud dengan Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus, berkesinambungan dan
xliv
teratur yang meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hakhak tertentu yang membebaninya. Sedangkan pendaftaran tanah menurut Boedi Harsono adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh negara atau pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda bukti dan pemeliharaannya (Boedi Harsono, 2003 : 72). Dari definisi yang telah dikemukakan di atas, apabila dirinci maka unsur pendaftaran tanah adalah sebagai berikut : 1) Kata-kata “suatu rangkaian kegiatan” menunjukkan kepada kegiatan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah yang saling berhubungan dan akhirnya menyediakan data yang diperlukan untuk jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. 2) Kata-kata “terus menerus” menunjukkan kepada pelaksana kegiatan yang sekali dimulai tidak akan ada akhirnya. Data yang sudah terkumpul dan tersedia harus selalu dipelihara, dalam arti disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian hingga selalu sesuai dengan keadaan yang terakhir. 3) Kata-kata “teratur” menunjukkan bahwa semua kegiatan harus berlandaskan peraturan perundang-undangan yang sesuai, karena hasilnya akan merupakan data bukti menurut hukum, biarpun daya kekuatan pembuktiannya tidak selalu sama dalam hukum negaranegara yang menyelenggarakan pendaftaran tanah.
xlv
4) Data tanah Dalam hal data tanah terdapat dua jenis yaitu : a) Data fisik, yaitu data-data mengenai letak tanah, luas tanah, serta batas-batas tanahnya, bangunan dan tanaman yang ada di atasnya. b) Data yuridis, yaitu mengenai nama hak atas tanah, siapa pemegang hak tersebut serta peralihan dan pembebannya jika ada. 5) Kata-kata
“wilayah”
adalah
wilayah
kesatuan
administrasi
pendaftaran meliputi seluruh negara. 6) Kata-kata
“tanah-tanah
tertentu”
menunjukkan
kepada
objek
pendaftaran tanah. Ada kemungkinan, bahwa yang didaftar hanya sebagian tanah yang dipunyai dengan hak yang ditunjuk. Dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah tersebut mereka yang mempunyai tanah dengan mudah akan dapat membuktikan haknya atas tanah yang dikuasai dan dipunyai dan mereka yang memerlukan keterangan akan dengan mudah memperolehnya, karena keteranganketerangan yang tersimpan di kantor penyelenggaraan pendaftaran tanah, terbuka bagi umum. Dari arti umum boleh mengetahuinya (Boedi Harsono, 2003 : 71). Dengan adanya pendaftaran tanah ini barulah dapat dijamin tentang hak-hak seseorang di atas tanah. Pihak ketiga secara mudah dapat melihat hak-hak apa atau beban apa yang terletak di atas bidang tanah. Hal
ini
berarti
terpenuhi
syarat-syarat
tentang
pengumuman
(openbaarhied), yang merupakan salah satu syarat melekat kepada hakhak yang bersifat kebendaan (Sudargo Gautama, 1993 : 47). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi : 1) Pendaftaran Tanah untuk Pertama Kali (initial registration) Adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah atau
xlvi
Peraturan Pemerintah ini. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi : a) Pengumpulan dan pengelolaan data fisik. b) Pengumpulan dan pengolahan data yuridis serta pembukuan haknya. c) Penerbitan sertipikat. d) Penyajian data fisik dan data yuridis. e) Penyimpanan daftar umum dan dokumen. Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan dengan dua cara yaitu sebagai berikut : a) Pendaftaran tanah secara sistematik adalah pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftarkan dalam wilayah suatu desa atas keseluruhan dan biasanya yang aktif melakukan kegiatan pendaftaran adalah pemerintah. b) Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan secara individual atau massal dan biasanya yang aktif melakukan kegiatan pendaftaran tanah adalah individuindividu atau masyarakat. (Boedi Harsono, 2003 : 75 – 76 ). Sedangkan menurut pendapat Boedi Harsono, kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi tiga bidang kegiatan yaitu : a) Bidang fisik atau “teknik kadastral” Kegiatan di bidang fisik mengenai tanahnya, untuk memperoleh data mengenai letaknya, batas-batasnya, luasnya, bangunanbangunan dan atau tanaman-tanaman penting yang ada di atasnya. Setelah dipastikan letak tanah yang akan dikumpulkan data fisik
xlvii
kegiatannya dimulai dengan penetapan batas-batasnya serta pemberian tanda-tanda batas di tiap sudutnya. Selanjutnya diikuti dengan pengukuran dan pembuatan peta data fisiknya. Penetapan batas-batas tanah dilakukan atas penunjukan pemegang hak yang bersangkutan, yang disetujui oleh pemegang hak atas tanah yang berbatasan. Peta pendaftaran melukiskan semua tanah yang ada di wilayah pendaftaran yang sudah diukur. Untuk tiap bidang tanah yang haknya didaftarkannya dibuat apa yang dinamakan surat ukur. b) Bidang Yuridis Kegiatan bidang yuridis bertujuan untuk memperoleh data mengenai haknya, siapa pemegang haknya, dan ada atau tidak adanya hak pihak lain yang membebaninya. Pengumpulan data tersebut menggunakan alat pembuktian berupa dokumen dan lainlainnya. c) Penerbitan tanda bukti hak Bentuk kegiatan pendaftaran dan hasilnya, termasuk apa yang merupakan surat tanda bukti hak, tergantung pada sistem pendaftaran yang digunakan. Dokumen tanda bukti hak ini di Indonesia bisa diterjemahkan sebagai sertipikat hak milik. (Boedi Harsono, 2003 : 74 – 75) 2) Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah (Maintenance) Adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendafatran tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertipikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi : a) Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak. b) Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya.
xlviii
Pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh kepala kantor pertanahan yang dibantu oleh PPAT atau pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan tertentu. Yang dimaksud kegiatan tertentu yang pelaksanaannya ditugaskan kepada pejabat lain, adalah kegiatan yang pemanfaatannya bersifat nasional atau melebihi wilayah kerja kepala kantor pertanahan, misalnya pengukuran titik dasar teknik, pemetaan fotogrametri, dan sebagainya. Satuan wilayah tata usaha pendaftaran tanah adalah desa atau kelurahan, dengan pengecualian bagi hak guna usaha, hak pengelolaan, hak tanggungan, dan tanah negara. Satuan wilayahnya adalah kabupaten atau kota, karena pada umumnya areal hak guna usaha, hak pengelolaan dan tanah negara serta objek hak tanggungan dapat meliputi beberapa desa atau kelurahan.
4. Tinjauan Umum Tentang Kantor Pertanahan a. Pengertian Kantor Pertanahan Berdasarkan Pasal 29 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan, Kantor Pertanahan adalah instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional di Kabupaten/Kota yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala Kanwil BPN. b. Fungsi Kantor Pertanahan dan Sebelas Agenda Pertanahan Nasional 1) Fungsi Kantor Pertanahan Dalam menyelenggarakan tugas, berdasarkan Pasal 31 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Dan Kantor Pertanahan, Kantor Pertanahan mempunyai fungsi :
xlix
a) penyusunan rencana, program, dan penganggaran dalam rangka pelaksanaan tugas pertanahan; b) pelayanan, perijinan, dan rekomendasi di bidang pertanahan; c) pelaksanaan survei, pengukuran, dan pemetaan dasar, pengukuran, dan pemetaan bidang, pembukuan tanah, pemetaan tematik, dan survei potensi tanah; d) pelaksanaan penatagunaan tanah, landreform, konsolidasi tanah, dan penataan pertanahan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan, dan wilayah tertentu; Dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan ketentuan huruf d ini, Kantor Pertanahan berupaya untuk merumuskan kebijakan teknis pemetaan dasar, menyiapkan norma, standar, pedoman, dan mekanisme baik dalam peruntukan, penggunaan, dan
penatagunaan
tanah,
landreform,
konsolidasi
tanah,
penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan dan penataan pertanahan di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan, dan wilayah-wilayah tertentu. e) pengusulan dan pelaksanaan penetapan hak tanah, pendaftaran hak tanah, pemeliharaan data pertanahan dan administrasi tanah aset pemerintah; Kaitannya dengan pemberian sertipikat sebagai bentuk penguatan hak atas tanah, maka Kantor Pertanahan sesuai dengan fungsinya pada huruf e ini, merumuskan kebijakan teknis, pedoman, dan mekanisme dalam mengusulkan dan melaksanakan penetapan hak, pendaftaran hak tanah, pemeliharaan data pertanahan dan administrasi tanah aset milik pemerintah. f) pelaksanaan pengendalian pertanahan, pengelolaan tanah negara, tanah terlantar dan tanah kritis, peningkatan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat;
l
Kantor Pertanahan dalam hal ini berupaya untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan teknis, perencanaan dan program penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pengendalian tanah serta pengelolaan tanah negara, tanah terlantar dan pendayagunaan tanah kritis untuk berbagai kegiatan pembangunan melalui penyiapan dan pembinaan kemitraan, redistribusi tanah, serta kepentingan lainnya sekaligus pelaksanaan pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan. g) penanganan konflik, sengketa, dan perkara pertanahan; Dalam rangka mengantisipasi permasalahan pertanahan yang semakin kompleks dan untuk meminimalkan timbulnya sengketa / konflik pertanahan dalam masyarakat, Kantor Pertanahan berupaya untuk merumuskan kebijakan teknis di bidang pengkajian dan penanganan sengketa, konflik dan perkara pertanahan baik secara hukum dan non hukum. h) pengkoordinasian pemangku kepentingan pengguna tanah; i) pengelolaan Sistem Informasi Manajemen Pertanahan Nasional (SIMTANAS); j) pemberian
penerangan
dan
informasi
pertanahan
kepada
masyarakat, pemerintah dan swasta; k) pengkoordinasian penelitian dan pengembangan; l) pengkoordinasian
pengembangan
sumber
daya
manusia
pertanahan; m) pelaksanaan urusan tata usaha, kepegawaian, keuangan, sarana dan prasarana, perundang-undangan serta pelayanan pertanahan. 2) Sebelas Agenda Pertanahan Nasional Untuk mencapai sasaran strategis yang diterapkan, maka mengacu pada fungsi Kantor Pertanahan, ditetapkan Sebelas Agenda Kebijakan di bidang pertanahan sebagai berikut :
li
a) Membangun kepercayaan masyarakat pada Badan Pertanahan Nasional. b) Meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran, serta sertifikasi tanah secara menyeluruh di seluruh Indonesia. c) Memastikan
penguatan
hak-hak
rakyat
atas
tanah
(land
tenureship). d) Menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah-daerah korban bencana alam dan daerah-daerah konflik. e) Menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa, dan konflik pertanahan di seluruh Indonesia secara sistematis. f) Membangun
Sistem
Informasi
Pertanahan
Nasional
(SIMTANAS), dan sistem pengamanan dokumen pertanahan di seluruh Indonesia. g) Menangani masalah KKN serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. h) Membangun data base pemilikan dan penguasaan tanah skala besar. i) Melaksanakan secara konsisten semua peraturan perundangundangan Pertanahan yang telah ditetapkan. j) Menata kelembagaan Badan Pertanahan Nasional. k) Mengembangkan dan memperbarui politik, hukum dan kebijakan Pertanahan. c. Struktur Organisasi Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Kantor Pertanahan dikepalai seorang Kepala Kantor yang bertugas dan bertanggung jawab terhadap semua kegiatan di Kantor Pertanahan tersebut. Dalam menjalankan tugasnya, Kepala Kantor Pertanahan Kota Surakarta dibantu oleh bagian-bagian yang meliputi :
lii
1) Bagian Tata Usaha Bagian ini bertugas untuk melakukan memberikan pelayanan administratif kepada semua satuan organisasi Kantor Pertanahan, serta menyiapkan bahan evaluasi kegiatan, penyusunan program, dan peraturan perundang-undangan. Fungsi dari Bagian Tata Usaha : a) pengelolaan data dan informasi; b) penyusunan rencana, program dan anggaran serta laporan akuntabilitas kinerja pemerintah; c) pelaksanaan urusan kepegawaian; d) pelaksanaan urusan keuangan dan anggaran; e) pelaksanaan urusan tata usaha, rumah tangga, sarana dan prasarana; f) penyiapan bahan evaluasi kegiatan dan penyusunan program; g) koordinasi pelayanan pertanahan. Subbagian Tata Usaha terdiri dari : a) Urusan Perencanaan dan Keuangan; b) Urusan Umum dan Kepegawaian. 2) Seksi Survei, Pengukuran, dan Pemetaan Bagian ini bertugas untuk melakukan survei, pengukuran dan pemetaan bidang tanah, ruang dan perairan; perapatan kerangka dasar, pengukuran batas kawasan/wilayah, pemetaan tematik dan survei potensi tanah, penyiapan pembinaan surveyor berlisensi dan pejabat penilai tanah. Seksi Survei, Pengukuran dan Pemetaan mempunyai fungsi : a) pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan bidang tanah, ruang dan perairan; perapatan kerangka dasar, pengukuran batas kawasan/wilayah, pemetaan tematik dan survei potensi tanah, pembinaan surveyor berlisensi;
liii
b) perapatan kerangka dasar orde 4 dan pengukuran batas kawasan/wilayah; c) pengukuran, perpetaan, pembukuan bidang tanah, ruang dan perairan; d) survei, pemetaan, pemeliharaan dan pengembangan pemetaan tematik dan potensi tanah; e) pelaksanaan kerjasama teknis surveyor berlisensi dan pejabat penilai tanah; f) pemeliharaan peralatan teknis. Seksi Survei, Pengukuran dan Pemetaan terdiri dari : a) Subseksi Pengukuran dan Pemetaan; b) Subseksi Tematik dan Potensi Tanah. 3) Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Bagian ini bertugas menyiapkan bahan dan melakukan penetapan hak dalam rangka pemberian, perpanjangan dan pembaruan hak tanah, pengadaan tanah, perijinan, pendataan dan penertiban bekas tanah hak; pendaftaran, peralihan, pembebanan hak atas tanah serta pembinaan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah mempunyai fungsi : a) pelaksanaan pengaturan dan penetapan di bidang hak tanah; b) penyiapan rekomendasi pelepasan, penaksiran harga dan tukarmenukar, saran dan pertimbangan serta melakukan kegiatan perijinan, saran dan pertimbangan usulan penetapan hak pengelolaan tanah; c) penyiapan telaahan dan pelaksanaan pemberian rekomendasi perpanjangan jangka waktu pembayaran uang pemasukan dan atau pendaftaran hak; d) pengadministrasian atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara, daerah bekerjasama dengan pemerintah, termasuk tanah badan hukum pemerintah;
liv
e) pendataan dan penertiban tanah bekas tanah hak; f) pelaksanaan pendaftaran hak dan komputerisasi pelayanan pertanahan; g) pelaksanaan penegasan dan pengakuan hak; h) pelaksanaan peralihan, pembebanan hak atas tanah dan pembinaan PPAT. Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah terdiri dari : a) Subseksi Penetapan Hak Tanah; b) Subseksi Pengaturan Tanah Pemerintah; c) Subseksi Pendaftaran Hak; d) Subseksi Peralihan, Pembebanan Hak dan Pejabat Pembuat Akta Tanah. 4) Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan Bagian ini bertugas untuk menyiapkan bahan dan melakukan penatagunaan
tanah,
landreform
konsolidasi
tanah,
penataan
pertanahan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu lainnya. Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan mempunyai fungsi : a) pelaksanaan penatagunaan tanah, landreform, konsolidasi tanah dan penataan pertanahan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu lainnya, penetapan kriteria kesesuaian penggunaan dan pemanfaatan tanah serta penguasaan dan
pemilikan
tanah
dalam
rangka
perwujudan
fungsi
kawasan/zoning, penyesuaian penggunaan dan pemanfaatan tanah, penerbitan ijin perubahan penggunaan tanah, penataan tanah bersama untuk peremajaan kota, daerah bencana dan daerah bekas konflik serta permukiman kembali; b) penyusunan rencana persediaan, peruntukan, penggunaan dan pemeliharaan tanah, neraca penatagunaan tanah kabupaten/kota dan kawasan lainnya;
lv
c) pemeliharaan basis data penatagunaan tanah kabupaten/kota dan kawasan; d) pemantuan penggunaan
dan dan
evaluasi
pemeliharaan
pemanfaatan
tanah
tanah,
pada
perubahan
setiap
fungsi
kawasan/zoning dan redistribusi tanah, pelaksanaan konsolidasi tanah, pemberian tanah obyek landreform dan pemanfaatan tanah bersama serta penertiban administrasi landreform; e) pengusulan
penetapan/penegasan
tanah
menjadi
obyek
landreform; f) pengambilalihan dan/atau penerimaan penyerahan tanah-tanah yang terkena ketentuan landreform; g) penguasaan tanah-tanah obyek landreform; h) pemberian ijin peralihan hak atas tanah pertanian dan ijin redistribusi tanah dengan luasan tertentu; i) penyiapan usulan penetapan surat keputusan redistribusi tanah dan pengeluaran tanah dari obyek landreform; j) penyiapan usulan ganti kerugian tanah obyek landreform dan penegasan obyek konsolidasi tanah; k) penyediaan tanah untuk pembangunan; l) pengumpulan, pengolahan, penyajiaan dan dokumentasi data landreform. m) pengelolaan sumbangan tanah untuk pembangunan. Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan terdiri dari : a) Subseksi Penatagunaan Tanah dan Kawasan Tertentu; b) Subseksi Landreform dan Konsolidasi Tanah 5) Seksi Pengendalian dan Pemberdayaan Bagian ini bertugas untuk menyiapkan bahan dan melakukan kegiatan pengendalian pertanahan, pengelolaan tanah negara, tanah terlantar dan tanah kritis serta pemberdayaan masyarakat.
lvi
Seksi Pengendalian dan Pemberdayaan mempunyai fungsi : a) pelaksanaan pengendalian pertanahan, pengelolaan tanah negara, tanah terlantar dan tanah kritis serta pemberdayaan masyarakat; b) pelaksanaan inventarisasi dan identifikasi pemenuhan hak dan kewajiban pemegang hak atas tanah, pemantauan dan evaluasi penerapan kebijakan dan program pertanahan dan program sektoral, pengelolaan tanah negara, tanah terlantar dan tanah kritis; c) pengkoordinasian
dalam
rangka
penyiapan
rekomendasi,
pembinaan, peringatan, harmonisasi dan pensinergian kebijakan dan program pertanahan dan sektoral dalam pengelolaan tanah negara, penanganan tanah terlantar dan tanah kritis; d) penyiapan saran tindak dan langkah-langkah penanganan serta usulan rekomendasi, pembinaan, peringatan, harmonisasi dan pensinergian kebijakan dan program pertanahan dan sektoral dalam pengelolaan tanah negara serta penanganan tanah terlantar dan tanah kritis; e) inventarisasi
potensi
masyarakat
marjinal,
asistensi
dan
pembentukan kelompok masyarakat, fasilitasi dan peningkatan akses ke sumber produktif; f) peningkatan partisipasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat dan mitra kerja teknis pertanahan dalam rangka pemberdayaan masyarakat; g) pemanfaatan tanah negara, tanah terlantar dan tanah kritis untuk pembangunan; h) pengelolaan basis data hak atas tanah, tanah negara, tanah terlantar, dan tanah kritis serta pemberdayaan masyarakat; i) penyiapan
usulan
keputusan
pembatalan
hubungan hukum atas tanah terlantar.
lvii
dan
penghentian
Seksi Pengendalian dan Pemberdayaan terdiri dari : a) Subseksi Pengendalian Pertanahan; b) Subseksi Pemberdayaan Masyarakat. 6) Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara Bagian ini bertugas untuk menyiapkan bahan dan melakukan kegiatan penanganan sengketa, konflik dan perkara pertanahan. Seksi Konflik, Sengketa dan Perkara mempunyai fungsi : a) pelaksanaan
penanganan
sengketa,
konflik
dan
perkara
pertanahan; b) pengkajian masalah, sengketa dan konflik pertanahan; c) penyiapan bahan dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan secara hukum dan non hukum, penanganan dan penyelesaian perkara, pelaksanaan alternatif penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan melalui bentuk mediasi, fasilitasi dan lainnya, usulan dan rekomendasi pelaksanaan putusan-putusan lembaga peradilan serta usulan rekomendasi pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah; d) pengkoordinasian penanganan sengketa, konflik dan perkara pertanahan; e) pelaporan penanganan dan penyelesaian konflik, sengketa dan perkara pertanahan. Seksi Konflik, Sengketa dan Perkara terdiri dari : a) Subseksi Sengketa dan Konflik Pertanahan; b) Subseksi Perkara Pertanahan. Adapun Struktur organisasi Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut :
lviii
Gambar 1. Struktur Organisasi Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
lix
B. Kerangka Pemikiran
Peraturan PerUU-an : 1. UUPA 2. UU No. 51 Tahun 1960 3. UU No. 30 Tahun 1999 4. PP No. 24 Tahun 1997 5. Keppres No. 34 Tahun 2003 6. Perpres No. 10 Tahun 2006 7. PMNA No. 3 Tahun 1997 8. PMNA/KBPN No. 1 Tahun 1999 9. PMNA/KBPN No. 9 Tahun 1999 10. PKBPN No. 3 Tahun 2006 11. PKBPN No. 4 Tahun 2006 12. KKBPN No. 12 Tahun 1992
INTERPRETASI
PENERAPAN HUKUM
1. Penyelesaian sengketa pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta 2. Tindak lanjut hasil penyelesaian sengketa pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta
1. Pelepasan hak atas tanah 2. Pemberian hak milik
KESIMPULAN
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
Dari kerangka pemikiran ini, penulis ingin memberikan gambaran guna menjawab perumusan masalah yang telah disebutkan pada awal penulisan hukum ini. Penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta beserta tindak lanjutnya diinterpretasikan
lx
terhadap Peraturan Perundang-undangan (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrasi dan APS, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Dan Kantor Pertanahan, Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun 1992 tentang Susunan dan Tugas Panitia Pemeriksaan Tanah). Dari Peraturan Perundangundangan itu lalu diterapkan ke dalam hasil penyelesaian sengketa (pelepasan hak atas tanah dan pemberian hak milik), kemudian dibuat kesimpulan mengenai penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta.
lxi
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro terjadi antara pemegang sertipikat hak atas tanah dengan masyarakat pendatang (urban) terhadap lahan seluas + 3093 m2 yang terletak di Kampung Kragilan Rt 08, Rw 24, Kelurahan Kadipiro. Sengketa itu bermula pada tahun 1997 ketika 54 masyarakat pendatang (urban) menempati tanah kosong yang tidak terurus dan tidak dimanfaatkan kurang lebih selama 15 tahun dengan mendirikan bangunan-bangunan untuk dijadikan tempat tinggal, sedangkan di atas tanah tersebut telah diterbitkan sertipikat hak milik kepada 15 orang pemegang hak atas tanah. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai hasil penelitian dan pembahasan ini, penulis sajikan alur pemikirannya sebagai berikut :
SENGKETA
MEDIASI
§ pertemuan`mediasi - pertemuan terpisah (kaukus) - pertemuan bersama § kesepakatan para pihak
-
inventarisasi dan identifikas / pengumpulan data pengolahan data analisa data laporan gelar perkara à petunjuk penyelesaian PROSES PEMBERIAN HAK MILIK
SELESAI
§ pelepasan hak atas tanah (dibuatkan akta / surat pelepasan hak atas tanah) § permohonan hak atas tanah
PANITIA “A”
SURAT KEPUTUSAN PEMBERIAN HAK MILIK
PENDAFTARAN SK PEMBERIAN HAK MILIK
SERTIPIKAT Gambar 3 : Alur Pemikiran
lxii
A. Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Kragilan, Kadipiro Oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta. Teridentifikasinya permasalahan pertanahan di Kampung Kragilan, Kadipiro ini bermula dari adanya inventarisasi dan identifikasi / pengumpulan data yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta dalam rangka pembuatan peta penyebaran konflik yang terdapat di Kota Surakarta. Berdasarkan hasil inventarisasi yang dilakukan tersebut, diketemukan 19 titik lokasi konflik pertanahan, salah satunya terletak di Kampung Kragilan, Kelurahan Kadipiro. Dari hasil inventarisasi itu, Kantor Pertanahan Kota Surakarta melalui Sub Seksi Penyelesaian Masalah Pertanahan melakukan pengumpulan data di wilayah sengketa, yaitu di Kampung Kragilan, Kadipiro. Adapun hasil identifikasi / pengumpulan data yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta, adalah sebagai berikut : 1. Tanah yang menjadi sengketa seluas + 3093 m2, terletak di Kampung Kragilan Rt 08, Rw 24, Kelurahan Kadipiro; 2. Bahwa di atas tanah tersebut telah didirikan bangunan tempat tinggal oleh 54 masyarakat pendatang (urban) atau okupusan sejak tahun 1997; 3. Bahwa di atas tanah tersebut sebenarnya telah diterbitkan sertipikat hak milik kepada 15 orang pemegang hak atas tanah, yaitu : a. Hak Milik Nomor 8590/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Supono seluas 208 m2. b. Hak Milik Nomor 9054/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Djasmin seluas 203 m2. c. Hak Milik Nomor 8916/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Gunawan suami Ny. Setiya Hati seluas 200 m2. d. Hak Milik Nomor 8634/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Anto Susanto seluas 200 m2. e. Hak Milik Nomor 8591/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Endang Sri Daryanti seluas 208 m2.
lxiii
f. Hak Milik Nomor 8540/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Ny. Sri Rusmini isteri Sriyadi Haryanto seluas 200 m2. g. Hak Milik Nomor 8972/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Helena Hartatiningsih seluas 199 m2. h. Hak Milik Nomor 8705/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Sudarno seluas 199 m2. i. Hak Milik Nomor 8561/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Ngadimin seluas 196 m2. j. Hak Milik Nomor 8589/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Widjiyanto seluas 196 m2. k. Hak Milik Nomor 8704/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Ny. Kustiyah seluas 196 m2. l. Hak Milik Nomor 8860/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Endang Sumartini seluas 196 m2. m. Hak Milik Nomor 8588/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Sugiyarti seluas 196 m2. n. Hak Milik Nomor 8861/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Suparno seluas 196 m2. o. Hak Milik Nomor 8973/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Suparno seluas 196 m2. 4. Bahwa pemegang Hak Atas Tanah menganggap 54 masyarakat pendatang (urban) atau okupusan tersebut menyerobot tanah mereka; 5. Tanah yang menjadi obyek sengketa terbagi atas 16 kapling, dimana tiap-tiap kapling luasnya + 140 m2; 6. Kondisi pemukiman kumuh, kebanyakan rumah-rumah terbuat dari bambu, kayu, seng (belum permanen). 7. Kondisi masyarakat (54 orang okupusan) miskin, pekerjaan tidak tetap, pendidikan kebanyakan lulusan SD, SLTP, dan SLTA.
lxiv
Dari hasil inventarisasi dan identifikasi / pengumpulan data itu, kemudian dilakukan pengolahan data oleh Sub Seksi Penyelesaian Masalah Pertanahan Kantor Pertanahan Kota Surakarta, sehingga dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Bahwa konflik yang terjadi di Kampung Kragilan, Kadipiro sudah terjadi sejak tahun 1997 antara 15 orang pemegang sertipikat dengan 54 orang okupusan terhadap lahan seluas + 3093 m2; 2. Pemukiman kumuh, okupusan miskin, tingkat pendidikan rendah; 3. Pekerjaan tidak tetap, kategori ekonomi lemah; 4. Masyarakatnya memungkinkan untuk diberdayakan. Hasil pengolahan data tersebut, selanjutnya dilakukan analisa dengan tujuan untuk dapat memetakan serta mengklasifikasi bentuk-bentuk konflik yang sedang dihadapi sehingga dapat merancang metode pendekatan yang efektif untuk mengatasinya. Adapun hasil daripada analisa yang dilakukan, diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Bahwa sengketa yang terjadi di Kampung Kragilan, Kadipiro antara 15 orang Pemegang Sertipikat dengan 54 orang okupusan dapat digolongkan dalam Tipologi Sengketa Penguasaan dan Kepemilikan, dalam socio crime dapat digolongkan ke dalam sengketa sebagai tindakan, artinya sengketa tersebut terjadi karena merupakan ekspresi perasaan dan pengartikulasian dari persepsi ke dalam suatu tindakan, untuk mendapatkan suatu kebutuhan (kebutuhan dasar, kepentingan dan kebutuhan akan identitas) yang memasuki wilayah kebutuhan orang lain. Dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk mendirikan bangunan-bangunan untuk dijadikan tempat tinggal di atas tanah yang sudah diterbitkan 15 sertipikat hak atas tanah. 2. Bahwa untuk meminimalkan akibat yang ditimbulkan oleh sengketa pertanahan yang terjadi masyarakat antara 15 orang pemegang sertipikat hak atas tanah dengan 54 orang okupusan, maka harus segera dilakukan penyelesaian terhadap sengketa yang terjadi.
lxv
3. Bahwa untuk itu perlu diadakan gelar perkara untuk mempertemukan kedua belah pihak, agar dapat dicari petunjuk penyelesaian yang tepat untuk mengakhiri sengketa yang terjadi di Kragilan, Kadipiro. Hasil analisa ini, kemudian dilaporkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kota Surakarta untuk segera ditindak lanjuti. Berdasar Surat Keputusan Kantor Pertanahan Kota Surakarta tanggal 6 Juni 2006 Nomor : 500/01/2006, bidang tanah tersebut telah ditetapkan sebagai lokasi dan peserta kegiatan Tata Laksana Pertanahan (P3HT) tahun anggaran 2006. Disamping itu, tindakan 54 orang okupusan tersebut merupakan bentuk tindak pidana yaitu pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 1960, dalam Pasal 2 dan Pasal 6 ayat (1) huruf a, bahwa pemakaian tanah tanpa izin dari yang berhak atau kuasanya yang sah adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman pidana. Namun demikian, dalam menyikapi konflik-konflik dan sengketa pertanahan yang timbul, harus melihat dari beberapa sudut pandang dengan tetap mengedepankan keadilan dan tidak merugikan kedua belah pihak, jadi tidaklah hanya dipandang dari sisi perbuatan okupusan saja, tetapi juga dari segi pemanfaatan dan penggunaan tanahnya oleh pemilik, apabila dari segi pemanfaatannya tanah tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal bahkan terkesan ditelantarkan oleh pemiliknya kurang lebih selama 15 tahun. Oleh karena itu, sebagai wujud keinginan dan kepedulian Pemerintah untuk menangani konflik dan sengketa pertanahan yang mempunyai implikasi langsung terhadap “korban” di bidang pertanahan, Badan Pertanahan Nasional dalam mengemban amanah untuk mengelola bidang pertanahan sesuai dengan Pasal 2 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional yang menyebutkan bahwa Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral, membentuk Deputi V Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (Pasal 343 Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia), yang selanjutnya di tingkat Propinsi yaitu pada
lxvi
Kantor Wilayah BPN dibentuk Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, sedangkan di tingkat Kabupaten / Kota, yaitu pada setiap Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota, dalam hal ini Kantor Pertanahan Kota Surakarta dibentuk Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara (Pasal 4 dan Pasal 32 Peraturan Kepala BPN No 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Dan Kantor Pertanahan), dan sebagaimana Tugas Pokok dan Fungsinya, dalam menyelesaikan sengketa pertanahan antara 54 orang okupusan dengan 15 orang pemegang hak atas tanah tersebut, dengan tetap mengedepankan keadilan, langkah yang ditempuh salah satunya adalah dengan melaksanakan mediasi. Untuk lebih jelasnya, berikut ini penulis akan memaparkan proses penyelesaian sengketa di Kampung Kragilan, Kadipiro yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta melalui mediasi. Pada hari Selasa, tanggal 17 Oktober 2006, diadakan gelar perkara untuk mempertemukan kedua belah pihak yaitu pihak okupusan dan pemegang sertipikat hak atas tanah oleh Kantor Pertanahan Surakarta sekaligus mencari solusi penyelesaian bersama untuk menyelesaikan sengketa pertanahan yang terjadi di Kragilan, Kadipiro. Untuk mempertemukan kedua belah pihak, dalam melakukan pendekatan terhadap pihak okupusan dilakukan oleh Suroso (Lurah Gandean), sedangkan pendekatan terhadap pihak pemegang sertipikat Hak Atas Tanah dilakukan oleh Darsono (Pengacara). Dalam gelar perkara ini, Kantor Pertanahan Kota Surakarta mendorong para pihak untuk tidak bertahan pada pola pikir yang posisional, tetapi harus bersikap terbuka dan mencari alternative penyelesaian pemecahan masalah bersama. Di sini Kantor Pertanahan Kota Surakarta memberikan alternative penyelesaian guna menyelesaikan sengketa diantara kedua belah pihak tersebut, yaitu dengan melalui jalur mediasi untuk mencapai suatu kesepakatan / perdamaian bersama. Dari gelar perkara yang dilakukan di salah satu rumah warga, tepatnya di rumah Paijo (Ketua Rt 08, Rw 24 Kampung Kragilan, Kelurahan Kadipiro, Kecamatan Banjarsari Surakarta) yang dihadiri oleh Naniek Suprijatni Urip
lxvii
Redjeki (Lurah Kadipiro) dan Muh. Yani (PEMDA), Tri Warsito Purwatno, dan kawan-kawan (54 orang) okupusan, dan pihak pemegang sertipikat Hak Atas Tanah (15 orang) yang diwakili oleh Suroso (Lurah Gandean) dan Suwardi, para pihak sepakat untuk menyelesaikan permasalahan di antara mereka secara musyawarah (perdamaian) melalui jalur mediasi dengan menunjuk Kantor Pertanahan Kota Surakarta sebagai perantara perdamaian / pihak penengahnya (mediator). Sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, bahwa kesepakatan / perjanjian yang dibuat secara sah antara kedua belah pihak ini berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi, para pihak harus mematuhi apa yang menjadi kesepakatan mereka bersama. Penyelesaian sengketa secara musyawarah dengan jalur mediasi yang disepakati oleh kedua belah pihak, yaitu Tri Warsito Purwatno, dan kawankawan (54 orang), serta 15 orang pemegang sertipikat hak atas tanah tersebut telah sesuai dengan prinsip-prinsip mediasi, mengingat tujuan utama mediasi adalah untuk menyelesaikan masalah, bukan sekedar menerapkan norma maupun menciptakan ketertiban saja namun dalam pelaksanaannya juga harus didasarkan prinsip-prinsip umum sebagai berikut : 1. Sukarela Prinsip ini sangat penting karena para pihak mempunyai kehendak yang bebas untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek sengketa. Hal ini dimaksudkan agar dikemudian hari tidak terdapat keberatan-keberatan atas kesepakatan yang telah diambil dalam rangka penyelesaian sengketa tersebut. 2. Independen dan tidak memihak Penyelesaian sengketa melalui mediasi harus bebas dari pengaruh pihak manapun, baik dari masing-masing pihak, mediator maupun pihak ketiga. Untuk itu mediator harus independen dan netral. 3. Hubungan personal antara pihak Penyelesaian sengketa selalu akan difokuskan pada substansi persoalan, untuk mencari penyelesaian yang lebih baik daripada sekedar rumusan
lxviii
kesepakatan yang baik. Hubungan antar para pihak diupayakan tetap terjaga meskipun persengketaannya telah selesai. Inilah yang menjadi alasan mengapa penyelesaian sengketa melalui mediasi bukan saja berupaya mencari solusi terbaik, tetapi juga solusi tersebut tidak mempengaruhi hubungan personal. Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi dimana Kantor Pertanahan Kota Surakarta sebagai mediatornya ini perlu dilandasi dengan kewenangankewenangan yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Hal ini penting sebagai landasan Kantor Pertanahan Kota Surakarta untuk menjadi mediator di dalam penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro. Urusan pertanahan dikuasai oleh aspek hukum publik dan hukum privat, maka tidak semua sengketa pertanahan dapat diselesaikan melalui lembaga mediasi, hanya sengketa pertanahan yang dalam kewenangan sepenuhnya dari pemegang hak saja yang dapat diselesaikan melalui lembaga mediasi. Oleh karena itu, kesepakatan dalam rangka penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan pembatasan-pembatasan, hal ini dimaksudkan agar putusan mediasi tersebut tidak melanggar hukum serta dapat dilaksanakan secara efektif di lapangan. Adapun pembatasan-pembatasan dalam penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro ini, yaitu segala hal yang merupakan bentuk kesepakatan dari kedua belah pihak, misalnya mengenai bentuk penyelesaian, penunjukan pihak mediator, masalah tempat dan waktu pertemuan, dan sebagainya. Dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, dinyatakan bahwa penanganan penyelesaian masalah / sengketa pertanahan di tingkat Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya ditugaskan kepada Kepala Seksi Hak Atas Tanah dengan dibantu oleh pejabat/petugas terkait dari Kantor Pertanahan. Guna lebih menegaskan ketentuan yang dimaksud Pasal 6 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, maka Kantor Pertanahan Kota Surakarta mengeluarkan Keputusan Kepala Kantor Pertanahan
lxix
Kota Surakarta Nomor 570/724/2005 tentang Pembentukan Sekretariat Penanganan Sengketa Pertanahan Kantor Pertanahan Kota Surakarta, dengan susunan keanggotaan yang terdiri dari pejabat di Kantor Pertanahan Kota Surakarta sebagai berikut : 1. Ketua merangkap anggota
: Kepala Seksi Hak-Hak Atas Tanah
2. Sekretaris merangkap anggota
: Kepala Sub Seksi Penyelesaian Masalah Pertanahan
3. Anggota
: a. Kepala Sub Bagian Tata Usaha b. Kepala
Seksi
Pengukuran
dan
Pendaftaran Tanah c. Kepala Seksi Penatagunaan Tanah d. Kepala
Seksi
Pengaturan
Penguasaan Tanah e. Kepala Sub Seksi Rencana dan Bimbingan Penatagunaan Tanah f. Kepala
Sub
Seksi
Penataan,
Penguasaan dan Pemilikan Tanah g. Kepala
Sub
Seksi
Pengukuran,
Pemetaan dan Konversi Sekretariat Penanganan Sengketa Pertanahan Kantor Pertanahan Kota Surakarta ini mempunyai tugas sebagai berikut : 1. Menerima pengaduan masalah/sengketa pertanahan dari masyarakat. 2. Melakukan koordinasi dengan seksi yang lain terhadap penanganan sengketa Pertanahan. 3. Melaksanakan Penanganan Sengketa Pertanahan Kantor Pertanahan Kota Surakarta. 4. Melakukan pengadministrasian secara periodik dan dilaporkan secara berjenjang kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Tengah.
lxx
Sebagai perantara perdamaian / pihak penengah (mediator), Kantor Pertanahan Kota Surakarta kemudian meminta kepada kedua belah pihak untuk menyerahkan
dokumen-dokumen,
surat-surat
yang
diperlukan
untuk
membuktikan penguasaan tanah di Kampung Kragilan Rt 08, Rw 24, Kelurahan Kadipiro. Oleh pihak pemegang sertipikat hak atas tanah, menyerahkan sertipikat hak milik atas tanah di Kampung Kragilan Rt 8, Rw 24, Kelurahan Kadipiro, diantaranya : 1. Hak Milik Nomor 8590/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Supono seluas 208 m2. 2. Hak Milik Nomor 9054/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Djasmin seluas 203 m2. 3. Hak Milik Nomor 8916/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Gunawan suami Ny. Setiya Hati seluas 200 m2. 4. Hak Milik Nomor 8634/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Anto Susanto seluas 200 m2. 5. Hak Milik Nomor 8591/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Endang Sri Daryanti seluas 208 m2. 6. Hak Milik Nomor 8540/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Ny. Sri Rusmini isteri Sriyadi Haryanto seluas 200 m2. 7. Hak Milik Nomor 8972/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Helena Hartatiningsih seluas 199 m2. 8. Hak Milik Nomor 8705/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Sudarno seluas 199 m2. 9. Hak Milik Nomor 8561/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Ngadimin seluas 196 m2. 10. Hak Milik Nomor 8589/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Widjiyanto seluas 196 m2. 11. Hak Milik Nomor 8704/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Ny. Kustiyah seluas 196 m2.
lxxi
12. Hak Milik Nomor 8860/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Endang Sumartini seluas 196 m2. 13. Hak Milik Nomor 8588/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Sugiyarti seluas 196 m2. 14. Hak Milik Nomor 8861/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Suparno seluas 196 m2. 15. Hak Milik Nomor 8973/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Suparno seluas 196 m2. Sedangkan dari pihak okupusan menyerahkan surat keterangan tanah dari Kepala Kalurahan Kadipiro tanggal 3 Oktober 2006 No. 590/01 s/d 54/06 yang menyatakan bahwa tanah tersebut merupakan tanah Negara yang belum ada alas hak di atasnya dan surat pernyataan (penguasaan atau penggarapan) tanah dimana tanah tersebut sampai saat ini dikuasai oleh 54 orang okupusan yang dipergunakan untuk rumah tempat tinggal. Musyawarah penyelesaian sengketa di Kampung Kragilan, Kadipiro antara pihak okupusan dan pihak pemegang sertipikat hak atas tanah dilaksanakan sebanyak 9 kali pertemuan mediasi. Dalam hal ini, Kantor Pertanahan Kota Surakarta sebagai mediator terjun langsung ke wilayah sengketa untuk melakukan pendekatan kepada masing-masing dibantu oleh Camat dan Lurah setempat. Untuk lebih jelasnya, penulis akan memaparkan jalannya pertemuan mediasi sebagai berikut : 1. Pertemuan Pertama Pertemuan pertama yang diselenggarakan pada tanggal 19 Oktober 2006 di rumah Hadi Wardoyo (Ketua Rw 24 Kampung Kragilan, Kelurahan Kadipiro), yang dihadiri oleh Naniek Suprijatni Urip Redjeki (Lurah Kadipiro), Hasta Gunawan (Camat Banjarsari), Tri Warsito Purwatno, dan kawan-kawan (54 orang) okupusan, pihak pemegang sertipikat Hak Atas Tanah yang diwakili oleh Suroso, Suwardi, dan Sholeh, serta Kantor Pertanahan Kota Surakarta yang diwakili oleh Ari Machkota, Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah sebagai pihak mediator, itu diawali
lxxii
dengan pembahasan mengenai klausula-klausula yang akan dijadikan sebagai materi dalam mencapai sebuah kesepakatan. Klausula-klausula tersebut diantaranya : a. Bahwa Kantor Pertanahan Kota Surakarta selaku pihak mediator akan membantu para pihak dalam menganalisa pendekatan-pendekatan sebagai sarana dalam mengatasi permasalahan yang terjadi, yaitu dengan menjalin hubungan dengan masing-masing pihak yang bersengketa. b. Pihak mediator akan mengadakan pertemuan bersama untuk merumuskan masalah dan mencari penyelesaian bersama guna mengakhiri sengketa. 2. Pertemuan Kedua Pertemuan kedua dilakukan pada tanggal 23 Oktober 2006, dimulai pukul 15.00 WIB bertempat di Kelurahan Kadipiro dengan agenda pertemuan antara mediator dengan 15 orang pemegang sertipikat hak atas tanah. Pertemuan ini diawali pembukaan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta sebagai mediator, kemudian dilanjutkan : a. Penjelasan mengenai peran mediator dalam menyelesaian permasalahan yang terjadi di Kampung Kragilan, Kadipiro oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta. b. Memberikan wawasan kepada para pihak bahwa proses mediasi dapat berlangsung
berdasarkan
pendekatan
kompetitif,
kompromistis,
akomodatif atau kolabortif. c. Penjelasan oleh pihak mediator mengenai kekuatan dan kelemahan masing-masing pendekatan. Dari pertemuan dengan 15 orang pemegang sertipikat Hak Atas Tanah tersebut, kesimpulannya adalah : a. Bahwa pihak pemegang sertipikat menganggap pihak okupusan (54 orang) itu telah melakukan penyerobotan tanah dengan mendirikan bangunan untuk tempat tinggal di atasnya tanpa seijin mereka. b. Bahwa pihak pemegang sertipikat hak atas tanah (15 orang) selaku pemilik atau pemegang hak atas sebidang tanah Hak Milik No. 8590, No.
lxxiii
9554, No. 8916, No. 8634, No. 8591, No. 8540, No. 8972, No. 8755, No. 8561, No. 8589, No. 8754, No. 8860, No. 8588, No. 8861, No. 8971 bersedia melepaskan hak atas tanah mereka asalkan mendapatkan ganti kerugian dari pihak okupusan. 3. Pertemuan Ketiga Seperti halnya pada pertemuan kedua, pertemuan ketiga yang dilakukan di rumah Hadi Wardoyo (Ketua Rw 24 Kampung Kragilan, Kelurahan Kadipiro) pada tanggal 24 Oktober 2006 dengan agenda pertemuan antara mediator dengan pihak Tri Warsito Purwatno, dan kawankawan (54 orang) okupusan ini juga diawali dengan pembukaan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta sebagai mediator, kemudian dilanjutkan dengan : a. Penjelasan mengenai peran mediator dalam menyelesaian permasalahan yang terjadi di Kampung Kragilan, Kadipiro oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta. b. Memberikan wawasan kepada para pihak bahwa proses mediasi dapat berlangsung
berdasarkan
pendekatan
kompetitif,
kompromistis,
akomodatif atau kolabortif. c. Penjelasan oleh pihak mediator mengenai kekuatan dan kelemahan masing-masing pendekatan. Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari pertemuan dengan Tri Warsito Purwatno, dan kawan-kawan (54 orang) okupusan tersebut, yaitu : a. Bahwa mereka telah menempati tanah di Kragilan, Kadipiro sejak terjadinya krisis ekonomi di Indonesia serta maraknya aksi demonstrasi sekitar tahun 1997. Karena terdesak akan kebutuhan hidup yang semakin kompleks, mereka mendirikan bangunan-bangunan untuk dijadikan tempat tinggal di daerah Kragilan Rt 08, Rw 24, Kelurahan Kadipiro. b. Pada mulanya mereka tidak tahu kalau di atas tanah tersebut sudah diterbitkan 15 sertipikat Hak Milik, mereka baru tahu setelah adanya inventarisasi dan pengumpulan data oleh Kantor Pertanahan Kota
lxxiv
Surakarta yang menyebutkan bahwa di atas tanah tersebut sudah di diterbitkan 15 sertipikat hak atas tanah. c. Bahwa pihak okupusan (54 orang) tidak mau kalau mereka dianggap melakukan penyerobotan tanah karena mereka memiliki surat keterangan tanah yang menyatakan tanah tersebut merupakan tanah Negara dan surat pernyataan (penguasaan atau penggarapan) tanah dari Kepala Kalurahan Kadipiro tanggal 3 Oktober 2006 No. 590/01 s/d 54/2006 dimana tanah tersebut sampai saat ini mereka kuasai untuk rumah tempat tinggal. d. Bahwa dengan berdasar surat pernyataan (penguasaan atau penggarapan) tanah tanggal 3 Oktober 2006 dan surat keterangan tanah dari Kepala Kalurahan Kadipiro itu, mereka telah mengajukan Surat Permohonan Hak Milik Atas Tanah pada tanggal 3 Oktober 2006 kepada Kantor Pertanahan Kota Surakarta. Tujuan diadakannya pertemuan terpisah baik dengan 54 orang okupusan maupun dengan 15 orang pemegang sertipikat Hak Atas Tanah oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta ini adalah : a. Menjalin hubungan dengan para pihak. b. Membangun kepercayaan para pihak yang bersengketa. c. Memberikan wawasan kepada para pihak tentang prosedur atau tata cara mediasi. d. Menjelaskan peran mediator e. Menyediakan ruang bagi para pihak untuk dapat merefleksikan persoalan secara individual dan privat mengenai : 1) apa yang terjadi 2) apa yang dirasakan 3) bagaimana hal ini bisa diselesaikan 4) apakah proses mediasi dan pendekatan win-win solution bisa membantu
lxxv
4. Pertemuan Keempat Pertemuan keempat dilakukan pada tanggal 25 Oktober 2006, dimulai pukul 15.00 WIB bertempat Kelurahan Kadipiro dengan agenda penyampaian hasil pertemuan dengan pihak okupusan kepada pihak pemegang sertipikat hak atas tanah. Pada pertemuan keempat ini, pada intinya adalah merumuskan kembali pernyataan-pernyataan yang dikemukakan oleh pihak okupusan kepada pihak pemegang hak atas tanah oleh mediator. Adapun kesimpulan dari pertemuan ini, yaitu : a. Bahwa Kantor Pertanahan Kota Surakarta sebagai pihak mediator, memberikan saran kepada pemegang sertipikat hak atas tanah agar di dalam menentukan besarnya ganti kerugian untuk pelepasan hak atas tanah, mereka mempertimbangkan terlebih dahulu dengan melihat kondisi daripada pihak okupusan. b. Bahwa pihak pemegang sertipikat hak atas tanah meminta pembayaran ganti rugi sebesar Rp 50.000/m2, di mana pada waktu itu harga pasar sebesar Rp 150.000,-/m2, mengingat keadaan okupusan yang miskin. 5. Pertemuan Kelima Pertemuan kelima dilakukan pada tanggal 26 Oktober 2006, dimulai pukul 15.00 WIB bertempat di rumah Hadi Wardoyo (Ketua Rw 24 Kampung Kragilan, Kelurahan Kadipiro) dengan agenda penyampaian hasil pertemuan dengan pihak pemegang sertipikat hak atas tanah kepada pihak okupusan. Seperti halnya pada pertemuan keempat, pertemuan kelima ini pada intinya juga merumuskan kembali pernyataan-pernyataan yang dikemukakan oleh pihak pemegang sertipikat hak atas tanah kepada pihak okupusan oleh mediator. Dari pertemuan ini, kesimpulannya adalah : a. Bahwa Kantor Pertanahan Kota Surakarta sebagai pihak mediator, memberikan saran kepada Tri Warsito Purwatno, dan kawan-kawan (54
lxxvi
orang) agar mereka bersedia memberikan ganti kerugian kepada pemegang hak atas tanah sebesar Rp 50.000/m2 seperti yang ditawarkan atau jika tidak mampu membayar ganti rugi tersebut sebaiknya pindah dari lahan itu untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan terjadinya konflik yang berkepanjangan mengingat dokumen-dokumen yang mereka (54 orang okupusan) serahkan tidak mempunyai kepastian dan kekuatan hukum yang kuat. b. Bahwa pihak okupusan (54 orang) terpecah menjadi 2 kelompok, di mana 33 orang sepakat untuk memberikan ganti rugi kepada pihak pemegang sertipikat hak atas tanah, sedangkan 21 orang yang menamakan kelompoknya “Kubu 21” dibawah YAPI (Yayasan Pengabdian Hukum Indonesia) yang dipimpin oleh Yusuf, menolak untuk memberikan ganti kerugian dengan alasan : 1) Bahwa berdasarkan surat keterangan tanah dari Kepala Kelurahan Kadipiro tanggal 3 Oktober 2006 No. 590/01 s/d 54/06, tanah tersebut merupakan tanah Negara yang belum ada alas hak di atasnya. 2) Bahwa berdasarkan surat pernyataan (penguasaan atau penggarapan) tanah tanggal 3 Oktober 2006 dari Kepala Kelurahan Kadipiro, sampai saat ini tanah tersebut masih mereka kuasai untuk dipergunakan sebagai rumah tempat tinggal 3) Bahwa untuk memperoleh hak milik atas tanah tersebut, tidak perlu membayar ganti rugi karena berdasarkan surat keterangan tanah dari Kepala Kelurahan Kadipiro tanggal 3 Oktober 2006 No. 590/01 s/d 54/06, tanah tersebut merupakan tanah Negara, jadi hanya melalui permohonan hak atas tanah saja kepada Kantor Pertanahan Kota Surakarta. 6. Pertemuan Keenam, Ketujuh dan Kedelapan Agenda dalam pertemuan keenam, ketujuh dan kedelapan yang dilakukan di Kecamatan Banjarsari ini adalah mempertemukan para pihak yang bersengketa, yaitu antara 54 orang okupusan dan 15 orang pemegang
lxxvii
sertipikat Hak Atas Tanah yang diwakili oleh Suroso, Suwardi, dan Sholeh. Berikut pemaparan mengenai pertemuan keenam, ketujuh dan kedelapan : Pertemuan Keenam dilakukan pada tanggal 14 November 2006, dimulai pukul 15.00 WIB dengan merumuskan permasalahan yang dihadapi, yaitu adanya perpecahan dari pihak okupusan, dimana 33 orang sepakat untuk melakukan pembayaran ganti rugi, sedangkan 21 orang (kubu 21) menolak untuk memberikan ganti rugi. Setelah sekitar satu jam pertemuan berlangsung, terjadi perdebatan yang sengit sampai-sampai salah satu peserta dari kubu 21 keluar dari pertemuan. Akhirnya pada pukul 17.30 WIB pihak kubu 21 bersedia membayar ganti rugi dimana besarnya ganti kerugian akan dibahas pada pertemuan selanjutnya. Pertemuan Ketujuh dilakukan pada pada tanggal 21 November 2006, dimulai pukul 15.00 WIB. Dalam pertemuan kali ini Kantor Pertanahan sebagai pihak mediator melakukan pendekatan kepada para pihak, antara lain dengan tujuan untuk menetapkan kesepakatan harga, sehingga masingmasing pihak tidak merasa dirugikan. Adapun kesimpulan dari pertemuan ketujuh ini, yaitu : a. Bahwa kubu 21 bersedia membayar ganti rugi asalkan besarnya ganti rugi Rp 20.000/m2. b. Pihak pemegang hak atas tanah juga bersedia memberikan ganti rugi sebagai tali asih sebesar Rp 20.000/m2 kepada pihak okupusan agar mereka menyerahkan tanahnya / mengosongkan tanah itu. c. Penawaran dari mediator dengan ganti rugi sebesar antara Rp 20.000/m2 s/d Rp 50.000/m2 disesuaikan dengan luas tanah yang dikehendaki oleh pihak okupusan. d. Tiga puluh tiga (33) orang setuju dalam kesepatan yang diambil mengenai ganti rugi antara pihak pemegang hak atas tanah dengan kubu 21. Pertemuan Kedelapan dilakukan pada pada tanggal 28 November 2006, dimulai pukul 15.00 WIB. Pada pertemuan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa pihak pemegang hak atas tanah bersedia melepaskan hak
lxxviii
atas tanahnya dengan ganti rugi sebesar antara Rp 20.000/m2 s/d Rp 50.000/m2 seperti yang ditawarkan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta sebelumnya, disesuaikan dengan luas tanah yang dikehendaki oleh pihak okupusan. 7. Pertemuan Kesembilan Dari beberapa pertemuan mediasi yang dilakukan antara 54 orang okupusan dan 15 orang pemegang sertipikat Hak Atas Tanah, akhirnya pada tanggal 4 Desember 2006 bertempat di Kantor Pertanahan Kota Surakarta dihasilkan sebuah kesepakatan diantara kedua belah pihak yang dituangkan dalam Berita Acara Kesepakatan, yaitu : a. Bahwa 15 orang selaku pemilik atau pemegang hak atas sebidang tanah Hak Milik No. 8590, No. 9554, No. 8916, No. 8634, No. 8591, No. 8540, No. 8972, No. 8755, No. 8561, No. 8589, No. 8754, No. 8860, No. 8588, No. 8861, No. 8971 dengan luas keseluruhan + 2989 m2 yang kesemuanya terletak di Kragilan Rt 08 Rw 024 Kalurahan Kadipiro, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta melalui kuasanya, Suwardi, menyatakan melepaskan Hak Atas Tanahnya, dengan ganti rugi uang sejumlah Rp 59.620.000 (lima puluh sembilan juta enam ratus dua puluh ribu rupiah), masing-masing KK mendapatkan uang ganti rugi antara Rp 20.000/m2 s/d Rp 50.000/m2, sehingga tanahnya tersebut menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan sertipikat tidak berlaku lagi sebagai tanda bukti yang sah. b. Sebagai pihak yang melepaskan Hak Atas Tanah, mereka menjamin bahwa : 1) Atas tanah tersebut tidak terkena sitaan dan tersangkut dalam suatu perkara 2) Tanah tersebut tidak dibebani dengan Hak Tanggungan / tidak dijadikan jaminan hutang dengan cara apapun 3) Tanah tersebut belum pernah dilepaskan / diserahkan kepada pihak lain dengan cara apapun
lxxix
4) Tidak ada pihak lain yang turut mempunyai Hak Atas Tanah tersebut 5) Bahwa dengan kesepakatan ini, pemegang hak akan melepaskan hak atas tanahnya, dan kemudian akan dimohonkan haknya oleh Tri Warsito Purwatno, dan kawan-kawan (54 orang). Berdasarkan hasil penelitian mengenai penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta di atas, dapat penulis analisa bahwa penyelesaian yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai fungsi Kantor Pertanahan Kota Surakarta. Dalam hal ini, sebagai salah satu wujud kepedulian dalam menangani konflik dan sengketa pertanahan yang mempunyai implikasi langsung terhadap “korban” di bidang pertanahan, dalam mengemban amanah untuk mengelola bidang pertanahan sesuai dengan Pasal 2 dan Pasal 3 huruf n Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, di tingkat Kabupaten / Kota, Kantor Pertanahan Kota Surakarta, melalui Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara sebagaimana Tugas Pokok dan Fungsinya dalam menyelesaikan sengketa pertanahan antara 54 orang okupusan dengan 15 orang pemegang hak atas tanah tersebut, langkah yang ditempuh salah satunya adalah pelaksanaan alternatif penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan melalui bentuk mediasi (Pasal 54 huruf c Peraturan Kepala BPN No 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Dan Kantor Pertanahan). Kemudian dasar penyelesaian sengketa pertanahan yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta ini diperkuat lagi dengan pernyataan Kepala BPN-RI, Joyo Winoto, dalam pidato sambutannya pada peringatan Hari Agraria Nasional dan peringatan UUPA ke-47 tanggal 24 September 2007, serta dalam pelantikan Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat pada tanggal 29 Oktober 2007, yang menyatakan bahwa jajaran BPN-RI harus mampu melakukan koordinasi secara baik dan bermakna dengan seluruh jajaran Pemerintah Daerah dalam hal pengawasan dan pengendalian atas 9 urusan pertanahan yang sekarang dikelola daerah sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang
lxxx
Pertanahan, di mana salah satunya yaitu mengenai penyelesaian sengketa tanah garapan (Pasal 2 ayat (2) huruf e) dan saling mengisi dalam rangka mendukung dan mempercepat proses pembangunan. Kaitannya dengan unit kerja yang bertugas melakukan penanganan penyelesaian masalah / sengketa pertanahan di tingkat Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya, juga telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan seperti yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan di mana dinyatakan bahwa penanganan penyelesaian masalah / sengketa pertanahan di tingkat Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya ditugaskan kepada Kepala Seksi Hak Atas Tanah dengan dibantu oleh pejabat/petugas terkait dari Kantor Pertanahan. Dan untuk lebih menegaskan ketentuan yang dimaksud dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 tersebut, maka Kantor Pertanahan Kota mengeluarkan Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kota Surakarta Nomor 570/724/2005 tentang Pembentukan Sekretariat Penanganan Sengketa Pertanahan Kantor Pertanahan Kota Surakarta, dengan susunan keanggotaan yang terdiri dari : Kepala Seksi Hak-Hak Atas Tanah (ketua merangkap anggota), Kepala Sub Seksi Penyelesaian Masalah Pertanahan (sekretaris merangkap anggota), Kepala Sub Bagian Tata Usaha (anggota), Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah (anggota), Kepala Seksi Penatagunaan Tanah (anggota), Kepala Seksi Pengaturan Penguasaan Tanah (anggota), Kepala Sub Seksi Rencana dan Bimbingan Penatagunaan Tanah (anggota), Kepala Sub Seksi Penataan, Penguasaan dan Pemilikan Tanah (anggota), dan Kepala Sub Seksi Pengukuran, Pemetaan dan Konversi (anggota). Kantor Pertanahan Kota Surakarta sebagai pihak mediator dalam menyelesaikan sengketa antara 15 orang pemegang sertipikat dengan 54 orang okupusan ini merupakan salah satu contoh dari tipe mediator autoritatif. Mediator tipe ini biasanya mediator yang bekerja di instansi pemerintah. Dalam hal ini, mediator adalah seseorang atau tim yang bekerja di instansi pemerintah. Ciri mediator ini antara lain, kalau menjalankan tugasnya mereka berwenang
lxxxi
membuat keputusan, tetapi mereka sendiri tidak ingin menggunakan kewenangan itu, bersama-sama dengan para pihak mencoba mencari penyelesaian yang adil dan menyeluruh dalam batas-batas kewenangan yang dimiliki, sedikit banyak menggunakan pengaruh atau wibawa kewenangan untuk mempengaruhi para pihak dan mempunyai sumber daya untuk membantu pemantauan dan implementasi kesepakatan. Pada dasarnya mereka berusaha membantu pihakpihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan diantara mereka, tetapi si mediator sesungguhnya memiliki posisi yang kuat dan berpengaruh, sehingga mereka memiliki potensi atau kapasitas untuk mempengaruhi hasil akhir dari sebuah proses mediasi. Namun, seorang mediator autoritatif selama ia menjalankan peran sebagai mediator tidak menggunakan kewenangan atau pengaruhnya itu karena didasarkan pada keyakinan atau pandangannya, bahwa pemecahan yang terbaik terhadap sebuah kasus bukanlah ditentukan oleh dirinya sebagai pihak yang berpengaruh atau berwenang, tetapi harus dihasilkan oleh upaya-upaya pihak-pihak yang bersengketa sendiri.
B. Hasil Penyelesaian Sengketa Pertanahan Oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta Sebagai Dasar Pemberian Hak Milik Kepada Okupusan Tanah di Kragilan, Kadipiro Berdasarkan hasil kesepakatan mediasi, di mana 15 orang pemegang sertipikat Hak Atas Tanah dengan Hak Milik No. 8590, No. 9554, No. 8916, No. 8634, No. 8591, No. 8540, No. 8972, No. 8755, No. 8561, No. 8589, No. 8754, No. 8860, No. 8588, No. 8861, No. 8971 bersedia melepaskan Hak Atas Tanah mereka dengan menerima ganti rugi sebesar Rp 59.620.000 (lima puluh sembilan juta enam ratus dua puluh ribu rupiah), masing-masing KK mendapatkan uang ganti rugi antara Rp 20.000/m2 s/d Rp 50.000/m2, sehingga tanah yang sebelumnya mereka miliki tersebut statusnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara, maka untuk dapat melaksanakan / merealisasikan pemberian hak milik atas tanah tersebut kepada Tri Warsito Purwatno, dan kawan-kawan (54 orang) berdasarkan surat permohonan hak milik yang mereka ajukan, hasil dari kesepakatan mediasi tersebut harus diwujudkan dalam bentuk
lxxxii
akta kesepakatan terlebih dahulu oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta, yaitu dalam bentuk Akta / Surat Pelepasan Hak Atas Tanah. Untuk itu, sebagai tindak lanjutnya, pada tanggal 5 Desember 2006 dibuatlah Surat Pelepasan Hak Atas Tanah oleh pihak okupusan melalui kuasanya (Suwardi) di hadapan Kepala Kantor Surakarta dengan diketahui oleh Camat Banjarsari. Setelah Surat
Pelepasan Hak
Atas
Tanah
itu
dibuat,
dengan
mempertimbangkan permohonan hak milik yang diajukan oleh pihak okupusan (54 orang), kemudian surat pelepasan tersebut diajukan ke Kantor Pertanahan untuk didaftarkan permohonan haknya. Selanjutnya, terhadap berkas-berkas permohonan yang telah diajukan, dilakukan pemeriksaan dan penelitian oleh Panitia Pemeriksaan Tanah “A” meliputi data fisik maupun data yuridis baik di lapangan maupun di kantor dalam rangka penyelesaian permohonan pemberian hak milik. Pemeriksaan dan penelitian oleh Panitia Pemeriksaan Tanah “A” dilaksanakan untuk memperoleh kebenaran formal atas data yuridis dalam rangka pemberian Hak Milik. Mengenai kebenaran materiil dari warkah / berkas yang diajukan dalam rangka permohonan sepenuhnya merupakan tanggung jawab pemohon. Berdasarkan Pasal 2 Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Susunan dan Tugas Panitia Pemeriksaan Tanah, susunan Panitia Pemeriksaan Tanah “A” terdiri dari : 1. Kepala Seksi Hak-Hak Atas Tanah atau Staf Seksi Hak-Hak Atas Tanah yang senior dari Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya, sebagai Ketua merangkap anggota; 2. Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah atau Staf Seksi Pengukuran dan Pendaftaran yang senior dari Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya, sebagai Wakil Ketua merangkap anggota; 3. Kepala Seksi atau Staf Seksi Pengaturan Penguasaan Tanah, Kepala Seksi atau
Staf
Seksi
Penatagunaan
Tanah
dari
Kantor
Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya dan Kepala Desa/Lurah yang bersangkutan atau aparat desa/kelurahan yang ditunjuk untuk mewakili, sebagai anggota;
lxxxiii
4. Kepala Sub Seksi Pengurusan Hak-Hak Atas Tanah atau Staf Sub Seksi Pengurusan Hak-Hak Atas Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya, sebagai Sekretaris merangkap anggota; Adapun susunan Panitia Pemeriksaan Tanah “A” dalam memeriksa dan meneliti data fisik maupun data yuridis terhadap permohonan yang diajukan oleh pihak okupusan, adalah sebagai berikut : 1. Ari Machkota
:
Kepala
Seksi
Hak
Pendaftaran
Tanah
Tanah
dan
Kantor
Pertanahan Kota Surakarta, selaku ketua merangkap anggota. 2. Yudhi Riyarso
:
Kepala Seksi Survei, Pengukuran, dan Pemetaan
Kantor Pertanahan
Kota Surakarta, selaku wakil ketua merangkap anggota. 3. Kuntadi
:
Kepala Sub Seksi Penetapan Hak Tanah
Kantor
Surakarta
Pertanahan
selaku
Kota
sekretaris
merangkap anggota. 4. Sunarko
:
Kepala
Seksi
Penataan
Pengaturan
Pertanahan
dan
Kantor
Pertanahan Kota Surakarta selaku anggota. 5. Naniek Suprijatni Urip Redjeki
:
Kepala Kalurahan Kadipiro selaku anggota.
Berdasarkan Pasal 4 Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Susunan dan Tugas Panitia Pemeriksaan Tanah ini, Panitia Pemeriksaan Tanah “A” mempunyai tugas sebagai berikut : 1. Mengadakan penelitian terhadap kelengkapan berkas permohonan pemberian Hak Milik, Hak Pengelolaan, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah Negara dan permohonan pengakuan hak atas tanah;
lxxxiv
2. Mengadakan penelitian dan peninjauan fisik atas tanah yang dimohon mengenai status, riwayat, keadaan tanah, luas, batas tanahnya dan hubungan hukum antara tanah yang dimohon dengan pemohon serta kepentingankepentingan lainnya; 3. Mengumpulkan data, keterangan/penjelasan dari para pemegang hak atas tanah yang berbatasan; 4. Menentukan sesuai tidaknya penggunaan tanah tersebut dengan rencana pembangunan daerah; 5. Memberikan pendapat dan pertimbangan atas permohonan tersebut yang dituangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah. Dari hasil pemeriksaan, penelitian dan pengkajian data fisik maupun data yuridis baik yang dilakukan oleh Panitia Pemeriksaan Tanah “A” tanggal 11 Desember 2006 guna mempertimbangkan pemberian hak atas tanah atas permohonan hak milik yang diajukan oleh Tri Warsito Purwatno, dan kawankawan 54 (lima puluh empat) orang pada tanggal 3 Oktober 2006 terhadap bidang tanah dengan luas seluruhya + 3093 m2 (tiga ribu sembilan puluh tiga meter persegi) yang terletak di Kampung Kragilan, Kalurahan Kadipiro, Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta, maka Panitia Pemeriksaan Tanah “A” memberikan kesimpulan, antara lain : 1. Bahwa status tanah di Kampung Kragilan, Kalurahan Kadipiro, Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta merupakan tanah negara; 2. Bahwa terhadap permohonan ini pada saat Panitia “A” melaksanakan peninjauan dilapangan, tidak diterima keberatan-keberatan dari pihak lain. 3. Bahwa tanah yang dimohon bukan merupakan obyek landreform; 4. Bahwa tanah tanah yang dimohon di atasnya terdapat bangunan rumah tempat tinggal; 5. Bahwa tanah yang dimohon sampai saat ini dikuasai/digarap oleh pemohon; 6. Bahwa terhadap permohonan yang diajukan tersebut dapat diluluskan dengan Hak Milik, dengan pertimbangan : a. Status tanah tersebut adalah tanah negara.
lxxxv
b. Bahwa tanah yang dimohon di atasnya terdapat bangunan tempat tinggal. c. Bahwa tanah yang dimohon bukan merupakan objek landreform. d. Bahwa tanah yang dimohon sampai saat ini dikuasai / digarap oleh pemohon, e. Bahwa terhadap permohonan tersebut dapat diluluskan dengan hak milik dengan alasan : 1) syarat-syarat teknis administratif pemberian Hak Milik kepada pemohon telah dipenuhi. 2) Pemohon memenuhi persyaratan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam UUPA jo. PMDN/KBPN Nomor 9 Tahun 1999. Dengan diluluskannya permohonan Hak Milik oleh Tri Warsito Purwatno, dan kawan-kawan (54 orang), maka pada tanggal 21 Desember 2006, Kantor Pertanahan Kota Surakarta mengeluarkan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kota Surakarta No. 01-54-520.1-33-72-2006 tentang Pemberian Hak Milik Kepada Tri Warsito Purwatno Dan Kawan-Kawan 54 (Lima Puluh Empat) Orang Atas 54 (Lima Puluh Empat) Bidang Tanah Seluruhnya Seluas 3093 m2 Terletak di Kalurahan Kadipiro Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta. Dalam Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kota Surakarta No. 01-54-520.1-3372-2006 itu dinyatakan : 1. Bahwa Kantor Pertanahan Kota Surakarta menerima pelepasan : a. Hak Milik Nomor 8590/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Supono seluas 208 m2. b. Hak Milik Nomor 9054/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Djasmin seluas 203 m2. c. Hak Milik Nomor 8916/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Gunawan suami Ny. Setia Hati seluas 200 m2. d. Hak Milik Nomor 8634/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Anto Susanto seluas 200 m2. e. Hak Milik Nomor 8591/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Endang Sri Daryanti seluas 208 m2.
lxxxvi
f. Hak Milik Nomor 8540/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Ny. Sri Rusmini istri Sriyadi Haryanto seluas 200 m2. g. Hak Milik Nomor 8972/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Helena Hartatiningsih seluas 199 m2. h. Hak Milik Nomor 8705/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Sudarno seluas 199 m2. i. Hak Milik Nomor 8561/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Ngadimin seluas 196 m2. j. Hak Milik Nomor 8589/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Widjiyanto seluas 196 m2. k. Hak Milik Nomor 8704/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Ny. Kustiyah seluas 196 m2. l. Hak Milik Nomor 8860/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Endang Sumartini seluas 196 m2. m. Hak Milik Nomor 8588/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Sugiyarti seluas 196 m2. n. Hak Milik Nomor 8861/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Suparno seluas 196 m2. o. Hak Milik Nomor 8973/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Suparno seluas 196 m2. 2. Bahwa Kantor Pertanahan Kota Surakarta menghapus buku tanah dan daftar umum lainnya : a. Hak Milik Nomor 8590/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Supono seluas 208 m2. b. Hak Milik Nomor 9054/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Djasmin seluas 203 m2. c. Hak Milik Nomor 8916/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Gunawan suami Ny. Setia Hati seluas 200 m2. d. Hak Milik Nomor 8634/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Anto Susanto seluas 200 m2.
lxxxvii
e. Hak Milik Nomor 8591/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Endang Sri Daryanti seluas 208 m2. f. Hak Milik Nomor 8540/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Ny. Sri Rusmini istri Sriyadi Haryanto seluas 200 m2. g. Hak Milik Nomor 8972/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Helena Hartatiningsih seluas 199 m2. h. Hak Milik Nomor 8705/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Sudarno seluas 199 m2. i. Hak Milik Nomor 8561/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Ngadimin seluas 196 m2. j. Hak Milik Nomor 8589/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Widjiyanto seluas 196 m2. k. Hak Milik Nomor 8704/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Ny. Kustiyah seluas 196 m2. l. Hak Milik Nomor 8860/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Endang Sumartini seluas 196 m2. m. Hak Milik Nomor 8588/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Sugiyarti seluas 196 m2. n. Hak Milik Nomor 8861/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Suparno seluas 196 m2. o. Hak Milik Nomor 8973/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Suparno seluas 196 m2. yang terletak di Kalurahan Kadipiro Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta dan menarik sertipikat dari peredaran. 3. Bahwa Kantor Pertanahan Kota Surakarta memberikan Hak Milik kepada Tri Warsito Purwatno, dan kawan-kawan 54 (lima puluh empat) orang, untuk digunakan sebagai rumah tempat tinggal dengan ketentuan serta syarat-syarat sebagai berikut : a. Segala akibat, biaya, untung dan rugi yang timbul karena pemberian Hak Milik ini, maupun tindakan penguasaan atas tanah yang bersangkutan
lxxxviii
menjadi tanggung jawab sepenuhnya penerima hak, sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. b. Bidang tanah tersebut harus diberi tanda batas sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan yang berlaku serta harus dipelihara keberadaannya. c. Penerima Hak Milik diwajibkan membayar lunas uang pemasukan kepada negara melalui bendaharawan khusus / penerimaan Kantor Pertanahan Kota Surakarta sebesar seperti yang tercantum dalam lampiran. d. Tanah tersebut harus digunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan peruntukkannya dan sifat serta tujuan dari hak yang diberikan. e. Mendaftarkan hak atas tanahnya kepada Kantor Pertanahan Kota Surakarta dengan menyerahkan surat bukti pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan bangunan dan surat setoran pajak. f. Bila ternyata terdapat kekurangan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan bangunan, maka hal tersebut merupakan kewajiban penerima hak untuk melunasinya. Dengan didaftarkannya tanah hak milik tersebut, maka sebagai bentuk penguatan hak oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta dibuatkan sertipikat Hak Atas Tanah. Dan pada tanggal 9 Maret 2007, sertipikat Hak Atas Tanah tersebut diserahkan secara langsung oleh Joko Widodo (Walikota Kota Surakarta) kepada Tri Warsito Purwatno, dan kawan-kawan 54 (lima puluh empat) di Kragilan Rt 08 Rw 024 Kalurahan Kadipiro Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta. Berdasarkan keterangan-keterangan / uraian-uraian tersebut di atas, dapat penulis analisa bahwa dari hasil penyelesaian sengketa tersebut, perlu ditindak lanjuti terlebih dahulu dengan pembuatan Surat Pelepasan Hak Atas Tanah di hadapan Kepala Kantor Pertanahan Kota Surakarta. Surat Pelepasan Hak Atas Tanah, menunjukkan bahwa di atas tanah tersebut pernah diterbitkan suatu hak, sehingga dengan surat pelepasan hak dimaksud, maka hak atas tanahnya hapus dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
lxxxix
Surat pelepasan tersebut menjadi kelengkapan berkas permohonan yang merupakan syarat permohonan hak atas Tanah Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999, antara lain keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik, yaitu surat-surat bukti pelepasan hak dan atau akta pelepasan hak. Selanjutnya, oleh Panitia Pemeriksaan Tanah “A” dilakukan pemeriksaan dan penelitian terhadap berkas-berkas permohonan baik data fisik maupun data yuridis untuk diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak Milik Atas Tanah. Setelah diterbitkan Surat Keputusan, kemudian didaftarkan guna memperoleh Sertipikat Hak Atas Tanah sebagai bentuk penguatan hak atas tanah agar pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan haknya. Dalam Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa “sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan”. Dengan adanya pendaftaran tanah yang dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum (rechts cadaster) dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah atau hak-hak lain yang telah terdaftar, untuk memberi informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar, dan untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan (Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah) sehingga pemegang hak yang bersangkutan dapat dengan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang sempurna dengan pemberian sertipikat hak atas tanah sebagai tanda bukti hak kepadanya. Kendati pun demikian, pendaftaran tanah di dalam hukum tanah nasional kita adalah menganut sistem pendaftaran hak (titles registrations) dengan sistem publikasi yang bersifat negatif dengan mengandung unsur-unsur positif, hal ini dibuktikan dengan ciri adanya akta tanah sebagai dasar pendaftaran dan sertifikat sebagai tanda bukti hak yang merupakan salinan atas buku tanah yang merupakan
xc
buku induk di dalamnya memuat data fisik dan data yuridis bidang tanah bersangkutan, bukan sistem pendaftaran akta (deeds registrations). Sebagai konsekuensi terhadap sistem yang dianut UUPA ini maka jaminan kekuatan hukum atas sertifikat sesuatu hak atas tanah yang diterbitkan adalah mempunyai kekuatan hukum yang kuat karena merupakan alat pembuktian yang kuat sepanjang dapat dibuktikan sebaliknya. Di dalam sistem publikasi negatif ini, Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. Tetapi walaupun demikian tidaklah dimaksudkan untuk menggunakan sistem publikasi negatif secara murni. Hal tersebut tampak dari pernyataan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, bahwa surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai alat bukti yang kuat. Selain itu dari ketentuanketentuan mengenai prosedur pengumpulan, pengolahan, penyimpanan dan penyajian data fisik dan data yuridis serta penerbitan sertipikat tampak jelas usaha untuk sejauh mungkin memperoleh dan menyajikan data yang benar, karena pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum. Sehubungan dengan itu diadakanlah ketentuan dalam ayat (2) ini. Ketentuan ini bertujuan, pada satu pihak untuk tetap berpegang pada sistem publikasi negatif dan pada lain pihak untuk secara seimbang memberikan kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikad baik menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagai pemegang hak dalam buku tanah, dengan sertipikat sebagai tanda buktinya, yang menurut UUPA berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Kelemahan sistem publikasi negatif adalah, bahwa pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertipikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu. Umumnya kelemahan tersebut diatasi dengan menggunakan lembaga acquistieve verjaring atau adverse possession. Hukum tanah kita yang memakai dasar hukum adat tidak dapat menggunakan lembaga tersebut, karena hukum adat yang dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah, yaitu lembaga rechtsverwerking. Dalam hukum adat jika seseorang selama sekian waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan itikat baik, maka hilanglah haknya untuk
xci
menuntut kembali tanah tersebut. Ketentuan di dalam UUPA yang menyatakan hapusnya hak atas tanah karena diterlantarkan (Pasal 27, Pasal 34 dan Pasal 40 UUPA) adalah sesuai dengan lembaga ini. Dengan pengertian demikian, maka apa yang ditentukan dalam ayat ini bukanlah menciptakan ketentuan hukum baru, melainkan merupakan penerapan ketentuan hukum yang sudah ada dalam hukum adat, yang dalam tata hukum sekarang ini merupakan bagian dari Hukum Tanah Nasional Indonesia dan sekaligus memberikan wujud konkrit dalam penerapan ketentuan dalam UUPA mengenai penelantaran tanah.
xcii
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan tentang permasalahan yang penulis kaji, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai fungsi Kantor Pertanahan Kota Surakarta. Dalam mengemban amanah untuk mengelola bidang pertanahan sesuai dengan Pasal 2 dan Pasal 3 huruf n Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2006 di tingkat Kabupaten / Kota, Kantor Pertanahan Kota Surakarta, melalui Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara sebagaimana Tugas Pokok dan Fungsinya dalam menyelesaikan sengketa pertanahan antara 54 orang okupusan dengan 15 orang pemegang hak atas tanah, langkah yang ditempuh salah satunya adalah pelaksanaan alternatif penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan melalui bentuk mediasi (Pasal 54 huruf c Peraturan Kepala BPN No 4 Tahun 2006). Dasar penyelesaian sengketa pertanahan yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta ini kemudian diperkuat lagi dengan pernyataan Kepala BPN-RI, yang menyatakan bahwa jajaran BPN-RI harus mampu melakukan koordinasi secara baik dan bermakna dengan seluruh jajaran Pemerintah Daerah dalam hal pengawasan dan pengendalian atas 9 urusan pertanahan yang sekarang dikelola daerah sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 dan saling mengisi dalam rangka mendukung dan mempercepat proses pembangunan. Kaitannya dengan unit kerja yang bertugas melakukan penanganan penyelesaian masalah / sengketa pertanahan di tingkat Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya, juga sesuai dengan peraturan perundangundangan seperti yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999
xciii
tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan dan Keputusan Kepala Kantor
Pertanahan
pembentukan
Kota
Sekretariat
Surakarta Penanganan
Nomor
570/724/2005
Sengketa
Pertanahan
tentang Kantor
Pertanahan Kota Surakarta. 2. Bahwa hasil penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta melalui jalur mediasi ini dapat dijadikan dasar pemberian hak milik kepada okupusan tanah di Kragilan, Kadipiro setelah hasil mediasi tersebut ditindak lanjuti dengan pembuatan Surat Pelepasan Hak Atas Tanah di hadapan Kepala Kantor Pertanahan Kota Surakarta terlebih dahulu. Kemudian dengan adanya pemohonan hak milik dari pihak okupusan, maka Surat Pelepasan Hak Atas Tanah tersebut diajukan ke Kantor Pertanahan untuk didaftarkan permohonan haknya, dan selanjutnya oleh Panitia Pemeriksaan Tanah “A” dilakukan pemeriksaan dan penelitian terhadap berkas-berkas permohonan baik data fisik maupun data yuridis untuk diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak Milik Atas Tanah. Setelah diterbitkan, kemudian didaftarkan haknya guna memperoleh Sertipikat sebagai bentuk penguatan hak atas tanah.
B. Saran-saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, ada beberapa saran-saran yang ingin penulis sampaikan terkait dengan permasalahan yang penulis kaji. Adapun saran-saran tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah Daerah atau Badan Pertanahan Nasional segera menerbitkan peraturan mengenai kewenangan Kantor Pertanahan dalam penyelesaian sengketa tanah garapan. 2. Pemerintah Daerah atau Badan Pertanahan Nasional segera menerbitkan peraturan mengenai mekanisme pemberian hak terkait dengan kewenangan Kantor Pertanahan dalam penyelesaian sengketa tanah garapan.
xciv
DAFTAR PUSTAKA Dari Buku Boedi Harsono. 2002. Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah. Jakarta : Djambatan. _____________. 2003. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta : Djambatan. G. Kartasapoetra, dkk. 1991. Hukum Tanah, Jaminan Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah. Jakarta : PT Rineka Cipta. Indonesian Institute for Conflict Transformation. 2006. Pelatihan Mediator. Jakarta : IICT. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. 2004. Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta : Kencana. Munir Fuady. 2003. Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis. Bandung : PT Citra Aditya Bakti. Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Press). Subekti dan Tjitrosudibio. 2001. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta : PT Pradnya Paramita. Sudargo Gautama. 1993. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria. Bandung : Citra Aditya. Sudikno Mertokusumo. 2004. Penemuan Hukum (Sebuah Pengantar). Yogyakarta : Liberty. Suyud Margono. 2004. ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum. Jakarta : Ghalia Indonesia. Tim KBBI. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Winarno Surakhmat. 1998. Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar, Metode dan Teknik. Bandung : Tarsito. Dari Internet Fia S Aji. Penyelesaian Sengketa Pertanahan.
(23 Februari 2008 pukul 18.30 WIB).
xcv
http://bpn-solo.com/files/buku_PPAN_ISI.pdf (16 Februari 2008 pukul 20.00 WIB). http://tanahkoe.tripod.com/bhumiku/id15.html (13 Maret 2008 pukul 19.30 WIB). Dari Undang-Undang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrasi dan APS. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1998 tentang Perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai Atas Tanah untuk Rumah Tinggal yang Dibebani Hak Tanggungan menjadi Hak Milik. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1997 jis. Nomor 15 Tahun 1997 dan Nomor 1 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS). Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah untuk Rumah Tinggal. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
xcvi
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Dan Kantor Pertanahan. Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun 1992 tentang Susunan dan Tugas Panitia Pemeriksaan Tanah.
xcvii