PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DITINJAU DARI PRINSIP FAIR TRIAL & HAK ASASI MANUSIA R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA., Sukardi, SH., MH., Zendy Wulan, SH., Rosa Ristawati, SH., M.Hum.
Abstrak Sejak lahirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, banyak sekali ditemukan persoalan struktural dan mendasar dalam implementasinya. Persoalan yang demikian tentu memiliki pengaruh mekanisme yang dikhawatirkan merugikan hak-hak asasi bagi buruh yang menjadi pihak yang lemah dalam hubungan ketenagakerjaan tersebut. Tulisan ini mengkaji apakah mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial telah mencerminkan prinsip mendasar fair trial, khususnya prinsip equality before the law dan due process of law, dan apakah dampak hak-hak asasi manusia khususnya bagi buruh untuk mengakses keadilan di dalam proses penyelesaian hubungan industrial di PHI. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui PHI belum sepenuhnya mencerminkan prinsip mendasar fair trial dan belum sesuai pula dengan prinsip HAM. Akibatnya, dampak hak-hak asasi manusia terlihat jelas khususnya bagi buruh untuk mengakses keadilan di dalam proses penyelesaian hubungan industrial di PHI. Kata Kunci: PHI, Fair Trial, dan Hak Asasi Manusia
RINGKASAN
A. Judul Penelitian dan Nama Peneliti 1. Judul Penelitian : PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DITINJAU DARI PRINSIP FAIR TRIAL DAN HAK-HAK ASASI MANUSIA 2. Nama Peneliti
: 1. Ketua Peneliti
: R. Herlambang Perdana W, SH., MA.
2. Anggota Peneliti : - Sukardi, SH., MH. - Zendy Wulan Ayu W.P., SH. - Rosa Ristawati, SH., MHum. 3. Tahun Penelitian
: 2007
4. Jumlah Halaman Laporan Penelitian: 53 halaman
B. Ringkasan Hasil Penelitian:
Penelitian ini membahas pertanyaan (1) apakah mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial telah mencerminkan prinsip mendasar fair trial, khususnya prinsip equality before the law dan due process of law; (2) apakah dampak hak-hak asasi manusia khususnya bagi buruh untuk mengakses keadilan di dalam proses penyelesaian hubungan industrial di PHI; dan (3) apakah
masalah,
hambatan/kendala,
dan
peluang
yang
dihadapi
dalam
mengimplementasikan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial.
Tujuan penelitian ini antara lain adalah mencoba mencari jawaban atas rumusan masalah yang diajukan sehingga dapat; diketahui implementasi prinsip fair trial dan hak asasi manusia dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui mekanisme Pengadilan Hubungan Industrial.
Melalui serangkaian analisis data, dokumen serta tinjauan lapangan untuk mengetahui prakteknya, maka hasil yang didapatkan bahwa mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial belum sepenuhnya mencerminkan prinsip mendasar fair trial dan belum sesuai pula dengan prinsip HAM. Akibatnya, dampak hak-hak asasi manusia terlihat jelas khususnya bagi buruh untuk mengakses keadilan di dalam proses penyelesaian hubungan industrial di PHI. Dampak tersebut menyebabkan buruh terpaksa untuk tidak melakukan upaya penyelesaiannya melalui PHI, mendapat perlakuan diskriminatif, menanggung beban pungutan liar, dan mengeluarkan biaya yang besar dalam beracara.
C. Identitas Kelembagaan 1. Fakultas
: HUKUM
2. Perguruan Tinggi : UNIVERSITAS AIRLANGGA 3. Sumber Dana
: DIPA PNBP Universitas Airlangga, tahun 2007
4. Kontrak
: No. 678/JO3.2/PG/2007, tanggal 7 Juni 2007
5. SK Rektor
: No. 4960/JO3/PG/2007, tanggal 4 Juni 2007
2
SUMMARY
A. Title of Research and Researcher Title of Research
: THE SOLVING OF INDUSTRIAL RELATION DISPUTE BASED ON FAIR TRIAL AND HUMAN RIGHTS PRINCIPLES
Researcher
:
Head of Researcher
: R. Herlambang Perdana Wiratraman
Members
: Zendy Wulan Ayu WP Rosa Ristawati
Year of Research
: 2007
Amount of Report’s page(s) : 53 pages
B. Summary of the Report The research studies on numerous questions: (1) Is the mechanism of the solving of industrial relation dispute through Industrial Relation Court (PHI) reflecting fundamental principles of fair trial, especially the principle of equality before the law and due process of law; (2) What are human rights impacts, especially for labour in acccessing the justice process on PHI; and (3) What are the challenges and opportunities in implementing the mechanism of the solving of industrial relation dispute through PHI.
The aim of this research is searching the answer of research questions, then it would find the implementation of fair trial and human rights principles in solving industrial relation dispute through PHI.
Through various data and document analysis, and field research for understanding its practices, then the result found that the mechanism of the solving of industrial relation dispute through PHI does not respect yet the principles of fair trial and inconsistent with the principles of human rights. In this regard, there are clear impacts on human rights especially for the labor in accessing just system in industrial relation dispute through PHI. Those impacts have caused labour could not file the case through PHI,
3
get discriminative process, should pay illegal fee, and disburse a high cost in filing at PHI.
C. Institution Identity 1. Faculty
: Faculty of Law
2. University
: Airlangga University
3. Source of Fund
: DIPA PNBP of Airlangga University
4. Number of Contract
: No. 678/JO3.2/PG/2007, dated on June 7, 2007
5. Rector Decree
: No. 4960/JO3/PG/2007, dated on June 4, 2007
4
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hubungan antara buruh dengan pengusaha pada dasarnya bersifat “unik”. Hubungan keduanya bisa diibaratkan seperti dua sisi pada mata uang logam. Di satu pihak, dirasakan hubungan hukum yang tidak seimbang karena secara sosial ekonomi pengusaha lebih kuat dibandingkan dengan sosial ekonomi pekerja. Akibatnya terdapat hubungan yang rentan dan berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat bahkan perselisihan antara kedua belah pihak. Di lain pihak hubungan saling membutuhkan antara buruh dengan pengusaha merupakan awal bagi terciptanya hubungan kerjasama antara buruh dengan pengusaha.
Melihat hubungan tersebut maka diperlukan seperangkat peraturan perundangundangan sebagai pedoman bersikap para pelaku proses produksi barang maupun jasa dalam pelaksanaan hak dan kewajiban masing-masing pihak serta dapat dijadikan sebagai pedoman apabila terjadi perselisihan hubungan industrial di suatu perusahaan. Hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu diperlukan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang kondusif bagi terpeliharanya hubungan kemitraan antara buruh dengan pengusaha. Hal ini juga merupakan perwujudan pengakuan dan kesediaan menghormati hak asasi masing-masing pelaku proses produksi.
Sejak Desember 1998, pemerintah Indonesia dengan asistensi teknis International Labour Organization dan dukungan dana dari pemerintah Amerika Serikat melalui ILO/USA
Declaration
Project
melaksanakan
program
“Reformasi
Hukum
Perburuhan” (Tjandra dan Suryomenggolo, 2004; Tjandra, 2006). Hasilnya adalah tiga paket UU Perburuhan, yaitu: UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh / Serikat Buruh, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
5
Dengan berlakunya UU No. 2 Tahun 2004 maka UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta beserta semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan Peraturan Pelaksanaan dari dua undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. 1 Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian perselisihan perburuhan industrial selama ini ternyata dinilai belum mewujudkan penyelesaian perselisihan secara cepat, tepat, adil dan murah (vide: Penjelasan UU PPHI 2/2004). Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia pasca amandemen UUD 1945, perubahan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial telah menambah kekuasaan kehakiman baru, dan ini menjadi penting untuk dilihat secara lebih kritis apakah kehadiran institusi peradilan baru memberikan jawaban lebih baik atas permasalahan perselisihan hak-hak buruh, yang secara hakikat harus dilindungi oleh pemerintah Indonesia.
Sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Umum UU No. 2 Tahun 2004, bahwa UU No. 22 Tahun 1957 yang selama ini digunakan sebagai dasar hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial dirasa tidak lagi mengakomodasi perkembanganperkembangan yang terjadi, karena hak-hak buruh perseorangan belum terakomodasi untuk menjadi pihak dalam perselisihan hubungan industrial. UU No. 22 Tahun 1957 hanya mengatur penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan kepentingan secara kolektif, sedangkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial buruh secara perseorangan belum terakomodasi. Hal lainnya yang sangat mendasar adalah dengan ditetapkannya putusan Panitia Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) sebagai obyek sengketa Tata Usaha Negara, sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986 entang Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan adanya ketentuan ini, maka jalan yang harus ditempuh baik oleh pihak buruh maupun pengusaha untuk mencari penyelesaian perselisihan semakin panjang.
Begitu juga dalam penjelasan tersebut, UU No. 12 Tahun 1964 dinilai tidak efektif lagi untuk mencegah serta menanggulangi kasus-kasus pemutusan hubungan kerja karena hubungan antara buruh dan pengusaha merupakan hubungan yang didasari oleh kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu hubungan kerja. Dalam
1
Pasal 125 UU No. 2 Tahun 2004.
6
hal salah satu pihak tidak menghendaki lagi untuk terikat dalam hubungan kerja tersebut, maka sulit bagi para pihak untuk tetap dapat mempertahankan hubungan yang harmonis. 2
Pengadilan Hubungan Industrial yang seharusnya mulai berjalan sejak satu tahun UU No. 2 Tahun 2004 mulai diundangkan 3 , karena sejumlah ketidaksiapan dari segi infrastruktur maka pelaksanaannya ditunda 4 dan barulah pada tanggal 14 Januari 2006 Pengadilan Hubungan Industrial resmi berjalan. Pada kenyataannya kemudian, baru pada bulan April-Mei 2006 Pengadilan Hubungan Industrial baru secara efektif bekerja setelah ada Keputusan Presiden No. 31/M/2006 tentang Pengangkatan 155 orang Hakim Ad Hoc di 33 Pengadilan Hubungan Industrial di 33 Ibu Kota Provinsi, dan 4 Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial di Mahkamah Agung (Surya Tjandra, 2006).
Berangkat dari latar belakang tersebut, maka timbul sejumlah pertanyaan apakah dalam kerangka aturan tersebut (UU No. 2 Tahun 2004) dapat menjawab kelemahankelemahan dalam UU perselisihan perburuhan sebelumnya, ataukah justru sebaliknya memperparah situasi penyelesaiannya.
Penelitian ini akan melihat lebih jauh implementasi hukum mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial, khususnya dilihat dari prinsip-prinsip fair trial dan hak-hak asasi manusia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas rumusan masalah yang hendak dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial telah mencerminkan prinsip mendasar fair trial, khususnya prinsip equality before the law dan due process of law.
2
Penjelasan UU No. 2 Tahun 2004. Pasal 126 UU No. 2 Tahun 2004. 4 Berdasarkan Perpu No. 1 Tahun 2005 jo. UU No. 2 Tahun 2005 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya UU No. 2 Tahun 2004. 3
7
2. Apakah dampak hak-hak asasi manusia khususnya bagi buruh untuk mengakses keadilan di dalam proses penyelesaian hubungan industrial di PHI? 3. Apakah masalah, hambatan/kendala, dan peluang yang dihadapi dalam mengimplementasikan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial?
8
II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam konsepsi ketatanegaraan, pelaksanaan fair trial principles dan hak-hak asasi manusia (khususnya hak atas pekerjaan), sesungguhnya telah dijamin dalam UUD 1945 pasca amandemen. Sejumlah pasal yang terkait dengan jaminan konstitusional ini terlihat dari: 1. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” 2. Pasal 28D ayat (2) UUD 1945: ”Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” 3. Pasal 28I ayat (4) UUD 1945: ”Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah.” 4. Pasal 28I ayat (2) UUD 1945: ”Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Lebih lengkap pengaturannya, prinsip fair trial telah diakui pula secara internasional melalui ICCPR 1966 (International Covenant on Civil and Political Rights), dan kovenan ini telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik. Secara khusus dalam pasal 14, menyatakan sejumlah prinsip: 1
Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan.
2
Setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil da terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum.
3
Untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan dan berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya sendiri.
4
Untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya
5
Untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara langsung atau 9
melalui pembela yang dipilihnya sendiri, untuk diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak mempunyai pembela; 6
Untuk mendapatkan bantuan hukum demi kepentingan keadilan, dan tanpa membayar jika ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayarnya;
7
Untuk memeriksa atau meminta diperiksanya saksi-saksi yang memberatkannya dan meminta dihadirkan dan diperiksanya saksi-saksi yang meringankannya, dengan syarat-syarat yang sama dengan saksi-saksi yang memberatkannya;
8
Untuk mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah apabila ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang digunakan di pengadilan;
9
Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah.
Prinsip fair trial yang diatur dalam aturan hak-hak asasi manusia menunjukkan bahwa fair trial harus menjadi dasar pelaksanaan yang tidak sekalipun dipandang remeh oleh penyelenggara
kekuasaan
kehakiman,
apalagi
pemerintah
Indonesia
sudah
mengakuinya sebagai hukum nasional. Lebih penting lagi, bahwa hak atas peradilan yang adil adalah salah satu non-derogable rights (hak-hak yang tidak boleh sedikitpun dikurangi). Di titik inilah pentingnya hubungan antara fair trial dan hak asasi manusia.
Hal ini perlu disadari karena kehadiran Pengadilan Hubungan Industrial sedari awal telah menuai kritik atas mekanisme hukum yang semakin sulit dijangkau rasa keadilannya, khususnya bagi kaum buruh. Dalam perspektif pembangunan sistem hukum, menyerahkan perselisihan hubungan industrial pada mekanisme hukum – yang saat ini menjadi kanal bagi upaya penyelesaian perselisihan – sama halnya dengan: (i) pemerintah tidak lagi menjadi bagian penting dalam upaya perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia; (ii) mengasumsikan hukum dan perangkat infrastrukturnya (Pengadilan Hubungan Industrial) bekerja independent/mandiri, bersih atau bebas dari mafia peradilan; (iii) membatasi ruang kesempatan negosiasi, terutama pergeseran dari kesempatan secara kolektif 5 melakukan negosiasi atau
5
Tiadanya kesempatan negosiasi atau perundingan secara kolektif dalam perselisihan perburuhan merupakan bentuk yang bertentangan dengan Konvensi ILO No. 154 (1981) tentag Perundingan Kolektif yang menyatakan bahwa “struktur dan prosedur penyelesaian perselisihan perburuhan haruslah dirancang sehingga mendukung tercapainya Perundingan Kolektif.”
10
pembelaan oleh kalangan gabungan serikat buruh; 6 dan (iv) aggapan bahwa posisi buruh dan majikan adalah seimbang, sehingga keduanya dianggap bisa secara otomatis kemampuan menjalankan prinsip-prinsip hukum dan beracara (Wiratraman, 2006 : 4).
Oleh sebab kekhawatiran dalam implementasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka penelitian akan mengkaji secara normatif dan menguji koherensi aturan normatif tersebut dengan pelaksanaan di lapangan.
6
Bandingkan rumusan dalam UU PPHI dengan UU No. 22 Tahun 1957 yang menyebutkan bilamana terjadi perselisihan perburuhan antara majikan/perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh. Rumusan dalam UU PPHI akan merugikan kepentingan pembelaan federasi serikat buruh.
11
III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui implementasi prinsip fair trial dan hak asasi manusia dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui mekanisme Pengadilan Hubungan Industrial. 2. Untuk
menginventarisasi
hambatan/kendala,
peluang
dan yang
memahami dihadapi
faktor-faktor dalam
permasalahan,
mengimplementasikan
mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial.
3.2 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini setidaknya diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran evaluatif mengenai hukum dan implementasi secara efektif pelaksanaan prinsip fair trial dan hak-hak asasi manusia, khususnya dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
12
IV
METODE PENELITIAN
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, dengan melihat aspek yuridis-normatif serta pengujian kebenaran koherensi dalam implementasi hukum dan mekanisme hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial.
Metode ini diawali dengan inventarisasi permasalahan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diterapkan melalui Pengadilan Hubungan Industrial, dan kemudian dikategorisasikan berdasarkan analisis dalam kerangka teori hak asasi manusia dan prinsip-prinsip fair trial. Dalam pengkategorisasian tersebut dianalisis pula sejumlah permasalahan, kendala/hambatan serta peluang sebagai upaya menjawab rumusan permasalahan yang kedua dalam penelitian ini.
Pengujian kebenaran koherensi akan melacak berdasarkan prinsip-prinsip fair trial, dan kemudian ditambahkan data dan fakta yang digali dari observasi lapangan, utamanya praktik beracara dalam Pengadilan Hubungan Industrial di Jawa Timur. Analisis terhadap putusan hakim PHI juga diperlukan untuk melihat kualitas pertimbangan-pertimbangan nalar hukum yang digunakan dalam memberikan putusan.
Penelitian ini ditujukan untuk memperbaharui kebijakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui PHI, atau sebagai disebut oleh Hutchinson (2002) sebagai reform oriented research. Reform oriented research, menurutnya adalah, research which intensively evaluates the adequacy of existing rules and which recommends changes to any rules found wanting (Hutchinson 2002: 9). Dengan hasil penelitian ini, maka diharapkan ada evaluasi terhadap kebijakan serta peraturan perundang-undangan yang terkait dengan upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang lebih berkeadilan dan berperspektif hak asasi manusia.
13
V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Prinsip Fair Trial dan Hak Asasi Manusia 5.1.1. Prinsip Fair Trial dan Hak Asasi Manusia dalam Peradilan
Hak atas proses peradilan yang adil dan tidak memihak, atau disebut sebagai hak atas fair trial adalah sebuah norma dalam hukum hak asasi manusia internasional yang dirancang untuk melindungi individu dari pembatasan yang tidak sah dan sewenangwenang atau perampasan atas hak-hak dasar dan kebebasan-kebebasan lainnya. (Lawyers Committee For Human Rights, 2000: 1; YLBHI, 1997: 1), dan ini dijamin dalam pasal 14 International Covenant on Civil and Political Rights 1966, sekarang sudah diratifikasi dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.
Berdasarkan pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2005, pasal fair trial tersebut merupakan kategori non-derogable rights (hak-hak yang sama sekali tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun). Hak atas proses peradilan yang adil dan tidak memihak berlaku untuk baik hak-hak dan kewajiban-kewajiban individual dalam gugatan hukum (keperdataan dan administratif) maupun persoalan publik atau pidana (McGoldrick 1995: 415). Dalam riset ini, fokus yang hendak diteliti adalah proses Pengadilan Hubungan Industrial, yang kebetulan menggunakan hukum acara perdata.
Hak atas proses peradilan yang adil dan tidak memihak berkaitan erat dengan aspek hukum materiil-substansif maupun hukum acara (aspek prosedural). Itu sebabnya, pelanggaran yang menyebabkan peradilan menjadi memihak, bukan hanya dikualifikasi sebagai tindakan pelanggaran prosedural, tetapi adalah tindakan yang bersifat melawan hukum. (YLBHI, 1997: xii)
Standar yang digunakan untuk menilai apakah suatu persidangan itu adil banyak jumlahnya, kompleks dan terus berubah. Standar tersebut bisa merupakan kewajibankewajiban yang mengikat yang terdapat dalam traktat-traktat hak asasi manusia dimana suatu negara telah menjadi pihak. Tetapi, standar itu juga bisa ditemukan di
14
dalam dokumen-dokumen yang, walaupun secara formal tidak mengikat, bisa dijadikan sarana untuk menunjukkan arah kemana hukum tersebut akan berubah. Guna menghindari penolakan terhadap sifat hukum dari standar yang digunakan untuk mengevaluasi apakah suatu peradilan itu adil, para pemonitor bisa merujuk kepada norma-norma yang sumber hukumnya tidak dirugikan lagi.
Norma-norma tersebut antara lain : 1. Hukum-hukum dari negara tempat berlangsungnya suatu persidangan. 2. Traktat-traktat di bidang hak asasi manusia suatu negara menjadi pihak. 3. Norma-norma dari hukum kebiasaan internasional 7 (YLBHI, 1997 : 5)
Pasal 14 UU No. 12 Tahun 2005 menyatakan sejumlah prinsip-prinsip :
1. Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan (pasal 14 ayat (1)); 2. Setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum (pasal 14 ayat (1)); 3. Untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan dan berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya sendiri (Pasal 14 ayat (3) huruf b). 4. Untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya (Pasal 14 ayat (3) huruf c). 5. Untuk diadili dengan kehadirannya dan untuk membela diri secara langsung atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri, untuk diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak mempunyai pembela (Pasal 14 ayat (3) huruf d). 6. Untuk mendapatkan bantuan hukum demi kepentingan keadilan dan tanpa membayar jika ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayarnya (Pasal 14 ayat (3) huruf d).
7
Ketentuan dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia Sedunia (Universal Declaratioon of Human Rights/UDHR) sebagian besar merupakan hukum kebiasaan internasional dan bisa jadi sangat penting jika suatu negara belum mengakui UDHR, meratifikasi The Convention Teatment on Punishment atau instrumen HAM Regional lainnya yang merupakan masalah bagi negara-negara aru. Pasal yang langsung berkaitan adalah pasal 9, 10, 11 UDHR. Karena hukum kebiasaan internasional merupakan instrumen yang paling mungkin digunakan sebagai sumber pelengkap dari kewajiban negara untuk menjamin hak atas peradilan yang fair, ia tidak akan dpertimbangkan lebih lanjut.
15
7. Untuk memeriksa atau meminta diperiksanya saksi-saksi yang memberatkannya dan meminta dihadirkan dan diperiksanya saksi-saksi yang meringankannya, dengan syarat-syarat yang sama dengan saksi-saksi yang memberatkannya (Pasal 14 ayat (3) huruf e). 8. Untuk mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah apabila ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang digunakan di pengadian (Pasal 14 ayat (3) huruf f). 9. Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya atau dipaksa mengaku bersalah (Pasal 14 ayat (3) huruf g). 10. Hak untuk banding (Pasal 14 ayat (5))
Secara garis besar, sebenarnya prinsip fair trial diterapkan pada 3 tahapan: (1) Pretrial rights atau hak-hak sebelum proses persidangan dimulai; (2) Hearings atau pada saat persidangan atau pemeriksaan perkara hingga putusan hakim; (3) Post-trial rights atau hak-hak pasca putusan hakim.
Dari prinsip-prinsip fair trial di atas, penelitian ini menfokuskan pada dua prinsip dasar, yakni: equality before the law dan due process of law.
5.1.2. Equality Before the Law
Equality before the law adalah prinsip semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum dan institusi peradilan. Kedudukan yang sama di hadapan hukum dan institusi peradilan merupakan prinsip equality before the law, dimana prinsip tersebut merupakan pencerminan salah satu elemen fundamental dari Rule of Law. Secara khusus prinsip equality before the law memliki landasan konstitusional sebagaimana ditegaskan oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28D ayat (1):
”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Sedangkan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil dan Politik, pasal 14 ayat 1 dinyatakan:
16
“Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil da terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum. Media dan masyarakat dapat dilarang untuk mengikuti seluruh atau sebagian sidang karena alasan moral, ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu masyarakat yang demokratis atau apabila benar-benar diperlukan menurut pendapat pengadilan dalam keadaan khusus, dimana publikasi justru akan merugikan kepentingan keadilan sendiri; namun setiap keputusan yang diambil dalam perkara pidana maupun perdata harus diucapkan dalam sidang yang terbuka, kecuali bilamana kepentingan anak-anak menentukan sebaliknya, atau apabila persidangan tersebut berkenaan dengan perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak.” Pasal 3 ayat 2 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dalam semangat di depan hukum.” Dan lebih rinci dalam pasal 5 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia:
1) Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaanya di depan hukum. 2) Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif dan tidak berpihak. 3) Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam Pasal 17 dinyatakan, ”Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.” Begitu juga dalam Pasal 5 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa:
17
(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. (2) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Secara konseptual, Belton (2005: 9-10) menjelaskan prinsip tersebut sebagai berikut:
”Equality before the law ensures that all citizens – no matter how wellconnected, rich or powerful, are judged for their actions by the same laws... Real equality before the law requires courts that are strong and independent enough to enforce it. It also depends particularly on a lack of corruption within the judiciary, because the rich can use bribes to escape equal justice….In other words, promoting equality before the law requires change across laws, courts, and even law enforcement, as well as alterations in the cultural and political fabrics” 8 Dengan penjelasan pasal-pasal di atas, maka kedudukan yang sama di hadapan hukum dan institusi peradilan menjadi penting karena mengandung maksud tanpa ada diskriminasi, semua diberikan hak atau akses yang sama terhadap hukum dan institusi peradilan. Hal ini pula berarti bahwa kedua belah pihak diperlukan dalam suatu keadaan yang menjamin posisi mereka yang sama secara prosedur selama jalannya suatu peradilan.
5.1.3. Due Process of Law
Due process of law adalah prinsip setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum. Apa sebenarnya yang disebut dengan pemeriksaan yang adil? Bagaimana mengukur standar pemeriksaan yang adil? Pemeriksaan yang adil sebagai pencerminan prinsip dalam fair trial, due process of law, dimana prinsip tersebut mengandung dua elemen, yakni procedural due process and substantive due process. Procedural due process, atau juga disebut sebagai formal 8
Terjemahan bebasnya: “Persamaan di hadapan hukum menjamin untuk seluruh warga – tidak memperdulikan bagaimanapun hubungannya, si kaya atau si kuat, diadili atas tindakannya oleh hukum yang sama… Persamaan di hadapan hukum dalam praktek menghendaki pengadilan yang cukup kuat dan independen untuk menegakkannya. Hal ini juga tergantung khususnya pada berkurangnya korupsi (atau mafia peradilan), karena si kaya dapat menyuap untuk melepaskan dari keadilan yang setara…Dengan kata lain, mempromosikan persamaan di hadapan hukum mensyaratkan perubahan melintasi hukum-hukum, pengadilan-pengadilan, dan bahkan penegakan hukum, termasuk pula perubahan-perubahan dalam struktur budaya dan politik”.
18
proceedings (sebagai legal proceedings), dilakukan secara rapi dan sesuai dengan aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang telah ditentukan. Sedangkan suatu persyaratan bahwa
hukum
yang
diberlakukan
tidak
sekalipun
memiliki
materi
yang
memungkinkan lahir ketidakadilan (unfair), kesewenangan, dan tanpa kejelasan alasan perlakuan suatu individu. Yang terakhir ini disebut sebagai substantive due process. Berikut uraian fakta didasarkan kedua elemen due process of law.
5.1.4. Procedural due process
Menyangkut pemeriksaan yang adil, hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan kasus perselisihan hubungan industrial adalah Hukum Acara Perdata. Pasal 57 UU No. 2 Tahun 2004 dinyatakan: “Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini.” Artinya, secara prosedural sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata haruslah menjadi acuan dalam penyelenggaraan badan peradilan PHI. Penyimpangan atas pelaksanaan Hukum Acara Perdata dalam PHI merupakan potensi ketidakadilan dalam proses beracara, khususnya bagi kaum buruh yang lebih rentan posisi dan kedudukannya.
Proses ini bisa dicermati sejak sebelum persidangan dimulai (Pre-trial rights) hingga setelah persidangan selesai (Post Trial Rights). Pre-trial rights meliputi: Biaya perkara, seperti tiadanya pembebanan biaya perkara bagi sengketa dengan nilai gugatan di bawah Rp. 150 juta, Pendaftaran Gugatan dan Pendaftaran Surat Kuasa. Saat hearings, meliputi: Pembacaan Gugatan, Jawaban Tergugat, Putusan Sela (dan Sita Jaminan bila Putusan Sela tidak dilaksanakan), Replik, Duplik, Pembuktian Surat, Pembuktian Saksi, Kesimpulan, dan Putusan. Sedangkan Post-trial rights meliputi: Mendapatkan salinan putusan, Pendaftaran Kasasi, Pendaftaran Surat Kuasa Kasasi, Kontra Memori Kasasi, Pengiriman Berkas Memori Kasasi ke MA.
19
Keseluruhan proses sebelum persidangan hingga setelahnya dilakukan pengawasan atas pelaksanaan penyelesaian perselisihan perburuhan, yakni di level PHI dilakukan oleh Ketua PN dan di level kasasi dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung.
5.1.5. Substantive due process
Substansi hukum yang menyangkut hubungan apakah hukum yang diberlakukan tidak sekalipun memiliki materi yang memungkinkan lahir ketidakadilan (unfair), kesewenangan, dan tanpa kejelasan alasan perlakuan suatu individu.
Dalam hal mengkaji sisi normatif UU No. 2 Tahun 2004, akan dilihat apakah undangundang tersebut memuat ketentuan yang mengandung diskriminatif, ataukah tidak terlampau memberikan perlindungan hukum lebih baik bagi yang lemah, dalam hal ini bagi buruh.
Karena sejak diundangkannya mekanisme PHI, di dalam UU No. 2 Tahun 2004 dinyatakan beberapa hal yang menjadi pertimbangan perlu ditetapkannya undangundang tersebut, yakni a.
Bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan perlu diwujudkan secara optimal sesuai dengan nilai-nilai Pancasila;
b.
Bahwa dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan industrial menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil dan murah;
c.
Bahwa UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU No. 12 Tahun 1064 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Dengan konteks demikian, timbul pertanyaan benarkah UU No. 2 Tahun 2004 tersebut dapat mewujudkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil dan murah menggantikan peraturan perundang-undangan yang lama?
Selama ini kajian-kajian hak atas proses peradilan yang adil dan tidak memihak memang lebih banyak terfokus pada proses peradilan itu sendiri, dan tidak banyak 20
mengurai atau mengkritisi substansi hukum yang mengatur peradilan itu sendiri. Padahal, keduanya tidak terpisahkan dalam memahami akses atau hak-hak atas proses peradilan itu sendiri. Oleh sebabnya, riset ini juga akan melihat apakah substansi hukum pengaturan Pengadilan Hubungan Industrial itu dirasakan adil oleh buruh. Inilah yang dimaksudkan substantive due process.
5.2. Analisis Terhadap Kerangka Normatif Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 5.2.1. Pengadilan Hubungan Industrial menurut UU No. 2 Tahun 2004
Dengan berlakunya UU No. 2 Tahun 2004, maka UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan kerja pada Perusahaan Swasta diyatakan tidak berlaku lagi. UU No. 2 Tahun 2004 sekaligus menghapus sistem penyelesaian perselisihan perburuhan melalui sistem P4P/D (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat/Daerah).
Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum. 9 Sebagaimana disampaikan oleh Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan, pengertian ”pengadilan khusus” di sini bukan hanya dari segi obyek perkara yang adalah sengketa perburuhan dalam hubungan perburuhan, tetapi juga dari segi susunan Majelis Hakim yang terdiri dari Hakim Biasa (karir) dan Hakim Ad Hoc (ahli) dan cara-cara beracara yang khusus seperti tidak adanya upaya hukum banding dan penjadwalan waktu penyelesaian perkara yang terbatas. 10 Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang No. 2 Tahun 2004. 11
Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. 12 Sedangkan yang dimaksud dengan ”Perselisihan Hubungan Industrial” sendiri adalah perbedaan pendapat yang 9
Pasal 55 UU No. 2 Tahun 2004. Tempo Interaktif, Ketua MA resmikan 33 Pengadilan Hubungan Industrial, 14 Januari 2006. 11 Pasal 57 UU No. 2 Tahun 2004. 12 Pasal 1 angka 17 UU No. 2 Tahun 2004. 10
21
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
13
Bila
dibandingkan dengan aturan sebelumnya, Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 22 Tahun 1957 memakai istilah yang berbeda dengan UU No. 2 Tahun 2004 tentang perselisihan hubungan industrial. UU No. 22 Tahun 1957 memakai istilah ”perselisihan perburuhan” yaitu pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan.
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial wajib diupayakan terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat yang harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. 14 Apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal. 15
Berdasarkan pasal 4 UU No. 2 Tahun 2004, dalam hal perundingan bipartit gagal maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud tersebut tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas. Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase.
13
Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2004. Pasal 3 ayat (1) jo. Ayat (2) UU No. 2 Tahun 2004. 15 Pasal 3 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2004. 14
22
Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator. Penyelesaian
melalui
konsiliasi
dilakukan
untuk
penyelesaian
perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh. Sedangkan penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
Setiap perundingan yang dilakukan oleh kedua belah pihak tersebut harus dibuat risalahnya yang ditandatangani oleh para pihak. 16 Risalah inilah yang kemudian menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial untuk dapat tidaknya menerima perkara karena dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial. 17
Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja. 18 UU No. 2 Tahun 2004 juga menentukan bahwa untuk pertama kali dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Propinsi yang daerah hukumnya meliputi propinsi yang bersangkutan 19 .
Dari sisi buruh hal ini berpotensi menimbulkan masalah terutama untuk buruh yang tempat kerjanya di daerah yang jauh dari ibukota propinsi. Misalnya tempat bekerja buruh berada di Jember, ketika menghadapi perselisihan hubungan industrial, buruh harus jauh-jauh datang ke Surabaya yang pastinya tidak cukup 1 (satu) hari diperlukan untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial tersebut dan hal tersebut memakan biaya yang tidak sedikit. UU No. 2 Tahun 2004 tampaknya juga sudah mengantisipasi hal ini dengan mengatur bahwa di Kabupaten/Kota terutama yang padat industri harus segera dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan 16
Pasal 3 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2004. Pasal 5 UU No. 2 Tahun 2004. 18 Pasal 81 UU No. 2 Tahun 2004. 19 Pasal 59 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004. 17
23
Negeri setempat dengan Keputusan Presiden 20 namun sampai sekarang hal tersebut belum terealisasi walaupun penjelasan Pasal 59 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2004 mengatur bahwa yang dimaksud dengan ”segera” adalah dalam waktu 6 (enam) bulan sesudah UU No. 2 Tahun 2004 berlaku.
Masalah lain bagi buruh adalah ketika mereka akan mengajukan gugatan dan harus membuat surat gugatan dapat dipastikan bahwa mereka akan kesulitan untuk membuat surat gugatan yang benar karena tingkat pendidikan mereka yang kurang tinggi dan kurangnya pengetahuan dalam bidang hukum walaupun serikat pekerja/serikat buruh dapat bertindak sebagai kuasa hukum mereka dan UU No. 2 Tahun 2004 memberikan ”jaminan” dalam Pasal 83.
Gugatan yang melibatkan lebih dari satu penggugat dapat diajukan secara kolektif dengan memberikan kuasa khusus. 21 Jika pengajuan gugatan tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada pengugat. Hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila terdapat kekurangan, hakim meminta penggugat untuk menyempurnakan gugatannya. Dalam penyempurnaan gugatan, Panitera atau Panitera Pengganti dapat membantu penyusunan/menyempurnakan gugatan. Untuk itu Panitera atau Panitera Pengganti mencatat dalam daftar khusus yang memuat : - Nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak; - Pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan atau obyek gugatan; - Dokumen-dokumen, surat-surat dan hal-hal lain yang dianggap perlu oleh penggugat. 22
Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan
20
Pasal 59 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2004. - Pasal 84 UU No. 2 Tahun 2004. - Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya (Lihat Pasal 87 UU No. 2 Tahun 2004). 22 Pasal 83 UU No. 2 Tahun 2004 jo. Penjelasan Pasal 83 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2004. 21
24
gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial hanya apabila disetujui tergugat. 23
Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perselisihan hubungan industrial. Yang dimaksudkan dengan perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan (pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2004). Perselisihan hubungan industrial meliputi: 24 a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak; b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan; c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja; d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Yang dimaksudkan dengan perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusa-haan, atau perjanjian kerja bersama. Sedangkan pengertian perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan PHK adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Dan pengertian perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan (pasal 1 angka 2-5 UU No. 2 Tahun 2004). 23 24
Pasal 85 UU No. 2 Tahun 2004. Pasal 56 UU No. 2 Tahun 2004.
25
Dalam hal perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja, maka Pengadilan Hubungan Industrial wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan 25 Sedangkan apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Hakim Ketua Sidang harus segera menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh yang bersangkutan. Putusan Sela tersebut dapat dijatuhkan pada hari persidangan itu juga atau pada hari persidangan kedua. Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan Putusan Sela tersebut tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha, Hakim Ketua Sidang memerintahkan Sita Jaminan dalam sebuah Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial. Putusan Sela dan Penetapan sebagaimana dimaksud tidak dapat diajukan perlawanan dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum. 26
Selanjutnya, UU No. 2 Tahun 2004 menentukan bahwa dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, pihak-pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya di bawah Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).27
UU No. 2 Tahun 2004 mengenal 2 (dua) acara pemeriksaan dalam Pengadilan Hubungan Industrial yaitu pemeriksaan dengan acara biasa dan pemeriksaan dengan acara cepat. Pemeriksaan acara cepat dilakukan atas permohonan para pihak dan/atau salah satu pihak kepada Pengadilan Hubungan Industrial supaya pemeriksaan sengketa dipercepat apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang 25
Pasal 86 UU No. 2 Tahun 2004. Di dalam hukum acara perdata dikenal bermacam-macam putusan sela, antara lain : putusan prepatoir dan putusan insidentil yang dipergunakan untuk mempersiapkan perkara, selain itu juga dikenal putusan provisional yaitu putusan yang dijatuhkan sehubungan dengan tuntutan dalam pokok perkara, dan sementara itu diadakan tindakan-tindakan pendahuluan untuk kefaedehan salah satu pihak atau kedua belah pihak (Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, 1997 : 110). Berkaitan dengan Pasal 86 UU No. 2 Tahun 2004 dinyatakan bahwa putusan sela wajib dilakukan dalam perkara tertentu, hal tersebut tidak di atur dalam hukum acara perdata. 26 Pasal 96 UU No. 2 Tahun 2004. Di dalam HIR tidak ada ketentuan mengenai boleh tidaknya hakim memerintahkan menjalankan putusan dengan segera tanpa diminta oleh yang berkepentingan. 27 Pasal 58 UU No. 2 Tahun 2004.
26
cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonan dari yang berkepentingan. 28
Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama. 29 Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat tetap.
Sedangkan putusan mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja : 1.
Bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan dalam sidang majelis hakim;
2.
Bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan. 30
Dan bagi pihak yang hendak mengajukan permohonan kasasi harus menyampaikan secara tertulis melalui Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut. 31
Berikut skema alur beracara di PHI, sebagaimana diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004.
28
Pasal 89 UU No. 2 Tahun 2004 jo. Pasal 98 UU No. 2 Tahun 2004. Hukum acara perdata tidak mengenal pemeriksaan dengan acara cepat. 29 Pasal 103 UU No. 2 Tahun 2004. 30 Pasal 109 UU No. 2 Tahun 2004 jo. Pasal 110 UU No. 2 Tahun 2004. 31 Pasal 111 UU No. 2 Tahun 2004.
27
Skema Perselisihan Hubungan Industrial Perjanjian Bersama
Perundingan Bipartit
30 hari
7 Hari (Tidak sepakat) -
Sepakat
MEDIASI perselisihan hak perselisihan kepentingan perselisihan PHK perselisihan antar serikat pekerja
Sepakat Perjanjian Bersama
-
KONSILIASI perselisihan kepentingan perselisihan PHK perselisihan antar serikat pekerja
30 Hari
-
Tidak Sepakat
ARBITRASE perselisihan kepentingan perselisihan antar serikat pekerja
30 Hari
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Akta Perdamaian 7 Hari (sejak permohonan pemeriksaan sengketa dipercepat)
Pemeriksaan dengan Acara Cepat
Pemeriksaan dengan Acara Biasa 7 Hari Penetapan Majelis Hakim 7 Hari
7 Hari Putusan Arbiter
Penetapan Majelis Hakim, hari, tempat, waktu sidang
30 Hari
Sidang I 50 Hari Putusan Akhir dan Bersifat Tetap - perselisihan kepentingan - perselisihan antar serikat pekerja
14 Hari
Permohonan Pembatalan Putusan Arbiter
Kasasi hanya untuk : - perselisihan hak - perselisihan PHK 14 Hari
KASASI
28
5.2.2. Kelemahan-Kelemahan Substantif UU No. 2 Tahun 2004
Ada sejumlah kelemahan-kelemahan substantif yang bisa ditemukan dalam UU No. 2 Tahun 2004, dan kelemahan-kelemahan tersebut sangatlah merugikan bagi pihak buruh, utamanya dalam beracara di PHI.
Kerancuan konsep Pasal-pasal dalam UU No.2 Tahun 2004
UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI dalam pengaturannya membawa perubahan yang signifikan berkaitan dengan proses penyelesaian perselisihan perburuhan di Indonesia. UU tersebut menghapus sistem penyelesaian perselisihan perburuhan melalui sistem P4P/D. Dimana dalam perkembangannya penyelesaian melalui P4P/D dianggap tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam UU tersebut ditentukan bahwa PHI merupakan “pengadilan khusus” yang berada pada lingkup peradilan umum, atau yang biasa disebut pengadilan negeri.
Konsep yang dominan dipandang rancu dalam UU No. 2 Tahun 2004 adalah terkait dengan konsep yang berhubungan denngan pemisahan jenis perselisihan PHK dengan perselisihan hak. Berkaitan dengan hal tersebut, kerancuan dapat menyebabkan dalam praktek seringkali terjadi yang pada awalnya adalah sebuah perselisihan hak, kemudian beralih menjadi perselisihan PHK, dimana PHK dianggap menjadi upaya yang paling mudah yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk mencegah buruh dalam memperjuangkan haknya.
Sejak awal, UU No. 2 Tahun 2004 sudah sarat kritik. Hal yang mendapat kritik paling tajam terutama menyangkut kelemahan konseptual yang cenderung melemparkan tanggung jawab negara dalam melindungi buruh, yang sebelumnya Pemerintah (Departemen Tenaga Kerja, atau dinas-dinas dibawahnya) yang kini diserahkan pada kekuasaan yudisial (PHI). Perpindahan tanggung jawab tersebut jelas kurang menguntungkan mayoritas buruh Indonesia, yang berposisi lemah dalam berperkara di persidangan.
Memang, dibandingkan dengan aturan sebelumnya, ada pula sejumlah kelemahan. Dalam UU No. 22 Tahun 1957, dipandang juga ada sisi kelemahan sebagaimana 29
dituliskan oleh Sjaiful DP (tanpa tahun). 1. Nama ”Panitia” pada P4D/P4P posisi hukumnya tidak kuat. 2. Keputusan P4D/P4P hanya dapat dipaksakan pelaksanaannya bila salah satu pihak tidak hendak menjalankan keputusan P4D/P4P melalui penetapan Pengadilan Negeri. 3. Adanya veto menteri yang dianggap mengadakan intervensi (ada juga beranggapan veto menteri diperlukan karena tujuannya untuk menjaga kalangan lebih luas agar tidak dirugikan. 4. Proses penyelesaian dianggap lamban sehingga penyelesaian perselisihan menjadi mahal. 5. Putusan yang diambil oleh P4P dirasakan masih kurang adil dan kurang tepat. 6. Pelaksanaan keputusannya masih memerlukan eksekusi dari Pengadilan Negeri yang tentu dapat disampaikan ke Mahkamah Agung mengikuti prosedur hukum perdata, sehingga perkara menjadi lama dan tambah mahal lagi.
Meskipun demikian, dalam konstruksi upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia, peran pemerintah yang kuat diperlukan dalam rangka pemajuan hak asasi manusia, khususnya hak-hak buruh. Hal ini mengingat posisi buruh yang lemah (secara struktural) dalam hubungan ketenagakerjaan, sehingga buruh sangat berpotensi dilanggar hak-hak normatifnya oleh pengusaha atau pemilik modal. Dalam hubungan asimetris antara buruh dan pengusaha/pemodal maka sangatlah diperlukan intervensi negara, khususnya pemerintah untuk bisa lebih memberikan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia sebagaimana mandat UUD 1945 Pasal 28I ayat (4).
Dengan digantikannya UU No. 22 Tahun 1957 dengan diundangkannya UU No. 2 Tahun 2004 tidak serta merta bahwa (i) sisi lemah dari proses sebelumnya melalui P4D/P4P dapat ditutupi; maupun (ii) penyelesaian perselisihan perburuhan menjadi cepat, tepat, adil dan murah seperti yang diharapkan.
Hal ini disebabkan UU No. 2 Tahun 2004 juga masih memiliki sejumlah kelemahankelemahan pula, antara lain:
1. Mediasi dan konsiliasi tidak diposisikan sebagai alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution) namun diposisikan sebagai ”mekanisme antara” 30
yang harus ditempuh oleh para pihak yang berselisih sebelum mereka menempuh jalur Pengadilan Hubungan Industrial melalui gugatan (Pasal 5) , dan Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat jika pengajuan gugatan tidak dilampiri penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi (Pasal 83 ayat (1)). Ketentuan ini memperpanjang proses dan menunjukkan belum adanya perubahan yang signifikan jika dibandingkan dengan peraturan perundangundangan yang lama. (Uwiyono 2004)
2. Penggunaan istilah ”mediasi” dan ”konsiliasi” adalah tidak tepat. Dalam UU No. 2 Tahun 2004 pengertian mediasi disamakan dengan konsiliasi. Yang dimaksud dengan mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) bekerjasama dengan pihak yang bersengketa untuk membantu memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan
sengketa.
Mediator
hanya
membantu
para
pihak
untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan yang dikuasakan kepdanya. Dalam sengketa dimana salah satu pihak lebih kuat dan cenderung menunjukkan kekuasaannya, pihak ketiga memegang peranan penting untuk menyetarakannya. Kesepakatan dapat tercapai dengan mediasi karena pihak yang bersengketa berhasil mencapai saling pengertian dan bersama-sama merumuskan penyelesaian sengketa tanpa arahan konkrit dari pihak ketiga. 32 Apabila pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan dan pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari sengketa maka proses ini disebut konsiliasi. Penyelesaian sengketa model konsiliasi mengacu pada pola proses penyelesaian sengketa secara konsensus antar pihak, dimana pihak netral dapat berperan secara aktif maupun tidak aktif. Pihakpihak yang bersengketa harus menyatakan persetujuan atas usulan pihak ketiga tersebut dan menjadikannya sebagai kesepakatan penyelesaian sengketa (Margono 2000: 28-29).
3. Pasal 1 ayat (12) dan Pasal 1 ayat (13) mengatur tentang siapa yang menjadi mediator dan konsiliator. Mediator dan konsiliator tersebut bukan berdasar pilihan 32
Lihat Pasal 13 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis.
31
atau seleksi para pihak yang berselisih sehingga jarang dihasilkan kesepakatan yang bisa diterima secara sukarela oleh kedua belah pihak dan belum bisa mewujudkan rasa adil bagi para pihak. Ketimpangan juga dirasakan apabila perselisihan berlanjut ke Pengadilan Hubungan Industrial, dari sisi buruh mereka lebih lemah dari segala sisi misalnya : taraf pendidikan dan ekonomi dibandingkan pengusaha.
4. Dengan berlapisnya jalur yang harus ditempuh dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial akan berdampak pula kepada biaya (resmi dan tidak resmi) yang harus dikeluarkan para pihak. Beban yang lebih berat tentu saja terletak di buruh karena secara finansial mereka lebih lemah daripada pengusaha walaupun sudah ada ”jaminan” dalam pasal 58.
Dengan kelemahan-kelemahan substantif tersebut akan melengkapi persoalan yang harus dihadapi oleh buruh dalam beracara di PHI. Dan bisa dibayangkan bahwa sejak mula UU No. 2 Tahun 2004 ini dibentuk, ditujukan pada upaya liberal penyelesaian konflik buruh-pengusaha melalui pengadilan. Meskipun, bisa diselesaikan tanpa proses beracara di PHI, namun proses sebelumnya pun terdapat sejumlah kelemahan seperti yang diuraikan di atas, sehingga posisi struktural buruh kian (di)lemah(kan).
5.3. Analisis Terhadap Kerangka Implementatif Pengadilan Hubungan Industrial 5.3.1. Implementasi Prinsip Fair Trial dan HAM Dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Mekanisme Pengadilan Hubungan Industrial Dalam bagian ini, akan diuraikan bagaimana sesungguhnya prinsip-prinsip fair trial dan hak asasi manusia dijalankan dalam proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mekanisme PHI, apakah sesuai ataukah sebaliknya, justru menjauhkan dari prinsip-prinsip tersebut.
PHI Surabaya sejak pertama kali berdiri (2006) hingga kini, telah menerima 362 kasus gugatan. Tahun 2007 saja hingga bulan Agustus sudah mencapai 146 kasus, dan sudah
32
diputus 129 kasus. Tentu jumlah ini relatif sedikit dibandingkan dengan persoalan buruh yang terjadi di seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur.
Kehadiran PHI dalam proses penyelesaian perselisihan sesungguhnya lahir di tengahtengah memburuknya situasi kebijakan politik perburuhan yang demikian menyulitkan kepentingan hak-hak buruh, apalagi disertai dengan menguatnya politik investasi dalam penentuan kebijakan dan hukumnya. Kita menyaksikan betapa sejak tiga paket UU Peruburuhan (UU Serikat Buruh 2000, UU Ketenagakerjaan 2003, dan UU PPHI 2004), telah banyak sekali terjadi unjuk rasa dari kalangan buruh untuk menolak sejumlah substansi undang-undang perburuhan tersebut. Sehingga tidak begitu mengherankan bilamana persepsi awal terhadap implementasi proses yudisial di PHI untuk menyelesaikan perselisihan buruh-pengusaha menjadi kian diragukan, karena buruh pula dan lagi terkena dampaknya.
Dalam konteks penyelenggaraan PHI, dampak tersebut dapat terlihat dari sejumlah penyimpangan atas proses beracara. Utamanya, menyangkut kepentingan buruh yang seharusnya mendapatkan perlindungan hukum karena kedudukannya lebih lemah dibanding pengusaha. Oleh sebab itu, situasi yang demikian berpotensi melahirkan ketidakadilan di dalam menempuh proses peradilan (judicial process).
Pungutan Liar
Dalam implementasi PHI, perlu ditinjau apakah proses peradilan perselisihan hubungan industrial telah pula berjalan tanpa ada kecurangan untuk mempengaruhi posisi atau kedudukan yang sama tersebut (antara buruh-pengusaha), misalnya tidak sekalipun melibatkan unsur suap-menyuap terhadap hakim, pungutan-pungutan illegal ataupun jual beli putusan, sehingga melanggar prinsip semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum dan institusi peradilan. Tentu saja, pembuktian atas praktek tersebut tidaklah mudah, dan harus dibuktikan di lapangan oleh para pihak pelaku pencari keadilan.
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman buruh, seringkali putusan-putusan hakim PHI tidaklah berkualitas, dan cenderung lebih banyak menyalahkan dan mengalahkan posisi buruh. Sehingga tidak begitu mengherankan bila terdapat asumsi dari kaum 33
buruh yang menyatakan hakim-hakim di PHI dicurigai telah disuap terlebih dahulu sebelum putusan. Namun, yang lebih memilukan adalah praktek nyata pungutan liar.
Sebagai contoh, dalam praktek PHI Surabaya, terjadi banyak sekali pungutanpungutan liar atau illegal tanpa ada dasar hukum yang jelas. Hal ini karena sejumlah buruh diminta membayar dengan biaya yang beragam, apalagi cukup membebani buruh. Sebagaimana ditegaskan oleh Forum Buruh Surabaya (FBS), mulai dari pendaftaran gugatan, surat kuasa, pembuktian, dan kasasi, dibebankan biaya kepada buruh. Saat pendaftaran gugatan, buruh sudah harus dikenai biaya oleh panitera, dimana buruh harus mendaftar dan melegalisir gugatan di dua tempat. Berkaitan dengan pengurusan administrative, pada awalnya buruh juga harus melakukan pengurusan di dua tempat berbeda, seperti halnya pendaftaran surat kuasa, pendaftaran gugatan juga dilakukan di dua tempat, yaitu melalui PHI di Jalan Dukuh Menanggal dan Panitera PN Surabaya di Jalan Arjuna. Tidak hanya itu, dalam proses pembuktian surat, buruh harus mengeluarkan biaya untuk mengurus di tiga tempat sekaligus, yaitu di Kantor Pos Besar, PHI dan Pengadilan Negeri. Lebih lanjut dalam proses-proses berikutnya, pengurusan administrasi berperkara juga ditemui, yang pada intinya dianggap sangat tidak efektif bagi proses implementasi Pengadilan Hubungan Industrial. Menyangkut besaran biaya, untuk legalisir surat kuasa saja, buruh diminta membayar “uang administrasi” sebesar Rp. 10 ribu oleh panitera, legalisir alat bukti Rp. 12 ribu per bukti, dan salinan putusan Rp. 20 ribu (dalam kasus KFC Ramayana Sidoarjo v. Nugroho Arif) (Jamaludin, tanpa tahun: 2).
Padahal, praktek pungutan liar di PHI semacam itu jelas-jelas dilarang dan telah ditegaskan dalam pasal 58 UU No. 2 Tahun 2004, dinyatakan bahwa dalam proses beracara di PHI, pihak-pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya di bawah Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Apalagi, dalam Surat Mahkamah Agung (SEMA), Ketua Muda Perdata, Arifin A Tumpa, SH. (Nomer 06/Tuada Pdt/X/2006) juga sudah mengeluarkan kebijakan untuk tidak membebankan biaya dalam proses pendaftaran di PHI. Artinya, buruh seharusnya tidak dibebani pembiayaan-pembiayaan apapun untuk pengurusan kasus-kasus yang dihadapinya.
Meskipun ada pungutan liar, tidak semua pungutan itu diberlakukan pada buruh. Ada 34
sejumlah serikat buruh yang kuat menolak dan melawan pungutan liar tersebut sehingga Panitera tidak sekalipun berani memintanya. Misalnya terhadap serikat buruh seperti KASBI (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia), ABS (Aliansi Buruh Sidoarjo), FSPMI (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia), dan FBS (Forum Buruh Surabaya).
Dengan suburnya praktek pungutan liar atau illegal semacam itu, disertai dengan berlapis-lapis proses administrasi peradilan yang harus ditempuh dalam beracara di PHI, tentunya akan mengurangi makna ‘equal’ (kedudukan yang sama) dalam proses penyelesaian perselisihan, karena salah satu pihak telah “membeli” putusan dan atau sikap hakim, atau pihak lain harus membayar sesuatu tanpa kejelasan standar dan pertanggungjawabannya. Dengan situasi demikian maka dipastikan PHI sangatlah tidak memenuhi kualifikasi memperlakukan secara adil dan jelas tidak memenuhi esensi prinsip semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum dan institusi peradilan (prinsip equality before the law).
Penyimpangan Hukum Acara
Secara
struktural,
PHI
merupakan
pengadilan
yang memiliki
kewenangan
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 2 Tahun 2004. Sebagaimana badan peradilan lainnya, PHI haruslah pula bebas dan tidak berpihak. Dalam prinsip yang disebutkan di atas, yang menjadi tekanan adalah setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil. Dalam praktek PHI, ditemukan banyak sekali penyimpangan Hukum Acara Perdata, bahkan saking banyaknya, buruh mengeluhkan ketidakjelasan proses beracara di PHI.
Dalam kasus yang ditemukan di PHI Surabaya, salinan putusan sengaja tidak diberikan dalam kurun waktu 14 hari setelah putusan ditandatangani. 33 Bagi buruh, pengalaman kelambanan atau kesengajaan tidak diberikannya salinan putusan adalah upaya memangkas kesempatan bagi buruh untuk mengajukan kasasi, dimana lewat dari 14 hari putusan yang telah ditandatangani hakim tersebut berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Bahkan pengalaman menyedihkan adalah dalam kasus 33
Pasal 106 UU No. 2 Tahun 2004 dinyatakan: Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan ditandatangani, Panitera Muda harus sudah menerbitkan salinan putusan.
35
KFC Ramayana Sidoarjo v. Nugroho Arif, dimana salinan putusan tersebut baru bisa diberikan kepada buruh setelah kantor pengadilan (PN Surabaya) diduduki dan didemonstrasi terlebih dahulu. 34 Artinya, buruh harus menggunakan mekanisme extralegal untuk menggapai hak-hak prosedural hukumnya dalam beracara di PHI, padahal seharusnya kewajiban PHI lah yang harus dikedepankan untuk menjaga segala proses beracara secara adil.
Bagaimana sesungguhnya penegakan hukum di PHI dikaitkan dengan proses hukum acara, apakah dijalankan sebagai aturan formal sebagaimana disebutkan dalam standar hukum acara perdata, ataukah tidak? Berikut tabulasi awal untuk menggambarkan secara sederhana praktek penyimpangan dalam pelaksanaan PHI.
Tabel: Penyimpangan dan Masalah dalam Pelaksanaan PHI (Kasus PHI Surabaya) No.
01
02
Proses Hukum Acara
Secara Umum Tiadanya Pembebanan Biaya Perkara bagi sengketa dengan nilai gugatan di bawah Rp. 150 juta. .
Pengawasan atas pelaksanaan PHI, di level PHI dilakukan oleh Ketua PN, sedangkan di kasasi dilakukan oleh Ketua MA
Dasar Hukum
Penyimpangan Aturan atau Masalah yang Dihadapi Buruh
Pasal 58 UU PPHI; Surat Mahkamah Agung, Ketua Muda Perdata, Arifin A Tumpa, SH. (Nomer 06/Tuada Pdt/X/2006) Pasal 71 UU PPHI
Biaya perkara dipungut hampir di semua lini yang berkaitan dengan administrasi persidangan, utamanya dilakukan oleh Panitera PHI (pendaftaran, legalisasi, hingga salinan putusan).
Pengawasan tidak dijalankan secara jelas, tegas, dan konsisten. Misalnya, pengaduan tidak mendapatkan tindak lanjut yang jelas. Akibatnya buruh merasakan adanya konspirasi di
34
Latar belakang kasus tersebut menyangkut salah seorang pekerja KFC Ramayana Sidoarjo, Nugroho Arif, yang di-PHK, dan putusan PHI mengabulkan pihak KFC untuk memecat. Putusan tersebut hendak dikasasi. Namun Ketua Umum Serikat Pekerja Mandiri (SPM) PT Fastfood Indonesia Yudi Endartha, sebagaimana dikutip dalam Kompas Jatim (18 Oktober 2006), menyatakan rencana pengajuan kasasi atas kasus yang ditangani hampir tidak bisa dilakukan. Hal tersebut diakibatkan salinan putusan yang dibacakan 19 September 2006 tidak juga diterbitkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jawa Timur. Padahal, lewat dari 20 Oktober 2006, putusan akan berkekuatan hukum tetap (Jamaludin, tanpa tahun).
36
tubuh PHI sendiri 03
Secara Khusus Pendaftaran Gugatan
Pasal 81 s/d Pasal 88 UU PPHI
04
05
Pendaftaran Surat Kuasa
06
Pembacaan Gugatan
07
Jawaban Tergugat
08
Putusan Sela (dan Sita Jaminan bila Putusan Sela tidak dilaksanakan)
09 10 11
Replik Duplik Pembuktian Surat
Pasal 87 jo. Pasal 84 UU PPHI Pasal 89 ayat (1) UU PPHI Pasal 132a jo. Pasal 132b HIR Pasal 96 UU PPHI
Pasal 137 jo. Pasal 138 HIR
12
13
14
Pembuktian Saksi
15
Kesimpulan
Pasal 90 UU PPHI
Dikenakan biaya di luar aturan (illegal fee) oleh Panitera PHI, meskipun kasusnya di bawah Rp. 150.000.000,Pendaftaran dan legalisir harus dilakukan di dua tempat, yakni di Panitera Muda PHI (Jalan Dukuh Menanggal) dan Panitera PN Surabaya (Jalan Arjuno). Namun tahun 2007 sekarang telah terpusat di PHI. -
Hakim Ketua PHI sangat jarang menjatuhkan putusan sela (dan sita jaminan), padahal, misalnya dalam soal sengketa pemenuhan upah sebagai hak normatif adalah ketentuan yang demikian jelas. Namun, hakim masih memerlukan pembuktian untuk menjatuhkan putusan sela. Buruh mengalami kesulitan dalam menyediakan surat sebagai alat bukti, karena biasanya menyangkut surat-surat yang dibuat oleh perusahaan, dan kerapkali dimanipulasi, sehingga buruh tidak berdaya dalam pembuktian surat Pengurusan surat sebagai alat bukti harus dilegalisir di 3 tempat, yakni: Kantor Pos Besar, PHI dan PN Arjuno. Buruh yang mengurus legalisir alat bukti surat dikenai biaya di luar aturan. -
37
16
Putusan
Pasal 100 s/d Pasal 109 UU PPHI
18
Pendaftaran Kasasi (wajib disertai memori kasasi)
19
Pendaftaran Surat Kuasa Kasasi
20
Kontra Memori Kasasi (fakultatif)
21
Pengiriman Berkas Memori Kasasi ke MA
Pasal 110 s/d Pasal 112 UU PPHI jo. Pasal 47 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 Pasal 44 ayat (1) huruf a UU No. 14 Tahun 1985 Pasal 47 ayat (3) UU No. 14 Tahun 1985 Pasal 48 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985
17
Salinan putusan tidak segera diberikan, bahkan hingga batas waktu 14 hari sejak ditandatangani putusan Untuk mendapatkan salinan putusan, bagi buruh yang berperkara harus membayar di luar ketentuan. Untuk pendaftaran kasasi dikenai biaya ”administrasi”.
Prosesnya sangat lambat.
-
-
Buruh, dengan melihat tabulasi penyimpangan dan masalah di atas, memperlihatkan betapa tidak berdayanya mereka di mata proses hukum beracara di PHI. Sementara di sisi lain, skenario hukum liberalisme telah benar-benar berhasil menarik mundur campur tangan negara dalam proses penyelesaian hubungan industrial. Akibatnya, dengan hadirnya PHI, hak-hak asasi manusia khususnya bagi buruh terancam tercerabut secara sistematik dan rapi di dalam skema pelemahan dan pelumpuhan proteksi hukum perburuhan sekarang ini.
Sungguh ironis memang langkah pembaruan hukum kita yang begitu mudah mengadopsi dari kepentingan transplantasi hukum oleh neo-liberal proponen, dan kini cukup leluasa membajak hukum dan memistifikasi secara halus hak-hak asasi manusia. Dan buruh, dalam situasi yang demikian menjadi korban.
Substansi Hukum Yang Tidak Adil
Apakah aturan UU No. 2 Tahun 2004 yang menyediakan mekanisme hukum perselisihan hubungan industrial telah memberikan rasa keadilan bagi buruh? Atau,
38
apakah mekanisme hukum tersebut sesungguhnya melindungi hak-hak buruh dalam menyelesaikan perselisihan? Pertanyaan-pertanyaan demikian sebenarnya menyangkut substansi hukum (substantive due process) yang menyangkut hubungan apakah hukum yang diberlakukan tidak sekalipun memiliki materi yang memungkinkan lahir ketidakadilan (unjust), kesewenangan, dan tanpa kejelasan alasan perlakuan suatu individu.
Sejati atau esensi aturan tentang perburuhan adalah proteksi hukum terhadap buruh. Oleh sebabnya, hukum perburuhan yang menanggalkan sisi proteksi buruh adalah kekeliruan mendasar dan tidak memiliki sisi keadilan. Sejak tahun 1997-1998 digulirkannya sejumlah upaya perubahan undang-undang perburuhan, sehingga hukum perburuhan di Indonesia mengalami banyak perubahan secara cepat dan masif, utamanya dalam mengatur sejumlah pasal-pasal yang sesungguhnya menjadi kekhawatiran potensi hilangnya hak buruh, termasuk dalam konteks perubahan tersebut adalah UU PPHI (UU No. 2 Tahun 2004).
Dalam pelaksanaan penyelenggaran PHI, dalam kenyataanya bahwa mekanisme hukum yang harus ditempuh oleh buruh sungguh berliku-liku, berat dan dipaksa memahami hukum beracara (keperdataan) serta menuntut buruh untuk memiliki ketrampilan khusus untuk proses penyelesaian di PHI. Bisa dibayangkan di PHI Surabaya misalnya, bagaimana buruh-buruh perkotaan, atau bahkan buruh-buruh perkebunan yang berasal mayoritas bekerja di basis-basis perdesaan, dengan latar belakang pendidikan rendah, seperti buruh perkebunan yang ditemui di daerah Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Jember, Kabupaten Malang (Malang Selatan), Kabupaten Blitar, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Kediri, Kabupaten Madiun, dan Kabupaten Ngawi, yang menuntut buruhnya harus menempuh perjalanan cukup jauh, mahal dan berat, sehingga jelas membebani buruh dan keluarganya, dan menghabiskan waktu lama, untuk beracara di PHI Surabaya. Ini berarti keterbatasan infrastruktur peradilan yang terjangkau telah secara substansial mempengaruhi hakhak buruh. Dalam konteks demikian, buruh sungguh benar-benar tidak berdaya.
Ketidakberdayaan tersebut bagi buruh sebenarnya lahir akibat dari, pertama, bahwa pembentukan PHI (meskipun dalam beracara didahului proses bipartit, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase) telah menunjukkan disain penarikan peran negara yang 39
seharusnya menjadi pihak yang melindungi kepentingan buruh yang posisinya lemah (restraining state roles). Sebagaimana disinggung di muka bagian penelitian ini bahwa lahirnya UU PPHI tidaklah bisa dilepaskan oleh konteks pembaruan hukum yang pro pasar bebas (neo-liberalism paradigm). Mekanisme intervensi negara (sebagai konsep implementasi tanggung jawab negara dalam perlindungan hak asasi manusia) melalui P4D/P4P telah digerus dengan menghadirkan peran liberal peradilan khusus. Asumsinya, mekanisme peradilan selama ini dianggap lebih baik dan bertanggung jawab sehingga bisa menjamin perlindungan buruh. Namun, asumsi tersebut kurang tepat karena semestinya menempatkan posisi negara dalam konteks pemajuan hak-hak asasi manusia sebagaimana mandat konstitusional, dimana dalam konteks penyelesaian perselisihan perburuhan negara harus hadir dalam melindungi hak-hak asasi buruh.
Kedua, tidak begitu mengherankan sesungguhnya bagi buruh bahwa selain keterbatasan mereka dalam pengetahuan dan ketrampilan beracara di PHI, kenyataannya buruh harus berhadapan dengan realitas inkonsistensi penegakan hukum dan gurita mafia peradilan di dalam tubuh PHI sendiri.
Ketertutupan Informasi
Baru-baru saja, Ketua Mahkamah Agung mengeluarkan Keputusan Ketua MA RI No. 144/KMA/SKIVIII/2007 Tahun 2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan tertanggal 28 Agustus 2007. Pada saat penelitian ini dilakukan, peraturan ini masih banyak belum diketahui oleh para hakim, apalagi oleh buruh.
Berdasarkan pasal 2 KMA, dinyatakan bahwa ”Setiap orang berhak memperoleh informasi dari Pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Sebagai konsekuensinya, pengadilan harus menyediakan informasi yang bersifat terbuka dan dapat diakses publik (Pasal 3 ayat 1 KMA).
Hak-hak atas akses informasi tersebut dijamin melalui pengumuman yang harus diselenggarakan oleh pengadilan, meliputi informasi:
40
1. gambaran umum Pengadilan yang, antara lain, meliputi: fungsi, tugas, yurisdiksi dan struktur organisasi Pengadilan tersebut serta telepon, faksimili, nama dan jabatan pejabat Pengadilan non Hakim; 2. gambaran umum proses beracara di Pengadilan; 3. hak-hak pencari keadilan dalam proses peradilan; 4. biaya yang berhubungan dengan proses penyelesaian perkara serta biaya hak-hak kepaniteraan sesuai dengan kewenangan, tugas dan kewajiban Pengadilan; 5. putusan dan penetapan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; 6. putusan dan penetapan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tingkat Banding yang belum berkekuatan hukum tetap dalam perkara-perkara tertentu. 7. agenda sidang pada Pengadilan Tingkat Pertama; 8. agenda sidang pembacaan putusan, bagi Pengadilan Tingkat Banding dan Pengadilan Tingkat Kasasi; 9. mekanisme pengaduan dugaan pelanggaran yang dilakukan Hakim dan Pegawai; 10. hak masyarakat dan tata cara untuk memperoleh informasi di Pengadilan.
Dari pantauan di lapangan, khususnya di PHI Surabaya, masih belum bisa banyak diharapkan, karena praktis seluruh informasi yang harus diumumkan melalui papan pengumuman (sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) jo. 7 ayat (1) KMA), sama sekali tidak dipenuhi.
Terkait dengan informasi yang dapat diakses publik, informasi perkara yang terbuka berdasarkan pasal 15 KMA adalah: putusan dan penetapan Pengadilan baik yang telah berkekuatan hukum tetap maupun yang belum berkekuatan hukum tetap dalam perkara-perkara tertentu, tahapan suatu perkara dalam proses pengelolaan perkara, dan data statistik perkara. Yang baru tersedia dalam ruang PHI Surabaya hanyalah data statistik perkara.
Tentu, keinginan keterbukaan informasi di pengadilan menjadi penting untuk didorong bagi upaya menciptakan akses keadilan yang lebih mudah bagi buruh dalam berperkara di PHI.
41
Jangkauan Wilayah dan Waktu untuk suatu Penyelesaian melalui PHI
PHI memang pada tahapan awal hanya diselenggarakan di ibukota propinsi (in casu, Surabaya). Persoalannya, bagaimana bila buruh-buruh yang tinggal di luar kota Surabaya, apalagi yang jarak tempuh dan waktunya cukup jauh dan panjang?
Dalam sebuah kasus yang menghadapkan seorang buruh toko yang di-PHK oleh Toko Aman, di Kabupaten Banyuwangi. Persidangan hanya berlangsung dua kali dan kemudian berhenti akibat tidak ada lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk menempuh perjalanan Banyuwangi-Surabaya berulang kali. Kasusnya berakhir dengan ”perdamaian” yang sangat terpaksa.
Dengan merefleksikan kasus yang demikian, maka sungguh sangat tidak adil bila seorang buruh harus mengurus kasusnya berulang kali dengan jarak yang sesungguhnya tidak sebanding dengan jumlah sengketa hubungan ketenagakerjaannya.
5.4. Hambatan dan Peluang dalam Implementasi Mekanisme PHI
Keberadaan UU No. 2 Tahun 2004, tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) secara teori dan teknis, membawa perubahan yang signifikan dalam penyelesaian perselisihan perburuhan di Indonesia UU tersebut sebagai dasar hukum bagi keberlakuan PHI, dengan mekanisme penyelesaian perselisihan perburuhan secara cepat, tepat, adil dan murah. Namun dalam implementasinya, PHI secara prosedural, sebagaimana diuraikan dalam bagian sebelumnya,
justru menjadi
kontroversial terutama untuk buruh dalam mencari keadilan.
5.4.1. Keterbatasan Pengetahuan dan Ketrampilan Hukum
Apa sesungguhnya hambatan dalam implementasi PHI, utamanya bagi buruh? Hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan hubungan industrial adalah sama dengan hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, ditambah dengan mekanisme dalam UU No.2 Tahun 2004 dan Surat Keputusan Ketua MA sebagai peraturan pelaksanaan dan administrasi perkara. Pada umumnya proses beracara dalam pengadilan hubungan industrial ini menjadi suatu hal 42
yang menyulitkan secara teknis bagi para buruh, dikarenakan faktor keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan hukum, apalagi buruh bukanlah sebagai praktisi hukum, apalagi dididik sebagai sarjana hukum. Sehingga keterbatasan tersebut yang menjadi hambatan bagi buruh.
Hal ini sebenarnya diakui oleh Mahkamah Agung, ketika Ketua Muda Perdata Niaga Mahkamah Agung, Abdul Kadir Mappong, mengatakan, masih banyak pihak yang berselisih yang belum memahami hukum acara. Kondisi ini mengakibatkan persidangan molor karena majelis hakim harus menjelaskan banyak hal untuk membantu pihak yang bersengketa memenuhi asas administrasi persidangan (Kompas, 22 September 2007).
Sementara di sisi lain, ironisnya, dalam prosedural formal beracara di PHI, hal yang sering terjadi adalah kebiasaan hakim karir cenderung lebih pada penerapan hukum acara perdata secara murni sebagaimana terdapat dalam HIR/RBg. Hal ini menjadi suatu yang kontradiktif dengan posisi buruh yang berperkara di PHI, dengan segala keterbatasaannya utamanya menyangkut biaya untuk sewa pengacara atau advokat, maka buruh dalam hal ini jarang menggunakan jasa mereka untuk berperkara. Pilihannya adalah pembelaan yang dilakukan oleh serikat-serikat buruhnya sendiri.
5.4.2. Interpretasi Penerapan atas Hukum Acara
Penerapan hukum acara perdata juga menjadi salah satu faktor hambatan praktis dalam terwujudnya penyelenggaraan PHI secara murah dan cepat. Di antara Majelis Hakim, baik dari hakim karir maupun non-karir (termasuk perwakilan buruh), penafsiran atas penerapan hukum acara perdata secara murni seringkali berbeda atau berbenturan. Hakim ad hoc yang berasal dari unsur serikat buruh memiliki kecenderungan untuk lebih fleksibel, dengan mengatasnamakan kepentingan buruh, sehingga prosedural formal yang dipersepsikan sepanjang prosedural tersebut merugikan buruh, maka lebih terbuka untuk melakukan penyesuaian.
Pada prakteknya, dapat dimungkinkan seorang hakim mempunyai persepsi yang berbeda, sebagaimana ditegaskan dalam aturan hukum. Sebagai contoh, tentang para pihak yang berperkara, seorang kepala personalia mempunyai hak untuk mewakili 43
pihak perusahaannya untuk berperkara di pengadilan hubungan industrial. Dalam hal ini, Majelis Hakim PHI dapat saja mempunyai pandangan yang berbeda, yaitu untuk menolak ataupun menerima bahwa pihak yang tanpa adanya surat ijin berperkara (kartu advokat) dapat berperkara di PHI. Sementara, dalam kasus tertentu, hakim ad hoc yang berasal dari unsur serikat buruh lebih bersikap fleksibel untuk menerima pihak tanpa kartu advokat tersebut, untuk berperkara, hal ini didasari pada pemikiran untuk mempercepat dan mempermudah proses pemeriksaan di PHI.
Dalam praktek, terjadi pula problem penerapan hukum acara. Yang paling serius adalah menyangkut Putusan Sela, Pembuktian dan Eksekusi. Dalam soal putusan sela, memang hakim jarang sekali mengeluarkan putusan sela karena hakim menganggap pihak buruh tidak memberikan bukti atas dalil-dalil yang meminta putusan sela. Salah seorang hakim di PHI Surabaya misalnya, menyatakan bahwa penerapan hukum acara perdata kurang tepat bila beban pembuktian diserahkan pada buruh, mestinya pihak pengusaha atau tergugat yang harus melakukannya. Hanya saja hukum acaranya tidak mengatur demikian. Pembuktian dalam persidangan pun juga demikian. Dalam praktek di negara lain, misalnya di Belanda, sebagaimana dikemukakan oleh Gustav Heerma van Voss dari Leiden University, Hakim berperan sangat responsif untuk mendorong pembuktian terbalik sehingga tidak terlampau merisaukan bagi buruh untuk mengajukan dalil-dalilnya.
Dan yang paling menyulitkan adalah pula terkait dengan eksekusi. Seringkali Hakim PHI merasakan keterbatasan atas hukum acara yang tidak menjangkau proses eksekusi dalam putusannya. Misalnya, bila putusannya menyangkut mempekerjakan kembali buruh di suatu perusahaan, tidak jarang pengusaha tidak mengindahkan putusan tersebut. Sehingga buruh akhirnya terpaksa melakukan gugatan PMH (Perbuatan Melawan Hukum) melalui PN. Tentu mekanisme menjadi berkepanjangan dan tidak efektif akibat tidak bisa dilangsungkannya eksekusi.
5.4.3. Ketentuan Administratif Buruh untuk Berperkara di PHI
Dalam pasal 87 UU 2 Tahun 2004 dirumuskan bahwa serikat pekerja atau serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di PHI untuk mewakili anggotanya, hal tersebut juga diatur dalam UU No.21 tahun 44
2000. Namun, dalam implementasinya hal ini sulit untuk dilaksanakan. Ada sejumlah persyaratan yang cukup rumit untuk dipenuhi, seperti syarat yang membuktikan tentang adanya kartu keanggotaan serikat buruh, surat pencatatan organisasi buruh, dan surat kuasa dari buruh kepada organisasinya, yang kesemuanya itu memerlukan proses yang memakan waktu dan biaya dalam pengurusannya.
Ketentuan-ketentuan yang bersifat administratif demikian sangat berpotensi menghambat bagi buruh untuk berperkara di PHI. Padahal, sebagaimana ketentuan dalam UU No. 2 Tahun 2004 jo UU No. 21 Tahun 2000, hal demikian tidak perlu terjadi mengingat bahwa secara prosedural, beracara di PHI tidak saja mengacu kepada hukum acara perdata, melainkan pula mengacu pada kekhususan (lex specialis) pada UU No. 2 Tahun 2004 itu sendiri. Artinya, sudah semestinya bahwa penerapan hukum acara perdata murni harus dikecualikan untuk hal-hal khusus utamanya dalam berperkara di PHI.
5.4.4. Masalah Pengurusan Administrasi di Dua Tempat
Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan melalui mekanisme pengadilan hubungan industrial, seperti yang telah ditentukan dalam UU No. 2 Tahun 2004 secara cepat, tepat, murah, dan adil, dimana dalam beracaranya menggunakan prosedur sesuai yang ada dalam hukum acara perdata ditambah dengan kekhususan prosedur yang telah ditentukan dalam UU No. 2 Tahun 2004. Namun, konsep beracara cepat, tepat, murah dan adil seperti yang diharapkan, tidaklah mudah dilaksanakan dalam proses penyelengaraan PHI. Salah satunya adalah di saat awal-awal berdirinya PHI, masalah pengurusan administrasi di dua tempat yang dirasakan kurang mencerminkan prosedur cepat, murah dan seterusnya.
Mengapa terjadi masalah pengurusan administrasi di dua tempat, apa yang menyebabkannya dan apa dampaknya bagi buruh?
PHI merupakan pengadilan khusus di bawah lingkup peradilan umum di bawah Mahkamah Agung, berkedudukan di ibukota propinsi. Hadirnya PHI ditujukan untuk menggantikan mekanisme P4D/P4P yang selama ini dianggap kurang efisien, apalagi 45
bila kasus perselisihan tersebut pada akhirnya harus dibawa ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) yang dalam prakteknya terbukti justru bisa memakan waktu yang lama, prosesnya panjang hingga ke MA dan tentunya, menghabiskan cukup besar biaya proses penyelesaiannya.
Di Surabaya, keberadaan PHI berlokasi di eks. Gedung P4D Jawa Timur, yakni di Jalan Dukuh Menanggal I/12 Surabaya. Pada saat pengurusan administrasi dirasakan tidak begitu efisien harus melakukan proses penyelesaiannya di dua tempat, yakni di PHI dan Pengadilan Negeri Surabaya (Jalan Arjuno). Bagi buruh, dua tempat pengurusan administrasi tersebut menambah besar biaya sebelum berperkara di PHI, dan juga memperpanjang proses adinistrasi itu sendiri. Tidak hanya buruh yang dirugikan, bagi pengusaha pun sebenarnya rugi akibat panjangnya proses pengurusan administrasi sehingga bisa mengganggu proses produksi perusahaan. Dan tentunya bagi buruh akan menjadi sangat dirugikan dengan ketidakefisienan pengurusan administrasi menuju berperkara di PHI.
Upaya untuk menjadikan beracara di PHI dengan akses murah pun juga sulit dilakukan. Karena hambatan yang muncul justru ketika biaya-biaya yang harus dibayarkan terlampau membebani buruh. Biaya registrasi surat kuasa dari penggugat terhadap kuasa hukum yang mencapai sebesar Rp 25.000-Rp 100.000 jelas sangat memberatkan buruh. Begitu juga dengan biaya pendaftaran gugatan, pengambilan salinan putusan, sampai biaya eksekusi yang keseluruhannya bisa mencapai Rp 2 jutaRp 5 juta, maka tentulah buruh tidak akan bisa banyak berkutik dengan besarnya biaya berperkara di PHI. Dengan situasi demikian, maka Mahkamah Agung sudah seharusnya memangkas biaya perkara yang muncul dalam gugatan buruh.
Kini meskipun situasinya berubah, pengurusan tidak lagi di dua tempat, namun perlu pula didorong agar upaya administrasi agar diproses secara lebih cepat agar tidak merugikan para pihak yang berperkara.
5.4.5. Proses Beracara dalam Waktu yang Lama
Dengan skema alur beracara PHI sebagaimana diuraikan dalam bagian sebelumnya, menyebabkan proses sidang yang membuat harapan dan perlindungan hak buruh 46
terhadap pengadilan hubungan industrial (PHI) untuk menyelesaikan sengketa dengan pengusaha terus menurun.
Dalam proses beracara, Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak hari pertama sidang (Pasal 103 UU No. 2 Tahun 2004). Dalam prakteknya, aturan ini tidak mudah dipenuhi karena begitu banyaknya kasus yang masuk di PHI.
Selanjutnya, Abdul Kadir mengatakan, UU No 2 Tahun 2004 yang demikian perlu diamandemen karena ada beberapa pasal yang dinilai tidak masuk akal, misalnya Pasal 115 yang mengatur tentang penanganan kasasi yang harus diputuskan dalam 30 hari kerja sejak permohonan diterima. “Hal itu sulit terwujud karena waktu yang terbatas, sedangkan permohonan yang masuk cukup banyak. Idealnya, (tenggat waktu) lebih dari 30 hari sehingga kami bisa memeriksa berkas lebih cermat sebelum memutusnya,” kata Abdul Kadir (Kompas, 22 September 2007).
5.4.6. Profesionalisme Hakim
UU No. 2 Tahun 2004, oleh serikat buruh, dinilai berangkat dari suatu persepsi yang keliru, seperti bahwa buruh sekedar bisa bekerja tanpa jaminan, bahwa sistem peradilan umum sudah bersih dan dapat dipercaya. Buruh dan serikat buruh dipersepsikan memiliki kemampuan hukum (legal skill) yang cukup untuk merepresentasikan diri berperkara di depan pengadilan, hal ini secara tidak langsung dapat menyebabkan semakin lemahnya peran serikat buruh dalam proses penyelesaian perselisihan perburuhan.
Selain, secara administratif, infrastruktur PHI juga tidak cukup siap. Misalnya dalam urusan keterlambatan gaji bagi para hakim yang membuat penyelenggaraan PHI menjadi tidak baik. Dalam soal gaji, Direktur Trade Union Rights Center (TURC), Surya Tjandra mengungkapkan, ada hakim ad hoc di Kepulauan Riau yang sudah tujuh bulan belum menerima gaji. “Kondisi ini tentu menyulitkan mereka untuk bekerja optimal,” kata Surya. Begitu juga disampaikan oleh Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K-SBSI), Rekson Silaban, yang mengatakan, 47
keterlambatan pembayaran gaji merupakan hal yang turut memengaruhi kinerja hakim PHI. Hal ini kerap menimpa hakim ad hoc yang berasal dari serikat buruh dan asosiasi pengusaha (Kompas, 22 September 2007).
Faktor lainnya, hakim karier dari pengadilan negeri setempat yang bertugas di PHI sering dimutasi tanpa segera digantikan sehingga menghambat proses pemutusan perkara. Pasalnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pasal 88 Ayat 1, majelis hakim PHI harus diketuai hakim karier (Kompas, 22 September 2007).
48
VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial belum sepenuhnya mencerminkan prinsip mendasar fair trial, khususnya prinsip equality before the law dan due process of law, dan belum sesuai pula dengan prinsip HAM.
2. Akibat tidak terpenuhinya prinsip mendasar fair trial dan hak asasi manusia, maka banyak sekali dampak hak-hak asasi manusia khususnya bagi buruh untuk mengakses keadilan di dalam proses penyelesaian hubungan industrial di PHI. Dampak tersebut menyebabkan buruh terpaksa untuk tidak melakukan upaya penyelesaiannya melalui PHI, mendapat perlakuan diskriminatif, menanggung beban pungutan liar, dan mengeluarkan biaya yang besar dalam beracara.
3. Hambatan atau kendala yang ditemukan melalui penelitian ini adalah ketidakkonsistenan praktek PHI dengan prinsip-prinsip fair trial dan hak asasi manusia, penerapan hukum acara konvensional ketidakprofesionalan hakim, ketentuan administratif yang dipandang merugikan buruh, serta lemahnya posisi buruh akibat keterampilan dan pengetahuan yang terbatas. Ditambah pula dengan keberadaan PHI yang masih jauh di ibukota propinsi, sehingga bagi buruh yang jauh lokasinya mengalami kendala yang besar ketika berkeinginan menggunakan mekanisme PHI untuk menyelesaikan perkaranya. Keseluruhan kendala tersebut menyebabkan PHI kurang memberikan rasa adil bagi buruh.
Di sisi lain, ada peluang yang memberikan sedikit nilai penting terkait dengan upaya mengimplementasikan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui PHI agar lebih terbuka, utamanya pasca dikeluarkannya Keputusan Ketua MA RI No. 144/KMA/SKIVIII/2007 Tahun 2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan tertanggal 28 Agustus 2007.
49
6.2. Saran
Rekomendasi Untuk Penyelenggaraan PHI Berbasis Fair Trial Dan Hak Asasi Manusia Mendorong Mekanisme yang Ramah terhadap Perlindungan Hak Hak Buruh
Perlu mendorong mekanisme yang benar-benar ramah terhadap upaya perlindungan hak-hak buruh sebagai pihak yang posisinya lemah. Asumsi kesejajaran para pihak yang berperkara di PHI tentu perlu ditinjau ulang, utamanya dikaitkan dengan penerapa hukum acara yang tidak konvensional di PHI. Karena, penerapan hukum acara biasa akan banyak melahirkan ketidakadilan bagi buruh.
Mengubah Sistem Penyelesaian Perselisihan Alternatif
Dalam suatu diskusi “Mengkaji Pelaksanaan Pengadilan Hubungan Industrial di Indonesia” yang diselenggarakan Organisasi Buruh Internasional (ILO) (21/09/2007), para hakim, pengusaha, dan buruh menyepakati perlu disain mekanisme alternatif baru yang lebih efektif dan adil bagi hak-hak buruh dan iklim mengembangkan usaha bagi pengusaha (Kompas, 22 September 2007). Karena selama ini, PHI yang telah resmi beroperasi sejak Januari 2006, ternyata implementasi sistem pengadilan hubungan industrial di Indonesia masih belum efektif. Kalangan hakim, pengusaha, dan buruh sepakat lembaga itu memerlukan sistem baru agar bisa lebih efektif dalam menangani sengketa ketenagakerjaan.
Membangun Konsistensi Penerapan Penyelesaian Berbasis Fair Trial dan HAM
Bila pada akhirnya mekanisme yang ada tidak dimungkinkan untuk diubah, atau dalam arti mempertahankan mekanisme PHI, maka penting untuk menjalankan prinsip-prinsip fair trial dan hak asasi manusia secara komprehensif dan progresif. Dengan begitu, efek dari marginalisasi hak-hak buruh melalui mekanisme PHI akibat penarikan peran Negara bisa diminimalisir.
50
DAFTAR PUSTAKA
Belton, Rachel Kleinfeld (2005) “Competing Definitions of The Rule of Law: Implication for Practitioners”, Carnegie Papers Number 55 January 2005. Washington: Carnegie Endowment for International Peace. Hutchinson, Terry (2002) Researching and Writing in Law. Sydney: Lawbook. Malik, Djamaludin (tanpa tahun) Catatan Awal dari Balik Ruang Sidang PHI Surabaya, makalah. Kompas Jatim, 18 Oktober 2006, PHI Persulit Buruh Ajukan Kasasi. Margono, Suyud (2000) ADR & Arbitrase – Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia. McGoldrick, Dominic (1994) The Human Rights Committee, Its Role in the Development of the International Covenant on Civil and Political Rights. Oxford: Clarendon Press. Pangabean, H.P (2007) Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Jakarta: Jala Permata. Sjaiful, D.P. (tanpa tahun) Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial – Permasalahan dan Pemecahan Dari Perspektif Serikat Pekerja. Makalah. Tjandra, Surya (2006) Pengadilan Hubungan Industrial di Indonesia, Quo Vadis? Beberapa Catatan Awal Dari Ruang Sidang, Seri Kajian TURC, Jakarta. Uwiyono, Aloysius (2004) Pelaksanaan Undang-Undang PPHI dan Tantangannya. Wiratraman, R. Herlambang Perdana (2006) ”Dampak Pengadilan Hubungan Industrial bagi Gerakan Buruh.” Makalah disampaikan untuk lokakarya: Beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, LBH Surabaya-TIFA Foundation, Surabaya, 16 Desember 2006.
51