Penyebab kematian ibu melahirkan Musdah Mulia
1) Rendahnya tingkat kualitas hidup perempuan Sejumlah penelitian mengungkapkan, ada banyak faktor penyebab kematian ibu melahirkan, namun penyebab utama adalah rendahnya tingkat kualitas hidup perempuan. Adalah fakta bahwa tingkat kualitas hidup perempuan Indonesia ternyata masih menempati posisi paling buruk di ASEAN, salah satu indikasi nyata adalah tingginya angka kematian ibu melahirkan (AKI), yakni sekitar 390 per seratus ribu kelahiran hidup. Penyebab utama kematian ibu melahirkan di Indonesia umumnya adalah perdarahan (terutama pasca salin), eklampsia, dan pre-eklampsia (tekanan darah tinggi selama kehamilan), Infeksi, serta persalinan macet. Secara fisik, hal ini terjadi karena masih banyak ibu yang terlalu muda melahirkan, terlalu singkat jarak antara persalinan, terlalu sering melahirkan, serta masih melahirkan pada usia yang sudah tua. Selain itu, lingkungan sosial turut berkontribusi membentuk lingkaran yang membuat kemunculan sebab-sebab fisik itu menjadi sesuatu yang ada secara terus-menerus. Kemudian diperparah pula oleh budaya patriarki dan sistem hukum yang sarat dengan bias gender membawa implikasi diskriminasi pada perempuan, pada gilirannya akan menjadi faktor tak langsung yang membuat angka kematian ibu tetap tinggi.1 Penyebab lain, kesehatan dan status gizi perempuan sangat rendah, serta anemia yang membawa konsekuensi proses kehamilan dengan kualitas lebih buruk. Upaya imunisasi untuk melindungi ibu masih belum memenuhi harapan, demikian pula pertolongan kelahiran, 54% masih dilakukan oleh tenaga dukun tidak terlatih. Sebab lain yang tidak kurang pentingnya adalah sebagian besar masyarakat belum memahami pentingnya pemenuhan hak dan kesehatan reproduksi.2 2) Pengaruh budaya patriarki 1
Primariantari dkk., Perempuan dan Politik Tubuh Fantastis, Kanisius bekerjasama dengan Lembaga Studi Realino, Yogyakarta, 2004, h. 97. 2 Statistik dan Indikator Gender , Data Kantor Meneg PP, Tahun 2000.
Budaya patriarki adalah budaya yang mengandung unsur penindasan, pemaksaan, dan pengekangan. Budaya patriarki membuat perempuan tidak menjadi manusia bebas dan merdeka serta tidak punya banyak pilihan dalam hidup. Akibatnya, para perempuan terbelenggu oleh nilai-nilai budaya patriarki yang berwujud adat-istiadat, interpretasi agama, norma hukum dan sebagainya sehingga menempatkan mereka dalam posisi subordinat dan inferior. Bahkan, perempuan tidak berani dan tidak berdaya untuk mengatakan “tidak” Pengaruh budaya patriarki di antaranya terlihat dari kondisi berikut:
Pertama,
masyarakat umumnya masih menganut pendapat yang membedakan preferensi berdasarkan seks (jenis kelamin). Laki-laki dalam segala hal lebih diutamakan dan didahulukan atas perempuan, anak laki-laki lebih diutamakan daripada anak perempuan. Beribu tahun kita dihegemoni oleh pandangan bahwa laki-laki lebih baik dari perempuan. Budaya ini sudah mengental di masyarakat dan terbawa ke berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, ekonomi, dan politik, bahkan juga mempengaruhi pemahaman dan tafsir keagamaan. Kedua, masyarakat umumnya masih menganut pendapat bahwa perempuan itu lemah sehingga jika mereka mengalami kesulitan, penderitaan atau bahkan kematian akibat melahirkan dianggap sebagai hal yang lumrah atau wajar. Ketiga, masyarakat umumnya masih menganut pandangan bahwa hamil dan melahirkan merupakan kodrat perempuan. Karena itu, penderitaan dan kesakitan, bahkan kematian yang dialami perempuan sebagai akibat dari fungsi-fungsi reproduksinya itu juga merupakan "kodrat" yang sudah seharusnya ditanggung perempuan. Akibatnya, penanganan kesakitan dan penderitaan selama hamil dan penurunan angka kematian ibu bersalin sangat lambat dan kurang mendapat perhatian serius dari masyarakat, termasuk dari kaum perempuan itu sendiri. Keempat, masyarakat umumnya masih memandang bahwa hanya perempuan bertanggungjawab melakukan program keluarga berencana (KB), tidak heran jika mayoritas akseptor KB adalah perempuan dan hanya sedikit laki-laki yang menggunakan alat kontrasepsi. Seharusnya, laki-laki dan perempuan bekerjasama dalam program keluarga berencana, bukan semata-mata kewajiban atau kebutuhan perempuan.
Kelima, masyarakat umumnya memahami bahwa ibu meninggal ketika melahirkan adalah mati syahid dan dijamin masuk surga. Implikasinya, kematian ibu melahirkan tidak dianggap sebagai problem sosial, malah diterima dengan gembira karena dinilai positif. Demikianlah lima contoh pandangan budaya patriarki di masyarakat. Semua pandangan patriarki harus diubah karena sangat tidak sejalan dengan prinsip Islam yang mengedepankan penghormatan dan pemuliaan terhadap perempuan, khususnya kaum ibu. Kondisi perempuan dalam konstruksi sosial yang bias gender sangat memprihatinkan. Perempuan dibebani dengan sederet pekerjaan domestik sehingga tidak banyak waktu untuk istirahat. Perempuan memikul beban kerja yang lebih banyak dan lebih berat. Selain itu, perhatian yang kurang terhadap kesehatan anak-anak perempuan, khususnya terkait organ-organ reproduksi, menyebabkan anak perempuan tidak sehat dan mengalami gangguan pada organ-organ pentingnya. Anak-anak perempuan
yang
tumbuhnya kurang optimal akan menjadi ibu yang fisiknya pendek dan mereka sangat beresiko mengalami kesulitan pada persalinan. Anak-anak perempuan yang kurang energi kronis akan melahirkan bayi dengan berat lahir rendah yang risiko kematiannya jauh lebih tinggi dari bayi dengan berat lahir normal. Selain itu, umumnya anak perempuan kurang mendapatkan pendidikan seksual yang komprehensif yaitu mencakup pendidikan tentang anatomi tubuh, hak-hak asasi perempuan, kesehatan reproduksi, pendidikan agama dan moral. Dengan demikian, rendahnya tingkat pendidikan perempuan menjadi faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kesehatan mereka sebagai subjek yang menjalankan fungsi reproduksi manusia. Menyedihkan, karena umumnya anak perempuan hanya dididik untuk lebih menghayati kewajiban: menjadi ibu atau kakak yang mengayomi, menjadi adik yang penurut, menjadi istri atau anak yang patuh dan berbakti. Anak perempuan umumnya tidak diajarkan tentang tanggung-jawab yang luas sebagai manusia dan juga hak-hak asasinya sebagai manusia utuh. Mereka tidak diajarkan bahwa sebagai manusia utuh, merdeka dan bertanggungjawab, perempuan berhak menjadi dirinya sendiri, memilih kapan akan menikah atau tidak menikah sama sekali, memilih siapa pasangan hidupnya, serta menentukan kapan siap menjadi ibu. Artinya, anak perempuan umumnya tidak
diajarkan untuk menjadi manusia dewasa, yang merdeka memilih tetapi penuh tanggungjawab. Manusia yang mampu menentukan pilihan hidup secara cerdas, cermat dan tetap menjaga nilai-nilai moral agama.
Rekomendasi Sejumlah rekomendasi untuk mencegah kematian ibu melahirkan: Pertama, mengubah pandangan budaya patriarkal yang selalu menempatkan perempuan dalam posisi subordinat dan pinggiran. Pandangan budaya tersebut menyebabkan perempuan tidak mandiri, tidak mampu mengambil keputusan dalam keluarga, khususnya menyangkut kesehatan dan keselamatan dirinya sebagai ibu, terutama di saat akan melahirkan. Kita perlu membangun budaya demokratis yang egalitarian. Kedua, mengubah interpretasi agama yang keliru dan bias gender terkait status perempuan dalam keluarga. Kita perlu menghapus semua pemahaman keagamaan yang diskriminatif dan tidak ramah terhadap perempuan serta tidak akomodatif terhadap nilainilai kemanusiaan universal. Selanjutnya, aktif menyebarkan interpretasi agama yang humanis dan mendorong kita peduli pada sesama. Ketiga, merevisi sistem pendidikan agama yang terlalu menekankan pada aspek kognitif semata. Perlu merumuskan suatu sistem pendidikan agama yang fokus untuk mengubah perilaku keagamaan peserta didik menjadi manusia berakhlak karimah dan peduli pada persoalan masyarakat, seperti persoalan kematian ibu melahirkan. Keempat, melatih para pemuka agama dan para penghulu di KUA, para penyuluh agama, guru agama, muballigh dan muballighat agar menjadikan isu kematian ibu sebagai bagian penting dalam materi dakwah mereka di masjid, majelis taklim, sekolah, PAUD, media cetak dan elektronik. Kelima, merevisi sejumlah peraturan atau regulasi, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang tidak sesuai dengan substansi konstitusi atau undang-undang Dasar 1945 serta tidak memihak upaya pemenuhan hak dan kesehatan reproduksi perempuan.
Keenam, mendorong pemerintah menyiapkan kebijakan publik dan kebutuhan sarana dan pra sarana yang memudahkan ibu melahirkan dengan aman, nyaman dan terjangkau. Perempuan, terutama dari kalangan tidak mampu atau berada di daerah terpencil harus mudah mengakses fasilitas kesehatan terkait pemenuhan hak dan kesehatan reproduksinya. Demikianlah semoga semua upaya untuk mencegah kematian ibu melahirkan diridhai Allah swt sehingga kita dapat menyelamatkan kaum ibu dari kematian ketika melahirkan. Tujuannya, meningkatkan kualitas hidup masyarakat, membangun keluarga yang penuh dengan rahmah, mawaddah dan sakinah (penuh rahmat, cinta dan kedamaian). Keluarga pun akan tetap utuh karena kehadiran dan kehangatan kasihsayang ibu, terutama untuk mendampingi anak-anak menjadi orang dewasa yang berguna bagi agama dan masyarakat. Ibu melahirkan tidak harus mati! Wallahu a’lam bi ash-shawab.