PENYAMPAIAN INFORMASI KOLEKSI MUSEUM MELALUI TATA PAMER BAGI PENGUNJUNG BERKEBUTUHAN KHUSUS (DISABLED PEOPLE) DI MUSEUM NASIONAL
Gatri Chandraswari dan Dr. Ali Akbar S.Hum,M.Hum. Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16431, Indonesia
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini mengkaji penyampaian informasi koleksi museum melalui tata pamer yang dapat diterapkan bagi pengunjung berkebutuhan khusus (disabled people). Ada berjuta cara yang dapat dilakukan untuk menginformasikan koleksi arkeologi di museum. Tanpa adanya informasi yang jelas, koleksi tidak akan diketahui maknanya. Pengunjung berkebutuhan khusus menjadi bagian dari penelitian ini. Penelitian dilakukan di Museum Nasional, Jakarta, agar museum ini dapat mengembangkan kembali peran serta di dalam masyarakat, membangun pendidikan nasional Indonesia, serta menyebarkan informasi tentang arkeologi serta kegunaan mempelajari ilmu ini. Kata kunci: museum, tata pamer, disabiltas, disabled people, informasi
Conveying Information Through Art of Display for Disabled Visitors at Museum Nasional ABSTRACT This research investigated the conveying of information of the museum’s collection through the art of display that is applicable to visitors with a special needs which in case are disabled people. There are millions of ways that can be done to communicate archaeology artifact’s information, without clear information then there is no sense. Visitors with special needs becomes part of this research. Research is done on the Museum Nasional, Jakarta, so that museum can redevelop the participation of the people and to raise national education of Indonesia as well as distributing information about archaeology and the use of studying this subject. Keywords : museum, art of display, disabilities, disabled people, information
Penyampaian informasi…, Gatri Chandraswari, FIB UI, 2013
Pendahuluan Museum adalah salah satu sarana peningkatan pemahaman dan penanaman nilai-nilai budaya luhur kepada masyarakat. Melalui museum, masyarakat dapat memahami nilai-nilai luhur sejarah bangsa untuk diterapkan di masa sekarang. Selain itu, museum adalah tempat yang extraordinary, tempat pengunjung dapat merasakan pengalaman yang mengesankan dan berbeda-beda. Setiap pengunjung dapat merasakan dan mengingat kembali apa yang pernah mereka lakukan di museum. Pengalaman tersebut didapat dari apa yang mereka lihat, rasakan, atau lakukan ketika berada di museum. Pengalaman yang mereka lihat dapat memberikan informasi yang sebelumnya tidak mereka ketahui. Pengalaman juga berarti informasi yang mereka dapat ketika melihat, menyentuh, merasakan, dan memegang koleksi museum. Kegiatan yang dapat menambah pengetahuan ketika mengunjungi museum juga merupakan suatu pengalaman bagi pengunjung. Museum merupakan salah satu tempat yang memuat benda-benda koleksi kebudayaan masyarakat dan setiap benda berisi informasi tentang fungsi dan peranannya dalam masyarakat. Mengapa museum? Karena menurut International Council of Museum (ICOM), A museum is a nonprofit, permanent institution in the service of society and its development, open to the public, which acquires, conserves, researches, communicates and exhibits the tangible and intangible heritage of humanity and its environment for the purpose of education, study and enjoyment, (Edson dan Dean, 1996:11). Pentingnya penyampaian informasi berkaitan dengan cara penyampaian informasi kepada pihak yang dituju. Informasi tidak hanya berupa tulisan atau lisan “secukupnya,” informasi dapat berupa keterangan yang menjelaskan suatu benda. Informasi menjadi bagian yang penting ketika informasi hendak disampaikan oleh museum. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Informasi berarti: (1) Penerangan, (2) Pemberitahuan: kabar atas berita tertentu, (3) Lingkungan keseluruhan makna yang menunjang amanat yang terlahir dari amanat-amanat tertentu.” Informasi yang disampaikan museum dapat berupa informasi sejarah, arkeologi, atau hal-hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Informasi yang disampaikan oleh museum harus sesuai dengan tujuan museum, yakni menjelaskan koleksinya. Koleksi yang dimaksud dapat berupa koleksi etnografi, prasejarah,
ataupun arkeologi. Koleksi arkeologi memiliki nilai penting (valuable) dalam ilmu pengetahuan karena dapat menjelaskan makna. Misalnya, artefak yang ditemukan melalui ekskavasi arkeologi terkadang tidak berbentuk utuh (fragmen). Untuk itu, diperlukan penelitian lanjutan untuk menginterpretasi bentuknya. Melalui penelitian arkeologi, artefak tersebut dapat diketahui proses pembuatan, fungsi, hingga pemakaiannya pada masa lampau. Ketika data informasi telah diperoleh, arkeolog melakukan suatu cara agar pengetahuan dari benda peninggalan arkeologi dapat diinformasikan kepada masyarakat/publik. Koleksi arkeologi yang disimpan di dalam museum harus bisa diakses. Dengan kata lain, koleksi yang berada di museum disajikan dalam bentuk pameran sehingga pengunjung dapat mengakses informasi koleksi tersebut. Selama ini, museum di Indonesia hanya fokus pada memamerkan koleksi, “object oriented”. Padahal, salah satu tujuan arkeologi adalah untuk menyebarkan pengetahuan, “The archaeologist has one primary and overriding priority: to preserve and conserve the material remains of the past for future generations,” (Fagan, 2008: 57). Berdasarkan pernyataan tersebut, fungsi museum di Indonesia masih kurang optimal karena hanya memperhatikan fungsi museum sebagai lembaga keilmuan tanpa melihat apakah ilmu tersebut dapat sampai kepada pengunjung nonilmuwan atau tidak. Orientasi museum seperti ini harus diubah karena museum seharusnya dapat memberikan pelayanan publik yang menyeluruh sehingga informasi terkait koleksi dapat tersampaikan kepada pengunjung. Pengunjung-pengunjung museum antara lain adalah masyarakat umum, seperti anak-anak, orang dewasa, lansia, maupun masyarakat berkebutuhan khusus. Masyarakat berkebutuhan khusus yang dimaksud ialah masyarakat yang membutuhkan perhatian lebih untuk melakukan kegiatan hidupnya. Menurut World Health Organization (WHO), disability adalah,“Any restriction or lack (resulting from an impairment) of ability to perform an activity in the manner or within the range considered normal for a human being” ‘suatu keterbatasan atau kehilangan kemampuan akibat impairment untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara atau dalam batas-batas yang dipandang normal bagi seorang manusia,’ (Lusli, 2012: 1). Tipe pengunjung ini belum diperhatikan oleh museum pada umumnya, termasuk museum di Indonesia. Studi kasus pada Museum Nasional didasarkan pada adanya permasalahan penelitian mengenai tidak adanya akses bagi pengunjung berkebutuhan khusus untuk menikmati pameran koleksi museum. Pameran yang sekarang mungkin
Penyampaian informasi…, Gatri Chandraswari, FIB UI, 2013
cukup baik untuk sebagian pengunjung, tetapi tidak cukup baik bagi pengunjung berkebutuhan khusus. Contohnya, ketika pengunjung tunadaksa mengunjungi Museum Nasional untuk melihat pameran dan ternyata museum belum mengakomodasii jalan khusus bagi pengunjung seperti ini. Contoh lainnya ketika pengunjung tunanetra mengunjungi Museum Nasional dan ternyata museum ini hanya menerapkan sistem tata pamer yang umum. Kedua contoh tersebut dapat mengindikasikan kurangnya perhatian dari pihak museum terhadap masyarakat berkebutuhan khusus. “To accomodating different audiences, need to develops mediation strategies for people with visual and hearing disabilities, promoting the visitor’s autonomy,” (Sarraf, 2008). Pengunjung memerlukan akses untuk dapat menikmati museum, termasuk tata pamer. Perlu ada sarana dan prasarana yang menunjang penyampaian informasi untuk penderita disabilitas di Museum Nasional. Apabila melihat keadaan di Indonesia, diperlukan tempat bagi orang-orang berkebutuhan khusus untuk dapat menjalankan hidupnya dengan “normal” serta tempat yang dapat mengembangkan kreativitas mereka. Contohnya, sebuah yayasan yang sengaja membuka tempat untuk pengembangan keterampilan orang-orang berkebutuhan khusus (tunarungu, tunanetra, bahkan down syndrome). Salah satu kegiatan yang dapat dilakukan di sana adalah menjahit. Memang tetap diperlukan pengajaran, tetapi itu hanya pada tahap awal. Selanjutnya, mereka diberikan kebebasan untuk menjahit dalam pengawasan. Bagi tunarungu, kegiatan tidak hanya terbatas pada menjahit. Mereka dapat belajar tari ballet. Dalam keterbatasan, mereka masih dapat mendengar beat dari suara bass alunan musik. Usaha peningkatan pengalaman museum bagi penyandang disabilitas adalah sebuah strategi yang dapat berdampak pada peningkatan respons terhadap seni dan pemahaman terhadap peristiwa sejarah. Disabled people berhak atas upaya-upaya yang dirancang untuk membuat mereka menjadi mandiri (PBB, resolusi 3.447 pasal 5 di New York). Apabila ada koleksi museum yang dipamerkan, tetapi tidak boleh disentuh, tidak ada yang dapat dinikmati dan diketahui dari koleksi tersebut. Terlepas dari yang dapat museum berikan, fasilitas khusus bagi penyandang disabilitas diterapkan untuk membantu dan memungkinkan mereka dalam membangun kemampuan dan keahlian sehingga hal yang ingin disampaikan oleh museum dapat tersampaikan dan akses yang dibutuhkan dapat diterapkan. Penyajian informasi berkaitan dengan penyampaian informasi atas suatu koleksi. Kemasan informasi hendaknya dibuat lebih interaktif sehingga pengunjung dapat lebih berpartisipasi dan berpengalaman ketika mengunjungi museum.
Pengunjung memerlukan akses untuk dapat menikmati museum, termasuk tata pamer di dalamnya. “If we are talking about accesbility in museums, it means that the exhibitions, space of coexistence and circulation, information service, training programs and all other basic and special services must be accesible to all individuals,” (Sarraf, 2008). Penyampaian informasi dapat dikomunikasikan melalui tata pamer. Tata pamer ialah teknik menata benda dalam sebuah display dengan interpretasi yang dapat menerangkan makna benda tersebut. Objek atau benda yang dipamerkan dapat memberikan interpretasi yang baik untuk melengkapi bagian yang penting, seperti edukasi. Seorang pegawai museum atau orang yang menangani tata pamer koleksi museum harus memperhatikan dasar-dasar teknik produksi pameran dan mengerti kebutuhan pengunjung (Burcaw, 1984: 115). Tata pamer menjadi kajian yang penting dalam sebuah museum karena diperlukan pertimbangan dalam memamerkan koleksi, misalnya pameran koleksi tidak boleh terlalu banyak karena akan menyita waktu pengunjung; koleksi yang ditampilkan di pameran tidak boleh diletakkan begitu saja tanpa ada keterangan mengenai koleksi; setiap benda koleksi ditata agar benda tersebut dapat menerangkan aspeknya dengan jelas, antara lain tentang arti kepercayaan, fungsi dalam masyarakat, estetikanya, dan teknologi. Selain itu, perencanaan sebuah pameran di museum harus berorientasi kepada pembinaan pendidikan dan kebudayaan nasional serta menunjukkan peningkatan penghayatan warisan budaya dan kesadaran akan sejarah bangsa (Udansyah, 1978: 8). Tata pamer perlu ditunjang dengan sarana dan prasarana yang dapat memaksimalkan sebuah pameran sehingga kunjungan ke museum lebih efektif dan efisien. Hal itu akan membuat penyampaian pengetahuan dan informasi bisa sampai ke publik. Apabila penyampaian informasi dapat ditunjang dengan baik, komunikasi antara museum, melalui koleksi, dan pengunjung dapat berjalan dengan baik. Many exhibitions share the major characteristic of most forms of mass communication in that they involve a one-way process, a single message source with a large group of receivers, and the messages themselves are in the public domain. Museums, when they communicate through exhibitions, publications, advertisements and other methods such as videos, can be characterized as mass communication media. So museums can be seen as both mass communicators and interpersonal communicators, (Hooper-Greenhill, 2005: 6). Museum Nasional Jakarta menjadi objek yang layak untuk diteliti. “Museums are important because they serve to remind us of who we are and
Penyampaian informasi…, Gatri Chandraswari, FIB UI, 2013
what our place is in the world. Their power is due to their ability to operate at a variety of levels: they are significant to us as individuals, as a member of a community, even as a statement of nationhood,” (Davis, 2007: 53). Museum tersebut termasuk dalam jenis history museum. Koleksi-koleksi Museum Nasional merupakan benda hasil atau benda yang pernah dipakai manusia dan memiliki potensi yang menarik apabila disajikan dalam tata pamer yang interaktif dan edukatif dengan sarana dan prasarana yang menunjang penyampaian informasi. Penelitian di Museum Nasional dilakukan oleh Anne Putri Yusiani pada tahun 2010 tentang cara pembelajaran pengunjung Indonesia di Museum Nasional. Penelitian ini mengungkap cara museum menciptakan dan menyampaikan narasinya kepada pengunjung. Namun, penelitian ini belum membahas pembelajaran apa yang dapat diterima atau yang berkaitan dengan pengunjung berkebutuhan khusus.
Metode Penelitian Konsep awal arkeologi diterapkan oleh peneliti melalui penelitian yang ditujukan untuk menjelaskan keberadaan hingga kegunaan koleksi museum di masa lampau. Konsep tetap menggunakan pemikiran arkeologi untuk mendapatkan imajinasi masa lampau sehingga dapat memahami siapa kita dan dari mana kita berasal. “Archaeology is exiciting, this excitement comes from using our archaeological imagination to go where we never travel, to the past, and think about time and objects in very different ways from those of our everyday experience to understand better who we are by knowing where we have come from,” (Gamble, 2008:1). Penelitian ini diawali dengan latar belakang masalah yang diikuti dengan permasalahan penelitian dan pembatasan fokus penelitian. Penelitian yang dilakukan berada pada tahap evaluation stage museum, yakni menelaah kembali ketepatgunaan bentuk pameran di Museum Nasional bagi seluruh pengunjung museum. Hasil penelaahan ini diharapkan dapat menimbulkan sebuah gagasan baru untuk melengkapi dan menyempurnakan apa yang sudah ada pada museum. Tujuan dan manfaat dari penelitian ini pun berguna bagi masyarakat serta permuseuman di Indonesia. Selanjutnya, dilakukan tahapan penelitian yang biasa dilakukan dalam arkeologi (Deetz, 1967:8). Hal-hal yang dilakukan peneliti dalam tahap pengumpulan data ialah terlebih dahulu mendayagunakan sumber informasi yang terdapat di perpustakaan dan jasa informasi yang tersedia (Effendi dan Singarimbun, 2006: 45). Mendayagunakan sumber informasi perpustakaan berarti melakukan penelusuran kepustakaan dengan mencari penelitian yang
membahas tata pamer serta sarana dan prasarana museum. Penulusuran kepustakaan juga dilakukan untuk mengetahui kebutuhan “disabled people” dalam memenuhi kegiatan hidupnya. Dalam tahap ini juga dilakukan observasi lapangan untuk melakukan deskripsi Museum Nasional. Pada tahap pengolahan data ini, peneliti mencermati keadaan tata pamer, meliputi ruangan, agar dapat disesuaikan dengan sarana kebutuhan pengunjung berkebutuhan khusus di Museum Nasional. Contoh, pada ruang pameran, sarana yang dapat diaplikasikan oleh museum bagi pengunjung berkebutuhan khusus adalah pegangan tangan (grab bars/hand rails) yang berfungsi sebagai penopang bagi pengunjung yang memiliki kendala dengan keseimbangan tubuh dan sebagai pengarah alur pameran museum (Hooper-Greenhill, 1996:110). Pada tahap penjelasan data, hasil yang diperoleh merupakan analisis dan pembahasan mengenai kebutuhan pengunjung berkebutuhan khusus yang dapat diaplikasikan sebagai penunjang tata pamer Museum Nasional. Penjelasan akan dilakukan secara deskriptif. Hasil penelitian ini diharapkan dapat diterapkan di museum-museum Indonesia serta menambah apresiasi masyarakat terhadap museum dan koleksinya. Metode yang digunakan adalah desain riset kualitatif komunikasi yang pembuatan desainnya tidak dilakukan sejak awal, tetapi dikerjakan seiringan dengan perkembangan riset (Kriyantono, 2006: 90).
Hasil Penelitian Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam tata pamer museum, salah satunya adalah pengunjung disabilitas. Kebutuhan mereka sebagai pengunjung museum harus dipenuhi oleh pihak museum. Di bawah ini merupakan hasil kebutuhan dari pengunjung yang memiliki hambatan mental (tuna grahita), hambatan pengelihatan (tuna netra), hambatan pendengaran (tuna rungu), hambatan gerak (tuna daksa), hambatan berbicara (tuna wicara), autism. Untuk membuat lingkungan yang inklusif di museum, dapat dilakukan penelitian tentang kebutuhan yang diperlukan oleh museum untuk memenuhi penyampaian informasi yang baik. Berikut ialah kegunaan penelitian, To examine interpersonal dynamics within research, with special reference to situations where communication is neither easy nor effective; to consider questions of researcher accountability for involvement of disabled people; and to prompt further consideration of how researchers can resist sidelining
Penyampaian informasi…, Gatri Chandraswari, FIB UI, 2013
disabled people in the process of enquiry, (Barnes and Mercer, 1997 : 2). Pengetahuan dapat diperoleh di museum, inilah yang menjadi landasan penelitian ini penting dilakukan di museum. Pengunjung yang memiliki special needs atau yang disebut dengan disabilities memerlukan beberapa bantuan untuk dapat melakukan kegiatannya tanpa mengalami hambatan ketika berkunjung ke museum. Di bawah ini merupakan tabel perlakuan untuk masing-masing disabilitas:
segala sesuatu berkenaan dengan koleksi. Kebanyakan koleksi di Museum Nasional tidak dapat disentuh. Jika ada pun, merupakan benda-benda yang tidak sepatutnya dipegang karena akan merusak kondisi koleksi tersebut. Perlakuan yang dapat diterapkan adalah dengan membuat replika. Replika tidak harus sebesar bentuk aslinya, tetapi harus memiliki detail yang sama sehingga pengunjung dengan gangguan pengelihatan, pendengaran, dan gerak dapat menerima informasi dan pengetahuan dari koleksi itu. Museum pun hendaknya menyediakan hands-on pada peraga artefak agar dapat dipergunakan oleh penyandang disabilitas yang membutuhkan perabaan.
Foto 1 Hands-on Diperlukan replika yang dapat disentuh oleh pengunjung agar pengunjung tunanetra dapat mengetahui bentuk koleksi. Sumber foto : www.museumachadocastro.com (diunduh pada15/7/2013, 16.30)
Dapat dilihat dari Tabel 1 bahwa empat dari jenis keterbatasan (tunagrahita, tunanetra, tunawicara, dan autisme) di atas memerlukan hands-on yang berupa benda tiga dimensi yang dapat dipegang oleh kedua tangan. Mereka juga membutuhkan keterangan tiga dimensi untuk mengetahui bentuk, lekukan, dan
Daya sentuh menjadi penting ketika daya penglihatan minim atau bahkan tidak ada. Praktik perabaan terhadap koleksi museum akan memberikan gambaran bagi penyandang disabilitas, tunanetra khususnya, untuk mengetahui bentuk, lekukan, tonjolan, struktur, dan permukaan koleksi sehingga dapat membedakan setiap koleksi yang ada di museum. Daya sentuh tanpa menggunakan alas seperti sarung tangan dapat memberikan sense lebih sehingga pengunjung dapat menerima gambaran bentuk yang jelas dari setiap benda yang dipamerkan. Selanjutnya, penggunaan ramp ‘bidang miring,’ bidang miring diperlukan apabila ada perbedaan ketinggian lebih dari tiga anak tangga. Apabila tidak ada ramp, pengunjung yang menggunakan wheel chair atau kursi roda tidak dapat bergerak dengan leluasa, tidak dapat memasuki ruangan pameran atau bahkan tidak dapat memasuki pintu museum. Sebaiknya, pembuatan ramp ini dapat dikondisikan menurut segi ruangan agar tidak terlalu dekat dengan tempat koleksi dipajang. Museum
Penyampaian informasi…, Gatri Chandraswari, FIB UI, 2013
Nasional memiliki tiga anak tangga pada pintu masuk gedung arca dan sama sekali tidak memiliki bidang miring pada pintu masuk gedung baru. Adanya ramp di ruangan keramik pada lantai 4 gedung baru dapat dijadikan awal pengembangan desain yang universal (yang dapat dipergunakan masyarakat luas tanpa adanya pembedaan).
Foto 2 Pintu Masuk Gedung Arca Lebih dari 3 anak tangga, berarti membutuhkan bidang miring. Sumber foto : Gatri Chandraswari (Maret, 2013)
ramp pada ruangan dibutuhkan sebagai akses menuju ruang pameran. Eskalator dan lift dapat menjadi akses alternatif pada gedung baru ataupun gedung arca. Penyediaan kursi roda oleh museum juga diperlukan bagi pengunjung yang memiliki hambatan gerak, tetapi tidak memiliki kursi roda pribadi. Kursi roda yang tersedia memudahkan pengunjung untuk bergerak dari ruang pameran satu ke ruang pameran yang lain.
Foto 3 Wheel Chair for Disabled Visitors Kursi roda yang disediakan oleh The Metropolitan Museum of Art tidak berbayar, hal ini dapat diterapkan di Museum Nasional. Sumber foto: http://www.metmuseum.org/visit/accessibility (diunduh pada14/7/2013, 20.27)
Dari keenam jenis pengunjung yang memiliki disabilitas, semua memiliki satu kesamaan kebutuhan, yaitu petunjuk arah. Petunjuk arah harus ditampilkan dengan tulisan yang besar, warna yang tepat, diletakkan pada tempat yang sesuai, serta memiliki arahan yang tidak membingungkan.
Gambar 1 Sketsa Gambar Ramp Ukuran, bentuk, dan panjang harus disesuaikan dengan jarak pada pintu masuk, ramp dapat diterapkan pada pintu masuk Museum Nasional. Sumber gambar : www.cae.org.uk (diunduh pada14/7/2013, 09.30) Penggunaan bidang miring dapat diaplikasikan pada pintu masuk gedung arca dan gedung baru agar kedua gedung dapat diakses oleh pengunjung dengan hambatan gerak. Pengunaan
Gambar 2 Handicap Sign Penggunaan petunjuk arah untuk menuju ruang pameran di Berlin Museum of Natural History bagi handicap visitors
Penyampaian informasi…, Gatri Chandraswari, FIB UI, 2013
Sumber gambar : www.naturkundemuseum-berlin.de (diunduh pada14/7/2013, 21.45)
belum dapat dimengerti oleh pengunjung yang memiliki hambatan penglihatan. Sumber foto: Gatri Chandraswari (Maret, 2013) Informasi suatu koleksi di Museum Nasional ditulis dan dicetak pada papan besar tanpa kehadiran huruf braille. Hal ini tentu tidak baik bagi pengunjung yang memiliki gangguan penglihatan. Para pengunjung itu tidak akan mampu menangkap isi informasi. Hendaknya, huruf braille digunakan dalam petunjuk informasi setiap koleksi agar mempermudah pengunjung yang memiliki hambatan lihat dan bicara. Selain pada informasi koleksi, braille juga harus dipergunakan untuk setiap tulisan yang ada pada petunjuk arah, tombol lift, hingga brosur museum.
Foto 4 Peta Petunjuk Arah dalam Tactile Lebih jelas menggambarkan ruang pameran dengan gambar timbul sehingga pengunjung dengan ketubuhan khusus dapat mengaksesnya. Sumber foto : http://www.behance.net/gallery/UniversalDesign-Inclusive-Design-Tactile-Graphics/3038635 (diunduh pada14/7/2013, 21.54) Foto 7 Braille for Information’s Collection Tabel informasi menggunakan huruf braille untuk menjelaskan penemuan peti dan kerangka manusia. Sumber foto: http://www.behance.net/gallery/UniversalDesign-Inclusive-Design-Tactile-Graphics/3038635 (diunduh pada14/7/2013, 21.54)
Foto 5 Petunjuk Arah di Halaman Depan Museum Petunjuk arah diletakan di depan pintu masuk Museum Sampoerna, Surabaya Sumber foto: www.ekaairianto.wordpress.com (diunduh pada14/7/2013, 21.59) Foto 8 Braille dalam Tabel Informasi Penggunaan braille sangat membantu pengunjung, penyajian tata pamer melalui tabel yang informatif dapat membantu penerimaan informasi pengunjung. Sumber foto: http://www.behance.net/gallery/UniversalDesign-Inclusive-Design-Tactile-Graphics/3038635 (diunduh pada14/7/2013, 21.54)
Foto 6 Directory Sign di Museum Nasional Langkah awal yang bagus dalam melengkapi informasi untuk menuju ruang pameran, namun petunjuk tersebut
Penyampaian informasi…, Gatri Chandraswari, FIB UI, 2013
Gambar 3 Braille Code Angka dan huruf dalam braille Sumber foto : www.thebraillehouse.com (diunduh pada15/7/2013, 07.05)
Foto 9 Braille dalam Angka Braille angka juga harus dipergunakan pada lift karena lift yang ada di Museum Nasional belum memiliki standar universal desain. Sumber foto : www.ergonomiesite.be (diunduh pada14/7/2013, 23.20)
Penggunaan braille turut menciptakan alat tulis baru yang sengaja dibuat oleh penciptanya, Louise Braille, yang dinamakan reglet atau frame. Frame berbentuk papan kecil seperti penggaris. Benda ini berengsel dengan satu papan berjendela kecil-kecil dengan enam titik lubang di bagian jendela tersebut, tiga titik pada bagian kiri dan tiga titik pada bagian kanan, sedangkan pena tulisnya menggunakan reglet atau stylus yang berbentuk tajam seperti paku bertangkai.
Foto 10 Braille dalam Panel Directory Penggunaan braille juga meliputi informasi directory museum yang ditata di dinding agar dapat terbaca oleh pengunjung berkebutuhan khusus Sumber foto: http://www.behance.net/gallery/UniversalDesign-Inclusive-Design-Tactile-Graphics/3038635 (diunduh pada14/7/2013, 21.54)
Selanjutnya, penggunaan keterangan timbul diperlukan juga untuk gambar sehingga gambar dapat menjelaskan bentuk koleksi tanpa harus membuat replika koleksi artefak yang dipamerkan. Tactile graphic juga diperlukan untuk penjelasan informasi koleksi dan petunjuk arah pada panel directory. Dengan adanya tactile graphic atau gambar timbul, pengunjung dapat mengetahui bentuk detail pada koleksi atau bahkan mengetahui gambaran ruang pameran.
Foto 11 Stylus dan Reglet Alat khusus yang diciptakan untuk menulis braille, mudah dibawa dan digunakan. Sumber foto: Gatri Chandraswari (Februari, 2013)
Penyampaian informasi…, Gatri Chandraswari, FIB UI, 2013
Foto 12 Tactile Graphic dari Koleksi Tactile graphic sangat membantu penjelasan detail bentuk koleksi Sumber foto: http://www.behance.net/gallery/UniversalDesign-Inclusive-Design-Tactile-Graphics/3038635 (diunduh pada14/7/2013, 21.54)
Foto 14 Guiding Blocks Guiding blocks mengarahkan pengunjung pada sebuah ruangan di museum. Sumber foto: http://www.behance.net/gallery/UniversalDesign-Inclusive-Design-Tactile-Graphics/3038635 (diunduh pada14/7/2013, 21.54)
Foto 13 Tactile Graphic untuk Memperlihatkan Detail Baju Pengunaan tactile graphic untuk memperlihatkan detail baju dari pejabat negara masa kolonial, digambarkan dalam bentuk timbul. Sumber foto: http://www.behance.net/gallery/Universal-DesignInclusive-Design-Tactile-Graphics/3038635 (diunduh pada14/7/2013, 21.54)
Penerapan sistem braille dan tactile graphic akan sangat membantu pengunjung yang memiliki kebutuhan khusus. Penerapan sistem guiding blocks pada lantai museum juga membantu dalam mengarahkan pengunjung dari awal masuk museum hingga menuju ruangan pameran. Guiding blocks membuat pengunjung mandiri sehingga tanpa pendamping pun pengunjung dapat mengetahui tempat informasi, toilet, ruang pameran, hingga pintu gawat darurat apabila terjadi kebakaran. Guiding blocks juga memberikan gambaran luas dan bentuk ruang.
Foto 15 Following the Guiding Blocks Pembedaan bentuk guiding blocks untuk membedakan arah pergerakan. Sumber foto: http://www.behance.net/gallery/UniversalDesign-Inclusive-Design-Tactile-Graphics/3038635 (diunduh pada14/7/2013, 21.54)
Selanjutnya adalah penggunaan ilustrasi gambar. Ilustrasi gambar berfungsi untuk memberikan penjelasan tertentu tentang suatu informasi. Ilustrasi gambar dibuat dalam tactile graphic untuk membantu penyandang disabilitas. Ilustrasi gambar berfungsi untuk menunjukkan toilet khusus handicap, parkir khusus, jalur ke arah lift, hingga penjelasan ruangan koleksi.
Penyampaian informasi…, Gatri Chandraswari, FIB UI, 2013
Foto 17 Audio Hand Talkie Sumber foto: Guggenheim Museum in Bilbao, Mikel Calderon (April, 2013)
Audio hand talkie ini juga digunakan di National Museum of Singapore pada bagian koleksi sejarah. Beberapa museum di dunia telah menggunakan teknologi tersebut untuk memberikan pelayanan yang maksimal dalam tata pamer koleksi di museum. Audio hand talkie ini hendaknya diterapkan dalam tata pamer Museum Nasional karena hal ini akan mempermudah pengunjung berkebutuhan khusus dalam memahami dan menerima informasi secara mandiri tanpa bantuan orang lain. Dua dari tiga gangguan disabilitas yang menjadi objek kajian penelitian ini membutuhkan adanya audio helper untuk memudahkan penerimaan informasi. Maka dari itu, penggunaan dan penerapannya dianjurkan ada di Museum Nasional.
Gambar 4 Ilustrasi Gambar Gambar di atas merupakan ilustrasi yang dapat dipergunakan pada penyandang disabilitas. Sumber gambar : http://www.mairielouveciennes.fr/index.php/Handicap?idpage=74 (diunduh pada15/7/2013, 06.53)
Foto 16 Handicap Toilet Sign Penggunaan ilustrasi gambar yang besar untuk menjelaskan letak toilet khusus bagi handicap visitors di museum. Sumber foto: www.iyaa.com (diunduh pada15/7/2013, 06.57)
Foto 18 Audio Guide Dapat digunakan untuk mendengarkan informasi koleksi di National Museum of Singapore. Sumber foto: Gatri Chandraswari (Maret, 2010)
Hal lain yang perlu diperhatikan ialah penggunaan alat bantu dengar. Alat ini dapat digunakan oleh siapa saja, baik pengunjung biasa atau pengunjung yang memiliki gangguan pendengaran, seperti contoh di bawah ini yang diterapkan oleh Guggenheim Museum di Bilbao, Spanyol.
Foto 19 Vitrine dan Tabel Informasi Koleksi Sejarah Lantai 2 di Museum Nasional Tata pamer belum memperhatikan pengunjung berkebutuhan khusus (disabled) karena informasi dicetak dalam tulisan biasa. Sumber foto: Gatri Chandraswari (Desember, 2010)
Penyampaian informasi…, Gatri Chandraswari, FIB UI, 2013
Koleksi yang dimasukkan ke dalam vitrine memang akan terjaga, tetapi diperlukan replika yang dapat disentuh sehingga pengunjung yang memiliki disabilitas dapat mengetahui bentuk benda koleksi tersebut. Label pun harus dibuat lebih informatif agar pengunjung berkebutuhan khusus dapat menerima informasi.
Foto 20 The Sense of Touching The Gallery of Frescoes, National Museum of Serbia, Belgrade Sumber foto: http://www.chwb.org/dokument/pdf/Niarchos.pdF (diunduh pada2/12/2013, 07.23)
Kesempatan untuk memperoleh apa yang berhak didapatkan merupakan keinginan pengunjung berkebutuhan khusus. Apabila melihat fasilitas yang ada di Museum Nasional, sudah ada dasar yang dapat dimaksimalkan penerapannya sehingga tata pamer yang disajikan dapat diterima oleh semua pengunjung. Contoh di bawah ini merupakan terapannya, yakni tata pamer di sebuah museum dengan keleluasaan gerak bagi pengunjung berkursi roda.
Foto 21 Press The Button Visual video interaktif dengan jarak tinggi yang tetap dapat diakses pengunjung berkebutuhan khusus (disabled visitor) di Birmingham Museum of Art Sumber foto: www.sagetravelling.com (diunduh pada15/12/2011, 07.31)
Kebutuhan ruang gerak yang luas diperlukan oleh pengunjung berkebutuhan khusus yang memiliki gangguan gerak atau penglihatan. Ruangan yang luas dapat memberikan keleluasaan gerak bagi kedua jenis pengunjung tersebut untuk melihat setiap koleksi yang ada di museum.
Foto 22 Bidang Miring Ramp yang terdapat di ruangan koleksi lantai 4 Museum Nasional member\ruang luas untuk bergerak bagi pengguna kursi roda. Sumber foto: Gatri Chandraswari (Desember, 2010)
Penggunaan komunikasi nonverbal harus dihindari karena tidak dapat memberikan informasi tentang keadaan di lingkungan sekitar, dibutuhkan penjelasan yang lebih jelas. Penggunaan komunikasi verbal lebih diperlukan bagi ketiga jenis disabilitas tersebut. Contoh penerapannya adalah memberi penjelasan lewat aroma seperti yang dilakukan di National Museum of Singapore pada ruang koleksi makanan.
Foto 23 Try the Smell Visual sense untuk membantu mengetahui bau dari bumbu masakan Sumber foto: Gatri Chandraswari (Maret, 2010) “Learning in museum is exciting,” bagi pengunjung museum, mempelajari suatu hal yang tidak didapatkan di sekolah merupakan hal unik yang perlu dirasakan. Sangatlah menyenangkan
Penyampaian informasi…, Gatri Chandraswari, FIB UI, 2013
memperoleh informasi dari apa yang ada di museum. Hein (1998: 33) mengatakan, There are a points exhibitions that allow exploration, probably including going back and forth among exhibit components: (1) A wide range of active learning modes, (2) Didactic components (labels, panels) that ask questions, prompt visitors to find, (3) Out for themselves, (4) Some means for visitors to assess their own interpretation against the “correct,” (5) Interpretation of the exhibition, (6) School programs that engage students in activities intended to lead them to, (7) Accepted conclusions, (8) Workshops for adults that offer expert testimony and other forms of evidence for, (9) Contemplation and consideration, so participants can understand the true, (10) Meaning of the material.
Ada banyak cara untuk menyajikan dan mengomunikasikan artefak arkeologis pada masyarakat. Beberapa koleksi artefak terlihat tidak bermakna karena buruknya penyampaian informasi dalam pameran. Hal itu karena terkadang pengurus museum tidak terlalu memperhatikan cara penyampaian informasi koleksi. Informasi koleksi seharusnya berbobot dan dapat dimengerti oleh pengunjung, terutama pengunjung penyandang disabilitas yang memerlukan perhatian lebih dalam memahami koleksi museum.
Kesimpulan
Arby, Yunus. 2002. Museum dan Pendidikan. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Proyek Pengembangan Kebijakan Kebudayaan
Kenyataan yang ada di lapangan menunjukkan bahwa belum adanya tata pamer dari pihak museum yang dapat menjadi alat komunikasi penyebaran pengetahuan. Padahal, belajar di museum merupakan kegiatan yang sangat menyenangkan. Apa yang dipelajari dari buku teks sangatlah berbeda dibandingkan dengan menyentuh dan melihatnya melalui panca indera. Melalui penelitian ini, penulis mengetahui bahwa Museum Nasional belum memahami pentingnya penyampaian informasi dengan baik dan benar. Museum Nasional belum dapat mengakomodasi pengunjung berkebutuhan khusus. Museum Nasional juga kurang memahami bahwa informasi koleksi tidak hanya diperuntukkan bagi pengunjung biasa, tetapi juga pengunjung berkebutuhan khusus. “What this is all means that archaeologists have come to accept an obligation and professional responsibility to share their archaeological knowledge with the public as well as colleagues. And more – to carry out work for public as well as academic interests,” (Bahn dan Renfrew, 2005: 220). Berdasarkan kutipan tersebut, arkeologi bertanggung jawab untuk menyebarkan pengetahuan melalui benda-benda arkeologis dan Museum Nasional adalah salah satu medianya. Untuk mencapai tujuan itu, Museum Nasional dapat menerapkan tabel kebutuhan pengunjung berkebutuhan khusus untuk mewujudkan fasilitas yang tepat guna.
Daftar Acuan Alwasilah, A. Chaedar. 2009. Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Ambrosse, Timothy dan Crispin Paine. 2006. Museum Basic. London: Routledge.
Ardiwidjaja, Roby. 2009. “Masyarakat Museum: Peran, Fungsi, dan Manfaat.” Museografia Vol.III (hlm. 41—62). Asdep
Budpar. 2004. Peningkatan Apresiasi Masyarakat Terhadap Museum. Jakarta: Proyek Pengembangan Permuseuman.
Bahn, Paul dan Colin Renfrew. (2005). Archaeology: The Key Concept. London: Routledge Barnes, G. Mercer. 1997. The Disability Press pp. 142 – 157, Involving Disabled People in Research: A study of inclusion in environmental activities Burcaw, G. Ellis. 1997. Introduction to Museum Work. California: Altamira Press Effendy, Onong Ucahjana. 2000. Ilmu Komunikasi, Teori, dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya. Effendi, Sofian dan Masri Singarimbun. 1987. Metode Peneltian Survei. Jakarta: LP3ES. Fagan,
Brian M.. 2010. Ancient Lives: An Introduction to Archaeology and Prehistory. USA: Pearson Education.
Penyampaian informasi…, Gatri Chandraswari, FIB UI, 2013
Fagan, Brian M.. 2008. Archaeology: A Brief Introduction. USA: Prentice Hall
Slamet, Y.. 2006. Metode Penelitian Sosial. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press.
Fakih, M.. 2002. Jalan Lain (Manifesto Intelektual Organik). Yogyakarta: Insist Press.
Sutaarga, Mochamad Amir. 1983. Pedoman Penyelenggaraan dan Pengelolaan Museum. Jakarta: Direktorat Permuseuman Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Gamble, Clive. 2008. Archaeology: The Basic 2nd Edition. London: Routledge Greenhill, Hooper. E.. 2007. Museum Education in 21th Century. London: Routledge Kaplan, Flora E. S.. 2005. Exhibitions of Communicative Media. London: Routledge Kavanagh, Gaynor. 2005. Museum in Partnership. London: Routledge. Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis: Riset Komunikasi. Indonesia: Kencana Lusli, M. Mimi. 2009. Helping Children with Sight Loss. Jakarta: Mimi Institute. Lusli, M. Mimi.. 2012. Disability Sensitivity for Better Services. Jakarta: Mimi Institute. Ihalauw, J. J. O. I.. 2004. Bangunan Teori. Salatiga: Satya Wacana University Press. Maroevei, Ivo. 2005. The Museum Message: Between the Document and Information. London: Routledge. Moleong, Lexy J.. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyana. 2007. Metode Penelitian Kualitatif Pandangan Baru Ilmu Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyana. 2000. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Museum Nasional. 2002. Peningkatan Apresiasi Masyarakat Terhadap Museum. Jakarta: Proyek Pengembangan Permuseuman.
Sutaarga, Mochamad Amir. 1973. Pedoman Singkat untuk Mengunjungi Museum Nasional Jakarta. Jakarta: Direktorat Permuseuman Direktorat Jenderal Kebudayaan Sutaarga, Mochamad Amir. 1976. “Sistem Permuseuman di Indonesia” dalam Seminar Pengelolaan dan Pendayagunaan Museum di Indonesia (hlm. 35—53). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sutaarga, Mochamad Amir. 1981. Museografi dan Museologi 1. Jakarta: Direktorat Permuseuman Direktorat Jenderal Kebudayaan.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Soepeno, Gagi Subagio. 2000. “Tata Pameran sebagai Sumber Daya Tarik Kunjungan” dalam Museografia XXIX No.1. Jakarta. Tim Direktorat Akademik. 2008. Buku Panduan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Tinggi (Sebuah Alternatif Penyusunan Kurikulum). Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Udansyah, Dadang. 1978. Pedoman Tata Pameran di Museum. Jakarta: Proyek Peningkatan dan Pengembangan Permuseuman Jakarta. Udansyah, Dadang. 1987. Seni Tata Pameran di Museum. Jakarta: Proyek Pengembangan Museum Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Ritzer, George. 2004. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sarraf, Suzanne. 2008. “A Survey of Museums on the Web: Who Uses Museum Web Sites” dalam Curator: The Museum Journal 42/3 (hlm. 231—243).
Penyampaian informasi…, Gatri Chandraswari, FIB UI, 2013