Sari Pediatri, Vol. 8, No. 4 (Suplemen), Mei 2007 Sari Pediatri, Vol. 8, No. 4 (Suplemen), Mei 2007: 127 - 132
Penyakit Kawasaki dan Dampaknya pada Penderita dan Komunitas Najib Advani Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
Abstrak. Penyakit Kawasaki merupakan suatu vaskulitis sistemik yang dikenal sebagai mucocutaneous lymphnode syndrome. Hal yang paling ditakutkan adalah terjadinya vaskulitis pada arteri koroner yang menimbulkan aneurisma dan terjadi pada 20% 40% kasus. Aneurisma koroner yang berat dapat mengakibatkan trombosis sehingga terjadinya stenosis yang bisa mengakibatkan infark miokard dan dapat mengakibatkan kematian. Baik pada kasus dengan aneurisma yang persisten, aneurisma yang mengalami regresi atau tanpa aneurisma, dapat terjadi aterosklerosis prematur di kemudian hari dengan segala konsekuensinya. Dampak PK tidak hanya pada diri penderita saja, tetapi juga keluarga, dan masyarakat dalam arti terjadinya penurunan kualitas kesehatan pada sumber daya manusia. Pengobatan yang cepat dan tepat dapat mengurangi angka kejadian aneurisma koroner secara sangat bermakna sehingga menyelamatkan kualitas hidup penderita baik pada masa anak maupun masa depan nya. Untuk ini pengetahuan dan ketrampilan dalam menangani penyakit Kawasaki sangat diperlukan Kata kunci: Penyakit kawasaki, derajat, pengobatan
P
enyakit Kawasaki (PK) baru mulai dikenal sejak tahun 1967 saat Tomisaku Kawasaki pertama kali menemukan sekumpulan gejala yang disebut sebagai mucocutaneous lymphnode syndrome. Di Indonesia, berdasarkan perhitungan, diperkirakan ada sekitar 6000 kasus baru pertahun. Namun sebagian besar kasus belum terdiagnosis. Hal ini tentu akan membawa konsekuensi yang merugikan pasien baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Diagnosis PK ditegakkan berdasarkan gejala klinis.
Alamat korespondensi: Dr. Najib Advani, Sp.A(K). Divisi Kardiologi. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, Jl. Salemba 6, Jakarta 10430. Tel. 392 5901, 315 5742, Fax. 3907743.
Kriteria diagnostik untuk penyakit Kawasaki 1. Demam remiten, bisa mencapai 41º C dan berlangsung > 5 hari 2. Injeksi konjungtiva bilateral (tanpa eksudat) 3. Kelainan di mulut dan bibir : lidah stroberi, rongga mulut merah difus, bibir merah dan pecah. 4. Kelainan tangan dan kaki : eritema dan edema pada fase akut, serta deskuamasi ujung jari tangan dan kaki pada fase subakut. 5. Eksantema yang polimorfik. 6. Limfadenopati servikal unilateral (diameter >1,5 cm) Diagnosis PK dapat ditegakkan jika ditemukan gejala demam ditambah empat dari lima kriteria lain. Seandainya ditemukan kelainan arteri koroner (pada ekokardiografi atau angiografi), bersifat diagnostik meskipun jika dijumpai kurang dari empat kriteria selain demam. Kondisi ini disebut sebagai penyakit kawasaki atipik.
127
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 4 (Suplemen), Mei 2007
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik untuk PK. Meskipun demikian dapat membantu menegakkan diagnosis terutama pada kasus yang meragukan. Pada fase akut dapat ditemukan hemoglobin dan albumin darah yang agak menurun, peningkatan laju endap darah, leukosit, CRP dan neutrofil. Pemeriksaan urin mungkin menunjukkan adanya lekosituri yang steril. Sedangkan pada fase subakut dapat ditemukan trombositosis. Penyakit Kawasaki biasanya bersifat self limiting sehingga gejala klinis akan menghilang sendiri. Komplikasi serius yang ditakutkan adalah kelainan pada jantung yang dapat progresif. Aneurisma koroner dapat dijumpai pada sekitar 20%-40 % kasus, biasanya mulai hari ke 7-8 setelah awitan, terutama pada bagian proksimal serta arteri koroner kiri dan kurang dari 5% menjadi infark miokard. Sekitar 73 % infark miokard terjadi pada tahun pertama setelah awitan penyakit tanpa didahului tanda atau gejala yang khas. Gejala yang dapat timbul pada infark miokard pada anak adalah mual, muntah, pucat, tangis berkepanjangan (inconsolable crying) dan keringat berlebihan. Tingkat kematian pada serangan infark yang pertama mencapai 22% dan meningkat pada serangan berikutnya. Aneurisma yang besar sekali (giant aneurysm, ukuran > 8mm) menimbulkan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi akibat oklusi trombus atau obstruksi stenosis dan infark yang kemudian menyertainya. Lesi koroner akibat PK berubah secara dinamis dengan berlalunya waktu. Resolusi atau regesi secara angiografis 1-2 tahun setelah awitan ditemukan pada 50%-67% arteri koroner dengan aneurisma. Hal ini dapat terjadi karena arteri koroner mempunyai kemampuan remodeling atau revaskularisasi yang dapat berlangsung selama bertahun tahun setelah awitan. Tingkat regresi aneurisma ditentukan oleh besarnya ukuran, yaitu aneurisma yang kecil cenderung lebih mudah regresi. Hal lain yang berpengaruh positif terhadap terjadinya regresi arteri koroner adalah usia awitan kurang dari satu tahun, bentuk fusiform dibanding sakular (kantong) dan lokasi aneurisma pada cabang koroner distal dibanding proksimal. Prognosis terburuk dijumpai pada aneurisma raksasa (giant aneurysm diameter > 8 mm). Pada kelompok ini trombosis dipacu oleh kombinasi aliran darah yang melambat dalam kompartemen arteri yang melebar dan sering terjadinya lesi stenotik di bagian distal maupun proksimal dari lesi. 128
Arteri koroner yang tidak mengalami resolusi yang signifikan, tetap menunjukkan gambaran morfologi aneurisma, stenosis atau oklusi atau bentuk yang berkelok-kelok (tortuous). Berbeda dengan aneurisma yang cenderung membaik dengan berlalunya waktu, lesi stenotik yang diakibatkan proliferasi myointima sering bersifat progresif. Ruptur aneurisma koroner meskipun sangat jarang, dapat terjadi pada bulan bulan pertama awitan. Pada anak-anak dengan aneurisma yang telah mengalami regresi ternyata selanjutnya masih dapat dijumpai penebalan intima pada dinding vaskular serta disfungsi endotel di kemudian hari yang menyerupai fase awal lesi aterosklerotik sehingga perlu dilakukan pemantauan lanjut terhadap kemungkinan terjadinya aterosklerosis prematur (aterosklerosis yang timbul sebelum waktunya). Pada kelompok ini, hasil penelitian menunjukkan arteri koroner tidak mengalami dilatasi sebagai respons terhadap latihan atau vasodilator koroner seperti yang terjadi pada arteri koroner normal. Atas dasar ini, pasien dengan aneurisma koroner yang telah mengalami regesi sekalipun harus dianjurkan untuk menghindari faktor risiko terjadinya aterosklerosis. Pada anak dengan aneurisma koroner yang menetap akan cenderung menderita penyakit jantung iskemik pada usia dewasa muda. Penanganan PK selanjutnya sangat tergantung pada faktor risiko yang ditentukan oleh kerusakan arteri koroner yang timbul. Dipandang dari segi terjadinya aterosklerosis prematur, PK dibagi atas 3 tingkatan yaitu 1. Tingkat pertama: risiko tinggi, terjadi pada individu yang menderita aneurisma koroner yang menetap. Pada keadaan aneurisma koroner sudah terjadi sejak fase akut dan terus berlanjut hingga usia dewasa. Kemungkinan pada individu ini terjadi penyakit jantung koroner pada usia yang relatif muda yaitu pada kurang dari 30 tahun (bukti klinis). 2. Tingkat kedua: risiko sedang, terjadi pada kasus yang pernah menderita aneurisma koroner pada fase akut PK namun dengan berlalunya waktu mengalami regresi yaitu arteri koroner menjadi normal kembali. Kemungkinan terjadi akselerasi aterosklerosis (bukti patofisiologik) 3. Tingkat ketiga: ada risiko, terdapat faktor risiko yang signifikan terjadinya akselerasi aterosklerosis. Kondisi ini terjadi pada penderita PK yang tidak pernah mengalami kelainan koroner. Penyebab utama kematian pasien PK adalah infark miokard
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 4 (Suplemen), Mei 2007
yang disebabkan oleh oklusi trombus pada arteri yang stenotik atau aneurismal. Risiko infark miokard tertinggi terjadi pada tahun pertama. Dengan pengobatan menggunakan imunoglobulin intravena dosis 2 gram/kg BB angka komplikasi koroner dapat ditekan hingga 4%. Pada fase akut/subakut selain dapat ditemukan dilatasi koroner, juga dapat terjadi miokarditis dan valvulitis. Valvulitis tersering dijumpai pada katup mitral dan disusul katup aorta.Komplikasi arteri koroner dan valvulitis pada penyakit ini membawa juga konsekuensi jangka panjang. Jika arteri koroner tetap normal dalam satu bulan setelah awitan penyakit, kemungkinan timbulnya kelainan koroner selanjutnya sangat kecil. Beberapa faktor risiko untuk timbulnya aneurisma koroner. • Laki laki • Usia kurang dari 1 tahun • Gejala atau tanda keterlibatan perikardium, miokardium atau endokardium, termasuk aritmia • Periode peradangan yang lama, termasuk demam > 10 hari • Demam berulang setelah periode afebris selama minimal 24 jam. Keterlibatan aorta dan arteri perifer yang lain (leher, aksila, renal, hepatik, iliaka) juga pernah dilaporkan. Miokarditis, efusi perikardium dan valvulitis (inflamasi katup) biasanya membaik dalam satu bulan sedangkan vaskulitis arteri koroner perjalanannya berbeda.
Derajat risiko PK dan penanganan selanjutnya setelah melewati fase akut Derajat risiko I Pasien tanpa perubahan arteri koroner pada ekokardiografi pada semua fase penyakit Pengobatan • Pemberian IGIV dan asetosal pada fase akut • Terapi antitrombotik tidak diperlukan setelah 6-8 minggu awitan penyakit • Tidak perlu restriksi aktivitas setelah 6-8 minggu awitan • Dianjurkan kontrol tiap 5 tahun untuk melihat faktor risiko kardiovaskular mengingat risiko
penyakit jantung iskemik belum dapat disingkirkan • Angiografi koroner tidak dianjurkan Derajat risiko II Penderita dengan pelebaran arteri koroner sementara (hilang dalam 6-8 minggu awitan). Pengobatan • Pemberian IGIV dan asetosal pada fase akut • Terapi antitrombotik tidak diperlukan setelah 6-8 minggu awitan penyakit • Tidak perlu restriksi aktivitas setelah 6-8 minggu awitan penyakit • Dianjurkan kontrol tiap 3-5 tahun untuk penentuan faktor risiko • Angiografi koroner tidak dianjurkan. Derajat risiko III Pasien dengan aneurisma koroner soliter kecil sampai sedang ( ukuran > 3 mm tapi < 6 mm atau z score antara 3-7) pada = 1 arteri koroner secara ekokardiografi atau angiografi Pengobatan • Pemberian IGIV dan asetosal pada fase akut • Pemberian antitrombotik jangka panjang dengan asetosal setidaknya hingga terjadi • Aktivitas fisik tanpa restriksi setelah 6-8 minggu awitan penyakit sampai dekade pertama. Stress test untuk penentuan perfusi miokardial mungkin bermanfaat pada dekade kedua sebagai acuan untuk aktivitas fisik. Olahraga yang dapat menimbulkan cedera fisik dihindari jika masih dalam pemberian antitrombotik guna mencegah timbulnya perdarahan • Dianjurkan untuk diperiksa tiap tahun oleh dokter jantung anak untuk ekokardiografi dan EKG. Stress test untuk melihat perfusi miokardium dianjurkan tiap 2 tahun pada penderita usia > 10 tahun. • Angiografi koroner dianjurkan jika ditemukan iskemia miokardium pada stress test. Derajat risiko IV Pasien dengan =1 aneurisma arteri koroner besar (= 6 mm), termasuk aneurisma raksasa (giant 129
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 4 (Suplemen), Mei 2007
aneurysm, ukuran > 8 mm) dan penderita dengan aneurisma multipel (segmental) atau kompleks tanpa obstruksi. Pengobatan • Pemberian IGIV dan asetosal pada fase akut • Pemberian antitrombotik jangka panjang dianjurkan. Pemberian warfarin dengan target INR (International Normalized Ratio) 2 – 2.5 dianjurkan pada penderita dengan aneurisma raksasa. Pemberian heparin bobot molekul rendah merupakan alternatif warfarin jika pengambilan darah untuk uji INR sulit dikerjakan. Sebagian ahli menganjurkan pemberian kombinasi asetosal dan clodiprogel untuk penderita dengan aneurisma kompleks atau multipel. Jika pemeriksaan INR tidak bisa dilakukan, digunakan nilai waktu protrombin 11/2 sampai 2 kali kontrol • Anjuran aktivitas fisik harus didasarkan pada hasil stress test dengan evaluasi perfusi miokard. Olahraga yang berpotensi traumatik dihindari mengingat risiko terjadinya perdarahan. • Evaluasi ekokardiogram dan EKG harus dikerjakan tiap 6 bulan. Stress test dengan evaluasi perfusi miokard harus dikerjakan tiap tahun. Harus dipantau faktor risiko terjadinya aterosklerosis, begitu juga keluarganya. • Kateterisasi jantung dengan angiografi koroner selektif harus dilakukan 6-12 bulan atau lebih dini lagi setelah sembuh dari fase akut PK. Angiografi selanjutnya perlu dilakukan jika ada tanda iskemia pada pemeriksaan non invasif Derajat risiko V Pasien dengan obstruksi arteri koroner , terkonfirmasi dengan angiografi Pengobatan • Pemberian IGIV dan asetosal pada fase akut • Pemberian antitrombotik jangka panjang dengan atau tanpa warfarin • Obat penghambat beta adrenergik perlu dipertimbangkan untuk mengurangi konsumsi oksigen miokard • Anjuran untuk aktivitas tergantung pada respons terhadap stress test. Olah raga yang traumatik harus dihindari karena risiko perdarahan. Pasien juga harus menghindari kehidupan yang kurang aktivitas. 130
•
•
Evaluasi kardiologis dengan EKG dan ekokardiogram harus dikerjakan tiap 6 bulan. Stress test dengan evaluasi perfusi miokard dilakukan tiap tahun. Pasien juga harus dipantau faktor risiko terjadinya aterosklerosis begitu juga keluarganya Kateterisasi jantung dengan angiografi koroner selektif dianjurkan untuk menentukan pilihan operasi pintas koroner atau intervensi dan mengetahui besarnya perfusi kolateral. Ulangan kateterisasi diperlukan jika pemeriksaan non invasif menunjukkan iskemia miokard baru atau perburukan yang lama.
Pada kasus dengan PK rekuren, sekuele pada jantung lebih mudah terjadi dibanding pada kasus dengan serangan pertama baik pada kasus dengan atau tanpa sekuele pada episode pertama PK. Pada saat awal terkena PK, dampak penyakit ini sudah mulai dirasakan baik oleh si anak maupun orangtua. Ketika mengetahui adanya kemungkinan komplikasi ke jantung, kecemasan orangtua mulai muncul kepermukaan. Jika ekokardiografi menunjukkan hasil yang normal, kecemasan ini mungkin agak reda. Namun jika hasil ekokardiografi menunjukkan kelainan koroner yang signifikan, maka kecemasan orangtua akan terus ada hingga hasil ekokardiografi suatu saat menjadi normal kembali. Pada kasus dengan aneurisma koroner berat perlu waktu yang sangat lama hingga arteri koroner menjadi normal kembali bahkan kelainan bisa menetap. Pada orangtua yang tidak terlalu mampu apalagi tidak mampu, kecemasan ini akan bertambah dengan memikirkan biaya imunoglobulin yang sangat mahal. Untunglah hanya 20% sampai 40% kasus PK yang terkena kelainan koroner. Jika fase akut terlampaui, pada pasien tanpa kelainan koroner, untuk sementara masalahnya selesai. Masalah yang lebih besar timbul jika ada kelainan koroner yang signifikan sejak awal. Kelainan ini bisa saja dengan berlalunya waktu mengalami regresi atau perbaikan. Namun bisa juga pada sebagian kasus menetap sehingga menimbulkan masalah yang terus menerus. Pada anak dengan aneurisma koroner yang menetap (biasanya berukuran > 8 mm), ia akan terus perlu dipantau serta minum obat baik golongan aspirin atau antikoagulan seperti warfarin. Anak yang lebih besar merasa bahwa ia mempunyai kelainan kalau harus terus minum obat, dan ini dapat merupakan sumber kecemasan baginya maupun bagi orangtuanya. Pemberian obat antikoagulan untuk mencegah trombosis koroner seperti
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 4 (Suplemen), Mei 2007
warfarin misalnya, harus diberikan dengan hati hati dan si anak harus dijaga agar jangan sampai ikut permainan yang dapat menimbulkan cedera atau luka yang dapat berakibat perdarahan yang lama. Bagi seorang anak pasca PK, jika komplikasi koroner atau katup berat, perlu penanganan jangka panjang, mulai dari ekokardiografi, kateterisasi jantung, tindakan intervensi jantung, operasi bedah pintas koroner atau bahkan transplantasi jantung. Hal tersebut akan membawa suatu dampak yang dapat cukup signifikan bagi orangtua, keluarga maupun lingkungannya. Pada kasus kasus yang ringan, apalagi jika tidak dijumpai kelainan koroner, dampak jangka panjang boleh dikatakan relatif tidak signifikan kecuali kemungkinan terjadinya aterosklerosis prematur pada usia dewasa dengan berbagai konsekuensinya. Sebagai contoh seorang dengan penyakit jantung koroner pasca PK, bisa mengalami gagal jantung kronik, perlu pengobatan berulang dan jangka lama, mungkin seumur hidup. Di pihak lain mungkin ia tidak bisa mencari nafkah untuk keluarga karena penyakitnya tersebut. Hal ini akan menjadi beban bagi keluarganya kelak. Aterosklerosis prematur dapat dicegah atau ditekan kemungkinannya dengan memperhatikan gaya hidup serta diet dan kontrol yang teratur. Vaskulitis akut pada PK akan mengakibatkan kerusakan arteri koroner dan perubahan aliran darah yang merupakan predisposisi pembentukan trombus atau aterosklerosis progresif yang bisa terjadi tanpa gejala selama bertahun tahun.Atas dasar ini pada semua dewasa muda yang terkena infark miokard akut atau mengalami kematian mendadak harus dicari riwayat PK sebelumnya Biaya pengobatan pada fase akut saja sudah cukup besar. Seorang anak membutuhkan imunoglobulin sebanyak 2 gram /kg BB. Harga tiap gram berkisar Rp 900.000. Jika BB anak tersebut 10-20 kg maka dibutuhkan biaya sekitar 18 hingga 36 juta rupiah. Ini baru untuk obat, belum biaya perawatan RS, pemeriksaan penunjang dsb. Bagi penderita yang tidak mampu biaya ini jelas jauh dari jangkauan. Bagi golongan yang sedikit mampu, pengeluaran ini dapat mengguncangkan ekonomi rumah tangga dan bukan tidak mungkin terpaksa mengambil jatah yang dilokasikan untuk anggota keluarga yang lain dengan segala konsekuensinya. Sayang sekali karena hingga saat ini etiologi PK belum diketahui, usaha usaha preventif belum dapat dilakukan. Diharapkan di masa yang akan datang etiologi dapat diketahui sehingga kita bisa menapak kearah preventif.
Daftar Pustaka 1.
2. 3. 4.
5.
6. 7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Kawasaki T. Acute febrile mucocutaneous lymph node syndrome with accompanying pecific peeling of the fingers and the toes. Japanese J Allergy 1967; 16:178-22. Shulman ST, Inocencio J, Hirsch R. Kawasaki disease. Pediatr Clin North Am 1995; 42:1205-22. Advani N. Mengenal Penyakit Kawasaki: Jakarta, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2004. Advani N, Sukardi R, Satroasmoro S, Lukito B, Liando A. Kawasaki Disease in Indonesia, an early report. Diajukan pada the Eighth International Symposium on Kawasaki disease. San Diego, USA, February 17-20, 2005. Advani N. Kawasaki disease, experience in Indonesia. Diajukan pada the First Asia-Pacific Congress of Pediatric Cardiology and Cardiac Surgery. Bangkok, Thailand, November 1-4, 2006. Mellish, ME. Kawasaki syndrome. Pediatrics in Review 1996; 17:153-62. Park MK, Troxler RG.Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi keempat. St Louis:Mosby, 2002. h. 293-9. Feigin RD, Cecchin. Kawasaki Disease. Dalam: Mc Millan JA, De Angelis CD, Feigin RD, Warshaw JB, penyunting, Oski’s Pediatrics. Edisi ketiga. Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins, 1999. h. 924-31. Rowley AH, Shulman ST. Kawasaki diseae. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics; edisi ke-16. Philadelphia: WB Saunders, 2000. h. 725-7. Brogan PA, Bose A, Burgner A. Kawasaki disease:an evidence based approach to diagnosis, treatment and proposals for future research. Arch Dis Child 2002; 86:286-90. Furusho K, Kamiya T, Nakano H. High-dose intravenous gammaglobulin for Kawasaki disease. Lancet. 1984; 2:1055-58. Neches WH. Kawasaki disease. Dalam: Anderson RH, Baker EJ, Macartney FJ, Rigby ML, Shinebourne EA, Tynan M, penyunting, Paediatric Cardiology. Edisi kedua. Edinburgh:Churchill Livingstone, 2002. h. 1683-96. Kato H, Koike S, Tokoyama TK. Kawasaki disease : Effect of treatment of coronary artery involvement. Pediatrics 1979; 63:175-9. Iemura M, Ishii M, Sugimura T, Akagi T, Kato H. Longterm consequences of regressed coronary aneurysm after Kawasaki disease: vascular wall morphology and
131
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 4 (Suplemen), Mei 2007
function.Heart 2000; 83:307-11. 15. Kato H, Ichinose E, Yoshioka F. Fate of coronary aneurysm in Kawasaki disease: serial coronary angiography and long-term follow up study. Am J Cardiol 1981; 49:1758-66. 16. Kato H, Sugimura T, Akagi T. Long-term consequences of Kawasaki disease: a 10- 21 year follow up study of 594 patients. Circulation 1996; 94:1379-85. 17. Kato H, Koike S, Yamamoto M. Coronary aneurysms in infants and young children with acute febrile mucocutaneus lymph node syndrome. J Pediatr 1975; 86:892-8. 18. Dajani AS, Taubert KA, Gerber MA, Shulman ST, Ferrieri P, Freed M. Diagnosis and therapy of Kawasaki disease in children. Circulation 1993; 87:1776-80. 19. Newburger JW, Takahashi M, Gerber MA. Diagnosis, treatment and long-term management of Kawasaki disease. Circulation 2004; 110:2747-71.
132
20. Nakamura Y, Oki I, Tanihara S, Ojima T, Yanagawa H. Cardiac sequele in recurrent cases of Kawasaki disease: A comparison between the initial episode of the disease and a recurrence in the same patients. Pediatrics 1998; 102:1-5. 21. Nakamura Y, Yanagawa H, Ojima T, Kawasaki T, Kato H. Cardiac sequele of Kawasaki disease among recurrent cases. Arch Dis Child 1998; 78:163-5. 22. Burns JC, Shike H, Gordon JB, Malhotra A, Schoenwetter M, Kawasaki T. Sequelae of Kawasaki disease in adolescents and young adults. J Am Coll Cardiol. 1996; 28:253-7. 23. Kavey RW, Allada V, Daniels SR, Hayman LL, McCrindle BW, Newburger JW. Cardiovascular risk reduction in high-risk pediatric patients. Circulation 2006; 114:2710-38. 24. Takahashi M, Mason W, Lewis AB. Regression of coronary aneurysms in patients with Kawasaki syndrome. Circulation 1987; 75:387-94.