LAK Anindya dkk.
Penyakit Fox-Fordyce
Laporan Kasus
PENYAKIT FOX-FORDYCE Litya Ayu Kanya Anindya, Evita Halim Effendi, Erdina H.D. Pusponegoro
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK.Universitas Indonesia/RS dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
ABSTRAK Penyakit Fox-Fordyce adalah kelainan kulit yang jarang terjadi, bahkan insidensnya tidak diketahui dengan pasti. Gambaran klinis penyakit tersebut berupa papul folikular multipel berbentuk kubah sewarna kulit yang sangat gatal. Daerah yang terkena adalah daerah yang mengandung banyak kelenjar apokrin, paling sering di aksila, serta cenderung bilateral. Etiologi dan faktor pencetusnya belum diketahui. Diduga udara panas, kelembaban, dan stres merupakan faktor pencetus eksaserbasi. Terdapat hipotesis bahwa manifestasi klinis disebabkan oleh sumbatan keratin dalam lumen infundibula folikel, pada tempat masuk duktus apokrin ke dinding folikular. Pengaruh hormon dan genetik masih diperdebatkan. Secara histopatologik, gambaran yang paling sering ditemukan berupa dilatasi dan hiperkeratosis infundibula folikel yang menyumbat akrosiringium apokrin. Diagnosis banding di antaranya adalah folikulitis, liken planus folikular, liken nitidus, dermatitis kontak, skabies, dan dermatitis kronik. Penyakit ini sulit diterapi. Terdapat beberapa laporan keberhasilan terapi, namun belum ada terapi yang dapat diterima secara luas. Menghindari keringat berlebih dan udara panas dapat mengurangi gejala. (MDVI 2011; 38/2:89-95) Kata kunci: penyakit Fox-Fordyce, patogenesis, gambaran klinis, diagnosis banding, terapi
ABSTRACT Fox-Fordyce disease is a rare skin disorder. The incidence is unknown. Clinical feature consists of multiple dome-shaped, flesh-colored follicular papules, which extremely pruritic. It involves areas that are anatomically rich in apocrine glands, with most common site being the axillae, usually bilaterally. The etiology and triggering factors are unknown. Heat, humidity and stress are thougt to be exacerbating factors. There are some hypothesis that the clinical manifestation of Fox-Fordyce disease is caused by intraluminal keratin plug of follicle infundibulum at the apocrine duct opening in the follicular wall. Hormonal and genetic factors are still debatable. Histopathologically, the most common findings are dilatation and hyperkeratosis of follicle infundibulum which occluded the apocrine acrosyringium. The differential diagnosis includes folliculitis, follicular lichen planus, lichen nitidus, contact dermatitis, scabies, chronic dermatitis, etc. FoxFordyce disease is difficult to treat. There are some reports of succesful therapy, but none of those are widely accepted. Avoiding excessive sweat and heat can reduce symptoms.(MDVI 2011; 38/2:89-95) Keywords: Fox-Fordyce disease, pathogenesis, clinical feature, differential diagnosis, therapy
Korespondensi :
Jl. Diponegoro 71. Jakarta Pusat Telpon: 021-31935383 Email:
[email protected]
89
MDVI
Vol. 38. No.2 Tahun 2011:89 -95
PENDAHULUAN
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Penyakit Fox-Fordyce merupakan erupsi kulit yang jarang terjadi, dengan karakteristik papul folikular gatal, terlokalisir pada daerah anatomis yang memiliki kelenjar apokrin.1 Pertama kali dilaporkan oleh George Henry Fox dan John Addison Fordyce pada tahun 1902 di aksila dua orang pasien, seorang perempuan dan seorang laki-laki.1-3 Fordyce kembali melaporkan dua orang pasien dengan gambaran klinis serupa pada tahun 1909.3 Kedua pasien tersebut menunjukkan gambaran histopatologik hiperkeratosis pada kelenjar keringat di epidermis, hiperplasia stratum spinosum, serta dilatasi kumparan kelenjar di bawahnya dengan degenerasi sel-sel kelenjar tersebut. Saat itu, Fox dan Fordyce mengungkapkan bahwa kelainan tersebut merupakan “dermatitis likenoid kronik” yang berhubungan dengan “neurodermatitis”.3 Pada tahun 1917, P. Schieffendecker menyatakan bahwa kelenjar apokrin berkembang bersama kelenjar sebasea dan folikel rambut dari sel germinal yang sama pada embrio, sedangkan kelenjar ekrin langsung dari epidermis.3 Fischer (1925) menyatukan kedua pengamatan tersebut dan mengemukakan hipotesis bahwa Fox-Fordyce adalah kelainan kelenjar apokrin.1,3 Pada tahun 1955, Shelley dan Levy membandingkan temuan histopatologis pada beberapa pasien penyakit FoxFordyce dengan gambaran histopatologis miliaria kristalina.3 Mereka menginterpretasikan proses dasar patologis kedua penyakit tersebut sama,3 lalu memperkenalkan istilah miliaria apokrin sebagai sinonim penyakit Fox-Fordyce.1,3 Istilah penyakit Fox-Fordyce berbeda dengan Fordyce’s spot. Fordyce’s spot, atau disebut juga Fordyce adalah kelenjar sebasea yang timbul pada mukosa bukal dan bibir. Walaupun letaknya ektopik, namun gambaran histopatologisnya normal.2
Etiologi dan faktor pencetus penyakit Fox-Fordyce belum diketahui.1,4 Beberapa faktor, misalnya pengaruh emosional dan/atau hormonal, dan perubahan kimiawi pada komponen keringat diduga berperan dalam mencetuskan penyakit.4,6 Sulit untuk memastikan apakah penyakit Fox Fordyce termasuk penyakit inflamasi atau perubahan kornifikasi yang dipengaruhi faktor genetik. Gejala dan tanda penyakit Fox-Fordyce timbul saat masa subur, terutama pada perempuan, saat fungsi kelenjar apokrin meningkat; setelah menopause, biasanya lesi menghilang.3
EPIDEMIOLOGI Fox-Fordyce disease adalah penyakit yang jarang terjadi.4 Insidens kelainan tersebut belum diketahui. Di Poliklinik Dermatologi Umum Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM dari tahun 2002 sampai tahun 2007 hanya terdapat satu kasus Fox-Fordyce disease.5 Sekitar 90% pasien Fox-Fordyce disease adalah perempuan. Usia awitan cenderung setelah pubertas, dengan sebagian besar pasien berusia antara 13 dan 35 tahun.1,4 Jarang timbul sebelum atau setelah usia tersebut.4 Tidak terdapat predileksi etnik atau ras.1 Geografis tidak terbukti berpengaruh. Banyak laporan kasus yang menyebutkan bahwa udara panas, kelembaban, dan stres adalah faktorfaktor pencetus eksaserbasi.4
90
Sumbatan folikular Shelley dan Levy mengemukakan hipotesis bahwa manifestasi klinis penyakit tersebut merupakan akibat sumbatan keratin dalam lumen infundibula folikel, pada tempat masuk duktus apokrin ke dinding folikular.1,7 Sumbatan tersebut menghambat aliran sekresi apokrin ke permukaan kulit.1,3,7 Akibatnya sekret apokrin keluar ke epidermis infundibular di dekat akrosiringium dan ke dalam dermis di sekitar duktus apokrin.3 Hal tersebut menyebabkan duktus apokrin pecah dan meradang,1 serta menimbulkan reaksi inflamasi sekunder pada dermis.7 Ekstravasasi keringat dan inflamasi dapat menjelaskan rasa gatal yang timbul.8 Secara histopatologis, terjadi berbagai perubahan, di antaranya spongiosis dan pembentukan cornoid lamella serta penarikan makrofag. Makrofag kemudian menekan lipid dari sekret, dan menimbulkan gambaran berbusa pada sediaan histopatologis.3 Walaupun sumbatan duktus apokrin tampaknya penting dalam proses perkembangan penyakit, percobaan penyumbatan duktus pada individu sehat hanya menghasilkan dilatasi duktus apokrin secara histopatologis, namun tidak menunjukkan manifestasi klinis penyakit.1,9 Sebuah laporan kasus menerangkan perkembangan penyakit Fox-Fordyce yang dihubungkan dengan sumbatan kelenjar keringat apo-ekrin.1 Kelenjar apoekrin adalah kelenjar keringat yang memiliki muara langsung ke permukaan kulit seperti kelenjar ekrin, namun sifat sekresinya menyerupai kelenjar apo-ekrin. Ukurannya lebih besar daripada kelenjar ekrin, namun lebih kecil daripada kelenjar apokrin. Perbandingan jumlah kelenjar apo-ekrin dengan kelenjar ekrin pada aksila pria dan perempuan dewasa hampir mencapai 1:2, namun pada beberapa orang kelenjar apo-ekrin kurang dari 10% kelenjar keringat aksila. Tidak diketahui apakah kelenjar tersebut terdapat pada daerah genital dan areola mama atau tidak.10
LAK Anindya dkk.
Penyakit Fox-Fordyce
Kamada dkk. (2003) melaporkan pasien dengan gambaran klinis sesuai dengan penyakit Fox-Fordyce, yang disebabkan oleh sumbatan duktus apoekrin intradermal oleh sel sekretori apo-ekrin yang terkelupas dan dilepaskan dari epitel sekretori.11
penyakit Fox-Fordyce yang berlokasi di aksila dan suprapubis pada anak perempuan usia 10 tahun yang belum mengalami pubertas.6 Laporan penyakit FoxFordyce pada pasien prapubertas bertentangan dengan teori hormonal.4 Kemungkinan faktor hormonal tidak selalu berperan pada setiap kasus.6 Effendy dkk. (1994) melaporkan penyakit Fox-Fordyce pada seorang pria dengan kadar follicle-stimulating hormone (FSH) yang meningkat.12 Diperkirakan FSH berperan sebagai faktor etiologi pada penyakit tersebut.12,13 Genetik
c a b
Gambar 1. Kelenjar apokrin (a), ekrin (b), sebasea (c) dan hubungannya dengan folikel rambut pada aksila manusia11
Keberhasilan terapi dengan pimekrolimus membuktikan bahwa jalur patogenesis penyakit Fox-Fordyce berbeda dari yang sebelumnya diajukan. Kemungkinan kejadian awalnya bukan sumbatan keratin duktus apokrin, melainkan proses inflamasi yang menginduksi hiperkeratosis reaktif sekunder. Urutan kejadian yang sama dapat terlihat pada banyak tipe dermatitis, sehingga terapi retinoid yang memfokuskan pada sumbatan keratin kurang berhasil. Penelitian dengan pasien dalam jumlah besar membuktikan efek pimekrolimus dalam terapi kurang berhasil. Hal tersebut dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai patogenesis penyakit Fox Fordyce.7
Hormon Pengaruh hormon masih menjadi perdebatan.1 Awitan penyakit setelah pubertas dan perbaikan pada saat kehamilan dan pemberian estrogen mendukung dugaan keterlibatan hormon, namun evaluasi hormonal pada satu pasien dengan penyakit Fox-Fordyce tidak menunjukkan abnormalitas.1,9 Pada tahun 1995, Matthew dkk. melaporkan perempuan berusia 32 tahun dengan penyakit Fox-Fordyce pada kedua aksila. Erupsi muncul saat usia 19 tahun, namun sering mengalami remisi saat pemberian kontrasepsi oral dan saat pasien hamil. Setelah melahirkan, pasien masih mengalami erupsi dua kali.9 Ranaletta dkk. (1996) melaporkan gambaran klinis beserta histopatologis penyakit Fox-Fordyce pada dua pasien perempuan prapubertas.8 Sandhu dkk. (2005) melaporkan
Faktor genetik mungkin berperan dalam perkembangan penyakit. Penyakit tersebut telah dilaporkan pada 1 pasien dengan delesi kromosom 21. Terdapat pula laporan kejadian penyakit tersebut pada laki-laki kembar identik dan kakakberadik.1 Matthew dkk. (1995) melaporkan penyakit FoxFordyce pada seorang perempuan yang memiliki saudara kandung perempuan dengan keluhan serupa.9 Patrizi dkk. (1998) melaporkan 2 orang pasien FoxFordyce dengan sindrom Turner dalam terapi growth hormone (GH). Hubungan antara penyakit Fox-Fordyce dengan sindrom Turner dapat merupakan kebetulan, namun dapat pula diduga faktor genetik dan perubahan hormonal pada sindrom Turner membuat seseorang rentan terhadap penyakit Fox-Fordyce.13
GAMBARAN KLINIS Riwayat penyakit Pasien menggambarkan papul pruritus yang timbul saat pubertas dan berangsur-angsur memburuk.1 Kondisi tersebut sering muncul mendadak dalam keadaan panas, lembab, friksi.4 Pruritus dapat dipicu oleh rangsangan emosional atau keringat.1 Matthew dkk. (1995), melaporkan bahwa lesi bertambah parah saat musim panas dan kekambuhan dipicu oleh olahraga atau aktivitas lain yang menimbulkan keringat.9 Beberapa pasien mengatakan bahwa pruritus mengganggu tidur,4 kadang bersifat intermiten,14 sedangkan pada pasien lainnya, lesi bersifat asimtomatik.4 Lesi pada aksila kadang-kadang timbul setelah lama menggunakan antiperspiran topikal.14 Lesi kulit Penyakit Fox-Fordyce bermanifestasi sebagai papul folikular multipel berbentuk kubah sewarna kulit, dapat berwarna agak kuning atau merah, dengan distribusi simetris, dan sangat gatal.1 Pada beberapa kasus dapat terlihat umbilikasi di bagian sentral lesi.15 Ekskoriasi dan likenifikasi dapat terjadi sebagai akibat garukan.1,4 Papulpapul tersebut dapat menyerupai liken planus, liken nitidus, folikulitis, atau siringoma.1 Bagian tubuh yang terkena umumnya banyak mengandung kelenjar apokrin,
91
MDVI
paling sering pada aksila, cenderung bilateral.1,4 Bagian lain yang terkena adalah pubis dan perineum, areola mama, prasternal, serta periumbilikal dan paha bagian proksimal medial.1,5,15 Pada daerah yang terkena, pertumbuhan rambut jarang, dan kelenjar apokrin tidak memproduksi keringat.1
GAMBARAN HISTOPATOLOGIS Penyakit Fox-Fordyce pada tiap pasien menunjukkan gambaran klinis yang relatif sama, namun gambaran histopatologis sangat beragam.1,3 Gambaran yang selalu dijumpai adalah dilatasi dan hiperkeratosis infundibula folikel yang menyumbat akrosiringium apokrin.1,3,4 Selain gambaran tersebut, perubahan lain yang dapat ditemui berupa vesikel spongiotik pada infundibula folikular1,3,16 yang kemungkinan merupakan akibat retensi keringat apokrin,16 ruptur apokrin,4 sel diskeratotik sepanjang epidermis infundibula, perubahan vakuolar pada taut dermoepidermal dengan inflamasi limfositik periadneksal,1,3,16 cornoid lamella pada infundibula folikel dengan keratinosit eosinofilik di bawah column parakeratotik,1,3 dan infiltrat xantomatosa (foamy macrophage),1,3,17 Bormate dkk. (2008) menyatakan bahwa gambaran xantomatosis peri-infundibular dan periduktal bersifat khas untuk penyakit Fox-Fordyce.18 Dibutuhkan potongan serial spesimen biopsi untuk memperlihatkan gambaran khas penyakit Fox-Fordyce.14,19 Terdapat dugaan bahwa transverse histologic sectioning adalah metode yang paling efisien dan efektif untuk menunjukkan gambaran karakteristik tersebut.1,4 Stashower dkk. (2000) membandingkan antara pemotongan sediaan histopatologik secara vertikal standar dengan pemotongan transversal. Mereka melaporkan bahwa pemotongan standar lebih memakan waktu dan potongan yang harus dibuat lebih banyak dibandingkan dengan pemotongan transversal untuk menemukan gambaran khas penyakit Fox-Fordyce.20
DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding penyakit Fox-Fordyce mencakup folikulitis, liken planus, liken nitidus,1,20 dermatitis kontak, skabies, dermatitis kronik,20 dan lain-lain. Folikulitis dapat menyerupai penyakit Fox-Fordyce karena pada keduanya lesi terletak pada folikel rambut dan area tubuh yang terkena adalah yang mengandung kelenjar apokrin.21,22 Bedanya, pada folikulitis lesi berupa pustul, sedangkan pada penyakit Fox-Fordyce lesi biasanya berupa papul sewarna kulit.1,21,22 Lesi pada folikulitis pustular eosinofilik berbentuk papul folikular menyerupai penyakit Fox-Fordyce, selain papul, lesi juga terdiri atas pustul. Berbeda dengan penyakit Fox-Fordyce, tempat predileksi folikulitis pustular eosinofilik pada wajah, badan, dan ekstremitas. Pada HIV, lesi berupa papul folikular yang sangat gatal, namun
92
Vol. 38. No.2 Tahun 2011:89 -95
predileksinya pada kepala, leher dan ekstremitas bagian proksimal.23 Lesi pada Malassezia folikulitis berupa papul atau pustul perifolikular. Sama dengan penyakit Fox-Fordyce, lesi pada penyakit tersebut juga dapat menimbulkan keluhan gatal,1,24 namun biasanya lesi terletak di punggung, dada, dan terkadang ekstremitas. Pada spesimen biopsi dapat ditemukan Malassezia pada folikel.24 Salah satu varian klinis liken planus adalah liken planus folikular.25 Varian tersebut dapat menyerupai penyakit Fox-Fordyce, lesi berupa papul folikular individual,1 namun pada varian tersebut lesi bersifat keratotik dan berbentuk plak kecil. Tempat predileksi varian tersebut adalah pada badan dan bagian medial ekstremitas proksimal,25 sedangkan penyakit Fox-Fordyce juga dapat mengenai daerah paha, prasternum, dan umbilikus.1,15 Varian lain adalah liken planus inversa. Penyakit tersebut jarang ditemukan, gambaran klinis berupa papul dan nodus merah-kecoklatan, tersebar diskret. Erupsi tersebut muncul terutama di bagian fleksor, misalnya aksila, inframama, lipat paha, dan lebih jarang di poplitea dan antekubiti.1,15,25 Gambaran utama histopatologis liken planus adalah kerusakan keratinosit epidermis basal dan reaksi limfositik lichenoid-interface.25 Hal tersebut berbeda dengan gambaran histopatologis penyakit FoxFordyce. Liken nitidus adalah erupsi kulit dengan lesi berupa papul bulat datar, halus, multipel tersebar diskret. Papul bersifat individual, berukuran 1-2 mm, sewarna kulit atau agak merah muda, dengan permukaan berkilap. Kadang dapat terbentuk skuama. Lesi dapat muncul di mana saja,26 termasuk di daerah genital,1,15 Liken nitidus dapat terjadi pada permukaan fleksor lengan dan pergelangan tangan, abdomen bagian bawah, dan dada. Gambaran histopatologis liken nitidus berbeda dengan liken planus, pada liken nitidus ditemukan infiltrat limfosit dan histiosit sirkumskripta di bawah epidermis yang menipis.26 Siringoma adalah tumor jinak dengan diferensiasi ke arah akrosiringium ekrin.27 Kesamaan dengan penyakit Fox-Fordyce adalah bersifat familial, muncul terutama pada masa pubertas atau adolesen, berupa kelompok papul multipel yang tersebar,1,27 walaupun terkadang berkonfluens. Lesi tersebut cenderung mengenai bagian atas badan, terutama bagian anterior leher, dada, badan, aksila, bagian fleksor lengan atas, dan umbilikal.1,4,27 Siringoma menunjukkan gambaran histopatologis berupa struktur kistik tubular solid berbentuk mirip kecebong pada dermis bagian atas. Daerah epitel dikelilingi oleh kumparan kolagen padat dan menebal.27 Gambaran khas tersebut membedakan siringoma dengan penyakit FoxFordyce. Milia dapat merupakan lesi kongenital dan didapat, lazim terjadi pada bayi dan dewasa. Laki-laki dan perempuan dapat terkena dalam perbandingan yang sama. Lesi berupa papul berbentuk kubah berukuran 1-2 mm,
LAK Anindya dkk.
berwarna putih, biasanya berlokasi di pipi dan kelopak mata orang dewasa.28 Pada penyakit Fox-Fordyce, lesi berupa papul folikular multipel,1 paling sering terjadi di aksila,1,4 lebih sering terjadi pada perempuan, dan cenderung terjadi setelah pubertas. Gambaran histopatologis milia mirip dengan kista epidermoid kecil yang dilapisi epidermis dan terisi keratin. Perbedaannya, ukuran milia lebih kecil, dan kadang-kadang terdapat hubungan dengan duktus ekrin atau folikel rambut velus.28 Pada penyakit Fox-Fordyce terbentuknya lesi berhubungan dengan duktus apokrin,1,3,4 yang tidak terdapat kista epidermoid. Miliaria terbentuk akibat gangguan integritas duktus ekrin, sehingga terjadi sekresi keringat ke dalam lapisan epidermis.29 Pada penyakit Fox-Fordyce keringat dari kelenjar apokrin tidak diproduksi.1 Pada miliaria rubra (prickly heat) keringat dari duktus yang tersumbat bermigrasi ke epidermis dan dermis bagian atas sehingga menyebabkan papul inflamasi disertai gatal di sekitar pori-pori keringat. Kelainan tersebut lazim terjadi pada bayi, namun juga pada anak-anak dan dewasa setelah episode keringat berulang di lingkungan yang panas dan lembab. Biasanya erupsi menghilang dalam sehari setelah pasien pindah ke daerah yang lebih dingin, sedangkan anhidrosis dapat bertahan sampai 2 minggu (sesuai waktu turnover epidermis yang dibutuhkan untuk memperbaiki duktus yang rusak).29
TERAPI Medikamentosa Non-bedah Penyakit Fox-Fordyce sulit diterapi,1 belum ada terapi yang dapat diterima secara umum.12 Klindamisin dan propilen glikol efektif pada sedikit serial kasus guna menghilangkan gejala dan mengurangi papul.1 Shelley mengajukan terapi tretinoin topikal pada tahun 1972 berdasarkan pengamatan folikular.4 Tretinoin 0,1% topikal, meskipun berpotensi menyebabkan iritasi, tetap efektif. Isotretinoin sistemik menyebabkan lesi sembuh hampir sempurna, namun rekuren dalam 3 bulan setelah penghentian obat tersebut.1 Terapi medis lain yang pernah dilaporkan adalah retinoid topikal,4 kortikosteroid topikal atau intralesi,1,4,8,11 antibiotik topikal4,12 (klindamisin, asam fusidat, dan gentamisin),8 serta terapi hormonal, misalnya kontrasepsi oral,1,4,8 atau testosteron.1 Pernah juga dilaporkan penggunaan sinar ultraviolet,1,4,12 dan sinar x.1,11 Pada tahun 1995, Matthew dkk melaporkan perempuan berusia 32 tahun dengan penyakit Fox-Fordyce pada kedua aksila. Pasien diinstruksikan untuk mengoleskan solusio klindamisin pada kedua aksila dua kali sehari.
Penyakit Fox-Fordyce
Solusio tersebut terdiri atas klindamisin fosfat 10 mg/ml, isopropil alkohol 50% vol/vol, propilen glikol, dan air. Saat kunjungan ulang 1 minggu kemudian, pasien melaporkan bahwa rasa panas dan gatal berkurang secara bermakna. Satu bulan kemudian, pasien melaporkan hilangnya keluhan subjektif. Setelah 6 bulan terapi, gejala subjektif dan objektif (papul) menghilang, walaupun penggunaan solusio klindamisin hanya intermiten.9 Effendy dkk (1994) melaporkan seorang laki-laki 50 tahun dengan penyakit Fox-Fordyce pada aksila bilateral.12,28 Pasien tersebut diobati krim tretinoin dan krim krotamiton, namun terjadi iritasi lokal, kemudian dilakukan terapi percobaan dengan isotretinoin oral. Setelah 8 minggu terapi dengan isotretinoin oral 30 mg per hari, papul menjadi rata dan terapi diteruskan dengan dosis yang dikurangi (15 mg per hari). Dalam waktu 2 bulan lesi pada aksila menghilang hampir seluruhnya. Sekitar 3 bulan setelah penghentian terapi, lesi kulit kembali timbul dan gatal semakin hebat.12 Terapi jangka panjang isotretinoin oral tidak feasible karena efek samping obat, terutama pada permpuan. Pada laki-laki, terapi isotretinoin oral intermiten dapat dipertimbangkan apabila gatal tidak tertahankan dan modalitas terapi lain gagal.28 Ozcan dkk. (2003) melaporkan keberhasilan terapi penyakit Fox-Fordyce dengan benzoil peroksida 5% topikal dan loratadin pada seorang perempuan berusia 27 tahun. Sebelumnya pasien telah diterapi dengan isotretinoin oral 30 mg per hari dan kortikosteroid topikal selama 2 bulan, namun lesi rekuren setelah penghentian regimen tersebut. Setelah diberi terapi benzoil peroksida 5% topikal selama 2 bulan dan loratadin 10 mg per hari selama 1 bulan, lesi menghilang, dan pada pengamatan selama 3 bulan tidak timbul lesi baru.30 Sandhu dkk. (2005) memberikan terapi topikal gel adapalen 0,1% pada pasien penyakit Fox-Fordyce usia prepubertas. Setelah 3 minggu terapi terlihat perbaikan penyakit.6 Pock dkk. (2006) melaporkan efek terapi yang sangat baik dengan pimekrolimus pada 3 pasien dengan penyakit Fox-Fordyce yang gagal diterapi dengan kortikosteroid topikal dan tretinoin. Pimekrolimus adalah salah satu dari kelas baru makrolaktam imunomodulator dengan aktivitas anti-inflamasi dan efek simpang yang dapat diterima. Digunakan krim pimekrolimus dua kali sehari selama 8 minggu. Pada pasien pertama lesi menghilang setelah 1 minggu terapi dan tidak rekuren dengan terapi pemeliharaan 2 kali seminggu selama lebih dari 10 bulan. Gatal berkurang dalam 1 minggu dan hilang dalam 3 minggu terapi. Pada pasien kedua, lesi berkurang secara bermakna dengan menyisakan beberapa papul. Gatal ringan pada pasien tersebut menghilang dalam 2 minggu terapi. Pasien ketiga menunjukkan perbaikan 50% dalam 10 hari dan 75% setelah 8 minggu terapi.7
93
MDVI
Bedah Pernah dilaporkan tindakan eksisi pada daerah yang terkena penyakit Fox-Fordyce,4,12 namun tindakan tersebut jarang dianjurkan.4 Tindakan lain yang telah dilakukan dan efektif adalah elektrokoagulasi,1,4 dermabrasi,4 dan kuretase dengan dibantu liposuction.1,31 Pengangkatan kelenjar apokrin secara bedah pada kasus yang rekalsitran menunjukkan perbaikan gejala pruritus dan mengurangi jumlah papul sebanyak 95% sampai 100%. Tindakan tersebut merupakan tindakan bedah yang luas, sedangkan di aksila, tindakannya adalah melakukan eksisi. Untuk daerah areola, teknik yang diterapkan diawali dengan pengangkatan areola pada bagian dermis. Selanjutnya dilakukan eksisi kelenjar apokrin di bawahnya, lalu areola yang tadi diangkat diletakkan kembali sebagai tandur kulit.31 Sama halnya dengan hiperhidrosis aksila, eradikasi kelenjar penyebab adalah prinsip dasar terapi kuretase dengan liposuction pada penyakit Fox-Fordyce. Kombinasi suction dengan pengerokan mekanik bagian bawah dermis dilakukan untuk pengangkatan kelenjar apokrin. Inflamasi dan fibrosis yang kemudian terjadi pada bagian bawah dermis tersebut juga membantu menghilangkan kelenjar apokrin. Jumlah papul di permukaan aksila dapat langsung terlihat berkurang selama prosedur. Gejala pruritus berkurang segera setelah operasi. Delapan bulan setelah tindakan, pasien tidak mengeluh pruritus lagi dan hanya terdapat sangat sedikit papul di aksila. Pasien tidak lagi membutuhkan terapi topikal dan jaringan parut bekas operasi hampir tidak terlihat.31
Vol. 38. No.2 Tahun 2011:89 -95
gambaran klinis dan riwayat penyakit,4 serta gambaran histopatologis yang khas penyakit Fox-Fordyce, yaitu gambaran xantomatosis peri-infundibular atau periduktal.1,3,14,17-19 Banyak laporan mengenai terapi penyakit Fox-Fordyce, namun belum ada terapi yang dapat memuaskan.1,11 DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3. 4. 5.
6. 7. 8.
9.
10.
Non-medikamentosa Menghindari keringat yang berlebih atau udara panas dapat mengurangi gejala.1 Aktivitas yang menyebabkan keringat sebaiknya dihindari. Disarankan untuk melakukan olahraga renang.4
11.
12.
13.
PROGNOSIS DAN PERJALANAN KLINIS Penyakit Fox-Fordyce bersifat kronis yang ditandai dengan papul folikular yang gatal. Penyakit tersebut jarang mengalami remisi tetapi sulit diterapi. Infeksi atau folikulitis dapat terbentuk sebagai efek sekunder trauma karena garukan.1
PENUTUP Penyakit Fox-Fordyce adalah erupsi kulit yang jarang terjadi dengan karakteristik papul folikular yang gatal di bagian badan yang memiliki kelenjar apokrin. Lesi pada penyakit tersebut dapat menyerupai liken planus, liken nitidus, folikulitis, dan siringoma.1 Dapat salah didiagnosis karena jarang terjadi dan dapat menyerupai beberapa penyakit. Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan
94
14.
15. 16.
17.
18.
19.
Wiseman MC. Disorders of the apocrine sweat glands. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw- Hill Companies, Inc, 2008; h.731-8 Taylor RS, Perone JP, Kaddu S, Kerl H. Appendage tumors and hamartomas of the skin. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: McGrawHill Companies, Inc, 2008; h.1068-87 Böer A. Patterns histopathologic of Fox-Fordyce disease. Am J Dermatopathol. 2004; 26: 482-92 White SW, Gorman CR. Fox-Fordyce disease. Didapat dari: http://www.emedicine.com. Diunduh tanggal 2 Januari 2009. Angka morbiditas di Poliklinik Dermatologi Umum Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM Januari 2002 – Desember 2007 Sandhu K, Gupta S, Kanwar AJ. Fox-Fordyce disease in a prepubertal girl. Pediatric Dermatol. 2005; 22: 89-90 Pock L, Surckova M, Machackova R, Hercogova J. Pimecrolimus is effective in Fox-Fordyce disease. Int J Dermatol. 2006; 45: 1134-5 Ranaletta M, Rositto A, Drut R. Fox-Fordyce disease in two prepubertal girls: histopathologic demonstration of eccrine sweat gland involvement. Pediatric Dermatol. 1996; 13: 294-7 Champion RH. Disorders of sweat glands. Dalam: Champion RH, Burton JL, Burn DA, Breathnach SM, editor. Rook/ Wilkinson/ Ebling Textbook of Dermatology. Edisi ke-6. New York: Blackwell Science, 1998; 1985-2002 Miller ML, Harford RR, Yeager JK. Fox-Fordyce disease treated with topical clindamicyn solution. Arch Dermatol. 1995; 131: 1112-3 Kamada A, Saga K, Jimbow K. Apoeccrine sweat duct obstruction as a cause for Fox-Fordyce disease. J Am Acad Dermatol. 2003; 48: 453-5 Effendy I, Ossowski B, Happle R. Fox-Fordyce disease in a male patient⎯response to oral retinoid therapy. Clin Exp Dermatol 1994; 19: 67-9 Patrizi A, Orlandi C, Neri I, Fanti PA, Mazzanti L. Fox-Fordyce disease: two cases in patient with Turner syndrome. Acta Derm Venereol. 1998; 79: 83-4 Diseases of cutaneous appendages. Dalam: Weedon D, Strutton G, editor. Skin pathology. Edisi ke-2. London: Churchill Livingstone, 2002; h.456-501 Ghislain PD, van Der Endt J, Delescluse J. Itchy papules of the axillae. Arch Dermatol 2002; 138: 259-64 Ioffreda MD. Inflammatory dieases of hair follicles, sweat glands, and cartilage. Dalam: Elder DE, Elenitsas R, Johnson BL, Murphy GF, editor. Lever’s histopathology of the skin. Edisi ke-9. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins, 2005; h.469-512 Kossard S. Dwyer P. Axillary perifollicular xanthomatosis resembling Fox-Fordyce disease. Australasian J Dermatol. 2004; 45: 146-8 Boormate AB, Leboit PE, McCalmont TH. Perifollicular xanthomatosis as the hallmark of axillary Fox-Fordyce disease. Arch Dermatol. 2008; 144: 1020-4 McKee PH, Calonje E, Granter SR. Spongiotic, Psoriasiform, and Pustular Dermatoses. Dalam: McKee PH, Calonje E, Granter SR, editor. Pathology of the skin with clinical correlations. Edisi ke-3. New York: Elsevier Mosby, 2005; h.171-217
LAK Anindya dkk.
20. Stashower ME, Krivda SJ, Turiansky GW. Fox-Fordyce disease: diagnosis with transverse histologic sections. J Am Acad Dermatol 2000; 42: 89-91 21. Benson PM, Hengge UR. Staphylococcal and streptococcal pyodermas. Dalam: Tyring SK, Lupi O, Hengge UR, editor. Tropical dermatology. Edisi pertama. New York, 2006; h.241-9 22. Craft N, Lee PK, Zipoli MT, Weinberg AN, Swartz MN, Johnson RA. Superficial cutaneous infections and pyodermas. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw- Hill Companies, Inc, 2008; h.1694-709 23. Leiferman KM, Peters MS. Eosinophils in cutaneous diseases. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw- Hill Companies, Inc, 2008; h.307-17 24. Janik MP, Heffernan MP. Yeast infections: candidiasis and tinea (pityriasis) versicolor. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: McGrawHill Companies, Inc, 2008; h.1822-30 25. Pittelkow MR, Daoud MS. Lichen planus. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editor.
Penyakit Fox-Fordyce
26.
27.
28.
29. 30.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw- Hill Companies, Inc, 2008; h. 244-55 Pittelkow MR, Daoud MS. Lichen nitidus. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw- Hill Companies, Inc, 2008; h.255-8 Thomas VD, Swanson NA, Lee KK. Benign epithelial tumors, hamartomas, and hiperplasias. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: McGrawHill Companies, Inc, 2008; h.1054-67 Fealey RD, Sato R. Disorders of the eccrine sweat glands and sweating. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw- Hill Companies, Inc, 2008; h.720-30 Ozcan A, Senol M, Aydin NE, Karaca S, Senert S. Fox-Fordyce disease. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2003; 17: 244-5. Chae KL, Marschall MA, Marschall SF. Axillary Fox-Fordyce disease treated with liposuction-assisted curettage. Arch Dermatol. 2002; 138: 452-4
95