PENUTUP Sebelum naik ke sorga Yesus memberikan perintah berikut kepada para muridNya: “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman" (Mt. 28:19-20). Kita biasa berpikir bahwa memuridkan bangsa-bangsa adalah hasil dari kerja keras gereja. Para penginjil, pendeta, penatua, diaken, aktivis doalah yang berjasa besar dalam memuridkan seseorang dan menjadikan dia sebagai milik Kristus. Pikiran ini keliru, kata Karl Barth. Jauh hari sebelum para pekabar Injil datang ke ujung-ujung bumi, bangsa-bangsa telah menjadi milik Tuhan dan berstatus murid. Hanya saja status itu belum mereka ketahui. Tugas gereja adalah pergi menjumpai mereka untuk memberitahukan mereka status itu. Barth katakan begitu karena perintah Yesus itu didahului dengan pernyataan: “KepadaKu telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi.” Tentang penegasan terakhir ini Matthew Henry menulis: “Sekarang Kristuslah satu-satunya raja segenap alam, Dia adalah Tuhan atas semua. Tak satu
Gereja Lintas Agama
327
pun, kecuali Dia yang berkuasa atas semua yang bernafas.”1 Pernyataan di atas hendak mengingatkan kita bahwa misio dei, misio Christi mendahului misio ecclesia. Mendahului pengutusan gereja, Allah lebih duluan mengutus diriNya. Ini mengandaikan bahwa memuridkan manusia dan bangsa-bangsa bagi Kristus bukanlah prestasi dan jasa para pewarta Injil maupun gereja. Meskipun begitu tugas gereja dalam mewartakan Injil tidak boleh disepelehkan. Tuhan membutuhkan Gereja untuk memberitahukan kepada dunia dan bangsa-bangsa akan keberadaan mereka sebagai milik Kristus. Tugas itu harus dikerjakan terusmenerus sebab oleh pengaruh padatnya agenda kehidupan manusia seringkali lupa akan status mereka sebagai milik Kristus. Murid-murid disuruh Kristus pergi kepada bangsa-bangsa bukan untuk membuat mereka menjadi orang beragama Kristen tetapi untuk memuridkan mereka demi Kristus. Kalau semua bangsa dan seluruh dunia telah menjadi milik Kristus sebelum datang para pewarta Injil, maka tentulah pekerjaan pewartaan Injil tidak bisa dilakukan dengan metode monolog, one way traffic, gereja datang untuk mengajar dunia. Metode dialog, two ways traffic, sambil belajar gereja mengajar Matthew Henry. Commentary on the Whole Bible. Complete and Unabridged in One Volume. Massachusetts: Hendrickson Publishers. 1991. hlm. 1775. 1
328
Pdt. Dr. Ebanhaizer I Nuban Timo
dunia adalah model pewartaan Injil yang patut diperhitungkan secara serius oleh gereja. Erat berkaitan dengan hal ini, kita sedang hidup dalam satu periode menentukan dari sejarah kekristenan. Raimundo Panikkar menyebut priode ini sebagai kairos bagi gereja, bukan sekedar kronos. Momentum menentukan (kairos) ini dia namakan periode dialog.2 Itu bukan sekedar berarti studi, konsultasi, pemeriksaan, pengajaran, pernyataan, belajar, dst… Dialog artinya mendengarkan dan mengobservasi, tetapi juga berbicara, mengoreksi dan dikoreksi; tujuannya adalah saling pengertian.”3 Kami mengakhiri seluruh pembahasan kita dalam buku ini dengan dua kutipan di atas sekedar untuk menegaskan bahwa tokoh-tokoh yang pemikirannya sudah kita telaah menyadari secara penuh kairological moments ini. Mereka tidak membela agama Kristen, berusaha mempertahankan gereja dari berbagai kritikan atau keberatan. Ini tidak berarti bahwa mereka meremehkan gereja dan merendahkan agama Kristen.
2
Raymundo Panikkar. “The Jordan, The Tiber, and The Ganges. Three Kairological Moments of Christic SelfConsciousness.” Dalam: John Hick & Paul F. Knitter (Editors). The Myth of Christian Uniqueness. Toward a Pluralistic Theology of Religions. Maryknoll: Orbis Books. 1987. hlm. 95. 3
Raimundo Panikkar. Dialog Intra Religius. hlm 92.
Gereja Lintas Agama
329
Masing-masing pemikir dengan caranya sendiri memperlihatkan kepada kita betapa penting orang Kristen membuka diri untuk melihat dan menemukan Allah yang aktif bekerja dalam orangorang yang lain kepercayaan atau agamanya, sebab dengan cara itu kita tidak hanya memperoleh pemahaman baru tentang Injil dan Yesus Kristus. Serentak dengan itu paham-paham kita tentang Kristus, Injil, Gereja dan agama Kristen yang telah berabad-abad kita kembangkan dikoreksi untuk terus terbuka kepada rakhmat Allah yang selalu baru setiap pagi. Para pemikir kita bukanlah musuh Injil, gereja dan kekristenan. Pengajaran mereka kedengarannya mengejutkan bahkan di beberapa tempat justru menyakitkan. Tapi saya yakin mereka melakukan karena mengingat pernyataan berikut: “Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi. Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpah-limpah (Ams. 27:5-6). Buah pikiran dan juga pemberitaan yang tertuangkan dalam karya-karya mereka justru berbeda jauh dari pemberitaan yang disampaikan oleh tokoh-tokoh seperti Essek William Kenyon, Kenneth E. Hagin, Kenneth Copeland, dkk yang menyatu dalam faith movement dan juga
prosperity Gospel. Nama-nama yan baru saja kami tunjukkan menyebut secara berlimpah-limpah keutamaan nama Yesus, keunggulan gereja dan kesempurnaan agama 330
Pdt. Dr. Ebanhaizer I Nuban Timo
Kristen. Tetapi merekalah yang justru diam-diam melakukan apa yang disebut oleh Hank Hanegraaff sebagai merendahkan Kristus dan meremehkan gereja yang telah dikuduskan Kristus dengan darahNya.4 Mereka ini mengkarikaturkan Allah yang adalah dasar dan tujuan kehidupan menjadi alat untuk mencapai tujuan pribadi dan kelompok, yakni keuntungan, kenyamanan dan kelimpahan materi.5 Kembali kepada pokok semula. Para tokoh yang pemikirannya sudah kami bedah menyadari bahwa masa ini adalah masa dialog. Mereka karena itu bekerja dalam kesetiaan kepada Kristus untuk terus memberitakan Injil dalam situasi baru tadi. Injil adalah berita yang tidak berubah. Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selamalamanya (Ibr. 13:8), tetapi pemberitaan gereja akan Injil dan kesaksian terhadap Kristus harus terusmenerus diperbaharui dalam situasi dan masa yang selalu berubah. Inilah jiwa dari buah karya para pemikir kita. Untuk menolong pembaca memperoleh pengetahuan yang utuh, tidak sepenggal-sepenggal Hank Hanegraaff. Christianity in Crisis. Eugene – Oregon: Haverst House Publishers. 1992. hlm. 13. 5 Bandingkan ulasan serupa yang dilakukan oleh Stephen Suleeman. “Megachurch dan Globalisasi.” Dalam: Penuntun. 4
Jurnal Teologi dan Gereja. Beberapa Catatan Reflektif Dalam Dunia Yang Bergerak Cepat. Vol. 14. No. 25. 2013. hlm. 1-15.
Gereja Lintas Agama
331
terhadap moment-moment penting dalam sejarah gereja pada bagian penutup ini perkenankan kami menyajikan secara ringkas kepelbagaian kairological moments dalam permenungan gereja akan identitas diri dan panggilannya. Raimundo Panikkar menyebutkan sekurang-kurangnya lima pemahaman gereja akan diri dan panggilannya.6
Pertama,
gereja memahami diri dan keberadaannya dalam dunia sebagai persekutuan yang bersaksi. Tekanan pada aspek kesaksian ini menguasai kesadaran diri gereja pada abad-abad pertama sampai dengan kejatuhan kerajaan Roma (thn. 410 atau 430). Orang-orang percaya pada masa ini tidak berpikir untuk membentuk sebuah agama baru. Hanya ada satu cita-cita mereka, yakni berita tentang Kristus yang mati dan bangkit harus diberitakan kepada segala makhluk (Mk. 16:15), karena Kristus yang naik ke sorga itu akan segera kembali dalam waktu yang singkat. Untuk tugas yang satu ini apapun juga berani mereka pertaruhkan. Mereka rela meninggalkan keluarga, menjual harta, menjauhkan diri dari kesenangan dunia, bahkan mau mati demi kesaksian akan Kristus. Orang Kristen sejati adalah orang yang siap menjadi martir.
Kedua, dengan naiknya Konstantinopel ke tahta Kerajaan Roma, gereja berubah status. Ia tidak lagi ada sebagai ekklesia tersembunyi, tetapi menjadi 6
Raymundo Panikkar. “The Jordan, The Tiber, and The
Ganges. hlm. 93-5.
332
Pdt. Dr. Ebanhaizer I Nuban Timo
gereja kasat mata menurut penjelasan Nabeel Jabbour. Orang-orang yang percaya kepada Kristus, atau yang menjadi pemeluk agama Kristen mendapat perlakuan istimewa dari negara. Pada periode ini, di mana-mana di seluruh wilayah Kerajaan Roma terjadi pertobatan besar-besaran ke dalam kekristenan. Menjadi orang Kristen artinya dipertobatkan kepada Kristus. Para pengikut Kristus mulai membentuk agama baru, yakni agama Kristen. Pada periode ini ditetapkanlah berbagai dogma dan ajaran, ketentuan dan aturan kekristenan. Periode ini berlangsung selama abad pertengahan (thn. 500-1500).
Ketiga, menyusul periode ini adalah masa perang salib (crusade). Agama Kristen yang baru terbentuk itu mulai melembaga sebagai agama yang kuat dan dominan. Tetapi di dunia kekristenan itu tiba-tiba muncul kekuatan baru, yakni Islam yang bertumbuh dengan pesat dan berhasil menalukkan berbagai wilayah kekristenan, bahkan merebut banyak pengikut. Perang Salib muncul sebagai upaya untuk merebut kembali wilayah-wilayah kekristenan yang telah ditaklukan oleh Islam dan menjaga superioritas kekristenan. Pada masa ini muncul istilah militia Christi (tentara bagi Kristus). Orang Kristen sejati adalah orang-orang yang siap berperang membela agama Kristen dan menegakkan kedaulatan Kristus dalam dunia, berhadapan dengan agama baru, Islam. Kalau pada dua periode pertama, orang Kristen sejati adalah saksi-saksi atau martir, maka pada masa ini orang Gereja Lintas Agama
333
Kristen sejati adalah tentara kristus bahkan panglima dan jendral-jendral yang membunuh orang-orang yang dianggap kafir. Periode misi atau pekabaran ini, adalah masa baru dari kesadaran diri gereja dan kehadirannya di dalam dunia. Ini periode keempat yang dimulai pada sejak tahun 1600- pertengahan abad ke-21. Orang Kristen yang sejati adalah misionaris atau mereka yang mendukung pekerjaan para misionaris. Mereka siap diutus ke berbagai belahan bumi untuk memberitakan Injil kepada orang-orang kafir dan mentobatkan mereka, bukan hanya bagi Kristus tetapi juga ke dalam agama Kristen. Dalam kontak dengan orang-orang yang disebut kafir itu para misionaris ini menemukan bahwa agama-agama baru itu juga memiliki kekayaan nilai-nilai spiritualitas yang mengagumkan. Meskipun begitu, mereka ini tetap diminta untuk menyeberang dari agama semula dan meninggalkan semua kekayaan spiritual itu untuk bergabung dalam kekristenan. Dua perang dunia yang berlangsung di benua Eropa yang menyebut dirinya dunia Kristen dan mengenal peradaban yang unggul, membuka mata orang Kristen Eropa bahwa juga ada masalah dalam kekristenan dan semua perangkat budaya yang berkaitan dengannya. Kesadaran ini membuka pintu bagi dimulainya babakan pemahaman diri yang baru yang sedang kita masuki saat ini.
334
Pdt. Dr. Ebanhaizer I Nuban Timo
Dialog. Inilah babak baru dari permenungan diri dan keberadaan gereja dan orang Kristen di dalam sejarah. Mewarnai babak ini ada kecenderungan yang kuat dari gereja untuk melakukan apa yang disebut inkulturasi dalam gereja Katholik Roma atau kontekstualisasi dalam kalangan Protestantisme. Semangat untuk menaklukan, mentobatkan orangorang yang berbeda keyakinannya tidak lagi mengebugebu seperti pada babak yang lalu. Yang ada ialah kerinduan untuk melayani dan belajar dari mereka. Orang-orang Kristen mengabdikan dirinya dalam dialog yang jujur dan terbuka dengan sesama yang berbeda dengan mereka. Demikianlah gambaran singkat tentang momen-momen penting dalam pembabakan kesadaran diri gereja dan arti kehadirannya di dalam sejarah. Kiranya seluruh pembahasan yang kami tunjukkan sepanjang anjangsana kita memberikan kita bekal untuk kehadiran Kristen dan kesaksian akan Injil secara lebih bermakna.
Gereja Lintas Agama
335
DAFTAR PUSTAKA
A.A. Yewangoe. Teologi Salib di Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1996. A.A. Yewangoe. Agama dan Kerukunan. Jakarta: BPK Gunung Mulia 2006. Aloysius Pieris. “Menuju Teologi Pembebasan Asia: Beberapa Pedoman Religo-Kultural.” Dalam: Douglas J. Elwood. Teologi Kristen Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1992. Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2009. Andreas A. Yewangoe. Tidak Ada Ghetto. Gereja di Dalam dunia. Jakarta: BPK. Gunung Mulia. 2009. Albert Nolan, Op. Yesus bukan Orang Kristen? Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2005. Alister McGrath. Bersaksi Tanpa Kehilangan Teman. Bandung: Lembaga Literatur Baptis. 1991. Avery Dulles. Model-Model Gereja. Ende: Penerbit Nusa Indah. 1990. Bert Altena. Wolken gaan voorbij. Een homiletisch
onderzoek naar mogelijkheden voor de preek in een postmodern klimaat. Zoetemeer: Boekencentrum. 2003. Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. Teologi Cerita dari perspektif Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1989. Choan-seng Song. Allah Yang Turut Menderita. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1995.
336
Pdt. Dr. Ebanhaizer I Nuban Timo
Christian Mission in Reconstruction: An Asian Analysis. Maryknoll:
Choan-seng
Song.
Orbis Book. 1977. Chris Wright. Tuhan Yesus Memang Khas Unik. Jalan Keselamatan Satu-satunya. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih /OMF. 2003. Don Richardson. Anak Perdamaian. Bandung: Kalam Hidup. 1974. Douglas J. Elwood. What Asian Christians Are Thinking. Philippines: 1976. E. Armada Riyanto CM. Dialog Interreligius. Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah. Yogyakarta: Penerbit Kanisus. 2010. E.G. Singgih. Dari Israel ke Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1982. Eben Nuban Timo. Anak Matahari. Teologi Rakyat Bolelebo Tentang Pembangunan. Maumere: Penerbit Ledalero. 1994. Ebenhaizer Nuban Timo. Apa dan Bagaimana Berteologi. Orasi Ilmiah di HUT ke-5 Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Kupang. 2011. Ebenhaizer I Nuban Timo. Aku Memahami Yang Aku Imani. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2009. Eka Darmaputera. Tuhan Dari Poci dan Panci. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1979. Emanuel Gerrit Singgih. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2009. Emanuel Gerrit Singgih. Mengantisipasi Masa Depan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2004. Emanuel Gerrit Singgih. Dua Konteks. Tafsir-Tafsir
Perjanjian Lama sebagai Respons atas Perjalanan Gereja Lintas Agama
337
Reformasi di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2009. Emanuel Gerrit Singgih. Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2000, Emanuel Gerrit Singgih. Berteologi dalam Konteks.
Pemikiran-pemikiran mengenai Kontekstualisasi di Indonesia Jakarta/ Yogyakarta: BPK Gunung Mulia/Kanisua. 2000. Emmanuel Gerrit Singgih. Dunia yang Bermakna.
Kumpulan Karangan Tafsir Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1999. G.C van Niftrik & B.J. Boland. Dogmatika Masa Kini. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1958. Georg Kirchberger & John Mansford Prior. Hidup Menggereja Secara Baru di Asia. Ende: Nusa Indah. 2001. Hank Hanegraaff. Christianity in Crisis. Eugene – Oregon: Haverst House Publishers. 1992. Julianus Mojau. Meniadakan atau Merangkul?
Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2012. Jurgen Moltmann. The Church in the Power of the Spirit. A Contribution to Messianic Ecclesiology. London: SCM Press LTD. 1977. Keith Ward. Religion and Revelation. A Theology of Revelation in the World’s Religions. Oxford: Clarendon Press. 1994. Kosuke Koyama. Tidak Ada Gagang Pada Salib. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1989. 338
Pdt. Dr. Ebanhaizer I Nuban Timo
L.Z. Raprap. Ada Waktu Mengelus Ada Waktu Menampar. Kumpulan Khotbah Jenaka. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2008. Nabeel T. Jabbour. Memandang Sabit Melalui Mata Salib. Pengalaman-Pengalaman Mendalam dari Seorang Kristen Arab. Jakarta: Pioner Jawa. 2010. Olaf Schumann. Dialog Antar Umat Beragama. Di Manakah Kita Berada Kini. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi DGI. 1980. Olaf Schumann. Agama-Agama Kekerasan dan Perdamaian. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2011. Paul Borthwick. Six Dangerous Questions To Transform your View of the World. Illinois: Inter Varsity Press. 1996. Paul F. Knitter. No Other Name?A Critical Survey of
Christian Attitude toward World Religions. Maryknoll: Orbis Book. 1985. Paul F. Knitter. Satu Bumi Banyak Agama. Dialog Multi-agama dan Tanggung Jawab Global. Jakarta: BPK Gunung Mulia.2008. PGI. Usul Perubahan Lima Dokumen Keesaan Gereja. Jakarta: Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia. 1988. Raymondo Panikkar. The Unknown Christ of
Hinduisme. Completely Revised and Enlarge Edition. New York: Orbis Book. 1981. Raymondo Panikkar. The Intrareligious Dialogue. New York: Paulist Press. 1978. Raymondo Panikkar. Dialog Intra Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1994.
Religius.
Gereja Lintas Agama
339
Simon Schoon. De weg van Jezus. Een christologische
herorientatie vanuit de joodse-christelijke ontmoeting. Kampen: J.H. Kok. 1991. Verne H. Fletcher. Lihatlah Sang Manusia. Suatu Pendelatan pada Etika Kristen Dasar. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2007. Widi Artanto. Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia. Yogya: Taman Pustaka Kristen. 2008. William Hendriksen. New Testament Commentary: The Gospel of John. Grand Rapids - Michigan: Baker Book House. 1988. Artikel Jurnal A.A. Yewangoe. “Pokok-Pokok Pikiran Aloysius Pieris.” Dalam: Perhimpunan Sekolah-Sekolah Theologia di Indonesia (PERSETIA): Bahan Study Institute tentang Dogmatika tanggal 9-22 Juni 1989 di Kaliurang – Yogyakarta. 1989. A.A. Yewangoe. “Kecenderungan-Kecenderungan dalam Teologi di Asia Dewasa Ini.” Dalam: Perhimpunan Sekolah-Sekolah Theologia di Indonesia (PERSETIA): Bahan Study Institute tentang Dogmatika tanggal 9-22 Juni 1989 di Kaliurang – Yogyakarta. 1989. A.A. Yewangoe. “Keprihatinan Mastra Terhadap Relasi Umat Beragama.” Dalam K. Suyaga Ayub. Gereja Memasuki Millenium III. Malang: Yayasan Persekutuan pekabaran Injil Indonesia. 2001.
340
Pdt. Dr. Ebanhaizer I Nuban Timo
Andreas Yewangoe. “Tuhan Itu Baik Kepada Semua Orang.” Dalam: Jan Sihar Aritonang & Gomar Gultom. Tuhan Itu Baik Kepada Semua Orang. Jakarta: Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia. 2008. Choan-seng Song. Dalam: Douglas Elwood. Teologi Kristen Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Choan-seng Song. “Oh, Yesus, Sini Bersama Kami.” Dalam: R.S. Sugirtharajah. Wajah Yesus di Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1996. E. Armada Riyanto CM. Dialog Interreligius. Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah. Yogyakarta: Penerbit Kanisus. 20102. Ketut Waspada. “Kebebasan Beragama dalam Pengalaman Gereja Bali.” Dalam: Erick Barus. (2009). Kebebasan Beragama, HAM dan Komitmen Kebangsaan. Jakarta: Bidang Marturia PGI. Paul Löffler. “The Biblical Concept of Conversion.” Dalam Gerald H. Anderson & Thomas F. Stransky. Mission Trends No. 2. Evangelization. New York: Paulist Press. Raymondo Panikkar. “The Jordan, The Tiber, and The Ganges. Three Kairological Moments of Christic Self-Consciousness.” Dalam: John Hick & Paul F. Knitter (Editors). The Myth of Christian
Uniqueness. Toward a Pluralistic Theology of Religions. Maryknoll: Orbis Books. 1987. Rikard Kristian Sarang. “Dialog Antaragama Sebagai Model Penerimaan, Pengakuan Terhadap Keberagaman Dalam Terang Pemikiran Paul F. Gereja Lintas Agama
341
BERBAGI: Jurnal Asosiasi Perguruan Tinggi Agama Katolik (APTAK).
Knitter.
Dalam:
Volume 2 No. 1, Januari 2013. Simeon Plusegun Ilesanmi. “A Historical Study of the Concept of Dharma and its Ethical Value in Hindu Religion.” Dalam: Asia Journal of Theology. Volume 4 Number 2 October 1990. Stephen Kim. Evangelization in the Asian Contex. Dalam: Mission Trends. No. 2. Evangelization. New York/ Grand Rapids: Wm.B. Eerdmans Publishing 1978. Stephen Suleeman. “Megachurch dan Globalisasi.” Dalam: Penuntun. Jurnal Teologi dan Gereja.
Beberapa Catatan Reflektif Dalam Dunia Yang Bergerak Cepat. Vol. 14. No. 25. 2013. hlm. 1-15.
342
Pdt. Dr. Ebanhaizer I Nuban Timo