41
Pentokolan udang windu siste hapa ... (Erfan Andi Hendrajat)
PENTOKOLAN UDANG WINDU ( Penaeus monodon) SISTEM HAPA DENGAN UKURAN PAKAN BERBEDA Erfan Andi Hendrajat dan Brata Pantjara Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pakan dengan ukuran berbeda terhadap pertumbuhan dan sintasan benih udang windu yang ditokolkan menggunakan sistem hapa yang dilengkapi aerasi. Penelitian ini dilakukan di Instalasi Tambak Percobaan Marana, Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros. Hapa sebanyak 9 unit masing-masing berukuran 1 m x 1 m x 1 m dipasang dalam tambak berukuran 2.500 m2. Hewan uji (0,001 g/ekor) ditebar dengan kepadatan 1.000 ekor/hapa. Sebagai perlakuan adalah pemberian pakan komersial dengan ukuran pakan berbeda yaitu: A = powder; B = crumble (0,4–0,7 mm); dan C = powder + crumble 1:1; masing-masing dengan 3 ulangan. Dosis pakan 50%–100% dari bobot biomassa, diberikan 3 kali sehari (pagi, siang, dan sore). Hasil penelitian selama 32 hari pemeliharaan menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan ukuran pakan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap pertumbuhan dan sintasan. Pertumbuhan mutlak dan sintasan udang windu pada perlakuan A masingmasing adalah 0,117 g/ekor dan 91,33%; perlakuan B adalah 0,142 g/ekor dan 91,66% serta perlakuan C adalah 0,127 g/ekor dan 95,25%. KATA KUNCI:
udang windu, pentokolan, ukuran pakan, pertumbuhan, sintasan
PENDAHULUAN Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan budidaya udang windu (Penaeus monodon) di tambak adalah ketersediaan benih. Untuk itu, setiap saat harus tersedia benih berkualitas yang dibutuhkan oleh pembudidaya dalam jumlah yang cukup, sebab dengan menebar benih yang berkualitas dan ditunjang dengan lingkungan budidaya yang baik akan diperoleh tingkat produksi yang diharapkan. Salah satu usaha untuk mendapatkan benih yang berkualitas adalah dengan cara pentokolan. Pentokolan adalah tahap pemeliharaan benur pasca larva sampai mencapai ukuran cukup dewasa (yuwana) atau sudah cukup kuat hidup di petak pembesaran yang berlangsung antara 15–45 hari, atau tergantung dari kesehatan dan ukuran benur (Hendrajat, 2008). Hasil penelitian penggunaan benih hasil pentokolan memberikan beberapa keuntungan antara lain: penggunaan benur dengan harga relatif murah pada waktu tertentu, dapat mempersingkat waktu pemeliharaan di tambak sehingga mengurangi peluang terserang penyakit dan mengurangi jumlah pakan, mempertinggi produksi, dan sintasan di petak pembesaran, serta dapat meningkatkan frekuensi panen (Mangampa et al., 1990). Dewasa ini teknologi produksi tokolan udang sudah cukup beragam misalnya produksi tokolan di petakan tambak yang dipersiapkan khusus dan menggunakan hapa dalam petakan tambak yang dilengkapi dengan aerasi. Sedangkan sistem pentokolan lain dapat menggunakan bak terkontrol dari bahan fiber glass atau bak beton. Dari beberapa teknologi yang ada, pentokolan sistem hapa yang sering digunakan di tambak Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros karena memiliki beberapa kelebihan yaitu: biaya pembuatan per satuan luas hapa lebih murah, panen tokolan lebih mudah dilakukan, wadah hapa bebas dari organisme kompetitor/predator, serta lokasi pentokolan dapat dipindah-pindahkan (Hendrajat, 2008). Hapa adalah kotak yang dibuat dari jaring nilon dengan mata jaring 3-5 mm agar benur tidak dapat lolos. Hapa dipasang terendam dan tidak menyentuh dasar tambak di dalam petak tambak yang pergantian airnya mudah dilakukan, dengan cara mengikatnya pada tiang-tiang yang ditancapkan di dasar petak tambak. Beberapa buah hapa dapat dipasang berderet-deret pada suatu petak tambak. Ukuran hapa dapat disesuaikan dengan
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
42
kehendak, misalnya panjang 4-6 m; lebar 1-1,5 m; tinggi 0,5-1 m. Kepadatan benur di dalam hapa 500-1.000 ekor/m 2. Jaring sebagai dinding hapa harus dibersihkan seminggu sekali. Hapa sangat berguna bagi petani tambak, yaitu untuk tempat aklimatisasi benur, atau sewaktu-waktu dipergunakan menampung ikan atau udang yang dikehendaki agar tetap hidup (Anonim, 2011). Pada pentokolan udang windu menggunakan sistem hapa, pemberian pakan buatan mutlak diperlukan karena ruang gerak udang dalam mencari makan dibatasi oleh dinding hapa dan dengan padat penebaran yang tinggi, ketersediaan pakan alami tidak akan mencukupi yang mengakibatkan pertumbuhan udang terhambat dan akan timbul sifat kanibalisme udang. Pemberian pakan yang berkualitas baik dengan dosis dan frekuensi pemberian pakan yang tepat dapat mendukung keberhasilan pentokolan udang windu, selain itu pakan juga harus memenuhi persyaratan fisik yang diperlukan agar dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh udang, yaitu ukuran pakan harus disesuaikan dengan umur udang yang dipelihara. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian pemberian pakan dengan ukuran berbeda pada pentokolan udang windu sistem hapa. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Tambak Percobaan Marana, Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros. Wadah yang digunakan adalah hapa yang terbuat dari waring hijau masing-masing berukuran 1 m x 1 m x 1 m sebanyak 9 unit. Hapa tersebut ditempatkan dalam satu petak tambak ukuran 2.500 m2. Tahap persiapan sebelum penebaran benih dalam hapa meliputi pengeringan, pemberantasan hama dengan saponin 20 mg/L, pembilasan petak tambak dan pengapuran dengan kapur dolomit sebanyak 100 kg. Selanjutnya dilakukan pemupukan menggunakan pupuk organik komersial sebanyak 80 kg, pupuk Urea dan TSP masing-masing sebanyak 50 kg dan 25 kg. Pengisian air dalam petakan tambak dengan ketinggian air 100 cm lalu pemasangan hapa yang dilengkapi aerasi untuk mensuplai oksigen. Sebelum benur ditebar terlebih dahulu dilakukan aklimatisasi terhadap suhu dengan cara mengapung-apungkan kantong yang berisi benur di tambak dan menyiram dengan perlahan-lahan. Tindakan tersebut dilakukan hingga suhu air dalam kemasan plastik mendekati atau sama dengan suhu air di petakan yang dicirikan dengan munculnya embun di dalam plastik kemasan. Aklimatisasi terhadap salinitas dilakukan dengan membuka kantong dan diberi air tambak sedikit demi sedikit selama kurang lebih 30 menit. Hewan uji dengan bobot awal rata-rata 0,001 g/ekor ditebar dengan kepadatan 1.000 ekor/hapa. Penelitian dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 3 kali ulangan. Sebagai perlakuan adalah pemberian pakan komersial dengan ukuran pakan berbeda yaitu: A = powder, B = crumble (0,4–0,7 mm); dan C = powder + crumble. Pakan A diperoleh dengan cara menghaluskan pakan B menggunakan blender sedangkan pakan C diperoleh dari percampuran antara pakan A dan pakan B dengan perbandingan 1:1. Komposisi pakan komersial yang digunakan terdiri atas protein 40%, kadar air 11%, lemak 6%, dan serat 3%. Dosis pakan 50%–100% dari bobot biomassa, diberikan 3 kali sehari (pagi, siang, dan sore). Pentokolan dilakukan selama 32 hari. Tiap 3 hari dilakukan pengamatan terhadap beberapa parameter kualitas air yaitu salinitas, suhu, oksigen terlarut, dan pH air. Pertumbuhan dan sintasan udang dihitung pada akhir penelitian. Pertumbuhan mutlak dihitung berdasarkan Zonneveld et al. (1991) dan sintasan menurut Effendie (1978). Data yang diperoleh dianalisis ragam dengan mengunakan Program SPSS. HASIL DAN BAHASAN Pertumbuhan mutlak tokolan udang windu yang diperoleh selama penelitian berkisar 0,117– 0,142 g/ekor, dengan pertumbuhan mutlak tertinggi diperoleh pada perlakuan B, disusul perlakuan C, dan terendah pada perlakuan A. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemberian pakan dengan ukuran berbeda berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap pertumbuhan mutlak tokolan udang windu. Pertumbuhan dan sintasan tokolan udang windu pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel 1. Sintasan tokolan udang windu yang diperoleh selama penelitian berkisar 91,33%-95,25% di mana sintasan tertinggi diperoleh pada perlakuan C (95,25%); disusul perlakuan B (91,66%); dan terendah
43
Pentokolan udang windu siste hapa ... (Erfan Andi Hendrajat) Tabel 1. Pertumbuhan dan sintasan benih udang windu pada setiap perlakuan
Peubah
Ukuran pakan A (powder ) B (crumble ) C (powder + crumble )
Lama pemeliharaan (hari) Bobot awal (g/ekor) Bobot akhir (g/ekor)
32 0,001
32 0,001
32 0,001
0,118
a
0,143
a
0,128
a
Pertumbuhan mutlak (g/ekor)
0,117
a
0,142
a
0,127
a
Sintasan (%)
91,33
a
91,66
a
95,25
a
Angka pada baris yang sama diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)
pada perlakuan A (91,33%). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan ukuran berbeda berpengaruh tidak nyata terhadap sintasan tokolan udang windu (P>0,05). Hal ini diduga disebabkan pakan yang diberikan pada setiap perlakuan, ukurannya masih sesuai untuk pentokolan udang windu dari PL-12 sampai PL-44, seperti yang dikemukakan oleh Sumeru & Anna (1992) bahwa pakan untuk udang pada dasarnya dapat dibagi menjadi beberapa bentuk dan ukuran. Bentuk dan ukuran ini disesuaikan dengan ukuran udang yang sedang dipelihara. Pakan berbentuk powder (serbuk: ukuran lebih kecil dari 20 µm), diberikan pada udang stadium larva, Flake (serpihan: ukuran diameter lebih kecil dari 0,5 mm), diberikan pada udang ukuran PL-1—PL-15 dan crumble (remah: ukuran diameter 1 mm), diberikan pada udang ukuran PL-20—1 g. Selanjutnya Soetomo (2000), menyatakan bahwa pakan yang diberikan harus sesuai dengan pertumbuhan udang. Hal ini berkaitan erat dengan kemampuan udang untuk mencerna makanan. Bentuk remah diberikan untuk udang yang masih berupa larva (pasca larva), sedangkan pakan berbentuk butiran lebih halus diberikan kepada benih udang ukuran yuwana. Sintasan yang diperoleh pada penelitian ini cukup tinggi karena pakan yang diberikan jumlahnya cukup memadai, tepat ukuran, dan nilai gizinya sesuai kebutuhan larva. Hal ini sesuai dengan pernyataan Danakusumah (1988) bahwa pemberian pakan pada larva jumlahnya harus memadai, tepat ukurannya dan nilai gizinya sesuai kebutuhan larva. Selanjutnya Ismail (1986) menambahkan bahwa pakan yang baik dan bergizi adalah dapat menekan angka kematian hewan uji. Dosis pemberian pakan pada penelitian ini adalah 50%-100% dari bobot biomassa dengan komposisi pakan komersial yang digunakan terdiri atas protein 40%, kadar air 11%, lemak 6%, dan serat 3%. Deshimaru & Yone (1978) melaporkan bahwa kadar protein optimal untuk pertumbuhan yuwana Penaeus japonicus dan efisiensi penggunaan pakan berkisar antara 32%-57%. Menurut Colvin & Brand (1977), dalam Sumeru & Anna (1992), untuk pertumbuhan udang Penaeus californiensis, Penaeus stylirostris, dan Penaeus vanamei ukuran pasca larva dibutuhkan 40% protein dalam pakannya, sedangkan untuk yuwana dibutuhkan protein 30%. Pada umumnya udang windu yuwana dan dewasa mendapatkan pertumbuhan optimal dengan pemberian pakan yang mengandung 30%-60% protein (New, 1976 dalam Sumeru & Anna, 1992). Sesuai hasil pengamatan yang dilakukan pada saat pemberian pakan menunjukkan bahwa pakan pada perlakuan A (powder) menyebar pada permukaan dan seluruh kolom air dan sebagian lolos keluar dari dalam hapa akibat dorongan air yang ditimbulkan oleh aerasi, sehingga pada saat pemberian pakan sebaiknya aerasi dimatikan terlebih dahulu. Secara umum, kualitas air dari seluruh perlakuan selama penelitian menunjukkan kisaran yang masih layak untuk kehidupan udang windu. Hasil pengamatan kualitas air selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Kisaran suhu air yang diperoleh selama penelitian adalah 27°C-29°C, kisaran tersebut masih layak untuk kehidupan udang windu. kisaran suhu yang layak untuk udang windu adalah 25°C-32°C (Boyd & Lichtkopper, 1979), optimalnya berkisar 28°C-31°C (Poernomo, 1979). Menurut Cholik (1988), udang masih dapat hidup pada suhu 18°C-36°C, di mana pada tingkat suhu 36°C udang sudah tidak aktif. Pada suhu rendah 18°C-25°C udang masih dapat bertahan hidup tetapi
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
44
nafsu makannya mulai menurun. Suhu air di bawah 12°C merupakan suhu yang berbahaya bagi udang karena menyebabkan udang mati kedinginan. Kisaran salinitas yang dicapai pada ketiga perlakuan adalah 8-13 ppt, nilai ini tergolong rendah karena kegiatan pentokolan dilakukan pada penghujung musim hujan (bulan Maret sampai April) namun kisaran salinitas tersebut masih dapat ditolerir oleh udang windu seperti yang dikemukakan oleh Cholik & Poernomo (1987) bahwa udang windu mampu hidup pada kisaran salinitas 3-45 ppt bahkan dengan perubahan secara perlahan-lahan masih dapat hidup sampai 50 ppt. Salinitas optimal untuk udang windu berkisar 15-25 ppt (Poernomo, 1979). Hasil pengukuran oksigen terlarut berkisar 3-3,3 mg/L. Kisaran tersebut masih layak untuk pemeliharaan udang windu. Menurut Poernomo (1979), batas toleransi untuk kadar oksigen terlarut bagi udang sebesar 3 mg/L. Pada kadar oksigen 2,1 mg/L udang memperlihatkan gejala abnormal yakni berenang di permukaan air dan akan mabuk pada kadar 1 mg/L (Cholik, 1988). Dijelaskan oleh Tricahyo (1994) bahwa udang akan mati lemas pada kadar oksigen terlarut 0,9 mg/L. Kisaran pH yang diperoleh (7,5-7,8). Tingkat pH yang optimal untuk kehidupan dan pertumbuhan udang windu adakah 7,5-8,5. Nilai pH kurang dari 5 menyebabkan penggumpalan lendir pada insang sehingga udang akan mati lemas (Soetomo, 2000). Namun pH di atas 9 akan meningkatkan kadar amoniak yang dapat mematikan udang (Tricahyo, 1994). Tabel 2. Kisaran nilai parameter kualitas air pada setiap perlakuan
Parameter o
Suhu ( C) Salinitas (ppt) Oksigen terlarut (mg/L) pH
Kisaran A
B
C
27-29 8-13 3-3,3 7,5-7,8
27-29 8-13 3-3,2 7,5-7,6
27,3-29 8-13 3-3,2 7,5-7,7
KESIMPULAN Perlakuan perbedaan ukuran pakan pada pentokolan udang windu berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap pertumbuhan dan sintasan. Pertumbuhan mutlak dan sintasan tokolan udang windu pada perlakuan A masing-masing adalah 0,117 g/ekor dan 91,33%; perlakuan B 0,142 g/ekor dan 91,66%; serta perlakuan C 0,127 g/ekor dan 95,25%. Secara umum, kualitas air selama penelitian masih berada pada kisaran yang layak untuk kehidupan dan pertumbuhan udang windu.
DAFTAR ACUAN Anonim. 2011. Cara pengipukan atau pendederan benur budidaya udang windu. http:// www.agromaret.com/artikel/356/cara_pengipukan_atau_pendederan_benur_budidaya_ udang_windu. Diakses tanggal 6 Oktober 2011. Boyd, C.E. & Lichtkopper, F. 1979. Water quality management in pond fish culture. International Center for Aquaculture. Auburn University, Auburn, Alabama, 30 pp. Cholik, F. & Poernomo, A. 1987. Percobaan pendahuluan kultur udang windu (Penaeus monodon Fabr.). Laporan LPPD, 7 hlm. Cholik, F. 1988. Budidaya udang penaeid. Badan Penelitian Latihan dan Penyuluhan Pertanian Bogor, 54 hlm. Danakusumah, E. 1988. Pakan alami dalam usaha pembenihan ikan dan udang. Seminar Nasional Pembenihan Ikan dan Udang 5–7 Juli 1988. Bandung, 12 hlm.
45
Pentokolan udang windu siste hapa ... (Erfan Andi Hendrajat)
Deshimaru, O. & Yone, Y. 1978. Optimum level of dietary protein for prawn. Bull. Jap. Soc. Sci. Fish. 44: 1,395-1,397. Effendie, M.I. 1978. Biologi perikanan, bagian 1. Study natural history, Fakultas Perikanan, IPB. Bogor, 105 hlm. Hendrajat, E.A. 2008. Pentokolan udang vaname (Litopenaeus vannamei) menggunakan sistem hapa tanpa aerasi dengan padat penebaran berbeda. Prosiding Seminar Nasional Tahunan V Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Budidaya Perikanan, hlm. 1-6. Ismail, A. 1986. Peranan hormonal pada produksi udang windu (P. monodon). Jurusan Ilmu Perairan Jurusan Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, 102 hlm. Mangampa, M., Mustafa, A., & Mangawe, A.G. 1990. Penelitian pendahuluan pada budidaya tambak semi-intensif dengan menggunakan benur windu, Penaeus monodon yang dibantut. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai, 8: 49–54. Poernomo, A. 1979. Budidaya udang di tambak dalam udang, biologi, potensi, budidaya, produksi dan udang sebagai bahan makanan di Indonesia. Proyek Penelitian Potensi Sumberdaya Ekonomi, LON-LIPI, Jakarta, hlm. 77-174. Soetomo, H.A.M. 2000. Teknik Budidaya Udang Windu. Sinar Baru Algensindo. Bandung, 180 hlm. Sumeru, S.U. & Anna, S. 1992. Pakan Udang Windu. Kanisius. Yogyakarta, 94 hlm. Tricahyo, E. 1994. Biologi dan Kultur Udang Windu (Penaeus monodon). Akademika Presindo. Jakarta, 128 hlm. Zonneveld, M., Huisman, E.A., & Boon, J.H. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. PT Gramedia Pustaka. Jakarta, 318 hlm.