PENTINGNYA PENYELESAIAN PERKARA PERDATA DENGAN JALAN PERDAMAIAN * Heru Guntoro ABSTRAK Secara umum pengertian perdamaian (dading) adalah suatu penyelesaian perkara perdata yang ditimbulkan oleh dan atas kesepakatan para pihak, dimana pihak yang sedang berperkara saling menyetujui untuk menyelesaikan perkaranya dengan disertai kata sepakat untuk berdamai. Jadi harus ada timbal balik dalam pengorbanan pada diri mereka yang berperkara. Cara ini merupakan cara yang paling tepat karena merupakan pencerminan kepribadian bangsa Indonesia yang dikenal dengan asas musyawarah untuk mufakat serta rasa kekeluargaan. Dalam hal sebuah perkara perdata dapat diselesaikan dengan jalan perdamaian maka tenaga, waktu dan biaya dapat ditekan. Juga dapat memenuhi rasa keadilan para pihak. Di wilayah hukum Kabupaten Banyuwangi misalnya, penyelesaian perkara perdata dengan jalan perdamaian ini masih sangat minim. Ada beberapa faktor yang menjadi penghambat upaya penyelesaian damai tersebut, baik dari Hakimnya maupun dari para pihak yang berperkara. Untuk itu perlu ada upaya untuk mengatasinya. Dalam hal ini penulis sangat berharap akan upaya damai dalam suatu perkara perdata untuk selalu dibudayakan. Kata Kunci: Penyelesaian, Perkara Perdata, Perdamain. PENDAHULUAN Latar Belakang Tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam kehidupan bermasyarakat tidak terlepas dari adanya kesalahan dan kekhilafan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja yang dampaknya dapat mengganggu kepentingan dan hak-hak orang lain. Dari kejadian-kejadian ini dapat menimbulkan persengketaan antara para pihak, dan pihak-pihak yang merasa dirugikan hak-haknya pada umumnya mengadakan tuntutan bila semua usaha penyelesaian belumlah dapat membuahkan hasil dan mendapati jalan buntu. Dalam penyelesaian suatu masalah (perkara) yang masih dalam ruang lingkup perdata, baik
perceraian, pembagian harta bersama, pertanahan, perjanjian, dan lain sebagainya, perlu adanya suatu upaya pengembangan secara efektif agar tercapai penyelesaian yang tuntas serta mencegah timbulnya persengketaan lebih lanjut atau lebih jauh lagi. Dengan adanya suatu perkara yang telah masuk dalam proses litigasi (pengadilan) jelas telah membawa pengaruh yang nyata maupun tidak nyata pada permusuhan diantara para pihak, karena dalam suatu keputusan akan menentukan menang atau kalahnya salah satu pihak yang berperkara. Guna menghindari permusuhan diantara para pihak yang berperkara perdata, dapat ditempuh jalan perdamaian karena disamping dapat menyele-
saikan perkara dalam waktu yang singkat, biaya yang dikeluarkan pun ringan serta terhindar dari cara penyelesaian yang berlarut-larut dan tanpa adanya suatu kepastian. Dalam hukum acara perdata, perdamaian dapat dilakukan, baik di depan sidang pengadilan maupun di luar sidang pengadilan. Proses tersebut merupakan salah satu sarana bagi para pencari keadilan yang mendambakan perlindungan dan jaminan hukum serta keadilan, sesuai dengan usaha pemerintah untuk memberikan pelayanan yang secepatcepatnya, semudah-mudahnya dan sebaik-baiknya serta tentunya juga mengacu pada segi ringannya dana (biaya). Hal ini juga dimaksudkan guna menjamin kesamaan hak dan kedudukan dalam hukum, sebagaimana telah diamanatkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undangundang Dasar 1945, yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Melalui ketentuan-ketentuan yang ada, diharapkan semua perselisihan dapat diselesaikan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku agar hak-hak perseorangan dapat terjamin. Untuk menghindari adanya tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) telah ditentukan tentang tata cara bagaimana seseorang agar dapat mempertahankan atau memulihkan hak-haknya apabila merasa dilanggar atau dirusak batasan-batasannya oleh orang lain yang tentunya dapat menimbulkan kerugian-kerugian, baik yang bersifat materiil maupun spirituil bagi dirinya melalui pengadilan yang berwenang.
Maka jelaslah bahwa pengadilan merupakan lembaga yang memiliki kompetensi absolut untuk memeriksa, mengadili serta memutus terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya. Sejalan dengan itu, maka Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 4 ayat (2) secara tegas menyebutkan: “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”. Hal ini cukup sulit untuk diterapkan, karena prosedur beracara dalam perkara perdata untuk mencapai suatu keputusan memakan waktu yang cukup lama, bahkan ada yang sampai bertahun-tahun baru seseorang mendapatkan suatu keputusan. Untuk itu diharapkan apabila timbul suatu sengketa yang masih dalam penguasaan hukum perdata, kiranya bisa lebih dahulu diselesaikan dengan jalan musyawarah agar dapat dicapai penyelesaian secara damai. Berdasarkan hal ini, maka menjadi jelas bahwa usaha mendamaikan oleh Hakim harus dimulai sejak awal proses persidangan berjalan, karena suatu sengketa atau perkara yang dapat diakhiri dengan perdamaian justru akan menambah kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan, sekaligus masyarakat akan melihat manfaat dari berhasil dibuatnya suatu perjanjian perdamaian, dan kesemuanya juga akan dilihat dari faktor biaya, tenaga dan pikiran, ternyata tidak merupakan hambatan yang berarti bahkan biaya, waktu dan tenaga tersebut dapat diperhitungkan dalam merumuskan kesepakatan perdamaian. Salah satu tujuan dari adanya perjanjian perdamaian pada lembaga peradilan adalah untuk dapat
tercapainya asas sederhana, cepat dan biaya ringan dimana merupakan asas yang tidak kalah pentingnya dari asas-asas lainnya yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Namun demikian, setiap perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tidak selamanya berakhir dengan jalan perdamaian, meskipun dalam ketentuan hukum acara perdata telah ditentukan, bahwa Hakim harus tetap berusaha mendamaikan para pihak yang berperkara, akan tetapi dalam praktek biasanya Hakim dan lembaga peradilan juga mengalami kesulitan dalam mendamaikan para pihak, semua itu dikarenakan masingmasing pihak yang bersengketa tetap mempertahankan hak-haknya dengan berbagai macam dalih dan kepentingan hukumnya masingmasing. Sehingga hubungan antar anggota masyarakat yang bersangkutan tidak didasari oleh rasa persaudaraan tetapi didasari oleh rasa kebencian, permusuhan yang lebih banyak dikendalikan oleh emosi. Agar dapat tercapai tujuan yang diharapkan seperti tersebut di atas, maka Hakim harus bertindak arif dan bijaksana, sebab apa yang ada dalam kenyataan tidak semudah seperti apa yang ada dalam teori. Rumusan Masalah Dengan mendasar pada uraian latar belakang, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Dalam perspektif hukum apakah perkara perdata yang sedang dalam proses di persidangan dapat diselesaikan dengan jalan perdamaian? b. Dimana letak pentingnya upaya penyelesaian perkara perdata dengan jalan perdamaian?
c.
Apa yang menjadi faktor-faktor penghambat penyelesaian perkara perdata dengan jalan perdamaian di wilayah hukum Kabupaten Banyuwangi dan bagaimana upaya mengatasinya?
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah sebagai berikut: a. Guna mengetahui perspektif hukum atas penyelesaian perkara perdata yang sedang dalam proses di persidangan dengan jalan perdamaian. b. Guna mengetahui letak pentingnya upaya penyelesaian perkara perdata dengan jalan perdamaian. c. Guna mengetahui faktor-faktor penghambat penyelesaian perkara perdata dengan jalan perdamaian di wilayah hukum Kabupaten Banyuwangi dan upaya mengatasinya. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat secara teoritis adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan, dimana hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan menambah khasanah referensi dalam bidang hukum bagi para pihak yang memerlukannya dan bagi masyarakat kampus yang ingin mengetahui tentang pentingnya penyelesaian perkara perdata dengan jalan perdamaian. Manfaat secara praktis adalah sebagai sumbangsih pemikiran bagi pemerintah, masyarakat, para akademisi, praktisi hukum, dan khususnya para pihak yang terlibat dalam perkara perdata sehingga mengetahui secara jelas hal-hal apa yang perlu dan dapat
dilakukan dalam menyelesaian sebuah perkara perdata dengan jalan perdamaian. Metode Penelitian Dalam penelitian ini mempergunakan metode hukum secara normatif, yang dilakukan dengan cara: meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder atau disebut sebagai penelitian hukum yang mempergunakan sumber data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekuder, dan bahan hukum tersier. Tetapi disamping itu juga berusaha menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan tehnik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan adalah ditekankan pada studi kepustakaan, namun walau tidak sepenuhnya juga menggunakan studi lapangan dengan cara observasi langsung dan wawancara. Setelah bahan hukum dikumpulkan sesuai dengan pokok permasalahan, selanjutnya bahan hukum tersebut diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode analisis normatif-kualitatif. Normatif, karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang ada sebagai norma hukum positif. Sedangkan kualitatif dimaksudkan analisis bahan hukum yang bertitik tolak pada usaha-usaha penemuan asas-asas dan informasi-informasi yang bersifat monografis dari responden. HASIL DAN PEMBAHASAN Perspektif Hukum Atas Penyelesaian Perkara Perdata Yang Sedang Dalam Proses di Persidangan Dengan Jalan Perdamaian
Penyelesaikan perkara perdata melalui lembaga peradilan merupakan jalan yang sangat rumit dan memerlukan waktu yang sangat panjang sampai pada suatu putusan akhir. Apabila semua tingkatan peradilan dilalui, mulai dari peradilan tingkat pertama, tingkat banding, sampai ke Mahkamah Agung (di tingkat kasasi), dan ditambah dengan upaya hukum peninjauan kembali juga melalui Mahkamah Agung, maka akan memakan waktu bertahun-tahun lamanya, juga memakan biaya yang tidak sedikit jumlahnya. Selain itu masih adanya kemungkinan akan mengalami kendala atau hambatan di dalam pelaksanaan eksekusi. Melihat rumitnya penyelesaian perkara perdata melalui lembaga litigasi (lembaga peradilan), maka diperlukan suatu upaya penyelesaian yang lebih sederhana, prosesnya cepat dan biayanya juga ringan, serta dapat memenuhi rasa keadilan para pihak. Menurut hukum, penyelesaian perkara perdata yang demikian disebut dengan perdamaian. Perdamaian dan hal-hal yang berhubungan dengan perdamaian dalam Kitab Undang-undang Hukum perdata, disingkat K.U.H. Perdata diatur dalam Buku III tentang Perikatan Bab Ke Delapan Belas Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864. Istilah perdamaian dalam kata bahasa Belanda disebut dengan dading yang dalam bahasa bakunya bermakna persetujuan damai. Dalam ketentuan Pasal 1851 ayat (1) K.U.H. Perdata, perdamaian didefinisikan sebagai berikut: “Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang,
mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau pun mencegah timbulnya suatu perkara”. Berdasarkan definisi perdamaian yang diberikan oleh Pasal 1851 ayat (1) K.U.H. Perdata tersebut di atas, dapatlah ditarik satu garis kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan perdamaian (dading) adalah suatu perjanjian atau persetujuan dimana para pihak yang berselisih mengenai hak-hak mereka sepakat untuk menyelesaikan perselisihan mereka, dengan adanya suatu kerelaan berkorban, dan pengorbanan tersebut dapat berupa menjanjikan, menahan atau menyerahkan suatu benda dengan maksud untuk mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah terjadinya suatu perkara yang lebih serius. Dengan demikian, perdamaian merupakan suatu perjanjian dengan ketentuan khusus diantara para pihak yang berperkara, ketentuan khusus yang dimaksud adalah bahwa para pihak harus memberikan pengorba-nan, apabila hanya salah satu pihak saja yang berkorban maka tidak ada perdamaian, jadi masing-masing pihak wajib berkorban. Maka jelas disini bahwa perdamaian itu akan dapat berhasil atau tercapai apabila para pihak saling mempunyai kesadaran untuk menyelesaikan perkara perdatanya dengan jalan perdamaian. Penyelesaian perkara perdata dengan jalan perdamaian adalah cara yang terbaik dan tercepat bagi para pihak, yang pelaksanaannya dilakukan secara kekeluargaan. Cara ini juga merupakan pencerminan kepribadian bangsa Indonesia yang selalu mengutamakan musyawarah untuk mufakat.
Dalam pemeriksaan perkara perdata di persidangan, pertama-tama Hakim diberi wewenang untuk menawarkan perdamaian kepada para pihak yang sedang bersengketa. Tawaran ini dapat juga diberikan atau diusahakan sepanjang pemeriksaan sebelum Hakim menjatuhkan putusannya. Terhadap hal ini ditegaskan oleh Abdulkadir Muhammad sebagai berikut: “Usaha untuk mendamaikan pihak yang bersengketa bukan hanya pada permulaan sidang tetapi sepanjang pemeriksaan perkara itu, bahkan sampai pada persidangan terakhir pun sebelum Hakim Ketua mengetokkan atau menjatuhkan palu putusannya” (Abdulkadir Muhammad, 1996 : 105). Senada dengan pendapat Abdulkadir Muhammad adalah pendapat Subekti yang mengatakan, bahwa “pada permulaan sidang dimana kedua belah pihak hadir, Hakim sebelum memeriksa perkara perdata diwajibkan untuk berusaha mendamaikan, hal itu dapat dilakukan sepanjang proses berjalan, juga dalam taraf banding oleh Pengadilan Tinggi. Peranan Hakim dalam usaha menyelesaikan perkara secara damai adalah sangat penting. Putusan perdamaian mempunyai arti yang sangat penting bagi masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi orang yang mencari keadilan” (Subekti, 1972 : 156). Hal yang sama juga disampaikan oleh Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata yaitu sebagai berikut: “Hakim sebelum memeriksa perkara perdata, harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak, malahan usaha perdamaian itu
dapat dilakukan sepanjang proses berjalan, juga dalam taraf banding oleh Pengadilan Tinggi” (Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1987 : 35). Dalam Het Herziene Indlandsche Reglement (HIR = Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura) ketentuan mengenai kewajiban Hakim untuk mendamaikan para pihak yang berperkara perdata diatur dalam Pasal 130 ayat (1) yang berbunyi: “Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka Pengadilan Negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan mendamaikan mereka”. Dengan demikian dapat ditarik satu garis pengertian, bahwa kewajiban Hakim untuk mendamaikan para pihak yang berperkara perdata merupakan suatu perintah undangundang. Dalam praktek, berdasarkan hasil observasi langsung dan wawancara penulis dengan beberapa pihak yang berperkara juga dengan beberapa Advokat di wilayah hukum Kabupaten Banyuwangi, dalam proses beracara perdata, baik di Pengadilan Negeri Banyuwangi maupun di Pengadilan Agama Banyuwangi, biasanya apabila pokok perkaranya sudah mulai diperiksa, Hakim jarang sekali menawarkan kembali upaya penyelesaian dengan jalan perdamaian kepada para pihak, dan juga jarang dijelaskan secara terinci tentang keuntungan atau manfaat apa yang diperoleh apabila suatu perkara perdata dapat diselesaikan dengan jalan perdamaian (dading). Untuk keperluan perdamaian tersebut sidang lalu diundur guna memberi kesempatan kepada para pihak untuk mengadakan perdamaian.
Kemudian pada hari sidang berikutnya apabila para pihak tersebut tidak berhasil menyelesaikan perkaranya dengan jalan perdamaian, maka terhadap hal itu disampaikan kepada Hakim dalam persidangan, dan Hakim akan menyatakan untuk meneruskan pemeriksaan pada pokok perkaranya. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 131 ayat (1) HIR yang berbunyi: “Jika kedua belah pihak menghadap, akan tetapi tidak dapat diperdamaikan (hal ini mesti disebutkan dalam pemberitaan pemeriksaan), maka surat yang dimasukkan oleh pihak-pihak dibacakan, ……….”. Apabila para pihak berhasil menyelesaikan perkaranya dengan jalan perdamaian, maka hal itu juga disampaikan kepada Hakim dan dibuatkan akta perdamaian (acte van vergerlijk), yang diajukan untuk diputus menjadi putusan perdamaian yang dalam diktum putusannya, kedua belah pihak dihukum untuk mentaati dan melaksanakan isi akta perdamaian tersebut. Mengenai hal ini lebih lanjut ditegaskan dalam Pasal 130 ayat (2) HIR yaitu sebagai berikut: “Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akta) tentang itu, dimana kedua belah pihak dihukum akan menepati perjanjian yang dibuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa”. Hasil perdamaian ini biasanya berupa surat perjanjian tertulis yang dibuat di atas kertas bermaterai atau dibuat secara notariel acte. Dalam pembuatan suatu perdamaian harus dibuat dengan memenuhi beberapa syarat yang kesemuanya telah ditentukan secara
limitatif dalam peraturan perundangundangan. Syarat-syarat tersebut, diantaranya adalah: a. Persetujuan kedua belah pihak. b. Perdamaian mengakhiri perkara atau sengketa. c. Perdamaian dibuat dalam bentuk tertulis. Syarat-syarat tersebut di atas dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut di bawah ini. Ad. a. Persetujuan kedua belah pihak Dalam suatu perdamaian kedua belah pihak yang berperkara pertamatama harus ada saling menyadari dan ada kemauan untuk menyetujui dengan sukarela mengakhiri persengketaan. Persetujuan ini harus murni datang dari para pihak atau kedua belah pihak. Artinya persetujuan tersebut bukanlah atas kehendak sepihak atau kehendak Hakim ataupun mungkin paksaan dari pihak lain (selain para pihak yang berperkara). Dalam pandangan Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata dikatakan, bahwa “perdamaian bersifat mau sama mau dan merupakan persetujuan antara kedua belah pihak” (Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1987:36). Mengenai persetujuan kedua belah pihak ini, berlaku sepenuhnya unsur-unsur perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 K.U.H. Perdata, yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Dengan demikian, yang menjadi salah satu syarat perdamaian ialah persetujuan yang tunduk sepenuhnya kepada asas umum perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 K.U.H. Perdata, juga
Pasal 1321 K.U.H. Perdata, karena dalam suatu persetujuan tidak diperbolehkan adanya unsur cacat. Artinya dalam suatu persetujuan perdamaian tidak boleh terkandung: paksaan atau tekanan (dwang) dari pihak manapun juga. Termasuk juga tidak boleh ada kekhilafan (dwaling) dan penipuan (bedrog), sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1322, Pasal 1324, serta Pasal 1328 K.U.H. Perdata dan Pasal 378 K.U.H. Pidana. Apabila di dalam suatu perdamaian terjadi kekhilafan mengenai orangnya atau mengenai pokok perselisihan, atau ada unsur paksaan dan penipuan, maka perdamaian tersebut dapat dibatalkan (vide: Pasal 1859 K.U.H. Perdata). Begitu pula suatu perdamaian dapat diminta pembatalannya, jika perdamaian itu telah diadakan karena kesalahpahaman tentang duduk perkaranya, mengenai suatu alas hak yang batal, kecuali apabila para pihak dengan pernyataan tegas telah mengadakan perdamaian tentang kebatalan itu (Pasal 1860 K.U.H. Perdata). Kemudian dalam Pasal 1861 K.U.H. Perdata disebutkan, bahwa suatu perdamaian yang diadakan atas dasar surat-surat yang kemudian dinyatakan palsu, adalah sama sekali batal. Suatu kekeliruan dalam hal menghitung dalam suatu perdamaian tidak menyebabkan perdamaian tersebut batal, namun kekeliruan itu harus segera diperbaiki (Pasal 1864 K.U.H. Perdata). Ad. b. Perdamaian mengakhiri perkara atau sengketa Suatu perdamaian harus benarbenar mengakhiri perkara atau sengketa yang terjadi diantara para pihak. Suatu perdamaian yang tidak secara tuntas mengakhiri sengketa
yang sedang terjadi diantara kedua belah pihak dianggap tidak sah dan tidak mengikat kepada kedua belah pihak. Jelaslah bahwa agar perdamaian sah dan mengikat, persetujuan perdamaian harus tuntas mengakhiri sengketa yang sedang terjadi. Mengakhiri maksudnya adalah apa yang sedang diperkarakan atau dipersengketakan mesti dapat diakhiri oleh suatu perdamaian yang bersangkutan. Oleh karena itu Pasal 1851 K.U.H. Perdata menjelaskan, bahwa akta perdamaian meliputi penyerahan atau menahan suatu barang yang mengakhiri sengketa yang sedang diperkarakan di pengadilan atau sengketa perkara yang sedang tergantung di pengadilan maupun mencegah timbulnya suatu perkara di pengadilan. Setiap perdamaian hanya mengakhiri perselisihan-perselisihan yang termaktub didalamnya, baik para pihak merumuskan maksud mereka dalam perkataan khusus atau umum, maupun maksud itu dapat disimpulkan sebagai akibat mutlak satu-satunya dari apa yang dituliskan. Demikian ditegaskan oleh Pasal 1854 K.U.H. Perdata. Ad. c. Perdamaian dibuat dalam bentuk tertulis Pasal 1851 ayat (2) K.U.H. Perdata menginstruksikan, bahwa perjanjian perdamaian tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis. Dengan demikian keharusan suatu perjanjian perdamaian dibuat secara tertulis merupakan suatu perintah undang-undang. Kesepakatan yang dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan suatu ucapan-ucapan, misalnya setuju, dan lain sebagainya, harus dituangkan dalam bentuk tertulis dengan bersama-sama
menaruh tanda tangan di bawah pernyataan-pernyataan mereka sebagai tanda bukti bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera di atas tulisan itu. Bilamana perjanjian perdamaian itu ditandatangani oleh kuasa hukum kedua belah pihak, maka untuk sahnya suatu perjanjian perdamaian diperlukan surat kuasa khusus yang isinya menguasakan untuk membuat dan menandatangani akta perdamaian. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa upaya penyelesaian perkara perdata dengan jalan perdamaian oleh para pihak yang berperkara secara hukum dapat dilakukan meskipun perkara yang bersangkutan masih dalam proses di persidangan. Putusan perdamaian merupakan suatu putusan yang mempunyai arti dan fungsi yang sangat baik bagi masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi para pencari keadilan (justitiabelen). Sudah sering dikemukan sebelumnya bahwa peranan Hakim dalam usaha menyelesaikan perkara perdata dengan jalan perdamaian adalah sangat diperlukan. Karena apabila Hakim berhasil untuk mendamaikan para pihak yang berperkara, maka akan terhindar penyelesaian perkara yang berlarutlarut dan biaya besar. Selain itu permusuhan antara para pihak menjadi berkurang. Hal ini jauh lebih baik daripada apabila perkara sampai diputus dengan putusan biasa. Disisi lain, apabila Hakim berhasil mendamaikan para pihak yang berperkara perdata, maka akan membawa akibat hukum, yaitu para pihak dihukum untuk mentaati atau mematuhi dan melaksanakan isi akta
perdamaian tersebut. Sebagaimana dikatakan oleh Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata: “Apabila Hakim berhasil untuk mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara itu, lalu dibuatlah akta perdamaian dan kedua belah pihak dihukum untuk mentaati isi dari akta perdamaian tersebut” (Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1987 : 36). Senada dengan Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata adalah Sudikno Mertokusumo, yang memberikan penjelasan sebagai berikut: “Berdasarkan adanya perdamaian antara kedua belah pihak maka Hakim menjatuhkan putusannya yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat antara mereka” (Sudikno Mertokusumo 1993 : 79). Diharuskannya para pihak yang berperkara perdata melaksanakan akta perdamaian, adalah karena akta perdamaian mempunyai kekuatan seperti suatu putusan Hakim biasa yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 1858 K.U.H. Perdata, yang berbunyi: “Segala perdamaian mempunyai diantara para pihak suatu kekuatan seperti suatu putusan Hakim dalam tingkat penghabisan”. Rumusan yang lebih lengkap mengenai hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 130 ayat (2) HIR, yang menegaskan sebagai berikut: “Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menepati perjanjian yang diperbuat itu, surat
mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa”. Apabila salah satu pihak tidak bersedia melaksanakan kewajiban hukumnya sebagaimana termaktub dalam akta perdamaian, maka Ketua Pengadilan dapat memakai jalan paksaan melalui Panitera atau Juru Sita untuk mengadakan eksekusi dari putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, bahkan bila perlu dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan atau aparat keamanan lainnya. Selain akibat hukum tersebut di atas (baca: para pihak dihukum untuk mentaati dan melaksanakan isi akta perdamaian), ada akibat hukum lainnya yaitu proses selesai sama sekali. Maksudnya proses selesai sama sekali, adalah bahwa terhadap putusan perdamaian tidak diperkenankan untuk diajukan permohonan banding atau kasasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 130 ayat (3) HIR, dan seandainya suatu waktu diajukan kembali persoalan yang sama oleh salah satu pihak tersebut atau oleh ahli warisnya dan mereka yang mendapatkan hak dari padanya, maka gugatan terakhir ini akan dinyatakan nebis in idem dan karenanya Hakim akan menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima. Pentingnya Upaya Penyelesaian Perkara Perdata Dengan Jalan Perdamaian Dalam pemeriksaan suatu perkara perdata, setelah gugatan dibacakan, Hakim akan selalu mengajukan kepada para pihak, baik penggugat dan tergugat atau pemohon dan termohon untuk lebih dahulu mengusahakan perdamaian diantara mereka karena hal tersebut
sesuai dengan apa yang diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, yakni Hakim wajib menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus setiap perkara yang diajukan kepadanya. Disamping itu, Hakim dituntut untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (vide: Pasal 16 ayat (1) jo Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004). Selain itu banyak lagi tugas dari seorang Hakim, seperti tugas mendamaikan para pihak yang sedang berperkara perdata (sebagaimana telah seringkali penulis uraikan sebelumnya). Bahkan terkadang karena pentingnya suatu perdamaian, sidang ditunda sampai beberapa kali, hal ini memberi kesempatan kepada para pihak untuk berunding tentang kemungkinan terlaksananya perdamaian (dading), dan setelah, seumpama, perdamaian itu gagal barulah pemeriksaan pokok perkara dilanjutkan. Dalam ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 dikatakan sebagai berikut: “………..tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara damai”. Rumusan pasal di atas menurut hemat penulis mengandung beberapa faktor penting yaitu: a. Adanya kesadaran para pihak untuk secepatnya menyelesaikan sengketa demi kepentingan kedua belah pihak karena efisiensi tenaga, waktu dan tentunya biaya. Serta demi meningkatkan martabat hukum yang dapat menciptakan suatu keadilan ditengah-tengah masyarakat pada umumnya. b. Adanya kesediaan dan keikhlasan para pihak untuk mengorbankan
sebagian kepentingannya tanpa adanya suatu paksaan. Berdasarkan penjelasan di atas, maka peran Hakim dalam mengusahakan perdamaian bagi para pihak yang sedang berperkara perdata sangatlah penting. Dalam hal Hakim berhasil mendamaikan para pihak yang berperkara perdata, maka akan membawa akibat hukum, yaitu para pihak dihukum untuk mentaati dan melaksanakan isi akta perdamaian dan proses selesai sama sekali. Ini berarti tenaga, waktu dan biaya dapat ditekan. Juga dapat memenuhi rasa keadilan para pihak, yang berarti dapat menghindari permusuhan antara para pihak. Disamping itu, asas peradilan yaitu asas sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, khususnya Pasal 4 ayat (2) dapat terwujud. Disinilah letak pentingnya upaya penyelesaian perkara perdata dengan jalan perdamaian. Ketentuan ini (baca: asas sederhana, cepat dan biaya ringan) dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan. Demikian bunyi Penjelasan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Selanjutnya yang dimaksud dengan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan dijelaskan oleh Sudikno Mertokusumo sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan sederhana adalah acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Makin sedikit dan sederhana formalitas-formalitas yang diwajibkan atau diperlukan dalam beracara dimuka pengadilan, maka makin baik. Terlalu banyak formalitas yang sukar dipahami, sehingga memungkinkan timbulnya pelbagai penafsiran, kurang
menjamin adanya kepastian hukum dan menyebabkan keengganan atau ketakutan untuk beracara dimuka pengadilan” (Sudikno Mertokusumo 1993 : 27). Sedangkan yang dimaksud dengan cepat menunjuk kepada jalannya peradilan. Terlalu banyak formalitas merupakan hambatan bagi jalannya peradilan (Sudikno Mertokusumo 1993 : 28). Berdasarkan hasil observasi langsung penulis, dalam praktek tidak sedikit suatu perkara perdata tertunda-tunda sampai bertahun-tahun karena saksi tidak datang atau para pihak bergantian tidak datang atau minta mundur. Dan bahkan perkaranya sampai dilanjutkan oleh para ahli warisnya. Maka cepatnya jalannya peradilan akan meningkatkan kewibawaan pengadilan dan menambah kepercayaan masyarakat kepada pengadilan. Selanjutnya, biaya ringan maksudnya agar terpikul oleh rakyat. Biaya perkara yang tinggi kebanyakan menyebabkan pihak yang berkepentingan enggan untuk mengajukan tuntutan hak kepada pengadilan (Sudikno Mertokusumo 1993 : 28). Hasil observasi langsung dan wawancara penulis menunjukkan, bahwa asas biaya ringan ini nampaknya masih sangat sulit untuk dapat terwujud, hal ini diantara disebabkan oleh: masih mahalnya biaya untuk berperkara, baik di peradilan tingkat pertama, tingkat banding, maupun Mahkamah Agung (di tingkat kasasi), juga ditingkat peninjauan kembali. Disisi lain yang menjadi penghambat terlaksananya asas biaya ringan adalah masih banyaknya mafia peradilan di lingkungan peradilan di Indonesia,
tidak terkecuali di wilayah hukum Kabupaten Banyuwangi. Faktor-faktor Penghambat Penyelesaian Perkara Perdata Dengan Jalan Perdamaian di Wilayah Hukum Kabupaten Banyuwangi Serta Upaya Mengatasinya Dari hasil observasi langsung dan wawancara penulis dengan berbagai pihak, diantaranya adalah Hakim, Advokat dan beberapa pihak yang berperkara perdata, diketahui bahwa faktor-faktor penghambat penyelesaian perkara perdata dengan jalan perdamaian di wilayah hukum Kabupaten Banyuwangi, diantaranya adalah: a. Tidak aktifnya Hakim dalam memberikan saran-saran dan penjelasan kepada para pihak yang berperkara tentang manfaat atau keuntungan dari perdamaian; b. Belum mengertinya masyarakat luas tentang arti dari perdamaian; c. Keegoisan para pihak yang berperkara untuk menang sendiri dan tidak mau saling mengalah; d. Ketidakhadiran salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam persidangan; e. Para pihak ditawarkan untuk berdamai tetapi ada penolakan dari salah satu pihak atau salah satu pihak tidak mau untuk berdamai; f. Sulitnya syarat-syarat yang diajukan oleh salah satu pihak yang harus dipenuhi oleh pihak lainnya untuk berdamai. Dengan melihat kenyataan yang demikian maka perlu adanya upayaupaya yang dilakukan untuk mengatasi faktor-faktor penghambat tersebut. Selama ini, dalam pandangan penulis, di wilayah hukum
Kabupaten Banyuwangi masih belum ada upaya-upaya konkrit yang dilakukan oleh institusi-institusi yang berkompeten dalam rangka mengatasi atau meminimalisasi faktor-faktor penghambat sebagaimana tersebut diatas. Menurut hemat penulis ada beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam rangka mengatasi faktor-faktor penghambat penyelesaian perkara perdata dengan jalan perdamaian di wilayah hukum Kabupaten Banyuwangi. Upaya-upaya tersebut diantaranya adalah sebagai berikut di bawah ini. Hendaknya Hakim selalu berperan aktif dalam memberikan saran-saran selama pemeriksaan berlangsung sebelum menjatuhkan putusannya agar para pihak yang bersengketa menyelesaikan perkaranya dengan jalan perdamaian, serta memberikan penjelasan tentang baik buruknya sebuah perkara apabila diperiksa lebih lanjut. Sebagaimana tugas pokok dan fungsi Hakim yang telah digariskan dalam undangundang. Dalam hal Hakim tidak berupaya menjelaskan kepada para pihak yang berperkara perdata tentang duduk perkara yang sebenarnya dan juga manfaat daripada perdamaian (dading), maka selamanya dading hanya merupakan sebuah nama atau slogan saja yang akan jarang dipakai orang dalam penyelesaian sebuah perkara perdata. Selain upaya ini, ada upaya lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu memasyarakatkan pengertian perdamaian yang dapat diusahakan melalui penyuluhan, seminar, lokakarya ataupun pencanangan program Keluarga Sadar Hukum (kadarkum) – program yang beberapa tahun lalu pernah dicanangkan oleh rezim orde baru – agar masyarakat mengerti
akan arti pentingnya perdamaian dalam menyelesaikan sebuah perkara perdata. Dengan kesadaran dan kepahaman hukum masyarakat melalui forum-forum seperti kadarkum diharapkan masyarakat akan tahu dan luas pemikirannya tentang penyelesaian perkara perdata dengan jalan perdamaian (dading) dan berusaha sekuat mungkin untuk menjauhi tindakan-tindakan, perbuatan-perbuatan ataupun semua hal yang dapat membuat mereka berhadapan dengan hukum. Begitu pula bagi para kuasa hukum atau Advokat yang dianggap mengetahui permasalahan hukum bagi masyarakat, khususnya bagi para pihak yang memakai jasa Advokat tersebut, yang bertindak sebagai kuasa dalam suatu perkara akan lebih mudah menyelesaikan perkara tersebut apabila menggunakan upaya damai. Selanjutnya bagi Advokat khususnya, diharapkan dapat menciptakan suatu keadilan ditengah-tengah masyarakat atau khususnya para pihak yang bersengketa dan kepentingan dari para pihak yang berperkara haruslah tetap Duitamakan, dan tidak boleh disalahgunakan untuk kepentingangan bisnis, kepentingan pribadi ataupun hanya berdasar materi semata. Oleh karena itu untuk menciptakan aparat hukum yang bersih dan berwibawa, maka perlu adanya pengawasan melekat terhadap semua aparat penegak hukum agar dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku serta dapat menciptakan suatu keadilan dan pengayoman bagi masyarakat demi terwujudnya supremasi hukum, khususnya di wilayah hukum Kabupaten Banyuwangi.
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan uraian pembahasan tersebut diatas, maka dapatlah ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: a. Dalam perspektif hukum penyelesaian perkara perdata dengan jalan perdamaian dapat dilakukan meskipun perkara yang bersangkutan masih dalam proses di peradilan dengan catatan harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya adalah: 1. Persetujuan kedua belah pihak. 2. Perdamaian mengakhiri perkara atau sengketa. 3. Perdamaian dibuat dalam bentuk tertulis. b. Bahwa pentingnya upaya penyelesaian perkara perdata dengan jalan perdamaian adalah bahwa tenaga, waktu dan biaya dapat ditekan, serta memenuhi rasa keadilan, yang berarti dapat menghindari permusuhan diantara para pihak. Disamping itu asas sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 dapat terwujud. c. Faktor-faktor penghambat penyelesaian perkara perdata dengan jalan perdamaian di wilayah hukum Kabupaten Banyuwangi diataranya adalah berasal dari Hakim yang memeriksa perkara tersebut, juga dari para pihak yang berperkara. Untuk mengatasi faktor-faktor penghambat tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah:
1. Peran aktif Hakim dalam memberikan saran selama pemeriksaan berlangsung sebelum menjatuhkan putusan agar para pihak yang bersengketa menyelesaikan perkaranya dengan jalan perdamaian, serta memberikan penjelasan tentang baik buruknya sebuah perkara apabila diperiksa lebih lanjut. 2. Melalui penyuluhan, seminar, lokakarya ataupun pencanangan program kadarkum agar masyarakat mengerti akan arti pentingnya perdamaian dalam menyelesaikan sebuah perkara perdata. Saran Dari uraian pembahasan hingga kesimpulan dalam penelitian ini, maka dapatlah diberikan saran sebagai berikut: a. Perlu adanya langkah-langkah konkrit untuk mengadakan dan membudayakan perdamaian di tengah-tengah masyarakat, karena pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang awam terhadap arti pentingnya perdamaian atau dading. b. Hendaknya sesering mungkin dalam persidangan Hakim menyarakan kepada para pihak yang berperkara perdata agar menyelesaikan perkaranya dengan jalan perdamaian. Hal ini dilakukan agar sedikit membantu memulihkan citra dan kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan di Indonesia, khususnya di wilayah hukum Kabupaten Banyuwangi
DAFTAR PUSTAKA Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993. Muhammad, Abdulkadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Alumni, Bandung, 1996. Subekti, Hukum Acara Perdata, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1972. Sutantio, Retnowulan dan Oeripkartawinata, Iskandar, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, C.V. Mandar Maju, Bandung, 1997.
1. Undang-undang Dasar 1945. 2. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 3. Het Herziene Indlandsche Reglement (HIR = Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura). 4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman