PENTINGNYA PENDEKATAN NERACA AIR DALAM PEMBANGUNAN HUTAN RAKYAT YANG PRODUKTIF DAN BERWAWASAN LINGKUNGAN Oleh : Wuri Handayani Balai Penelitian Kehutanan Ciamis
ABSTRAK Kebutuhan bahan baku kayu untuk industri yang terus meningkat dan tidak dapat terpenuhi hanya dari hutan alam, menyebabkan pembangunan hutan rakyat dari tahun ke tahun semakin meningkat. Oleh karena itu berbagai upaya untuk meningkatkan produktivitas hutan rakyat terus dilakukan melalui berbagai aspek, termasuk aspek lingkungan. Karena sifatnya yang multifungsi, hutan rakyat dapat menghasilkan manfaat langsung dan tidak langsung seperti jasa lingkungan. Pendekatan neraca air dapat digunakan untuk mengetahui peran hutan (hutan rakyat) terhadap respon hidrologi yang dihasilkan sebagai salah satu bentuk jasa lingkungan hutan. Manfaat pendekatan neraca air yang berimplikasi pada pembangunan hutan rakyat yang produktif dan berwawasan lingkungan antara lain dapat menyediakan informasi yang berguna dalam intensifikasi dan ekstensifikasi hutan rakyat, pemilihan jenis yang sesuai dengan lingkungan untuk mengoptimalkan pertumbuhan, merumuskan upaya-upaya pemeliharaan atau pengelolaan lahan, mengkuantifikasi jasa lingkungan berupa hasil air yang juga berguna untuk mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim (atau bencana kekeringan, banjir). Kata kunci : Jasa lingkungan, peneracaan air, produktivitas hutan rakyat
I. PENDAHULUAN Cikal bakal hutan rakyat telah dimulai sejak tahun 1952, melalui gerakan Karangkitri yaitu menanami tanah-tanah kosong atau lahan terlantar dengan pepohonan, untuk melindungi lahan dari bahaya erosi dan tanah longsor, serta meningkatkan kesuburan tanah. Namun pengertian dan konsep dari hutan rakyat itu sendiri baru terlahir dalam UU No. 5 tahun 1967 dengan sebutan hutan milik, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Sejak itu pengertian hutan rakyat terus diperbaharui dan dibakukan. Seiring dengan kebutuhan bahan baku kayu untuk industri yang terus meningkat dan tidak dapat terpenuhi hanya dari hutan alam, maka hutan rakyat pun menjadi salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Akibatnya pembangunan hutan rakyat dari tahun ke tahun semakin meningkat, tidak hanya mencakup luasannya yang bertambah tetapi juga jenis-jenis yang dikembangkan. Implikasi logis penambahan luasan hutan rakyat, yang didukung dengan kebutuhan bahan kayu untuk industri yang terus meningkat, akan terjadi peningkatan pendapatan petani hutan rakyat yang berdampak pada peningkatan kesejahteraannya. Namun faktanya tidaklah selalu demikian. Hal ini disebabkan adanya beberapa faktor, seperti luas kepemilikan lahan yang sempit, ketergantungan petani terhadap lahan yang masih tinggi di luar kehutanan, posisi tawar petani yang masih rendah, pembudidayaan tanaman hutan rakyat yang masih sederhana, dan lain sebagainya. Untuk memperbaiki kondisi yang ada, maka diperlukan berbagai upaya yang dapat meningkatkan produktivitas hutan rakyat, antara lain melalui aspek silvikultur (penerapan teknik silvikultur intensif, penanaman jenis pohon yang bernilai tinggi), aspek kelembagaan (pembentukan dan pembinaan kelompok tani yang memiliki posisi tawar), aspek lingkungan (kesesuaian lahan, pemilihan jenis yang tepat terkait dengan kompetisi air dan hara), aspek sosial. Pembangunan hutan rakyat memiliki tujuan yaitu untuk 1) perbaikan lingkungan hidup, 2) peningkatan kesejahteraan, 3) keamanan dan keutuhan hutan (Mindawati dkk,
Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian
271
2006). Hal ini dapat diartikan bahwa hutan rakyat memiliki multifungsi, tidak hanya sebagai fungsi produksi yang tampak nyata dan dapat dipasarkan, tetapi juga memiliki fungsi atau manfaat tidak langsung seperti jasa lingkungan. Perhatian mengenai aspek lingkungan hutan rakyat ini tertinggal dari aspek yang lain seperti aspek ekonomi, kelembagaan, silvikultur, dan lain sebagainya. Hal ini terlihat pada bentuk-bentuk pemanfaatan lahan lainnya, misalnya pemanfaatan lahan yang tidak disertai upaya rehabilitasi lahan, sehingga tidak jarang daya dukung lahan menjadi terabaikan dan berakibat terjadinya degradasi lahan. Penekanan hanya pada faktor ekonomi saja, misalnya hutan rakyat yang ditebang dengan sistem tebang habis, akan berakibat meluasnya kerusakan lingkungan berupa degradasi lahan yang secara berangsur-angsur menimbulkan lahan kritis/ lahan yang tidak produktif. Ini berarti, tujuan pembangunan hutan rakyat untuk perbaikan lingkungan tidak dapat tercapai. Tulisan ini mencoba mengemukakan manfaat pendekatan neraca air dalam pembangunan hutan rakyat yang produktif juga berwawasan lingkungan.
II. HUTAN DAN NERACA AIR Di alam dikenal adanya siklus air atau daur hidrologi, sebagai suksesi tahapantahapan yang dilalui air dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer (Seyhan, 1990). Sejak air jatuh ke bumi dalam bentuk hujan, air hujan tersebut akan mengalami berbagai fase cair, sebagian hujan jatuh di atas tumbuh-tumbuhan menjadi air intersepsi, diuapkan ke udara sebagai evapotranspirasi, jatuh ke atas tanah menjadi aliran permukaan atau terserap ke dalam tanah menjadi air infiltrasi. Sebagian air yang masuk ke dalam tanah, segera kembali keluar memasuki sungai dan mengalir menuju laut, dan sebagian air lainnya yang masuk ke tanah dapat tersimpan lama menjadi air tanah. Menurut Ward dan Robinson (1990), siklus air menyediakan konsep pengenalan yang berguna dalam menjelaskan hubungan antara hujan dan berbagai bentuk aliran air, sehingga sedikitnya seorang pakar hidrologi dapat memahami dan mengkuantifikasi kejadian, distribusi dan pergerakan air dalam suatu area tertentu (spesific area). Yang dimaksud dengan spesific area ini termasuk adalah pembatasan wilayah pengamatan sirkulasi air (misal skala plot, skala DAS, skala global), karena cakupan wilayah sirkulasi air di alam yang sangat luas dan jumlahnya yang luar biasa. Dalam proses sirkulasi air di suatu wilayah untuk suatu periode tertentu, terdapat hubungan kesetimbangan antara air yang masuk dan ke dalam dan keluar wilayah tersebut. Hubungan kesetimbangan antara aliran air masuk dan aliran air keluar ini, disebut dengan neraca air (Dumairy, 1992). Neraca air merupakan penafsiran kuantitatif dari siklus air atau daur hidrologi pada suatu wilayah tertentu. A. Peranan Hutan terhadap Neraca Air DAS Daerah Aliran Sungai (DAS) sering digunakan sebagai unit pengamatan dalam pendekatan neraca air. Sebagai sistem hidrologi yang cukup kompleks, di dalam DAS terdapat berbagai unsur-unsur sistem, antara lain unsur sumberdaya iklim, lahan (tanah dan batuan penyusunnya), vegetasi (hutan, kebun, sawah) dan manusia. Perubahan yang terjadi pada salah satu komponen sumberdaya yang terdapat di dalam DAS akan mempengaruhi komponen sumberdaya lainnya, sehingga dampaknya dapat dikaji dengan melihat perubahan komponen proses dan komponen keluaran keseluruhan siklus air. Dalam pengelolaan DAS, sumberdaya alam yang dapat dimanipulasi adalah sumberdaya tanah (misalnya melalui praktek konservasi tanah dan air) dan vegetasi (misalnya mempertahankan hutan dan fungsinya, penghutanan kembali, perbaikan pola tanam, pemilihan jenis yang tepat). Oleh karena itu pendekatan neraca air biasa digunakan untuk mengetahui peranan vegetasi (hutan alam, hutan rakyat, kebun campuran) terhadap respon hidrologi DAS (keluaran atau hasil air DAS) dan simulasinya untuk perencanaan pengelolaan DAS tersebut.
272
Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian
Persamaan umum neraca air DAS adalah P = Q + E ± ∂S; di mana P = curah hujan; Q = debit; dan E = evapotranspirasi, dan ∂S = perubahan kadar lengas tanah. Persamaan tersebut dapat dikembangkan lebih detil dengan membagi variabel menjadi beberapa komponen air misalnya debit aliran permukaan, debit aliran bawah permukaan, debit air tanah. Jika perhitungan neraca air dilakukan dalam jangka waktu satu tahun dan dalam wilayah yang luas, maka terjadi variasi meteorologis yang senatiasa berulang, ∂S dapat dinyatakan seimbang (sama dengan nol), sehingga persamaan tersebut menjadi lebih sederhana yaitu P = Q+E. Peranan hutan telah lama dikaitkan dengan kemampuannya sebagai spons , yaitu menyerap air hujan pada musim hujan dan melepaskannya kembali perlahan-lahan pada musim kemarau seperti yang dikemukakan oleh Heringa (dalam Noordwijk et al., 2004). Hutan juga berperan sebagai pencegah terjadinya banjir, sehingga penggundulan hutan akan mengakibatkan banjir pada daerah di bawahnya. Oleh karena itu dalam pengelolaan DAS, hutan atau penggunaan lahan dengan struktur menyerupai hutan, perlu dipertahankan, diperluas atau diperbaiki kualitasnya. Dalam UU RI No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan luas kawasaan hutan yang perlu dipertahankan minimal 30% dari luas DAS. Namun beberapa bukti penelitian yang telah ditemukan oleh pakar hidrologi membantah kenyataan peranan hutan terhadap beberapa karakteristik hidrologi seperti tersebut di atas. Menurut Pawitan (2005), ada 6 aspek pengaruh hutan terhadap hidrologi wilayah yang perlu dicatat, yaitu : 1. Pengaruh hutan terhadap aliran rendah adalah bersifat site spesific dan tidak ada jaminan penghutanan kembali akan meningkatkan alian rendah musim kemarau. 2. Hutan dapat meningkatkan curah hujan. 3. Hutan menurunkan aliran air sungai karena vegetasi hutan mengkonsumsi air relatif lebih besar. 4. Kemampuan hutan mengurangi erosi tergantung pada situasi dan kondisi (intensitas hujan, kemiringan lereng lahan, faktor geologi batuan, metode pengelolaan). 5. Peranan skala DAS menentukan hubungan hujan dan limpasan, karena semakin luas DAS semakin kecil peranan aktivitas manusia. 6. Hutan dapat meningkatkan mutu pasokan air, hanya pada daerah dengan iklim yang tercemar berat (hujan asam) dan sangat dipengaruhi oleh praktek pengelolaan itu sendiri. Saat ini terdapat tambahan peranan hutan selain terhadap aspek hidrologi, yaitu hutan juga sebagai penambat karbon yang potensial sehingga dapat mengurangi emisi karbon di udara. Sebagaimana diketahui pemanasan global yang diakibatkan meningkatnya emisi karbon di udara telah menyebabkan perubahan iklim, sehingga diperlukan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim tersebut. Perubahan iklim global ini berpengaruh terhadap respon hidrologi wilayah, yang selanjutnya menentukan ketersediaan air wilayah untuk berbagai kebutuhan dan ikut menentukan nilai ekologi, sosial dan ekonomi sumberdaya air yang ada (Pawitan, 2010). B. Neraca Air pada Hutan Pada dasarnya prinsip peneracaan air dalam skala kawasan hutan atau skala DAS tidak berbeda. Penulis mencoba memilahkan keduanya hanya untuk melihat perbedaan komponen-komponen air dan proses yang terlibat dalam siklus air pada kedua unit. Berbeda dengan peneracaan air DAS yang cenderung menggeneralisir beberapa bentuk atau fase air ke dalam satu kesatuan komponen air, karena unit pengamatannya yang luas, peneracaan air pada kawasan hutan dapat dikerjakan dengan membagi fase cair menjadi beberapa komponen air. Komponen neraca air hutan (hutan rakyat) meliputi air yang tertahan pada tajuk dan lantai hutan (intersepsi), air hujan yang lolos melewati celah-celah tajuk (air lolos), air yang masuk ke dalam tanah (infiltrasi), air yang mengalir di permukaan tanah (limpasan permukaan), air yang teruapkan oleh tanah dan tanaman (evapotranspirasi), air yang mengalir dibawah permukaan tanah. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian
273
Persamaan umum neraca air pada hutan adalah sama dengan persamaan neraca air suatu DAS seperti yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya. Juga seperti yang telah dijelaskan bahwa persamaan tersebut dapat dikembangkan lebih detil dengan membagi variabel menjadi beberapa komponen air sesuai dengan kondisi dan tujuan yang akan dicapai. Manan (1978 dalam Pramono, 2007) mengemukakan persamaan neraca air pada hutan yaitu Pq=(T+Ic+If +Es+W) + Q + ∂S + L + U; dimana Pq=curah hujan kasar, T= transpirasi, Ic=Intersepsi tajuk, If=intersepsi lantai hutan, Es=evaporasi permukaan tanah, W=evaporasi permukaan air, Q= aliran sungai, ∂S=perubahan kadar air tanah, L=kebocoran keluar dan kedalam DAS, U=aliran sungai bawah tanah. Faktor L dan U dapat dihilangkan apabila tidak terdapat kebocoran dan aliran sungai bawah tanah. Suprayogo dkk. (___) mengemukakan persamaan neraca air yang terjadi di dalam sistem agroforestri yaitu: ∂( t + c) = Pg – (It+Ic) –(Dt+Dc)-(Rt+Rc)-(Et+Ec)-(Tt+Tc); dimana Pg = curah hujan total, It dan Ic = Intersepsi pohon dan tanaman semusim, Dt dan Dc= drainase di bawah pohon dan tanaman semusim, Rt dan Rc = limpasan permukaan di bawah pohon dan tanaman semusim, Et dan Ec= evaporasi di bawah pohon dan tanaman semusim, Tt dan Tc= transpirasi pohon dan tanaman semusim. Dari persamaan ini akan diketahui kebutuhan air untuk pohon dan tanaman semusim dalam sistem agroforestri, pengaruh kekurangan air terhadap produksi tanaman, interaksi pohon dan tanaman semusim dalam berbagi air.
III. PENDEKATAN NERACA AIR UNTUK PENGEMBANGAN DAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT Pada hutan rakyat dikenal 3 bentuk pola tanam yaitu hutan rakyat monokultur, hutan rakyat campuran dan hutan rakyat sistem agroforestri. Ditambah dengan faktor luas kepemilikan hutan rakyat yang sempit, maka hutan rakyat yang dipandang dalam satu hamparan akan sangat beragam, seperti adanya perbedaan jenis pohon, jarak tanam, pola penanaman, serta pengelolaan lahan. Keberagaman tersebut dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi, dan psikologi antar petani pemilik lahan. Pada kondisi demikian peneracaan air dapat dilakukan dalam skala DAS, namun pengelompokannya perlu dilakukan secara hati-hati, agar tidak memberikan interpretasi hasil yang keliru. Sedangkan pendekatan neraca air pada hutan rakyat dengan sistem agroforestri yang dikemukakan oleh Suprayogo dkk. (___), bermanfaat dalam memberikan masukan di tingkat petani. Dengan demikian penerapan peneracaan air dapat disesuaikan dengan kondisi obyek yang akan diukur, ketersediaan teknologi, dan tujuan yang akan dicapai. Neraca air DAS menjelaskan pengaruh hutan pada off-site, sedangkan neraca air pada hutan menjelaskan pengaruhnya pada on-site. Meskipun demikian tidak jarang beberapa kajian yang dilakukan untuk mengetahui neraca air pada hutan, juga menggunakan satuan/ unit DAS, misalnya untuk melihat perbedaan hasil air (water yield) dari DAS berhutan dan tidak berhutan. Beberapa implikasi pentingnya pendekatan neraca air terhadap pembangunan hutan rakyat yang produktif dan berwawasan lingkungan antara lain : 1. Dapat menetapkan peruntukan (intensifikasi) dan penetapan luas penggunaan lahan berupa hutan rakyat (ekstensifikasi) dalam suatu DAS, yang sekaligus dapat mempertahankan atau memperbaiki fungsi DAS. Jika hal ini dapat dipertimbangkan ke dalam perencanaan tata ruang wilayah, maka tidak hanya terpeliharanya fungsi DAS atau terpulihkannya DAS-DAS yang telah kritis, sebagai suatu keuntungan ekologis, tetapi juga dapat menambah income daerah sebagai keuntungan ekonomi hutan rakyat. 2. Dapat menyediakan informasi untuk pertimbangan pemilihan jenis tanaman yang sesuai lingkungannya seperti karakteristik iklim, kondisi tanah, kombinasi yang tidak berkompetisi terhadap air. Pemilihan jenis yang tidak sesuai karena terjadi ketidakseimbangan antara air yang dibutuhkan tanaman dengan input yang tersedia (curah hujan), dapat menghambat pertumbuhan atau kematian pada suatu waktu. 274
Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian
Sebaliknya pemilihan jenis yang sesuai, dapat mengoptimalkan pertumbuhan pohon dan tanaman. 3. Dapat menetapkan beberapa upaya pengelolaan yang diperlukan untuk meningkatkan produktivitas misalnya memberikan tindakan konservasi tanah dan air (penanaman multistrata, pembuatan teras) atau pemeliharaan lahan yang dapat mengembalikan kesuburan tanah. 4. Dapat mengkuantifikasi jasa lingkungan yang dihasilkan hutan rakyat berupa hasil air (water yield). Kegunaan informasi ini antara lain untuk mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim (atau bencana kekeringan, banjir) melalui kegiatan bercocok tanam/ budidaya lahan (hutan rakyat), menyediakan data dasar yang dapat dimanfaatkan dalam pasar jasa atau pembiayaan konservasi (mekanisme imbal jasa).
IV. PENUTUP Hutan rakyat dikembangkan untuk memperbaiki lingkungan, meningkatkan produktivitas lahan, pengamanan hutan, pemasok bahan baku kayu industri, hingga meningkatkan pendapatan dan mensejahterakan petani melalui produktivitas lahannya. Dengan demikian hutan rakyat bersifat multifungsi yang menghasilkan manfaat langsung dan tak langsung (jasa lingkungan). Aspek lingkungan pada hutan rakyat dapat dijadikan pertimbangan dasar dalam pengembangan dan peningkatan produktivitas hutan rakyat. Melalui pendekatan neraca air, dapat diketahui jumlah air dalam beberapa bentuknya (komponen air) yang bersirkulasi di hutan rakyat, sehingga berimplikasi dalam menyediakan informasi yang berguna dalam pengembangan dan peningkatan produktivitas hutan rakyat. Implikasi tersebut antara lain dapat menyediakan pertimbangan untuk intensifikasi dan ekstensifikasi hutan rakyat, pemilihan jenis yang sesuai dengan lingkungan untuk mengoptimalkan pertumbuhan, merumuskan upayaupaya pemeliharaan atau pengelolaan lahan, mengkuantifikasi jasa lingkungan berupa hasil air yang juga berguna untuk mitigasi dan adaptasi terhadap iklim. Perhatian terhadap pengembangan hutan rakyat lebih banyak menitikberatkan pada manfaat langsung. Kondisi hutan rakyat bervariasi antar satu dengan lain tempat, baik yang disebabkan adanya perbedaan kondisi alam maupun perbedaan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan kelembagaan. Bertolak dari hal itu, maka fokus terhadap manfaat tidak langsung hutan rakyat perlu ditingkatkan, namun dalam pengkajiannya diperlukan ketelitian agar jangan menghasilkan pemahaman, interpretasi dan informasi yang keliru.
DAFTAR PUSTAKA Dumairy. 1992. Ekonomika Sumberdaya Air. Pengantar ke Hidronomika. BPFE. Yogyakarta. Mindawati, N., A. Widiarti dan B. Rustaman. 2006. Review Hasil Penelitian Hutan Rakyat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehuatanan. Bogor. Noordwijk, M.N., F. Agus, D. Suprayogo, K. Hairiah, G. Pasya, B. Verbist, dan Farida. 2004. Peranan Agroforestry dalam Mempertahankan Fungsi Hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS). Agrivita Vol. 26 No 1. Pawitan, H. 2005. Aplikasi Model Erosi dalam Perspektif Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Prosiding Kongres Nasional V Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia dan Seminar Nasional Degradasi Hutan dan Lahan. Halaman 99-117. MKTI, UGM dan Departemen Kehutanan. Yogyakarta. Pawitan, H. 2010. Arti Perubahan Iklim Global dan Pengaruhnya dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Indonesia. Makalah-makalah Ekspose Hasil Litbang: Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian
275
Pengelolaan DAS dalam Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia. Surakarta, 28 September 2010. Halaman 1-21. Surakarta. 2010. Purnomo, I.B. 2007. Neraca Air di dalam Hutan. Makalah Workshop “Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS”. Balai Penelitian Kehutanan Solo. Surakarta. Seyhan, E. 1990. Dasar-dasar Hidrologi. Gdjah Mada University Press. Yogyakarta. Suprayogo, D., Widianto, B. Lusiana dan M.v. Noordwijk._______ Neraca Air dalam Sistem Agroforestri. Bahan Ajar 7. www.worldagroforestrycentre.org/sea/ Publication/.../LN0037-06. Tanggal akses 12 Februari 2010. Ward, R.C. dan M.Robinson. 1990. Principles of Hydrology. Mc.Graw Hill Book Company. London.
276
Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian