PENGENDALIAN DAN PENGELOLAAN LIMBAH RUMAH SAKIT DALAM PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN MOH. ASEP SUHARNA Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Subang e-mail :
[email protected]
Abstract Control and management of hospital waste is the actualization of the principles of environmentally sustainable development, which integrates economic interests, social interests and the interests of the carrying capacity of the environment to avoid contamination and/or destruction of the environment which can degrade the quality of the environment. Implementation of the control and management of hospital waste should be based on legal principles of environmental preservation capabilities in sustainable development, given the principle of environment conservation is a juridical demands, unavoidable by the hospital management to prevent pollution and/or destruction of the environment. Remedy which can be done by the people in the control and management of household waste that is not good that the environmental dispute resolution through the court and out of court through Alternative Dispute Resolution (APS) and the Alternative Dispute Resolution Methods (MAPS) in the form of arbitration, mediation and conciliation. Kata kunci : Lingkungan Hidup - Limbah Rumah Sakit - APS. A.
Pendahuluan
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.1 Rumah sakit selamanya akan berhubungan dengan manusia sakit dan sehat, seperti tersirat dalam definisi rumah sakit sebagai berikut : 2 ”Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat”. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran mengarah kepada pemakaian peralatan medis yang sangat canggih, serta pemeriksaan secara biokimia untuk mengenali beberapa pertanda dalam darah. Pemeriksaan fisik dilengkapi 1 2
Pertimbangan huruf b Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Pasal 1 huruf 1 Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009.
33
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
34
dengan pemeriksaan lainnya sehingga diagnostik suatu penyakit menjadi lebih pasti. Dalam upaya itulah banyak dipergunakan zat-zat kimia atau bahan obat-obatan dan bahan radioaktif. Dalam proses pemeriksaan dan proses pengobatan berlangsung akan terjadi juga proses terlepasnya bahan-bahan yang digunakan ke alam sekitarnya. Apalagi pihak pengguna jasa dalam hal ini adalah orang sakit akan sekaligus menjadi sumber penyebaran bagi orang lain dan lingkungannya. Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagai akibat dari adanya berbagai kegiatan fungsional di rumah sakit, maka terbentuklah limbah. Rumah sakit tidak hanya menghasilkan sampah biasa, namun juga menghasilkan sampah infeksius dan sampah medis lainnya, seperti dikemukakan oleh Agustiani E, bahwa limbah yang dihasilkan rumah sakit dapat membahayakan kesehatan masyarakat, yaitu limbah berupa virus dan kuman yang berasal dan Laboratorium Virologi dan Mikrobiologi yang sampai saat ini belum ada alat penangkalnya sehingga sulit untuk dideteksi. Limbah cair dan limbah padat yang berasal dari rumah sakit dapat berfungsi sebagai media penyebaran gangguan atau penyakit bagi para petugas, penderita maupun masyarakat. Gangguan tersebut dapat berupa pencemaran udara, pencemaran air, tanah, pencemaran makanan dan minuman. Pencemaran tersebut merupakan agenagen kesehatan lingkungan yang dapat mempunyai dampak besar terhadap manusia. 3 Limbah padat terdiri dari limbah yang dapat membusuk atau bahan organik (sampah, bagian tubuh manusia), limbah yang berbahaya (granul atau gas yang dapat meledak, korosif, zat yang cepat bereaksi dengan zat lainnya), dan yang mudah terbakar, semua zat-zat kimia dalam laboratorium (fenol, formaldehid dan Hg), dan limbah infeksiosa, seperti : kuman, bakteri, jamur dan bahkan virus. Sampah padat (garbage) dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu: a) sampah organik, seperti limbah dapur, sayur-sayuran, bunga, dedaunan, dan buah-buahan; b) limbah beracun (toxic): cat, obat-obatan, zat kimia, kaleng spray, kaleng fertilizer dan pestisida; c) yang dapat didaur-ulang (recyclable): kertas, gelas, metal, dan plastik; d) tanah (soiled) cloth soiled with blood and other body fluids. Limbah rumah sakit seperti halnya limbah lain akan mengandung bahan-bahan organik dan anorganik juga limbah cair yang tingkat kandungannya dapat ditentukan dengan uji air kotor pada umumnya seperti BOD, COD, TTS, PH, mikrobiologik, dan lain-lain. Pengendalian dan pengelolaan limbah rumah sakit adalah bagian dari kegiatan penyehatan lingkungan di rumah sakit yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari limbah rumah sakit dan upaya penanggulangan penyebaran penyakit. Sanitasi lingkungan rumah sakit juga perlu diperhatikan secara cermat. Sanitasi lingkungan yang baik akan berdampak kepada penghuni rumah sakit juga kepada masyarakat sekitar. Berdasarkan kenyataan tersebut menunjukkan, bahwa pengendalian dan pengelolaan limbah masih ”termarginalkan” dari pihak manajemen Rumah Sakit. Hal ini terlihat dalam struktur organisasi Rumah Sakit, divisi lingkungan masih terselubung di bawah Bagian Umum. Ditambah lagi kurangnya pemahaman ataupun pengetahuan pihak pengelola lingkungan tentang peraturan dan persyaratan dalam pengendalian dan pengelolaan limbah rumah sakit, masih banyak yang belum mengetahui tatacara dan kewajiban pengendalian dan pengelolaan limbah rumah sakit, baik dalam hal 3
E. Agustiani et.all, “Penambahan PAC pada Proses Lumpur Aktif untuk Pengolahan Air Limbah Rumah Sakit”, Laporan Penelitian, Fakultas Teknik Industri ITS, Surabaya 1998, hlm. 28.
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
35
penyimpanan limbah, insinerasi limbah maupun pemahaman tentang limbah rumah sakit sendiri masih terbatas, kurangnya komitmen pendanaan bagi upaya pengendalian pencemaran karena menganggap bahwa pengelolaan rumah sakit untuk menghasilkan uang bukan membuang uang mengurusi pencemaran, dan masih banyak lagi kekurangan lainnya. Biaya pembuatan sarana pembuangan limbah rumah sakit dirasakan masih terlampau mahal, sehingga perlu dibuat suatu sarana yang lebih sederhana, lebih mudah namun memenuhi syarat. Setelah diundangkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (sebagaimana telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) sebagai upaya untuk mewujudkan pengendalian dan pengelolaan limbah (termasuk limbah rumah sakit), Pemerintah telah mengundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3 dan dikuatkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Limbah B3, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1204/Menkes/ SK/X/2004 tentang Persyaratan Teknis Lingkungan Rumah Sakit, dan Surat Edaran Pelayanan Medis Nomor PM.01.05.6.1.01353 tentang Limbah Rumah Sakit. Dengan diundangkannya berbagai peraturan perundang-undangan mengenai limbah B3 (termasuk limbah rumah sakit) diharapkan pengendalian dan pengelolaan limbah (termasuk limbah rumah sakit) dapat mengurangi dampak negatif, sehingga tidak lagi terjadi pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan. Selain itu, diharapkan pihak pengelola rumah sakit tunduk dan taat terhadap ketentuan tersebut sebagai upaya untuk menciptakan lingkungan hidup yang bersih dan sehat guna terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. B.
Pembahasan
1.
Pengendalian dan Pengelolaan Limbah Rumah Sakit dalam Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan Dihubungkan dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 jo Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat tersebut. Rumah sakit sebagai salah satu upaya peningkatan kesehatan tidak hanya terdiri dari balai pengobatan dan tempat praktik dokter saja, tetapi juga ditunjang oleh unit-unit lainnya, seperti ruang operasi, laboratorium, farmasi, administrasi, dapur, laundry, pengolahan sampah dan limbah, serta penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan. Selain membawa dampak positif bagi masyarakat, yaitu sebagai tempat menyembuhkan orang sakit, rumah sakit juga memiliki kemungkinan membawa dampak negatif. Dampak negatifnya dapat berupa pencemaran dari suatu proses kegiatan, yaitu bila limbah yang dihasilkan tidak dikelola dengan baik. Oleh sebab itu, untuk menjamin keselamatan dan kesehatan pekerja maupun orang lain yang berada di lingkungan rumah sakit dan sekitarnya, perlu penerapan kebijakan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja, dengan melaksanakan kegiatan pengendalian dan pengelolaan serta monitoring limbah rumah sakit sebagai salah satu indicator penting yang perlu diperhatikan. Rumah sakit sebagai institusi yang sosioekonomis karena tugasnya memberikan
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
36
pelayanan kesehatan kepada masyarakat, tidak terlepas dari tanggung jawab pengendalian dan pengelolaan limbah yang dihasilkannya. Apabila dampak yang ditimbulkan tidak diperhatikan, akibatnya akan dirasakan oleh generasi yang akan datang. Keseimbangan sumber daya alam akan sulit tercipta kembali dan akan memakan waktu lama serta biaya yang tidak sedikit dalam merestorasinya. Untuk mengatasi masalah ini, Pemerintah selalu memberikan restriksi dalam bentuk peraturan atau kebijaksanaan lainnya, dengan pemahaman yang harus disadari bahwa lingkungan hidup adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada manusia, dan merupakan rahmat dari pada-Nya, sehingga wajib dikembangkan serta dilestarikan kapabilitasnya agar dapat menjadi sumber dan penunjang hidup bagi manusia serta makhluk hidup lainnya, demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri. Pengendalian dan pengelolaan limbah rumah sakit merupakan aktualisasi dari prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, yang merupakan kebutuhan pembangunan yang sulit terelakkan dalam dinamika pembangunan dewasa ini, karena esensi dari prinsip ini adalah mengintegrasikan kepentingan ekonomi, kepentingan sosial dan perlindungan daya dukung lingkungan hidup. Pengendalian dan pengelolaan limbah rumah sakit sebagai aktualisasi prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup tiada lain untuk memenuhi tuntutan Pasal 65 UUPPLH jo Pasal 6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009. Pasal 65 UUPPLH yang menyatakan, bahwa :“Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia”. Sementara itu, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa : “Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan”. Kriteria lingkungan sehat itu ditentukan dalam Pasal 163 ayat (3) UndangUndang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 yang menegaskan : “Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bebas dari unsur-unsur yang menimbulkan ganggungan kesehatan, antara lain : limbah cair, limbah padat, limbah gas, sampah yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan pemerintah, binatang pembawa penyakit, zat kimia yang berbahaya kebisingan yang melebihi ambang batas, radiasi sinar pengion dan nonpengion, air yang tercemar, udara yang tercemar, makanan yang terkontaminasi”. Ketentuan tersebut menjadi dasar bagi pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan yang berupa pencegahan dan pemberantasan penyakit, pencegahan dan penanggulangan pencemaran, pemulihan kesehatan, penerangan dan pendidikan kesehatan kepada masyarakat. Upaya perbaikan kesehatan masyarakat dapat dilakukan melalui berbagai macam cara, yaitu pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, penyediaan air bersih, penyuluhan kesehatan serta pelayanan kesehatan ibu dan anak. Selain itu, perlindungan terhadap bahaya pencemaran lingkungan juga perlu diberi perhatian khusus. Hasil dari kualitas pengendalian dan pengolahan limbah rumah sakit tidak terlepas dari dukungan pengelolaan limbahnya, baik limbah medis maupun limbah cair. Suatu pengendalian dan pengelolaan limbah yang baik sangat dibutuhkan dalam mendukung hasil kualitas effluent sehingga tidak melebihi syarat baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah dan tidak menimbulkan pencemaran pada lingkungan
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
37
sekitar. Baku mutu lingkungan hidup merupakan peraturan yang menetapkan atau menentukan kriteria kualitas lingkungan, misalnya kriteria kualitas udara dan kriteria kualitas air. Baku mutu lingkungan juga menetapkan kriteria kualitas buangan, baik limbah, asap maupun buangan padat. Baku mutu lingkungan digunakan sebagai dasar untuk melakukan perlindungan lingkungan. Dengan adanya baku mutu lingkungan, maka akan dapat diketahui apakah telah terjadi kerusakan atau pencemaran lingkungan. Penentuan tersebut didasarkan atas perbandingan kualitas lingkungan yang sebenarnya dengan kriteria baku mutu lingkungan, sebagaimana tersurat dalam Pasal 20 ayat (1), (2) dan Pasal (3) UUPPLH yang menyatakan bahwa : “(1) Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup; (2) Baku mutu lingkungan hidup meliputi : a. baku mutu air b. baku mutu air limbah c. baku mutu air laut d. baku mutu udara ambien e. baku mutu emisi (3) Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan : a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup b. mendapat izin dari Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Apabila keadaan lingkungan telah berada di atas ambang batas baku mutu lingkungan, maka lingkungan tersebut telah rusak atau tercemar. Untuk menghindari timbulnya risiko tersebut, maka perlu telaahan secara cermat dan mendasar pada setiap rencana kegiatan maupun evaluasi kembali atas kegiatan yang telah berjalan. Hal ini penting agar tujuan semula yang dicanangkan dapat direalisir tanpa membawa efek pada kesehatan. Di sini perlunya Amdal bagi kegiatan di bidang kesehatan. Pencemaran lingkungan yang berdampak berubahnya tatanan lingkungan karena proses kegiatan manusia berakibat lingkungan kurang atau tidak berfungsi lagi. Pencemaran berakibatkan kualitas lingkungan menurun, akan berakibat fatal apabila tidak dapat dimanfaatkan sebagaimana fungsi sebenarnya. Pencemaran karena limbah rumah sakit yang masih murni, belum melalui proses pengolahan (Waste Water Treatment) atau meskipun sudah tetapi proses pengolahannya belum baik, menyebar ke wilayah bebas. Lambat laun dampaknya pada lingkungan akan terasa, barangkali hanya soal menunggu waktu saja. Menyadari akan hal itu, maka setiap kegiatan yang pada dasarnya menimbulkan menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup, perlu dengan perkiraan pada perencanaan awal, sehingga dengan cara demikian dapat dipersiapkan langkah pencegahan maupun penangggulangan dampak negatifnya dan mengupayakan dalam bentuk pengembangan dampak positif dari kegiatan tersebut. Menghadapi keadaan demikian, Pemerintah tidak tinggal diam dan merasa mempunyai kepentingan untuk mengaturnya guna menjaga kelesatrian fungsi lingkungan hidup sehingga pembangunan berkelanjutan dapat tercapai, maka dikeluarkan instrumen hukumnya berupa UUPPLH dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
38
Dilihat dari perspektif proteksi lingkungan hidup, karakteristik Amdal dipahami sebagai ruang lingkup peraturan hukum yang berfungsi sebagai instrumen penjaga keseimbangan lingkungan hidup, sehingga kepentingan masyarakat akan lingkungan hidup yang baik dan sehat dalam kehidupannya dapat terpenuhi. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Empay yang menyatakan bahwa sampai saat ini rumah sakit Umum Daerah Kelas B Kabupaten Subang belum memiliki Amdal tapi proses pembuatannya sedang berjalan, ternyata proses Amdal masih terlalu lamban dan birokratis serta membutuhkan biaya yang tidak sedikit. 4 Kendala tersebut dianggap merupakan suatu masalah yang menghambat, sehingga tujuan untuk mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dengan mengutamakan adanya Amdal akan pula mengalami hambatan. Padahal harus disadari bahwa Amdal merupakan faktor penting untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup. Kendala tersebut diakui pula oleh Otto Soemarwoto, yang menyatakan bahwa analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) terlalu birokratis. Berbagai pihak yang berkepentingan merasakan hal itu. Proses pembuatannya pandang dan makan waktu. Namun sampai sejauh ini belum juga dikoreksi. Amdal dari segi ilmiah merupakan satu komponen di dalam studi kelayakan yang terdiri atas enjenering, ekonomi dan lingkungan. Sekarang kesulitannya peraturan pemerintah tidak demikian. Peraturan itu memisahkan Amdal dari enjenering dan ekonomi studi kelayakan, yang biasanya jalan sendiri-sendiri. 5 Pernyataan Otto tersebut kemudian diperkuat oleh Surna T. Djajadiningrat ketika memberikan tanggapan hasil studi penguatan kapasitas Amdal yang dikerjakan Walhi bahwa terdapat persepsi yang berbeda mengenai Amdal antara pemerintah, pemrakarsa, dan konsultan. Ini merupakan salah satu hambatan bagi pelaksanaan Amdal selama ini yang menjadi kewajiban bagi proyek-proyek pembangunan yang mempunyai dampak penting bagi lingkungan sesuai dengan Peraturan Pemerintah. 6 Pemerintah menganggap Amdal hanya sebagai suatu alat untuk pengambilan keputusan, sehingga Amdal dianggap sebagai input managerial apakah suatu proyek diterima atau ditolak atau harus dimodifikasi. Persepsi kedua pemerintah melihat Amdal bersifat multidimensional dalam pendekatannya. Amdal harus ilmiah, harus mempunyai bobot hukum, dan harus operasional. Ketersediaan sumber daya manusia yang profesional dan pemilihan jenis teknologi pengolahan limbah yang tepat sebagai bagian penting dalam pengelolaan limbah rumah sakit, secara teknis-operasional berkemampuan mengurangi beban pencemaran limbah rumah sakit, dan berimplikasi positif karena rumah sakit yang bersangkutan dapat mencegah dampak negatif aktivitasnya yang membahayakan lingkungan hidup. Pada umumnya, limbah yang dihasilkan oleh rumah sakit adalah limbah medis. Limbah medis kebanyakan sudah terkontaminasi oleh bakteri, virus, racun, dan bahan radioaktif yang berbahaya bagi manusia dan makhluk lain di sekitar lingkungannya. Limbah medis termasuk ke dalam kategori limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun), dan oleh karena itu harus dikelola dengan baik. Landasan yuridis dari pengendalian dan pengelolaan limbah rumah sakit sebagai realisasi prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, tertuang dalam Pasal 59 ayat (1) 4
5 6
Hasil wawancara dengan Empay Parsiah Rosmawati Bagian Kesehatan Lingkungan di Instalasi Pengolahan Sanitasi Rumah Sakit Umum Daerah Kelas B Kabupaten Subang tanggal 3 Juni 2010. Kompas, 25 Juni 1993. M. Arief Nurdu’a (et all), Hukum Lingkungan Perundang-undangan serta Berbagai Masalah dalam Penegakannya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 94.
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
39
UUPPLH yang menyatakan, bahwa : “Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya”. Bentuk pengelolaan bahan berbahaya dan beracun menurut Pasal 58 ayat (1) UUPPLH adalah meliputi menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang dan/atau membuang, mengolah dan/atau menimbun. Landasan operasionalisasi pengelolaan bahan berbahaya dan beracun oleh rumah sakit mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001. Selanjutnya, landasan teknis operasionalnya adalah Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Berdasarkan hasil pengamatan terlihat bahwa Rumah Sakit Umum Daerah Kelas B Kabupaten Subang sudah menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit (Hospital by Law), berupa Protap (Prosedur Tetap) mengenai penanganan limbah padat (medis dan nonmedis) dan limbar cair sejak tahun 2004. Protap tersebut mengatur setiap tahap penanganan limbah rumah sakit, mulai dari tahap pemilahan, pewadahan/pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan serta pemusnahan. Penentuan atau pengidentifikasian karakteristik berbahaya dan beracun dari limbah suatu bahan yang dicurigai, merupakan langkah awal yang paling mendasar dalam upaya penanganan limbah rumah sakit. Dengan diketahuinya karakteristik limbah, maka suatu upaya penanganan terpadu yang terdiri dari pengendalian (controll), pengurangan (reduction/minimitation), pengumpulan (collecting), penyimpanan (storage), pengangkutan (transportation), pengolahan (treatment), dan pembuangan akhir (final disposal) akan dapat diterapkan. Guna mendapatkan suatu sistem pengendalian dan pengelolaan limbah rumah sakit yang optimum dan berhasil guna, maka strategi penanganan yang diterapkan pada prinsipnya dengan mengusahakan hal-hal sebagai berikut : a. b. c. d. e. f.
Hazardous Waste Minization, adalah mengurangi sampai seminimum mungkin jumlah limbah kegiatan rumah sakit; Daur ulang dan recovery, dimaksudkan memanfaatkan kembali sebagai bahan baku dengan metode daur ulang atau revovery. Proses pengolahan. Proses ini untuk mengurangi kandungan unsu beracun sehingga tidak berbahaya dengan cara mengolahnya secara fisika, kimia, dan biologi, Secured Landfill, cara ini mengonsentrasikan kandungan limbah B3 dengan fiksasi kimia dan pengapsulan, selanjutnya dibuang ke tempat pembuangan aman dan terkontrol. Proses detoksifikasi dan netralisasi. Netralisasi untuk menghasilkan kadar racun. Insinerator, yaitu memusnahkan dengan cara pembakaran pada alat pembakar khusus.
Hal yang sangat ironis bahwa pembuangan limbah rumah yang tergolong limbah B3 tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001, padahal salah satu masalah krusial dalam upaya preventif pencemaran lingkungan hidup adalah masalah pembuangan limbah medis rumah sakit yang bersifat berbahaya dan beracun. Kurangnya perhatian terhadap aspek pembuangan bahan berbahaya dan beracun ini oleh pemerintah sebagai regulator dalam pengendalian dampak lingkungan hidup, dalam jangka panjang dapat berakibat kurang baik terhadap eksistensi kelangsungan lingkungan hidup di masa depan.
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
40
Terlepas dari itu, dalam UUPPLH sangat menekankan asas precoutionary, yaitu tindakan preventif, yang pada intinya mengatur tentang upaya preventif agar tidak terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan. Upaya preventif dalam rangka pengendaalian dampak lingkungan hidup perli dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan. Oleh karena itu, limbah rumah sakit harus dikendalikan dan dikelola dengan baik sebagai aktualisasi dari prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. 2.
Pelaksanaan Pengendalian dan Pengelolaan Limbah Rumah Sakit Berdasarkan Fungsi Pelestarian Kemampuan Lingkungan dalam Pembangunan Berkelanjutan
Salah satu prinsip hukum lingkungan yang menjadi landasan dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia adalah prinsip pelestarian fungsi lingkungan hidup. Prinsip ini dimaknai sebagai bagian dari upaya mewujudkan lingkungan hidup agar terhindar dari risiko pencemaran atau perusakan lingkungan hidup akibat kecerobohan atau kelalaian pihak-pihak yang terkiat dengan kegiatan yang dilakukannya, seperti kegiatan rumah sakit. Asas kelestarian dan keberlanjutan ini menurut Penjelasan Pasal 2 UUPPLH mengandung makna : “Setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dn terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup”. Intensitas kegiatan rumah sakit menghasilkan berbagai macam limbah yang berupa benda cair, padat dan gas, yang cepat atau lambat berimplikasi pula pada timbulnya risiko pencemaran lingkungan hidup. Oleh karena itu, upaya penerapan prinsip hukum pelestarian fungsi lingkungan hidup dengan konsisten sekurangkurangnya dapat mencegah lingkungan hidup terhindar dari ancaman dan pencemaran limbah rumah sakit, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Landasan penerapan prinsip hukum perlestarian fungsi lingkungan hidup tersebut merujuk pada ketentuan Pasal 67 menyatakan bahwa : “Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup”. Sementara itu, Pasal 68 UUPPLH menegaskan sebagai berikut : “Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban : a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu; b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup, dan c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau keriteria baku kerusakan lingkungan hidup”. Merujuk landasan hukum prinsip kelestarian fungsi lingkungan hidup tersebut, semestinya menggugah kesadaran manajemen rumah sakit untuk memperhatikan dengan cermat dampak-dampak negatif yang dapat memunculkan gangguan terhadap keseimbangan dan kelestarian fungsi lingkungan hidup akibat kelangsungan usaha atau kegiatannya. Gangguan terhadap keseimbangan dan kelestarian fungsi lingkungan hidup ini, pada realitasnya lebih disebebkan oleh adanya pencemaran
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
41
limbah rumah sakit yang dampaknya tetap mengkhawatirkan kelangsungan fungsi lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat. Prinsip hukum pelestarian fungsi lingkungan hidup pada dasarnya adalah sebuah prinsip yang menghendaki upaya konkrit di lapangan untuk mewujudkan eksistensi kelestarian fungsi lingkungan hidup secara terus-menerus dari ancaman pencemaran atau kerusakan akibat kecerobohan dan kelalaian yang dilakukan oleh manajemen rumah sakit. Landasan pemikiran yang melandasi prinsip ini adalah proses atau cara yang tepat untuk melakukan beragam upaya untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup tetap seperti keadaan semula melalui penaatan terhadap ketentuan baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Upaya konkrit yang dimaksud adalah upaya pengendalian dan pengelolaan limbah rumah sakit, baik limbah padat medis (sampah medis dan nonmedis maupun limbah cair), yang merupakan upaya untuk mengurangi pencemaran lingkungan. Karakteristik limbah rumah sakit sebagaimana dipahami mengandung bahan-bahan oganik dan anorganik yang berpotensi merusak kelestarian fungsi lingkungan hidup secara permanen, karena bahan-bahan ini mengandung zat kimia yang jika dibuang sembarangan dapat membahayakan kehidupan masyarakat dan lingkungan hidup. Oleh karena itu, limbah rumah sakit harus dikelola dengan baik. Kegiatan rumah sakit yang sangat kompleks tidak saja memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitarnya, tetapi juga mungkin dampak negatif. Dampak negatif itu berupa pencemaran akibat proses kegiatan maupun limbah yang dibuang tanpa pengelolaan yang benar. Pengelolaan limbah rumah sakit yang tidak baik akan memicu resiko terjadinya kecelakaan kerja dan infeksi nosokomial di lingkungan rumah sakit. Oleh sebab itu, untuk menjamin keselamatan dan kesehatan kerja maupun orang lain yang berada di lingkungan rumah sakit dan sekitarnya, perlu penerapan kebijakan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja, dengan melaksanakan kegiatan pengendalian dan pengelolaan serta minotoring limbah rumah sakit sebagai salah satu indikator penting yang perlu diperhatikan. Rumah sakit sebagai institusi yang sosio-ekonomis karena tugasnya memberikan pelayanan kesehatakan kepada masyarakat, tidak terlepas dari tanggung jawab pengelolaan limbah yang dihasilkan. Apalagi limbah medis termasuk dalam kategori limbah berbahaya dan beracun sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 jo Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 199, Lampiran I Daftar Limbah Spesifik dengan kode limbah D.227. Dalam kode limbah D.227 tersebut disebutkan bahwa limbah rumah sakir dan limbah klinis yang termasuk limbah B3 adalah limbah klinis, produk farmasi kadaluarsa, peralatan laboratorium terkontaminasi, kemasan produk farmasi, limbah laboratorium, dan residu dari proses insinerasi. Berdasarkan hasil pengamatan mengindikasikan rumah sakit telah melakukan pemilahan limbah dan menyimpannya dalam kantong plastik yang berbeda-beda berdasarkan karakteristik limbahnya. Limbah domestik dimasukkan kedalam plastik berwarna hitam, limbah infeksius kedalam kantong plastik berwarna kuning, limbah sitotoksic kedalam warna kuning, limbah kimia/farmasi kedalam kantong plastik berwarna kuning. RSUD Kelas B Subang sudah melaksanakan proses pemilahan dan pewadahan dengan baik sesuai yang dipersyaratkan dalam Kepmenkes Nomor 1204/Menkes/SK/ X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Limbah padat medis sebaiknya diangkut sesering mungkin sesuai dengan kebutuhan. Sementara menunggu
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
42
pengangkutan untuk dibawa ke insinerator, limbah padat medis harus diupayakan sebagai berikut :
a. b. c. d. e.
Disimpan dalam kontainer yang tertutup rapat. Disimpan di lokasi/tempat yang strategis, merata dengan ukuran yang disesuaikan dengan frekuensi pengumpulannya dengan kantong berkode warna yang telah ditentukan secara terpisah. Diletakkan pada tempat kering/mudah dikeringkan, lantai yang tidak rembes, dan disediakan sarana pencuci. Aman dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab, dari binatang, dan bebas dari infestasi serangga dan tikus Terjangkau oleh kendaraan pengumpul sampah.
Pengangkutan limbah padat harus menggunakan kereta/troli yang didesain sedemikian rupa sehingga permukaan harus licin, rata dan tidak tembus, tidak akan menjadi sarang serangga, mudah dibersihkan dan dikeringkan, sampah tidak menempel pada alat angkutan, dan sampah mudah diisikan, diikat dan dituang kembali. Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan terdapat kekurangan dalam pengangkutan sampah medis ini adalah digunakannya alat pengangkutan bersamaan dengan sampah nonmedis dalam kantong plastik berwarna hitam, sehingga sering terjadi percampuran sampah dan adanya tumpahan cairan pada dasar bak pengangkut. Jalur pengangkutan sampah medis menggunakan jalur tersendiri, tidak bersamaan dengan jalur pengunjung. RSUD Kelas B Subang memiliki tempat penyimpanan sementara limbahnya, yaitu dekat fasilitas insinerator yang luasnya kira-kira 23 m3 dan apabila dilihat eksistensinya sudah memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Bapedal Nomor 01 Tahun 1995. Pelaksanaan pengendalian dan pengelolaan limbah infeksius RSUD Kelas B Subang menggunakan teknologi insinerator. Artinya RSUD Kelas B Subang sudah memiliki instalasi pengolahan limbah infeksius (insinerator), sudah memenuhi ketentuan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Efektivitas proses insinerator diukur dengan menghitung efisiensi penghancuran dan penghilangan (DRE/Destruction and Removal Effeciency) dan Efisiensi Pembakaran. Nilai efisiensi ini disyaratkan mendekati 100% (99,99% s.d 99,9999%) tergantung pada parameternya. Cara ini seringkali sulit dilaksanakan karena terhambat kemampuan alat laboratorium dan pendanaannya, sehingga untuk mengetahui efektivitas kerja insinerator untuk mudahnya digunakan parameter sederhana dengan melihat suhu pembakaran (0C). Untuk mengevaluasi efektivitas ini, maka semakin suhu pembakaran mencapai diatas 1000C akan semakin baik efektivitasnya. Perlu dicermati bahwa timbulnya gas dioksin dalam emisi insinerator adalah pada suhu 3000C-4000C, sehingga diupayakan insinerator jangan dioperasikan pada rentang suhu tersebut. Kualitas emisi insinerator menjadi penting mengingat gas dan partikulat yang timbul dapat menyebabkan masalah gangguan kesehatan masyarakat yang serius. Untuk mengevaluasi kualitas emisi insinerator dilakukan dengan cara melakukan uji kualitas emisi gas pada stack insinerator kemudian hasilnya dibandingkan dengan baku mutu emisi udara insinerator sesuai dengan Keputusan Kepala Bapedal Nomor
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
43
03/Bapedal/1995 tentang Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Berbahaya dan Beracun. Apabila konsenrasi parameter terukur melebihi baku mutu, maka disimpulkan emisi gas buang insinerator tidak memenuhi syarat dan sebaliknya. Pengukuran emisi insinerator dilakukan setiap satu kali/tahun dengan merujuk pada laboratorium lingkungan yang telah terakreditasi. Dalam hal ini, pengukuran emisi insinerator di RSUD Kelas B Subang merujuk pada Laboratorium Pengendalian Kualitas Lingkungan PDAM Kota Bandung, dan hasilnya adalah 99,99% sesuai dengan ketentuan tersebut di atas. Pelaksanaan pengendalian dan pengelolaan limbah cair di RSUD Kelas B Subang menggunakan teknologi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Sudah memenuhi tuntutan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Evaluasi efisiensi IPAL perlu dilaksanakan secara periodik berdasarkan interval pengambilan sampel air limbah. Apabila sarana pelayanan kesehatan memiliki kewajiban untuk memeriksakan kualitas air limbah IPAL nya oleh Dinas Kesehatan/Bapedalda Kabupaten Subang setiap 3 bulan sekali, maka evaluasi efisiensi dilakukan setiap 3 bulan sekali. Tujuannya adalah untuk mengetahui kemampuan sistem IPAL untuk menurunkan konsentrasi parameter air limbah tertentu pada kondisi sebelum (inlet) dan sesudah proses (outlet). Bagi pengelola sarana pelayanan kesehatan, evaluasi ini dapat dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan program operasional dan pemeliharaan IPAL. Evaluasi efisiensi biasanya dilakukan terhadap parameter BOD/COD, karena parameter penurunan BOD/COD dapat dijadikan sebagai justifikasi bagi penurunan parameter lain. Tingginya nilai efisiensi IPAL tidak menjadi penentu bahwa IPAL telah memiliki unit operasi dan unit proses yang baik. Keberhasilan kinerja IPAL sangat ditentukan dengan hasil analisis kualitas outlet IPAL dengan cara membandingkan dengan baku mutu air limbah. Apabila efisiensi IPAL tinggi, sementara kualitas outlet berada di atas baku mutu air limbah, maka IPAL dinilai gagal memenuhi persyaratan (kinerja buruk) dan sebaliknya. Keberhasilan kinerja suatu IPAL hanya dapat dinilai dengan nilai konsentrasi limbah hasil analisis laboratorium. Pendekatan evaluasi kualitas air limbah IPAL adalah dengan cara membandingkan konsentrasi parameter air limbah outlet (hasil olahan) IPAL dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 58/MENLH/12/1995 tentang Limbah Cair Rumah Sakit. Produk samping dari IPAL adalah Lumpur/sludge. Beberapa ahli berpendapat bahwa Lumpur IPAL sarana pelayanan kesehatan termasuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), karena diprediksi mngandung logam berat dan bahan berbahaya dan beracun lainnya. Menurut Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor : 04/BAPEDAL/09/1995 tentang Persyaratan pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, pada Lampiran II diuraikan unsur-unsur limbah B3 pada sarana pelayanan keehatan, khususnya rumah sakit namun tidak tercantum Lumpur IPAL. Apabila Lumpur IPAL ini termasuk kategori limbah B3, maka cara pembuangannya harus diolah pada badan usaha pengolahan limbah B3 yang sudah mendapat ijin dari KLH, seperti: PPLI Cileungsi, PT. Wastec Serang dan lain-lain. Guna mengetahui apakah Lumpur IPAL pada suatu sarana pelayanan kesehatan termasuk limbah B3, maka perlu dilakukan uji toksisitas/TCLP. Apabila terbukti tidak mengandung unsur B3, maka Lumpur tersebut dapat dimanfaatkan untuk kegunaan lain, seperti media tanam, pupuk dan lain-lain. Untuk mengevaluasi kualitas Lumpur IPAL dilakukan dengan cara mengambil sampel Lumpur basah dan kering sebanyak 2
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
44
kg untuk diperiksakan di laboratorium lingkungan. Evaluasi hasil analisis dilakukan dengan membandingkan dengan baku mutu sesuai dengan Keputusan Bapedal Nomor 04/Bapedal/09/1995. Apabila konsentrasi seluruh parameter berada di bawah baku mutu, maka Lumpur dapat dikatakan tidak termasuk dalam kategori limbah B3. Kualitas Lumpur IPAL RSUD Kelas B Subang setelah diuji oleh Laboratorium Pengendalian Kualitas Lingkungan PDAM Kota Bandung menunjukkan hasil di bawah baku mutu, maka Lumpur IPAL tidak termasuk dalam kategori limbah B3, sedangkan kualitas air limbah pada IPAL menunjukkan TSS (28 mg/l), BOD (20 mg/l), COD (39,5 mg/l), dan PH (7,49) sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 58 tahun 1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit, hanya untuk zat amoniak (0,28 mg/l) dan fosfat (2,42 mg/l) masih di atas ambang batas baku mutu lingkungan hidup. Hasil uji kualitas effluen limbah cair rumah sakit menunjukkan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Bapedal Nomor 58/MENLH/12/1995 tentang Limbah Cair Rumah Sakit. Dengan demikian, pelaksanaan pengendalian dan pengelolaan limbah cair rumah sakit tergolong masih buruk, sehingga berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan. Pengendalian dan pengelolaan limbah cair rumah sakit di RSUD Subang dengan menyediakan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), menyediakan sumber daya manusia (SDM) sebagai pendukung dan sarana lainnya, mendeskripsikan komitmen dan kesadaran pihak rumah sakit akan pentingnya mencegah pencemaran lingkungan, meskipun pada kenyataannya hasilnya masih diatas ambang batas baku mutu lingkungan hidup. Selain rumah sakit memiliki IPAL, juga harus memiliki surat pernyataan pengelolaan lingkungan (SPPL) dan surat izin pengolahan limbah cair. Kenyataan menunjukkan bahwa RSUD Kelas B Kabupaten Subang menurut Rahmat Noor bahwa sampai saat ini operasionalisasi IPAL belum memiliki Izin Pembuangan Limbah Cair (IPLC), selain sangat birokratis juga memerlukan biaya yang tidak sedikit. 7 Beberapa hal yang patut jadi pemikiran bagi pengelola rumah sakit, dan jadi penyebab tingginya tingkat penurunan kualitas lingkungan dari kegiatan rumah sakit, antara lain disebabkan kurangnya kepedulian manajemen terhadap pengelolaan lingkungan karena tidak memahami masalah teknis yang dapat diperoleh dari kegiatan pencegahan pencemaran, kurangnya komitmen pendanaan bagi upaya pengendalian pencemaran karena menganggap bahwa pengelolaan rumah sakit untuk menghasilkan uang bukan membuang uang mengurusi pencemaran. Kurang memahami apa yang disebut produk usaha dan masih banyak lagi kekurangan lainnya. Untuk itu, upayaupaya yang harus dilakukan rumah sakit adalah, mulai dan membiasakan untuk mengidentifikasi dan memilah jenis limbah berdasarkan teknik pengolahan (limbah B3, infeksius, dapat diguna pakai atau didaur ulang), meningkatkan pengendalian dan pengelolaan limbah serta pengawasan dan pengendalian terhadap pembelian dan penggunaan, pembuangan bahan kimia, baik B3 maupun non-B3 dan meningkatkan pengetahuan karyawan terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan melalui pelatihan dengan materi pengolahan bahan, pencegahan pencemaran, pemeliharaan peralatan serta tindak gawat darurat.
7
Hasil wawancara dengan Rahmat Noor, Kepala Bagian IPAL RSUD Kelas B Kabupaten Subang tanggal 2 Juni 2010.
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
45
Salah satu cara untuk mengetahui tingkat pentaatan suatu sarana pelayanan kesehatan adalah dengan melakukan pengawasan dan pemantauan (inspeksi). Pengawasan dan pemantauan ini merupakan suatu kegiatan pengawasan agar pengelola sarana pelayanan kesehatan mentaati semua ketentuan perundangan lingkungan hidup dan kesehatan dan persyaratan (baku mutu, ambang batas) limbah. Oleh karena itu kegiatan pengawasan dan pemantauan yang rutin dan terprogram harus dilakukan secara terpadu dan ditindaklanjuti dengan langkah kongkrit yaitu memberikan pujian (apresiasi) bagi yang taat dan memberikan sanksi bagi yang melanggar, sehingga pengelola sarana pelayanan kesehatan dapat meningkatkan kemauan dan kemampuan untuk melaksanakan semua ketentuan yang berlaku. Sesuai ketentuan Pasal 67 UUPPLH, aparat pemerintah dapat melakukan pengawasan dalam bentuk melakukan pemantauan, meminta keterangan, memasuki tempat tertentu, memotret, membuat rekaman audio visual, mengambil sampel, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi dan/atau alat transfortasi dan menghentikan pelanggaran tertentu. Lemahnya fungsi pengawasan dan pemantauan ini oleh instansi terkait serta kurang tanggapnya aparatur dalam menangani persoalan lingkungan menjadikan pendayagunaan hukum administrasi sangat lemah sekali peranannya. Oleh karena itu, harus diciptakan satu sistem kelembagaan yang efisien dan efektif mulai tingkat pusat sampai daerah yang profesional. Sebagaimana dikatakan oleh Hambar Martono yang menyatakan bahwa berbagai kerusakan lingkungan hidup yang terjadi saat ini sering kali disebabkan oleh sistem pengelolaan belum efektif dan efisien, karena lemahnya pengawasan dan kurang tanggapnya apatur dalam menangani persoalan lingkungan. 8 Demikian pula Mas Ahmad Santosa menyatakan bahwa instansi pemberi izin tidak memiliki kegiatan pengawasan dan pemantauan yang terencana dan terprogram dengan baik. Kegiatan pengawasan, pemeriksaan dan pemantauan baru dilakukan setelah timbul keluhan masyarakat tentang adanya pencemaran atau kerusakan lingkungan. Selain daripada itu, izin-izin HO yang diterbitkan ternyata tidak memuat ketentuan-ketentuan tentang kegiatan pemantauan yang harus dilakukan oleh pemegang izin HO dan pada prakteknya persyaratan-persyaratan dalam izin sifatnya sangat umum. 9 Pada kenyataannya, walaupun telah berjalan lama sejak pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, yang diberlakukan efektif pada tahun 1991 sangat jarang Pemda Propinsi mengeluarkan izin dimaksud. Oleh karenanya, industri atau rumah sakit yang telah mengantongi izin pembuangan limbah cair di Indonesia masih sangat jarang sekali, termasuk RSUD tidak memiliki izin pembuangan, baik limbah padat maupun limbah cair. 3.
Upaya Hukum yang Dapat Dilakukan oleh Masyarakat Berkaitan dengan Pelaksanaan Pengendalian dan Pengelolaan Limbah Rumah Sakit
Pada prinsipnya apabila pengendalian dan pengelolaan limbah rumah sakit tidak baik, tentu cepat atau lambat berisiko terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sebagai akibat buangan limbah dari hasil kegiatannya, apalagi tidak memiliki Amdal, Izin Pengorperasian Insinerator dan izin Pembuangan Limbah Cair (IPLC), maka upaya hukum yang dapat dilakukan oleh anggota masyarakat biasa sebagai korban yang mengalami kerugian (affected people), dapat pula melalui LSM 8 9
Syachrul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm. 201. Mas Achmad Santosa, Good Governance dan Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta, 2001, hlm. 195.
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
46
(Lembaga Swadaya Masyarakat) yang bergerak dalam bidang lingkungan seperti WALHI dan lain-lain adalah melalui jalur pengadilan (litigasi) dan jalur diluar pengadilan (nonlitigasi), sebagaimana ditentukan dalam Pasal 84 UUPPLH yang menegaskan: “(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. (2) Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa. (3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak yang bersengketa.” Gugatan yang diajukan oleh masyarakat atau oleh LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup, gugatannya disebut legal standing atau ius standi atau persona standi, ataupun melalui prosedur class action. Hak gugat masyarakat ini di atur dalam Pasal 91 UUPPLH yang berbunyi : “(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. (2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. (3) Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Ketentuan Pasal 91 di atas, mengisyaratkan bahwa di Indonesia belum diterapkan yang disebut acara singkat, berbeda dengan Belanda yang mengenal dan menerapkan acara singkat dalam hukum perdata, sehingga di Indonesia menerapkan acara biasa juga terhadap gugatan dalam sengketa lingkungan. Dapat dibayangkan prosesnya akan berlarut-larut sekedar untuk mendapatkan kepastian hukum dalam hal ganti kerugian, karena dimungkinkan akan menempuh upaya banding dan upaya kasasi. Gugatan perdata dalam kasus pencemaran lingkungan dapat dilakukan oleh masyarakat secara class action atau gugatan perwakilan (kelompok), yakni merupakan prosedur beracara dalam perkara perdata yang memberikan hak prosedural terhadap satu atau sejumlah orang (orang yang tidak banyak), bertindak sebagai penggugat yang memperjuangkan kepentingan para penggugat itu sendiri, dan sekaligus mewakili orang banyak yang mengalami persamaan penderitaan atau kerugian. Gugatan masyarakat atau actio popularis dapat dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat melalui mekanisme legal standing terhadap industri atau pelaku usaha dan/atau kegiatan yang dipandang mencemari atau merusak lingkungan dengan alasan kepentingan umum atau kepentingan masyarakat. Hal ini di atur dalam Pasal 92 UUPLH dinyatakan bahwa : “(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. (2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
47
(3) Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi persyaratan : a. berbentuk badan hukum; b. menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup, dan c. telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun”. Lembaga Swadaya Masyarakat di pengadilan bukanlah sebagai pihak yang langsung mengalami penderitaan (aggrieved party), dan bukan juga sebagai kuasa dari mereka yang menjadi penderita. Hanya kehadiran LSM dalam konteks kepentingan masyarakat atau kepentingan umum, sebagaimana dinyatakan oleh M. Yahya Harahap, yang menyatakan bahwa legal standing atau gugatan yang diajukan oleh LSM, dimana LSM ini secara langsung bukanlah pihak yang mengalami kerugian (karena yang mengalami kerugian langsung adalah masyarakat), dalam hal ini LSM bertindak mewakili kepentingan kelompok masyarakat yang mengalami kerugian tersebut didasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. 10 Menurut Syachrul Mahmud, terdapat beberapa persyaratan agar LSM dapat bertindak atau mempunyai hak legal standing tersebut, seperti: 11 a. Harus berbentuk Badan Hukum atau Yayasan; b. Tujuan didirikannya LSM tersebut secara jelas dan tegas terbaca dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya; c. Dalam kesehariannya benar melakukan kegiatan yang sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga tersebut. UUPPLH dengan tegas membatasi hak mengajukan gugatan Lembaga Swadaya Masyarakat atau organisasi lingkungan hidup untuk melakukan tindakan tertentu saja, tanpa ada tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil saja. Terlepas dari itu, yang esensi diaturnya class action adalah untuk mengefektifkan atau mengefisienkan proses penyelesaian sengketa atau perkara yang menyangkut kepentingan umum atau kepentingan masyarakat. Selain melalui gugatan class action, gugatan perdata juga dapat dilakukan pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagai instansi yang bertangung jawab dalam bidang lingkungan hidup untuk kepentingan masyarakat atau dalam istilah lain sebagai wali lingkungan. Dasar hukumnya bisa dilihat Pasal 90 UUPPLH yang menyatakan, bahwa : “(1) Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan 10
11
Dasar pertimbangan diterimanya LSM sebagai pihak dalam berperkara di pengadilan sebagai berikut : a. Pasal 65 UUPPLH, hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia, b. Pasal 67 UUPPLH, hak dan kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, c. Pasal 70 UUPPLH, hak masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, d. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, hak setiap orang mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan, e. Hak-hak subjektif seperti diatur dalam Pasal 65, 67, 70 UUPPLH dan Pasal 6 UU Kesehatan memberikan hak kepada pemiliknya untuk menuntut melalui prosedur hukum termasuk melalui Pengadilan. Lihat M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 139 Syahcrul Mahmud, Op.Cit., hlm. 97.
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
48
tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.” Realisasi pasal tersebut, dimungkinkan atas dasar konteksnya adalah kepentingan umum, sehingga negara atau badan negara dapat menuntut perdata melalui jalur perbuatan melanggar hukum. Sebagai instrumen keperdataan, pemerintah dapat menuntut agar dikenakan larangan atau perintah, di samping tentu wewenang pemerintah di bidang hukum publik (administratif), seperti penarikan izin, paksaan administratif, uang paksa, dan lain-lain. Upaya penyelesaian sengketa pencemaran lingkungan yang dilakukan melalui jalur pengadilan terdapat persoalan yang berkaitan dengan masalah pembuktian. Dalam hukum perdata upaya untuk membuktikan dan menentukan siapa yang telah melakukan perbuatan melawan hukum, diatur asas liability based on fault. Unsur kesalahan bersifat menentukan pertanggungjawaban, yang berarti bila tidak terbukti adanya kesalahan, maka tidak ada kewajiban untuk memberi ganti rugi. Asas tersebut dinilai akan memberatkan pihak yang melakukan gugatan, karena untuk melakukan tuntutan ganti rugi pihak penggugat harus bisa membuktikan adanya unsur kesalahan pada pihak tergugat. Berhubungan dan perkembangan teknologi yang menimbulkan risiko semakin tinggi terhadap perubahan lingkungan, ketentuan asas tersebut tidak akan efektif apabila tetap diterapkan, karena itu menurut ketentuan UUPPLH diterapkan asas yang dikenal dengan tanggung jawab mutlak (strict liability), yaitu beban pembuktian diserahkan pada pihak tergugat untuk pembuktian bahwa dirinya tidak bersalah. Penerapan asas tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa beban pembuktian seyogyanya diserahkan kepada pihak yang mempunyai kapabilitas terbesar untuk memberikan bukti-bukti dalam menyelesaikan suatu perkara, karena apabila terjadi pencemaran lingkungan yang diakibatkan karena kegiatan usahanya, maka pihak yang mempunyai kapabilitas terbesar untuk melakukan pembuktian adalah pihak pengusaha. Berkaitan dengan itu, Mas Achmad Santoso menyatakan bahwa Masyarakat perlu meningkatkan kemampuannya, agar keterlibatannya di wilayah-wilayah publik, termasuk di bidang lingkungan menjadi lebih substansial dan terarah. Peran LSM dan Organisasi Lingkungan dituntut tidak hanya galak atau asal berbeda pandangan dengan pemerintah, akan tetapi diperlukan pemikiran-pemikiran yang siap pakai untuk mengatasi berbagai masalah pembangunan dan lingkungan hidup. 12 Menurut Satjipto Rahardjo, bahwa penanganan penyelesaian sengketa yang menempatkan masalah pada tataran yang simpel yang penyelesaiannya juga simpel, laksana menarik garus lurus antara dua titik. Karena itu, modus penanganannya menjadi linier, hitam putih, dan matematis. Menurutnya, orang cukup bertanya “apa bunyi peraturannya”?, dan “ikut saja itu”, maka segalanya akan selesai. Dalam aturan yang hitam putih itulah yang dijalankan, yang tidak di situ tidak perlu dijalankan. Dunia atau masyarakat dimasuk-masukkan ke dalam rumusan peraturan, skema, atau bagan, dan pengotakan secara eksak. Di sini konstuksi mengabaikan realitas. 13
12 13
Mas Achmad Santosa, Op. Cit., hlm. 55. Satjipto Rahardjo, Formal dan Nonformal dalam Ketatanegaraan, Kompas 25 Oktober 2004.
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
49
Kegagalan hukum untuk membawa pelaku pada jeratan hukum oleh pengadilan disebabkan oleh sikap submisif terhadap kelengkapan hukum yang ada, seperti prosedur, doktrin, dan asas. Sebagai akibatnya hukum bisa menjadi safe haven bagi para pelaku. Jika dilihat dari optik hukum progresif, maka cara-cara dan praktek berhukum seperti itu sudah tergolong kontra progresif. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa pendekatan progresif menempatkan paradigma manusia yang membawa pendekatan ini memperdulikan faktor perilaku (behaviour, experience). Pendekatan hukum progresif adalah hukum untuk manusia, sedang pada ilmu hukum praktis manusia adalah untuk hukum dan logika hukum. Hukum dan ilmu hukum progresif lebih cenderung ke kreativitas dan menolah rutinitas logika peraturan. Di sinilah letak pencerahan pendekatan ilmu hukum progresif. 14 Penyelesaian sengketa lingkungan yang dilakukan lembaga pengadilan, selama ini belum bergeser dari pendekatan positifis formal dan prosedural. Aparat penegak hukum dalam merespon dan menyelesaikan berbagai persoalan lingkungan menunjukkan sikap yang formalis, deterministik, dan memberi peluang terjadinya perilaku eksploitatif di kalangan pelaku usaha (investor). Instrumen hukum yang dipakai hanya berorientasi porosedur dan tidak dapat diandalkan sebagai pilar utama untuk mengatasi problem lingkungan, sementara pencemaran lingkungan dalam proses waktu semakin sulit untuk dapat dikendalikan. Selain penyelesaian sengketa lingkungan yang diselesaikan di Pengadilan, maka dikenal pula penyelesaian sengketa diluar Pengadilan. Terdapat beberapa bentuk penyelesaian sengketa lingkungan di luar Pengadilan, seperti melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR), yaitu berupa mediasi atau konsiliasi. Istilah ”alternatif” dalam APS memang dapat menimbulkan kebingungan, seolah-olah mekanisme APS pada akhirnya “khususnya dalam sengketa bisnis” akan menggantikan proses litigasi di pengadilan. Dalam kaitan ini perlu dipahami terlebih dahulu bahwa APS adalah mekanisme penyelesaian sengketa yang berdampingan dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Selanjutnya, APS lazimnya dilakukan di luar yurisdiksi pengadilan. Sama seperti istilah pengobatan alternatif, bahwa pengobatan alternatif sama sekali tidak mengeliminasi pengobatan dokter. Bahkan terkadang keduanya saling berdampingan. Begitu juga dengan APS dan penyelesaian sengketa melalui pengadilan dapat berjalan saling berdampingan. Oleh karena itu, para hakim tidak perlu khawatir dengan digunakannya mekanisme APS, pengadilan menjadi kurang pekerjaannya. UUPPLH menganut paham bahwa arbitrase, di samping negosiasi, mediasi, dan konsiliasi merupakan bagian dari APS. Sedangkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa secara implisit menganut paham bahwa arbitrase merupakan hal yang berbeda dengan APS sehingga judul undang-undang tersebut adalah Arbitarse dan APS. Teknik atau prosedur teknis APS di luar pengadilan yang sudah lazim dilakukan adalah negosiasi, konsiliasi, mediasi, dan arbitrase. Arbitrase merupakan cara yang paling dikenal dan paling banyak digunakan oleh kalangan bisnis dan hukum. Teknik negosiasi, mediasi, dan konsiliasi tidak dikenal di Indonesia. Namun, secara tidak sadar masyarakat Indonesia telah menerapkan mekanisme APS, yakni yang disebut musyawarah untuk mufakat. Asas 14
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif sebagai Dasar Bangunan Ilmu Hukum Indonesia, Makalah Seminar Nasional Menggagas Ilmu Hukum Progresif Indonesia, Kerjasama IAIN Walisongo dengan IKA Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Dipenogoro, 8 Desember 2004, Semarang, hlm. 5
Law Enforcement : Jurnal Ilmu Hukum Vol. X No. 2, September 2014
50
musyawarah untuk mufakat telah lama dikenal dan dipromosikan oleh pemerintah sebagai suatu budaya bangsa Indonesia. Meskipun APS tidak dianggap sebagai pengganti dari forum pengadilan, namun jangan dilupakan bahwa faktanya APS dianggap sebagai alternatif oleh mereka yang sangat kritis terhadap sistem peradilan Indonesia. Kelambanan proses perkara (di Mahkamah Agung) dilihat sebagai kelemahan dari sistem peradilan dewasa ini. Kelemahan lainnya adalah sebagai kelemahan dari sistem peradilan dewasa ini. C.
Penutup
Pengendalian dan pengelolaan limbah rumah sakit merupakan aktualisasi dari asas pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, yang mengintegrasikan kepentingan ekonomi, kepentingan social dan kepentingan daya dukung lingkungan sehingga terhindar dari pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup. Pelaksanaan pengendalian dan pengelolaan limbah rumah sakit harus mengacu pada prinsip hukum pelestarian fungsi kemampuan lingkungan hidup dalam pembangunan berkelanjutan, mengingat prinsip pelestarian fungsi lingkungan hidup ini merupakan sebuah tuntutan yuridis yang tidak dapat terelakkan oleh pengelola rumah sakit untuk mencegah terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh masyarakat terhadap pengendalian dan pengelolaan limbah rumah yang tidak baik yaitu penyelesaian sengketa lingkungan melalui jalur pengadilan dan diluar pengadilan melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) dan Metode Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS) berupa arbitrase, mediasi dan konsiliasi. DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005. Daud Silalahi, Amdal dalam Sistem Hukum Lingkungan di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1995. E. Agustiani et.all, Penambahan PAC pada Proses Lumpur Aktif untuk Pengolahan Air Limbah Rumah Sakit : Laporan Penelitian. Surabaya: Fakultas Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember 1998. M. Arief Nurdu’a (et all), Hukum Lingkungan Perundang-undangan serta Berbagai Masalah dalam Penegakannya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993. M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005. Mas Achmad Santosa, Good Governance dan Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta, 2001. Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), dalam Yuridika Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember, 1994. Satjipto Rahardjo, Formal dan Nonformal dalam Ketatanegaraan, Kompas 25 Oktober 2004. Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif sebagai Dasar Bangunan Ilmu Hukum Indonesia, Makalah Seminar Nasional Menggagas Ilmu Hukum Progresif Indonesia, Kerjasama IAIN Walisongo dengan IKA Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Dipenogoro, 8 Desember 2004, Semarang. Syachrul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2007.