Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
PENGELOLAAN LIMBAH PETERNAKAN TERPADU DAN AGRIBISNIS YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN (Integrated Livestock Waste Management and Environmentally Agribussines) BAMBANG SUDIARTO Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Jl. Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Bandung 45363
ABSTRACT Beside the main products of livestock suchas meat, milk and eggs , husbandry wastes are produced and almost all of its content is organic matter. If it is well managed, this matter is very potential as beneficial resources, but conversely may cause enviromental pollution. In agribusiness, husbandry wastes are the main material to supply fertilizer needs. But, since the management is in adequate, most of husbandry wastes remain the main cause of environmental pollution. Integrated management of husbandry wastes, is one of alternative that can increase agribusiness effectivity, efficiency, and productivity along with increasing of environmental carrying capacity. Success of agriculture is affected by fertilizer availability, both in quality and quantity. Until recent day, most farmers are still using artificial fertilizer. Organic fertilizer still faces many problems to be considered. The artificial fertilizer , besides of its availability, unwisely use can affect the ecological balance leading to decreasing in environmental carrying capacity and agriculture productivity. The alternative solution is to increase produce organic fertilizer through management and utilization of husbandry wastes optimally for material to production of organic fertilizer based on the amount of need, quality, sustainable production system and low cost. Husbandry wastes management as fertilizer raw material must be carried out appropriately with natural rules, through bioconversion process. Based on trials, 1 kilogram husbandry wastes dry matter consisting faeces, urine, and feed residues , can produce 0.7 kilogram solid organic fertilizer , casting (vermicompost), 3 liter liquid organic fertilizer, and 0.5 kilogram earthworm biomass. Casting usage of 150 – 350 kilograms and 2 – 8 liter of liquid organic fertilizer without artificial fertilizer in paddy (Oryza sativa) IR-64, increase production 20% until 50% from production standard (5 – 6 ton/hectare). Addition of liquid organic fertilizer as much as 20 liter per hectare in potato ( Solanum tuberosum) can increase production to 50%. In chili plant (Capsicum anuum), casting usage of 1.5 – 2 ton per hectare and 20 – 30 liter per hectare liquid organic fertilizer and increase production on average 30%. In Chinese white cabbage (Brassica rapa convar. pekinensis) also known as petsai, casting usage by 1.5 ton per hectare and 20 – 30 liter per hectare liquid organic fertilizer can increase production until 35%. Earthworm biomass is animal protein source for livestock, fish, and shrimp feed as substitution of protein source that until now using imported soybean meal and fish powder. Based on the illustration above, integrated management of husbandry waste, is very potential to support Agriculture, Fishery, and Forestry Revitalization program that is undertaken by government presently. Key Words: Husbandry Wastes, Integrated Management, Bioconversion, Organic Fertilizer, Agribusiness, Environmentally Friendly ABSTRAK Dalam agribisnis, limbah peternakan merupakan bahan andalan pemenuhan kebutuhan pupuk. Namun, karena pengelolaannya yang belum memadai maka sebagian besar limbah peternakan justru masih menjadi penyebab utama pencemaran lingkungan. Pengelolaan limbah peternakan terpadu merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efektifitas, efisiensi dan produktivitas agribisnis disertai meningkatnya daya dukung lingkungan. Keberhasilan usaha pertanian tanaman, sangat dipengaruhi oleh ketersediaan pupuk. Sampai saat ini, sebagian besar masih menggunakan pupuk buatan, padahal selain ketersediaannya terus berkurang, penggunaan yang tidak bijaksana juga berdampak terhadap keseimbangan ekologis sehingga daya dukung lingkungan terus menurun dan produktivitas usaha pertanian rendah. Salah satu alternatif penanggulangan adalah meningkatkan produksi pupuk organik melalui pengelolaan dan pemanfaatan limbah peternakan secara optimal. Pengolahan limbah peternakan sebagai bahan baku pupuk
52
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
harus dilakukan sesuai dengan kaidah alamiah, yaitu melalui proses biokonversi. Dari hasil uji coba diperoleh informasi bahwa 1 kg bahan kering limbah peternakan, yang terdiri atas gabungan feses, urin dan sisa pakan menghasilkan 0,7 kg pupuk organik padat ”kascing” (vermi compost), 3 liter pupuk organik cair (POC) dan 0,5 kg biomassa cacing tanah. Penggunaan 150 – 350 kg ”kascing” dan 2 – 8 liter POC tanpa pupuk buatan pada tanaman padi dapat meningkatkan produksi 20 – 50% dari standar produksi padi 5 – 6 ton per ha. Penambahan POC 20 l/ha tanaman kentang, dapat meningkatkan produksi kurang lebih 50%. Pada tanaman cabe merah, penggunaan 1,5 – 2 ton ”kascing” dan 20 – 30 l POC dapat meningkatkan hasil rata-rata 30%. Pada tanaman sayuran jenis sawi putih (pecay), penggunaan 1,5 ton ”kascing” dan 20 l POC meningkatkan hasil kurang lebih 35%. Biomassa cacing tanah merupakan bahan baku sumber protein hewani pakan. Berdasarkan uraian di atas pengelolaan limbah peternakan secara terpadu sangat potensial mendukung program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yang sedang dijalankan oleh Pemerintah saat ini. Kata kunci: Limbah Peternakan, Pengelolaan Terpadu, Biokonversi, Pupuk Organik, Agribisnis, Ramah Lingkungan
PENDAHULUAN Perhatian terhadap pengelolaan limbah Walaupun pencemaran lingkungan diketahui sudah terjadi sejak beberapa abad yang lalu, namun perhatian yang serius baru tampak setelah pencemaran tersebut dirasakan menimbulkan berbagai jenis kerugian, baik material maupun non-material. Hal ini terjadi karena limbah yang dihasilkan sudah melebihi ambang batas daya dukung lingkungan secara alami yang tidak disertai dengan upaya pengelolaannya. Di Indonesia, khusus di bidang peternakan, limbah peternakan baru mendapat perhatian sejak dekade tahun 1980an. Berkembangnya perhatian tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: Pertama, pertambahan jumlah penduduk, yang tumbuh pesat sejak perang dunia ke-2, Kedua, pertumbuhan dan perkembangan teknologi perindustrian yang mampu memperbaiki kehidupan manusia lebih baik. Kedua faktor ini terhadap berakibat meningkatnya jumlah limbah yang dihasilkan dan sangat berpengaruh terhadap tingkat pencemaran lingkungan. Ketiga, perkembangan kesadaran masyarakat untuk melakukan perlindungan terhadap kondisi lingkungan agar kualitasnya tetap terjaga, terutama untuk memenuhi kebutuhan udara segar dan air bersih. Faktor ini berpengaruh terhadap meningkatnya pelayanan publik dan produksi limbah sehingga tingkat pencemaranpun ikut bertambah. Sebagai bentuk pelayanan publik dalam memenuhi kebutuhan komoditi hasil ternak, sektor peternakan secara terus menerus berupaya meningkatkan produksi peternakan,
baik kuantitas maupun kualitasnya. Salah satu cara adalah meningkatkan skala usaha bagi setiap peternak. Selama periode waktu itu, peternak mulai meningkatkan sistem pemeliharaan yang intensif dengan membangun kandang secara tertutup yang mampu menampung populasi ternak lebih banyak dan mempermudah perawatan. Mekanisasi dan potensi genetik ternak juga dikembangkan dengan pengawasan lingkungan yang ketat. Faktor ini mengakibatkan populasi ternak di suatu tempat sangat tinggi, sehingga menghasilkan limbah ternak yang tinggi pula di lokasi tersebut. Dalam banyak kasus, air larian (air permukaan) yang berasal dari kandang atau hasil penyiramannya membanjiri lahan sekitarnya dan mengakibatkan pencemaran terhadap badan air. Selain itu juga mengakibatkan pencemaran udara karena hasil penguraian bahan organik limbah ternak yang dibuang dengan cara hanya ditumpuk dan menggunung disuatu tempat tanpa penanganan yang benar dapat menghasilkan gas yang berbau dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Oleh karena itulah, muncul pemikiran dan upaya masyarakat untuk mengatasi masalah agar kerugian yang timbul akibat pencemaran limbah peternakan dapat dihindari. Pada prinsipnya, tujuan utama para produsen adalah diperolehnya keuntungan usaha dan pada saat yang sama kualitas lingkungan dapat mendukung kegiatan usaha tersebut. Hal ini diperlukan keseimbangan yang harmonis antara produksi, keuntungan dan kualitas lingkungan, walaupun pada banyak kasus ada konflik antara ketiga hal tersebut (Gambar 1).
53
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Keuntungan
Kualitas lingkungan
Produksi Gambar 1. Hubungan antara produksi, keuntungan dan kualitas lingkungan
Untuk mencapai keberhasilan usaha, produsen menyadari bahwa sistem pengelolaan limbah merupakan bagian penting dalam usaha peternakan. Sistem yang dipilih secara teknis dapat dilakukan dan secara ekonomis memberikan keuntungan serta menjamin terpeliharanya kualitas lingkungan. Untuk maksud ini ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, antara lain: Pola pertumbuhan penduduk Perencanaan sistem pengelolaan limbah pada sebuah peternakan yang didirikan di pedesaan dan bebas dari tekanan yang ditimbulkan oleh pertumbuhan dan aktivitas penduduk akan berbeda dengan perencanaan sistem pengelolaan limbah pada usaha peternakan lain yang dibangun di daerah dekat perkotaan yang pada umumnya terletak pada radius 20 – 30 km di sekitar pusat kota. Urbanisasi dan perluasan wilayah perkotaan membutuhkan banyak lahan pertanian dan menjadikan nilai ekonomi usaha pertanian tidak menguntungkan. Hal ini disebabkan adanya perubahan harga lahan, meningkatnya pajak usaha dan berbagai kemungkinan timbulnya biaya non teknis yang tak terduga. Banyak contoh di Indonesia, usaha peternakan yang semula dapat beroperasi di suatu daerah, pada periode waktu tertentu sudah harus dipindahkan ke daerah lain yang jauh dari pemukiman dengan alasan karena populasi penduduknya sudah bertambah padat. Alasan lain yang utama adalah karena limbah peternakan sangat potensial menimbulkan pencemaran lingkungan. Kebijakan pemerintah Berkembangnya usaha peternakan yang diikuti dengan berbagai konseku-ensinya telah
54
mendorong dibuatnya peraturan pemerintah mengenai limbah peternakan dan pengaruhnya terhadap lingkungan. Di Indonesia, telah dibuat peraturan-perundangan tentang pendirian usaha peternakan. Tidak hanya ketentuan lokasi yang boleh digunakan untuk usaha peternakan, akan tetapi juga tentang skala usaha. Setiap pendirian usaha peternakan yang potensial mengakibatkan dampak penting terhadap lingkungan hidup diwajibkan melakukan studi lingkungan, yaitu yang dikenal dengan istilah AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Di dalam Undang-undang RI No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dijelaskan bahwa: pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya (pasal 1 ayat 12). Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan (pasal 1 ayat 16). Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan terhadap lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan (pasal 1 ayat 20). AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan suatu usaha dan/atau kegiatan (pasal 1 ayat 21). Perkembangan ekonomi Pengaruh ekonomi terhadap semua jenis usaha sangat besar dan memegang peranan penting di dalam pengambilan keputusan. Usaha pertanian, khususnya peternakan sangat dipengaruhi oleh kondisi ini karena permintaan produk peternakan bersifat tidak elastis. Permintaan yang tidak elastis ini mengakibatkan perubahan yang kecil terhadap produksi peternakan untuk meningkatkan harga dan pendapatan. Ketidak elastisan ini mengakibatkan suatu konsekuensi bagi pengusaha untuk tetap memperhatikan perencanaan yang benar dan tepat di dalam mengelola limbah peternakan yang dihasilkan. Dengan cara ini, diharapkan diperoleh nilai
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
tambah pendapatan yang berpengaruh terhadap kestabilan usaha. Sistem pengelolaan limbah yang tidak tepat akan berakibat terhadap biaya yang diperlukan. Apabila biaya tersebut melampaui batas pendapatan usaha, maka pengelolaan limbah sangat mustahil dapat dilakukan. Akibatnya pencemaran limbah terhadap lingkungan tidak lagi dapat diatasi, akan tetapi sebaliknya, yaitu dapat berpengaruh terhadap upaya mempertahankan usaha peternakan agar tetap beroperasi. Ketersediaan sumberdaya alam dan teknologi Mengingat pencemaran lingkungan hidup yang timbul pada usaha peternakan sebagian besar disebabkan oleh limbah yang dihasilkan, maka upaya pengelolaan limbah merupakan bagian dari sistem usaha peternakan yang harus mendapat perhatian secara sungguh-sungguh. Sistem pengelolaan limbah yang benar dan tepat penerapannya, tidak hanya dapat mengatasi pencemaran yang ditimbulkan, tetapi juga diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap meningkatnya keuntungan usaha peternakan. Hal ini dimungkinkan karena limbah peternakan merupakan sumberdaya yang sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku sumber pupuk organik atau produk lainnya yang dewasa ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan daya dukung lingkungan pertanian sehingga produktivitasnya dapat ditingkatkan. Ketersediaan sumberdaya alam dan teknologi yang digunakan dalam usaha peternakan sangat berpengaruh terhadap sistem pengelolaan limbah yang dihasilkan. Sebagaimana diketahui bahwa intensifikasi usaha peternakan telah berkembang dengan cepatnya untuk menyesuaikan ketersediaan sumberdaya alam, terutama kebutuhan lahan. Perkembangan ini telah berpengaruh besar terhadap teknologi, seperti sistem pemeliharaan dengan kepadatan populasi ternak di dalam kandang yang tinggi. Penggunaan pakan dalam bentuk tepung untuk ternak ruminansia juga merupakan suatu perubahan sistem pemberian pakan yang timbul karena ketersediaan bahan pakan hijauan yang jumlahnya sangat terbatas. Akibat dari perubahan tersebut sangat berpengaruh terhadap produksi limbah, baik
jumlah maupun karakteristiknya. Pada sistem peternakan intensif dengan kepadatan populasi ternak yang tinggi akan menghasilkan limbah yang sangat besar di suatu lokasi usaha. Mengingat karakteristik limbah peternakan yang hampir seluruhnya berupa bahan organik dan bersifat volatil, maka sistem pengelolaannya harus dapat dilakukan secara cepat dan teknologinya harus sesuai, sehingga dapat mengantisipasi terjadinya pencemaran lingkungan hidup. Pengelolaan limbah yang salah dan lambat akan berakibat terhadap timbulnya pencemaran terhadap udara, tanah dan air. Sistem pengelolaan harus dapat menjamin tidak tertumpuknya limbah di suatu tempat secara terus menerus, karena apabila hal ini terjadi maka dapat dipastikan pencemaran lingkungan hidup yang ditimbulkan tidak akan dapat dicegah. Sikap kesadaran masyarakat Semula masyarakat tidak menyadari bahwa limbah yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dapat menimbulkan dampak terhadap menurunnya daya dukung lingkungan. Hal ini dapat dimengerti karena pada saat itu lingkungan masih mampu mengabsorpsi limbah sehingga tidak sampai mengakibatkan terjadinya pencemaran. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk yang berakibat pada meningkatnya jumlah kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan komoditi asal peternakan, sehingga jumlah limbah yang dihasilkanpun bertambah. Peningkatan jumlah limbah ini tidak diimbangi oleh kemampuan lingkungan untuk menetralisir timbulnya pencemaran. Akibat lebih lanjut dari timbulnya pencemaran oleh limbah makin dirasakan, terutama menurunnya kualitas udara dan air yang sangat dibutuhkan untuk memenuhi kehidupan yang lebih baik. Sejak itu masyarakat mulai menyadari pentingnya dilakukan pencegahan terjadinya pencemaran lingkungan hidup yang diakibatkan oleh berbagai kegiatan masyarakat. Seiring dengan kesadaran masyarakat tersebut, para pengusaha mulai mendapat tekanan dari masyarakat untuk senantiasa berupaya memelihara lingkungan hidupnya dari kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan
55
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
usaha yang dilakukan, termasuk usaha di bidang peternakan. Pengertian dan definisi limbah Agar pengelolaan limbah dapat dilakukan dengan benar dan memberikan kontribusi terhadap nilai tambah pendapatan, siapapun harus memahami terlebih dahulu pengertian dasar dan batasan limbah itu sendiri. Ada 4 pengertian pokok dari limbah, yaitu: 1. Limbah merupakan bahan buangan sisa dari suatu proses atau kegiatan, artinya sebelumnya merupakan bagian dari bahan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan. 2. Limbah merupakan hasil dari suatu proses atau kegiatan, artinya tidak mungkin dihasilkan limbah tanpa adanya proses atau kegiatan tersebut. 3. Limbah merupakan bahan yang sudah tidak digunakan lagi dalam proses atau kegiatan tersebut, artinya apabila diinginkan untuk digunakan lagi maka harus diperbaiki atau digunakan untuk proses/kegiatan jenis lain yang membutuhkan. 4. Limbah merupakan bahan yang tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya, artinya apabila bahan tersebut digunakan lagi untuk proses/kegiatan yang serupa tidak akan memberikan keuntungan. Berdasarkan 4 pokok pengertian dasar di atas maka limbah dapat didefinisikan sebagai bahan buangan yang dihasilkan dari suatu proses atau kegiatan manusia, tidak digunakan lagi pada proses atau kegiatan tersebut dan tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya. Dari definisi itu dapat dijelaskan batasan limbah peternakan dan limbah ternak, yaitu sebagai berikut: Limbah peternakan adalah bahan buangan yang dihasilkan dari sisa semua kegiatan yang dilakukan dalam usaha peternakan. Sedangkan limbah ternak adalah bahan buangan yang dihasilkan dari sisa kegiatan metabolisme ternak, yang terdiri atas feses, urin, keringat dan sisa metabolisme yang lain.
56
Pengelolaan limbah peternakan terpadu dan agribisnis Pada prinsipnya pengertian terpadu disini adalah bagaimana sistem pengelolaan limbah peternakan dapat memberikan kontribusi hubungan timbal balik antara limbah sebagai bahan sisa proses/aktivitas di satu sisi dan limbah sebagai sumberdaya yang dapat dimanfaatkan di sisi lain. Bila interaksi ini dapat diciptakan maka tidak mustahil bahwa pengelolaan limbah peternakan terpadu merupakan sistem pengelolaan yang dapat meningkatkan efektifitas, efisiensi dan produktivitas, serta merupakan sistem pengelolaan yang bercirikan ramah lingkungan. Limbah peternakan terdiri atas sebagian besar sisa metabolisme ternak (feses, urin dsb.), sisa pakan, dan sisa segala aktivitas lain yang dilakukan pada usaha peternakan tersebut. Hampir seluruhnya berupa bahan organik, yang berdasarkan bentuknya terdiri atas padat, semi padat dan cair. Sifat ini memberi indikasi bahwa limbah peternakan merupakan sumberdaya yang sangat potensial sebagai energi dan nutrisi bagi kehidupan, baik bagi mikroorganisme, hewan, ataupun bagi tanaman, yang secara berkesinambungan saling berinteraksi satu dengan yang lain. Dari mata rantai fungsional ini, dapat dijadikan sebagai pedoman untuk melakukan pengelolaan secara terpadu. Pemanfaatan limbah peternakan sebagai energi dan nutrisi mikroorganisme akan diperoleh produk perubahan, yaitu dari bahan organik senyawa kompleks (selulose, protein, lemak, pati) menjadi senyawa sederhana (asam amino, asam lemak, gula) disertai hasil ikutannya berupa enzim, hormon, mineral dan mikroorganisme dorman. Produk ini sangat bermanfaat sebagai sumber energi dan nutrisi bagi hewan tingkat rendah (cacing tanah dan serangga) atau hewan tingkat tinggi (ternak besar, ternak kecil, unggas dan ikan). Dari semua proses/aktivitas pengelolaan limbah peternakan akan berujung pada hasil akhir berupa pupuk organik alami, yang sangat diperlukan sebagai sarana produksi bagi usaha pertanian, baik tanaman pangan, perkebunan ataupun tanaman hias. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa hutan belantara yang masih perawan diyakini terbentuk karena proses alami yang berkesinambungan. Mata rantai makanan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
terjadi secara terus-menerus tanpa henti. Hutan tersebut tampak rimbun, semua jenis tanaman yang ada tumbuh secara ideal. Semua hewan penghuni tampak hidup sehat wal’afiat. Ekosistem terbentuk secara seimbang membangun komunitas hutan yang ideal. Kondisi ini memberikan informasi bahwa pemenuhan kebutuhan saling mengisi satu dengan yang lain. Keterpaduan terjalin sempurna sehingga saling menguntungkan. Berbeda halnya dengan komunitas yang terbentuk oleh aktivitas manusia, yang seringkali keseimbangan tidak menjadi perhatian. Sebagai contoh yang terjadi pada usaha di bidang peternakan. Estimasi produksi dan pengelolaan limbah yang dihasilkan hampir tidak pernah menjadi perhitungan usaha. Akibatnya, banyak usaha peternakan yang tidak berhasil dikarenakan timbulnya kerugian yang disebabkan oleh limbah yang tidak dikelola dengan benar. Oleh karena itu, sudah saatnya dalam usaha peternakan ke depan harus dipikirkan sistem pengelolaan limbah peternakan terpadu agar usaha peternakan dapat dibangun secara berkesinambungan. Agar usaha peternakan dapat memberi kontribusi pendapatan yang besar dan berkelanjutan, maka limbah peternakan yang dihasilkan tidak lagi menjadi beban biaya usaha akan tetapi menjadi hasil ikutan yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan bila mungkin setara dengan nilai ekonomi produk utama (daging, telur dan susu). Dalam pengelolaan limbah peternakan harus diciptakan suatu sistem yang dapat mengubah karakteristik limbah yang selama ini menjadi beban biaya tanpa hasil menjadi beban biaya yang memberi kontribusi keuntungan. Limbah peternakan yang selama ini dibuang begitu saja harus diubah menjadi bahan yang sangat dibutuhkan sebagai sarana kegiatan baru yang menguntungkan pada usaha peternakan tersebut. Agribisnis merupakan usaha di bidang pertanian, baik pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan maupun di bidang perikanan. Di Subsektor Pertanian Tanaman Pangan, Perkebunan, dan tanaman hutan produksi (Sektor Kehutanan), pupuk merupakan sarana produksi utama yang harus tersedia, baik kuantitas maupun kualitasnya. Kelangkaan pupuk dewasa ini merupakan
masalah nasional yang mengancam kegagalan agribisnis, terutama pada program ketahanan pangan. Tidak sedikit terjadinya kegagalan panen akibat tidak tersediannya pupuk yang menjadi wacana berita berhari-hari. Berbagai program telah diupayakan, namun karena kelangkaan pupuk, hasilnya kurang menggembirakan. Di subsektor perikanan dan peternakan, pakan merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan. Selama ini, bahan baku andalan untuk meningkatkan kualitas pakan ikan, udang dan ternak berasal dari tepung ikan dan bungkil kedelai yang masih didatangkan dari luar negeri. Devisa negara di bidang pertanian, sebagian besar untuk belanja bahan ini. Indonesia yang merupakan negara bahari, belum mampu memproduksi tepung ikan yang layak untuk dijadikan sebagai bahan pakan. Untuk memproduksi tepung ikan yang berasal dari dalam negeri bersaing dengan kebutuhan pangan, sehingga sulit untuk terpenuhi. Selain pupuk dan pakan, bahan bakar juga merupakan factor penteng yang harus tersedia sesuai kebutuhan. Akibat dari semua itu muncullah program baru dari pemerintah, yaitu RP2K (Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan) yang sedang dijalankan. Program ini, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor kendala, di antaranya ketersediaan pupuk sebagai sarana produksi utama di subsektor Pertanian Tanaman dan pakan di subsektor perikanan dan peternakan, serta ketersediaan bahan bakar yang dibutuhkan. Bersamaan dengan isu global mengenai keinginan masyarakat dunia untuk kembali kepada kehidupan alami (back to nature), produksi bersih (cleaner production) dan pengembangan produk organik untuk berbagai kebutuhan hidup, sebagai antisipasi untuk menanggulangi terjadinya perubahan iklim, maka pengelolaan limbah peternakan secara terpadu menjadi sebuah tuntutan kebutuhan yang suka atau tidak suka harus dilakukan. Pemulihan (recovery) potensi limbah peternakan Yang dimaksud dengan pemulihan sumberdaya limbah peternakan disini adalah bagaimana cara mengkonversi kembali limbah peternakan menjadi produk yang bermanfaat
57
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
dan memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi limbah peternakan dapat dikonversi menjadi pupuk organik, bahan bakar dan biomassa protein sel tunggal atau etanol. Dari ketiga produk tersebut, konversi limbah menjadi pupuk organik paling sering dilakukan. Dengan dilakukannya konversi limbah peternakan menjadi produk yang bermanfaat, maka selain pencemaran lingkungan hidup dapat diatasi, juga diperoleh nilai tambah pendapatan bagi pengusaha peternakan. Selain itu, konversi limbah menjadi pupuk organik akan sangat berperan dalam pemulihan daya dukung lingkungan, terutama di bidang pertanian. Apalagi dewasa ini sedang gencar-gencarnya dilakukan upaya pengembangan pertanian organik yang mensyaratkan penggunaan pupuk
organik alami untuk meningkatkan produksi pertanian. Apabila penggunaan pupuk organik ini berhasil dikembangkan, maka usaha peternakan sangat potensial sebagai penghasil pupuk organik dan sekaligus dapat meningkatkan nilai tambah pendapatan yang tidak sedikit. Selain sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik, limbah peternakan juga sangat potensial sebagai bahan baku pembuatan biomassa protein sel tunggal (PST). PST merupakan biomassa yang memiliki nilai nutrisi tinggi dan sangat potensial dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pakan ternak, udang dan ikan. Demikian juga sebagai bahan bakar, limbah peternakan merupakan sumberdaya yang sangat potensial. Mekanisme biokonversi limbah peternakan dapat dilihat pada Gambar 2.
Bahan organik limbah peternakan
Pengolahan secara kimia – fisik (enzim, asam, alkohol, panas, penggilingan)
Konversi microbial (fermentasi dan pengomposan)
Konversi hewan (cacing tanah, ikan, udang dan ternak)
Pupuk organik padat dan biomas cacing tanah Biogas pupuk organik padat dan cair
Bahan bakar metan (biogas) dan bio-arang
Konversi tanaman komersial
Komoditi hasil pertanian tanaman pangan, perkebunan, tanaman hias dan hutan produksi
Komoditi hasil peternakan dan perikanan
Gambar 2. Konversi limbah peternakan menjadi bahan bakar, komoditi tanaman, komoditi perikanan dan peternakan
58
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Tabel 1. Produksi beberapa jenis tanaman pangan yang diberi pupuk organik hasil bio-konversi limbah peternakan Jenis tanaman Padi Kentang Cabe merah hot chili Sayuran sawi putih “pecay“
Penggunaan pupuk/ha POP (kg)
POC (l)
Peningkatan produksi (%)
150 - 350
2–8
20 – 50
500 – 1.000
20
± 50
1.500 – 2.000
20 – 30
± 30
± 1.500
± 20
± 35
POP = pupuk organik padat kascing POC = pupuk organik cair
Melalui pemulihan manfaat, limbah peternakan bukan lagi merupakan bahan yang dikhawatirkan dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, akan tetapi merupakan sumberdaya yang sangat potensial untuk mendatangkan keuntungan usaha di bidang peternakan. Usaha peternakan di masa yang akan datang bukan lagi merupakan ancaman bagi terjadinya kerusakan lingkungan karena eksploatasi bahan baku hayati, akan tetapi menjadi komponen kegiatan dalam ekosistem yang mendukung keseimbangan ekologis lingkungan hidup. Sumberdaya hayati yang membutuhkan pupuk organik dan nutrisi yang bersifat alami dapat dicegah kepunahannya. Penggunaan bahan bakar yang terbaharui dapat diciptakan sepanjang waktu tanpa harus bergantung pada bahan bakar minyak. Dari hasil penelitian, sebagai bahan baku pupuk organik, setiap kg bahan kering limbah peternakan (sapi, domba dan ayam) menghasilkan kurang lebih 0,7 kg pupuk organik padat berupa kompos cacing tanah (kascing : bekas cacing tanah); kurang lebih 3 liter pupuk organik cair dan 0,5 kg biomassa cacing tanah hidup. Berdasarkan asumsi bahwa produksi bahan kering limbah ternak adalah sebanyak ± 1% setiap hari (BEWICK, 1980) maka ternak sapi yang beratnya 300 kg akan menghasilkan bahan kering limbah sebanyak 3 kg. Artinya sapi tersebut dapat menghasilkan sebanyak 2,1 kg pupuk organik padat; 7,2 liter pupuk organik cair dan 1,5 kg biomassa cacing tanah hidup setiap harinya. Berdasarkan angka produksi ini dapat dihitung potensi limbah peternakan sebagai bahan baku penyediaan pupuk organik dan bahan baku sumber protein hewani pakan secara nasional.
Untuk mengetahui potensi pupuk organik yang dihasilkan dari proses biokonversi limbah peternakan dapat dilihat pada Tabel 1 produksi beberapa jenis tanaman yang dihasilkan. Pengelolaan limbah peternakan ramah lingkungan Pengelolaan limbah peternakan yang ramah lingkungan adalah pengelolaan yang tidak berakibat terhadap menurunnya daya dukung lingkungan. Dalam pengelolaannya harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut: • Cara pengelolaannya berkesinambungan • Hasil yang diperoleh dari pengelolaan limbah dapat menjamin proses berikutnya • Teknologi yang digunakan dapat meningkatkan nilai sumber daya limbah yang dikelola • Dampak negatif akibat pengelolaan limbah dapat dihindari Sesuai dengan potensi yang dimiliki limbah peternakan, pengelolaan yang ramah lingkungan akan berpengaruh sangat besar terhadap berbagai aktivitas yang dapat memberi kontribusi keuntungan usaha di bidang pertanian. Selain itu, kualitas lingkunganpun akan selalu dapat terjaga, bahkan dimungkinkan dapat meningkat. Dengan kualitas lingkungan yang baik, kualitas hidup manusiapun menjadi lebih baik sehingga upaya pembangunan di bidang pertanian dapat ditingkatkan. Apabila hal ini terwujud maka tujuan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan dengan mudah dapat dicapai. Ketahanan pangan bagi masyarakat Indonesia dapat meningkat, sejalan
59
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
meningkatnya efektifitas, efisiensi produktivitas usaha pertanian.
dan
DAFTAR PUSTAKA BARBER, S.A. 1984. Soil Nutrient Bioavailability. A Mechanistic Approach. Printed in United States of America. BEWICK, M.W.M. 1980. Handbook of Organic Waste Conversion. Van Nostrand Reinhold Company, Canada. CATALAN, I.G. 1981. Earthworm A New Source of Protein. Philippine Earthworm Center. DIAZ, L.F. et al. 1979. Composting and Recycling Municipal Solid Waste. Levis Publishers.
FOGARTY, W.M. 1983. Micobial Enzymes and Biotecnology. Applied Science Publisher, Ltd. Printed in Nortern Ireland at The Universities Press (Belfast) Ltd. GADDIE, R.E. AND D.E. DOUGLAS. 1975. Earthworms for Ecology and Profit. Vol. 1. Scientific Earthworm Farming. Printed in United States of America. TANNOCK, G.W. 1999. Probiotics ACritical Review. Horizon Scientific Press. Printed in England. TCHOBANOGLOUS, G. et al. 1993. Integrated Solid Waste Management Engineering Principles and Management Issues. Printed in Singapore. TISDALE, S.L. and W.L. NELSON. 1975. Soil Fertility and Fertilizers. Third Edition. Macmillan Publishing Co., Inc. New York.
DISKUSI Pertanyaan: 1.
Bagaimana dengan limbah kelinci?
2.
Untuk mendapatkan satu ton kompos di peternakan berapa ekor sapi dan berapa hari dapat dikumpulkan?
3.
Dari satu ton feses berapa pupuk cair yang diperoleh?
Jawaban: 1. Limbah kelinci dapat diolah seperti untuk ternak lainnya seperti sapi, ayam, dsb. 2. Satu ekor sapi dewasa menghasilkan 20 kg perhari = 4 kg bahan kering POP. 4 x 0,7 = 2,8 kg/ekor/hari. 2,8 x 30 = 84 kg/ekor/bulan. 1000/84 x 1ekor =37 ekor selama satu bulan. 3. 3 x 4 l = 12 l/ekor/hari. 30 x 12 l = 360 l/ekor/bulan.
60