PENJIWAAN PROFESIONALISME PUSTAKAWAN Dian Novita Fitriani 1 ABSTRACT Relatively not many people are aware about the existence and significant of a librarian. Often bring discordant notes about this profesion. So, this profesion doesn’t attract the young people especially librarian and information student. Even from librarians who are actively, not necessarily early acquired, understand, and liking profession as a librarian. On other hand, in librarian is a profesion that has the potencial to be developed in the current information era. A librarian currently must multiskilled, not enough if only to do with books. Qualitative research in this study tried to uncover the meaning behind the librarian inter subjectivism in expanding their knowledge about soul of profesionalisme librarian. The study uses the Social Construction perspective, which means trying to understand this phenomenon with tracing back the confidence in librarians during their profesion. This study results three profesionalisme typology, they are: administrative librarianship, actualization librarianship, and society oriented librarianship. Administrative librarianship is a librarian who to work in accordance with the rules of bureaucracy of government. Actualization librarianship is librarian work to explore his capability. Society Oriented librarianship is librarian who regard the librarian professions is needed to empower people. Keywords : Social Construction, Librarian, Profesionalisme.
1
Korespondensi : Dian Novita Fitriani. 071016059. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Airlangga
1
terjadi adalah dengan adanya sistem tersebut mampu mengikis semangat dan kapasitas untuk bertindak secara spontan dan empati.2 Pustakawan sebagai sebuah profesi tidak banyak menarik perhatian bagi sebagian besar orang dari berbagai kelompok. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya minat dari kaum muda apalagi dari pendidikan perpustakaan untuk menjadi pustakawan, sehingga hal ini mempengaruhi proses rekruitmen. Sebagai konsekuensinya rekruitmen berasal dari kelompok yang dianggap underpresented, atau dapat dikatakan sebagai kelompok yang tidak sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan3. Berbagai potret ironis profesi pustakawan ditambah lagi dengan rendahnya minat kaum muda terhadap profesi pustakawan dan bahkan dari kebanyakan pustakawan yang sedang aktif, belum tentu sejak awal mengenal, memahami, dan menyukai profesi sebagai pustakawan.4 Bahkan Ina Liem5 dalam artikelnya menjelaskan bahwa dari hasil polling terhadap 5.614 siswa SMA di Indonesia pada tahun 2013 hanya ada 1 siswi yang berminat menjadi pustakawan. Profesi ini masih dipandang sebelah mata. Masyarakat masih memiliki anggapan bahwa kerja pustakawan hanya sebagai penjaga
Pendahuluan Pustakawan menjadi istilah yang kurang populer dikalangan masyarakat Indonesia. Masyarakat belum banyak mengenal profesi ini. Mereka lebih banyak mengenal profesi ini dengan sebutan “petugas perpustakaan”, “pegawai perpustakaan” atau ada juga yang menyebut sebagai “penjaga buku”. Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi, dimana saat ini kita hidup pada era informasi dan internet, data tidak lagi disimpan dalam wujud fisiknya saja. Sehingga disinilah peran pustakawan yang dulunya dianggap sebagai penjaga buku juga harus mampu mentransformasikan dirinya sesuai dengan perkembangan zaman. Saat ini pustakawan tidak lagi hanya menjaga perpustakaan beserta isinya, namun juga memiliki aktivitas berikut : seleksi dan akuisisi sumbersumber informasi, mengorganisasi dan mengakses, preservasi dan konservasi, pelayanan pengguna dan pelatihan, dan manajemen. Pada kenyataannya profesi pustakawan masih kalah dengan profesi lainnya, seperti dokter, hakim, pengacara, bahkan profesi dosen dan guru yang notabenenya berada dalam satu bidang yang sama yaitu pendidikan. Saat ini pekerjaan perpustakaan masih sering dianggap sebagai pekerjaan „tukang‟, bersifat birokratis, teknis dan eksklusif. Hal ini dikarenakan adanya beberapa faktor yang terjadi yang berhubungan dengan organisasi yang melingkupinya, yaitu perpustakaan. Hal ini disebabkan oleh munculnya dehumanisasi akibat adanya sistem sosial yang patrimonial, birokrasi yang muncul bersifat otoriter dan sentralistik, bisa dikatakan bersifat kaku, personal, dan emosional. Sehingga dampak sosial yang dapat
2
Laksmi. 2007. Tinjauan Kultural Terhadap Kepustakawanan: Inspirasi Dari sebuah Karya Umberto Eco. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Hal. 15-21. 3
Richard E. Rubin dalam Kartika, S.N.L.A.S. 2012. Konstruksi Sosial Mahasiswa IIP Universitas Airlangga terhadap Program Studi IIP dan Prospek Lulusannya. Hal I-6. 4 Sudarsono, Blasius. 2006. Antologi Kepustakawanan Indonesia. Jakarta : Ikatan Pustakawanan Indonesia. Hal 5 Ina Liem. Pustakawan Bukan Penjaga Buku. Kompas, Jumat 7 Februari 2014. Hal. B
2
buku dan bekerja di tengah rak yang berisi ribuan buku yang menjulang tinggi. Di Indonesia, profesi pustakawan masih kurang dihargai oleh masyarakat. Stereotype profesi pustakawan bukan pekerjaan secara professional dan dapat dilakukan oleh siapapaun tanpa harus menempuh pendidikan kepustakawanan menjadi salah satu penyebabnya. Selain itu, profesi ini masih dianggap sebagai profesi yang kurang menjanjikan secara ekonomi. Padahal telah jelas diatur dalam UU Perpustakaan No. 43 tahun 2007 pasal 31 disebutkan bahwa “hak seorang pustakawan adalah penghasilan diatas kebutuhan hidup miminum dan jaminan kesejahteraan sosial, serta pembinaan karir sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas”.6 Jika diperhatikan dengan cermat, di Indonesia memiliki lebih dari 200.000 sekolah mulai dari SD hingga SMA, dan lebih dari 3.000 perguruan tinggi. Selain itu juga terdapat perpustakaan negara, perpustakaan umum, dan perpustakaan khusus. Ditambah lagi lembaga pemerintahan dan perusahaanpun memerlukan tenaga pustakawan. Sebagai perbandingannya, jumlah pustakawan Indonesia saat ini hanya sekitar 3.000 orang7. Jika disadari, sebenarnya profesi pustakawan menjadi profesi yang sangat dibutuhkan di era informasi saat ini. Pustakawan saat ini harus multiskilled, tidak cukup jika hanya berhubungan dengan buku. Seorang pustakawan bukanlah tipe orang yang hanya menata buku ke rak-rak. Seorang pustakawan harus keluar dan mampu menjual diri dan layanan, melek
computer dengan menggunakan teknologi canggih, memiliki ketrampilan dalam bidang website, manajemen yang baik, mampu manajemen keuangan, orang dan politik. 8 Sehingga tidak berlebihan ketika seorang pustakawan di era abad 21 ini disebut sebagai knowledgeable person atau source of all knowledge. Tugas utama seorang pustakawan adalah mencari, menghimpun, mengelola, menyebarkan dan menyajikan sesuai dengan kebutuhan. Selain itu, seorang pustakawan juga harus mampu melestarikan informasi (presrverve). Dilihat dari tugas utamanya, seorang pustakawan idealnya bukan dari golongan kutu buku yang pendiam. Justru seorang pustakawan harus memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, dikarenakan ia harus berhubungan dengan berbagai pihak. Sebagai profesi yang bergerak di bidang jasa, ia juga harus berorientasi pada pelayanan pelanggan dan pemasaran.9 Banyak pelajar maupun masyarakat pada umumnya kurang tertarik untuk masuk ke perpustakaan. Salah satu penyebabnya adalah pustakawan yang bersikap pasif. Hal ini juga menjadi salah satu dampak dari langkanya pustakawan yang memiliki background pendidikan ilmu perpustakaan dan minat kaum muda terhadap profesi pustakawan. Salah satu contohnya dapat dilihat dari data kepegawaian pada perpustakaan umum daerah kota Surabaya. Dari total pegawai perpustakaan yang berjumlah 28 orang yang sudah mendapatkan jabatan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), hanya 4 orang yang memiliki
6
8
Aliffia Cahyani. 2013. Motivasi Karir Pustakawan dan Non Pustakawan Lulusan Program Studi Ilmu Informasi dan Perpustakaan. Hal. 5-6 7 Ina Liem, Op. Cit. Hal. C
Willmott, chris. 2008. Careers in Librarianship and Information Management. http://www.slideshare.net/cjrw2/librarianship diakses pada 20 Februari 2014 9 Ana liem, Op. Cit. Hal. B
3
background ilmu perpustakaan dan masih lulusan diploma. Tidak banyak yang mengetahui bahwa seorang pustakawan memiliki banyak keahlian yang bisa diaplikasikan dalam banyak bidang informasi. Sehingga dampaknya, posisi pustakawan di beberapa lembaga atau perusahaan masih belum mendapatkan tempat yang bergengsi. Dari data yang diperoleh dari bidang kepegawaian perpustakaan umum kota daerah Surabaya, dari keempat pustakawan yang telah mendapatkan jabatan fungsional sebagai PNS, keempatnya menduduki posisi sebagai staf dan golongan II pada tingkatan PNS. Padahal sebenarnya, lembaga pemerintahan dan perusahaan besar membutuhkan keahlian mereka. Bahkan di beberapa perusahaan besar, karier pustakawan bisa mencapai posisi sebagai Chief Information Officer (CIO), yang setara dengan Chief Financial Officer (CFO) ataupun Chief Marketing Officer (CMO), dan tentu saja dibutuhkan landasan akademik yang kuat.10 Dari uraian diatas, didapatkan gambaran bahwa pustakawan kurang memahami makna dan peran profesinya. Inilah yang menjadi hal menarik bagi penulis. Menurut Berger manusia sebagai individu yang mampu memahami dirinya sendiri dan manusia sebagai anggota masyarakat dengan tiga momen dialektik yang dilampaui yaitu, objektivasi, dan internalisasi yang membentuk konstruksi sosial. Pemahaman mengenai konstuksi profesi pustakawan oleh para pustakawan untuk memahami, memaknai dan mendefinisikan, perannya, dimana mereka melakukan tindakan-tindakan subjektif dengan
menggunakan stock of knowledge di antara mereka11.
10
Widya Padjajaran. Hal. 2.
Fokus Penelitian Artikel ini memusatkan pembahasan pada tiga fokus, yaitu: (1) Apa yang melatar belakangi pustakawan dalam memilih profesi pustakawan ditinjau dari awal individu mampu mencurahkan diri dalam masyarakat? (2) Bagaimana seorang pustakawan memahami tuntutan profesionalisme sebagai seorang pustakawan, yang didapatkan selama menjalani profesi pustakawan? (3) Bagaimana keterkaitan pemahaman pustakawan tentang profesi yang dijalaninya terhadap pengimpelementasian pekerjaan seharihari ditinjau dari pemahaman individu dan realitas objektif? Metodologi da Prosedur Penelitian Pendekatan Penelitian Tipe penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologis eksistensial dari perspektif Peter L. Berger. Fenomenologi mencari pemahaman bagaimana manusia dapat memngkonstruksi makna dan konsep penting dalam kerang intersubjektivitas atau melalui hubungan dengan orang lain. 12 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara bertahap dan mendalam (indepht interview), studi kepustakaan, dan observasi. Penentuan 11
Peter L Berger dan Thomas Luckmann. 2012. Tafsir Sosial atas Kenyataan : Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta : LP3ES. Hal. xv 12 Engkus Kuswarno. 2009. Fenomenologi: Metode Penelitian Komunikasi, Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitian. [s.l.]:
Ibid. Hal. B
4
informan menggunakan teknik Purposive Sampling yaitu berdasarkan pada kriteria tertentu yang ditentukan oleh peneliti agar didapatkan informan yang sesuai dengan penelitian. Pengambilan informan dengan teknik Purposive Sampling digunakan peneliti untuk memperoleh keragaman data melalui eksplorasi pengalaman intersubjektivitas informan dengan mempertimbangkan beberapa karakteristik yang berpengaruh dalam perkembangan pemaknaan informan tentang profesi pustakawan sejak ia mampu bersosialisasi dengan lingkungannya hingga saat ini. Beberapa karakteristik yang diamati oleh peneliti dalam penentuan informan meliputi status kepegawaian, jabatan, jenis kelamin, lama kerja, background pendidikan, jalur penerimaan sebagai PNS, dan latar belakang pemilihan profesi pustakawan. Analisis data dalam penelitian initerdiri dari beberapa aktivitas diantaranya reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
ragam dan berlangsung terus 13 menerus. Dalam suatu masyarakat, momenmomen itu tidak dapat belangsung dalam suatu kurun waktu tertentu, namun setiap individu dalam masyarakat secara serentak dikarakterisasi oleh ketiga momen tersebut. Dengan demikian dapat dipahami bahwa manusia tidak dilahirkan sebagai individu, namun ia dilahirkan dalam suatu kecenderungan ke arah sosialitas dan menjadi anggota masyarakat yang didalamnya tidak terlepas dari bagaimana ia dibentuk atau dikonstruksikan oleh lingkungannya. Eksternalisasi adalah suatu pencurahan kehadiran individu secara terus menerus dalam dunia, baik secara fisik maupun mental. Eksternalisasi merupakan keharusan antropologis, dimana keberadaan manusia tidak mungkin berlangsung dalam suatu lingkungan yang tertutup dan tanpa gerak, namun keberadaannya harus secara terus menerus mencurahkan kehadirannya dalam bentuk aktivitas.14 Dalam konteks eksternalisasi pada penelitian ini, kehadiran pustakawan secara aktif berperan dalam kehidupan sosial baik secara fisik maupun mental. Kehadiran pustakawan dalam melakukan eksternalisasi ini terjadi sejak awal. Aktivitas-aktivias pustakawan dalam eksternalisasi berupa produk sosial. Proses selanjutnya adalah objektivasi. Menurut Berger dan Luckmann objektivasi artinya memanifestasikan diri dalam produkproduk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya
Dialektika Konstruksi Realitas Profesi Pustakawan Menurut Berger dan Luckmann teori konstruksi sosial merupakan sosiologi pengetahuan yang mengkaji terbentuknya suatu realitas sosial sebagai hasil dari proses dialektis dengan meninjau tiga momen yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Proses dialektis ini berjalan secara terus menerus dan simultan karena interpretasi sosiologis disini melihat hubungan diantara ketiganya sebagai interaksi sosial yang menghasilkan pembaharuan atau modifikasi makna dengan pertukaran makna-makna subjektif yang beraneka
13
Ibid. Hal. Peter Berger dalam I. B. Putera Manuaba. Memahami Teori Konstruksi Sosial. Masyarakat Kebudayaan dan Politik. XX, No. 3 Juli-September 2008 14
5
maupun bagi orang lain sebagai unsurunsur dari dunia bersama. Objektivasi ini bertahan lama sampai melampaui batas tatap muka dimana mereka dapat dipahami secara langsung. Dengan demikian individu melakukan objektivasi terhadap produk sosial dapat berlangsung tanpa harus bertemu secara langsung. Objektivasi disini dapat terjadi melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yang sedang berkembang di masyarakat sehingga tidak perlu bertatap muka antar individu.15 Semua aktivitas manusia dalam proses eksternalisasi dapat mengalami proses pembiasaan (habitualisasi) yang kemudian mengalami pelembangaan (institusional). Kelembagaan berasal dari proses pembiasaan atas aktivitas manusia. Setiap aktivitas yang diulangi akan membentuk suatu pola. Pembiasaan yang membentuk pola tersebut akan dilakukan kembali di masa mendatang dengan cara yang sama dan dimana saja. Baik aktivitas sosial maupun aktivitas non-sosial.16 Profesi pustakawan menjadi sebuah kenyataan obyektif berarti profesi ini menjadi sebuah dunia yang dimana dihuni bersama oleh individuindvidu yang berada di dalamnya. Individu-individu yang terlibat didalamnya memiliki perspektifperspektif yang berbeda antara satu dengan yang lainnya dalam memaknai dunia kebersamaannya yaitu profesi pustakawan. Namun disini antara individu satu dengan individu lainnya akan bersama-sama membentuk kesesuaian mengenai kenyataan yang terjadi di dalam profesi pustakawan. Dalam penelitian ini, konteks konstruksi sosial profesi pustakawan
dilakukan individu-individu dibangun di dalam dirinya sendiri. Terjadi tindakan-tindakan yang dilakukan secara berulang dalam menjalani profesi pustakawan yang nantinya akan menjadi sebuah pembiasaan. Pembiasaan ini akan diulang oleh pustakawan sehingga membentuk pola. Tindakan-tindakan pustakawan ini dimunculkan dan berhubungan dengan individu lain sehingga memunculkan tipe tindakan sosial yang disebut dengan tindakan sosial atau tipifikasi. Selanjutnya, tipifikasi akan memperngaruhi insteraksi sosial yang akan memberikan asumsi subyektif maupun obyektif pada pustakawan. Proses selanjutnya adalah internalisasi. Dalam proses internalisasi, individu menerima berbagai pengetahuan yang berada diluar dirinya yang kemudian memahami maknanya dan menggunakannya untuk membentuk dirinya sendiri sehingga ia dapat memiliki perilaku yang diinginkannya. Individu memahami suatu peristiwa yang dilihatnya secara obyektif dan memberikan pemahaman secara subyektif oleh individu tersebut. Setelah mencapai proses internalisasi tersebut, individu menjadi anggota masyarakat dengan melalui proses terlebih dahulu yang disebut sebagai proses sosialisasi. Dengan adanya proses sosialisasi ini individu secara komprehensif dan konsisten mampu masuk ke dalam dunia obyektif suatu masyarakat atau salah satu sektornya. Pada proses internalisasi, pustakawan telah mampu mendefinisikan profesi pustakawan berdasarkan kritis subjektif, yang kemudian dapat diteruskan kepada individu lainyang awam melalui eksternalisasi lanjutan. Ketiga momen tersebut dipandang sebagai proses dialektis yang
15
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. 2012. Op. Cit. Hal. 49 16 Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Op Cit. Hal. 72
6
berjalan secara terus menerus dan simultan karena interpretasi sosiologis disini melihat hubungan diantara ketiganya sebagai interaksi sosial yang menghasilkan pembaharuan atau modifikasi makna dengan pertukaran makna-makna subjektid yang beraneka ragam dan berlangsung terus menerus.
pendidikan perpustakaan. Pustakawan akan mulai menyesuaikan diri dengan materi-materi yang didapatkan ketika menempuh pendidikan perpustakaan. Materi-materi ini mereka pahami sebagai gambaran awal tentang pekerjaan pustakawan. Dalam proses adaptasi, terdapat beberapa tipe penyikapan oleh pustakawan. Pertama, pustakawan yang menikmati materi-materi yang diberikan sebagai ilmu baru yang dapat diterapkan dalam pekerjaaannya ke depan. Kedua, berusaha menerima materi-materi yang disampaikan sebagai bentuk tanggungjawab pendidikan dan bekal keahlian ketika selesai menempuh pendidikan perpustakaan, dan yang terakhir adalah pustakawan yang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk benar-benar menemukan passion dalam menekuni dunia kepustakawanan. Dari data hasil penelitian didapatkan bahwa tidak semua pustakawan memilih pendidikan perpustakaan atas kemauannya sendiri. Pengambilan keputusan untuk menempuh pendidikan perpustakaan didapatkan dari dominasi pandangan keluarga atau kerabatnya terkait prospek kerja setelah lulus. Orang tua disini menjadi faktor yang sangat berperan dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini orang tua dapat dikatan sebagai significant other17, dimana persetujuannya sangat diharapkan untuk setiap langkah dan opini individu, orang yang tidak ingin dikecewakan dan memiliki arti khusus bagi individu. Dalam konteks penelitian ini, peneliti menggunakan psikologi gelstat. Psikologi gelstat ini semula timbul berkaitan dengan masalah persepsi.
Analisis dan Interpretas Data
Eksternalisasi : Sikap Pustakawan dalam Pelaksanaan Profesi Pustakawan Momen eksternalisasi profesi pustakawan ini dimulai sejak ia bersosialisasi dengan lingkungannya, biasanya dimulai sejak dia TK. Sejak saat itu, pustakawan mulai memberikan definisi kepada profesi pustakawan, apa yang dia pahami melalui proses belajar dan apa yang dipahami dari masyarakat luas. Berdasarkan temuan data dalam penelitian ini, proses eksternalisasi pustakawan dalam pemilihan profesinya diawali ketika individu terlahir dan mulai mampu mencurahkan dirinya dalam masyarakat. Proses pemahaman awal pada individu tersebut akan terbentuk ketika melihat semua hal yang berkaitan dengan pustakawan dan perpustakaan yang ditemuinya. Pemahaman awal ini akan berlanjut secara terus menerus dan menjadi stock of knowledge yang nantinya akan berpengaruh ketika individu tersebut dihadapkan dengan realitas sosial seperti pemilihan jurusan dalam pendidikan tinggi yang nantinya akan menentukan profesi yang ditekuninya. Pemilihan jurusan pada pendidikan tinggi menjadi realitas sosial yang harus dihadapai pustakawan. Dalam momen ini mulai terjadi proses adaptasi. Adaptasi 17 dilakukan pada awal masa menempuh http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/psik ologi_umum2/bab4_sikap_manusia.pdf
7
Dalam persepsi tersebut terdapat peran aktif dalam diri perseptor, yang berarti bahwa dalam individu mempersepsi sesuatu tidak hanya bergantung kepada stimulus obyektif saja, tetapi ada aktivitas individu untuk menentukan hasil persepsinya. Teori ini tidak hanya berfokus pada masalah persepsi saja, namun juga pada masalah kognisi (proses berpikir) secara umum, yaitu tentang bagaimana pemahaman seseorang atas pemahaman-pemahaman orang lain yang digabungkan dalam membentuk kesan secara keseluruhan. Fenomena koginitif ini tidak secara langsung diamati, melainkan disimpulkan dari apa yang dilakukan dan dikatakan oleh seseorang18. Proses berpikir (kognisi) pustakawan dalam pemilihan profesi pustakawan ini dimulai dengan berbagai pemahaman tentang pustakawan yang masih banyak dicari nantinya sebagai peluang kerja yang lebih baik. Selain itu, pustakawan menjadi sebuah profesi yang terjamin dengan adanya status Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pemahaman-pemahaman itulah yang selama ini lebih banyak berkembang dan mempengaruhi pustakawan untuk tetap bertahan atau memutuskan untuk memilih pendidikan perpustakaan. Trushtone dalam Hudainah menjelaskan bahwa sikap melibatkan satu aspek komponen yaitu komponen afeksi atau perasaan yang memiliki dua sifat yaitu positif (favorable) dan negatif (unfavorable)19. Hudainah lebih lanjut menjelaskan bahwa komponen afeksi ini lebih besifat evaluatif terhdadap kebudayaan atau sistem nilai pada dirinya20. Sikap reaksi positif akan
cenderung mendekati atau menyenangi objek tertentu, sedangkan jika reaksi negatif akan cenderung menjauhi objek. Penjelasan teoritis tersebut memberikan gambaran struktur afeksi yang terjadi pada pustakawan dalam proses eksternalisasi ketika menjalani profesi sebagai pustakawan. Respon negatif terjadi pada pustakawan ketika memilih jurusan perpustakaan, akan berpengaruh kepada kondisi emosi dan motivasi pustakawan dalam menjalankan perkejaannya. Namun, di sisi lain dukungan dari keluarga, khususnya significant order seperti orang tua, istri, maupun anak memberikan motivasi tersendiri bagi pustakawan untuk tetap bertahan menjalani profesi pustakawan. Objektivasi Makna Profesionalisme pada Pustakawan mengenai profesinya Dalam momen objektivasi ini, masyarakat adalah produk manusia yang berakar dari proses eksternalisasi. Manusia berada di luar dirinya, dihadapkan pada fakta-fakta dari luar dirinya dalam realitas objektif. Pada penelitian ini, proses objektivasi dimulai ketika pustakawan telah menjalani profesinya sebagai pustakawan di sebuah lembaga atau instansi perpustakaan maupun dokumentasi lainnya. Pustakawan dihadapakan dengan berbagai faktafakta di luar pemahaman dirinya. Profesi pustakawan inilah yang menjadi sebuah realitas objektif. Pengetahuan mengenai profesi pustakawan sebagai realitas obyektif didapatkan pustakawan dari pendidikan perpustakaan baik formal maupun non formal, keikutsertaan dalam berbagai seminar, pelatihan, workshop maupun kegiatan lainnya yang bertemakan perpustakaan dan kepustakawanan baik ketika belum berprofesi sebagai
18
Tri Dayaksini Hudainah dalam Kartikasa,S.N.L.A.S. 2012. Op. Cit. Hal IV-3 – IV-4 19 Ibid. Hal. IV-4 20 Loc. Cit.
8
perasaan orang lain21. Menanggapi berbagai realitas obyektif yang telah dijelaskan diatas, pustakawan dapat membuat sebuah imajinasi tentang dirinya terhadap pemahamanpemahaman orang lain. Pengalaman yang berkaitan dengan interaksi dengan orang lain menjadi sebuah cerminan diri pustakawan dalam melihat profesinya. Menurut Berger dan Luckmann, masyarakat sebagai kenyataan obyektif terjadi melalui pelembagaan dan legitimasi. Dalam pelembagaan terjadi aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh indvidu dalam membangun dunianya sendiri. Proses pelembagaan didahului dengan proses pembiasaan 22 (habitualisasi). Setiap tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang akan membentuk suatu pola, dan akan terulang lagi di masa yang akan datang dengan cara yang sama. Hal ini dialami oleh pustakawan ketika menjalani profesinya. Pelembagaan juga dapat berupa aktivitas-aktivitas dalam pekerjaannya yang dilakukan setiap hari. Pustakawan akan melakukan hal yang sama setiap harinya sesuai dengan tugas yang dibebankan kepadanya. Selain itu, pengurusan administrasi DUPAK juga menjadi suatu kelembagaan yang berawal dari tuntutan yang berasal dari pembiasaan. Setelah melalui pelembagaan, proses selanjutnya adalah legitimasi. Legitimasi disini bertujuan untuk membuat kelembagaan yang sebelumnya terjadi menjadi sesuatu yang obyektif dan dapat diterima secara subyektif. Dalam legitimasi ini juga termasuk di dalamnya interaksi antara yang dilakukan pustakawan baik
pustakawan maupun setelah berprofesi sebagai pustakawan. Pada momen objektivasi produk sosial terjadi dalam dunia intersubyektif, dimana terjadi interaksi antar individu yang melibatkan pertukaran pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Proses ini dapat dipahami sebagai sebuah mekanisme pengungkapan diri seseorang. Wrightsman dalam, Hudainah mengungkapkan bahwa pengungkapan diri atau self disclousure adalah proses menghadirkan diri yang diwujudkan dengan membagi perasaan dan informasi kepada orang lain. Informasi pada pengungkapan diri ini dapat bersifat deskriptif maupun evaluatif. Informasi deskriptif berupa informasiinformasi mengenai diri sendiri yang belum diketahui oleh orang lain, seperti alamat, asal, usia. Sedangkan yang bersifat evaluatif dalam bentuk pengungkapan pendapat pribadinya seperti hal yang disukai dan tidak disukai. Pengungkapan deskripstif oleh pustawakan dapat berupa pengungkapan identitasnya dalam pekerjaan ketika berinteraksi dengan orang lain. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar pustakawan enggan memperkenalkan diri sebagai pustakawan ketika berada forum umum baik forum dinas maupun forum yang lain. Sedangkan pengungkapan evaluatif diungkapkan dalam pengungkapan pendapat hal pribadinya. Kedalaman pengungkapan diri ini tergantung pada situasi da orang yang diajak untuk berinteraksi. Cahrles Cooley mendefinisikan konsep looking glass self, dimana konsep cermin diri sebagai imajinasi yang agak definitif mengenai bagaimana diri seseorang yang muncul dalam pikirannya yang ditentukan oleh sikap terhadap hubungan pikiran dan
21
George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2005. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana. Hal. 295 22 Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam I. B. Putera Manuaba. Hal 224
9
dengan rekan kerjanya maupun dengan prestasi.23 Dalam temuan data ini masyarakat. didapatakan bahwa pustakawan sering membandingkan diri dengan jabatan Internalisasi : Keterkaitan PNS umumnya. Proses perbandingan sosial ini Pemahaman Pustakawan tentang Profesinya terhadap sangat berpengaruh terhadap cara kita diri sendiri. Dari Pengimplementasian Kerja Sehari- memandang perbandingan sosial ini akan mampu hari Internalisasi merupakan proses mempengaruhi evaluasi diri, perasaan memahami profesi pustakawan sebagai dan respons terhadap orang lain. Selain kenyataan subyektif. Pada momen ini, itu juga dapat menaikkan rasa percaya pustakawan melakukan identifikasi dari diri dan menimbulkan motivasi atau berbagai proses yang telah dilaluinya bahkan dapat menyebabkan patah dan dari berbagai lembaga sosial semangat dan merasa kurang mampu.24 dimana dia menjadi anggotanya. Pada temuan data ini, didapatkan Pustakawan melakukan peresapan bahwa perbandingan sosial yang kembali dan mentransformasikan dilakukan dengan membandingkan kembali struktur-struktur dunia diirnya dengan pegawai PNS lainnya obyektif ke dalam kesadaran subyektif. lebih banyak berdampak pada Dari hasil temuan data didapatkan kurangnya motivasi pustakawan untuk bahwa sebagian besar pustakawan telah berkembang sesuai dengan perannya. merasa nyaman berprofesi sebagai Mereka cenderung lebih merasa banyak pustakawan. Tiga informan kerja keras dalam memenuhi angka menjelaskan bahwa tidak ada pilihan kredit, namun tunjangannya tidak lain selain menjadi pustakawan, karena sebanding. Seringkali hal ini membuat merasa background pendidikannya iri dirinya dengan temannya, karena ada adalah ilmu perpustakaan. Selain itu, juga informan yang mengaku mengurus rasa kenyamanan berprofesi jabatan fungsional pustakawan karena pustakawan juga dapat dikarenakan dipaksa dan bukan atas kemauan motivasi pribadinya untuk mampu sendiri. Hal tersebut juga berdampak menguasai ilmu di bidang pekerjaan pada pegawai PNS lain yang memiliki yang sedang ditekuni meskipun bukan background pendidikan perpustakaan dari background pendidikan enggan mengurus JFP. pustakawan. Namun ada informan yang Jika ditinjau dari proses merasakan ketidaknyamanan dan objektivasi, perbedaan proses ketidak puasan. Ini terjadi karena dia didalamnya akan menghasilkan proses merasa belum melakukan apapun untuk internalisasi yang berbeda. Pustakawan dunia kepustakawanan. yang aktif mengikuti berbagai Festinger menegaskan bahwa organisasi khususnya sosial orang cenderung membandingkan kemasyarakatan dan banyak berjejaring dirinya dengan orang lain yang setara dengan berbagai komunitas memiliki atau sama. Dalam istilah teknisnya kesadaran yang lebih tinggi untuk adalah perbandingan berdasarkan memahami profesionalisme seorang related-attributes similarity (kesamaan pustakawan itu dinilai dengan yang terkait). Basis kesamaan ini kedekatan dan keberhasilannya dalam bukanlah presetasi, namun latar memberdayakan masyarakat dengan belakang atau kesiapan, sebagai atribut Shelley Taylor, dkk. Op. Cit. Hal. 152 yang berkaitan dengan kinerja atau 23 24 Loc. Cit.
10
ilmu yang dimiliki. Begitu juga dengan pustakawan yang aktif dalam organisasi kepemimpinan, dia akan terbentuk menjadi pustakawan yang menyukai tantangan dan vokal dalam berbagai bidang untuk memajukan instansi tempat dia bekerja dan untuk pengembangan kapasitas diri. Hal ini akan sangat berbeda dengan pustakawan yang tidak melibatkan dirinya dalam organisasi kepustakawanan maupun non kepustakawanan secara aktif. Mereka akan lebih cenderung mengerjakan halhal yang sifatnya administratif sesuai dengan apa yang menjadi tugas pekerjaannya.
pustakawandalam mengkronstruksi makna profesi pustakawan, yaitu Administrative Librarianship, Actualization Librarianship dan Society Oriented Librarianship.Tipologi ini dihasilkan dengan meninjau kebutuhan pustakawan dalam proses pengimplentasian kerja dalam seharihari.
Penutup Berdasarkan seluruh data hasil penelitian, studi ini menghasilkan kesimpulan 3 tipologi
11
Matrix 1. Tipologi Kosntruksi Sosial Pustakawan Perpustakaan Umum Kota Daerah Surabaya terhadap Profesinya
Momen Konstruksi Sosial Eksternalisasi
UNIT ANALISIS PERTIMBANGA N PEMILIHAN PROFESI SEBAGAI PUSTAK AWAN
ORIENTASI DALAM PENGAMBILAN JENJANG PENDIDIKAN KEILMUAN PERPUSTAKAA N
Objektivasi
ATENSI DALAM PELAKSANAA N KERJA
HUBUNGAN RELASIONAL YANG TERBINA DALAM KARIER
Administrative Librarianship
Actualization Librarianship
Society Oriented Librarianship
Menilik kompetensi diri berdasarkan kapasitas keilmuan yang didapat dari pendidikannya (linear). Juga melihat keuntungan jaminan di masa mendatang. Menilik kebutuhan keilmuan bukan dari passion, hanya sebagai upaya adaptasi terhadap tanggungjawab kerja (formalitas)
Scanning peluang kerja yang ada sebagai chance untuk berkarya, sekaligus mengambil sisi pembelajar
Profesi pustakawan dinilai dibutuhkan oleh masyarakat dengan melihat potensi keilmuan pustakawan yang mampu memberikan manfaat untuk masyarakat. Menilik kebutuhan terhadap keilmuan berdasarkan identifikasi passion
Cenderung berorientasi untuk peningkatan kualitas diri dan keilmuannya dalammenjalani profesi (adaptif dan berusaha totalitas) Melaksanakan Aktif dalam tugas yang kegiatan dibebankan sesuai pengembangan dengan birokrasi perpustakaan pemerintahan secara formal dan yang berlaku kedinasan
Cenderung menggagas sharing untuk keperluan administrasi yang terkait tuntutan kerja dan kenaikan angka kredit. 12
Memiliki self enhancement yang cukup tinggi sehingga cenderung menjalin relasi dengan banyak pihak terkait guna mengimplementa sikan ilmu perpustakaan yang dimiliki untuk menunjang
Menyukai pengalaman dan diskusi sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan guna pengembangan kepustakawanan. Aktif dalam berbagai komunitas kepustakawanan maupun non kepustakawanan yang memiliki peluang untuk implementasi dan pengembangan kepustakawanan. Sehingga cenderung inovatif memberi
Internalisasi
bidang yang diminati Memandang positif terhadap tanggapan orang lain dengan mencari peluang untuk mengembangkan diri di bidang yang sedang dijalani
ide-ide.
PENILAIAN INDIVIDU TERHADAP DIRI SENDIRI DENGAN MELIHAT PENILAIAN ORANG TERHADAP DIRINYA (Looking Glass Self)
Memperhatikan tanggapan orang terhadap dirinya, menanggapi dengan cara menarik diri dan timbul kesadaran akan kekurangannya, namun kurang effort dalam perbaikan diri.
PANDANGAN TERHADAP JENJANG KARIER
Cukup puas terhadap pencapaian karier (PNS) dengan mendapat jaminan social di hari tua. Bekerja menjadi tanggungjawab sebagai makhluk social dan juga keluarga .
Bekerja menjadi bentuk pengabdian yang mencerminkan eksistensi diri, sehingga dinamisasi lingkungan dianggap menunjang personal development.
Bekerja merupakan aktivitas yang memberi stimulus untuk perubahanmenuju perbaikan. Sehingga rutinitas pekerjaan yang monoton cenderung kurang disukai. Memiliki preferensi untuk mencari pengalaman di berbagai tempat.
KONTRIBUSI TERHADAP PROFESI PUSTAKAWAN
Cenderung berorientasi untuk menyelesaikan tuntutan pekerjaan dan kenaikan angka akreditas untuk peningkatan dalam jenjang karier saja. Serta patuh terhadap system yang berlaku di instansi kerja tanpa ada
Cenderung produktif dan kreatif karena melandasi kinerja dengan optimisme dan memiliki kebutuhan akan prestasi. (lebih menyukai pekerjaan di tataran strategis)
Cenderung menjadi pengamat yang analitis dan berani melakukan advokasi terhadap kebijakan yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku (tidak berfokus pada tataran administratif)
13
Tidak mempedulikan tanggapan orang terhadap dirinya, cenderung berusaha untuk melakukan upaya pembuktian langsung kepada masyarakat
advokasi hak dan wewenang. PEMAHAMAN TENTANG PROFESI PUSTAKAWAN YANG SEDANG DIJALANI (Interaksionisme Simbolik)
Pustakawan menjadi profesi yang dinilai cukup ribet dalam urusan administrasi sehingga tidak banyak yang berminat untuk menjadi pustakawan. Di lain sisi, pustakawan juga harus mampu menguasai ilmunya.
14
Pustakawan harus memiliki softskill disamping core keilmuan yang dimiliki. Pustakawan harus mampu mencitrakan profesinya dalam ranah publik dan mengambil bagian dalam pengambilan kebijakan, khususnya dalam ranah kepustakawanan.
Kemampuan yang paling penting bagi pustakawan adalah mampu masuk dalam kehidupan bermasyarakat dan membuktikan bahwa ilmu yang dimiliki oleh pustakawan mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Buku Berger, Peter L. Dan Thomas Luckmann. 1966. The Social Construction of Reality: A Treatise in The Sociology of Knowledge. Diterjemahkan oleh Basari, Hasan. 2012. Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Sebuah Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta : LP3ES. Bungin, Burhan. 2006. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya. Jakarta: Kencana. Chowdhbury, G. G, etc. 2008. Librarianship: an Introduction. London: Facet Publishing. Effendy, Muhadjir. 2009. Jati Diri dan Profesi TNI. Malang : UMM Press. Hermawan, Rachman dan Zen, Zulfikar. 2006. Etika Kepustakawanan. Jakarta: Sagung Seto. Kuswantoro, Engkus. 2009. Fenomenologi. Bandung: Widya Padjajaran. Laksmi. 2007. Tinjauan Kultural Terhadap Kepustakawanan: Inspirasi Dari sebuah Karya Umberto Eco. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Moleong, Lexy. J. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Nugroho, Rian. 2011. Public Policy. Jakarta : Elex Media Komputindo Pendit, Putu Laxman. 2009. Merajut Makna : Penelitian Kualitatif Bidang Perpustakaan dan Informasi. Jakarta : Cita Karyakarsa Mandiri Ratih, Rahmawati dan Sudarsono, Blasius. 2012. Perpustakaan Untuk Rakyat: Dialog Antara Anak dan Bapak. Jakarta: Sagung Seto. Samuel, Hanneman. 2012. Peter Berger : Sebuah Pengantar. Depok : Kepik. Shelley E. Taylor, dkk. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta : Kencana Sudarsono, Blasius. 2006. Antologi Kepustakawanan Indonesia. Jakarta : Ikatan Pustakawanan Indonesia. Sudarsono, Blasius. 2009. Pustakawan Cinta dan Teknologi. Jakarta : Sagung Seto. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta. Suryanto, dkk. 2012. Pengantar Psikologi Sosial. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan. Suyanto, Bagong dan M. Khusna Amal. 2010. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial. Malang : Aditya Media. Simposium Sudarsono, Blasius. Penilaian Angka Kredit Unsur Pengembangan Profesi. Disampaikan pada Rapat Koordinasi Teknis Tim Penilai Jabatan Fungsional Pustakawan, 20 Oktober 2010. Sudarsono, Blasius. Penjelasan Butir-Butir Kegiatan Pejabat Fungsional Pustakawan. Disampaikan dalam Sosialisasi dan Pembinaan Pustakawan Di Lingkungan BATAN, 20 Juli 2010. Sudarsono, Blasius. 2010. Pengembangan Profesi Pustakawan. Disampaikan pada 1 Juni 2010 di Jakarta. Sudarsono, Blasius. Profesi Pustakawan: Sekilas Refleksi Pribadi. Disampaikan dalam Lokakarya Nasional Kepustakawanan Indonesia. Jakarta, 5-6 September 2014.
15
Jurnal Manuaba, I. B. Putera. 2008. Memahami Teori Konstruksi Sosial. Masyarakat Kebudayaan dan Politik. Tahun XXI, no. 3, pp. 221-230. Skripsi Atmi, Ragil Tri. 2010. Analisis Kepuasan Lulusan Jurursan Ilmu Informasi dan Perpustakaan pada Bidang Pekerjaan yang ditekuni. Apriliana, Waheda. 2007. Persepsi Petugas Perpustakaan terhadap Profesi Pustakawan (Studi Deskriptif Pada Pengelola Perpustakaan Kantor Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Gresik) Cahyani, Aliffia. 2013. Motivasi Karir Pustakawan dan Non Pustakawan Lulusan Program Studi Ilmu Informasi dan Perpustakaan. Mufarida, Hani‟atul. 2011. Perilaku Konsumen e-Commerce di Kalangan Remaja Urban (Studi Tentang Gaya Hidup dan Budaya Konsumtif di Kalangan Remaja Kota Surabaya dari Perspektif Cultural Studies) Royana, Gana. 2013. Pandangan tentang Profesi Pustakawan (Studi Perspektif Etnometodologi tentang Profesi Pustakawan di Kalangan Mahasiswa Ilmu Informasi dan Perpustakaan Universitas Airlangga) Sabah, Kartika Sari Nur laila Agustina. 2013. Konstruksi Sosial Mahasiswa Ilmu Informasi dan Perpustakaan (IIP) Universitas Airlangga Trehdapa Program Studi IIP Serta Prospek Lulusannya.
Surat Kabar Liem, Ina. Jumat, 7 Februari 2014. Pustakawan Bukan Penjaga Buku. Kompas. Liem, Ina. Jumat, 7 Februari 2014. Perubahan Wajah Pustakawan. Kompas. Website Saleh, Abdul Rahman. 2010. Apakah Pustakawan Sebuah Profesi?. http://rahman.staff.ipb.ac.id/2010/11/03/apakah-pustakawan-sebuah-profesi/ diakses pada 15 Maret 2013 Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 tentang Pepustakaan diambil dari http://kelembagaan.pnri.go.id/Digital_Docs/homepage_folders/activities/hig hlight/ruu_perpustakaan/pdf/UU_43_2007_PERPUSTAKAAN.pdf pada 15 Maret 2013 Willmott, Chris. 2008. Careers in Librarianship and Information Management. Diambil dari http://slideshare.net/cjrw2/librarianship diakses pada 20 Februari 2014 http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/psikologi_umum2/bab4_sikap_manusi a.pdf diakses pada 19 Juni 2014 Wawancara Wawancara dengan pegawai PDII LIPI bagian kepegawaian tanggal 7 Februari 2013
16
17
18