PENJIWAAN PROFESIONALISME PUSTAKAWAN ( Studi Fenomenologi Tentang Konstruksi Sosial Pustakawan di Perpustakaan Umum Kota Surabaya Terhadap Profesi Pustakawan )
SKRIPSI
Disusun Oleh : DIAN NOVITA FITRIANI NIM : 071016059
PROGRAM STUDI ILMU INFORMASI DAN PERPUSTAKAAN DEPARTEMEN INFORMASI DAN PERPUSTAKAAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA
Semester Genap 2013 / 2014
PENJIWAAN PROFESIONALISME PUSTAKAWAN ( Studi Fenomenologi Tentang Konstruksi Sosial Pustakawan di Perpustakaan Umum Kota Surabaya Terhadap Profesi Pustakawan )
SKRIPSI
Disusun Oleh : DIAN NOVITA FITRIANI NIM : 071016059
PROGRAM STUDI ILMU INFORMASI DAN PERPUSTAKAAN DEPARTEMEN INFORMASI DAN PERPUSTAKAAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA
Semester Genap 2013 / 2014
i
PENJIWAAN PROFESIONALISME PUSTAKAWAN (Studi
Fenomenologi Tentang Konstruksi Sosial Pustakawan di
Perpustakaan Umum Kota Surabaya Terhadap Profesi Pustakawan)
SKRIPSI Maksud : Sebagai Salah Stau Syarat Untuk Menyelesaikan Studi S1 Pada Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Airlangga
Disusun Oleh : DIAN NOVITA FITRIANI NIM : 071016059
PROGRAM STUDI ILMU INFORMASI DAN PERPUSTAKAAN DEPARTEMEN INFORMASI DAN PERPUSTAKAAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA
iii
Semester Genap 2014 / 2015
Alhamdulillah . . . Skripsi ini adalah bentuk rasa syukur atas segala nikmat yang Alloh berikan, rasa syukur telah mampu mengenyam pendidikan tinggi di Universitas Airlangga, semangat untuk merajut impian-impianku selanjutnya.
Dengan penuh rasa syukur saya persembahkan karya ini kepada: Allah SWT yang telah melimpahkan segala Rahmat-Nya Nabi Muhammad SAW Orang Tua Adikku, Moch. Rizqi Andika Jalan Hidupku Para Pustakawan di jalan yang sunyi, berliku dan mendaki Nusa dan Bangsa
iv
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah S.W.T atas segala nikmat serta hidayah yang telah Engkau berikan kepada hamba. Kenikmatan yang begitu banyak dan tak terhingga nilainya. Semoga karya ini membawa berkah dan manfaat untuk sesama. Berilah petunjuk dalam setiap langkah hamba untuk senantiasa mendekat kepadaMu. Special thanks yang luar biasa untuk kedua orang tuaku, Bapak, Ibu. Terima kasih atas kasih sayang dan semua yang telah diberikan padaku. Terima kasih telah mendidikku, hingga menjadi
Dian saat ini. Bukan kemanjaan yang engkau
berikan kepadaku, saat ini aku sadar bekal kemandirian inilah yang nantinya akan sangat dian butuhkan. Sungguh guru kehidupan yang luar biasa. I always love you … Adekku, Rizqi. Tetap istiqomah menuntut ilmu di jalanNya. Ingat orang tua dek, begitu luar biasa pengorbanannya untuk melihat anaknya, kita ini sukses. Semangat berjuang untuk masa depanmu ya le Keluarga tante Darwati, Om Sodiq terima kasih banyak atas perhatiannya selama ini, telah menjadi keluarga kedua Dian selama di Surabaya. Dian tidak tahu harus membalasnya seperti apa, semoga Alloh membalas kebaikan-kebaikanmu. Adek sepupuku Izzan dan Agung, jadilah anak sholeh. Harapan orang tua besar kepada kalian untuk jadi anak yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama. Agung, jangan nakal ya. Saudaraku, Niswa Nabila S. B. A maaf atas semua salah dan khilaf yang pernah aku lakukan padamu baik sengaja maupun tidak. Maaf belum bisa menjadi kakak yang baik buat kamu. Tetap semangat untuk mengejar impian-impianmu, tetaplah jadi dirimu sendiri. Aku tunggu wisudamu di Maret tahun depan ya . Aku tahu hidup adalah pilihan, dan aku yakin ini adalah pilihan terbaik untuk dirimu sendiri. Semoga semakin bermanfaat dengan status mahasiswanya ya :3 :* Sahabatku, Nisa Adelia terima kasih atas segala nasehat dan kedewasaannya. Aku belajar banyak darimu. Sukses untuk mimpi-mimpimu :*
v
Sahabatku, Bulqis Khumairo. Terima kasih telah sabar menghadapi temanmu satu ini. Tetap semangat untuk menggapai cita-citamu :* Jeany Jeans Team, maaf selama ini masih belum fokus. InsyaAllah usaha ini akan berkembang dan memberi manfaat untuk sesame banyak orang. Special Thanks buat Mbak Kartika (kakak besar) atas motivasi dan bantuanbantuannya selama ini sehingga adek kecilmu ini bisa menyelesaikan skripsi. Geng Idiots yang luar biasa, mengenalmu dari yang belum jadi apa-apa hingga. Niswa, Nisa, Agus, Bambang, Mas Yanuar (Ayah tiri), Adekku Azul. Terima kasih atas pelajaran yang luar biasa selama ini. Tak lupa, geng gaholers (eks. petinggi BEM dan ketua forkom galau 2013 yang sedang berjuang bersama untuk wisuda Oktober 2014), Dina, Andri, Egsa, Agus, Ana, Dewi, Didik. Terima kasih atas alarm-alarm skripsi, meskipun pada akhirnya tetap deadliners. Organisasi yang sesungguhnya, persaudaraan itu tidak putus ketika kepengurusan berakhir, Hahaha…. Siap foto bertoga di puncak Mahameru ya ^^ Keluarga angkat, hehe Pak Muchlison, Bu Siti, Adit, Rara, Nala, terima kasih telah diberi kesempatan merasakan kehangatan keluarga besar, terima kasih telah menerima kunjungan berkali-kali Dian ke Blitar. Terima kasih atas segala doadoanya. Kelurga Mbak Zulis, Pak Thohiron, adekku Hana. Terima kasih telah menjadi keluarga Dian selama di Jakarta. Keluarga besar UKM Penalaran, Niswa (again), Aji, Mbak Yanis, Mas Udin, Ahsan, Daus, Uyun, Linta, Daus, Hanif, dan adek-adekku terima kasih banyak atas pengalaman dan pelajaran hidup yang luar biasa menjadi penlovers. Keluarga besar SCOLAH-Unair Mengajar, para tetua Mas Royan, Mas Andri, dan mbak mas lainnya, Niswa (again), Kiky, Salma, Kelurga HRDku, Rari, Leo, Azul (again), dek Hayu, Agung. Semua tim 2012, 2013, pengajar angkatan 1 dan 2. Terima kasih telah memberi kesempatan saya untuk merasakan indahnya berbagi dengan adek-adek binaan, telah memberi pelajaran berharga selama ini, merasakan kehangatan dan keceriaan keluarga besar bersama kalian. Tetap
vi
istiqomah di jalan ini ya ;-) Keluarga besar BEM KM 2013 dan khususnya anak-anakku di kementerian riset, kalian semua luar biasa. Pelajaran sangat berharga bisa kenal dan kerja bareng sama kalian dengan berbagai kondisi. Keluarga besar Airlangga Bojonegoro Community (ABC), terima kasih telah diberi kesempatan belajar dan merasakan kehangatan keluarga bersama kalian. Keluarga kunang-kunang, Forum Indonesia Muda. Terima kasih untuk Bunda Tatty Elmir dan Pak Elmir beserta seluruh jajaran panitian FIM 15 yang telah memberikan Dian kesempatan yang luar biasa untuk bertemu para kunang-kunang yang sangat luar biasa dari seluruh penjuru daerah di Indonesia. Keluarga baruku, FIM Regional Surabaya. Bahagia sekali bisa berkumpul dengan kalian di momen itu, Dian nggak pernah membayangkan bisa menyanyikan lagu Aku Untuk Bangsaku itu bersama kalian. :’) Semoga kita benar-benar bisa menjadi kunang-kunang yang mampu memberikan sinarnya untuk Indonesia yang lebih baik. Keluarga MHMMD, Abi Andra beserta bunda, Bunda Marwah, Bang Firman, The Dilla, terima kasih atas segala motivasi dan inspirasinya selama ini. Buat Abi Andra yang tidak lelahnya mengingatkan Dian untuk mengerjakan skripsi dan atas doa-doanya selama ini. Terima kasih buat Mas Fuad, Mbak Rohma, Mas Sinyo dan Dek Audit. Teruntuk YPPI team, Bu Trini, Mas Dicky, Mbak Dini, Mas Kus, Mas Apri dan Pak Bambang. Terima kasih telah memberikan Dian banyak pelajaran dan pengalaman hidup. Keluarga komMmbis 4, Dilla, Fijar, Daus, dan yang lainnya, kalian luar biasa sudah memiliki usaha, semoga segera menyusul kalian. Teruntuk Pak Putu yang telah memberikan banyak ilmu dan motivasi menjadi pengusaha. Keluarga PENGMAS REALITA 4 ILP2MI dan warga Dsn. Lengkong – Sucopangepok- Jember, terima kasih atas pengalaman berharga selama 1 minggu mengabdi. Komunitas Pemuda dan Mahasiswa Surabaya, sukses untuk project Ubah Wajah
vii
Dolly nya. Terima kasih telah diberi kesempatan untuk mengabdi bersama kalian. Para informan pustakawan Perpustakaan Umum Kota Surabaya, Pak Wibowo terima kasih telah banyak membuka mata saya dan memberi banyak pelajaran kepustakawanan. Pak Elok, Pak Arif, Bu Erna, Bu Galuh, Mbak Aulia, Bu Emil terima kasih atas bantuannya dalam proses penelitian ini. Teman-temanku di jurusan Ilmu Informasi dan Perpustakaan, I will miss you guys :* Semoga kalian sukses di bidangnya masing-masing. Semangat ^^
viii
SEBAIK-BAIK MANUSIA ADALAH YANG BERMANFAAT UNTUK MANUSIA LAINNYA BUKAN SAATNYA KITA MENGUTUK KEGELAPAN, SAATNYA MENYALAKAN LILIN DI TENGAH KEGELAPAN. KARENA HIDUP YANG TIDAK DIPERTARUHKAN, TIDAK AKAN DIMENANGKAN -SUTAN SJAHRIR-
ix
Ketika aku muda, aku bebas berkhayal, Aku bermimpi ingin mengubah dunia. Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku, Kudapati bahwa dunia tak kunjung berubah. Maka cita-cita itu pun agak kupersempit, Lalu kuputuskan untuk hanya mengubah negeriku, Namun tampaknya Hasrat itu tiada hasil. Ketika usiaku semakin senja, Dengan semangat yang masih tersisa Kuputuskan untuk hanya mengubah keluargaku Orang-orang yang paling dekat denganku. Tapi celakanya, Mereka pu tidak mau diubah! Dan kini, Sementara aku berbaring saat ajal menjelang Tiba-tiba kusadari… “Andaikan yang pertama-tama ku ubah adalah diriku Maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan Mungkin aku bisa mengubah keluargaku Lalu, berkat inspirasi dan dorongan mereka, Bisa jadi aku pun mampu mengubah negeriku Kemudian siapa tahu, Aku pun bahkan bisa mengubah dunia. Ditulis dan dicatat ulang oleh Elmir Amien dari buah karya seorang Bishop Anglikan, pada tahun 1100 masehi, tertulis di ruang pemakaman Wesminster Abbey, Inggris (Elmir Amien, Forum Indonesia Muda 27-31 Oktober 2014)
x
ABSTRAK Pada umumnya tidak banyak orang yang menyadari keberadaan dan pentingnya profesi pustakawan. Seringkali dianggap profesi ini dianggap tida. Sehingga profesi ini tidak menarik bagi kaum muda khususnya mahasiswa jurusan ilmu informasi dan perpustakaan. Bahkan dari pustakawan yang aktif, belum tentu sejak awal mengenal, memahami dan menyukai profesi sebagai pustakawan. Di sisi lain, profesi pustakawan memiliki potensi yang dapat dikembangkan di era informasi saat ini. Seorang pustakawan harus multiskilled, tidak cukup jika hanya berhubungan dengan buku. Penelitian kualitatif dalam studi ini mencoba menemukan pemahaman dari pustakawan melalui intersubjektivitas dalam mengembangkan pengetahuan mereka tentang penjiwaan profesionalisme pustakawan. Studi ini menggunakan perspektif kosntruksi soaial, yang mana mencoba memahami fenomena ini dengan kepercayaan diri pustakawan selama menjalani profesi pustakawan. Studi ini menghasilkan 3 tipologi prosesional, yaitu: Administrative librarianship, actualization librarianship, and society oriented librarianship. Administrative librarianship adalah pustakawan yang bekerja sesuai dengan aturan birokrasi pemerintahan. actualization librarianship adalah pustakawan yang bekerja untuk mengeksplor kemampuannya. Society Oriented Librarianship adalah pustakawan yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat melalui profesinya. Kata Kunci : Konstruksi Sosial, Pustakawan, Prosionalisme
xiii
ABSTRACT Relatively not many people are aware about the existence and significant of a librarian. Often bring discordant notes about this profesion. So, this profesion doesn’t attract the young people especially librarian and information student. Even from librarians who are actively, not necessarily early acquired, understand, and liking profession as a librarian. On other hand, in librarian is a profesion that has the potencial to be developed in the current information era. A librarian currently must multiskilled, not enough if only to do with books. Qualitative research in this study tried to uncover the meaning behind the librarian inter subjectivism in expanding their knowledge about soul of profesionalisme librarian. The study uses the Social Construction perspective, which means trying to understand this phenomenon with tracing back the confidence in librarians during their profesion. This study results three profesionalisme typology, they are: administrative librarianship, actualization librarianship, and society oriented librarianship. Administrative librarianship is a librarian who to work in accordance with the rules of bureaucracy of government. Actualization librarianship is librarian work to explore his capability. Society Oriented librarianship is librarian who regard the librarian professions is needed to empower people.
Keywords : Social Construction, Librarian, Librarianship.
xiv
KATA PENGANTAR Syukur amdulillah, segala puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, yang telah memberikan kekuatan, kesempatan dan kemudahan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang
berjudul
“Penjiwaan
Profesionalisme
Pustakawan
(Studi
Fenomenologi Tentang Kosntruksi Sosial Pustakawan di Perpustakaan Umum Kota Surabaya Terhadap Profesi Pustakawan”. Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan program studi strata satu (S-1) Ilmu Informasi dan Perpustakaan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga. Penulisan skripsi ini tidak akan memberikan hasil yang baik apabila tidak ada bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Kedua orang tua penulis yang senantiasa memberikan perhatian, doa dan dukungan baik secara moral maupun materil selama penulis menempuh pendidikan di Universitas Airlangga. 2. Bapak Helmy Prasetyo, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing dan memberikan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 3. Ibu Tri Soesantari yang senantiasa memberikan banyak pengalaman, ilmu, dukungan
dan
nasehat-nasehat
selama
penulis
menempuh
pendidikan
perpustakaan. 4. Ibu Endang Gunarti selaku Ketua Departemen Informasi dan Perpustakaan. 5. Dosen beserta staf Departemen Informasi dan Perpustakaan. 6. Para informan penelitian yang telah bersedia menyediakan waktunya untuk wawancara dan berbagi pengalaman demi kelancaran penelitian ini. 7. Kakak besar (Mbak Kartika), Niswa, Nisa, Egsa, Dina, Mbak Yanis, Mas Udin, Aji, Agus, Andri, Ana, Dewi yang telah membantu dan memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 8. Teman-teman IIP 2010 yang sama-sama berjuang untuk kelulusan. 9. Semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak-pihak tersebut. Semoga segala bantuan, simpati, dorongan, dan kerjasama semua pihak yang telah membantu
xv
penulis selama pelaksanaan penelitian skripsi hingga penyusunan laporan skripsi ini mendapatkan balasan berlipat ganda dari Allah SWT. Mohon maaf atas segala kekhilafan yang pernah penulis lakukan baik perkataan maupun perbuatan. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik senantiasa penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan dan dipergunakan sebaik-baiknya.
Surabaya, 30 Juni 2014
Penulis
xvi
DAFTAR ISI
Halaman Judul ................................................................................................ Halaman Pernyataan Tidak Melakukan Plagiat .............................................. Halaman Judul II ............................................................................................. Halaman Persembahan .................................................................................... Halaman Motto ................................................................................................ Halaman Persetujuan Pembimbing ................................................................. Halaman Pengesahan Panitia Penguji ............................................................. Abstrak ............................................................................................................ Abstract .......................................................................................................... Kata Pengantar ................................................................................................ Daftar Isi .......................................................................................................... Daftar Tabel .................................................................................................... Daftar Skema ...................................................................................................
BAB I: PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah ............................................................................ I.2 Fokus Penelitian ......................................................................................... I.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................... I.4 Manfaat Penelitian ..................................................................................... I.4.1 Manfaat Akademis ................................................................... I.4.2 Manfaat Praktis ........................................................................ I.5 Kerangka Teori .......................................................................................... I.5.1 Konstruksi Sosial Pustakawan dalam Perspektif Peter L. Berger.......................................................................... I.5.1.1 Eksternalisasi ......................................................................... I.5.1.2 Objektivasi .............................................................................. I.5.1.2.1 Profesi Pustakawan sebagai Kenyataan Obyektif melalui Pelembagaan dan Legitimasi .............................................. I.5.1.2.1.1 Pelembagaan Makna Profesi Pustakawan ....................... I.5.1.2.1.2 Legitimasi ........................................................................ I.5.1.3 Internalisasi ............................................................................ I.5.1.3.1 Profesi Pustakawan sebagai Kenyataan Subyektif ............. I.5.1.3.1.1 Internalisasi Kenyataan.................................................... I.5.2 Pustakawan ............................................................................... I.5.3 Pustakawan sebagai Sebuah Profesi ......................................... I.5.4 Kode Etik Pustakawan ............................................................. I.5.5 Teori The Looking Glass Self – Charles Cooley....................... I.5.6 Teori Perbandingan Sosial ........................................................ I.5.7 Teori Self Enhancement ............................................................ I.5.8 Teori Interaksionisme Simbolik ............................................... I.6 Metode dan Prosedur Penelitian ................................................................ I.6.1 Pendekatan dan Fokus Penelitian ............................................. I.6.2 Sasaran Penelitian ..................................................................... I.6.3 Tipe Penelitian ..........................................................................
xvii
i ii iii iv ix xi xii xiii xiv xv xvii xx xxi
I-1 I-9 I-10 I-11 I-11 I-11 I-12 I-12 I-16 I-19 I-21 I-23 I-25 I-26 I-27 I-28 I-31 I-32 I-34 I-37 I-38 I-38 I-39 I-42 I-42 I-42 I-43
I.6.4 Teknik Penentuan Informan ..................................................... I-46 I.6.5 Teknik Pengumpulan Data ....................................................... I-48 I.6.6 Teknik Analisa Data ................................................................. I-52 BAB II: GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SASARAN II.1 Deskripsi Umum Perpustakaan Umum Kota Surabaya II.1.1 Sejarah Berdiri.......................................................................... II.1.2 Lokasi Perpustakaan Umum Kota Surabaya ............................ II.1.3 Tugas dan Fungsi Pokok ......................................................... II.1.4 Visi, Misi, Moto dan Tujuan Perpustakaan Umum Kota Surabaya ......................................................................... II.1.5 Data Pegawai Badan Arsip dan Perpustakaan Umum Kota Surabaya .................................................................................. II.1.6 Data Statistik Pengunjung Tahun 2013 ................................... II.1.7 Data Statistik Peminjam Tahun 2013 ...................................... II.1.8 Jumlah Koleksi ........................................................................ II.1.9 Fasilitas .................................................................................... II.1.10 Layanan Perpustakaan ........................................................... II.2 Lokasi Penelitian II.2.1 Jabatan Fungsional Pustakawan ............................................... II.2.2 Tugas Pokok dan Kegiatan PFP ..............................................
II-1 II-2 II-4 II-5 II-7 II-7 II-8 II-9 II-10 II-12 II-14 II-15
BAB III: PROFIL INFORMAN DAN TEMUAN DATA III.1 Profil Informan III.1.1 Informan 1 .............................................................................. III-1 III.1.2 Informan 2 .............................................................................. III-2 III.1.3 Informan 3 .............................................................................. III-2 III.1.4 Informan 4 .............................................................................. III-3 III.1.1 Informan 5 .............................................................................. III-5 III.2 Eksternalisasi Pustakawan Perpustakaan Umum Kota Surabaya dalam Memilih Pustakawan sebagai Profesinya ................................................ III-4 III.3 Proses Objektivasi : Pustakawan Perpustakaan Umum Kota Surabaya Berproses dalam Memahami Profesinya .................................................. III-33 III.4 Keterkaitan Pustakawan Perpustakaan Umum Kota Surabaya Terhadap Pemahaman sebagai Pustakawan dan Rencana Pengembangan ke Depannya .................................................................... III-52 IV. ANALISIS DAN INTERPRETASI TEORITIK IV.1 Proses Eksternalisasi : Sikap Pustakawan dalam Pelaksanaan Profesi Pustakawan ............................................................................................. IV-2 IV.2 Objektivasi Makna Profesionalisme pada Pustakawan mengenai Profesinya ................................................................................ IV-10 IV.3 Internalisasi Pemahaman Pustakawan tentang Profesinya dalam Pelaksanaan Kinerja sehari-hari ......................................................................................... IV-20
xviii
V. PENUTUP V.1 Kesimpulan .......................................................................................... V-1 V.2 Saran ............................................................................................. V-1 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN Draft Wawancara Penelitian Transkrip Wawancara Surat Ijin Penelitian Daftar Nama Pegawai Perpustakaan Umum Kota Surabaya
xix
DAFTAR TABEL
Tabel I.1 Analisa Pemberian Penghargaan Pada Pustakawan Pada Instansi Swasta (Perpustakaan non perpustakaan) ............................... I-5 Tabel II.2 Data Pengunjung Badan Arsip dan Perpustakaan Umum Kota Surabaya ............................................................................................... II-7 Tabel II.3 Data Peminjam Badan Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya .. II-8 Tabel II.4 Jumlah Koleksi Pada Ruang Baca Dewasa 1dan Ruang Baca Dewasa 2 Badan Arsip dan Perpustakaan Umum Kota Surabaya ....... II-9 Tabel II.5 Jumlah Pengadaan Buku Tahun 2013 .......................................... II-10 Tabel II.6 Jumlah Sumbangan atau Bantuan Pada Tahun 2013
................... II-10
Tabel III.1 Matrix Informan .......................................................................... III-6 Tabel IV.2 Tipologi Sosial Pustakawan Perpustakaan Umum Kota Surabaya terhadap Profesinya ........................................................................................ IV-31
xx
DAFTAR SKEMA
Skema IV.1 Proses Konstruksi Sosial Peter L. Berger dalam Konteks Penjiwaan Profesi Pustakawan ....................................................................................... IV-5
xxi
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah Pustakawan menjadi istilah yang kurang populer dikalangan masyarakat Indonesia. Masyarakat belum banyak mengenal profesi ini. Mereka lebih banyak mengenal profesi ini dengan sebutan ―petugas perpustakaan‖, ―pegawai perpustakaan‖ atau ada juga yang menyebut sebagai ―penjaga buku‖. Istilah-istilah ini merupakan istilah lama yang dapat kita temui dalam Oxford English Dictionary tahun 1713. Librarian, as a term, replaced the older “library-keeper” as a description of the person who was charged with the upkeep of a library. The earliest use of this sense of the term attested by the EOD is 1713; its former meanings include a scribe or copyist.1
Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi, dimana saat ini kita hidup pada era informasi dan internet, data tidak lagi disimpan dalam wujud fisiknya saja. dulunya
dianggap
sebagai
Sehingga disinilah peran pustakawan yang penjaga
buku
juga
harus
mampu
mentransformasikan dirinya sesuai dengan perkembangan zaman. Saat ini pustakawan tidak lagi hanya menjaga perpustakaan beserta isinya, namun juga memiliki aktivitas berikut : seleksi dan akuisisi sumber-sumber
1
Chowdhury, G.G, etc. 2008. Librarianship: an introduction. London: Facet Publishing. Hal. 3-4
I-1
informasi, mengorganisasi dan mengakses, preservasi dan konservasi, pelayanan pengguna dan pelatihan, dan manajemen. A librarian is a person who performs one or more of the following activities: selection and acquisition of information resources, organization and access, preservation and conservation, user services and training, and management.2
Pada kenyataannya profesi pustakawan masih kalah dengan profesi lainnya, seperti dokter, hakim, pengacara, bahkan profesi dosen dan guru yang notabenenya berada dalam satu bidang yang sama yaitu pendidikan. Saat ini pekerjaan perpustakaan masih sering dianggap sebagai pekerjaan ‗tukang‘, bersifat birokratis, teknis dan eksklusif. Hal ini dikarenakan adanya beberapa faktor yang terjadi yang berhubungan dengan organisasi yang melingkupinya, yaitu perpustakaan. Hal ini disebabkan oleh munculnya dehumanisasi akibat adanya sistem sosial yang patrimonial, birokrasi yang muncul bersifat otoriter dan sentralistik, bisa dikatakan bersifat kaku, personal, dan emosional. Sehingga dampak sosial yang dapat terjadi adalah dengan adanya sistem tersebut mampu mengikis semangat dan kapasitas untuk bertindak secara spontan dan empati.3 Pustakawan sebagai sebuah profesi tidak banyak menarik perhatian bagi sebagian besar orang dari berbagai kelompok. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya minat dari kaum muda apalagi dari pendidikan 2
Gorman dalam Chowdhury, G.G, etc. 2008. Librarianship: an introduction. London: Facet Publishing. Hal 3. 3 Laksmi. 2007. Tinjauan Kultural Terhadap Kepustakawanan: Inspirasi Dari sebuah Karya Umberto Eco. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Hal. 15-21.
I-2
perpustakaan untuk menjadi pustakawan, sehingga hal ini mempengaruhi proses rekruitmen. Sebagai konsekuensinya rekruitmen berasal dari kelompok yang dianggap underpresented, atau dapat dikatakan sebagai kelompok yang tidak sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan 4. Salah satu pegawai bidang kepegawaian di PDII LIPI pernah mengungkapkan bahwa “beberapa kali mencari mahasiswa lulusan ilmu perpustakaan untuk menjadi pegawai, namun dari pusat tidak pernah dipenuhi sehingga kami terpaksa merekrut lulusan dari jurusan lain.”5.
Hal ini didukung oleh salah satu informan, PB mengungkapkan bahwa untuk perekrutan PNS pustakawan di kota Surabaya sendiri masih sangat minim dan bahkan tidak ada. Hingga saat ini di kota Surabaya hanya membuka formasi 1 orang saja untuk tiap kali perekrutan PNS. Sampai saat ini yang menjadi permasalahan itu, hingga saat ini formasi pemerintah pusat dengan pemerintah kota apalagi kabupaten.Formasi perekrutan perpustakaan ini masih sangat minim sekali atau bahkan tidak ada. Padahal sudah ada PERDA, dan lain-lainnya. Termasuk Mbak Aulia ini juga beruntung, formasi di Surabaya ini cuma 1.6
Berbagai potret ironis profesi pustakawan ditambah lagi dengan rendahnya minat kaum muda terhadap profesi pustakawan dan bahkan dari
4
Richard E. Rubin dalam Kartika, S.N.L.A.S. 2012. Konstruksi Sosial Mahasiswa IIP Universitas Airlangga terhadap Program Studi IIP dan Prospek Lulusannya. Hal I-6. 5 Suparti. Analisa Kepegawaian Penyelia-PDII LIPI. Wawancara dilaksanakan 7 Februari 2013 6 Elok Susilo Wuryanto. Wakasubbid Bidang Pembinaan Perpustakaan Umum Kota Surabay. Wawancara dilaksanakan tanggal 07 Mei 2014
I-3
kebanyakan pustakawan yang sedang aktif, belum tentu sejak awal mengenal, memahami, dan menyukai profesi sebagai pustakawan.7 Bahkan Ina Liem8 dalam artikelnya menjelaskan bahwa dari hasil polling terhadap 5.614 siswa SMA di Indonesia pada tahun 2013 hanya ada 1 siswi yang berminat menjadi pustakawan. Profesi ini masih dipandang sebelah mata. Masyarakat masih memiliki anggapan bahwa kerja pustakawan hanya sebagai penjaga buku dan bekerja di tengah rak yang berisi ribuan buku yang menjulang tinggi. Di Indonesia, profesi pustakawan masih kurang dihargai oleh masyarakat. Stereotype profesi pustakawan bukan pekerjaan secara professional dan dapat dilakukan oleh siapapaun tanpa harus menempuh pendidikan kepustakawanan menjadi salah satu penyebabnya. Selain itu, profesi ini masih dianggap sebagai profesi yang kurang menjanjikan secara ekonomi. Padahal telah jelas diatur dalam UU Perpustakaan No. 43 tahun 2007 pasal 31 disebutkan bahwa ―hak seorang pustakawan adalah penghasilan diatas kebutuhan hidup miminum dan jaminan kesejahteraan sosial, serta pembinaan karir sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas‖.9 Berbagai alasan menjadi penyebab kurangnya penghargaan kepada profesi ini. Kurangnya penghargaan pada profesi pustakawan inilah yang 7
Sudarsono, Blasius. 2006. Antologi Kepustakawanan Indonesia. Jakarta : Ikatan Pustakawanan Indonesia. Hal 8 Ina Liem. Pustakawan Bukan Penjaga Buku. Kompas, Jumat 7 Februari 2014. Hal. B 9 Aliffia Cahyani. 2013. Motivasi Karir Pustakawan dan Non Pustakawan Lulusan Program Studi Ilmu Informasi dan Perpustakaan. Hal. 5-6
I-4
menjadi penyebab kurangnya motivasi kaum muda khususnya mahasiswa lulusan jurusan perpustakaan untuk menekuni profesi pustakawan. Ragil Tri Atmi10 dalam penelitiannya memberikan gambaran bahwa dari segi penghargaan lulusan yang bekerja di instansi perpustakaan mendapatkan nilai lebih dalam berbagai bentuk penelitian. Tabel I.1 Analisis pemberian penghargaan pada pustakawan* pada instansi swasta (perpustakaan dan non perpustakaan)
Bentuk-bentuk penghargaan Ekstrinsik
Instrinsik
Gaji Status Bonus Hadiah Tunjangan Kenaikan pangkat Promosi Sanjungan Pujian Kepercayaan Kemandirian Pertumbuhan pribadi Sikap Sikap
Instansi Swasta Perpustakaan Non Perpustakaan Sangat rendah Tinggi Stagnant Naik Jarang Sering Jarang Sering Ada (Khusus) Sering Ada (Sangat Ada (Cepat) lama) Ada (Jarang) Ada (Sering) Ada Ada Ada Ada Ada Jarang Tidak ada Ada Rendah Tinggi
Pimpinan Sangat kurang Kondusif Rekan Kurang Kondusif kerja kondusif Publik Sikap Tinggi Tinggi *lulusan program studi ilmu informasi dan perpustakaan Sumber : Hasil Penelitian Skripsi berjudul Analisis Kepuasan Lulusan Jurusan Ilmu Informasi dan Perpustakaan pada bidang pekerjaan yang ditekuni 11
10
Ragil Tri Atmi. 2010. Analisis Kepuasan Lulusan Jurursan Ilmu Informasi dan Perpustakaan pada Bidang Pekerjaan yang ditekuni. Hal. III-29. 11 Ragil Tri Atmi. Ibid., Hal. 39
I-5
Dalam penelitiannya, Waheda Apriliana mengungkapkan bahwa persepsi pengelola perpustakaan dari segi pemahaman akan latar belakang pendidikan masih kurang. Mereka hanya melihat profesi pustakawan pada lama pengabdian kerja dan bukan pada kemampuannya12. Tentunya hal ini sangat memprihatinkan, padahal dalam UU Perpustakaan No. 43 Tahun 2007 juga telah dijelaskan tentang definisi pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan. Jika diperhatikan dengan cermat, di Indonesia memiliki lebih dari 200.000 sekolah mulai dari SD hingga SMA, dan lebih dari 3.000 perguruan tinggi. Selain itu juga terdapat perpustakaan negara, perpustakaan umum, dan perpustakaan khusus. Ditambah lagi lembaga pemerintahan dan perusahaanpun memerlukan tenaga pustakawan. Sebagai perbandingannya, jumlah pustakawan Indonesia saat ini hanya sekitar 3.000 orang13. Jika disadari, sebenarnya profesi pustakawan menjadi profesi yang sangat dibutuhkan di era informasi saat ini. Pustakawan saat ini harus multiskilled, tidak cukup jika hanya berhubungan dengan buku. Seorang pustakawan bukanlah tipe orang yang hanya menata buku ke rak-rak. Seorang pustakawan harus keluar dan
12
Waheda Apriliana. 2007. Persepsi Petugas Perpustakaan terhadap Profesi Pustakawan (Studi Deskriptif Pada Pengelola Perpustakaan Kantor Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Gresik). 13 Ina Liem, Op. Cit. Hal. C
I-6
mampu menjual diri dan layanan, melek computer dengan menggunakan teknologi canggih, memiliki ketrampilan dalam bidang website, manajemen yang baik, mampu manajemen keuangan, orang dan politik.
14
Sehingga
tidak berlebihan ketika seorang pustakawan di era abad 21 ini disebut sebagai knowledgeable person atau source of all knowledge. Tugas utama seorang pustakawan adalah mencari, menghimpun, mengelola, menyebarkan dan menyajikan sesuai dengan kebutuhan. Selain itu, seorang pustakawan juga harus mampu melestarikan informasi (presrverve). Dilihat dari tugas utamanya, seorang pustakawan idealnya bukan dari golongan kutu buku yang pendiam. Justru seorang pustakawan harus memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, dikarenakan ia harus berhubungan dengan berbagai pihak. Sebagai profesi yang bergerak di bidang jasa, ia juga harus berorientasi pada pelayanan pelanggan dan pemasaran.15 Banyak pelajar maupun masyarakat pada umumnya kurang tertarik untuk masuk ke perpustakaan. Salah satu penyebabnya adalah pustakawan yang bersikap pasif. Hal ini juga menjadi salah satu dampak dari langkanya pustakawan yang memiliki background pendidikan ilmu perpustakaan dan minat kaum muda terhadap profesi pustakawan. Salah satu contohnya dapat dilihat dari data kepegawaian pada perpustakaan umum daerah kota
14
Willmott, chris. 2008. Careers in Librarianship and Information Management. http://www.slideshare.net/cjrw2/librarianship diakses pada 20 Februari 2014 15 Ana liem, Op. Cit. Hal. B
I-7
Surabaya. Dari total pegawai perpustakaan yang berjumlah 28 orang yang sudah mendapatkan jabatan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), hanya 4 orang yang memiliki background ilmu perpustakaan dan masih lulusan diploma. Tidak banyak yang mengetahui bahwa seorang pustakawan memiliki banyak keahlian yang bisa diaplikasikan dalam banyak bidang informasi. Sehingga dampaknya, posisi pustakawan di beberapa lembaga atau perusahaan masih belum mendapatkan tempat yang bergengsi. Dari data yang diperoleh dari bidang kepegawaian perpustakaan umum kota daerah Surabaya, dari keempat pustakawan yang telah mendapatkan jabatan fungsional sebagai PNS, keempatnya menduduki posisi sebagai staf dan golongan
II
pada
tingkatan
PNS.
Padahal
sebenarnya,
lembaga
pemerintahan dan perusahaan besar membutuhkan keahlian mereka. Bahkan di beberapa perusahaan besar, karier pustakawan bisa mencapai posisi sebagai Chief Information Officer (CIO), yang setara dengan Chief Financial Officer (CFO) ataupun Chief Marketing Officer (CMO), dan tentu saja dibutuhkan landasan akademik yang kuat.16 Dari uraian diatas, didapatkan gambaran bahwa pustakawan kurang memahami makna dan peran profesinya. Inilah yang menjadi hal menarik bagi penulis.
Menurut Berger manusia sebagai individu yang mampu
memahami dirinya sendiri dan manusia sebagai anggota masyarakat dengan
16
Ibid. Hal. B
I-8
tiga momen dialektik yang dilampaui yaitu, objektivasi, dan internalisasi yang membentuk konstruksi sosial. Pemahaman mengenai konstuksi profesi pustakawan oleh para pustakawan untuk memahami, memaknai dan mendefinisikan, perannya, dimana mereka melakukan tindakan-tindakan subjektif dengan menggunakan stock of knowledge di antara mereka17.
I.2 Fokus Penelitian Pustakawan menjadi sebuah profesi yang masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat luas. Profesi ini kalah dengan profesi lainnya seperti dokter, pengacara, hakim dan profesi lainnya yang banyak diinginkan oleh kaum muda. Image pustakawan yang terbangun pada masyarakat selama ini sangat dipengaruhi oleh kinerja pustakawan itu sendiri. Istilah stereotype tentang pustakawan sebagai penjaga bukupun masih melekat pada profesi ini. Padahal seharusnya di era informasi saat ini, pustakawan mampu mengembangkan banyak keahliannya dalam berbagai bidang informasi yang tentunya mampu diterapkan untuk mengembangkan perpustakaan atau lembaga informasi tempatnya bekerja. Kosntruksi sosial menjadi salah satu sudut pandangan yang mampu menjelaskan akar dari fenomena dengan merunut kembali bagaimana pustakawan di Perpustakaan Umum Kota Surabaya memberikan pemaknaan terhadap profesi mereka saat ini yaitu
17
Peter L Berger dan Thomas Luckmann. 2012. Tafsir Sosial atas Kenyataan : Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta : LP3ES. Hal. xv
I-9
sebagai pustakawan. Penelitian ini memusatkan perhatian pada beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1. Apa yang melatar belakangi pustakawan dalam memilih profesi pustakawan ditinjau dari awal individu mampu mencurahkan diri dalam masyarakat? 2. Bagaimana seorang pustakawan memahami tuntutan profesionalisme sebagai seorang pustakawan, yang didapatkan selama menjalani profesi pustakawan? 3. Bagaimana keterkaitan pemahaman pustakawan tentang profesi yang dijalaninya terhadap pengimpelementasian pekerjaan sehari-hari ditinjau dari pemahaman individu dan realitas objektif?
I.3 Tujuan Penelitian Dari fokus penelitian yang telah diuraikan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui
latar belakang pustakawan memilih profesi pustakawan
ditinjau dari awal individu mampu bersosialisasi. 2. Mengetahui seorang pustakawan memahami tuntutan profesionalisme sebagai seorang pustakawan dari yang didapatkan selama profesi pustakawan.
I - 10
menjalani
3. Mengetahui
keterkaitan
pemahaman pustakawan tentang profesi
pustakawan terhadap pengimpelementasian pekerjaan sehari-hari ditinjau dari pemahaman individu dan realitas objektif.
I.4 Manfaat Penelitian Penelitian kualitatif mengenai konstruksi sosial terhadap profesi pustakawan
ini
diharapkan
dapat
memberikan
manfaat
secara
teoritis/akademis maupun manfaat secara praktis sebagai berikut : I.4.1 Manfaat Akademis 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengembangan keilmuan, khususnya kajian sosiologis mengenai konstruksi sosial sesuai dengan perkembangan fenomena aktual yang terjadi dalam masyarakat. Konstruksi terhadap profesi pustakawan bermanfaat untuk menjelaskan secara teoritis fenomena kurang menariknya profesi pustakawan sebagai hasil pemaknaan oleh individu berdasarkan perspektif Peter L Berger. 2. Penelitian ini diharapakan dapat memberikan kontribusi pengembangan keilmuan dan keahlian dalam kajian sosiologis pada profesi pustakawan dalam memahami pembentukan identitas pada pustakawan. I.4.2 Manfaat Praktis 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran yang bermanfaat bagi pemangku kebijakan dalam tingkat pemerintah pusat, daerah, maupun pimpinan perpustakaan dalam pengembangan kemampuan
I - 11
pustakawan
yang
berkompeten
dalam
management
informasi,
profesionalisme pengelolaan dan pengembangan perpustakaan dalam era informasi, dan mampu meningkatkan citra positif profesi pustakawan sehingga memiliki daya saing dengan profesi-profesi lainnya. 2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi instansi penyelenggara pendidikan perpustakaan terkait penyiapan mindset mahasiswa dan memotivasi untuk mengembangkan profesi pustakawan sehingga mampu meningkatkan apresiasi terhadap profesi pustakawan dalam jangka panjang.
I.5 Kerangka Teori I.5.1 Konstruksi Sosial Pustakawan dalam perspektif Peter L.Berger Membahas tentang teori konstruksi sosial (social construction) tentunya tidak akan terlepas dari kajian teoritik yang diungkapkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam bukunya yag berjudul “The Social Construction of Reality. A Treatise in the Sosiology of Knowledge”. Teori kontruksi sosial sejatinya dirumuskan kedua akademisi tersebut sebagai suatu kajian teoritis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan. Keduanya merupakan ahli dalam sosiologi, meskipun pada awalnya proyek penulisan ini merupakan kerjasama antara ahli sosiologi dan ahli filsafat. Pemikiran Berger dan Luckmann tentu juga berpengaruh oleh pemikiran ilmuwan lain. Jika dirunut, dapat diidentifikasi bahwa Berger
I - 12
terpengaruh langsung oleh gurunya yang juga tokoh fenomologi Alfred Schutz. Schutz sendiri merupakan murid dari Edmund Husserl—pendiri aliran fenomenologi di Jerman. Atas dasar itulah, pemikiran Berger dikatakan terpengaruh oleh pemikiran fenomenologi. Teori konstruksi sosial (social construction) Berger dan Luckmann merupakan
sosiologi
kontemporer
yang
berpijak
pada
sosiologi
pengetahuan. Dalam teori ini terkandung dua kunci penting, yaitu : kenyataan dan pengetahuan. Kenyataan didefinisikan sebagai
suatu
fenomena-fenomena yang kita akui yang tidak tergantung dengan kehendak individu, tidak dapat ditolak dengan angan-angan. Sedangkan pengetahuan adalah kepastian fenomena-fenomena itu nyata (real) yang memiliki karakteristik yang spesifik.18 Dalam penelitian ini, pustakawan dilihat sebagai suatu realitas sosial yang merupakan dimensi nyata dalam sebuah masyarakat. Kemudian dikonstruksikan dalam pengetahuan. Dalam pengetahuan ini, pustakawan sebagai relatias sosial akan diekspolasi oleh teori konstruksi sosial. Menurut Berger dan Luckmann teori konstruksi sosial merupakan sosiologi pengetahuan yang mengkaji terbentuknya suatu realitas sosial sebagai hasil dari proses dialektis dengan meninjau tiga momen yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Proses dialektis ini berjalan secara terus menerus dan simultan
karena interpretasi sosiologis disini
18
Peter L Berger dan Thomas Luckmann. 2012. Tafsir Sosial atas Kenyataan : Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta : LP3ES. Hal.1
I - 13
melihat hubungan diantara ketiganya sebagai interaksi sosial yang menghasilkan pembaharuan atau modifikasi makna dengan pertukaran makna-makna subjektif yang beraneka ragam dan berlangsung terus menerus.19 Dalam suatu masyarakat, momen-momen itu tidak dapat belangsung dalam suatu kurun waktu tertentu, namun setiap individu dalam masyarakat secara serentak dikarakterisasi oleh ketiga momen tersebut. “Kenyataan sosial lebih diterima sebagai kenyataan ganda daripada hanya satu kenyataan tunggal. Kenyataan sehari-hari memiliki dimensi objektif dan subjektif. Manusia adalah pencipta kenyataan sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Manusia adalah pencipta kenyataan sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana kenyataan objektif mempengaruhi kembali manusia melalui proses internalisasi (yang mencerminkan kenyataan subjektif” 20
Dengan demikian dapat dipahami bahwa manusia tidak dilahirkan sebagai individu, namun ia dilahirkan dalam suatu kecenderungan ke arah sosialitas dan menjadi anggota masyarakat yang didalamnya tidak terlepas dari bagaimana ia dibentuk atau dikonstruksikan oleh lingkungannya. Hal ini juga diungkapkan oleh Burhan Bungin21 yang mengatakan bahwa tidak dipungkiri kenyataan sosial memiliki eksistensi objektif dan setiap individu memiliki kemampuan melakukan pemaknaan secara subjektif atas realitas yang objektif tersebut. 19
Ibid. Hal. Ibid. Hal. xx 21 M. Burhan Bungin. 2008. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta : Kencana. Hal. 39. 20
I - 14
Demikian halnya dengan pemahaman mengenai konstruksi sosial yang dibangun oleh pustakawan terhadap profesi yang digelutinya saat ini. Dalam hal ini dapat dilihat bagaimana seorang pustakawan mampu menginterpretasikan, mengkespresikan dan membicarakan hal tersebut dimana mereka melakukan tindakan subjektif, bersama-sama menggunakan stock of knowledge sebagai hasil dari pengalam intersubjektif yang ditinjau dari
ketiga
momen
dialektis
yaitu
internalisasi,
objektivasi,
dan
eksternalisasi yang memberikan karakteristik terhadap mereka di dalam kehidupan bermasyarakat. Berbagai
pandangan
masyarakat
terhadap
keberadaan
profesi
pustakawan menjadi masukan informasi yang kemudian akan turut dimaknai oleh individu sebagai respon timbal balik akan mengkonstruksi pandangan
individu
dalam
memilih
pekerjaan
setelah
menempuh
pendidikan tinggi khususnya pendidikan Ilmu Perpustakaan, Ilmu Informasi dan Perpustakaan dan berbagai varian nama pendidikan perpustakaan lainnya. Image pustakawan masih belum terbangun baik merupakan hasil penilaian dari masyarakat awam yang masih belum mengetahui tentang profesi ini. Hal ini menjadi pertimbangan pemikiran mahasiswa yang telah selesai menempuh pendidikan tinggi dijurusan ilmu perpustakaan . Berikut akan dipaparkan penjelasan teoritis dari 3 momen dialektis yang memberikan karakterisasi individu dalam mengkonstruksi kehidupan sosialnya yaitu internalisasi, objektivasi dan eksternalisasi. Ketiga momen
I - 15
ini serentak memberikan karakterisasi pada masyarakat sehingga analisa dengan satu atau dua momen saja tidak mampu memadai. Ketiga proses tersebut menjadi acuan peneliti untuk mampu memahami fenomena bagaimana pustakawan mengkonstruksi profesinya sebagai pustakawan dari awal pemilihan profesi dan pemahaman profesi pustakawan. I.5.1.1 Eksternalisasi Eksternalisasi adalah suatu pencurahan kehadiran individu secara terus menerus dalam dunia, baik secara fisik maupun mental. Eksternalisasi merupakan keharusan antropologis, dimana keberadaan manusia tidak mungkin berlangsung dalam suatu lingkungan yang tertutup dan tanpa gerak, namun keberadaannya harus secara terus menerus mencurahkan kehadirannya dalam bentuk aktivitas.22 Dalam
konteks
eksternalisasi
pada
penelitian
ini,
kehadiran
pustakawan secara aktif berperan dalam kehidupan sosial baik secara fisik maupun mental. Kehadiran pustakawan dalam melakukan eksternalisasi ini terjadi sejak awal. Aktivitas-aktivias pustakawan dalam eksternalisasi berupa produk sosial. Eksternalisasi menurut Berger dan Luckmann, bahwa produk sosial dari eksternalisasi manusia mempunyai suatu sifat yang sui generis dibandingkan dengan konteks organismis dan konteks lingkungannya. Artinya bahwa manusia sebagai individu yang menjadi bagian dari 22
Peter Berger dalam I. B. Putera Manuaba. Memahami Teori Konstruksi Sosial. Masyarakat Kebudayaan dan Politik. XX, No. 3 Juli-September 2008
I - 16
masyarakat yag selalu bergerak harus terus mengeksternalisasikan dirinya dalam aktivitas. Dari proses hasil eksternalisasi ini, individu akan membentuk suatu tatanan masyarakat dalam lingkungan sosialnya, dan akan berlangsung sacara terus menerus.23 Tatanan sosial merupakan suatu produk manusia, atau lebih tepatnya suatu produk manusia yang berlangsung secara terus menerus sepanjang ia mengeksternalisasikan dirinya dalam manifestasinya berupa aktivitas. Tatanan sosial disini bukanlah bagian dari ―kodrat alam‖ atau tidak diberikan secara biologis. Tatanan sosial hanya ada sebagai produk manusia. Keterbukaan eksistensi manusia secara biologis intrinsik selalu ditransformasikan oleh tatananan sosial ke dalam suatu ketertutupan dunia yang relatif. Tatanan sosial ada sejauh aktivitas manusia terus menerus memproduksikannya.24 Sedangkan Bungin menjelaskan bahwa eksternalisasi menjadi bagian penting dalam kehidupan individu dan menjadi bagian dari dunia sosiokultural.
Eksternalisasi
merupakan
aktivitas
manusia
untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungannya atau dapat disebut dengan proses penyesuaian diri. Manusia disini harus mampu menyesuaikan diri dengan dunia sosikultural sebagai produk manusia yang menjadi bagian dari sebuah masyarakat. Dalam proses ini, individu harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana mereka berada agar mampu diterima. Jika tidak 23 24
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. 2012. Op Cit. Hal. 71 Ibid. Hal. 70-71
I - 17
mampu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, individu tersebut akan mendapatkan sanksi secara sosial seperti dikucilkan dari lingkungan dikarenakan dianggap aneh25. Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) saat ini sangat berkembang pesat. Kehadiran internet menjadi suatu keniscayaan yang sangat berpengaruh di dunia ini. Hal ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap eksistensi perpustakaan sebagai lembaga informasi. Dari hal inilah menyebabkan terjadinya pergeseran tugas pustakawan dari pengelola buku menjadi pengelola pengetahuan. Sehingga dari hal ini seorang pustakawan sebagai pengelola pengetahuan harus mampu menyesuaikan diri kemajuan TIK dan mengembangkan kemampuannya agar tidak dikucilkan dari lingkungan profesinya. Internet bagaikan gelombang yang datang bergulung-gulung dengan dahsyatnya. Hanya ada kemungkinan yang terjadi pada peprustakaan ini menghadapi fenomena tersebut. Perpustakaan akan berselancar atau berenang menghadapi gelombang internet ini atau bahkan perpustakaan hanya mekihat gelombang internet itu. Jika cerdas, perpustakaan tentu akan berselancar meniti gelombang internet. Perpustakaan hendknya justru memanfaatkan internet26. Eksternalisasi (penyesuaian diri) dapat berlangsung ketika tatanan sosial tercipta dimasyarakat, kemudian individu menyesuaikan diri ke dalam 25 26
M. Burhan Bungin. 2008. Op. Cit. Hal. 83-84 Blasius Sudarsono.Op. Cit. Hal 174
I - 18
dunia sosiokulturalnya sebagai bagian dari tatanan sosial. Tatanan sosial akan terus menerus diproduksi selama eksternalisasi berlangsung berupa aktivitas. Dalam konteks penelitian ini, kehadiran pustakawan melalui aktivitasaktivitasnya dalam bentuk produk sosial baik secara fisik maupun mental akan
menghasilkan
tatanan
sosial.
Pustakawan
akan
terus
mengeksternalisasikan dirinya untuk menyesuaikan diri dengan tatanan sosial yang telah terbentuk, dan profesi pustakawan menjadi realitas yang terbentuk. I.5.1.2 Objektivasi Menurut Berger dan Luckmann objektivasi artinya memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur-unsur dari dunia bersama. Objektivasi ini bertahan lama sampai melampaui batas tatap muka dimana mereka dapat dipahami secara langsung. Dengan demikian individu melakukan objektivasi terhadap produk sosial dapat berlangsung tanpa harus bertemu secara langsung. Objektivasi disini dapat terjadi melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yang sedang berkembang di masyarakat sehingga tidak perlu bertatap muka antar individu27. Pada
tahap
objektivasi
produk
sosial
terjadi
dalam
dunia
intersubyektif masyarakat yang dilembagakan. Produk sosial berada pada
27
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. 2012. Op. Cit. Hal. 49
I - 19
tahap institusionalisasi sedangkan individu dikatakan memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsenprodusennya maupun orang-orang yang berada disekitarnya.28 Singkat kata menurut Effendy
29
, tahap objektivasi menjadi proses
dimana sebuah totalitas pemaknaan diproduksi. Tahap objektivasi digambarkan sebagai penciptaan berbagai lembaga, bahasa, benda, peralatan, ilmu pengetahuan, kesenian, dalam aktivitas yang terstruktur. Sehingga objektivasi menjadi tahap selanjutnya setelah manusia sebagai aktor sosial melakukan eksternalisasi yang akan membentuk sebuah realitas obyektif. Semua aktivitas manusia dalam proses eksternalisasi dapat mengalami proses pembiasaan (habitualisasi) yang kemudian mengalami pelembangaan (institusional). Kelembagaan berasal dari proses pembiasaan atas aktivitas manusia. Setiap aktivitas yang diulangi akan membentuk
suatu pola.
Pembiasaan yang membentuk pola tersebut akan dilakukan kembali di masa mendatang dengan cara yang sama dan dimana saja. Baik aktivitas sosial maupun aktivitas non-sosial30. Berger dan Luckmann31 menjelaskan bahwa hal terpenting dari objektivasi adalah signifikansi, yakni pembuatan tanda-tanda oleh manusia. Siginifikansi atau pembuatan tanda oleh manusia merupakan salah satu 28
M. Burhan Bungin. 2008. Op Cit. Hal . 91 Muhadjir Effendy. 2009. Jati Diri dan Profesi TNI (Studi Fenomenologi). Malang: UMM Press 30 Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Op Cit. Hal. 72 31 Ibid. Hal. 49 29
I - 20
bentuk obyektivitasi yang mengungkapkan pemaknaan subjektif yang diungkapkan secara eksplisit. Setiap tema penandaan (significative) yang dengan demikian menjembatani wilayah-wilayah kenyataan, dapat didefinisikan sebagai sebuah simbol, dan modus linguistik dengan apa transendensi seperti itu yang dicapai, dapat dinamakan bahasa simbolik32. Bahasa menjadi salah satu bentuk manifestasi dari tahap objektivasi, sebagai
isyarat
atas
pengungkapan
pemahamaan
subyektif
yang
disampaikan secara eksplisit. Bahasa mampu memberikan penggambaran secara dalam pemaknaan kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut Berger mendefinisikan bahasa sebagai sistem tanda-tanda suara yang paling penting dalam manusia, yang terletak dalam kapasitas intrinsik organisme manusia untuk mengungkapkan diri dengan ekspresiekspresi suara yang mempunyai sifat bahasa dan dipergunakan bersamasama dalam interaksi individu. Bahasa menjadi penyimpanan objektif sebagai akumulasi dari makna dan pengalaman individu yang dilestarikan dari waktu ke waktu dan pada generasi berikutnya33. I.5.1.2.1 Profesi Pustakawan Sebagai Kenyataan Obyektif melalui Pelembagaan dan Legitimasi Kenyataan
obyektif
menghadirkan
seseorang
sebagai
dunia
intersubyektif., suatu dunia yang dihuni secara bersama-sama dengan orang 32 33
Ibid. Hal. 54 Ibid.
I - 21
lain. Intersubyektif ini akan membedakan antara kenyataan sehari-hari dengan apa yang menjadi kesadaran individu. Tentunya dalam sebuah dunia kebersamaan, perspektif mengenai dunia bersama antara satu individu dengan individu lain akan berbeda. Namun dalam hal ini terjadi persesuaian antara perspektif satu individu dengan individu lainnya yang nantinya akan membentuk kesadaran bersama mengenai kenyataan di dalamnya. Hal ini disebut dengan pengetahuan akal sehat (common sense knowledge), yang meruapakan pengetahuan yang dimiliki satu individu dengan individu lainnya dalam kegiatan rutin yang normal dalam kehidupan sehari-hari. Sikap alamiah ini justru mengacu kepada suatu dunia yang sama-sama dialami oleh banyak orang34. Profesi pustakawan menjadi sebuah kenyataan obyektif berarti profesi ini menjadi sebuah dunia yang dimana dihuni bersama oleh individuindvidu yang berada di dalamnya. Individu-individu yang terlibat didalamnya memiliki perspektif-perspektif yang berbeda antara satu dengan yang lainnya dalam
memaknai dunia kebersamaannya yaitu profesi
pustakawan. Namun disini antara individu satu dengan individu lainnya akan bersama-sama membentuk kesesuaian mengenai kenyataan yang terjadi di dalam profesi pustakawan.
34
Ibid. Hal. 32-33
I - 22
1.5.1.2.1.1 Pelembagaan Makna Profesi Pustakawan Menurut Berger dan Luckmann, masyarakat sebagai kenyataan obyektif terjadi melalui pelembagaan dan legitimasi. Pelembagaan (institusionalisasi) terjadi dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh individu dalam upaya untuk membangun dunianya sendiri35. Proses
pelembagaan
didahului
dengan
proses
pembiasaan
(habitualisasi). Tiap tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menjadi sutau pola. Tindakan ini akan dapat dilakukan kembali di masa yang akan datang
dengan cara yang sama. Tindakan-tindakan tersebut
menjadi sebuah kebiasaan yang akan tetap mempertahankan sifatnya yang bermakna bagi individu dan dipahami sebagai pengetahuan yan umum dan diterima begitu saja. Konsep mengenai batasan situasi yang diungkapkan oleh W. I Thomas dalam Berger menjelaskan bahwa dari segi makna-makna yang diberikan
oleh
manusia
kepada
kegiatannya
yang menjadi
kebiasaannya, tidak perlu situasi didefinisikan kembali, langkah demi langkah36. Pelembagaan terjadi apabila suatu tipifikasi yang terbentuk dari pembiasaan mengalami proses timbal balik (resiprositas) dari tipifikasitipifikasi yang tidak hanya berupa tindakan-tindakan, melainkan juga pelaku-pelaku lembaga. Tiap tipifikasi ini membentuk satu lembaga.
35 36
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam I. B Putera Manuaba. Op. Cit. Hal. 224 Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Op Cit. Hal. 71-73
I - 23
Tipifikasi tindakan-tindakan yang sudah membentuk lembaga-lembaga meruapakan milik bersama37. Sebuah dunia kelembagaan merupakan sebuah kenyataan obyektif yang memiliki historis yang mendahuluinya yang tidak bisa dimasuki oleh ingatannya. Dunia itu ada sebelum individu itu lahir dan akan tetap ada ketika individu itu mati. Lembaga-lembaga itu menjadi sebuah fakta historis dan obyektif sehingga tidak dapat disangkal lagi kebenarannya. Lembagalembaga itu telah ada, di luar individunya. Dapat ditarik kesimpulan bahwa obyektivitas dunia kelembagaan merupakan obyektivitas yang dibuat dan dibangun oleh dirinya sendiri. Objektivasi merupakan produk-produk aktivitas manusia yang dieksternalisasi itu memperoleh sifat obyektif yang kemudian disebut sebagai objektivasi38. Dalam penelitian ini, konteks konstruksi sosial profesi pustakawan dilakukan individu-individu dibangun di dalam dirinya sendiri. Terjadi tindakan-tindakan yang dilakukan secara berulang dalam menjalani profesi pustakawan yang nantinya akan menjadi sebuah pembiasaan. Pembiasaan ini akan diulang oleh pustakawan sehingga membentuk pola. Tindakantindakan pustakawan ini dimunculkan dan berhubungan dengan individu lain sehingga memunculkan tipe tindakan sosial yang disebut dengan tindakan sosial atau tipifikasi. Selnjutnya, tipifikasi akan memperngaruhi
37 38
Ibid. Hal. 74 Ibid. Hal. 81-83.
I - 24
insteraksi sosial yang akan memberikan asumsi subyektif maupun obyektif pada pustakawan. 1.5.1.2.1.2 Legitimasi Proses-proses pelembagaan yang telah dijelaskan di atas seringkali diikuti oleh objektivasi makna ―tingkat kedua‖ yang disebut dengan legitimasi. Fungsi legitimasi adalah untuk membuat objektivasi ―tingkat pertama‖ atau kelembagaan menjadi sesuatu yang obyektif dan dapat diterima secara subyektif. Legitimasi harus menjelaskan dan membenarkan mengenai unsur-unsur yang penting dalam kelembagaan39. Legitimasi menjelaskan kesahihahan kognitif kepada makna-maknanya dan martabat koginitif kepada perintah-perintahnya yang praktis. Legitimasi disini tidak hanya sekedar ―nilai-nilai‖, namun juga mengimplikasikan pengetahuan40. Legitimasi pustakawan bermula dari pengetahuan yang didapatkannya dari berbagai aktivitas atau tindakan-tindakan yang menjadi pembiasaan, yang kemudian ditafsirkan kembali melalui berbagai rumusan yang nantinya akan memberikan legitimasi.
Legitimasi dalam konstruksi profesi
pustakawan terbangun melalui aktivitas-aktivitas keseharian yang dilakukan oleh pustakawan dalam menjalankan profesinya. Hal ini juga termasuk hubungannya dengan interaksi yang dilakukan seorang pustakawan selama menjalani profesinya baik dengan sesama rekan kerja maupun profesi pada umumnya, 39 40
yang
nantinya
pustakawan
akan
termanifestasi
untuk
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam I. B Putera Manuaba. Op. Cit.Hal 226-227 Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Op Cit. Hal. 127
I - 25
menempatkan dirinya dalam berinteraksi dengan rekan kerja maupun profesi lainnya. I.5.1.1 Internalisasi Individu dilahirkan tidak sebagai anggota masyarakat namun lebih cenderung ke arah sosialitas dan menjadi bagian dari masyarakat. Titik awal dalam proses ini dimana keterlibatan partisipasi individu dalam masyarakat sehingga mampu disebut sebagai anggota masyarakat adalah internalisasi. “internalisasi merupakan pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu peristiwa obyektif sebagai pengungkapan suatu makna, artinya sebagai suatu manifestasi dari proses-proses subyektif orang lain yang dengan demikian menjadi bermakna secara subyetif bagi diri sendiri. Secara lebih tepat lagi, internalisasi dalam arti yang lebih umum meruapakan dasar pemahaman pertama mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari kenyataan sosial” 41 Dalam proses internalisasi, individu menerima berbagai pengetahuan yang berada diluar dirinya yang kemudian memahami maknanya dan menggunakannya untuk membentuk dirinya sendiri sehingga ia dapat memiliki perilaku yang diinginkannya. Individu memahami suatu peristiwa yang dilihatnya secara obyektif dan memberikan pemahaman secara subyektif oleh individu tersebut. Seperti contoh yang diberikan oleh Berger, seseorang ketika melihat orang lain tertawa histeris, menimbulkan pemahaman yang obyektif bagi orang lain bahwa gelak tawanya merupakan ungkapan rasa gembira. Dan hal ini menjadi pemahaman yang bermakna bagi subyektifitas orang
41
Ibid. Hal. 177.
I - 26
tersebut. Inilah yang dimaksud oleh Berger dengan tidak berarti mampu memahami orang lain secara memadai.42 Setelah mencapai proses internalisasi tersebut, individu menjadi anggota masyarakat dengan melalui proses terlebih dahulu yang disebut sebagai proses sosialisasi. Dengan adanya proses sosialisasi ini individu secara komprehensif dan konsisten mampu masuk ke dalam dunia obyektif suatu masyarakat atau salah satu sektornya. Pada proses internalisasi dalam konteks penelitian ini, pustakawan kembali mentransformasilan kembali terhadap dunia obyektif menjadi kesadaran subyektifnya. Dunia obyektif disini merupakan suatu realitas yang dihadapi oleh pustakawan yaitu profesinya sebagai pustakawan yang menjadi obyek yang diamati oleh pustakawan, dimana keberadannya mempengaruhi pustakawan dalam memberikan pemaknaan terhadap profesinya. I.5.1.1.1 Profesi Pustakawan sebagai Kenyataan Subyektif Menurut Berger dan Luckmann, masyarakat merupakan kenyataan obyektif dan sekaligus subyektif. Kenyataan subyektif, dimana individu berada di dalam masyarakat menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Individu merupakan pembentuk masyarakat, sedangkan masyarakat merupakan pembentuk individu43.
42 43
Ibid. Hal. Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam I. B Putera Manuaba. Op. Cit. Hal. 224.
I - 27
Dalam konteks penelitian ini, masyarakat yang dimaksud adalah profesi pustakawan, dimana antara pustakawan dengan profesinya menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan. Pustakawan secara individu membentuk profesi pustakawan, dan dari profesi pustakawan ini membentuk para pustakawan secara individu. Pemahaman tentang masyarakat sebagai kenyataan subyektif dilakukan melalui internalisasi. 1.5.1.1.1.1 Internalisasi Kenyataan : Sosialisasi Primer dan Sosialisasi Sekunder Untuk mencapai taraf internalisasi yang telah dijelaskan di atas, individu harus melalui proses yaitu sosialisasi. Setelah mencapai internalisasi, individu menjadi bagian dari masyarakat. Sosialisasi sendiri menurut Berger dan Luckmann didefinisikan sebagai pelibatan individu ke dalam dunia obyektif sebuah masyarakat atau hanya pada salah satu sektornya secara komprehensif dan konsisten44. Sosialisasi sendiri dibagi menjadi dua, yaitu sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer menjadi sosialisasi paling penting bagi individu, sebab struktur dasar dari sosialisasi sekunder harus memiliki kemiripan dengan struktur dasar sosialisasi primer. Setiap individu dilahirkan dalam sebuah struktur obyektif, dan disinilah mereka akan menjumpai orang-orang yang akan mensosialisasikan dan mempengaruhinya. Ia dilahirkan tidak hanya pada dunia sosial yang obyektif, namun juga ke dalam dunia sosial
44
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Op Cit. Hal. 178
I - 28
yang subyektif. Orang-orang itu akan mengantarai dunia dengan dirinya, memodifikasi hal-hal yang seikirany disesuaikan dengan lokasi da watak khas mereka yang berakar pada biografi masing-masing45. Internalisasi berlangsung karena adanya proses identifikasi. Individu akan menangkap sikap orang-orang yang berpengaruh yang kemudian diinternalisasikan sehingga menjadi peran bagi dirinya sendiri. Dengan mengidentifikasikan orang-orang yang berpengaruh itulah individu mampu mengidentifikasikan dirinya sendiri yang menjadi identitas secara subyektif yang koheren dan masuk akal. Dalam sosialisasi primer ini akan menciptakan suatu abstraksi yang semakin tinggi dari peranan-peranan dan sikap orang lain ke peranan dan sikap orang lain pada umumnya46. Dalam sosialisasi primer umumnya tidak terdapat masalah dalam proses identifikasinya, karena orang-orang yang berpengaruh tidak dapat dipilih. Individu menginternaliasasikan sebagai dunia satu-satunya yang ada dan dapat dipahami. Oleh karena itu, internalisasi dalam sosialisasi primer lebih kuat tertanam dalam kesadaran dibandingkan dengan sosialisasi sekunder47. Sosialisasi primer akan berakhir manakala orang lain (beserta segala sesuatu yang menyertainya telah terbentuk dan tertanam dalam diri individu). Inidvidu ini sudah menjadi anggota aktif masyarakat, yang telah memiliki sebuah dunia secara subyektif. Hal ini yang menghadapkan pada 45
Ibid. 178-179 Ibid. Hal. 181 47 Ibid. Hal. 183-184 46
I - 29
dua masalah, yang pertama yaitu bagaimana kenyataan yang sudah diinternalisasi dalam sosialisasi primer itu di pertahankan dalam kesadaran dan yang kedua bagiamana internalisasi-internalisasi berikutnya dalam sosialisasi sekunder berlanjut 48. Sosialisasi sekunder merupakan proses lanjutan dari sosialisasi primer. Sosialisasi
sekunder
adalah sosialisasi
sejumlah subdunia
kelembagaan atau berlandaskan lembaga. Lingkup jangkauan sosialisasi ini cukup luas sehingga sifatnya ditentukan oleh kompleksitas pembagian kerja dan distribusi pengetahuan masyarakat yang menyertainya. Definisi lebih sempitnya, sosialisasi sekunder adalah proses memperoleh pengetahuan khusus sesuai dengan peranannya (role-specific knowledge), peranan tersebut berakar pada pembagian kerja49. Dalam konteks penelitian ini, seorang individu mendapatkan sosialisasi dari orang lain secara terus menerus tentang profesi pustakawan. Individu ini melakukan identifikasi dan mulai menemukan dirinya sendiri secara
subyektif.
Berbagai
sosialisasi
tentang profesi
pustakawan
diindentifikasi oleh individu menjadi sebuah kenyataan subyektif yang nantinya menjadi dasar untuk proses sosialisasi sekunder. Dalam sosialisasi sekunder ini, pustakawan mulai memahami perannya masing-masing.
48 49
Ibid. Hal. 188 Ibid. Hal. 188-189
I - 30
I.5.2 Pustakawan Pustakawan menurut bahasa berasal dari 2 kata yaitu ―pustaka‖ dan ―wan‖. Penambahan ―wan‖ pada kata pustakawan diartikan sebagai orang yang pekerjaannya atau profesnya berhubungan dengan bahan pustaka 50. Sedangkan, menurut undang-undang nomor 43 tahun 2007 yang dimaksud pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan. Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) yang merupakan organisasi yang menghimpun para pustakawan dalam kode etiknya menyatakan bahwa pustakawan adalah seseorang yang bekerja pada bidang perpustakaan dengan jalan memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan tugas lembaga induknya berdasarkan ilmu pengetahuan, dokumentasi, dan informasi yang dimilikinya melalui pendidikan. Pustakawan adalah seorang yang berkarya secara profesional di bidang perpustakaan dan informasi. Dapat disimpulkan bahwa pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan yang berkarya secara profesional di bidang perpustakaan dan informasi. Sebutan untuk profesi pustakawan sendiri tidak terbatas antara pustakawan pemerintah (PNS) atau pustakawan swasta (non PNS). 50
Blasisus Sudarsono. 2008. Refleksi dan Transformasi Pustakawan. Disampaikan pada Rapat Koordinasi Pengembangan Pustakawan dan Tim Penilai. Jakarta, 23-24 Juki 2008.
I - 31
Namun sayangnya, pengertian-pengertian tentang pustakawan diatas masih terdapat kerancuan. Jika kita menilik dalam lingkup PNS, pustakawan ditetapkan sebagai pejabat fungsional yang tertera dalam Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999 yang menjelaskan bahwa jabatan fungsional adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang PNS dalam suatu organisasi yang dalam pelaksanan tugasnya didasarkan pada keahlian dan/atau ketrampilan tertentu yang bersifat mandiri. Untuk pustakawan yang bekerja pada lembaga non pemerintahan atau swasta dapat menjadikan patokan atau acuan dalam melakukan kegiatan profesi sebagai pustakawan. I.5.3 Pustakawan Sebagai Sebuah Profesi Dalam artikel salah satu pustakawan di perpustakaan IPB yang dimuat dalam situsnya51 memuat tentang pengalamannya ketika mengikuti rapat penyusunan Rancagan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai perpustakaan oleh tim penyusun RPP yang berasal dari Perpustakaan Nasional RI (PNRI) dengan tim RPP yang berasal BALITBANG DIKNAS (Badan Penelitiam dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional). Tim PNRI sendiri terdiri dari beberapa praktisi pustaakawan. Seritfikasi ini memang sedang menjadi tranding topic di negara ini. Dengan adanya sertifikasi profesi ini, contohnya seorang guru atau dosen akan mendapatkan tunjangan fungsional sebesar gajinya perbulan. Jadi bisa dikatakan mendapatkan 2 kali gaji dalam
51
ahman.staff.ipb.ac.id/2010/11/03/apakah-pustakawan-sebuah-profesi/
I - 32
1 bulan. Tentunya pihak pustakawan juga menginginkan penghargaan tersebut. Namun yang mengejutkan dari pihak BALITBANGKES DINKES meragukan pustakawan layak untuk diakui sebagai profesi. Pihak pustakawan tentu saja menyatakan bahwa pustakawan adalah profesi. Menurut Prof Sulistyo, pustakawan memang diakui sebagai profesi seperti karena dari beberapa ciri profesi itu telah dimiliki oleh pustakawan, seperti:1) adanya sebuah asosiasi atau organisasi keahlian, 2) terdapat pendidikan yang jelas, 3) adanya kode etik profesi, 4) berorientasi pada jasa, 5) adanya tingkat kemandirian. Tim dari BALITBANG DINKES tidak dapat menerima bahwa pustakawan disebut sebagai profesi. Mereka berpendapat bahwa jika pustakawan itu memang profesi, seharusnya ada pendidikan profesi pustakawan layaknya profesi dokter, pengacara, dan profesi lainnya yang harus menempuh pendidikan profesi lagi setelah lulus sarjana. Begitu juga dengan guru dan dosen yang harus menempuh pendidikan akta IV untuk guru dan akta V untuk dosen. Namun pada pustakawan sendiri tidak terdapat pendidikan profesi layaknya profesi lainnya. Rahman Hermawan dan Zen menjelaskan bahwa pustakawan memang masih diragukan sebagai profesi. Hal ini dianggap tidak menuntut keprofesional-an dan dapat dilakukan siapapun. Bahkan ada yang mengatakan bahwa pustakawan hanyalah tukang jaga buku dan meminjamkannya
I - 33
kepada pemakai52. Menanggapi persepsi tersebut Wirawan hal ini terjadi karena profesi pustakawan tidak berpengaruh secara langsung kepada kliennya atau dalam hal ini pemustaka. Tetapi ia juga berpendapat bahwa pustakawan adalah profesi meskipun belum sesempurna seperti profesi lainnya. Dan pendapat ini didukung oleh Melvil dewey “the time has come, when a librarian may, without assumpption, speak of his occupation as a profession”
53
. Suati saat nanti, ketika seorang pustakawan tanpa
penerimaan, berbicara bahwa pekerjaannya adalah sebuah profesi. Sudah saatnya pustakawan bekerja secara profesional. Pada tahun awal tahun 2012 merupakan momen yang sangat dinantikan para pustakawan karena saat itu topik hangat yang tengah diperbincangkan yaitu sertifikasi mulai digodok oleh pemerintah. 1.5.4 Teori The Looking Glass Self – Charles Cooley Cooley (1902), teori the looking glass self ini digambarkan sebagai memandang dirinya dalam sebuah cermin. Teori ini juga dijelaskan dalam a reflected appraisal process 54, dalam proses ini individu melakukan refleksi terhadap apa yang dikatakan orang lain tentang diri sendiri. 1.5.5 Teori Perbandingan Sosial Leon Festinger (1954), Leon Festinger, seorang pionir dalam psikologi sosial 52 53
modern
mengembangkan
social
comparison
theory
(teori
Hermawan dan Zen. 2006. Etika Kepustakawanan. Jakarta : Sagung Seto. Hal. 67. Wirawan dalam Hermawan dan Zen. Ibid. Hal. 67-68
54
Mead, 1934; Sullivan, 1953 dalam Suryanto dalam Selley F. Taylor, dkk. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta : Kencana. Hal.
I - 34
perbandingan sosial). Festinger mengungkapkan bahwa orang termotivasi untuk membuat penilaian terhadap level kemampuan sendiri terhadap sikap mereka sendiri. Dia akan membandingkan dirinya dengan orang lain yang setara55. Teori perbandingan sosial festinger dapat diringkas sebagai berikut: 1. Orang memiliki keinginan yang kuat untuk melakukan evaluasi terhadap opini dan kemampuannya secara akurat 2. Tidak ada standar secara fisik, orang membandingkan dirinya dengan orang lain 3. Secara umum, orang cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang setara dengan dirinya. 1.5.6 Teori Self Enhancement (Merasa Diri Lebih Baik) Self enhancement menjadi proses yang penting dalam sepanjang kehidupan56. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan Self enhancement ini adalah dengan memiliki persepsi yang positif meskipun hanya bersifat semu dan agak berlebih-lebihan, yang berkaitan dengan kemampuan, bakat, dan ketrampilan sosial57. Taylor dan Brown menyebutnya sebagai positive illusion (ilusi positif). Ada tiga tipe ilusi positif yaitu orang memandang dirinya lebih positif dibandingkan dengan sesungguhnya, mereka percaya bahwa mereka memiliki lebih banyak control atas peristiwa di sekitarnya, padahal kenyataannya tidak demikian, dan mereka lebih optimis secara 55
Ibid. Hal. 149. Sedikides 1993 dalam Shelley Taylor. Ibid. Hal. 142 57 Taylor dan Brown dalam Shelley Taylor. Loc. Cit. 56
I - 35
tidak realistis terhadap masa depannya. Merasa lebih baik dibandingkan dengan orang lain. Pada ilusi ini orang lebih banyak memahami atribut positif daripada negative pada dirinya 58. Ketika menerima tanggapan dari orang lain bersikap realistis atau pesimis terhadap informasi yang diterima59. Proses penetuan studi atau tujuan, mereka cenderung lebih akurat
dan
jujur
mengimplementasikan
terhadap
diri
sendiri.
Tetapi
setelah
mereka
tugas, ilusi positif lebih menonjol60. Ringkasnya
persepsi bahawa diri kita lebih baik itu mungkin mendorong kita menajalankan tugas dan penyesuaian kehidupan yang sukses, merasa diri lebih baik, dan mampu melakuka kerja produktif dan kreatif61. 1.5.7 Teori Interaksionisme Simbolik Pada penelitian ini berkaitan dengan profesionalisme pustakawan yang didalamnya berkaitan dengan pemaknaan diri atau jati diri (self identity) pustakawan. Oleh karena itu, teori ini dirasa sangat penting sebagai alat penjelas. Teori interaksionisme simbolik dikembangkan oleh George Herbert Mead. Teori ini lebih menekankan pada ―Self‖ sebagai kata kunci. Self lah yang membentuk masyarakat manusia menjadi istimewa62. Konsep Mead dalam teori ini pada dasarnya terdiri dari jawaban individu atas pertanyaan
58
Miller dan Ross dalam Shelley Taylor. Loc. Cit. Taylor dan Shepperd dalam Shelley Taylor. Loc. Cit. 60 Taylor dan Gollwitzer dalam Shelley Taylor. Ibid. Hal. 143. 61 Brown dan Dutton dalam Shelley Taylor. Loc. Cit. 62 Muhadjir Effendy. Ibid. 102 59
I - 36
―Siapa Aku?‖. Dalam konsep ini terdapat dua fase proses diri yaitu ―I‖ dan ―Me‖. ―I‖ memiliki sifat spontan, berasal dari dalam diri manusia sehingga bersifat subyektif dan memiliki kebebasan. Kita tidak akan pernah tahu sama sekali tentang ―I‖ dan kita akan terkejut dengan sendirinya melalui tindakan. Jadi kita dapat mengetahui ―I‖ dalam ingatan. Mead sangat menekankan sekali ―I‖ dalam 4 alasan. Pertama, ―I‖ adalah sumber utama sesuatu yang baru dalam proses sosial. Kedua, didalam ―I‖ terdapat nilai terpenting kita di dalamnya. Ketiga, ―I‖ merupakan sesuatu yang kita cari dalam perwujudan diri. ―I‖ lah yang memungkinkan kita mengembangkan diri ―kepribadian identitif‖. Keempat, Mead melihat suatu proses evolusioner dalam sejarah di mana manusia zaman primitive lebih didominasi oleh ―me‖, sedangkan dalam masyarakat modern komponen ―I‖nya lebih besar. Sedangkan ―Me‖ merupakan apa yang disebut dengan self concept atau self identity. Pikiran yang didefinisikan Mead merupakan sebuah proses percakapan seseorang dengan dirinya sendiri63. Pikiran merupakan proses sosial, percakapan bati antara ―aku‖ dan yang lain di dalam aku. Pikiran adalah mekasnisme penunjukkan diri (self identification) untuk menujukkan makna kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Mead melukiskannya sebagai ―How people see themselves through the eyes of others‖, bagaimana 63
George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2005. Teori Sosiologi Modern Edisi Ke-6. Jakarta : Prenada Media. Hal 280
I - 37
seseorang
melihat
dirinya
melalui
mata
orang
lain.
Sebelum memahami memahami pemikiran Mead tentang konsep diri, mula-mula kita harus memahami pemikiran tentang cermin diri yang dikembangkan oleh Charles H. Cooley64. Cooley mendefinisikan konsep cermin diri sebagai imajinasi yang agak definitif mengenai bagaimana diri seseorang yang muncul dalam pikiran seseorang yang ditentukan oleh sikap terhadap
hubungan
pikiran
dan
perasaan
orang
lain65.
Cooley
menganalogikan pembentukan konsep diri melalui sebuah cermin. Cermin selalu memantulkan apapun yang ada di depannya. Begitu juga dengan diri seseorang, dia bisa melihat dirinya melalui penilaian dirinya dari orang lain. Teori ini dikenal sebagai looking glass self, dimana pada tahapannya dibagi menjadi tiga tahapan yaitu: 1. Seseorang membayangkan bagaimana perilaku atau tindakannya tampak bagi orang lain. 2. Seseorang membayangkan bagaimana orang lain menilai perilaku atau tindakan kita. 3. Seseorang membayangkan semacam perasaan harga diri atua malu sebagai dari bayangan kita terhadap penilaian orang lain66.
64
Franks dan Gecas dalam George Ritzer dan Douglas J. Goodman. Ibid. 295 Cooley dalam Franks dan Gecas dalam George Ritzer dan Douglas J. Goodman. Loc.cit. 66 Loc. Cit. 65
I - 38
I.6 Metode dan Prosedur Penelitian I.6.1 Pendekatan dan Fokus Penelitian Bentuk pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Dari pengertian tersebut didapatkan bahwa penelitian kualitatif tetap memperhatikan latar ilmiah agar hasilnya mampu menafsirkan fenomena dengan menggunakan berbagai metode penelitian yang ada. 1.6.2 Sasaran Penelitian Penelitian ini akan memfokuskan perhatian pada bagaimana pustakawan pada perpustakaan umum Kota Surabaya mengkonstruksi profesinya sebagai pustakawan dari awal pemilihan profesi dan ketika menduduki profesi tersebut. Objek yang dituju dalam penelitian ini adalah pustakawan dari berbagai golongan tingakatan jabatan baik PNS maupun non PNS. Hal ini dilakukan atas dasar permasalahan yang akan diteliti dijumpai pada pustakawan Perpustakaan Umum Kota Surabaya yang merupakan kota terbesar kedua setelah Ibu kota Jakarta, sehingga kebutuhan akan informasi dari masyarakat semakin kompleks namun pustakawan pada Perpustakaan Daerah Surabaya masih belum
berperan sehingga citra
pustakawan semakin buruk di mata masyarakat. Selanjutnya dilakukan pengolahan dan interpretasi data untuk mengidentifikasi pemetaan atau pola-pola konstruksi sosial terhadap profesi
I - 39
pustakawan ditinjau dari bentuk perbedaan konstruksi dalam proses internalisasi, objektivasi, dan eksternalisasi yang telah dijalani. I.6.3 Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif fenomenologi eksistensial dengan pendekatan fenomenologis dari perspektif teoritis konstruksi sosial dari Peter L.Berger. Denzin dan Lincoln dalam Moleong67 menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar ilmiah dalam menfasirkan fenomena yang terjadi dengan menggunakan berbagai metode yang ada. Dalam pengertian ini, yang paling ditekankan dari fenomenologi adalah latar alamiah sebagai dasar dalam menafsirkan fenomena yang terjadi. Kemudian dijelaskan lagi oleh Bogdan dan Taylor dalam Moleong68 bahwa metode penelitian kualitatif akan menghasilkan data-data deskriptif yang tertulis atau lisan dari oang-orang dan perilaku yang diamati. Metode penelitian fenomenologi memiliki tujuan untuk mempelajari bagaimana fenomena dialami dalam kesadaran, pikiran dan dalam tindakan, seperti bagaimana fenomena itu bernilai dan dapat diterima secara estetis. Fenomenologi
mencari
pemahaman
67
bagaimana
manusia
Denzin dan Lincoln dalam Lexy J. Moleong . 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 5. 68 Bogdan dan Taylor dalam Moleong, Lexy J. Ibid. Hal. 4.
I - 40
dapat
memngkonstruksi
makna
dan
konsep
penting
dalam
kerang
intersubjektivitas atau melalui hubungan dengan orang lain. 69 Fenomenologi dapat dilihat dari perspektif filosofis dan juga dapat digunakan sebagai pendekatan dalam metodologi kualitatif.70Edmund Husserl merupakan tokoh utama dan pendiri dari aliran filsafat fenomenologi. Baginya fenomenologi adalah ilmu yang fundamental dalam berfilsafat.71 Meskipun pelopor fenomenologi adalaha Husserl, Schutz adalah orang pertama yang menerapkan fenomenologi dalam penelitian ilmiah sosial.72 Itulah sebabnya Schutz dikenal sebagai tokoh yang mengembangkan fenomenologi sebagai metodologi. Husserl tertarik dengan penemuan makna dan hakikat dari pengalaman. Dia berpendapat bahwa ada perbedaan antara fakta dengan esensinya, atau dapat dikatakan ada perbedaan antara yang real dan yang tidak. Oleh karena itu secara metodologis, fenomenologi bertugas memenjelaskan things in themselves, mengetahui apa yang masuk dalam kesadaran dan memahami makna dan esensinya, dalam institusi dan refleksi diri. Proses ini merupakan gabungan dari apa yang tampak dengan apa yang ada dalam gambaran orang yang mengalaminya, dengan kata lain antara nyata (real) dan yang ideal. Proses transformasi dari pengalaman empiris ke makna esensi inilah yang oleh Husserl disebut sebagai ―ideation‖. Dalam 69
Engkus Kuswarno. 2009. Fenomenologi: Metode Penelitian Komunikasi, Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitian. [s.l.]: Widya Padjajaran. Hal. 2. 70 Lexy J. Moleong, op. cit. Hal. 15 71 Engkus Kuswarno, Op. cit. Hal. 10 72 Ibid. Hal. 38
I - 41
ideation ini, objek muncul dalam kesadaran bersatu dengan objek itu sendiri, untuk menghasilkan makna yang dijadikan dasar pengetahuan. Apa yang mucul dalam kesadaran merupakan realitas, sedangkan yang berwujud dalam dunia adalah hasil belajar.73 Alfred Schutz mampu membuat ide-ide Husserl yang masih dirasakan abstrak menjadi lebih mudah dipahami. Inti pemikiran Schutz adalah bagaiamana memahami tindakan sosial melalui penafsiran. Proses penafsiran ini digunakan untuk memperjelas atau memeriksa makna yang sesungguhnya, sehingga mampu memberikan konsep kepekaan yang implisit. Schutz meletakkan hakikat manusia dalam pengalaman subjektif. Dalam hal ini Schutz mengikuti pemikiran dari Husserl yaitu proses pemahaman actual kegiatan kita dan pemberian makna terhadapnya sehingga ter-refleksi dalam tingkah laku.74 Dalam ilmu sosial, fenomenologi dibagi menjadi beberapa tipe yang dikenal luas dalam ilmu sosial. Salah satu tipe yang sesuai dengan penelitian ini adalah existensial phenomenology studies. Penelitian fenomenologi eksistensial atau existential phenomenology studies adalah fenomenologi
mengenai
eksistensi
manusia, termasuk pengalaman,
tindakan, dan pilihan bebas manusia dalam situasi yang konkrit.75 Dimana yang menjadi fokus dari eksistensialisme adalah eksplorasi kehidupan dunia makhluk sadar atau jalan kehidupan subjek-subjek sadar. 73
Ibid. Hal. 40 Ibid. Hal. 18 75 Kluwer Academic Publisher, 1997 dalam Engkus Kuswarno, op. cit. Hal. 27 74
I - 42
Menurut Engkus Kuswarno tujuan utama fenomenologi adalah mempelajari bagaimana fenomena dialami dalam kesadaran, pikiran, dan dalam tindakan, seperti bagaimana fenomena tersebut bernilai atau diterima secara esteris. 76 Fenomenologi
menurut
pembahasan
Berger
ditekankan
pada
pengetahuan umum mengenai kehidupan sehari-hari, dan cara masyarakat mengorganisasikan pengalaman dunia sosialnya. Fenomenologi eksistensial menurut Berger berorientasi internalisasi kesadaran subyektif dari individu. Dapat disimpulkan bahwa fenomenologi Berger berupaya membangun dialektika antara individu dengan lingkungan budaya. I.6.4 Teknik Penentuan Informan Dalam penelitian kualitatif tidak mengenal responden, sampel pada penelitian kualitatif disebut sebagai informan. Tidak ada kriteria yang pasti dalam menentukan informan. Namun juga tidak selalu informan penelitian menjadi wakil dari seluruh populasi, melainkan hanya individu yang dianggap memiliki penegtahuan cukup dan mampu menjelaskan keadaan dari sebuah obyek yang menjadi fokus penelitian. Ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan acuan dalam informan diantaranya adalah informan harus mengalami situasi atau kejadian secara langsung dan mampu menggambarkan kembali fenomena yang telah dialaminya. Selain itu
76
Ibid. Hal. 2
I - 43
informan juga harus bersedia terlibat secara langsung dalam proses penelitian dan bersedia untuk diwawancara maupun direkam aktivitasnya.77 Teknik penentuan informan yang akan digunakan adalah Teknik Purposive Sampling yaitu pemilihan informan berdasarkan pada kriteria tertentu yang ditentukan oleh peneliti agar didapati informan yang cocok untuk penelitian. Pengambilan informan dengan teknik Purposive Sampling digunakan peneliti untuk memperoleh keragaman data melalui eksplorasi pengalaman
intersubjektivitas
informan
dengan
mempertimbangkan
beberapa karakteristik yang berpengaruh dalam perkembangan pemaknaan informan tentang profesi pustakawan sejak awal memilih profesi tersebut hingga saat ini mereka menduduki profesi tersebut. Pengambilan informan dengan beberapa kriteria-kriteria yang telah ditentukan yaitu: 1. Pustakawan yang memiliki background pendidikan Ilmu Perpustakaan baik D3 maupun S1 2. Pustakawan inpassing atau pustakawan penyetaraan yang telah mengikuti diklat kesetaraan untuk dapat diakui sebagai pustakawan Dalam pengambilan informan yang dilakukan secara purposive maka ditentukan pula kriteria untuk mencapai kejenuhan data yang diperoleh, yaitu : 1. Desain informan bersifat sementara (temporer)
77
Ibid. Hal. 60-61
I - 44
2. Seleksi berkelanjutan unit-unit informan dengan mengoptimalkan keragaman yang merupakantujuan terbaik dalam pengambilan informan 3. Penyesuaian atau pemfokusan informan berkelanjutan 4. Seleksi menuju kejenuhan 78 I.6.5 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah : a. Pengumpulan data primer Teknik pengumpulan data yang palin utama dalam penelitian fenomenologi adalah wawancara mendalam (indepth interview) atau wawancara kualitatif. Karena dengan metode inilah peneliti dapat mengetahui esensi dari fenomena yang diceritakan oleh sudut pandang orang pertama (orang yang mengalaminya secara langsung). Wawancara pada penelitian fenomenologi biasanya dilakukan secara informal, interaktif (percakapan), dan menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka. Hal yang terpenting dalam wawancara adalah dapat menggali semua data yang dicari.79 Wawancara mendalam dalam penelitian ini peneliti akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang saling berkaitan seperti yang diungkapkan oleh Patton dalam Moleong80 yang menggolongkan kedalam enam jenis pertanyaan yaitu: 1. Pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman atau perilaku 78
Muhadjir. 1996. Hal. 122 Engkus Kuswarno. Ibid. Hal. 65-67 80 Lexy J. Moleong. Op. cit. Hal. 79
I - 45
Pertanyaan ini berkaitan dengan kejadian atau peristiswa yang terlah dialami atau diperbuat seseorang. Pertanyaan ini diajukan untuk mendeskripsikan perilaku, tindakan dan kegiatan yang pernah dialami oleh pustakawan
dalam
menjalani
profesinya
sebagai
pustakawan
di
Perpustakaan Umum Daerah Kota Surabaya. Hasil wawancara ini akan mengkonstruksi profil kehidupan sesorang. 2. Pertanyaan yang berkaitan dengan pendapat atau nilai Pertanyaan ini ditujukan untuk memahami proses kognitif dan interpretatif dari subjek. Peneliti akan meminta pendapat dari informasi terkait latar belakang memilih profesi sebagai pustakawan, kelebihan atau kekurangan sebagai seorang pustakawan, alasan tetap bertahan dan menekuni profesi sebagai pustakawan. 3. Pertanyaan yang berkaitan dengan perasaan Pertanyaan ini ditujukan untuk dapat memahami respons emosional seseorang ketika menjawab pertanyaan. Jawaban dari pertanyaan ini dapat dilihat dengan ekspresi emosional subyek penelitian. 4. Pertanyaan tentang pengetahuan Pertanyaan ini diungkapkan untuk dapat mengetahui pengetahuan pustakawan terhadap profesi yang ditekuninya saat ini yaitu pustakawan. 5. Pertanyaan yang berkaitan dengan indera
I - 46
Pertanyaan ini berkenaan dengan apa yang dilihat, didengar, diraba, dirasakan, dan dicium oleh pustakawan dalam menjalani profesinya sebagai pustakawan. 6. Pertanyaan yang berkaitan dengan latar belakang atau demografi Pertanyaan ini berusaha mengungkapkan latar belakang dari subyek penelitian. Dari jawaban pertanyaan ini diharapkan peneliti dapat memprofilkan subyek penelitiannya. Wawancara mendalam ini akan dilakukan kepada seluruh informan. Untuk mendapatkan informasi yang mendalam, peneliti melakukan wawancara tidak hanya sekali, namun satu hingga dua atau tiga kali hingga peneliti mendapatkan infromasi yang benar-benar lengkap seperti yang diharapkan oleh peneliti. Eksplorasi informasi akan dihentikan ketika datas yang diperoleh dianggap jenuh oleh peneliti. Data dianggap jenuh ketika data yang didapatkan sama seperti data yang didapatkan sebelumnya.
b. Dokumentasi Dokumentasi dapat dilakukan dengan cara membuat dokumentasi sendiri berupa foto atau rekaman hasil wawancara. Selain itu, dokumentasi dapat ditemukan dari sumber – sumber data yang telah diolah. Data sekunder diperoleh peneliti dari website perpustakaan Umum kota Surabaya dan data pegawai perpustakaan Umum Kota Surabaya.
I - 47
c. Studi kepustakaan Peneliti
mengumpulkan
data
melalui
daftar
pustaka
dengan
mempelajari buku - buku, jurnal, serta publikasi-publikasi lainnya, baik referensi dari dalam negeri maupun luar negeri. d. Observasi Peneliti melakukan observasi langsung di lapangan. Observasi dilakukan agar data yang diperoleh lebih mencerminkan keadaan yang sewajarnya
dan
sebenarnya
tanpa
usaha
yang
disengaja
untuk
mempengaruhi, mengatur atau memanipulasikannya. Untuk menguji keabsahan data, dalam penelitian ini menggunakan teknik triangualasi. Menurut Susan Stainback81 menyatakan bahwa the aim is not to determine the truth about some social phenomenon, rather the purpose of triangulation is not to increase one’s understanding of what ever is being investigated. Tujuan dari triangulasi bukan pada mencari kebenaran pada sebuah fenomena, namun lebih kepada peningkatan pemahaman peneliti terhadap apa yang telah ditemukan. Triangulasi dalam pengujian kredibilitas merupakan salah satu teknik untuk pengecekan data dari berbagai sumber , teknik dan waktu. Dalam penelitian ini teknik triangulasi lebih difokuskan pada triangulasi sumber dan triangulasi teknik. Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang diperoleh dengan beberapa sumber. Data sumber ini didapatkan 81
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung : Alfabeta. Hal. 241
I - 48
dari rekan dalam pekerjaan dan orang-orang yang dikenalnya. Sedangkan triangulasi teknik dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Untuk melakukan triangulasi teknik ini dilakukan dengan melakukan observasi dan dokumentasi. Selain itu, dalam penelitian ini juga dilengkapi dengan bahan referensi berupa rekaman data hasil wawancara.
I.6.6 Teknik Analisa Data Analisa data adalah proses mengumpulkan dan menganalisis data temuan hasil wawancara, observasi, studi pustaka maupun berbagai catatan yang dihasilkan dari lapangan secara sistematis sehingga mampu dipahami oleh orang lain. Dalam melakukan analisis data, peneliti menggunakan model analisis data yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman. Miles dan Hubeerman (1984)
82
mengemukakan bahwa aktivitas analisis data
dilakukan secara interaktif dan berlangsung terus menerus sampai data mengalami kejenuhan. Model ini dikenal dengan model interaktif dan memiliki tiga hal utama yaitu: a. Reduksi data (Data Reduction) Reduksi data berarti merangkum, memilih data yang pokok, memfokuskan pada hal-hal penting, membuat kategorisasi sehingga dengan
82
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung : Alfabeta. Hal. 246.
I - 49
ini mampu mempermudah peneliti dalam pengumpulan data dan mecari yang dipelukan. 83 Reduksi data dilakukan oleh peneliti setelah selesai wawancara dengan para informan. Penelitian melakukan transkrip pada seluruh hasil wawancara secara lengkap dan detail, setelah itu peneliti memilih data yang penting untuk digali kembali ke informan serta data yang tidak diperlukan dalam penelitian. Hasil dari transkrip data wawancara tersebut kemudia dikategorikan. Setelah itu peneliti memeriksa kembali jika ada data-data yang perlu di eksplorasi dalam wawancara selanjutnya. Dalam reduksi data, peneliti berfokus pada tujuan yang ingin dicapai. Tujuan dalam penelitian kualitatif adalah temuan. Jika dalam temuannya peneliti menemukan data yang asing, tidak dikenal, justru itulah yang menjadi perhatian peneliti dalam reduksi data. b. Penyajian data (Data display) Setelah melakukan reduksi data, langkah selanjutnya adalah langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data. Dalam penelitian kualitatif, biasanya penyajian data dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Namun yang paling sering digunakan adalah dengan menggunakan teks yang bersifat naratif. Menurut Miles dan Hubbernan (1984)
84
mengemukakan bahwa
―looking at display help us to understand what is happening and to do some
83
Ibid. Hal. 247
I - 50
thing-further analysis or caution on that understanding‖. Dengan menyajikan data, akan memudahkan dalam memahami apa yang terjadi dan merencakana kerja selanjutnya beradasarkan apa yang dipahami. c. Penarikan kesimpulan (Conclution drawing/ verification) Tahap terakhir dalam analisis data ini adalah verifikasi dan penarikan kesimpulan. Pemberian makna pada tahap ini tentunya sangat dipengaruhi oleh sejauh mana pemahaman dan interpretasi peneliti. Kesimpulanpada penelitian kualitatif merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah jika ditemukan data-data sebagai bukti yang kuat untuk mendukung. Kesimpulan yang dibuat mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang telah diungkapkan di awal, namun mungkin juga tidak. Karena masalah yang dikemukakan pada penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah penelitian berada di lapangan. Sedangkan dalam pendekatan fenomenolgi, peneliti berpedoman pada Creswell85 dalam bukunya yang berjudul Qualitative Inquiry and Research Design; Choosing Among Five Traditions, mengemukakan teknik analisis data yang agak berbeda untuk penelitian fenomenologi. Berikut adalah tahapan-tahapannya: 1. Peneliti mulai dengan membuat dan mengorganisasikan data.
84 85
Ibid. Hal. 249 Engkus Kuswarno. Op. cit. Hal. 71
I - 51
2. Membaca teks, membuat batasan-batasan catatan dan membuat form kode-kode inisial. 3. Menggambarkan makna dari peristiwa untuk peneliti. 4. Menemukan
pertanyaan
yang
bermakna,
membuat
daftarnya.
Mengelompokkan pertanyaan-pertanyaan yang sama ke dalam unit-unit makna tertentu. 5. Membangun deskripsi tekstural (apa yang terjadi), membangun deskripsi struktural (bagaimana peristiwa itu dialami), dan membangun deskripsi keseluruhan dari peristiwa (esensi peristiwa). 6. Narasi esensi peristiwa, dilengkapi dengan tabel pernyataan dan unit-unit makna.
I - 52
BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SASARAN
II.1 Deskripsi Umum Perpustakaan Umum Kota Surabaya II.1.1 Sejarah Berdiri Awal berdiri Perpustakaan Umum Kota Surabaya pada mulanya sejak terbitnya Perda No 1 Tahun 1995 Perpustakaan Umum Daerah Kotamadya Daerah Tingkat Daerah II Surabaya mempunyai program dalam upaya pembangunan maupun pembinaan perpustakaan dalam lingkungan wilayah kerja, serta peningkatan layanan kepada masyarakat luas. Oleh sebab itu diresmikanlah perpustakaan umum daerah kotamadya daerah tingkat II Surabaya yang terselenggara pada tanggal 11 juni 1997. Sebelum adanya peraturan daerah no.1 tahun 1995 perpustakaan umum daerah kotamadya daerah tingkat II Surabaya terselenggara berdasarkan SK. Walikota surabaya no 605/1984 yang berlaku mulai tanggal 10 juni 1982. Rintisan pertamanya adalah berdirinya badan Pembina perpustakaan (BPP) daerah tingkat II kotamadya surabaya yang didasarkan pada SK Walikotamadya surabaya no 31/1981 yang terletak di bagian timur gedung balai pemuda surabaya di jalan pemuda no 15 surabaya. Sebagaimana peraturan daerah no. 1/1995 maka perpustakaan umum daerah kotamadya daerah tingkat II Surabaya mempunyai status eselon IVA dan menempati gedung perpustakaan umum yang berlokasi di jalan rungkut asri tengah no. 5-7 Surabaya, yang luas gedung kurang lebih 2000 meter persegi.
II-1
Setelah adanya perda no. 15 Tahun 2005 maka status kelembagaan perpustakaan umum kota Surabaya dari kantor perpustakaan umum beralih menjadi Badan Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya dengan perwali nomor 74 Tahun 2005 dan perwali no 90 tahun 2008. II.1.2 Lokasi Perpustakaan Umum Kota Surabaya Lokasi penelitian yang diteliti oleh peneliti yaitu Perpustakaan Umum Kota Surabaya yang mempunyai 2 lokasi antara lain :
Lokasi Perpustakaan Umum Kota Surabaya yang pusat atau pertama kali di bangun yaitu lokasi berada di pinggir jalan raya depan SMA 17 Surabaya. Sehingga memudahkan pemustaka yang akan berkunjung ke Perpustakaan Umum Kota Surabaya, selain itu juga mudah dilalui oleh kendaraan umum lainnya. Alamat Perpustakaan Umum Kota Surabaya yaitu sebagai berikut:
Jalan
: Rungkut Asri Tengah No. 5-7 Surabaya
Telepon
: 031-8707329
Fax
: 031-8708154
Email
:
[email protected]
Website
: www.surabaya.go.id
Kodepos
: 60225
II-2
Gedung Perpustakaan Umum Kota Surabaya mempunyai dua lantai, luas ukuran ± 2.972 m2 , bagian lantai dasar terdapat ruang informasi (Front Office), koleksi Dewasa I dan Dewasa II, koleksi refrensi, ruang audio visual, serta koleksi Anak. Selanjutnya untuk lantai atas terdapat Ruang Bidang Pembinaan, Bidang Tata Usaha, Bidang Informasi dan Layanan, Bidang Akuisisi, Deposit dan Pengolahan, serta Mushola
Adapun juga Lokasi perpustakaan umum Kota Surabaya yang kedua yaitu lokasinya berada di jantung atau di tengah-tengah kota tempatnya sangat strategis, tempat ini yang dulu bekas dari bioskop mitra. Sehingga memudahkan pengguna yang tempat tinggalnya berada ditengah-tengah kota untuk berkunjung di perpustakaan umum kota surabaya, selain itu juga mudah dilalui oleh kendaraan lainnya. Alamat Perpustakaan Umum Kota Surabaya yang kedua yaitu sebagai berikut: Jalan
: Jl.Gubernur Suryo 15 Surabaya
Telepon
: 031-5349844
Email
:
[email protected]
Website
: www.surabaya.go.id
Gedung Perpustakaan Umum Kota Surabaya yang ada di Balai Pemuda Kota Surabaya ini mempunyai tempat luas dan design interior bagus seperti design perpustakaan yang ada di luar negeri. Perpustakaan ini mempunyai satu lantai terdapat ruang informasi (Front Office), ruang
II-3
rapat area, koleksi Dewasa, koleksi refrensi, ruang audio visual (kidsmart), ruang internet, wifi area, serta koleksi Anak II.1.3 Tugas dan Fungsi Pokok Yang Dimiliki Badan Arsip dan Perpustakaan Umum Kota Surabaya adalah Sebagai Berikut: Tugas Pokok: Berdasarkan perwali No. 90 Tahun 2008 Badan Arsip dan Perpustakaan mempunyai tugas melaksanakan sebagian urusan Pemerintahan bidang: a) Kearsipan; b) Perpustakaan; c) Otonomi
Daerah,
Pemerintahan
Umum,
Administrasi
Keuangan
Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian, dan Persandian. Fungsi: Sedangkan fungsi dari badan arsip dan perpustakaan berdasarkan Perwali No. 90 Tahun 2008 sebagai berikut: a) Perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya; b) Pemberian
dukungan
atas
penyelenggaraan
Pemerintahan
Daerah
sesuai dengan lingkup tugasnya; c) Pembinaan
dan
pelaksanaan
tugas
sebagaimana
dimaksud
pada
tugas pokok; d) Pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Daerah sesuai dengan tugas dan fungsinya. II.1.4 Visi dan Misi, Tujuan, danMotto Perpustakaan Umum Kota Surabaya
Visi “Menjadi Sumber Informasi dan Mencerdaskan Masyarakat Surabaya”
II-4
Makna Sumber Informasi adalah : Menyediakan Bahan Informasi Terpilih yang dijadikan sebagai pembuatan kebijakan. Mencerdaskan adalah
: Meningkatkan Kualitas SDM Masyarakat
Surabaya
Misi Meningkatkan kesadaran aparatur terhadap pentingnya arsip melalui pemasyarakatan kearsipan;
Mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan aparatur tentang kearsipan serta profesionalisme kinerja aparatur dan pemanfaatan iptek;
Mendorong pengembangan
sistem
kearsipan
melalui
peningkatan
pelayanan prima yang dapat dipertanggung jawabkan;
Menyelamatkan dan mengamankan arsip sebagai sumber informasi dan bahan bukti pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan dan pembagunan;
Membina dan mengembangkan koleksi perpustakaan;
Membina dan mengembangkan kualitas pelayanan perpustakaan;
Melestarikan koleksi sebagai hasil koleksi bangsa;
Membina dan mengembangkan jenis perpustakaan di lingkungan
Pemerintah Kota Surabaya;
Menyelenggarakan penyebaran informasi Kearsipan dan Perpustakaan.
3. Tujuan Badan Arsip dan Perpustakaan Umum Kota Surabaya (BARPUS)
II-5
Berkomitmen dalam memberikan pelayanan akan selalu berorientasi pada kepuasan masyarakat kota surabaya yang membutuhkan Pelayanan Kearsipan dan Perpustakaan dan melakukan perbaikan secara berkelanjutan demi terwujudnya Pelayanan prima melalui penerapan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 : 2000 dengan tetap berpegang pada peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. 4. Motto Badan Arsip dan Perpustakaan Umum Kota Surabaya (BARPUS) “Kami Ikhlas Melayani Anda Untuk Menjadi Lebih Cerdas”
II-6
Struktur Organisasi Badan Arsip dan Perpustakaan Umum Kota Surabaya (BARPUS)
II.1.5 Data Pegawai Badan Arsip dan Perpustakaan Umum Kota Surabaya (BARPUS). (Lihat lampiran) II.1.6 Data Statistik Pengunjung Tahun 2013 Tabel 2.2 Data Pengunjung Badan Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya Tahun 2013
Pekerjaan
Jumlah Pengunjung
Mahasiswa
181.034
Pelajar
11.737.403
PNS
7.959
Guru
7.783
II-7
TNI/Polri
1.558
Swasta
242.608
Umum
2.038.011
Total
14.216.358
Sumber : Badan Arsip dan Perpustakaan Umum Kota Surabaya tahun 2013
II.1.7 Data Statistik Peminjam Tahun 2013 Tabel 2.3 Data Peminjam Badan Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya Tahun 2013
Nomor kelas
Jumlah peminjaman
000
267.521
100
17.127
200
215.251
300
431.112
400
57.524
500
112.915
600
114.521
700
121.274
800
749.715
900
17.659
Total
2.104.619
Sumber : Badan Arsip dan Perpustakaan Umum Kota Surabaya tahun 2013
II-8
II.1.8 Jumlah Koleksi Jumlah koleksi buku yang ada di ruang baca dewasa 1 dan ruang baca dewasa 2, jumlah pembelian koleksi buku dan jumlah sumbangan atau pemberian hadiah pada perpustakaan umum pada tahun 2012 adalah sebagai berikut: Tabel 2.4 Jumlah Koleksi Pada Ruang Baca Dewasa 1 dan Ruang Baca Dewasa 2 Badan Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya Nomor
Jumlah
No. Klasifikasi 1 Kelas 000 2 Kelas 100 3 Kelas 200 4 Kelas 300 5 Kelas 400 6 Kelas 500 7 Kelas 600 8 Kelas 700 9 Kelas 800 10 Kelas 900 Jumlah
Jumlah Buku 6781 4400 8817 16302 3219 6663 18639 13829 12650 4060 95.414
Sumber : Badan Arsip dan Perpustakaan Umum Kota Surabaya tahun 2012
II-9
Tabel 2.5 Jumlah Pengadaan Buku Tahun 2013 Keterangan
Jumlah
Pengadaan Buku
119.748
Tabel 2.6 Jumlah Sumbangan atau Bantuan Pada Tahun 2013 Keterangan
Jumlah (buku)
Bank Indonesia
5038
PT. Terminal Petikemas Gelombang I
3131
PT. Terminal Petikemas Gelombang II
4650
Bank BNI Surabaya
3400
PDAM Surya Sembada Kota Surabaya
900
Wismilak
4096
Bank Jatim
900
Jarum
8000
Sumber : Badan Arsip dan Perpustakaan Umum Kota Surabaya tahun 2013
II.1.9 Fasilitas Fasilitas yang disediakan untuk pengunjung di perpustakaan umum kota Surabaya antara lain:
II-10
Layanan informasi / front office Front office merupakan layanan awal yang diterima oleh pengunjung atau pengguna perpustakaan, selain keberadaan administrasi atau front office yang berada di area paling depan, tanggung jawab atau fungsi administrasi memang menuntut langsung berhadapan dengan pengunjung. Adapun tugas administrasi diantaranya: Memberikan
informasi
kepada
pengunjung
terkait
pelayanan perpustakaan Proses awal pelayanan KTA (Kartu Tanda Anggota) Kasir / menerima denda keterlambatan pengembalian buku
Tempat penitipan barang (loker) Tugas dari staf loker adalah sebagai berikut: o Menjaga tempat penitipan barang o Mengawasi dan member saran pengunjung yang membawa tas agar menitipkan barang bawaannya di tempat yang telah disediakan.
Ruang baca dewasa 1 Ruang baca dewasa 1 terdiri dari klas 000-500 yang kebanyakan berisi buku-buku tentang pendidikan mulai dari buku agama, sosial dll.
Ruang baca dewasa 2 Ruang baca
dewasa
2 terdiri dari klas 600-900
yang
kebanyakan berisi buku-buku novel, buku masakan, kesehatan, komik, dan sebagainya
II-11
Ruang referensi Ruang referensi berisi buku referens yang dijajar pada rak yang penataannya hampir sama dengan koleksi-koleksi lainnya. Bedanya buku referens ini tidak untuk dipinjamkan, tetapi untuk dibaca ditempat. Memang tidak perlu dipinjam dan dibawa keluar gedung perpustakaan karena buku referens sebagai rujukan kita seperti kamus, ensiklopedia, atlas, direktori, handbook, panduan dan buku lain yang sejenis.
Ruang internet Tempat ini disediakan untuk pengunjung dengan fasilitas internet secara gratis.
Ruang audio visual Ruang audio visual berada di tempat ruang anak yang berfungsi untuk melihat cd / dvd untuk anak-anak.
Kafe baca (penyediaan Koran, majalah, tabloid) Untuk memperkaya wawasan pengunjung perpustakaan tentang informasi kehidupan,
perpustakaan
melanggan
majalah
yang
disesuaikan
menurut usia, gender, varian dari judul. Salah satunya adalah majalah penjabar semangat yang berlangganan selama 1 tahun, dan beberapa koleksi surat kabar, yaitu ; Jawa Pos, Kompas, Surya, Birawa.
Free wifi zone Fasilitas ini dapat dimanfaatkan oleh pengunjung yang membawa laptop untuk browsing sesuai dengan kebutuhan pengguna
II-12
II.1.10 Layanan Perpustakaan Perpustakaan memiliki berbagai layanan untuk memudahkan para pengunjung. Masing-masing layanan tersebut memiliki fungsi yang berbeda. Adapun masing- masing layanan tersebut meliputi sebagai berikut: o
Pembuatan kartu anggota : ketika ingin menjadi anggota di perpustakaan umum kota surabaya dan menikmati layanan yang ada disana. Pengunjung baru yang ingin mendaftar, jika penduduk asli surabaya persyaratannya hanya membawa fotocopy KTP
& mengisi form keanggotaan, dan
penduduk luar surabaya yang ingin menjadi anggota persyaratannya fotocopy KTP, mengisi form keanggotaan,dan uang jaminan Rp 100.000 uang jaminan tersebut bisa diambil jika pengunjung berhenti menjadi anggota perpustakaan umum kota surabaya o Peminjaman buku : ketika pengguna ingin meminjam buku di perpustakaan umum kota Surabaya, peminjaman buku maksimal 2 eksemplar dalam waktu 1 minggu. Kecuali koleksi yang ada di ruang refrensi tidak boleh dibawa pulang, jika ingin membawa pulang ada jaminannya yaitu KTP,SIM,dan sebagainya o Layanan bis keliling (disekolah-sekolah) o Layanan paket (peminjaman buku untuk TBM, PAUD, Panti Asuhan) o Layanan baca bis keliling di taman Bungkul o Layanan baca bis keliling di taman Flora (kebun bibit) o Layanan baca bis keliling di Taman Prestasi o Internet
II-13
o Audio Visual o Penelusuran informasi rujukan o Taman bacaan di rusun dan liponsos o Taman bacaan di kelurahan dan kecamatan
JAM LAYANAN PEMINJAMAN :
Perpustakaan Umum Rungkut Surabaya Hari Senin s/d Kamis Hari Jum’at
: Pukul 08.00 – 19.00 WIB : Pukul 08.00 – 18.00 WIB
Istirahat Sholat Jum’at
: Pukul 11.00 -13.00 WIB
Hari Sabtu & Minggu
: Pukul 09.00 – 14.00 WIB
Hari Libur Nasional Tutup
Perpustakaan Umum Balai Budaya Surabaya Hari Senin s/d Minggu
: Pukul 07.00 – 21.00 WIB
Hari Libur Nasional Tutup
III.2. Profesi Pustakawan Keberadaan pustakawan sebagai profesi di Indonesia masih belum sepenuhnya diterima sejajar dengan profesi lainnya yang sudah diakui oleh masyarakat. III.3.1 Jabatan Fungsional Pustakawan Posisi pustakawan dalam sistem Kepegawaian Negeri Sipil (PNS) adalah sebagai Pejabat Fungsional Khusus. Hal ini diatur dalam Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) tahun 1988 yang kemudian mengalami dua kali
II-14
revisi di tahun 1998 dan 2002. Butir-butir kegiatan Pejabat Fungsional Pustakawan (PFP) diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) Nomor 132/KEP/M.PAN.12/2012 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya. Keputusan ini ditindaklanjuti dengan Keputusan Bersama Kepala Perpustakaan Nasional RI dan Kepala Badan Kepegawaian Negara, Nomor 23 Tahun 2003 dan Nomor 21 Tahun 2003. Selanjutnya kesepakatan tersebut dirinci lebih lanjut dalam Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional RI Nomor 2 Tahun 2008 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya. III.3.1.1 Tugas Pokok dan Kegiatan PFP Keputusan MENPAN 2002 tentang PFP menetapkan dua jenis jabatan fungsional pustakawan yaitu: Pustakawan Tingkat Terampil dan Pustakawan Tingkat Ahli (Pasal 2 Ayat 2). Masing-masig tugas pokok ke dua jenis PFP ini adalah: 1. Pustakawan Tingkat Terampil a. Pengorganisasian dan pendayagunaan koleksi bahan pustaka/ sumber informasi b. Pemasyarakatan perpustakaan, dokumentasi dan informasi 2. Pustakawan Tingkat Ahli a. Pengorganisasian dan pendayagunaan koleksi bahan pustaka/sumber informasi b. Pemasyarakatan perpustakaan, dokumentasi dan informasi c. Pengkajian pengembangan perpustakaan, dokumentasi dan informasi
II-15
Selanjutnya masing-masing tugas pokok di atas dirinci lebih lanjut atas unsur dan sub unsur kegiatan (SK MENPAN 132, 2002), sedang Petunjuk Teknis (Peraturan Kepala Perpusnas RI, 2008) merinci menjadi unsur dan butir kegiatan. 1. Pendidikan 1. Pendidikan sekolah dan memperoleh gelar/ijazah a. Pendidikan formal perpustakaan b. Pendidikan formal non-perpustakaan 2. Pendidikan dan pelatihan di bidang kepustakawanan serta emmperoleh Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Pelatihan (STTPP) atau sertifikat a. Diklat Fungsional Pustakawan 1. Diklat Calon Pustakawan Tingkat Ahli 2. Diklat Calon Pustakawan Tingkat Terampil 3. Diklat Pustakawan Tingkat Ahli (alih jalur) b. Diklat Teknis 1. Diklat etika layanan 2. Diklat tenaga penyusun bibliografi 3. Diklat pengelola perpustakaan 4. Diklat penelusuran informasi 5. Dll. 2. Pengorganisasian dan pendayagunaan koleksi bahan pustaka/sumber informasi 1. Pengembangan Koleksi a. Menghimpun alat seleksi bahan pustaka b. Melakukan surveynbahan pustaka
II-16
c. Membuat desiderata d. Melakukan survey minat pemakai e. Meregristasi bahan pustaka f. Menyeleksi bahan pustaka g. Mengevaluasi dan menyiangi koleksi 2. Pengolahan Bahan Pustaka a. Melakukan verifikasi data bibliografi b. Melakukan katalogisas c. Menetukan tajui subjek d. Melakukan klasifikasi e. Menentukan kata kunci f. Membuat sari karangan indikatif g. Membuat sari karangan informatif h. Membuat anotasi i. Mengalihkan data bibliografi j. Menyunting data bibliografi k. Mengelola data bibliografi l. Membuat kelengkapan pustaka m. Menyusun daftar tambahan pustaka n. Menyusun bibliografi, indeks, dan sejenisnya o. Membuat kliping 3. Menyimpan dan Melestarikan Bahan Pustaka a. Identifikasi bahan pustaka b. Mengelola jajaran bahan pustaka
II-17
c. Merawat bahan pustaka d. Mereproduksi bahan pustaka 4. Pelayanan Informasi a. Melakukan layanan sirkulasi b. Layanan perpustakaan keliling c. Melakukan layanan rujukan d. Melakukan penelusuran literatur e. Melakukan layanan pandang dengar f. Menyediakan bahan pustaka g. Melakukan bimbingan pembaca h. Melakukan bimbingan pemakai perpustakaan i. Bercerita pada anak-anak j. Membina kelompok pembaca k. Menyebarkan informasi terbaru/kilat l. Penyebaran informasi terseleksi m. Membuat analisis kepustakaan n. Statistik 3. Pemasyarakatan Perpustakaan dokumentasi dan informasi 1. Penyuluhan a.
Menyusun rencana operasional 1. Mengumpulkan data 2. Mengolah data 3. Menganalisis dan menyusun rencana operasional
b.
Mengidentifikasi potensi wilayah
II-18
1. Identifikasi wilayah 2. Mengolah hasil identifikasi 3. Menyusun program intervensi pengembangan perpusdokinfo c. Menyusun materi penyuluhan 1. Tentang keguanaan perpusdkinfo 2. Tentang pengembangan perpusdokinfo d. Melaksanakan penyuluhan 1. Penyuluhan kegunaan dan pemanfaatan perpusdokinfo a. Melakukan penyuluhan massal dengan cara memberikan penjelasan melalui TV dan radio b. Melakukan pnyuluhan massal dengan cara menggunakan alat bantu audio-visual c. Melakukan penyuluhan massal tanpa alat bantu d. Melakukan pnyuluhan tatap muka dalam kelompok 2. Penyuluhan pengembangan perpusdokinfo kepada penyelenggara dan pengelola perpustakaan tingkat a.
Nasional
b.
Provinsi
c.
Kabupaten
d.
Kelompok
e.
Melakukan evaluasi pasca penyuluhan tentang : 1. Kegunaan dan pemanfaatan perpusdokinfo tingkat : a. Nasional b. Provinsi
II-19
c. Kabupaten 2. Pemanfaatan perpusdokinfo tingkat : a. Nasional b. Provinsi c. Kabupaten 2. Publisitas a. Menyusun rencana operasional b. Mengumpulkan materi publikasi c. Melakukan evaluasi pasca publisitas 3. Pameran a. Menyusun rencana operasional b. Membuat rancangan deain pameran c. Menyelenggarakan pamera d. Melakukan evaluasi pasca pameran 4. Pengkajian pengembangan Perpustakaan, dokumentasi dan informasi 1. Pengkajian a. Menyusun rencana operasional b. Melakukan pengkajian 2.
Pengembangan perpustakaan a. Menyusun rencana operasional b. Membuat prototip/model c. Melakukan uji coba prototip/model d. Mengevaluasi dan menyempurnakan prototip/model
II-20
3. Analisis/kritik karya kepustakawanan a. Menganalisis/kritik karya b. Menyempurnakan karya 4. Penelaahan pengembangan di bidang perpusdokinfo 5. Pengembangan Profesi 1. Membuat karya tulis/karya ilmiah di bidang perpusdokinfo a. Karya tulis/karya ilmiah, hasil penelitian, pengkajian, survei dan atau evaluasi di bidang perpusdokinfo yang dipublikasikan. b. Karya tulis/karya ilmiah, hasil penelitian, pengkajian, survei dan atau evaluasi di bidang perpusdokinfo yang tidak dipublikasikan tetapi didokumentasikan di perpustakaan c. Karya tulis/karya ilmiah berupa tinjauan atau ulasan ilmiah hasil gagasan sendiri di bidang perpusdokinfo yang dipulikasikan d. Makalah berupa tinjauan atau ulasan ilmiah dan analisis hasil uji coba dalam
bidang
perpusdokinfo
yang
tidak
dipublikasikan,
tetapi
didokumentasikan e. Karya tulis/karya ilmiah populer di bidang perpusdokinfo setiap tulisan yang merupakan satu kesatuan yang disebarluaskan melalui media masa f. Karya tulis berupa prasaran tinjauan, gagasan atau ulasan ilmiah yang disampaikan dalam pertemuan ilmiah, diklat, dan sejenisnya. 2. Menyusun pedoman/petunjuk teknis perpusdokinfo a. menyusun pedoman standar penyelenggaraan perpusdokinfo yang diakui oleh Perpusnas RI dan diedarkan secara nasional b. menyusun pedoman umum, petunjuk teknis perpusdokinfo
II-21
3.
Menerjemahkan/menyadur buku dan bahan-bahan lain bidang perpusdokinfo a. dalam bentuk buku yang diterbitkan dan diedarkan secara nasional b. dalam bentuk makalah yang diakui oleh instansi yang berwenang
4. Melakukan tugas sebagai ketua kelompok/koordinator pustakawan atau memimpin unit perpustakaan a. Ketua kelompok/koordinator pustakawan b. Memimpin unit perpustakaan 5. Menyusun kumpulan tulisan untuk dipublikasikan 6. Memberi konsultasi kepustakawanan yang bersifat konsep a. institusi b. perorangan 6. Penunjang kegiatan perpustakaan. 1. Mengajar 2. Melatih 3. Membimbing mahasiswa dalam penyusunan skripsi, tesis, disertasi yang berkaitan dengan ilmu perpusdokinfo 4. Memberikan konsultasi teknis sarana dan prasarana perpusdokinfo 5. Mengikuti seminar/lokakarya dan pertemuan sejenis di bidang kepustakawanan 6. Menjadi anggota organisasi profesi kepustakawanan 7. Melakukan lomba kepustakawanan 8. Memperoleh penghargaan/tanda jasa 9. Memperoleh gelar kesarjanaan lainnya
II-22
10. Menyunting risalah pertemuan ilmiah 11. Peran serta dalam tim penilai jabatan pustakawan.
II-23
BAB III PROFIL INFORMAN DAN TEMUAN DATA
III.1. Profil Informan Penentuan informan penelitian ini mengacu pada teknik purposive sampling dan kriteria sampel yang penulis gunakan adalah pustakawan yang bekerja di Perpustakaan Umum Kota Surabaya yang telah memiliki Jabatan Fungsional Pustakawan (JFP). Beberapa data yang perlu digali terkait informasi pada informan meliputi status kepegawaian, jabatan, jenis kelamin, lama kerja, background pendidikan, jalur penerimaan sebagai PNS, dan pemilihan profesi pustakawan.
III.1.1. Informan 1 : PA PA merupakan salah satu pegawai di perpustakaan daerah kota Surabaya yang telah memiliki Jabatan Fungsional Pustakawan (JFP) dan saat ini menjabat sebagai staf layanan kepustakaan. PA berada pada golongan II/d (Pengatur tk. I). PA merupakan seorang ibu yang memiliki 2 orang anak. PA telah bekerja sebagai pustakawan di perpustakaan kota dari tahun 1998, yang sebelumnya dari HONDA (Honorer Daerah) dan baru diangkat menjadi PNS tahun . PA mulai memiliki JFP pada tahun 2011. Ketika diterima sebagai pustakawan, PA berijazah D3 Perpustakaan dari Universitas Airlangga, dan pada tahun ini (2014) ia telah menyelesaikan studinya di Jurusan Perpustakaan Universitas Wijaya Kusuma. Pustakawan menjadi pilihan utama ketika lulus kuliah D3. Meskipun awalnya sempat bekerja selama 1,5 tahun
III - 1
di bagian adminsitrasi perusahaan swasta. Masuk di jurusan D3 Perpustakaan pada awalnya memang bukan menjadi keinginannya sendiri. Masuk D3 Perpustakaan sewaktu mengambil studi perguruan tinggi atas rekomendasi tantenya. Karena saat itu ekonomi keluarga tidak bisa menjamin, beliau harus masuk perguruan tinggi negeri dan UNAIR menjadi pilihannya. Ditambah dengan rekomendasi tantenya tentang jurusan D3 Perpustakaan dengan melihat peluang masuknya juga, akhirnya PA tidak ada pilihan lain. Sehingga ketika tes UMPTN pada pilihan 1 dan 2 nya ditulis D3 Perpustakaan.
III.1.2. Informan 2: PB PB merupakan salah satu pegawai perpustakaan yang memiliki jabatan pustakawan inpassing. PB bukan dari background perpustakaan ketika kuliah. PB mengikuti diklat kesetaraan yang diadakan oleh Perpustakaan Nasional selama 3 bulan untuk bisa mendapatkan jabatan sebagai pustakawan. PB merupakan bapak dari 3 orang anak, istrinya adalah seorang guru. Saat ini menjabat sebagai Wakil kepala Sub Bidang Pembinaan Kepustakaan dengan golongan III/d (Penata tk. I). Dulunya sebelum ditempatkan di perpustakaan beliau berprofesi sebagai guru, kepala sekolah, pengawas, kepala kantor departemen kecamatan, kepala dinas dan juga wakil kepala sie kesiswaan di dinas pendidikan. PB merupakan lulusan S1 pendidikan umum IKIP Negeri yang sekarang adalah UNESA. Pengalamannya memang lebih banyak di bidang pendidikan. Pemilihan jurusan di bidang pendidikan dipengaruhi oleh keluarga yang memiliki background pendidikan. PB dipindah ke perpustakaan umum kota Surabaya tahun 2006 dan mengikuti diklat kesetaraan pada tahun 2007. Diklat dilaksanaan selama 3 bulan
III - 2
oleh PERPUSNAS di Jakarta. PB mulai diangkat sebagai PNS ketika masih berumur 18 tahun pada tahun 1982. PB merupakan satu-satunya pegawai di perpustakaan
umum
kota
Surabaya
yang
mengikuti
diklat
kesetaraan
PERPUSNAS. Selain dikarenakan utusan dari pimpinan, ia memang ingin mengikuti diklat tersebut sebagai sebuah tanggung jawab pekerjaan ketika dia bekerja di perpustakaan untuk menguasai ilmunya.
III.1.3. Informan 3 : PC PC merupakan salah satu pegawai perpustakaan yang memiliki Jabatan Fungsional Pustakawan. PC lulus dari D3 Perpustakaan UNAIR pada tahun 1996, dan saat ini sedang menempuh pendidikan S1 Perpustakaan di UWKS. Mulai bekerja di perpustakaan kota tahun 2006 sebagai Honorer Daerah (HONDA), kemudian diangkat menjadi PNS tahun 2010. Lulus dari D3 Perpustakaan UNAIR tahun 1996 dan kemudian melanjutkan pekerjaan menjadi karyawan swasta melanjutkan pekerjaannya ketika masih kuliah. Saat ini ia masuk pada golongan II/c (pengatur). Jabatannya sebagai staf pembinaan kepustakaan. PC merupakan ayah dari 2 orang anak, sedangkan istrinya adalah ibu rumah tangga. Ketika bekerja di perpustakaan, beliau berijazah D3 Perpustakaan. Beliau saat ini sedang menempuh pendidikan alih jenjang S1 di Universitas Wijaya Kusuma. Awal masuk jurusan D3 Perpustakaan, karena melihat tetangganya yang bekerja di perpustakaan, menganggap enak karena masuk langsung jadi PNS. Akhirnya beliau terinspirasi untuk masuk di D3 Perpustakaan, selain juga peluang masuknya cukup besar dibandingkan jurusan lain di UNAIR, seperti akuntansi, hukum dan lainnya. Cukup lama PC bekerja bukan di bidang perpustakaan.
III - 3
Setelah di PHK dari pekerjaannya, ia mencoba melamar pekerjaan di perpustakaan kota dan diterima.
III.1.4. Informan 4: PD PD merupakan salah satu pegawai perpustakaan kota Surabaya yang juga telah memiliki Jabatan Fungsional Pustakawan (JFP) sejak tahun 2012. Hampir sama seperti pustakawan pada umunya, PD merupakan lulusan dari D3 Perpustakaan UNAIR. Saat ini PD memiliki jabatan sebagai staf layanan perpustakaan. PD merupakan ayah dari 2 anak. PD mulai bekerja di perpustakaan setelah lulus kuliah tahun 1995. Sebelum bekerja di perpustakaan umum kota Surabaya, PD memiliki pengalaman kerja sebagai pustakawan di berbagai instansi diantaranya ITATS, ITS-Perkapalan kemudian di STIKOM. Ketika di STIKOM ini dia terkena PHK dan sempat ingin “murtad” dari kepustakawanan. Akhirnya PD mencoba mengikuti tes CPNS dan diterima di kabupaten Probolinggo pada tahun 2006. Kemudian tahun 20011 akhir dia minta dipindah ke perpustakaan umum kota Surabaya dan diterima.
III.1.5 Informan 5: PE PE merupakan salah satu pegawai di perpustakaan umum kota Surabaya yang telah memiliki Jabatan Fungsional Pustakawan (JFP) pada tahun 2011 dan saat ini menjabat sebagai staf layanan pengolahan kepustakaan. PE saat ini berada pada golongan II/d. Ia telah bekerja sebagai pustakawan di perpustakaan kota dari tahun 1998, yang sebelumnya dari HONDA (Honorer Daerah) dan baru diangkat
III - 4
menjadi PNS tahun 2008. PE belum berumah tangga, sehingga keputusankeputusannya lebih banyak dipengaruhi oleh orang tuanya. Seperti halnya dengan yang lain, ketika diterima sebagai pustakawan, PE berijazah D3 Perpustakaan dari Universitas Airlangga, dan pada tahun ini (2014) telah menyelesaikan studinya di Jurusan Perpustakaan Universitas Wijaya Kusuma. Pustakawan menjadi pilihan utama ketika beliau lulus kuliah D3. Sehingga PE melamar di berbagai perpustakaan baik instansi sekolah maupun instansi pemerintahan. Hingga akhirnya diterima di perpustakaan umum kota Surabaya.
III - 5
Tabel III. 1 Matrix Informan
BACKGROUND PENDIDIKAN / JALUR PNS
KOTA ASAL INFORM AN (L/P) PA (P)
PERPUSTAKAAN (D3/S1 PERPUSTAKAAN)
SURA BAYA
PD (L)
RIWAYAT PENDIDIKAN
BACKGORUND PENGALAMAN BEKERJA
LAMA KERJA DI PERPUSKOT SURABAYA
JABATAN DAN PELAKSANAAN KERJA
D3 Perpustakaan UNAIR. Lulus th. 1996 (Kuliah rekom tante dg pertimbangan : ekonomi sdg lemah, peluang besar masuk PTN melalui SNMPTN, peluang kerja besar. Sejak awal kuliah bertahan menekuni kelimuannya tanpa intervensi). S1 Perpustakaan UWK. Lulus th. 2014.
Sempat bekerja di bidang non 1998-skg. perpustakaan selama kurang lebih 1,5 th. Memilih menjadi pustakawan dari HONDA (10 tahun) karena background pendidikan perpustakaan dan tidak berorientasi JFP Th.2011 pada pekerjaan lain. Dinilai menjadi pustakawan tidak terlalu berat dan cukup untuk membantu suami memenuhi kebutuhan hidup. PNS tahun 2010 (golongan (II/d)
Staf layanan kepustakaan. pernah merasa ragu untuk tetap bekerja di perpustakaan di 10 tahun pertama bekerja karena belum juga diangkat sebagai PNS. Ia masih merasa minder menyandang status pustakawan)
D3 Perpustakaan UNAIR. Lulus th. 1995 (cita-cita awal menjadi insinyur, tetapi didorong orang tua agar menjadi pustakawan. Ada intimidasi orang tua yg merupakan pustakawan agar masuk di UNAIR dan tidak dikuliahkan jika tidak di PTN. Setahun pertama menjalani kuliah dengan tidak fokus karena masih mengikuti bimbingan
Menjalani karier sejak awal sebagai 2011-skrg pustakawan mulai tahun di 1995. Tes CPNS Pernah bekerja di perpustakaan tahun ITATS, kemudian ITS, kemudian JFP 2012 STIKOM dan mengalami PHK. Sempat merasa murtad terhadap kepustakawanan. Namun saat ada lowongan PNS pustakawan tetap mendaftar dan diterima di Probolinggo selama 5-6 tahun, yaitu 2006-2011. Kemudian meminta mutasi ke perpustakaan kota Surabaya. Memilih menjadi pustakawan karena selama
Staf layanan perpustakaan . (Aktif di komunitas karena beranggapan aktivitas di jalan kepustakawanan merupakan aktivitas perubahan yang harus real dan filosofis. Ia tergabung di banyak forum karena senang menambah relasi untuk diskusi. Ia bekerja dengan prinsip parabola, yaitu terus membuat capaiancapaian (menaikkan potensinya). Ia berusaha
III - 6
belajar mempersiapkan tes mahasiswa baru selanjutnya untuk mengambil jurusan fisika sesuai passionnya. Namun karena masih gagal, dan keuangan orang tua menipis akhirnya stay di JIP) PE (P)
D3 Perpustakaan UNAIR. Lulus th. 1997 (memilih prodi tsb atas rekomendasi ibu dan keluarga melihat prospek kerjanya bagus. Informan sebenarnya mengingikan D3 Perpajakansesuai identifikasi passionya. Sehingga saat ujian masuk mahasiswa baru informan menempatkan D3 perpajakan di pilihan 1 , dan D3 perpustakaan di pilihan 2. Hasil seleksi lolos di pilihan ke-2).
kuliah telah berproses untuk menemukan passion di bidang kepustakawanan. PNS tahun 2006 golongan golongan II/d
menekan stigma negatif terhadap pustakawan di masyarakat karena baginya pustakawan memiliki ilmu yang bernilai strategis.)
Dari awal lulus kuliah fokus untuk 1998-skg. bekerja di perpustakaan, karena melihat background pendidikan dari HONDA ( tahun 2008) perpustakaan yang dimiliki sehingga tidak memiliki orientasi selain di JFP Th.2011 perpustakaan. Namun tidak diizinkan ortu untuk berkarier di jakarta karena jauh. Sehingga menelusur lowongan kerja di kota Surabaya saja. PNS tahun 2010 golongan II/d
Staf layanan pengolahan kepustakaan. (Dalam keseharian, ia concern dalam mengurus jabatan fungsional pustakawan. Selama ini ia masih merasa rumit mengurus keperluan tersebut. Ia merasa “babat alas” yaitu mengawali untuk mengurus jabatan fungsional pustakawan)
S1 Perpustakaan UWK. Lulus th. 2014. PC (L) LUAR
D3 Perpustakaan UNAIR. Lulus th. 1996
(Memilih jurusan tsb krn
Saat kuliah sudah bekerja di perusahaan swasta bagian marketing. Pekerjaan ini terus dilanjutkan hingga usai lulus kuliah lalu terkena PHK.
III - 7
Staf pembinaan 2006-skg. Kepustakaan. dari HONDA Keluarga mensyukuri status (4 tahun)
KOTA SURA BAYA
melihat tetangganya yang pustakawan langsung diangkat PNS; dan peluang masuk jurusan tsb di UNAIR besar) Saat ini sedang menempuh S1 Perpustakaan UWK.
Selanjutnya melamar pekerjaan ke perpustakaan kota dengan menitipkan surat lamaran kerja pada tetangganya yang bekerja di perpustakaan kota Surabaya.
PNS tahun 2010 (golongan II/c)
III - 8
JFP Th.2011
informan sebagai PNS meskipun gajinya lebih rendah dibanding menjadi pegawai swasta. Ia berusaha untuk benar-benar menguasai kelimuan sesuai bidang kerjanya.
-
-
-
S1 pendidikan umum IKIP Negeri (sekarang dsb.UNESA)
Sebelum bekerja di perpustakaan, pernah menjalani beragam profesi di
SURA BAYA
NON
PB (L)
III - 9
Mutasi ke Wakasubbid perpustakaan Kepustakaan
pembinaan
PERPUSTAKAAN SECARA FORMAL/ DIKLAT KESETARAAN
LUAR KOTA SURA BAYA
lulus tahun 1986. (Memilih jurusan tsb krn di keluarga profesi guru menjadi profesi turun temurun). Pernah mengambil Akta 4 dan mengajar di SMP.
bidang pendidikan, yaitu : sebagai guru, kepala sekolah, pengawas, kepala kantor departemen pendidikan di kecamatan, kepala dinas dan juga wakil kepala sie kesiswaan di dinas pendidikan. Lalu dimutasi ke perpustakaan tahun 2006 dan menjadi pustakawan in passing melalui
diklat kesetaraan selama 3 bulan dari PERPUSNAS. (PNS tahun 1986 golongan III/d)
III - 10
kota surabaya Informan merasa tenteram tahun 2007 berkarya di perpustakaan, karena di tempat lain informan merasa ada iklim kompetisi yang cukup besar dan ada teman yang tidak suka saat ada teman berprestasi atau kariernya melejit. Perpuskot Surabaya berhasil meraih juara internasional di tahun 2014 yaitu MDGs saat ia tergabung dalam tim presentasi. Ia mengeskplorasi pengetahuan dengan ikut berperan di berbagai lini aktivitas seperti PRAMUKA dsb. Ia tidak terlalu peduli dengan image pustakawan di masyarakat karena baginya pustakawan menguasainya banyak bidang ilmu.
III.2 Eksternalisasi Pustakawan Perpustakaan Umum Kota Surabaya dalam Memilih Pustawakan Sebagai Profesinya Proses eksternalisasi menjadi bagian penting dalam kehidupan individu di dalam masyarakat. Proses ini menjadi hal yang paling medasar dalam suatu pola interaksi individu terhadap dunia sosiokulturalnya. Melalui proses ini, individu menerima informasi
dari masyarakat
yang nantinya akan membangun
pengetahuan dasarnya mengenai realitas objektif. Proses eksternalisasi diawali semenjak individu mulai mampu bersosialisasi dengan lingkungannya. Individu dalam hal ini akan dikonstruksikan oleh lingkungannya. Pada penelitiannya, proses eksternalisasi ini dimulai semenjak individu lahir dan mulai mampu bersosialisasi dengan lingkungannya hingga akhirnya menetapkan keputusan untuk menekuni profesi pustakawan. Proses eketernalisasi dimulai dari individu mampu bersosialisasi dengan lingkungannya. Individu mampu bersosialisasi pada umumnya dimulai ketika ia telah mampu berinteraksi dengan lingkungannya. Proses ini berlangsung selama individu itu hidup dan mencurahkan diri dalam masyarakat.
Seperti yang
diungkapkan oleh PA. Dia mulai mengenal profesi pusptakawan sejak kecil dikarenakan ayahnya bekerja di tempat foto copy yang berada di dalam perpustakaan kedokateran UNAIR. Saat itu dia melihat bahwa pekerjaan sebagai pustakawan dinilainya enak dan kemudian disarankan oleh keluarganya untuk masuk di jurusan perpustakaan ketika masuk pendidikan tinggi. Mengenai pekerjaan itu kan dimulai dari bapak yang bekerja di foto copy di perpustakaan UNAIR. Di perpustakaan UNAIR yang kedokteran. Jadi ya saya tahu, kok kelihatannya kerjanya enak. Ya dapat dari itu tok. Akhirnya disarankan keluarga untuk ke perpustakaan. (PA)
III-11
Hal tersebut juga dialami oleh PD, sejak kecil dia telah dekat dengan dunia perpustakaan dan pustakawan karena ayahnya berprofesi sebagai pustakawan. Namun sejak kecil dia masih belum mengerti tentang pekerjaan pustakawan. Dia hanya mengerti bahwa ayahnya bekerja di perpustakaan. Akhirnya semenjak kecil dia mulai diperkenalkan oleh ayahnya tentang dunia membaca dan buku oleh ayahnya. Ayahnya selalu memberikan jatah uang setiap bulannya untuknya membeli buku. Kebiasaan membaca itu mulai diterapkan oleh ayah PD semenjak dia kecil sehingga dia sangat menyukai buku. Awal memang, pertamanya nggak tahu. Wajar, pekerjaan pustakawan itu apa. Akhirnya lambat laun waktu itu bapak selalu memberi saya uang 500 perak, kalau sekarang mungkin sekitar 100-200 ribu untuk aku digowo nang nggone sari agung, took buku. Awal kecintaan saya digiring bapak, “we tak kei duwik, belonjoo sak karepmu seng mbuk senengi, tapi wocoen”. Nah buku seng mbuk waca iku kene ceritakne nang bapak. Iku ketika awal kesukaaan saya terhadap buku. Seorang anak kecil yang mendapat buku baru, saat itu, contoh manusia ikan ngono wes imajinasinya tinggi. Itu yang luar biasa. Awalnya dari situ. (PD)
Meskipun ayah PD seorang pustakawan, namun dia mengaku bahwa baru mengetahui tentang profesi pustakawan ketika kuliah di jurusan perpustakaan. Dikarenakan selama ini dia melihat ayahnya bekerja di perpustakaan tidak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang sangat berkaitan dengan perpustakaan. Ayah PD bekerja di perpustakaan bagian membangu jaringan sehingga lebih banyak bekerja di luar kantor dan membuat laporan. PD mengaku memiliki background membaca dibandingkan pengetahuan tentang pustakawan. Nggak, saya terbuka profesinya apa itu ketika mahasiswa. Jujur waktu itu bapak iku kok ngene wae kerjaane. Di kantor ya diam aja tu. Kan karena beliau di kantor itu bagian kerjasama ya, beliau bagian tourney itu ke daerah-daerah. Pembenahan disana. Nah disana balik, terus nggae laporan. Yang harus ada
III-12
perpustakaannya waktu itu dinas kesehatan dan rumah sakit. Rumah sakit kan gak akeh, sak kabupaten kan satu, kantor dinas satu. Nah bapak bagian membuat jaringan. Bapak bukan bagian pengolahan. Dadi aku nggak ngerti opoo bukune kok diolah. Tapi kalo membaca yo, aku punya background disana. Tapi pemahaman lebih filosofis itu ngga nduwe. Dan lambat laun itu ternyata strategis. (PD)
Sejak kecil PD sudah dekat dengan perpustakaan. Dia lebih banyak mengunjungi peprustakaan provinsi. Namun saat itu pemahaman tentang pekerjaan pustakawan masih belum dia ketahui. Dia mengaku banyak mengetahui profesi pustakawan ketika banyak membaca buku. Aku waktu kecil iku, waktu itu di perpustakaan provinsi. Waktu iku masih nang nggone jalan jimerto. Eh ondomohen iku opo jalane? Nang nggone sate kelopo iku lho dek. Dulu disitu, dadi omahku nang kapas krampung aku sepedaan. Itu awalnya ku punya kartu perpustakaan. Untuk filofis itu nggak terlalu anu. Jadi nggak terlalu fokus ini pekerjaannya gimana. Aku banyak tahu ketika banyak membaca buku. Oh pekerjaannya seperti ini. (PD)
PD juga mengungkapkan bahwa awalnya dia tidak memiliki keinginan untuk bekerja sebagai pustakawan seperti ayahnya. Awalnya PD menyukai matematika sehingga dia ingin menjadi insinyur. Meskipun nilai IPSnya baik saat itu dan mampu bersosialisasi dengan baik dengan banyak orang, akhirnya lambat laun dia mulai menyenangi bidang kepustakawanan. Kalau aku nggak, aku dulu suka matematika. Makane iku aku pengen dadi insiyur. Seneng eksak aku, walaupun di pelajaran IPS iku apik. Namun lambat laun nggonmu iku, kon seneng ngomong, seneng dolin, seneng bergaul. Kalau oramg eksak kan orang yang introvert. Jadi aku baru tahu. Yo butuh tempo, karena mencari jati diri itu butuh proses. (PD)
III-13
PD juga mengungkapkan bahwa kurang memanfaatkan perpustakaan yang ada di sekolahnya saat itu, karena kurang menarik dan koleksi bukunya terbatas. Bahkan dia sangat mengingat diberi tugas untuk menghias perpustakaan dengan ketrampilann, karena dana untuk peprustakaan sangat kecil bahkan untuk membeli buku. Iya iya, cuman perpustakaan waktu itu tidak menarik. Soale waktu iku bukune ya buku-buku pelajaran. Iya, bahkan dulu saya masih ingat itu temen-temen disuruh membuat ketrampilan membuat rak-rak itu dari kayu sama triplek untuk rak perpustakaan. Nggae dewe kita ini. Prakaryane malah arek-arek seng nggae. Yo nggak menarik, sampai sekarangpun juga nggak menarik kan. Dana membeli bukupun juga kecil. (PD)
Berbeda halnya dengan yang diungkapkan oleh PE. Sejak kecil dia belum pernah mengetahui yang namanya perpustakaan dan juga pustakawan. Dia mengaku dari desa dan di sekolahnya dulu tidak ada perpustakaan. PE juga mengungkapkan bahwa pertama kali ia menemukan perpustakaan itu ketika masuk menempuh pendidikan tinggi di Universitas Airlangga. Terus terang ya mbak, saya ini kan dari desa (pengucapan agak lirih). Iya mbak, terus terang dari SD sampe SMA itu nggak ada perpustakaan. Iya cuman waktu saya hijrah ke Surabaya itu waktu masuk UNAIR. Kalau dari SD, SMP SMA kan dulu saya sekolah agama, jadi nggak ada perpustakaannya. (PC)
Preferensi PC memilih jurusan pustakawan saat itu dikarenakan melihat saudaranya yang mengambil jurusan perpustakaan sehingga membuatnya tertarik untuk masuk jurusan perpustakaan. Meskipun saat itu PC masih belum mengetahui perpustakaan, pustakawan dan nantinya apa yang dipelajari di jurusan perpustakaan. Orientasinya saat itu dapat masuk perguruan tinggi negeri.
III-14
Belum tahu, Cuma saya tahu dari saudara saya yang mengambil jurusan perpustakaan sehingga tertarik masuk jurusan perpustakaan. Iya, pokoknya dulu itu yang penting masuk perguruan tinggi negeri. Jadi memang belum tahu gambaran nanti seperti apa.(PC)
Saat itu, sosialisasi yang diterima oleh PC tentang jurusan perpustakaan terbatas pada pengetahuannya saja ketika melihat saudaranya yang setelah lulus dari jurusan perpustakaan langsung mendapatkan pekerjaan dan diangkat sebagai PNS. Terkait hal-hal yang lebih jelas di dalamnya tentang jurusan perpustakaan dianggap urusan belakang olehnya. Ya itu saya lihat dari luaran itu, kebetulan saudara saya kan lulus dari perpustakaan itu langsung dapat pekerjaan. Kebetulan juga diangkat PNS. Jadi ketertarikan saya awalnya dari situ. Kalau terkait dalam-dalamnya saya belum tahu juga. Urusan anu belakangan. (PC)
Saat itu, PC memiliki cita-cita ingin menjadi tentara. Namun karena ada cacat di bagian belakang tubuhnya, dia mengalami kegagalan pada saat seleksi masuk. Akhirnya dia memutuskan untuk mencari kuliah di jurusan yang menurutnya aman, karena peluang besar dan peminatnya masih sedikit sehingga peluangnya untuk masuk ke jurusan tersebut besar. Tentara mbak, pernah saya ikut daftar tapi ada cacat di bagian belakang karena pernah jatuh dulu. Pokoknya kuliah cari jurusan yang amanlah, yang penting masuk. Itu dulu mbak, apalagi saya sekolahnya kan sekolah desa ya, ya nggak ada apa-apanya. (PC)
Umumnya, dalam pemilihan program studi sewaktu masuk perguruan tinggi, seorang calon mahasiswa mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya: ketertarikan minatnya pada program studi, kemampuan akademik, kredibilitas
III-15
atau reputasi perguruan tinggi penyelenggara program studi, prospek kerja ke depannya, kemampuan ekonomi, penyesuaian dengan cita-cita yang dimiliki. Demikian halnya dalam konteks permasalahan yang diteliti, pustakawan yang memiliki background pendidikan perpustakaan memiliki beberapa pertimbangan untuk masuk di program studi perpustakaan. Sebagian besar dari informan memilih program studi perpustakaan karena melihat orang lain yang sedang menempuh pendidikan tersebut atau telah bekerja pada bidang kepustakawanan dan didukung oleh peluang masuk ke program studi tersebut yang dinilai cukup besar dibandingkan dengan program studi lainnya yang terdapat pada perguruan tinggi tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh informan berikut ini “Saya punya tetangga yang juga bekerja di perpustakaan. Saya lihat kok enak. Istilahnya beliau sudah bekerja dan langsung PNS, kelihatannya kok enak. Akhirnya saya tertarik masuk perpustakaan. Lagipula dulu di UNAIR kan ada jurusan akuntansi, manajemen, ya mungkin dengan saya memilih perpustakaan kan peluangnya lebih banyak dibandingkan dengan jurusan yang lain. Jadi saya lebih mudah masuk. Pertimbangannya itu dulu.” (PC)
PC memlih program studi D3 Perpustakaan di UNAIR awalnya karena melihat tetangganya yang telah bekerja sebagai pustakawan dan diangkat menjadi PNS. Bekerja sebagai PNS memang menjadi pertimbangan utama bagi sebagian besar orang dalam mencari pekerjaan, dan itu juga berlaku hingga saat ini. Selain itu, PC juga mempertimbangkan peluang masuk ke program studi tersebut jika dibandingkan dengan program studi lain di perguruan tinggi yang sama. Alasan tersebut bagaikan menjadi alasan yang umum di kalangan pustakawan lainnya ketika memilih program studi perpustakaan. Hal ini juga diungkapkan oleh PA ketika memilih program studi perpustakaan ketika mendaftar di perguruan tinggi. III-16
“Kalau itu gini, dulu pada waktu selesai SMA ibu saya sedang sakit dan opname terkena penyakit kanker kandungan. Jadi saya sudah nggak mikir untuk melanjutkan kuliah. Ya sudah aku di rumah, tapi saya sebenarnya juga pengen. Akhirnya ada tante saya yang bilang kalau nggak kuliah akan cepat berkeluarga. Saya nggak mau. Akhirnya kata bulek saya disuruh ambil D3 Perpustakaan. Awalnya saya nggak mau, dalam hati saya apa itu. Terus kata beliau nanti peluangnya banyak. Nggak harus disekolah. Akhirnya saya memilih D3 Perpustakaan di pilihan 1 dan pilihan 2.” (PA) Sama halnya dengan PC, PA pun dalam pemilihan program studi bukan menjadi pilihan pribadi karena minat. PA masuk program studi perpustakaan dikarenakan rekomendasi dari keluarganya, yaitu tantenya sehingga kadar kepercayaan PA dalam memilihi program studi itu lebih tinggi. Didukung dengan kondisi saat itudimana kondisi ekonomi keluarga yang sedang tidak baik, bahkan angan-angan untuk kuliah pun saat itu awalnya tidak ada. Rekomendasi tersebut memberikan pencerahan. Terlebih dengan adanya peluang kerja ke depannya yang terbilang cukup besar dan peluang masuk ke program studi tersebut cukup mudah sehingga PA memutuskan untuk masuk ke program studi tersebut pada pilihan 1 dan pilihan 2 saat itu. Bagaikan tidak ada pilihan lain dan hanya mengandalkan program studi itu untuk masa depannya di perguruan tinggi. Sama halnya dengan PA, PE pun memilih program studi perpustakaan karena rekomendasi dari teman
ibunya. Saat itu, memilih program studi
perpustakaan bukan menjadi pilihan pertama meskipun mendapatkan rekomendasi dari kerabatnya. Saat itu PE masih ingin mengejar cita-citanya untuk masuk D3 Perpajakan, karena PE memiliki ketertarikan dalam menghitung. Pilihan masuk program studi perpustakaan menjadi pilihan kedua setelah mendapat rekomendasi dari kerabatnya yang menyebutkan bahwa program studi perpustakaan
III-17
prospeknya ke depan akan bagus karena masih jarang dan peluang masuknya cukup besar. “Dapat info dari temennya ibu. Abis itu ya udah, perpus itu kan pilihan kedua. Pilihan pertamanya pajak.” (PE)
Seperti 3 informan lainnya, PD memilih jurusan perpustakaan bukan murni keinginannya sendiri. Cita-cita awalnya adalah insinyur. PD memilih jurusan perpustakaan karena didorong oleh orang tuanya yang saat itu juga bekerja sebagai pustakawan. Orang tuanya saat itu tidak memperbolehkan PD kuliah di ITS tetapi memintanya kuliah di UNAIR. Selain itu, orang tuanya tidak bersedia mengkuliahkan jika tidak di universitas negeri. Akhirnya jatuhlah pilihannya pada perpustakaan, karena dilihat juga peluang untuk masuk cukup besar. “Iya dulu itu D3, bapakku gak oleh nang ITS. Di UNAIR aja, dan di UNAIR yang paling bawah itu perpustakaan. Soalnya apa, orang tuaku kalau nggak masuk negeri nggak oleh kuliah. Dadi nggolek seng paling elek, dadi neg nggak mlebu yo bodone aku. Terus akhirnya mlebu yo kejeglong. Soale yang perpustakaan itu pilihan bapak, aku diminta masuk perpustakaan tapi aku moh. Terus akhirnya nggak keterima seng iku, yowes tak turuti. Iseng aja, mergo nuruti wong tuwo.” (PD)
Bahkan ketika semester-semester awal, PD masih belum bisa untuk fokus di program studi ini. PD melanjutkan mengikuti bimbingan belajar selama 1 semester. Selama satu tahun berlangsung seperti itu dikarenakan ia ingin mecoba lagi. Dari awal PD merasa kurang nyaman dengan materi-materi kuliah yang diberikan, karena ia merasa itu bukan passionnya. PD memiliki background di fisika dengan hitungan yang detail. Meskipun ia senang membaca, tapi bukan membaca materi-materi tersebut. III-18
“Jadi gini dulu aku ikut bimibingan belajar namanya vigetta. Disana dikatakan kalau tidak bisa keterima di negeri, bisa mengulang kembali free tanpa biaya. Tapi aku nggak mengatakan kalau aku masuk D3 UNAIR. Jadi aku mau ikut. Semester awal, enam bulan awal itu aku masih mendua. Mendua dalam artian nanti jam 4 aku harus les lagi. Akirnya apa yang terjadi, IP ku anjlok. C C C D, karena aku belajarnya nggak fokus. Itu berlangsung sampai setahun, semester berikutnya masih sama karena aku ingin nembak lagi. Jadi 1 tahun itu dadi guyon. Apa maneh awal-awale kan isek pengantar ilmu perpustakaan terus teori-teori filsafat. Iku pelajaran opo iku. Aku sangat tidak nyaman itu. Aku tidak bisa menerima. Wong aku fisika, aku wong fisika yang sangat detail. Lhah malah dikon maca, aku memang seneng maca tapi nek dikon maca seng nggak se-passion dengan diriku, iku menurutku adalah keterpaksaan. Aku baru tersadar ketika akhirnya, walaupun aku hampir ikut satu tahun tapi terakhir aku putuskan untuk tidak anu lagi, tidak nembak UMPTN lagi, tidak nembak D3 lagi. Meskipun aku wes meh, bisa dikatan 80% lah. Waktu itu aku lupa ada peristiwa apa sehingga membuat saya nggak jadi ikut itu. Tapi yowes kadung ajur.”(PD) PD mengungkapkan bahwa ia mulai dari kecil dididik untuk dekat dengan buku. Kebetulan hal seluk beluk buku bermula dari bapaknya. Bapaknya sendiri adalah seorang pustakawan. Dulu, bapaknya selalu memberikan uang Rp. 500,00 untuk membeli buku setiap bulannya. Sehingga bukunya saat itu banyak. Ketika PD TK sudah memiliki koleksi buku sekitar 50-an. Bahkan saat itu PD telah memiliki perpustakaan sendiri di rumahnya. Terkadang karena masih terbata-bata dalam membaca, PD dibacakan oleh „eyang‟ atau bapaknya. “Jadi sebenarnya saya seluk beluk buku itu bermula dari bapak. Bapak itu selalu memberikan saya itu masih ingat saya waktu itu, dikasih uang 500 perak, waktu itu sudah banyak. Harga buku waktu itu 90 ripis. Saya waktu itu diberi bapak uang 500 perak untuk membeli buku. Waktu itu membeli buku di Sari Agung, sekarang nggak ada Sari Agung, adanya Gunung Agung. Sari Agung di daerah Tunjungan. Jadi nek mari bapak bayaran, mesti minggu depannya saya di toko buku diberi uang 500 itu disuruh beli buku sak kapok-kapokmu, sak wareg-waregmu, sak katokmu. Pokoknya ya budgetnya 500 itu, dienteni sama bapak di kasir terus mari ngono totalan. Jadi buku saya itu banyak. Waktu saya TK besar itu sudah punya buku sekitar 50an. Lha yaopo wong angger III-19
dina tuku buku. Dadi 500 lebih. Saya punya perpustakaan di rumah. Masih ingat aku tak jejer nang tas koper yang presiden itu, tak suruh baca temen-temen. Wes apal aku, waktu itu memang sek gratul-gratul maca, diwacakne eyang, diwacakne bapakku. (PD)
Berbeda halnya dengan PB. Ia bukan berasal dari background pendidikan perpustakaan. PB merupakan pustakawan inpassing, dimana ia mendapat gelar pustakawan
setelah
mengikuti
diklat
kesetaraan
yang
diberikan
oleh
PERPUSNAS selama 3 bulan. “Kalau saya ini bukan dari background pustakawan. Saya awalnya dari background pendidikan yang kemudian di mutasi ke perpustakaan kemudian mengikuti diklat yang diadakan perpusnas salama 3 bulan.” (PB)
PB memiliki background pendidikan yang sangat kuat. PB dulu merupakan lulusan pendidikan umum di sebuah peguruan tinggi kependidikan negeri di Surabaya. Sebelumnya PB menempuh SPG yang kemudian dilanjutkan di D1 pendidikan IPS. Setelah mendapatkan ijazah D1, PB melanjutkan pendidikan S1 di pendidikan umum. Baru setelah itu ia mengambil akta 4 untuk pendidikan keprofesiannya dan bisa mengajar di sekolah. “Saya lulus S1 tahun 86. Kuliah di UNESA jurusan pendidikan umum. Iya saya awal masuk 82. Awalnya masuk SPG 79, kuliah di IKIP di D1. Ambil D1 1 tahun jurusan IPS saya. Jadi punya akta sama ijazah, akta 1 sama diploma 1. Akta itu sertifikat untuk bisa mengajar SMP. (PB)
Berbeda dengan yang lainnya, ketika memilih jurusan pendidikan umum, merupakan keinginan PB sendiri. Kelurganya memiliki background pendidikan dan berprofesi sebagai guru. Kedua orang III-20
tuanya guru, „besan‟nya guru,
begitupun anaknya yang pertama dijadikan seorang guru. Profesi guru dalam keluarganya bagaikan profesi turun-temurun. “Iya dari awal saya memang berminat di pendidikan, termasuk kedua orang tua saya adalah guru. Iya kepengen meneruskanlah, makanya anak saya yang nomor 1 itu saya paksa betul untuk masuk di UNESA jadi guru. Sedangkan untuk nomor 2 dan 3 ini saya beri kebijakan bebas. Akhirnya dia memilih ITS. Terus saya tanyakan kan gini, jadi anak pertama itu mungkin juga keinginan orang tua dan keinginan anak sendiri. Dulu saya pengen anak saya itu pengen jadi guru matematika. Tapi dia nggak mau, akhirnya milih kimia. Memang waktu itu saya suruh ke UNESA. Kenapa? Karena memang ada dasar pemikiran seperti ini, saya kan kebetulan guru, istri saya guru, orang tua guru, mertua saya juga guru. Kan anak pertama itu harus jadi, saya punya bayangan pemikiran kalau sudah lulus saya bisa mengarahkan dan insyaAllah bisa membantu.
PB merupakan satu-satunya pegawai di perpustakan kota yang mengikuti diklat kesetaraan. Saat itu PB mendapat utusan dari pimpinan untuk mengikuti diklat tersebut. PB menerima tawaran itu dengan alasan ketika ia berada pada suatu instansi, ia harus menguasai ilmu dasar dari bidang tersebut. Saat itu PB diusulkan dengan 2 teman lainnya dari perpustakaan kota, namun dari 3 yang diusulkan hanya dia yang lolos. “Pastinya utusan dari pimpinan, dulu itu ada 3 yang dikirim. Itu dari perpus kota sendiri ada 3. Tapi yang diterima cuma saya sendiri.”(PB)
Untuk menjadi pustakawan tentunya belum pernah terpikirkan oleh PB sebelumnya baik ketika awal masuk kuliah maupun ketika lulus kuliah. Hal ini terlihat dari pengalaman kerjanya yang dari awal memang konsen pada dunia pendidikan. PB mengawali kariernya dari menjadi guru hingga menjadi wakil
III-21
ketua sie kesiswaan di dinas pendidikan, baru kemudian dimutasi ke perpustakaan kota Surabaya. “Guru, penilik, kepala sekolah juga, pengawas iya, kepala kantor iya, kepala kantor departemen ya kecamatan, juga kepala cabang dinas, wakasie kesiswaan di dinas pendidikan, terus sekarang di perpustakaan.”(PB)
Begitu juga dengan PD, dari awal pemilihan jurusan dalam kuliah PD tidak ingin menjadi pustakawan. Cita-cita awalnya menjadi insinyur dan ingin melanjutkan pendidikan tinggi di ITS. Namun karena belum diterima di ITS dan oleh orang tuanya tidak diberi ijin,ia menetapkan pilihan di D3 Perpustakaan sesuai dengan yang diinginkan oleh orang tua. Selama menjalani perkuliahan PD membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mulai menekuni dunia perpustakaan. Mulai dari kesadaran beliau karena mengemban 2 amanah dalam kondisi uang yang pas-pasan dari ibu akhirnya beliau berpikir bagaimana bisa menikmati dan menyadari bahwa di jurusan perpustakaan merupakan jalan hidupnya. Hingga akhirnya beliau mengikuti organisasi internal kampus yaitu UKKI atau Unit Kegiatan Kerohanian Islam dan beliau menjadi ketua perpustakaan masjid Nuruzzaman, masjid yang terletak di lingkungan kampusnya waktu itu. “Ehhhmmm, selama 1 tahun itu akhirnya aku mulai berfikir, dari uang pas-pasan dari ibu kok aku nggak yakin ehm yak an ngambang. Aku pikir ada 2 amanah yang saya tanggung. Akhirnya saya berfikir, yaopo yo carane ben aku isok enjoy, terus aku mengerti apa yang saya lakukan itu adalah jalan hidupku, sehingga aku butuh penghayatan yang kuat. Akhirnya ehm aku terdampar di UKKI, aku jadi aktivis. Sampai aku jarang pulang, sampai aku di UKKI itu ketua perpustakaan masjid Nuruzzaman.” (PD) Ketika menjadi ketua perpustakaan Nuruzzaman, terjadi pergulatan batin hingga akhirnya membawa beliau masuk senat. Ketika ada cara bakti sosial yang
III-22
membutuhkan buku, teman-temannya meminta bantuan beliau. Karena saat itu beliau memilki banyak link penerbit. Selain itu, di UKKI sering mengadakan bazar buku sehingga dari situ beliau semakin tenggelam dengan dunia buku. Beliau mengungkapkan bahwa memang ada masa transisi waktu itu untuk benarbenar menemukan passion beliau di jurusan perpustakaan, dan waktu 1 tahun untuk menemukan itu beliau rasa waktu yang cukup lama. Dari hal tersebut sehingga berdampak pada pencapaian IPK saat lulus sebesar 2,65 yang menurut beliau memang tidak bagus untuk ukuran seorang PNS. “Jadi di sana ideologi saya mulai kelihatan. Ada sebuah pergulatan batin ketika melakukan itu, jadi aku masuk senat. Jadi kalau ada kegiatan apa tentang perpustakaan yo mlayune nang aku. Nggolekne buku buat mereka, aku punya beberapa channel penerbit. Awal emang sek nggolek-nggolek. Tapi suwi-suwi kenal aku. Dadi nek onok opo-opo, nek onok bakti sosial hari kartini. Nggak ngerti saiki sek onok opo nggak. Setiap tahun ada itu, yo nggolek sumbangan. Sampai terakhir aku passionnya di situ. Biasanya nek di UKKI onok basar buku dadi aku wes semakin tenggelam dalam buku. Ya memang ada masa transisi yang tak pikir 1 tahun itu suwe banget. Akhirnya sadar itu, separo jalan nggenjot nang IP ku nang tahun terakhir malah. IPK terakhir malah 2,65. Tidak cukup bagus memang untuk menjadi pustakawan PNS waktu itu. (PD)
Namun hal ini berbeda dengan ketiga pustakawan lainnya yang memang dari awal tertarik untuk masuk jurusan perpustakaan karena melihat peluang masuk dan peluang kerjanya. Dari awal ketika mereka masuk jurusan perpustakaan telah membayangkan nantinya mereka akan bekerja sebagai pustakawan. Seperti yang telah diungkapkan oleh 3 informan di bawah ini: “Terlanjur kan, terus kemudian aku ya harus di perpustakaan. Nggak mungkin kan saya cari pekerjaan lain, kan nggak mungkin. Maksudnya yang bukan perpustakaan. Kemudian di sini, dulunya kan nggak di sini.” (PE)
III-23
“Kalau saya diawal kan memang mikirnya yang penting saya keluar dari perpustakaan bekerja sesuai dengan bidang saya.” (PC) “Saya dulu mikirnya kalau di jurusan perpustakaan ya berarti kerjanya nanti di perpustakaan. Makanya ketika saya sempat bekerja di luar perpustakaan itu rasanya bagaimana gitu mbak. Jadi ilmu yang saya dapatkan selama kuliah tidak terpakai.” (PA)
Meskipun di awal telah memiliki tujuan setelah lulus akan bekerja di perpustakaan, namun dalam kenyataannya tidak seperti yang diharapkan. Hal ini terjadi pada PA yang sebelum bekerja di perpustakaan kota, beliau bekerja sebagai adiministrasi di sebuah perusahaan swasta. “Dulu bekerja di perusahaan swasta, bidang administrasi namun tidak sesuai dengan ilmu yang didapat. Alhamdulillah tidak lama terus diterima disini.” (PA) PA bekerja sebagai administrasi di sebuah perusahaan swasta tidak lama, sekitar 1,5 tahun beliau mencoba mendaftar di perpustakaan kota dan diterima sebagai tenaga Honorer Daerah (HONDA) dengan gaji yang terhitung sangat kecil waktu itu. Sebelumnya beliau juga mencoba melamar di berbagai instansi perpustakaan, dari yang ada di Surabaya, Malang, bahkan juga mencoba di Perpustakaan Nasional (Perpusnas). “Dulu dari lokal, dulu masih belum ada sarjana perpustakaan. Dulu belum ada pustakawan di perpustakaan kota. Yang dulunya di balai kota terus pindah kesini. 1,5 tahun masuk HONDA (Honorer Daerah). Waktu honorer itu gajinya menunggu sisa, kalau nggak ada sisa ya nggak digaji. Waktu dulu gajinya Rp. 60.000, 00. Untuk yang masih single sih masih cukup. Tapi saya dulu nggak ada kendaraan. Jadinya saya ngakali dengan nunut tetangga yang kerja di SIER. Awalnya saya juga nggak disini aja, saya nglamar di mana-mana. Termasuk di universitas swasta Malang. Dengan berbagai pertimbangan saya memilih nyari di Surabaya. Jadi saya beberapa kali ikut tes CPNS. Di UNAIR, di ITS bahkan di perpustakaan nasional saya juga ikut dua kali. (PA)
III-24
Pengalaman mencari pekerjaan PA ini hampir sama dengan PE. PE juga mencoba untuk melamar di berbagai instansi perpustakaan swasta maupun negeri dari Surabaya hingga Jakarta. Beliau juga mencoba mengikuti tes yang diadakan oleh Perpusnas. Namun bedanya, PE sebelum masuk di perpustakaan kota belum memiliki pengalaman kerja sama sekali, jadi beliau sempat nganggur beberapa tahun. “Ya Cuma nglamar-nglamar gitu mbak. Pernah dipanggil itu sama Universitas Jayabaya Jakarta sana. Tapi sama orang tua nggak boleh. Jauh dan daerah sana kan mahal. Awalnya sempat nganggur sih, terus akhirnya keterima disini ini. Sempet dites sama SMA sana lho daerah Ampel, nggak keterima soalnya dulu belum pakai jilbab.(PE) Dulu tu saya pernah ikut tes di perpusnas itu. Aku naik kereta ke Jakarta. Iya sama PA itu. Untung ada saudara disana, jadi enak. Yaopo yo. Masih belum keterima. (PE) Memiliki pengalaman kerja di bidang lain di luar perpustakaan juga pernah dialami oleh PC. Beliau sempat bekerja cukup lama sebagai marketing di sebuah perusahaan swasta. Hingga akhirnya diPHK dan beliau mencoba melamar di perpustakaan kota. Awalnya beliau tidak bersedia untuk masuk di perpustakaan kota. Namun setelah beliau diangkat sebagai PNS beliau merasa kecewa dengan dirinya sendiri mengapa tidak dari dulu. “Kalau saya diawal kan memang mikirnya yang penting saya keluar dari perpustakaan bekerja sesuai dengan bidang saya. Tapi kenyataannya tidak, pada waktu itu kan saya masih harus meneruskan pekerjaan saya yang lama. Jadi pada waktu itu tahun 96 itu baru-baru bekerja di perpustakaan tahun 2004. Jadi pada waktu itu ada tawaran dari tetangga saya. Memang pada waktu itu sih gajinya masih honorer ya. Kalau dibandingkan dengan swasta ya bisa dua kali lipat. Awalnya saya nggak mau. Tapi kalau kayak gini saya mikir, kenapa nggak dari dulu aja. Tapi untungnya nggak lama sudah diangkat. Itu setelah saya di PHK dari pekerjaan sebelumnya. Baru mencari cari dan Alhamdulillah tetangga saya ada yang bekerja disini dan saya nitip lamaran. Ditanyai pada waktu itu, “apa ijazahmu?” “perpustakaan”, terus diproses
III-25
Alhamdulillah diterima. Ya pertama kainya ini jadi bekerja di perpustakaan. Dulunya kan memang di perusahaan swasta. (PC) Hal tersebut agak berbeda dengan PD. Beliau setelah lulus langsung berkecimpung dengan dunia kepustakawanan. Pengalaman beliau sebagai pustakawan sebelum masuk di perpustakaan kota terbilang cukup lama. Setelah lulus dai D3 Perpustakaan, beliau bekerja di perpustakaan ITATS, kemudian di perpustakaan perkapalan ITS, kemudian di STIKOM. Ketika bekerja di STIKOM, beliau mendapatkan istri. Beliau sempat ingin keluar dari dunia kepustakawanan. Pada saat itu beliau di PHK. Kemudian ada lowongan PNS dan beliau diterima menjadi PNS. “Iyaa, setelah lulus kuliah itu kerja di ITATS, terus ITS perkapalan, terus nang STIKOM. Terus rabi, bojoku mahasiswaku. Makane aku di perpustakaan itu dapat jodoh. Aku ngomong suk nek kene merid, aku tak metu teko kene, tak nggolek pekerjaan seng gak nang perpustakaan. Sempat kepikiran dalam tanda kutip, akhirnya muangkel murtad jadi pustakawan. Mari ngono onok PHK, terus onok lowongan PNS iku akhire dadi PNS iku mau. Dadi aku teko lulus sampe dadi PNS iku 11 tahun. Dadi nggak langsung dadi PNS. Dadi selama 11 tahun aku melalang buana, mencari jati diri. (PD)
Setelah sekian tahun mencari jati diri, PD memutuskan untuk mengikuti tes CPNS dan masuk. Awalnya beliau ditempatkan di perpustakaan Probolinggo karena permintaaan beliau sendiri. Sekitar 5-6 tahun beliau pindah ke perpustakaan kota karena permintaannya dan disetujui oleh perpustakaan kota. “5-6 tahun, 2006-2011 akhir.” (PD) “Iya dulu memang milihnya di Probolinggo. Di Probolinggo terus dipindah nang kene oleh.” (PD) “Permintaan itu, kalau sini mau ya aku mau. Kalau sini nggak mau ya aku nggak pindah.” (PD)
III-26
Setelah melalui berbagai pengalaman di bidang kepustakawan dengan menjadi pustakawan di berbagai instansi sebelum beliau bekerja menetap di perpustakaan kota, beliau merasa memiliki pengalaman yang lebih banyak dibandingkan dengan teman lainnya yang memulai karier di perpustakaan kota mulai dari honorer selama belasan tahun dan baru diangkat sebagai PNS. Oleh karenanya, dari hal tersebut beliau sering dimintai pertimbangan oleh pimpinan ketika terjadi permasalahan di perpustakaan kota. “Kayak iki ae pelayanan, iki buku seng nggak balik akeh iki. Ora mungkin diurusi ambek dekne. Ketika bappeko ngomong, paling lagek ngomong ngene “PD, iki piye carane?”. “Buwaken ae bu”. Kenapa kok tanya saya, pustakawane lho akeh. Mbuk anggep aku isok, aku nek ngomong ae ngawur. Tapi jangan salah, saya di Surabaya aja saya pernah di 4 perpustakaan. Belum yang di perusahaan itu aku nyekel arsipe perusahaan. Dadi aku 11 tahun sudah memalui fase-fase yang luar biasa untuk menjadi kepompong yang mau menjadi kupu-kupu. Kalau mereka kan nggak. Malah yang lama-lama itu dari sini mulai honorer. Dadi nang kene mulai 12 tahun yang lalu, dadi dekne diangkat mergo dekne nang ken wes kate mbah-mbah wes diangkat. Beda, bedanya disitu. Kalau aku kan pindah-pindah, semakin aku tahu persoalan, koyok opo solusine cepet. (PD)
Pengalaman PD selama 5-6 tahun di perpustakaan Probolinggo memberikan pelajaran dan pengalaman bagi beliau. Kondisi masyarakat Probolinggo yang sebegian besar adalah orang Madura yang memiliki anggapan pendidikan itu nomor kesekian menjadi tantangan tersendiri bagi beliau. Selain itu, keadaan demografis kota Probolinggo yang cenderung memanjang, sehingga jarak perpustakaan waktu itu terbilang cukup jauh, sekitar
50 km dari desanya.
Kemudian ditambah lagi dengan perhatian pemerintah kabupaten Probolinggo terhadap perpustakaan yang berdampak pada anggaran PAD untuk perpustakaan yang terbilang cukup sedikit. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi perpustakaan
III-27
di kota Surabaya yang memang pemerintah kotanya sangat memberikan perhatian terhadap pengembangan perpustakaan di kotanya. “Kalau bilang setiap ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Artinya kondisi masyarakat disana dengan yang disini berbeda. Disana kebanyakan orang Madura. Logikanya orang Madura itu pendidikan nomor sekian. Yang penting itu kaya. Jadi kalau dia bekerja walaupun dalam tanda kutip nggolek rongsokan ae isok munggah kaji lapo sekolah. Jadi kulminasi mereka itu munggah kaji. Itu filosofinya lho ya, jadi sekolah ya percuma nggak isok munggah kaji. Aku 2 tahun ae wes isok munggah kaji. Artinya itu tantanganku disana. Bisa minat bacanya rendah iku yaopo carane. Satu, disana itu pusat kotanya dengan desanya itu jauh. Jadi penyebarannya, kalau di Kabupaten Probolinggo itu kotanya panjang. Dari pojok selatan ke utara. Oh nggak timur ke barat itu sekitar 50 km. Beda sama Surabaya kan bunder, kalau mau diambil tengahnya buat perpustakaan kan mudah. Kalau ini nggak, 1,5 jam. Jadi kalau mau ke perpustakaan iku nggak mungkin. Strateginya mesti ada di kecamatan-kecamatan tapi sejauh ini masih belum. Terus budaya bacanya kalau orang Madura itu biasanya ketika jumatan mau berangkat jumatan, jam jam 9 iku rame-ramene. Cuman banyak masalah kendala ketika anak-anak pondok itu bukan asli situ. Mulih iku kadang bukune digowo. Dadi seng kadung seneng maca, bukune dipek. Kompleksitasnya disitu. Dadi memang beda. Terus perhatian opo ehm dari bupati mbek anune jauh. Itu kan perhatian itu berkaitan dengan PAD itu, semakin perhatian berarti dana yang dikucurkan ke suatu instansi itu gede. Di sini itu dana 1 tahunnya 25 M. Kalau disana itu 1 M. Jadi 1:25, itupun pernah turun menjadi 900-800 juta. Bayangin. Makanya ketika pak wib masuk disini itu bagaikan masuk di lapangan yang berbeda. Kalau disana itu bagaikan masuk di lapangan yang rumpute uatos dadi nek bal-balan sikil ketatap watu iku bocel. Meskipun nggae sepatu iku riskan untuk tibo. Nek nang kene 1:25 tentu lebih empuk. Aku isok gulung kuming. Istilahnya lebih gesit. Aku nggak ada resiko jatuh, jatuhpun gulung kuming nggak sampai boncel. Secara lapangan itu mendukung sama nggak itu beda. Jadi kita bisa eksplore ilmu kita secara habis-habisan. Secara penghargaan juga beda.”(PD) PA, PE, PC dan PD termasuk pustakawan dengan background pendidikan D3 Perpustakaan di sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya. Bagi mereka materi yang disampaikan di perkuliahan memang lebih cenderung bersifat teknis. Seperti yang diungkapkan oleh PC sebagai berikut: III-28
“Ya kalau yang saya tahu, materi-materi yag diberikan waktu kuliah dulu otomatis bermanfaat. Cuman waktu itu kita di D3 ya, jadi kebanyakan teknisnya, Jadi kalau sore jam 3 itu kita praktek bagaiman membuat katalog itu, klasifikasi. Kalau teoriteori sangat sedikit.”(PC)
Menurut PA, materi perkuliahan yang diberikan sewaktu menempuh pendidikan D3 Perpustakaan maupun S1 Perpustakaan lebih mengarah pada hal teknis. Ketika menempuh pendidikan D3 Perpustakaan, beliau mengungkapkan bahwa materinya lebih ke teknis pada pengolahan perpustakaan secara manual dan sangat minim materi tentang otomasi perpustakaan. Sedangkan materi tentang otomasi perpustakaan lebih banyak didapatkan ketika menempuh pendidikan S1 Perpustakaan. “Huum, lebih ke teknis. Kalau mengenai komputer dulu kan cuma ngono tok mbak. Lhoh jasa terbitan, klasifikasi dan katalogisasi, sistem komputer untuk pustakawan. Paling komputer ya mek iku tok. Dadi kalau mengenai komputer ya cuma komputer untuk pustakawan ngono tok. Jadi yang lainnya itu teknis, seperti referensi, itu kan teknis, iya kan? Pembinaan koleksi, nggak ada yang komputerisasi, ya cuma iku tok.” (PA) “Nah ini nek UWK iku mengenai iki, Sek sek. (membolakbalik kertas) Desain web, prosedur operasional standar, perpustakaan digital, jadi diajarkan kayak gitu. Aplikasi perangkat lunak perpustakaan, terus statistik sosial. Teknologi jaringan informasi, metode penelitian, jasa informasi, metode penelitian sosial, strategi pemasaran jasa informasi, teknologi informasi internet, manajemen perpustakaan dan informasi, sosiologi perpustakaan inforamasi, jadi mengenai TI TI. Oh ya pengantar ilmu politik. Ini yang diajarkan disana.” (PA) Hal serupa juga diungkapkan oleh PD. Beliau beranggapan bahwa materimateri yang diberikan dalam perkuliahan banyak di teknis. Output yang dihasilkan adalah pustakawan yang hanya menuruti kebijakan yang dibuat oleh
III-29
pimpinan. Dapat dikatakan seperti pustakwan yang tidak memiliki bargaining position. “Tidak, terlalu banyak di teknis. Kita itu terkadang banyak di tingkat-tingkat kebijakan, trik-trik pendekatan ke atasan itu. Kene akhire kalau banyak di teknis, kita kurang bisa positioning. Dadi nggak isok nyanyangan karo bose awake dewe. Dadine nggah nggih. Garapen iki, nggih. Cuman bagaiman di tataran kebijakan, nggak isok ngomong.” (PD)
Hal tersebut dijelaskan lagi oleh PD. Menurut beliau, materi perkuliahan bersifat teknis karena memang para pengajarnya bukan praktisi. Mereka mengajar karena membaca buku. Masih belum memiliki kurikulum yang baku. Sehingga dapat dipastikan, jika mengambil mata kuliah yang sama dengan pengajar yang berbeda pastinya materi yang diberikan juga berbeda. Oleh karena itu beliau lebih senang jika mencari informasi dengan belajar sendiri dari buku. “Ya karena gini, mereka bukan praktisi, mereka mengajar karena baca buku, masing masing dosen kalau berganti matakuliah, beda. Berdasarkan apa yang dia baca. Kita gak punya kurikulum baku, tentang literasi, tujuane trus ngene ngene gak ada. Koe mengambil matakuliah yang sama degan pengajar yang berbeda, intuk e iso bedo, jadi menurut saya lebih enjoy mendapat informasi belajar sendiri. (PD) Dikarenakan PD lebih menyukai belajar sendiri dengan membaca buku, beliau ketika kuliah hanya 5-10 menit mengikuti perkuliahan sebelum perkuliahan selesai. Bahkan tak jarang juga 5 menit sebelum perkuliahan selesai, beliau keluar. Sehingga sering ketika ada tugas beliau tidak tahu. Tapi, banyak temannya yang berlomba untuk sekelompok dengan beliau. Meskipun beliau tidak mengerjakan tugas, beliau yang dapat bagian untuk presentasi. Bahkan beliau pernah bercanda bagaimana caranya nggak usah ikut kuliah, tapi tidak pernah III-30
“ngerpek”, tidak pernah nyontek, tapi bisa dapat A. Saya biasanya belajar mandiri, jadi saya hanya lihat tema kuliahnya terus beliau cari referensinya sendiri. Menurut beliau, kalau tentang perpustakaan mungkin berkaitan dengan Sulistyo Basuki, yang lain mungkin tentang manajemen perpustakaan, tidak ada yang spesifik. Apalagi sekarang zaman internet tentunya akan lebih mudah. “Jadi aku bien nek kuliah, nek kamu pengen ngerti, saya itu, hanya 5-10 menit sebelum teng sebelum masuk saya berangkat, kurang 5 menit aku mesti ngilang, nek enek tugas aku gak onok.” “Tapi terkadang, nek diskusi kelompok mereka berlomba untuk, rebutan saya, walaupun yang ngerjakan bukan saya, karena saya argumentasinya.” “Wo, nanti kamu ikut dalam kelompok ku yo.” “Dadi nek guyonanku, aku lek iso gak usah kuliah, tapi aku gak tau ngrepek, gak nyonto awakmu, tapi iso oleh A. Mbak dian, aku belajar-yo belajar mandiri, “Jadi cumak takok tak deleng, eh opoo kuliahe, iki materine trus golek dewe, nek perpustakaan. Paling yo Sulistyo Basuki, sing liane kan manajemen manajemen, gak enek sing spesifik. Saiki ono internet ajane yo wes. (PD)
Sama halnya dengan materi yang didapatkan oleh PB ketika mengikuti diklat kesetaraan yang diadakan oleh Perpustakaan Nasional selama 3 bulan untuk mendapatkan jabatan sebagai pustakawan. Beliau mengungkapkan bahwa materi yang didapatkan lebih bersifat aplikatif untuk diimplementasikan dalam sebuah perpustakaan. Namun, banyak hal yang tidak sesuai dengan jobdesc yang dalam pekerjaannya selama ini, sehingga beliau lebih fokus pada hal-hal yang berkaitan dengan bidang dalam pekerjaannya. “Yang jelas materi yang sifatnya aplikatif, seperti kaitannya dengan ehmmm… ya seperti manajemen perpus, katalog, klasifikasi. Hanya saja terkadang kan kita langsung fokus ke pembinaan. Jadi yang terkait pengantar perpustakaan, pengantar perundangan perpustakaan.” (PB)
III-31
Dalam konteks penelitian, materi-materi tentang kepustakawanan dan perpustakaan yang didapatkan dari berbagai seminar, pelatihan maupun bacaan sangat
berpengaruh
dalam
pembentukan
eksternalisasi
individu
dalam
kehidupannya. Materi-materi yang didapatkan tidak hanya terbatas ketika kuliah, tetapi juga ketika menjadi pustakawan. Seperti halnya yang diungkapkan oleh PD. Beliau termasuk orang yang senang dalam mencari ilmu apaun, termasuk di luar ilmu perpustakaan. Dalam mengikuti seminar maupun pelatihan, beliau tidak hanya mengikuti yang bertemakan kepustakawanan saja. Beliau mengikuti seminar dengan bertemakan apa saja, karena bagi beliau itu adalah ilmu dan mencari makan. Baginya ilmu tidak harus spesifik dengan ilmu yang dipelajari saat ini. “Nek aku nggak hanya kepustakawanan. Aku itu seminar adalah mencari makan. Dadi aku melu seminar opo ae, karena itu ilmu bagi saya. Ilmu itukan nggak harus spesifik dengan ilmu kita.”(PD)
Selain mengikuti berbagai seminar dan pelatihan, PD juga banyak membaca buku. Koleksi buku beliau kira-kira ada 3.000-5.000 buku. Beliau termasuk dalah satu kolektor buku dari berbagai keilmuan. Beliau juga termasuk orang yang mengoleksi buku di bidang perpustakaan yang mampu menunjang karier dan keilmuan beliau. “Ehhhmmm aku kolektor buku, apa maneh perpustakaan. Pokoke angger nang toko buku onok, aku punya 3.000-5.000an. Belum pernah tak deteksi jumlahnya, tapi nek 10 dus ae onok. Yo seperti kewajiban kita. Tak beli, pake uang saya sendiri. Jadi saya nggak ngurusi wong liyo. Kalau itu menunjang karierku, menunjang keilmuwanku.”(PD)
III-32
PD termasuk orang yang memiliki ketertarikan dengan buku-buku terbelakang. Buku-buku yang lebih banyak main berkaitan dengan sistem bukan person. Saat ini beliau ingin menulis tentang hubungan pustawakan dengan korupsi. “Aku itu buku buku terbelakang, banyak main di sistem, misal hari ini membuat tulisan, tentang hubungan antara pustakawan dan korupsi, sampai sejauh mana mengubah menanggulangi dsb, mainku di sistem.”(PD)
Koleksi buku PD lebih banyak buku-buku yang sangat ideologis, seperti buku-buku pergerakan yang berkaitan dengan buku. Menurut beliau pemimpinpemimpin zaman dahulu sangat ideologis, dapat dilihat dari buku-bukunya. Hal itu, menurut beliau sangat berbeda dengan pemimpin saat ini yang nulis buku yanga lebih bersifat teknis. “Dia ngakoni. Seperti itu bukunya. Seng tak koleksi kan buku-buku seng sangat ideologis, buku-buku pergerakan tapi seng hubungannya sama buku. Kenapa orang-orang pergerakan di negeri ini sangat suka sama buku. Mungkin tidak sehebat itu. Untuk merdeka itu dia harus kemana mana. Seperti Sutan syahrir, Tan Malaka, Soekarno itu kan sangat ideologis. Tapi sekarang pemimpin-pemimpin kita nggak ada yang nulis seperti itu, bukubukunya yang sangat teknis. (PD)
Beliau mengungkapkan bahwa pernah mendapatkan buku yang menurut beliau sangat bagus. Buku tersebut membahas tentang tragedi nol buku. Beliau ingin mentahui sejauh mana jika ditinjau dari peprustakaan, minat baca, dan lain sebagainya. “Trus tanggal 20 ini, aku mendapat buku, Bumi Tragi, yakni tragedi nol buku, ki sedang tak goleki, trgedi nol buku sampek sejauh mana, dari perpustakaan, minat baca, mengapa minat baca III-33
itu rendah, ituu disitu, itu awal, kemudian, itu sing tak pelajari.”(PD)
Dari buku tersebut beliau mendapatkan pengetahuan bahwa buku mempengaruhi peradaban. Ternyata yang terjadi perang itu tidak terjadi hanya fisik, dalam artian membunuh orang. Tapi juga lewat pembunuhan ideologi dengan jalan menghancurkan buku sehingga peradaban yang ada di jaman itu tidak dapat diterukan ke anak cucu.
“Penghancuran buku dari masa kemasa”. Ternyata buku itu mempengaruhi peradaban. Jadi ternyata perang itu gak hanya fisiknya saja, membunuh nyawa orang per orang, tapi lewat ideologinya, yo iku bukune di jur, sehingga gak ada peradaban,yang bisa diteruskan ke anak cucu.”(PD) Selain itu, PD juga sering berdiskusi dengan teman dari berbagai jurusan untuk menambah pengetahuan beliau tentang ilmu secara umum. Beliau bisa ngomong banyak hal seperti politik luar negeri, strategi Indonesia ke depan, ekonomi, hukum agama tentang kawin campur dan lainnya merupakan salah satu hasil dari disukusi beliau dengan teman-temannya dari jurusan lain. “Tapi kita bisa ngomong politik luar negeri, karena aku sering ketemu dengan teman-teman HI. Biasane ngomong strategi Indonesia ke depan yaopo. Isok ngomong ekonomi, hukum, agama, yang ada hubungannya dengan kawin siri, kawin campur.” (Pak Wobowo) Sering mengikuti seminar, pelatihan, banyak membaca buku dari berbagai bidang dengan ditambah sering diskusi dengan teman dari berbagai jurusan membuat PD mudah diterima oleh lingkungan. Beliau sangat kuat di filsafat, meskipun memang sangat minim teori. Dengan bekal pengetahuan beliau tersebut, beliau sering diajak diskusi dengan teman-temannya dari jurusan lain. III-34
“Gak, mereka lebih banyak diskusi saya, mereka lebih tertarik, karena langkah saya di filasafat, jadi aku lek ngomong, dengan orang hukum lek diskusi dengan aku, boleh lah tentang teori2 hukum. Tapi kalau diskusi sama mas Anas misalnya. Misalkan pemilihan umum di Amerika, secara teoritis dekne lebih menguasai, karena referensinya, kuliahnya politik, tapi secara analisa, dia kalah. (PD)
Beliau sangat mengkritisi pelatihan-pelatihan yang diberikan oleh dinasdinas atau lembaga terkait. Menurut beliau acara-acara tersebut hanya seremonial belaka. Hanya untuk menghabiskan uang. Beliau banyak belajar dari orang-orang LSM tentang keorganisasian, negoisasi, public speaking, etika dalam musyarah dan lain sebagainya. Beliau banyak mengambil ilmu dari organisasi masyarakat.
“Gak, Saya sangat mengkritisi pelatihan2 mereka bahwa . menurut saya hanya seremonial belaka. Hanya untuk ngehabisin duwit, „ekstrimnya‟ seperti itu. Saya banyak belajar dari temanteman LSM, bagaimana membuat organisasi yang matang, bagaimana bermusyawarah dnegan benar, apa yang harus kita lakukan jika ketemu orang, tapi aku harus ikuti dulu mereka, jangan terus kontra, nah kalau sudah masuk, baru memilah meilih, mana yang baik. Mengarahkan mereka, Sehingga mereka tergiring, secara tidak sadar. Koyok negosiasi kemarin, banyak yang tak ambil dari organisasi msayarakat. La teori-teori mereka lo, loh kok ngene. (PD)
Selain aktif dalam berbagai organisasi, PD juga aktif di dunia maya. Beliau salah satu penggagas grup facebook Revolusi Perpustakaan. Beliau juga berniat untuk mengumpulkan teman-temannya. Salah satunya adalah Pak Bambang Prakoso. “Temen-temen saya juga mau saya kumpulin. Mas Bambang.” “Oh iya, itu kan memang salah satu otaknya saya. Wong saya yang add kok. Aku lho maca kabeh. Tapi saya sekarang nggak banyak muncul.
III-35
“Sudah lama, seng awal-awal aku seng manasi. Seng nge add yo aku, wong aku yo salah siji admine. Iki mau 20 seng tak konfirm.” (PD)
PD juga termasuk salah satu pustakawan yang sangat memperhatikan branding. Selain berkiprah di dunia nyata, beliau juga aktif berjejaring di dunia maya. Salah satu kenalan beliau adalah orang Palembang. Mereka awalnya berkenalan melalui social media dengan saling berkomentar. Dari saling berkomentar itu, mereka saling mengetahui kualitas berpikir masing-masing. Akhirnya mereka bertemu ketika di Surabaya dan akhirnya dilanjut lagi diskusinya melalui social media. “Iya dia anak Palembang. Belum pernah ketemu saya. Tak lihat komen-komennya. Wong edan iki. Kita belum pernah ketemu. Baru kemaren dua bulan lalu saya ketemu dengan sapa itu namanya, onok Maulana e. Murrod, Murrod Maulana namanya. Itu dia dulu dari Jawa Barat. Yo komen-komenan tok. Akhirnya jadi teman akrab. Dekne biasane memperhatikan komen-komenku yang nakal, ngumpat-ngumpat. Yo betik kan, ketok kan. Awale komen, dari komen itu orang bisa melihat kualitas pikiran. Akhire kenalan, nggak tahu petuk. Akhire wingi iku ketemu. Karena Surabaya itu mendapatkan juara nasional, akhirnya kita baru tahu dan kenalan. Yowes dilanjut, ya sudah kita lanjut di facebook itu kita ngobrol.”(PD)
Beliau juga kenal akrab dengan salah satu tokoh kepustakawanan di Indonesia, yaitu Pak Blasius Sudarsono. PD bahkan menganggap Pak Blasius sebagai gurunya. Beliau mengaku satu-satunya orang yang memanggil eyang ke Pak
Blasius.
Meskipun
mereka
berbeda
agama,
namun
PD
tidak
mempermasalahkan hal tersebut. Karena dengan Pak Blasius, beliau dapat membicarakan banyak hal. Ketika masuk waktu sholatpun Pak Blasius mengingatkan beliau untuk segera shalat. Selain itu, PD merasa bahwa pemikirannya (xxx) dengan Pak Blasius. III-36
“Hahaha tak duduhi ya, seng wani ngomong ke Pak Blasius eyang iku Cuma aku tok. Aku nggak pernah ngomong pak Blasius, opo pak Darlah. Aku manggilnya eyang. Menurut saya beliau orang yang luar biasa. Kalau beliau ke Surabaya pasti mencari saya.” “Jadi kenapa saya bilang eyang, karena saya anggap beliau guru saya. Meskipun beliau katholik, tapi aku gak masalah. Dengan beliau aku bisa ngomong macam-macam. Le, wayahe sholat. Oh nggih. “ “Jadi gini, kita memang hampir sama. Pemikiran kita sama. Dasar beliau sama, yaitu filsafat.” (PD)
Dalam membaca buku, PD termasuk orang yang mau membaca berbagai ilmu. Beliau menyebutnya dengan „tong sampah‟, karena semua dibaca. Karena hal tersebutlah yang membuat analisis beliau luas. Dan menurut beliau kualitas bicara seseorang dapat dilihat dari kesuakaannya pada membaca. Dari situ dapat dilihat apakah pembicaraannya berisi apa tidak. “Di banyak kejadian aku pakai nalarku, lebih manjur. Aku kan mocoku TONG SAMPAH, jadi kabeh tak baca, jadi analisaku lebih luas. Orang yang kualitas ngomongnya, didelok, seneng moco ta gak, gaya ngomongnya ada isinya atau tidak. Ketok” (PD)
PD menjelaskan juga bahwa tidak hanya membaca kitab kuning sebagai kitab dari agama Islam, tetapi beliau juga membaca berbagai buku atau kitab dari agama lain. Beliau selalu mengingat pesan ustadznya untuk membaca segala hal. Namun yang paling penting harus melakukan terhadap materi yang didapatkan. Beliau membebaskan untuk mencari berbagai pertanyaan. Paling penting disini adalah membaca tidak hanya sekedar membaca. Tetapi meresapi kata per kata. Hal ini akan berbeda dengan membaca biasa yang cenderung tidak ada ilmunya.
III-37
Bahkan pernah beliau diberi Al kitab oleh temannya. Al kitab tersebut menjadi teman beliau. “Bapak suka baca apa? Tiga karya, itu filsafat katolik. Saya juga baca itu. Nyuwun sewu, kalau kata ustadz saya kowe ojok Cuma maca kitab kuning tok, kitab abang, kitang kelawu. Tapi aku yakin kowe isok opo jenenge semacam sebuah saringan. Ndi seng apik, ndi ampas iku saringan, buwaken ae ampase. Tapi untuk sebuah bacaan, bebaskan saja dirimu untuk mecari pertanyaanpertanyaan. Kita itu bagaikan gelas kosong. Allah itu memberikan kita otak seperti gelas kosong. Otak iki ngerti, isok-isok dadi teori anyar. Kalau kita memang. Nah itu kuncinya. Tapi kalau menurutku jangan lupa istighfar. Iku seng angel. Maca gak sekedar maca, nek isok maca karo turu-turu gak masalah. Tapi satu kalimat kamu kalau benar-benar meresapi, itu sebuah note yang ternilai dalam simpul-simpul sarafmu. Seje karo wong maca-maca biasane. Isok mari, tapi gak onok ilmue.. Al kitab ini menjadi temenku, yo gak tak waca. Tak kek kene wae, kon Kristen a?. Yo sak karep. Aku menghargai dia yang memberikan ke aku. Jadi gak usah repot-repot wong sugih. Seng penting iku teguh di hati. Kok koyoke wong iku slengekan, iku hanya chasing. Tampilan semata, itu saya. Itu memnggambarkan, ketika orang itu tahu isinya hati. Hehehehe (tertawa) (PD)
Hal tersebut berbeda dengan 3 informan lainnya. Mereka cenderung mengikuti seminar ataupun pelatihan yang berhubungan dengan bidang ilmunya, yaitu perpustakaan. Kebanyakan seminar atau pelatihan yang diikuti juga lebih banyak mengarah ke hal-hal yang sifatnya lebih ke teknis. Seperti yang diungkapkan oleh PC sebagai berikut:
“Kalau waktu kuliah jarang sih mbak, kalau sekarang ini kan mendukung fungsional saya. Setiap seminar kan da poinnya. Selain itu, kalau ada utusan atau disposisi, kan ya harus berangkat. Kalau yang free, bebas saya sesuaikan dengan waktunya. Kalau bisa ya saya ikut.” (PC)
III-38
PC jarang megikuti seminar atau pelatihan ketika perkuliahan. Beliau lebih banyak mengikuti seminar ataupun pelatihan ketika telah menjadi pustakawan saat ini, karena sangat mendukung untuk jabatan fungsional beliau. Biasanya beliau mengikuti seminar atau pelatihan karena memang disposisi dari pimpinan, sehingga wajib untuk memenuhi tugas tersebut, Selebihnya, jika seminar itu gratis, beliau akan menyesuaikan dengan waktunya. Begitu juga dengan yang dialami oleh PA. Beliau pernah mengikuti seminar sekitar 2-3 kali ketika kuliah. Biasanya dalam bentuk kuliah terbuka, dimana itu diwajibkan untuk seluruh mahasiswa. Materi seminar yang pernah diikuti adala tentang e-DDC. Beliau mengungkapkan bahwa memang yang banyak didapatkan dari seminar-seminar itu lebih ke teknisnya. “Aku kalau seminar itu ya ikut paling kuliah terbuka.” “Huum, aku lali. Opo yo. Apa ya mbak.” “Apa ya, oh iya DDC. Seng DDC lewat ini lho.” “Iya, e-DDC, kuliah terbuka ya. Harus ikut, seluruhnya. Terus opo maneh ya. Lupa aku mbak. Aku ping 2 nek nggak 3 bu.” “Yang satu lebih ke keilmuan apa teknisnya bu?” “Huum, huum, teknisnya.” (PA)
PA lebih sering mengikuti seminar atau pelatihan ketika telah bekerja sebagai pustaakwan. Berbagai seminar atau pelatihan yang diikuti adalah mengenai manajemen perpustakaan, sertifikasi pustakawan. Beliau lebih banyak mengikuti seminar-seminar dibandingkan dengan workshop ataupun pelatihan. Pernah mengikuti workshop sekali dengan tema pelayanan perpustakaan. “Aku pelatihan nggak ikut, ehh (mencari di file pribadi) (Hhhmmm) ngantuk aku mbak. Iki lho mbak, pendidikan dan pelatihan manajemen perpustakaan. Sertifikasi sudah keluar. Eh mau setifikasi, belum belum keluar. Belum ada sertifikasi. Banyak kalau seminar-seminar itu banyak.” “Kayak gini, workshop pelayanan perpustakaan.” “Heem, kayak gitu sering. Kalau pelatihan satu kali tok.”(PA) III-39
Sedangkan dalam menambah pengetahuan lewat membaca buku, PC cenderung membaca buku-buku perpustakaan yang memang menjadi referensi mata kuliah saat itu. “Ya mungkin pengantar ilmu perpustakaan itu mbak. Itu buku satu-satunya, sama mengelola perpustakaan karangan siapa itu lupa saya. Itu yang biasanya jadi senjata.“(PC)
Sedangkan, PA mengungkapkan bahwa beliau lebih menyukai novel dibanding buku bacaan yang lain. Beliau membaca ketika memang ada waktu luang. Dalam membaca pun beliau memilih buku-buku yang bagus. Biasanya beliau mendapatkan informasi tentang kualitas buku tersebut ketika mengikuti event bedah buku. Tak jarang juga beliau mendapatkan buku gratis ketika mengikuti bedah buku. “Saya sering baca novel, kalau ada waktu. Kalau ada novel yang bagus, ada bedah buku. Kalau kelihatannya bagus ya tak baca. Ya kayak ini ini mbak, ini aku dapat mbak (menunjukkan buku)” Saya sering baca novel, kalau ada waktu. Kalau ada novel yang bagus, ada bedah buku. Kalau kelihatannya bagus ya tak baca. Ya kayak ini ini mbak, ini aku dapat mbak (menunjukkan buku).” (PA)
Sama halnya dengan PB. Beliau cenderung menyukai bacaan yang berkaitan dengan biografi, pengembangan kemampuan personal, religi dan kesehatan. “Kalau buku-buku perpustakaan saya lebih suka dengan yang kaitannya tentang biografi ya. Terus buku-buku yang ada disini (mengeluarkan buku). Termasuk seperti gini (menunjukkan buku).” (PB)
Jika terkait dengan buku-buku di bidang perpustakaan, beliau kurang begitu fokus karena beliau merasa telah menguasai ilmunya dari mengikuti diklat
III-40
kesetaraan yang diadakan oleh perpusnas. Beliau lebih menyukai untuk membaca hal-hal yang mendukung pekerjaannya saat ini yang memang berhubungan dengan kebijakan, seperti pembuatan PERDA, PERWALI dan peraturan lainnya yang berhubungan dengan perpustakaan. ”Ehm saya pikir saya kan sudah punya ilmunya. Termasuk kaitannya dengan katalog, klasifikasi. Termasuk kaitannya tentang perda, peraturan menteri yang terkait perpustakaan, permendiknas nomor 25 yang kaitannya dengan standar. Ya itu yang sifatnya yang urgent, yang kaitannya dengan kebijakan. Karena kebetulan saya yang pegang rolenya.” (PB)
PD baranggapan bahwa dia kurang cocok jika masih membaca buku-buku perpustakaan yang hubungannya dengan ilmu murni karena tataran dia pada tahap implementasi yang berkaitan dengan kebijakan. Hal ini akan bebeda dengan mungkin seorang akademisi seperti dosen, mereka membaca buku untuk mendukung kegiatan mengajar. “Mungkin temen-temen yang lain yang hubungannya dengan ilmu murninya ya. Kalau saya tidak disitu, tataran saya implementasinya. Jadi kaitannya kebijakan-kebijakan apa, jadi memang yang cocok di kantor ya seperti-seperti itu. Kecuali kalau ada tendensi lain. Kecuali kalau di akademisi beda, kalau bukubuku, seperti bu Ratna yang kaitannya untuk mendukung dia mengajar. Kalau kita kaitannya dengan untuk menunjang atau reflkesi kita dalam hal membuat suatu kebijakan.” (PB)
Menjalani profesi pustakawan bagi seluruh informan bukan menjadi penghalang dalam keluarga mereka. Kelurga semua informan cenderung menerima profesinya sebagai pustakawan yang terutama telah PNS, meskipun gajinya lebih rendah dibandingkan dengan pegawai swasta. “Kalau dari keluarga sendiri Alhamdulillah, apalagi dengan status saya saat ini kan sudah PNS. Walaupun gajinya juga sama dengan pegawai swasta yang lain, bahkan lebih rendah.” (PC)
III-41
Status sebagai PNS memnag banyak menjadi dambaan bagi kaum pekerja, termasuk ketika menjadi seorang pustakawan. Selain ada gaji, menjadi PNS ditungang juga dengan adanya GDP. Menurut mereka jumlah GDP mampu menjadi tambahan gaji yang dalam segi jumlah cukup banyak sebesar 1 kali gaji. “Kalau kata orang jaman dulu itu kan, PNS itu dicokot-cokot alot gitu mbak. Mbuh apa itu yang dicokot (tertawa). Terus mungkin kan selain dari gaji itu kan ada GDP, itu kan lumayan ada tambahan jadi bisa untuk tambahan gaji. Sekitar sebesar 1 kali gaji lah. Tapi ya nggak serta merta langsung gitu mbak. Selain gaji pokok, itu juga ada tambahan dari pemerintah daerah itu disesuaikan dengan kemampuan daerahnya masing-masing.” (PC) Bagi informan yang lain, keluarga juga mendukung pilihan ketika bekerja sebagai pustakawan. Dukungan ini juga berpengaruh pada dukungan pada kegiatan lainnya yang mampu menunjang pekerjaannya. Seperti halnya dengan PA. Suami beliau mendukung pekerjaan beliau sebagai pustakawan. Hal ini juga berpengaruh pada dukungan suaminya dalam hal pengembangan kemampuan dalam pekerjaannya. PA mendapatkan ijin untuk kuliah lagi, meskipun akan sangat menyita waktu untuk kelurga. Karena waktu kuliah tidak boleh mengganggu jam kerja, sehingga kuliahnya dilaksanakan pada malam hari. “Suami mendukung sekolah jika mendukung kerja. Soalnya kan kalau kuliah lagi sepulang kerja. Jadi butuh pegorbanan, termasuk mengorbankan waktu dengan keluarga. Kalau disini nggak boleh ambil kuliah di jam kerja. Meskipun ijin belajar, harus di luar jam kerja.” (PA)
Sedangkan menurut PE, orang tuanya tidak begitu menuntut PE untuk bekerja dimanapun. Semua dikembalikan lagi kepada PE dan orang tuanya bergantung pada beliau. “Kalau keluarga itu nggak menuntut sama sekali mbak. Jadi tergantung saya.” (PE) III-42
Begitu halnya dengan PD. Istri beliau mendukung PD dalam profesinya sebagai pustakawan. Dulu istri beliau juga aktif di komunitas sehingga mengetahui apa saja yang dikerjakan oleh suaminya. Mungkin yang menjadi keluhannya, “Kerja kok nggak ada uangnya”. Namun menurut beliau, semua aktivitas itu tidak selalu aktivitas perdagangan yang dapat menghasilkan uang. Menurut PD, aktivitas di jalan kepustakawan itu merupakan aktivitas perubahan yang harus real dan secara filosofis itu suit. “Iyo rek, kan istri ngerti. Dia kan orang komunitas, jadi tahu wong iki lapo ae. Paling protese paling, nyambut gawe kok gak enek duwite. Kan memang tidak semua aktivitas itu aktivitas perdagangan. Aktivitas ini kan aktivitas perubahan. Kalau aktivitas perdagangan kan, kulak, batine isok diitung. Kalau perubahan nggak isok. Kudu real. Nek filisofis angel. Dokter kan enak, suntik del. Ada dua kemungkinan, arek iki sembuh apa mati. (PD)
Sebagai orang yang telah memiliki pengalaman di bidang lain, PB tidak memiliki masalah yang berarti dari keluarganya. Namun beliau berpikir bahwa di jalan kepustakawan beliau juga memiliki kesempatan untuk mengabdi. Biasanya ketika beliau masih bekerja di tempat lain, iklim kompetisinya cukup besar. Jika ada teman yang yang melejit atau memiliki prestasi, kendalanya ada yang nggak suka. Namun ketika bekerja di perpustakaan, beliau tidak merasakan itu. “Kalau dari keluarga sendiri saya pikir tidak masalah. Saya pikir saya disini saya sudah senang, karena disini saya ada kesempatan untuk mengabdi. Soalnya kalau ditempat yang lain, saya punya ambisi ini-ini, tapi banyak kendala. Kendalanya ada yang tidak suka kalau temannya melejit atau punya prestasi, kalau disini nggak ada. Dari sini Alhamdulillah saya mampu mengantarkan perpustakaan kota Surabaya jadi juara nasional, saya termasuk yang presentasi di dalamnya. (PB)
III-43
III.3 Proses Objektivasi : Pustakawan Perpustakaan Umum Kota Surabaya Berporses dalam Memahami Profesinya Setelah melalui proses eksternalisasi, proses selanjutnya dalam kontruksi sosial adalah objektivasi. Proses ini berakar pada proses eksternalisasi dimana masyarakat merupakan produk manusia. Pada proses ini produk manusia (termasuk dalam dirinya) dihadapkan pada struktur masyarakat yang lebih luas yaitu lingkungan pustakawan di perpustakaan umum kota Surabaya yang aktif memproduksi kenyataaan sosial mengenai pustakawan. Meskipun produk sosial berasalah dari kesadaran manusia, namun tidak serta merta dapat diserap kembali begitu saja dalam kesadaran. Produk sosial yang berada di luar subjektivitas manusia, menjadi dunianya sendiri. Semua aktivitas manusia yang terjadi dalam eksternalisasi dapat mengalami proses pembiasaan (habitualisasi) yang kemudian mengalami pelembagaan (institusionalisasi). Dalam proses menjalani profesinya, pustakawan mulai jelas apa-apa yang menjadi tanggung jawab pekerjaannya, tingkat kesejahteraan dan penghargaan yang diberikan dari profesi pustakawan. Dalam proses inilah pustakawan mulai membuat perbandingan antara pengetahuan dasar dengan realitas objektif yang dihadapinya selama menjadi pustakawan. Dari sinilah pustakawan mulai melakukan klarisifikasi atau perbandingan antara realitas subjektif dengan realitas objektif. Jika terjadi kesesuaian akan menghasilkan makna, jika tidak ada kesesuaian akan mengalami dilema yang menjadi titik awal rekonstruksi makna. Diawali dari pemilihan jurusan sewaktu awal masuk kuliah. Sebagian besar informan berangkat dari pemicu peluang masuk di jurusan ini lebih mudah III-44
dibandingkan dengan jurusan lainnya. Selain itu juga didorong oleh rekomendasi dari berbagai orang, dari kelurga hingga kerabat terdekanya untuk memilih jurusan perpustakaan. Hal ini berbeda dengan 1 informan yang tidak menempuh pendidikan perpustakaan sewaktu kuliah. Ketertarikannya untuk mengikuti diklat kesetaraan, diwali dengan salah satu tanggung jawab pekerjaan melalui disposisi untuk mengikuti diklat tersebut. Selain itu dari dalam dirinya sendiri terdapat dorongan untuk mampu menguasai Ilmu Perpustakaan yang menjadi ilmu baru baginya di pekerjaan yang beliau geluti saat ini. Proses ini menjadi proses awal individu untuk menuju proses objektivasi. Berikut akan dijelaskan proses objektivasi dari masing-masing informan. Dalam proses objektivasi, individu mengalami pengalaman yang berbedabeda. Pengalaman ini dimulai dari ketika awal pemilihan jurusan sewaktu kuliah maupun keputusan untuk mengikuti diklat kesetaraan agar dapat diakui sebagai pustakawan. Sebagian besar informan mengaku masuk jurusan Ilmu Perpustakaan bukan pilihan pertamanya, namun langsung merasa mantap di jurusan itu setelah menjalani perkuliahan dan telah memiliki gambaran prospek kerja ke depan untuk menjadi seorang pustakawan. Namun ada juga informan yang membutuhkan waktu 1 tahun untuk mulai menyenangi dan menyadari passionnya di bidang kepustakawanan. Hal ini berbeda dengan PB yang menempuh diklat kesetaraan setelah bekerja di bidang perpustakaan. Begitupun ketika proses awal menjadi pustakawan. Sebagian besar informan memahami bahwa ketika lulus dari pendidikan perpustakaan kerjanya juga harus bekerja di peprpustakaan. Dua informan mengungkapkan bahwa sebelum bekerja sebagai pustakawan mereka sempat bekerja di perusahaan swasta. Setelah
III-45
beberapa tahun, mereka akhirnya melamar sebagai pustakawan di perpustakaan umum kota Surabaya. Dari sinilah mereka memulai karier sebagai pustakawan dimulai jadi honorer hingga diangkat menjadi pustakawan. Tidak jauh berbeda dengan 1 informan lainnya yang memang mengawali karier menjadi pustakawan dari honorer sampai pengangkatan di perpustakaan umum kota Surabaya. Dalam proses objektivasinya, PA merasakan keraguan untuk tetap bekerja di perpustakaan umum kota Surabaya ketika di masuk pada 10 tahun kerja, dimana beliau masih belum juga diangkat sebagai PNS. Bersama dengan PE mencoba mengikuti tes CPNS di Perpustakaan Nasional di Jakarta saat itu. Namun sayangnya, mereka masih belum diterima. Setelah sekitar 1 tahun kemudian, mereka diangkat menjadi PNS. PA dan PE diangkat sebagai PNS tahun 2008 secara bersamaan. Pada waktu itu, pustakawan di perpustakaan umum kota Surabaya masih terbilang sangat sedikit. Saat PA dan PE masuk disana, baru ada 3 pustakawan yaitu beliau berdua dengan salah satu Karyawan yang sekarang telah bekerja di dinas pertanahan.
Alhamdulillah diterima. Soalnya dulu kan masih belum banyak ya mbak ya. Yang sudah disini waktu itu 3, saya, mbak Erna sama mbak Echa itu. (Bu Galuh)
Pada tahun 2011 Bu Erna dan Bu Galuh mengurus jabatan fungsional pustakawan. Proses untuk mngurus jabatan fungsional ini diakui sangat ribet oleh Bu Erna maupun Bu Galuh. Salah satu kendalanya adalah pihak kepegawaian kantor yang tidak paham mekanisme pengurusan administrasi untuk jabatan
III-46
fungsional. Bahkan beliau juga merasa tidak mendapatkan bantuan dari pimpinan karena pimpinan sendiri tidak memiliki background perpustakaan.
“Heem mbak, kalau sekarang kan masih proses. Proses apa ya, proses bermasalah soalnya nggak putus-putus. Jadi masih belum ada sinkronisasinya antara kepegawaian dengan fungsional itu mbak. Jadi ya nggak ada yang ngarahkan mbak. Saya juga nggak ada bantuan dari pimpinan mbak. Soalnya kan juga bukan lulusan perpustakaan”.(PA)
Hal ini juga dibenarkan oleh PE. Beliau mengungkapkan bahwa untuk mengurus jabatan fungsional pustakawan ini atas perintah dari pimpinan. Hal ini dikarenakan ketika ada perlombaan harus ada jabatan fungsional. Dan tidak jarang juga, beliau dipermalukan ketika mengurus administrasi jabatan fungsional.
“Iyo podo, sama mbak. Disuruh, dipaksa. Soalnya kalau ada lomba-lomba itu kan harus ada fungsionalnya. Hhhhmmm sampai dipermalukan di anu mbak di orang lain. Maksudnya bukan pegawai sini. Soale apa ya, pokoke kudu harus masuk pustakawan”.(PE)
PA dan PE mengungkapkan bahwa untuk mengurus jabatan fungsional pustakawan ini merupakan permintaan dari pimpinan saat itu. Dapat dikatakan bahwa PA dan PE “babat alas”, karena saat itu beliau berdua yang mengawali untuk mengurus jabatan fungsional pustakawan.
“Apalagi saya sama mbak Galuh itu kan bisa dikatakan babat alas ya mbak. Jadi awal banget kita disuruh mengurus jabatan fungsional itu. Jadi ya kayak gitu, ruwet mbak. Ancen gitu, pimpinan saya kan minta ngurus. Jadi ya saya ngurus itu mbak, dimarahi juga pernah”. (PA)
III-47
Proses pengurusan administrasi jabatan fungsional yang tidak mudah juga diungkapkan oleh PC. Untuk mngurus jabatan fungsional pustakawan itu dibutuhkan niat yang benar-benar kuat karena menurut beliau apa yang dilakukan dengan yang didapatkan dalam bentuk tunjangan itu tidak sesuai. Apalagi kredit poin dalam pengumpulannya itu nilainya sangat kecil. Hal ini juga yang menjadi penyebab salah satu pegawai perpustakaan yang sudah menjadi PNS tapi tidak mau mengurus jabatan fungsional. “Nah iya jabatan fungsional itu mbak. Kayak mbak Aulia ini kan nggak mau disuruh ngururs-ngurus itu. Soalnya ngurus pertama kali seperti ngurus DUPAK itu. Kalau nggak benar-benar niat ya nggak bakalan anu mbak. Nggak sesuai memang, tunjangannya itu kecil. Apalagi kalau mengumpulkan kredit poin dengan tunjangan itu nggak sumbut. Misalnya nih klasifikasi itu poinnya 0,00 sekian gitu mbak”. (PC)
PC juga menambahkan bahwa sebenarnya jenjang karier sebagai pustakawan itu jelas. Yang menjadi salah satu keuntungannya adalah kenaikan pangkat pada pustakawan setiap 2 tahun sekali, sedangkan pada PNS 4 tahun sekali. Namun tunjangan yang diterima masih tergolong kecil jika dibandingkan dengan PNS biasa hanya selisih sedikit. Namun beliau masih belum menikmati kenaikan pangkat, karena beliau baru mengurus jabatan fungsional pustakawan tahun 2010. “Nah kalau dibandingkan dengan tunjangan itu, tunjangan buat yang D3 aja ya, kan pustakawan pelaksana termasuk pustakawan termapil yang nantinya jadi pustakawan ahli. Kalau D3 seperti saya ini namanya pustakawan pelaksana. Golongan IIc, itu tunjangannya hanya 240 ribu. Bayangkan dengan mengumpulkan poin yang seperti itu tadi. Kalau dibandingkan dengan yang PNS biasa, bukan fungsional itu selisihnya 60 ribu. Jadi PNS yang bukan fungsional itu juga sudah dapat tunjangan sebsar 180 ribu selisihnya cuma 60 ribu. Mungkin enaknya itu , fungsional itu bisa naik pangkat 2 tahun sekali. Ini juga masih III-48
katanya, soalanya saya juga belum merasakan. Kalau yang PNS biasa kan 4 tahun sekali. Kenaikan golongan itu maksudnya. Kalau saya saat ini kan masih mengunakan aturan PNS, 4 tahun sekali. Soalnya baru ngurus fungsional tahun 2010.”(PC)
Hal serupa juga diakui oleh Pak Wibowo. DUPAK atau Daftar Usul Penetapan Angka Kredit menjadi salah satu penghambat pekerjaan pustakawan. Namun beliau tidak berfokus pada hal tersebut. Karena beliau lebih berfokus pada masyarakat. “Bagaimana kita di masyarakat, mereka kan ujung tombak. Ada perpustakaan keliling yo dikekne aku. Nek onok tamu yo aku seng nerima tamu. Terkadang yang menjadi hambatan pekerjaan kita itu karena DUPAK. DUPAK itu beda. Itu yang kadang, nggak ngerti aku. Nggak isok mikir wes.(PD)
PD mengatakan tugas sebagai pustakawan itu tidak hanya sebatas pada mengerjakan DUPAK. Menurut beliau sebuah profesi sebagai pustakawan itu dibagi menjadi 3, yaitu pustakawan ma‟rifat, hakikat dan bekerja karena DUPAK. Sebagian besar orang kerja saat tidak berorientasi pada formalitas aja namun sebuah tuntutan profesionalitas seorang pustakawan untuk bermanfaat dan menyebarkan energi positif untuk orang-orang lain agar memberikan manfaat. “Ini bukan harapan pustakawan, tapi sebuah tuntutan profesional, intinya pengen bermanfaatlah. Pengen nebar energi positif buat orang-orang. Bagi saya itu hanya sebuah profesi dek, pustakawan iku makrifat hakikat, gak krono dupak, saiki wong kerjo jengkang-jengking gak ngerti maknane opo.saiki dienakne ae selama kita bisa berbuat baik”.(PD)
Guna mencapai pemikiran tersebut diatas, PD mengalami berbagai proses. Beliau sering melakukan diskusi dengan orang lain baik dari sesama pustakawan maupun non pustakawan. Bagi beliau, dengan adanya diskusi mampu menemukan III-49
sebuah problematika dan mencari solusinya. Saling sharing kondisi pekerjaan masing-masing sehingga dari hal tersebut kita bisa mengetahui apa saja yang menjadi masalah. “Dari pertama dialog, kita tahu nasib kita ketika bercengkrama dengan teman yang lain. Oh nek iku ngene, nang nggonku ngene. Paling tidak kumpulan iku kan menjadi sebuah problematika. Jadi kesimpulannya ini lho. Dari sana kan mulai, kita tahu bahwa disana itu ada masalah, bukan hanya disimpan tapi juga dicari solusinya. Awalnya memang kumpul-kumpul, nggonmu yaopo? Nggonku kerjoan jenderal bayaran kopral mas. Lhoh jenderalmu koyok opo.” (PD) PD termasuk orang yang cenderung menyukai bekerja di sistem dan tidak menyukai bekerja dibidang yang cenderung monoton. Menurutnya hal tersebut akan membuat kreatifitasnya mati. Seperti bekerja di perpustakaan sekolah. Orang-orang yang ditemui terbatas, termasuk juga perpustakaan perguruan tinggi. Kalau di perpustakaan umum, beliau merasa bisa mengembangkan hal-hal yang baru. “Aku hari ini sudah tidak mau kerja di ranah-ranah yang monoton. Aku emoh. Aku cemderung ke sistem. Karena sistem itu lebih fleksibel. Itu aku. Kalau aku ditempatkan di tempat yang jenuh. Mati nu kreatifitasku. Apalagi kerja nang perpustakaan sekolah seng ditemui iku ae. Perpustakaan perguruan tinggi sama aja. Nggak ada yang baru. Kalau disini kan selalu ada yang baru. Kayak semboyane Jawa Pos. Saya besok ada lagi, ada lagi ada lagi”. (PD)
PD pernah bekerja teknis di sebuah perguruan tinggi, Saat itu beliau harus mengklasifikasi skripsi dari 10 Fakultas yang belum pernah sama sekali di klasifikasi. Terjadi agak kebingungan saat itu ketika mencari subyek di DDC yang bahasa inggrisnya cenderung berbeda dengan yang ada di DDC. Namun beliau
III-50
menganggap itu sebagai sebuah tantangan dan beliau mau belajar. Namun beliau menyadari kalau beliau terlalu lama disana akan merasakan kejenuhan.
“Aku pernah kerja mengklasifikasi dari sepuluh fakultas itu selama tiga tahun nggak digarap. Bayangkan. Uakehe buku iku, dan itu aku selesaikan selama 2 tahun. Dan itu aku nggak tahu, sepuluh fakultas itu kan teknik. Inggris teknik karo inggris biasa, dipadakne karo DDC ae kadang nggak metu nomer. Lek wong males, nggak gelem belajar. Nek aku sih iseng ae, tapi ojok diterusne. Nek nang kono terus jenuh aku. (PD) PD menjawab dengan tegas bahwa ia masih belum bangga karena belum ada perubahan sama sekali yang dihasilkan. Jika dikatakan puas, PD bisa berhenti. Menurut teori parabola, jika sudah ada di puncak, tinggal turun. Berbeda dengan jika masih mencari puncak, akan terus membuat capaian-capaian(cenderung naik potensinnya). “Gak, saya gak pernah bangga karena belum ada perubahan sama sekali, Saya protek iya, belum ada yang menurut saya capaian yang bombastis, dan saya mencari, lek aku wes puas aku leren. Kalau pakai teori parabola, nek sudah ada di titik puncak, yo karek mudune, wes gak iso munggah maneh, tapi nek kita masih mencari puncak, sik munggah terus. Nek wes puas, karek mudune. Wes mari kok”. (PP)
PD juga belum merasa nyaman untuk menjadi pustakawan, karena dirasa hingga saat ini belum ada pustakawan yang menempati posisi strategis dalam pengambilan kebijakan di pemerintah. PD memiliki sebuah gagasan untuk menghapus kementerian kesejahteraan sosial. Tentunya bukan tanpa alasan PD mengatakan hal tersebut. Menurutnya, orang sejahtera belum tentu cerdas. Sedangkan orang cerdas pasti sejahtera. Kementeriaan kesejahteraan sosial diganti
III-51
dengan kementerian Pencerdasan Rakyat. yang didalamnya terdapat ANRI, PNRI, DIKNAS dan KEMENRISTEK. “Orang sejahtera itu nggak mesti cerdas, tapi kalau orang cerdas iku mesti sejahtera. Karepku njalukku yaopo? Menteri kesejahteraan iku bubarkan, ganti menteri pencerdasan rakyat. Siapa yang ada disana? ANRI, Perpusnas, DIKNAS, terus sijine eehmmm riset, menristek” (PD)
PD juga menjelaskan bahwa saat ini mereka memiliki riset yang banyak namun tidak bisa diimplementasikan dalam masyarakat. Sehingga hasil penelitian tersebut kurang berarti. Di Indonesia, penelitipun juga kurang dihargai. Gaji peneliti termasuk sedikit dibanding profesi lainnya. Kekuatan yang saat dibutuhkan adalah menguasai para pengambil kebijakan. Pustakawan menduduki kursi DPR atau bahkan menjadi menteri. Karena jika hanya sebatas diskusidiskusi itu tidak ubahnya seperti “ngerumpi”. “Iya berdaya guna, ada teknologi tepat guna. Persoalane, saat ini mereka punya riset yang banyak tapi nggak isok diimplementasikan masyarakat, percuma la‟an. Dekne yo meneliti, ketemu peneliti tek mari garapen. Cepet. Peneliti yo gajine sitik, piye ape maju. Kekuatan yang kita butuhkan saat ini adalah menguasai organ-organ pengambil kebijakan. Pustakawan yang ada di DPR atau bahkan menteri. Lha carane yaopo? Yo kudu iku mau ditembus. Lha nek solusi epreketek-ketekan iku kan Cuma ngerumpi nang warung karo ngombe kopi. Tapi kita ngga punya bargaining”(PD)
Hal tersebut bukan hanya sebuah gurauan belaka. Buktinya yang terjadi tidak lama ini terkait pengesahan PP selama 7 tahun. Menurut beliau pengesahan RPP menjadi PP ini menghabiskan waktu selama 7 tahun. Dalam sejarah Indonesia pengesahan RPP menjadi PP yang menghabiskan waktu selama 7 tahun ini termasuk yang paling lama. Sempat hal tersebut didemo oleh beberapa pihak.
III-52
Mereka berencana untuk membuat sebuah replika palu dari sterofoam kemudian membuat teatrikal dengan mengumandangkan “RPP disahkan menjadi PP”.
“Mau kan ketoke guyon ya, masuk akal kan. Mosok PP 7 tahun nggak ditutuk. Sampek wingi iku guyonanane tak ilokne, apa perlu aku urunan gae tuku palu cekne iku ditutuk. Opo angele sih karek nutuk ae. Opo ngenteni cak BY lengser sek lagek ditutuk. Yo temen kan, pas cak BY ape lengser lagi ditutuk. Besok ini aku sama beberapa temen, sama mas Bambang mau tak bahas masalah hukum. Mau tak komparasi antara PP sama RPP. Selama 7 tahun itu mau PPne isine opo, RPPne isine opo. Podo ta gak. Itu kan break down dari UU nomor 43 tahun 2007 itu. Nah RPP nang PP iku dalam sejarah Indonesia selama 7 tahun itu juara 1 paling lama maksude. Iku wingi wes ape di demo karo arek-arek. Nggae replika palu, urunan tuku gabus terus di dok “RPP disahkan menjadi PP”. Ijek terus tak lawan lewat iki mau. Asline pemikiran iku radikal. Artinya perubahan yang radikal, namun tak kemas yang nggak normal. Tapi sebenarnya saya ingin membawa teman-teman untuk berpikir. Jadi analoginya nek kene sikile lara ya, nah podo sambat larane gak waras-waras. Jadi saat ini yang kita butuhkan adalah nggolek betadine, resiki lukae tambani mari. Dadi nggak usah sambat-sambatan, nangis. Nggak menyelesaikan. Makane golekono iku terus sembuh. Nah neg gak ono iku, nggak ada yang di organ-organ, nggak ada yang punya kekuatan. Logikanya lho iku. Makanya aku ngomong nggak iku mau, gak guyon aku. Karena itu yang dibutuhkan. Selama kita nggak ada decision maker nang duwur seng kuat. Ya minimal itu tadi. Yo gak popo aku wong cilik, ape ngomong banter ngene dipikire angin. Hehehe tapi saya punya maksud baik kok, bukan karena aku seorang pustakawan itu, bukan. Karena memang hari ini hari pembodohan sistemik yang dilakukan oleh orang lain maupun oleh sistem. Itu aja sebenarnya”(PD) Meskipun demikian, bagi sebagian informan merasa nyaman berprofesi sebagai pustakawan. Seperti yang diungkapkan oleh PC, beliau merasa bersyukur telah menjadi pustakawan dan sudah diangkat menjadi PNS. Beliau merasa tidak mungkin melirik profesi lain, karena background beliau dari ilmu perpustakaan yang sudah sesuai dengan bidangnya. Menurut beliau, beliau harus lebih mendalami dan menekuni profesi pustakawan.
III-53
Ya Alhamdulillah mbak, masak saya mau tengak tengok ke profesi yang lain. Iyyaaaaaaa, haha dan tidak mungkin saya melirik profesi yang lain. Yang penting kita dalami lebih dalam. Memang saya syukuri, pertama saya kan lulusan perpustakaan. Kedua kan sudah bekerja di perpustakaan. Dan yang ketiga saya sudah diangkat menjadi PNS, terus mau apalagi, mau menekuni profesi apalagi gitu. Saya juga harus bener-bener menguasai ilmunya. (PC)
Hal ini berbeda dengan 2 informan lainnya, yaitu PA dan PE. Mereka masih merasa terbebani dengan mekanisme pengurusan DUPAK tersebut. PA merasa, untuk menjadi pustakawan ini prosesnya tidak mudah. Sebenarnya jika bukan perintah dari pimpinan, beliau tidak bersedia untuk mengurus jabatan fungsional pustakawan. Selain itu, beliau terkendala dengan waktunya untuk keluarga. Tidak jarang PA harus mengerjakannya di hari sabtu-minggu ketika hari libur kerja yang seharusnya, waktu untuk keluarga. Kalau saya sendiri ya mbak, soalnya prosesnya kan juga nggak gampang ya mbak. Aku untuk menjadi pustakawan kan juga sulit mbak. Rasanya itu kalau nggak karena perintah juga saya malas mbak, soalnya ribet. Apalagi kalau ngurus DUPAK itu mbak. Rasanya apalagi sekarang waktuku juga nggak bisa mbak. Aku juga gimna ya mbak, aku kepaksa. Tapi ya gimana lagi ya kalau sudah terlanjur nyemplung itu. Lha wong yang perintah mbak. Mau gimana lagi. Tak kerjaan itu juga pas kalau sabtu minggu. Tapi sabtu minggu itu kan juga waktunya keluarga, jadi banyak yang nuntut. Kadang ya yang penting aku kerjakan mbak, sebisanya. (PA)
Begitu halnya dengan PE. Beliau sering mengerjakan dengan PA di hari sabtu-minggu. Dikarenakan jika mau mengerjakan di jam kerja, beliau merasa tidak enak dengan rekan kerjanya yang lain. Iya kalo jabatan fungsional itu kan harus ngurus angka kredit. Itu kita nggak bisa ngerjakan setiap hari jam kerja itu ndak bisa. Jadi kebetulan aku sama PA kan sama ya. Jadi ngerjakannya sabtu minggu mbak, sampe dibelani PA ngajak anaknya, ngajak
III-54
suaminya. Sabtu minggu lho itu. Kayak gini nggak bisa mbak, nggak enak sama yang lainnya jam kerja gini.(PE)
Meskipun demikian, PE merasa cukup nyaman menjadi pustakawan, meskipun di awal merasa capek karena tugasnya bertambah.
Alhamdulillah nyaman sih, cuman akhirnya itu pertama kali itu puegel. Kan tugasnya nambah kan ya. Kita kan harus bikin angka kredit, yak an?
Pada proses objektivasi, individu mulai memanifestasikan diri dalam produk-produk
kegiatan
manusia.
Dalam
hal
ini
pustakawan
mulai
memanifestasikan dirinya dalam kegiatan-kegiatan di masyarakat. Salah satu bentuk manfestasinya adalah keterlibatan pustakawan dalam organisasi baik kepustakawanan maupun non kepustakawanan. Pembiasaan aktivitas manusia ini disebut sebagai pelembagaan atau institusionalisasi. Salah satu bentuk manifestifasi pustakawan dalam dunia objektif adalah bergabung dengan organisasi profesi yaitu IPI. Seluruh informan saat ini terdaftar sebagai anggota IPI. Dari ketiga informan tersebut merasa IPI masih belum massif bergerak. Seperti yang diungkapkan oleh PC. Gerak IPI masih belum jelas dan mungkin hal ini disebabkan oleh pengurus-pengurus yang didalamnya itu masih kurang greget. Beliau memiliki gagasan untuk mendata dan mengumpulkan seluruh pustakawan. Bahkan kartu anggota IPI PC yang asli, masih belum diambil. Iya saya anggota tergabung kemarin. Ya saya lihat itu tadi, masih kurang jelas. Apa pengurusnya yang kurang greget atau gimana ya. Yang menggerakkan. Ntah itu mau mengadakan pertemuan 2 bulan sekali atau gimana, biar anggotanya ini kumpul. Belum berjalan dan belum dilaksanakan. Terus mungkin III-55
di perpustakaan sini ada berapa orang, di perguruan tinggi ada berapa orang. Ya mungkin diundanglah, ntah itu mau membicarakan perpustakaan ke depannya atau apalah. Kita ngadakan kegiatan apa yang kaitannya dengan pustakawan. Jadi saya daftar jadi anggota tetap, bahkan kartu anggota saya masih kartu anggota sementara. Yang asli malah durung tak jupuk (tertawa). (PC)
Hal tersebut juga diungkapkan oleh salah satu informan yang juga anggota IPI. Beliau mengungkapkan bahwa dalam IPI sudah dibentuk struktur seperti ketua, sekretaris, dan lain sebagainya. Akan tetapi hal ini hanya dibentuk saja, untuk keberlanjutannya, tidak ada. Nggak mbak, meskipun saya ini anggota IPI ya mbak. Tapi juga nggak pernah ada rapat apa gitu. Meskipun dibentuk ya, dibentuk ketua, terus sekretaris terus apa gitu ya. Ya dibentuk aja. (PA)
Informan lainnya mengungkapkan bahwa beliau mengikuti IPI, namun IPI tidak begitu jalan. IPI itu, tapi IPI itu nggak jalan. Maksudnya ya jalan, tapi ya stag. Nggak konsisten. (PE)
PD juga mengungkapkan bahwa rata-rata IPI Surabaya dihuni oleh pustakawan perguruan tinggi. Sedangkan IPI provinsi dihuni oleh pustakawan dari provinsi yang cenderung pemikirannya terbelenggu oleh ruang-ruang. Agenda yang sering mereka adakan adalah seminar.
Rata-rata kalau IPI Surabaya iku nek nggak perguruan tinggi, yang lebih dominan. Yang IPI provinsi, itu orang-orang provinsi yang rata-rata orang yang terbelenggu oleh ruang-ruang. Akhirnya pemikirane yo iku mau, seminar mulih seminar mulih. Hahaha nek iku aku ra perlu, nek perlu aku iso ngomong koyok dekne. Jadi artinya kalau saya kritiisi mereka terlalu puas dengan jalannya. Dadi nggak hanya seminar, ngumpul, reunian arek III-56
PSTP, hahaha mulih. Sory lho yo, omonganku ancen rodok pedes, soale nggak onok sensor. Hehe (PD)
Berbeda dengan tiga informan lainnya, selain aktif di IPI Pak Wibowo dan PB
aktif
di
berbagai
organisasi
baik
kepustakawanan
maupun
non
kepustakawanan. PB mengungkapkan bahwa sebagai pustakawan beliau harus menguasai ilmu yang lain. Tidak hanya terbatas pada ilmu perpustakaan saja. Oleh karena itu beliau eksis di berbagai tempat seperti, pramuka dan LKMD “Untuk itu untuk menjadi seorang pustakawan itu ilmunya jangan hanya terbatas ilmu perpustakaan saja. Tapi juga harus menguasai ilmu yang lain. Saya ini di LKMD eksis, pramuka eksis. Kita harus berperan dari semua lini”. (PB)
Sedangkan PD saat ini aktif di berbagai organisasi, yaitu di Forum Taman Baca Masyarakat Jatim sebagai sekretaris dan di Indonesia Pintar yaitu rumah pintar yang digagas oleh Bu Any Yudhoyono juga sebagai sekretaris. Selain itu juga sering mengadakan diskusi dengan teman-temannya dalam sebuah komunitas Literasi Suroboyo. “Hari ini aku Sekretaris forum taman baca masyarakat Jatim, sekretaris indonesia pintar Jawatimur itu mengelola rumah pintarnya Bu Any. Trus biasanya diskusinya ke temen-temen itu. Biasanya komunitas LITERASI SUROBOYO”. (PD)
Dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, beliau juga aktif melakukan diskusi-disukusi dengan berbagai komunitas. Akhir-akhir ini beliau juga menjadi salah satu yang menginisiasi adanya sebuah aliansi atau paguyuban yang dibentuk untuk penutupan Dolly. Selain itu, beliau dulu ketika mahasiswa
III-57
juga aktif di berbagai organisasi seperti UKKI, senat dan beberapa organisasi ekstra kampus lainnya. Sama halnya dengan PA, ketika kuliah beliau aktif di UKM Merpati Putih. Bagi beliau dengan aktif di organisasi banyak manfaat positif yang akan didapatkan. “Jadi saya dulu aktif ikut organisasi mbak. Saya dulu ikut MP,merpati putih. Dulu ndak dikampus c mbak, di kantin sebelahnya FISIP. Dulu di psikolog,. Kalau kuliah kan jam 7-9, terus lanjut jam 1 sampai jam 3. Kadang kan nunggu dikos teman, kadang itu temannya nggak senang mbak kalau kita dikosnya itu. Ya jadinya itu mbak cangkruk. Saya punya saudara mbak anak hukum, tahu kalau saya cangkruk itu akhirnya disaranin buat ikut organisasi itu mbak. Akhirnya saya ikut. Eh ternyata ada dampaknya positifnya. Banyak teman mbak. Temannya nggak hanya lingkup perpustakaan itu.”(PA) Berbagai pengalaman telah dilalui informan selama menjadi pustakawan. PC mengungkapkan bahwa beliau senang ketika sedang dikirim untuk pelatihan atau seminar karena dapat bertemu dengan teman lama.
“Ya itu mbak senangnya kalau dikirim untuk mengikuti pelatihan atau seminar, itu senangnya gini ketemu dengan teman lama yang kebetulan juga bekerja di perpustakaan yang mungkin bekerja di Sumenep, Probolinggo gitu. Jadi seperti reuni kecil. Itu enaknya, jadi belum tentu kalau nggak ada acara bakal ketemu. Dengan adanya kayak temu karya, diklat itu biasanya ketemu.” (PC)
Kenyamanan dengan status pustakawan ini juga dapat dilihat dari bagaimana dia mau memperkenalkan ke masyarakat luas tentang profesinya. Beberapa informan mengungkapkan bahwa jarang menyebutkan profesinya sebagai pustakawan dalam sebuah forum. Mereka lebih banyak memperkenalkan diri secara general sebagai pegawai perpustakaan umum kota Surabaya. Seperti III-58
halnya dengan PC. Beliau merasa di hargai ketika memperkenalkan diri sebagai pegawai perpustakaan umum kota Surabaya karena dianggap perpustakaan umum kota Surabaya telah memiliki nama di masyarakat. Dengan didukung oleh Bu Arini selaku Kepala Perpustakaan umum kota Surabaya, yang juga sering mengisi seminar.
Hahahaha (tertawa), ya nggak segitunya sih. Ya biasanya kalau kita ngobrol dengan teman gitu, oh dari Surabaya dan dari perpustakaan. Tapi kalau dari Surabaya gitu ya mbak, itu dihargai karena memang Surabaya vokal. Apalagi bu Arini juga sering diundang pusat sebagai narasumber. (PC)
Pustakawan dianggap menjadi profesi paling segalanya juga pernah di alami salah satu informan kita ketika memperkenalkan diri sebagai pustakawan. Hal ini dialami oleh PA. Menurut pengalaman beliau, banyak pengalaman negatif ketika menjadi pustakawan. Beliau belum merasakan enaknya menjadi pustakawan. “Kalau masalah pengalaman negatif itu pasti ada ya mbak, maksudnya itu kita dianggap orang paling segalanya. Memberikan ide atau masukan atau apa. Apalagi kalau ngurus-ngurus gitu kan bagian kepegawaian belum tahu mbak. Selama ini saya belum pernah menikmati enaknya. Belum apa ya, belum ada dampaknya. Atau mungkin saya masih awal ya.” (PA)
PA juga mengungkapkan bahwa masih merasa minder dengan status pustakawannya. Perasaan minder itu muncul ketika beriteraksi dengan teman dan teman itu memberikan respon terhadap status kepustakawanannya. Padahal secara legal, beliau telah mendapatkan pengakuan itu. “Nah iya biasanya kalau ketemu teman itu kalau nulis pustakawan itu, kadang teman langsung bilang, “Wah pustakawan e”. Nah kayak-kayak gitu kan jadinya sudah minder duluan mbak.
III-59
Padahal sebenarnya kita sudah dapat pengakuannya. Kita sudah megang itu tadi. Tapi kadang kita nggak PD bu. “(PA) Beliau juga mengungkapkan bahwa kurangnya rasa kepercayaan diri itu muncul pada ilmu yang dikuasai itu sendiri. Beliau merasa masih kurang dalam membaca. “ Ya apa ya mbak, jadi masih belum PD sama ilmu yang saya kuasai mbak. Ya cuma ilmu yang saya dapat dari kuliah itu mbak. Kan seharusnya sering membaca ya mbak, Ya memang saya salah mbak, harus sering baca itu tadi. “(PA)
Sedangkan bagi informan lain, PB mengungkapkan bahwa tidak terlalu peduli dengan permasalahan image pustakawan di masyarakat. Bagi beliau untuk menjadi seorang pustakawan ilmunya tidak hanya terbatas pada ilmu perpustakaan saja tapi juga harus mengausai ilmu lainnya. “Kalau saya pribadi saya tidak ada masalah. Untuk seorang pustakawan itu ilmunya jangan hanya terbatas ilmu perpustakaan saja. Tapi juga harus menguasai ilmu yang lain.” (PB) Hal tersebut juga terjadi pada PD, di berbagai forum yang pernah peneliti alami dengan beliau. Beliau selalu memperkenalkan diri sebagai pustakawan perpustakaan umum kota Surabaya. Dalam forum kepustakawanan maupun non kepustakawanan. Beliau tidak begitu peduli dengan stigma yang berkembang di masyarakat. Saat ini kita butuh pembuktian, banyak hal yang harus dibenahi. Butuh penelitian untuk membuktikan bahwa pustakawan itu memiliki ilmu yang bernilai strategis. Saat ini membutuhkan pustakawan petarung yang mau masuk ke komunitas-komunitas profesional. Dengan begitu, masyarakat akan tahu dengan sendirinya bahwa pustakawan itu dapat diajak untuk berbagai hal dan berbagai bidang.
III-60
“Yang harus dibenahi yang pertama kita butuh penelitian bahwasanya ilmu kita bernilai strategis. Siapa yang membuktikan? Yo pustakawane dewe. Selama deke gak merasa terganggu oleh stigma.”alah bene ae wes” Artinya pasang kacamata kuda. Ahh urusan masyarakat nilai aku opo gak ngurus. Kalau gak ada orang yang peduli ya selamannya akan seperti ini. Hari ini yang dibutuhkan apa? Pustakawan yang petarung. Akan masuk dikomunitas-komunitas kecil. Kita harus menjadi pionir, jadi agen, aku dengan pasionku, sehingga orang2 bisa beranggapan “ pustakawan iso diajak ngomong sembarang kalir, pergerakan, ekonomi, kesehatan dsb” Jadi bukan klarifikasi, sehingga butuh orang-orang yang bisa bertarung, masuk ke komunitas-komunitas profesional.” (PD)
Dalam berinteraksi sesama pustakawan lain, menurut salah satu informan pernah ada sebuah perkumpulan. Namun sayangnya tidak berlanjut. “Oh iya pernah pernah, dulu kita pernah sebentar membentuk perkumpulan pustakawan. Tapi juga nggak berlanjut.” (PC)
Beliau juga mengungkapkan bahwa tidak ada kesulitan komunikasi. Kalau saya rasa nggak ya mbak, termasuk kompak. Jadi kita memiliki satu tujuan Surabaya adalah termasuk kota Minat Baca. Jadi tujuan kita sama, mendongkrak mint abaca dari masyarakat Surabaya. Bahkan minat baca dari orang perpustakaan sendiri, ini minat bacanya, hahaha (tertawa). Soalnya memang saya akui, minat baca saya tergolong rendah. Tapi saya berusahalah, paling tidak setiap hari baca minimal 1 lembar kertas. Disamping meningkatkan minat baca orang lain , kita juga meningkatkan minat baca diri sendiri. Masak kita ngobrak-obrak orang untuk senang bacam tapi kita sendiri nggak suka membaca. (PC)
Menurut PB, interaksi antar pegawai perpustakaan bukan menjadi suatu masalah. Karena memang daya tangkap masing-masing individu berbeda. Namun memang lebih enak jika ngomong dengan sesama pustakawan.
Kalau pengalaman atau pengamatan saya disini, mereka nggak ada masalah. Kalau dari tingkat keilmuan atau daya III-61
tangkapnya kan berbeda. Jadi istilahnya reaksi yang ditimbulkan berbeda. Memang lebih enak jika ngomong dengan yang pustakawan, setidaknya kan nyambung. (PB)
Interaksi dengan sesama pustakawan di perpustakaan umum kota Surabaya masih terbatas. Biasanya yang dibahas terkait sertifikasi. Sedangkan jika terkait pegawai yang di lapangan itu selalu diberikan pelatihan setiap minggunya. Hal ini dijelaskan oleh PB sebagai berikut: “Ya itu kita masih terbatas. Apa yang paling mau mebahas tentang seritifikasi, kami hanya memanggil orang-orang itu saja. Tapi memang kalau terkait pegawai kita yang di lapangan itu kami selalu memberikan pelatihan setiap minggunya terkait teknisnya yang ada di lapangan. Mulai merubah ruang perpustakaan yang jelek menjadi bagus, dari menata koleksi hingga membuat kegiatan yang menarik.” (PB)
Hal yang berbeda diungkapkan oleh PD. Menurut beliau jika berdiskusi terkait perpustakaan memang sangat bervariatif. Beliau menilai teman-teman yang lain itu orang-orang yang berada di zona nyaman. Hal itu berbeda dengan beliau yang harus nekat untuk lepas. Sehingga beliau harus ngomong politik, pendidikan. Dan beliau ingin membuktikan pada masyarakat bahwa ilmu perpustakaan ini sangat bermanfaat. “Gini, kalau diskusi masalah perpustakaan, rata rata, jujur kita berversi-versi, karena, artinya, kok aku maleh ngomog koe, dia kan orang-orang yang di zona nyaman, mereka nertine yo sekitar penjara, nek jenise koyok aku, yo pustakawan yang nekat untuk lepaas. Dadi aku harus ngomong politik, tau pendidikan, tau ekonomi, hari ini menurut saya kita harus meyakinkan masyarakat bahwa ilmu kita ini bermanfaat. Dengan kegiatan, faedahe opo, tapi nek iku hobi.” (PD)
III-62
III.4 Internalisasi : Keterkaitan Pemahaman
Pustakawan Perpustakaan
Umum Kota Suarabaya Terhadap Profesinya Sebagai Pustakawan dan Rencana Pengembangan ke Depannya Pada proses sebelumnya, yaitu eksternalisasi dan objektivasi. Obyektivitas dunia sosial dihadapi oleh manusia sebagai sesuatu yang berada di luar dirinya. Dalam proses tersebut terjadi konfirmasi antara pengetahuan dasar yang dimiliki oleh individu dalam sebuah tatanan sosial yang dipahami oleh individu masingmasing. Penafsiran atau pemahaman individu secara langsung atas apa yang dipahami dengan peristiwa objektif ini menjadi sebuah kesatuan yang utuh untuk mengungka makna. Diawali dengan setiap pustakawan yang memiliki pemahaman subyektif masing-maisng. Kemudian setiap pustakawan melakukan interpretasi terhadap sebuah objek yang dalam hal ini adalah profesi pustakawan. Sehingga pustakawan memiliki gambaran secara subyektif mengenai profesi pustakawan yang nantinya akan diteruskan ke generasi selanjutnya dalam proses sosialisasi. Proses peresapan kembali atau mentransformasikan kembali dari struktur objektif ke struktur subjektif. Inilah yang disebut dengan internalisasi. Individu akan menjadi anggota masyarakat setelah melewati proses internalisasi. Proses untuk mencapainya melalui sosialisasi. Sosialisasi ini dibagi menjadi 2, yaitu sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer menjadi bagian yang sangat penting bagi individu karena struktur dasar dari semua sosialisasi sekunder harus memiliki kemiripan dengan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer yang dialami individu pada masa kanak-kanak. Individu lahir
III-63
dalam suatu struktur sosial yang obyektif dimana ia akan menjumpai orang-orang yang mensosialisasikannya. Sosialisasi primer yang dialami oleh pustakawan dilihat dari awal mereka mampu bersosialisasi dengan masyarakat. Sosialisasi ini akan sangat bergantung oleh-oleh yang berada di sekitarnya. PD merupakan salah satu pustakawan yang ayahnya juga bekerja sebagai pustakawan. Sosialisasi yang dilakukan oleh ayah PD dengan memperkenalkan PD dengan membaca dan buku sejak kecil. Secara rutin setiap bulannya, ayah PD selalu memberi jatah uang untuk membeli buku. Tidak jarang juga, dia diajak diskusi oleh ayahnya setelah membaca buku untuk membahas apa yang terkandung dalam buku yang dia baca. Awal kecintaan saya digiring bapak, “we tak kei duwik, belonjoo sak karepmu seng mbuk senengi, tapi wocoen”. Nah buku seng mbuk waca iku kene ceritakne nang bapak. (PD)
Sewaktu kecil, PD juga termasuk anak yang gemar mengjungi perpustakaan. Dia sering mengunjungi perpustakaan provinsi yang saat itu masih terletak di Jl. Walikota Mustajab. PD lebih suka mengunjungi perpustakaan provinsi karena perpustakaan di sekolah menurutnya tidak menarik karena bukunya hanya buku pelajaran saja. Iya iya, cuman perpustakaan waktu itu tidak menarik. Soale waktu iku bukune ya buku-buku pelajaran. (PD)
Hal tersebut berbeda dengan PB yang dari awal dia lebih dikenalkan dengan dunia pendidikan. Kedua orang tuanya merupakan seorang guru, sehingga dari kecil dia lebih mengenal profesi guru daripada profesi lainnya.
III-64
Iya dari awal saya memang berminat di pendidikan, termasuk kedua orang tua saya adalah guru.(PB)
Pustakawan menjadi profesi yang luar biasa bagi PD. Menurutnya, pustakawan itu diciptakan oleh Tuhan berada pada ranah yang tepat. “Karena kita diciptakan oleh Allah, menurut saya ya, seorang pustakawan itu di ranah yang tepat.” (PD)
Bahkan
PD juga memiliki sebuah cerita analogi tentang profesi
pustakawan. Ada sebuah cerita lucu menurutnya. Pada sebuah tempat seminar dengan judulnya membuktikan profesi paling berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Datanglah dari berbagai profesi yang kemudian berebut untuk mendftarkan dirinya. Namun ada pemandangan yang aneh saat itu ketika ada seseorang yang duduk di sudut belakang sembari tidur. Hingga akhirnya selesai di data, ada yang kurang satu. Dan yang kurang itu adaah orang yang tidur di sudut belakang, beliau berporfesi sebagai pustakawan. Pustakawan tersebut hanya mengakatakan “Haduh anda-anda ini pintar karena membaca di tempat saya” Serempak seluruh pengunjung tepuk tangan atas jawaban beliau. “Onok cerita lucu, ada di sebuah tempat yang menyelenggarakan seminar apalah namanya, judulnya adalah membuktikan profesi apa yang paling berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat. Yang diundang dari semua ikatan profesi. Setiap ikatan profesi di profinsi ada satu wakil. Dekne disitu boleh narsis, boleh ngomong bahwa profesinya paling baik. Terakhir ternyata dari Indonesia iku seng wakili Indonesia. Nah dekne teko iku malah ndepipis nang pojok mburi dewe, turu. Seng liyane podo eyel daftar ndisek, tapi pustakawan iku mau nggak Dekne malah nang pojokan, mburi dewe turu. Bareng terakhir, sudah habis ini? Bareng di delok absene kok kurang 1. Ternyata pustakawan iku mau. Digugah dekne. Dekne cumak ngomong ngene. Haduh anda-anda ini kan pandai karena membaca di
III-65
tempat saya. Langsung spontan seng teko ngadek kabeh dan tepuk tangan. “(PD)
Dari cerita diatas PD memaknai bahwa pustakawan mampu merubah mereka semua. PD menganggap pustakawan tidak butuh untuk dihargai. Buktinya profesi pustakawan lebih besar dibanding profesi lainnya. Oleh karena itu, bodohnya pustakawan yang tidak bisa mencuri ilmu. Padahal pustakawanlah yang memiliki buku.
“ Terus maknane apa? Pustakawan itu bisa merubah mereka semua, lha lapo. Kene butuh dihargai? Nggak. Kene nggak dihargaipun gak popo. Buktine profesine kene yo luwih gede daripada profesi seng liyane. Iku bodohe, ketika menjadi pustakawan itu tapi tidak bisa mencuri ilmune yang mereka punya. Kene lho seng nduwe buku, khatamne kabeh po‟o, sampek wetengmu mbledos. Hehehehe (tertawa).”(PD)
Bahkan PD pernah berdebat dalam sebuah forum Taman Bacaan Masyarakat. Waktu itu para penggerak TBM ingin dipanggil sebagai pustakawan. PD tidak sepakat dengan hal tersebut. Jika dianalogikan seperti seorang tabib atau ”mbah dukun” dalam bahasa desanya ataupun biasa disebut juga orang pintar, mereka tidak bisa disebut sebagai dokter. Termasuk juga dianalogikan pada saudara PD yang menjadi perawat. Saudaranya tidak butuh dipanggil sebagai dokter. Menurut PD, selalu mengerjakan pekerjaan dengan penuh kesadaran, cinta kasih dan keikhlasan. Ditambah pula, pustakawan tidak perlu pengakuan. Hal tersebut menurutnya malah membuat tidak nyaman, bebannya terlalu berat, dan nantinya akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat. Jika mengutip kata Pak Blasius, “kaya hati untuk melayani mereka”.
III-66
“Ya itulah rancunya pustakawan. Aku pernah tukaran, di sebuah forum Taman Bacaan Masyarakat itu, mereka ingin dipanggil sebagai pustakawan. Ya kan? Saya tidak sepakat. Kamu lihato postinganku, disitu ada postinganku banyak komenkomennya, kamu bisa lihat komen-komennya. Jadi tabib iku gak podo karo dokter. Wes opo ae lah, onok mantra. Istilahe nang deso kan mbah dukun, wong pinter. Apa mereka nuntut dadi dokter? Nggak, mereka wes cukup dipanggil mbah yo mbah. Lapo kok woro-woro dadi pustakawan? Entukmu opo? Ngerti ya jawabanku? Nggak perlu. Nek budeku biyen iku perawat, nek onok wong lara iku dikek i opo ngono penting waras. Apa budeku njaluk diceluk bu Dokter? Ya nggak. Nggak usah ngomong dekne perawat, bu mantra atau apa. Kalau aku kan gini, kalau kita mengerjakan sesuatu dengan kesadaran penuh, cinta kasih, dengan keikhlasan. Itu kita nggak perlu pengakuan, saya pustakawan, nggak usah, malah nggak nyaman. Songgone abot lho, suk nek akhirat malah ditakoni lapo ae seng mbuk lakoni dadi pustakawan. Seng pustakawan seng lulusan perpustakaan ae seng dadi manager pemasaran uakeh. Lek jarene pak Blasius, kaya hati, yo wes iku ae kita melayani mereka. Bah kita mau terbelakang kek, mau nggak kek nggak ngurus.” (PD)
Profesi pustakawan itu menjadi profesi yang luar biasa jika kita tahu dan mau memanfaatkannya. Dalam perintah Tuhan di dalam Al-Qur‟anpun jelas untuk membaca. Dan pustakawan telah memiliki kuncinya itu. Menyuruh orang untuk membaca tapi dirinya sendiri tidak membaca itu seperti menyuruh orang sholat tapi dirinya sendiri tidak sholat, itu kesalahan besar untuk diri sendiri.
“ Bayangkan, Iqro‟ bismirabbikalladzi dan seterusnya itu kan perintah membaca. Kene iku lho wes nduwe kuncine. Ngongkon wong maca, tapi awake dewe gak maca. Ngongkoni wong shalat, tapi awake dewe gak shalat. Salah kan awake dewe. Ngongkoni wong shalat, ngongkoni maca tapi awake dewe gak. Lak yo salah toh? Lha sekarang apa yang seharusnya kita lakukan, lakukan yang sebenarnya yang terbaik. Ngongkoni wong maca lho, lha awak dewe. Kuncine iqro‟. “(PD) III-67
PD memiliki keyakinan bahwa dengan membaca mampu membuat perubahan. PD banyak belajar dari lapangan. Dari belajar di lapangan, beliau merasa banyak hal yang mampu menyadarkannya. Ingin melakukan apapun bisa. Dan saat ini beliau memiliki visi untuk menyadarkan mereka yang merasa tersesat dalam jalan kepustakawanan ini.
“Bahkan dengan membaca iku, sek tak duduhi kok isok membaca iku isok nggae perubahan. Saya banyak ngaji lapangan, gak nganggo ayat. Tapi disitu hikmahnya lebih gede. Dari situ aku tahu ternyata luar biasa. Pengen opo ae lho isok. Dan hari ini tugas saya adalah meyadarkan mereka ke jalan yang benar. Kemarin tersesat, “aku nag ndi ya iki? Ngidek lemah ta gak ya aku iki?”. Seolah-olah bekerja itu nggak ada artine. Opo yo, ngene tok. Ada sesuatu yang bisa kita lakukan. Mumet toh?. “(PD)
Menurut PA,
pustakawan harus menguasai ilmunya baik dari teori
maupun prakteknya. Pustakawan harus memiliki dedikasi yang tinggi dengan tidak hanya memikirkan dirinya sendiri.
“Pustakawan itu kalau menurut aku ya harus tahu mengenal ilmunya itu tadi. Baik dari segi teori maupun prakteknya ya. Harus punya dedikasi tinggi ya untuk pustakawan adalah lini ya. Adalah juga bukan karena misi dia sendiri atau maunya sendiri atau memikirkan diri sendiri. Kadang itu ngomongnya banyak, tapi kerjanya prakteknya nggak bisa. Kayak kita kan da yang kayak gitu. Kadang ada orang yang nggak perlu gempar gempor itu tapi kerjanya selesai. Kan orang-orang itu beda mbak.” (PA)
Berbeda halnya dengan yang diungkapkan oleh PC. Beliau mengungkapkan bahwa profesi pustakawan masih erat kaitannya dengan pendidikan. Sehingga saatnya memang perpustakaan terjun ke sekolah-sekolah. III-68
“Kalau profesi pustakawan kan masih satu jalur dengan pendidikan ya mbak ya. Jadi ya kita juga perlu terjun ke sekolah, terjun di TBM ya itu tadi kita membuat istilah pendidikan karakter yang saat ini sedang marak digaung-gaungkan.” (PC)
Sebagai orang yang baru menekuni profesi pustakawan dengan mengikuti diklat kesetaraan, menurut PB memang awalnya ilmu peprustakaan itu dianggap mudah. Sehingga orang awam lebih banyak yang menyepelekan. Tetapi ternyata setelah mendalami ilmunya, beliau menyadari bahwa ilmu pustakawan itu cukup dalam dan tidak semua orang dapat melakukannya.
“Yang jelas saya, ilmu pustakawan itu kalau dari awalnya itu mudah ya. Jadi orang awam itu melihatnya mudah jadi menyepelekan ya. Tapi kalau kita dalami, ternyata ilmunya seorang pustakawan itu cukup dalam ya. Dan tidak semua orang bisa melakukannya.” (PB)
PB melihat permasalahan pada dunia kepustakawanan yaitu dari SDM. Permasalahan utamanya pada pemerintah, hingga saat ini formasi perekrutan pustakawan masih sangat minim sekali, bahkan tidak ada. Sehingga bagaikan pungguk merindukan bulan jika menunggu rekruitan pustakawan dari pihak pemerintah pusat. “Akhirnya permasalahan yang perlu di ini adalah SDM. SDM itu apa petugas. Sampai saat ini yang menjadi permasalahan itu, hingga saat ini formasi pemerintah pusat dengan pemerintah kota apalagi kabupaten. Formasi perekrutan perpustakaan ini masih sangat minim sekali atau bahkan tidak ada. Padahal sudah ada PERDA, dan lainlainnya. Akhirnya dari pemerintah kota sendiri membuat proposal yaitu kalau kita harus menunggu perekrutan PNS dari perpustakaan itu bagaikan pungguk merindukan bulan, jadi mustahil gitu kalau dirasa. “(PB)
III-69
Sedangkan menurut PD, banyak sekali mahasiswa perpustakaan saat ini yang terjebak, terperosok, salah pilih, tersesat. Sehingga mereka melakukannya tidak sepenuh hati. Namun lambat laun mereka akan mengetahui jati diri dari pustakawan.
“Dan rata-rata kalau menurut saya, dia melakukan tidak dengan sepenuh hati. Lek bahasaku dia akan banyak sekali mahasiswa perpustakaan saat ini yang terjebak, terperosok, salah pilih, tersesat, tapi jangan lupa ketika mereka melakukan eeehhmmm opo, melakukan aktivitas itu nantinya mereka akan tahu apa sih yang namanya jati diri seorang pustakawan. Saya pikir lambat laun dia akan “insyaf”.” (PD)
Hal-hal tersebut memang sering terjadi pada mahasiswa ilmu perpustakaan. Di awal semester mereka masih bingung ketika diajari filsafat. Padahal filsafat merupakan titik nadir seseorang dalam berpikir ilmu perpustakaan seperti apa. Sehingga mampu mengenal ilmu perpustakaan secara filosofis, dan filsafar kuncinya. Ketika seseorang sudah mumpuni dalam sebuah keilmuan, sudah merasakan kesaktian ilmu peprustakaan dia akan semakin meinkmati. Tetapi jika dia melakukan namun belum tahu betapa indahnya dunia kepustakawanan, dia akan melakukan sesuatu yang terpaksa dengan alasan daripada nggak bekerja. Banyak pustakawan yang seperti itu. Yang bekerja hanya karena “gugur kewajiban”, hanya menyelesaikan kewajiban saja. Berbeda jika bekerja dengan menyadari bahwa pustakawan itu passionmu, uang itu akan datang dengan sendirinya. “Awal-awalnya di semester pertama memang agak bingung ketika diajari filsafat, opo hubungane sama perpustakaan. Jauh banget kan. Pengenalan tuhan, tuhan seng yaopo. Opo hubungane. Padahal itu di titik nadir seseorang untuk berfikir bahwa oh dunia perpustakaan itu koyok ngene, jadi harus mengenal bahwa dunia III-70
perpustakaan cara pendekatan filosofis. Jadi harus mengenal semua bidang ilmu secara pendekatan filosofis. Filsafat. Filsafat ilmu itu adalah kuncinya. Dia akan terpelosok lebih dalam lagi dan menikmati. Apa sih dunia kepustakawanan. Dengan pertanyaanmu itu tadi, tentunya sudah bisa sedikit bisa apa namanya, terjawab. Bahwa ketika seseorang itu sudah eeehhhm kalau istilahku itu mumpuni untuk sebuah keilmuan, dia sudah merasakan kesaktian dari ilmu perpustakaan, dia akan semakin menikmati. Tapi kalau dia melakukan belum tahu indahnya kepustakawanan, dia akan melakukan sesuatu yang terpaksa daripada nggak nyambut gawe. Rohnya nggak ada. Ya chasingnya apik, bajunya bagus, mlente ngono, tapi otaknya nggak ada. Nyusun sewu, saya bisa mengatakan ini, saya sering mengatasi. Dia hanya melakukan hanya, kalau dalam bahasa agamanya gugur kewajiban. Dia tidak punya konsep mau dibawa kemana perjuangan ini. Kok boro-boro ngono penting teko mulih mene bayaran. Tapi kalau sudah tahu bahwa ini sebuah pekerjaan dan ini passionmu. Kalau kata orang Medura iku ngene, kudu ngerti passion dan pese.” (PD)
Beliau menambahkan bahwa dalam mengembangkan ilmu peprustakaan, kita harus tahu passion kita dimana. Jika passion jelas, uang pasti banyak. Mungkin passionnya di TBM. Orang dapat melihat beliau mampu membenahi TBM. Sehingga dari situ passionnya kelihatan. Di undang kesana kemari untuk pengembangan itu. Beliau menyarankan untuk fokus pada satu bidang dalam ilmu perpustakaan, bukan semuanya “ Pese itu duwik. Nek passionmu jelas, pesemu akeh. Kayak aku, dia melihat aku seorang pustakawan dan punya visi bagaimana memajukan Taman Bacaan untuk masyarakat. Kita punya 400 TBM. Orang bisa melihat saya ketika saya bisa membenahi 400 ini mereka berbinar-binar iso opo. Wong edan. Itu passion kita kelihatan. Orang yang professional yang Pustakawan yang apa, fokus di TBM. Akhirnya apa, pesene akeh. Di celuk‟i rono rene untuk sebuah pengembangan itu. Makanya saranku untuk nantinya kamu kalau mau menggeluti sebuah bidang, jangan kabeh mbuk emplok. “(PD) Saat ini PD sedang menulis buku yang berjudul “Suwuk Koordinator”. Beliau belum menemukan kata yang tepat untuk menggantikan kata suwuk ini.
III-71
Suwuk ini teknik penyadaran dengan cara ditiup kemudian yang bersangkutan sadar. Buku ini merupakan kumpulan inspirasi teman-teman dari TBM. Jadi istilahnya bagaimana membuat seseorang yang tidak mengerti apa-apa tentang perpustakaan seperti teman-teman di TBM itu harus bisa menghasilkan karya. “ Aku sedang menulis buku, judulnya “Suwuk Koordinator”. Dadi aku sedang nyuwuk awakmu, tak sebul terus bari ngono awakmu sadar. Aku durung nemu istilah baru bagaimana mengubah pola pikir seseorang. Dadi kan kowe reneo terus tak suwuk terus awakmu sadar. EEeeee kumpulan inspirasinya tementemen yang di TBM-TBM itu. Jadi istilahnya bagaimana aku bisa membuat seseorang yang seperti kamu, nek kowe kan mahasiswa seng nggak ngerti apa-apa tentang kerjane wong perpustakaan. Sedangkan mereka yang berjumlah 400 itu kan bukan pustaakawan, dekne mungkin ijazahnya pepustakaan, tapi ketika mereka sudah masuk kesini, bekerja untuk menghasilkan sebuah karya. Itu yang butuh sesuatu untuk yang akhirnya saya pikir apa ya kata yang tepat, ya suwuk itu.” (PD)
Pustakawan menjadi sebuah profesi yang strategis untuk pengembangan ilmu secara pribadi maupun untuk masyarakat. Dengan menjadi pustakawan akan bergelut dengan buku sehingga dapat dimanfaatkan. Hal ini diungkapkan oleh salah satu informan yaitu PC, sebagai berikut: “ Kalau menurut saya kan 1) Kita kan juga gaji, 2) Dengan jadi pustakawan kan kita bergelut dengan banyak buku, jadi isitlahnya kita harus dimanfaatkan. Ibaratnya kan kalau kita mencari buku apapun kan kita mudah mencarinya. “(PC)
Hal tersebut juga diungkapkan secara tegas oleh PD. Menurut beliau sangat bodoh sekali ketika seorang pustakawan yang tidak mau menempa dirinya dengan membaca. Beliau mengumpamakan seperti mati di lumbung padi. Hal itu seperti kita sudah berada dalam sebuah tempat yang penuh dengan buku, namun tidak III-72
membaca buku tersebut. Padahal banyak pilihan buku. Namun sayangnya nggak ada pustakawan yang sadar. Menurut beliau jika ada pustakawan yang tidak mau baca itu terkena penyakit.
“Sangat bodoh sekali seorang pustakawan yang tidak mau menempa dirinya dengan membaca buku, itu kan goblok. Itu seperti mati di lumbungnya pari, guoblok iku sak gobloke goblok. Lapo kok gak mbuk dang, mbuk pangan. Kon iki wes nang nggone buku, lapo gak mbuk icipi bukumu. Opo yo mbuk waca? Yo karepmu kon kepengen opo. Wong buku pilihane akeh. Aku mudun nggolek buku sak mbledose wetengku kan kenek, sampe sirahku cemut-cemut lho keturutan. Yo kan? Ada waktu luang. Tapi nggak ada pustakawan yang sadar. Sampe ada pustakawan yang nggak mau baca itu soro, penyakiten iku.” (PD)
Hal tersebut juga diungkapkan oleh informan lain. Beliau mengungkapkan bahwa pustakawan itu biasanya suka membaca. Sehingga bisa mengetahui informas-informasi yang didiapatkannya sehingga minat baca pustakawan itu tergolong tinggi. “Mungkin gini mbak biasanya kan suka baca. Jadi tahu informasi-informasi yang dia dapat. Dengan membaca itu kita tahu. Jadi minat bacanya tinggi, biasanya gitu. “(PE)
Pendapat berbeda diungkapkan oleh informan lainnya yang menilai kelebihan profesi pustakawan ini jika dibandikan dengan profesi lainnya. Menurut beliau melihat dari kenaikan pangkat untuk pustakawan yang dilakukan setiap 2 tahun sekali. “Kalau pustakawan itu dibandingkan dengan yang lain. Kalo kelebihannya itu, kenaikan pangkat. Kita 2 tahun sekali. Hmmmm apa ya satunya, pangkat sama apa ya lupa saya. Pokoknya 2 tahun sekali, kalau yang PNS biasa kan 4 tahun sekali. Tapi kalau pustakawan kan harus ngajukan DUPAK atau apa gitu, kalau yang lain kan nggak perlu mbak. Nah kalau itu kan butuh waktu
III-73
khusus. Banyak temen-temen itu kan nggak mau kalau ditawari jadi pustakawan. Tunjangannya nggak sesuai, ngurusnya ruwet.” (PA) Selain itu dari segi keilmuan, ilmu perpustakaan selalu berkembang. Pustakawan
mampu
mengembangkan
program-program
sehingga
tidak
menggunakan sistem yang manual. Hal itu tidak seperti perkembangan pada jenjang karier pustakawan yang terkesan pelan-pelan.
“Ya kita bisa bikin program program untuk perpustakaan. Ya ndak maksudunya adminsitrasinya biar nggak manual. Kekurangan apa ya, akeh e menurutku. Ya itu berkembangnya lambat. Maksudnya harus pelan-pelan. Kayaknya jenjang karier. Ilmu itu kan selalu berkembang. Kalau kariernya pustakawan harus gini harus gini.” (PE)
Selain kelebihan, para informan juga mengungkapkan kekurangankekurangan yang dimiliki oleh profesi pustakawan. Menurut PC, profesi pustakawan masih belum sejajar dengan profesi lain.
“Kekurangannya (sambil berpikir), apa ya. Kekurangannya kalau dibandingkan dengan profesi lain, pustakawan masih belum sejajar dengan profesi lain. Kita kan masih di bawah mereka. “(PC)
Salah satu kekurangan lainnya dinilai dari adminstrasi dalam mengurus DUPAK. Beliau mengungkapkan bahwa prosesnya ruwet.
“Heeeemm iya mbak ya itu tadi yang tak bilang. Wes ta ruwet ruwet.” (PA)
III-74
Harapan atau target PD ke depannya, beliau ingin memiliki lembaga yang bergerak di bidang perpustakaan. Namun belum memiliki partner untuk mewujudkan itu. Lembaga itu nantinya akan dihuni oleh orang-orang kreatif. “Yang kedua saya pengen punya lembaga, aku hari ini yang menjadi kebingungan adalah lembaga itu kan harus ada penghuninya. Sedangkan aku sendiri nggak mungkin harus lari kemana-mana. Soalnya lembaga itu seharusnya dihuni oleh orangorang kreatif. Aku bisa mencarikan duwit, tapi nggak isok seatle ngurusi iku perjalanannya dari ujung pohon sampai ke akar. Aku mungkin bisa men desain iki digowo rene gowo rene. “ (PD)
Bentuk lembaga tersebut adalah seperti sebuah maket pencerdasan. Jadi ada perpustakaan, penelitian, dapat dibuat pers release dan lainnya namun masih dalam prinsip kepustakawanan. Tidak harus diisi oleh pustakawan, namun orangorang yang memiliki passion yang sama.
“Intinya sih aku pengen ada “maket pencerdasan” onok perpustakaan, penelitian, trus bisa buat press release, macemmacem.tapi prisip dunia kepustakawanan, tapi di isi oleh yo kui mau, Gak kudu di isi pustakawan, tapi orang orang dengan pasion yang sama. Aku hari ini beberahpa hari nyarik,beberapa orang, ayok mulai mengerucut-ngerucut “(PD)
PD memliki pemikiran bahwa saat ini akan banyak sekali lulusan dari ilmu perpustakaan seperti dari UNAIR, UWK, UIN, setelah itu UB dan lain sebagainya. Sehingga beliau ingin mengembangkan sebuah industri kreatif atau menjadi pengusaha agar tidak menumpuk pengangguran intelektual. Oleh karena itu beliau mencari partner yang mampu melakukan hal tersebut. “ Jumlah lulusannya makin banyak ya, UWK, UIN. Maringene UB, macem-macem, satu sisi kalau kita gak
III-75
mengembangkan industri kreatif dalam tanda kutip “kerjo dewe”, yo tak pikir akan menumpuk pengangguran intelektual. Makane aku pengen ketemu wong, ayok lah dek sapa, yok kita ngomong, tapi gak semua, Tapi yo harus dicatat, Tapi yo gak semua orang mampu melakukan hal ini, melakukan tantangan.” (PD)
Fokus pengembangan lembaga tersebut hanya di kota Surabaya. Mungkin bisa memberdayakan 1 kampung atau 1 RT dahulu. Kemudian membuat bagaimana mereka dapat sangat literate, di kawal terus hingga mereka konglomerat. Bagaimana membuat orang-orang itu literate, itu yang tidak mudah. “Jadi lek aku yo ngajak perang, dipukul mlayu, jadi kalau berhubungan dengan orang iku gak ketemu nalar. Kalo aku mending koe garapen suroboyo ae, duite soko aku , tapi satu kampung kecamatan itu, isok sangat literate, maju banget dengan dia kembangkan, kawal terus sampek konglomerat kabeh. Kui ae wes apik, 1 ae lo gapopo, 1 RT ae misale, tapi diwehi income, mungkin sekarang gaji pastinya, misal perbulan bisa sampek 500 juta. Akhire kan akan timbul persebaran. Gak mungkin lah sampek berhasil kita gak mikir duwit, trus kita gak diopeni... Cuman kita sudah bisa menberikan bukti ke masyarakat bahwa orang yang lierate memiliki kelebihan di banding dengan yang lain, itu butuh kerja keras. Sopok sing ditakoni,isok ngomong, ojo nang materi rek...”.(PD) “Soale ya itu tadi, dadi wong ngene yo kudu istiqomah. Itu jalanmu. Kamu berani berbeda, berarti kamu harus menentang. Tapi kamu harus berani mempertanggung jawabkan polah tingkahmu. Nek gak pengen yo iku ikuti arus, tapi nek gak pengen ya ojok ikuti arus. Onok carane iku. Aruse nek gede, kapalmu glempang. Diikuti aruse, tapi kamu bergeser pada jalan yang berlainan. Nek kowe mbuka tatap ngene yo ilang. Soalnya kamu akan merubah sistem. Jadi bisa dikatakan, menempel tapi tidak lekat. Nek lekat iku mancep. Jadi kayak teorine rel sepur nang Jepang. Karena mereka itu pake teorinya magnet. Gesekannya 0.” (PD)
III-76
BAB IV ANALISIS DAN INTERPRETASI TEORITIK
Pada penelitian ini mengkaji pemahaman tentang profesi pustakawan dengan menggunakan teori konstruksi sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Teori konstruksi sosial adalah sosiologi pengetahuan yang mengkaji terbentuknya realitas sosial sebagai hasil dari proses dialektis dengan meninjau tiga momen dialektis yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Proses dialektis ini berjalan secara terus menerus dan simultan karena interpretasi sosiologis disini melihat hubungan diantara ketiganya sebagai interaksi sosial yang menghasilkan pembaharuan atau modifikasi makna dengan pertukaran makna-makna subjektif yang beraneka ragam dan berlangsung terus menerus. Dalam konteks penelitian ini, pemahaman mengenai kontruksi sosial terhadap profesi pustakawan dilihat sebagai sebuah prorses dimana pustakawan dalam menginterpretasikan dan mengekspresikan profesi pustakawan. Pustakawan melakukan tindakan subyektif menggunakan stock of knowledge, melakukan interaksi intersubjektif dihadapkan dengan realita obyektif yang kemudian akan melakukan internalisasi atas apa yang didapatkan pemahaman awal dan kenyataan yang ada.
IV-1
Skema IV. 1 Proses Kontstruksi Sosial Peter L. Berger dalam Konteks Pemaknaan Profesi Pustakawan
Eksternalisasi : Pertimbangan pemilihan pendidikan perpustakaan formal/non formal dan profesi pustakawan Perbandingan Sosial, Self Enhanchement
Internalisasi : Mampu menginterpretasi dan mengekspresikan pemahaman tentang profesi pustakawan
Psikologi Gelstat Interaksionisme Simbolik, the looking glass self
Objektivasi : Individu mengungkapkan subyektivitas melalui aktivitas dalam realitas obyektif
IV.1 Proses Eksternalisasi : Sikap Pustakawan dalam Pelaksanaan Profesi Pustakawan Menurut Berger, eksternalisasi merupakan proses pencurahan kehadiran manusia secara terus menerus baik secara fisik maupun mental. Manusia akan secara terus menerus mencurahkan dirinya dalam menghasilkan tatanan sosial yang menjadi sebuah realitas yang terbentuk. Dalam konteks penelitian ini, seorang pustakawan merupakan individu yang membentuk sebuah tatanan sosial yang berupa realitas yaitu profesi pustakawan. Momen eksternalisasi profesi pustakawan ini dimulai sejak ia bersosialisasi dengan lingkungannya, biasanya dimulai sejak dia TK. Sejak saat itu, pustakawan mulai memberikan definisi
IV-2
kepada profesi pustakawan, apa yang dia pahami melalui proses belajar dan apa yang dipahami dari masyarakat luas. Eksternalisasi menjadi bagian penting dalam kehidupan individu dan menjadi bagian dari dunia sosiokultural. Eksternalisasi merupakan aktivitas manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya atau dapat disebut dengan proses penyesuaian diri. Manusia disini harus mampu menyesuaikan diri dengan dunia sosikultural sebagai produk manusia yang menjadi bagian dari sebuah masyarakat. Dalam proses ini, individu harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana mereka berada agar mampu diterima. Jika tidak mampu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, individu tersebut akan mendapatkan sanksi secara sosial seperti dikucilkan dari lingkungan dikarenakan dianggap aneh. Berdasarkan temuan data dalam penelitian ini, proses eksternalisasi pustakawan dalam pemilihan profesinya diawali ketika individu terlahir dan mulai mampu mencurahkan dirinya dalam masyarakat. Proses pemahaman awal pada individu tersebut akan terbentuk ketika melihat semua hal yang berkaitan dengan pustakawan dan perpustakaan yang ditemuinya. Pemahaman awal ini akan berlanjut secara terus menerus dan menjadi stock of knowledge yang nantinya akan berpengaruh ketika individu tersebut dihadapkan dengan realitas sosial seperti pemilihan jurusan dalam pendidikan tinggi yang nantinya akan menentukan profesi yang ditekuninya. Pemilihan jurusan pada pendidikan tinggi menjadi realitas sosial yang harus dihadapai pustakawan. Dalam momen ini mulai terjadi proses adaptasi. Adaptasi dilakukan pada awal masa menempuh pendidikan perpustakaan.
IV-3
Pustakawan akan mulai menyesuaikan diri dengan materi-materi yang didapatkan ketika menempuh pendidikan perpustakaan. Materi-materi ini mereka pahami sebagai gambaran awal tentang pekerjaan pustakawan. Dalam proses adaptasi, terdapat beberapa tipe penyikapan oleh pustakawan. Pertama, pustakawan yang menikmati materi-materi yang diberikan sebagai ilmu baru yang dapat diterapkan dalam pekerjaaannya ke depan. Kedua, berusaha
menerima
materi-materi
yang
disampaikan
sebagai
bentuk
tanggungjawab pendidikan dan bekal keahlian ketika selesai menempuh pendidikan perpustakaa, dan yang terakhir adalah pustakawan yang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk benar-benar menemukan passion dalam menekuni dunia kepustakawanan. Proses adaptasi akan berlanjut ketika di awal pustakawan mengambil keputusan untuk bekerja di bidang kepustakawanan setelah menyelesaikan pendidikan perpustakaan secara formal maupun nonformal yang diakui seperti, diklat kesetaraan dan kembali pada profesi dengan menyandang status sebagai pustakawan. Pada tahap ini, pustakawan mulai menyesuaikan diri dengan lingkungan obyektif dimana dia berada. Dari data hasil penelitian didapatkan bahwa tidak semua pustakawan memilih pendidikan perpustakaan atas kemauannya sendiri. Pengambilan keputusan untuk menempuh pendidikan perpustakaan didapatkan dari dominasi pandangan keluarga atau kerabatnya terkait prospek kerja setelah lulus. Hal ini diungkapkan oleh PE bahwa dia memilih jurusan perpustakaan karena rekomendasi teman kerja ibunya yang memiliki anak yang juga sedang menempuh pendidikan perpustakaan. Karena merasa memiliki tanggungjawab
IV-4
kepada orang tua untuk mematuhi perintahnya, dia akhirnya memilih pendidikan perpustakaan sebagai pilihan keduanya. Orang tua disini menjadi faktor yang sangat berperan dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini orang tua dapat dikatan sebagai significant other1, dimana persetujuannya sangat diharapkan untuk setiap langkah dan opini individu, orang yang tidak ingin dikecewakan dan memiliki arti khusus bagi individu. Lhoh justru kan saya direkomendasikan temennya ibu itu. Jadi ibu saya kan kerja di rumah sakit. Anaknya temennya itu kuliah di perpustakaan gitu. Akhirnya aku diarahkan kesitu. Yo weslah dituruti aelah. Jenenge ae omongane wong tuwo.(PE)
Sedangkan pada PC, dia memilih jurusan perpustakaan karena melihat saudaranya yang masuk jurusan perpustakaan dan setelah lulus langsung mendapatkan pekerjaan yang kemudian diangkat menjadi PNS. Meskipun awalnya belum tahu sama sekali tentang perpustakaan, karena di sekolanya dari SD hingga SMA tidak terdapat perpustakaan di sekolahnya. Pilihan memilih jurusan perpustakaan selain di latar belakangi dengan adanya contoh langsung dari orang terdekatnya, dia menganggap bahwa jurusan perpustakaan merupakan jurusan yang aman untuk masuk pergutuan tinggi negeri karena memiliki peluang yang cukup besar saat itu. Eksternalisasi pustakawan dalam pemilihan profesinya semula timbul berkaitan dengan masalah persepsi. Namun, tidak hanya cukup pada masalah persepsi saja, masalah kognisi (proses berpikir) juga menjadi faktor penting. Kajian psikologis dalam ranah studi sosiologi dirasa perlu untuk memperkaya
1
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/psikologi_umum2/bab4_sikap_manusia.pdf
IV-5
pengetahuan pustakawan dalam mempertimbangkan alasan mendasar untuk memilih profesi sebagai pustakawan. Dalam konteks ini, peneliti menggunakan psikologi gelstat. Psikologi gelstat ini semula timbul berkaitan dengan masalah persepsi. Dalam persepsi tersebut terdapat peran aktif dalam diri perseptor, yang berarti bahwa dalam individu mempersepsi sesuatu tidak hanya bergantung kepada stimulus obyektif saja, tetapi ada aktivitas individu untuk menentukan hasil persepsinya. Teori ini tidak hanya berfokus pada masalah persepsi saja, namun juga pada masalah kognisi (proses berpikir) secara umum, yaitu tentang bagaimana pemahaman seseorang atas pemahaman-pemahaman orang lain yang digabungkan dalam membentuk kesan secara keseluruhan. Fenomena koginitif ini tidak
secara
langsung diamati, melainkan disimpulkan dari apa yang dilakukan dan dikatakan oleh seseorang2. Proses berpikir (kognisi) pustakawan dalam pemilihan profesi pustakawan ini dimulai dengan berbagai pemahaman tentang pustakawan yang masih banyak dicari nantinya sebagai peluang kerja yang lebih baik. Selain itu, pustakawan menjadi sebuah profesi yang terjamin dengan adanya status Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pemahaman-pemahaman itulah yang selama ini lebih banyak berkembang dan mempengaruhi pustakawan untuk tetap bertahan atau memutuskan untuk memilih pendidikan perpustakaan. Pustakawan melakukan proses berpikir dengan menggabungkan berbagai pemahaman yang disampaikan oleh orang lain. Selain itu, pustakawan juga menggabungkan proses berpikir tersebut dengan apa yang didapatkan baik berupa
2
Tri Dayaksini Hudainah dalam Kartikasa,S.N.L.A.S. 2012. Op. Cit. Hal IV-3 – IV-4
IV-6
materi perkuliahan atau diklat, seminar-seminar, pelatihan-pelatihan maupun buku
yang
dibacanya
mampu
memberi
pemahaman
tentang
konteks
kepustakawanan. Status ekonomi juga menjadi pertimbangan dalam pandangan orang tua terhadap jurusan maupun status perguruan tinggi. Ada pustakawan yang awal memilih pendidikan perpustakaan memiliki sikap positif bukan terhadap jurusannya, namun pada status perguruan tingginya yang merupakan perguruan tinggi negeri. Dikarenakan biaya yang dikeluarkan di perguruan tinggi swasta akan lebih banyak dibadingkan dengan perguruan tinggi negeri. Proses eksternalisasi pada pustakawan juga dapat berlangsung dengan adanya contoh (role model) yang mampu memotivasinya untuk mengikuti atau meniru. Hal ini terjadi pada PB pada awal pemilihan kuliah. Dia tertarik dari awal masuk
pendidikan perpustakaan karena melihat tetangganya yang saat itu
memiliki status kepegawaian sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). PB berasal dari salah satu kabupaten di Jawa Timur. Jika di daerah pedesaan, menjadi PNS memiliki sebuah “prestise” tersendiri, karena ada jaminan sosial setelah purna tugas. Pendidikan memiliki pengaruh terhadap prospek kerja ke depannya. Dalan jenjang pustakawan, adanya peraturan jabatan fungsional pustakawan, dimana akan diakui sebagai pustakawan ketika ia telah menempuh pendidikan perpustakaan baik formal maupun nonformal. Oleh karena itu, ketika seseorang telah memilih pendidikan perpustakaan, profesi pustakawan menjadi profesi yang yang memiliki orientasi utama dari pendidikan perpustakaan, namun tidak mutlak..
IV-7
Pilihan bekerja sebagai pustakawan menjadi pilihan mayoritas ketika menyelesaikan pendidikan perpustakaan bagi sebagian besar informan. Hal ini dipengaruh oleh ilmu yang dia dapatkan selama menempuh pendidikan perpustakaan. Sebagaimana diungkapkan oleh PA dimana dia dari awal masuk jurusan perpustakaan telah memiliki gambaran akan bekerja di perpustakaan. Hal ini juga yang menyebabkan dia sempat merasa kurang nyaman ketika sempat bekerja di luar perpustakaan setelah selesai lulus dari pendidikan perpustakaan. Saya dulu mikirnya kalau di jurusan perpustakaan ya berarti kerjanya nanti di perpustakaan. Makanya ketika saya sempat bekerja di luar perpustakaan itu rasanya bagaimana gitu mbak. Jadi ilmu yang saya dapatkan selama kuliah tidak terpakai.(PA)
Trushtone dalam Hudainah menjelaskan bahwa sikap melibatkan satu aspek komponen yaitu komponen afeksi atau perasaan yang memiliki dua sifat yaitu positif (favorable) dan negatif (unfavorable)3. Hudainah lebih lanjut menjelaskan bahwa komponen afeksi ini lebih besifat evaluatif terhdadap kebudayaan atau sistem nilai pada dirinya4. Sikap reaksi positif akan cenderung mendekati atau menyenangi objek tertentu, sedangkan jika reaksi negatif akan cenderung menjauhi objek. Penjelasan teoritis tersebut memberikan gambaran struktur afeksi yang terjadi pada pustakawan dalam proses eksternalisasi ketika menjalani profesi sebagai pustakawan. Respon
negatif
terjadi
pada
pustakawan
ketika
memilih
jurusan
perpustakaan, akan berpengaruh kepada kondisi emosi dan motivasi pustakawan dalam menjalankan perkejaannya. Hal ini diungkapkan oleh PE dalam melaksanakan tugas yang menjadi beban tanggung jawabnya dalam mengurus 3 4
Ibid. Hal. IV-4 Loc. Cit.
IV-8
jabatan fungsional pustakawan. Rasa tidak nyaman itu muncul di awal dia menjalani profesi pustakawan. Alhamdulillah nyaman sih, cuman akhirnya pertama kali itu puegel. Kan tugasnya nambah kan ya. Kita kan harus bikin angka kredit, ya kan?(PE)
Di sisi lain dukungan dari keluarga, khususnya significant order seperti orang tua, istri, maupun anak memberikan motivasi tersendiri bagi pustakawan untuk tetap bertahan menjalani profesi pustakawan. Sikap sosial seseorang dapat terbentuk ketika terjadi interaksi sosial. Dalam interaksi sosial tidak hanya terjadi kontak atau hubungan sosial saja, namun terjadi saling mempengaruhi satu dengan lainnya agar terjadi timbal balik dan dapat mempengaruhi perilaku masing-masing individu. Dalam berinteraksi sosial membentuk pola sikap terhadap objek psikologi yang dihadapinya. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan sikap adalah
pengalaman
pribadi5. Pengalaman pribadi menjadi faktor yang penting dalam mempengaruhi pembentukan sikap pustakawan terhadap pemahaman profesi pustakawan yang sedang dijalaninya. Hal ini diungkapkan juga oleh PD. Dia memiliki pengalaman bekerja di berbagai perpustakaan sebelum bekerja di perpustakaan umum kota Surabaya, berbeda dengan temannya yang lain. Sebagian besar temannya memulai karier di perpustakaan umum kota Surabaya dari awal masuk kerja masih menjadi honorer hingga belasan tahun mengabdi baru diangkat menjadi PNS. Berbeda juga dengan PB yang memulai kariernya di bidang pendidikan yang terhitung cukup lama. 5
Azwar dalam http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/psikologi_umum2/bab4_sikap_manusia.pdf
IV-9
Iyaa, setelah lulus kuliah itu kerja di ITATS, terus ITS perkapalan, terus nang STIKOM. Terus rabi, bojoku mahasiswaku. Makane aku di perpustakaan itu dapat jodoh. Aku ngomong suk nek kene merid, aku tak metu teko kene, tak nggolek pekerjaan seng gak nang perpustakaan. Sempat kepikiran dalam tanda kutip, akhirnya muangkel murtad jadi pustakawan. Mari ngono onok PHK, terus onok lowongan PNS iku akhire dadi PNS iku mau. Dadi aku teko lulus sampe dadi PNS iku 11 tahun. Dadi nggak langsung dadi PNS. Dadi selama 11 tahun aku melalang buana, mencari jati diri. Jadi PNS nang kene kan rata-rata teko honorer, tapi aku gak. Jadi secara pengalaman wes sundul langit. Karena ya iku mau, pencarianku kan akeh. Kalo mereka kan tidak mengalami proses-proses itu, hanya menunggu saja. 11 tahun lho, kan yo suwi. Saya baru masuk sini umur 34 tahun. Jadi sangat muda.(PD)
Selain pengalaman dalam dunia pekerjaan, pembentukan pola sikap seseorang juga akan terbentuk dengan pengalaman keikutsertaan organisasi maupun komunitas baik kepustakawanan maupun non kepustakawanan yang didalamnya terdapat interaksi sosial yang mampu memberikan kesan terhadap individu tersebut.
IV.2 Objektivasi Makna Profesionalisme pada Pustakawan mengenai Profesinya Dalam momen objektivasi ini, masyarakat adalah produk manusia yang berakar dari proses eksternalisasi. Manusia berada di luar dirinya, dihadapkan pada fakta-fakta dari luar dirinya dalam realitas objektif. Pada penelitian ini, proses objektivasi dimulai ketika pustakawan telah menjalani profesinya sebagai pustakawan di sebuah lembaga atau instansi perpustakaan maupun dokumentasi lainnya. Pustakawan dihadapakan dengan berbagai fakta-fakta di luar pemahaman dirinya. Profesi pustakawan inilah yang menjadi sebuah realitas objektif.
IV-10
Pengetahuan dan pengalaman yang didapatkan pada masa lalu mengenai profesi pustakawan menjadi bahan dalam melakukan komunikasi pustakawan satu dengan yang lainnya. Pengetahuan dan pengalaman ini lebih difokuskan pada bahasan tentang profesionalisme pustakawan. Sebagai pustakawan yang memiliki jabatan sebagai jabatan fungsional pustakawan, tentunya akan lebih aware dengan hal ini. Dari hasil penelitian, antar pustakawan jarang melakukan komunikasi secara langsung. Jabatan fungsional pustakawan pada perpustakaan umum kota Surabaya ini termasuk sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah pegawai non pustakawan. Mereka pernah membuat sebuah forum diskusi terbatas pada pustakawan saja untuk pembahasan hal-hal yang diperlukan dalam peningkatan kemampuan diri baik secara administrative maupun secara keilmuan. Namun, forum ini tidak berjalan lama dan saat ini sudah tidak berjalan lagi. Selain melalui forum, para pustakawan melakukan komunikasi dengan sesame pustakawan lainnya ketika mengurus administrasi DUPAK untuk kenaikan angka kredit profesinya. Mereka saling berkoordinasi karena tidak adanya penanganan yang jelas dari pihak kepegawaian kantornyang memang seharusnya mengurus hal tesebut. Selain itu, mereka lebih sering berkomunikasi dengan rekan kerjanya yang se bidang. Pengetahuan yang dikomunikasikan sesama pustakawan lebih banyak terkait dengan tuntutan jabatan fungsional sebagai pustakawan. Sedangkan jika berkomunikasi dengan sesama rekan kerja yang non pustakawan, lebih banyak membahasa tentang tugas atau pekerjaannya yang menjadi tanggung jawab
IV-11
masing-masing pegawai sebagai media sharing untuk menyelesaikan masalah pekerjaan yang mungkin terjadi. Pengetahuan mengenai profesi pustakawan
sebagai realitas obyektif
didapatkan pustakawan dari pendidikan perpustakaan baik formal maupun non formal, keikutsertaan dalam berbagai seminar, pelatihan, workshop maupun kegiatan lainnya yang bertemakan perpustakaan dan kepustakawanan baik ketika belum berprofesi sebagai pustakawan maupun setelah berprofesi sebagai pustakawan. Pada momen objektivasi produk sosial terjadi dalam dunia intersubyektif, dimana terjadi interaksi antar individu yang melibatkan pertukaran pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Proses ini dapat dipahami sebagai sebuah mekanisme pengungkapan diri seseorang. Wrightsman dalam, Hudainah mengungkapkan bahwa pengungkapan diri atau self disclousure adalah proses menghadirkan diri yang diwujudkan dengan membagi perasaan dan informasi kepada orang lain. Informasi pada pengungkapan diri ini dapat bersifat deskriptif maupun evaluatif. Informasi deskriptif berupa informasi-informasi mengenai diri sendiri yang belum diketahui oleh orang lain, seperti alamat, asal, usia. Sedangkan yang bersifat evaluatif dalam bentuk pengungkapan pendapat pribadinya seperti hal yang disukai dan tidak disukai. Pengungkapan deskripstif oleh pustawakan dapat berupa pengungkapan identitasnya dalam pekerjaan ketika berinteraksi dengan orang lain. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar pustakawan enggan memperkenalkan diri sebagai pustakawan ketika berada forum umum baik forum dinas maupun forum yang lain. Salah satu informan mengungkapkan bahwa ada sesuatu beban
IV-12
ketika memperkenalkan diri dengan menyebutkan identitas sebagai pustakawan khususnya di forum dinas. Hal ini dikarenakan masih adanya anggapan “ekslusif” pada jabatan fungsional pustakawan. Anggapan “ekslusif” ini didasarkan pada urusan adminsitrasi yang dinilai ribet sehingga jarang pegawai perpustakaan yang bersedia mengurus jabatannya. Menyebutkan sebagai pegawai di perpustakaan daerah dirasa lebih “prestise” dibandingkan dengan menyebutkan diri sebagai pustakawan. Salah satu pustakawan mengungkapkan rasa kebanggan atau self esteem lebih tinggi ketika memperkenalkan diri sebagai “pegawai perpustakaan umum kota Surabaya” dibandingkan menyebutkan dirinya sebagai pustakawan. Hal ini dikarenakan dia lebih merasa bangga dan dihargai karena lembaganya telah banyak mendapatkan berbagai penghargaan dan lebih dikenal masyarakat luas. Namun, hal tersebut berbeda dengan salah satu pustakawan yang merasa bangga menjadi seorang pustakawan. Ketika forum umumpun dia memperkenalkan diri sebagai pustakawan. Pengungkapan evaluatif diungkapkan dalam pengungkapan pendapat hal pribadinya. Kedalaman pengungkapan diri akan sangat bergantung kepada situasi dan orang yang diajak berinteraksi. Kedalaman pengungkapan diri tergantung pada situasi dan orang yang diajak untuk berinteraksi. Collins dan Miller dalam Taylor mengungkapkan bahwa rasa suka dan pengungkapan diri cenderung beriringan seperti yang ditunjukkan dalam meta-analisis terhadap banyak studi pengungkapan diri. Rasa suka menjadi penyebab penting dalam pengungkapan diri. Kita akan cenderung bercerita lebiha banyak kepada orang yang kita sukai dan kita percaya dibandingkan dengan orang yang masih asing atau tidak disukai
IV-13
6
. Hal tersebut juga ditemukan dalam hasil penelitian. PA akan lebih senang
bercerita dan bekerja sama dengan PE karena dia merasa nyaman dengan PE. Selain itu, PA dan PE dapat dikatakan sebagai teman seperjuangan ketika memulai kariernya di perpustakaan umum kota Surabaya. Bahkan mereka merupakan orang di perpustakaan kota yang pertama kali mengurus jabatan fungsional. Sehingga baik PA dan PE lebih banyak berkomunikasi dan mengungkapkan diri dibandingkan dengan pegawai lainnya. Namun hal tersebut berbeda dengan PD yang merasa tidak sepaham dengan rekan kerja sesama pustakawan lainnya di dalam instansinya bekerja. Sehingga PDpun jarang berkomunikasi dengan yang lain, apalagi yang berhubungan dengan bertukar ide atau pendapat terkait pengembangan profesi pustakawan. Dari hasil temuan data didapatkan bahwa realitas obyektif yang ditemui adalah kurangnya perhatian pimpinan terhadap pustakawan. Hal ini dibuktikan dengan untuk pengurusan administrasi angka kredit, mereka harus berusaha sendiri. Karena pihak kantor khususnya bidang kepegawaian tidak mengetahui mekanisme pengurusannya. Sehingga hal ini dirasakan oleh pustakawan sebagai suatu bentuk tidak perhatiannya pimpinan terhadap pustakawan. PA dan PE mengungkapkan bahwa mendaftar jabatan fungsional awalnya keterpaksaan karena perintah pimpinan saat itu. Dikarenakan adanya jabatan fungsional biasanya disyaratkan untuk berbagai event lomba perpustakaan.
6
Selley E. Taylor, dkk. 2009. Psikologi Sosial Edisi 12. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Hal. 335
IV-14
Pustakawan lebih banyak dipandang dari jabatan fungsionalnya, bukan dari kemampuannya sebagai pustakawan. Hal ini banyak diperbincangkan baik pustakawan itu sendiri maupun rekan kerjanya non pustakawan. Profesi pustakawan lebih cenderung terlihat “eksklusif”. Dari temuan data, didapatkan bahwa pustakawan dianggap lebih mengerti dan tahu segalanya tentang ilmu perpustakaan di kalangan para pegawai perpustakaan. PA mengungkapkan bahwa jarang dikirim untuk mengikuti seminar maupun pelatihan karena dirasa pustakawan telah memiliki ilmunya. Padahal ilmu perpustakaan selalu berkembang sehingga pustakawan harus selalu mengupgrade kemampuan dengan mengikuti berbagai pertemuan kepustakawanan. Hal ini berbeda dengan yang dirasakan oleh PB. Dia merasa cukup menguasai ilmu perpustakaan hanya dengan menempuh pendidikan perpustakaan. Realitas obyektif lain, kurang adanya perhatian dari pemerintah untuk pustakawan. Hal ini terlihat dari formasi rekruitmen pada pemerintah kota Surabaya masih sangat minim. PB mengungkapkan, setiap tahunnya hanya dibuka 1 orang. Jika dibandingkan dengan jumlah masyarakatnya atau jumlah formasi pegawai lainnya, jumlah tersebut sangat sedikit. Bahkan PB mengungkapkan, terkadang tidak ada rekruitmen untuk pustakawan. Cahrles Cooley mendefinisikan konsep looking glass self, dimana konsep cermin diri sebagai imajinasi yang agak definitif mengenai bagaimana diri seseorang yang muncul dalam pikirannya yang ditentukan oleh sikap terhadap hubungan pikiran dan perasaan orang lain7. Menanggapi berbagai realitas obyektif
7
George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2005. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana. Hal. 295
IV-15
yang telah dijelaskan diatas, pustakawan dapat membuat sebuah imajinasi tentang dirinya terhadap pemahaman-pemahaman orang lain. Dari hasil temuan data, didapatkan bahwa sebagian pustakawan menanggapi dengan tetap bekerja sesuai dengan apa yang diperintahkan atau yang telah menjadi kewajibannya. PA mengungkapkan bahwa tidak begitu menanggapi, dia tetap bekerja sesuai dengan tugasnya. Karena dia tidak ingin mencari permasalahan di pekerjaannya yang akan menimbulkan berbagai resiko. Hal ini berbeda dengan tanggapan PD, dia tidak mempedulikan apa anggapan orang lain terhadap profesi pustakawan. Bagi dia yang terpenting adalah membuktikan bahwa pustakawan menguasai banyak ilmu sehingga dapat diajak berdiskusi dalam berbagai ranah bidang ilmu. Saatnya pustakawan masuk ke dalam masyarakat dan membuktikan bahwa ilmu yang dimiliki akan sangat bermanfaat bagi masyarakat. Pengalaman yang berkaitan dengan interaksi dengan orang lain menjadi sebuah cerminan diri pustakawan dalam melihat profesinya. Berdasarkan yang telah diuraikan di atas, PA merasa dalam lingkungan kerjanya dia dianggap yang paling tahu segalanya, sehingga ide dan gagasan dia dan teman-teman pustakawan yang ditunggu. Namun dia mengeluhkan tidak pernah difasilitasi untuk mengembangkan ilmunya.
Selain itu, kurangnya perhatian pimpinan terhadap
pustakawan, sehingga pustakawan terkendala dengan pengurusan DUPAK yang harus ditangani sendiri. Sebagai sebuah profesi, pustakawan memiliki dsasar dalam pelaksaan kerjanya yang disebut sebagai kode etik profesi pustakawan. Hal ini dijelaskan oleh Mc. Garry dalam Hermawan dan Zen yang menjelaskan 5 persyaratan dan
IV-16
kelengkapan suatu profesi, diantaranya adalah memiliki ketrampilang khusus, memiliki organisasi profesi, memiliki kode etik profesi untuk mengatur perilaku yang berdasarka atas dua loyalitas kepada tugas pokok dan kliennya, memiliki dedikasi antar anggota dalam meningkatkan profesi dan pendidikan, dalam pelaksanaan tugasnya mengutamakan kesejateraan umum8. Dari poin-poin yang telah dijelaskan diatas, salah satu syaratnya adalah memiliki kode etik profesi. Pustakawan memiliki kode etik profesi. Dari temuan data menunjukkan bahwa sebagian besar pustakawan mengetahui jika profesi mereka memiliki kode etik. Namun sebagian besar mereka mengungkapkan bahwa tidak mengetahui isinya dan tidak menjadikan sebagai pedoman dalam melaksanakan tugasnya sebagai pustakawan. Menurut Berger dan Luckmann, masyarakat sebagai kenyataan obyektif terjadi melalui pelembagaan dan legitimasi. Dalam pelembagaan terjadi aktivitasaktivitas yang dilakukan oleh indvidu dalam membangun dunianya sendiri. Proses pelembagaan didahului dengan proses pembiasaan (habitualisasi)9. Setiap tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang akan membentuk suatu pola, dan akan terulang lagi di masa yang akan datang dengan cara yang sama. Hal ini dialami oleh pustakawan ketika menjalani profesinya. Dari data temuan didapatkan bahwa pola pembiasaan dimulai dari pustakawan masih kuliah. Keaktifan dan keikutsertaan pustakawan dalam organisasi akan berulang lagi ketika pustakawan telah menjalani profesinya. PA, PC, dan PE dulu sewaktu kuliah tidak terlalu terlibat aktif dalam organisasi. PA sempat ikut aktif di organisasi minat dan bakat di bidang bela diri. Hal ini akan berpengaruh ketika 8 9
Hermawan dan Zen. Ibid. Hal. 65. Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam I. B. Putera Manuaba. Hal 224
IV-17
pustakawan menjalani profesinya. Ketiga informan ini kurang begitu aktif dalam organisasi kepustakawan maupun non kepustakawanan. Hal tersebut berbeda dengan dua informan lainnya yang aktif di berbagai organisasi kepemimpinan selama kuliah. Sehingga hal ini membentuk pola pembiasaan bagi mereka. Mereka saat ini juga aktif di berbagai organisasi baik kepustakawanan maupun non kepustakawanan. Pola pembiasan yang lain juga dialami oleh PB. Selama sekolah, kuliah bahkan ketika menjabata sebagai guru, dia termasuk orang yang paling unggul. Hal ini juga terulang kembali ketika dia menjadi pustakawan. Dia selalu aktif untuk ikut berperan serta dalam berbagai hal untuk kemauan perpustakaan. Pelembagaan juga dapat berupa aktivitas-aktivitas dalam pekerjaannya yang dilakukan setiap hari. Pustakawan akan melakukan hal yang sama setiap harinya sesuai dengan tugas yang dibebankan kepadanya. Selain itu, pengurusan administrasi DUPAK juga menjadi suatu kelembagaan yang berawal dari tuntutan yang berasal dari pembiasaan. Setelah melalui pelembagaan, proses selanjutnya adalah legitimasi. Legitimasi disini bertujuan untuk membuat kelembagaan yang sebelumnya terjadi menjadi sesuatu yang obyektif dan dapat diterima secara subyektif. Dalam legitimasi ini juga termasuk di dalamnya interaksi antara yang dilakukan pustakawan baik dengan rekan kerjanya maupun dengan masyarakat. Legitimasi yang terbentuk dari proses kelembagaan yang telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa pustakawan yang aktif di organisasi akan memiliki jaringan dan memiliki upaya untuk pengembangan kemampuan diri sendiri maupun untuk pengembangan tempat dimana dia bekerja. Hal ini berbeda dengan
IV-18
pustakawan yang kurang aktif di organisasi, mereka berfokus pada penyelesaian tanggung jawab pekerjaan dan amanah di keluarga. Pengurusan angka kredit dalam DUPAK juga menjadi suatu kelembagaan bagi seorang pustakawan. Dari hasil temuan data, sebagian besar pustakawan mengungkapkan bahwa pengurusan DUPAK yang telah dinilai ribet dan terlalu birokratis menjadi sebuah “momok” di kalangan pustakawan maupun non pustakawan di dalam instansi tersebut. Hal ini juga diungkapkan oleh Blasius bahwa tidak banyak dari kita yang pertama kali masuk PNS bercita-cita menjadi pustakawan. Pada hakekatnya jabatan fungsional ini diperlukan oleh sebagian PNS. Sayang pihak yang telah menjabat sebagai JFP belum sepenuhnya mensyukuri apa yang sudah ada. Keluhan sering diungkapkan dengan berbagai variasi mulai dari kecinya angka kredit sampai kecilnya tunjangan JFP10. Sehingga legitimasi yang dihasilkan adalah pustakawan lebih banyak berfokus pada pemenuhan angka kredit pada DUPAK. PD pernah mengungkapkan bahwa DUPAK menjadi penghambat dalam pekerjaannya. Dalam proses legitimasi inilah pustakawan akan mampu menempatkan dirinya di dalam masyarakat. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa dalam proses legitimasi, pustakawan di awal menempuh pendidikan perpustakaan dari struktur afeksi yang cenderung negatif akan membutuhkan masa adaptasi untuk
menyesuaikan
keilmuan di pendidikan perpustakaan dengan passionnya. Hal ini terjadi pada PD yang mengungkapkan bahwa membutuhkan waktu 1 tahun untuk benar-benar menemukan passion di bidang perpustakaan. Hal ini berdampak pada pelaksanaan kerja sebagai pustakawan dimana PD lebih melihat profesi pustakawan sebagai
10
Blasius Sudarsono. Ibid. Hal. 75
IV-19
profesi yang bermanfaat bagi masyarakat dan tidak “terkungkung” dalam ruangan-ruangan saja. Hal tersebut akan berbeda dengan pustakawan yang dari struktur afeksi negatif dan berusaha menerima materi tentang perpustakaan tanpa benar-benar mencari passionnya di bidang perpustakaan. Dalam pelaksanaan kerjanya sebagai pustakawan, mereka cenderung menyelesaikan tugas-tugas administratif saja yang menjadi tanggung jawabnya atas pekerjaan. Sedangkan pustakawan yang memilih pendidikan perpustakaan dari afeksi positif cenderung merasa cukup dengan ilmu yang didapatkan untuk diimplemetasikan dalam pekerjaannya. Dia melihat dari sisi pengembangan ilmu perpustakaan untuk bidang ilmu lainnya yang diminati. Keseluruhan proses yang dijelaskan di atas menunjukkan bahwa profesi pusakawan sebagai sebuah masyarajat dipahami sebagai kenyataan obyektif. Namun dalam waktu yang bersamaan, profesi pustakawan dipahami juga sebagai kenyataan subyektif dalam momen internalisasi.
IV.3 Internalisasi : Keterkaitan Pemahaman Pustakawan tentang Profesinya terhadap Pengimplementasian Kerja Sehari-hari Internalisasi merupakan proses memahami profesi pustakawan sebagai kenyataan subyektif. Pada momen ini, pustakawan melakukan identifikasi dari berbagai proses yang telah dilaluinya dan dari berbagai lembaga sosial dimana dia menjadi
anggotanya.
Pustakawan
melakukan
peresapan
kembali
dan
mentransformasikan kembali struktur-struktur dunia obyektif ke dalam kesadaran subyektif.
IV-20
Pada
proses internalisasi ini, pustakawan mulai mampu melakukan
penilaian terhadap profesinya. Penilaian awal dapat berupa kenyamanan dalam menjalani profesi sebagai pustakawan. Dari berbagai kenyataan yang dihadapi selama menjadi pustakawan, dia akan melakukan konfirmasi terhadap apa yang menjadi pengetahuannya di awal (stock of knowledge). Dari hasil temuan data didapatkan bahwa sebagian besar pustakawan telah merasa nyaman berprofesi sebagai pustakawan. Tiga informan menjelaskan bahwa tidak ada pilihan lain selain menjadi pustakawan, karena merasa background pendidikannya adalah ilmu perpustakaan. PC mengungkapkan bahwa tidak mungkin untuk melirik profesi lain, karena tidak memiliki ilmunya. Salah satu hal yang membuat dia nyaman menjadi pustakawan karena telah diakui sebagai PNS, meskipun dirasa tugas sebagai pustakawan itu berat dan ribet. Berbeda halnya dengan PB. Awalnya dia tidak berasal dari background perpustakaan. Menjadi pustakawan bukan menjadi pilihannya di awal, namun karena semangat beliau belajar ilmu perpustakaan dengan mengikuti diklat kesetaraan membuat dia mulai menikmati profesinya sebagai pustakawan. Namun hal yang berbeda ditemui pada PD. Dia merasa belum nyaman dan puas dengan profesi sebagai pustakawan. Jika dilihat, dia orang yang memiliki passion di dunia kepustakawanan. Dia menjelaskan bahwa ketidaknyamanan dan ketidak puasan ini terjadi karena dia merasa belum melakukan apapun untuk dunia kepustakawanan. Saat ini dia sedang berporses dan berusaha untuk hal tersebut. Bahkan dia memiliki gagasan untuk menghapuskan kementerian kesejateraan sosial dan diganti dengan kementerian pencerdasan sosial yang di dalamnya terlibat ANRI, PERPUSNAS, dan KEMENRISTEK. Karena dia memiliki
IV-21
gagasan bahwa orang yang sejatera belum tentu cerdas, namun orang yang cerdas pasti akan sejahtera. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa materi-materi yang diberikan waktu menempuh pendidikan perpustakaan tidak sesuai dengan pelaksanaan kerja yang dijalani saat ini. Dari seluruh informan mengaku bahwa materi-materi yang diberikan lebih mengarah ke hal-hal yang bersifat teknis. Sedangkan dalam realita obyektifnya, tugas pustakawan tidak hanya mengenai hal-hal yang bersifat teknis seperti klasifikasi, katalogisasi, dan lain sebagainya. PD mengungkapkan bahwa dia lebih menyukai belajar dengan buku langsung daripada harus mengikuti perkualiahan. Begitu juga dengan seminar atau pelatihan yang pernah diikuti oleh pustakawan. Materi yang disampaikan lebih banyak bersifat teknis dan aplikatif. PC lebih menyukai hal-hal yang bersifat filosofi sehingga mampu menmberikan ruang untuk berpikir dalam pengembangan ilmu. Berbeda halnya dengan PC, dia menganggap dengan mengikuti seminar atau pelatihan selain untuk menambah ilmu di bidang kepustakawanan juga untuk menambah angka kredit dalam pengurusan DUPAK. Karena dalam perhitungan angka kredit, keikutsertaan seminar maupun pelatihan mendapat poin tersendiri dan terhitung cukup tinggi dibandingkan dengan kegiatan kepustakawanan lainnya. Sebagai
PNS,
jenjang
karier
pustakawan
dianggap
lebih
enak
dibandingkan dengan pegawai PNS pada umumnya. Pegawai PNS jabatan fungsional pustakawan akan mengalami kenaikan pangkat selama 2 tahun sekali, berbeda dengan PNS pada umumnya yang mengalami kenaikan pangkat 4 tahun
IV-22
sekali. Selain itu, JFP akan menerima tunjangan atas keprofesionalannya setiap bulannya. Festinger menegaskan bahwa orang cenderunga membandingkan dirinya dengan orang lain yang setara atau sama. Dalam istilah teknisnya adalah perbandingan berdasarkan related-attributes similarity (kesamaan yang terkait). Basis kesamaan ini bukanlah presetasi, namun latar belakang atau kesiapan, sebagai atribut yang berkaitan dengan kinerja atau prestasi11. Dalam
temuan
data
ini
didapatakan
bahwa
pustakawan
sering
membandingkan diri dengan jabatan PNS umumnya. Menurut mereka, tunjangan yang diberikan untuk JFP tidak sebanding dengan apa yang dilakukan untuk mengurus administrasi DUPAK. Hal ini seringkali membuat pustakawan membandingkan dirinya dengan rekan kerjanya yang pegawai PNS non pustakawan. Mereka menganggap setara dengan pegawai PNS lainnya, karena pengorbanan dan apa yang didapatkan tidak sebanding. Proses perbandingan sosial ini sangat berpengaruh terhadap cara kita memandang diri sendiri. Dari perbandingan sosial ini akan mampu mempengaruhi evaluasi diri, perasaan dan respons terhadap orang lain. Selain itu juga dapat menaikkan rasa percaya diri dan menimbulkan motivasi atau bahkan dapat menyebabkan patah semangat dan merasa kurang mampu12. Pada temuan data ini, didapatkan bahwa perbandingan sosial yang dilakukan dengan membandingkan diirnya dengan pegawai PNS lainnya lebih banyak berdampak pada kurangnya motivasi pustakawan untuk berkembang sesuai dengan perannya. Mereka cenderung lebih merasa banyak kerja keras 11 12
Shelley Taylor, dkk. Op. Cit. Hal. 152 Loc. Cit.
IV-23
dalam memenuhi angka kredit, namun tunjangannya tidak sebanding. Seringkali hal ini membuat iri dirinya dengan temannya, karena ada juga informan yang mengaku mengurus jabatan fungsional pustakawan karena dipaksa dan bukan atas kemauan sendiri. Hal tersebut juga berdampak pada pegawai PNS lain yang memiliki background pendidikan perpustakaan enggan mengurus JFP. Jika ditinjau dari proses objektivasi, perbedaan proses didalamnya akan menghasilkan proses internalisasi yang berbeda. Pustakawan yang aktif mengikuti berbagai organisasi khususnya sosial kemasyarakatan dan banyak berjejaring dengan berbagai komunitas memiliki kesadaran yang lebih tinggi untuk memahami profesionalisme seorang pustakawan itu dinilai dengan kedekatan dan keberhasilannya dalam memberdayakan masyarakat dengan ilmu yang dimiliki. Begitu jua dengan pustakawan yang aktif dalam organisasi kepemimpinan, dia akan terbentuka menjadi pustakawan yang menyukai tantangan dan vokal dalam berbagai bidang untuk memajukan instansi tempat dia bekerja dan untuk pengembangan kapasitas diri. Hal ini akan sangat berbeda dengan pustakawan yang tidak melibatkan dirinya dalam organisasi kepustakawanan maupun non kepustakawanan secara aktif. Mereka akan lebih cenderung mengerjakan hal-hal yang sifatnya administratif sesuai dengan apa yang menjadi tugas pekerjaannya. Berbagai
pemahaman
tentang
profesi
pustakawan
dipahami
oleh
pustakawan sebagai proses internalisasi. Dari hasil temuan data didapatkan bahwa terdapat pustakawan menganggap profesi pustakawan layaknya pekerjaan pada umumnya. Dipahami sebagai suatu tanggung jawab makhluk sosial dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam pelaksaan kerjanya, cenderung bekerja sesuai denga rules yang berlaku pada instansi pemerintahan. Lebih
IV-24
cenderung menerima setiap keputusan pimpinan tanpa melakukan advokasi terhadap dirinya sendiri untuk tetap berada kondisi nyaman.
IV. 4. Pengelompokkan Proses Konstruksi Sosial Penjiwaan Pustakawan terhadap Profesi Pustakawan Dari hasil penelitian, peneliti mengklasifikasikan beberapa tipe dari pustakawan dalam melakukan kosntruksi sosial terkait jati diri profesi pustakawan. 1.
Administrative Librarianship Pustakawan disini bekerja pada tataran admistrasi pekerjaan yang menjadi
tanggung jawabnya. Riant Nugroho menjelaskan bahwa terkait implementasi kebijakan yang dilaksanakan secara administratif dilakukan sesuai dengan peraturan birokrasi pemerintahan yang berlaku13. Hal ini sesuai dengan tipe pustakawan pada admistrasi ini. Mereka menjalankan pekerjaan sesuai dengan tugas-tugas yang telah dibebankan kepada mereka sesuai dengan birokrasi pemerintahan yang berlaku. Jika dirunut dari proses ekstrenalisasi yang dialami, pustakawan tipe ini awalnya memilih jurusan merupakan rekomendasi dari keluarga maupun kerabat. Dalam perjalanannya, mereka menyesuaikan diri dengan berbagai materi perpustakaan tanpa mencari passionnya dalam ilmu perpustakaan. Mindset setelah lulus yang terbentuk setelah lulus akan bekerja sebagai pustakawan atau bekerja di perpustakaan. Hal ini dikarenakan dari awal pemilihan bidang pendidikan yang akan ditempuh berorientasi pada prospek kerja ke depan dan menjadi pustakawan
13
Riant Nugroho. 2011. Public Policy. Jakarta : Elex Media Komputindo. Hal. 136
IV-25
saat itu lebih banyak di cari sehingga ketika lulus akan lebih mudah terserap dalam pekerjaan. Pada proses objektivasi, pustakawan dihadapkan dengan jabatan fungsional pustakawan yang dinilai cukup ruwet dan birokratis. Berbagai keluhan tentang pengurusan administrasi DUPAK yang tidak sebanding dengan tunjangan menjadi bahasan sehari-hari antar pustakawan maupun pegawai lainnya. Akhirnya melakukan pekerjaan dengan orientasi mengumpulkan angka kredit menjadi hal biasa. Dari kedua momen tersebut kita masuk pada momen internalisasi dimana seorang pustakawan telah mampu memahami profesionalisme pustakawan secara utuh yang didapatkan dari pengetahuan dasar (stock of knowledge) dengan kenyataan obyektif yang dihadapi. Pustakawan dipahami sebagai salah satu bentuk tanggung jawab sebagai makhluk sosial dengan menjadi tanggung jawab untuk keluarga. Mematuhi peraturan sistem yang berlaku di instansi tempat bekerja dan cenderung menerima segalanya tanpa ada advokasi terhadap hak dan wewenang sebagai pustakawan. Merasa cukup puas dengan statusnya saat ini sebagai pustakawan yang PNS dengan adanya jaminan sosial di hari tua. 2. Actualization Librarianship Pustakawan ini memiliki prinsip untuk selalu unggul dalam bidang yang dijalaninya. Termasuk ketika menjadi pustakawa. Dapat dikatakan pustakawan ini memiliki self enhancement (merasa diri lebih baik) yang cukup tinggi. Untuk
IV-26
memenuhi kebutuhan self enhancement ini adalah menganut persepsi diri spesifik yang positif meskipun hanya semu dan agak berlebihan14. Dalam self enhancement, menurut Taylor dan Brown menyebutnya sebagai positive illusion (ilusi positif). Ada tiga tipe ilusi positif adalah memandang dirinya lebih positif dibandingkan dengan sesungguhnya, merasa lebih banyak control peristiwa di sekitarnya, optimis secara realistis terhadapa masa depannya15. Dalam konteks ini, pustawakan cenderung berorientasi pada peningkatan diri sendiri. Pada momen objektivasi, kelembagaan yang terbentuk adalah menjadi yang paling unggul dimanapun berada. Sehingga salah satu faktor yang melatarbelakangi dia masuk pendidikan perpustakaan karena dia ingin mengusasi ilmu dimana saat ini dia berada dan mampu mengembangkannya untuk menambah pengetahuan diri. Sikap merasa diri lebih baik akan mendorong motivasi untuk menjalankan tugas yang lebih produktif dan kreatif dan mampu menjalin relasi lebih baik16. Hal ini juga terbukti pada pustakawan ini yang memiliki track record aktif dalam kegiatan pengembangan perpustakaan secara formal dan kedinasan, selan itu juga mampu menjalin relasi dengan banyak pihak yang berkaitan dengan bidang perpustakaan. 3. Society Oriented Profesionalisme Tipe yang ketiga ini merupakan pustakawan yang memiliki passion tinggi di bidang kepustakawanan. Baginya profesi pustakawan merupakan profesi luar biasa. Pustawakan sebagai profesi tidak hanya bertanggung jawab terhadap 14
Shelley F. Taylor. Op. Cit. 142 Loc. Cit. 16 Ibid.Hal. 143. 15
IV-27
rutinitas pekerjaan di kantor saja, namun lebih dari itu, pustakawan juga memiliki tanggung jawab sosial untuk memberdayakan masyarakat. Pustakawan ini dulunya masuk jurusan perpustakaan juga bukan karena kemauan pribadi. Sama seperti sebagian besar pustakawan yang menjadi informan. Namun yang membedakan disini dalam proses perkuliahan, selama 1 tahun dia mulai mencari passionnya di bidang perpustakaan. Karena dia sangat dekat dengan buku, bahkan sejak kecil dia sudah dikenalkan buku oleh orang tuanya. Hal inilah yang menjadi salah satu motivasinya untuk tetap bertahan menjadi pustakawan. Selama menjadi pustakawanpun, dia mencari banyak pengalaman. Sebelum menjadi PNS, dia bekerja di berbagai lembaga perpustakaan, dokumentasi dan arisp. Keaktifan mengikuti berbagai organisasi menjadi nilai tambah dia. Selain itu, kesenangan untuk berdisukusi tentang segala macam ilmu, sehingga baginya pustakawan harus menguasai semua ilmu tetapi tidak mendalam. Menurut Sudarsono, professional adalah orang yang berkarya (tidak hanya sekedar bekerja) dengan menerapkan ilmu pengetahuan yang mendasari karyaannya17. Hal ini juga diungkapkan oleh pustakawan ini dalam menceritakan mimpinya. Beliau memiliki mimpi besar untuk membuat taman baca masyarakat dari buku-buku yang dia koleksi dari kecil. Kebanggaan tersendirinya baginya ketika buku-buku yang dia sukai mampu bermanfaat bagi orang lain. Selain itu, dia ingin memiliki sebuah lembaga independent yang bergerak di bidang kepustakawanan, dengan berbagai bidang di dalamnya termasuk penelitian dan pengabdian masyarakat. Dia ingin membuat sebuah pilot proect daerah di
17
Blasius Sudarsono. Op. Cit. Hal. 75
IV-28
Surabaya yang mampu di berdayakan dengan pendekatan keilmuan perpustakaan. Inilah jalannya untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa ilmu perpustakaan sangat bermanfaat bagi masyarakat dan tidak ada lagi stigma miring tentang profesi pustakawan. Sudarsono lebih senang meninjau pustakawan dari segi kepribadian atau pribadi dengan berpedoman pada Drikarya yang diimplementasikan pada fenomena pustakawan, sebagai berikut18: 1. Pustakawan agar benar-benar menjadi pustakawan harus menjadi dan memiliki kepustakawanan 2. Pustakawan yang tidak menjadi dan memiliki kepustakawanan itu merupakan pustakawan yang terjerumus, pustakawan yang tidak setia terhadap Tuhan, terhadap masyarakat dan dirinya sendiri, pustakawan yang kehilangan kehormanatannya 3. Kepustakawanan adalah perkembangan dari pustakawan. Perkembangan yang sedemikian rupa sehingga pustakawan benar-benar menjalankan kedaulatan dan kewenangan atas dirinya sendiri. Benar-benar menjadi dan memiliki kepustakawanan. Saat ini, pustakawan tidak hanya cukup memiliki ketrampilan katalogisasi dan klasifikasi saja. Tidak terbatas itu, pustakawan juga harus memiliki kemampuan public speaking dan kekuatan jaringan. PD juga mengungkapkan bahwa ilmu perpustakaan ini juga bisa menghasilkan uang jika kita fokus dan mau mengembangkan.
Hal
ini
didukung
oleh
pendapat
menngungkapkan bahwa kemampuan tidak hanya terbatas
18
Ibid. 76
IV-29
Sudarsono
yang
ketrampilan dan
keahlian seperti yang ditetapkan oleh MENPAN. Kemampuan pustakawan untuk hidup sejahtera berkaitan dengan hidup cerdas yang tertuang dalam UndangUndang Dasar negara kita19.
Berdasarkan analisa peneliti pada temuan data penelitian, konstruksi sosial pustakawan terhadap profesi pustakawan dapat digolongkan pada 4 kategori jika ditinjau dari prosesnya internalisasi, objektivasi dan eksternalisasi yang dialami. Pada Tabel IV.1. disajikan matrix penggolongan konstruksi sosialnya :
19
Ibid. Hal. 69-70
IV-30
Tabel 4. 1 Tipologi Kosntruksi Sosial Pustakawan Perpustakaan Umum Kota Daerah Surabaya terhadap Profesinya Momen Konstruksi Sosial Eksternalisasi
Objektivasi
UNIT ANALISIS PERTIMBANGA N PEMILIHAN PROFESI SEBAGAI PUSTAK AWAN
Administrative Librarianship
Menilik kompetensi diri berdasarkan kapasitas keilmuan yang didapat dari pendidikannya (linear). Juga melihat keuntungan jaminan di masa mendatang. ORIENTASI Menilik DALAM kebutuhan PENGAMBILAN keilmuan bukan JENJANG dari passion, PENDIDIKAN hanya sebagai KEILMUAN upaya adaptasi PERPUSTAKAA terhadap N tanggungjawab kerja (formalitas) ATENSI DALAM PELAKSANAA N KERJA
HUBUNGAN RELASIONAL YANG TERBINA DALAM KARIER
Actualization Librarianship
Society Oriented Librarianship
Scanning peluang kerja yang ada sebagai chance untuk berkarya, sekaligus mengambil sisi pembelajar
Profesi pustakawan dinilai dibutuhkan oleh masyarakat dengan melihat potensi keilmuan pustakawan yang mampu memberikan manfaat untuk masyarakat. Menilik kebutuhan terhadap keilmuan berdasarkan identifikasi passion
Cenderung berorientasi untuk peningkatan kualitas diri dan keilmuannya dalammenjalani profesi (adaptif dan berusaha totalitas) Melaksanakan Aktif dalam tugas yang kegiatan dibebankan sesuai pengembangan dengan birokrasi perpustakaan pemerintahan secara formal dan yang berlaku kedinasan
Cenderung menggagas sharing untuk keperluan administrasi yang terkait tuntutan
IV - 31
Memiliki self enhancement yang cukup tinggi sehingga cenderung menjalin relasi
Menyukai pengalaman dan diskusi sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan guna pengembangan kepustakawanan. Aktif dalam berbagai komunitas kepustakawanan maupun non kepustakawanan
kerja dan kenaikan angka kredit.
Internalisasi
PENILAIAN INDIVIDU TERHADAP DIRI SENDIRI DENGAN MELIHAT PENILAIAN ORANG TERHADAP DIRINYA (Looking Glass Self)
Memperhatikan tanggapan orang terhadap dirinya, menanggapi dengan cara menarik diri dan timbul kesadaran akan kekurangannya, namun kurang effort dalam perbaikan diri.
PANDANGAN TERHADAP JENJANG KARIER
Cukup puas terhadap pencapaian karier (PNS) dengan mendapat jaminan social di hari tua. Bekerja menjadi tanggungjawab sebagai makhluk social dan juga keluarga .
IV - 32
dengan banyak pihak terkait guna mengimplementa sikan ilmu perpustakaan yang dimiliki untuk menunjang bidang yang diminati Memandang positif terhadap tanggapan orang lain dengan mencari peluang untuk mengembangkan diri di bidang yang sedang dijalani
yang memiliki peluang untuk implementasi dan pengembangan kepustakawanan. Sehingga cenderung inovatif memberi ide-ide.
Bekerja menjadi bentuk pengabdian yang mencerminkan eksistensi diri, sehingga dinamisasi lingkungan dianggap menunjang personal development.
Bekerja merupakan aktivitas yang memberi stimulus untuk perubahanmenuju perbaikan. Sehingga rutinitas pekerjaan yang monoton cenderung kurang disukai. Memiliki preferensi untuk mencari pengalaman di berbagai tempat.
Tidak mempedulikan tanggapan orang terhadap dirinya, cenderung berusaha untuk melakukan upaya pembuktian langsung kepada masyarakat
KONTRIBUSI TERHADAP PROFESI PUSTAKAWAN
Cenderung berorientasi untuk menyelesaikan tuntutan pekerjaan dan kenaikan angka akreditas untuk peningkatan dalam jenjang karier saja. Serta patuh terhadap system yang berlaku di instansi kerja tanpa ada advokasi hak dan wewenang.
Cenderung produktif dan kreatif karena melandasi kinerja dengan optimisme dan memiliki kebutuhan akan prestasi. (lebih menyukai pekerjaan di tataran strategis)
Cenderung menjadi pengamat yang analitis dan berani melakukan advokasi terhadap kebijakan yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku (tidak berfokus pada tataran administratif)
PEMAHAMAN TENTANG PROFESI PUSTAKAWAN YANG SEDANG DIJALANI (Interaksionisme Simbolik)
Pustakawan menjadi profesi yang dinilai cukup ribet dalam urusan administrasi sehingga tidak banyak yang berminat untuk menjadi pustakawan. Di lain sisi, pustakawan juga harus mampu menguasai ilmunya.
Pustakawan harus memiliki softskill disamping core keilmuan yang dimiliki. Pustakawan harus mampu mencitrakan profesinya dalam ranah publik dan mengambil bagian dalam pengambilan kebijakan, khususnya dalam ranah kepustakawanan.
Kemampuan yang paling penting bagi pustakawan adalah mampu masuk dalam kehidupan bermasyarakat dan membuktikan bahwa ilmu yang dimiliki oleh pustakawan mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat.
IV - 33
BAB V PENUTUP
V.1. Kesimpulan Pada
penelitian
ini
ditemukan
penjiwaan
profesionalisme
profesi
pustakawan dikalangan pustakawan Perpustakaan Umum Kota Surabaya yang menunjukkan bahwa adanya proses dialektika dalam tiga momen dialektis yaitu eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. 1. Momen eksternalisasi pada pustakawan dimulai ketika pustakawan akan menempuh pendidikan perpustakaan. Preferensi pemilihan studi perpustakaan menjadi faktor penting sikap pustakawan dalam menjalani studinya. Selama proses studi, pustakawan mendapatkan berbagai materi perkuliahan yang berkaitan dengan profesi pustakawan dan perpustakaan ke depannya. Saat inilah pustakawan mulai menyesuaikan diri untuk memperoleh gambaran profesi pustakawan seperti apa. Dalam proses menempuh pendidikan perpustakaan terjadi proses kognitif dalam dirinya sendiri yang nantinya akan menentukan pilihannya untuk memilih profesi pustakawan atau tidak setelah lulus. 2. Dalam momen objektivasi, pustakawan mulai dihadapakan dengan realita objektif berupa profesi pustakawan. Berbagai kegiatan yang dilakukan secara rutin menjadi pola yang dilembagakan. Pada momen inilah pustakawan brproses untuk menggali banyak hal tentang profesi pustakawan. Berbagai cara dilakukan dengan melakukan interaksi antar pustakawan maupun masyarakat secara umum. Dari proses interaksi ini akan menghasilkan pola pengungkapan diri individu.
V-1
3. Momen yang ketiga adalah internalisasi dimana terjadi fluktuasi pada individu antara realita objektif yang dihadapi dengan pengetahuan dasar yang dimiliki. Dari ketiga proses ini menghasilkan 3 tipologi konstruksi pustakawan dalam memaknai
profesionalisme
preofesionalisme,
profesi
Exsistence
pustakawan,
Profesionalisme
yaitu dan
:
Administrative
Society
Oriented
Profesionalisme. V.2. Saran 1. Mahasiswa Ilmu Informasi dan Perpustakaan Mahasiswa Ilmu Informasi dan Perpustakaan mulai melakukan identifikasi kembali terhadap passion di bidang perpustakaan ketika menjalani masa studi di jurusan tersebut. 2. Pustakawan Pustakawan
menyadari
akan
potensi
yang
dimilikinya
dan
mau
mengembangkannya untuk pengembangan profesi pustakawan Pustakawan menyadari kondisi profesi pustakawan dan saling bekerja sama dalam mengembangkan profesinya 3. Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) sebagai organisasi kepustakawanan harus mampu menjadi wadah bagi pustakawan untuk melakukan pengembangan keprofesiannya
dan
melakukan
advokasi
memperjuangkan kesejahteraan masyarakat.
V-2
terhadap
pemerintah
untuk
4. Instansi Penyelenggara Pendidikan Perpustakaan Instansi Penyelenggara Pendidikan Perpustakaan mulai menentukan fokus untuk menentuan mindset mahasiswa yang seperti apa ketika selesai menempuh pendidikan perpustakaan. 5. Pemerintah Menjadi pijakan pemerintah dalam hal membuat kebijakan dengan melihat kondisi realitas yang ada di lapangan.
V-3
DAFTAR PUSTAKA Buku Berger, Peter L. Dan Thomas Luckmann. 1966. The Social Construction of Reality: A Treatise in The Sociology of Knowledge. Diterjemahkan oleh Basari, Hasan. 2012. Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Sebuah Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta : LP3ES. Bungin, Burhan. 2006. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya. Jakarta: Kencana. Chowdhbury, G. G, etc. 2008. Librarianship: an Introduction. London: Facet Publishing. Effendy, Muhadjir. 2009. Jati Diri dan Profesi TNI. Malang : UMM Press. Hermawan, Rachman dan Zen, Zulfikar. 2006. Etika Kepustakawanan. Jakarta: Sagung Seto. Kuswantoro, Engkus. 2009. Fenomenologi. Bandung: Widya Padjajaran. Laksmi. 2007. Tinjauan Kultural Terhadap Kepustakawanan: Inspirasi Dari sebuah Karya Umberto Eco. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Moleong, Lexy. J. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Nugroho, Rian. 2011. Public Policy. Jakarta : Elex Media Komputindo Pendit, Putu Laxman. 2009. Merajut Makna : Penelitian Kualitatif Bidang Perpustakaan dan Informasi. Jakarta : Cita Karyakarsa Mandiri Ratih, Rahmawati dan Sudarsono, Blasius. 2012. Perpustakaan Untuk Rakyat: Dialog Antara Anak dan Bapak. Jakarta: Sagung Seto. Samuel, Hanneman. 2012. Peter Berger : Sebuah Pengantar. Depok : Kepik. Shelley E. Taylor, dkk. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta : Kencana Sudarsono, Blasius. 2006. Antologi Kepustakawanan Indonesia. Jakarta : Ikatan Pustakawanan Indonesia. Sudarsono, Blasius. 2009. Pustakawan Cinta dan Teknologi. Jakarta : Sagung Seto. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta.
Suryanto, dkk. 2012. Pengantar Psikologi Sosial. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan. Suyanto, Bagong dan M. Khusna Amal. 2010. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial. Malang : Aditya Media.
Simposium Sudarsono, Blasius. Penilaian Angka Kredit Unsur Pengembangan Profesi. Disampaikan pada Rapat Koordinasi Teknis Tim Penilai Jabatan Fungsional Pustakawan, 20 Oktober 2010. Sudarsono, Blasius. Penjelasan Butir-Butir Kegiatan Pejabat Fungsional Pustakawan. Disampaikan dalam Sosialisasi dan Pembinaan Pustakawan Di Lingkungan BATAN, 20 Juli 2010. Sudarsono, Blasius. 2010. Pengembangan Profesi Pustakawan. Disampaikan pada 1 Juni 2010 di Jakarta. Sudarsono, Blasius. Profesi Pustakawan: Sekilas Refleksi Pribadi. Disampaikan dalam Lokakarya Nasional Kepustakawanan Indonesia. Jakarta, 5-6 September 2014.
Jurnal Manuaba, I. B. Putera. 2008. Memahami Teori Konstruksi Sosial. Masyarakat Kebudayaan dan Politik. Tahun XXI, no. 3, pp. 221-230.
Skripsi Atmi, Ragil Tri. 2010. Analisis Kepuasan Lulusan Jurursan Ilmu Informasi dan Perpustakaan pada Bidang Pekerjaan yang ditekuni. Apriliana, Waheda. 2007. Persepsi Petugas Perpustakaan terhadap Profesi Pustakawan (Studi Deskriptif Pada Pengelola Perpustakaan Kantor Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Gresik) Cahyani, Aliffia. 2013. Motivasi Karir Pustakawan dan Non Pustakawan Lulusan Program Studi Ilmu Informasi dan Perpustakaan.
Mufarida, Hani’atul. 2011. Perilaku Konsumen e-Commerce di Kalangan Remaja Urban (Studi Tentang Gaya Hidup dan Budaya Konsumtif di Kalangan Remaja Kota Surabaya dari Perspektif Cultural Studies) Royana, Gana. 2013. Pandangan tentang Profesi Pustakawan (Studi Perspektif Etnometodologi tentang Profesi Pustakawan di Kalangan Mahasiswa Ilmu Informasi dan Perpustakaan Universitas Airlangga) Sabah, Kartika Sari Nur laila Agustina. 2013. Konstruksi Sosial Mahasiswa Ilmu Informasi dan Perpustakaan (IIP) Universitas Airlangga Trehdapa Program Studi IIP Serta Prospek Lulusannya.
Surat Kabar Liem, Ina. Jumat, 7 Februari 2014. Pustakawan Bukan Penjaga Buku. Kompas. Liem, Ina. Jumat, 7 Februari 2014. Perubahan Wajah Pustakawan. Kompas.
Website Saleh,
Abdul
Rahman.
2010.
Apakah
Pustakawan
Sebuah
Profesi?.
http://rahman.staff.ipb.ac.id/2010/11/03/apakah-pustakawan-sebuah-profesi/ diakses pada 15 Maret 2013 Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 tentang Pepustakaan diambil dari http://kelembagaan.pnri.go.id/Digital_Docs/homepage_folders/activities/hig hlight/ruu_perpustakaan/pdf/UU_43_2007_PERPUSTAKAAN.pdf pada 15 Maret 2013 Willmott, Chris. 2008. Careers in Librarianship and Information Management. Diambil dari http://slideshare.net/cjrw2/librarianship diakses pada 20 Februari 2014 http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/psikologi_umum2/bab4_sikap_manusi a.pdf diakses pada 19 Juni 2014
Wawancara Wawancara dengan pegawai PDII LIPI bagian kepegawaian tanggal 7 Februari 2013
PEDOMAN WAWANCARA Profil Informan : 1. Nama : 2. Alamat : 3. Jabatan : Eksternalisasi 1. Asal mula ketertarikan terhadap profesi pustakawan? 2. Bagaimana anda menggambarkan profesi pustakawan di awal mendengar profesi ini? 3. Apakah ini cita-cita dari awal? 4. Background pendidikan? 5. Jika Ilmu Perpustakaan, kenapa memilihnya? Apakah dari awal sudah punya gambaran nantinya akan jadi pustakawan? 6. Ketika menjalani pendidikan di jurusan perpustakaan, materi-materi seperti apa yang diberikan oleh dosen? 7. Apakah materi-materi yang diberikan selama perkuliahan menunjang untuk dalam menjalani profesi ini? 8. Kalau menurut anda, materi di perkuliahan yang di sampaikan itu membentuk pustakawan yang seperti apa? 9. Selama masa perkuliahan apakah sering mengikuti seminar atau pelatihan yang bertemakan perpustakaan, atau pustakawan? Jika iya, materi seperti apa yang disampaikan? Mungkin masih diingat siapa yang menyampaikan? 10. Bagaimana keluarga baik pasangan, orang tua, anak, maupun keluarga ketika menjadi pustakawan? 11. Gambaran tentang profesi pustakawan dan prospeknya di era informasi? 12. Apa yang memotivasi anda untuk tetap bertahan sebagai pustakawan? 13. Menjadi pilihan kebepara berkarier menjadi seorang pustakawan? 14. Menurut anda apakah pustakawan adalah sebuah profesi? Apa menurut anda yang dimaksud sebagai profesi itu? Objektivasi 1. Apakah selama anda bekerja sebagai pustakawan, anda telah merasa nyaman dengan profesi yang anda geluti saat ini? 2. Pengalaman positif maupun negatif selama ini dengan menyandang atribut sebagai seorang pustakawan? 3. Bagaimana interaksi ketika membahas tentang profesi pustakawan dengan sesame rekan kerja di satu perpustakaan, dengan pustakawan di lembaga lain, atau dengan masyarakat umum yang memiliki profesi non pustakawan? 4. Apakah anda masih menganggap pustakawan itu sebuah profesi? 5. Apakah anda menjalankan kode etik profesi?
1
6. Kegiatan apa saja yang anda lakukan selain menjadi pustakawan? Mungkin keikutsertaan di organisasi kepustakawanan maupun non? Tujuan daan manfaatnya? Internalisasi 1. Pemahaman sejauh mana menganggap pustakawan sebagai sebuah profesi? Apa saja yang harus dilakukan? 2. Penilaian kelebihan dan kekurangan profesi pustakawan ? apa yang harus dilakukan? Siapa saja yang perlu digandeng atau terllibat? 3. Pengetahuan tentang jenjang karier seorang pustakawan dan perkembangannya di era informasi? 4. Identiikasi keuntungan sebagai seorang pustakawan? Apa saja yang akan dikembangkan? Potensi dari bidang kepustakawanan yang menjadi keunggulannya dan apa yang akan dia lakukan? 5. Harus seperti apakah profesi pustakawan itu\
2
Data Informan? PA. Lulusan D3 Perpustakaan Universitas Airlangga. Golongan II/d. Bekerja di Perpustakaan Kota mulai tahun 1998, hingga menjadi jabatan fungsional tahun 2011. WAWANCARA KE-1 Apakah setelah lulus ibu langsung bekerja disini, atau sempat bekerja di tempat lain? Dulu bekerja di perusahaan swasta, bidang administrasi namun tidak sesuai dengan ilmu yang didapat. Alhamdulillah tidak lama terus diterima disini. Ketika masuk jurusan perpustakaan, apakah memang dari awal ibu pengen menjadi pustakawan? Saya dulu mikirnya kalau di jurusan perpustakaan ya berarti kerjanya nanti di perpustakaan. Makanya ketika saya sempat bekerja di luar perpustakaan itu rasanya bagaimana gitu mbak. Jadi ilmu yang saya dapatkan selama kuliah tidak terpakai Pengangkatan berapa lama ya bu? Dulu dari lokal, dulu masih belum ada sarjana perpustakaan. Dulu belum ada pustakawan di perpustakaan kota. Yang dulunya di balai kota terus pindah kesini. 1,5 tahun masuk HONDA (Honorer Daerah). Waktu honorer itu gajinya menunggu sisa, kalau nggak ada sisa ya nggak digaji. Waktu dulu gajinya Rp. 60.000, 00. Untuk yang masih single sih masih cukup. Tapi saya dulu nggak ada kendaraan. Jadinya saya ngakali dengan nunut tetangga yang kerja di SIER. Awalnya saya juga nggak disini aja, saya nglamar dimana-mana. Termasuk di universitas swasta Malang. Dengan berbagai pertimbangan saya memilih nyari di Surabaya. Jadi saya beberapa kali ikut tes CPNS. Di UNAIR, di ITS bahkan di perpustakaan nasional saya juga ikut dua kali. Meskipun saya disana tidak punya saudara disana, karena saya punya temen jadi di Jakarta saya menginap di rumah temannya teman saya. Kebanyakan laki-laki yang diterima, karena resikonya kalau di perpusnas akan ditempatkan ke seluruh Indonesia. Tapi nantinya akan kembali ke Surabaya, karena asalnya Surabaya. Dinikmati kerja. Akhirnya saya PNS, syaratnya harus pustakawan. Ada lagi harus S1, ya sudah saya transfer. Saya dulunya 1993 masuk D3 Perpustakaan, lulus 1996. Setelah lulus itupun harus cari-cari sendiri lowongan pekerjaan. Nggak ada informasi dari kampus. Jadi nyoba dengan mengirm surat ke beberapa perusahaan. Akhirnya keterima di perusahaan swasta. Beberapa bulan saya diterima disini. Kalau dari gaji memang nggak banyak, tapi gimana lagi kan eman kalau ilmunya nggak kepake. Orang tua menyarankan begitu, lagian katanya perempuan apa yang dicari. Kan hanya mendukung, bukan tulang punggung. Apakah keluarga mendukung ibu bekerja sebagai pustakawan? Baik itu orang tua, suami maupun anak? Suami mendukung sekolah jika mendukung kerja. Soalnya kan kalau kuliah lagi sepulang kerja. Jadi butuh pegorbanan, termasuk mengorbankan waktu dengan keluarga. Kalau disini nggak boleh ambil kuliah di jam kerja. Meskipun ijin belajar, harus di luar jam kerja.
Apa memang dari awal pengen masuk di jurusan perpustakaan bu? Kalau itu gini, dulu pada waktu selesai SMA ibu saya sedang sakit dan opname terkena penyakit kanker kanudungan. Jadi saya sudah nggak mikir untuk melanjutkan kuliah. Ya sudah aku di rumah, tapi saya sebenarnya juga pengen. Akhirnya ada tante saya yang bilang kalau nggak kuliah akan cepat berkeluarga. Saya nggak mau. Akhirnya kata bulek saya disuruh ambil D3 Perpustakaan. Awalnya saya nggak mau, dalam hati saya apa itu. Terus kata beliau nanti peluangnya banyak. Nggak harus disekolah. Akhirnya saya memilih D3 Perpustakaan di pilihan 1 dan pilihan 2. Awalnya saya juga tidak ada gambaran mbak. Kuliahe apa. Sampai akhirnya ya sudah. Bahkan beberapa teman saya yang protol. Ya namanya juga kuliah ya grudak-gruduk sama teman-teman. Semester awal kan paketan, terus semester selanjutnya sudah bingung milih sendiri. Prinsip saya ya mbak kalau kuliah itu nggak hanya kuliah. Saya senang organisasi. Jadi saya dulu aktif ikut organisasi mbak. Saya dulu ikut MP,merpati putih. Dulu ndak dikampus c mbak, di kantin sebelahnya FISIP. Dulu di psikologi. Kalau kuliah kan jam 7-9, terus lanjut jam 1 sampai jam 3. Kadang kan nunggu dikos teman, kadang itu temannya nggak senang mbak kalau kita dikosnya itu. Ya jadinya itu mbak cangkruk. Saya punya saudara mbak anak hokum, tahu kalau saya cangkruk itu akhirnya disaranin buat ikut organisasi itu mbak. Akhirnya saya ikut. Eh ternyata ada dampaknya positifnya. Banyak teman mbak. Temannya nggak hanya lingkup perpustakaan itu. Kan kita kecil mbak, saapa yang kenal sama jurusan kita. Kecil mbak kita itu, nggak banyak orang yang tahu. Kalau ikut organisasi itu enak mbak. Temannya itu banyak dari berbagai jurursan. Dari kedokteran, ekonomi, hukum, dan banyak lagi. Mereka juga nggak pilih-pilih teman mbak. Ya gitu mbak, jadi selama tiga tahun dilewati nggak hanya kuliah pulang kuliah pulang. Iya ya bu, apalagi UKM itu kekeluargaannya sangat dekat. Iya mbak, sampai sekarang itu juga masih dekat mbak. Kekeluargaannya memang tak akui. Jadi biasanya kan kita dipandang sebelah mata, kalau disana ya enggak mbak. Kayak pas skripsi, eh kalau saya bukan sih laporan. Tapi ya hampir sama sih mbak. Jadi waktu siding skripsi itu, supporter saya banyak mbak. Sampai dosen itu bingung, yang lainnya sepi kok ini banyak suproternya. Kekeluargaannya memang dekat mbak. Penting itu mbak. Iya ya bu, kalau ke fakultas lain pasti ada aja yang dikenal. Ehhm heem mbak, jadi nggak hanya itu aja mbak yang dikenal. Teman-teman saya seangkatan itu lho nggak semua yang memanfaatkan fasilitas itu. Padahal kan kalau ada pertandingan itu pasti kan dapat uang dari rektorat. Kalau ada latihan alam kan juga dapat. Pelatih juga sudah dibayar. Kita tinggal mengajukan proposal kan langsung dapat. Dulu uang semester saya kan 180 mbak. 180 ribu bu? Huum mbak, 180ribu itu 1 semester mbak. Dengan sekarang lho saya di UWK, beda mbak. Kalau sekarang kan sesuai dengan subsidi ya?
Oh iya bu, disesuaikan dengan pendapatan orang tuanya. Tapi waktu jaman saya masih seperti ibu dulu. Disama ratakan bu. Lha iya itu tadi, subsidi itu tadi mbak. Kalau orange mampu, jadi ya bayarnya banyak. Kalau kayak gitu kan ya repot. Ya masak kerja orang tua dibuat kuliah anak saja. Berarti orang tua mendukung ya bu? Iya Alhamdulillah mbak. Kan orang tua saya dulunya bekerja di foto copy di dalam perpustakaan mbak. Jadi sedikit banyak tahu, kerjanya kayak gimana. Ya Alhamdulillahlah mbak, kalau rumah tangga kan awalnya cagaknya satu, sekarang ada dua. Selain itu, saya kan di perpustakaan umum ya mbak. Jadi kalau sabtu atau minggu gitu, saya pasti kan masuk untuk piket. Anak saya ajak mbak. Kalau ada tugas kan enak, tinggal milih. Nah iya orang tua saya bilangnya, iki untung mamae kerja nang perpustakaan. Kalau nggak gitu kan ya repot mbak. Kayak baju-baju adat gitu kana da disini mbak. Anak saya perempuan gitu mbak. Akhirnya anak saya kan juga tahu, ibunya ini kerja apa? perpustakaan. Kan dia juga bangga mbak. Apalagi anak saya kan masih SD. Pernah kunjungan kesini mbak, ya jadi ketemu. Kalau suami sendiri bagaimana bu? Huum mbak, mendukung sekali. Ibu sebelum menikah sudah bekerja disini? Iya, saya kan sama suami saya itu dulunya satu organisasi, ya MP itu mbak. OOOohh ternyata ya bu, hehe Iya mbak, jadi sedikit banyak suami saya mengerti. Kalau pekerjaan di perpustakaan kan bukan perkerjaan yang tertutup ya mbak. Semua orang tahu pekerjaan kita. Jadi semua saya juga tahu apa pekerjaan saya. Nggak seperti suami saya yang bekerja di swasta, industri kimia. Jadi pekerjaannya rahasia gitu mbak. Kayak harga-harga gitu. Ada kode etiknya ya bu? Iya mbak, kalau kayak saya gini kan pekerjaan kayak-kayak gini ya tak bawa pulang mbak. Kadang itu mereka tanya, apa apa gitu mbak. Akhirnya dibantu. Waaahhh sepertinya menikmati sekali ya bu jadi pustakawan? Huum, iya mbak Alhamdulillah. Tapi ya ada suka dan dukanya itu tadi mbak. Disini kan saya pustakawan pertama mbak. Jadi di bagian kepegawaian itu nggak tahu cara-cara mengurusnya mbak. Jadi saya ya ngurus sendiri. Kalau ngurus kan di provinsi itu mbak. Aku juga nggak tahu, gimana ini caranya. Untung saya sama mbak Galuh. Jadi saling melengkapi. Heheheh iya ya bu, ada temannya untuk rundingan ya bu? Huum mbak, kalau sekarang kan masih proses. Proses apa ya, proses bermasalah soalnya nggak putus-putus. Jadi masih belum ada sinkronisasinya antara kepegawaian dengan fungsional itu mbak. Jadi ya nggak ada yang ngarahkan mbak. Saya juga nggak ada bantuan dari pimpinan mbak. Soalnya kan juga bukan lulusan perpustakaan.
Oh iya ya bu, Bu Arini itu lulusan apa ya bu? Kalau bu Arini itu hukum. Orang-orang atasan juga nggak ada mbak Oh iya ya bu, saya juga heran kenapa disini malah orang-orang perpustakaan itu tidak menempati fungsi strategis. Huum mbak, jadi ya kita ini harus mencerna sendiri. Sebetulnya kan pimpinan yang maju. Ndak, kita jalan sendiri mbak. Jadi antara pekerjaan yang utama antara pustakawan dengan pekerjaan yang sebenarnya itu tidak sejalan gitu mbak. Biasanya kalau ada diklat-diklat atau seminar gitu ka yang diberangkatkan bukan orang dari perpustakaan mbak. Kan padahal ilmu kita itu berkembang ya mbak. Nggak mungkin stganan gitu aja kan mbak. Tapi ya itu mbak, nggak pernah kita diberangkatkan. Oh begitu itu ditunjuk ya bu? Huum mbak, tapi ya itu kita nggak pernah diberangkatkan mbak. Mungkin menurutnya ilmu kita yang sudah mumpuni. Oh iya ya bu, makanya mungkin yang diberangkatkan bukan dari orang perpustakaan ya bu? Tidak sesuai dengan pekerjaanya ya bu? Huum, dianggapnya ilmu kita sudah cukup. Malah saya sama provinsi itu, pustakawan kan langka mbak. Orang provinsi itu bilang, pustakawan itu langka. Kok malah kamu disana dibuang-buang, sudah pindah sini aja. Tapi belum tentu juga orang sini mau ngeculne apa nggak mbak. Iya ya bu, apalagi kan jumlah pustakawan disini sedikit. Huum mbak, disini itu saya sama Bu Galuh yang awal. Terus ada Pak Arief dan pak Bowo. Apalagi ditambah pak Bowo sekarang yang terganjal dengan permasalahan. Kita itu memang disini kurang perhatian. Bagian kepegawaiannya juga nggak jelas. Ooh padahal lembaganya sudah jelas-jelas perpustakaan lho ya bu? Huum mbak, padahal IPI kan juga sudah lama. Oh ibu tergabung dalam IPI? Tergabung Perannya selama ini seperti apa bu? Jadi kalau saya ini ya mbak, kalau tergabung secara aktif itu kan ya nggak mungkin mbak. Pekerjaan saya juga diluar, jadi aslinya itu mbak kalau saya mau meningkatkan ilmu perpustakaan saya juga nggak bisa mbak. Akreditasi saya disini juga susah mbak. Pekerjaan saya disini tidak begitu menunjang. Oh ibu disini bagian apa bu? Saya layanan mbak, ngurus-ngurus TBM gitu. Tapi saya yang ngurusi SDMnya. Itu baru contoh kecilnya mbak. Jadi kalau saya mau cari angka untuk DUPAK (Daftar Usulan Nilai Angka Kredit Akrediasi) itu mbak, nggak bisa kalau hanya dari pekerjaan saya. Jadi diluar jam kerja mbak. Kalau dari pekerjaan saya saja ya kurang mbak. Kayak saya buat makalah, gitu kan dapat nilai mbak.
Seharusnya kan ada yang bombing mbak. Kalau kayak gitu kan jadi bingung, itu bukan pekerjaan saya kok diambil gitu. Kok pustakawan kebanyakan masih golongan masih rendah ya bu? Iya mbak, kalau mau mengembangkan diri juga susah. Tapi kita juga harus bisa menikmati itu lho. Kalau menurut ibu sendiri apakah pustakawan itu sebuah profesi? Karena yang pernah saya baca kan masih terjadi perdebatan ya bu. Kalau saya sendiri ya, kayak gitu kenapa orang lain mengerjakan background kita. Kayak contohnya pimpinan saya itu, beliau kan bukan dari pustakawan. Makanya tidak memberikan perhatian dan dorongan untuk maju. Ya kalau dokter, kalau salah suntik kan ya gimana. Kan nggak bisa orang lain mempelajari itu tadi. Kebijakannya masih belum sesuai? Huum huum, belum sesuai. Tapi beliau itu dengan bertanya atau baca bisa tahu. Kalau kita ini ya mau apa. Ya sudah mau apalagi mbak. Birokrasi soalnya ya bu? Iya mbak, mau apalagi. Kalau mau terlalu idealis ya nggak bisa mbak, malah kita yang susah sendiri mbak. Kalau kita yang nama orang hidup kan ngapain mau susah ya mbak. Iya kalau mahasiswa harus punya idealisme. Kalau sebuah sistem nggak bisa mbak. Kalau kita mau maju udah mentok, mundur nggak bisa mbak. Ada pelatihan atau seminar apa, ya sudah diam saja mbak. Kita pribadi juga pengen mbak. Tapi ya kembali lagi mbak ke aturan kerja kita mbak, ya nggak bisa. Kita hanya bisa memberi masukan aja mbak, ntah itu mau dilakukan apa tidak ya tidak tahu. Iya ya bu, seperti kepala perpustakaan UNAIR sendiri kan sekarang dipegang oleh orang yang bukan dari background perpustakaan. Dulunya dipegang oleh dosen dari perpustakaan. Iya mbak, pasti sangat berbeda mbak. Diacak-acak itu. Mau hidup gimana perpustakaan. Ya kayak gitu. Mau tanya terkait profesi pustakawan. Kalau menurut ibu, profesi Pustakawan itu seperti apa sih bu? Kalau profesi itu ya, apa ya. (sambil berpikir) Kalau menurut ibu, pustakawan itu profesi bukan sih bu? Kalau menurut teori sih seperti itu ya mbak, tapi dalam prakteknya kan enggak mbak. Kan nggak harus sekolah perpustakaan sudah bisa bekerja di perpustakaan. Kalau sekarang orang yang memimpin atau bahkan memiliki perpustakaan independen kan belum tentu orang perpustakaan. Akhirnya gimana ya mbak ya, orang dengan membaca dari buku saja kan akhirnya juga bisa menguasai ilmu itu tadi. Nah kalau kita yang kuliah itu sendiri itu kan mendetail, dari dasarnya ya kalau seumpama pohon kan dari akar sampai daunnya. Kadang kan pustakawan aja kalau ditanyai kadang juga masih bingung. Beda dengan pustakawan luar negeri yang emang bener-bener digodok pada profesinya dan mempunyai
ilmunya. Nggak selalu ya aku harus disini, ya memang kan di Indonesia kayak gitu. Apalagi sekarang pakai sertifikasi kan tidak tunjangan kita, hanya sebagai syarat saja. Bukan benar-benar untuk meningkatkan profesi pustakawan itu sendiri. Ujung-ujungnya hanya untuk formalitas saja. Kan kalau saya baca ya bu, profesi pustakawan kan belum banyak diminati oleh masyarakat. Padahal pustakawan sendiri kan hampir disebut sebagai profesi yang nantinya akan sejajar dengan profesi lainnya seperti dokter, guru maupun yang lainnya. Kalau mungkin dokter kan ya dari awal ya mbak, tanpa harus disosialisasi apa gitu kan sudah tahu kalau itu dokter. Begitu juga dengan akuntan, tanpa sosialisasi orang-orang juga sudah tahu kalau itu akuntan. Coba saja kalau pustakawan. Jangankan orang luar, yang setempat kerja seperti ini saja lho mbak kadang juga nggak tahu kalau pustakawan itu seperti apa dan harus kayak apa. Kadang saja kayak gini yang pustakawan sendiri aja juga bingung yaapa profesinya. Kalau sementara ini kan pustakawan itu kan yang PNS aja ya. Namu juga kan belum diakui. Jadi memang yaapa ya, ya nggak banyak orang yang tahu. Wong lingkup perpustakaan sendiri lho nggak bisa menguatkan. Kadang diadakan seminar kan, selesai seminar juga buyar lagi kan. Nggak ada pengembangan lagi nggak ada anu. Kamu nggak ikut anu ta, katanya tadi di UNAIR kampus B ada seminar ya?seminar apa? Hhhmmm kalau nggak salah seminar tentang perpustakaan di era digital bu. Gratis ya? Iya bu gratis. Siapa yang ngadakan?Perpustakaan? Iya bu, gratis. Iya dalam rangka memperingati diesnatalies perpustakaan. Kok dungaren gratis ya, biasanya bayar? Iya bu, yang ini gratis. Ada juga yang bayar kok. Pembicaranya darimana ya, saya lupa. Bayarnya 100 ribu. Oooohh huum, saya juga dikabarinya ini tadi. Tapi wong ya ada rapat jadinya ya nggak berangkat.
WAWANCARA KE - 2 Kalau selama ini berprofesi sebagai pustakawan, ibu merasa nyaman ndak bu dengan profesi ini? Kalau saya sendiri ya mbak, soalnya prosesnya kan juga nggak gampang ya mbak. Aku untuk menjadi pustakawan kan juga sulit mbak. Rasanya itu kalau nggak karena perintah juga saya malas mbak, soalnya ribet. Apalagi kalau ngurus DUPAK itu mbak. Rasanya apalagi sekarang waktuku juga nggak bisa mbak. Aku juga gimna ya mbak, aku kepaksa. Tapi ya gimana lagi ya kalau sudah terlanjur nyemplung itu. Lha wong yang perintah mbak. Mau gimana lagi. Tak kerjaan itu juga pas kalau sabtu minggu. Tapi sabtu minggu itu kan juga waktunya keluarga,
jadi banyak yang nuntut. Kadang ya yang penting aku kerjakan mbak, sebisanya. Lain mungkin ya kalau di perguruan tinggi kan pengembangan diri mengenai perpustakaan kan pekerjaannya mengenai itu sendiri. Ribet mbak, wes talah ribet. Apalagi kalau dikepegawaian. Kalau di universitas mungkin lain ya. Kan sudah tahu kalau ada penilaian, kan orangnya sudah tahu ya mbak ya kalau ada penilaian. Kan ada orang yang ngurusi ya. Kalau disini nggak ada yang ngurusi mbak, malah nggak paham kok. Udah diterangkan berkali-kali juga nggak paham mbak. Dan juga tunjangannnya lho mbak nggak sebanding dengan pengorbanan untuk ngurus adiministrasinya. Kalau terkait tugas sebagai pustakawannya bu, apa merasa memberatkan atau nggak ya? Maksudnya kerjaan terkait perpustakaan, diluar mengurusi administratif. Kan kalau penilaiannya kan nggak ada dari kita mbak, jadi harus ke provinsi. Lha provinsi juga kan dikembalikan lagi ke kita. Ya sudah kan putus, nah yang di kepegawaian itu mbak yang nggak ngerti apa-apa. Aslinya kita juga kesulitan mbak. Apalagi kalau ada pelatihan itu yang diberangkatkan bukan dari kita. Oh iya bu, saya dengar pustakawan juga punya kode etik ya bu? Iya mbaak, punya. Kalau penerapannya sendiri bu? Apa selama ini diterapkan sehari-hari dalam bekerja? Nggak mbak, nggak bisa. Oh nggak bisa ya bu? Nggak mbak, meskipun saya ini anggota IPI ya mbak. Tapi juga nggak pernah ada rapat apa gitu. Meskipun dibentuka ya, dibentuk ketua, terus sekretaris terus apa gitu ya. Ya dibentuk aja. Termasuk yang sama Pak Koko itu ya bu? Iya mbak, sudah dibentuk gitu lho ya. Nggak pernah ada rapat atau apa gitu. Ya wes mari mbak, mari dibentuk yo puuusss gitu mbak. Yang saya tahu itu kan banyak ya bu organisasi-organisasi kepustakawanan selain IPI. Kayak ada ISIPI, terus apalagi ya bu? Iya mbak, Ikatan Perpustakaan Perguruan Tinggi apa itu PERTI. Yang swasta juga ada, yang sarjana juga ada. Huum huum, tapi yowes ngono mbak. Selain IPI mungkin bu, ibu ikut organisasi apalagi? Ehhmm nggak mbak, nggak ikut. Kita ya bayar lho mbak, tapi juga nggak ada apa-apanya. Kalau selain organisasi kepustakawanan bu? Mungkin PKK atau apa gitu bu? Kalau aku kan dulu pas mahasiswa ikut unit kegiatan ya mbak ya mbak. Tapi sekarang ya nggak aktif mbak. Nek ikut gitu-gitu paling juga kampung mbak.
Kayak PKK, Dasa Wisma gitu mbak. Tapi kalau di rumah baru ini belum ikutikut gitu. Oooh pindah rumah ya bu? Huum, yang dulu ikut mbak. Kalau disini belum ikut. Kalau ibu sendiri dalam berinteraksi dengan sesama pustakawan mungkin dalam lingkup perpustakaan kota gitu bu, membahas apa gitu bu? Nggak pernah aku mbak. Mungkin dengan instansi lain mbak? Ya kalau dengan instansi lain kan mungkin kalau ada-ada seminar gitu mbak, ketemu antar teman. Kalau selain itu ya nggak pernah. Kalau aku sendiri ya mbak, ntah nggak bisa bagi waktunya atau apa gitu ya mbak. Kalau kayak gini aja, pulang kerja kan ya sudah, namanya ibu rumah tangga e mbak. Di rumah juga mengerjakan tugas pokok mbak, aku nggak bisa kalau ikut organisasi itu nggak bisa mbak. Kalau di rumah ya mengerjakan pekerjaan rumah mbak. Kalau pekerjaan rumah terbengkalai juga ruginya ke aku lagi mbak. Apalagi nanti akan berimbas ke anak ya bu? Huum, kalau kita itu kan kalau bisa mencarai karier gitu kan hanya membantu. Nggak usah terlalu ngoyo ya bu? Iya mbak, kalau saya hidup mengalir aja seperti air gitu mbak. Yam au gimana lagi. Makanya kalau mau yang benar-benar ngotot gitu nggak mau mbak, kita kan yang dicari kesenangan ya mbak. Nggak mau yang ribet-ribet gitu. Mungkin ada pengalaman positif atau negatif gitu selama menyandang status sebagai pustakawan? Kalau masalah pengalaman negatif itu pasti ada ya mbak, maksudnya itu kita dianggap orang paling segalanya. Memberikan ide atau masukan atau apa. Apalagi kalau ngurus-ngurus gitu kan bagian kepegawaian belum tahu mbak. Selama ini saya belum pernah menikmati enaknya. Belum apa ya, belum ada dampaknya. Atau mungkin saya masih awal ya. Oh ya bu, yang saya buat penasaran itu kan kepala bidang masing-masing itu tidak ada yang murni pustakawan ataupun memiliki background pendidikan perpustakaan ya bu ya. Sebenarnya penempatannya sendiri itu seperti apa sih bu? Oh kalau itu, itu dari pusat mbak. Kalau dari sini kan nggak bisa ya mbak ya. Kan dari sana semua. Oh jadi semua plotting penempatan posisi semua dari pusat ya bu ya?atau mungkin dari perpustakaan sendiri punya rekomendasi gitu bu? Ya mungkin bisa kayak gitu mbak. Tapi saya juga belum tahu pasti dari kepegawaiannya. Tapi kalau yang dari sananya diterima apa nggak itu kan nggak tahu mbak.
Kalau menurut ibu sendiri, seorang pustakawan sendiri itu harus seperti apa sih bu? Pustakawan itu kalau menurut aku ya harus tahu mengenai ilmunya itu tadi. Baik dari segi teori maupun prakteknya ya. Harus punya dedikasi tinggi ya untuk pustakawan adalah lini ya. Adalah juga bukan karena misi dia sendiri atau maunya sendiri atau memikirkan diri sendiri. Kadang itu ngomongnya banyak, tapi kerjanya prakteknya nggak bisa. Kayak kita kana da yang kayak gitu. Kadang ada orang yang nggak perlu gempar gempor itu tapi kerjanya selesai. Kan orang-orang itu beda mbak. Kalau menurut ibu sendiri, apa sih bu kelebihan profesi pustakawan dibandingkan dengan profesi yang lainnya? Kalau pustakawan itu dibandingkan dengan yang lain. Kalo kelebihannya itu, kenaikan pangkat. Kita 2 tahun sekali. Hmmmm apa ya satunya, pangkat sama apa ya lupa saya. Pokoknya 2 tahun sekali, kalau yang PNS biasa kan 4 tahun sekali. Tapi kalau pustakawan kan harus ngajukan DUPAK atau apa gitu, kalau yang lain kan nggak perlu mbak. Nah kalau itu kan butuh waktu khusus. Banyak temen-temen itu kan nggak mau kalau ditawari jadi pustakawan. Tunjangannya nggak sesuai, ngurusnya ruwet. Oh bener aja ya bu, yang pustakawan in passing ikut diklat itu cuma pak Elok ya bu? Huumm, coba aja mbak, kita menghasilkan pekerjaan itu nilainya Cuma 0,001 gitu mbak. Keistimewaannya ya mek itu tok e. Udah itu saja bu? Huum, yam mau apalagi mbak. Ya mek itu tok e. Mau ngomong apa mbak. Mungkin dari segi keilmuan mungkin bu? Ya apalagi ya mbak. Wong kalau ada pelatihan atu seminar gitu yang dikirim juga bukan kita e. Mau dapat ilmu darimana. Untung aja aku kuliah itu kan ya lumayan mbak ilmunya. Lha terus mau apalagi, masak aku mau membohongi diri sendiri mbak. Hehehehe ndak usah bu, kalau kekurangannya banyak ya bu. Heeeemm iya mbak ya itu tadi yang tak bilang. Wes ta ruwet ruwet. Harapannya seorang pustawakawan, mungkin seharusnya pustakawan itu seperti apa? Nah iki bingung aku kalau ditanya harapan. Harapan tinggal harapan iki. Hahaha Ya kalau harapanku lebih apa ya, lebih diperkuat itu organisasi itu. Kan biar bisa menindaklanjuti gitu mbak. Jadi kesulitan kita itu bisa diadukan. Dia nggak hanya menampung aja, tapi juga bisa menindaklanjuti. Saya tu curhat itu juga diam saja, nggak ada tindaklanjutnya. Diam aja. Kadang saya juga bingung jadinya. Itu juga awalnya kalau orang yang nol putul, itu yaapa ngerjakannya. Itu nggak ada yang bimbing. Ya kayak skripsi itu mbak, kana da dosen pembimbingnya. Namanya
juga kan dosen pembimbing, jadi yang bimbing kita dari yang awalnya nggak tahu bisa jadi tahu. Malah kadang itu, yowes iyo. Kadang kita itu juga bingung. Hehehe iya ya bu, jadi nggak tahu ini bener apa salah. Kan kadang orang beda-beda ya mbak. Kan ada orang yang mau berusaha, ada juga orang yang nggak mau berusaha, kalau tahu ribet gitu kok kayak gini ya kadang malas. Ayok lah kita itu saling bergandengan tangan gitu lho, meskipun sedikit tapi kalau saling membantu gitu kan kuat toh mbak. Kalau harapanku lho. Kalau kayak sekarang kan nggak. Nanti kan akan membantu, nanti kan jadinya akan kuat gitu. Kalau dokter itu kan gitu juga kan, ikatannya kuat. Jangan satu ngomong ini yang lain ngomong itu, nggak bareng-bareng. Kalau harapan terkait kelimuan bagaimana bu? Kalau keilmuan kan, namanya ilmu kan berkembang gitu kan mbak. Kan kita nggak bisa hanya diam aja. Kita kan harus menjemput, cari informasi gitu. Tapi sebenarnya kan yang penting itu ketika ada diklat gitu, tapi ya gimana lagi wong yang dipilih juga bukan dari kita e. Kan padahal sebeanrnya itu kita juga perlu update informasi tentang keilmuan kita. Malah kadang kita tu diolok-olok mbak sama yang dikirm itu. Kan sekarang itu nama pengarang nggak dibalik, gitu kadang digoblok-goblokkan. Kan ya mana kita tahu. Mereka bukan membagi ilmunya tapi malah seperti itu. Kalau dilihat dari profesi pustakawan itu bu, mungkin ada potensi dan peluang untuk mengembangkan potensi kepustakawanan. Mungkin saya belum terjun langsung dalam profesi ini, tapi disini saya menekuni bidang kepustakawanan. Yang saya lihat profesi ini kurang dikenal dan diminati oleh masyarakat. Bahkan yang saya tahu, pustakawan malah dikenala sebagai profesi buangan. Kalau menurut ibu sendiri seperti apa? Iya memang kalau di Indonesia seperti itu. Jadi kadang ada kepala sekolah yang bermasalahan, dipindah ke perpustakaan. Ya kalau gitu, kapan majunya. Kalau kayak gitu kan, mana mau berkembang itu perpustakaan. Kalau yang saya tahu lho ya, di perpustakaan itu banyak orang pinter. Banyak lho. Tapi ya memang jabat tangannya lho yang kurang. Kan akhirnya memperkuat itu tadi. Atau mungkin aku yang kurang cari informasi ya. Tapi yang selama ini saya tahu ya seperti itu. Jadi seperti pepatah jawa, pinter di pek pek dewe ya bu? Iya mbak, paling kalau ada ya seminar-seminar itu. Tapi kan itu juga bayar. Ada sih yang tidak dibayar dengan ikhlas itu juga ada. Tapi kan juga bisa dihitung dengan jari. Untuk ke depannya, pihak-pihak mana saja sih bu yang mampu menaikkan profesi pustakawan? Yang muda, yang masih punya ambisi. Kan yang masih hangat ilmunya, seperti mahasiswa. Perlu dirangkul. Kan dari situ mungkin ada ilmu-ilmu baru yang nantinya bisa didiskusikan. Mungkin dari kalian yang nggak tahu perpustakaan, pustakawan seperti apa itu kan nantinya ada ide-ide yang muncul. Kan kita juga nggak tahu. Kadang kana da yang meremehkan, tahu apa gitu. Dianggap yang tua
kan yang lebih tahu. Ya mungkin itu harapannya, mahasiswa perpustakaan itu dirangkul. Mungkin dari ide-ide mereka kan nggak tahu. Iya bu, mungkin dengan kita nol lapangan ya bu? Iya kan kalian masih sering membaca, ilmu-ilmu kuliah yang masih baru, referensi dari luar negeri. Itu perlu. Kalau saya rasa yang seperti itu. Bukan malah yang tua yang dirangkul, seharusnya yang muda-muda ini yang dirangkul agar lebih kuat. Malah saya percaya itu ya kalian-kalian ini yang bisa digerakkan. Kalau yang tua-tua itu yang sudah mau pension itu wes di ben no ae. Kalau dari saya sih gitu mbak. Balik sedikit ke kode etik nih ya bu. Apa sih bu isinya dari kode etik itu sendiri? Kalau dari ibu sendiri selama ini memaknai kode etik sendiri itu seperti apa ya bu? Apa ya mbak ya (berpikir) soalnya saya juga nggak pernah mendalami atau apa e mbak. Apa ya mbak ya, atau mungkin karena kesibukan atau apa ya. Nggak pernah itu e. Aku IPI, ADART atau apa juga nggak ngerti. Kalau di IPI juga nggak pernah dikasih. Hahaha iya ya bu, soalnya juga pertemuannya setahun sekali itu ya bu? Ehhhh mbak jangankan setahun sekali mbak. Nggak. Mbak. Saya ikut ya sekali dulu itu pas Pak Koko. Ya kalau itu didelegasikan mbak, kalau nggak ya nggak berangkat mbak. Kalau saya ngeyel berangkat gitu ya kena slentik mbak. Saya nggak pernah tahu ada rapat rapat IPI gitu mbak. Wong kita juga nggak pernah diberangkatkan. Ya mana kita tahu. Ya gitu mbak, kita nggak berani kalau berangkat sendirinya. Apalagi sekarang kan informasi cepat ya mbak, aku datang foto gitu ya. Nanti kalau ketahuan juga pasti, lhoh ini ngapain ini? Ada surat tugasnya nggak? gitu mbak. Dan akupun bukan tipe orang yang ndablek mbak. Apalai pimpinannya kan ya non. Dari hukum ya bu? Huum mbak, jadi kita kalau mau melangkah juga takut mbak. Oh ya bu, kalau hubungan interaksi dengan non pustakawan itu seperti apa kalau bertemu dengan orang lain dalam forum-forum di luar begitu bu? Nah iya biasanya kalau ketemu teman itu kalau nulis pustakawan itu, kadang teman langsung bilang, “Wah pustakawan e”. Nah kayak-kayak gitu kan jadinya sudah minder duluan mbak. Padahal sebenarnya kita sudah dapat pengakuannya. Kita sudah megang itu tadi. Tapi kadang kita nggak PD bu. Lhoh memang kenapa bu kok nggak PD? Yowes iku mau mbak (terputus, ada pihak luar yang mencari surat) Ya gini mbak, ini lagi tanda tangan dari TBM. Kalau jam segini masih belum. Coba nanti jam 4 an, brel brel sampe ratusan orang. Ya kayak itu tadi bu? Kenapa kok nggak PD? Ya apa ya mbak, jadi masih belum PD sama ilmu yang saya kuasai mbak. Ya cuma ilmu yang saya dapat dari kuliah itu mbak. Kan seharusnya sering membaca ya mbak, Ya memang saya salah mbak, harus sering baca itu tadi.
Oh ya bu, tadi kan ibu ceritanya kalau orang lain mengetahui profesi kita sebagai profesi pustakawan itu kan katanya”wow” ya bu? Nah menurut ibu sendiri, pandangan mereka terhadap profesi pustakawan itu seperti apa sih bu? Kalau apa namanya, orang memandangnya itu ya apa ya. Kalau saya awalnya itu juga gitu. Awalnya kok enak ya pustakawan itu ya, nah setelah nyemplung itu kok ruwet gini ya. Meskipun perbedaan usia pensiunannya beda tahun ya. Kalau dulu kan 56, sekarang kan 58 lha aku malah diperpanjang jadi 60 tahun. Lha dengan begitu nggak seimbang, dengan pengorbanan yang luar biasa itu ya nggak seimbang. Jadi ya itu mbak, ya biasa biasa aja gitu mbak. Atau mungkin dengan menjadi pustakawan itu dipandang, kok geleme sih ribet gitu ya bu? Iya mbak, kadang temenku itu bilang kok gelem sih ribet. Kayak Mbak Aulia itu kakak kelasmu itu mbak, itu kan nggak mau ngurus jadi pustakawan katanya ribet mbak. Aku makanya yang awal nyemplung itu saya mikir juga gitu kok ribet ya. Apalagi saya sama mbak Galuh itu kan bisa dikatakan babat alas ya mbak. Jadi awal banget kita disuruh mengurus jabatan fungsional itu. Jadi ya kayak gitu, ruwet mbak. Ancen gitu, pimpinan saya kan minta ngurus. Jadi ya saya ngurus itu mbak, dimarahi juga pernah. (Susana rame karena kedatangan anak TBM untuk tanda tangan SPJ) Ya mungkin terakhir ya bu, kalau jobdesc ibu sendiri dalam mengerjakan tugas-tugas kepegawaiannya itu bu? Kalau kayak gitu nggak ada mbak, jadi saya bisa mengerjakan dari segala lini mbak. Jadi kalau aku ya juga nggak mungkin melayani di bawah. Tapi enaknya saya bisa ngambil kerjaan anak di bawah. Kalau mau di pengolahan ya bisa. Ya enaknya pimpinanku kayak gitu mbak. Jadi sama bisa membantu di bagian lain yang saya bisa. Kalau disini nggak mbak. Saya kan juga pengennya kayak gitu mbak, jadi enak kerjanya. Kalau disini nggak mbak, pelayanan juga ngurusi yang lain kayak gini mbak saya juga ngurusi mereka (anak TBM). WAWANCARA KE - 3 Dulu ketika kuliah, materi apa aja yang diberikan waktu perkuliahan? Waktu D3 ya, ya materi perkuliahan seperti katalogisasi, klasifikasi, sistem informasi perpustakaan, tata ruang terus bimbingan koleksi, terus banyak mbak. Lebih ke teknis gitu ya bu? Huum, lebih ke teknis. Kalau mengenai komputer dulu kan cuma ngono tok mbak. Lhoh jasa terbitan, klasifikasi dan katalogisasi, sistem komputer untuk pustakawan. Paling komputer ya mek iku tok. Dadi kalau mengenai komputer ya cuma komputer untuk pustakawan ngono tok. Jadi yang lainnya itu teknis, seperti referensi, itu kan teknis iya kan? Pembinaan koleksi, nggak ada yang komputerisasi, ya cuma iku tok. Kalau seperti filsafat ilmu, psikologi sosial?
Oh nggak ada, nggak ada. Aku cuma perpustakaan khusus, manajemen perpustakaan, layanan pemakai, penerbitan dan dokumentasi , grafika, ngono tok. Psikologi untuk pustakawan, teknologi untuk media, etika pelayanan, katalogisasi non buku, gitu tok mbak. Kalau ketika menempuh S1 di UWK itu bu? Oh kalau di UWK banyak, sek. (mencari berkas pribadinya) Wah rapi ya bu? Oh iya mbak, kalau mencari arsip lho mbak ben ne cepet. Nah ini nek UWK iku mengenai iki, Sek sek. (membolak-balik kertas) Desain web, prosedur operasional standar, perpustakaan digital, jadi diajarkan kayak gitu. Aplikasi perangkat lunak perpustakaan, terus statistik sosial. Teknologi jaringan informasi, metode penelitian, jasa informasi, metode penelitian sosial, strategi pemasaran jasa informasi, teknologi informasi internet, manajemen perpustakaan dan informasi, sosiologi perpustakaan inforamasi, jadi mengenai TI TI. Oh ya pengantar ilmu politik. Ini yang diajarkan disana. Kalau mengikuti seminar-seminar atau pelatihan waktu kuliah sering bu? Aku kalau seminar itu ya ikut paling kuliah terbuka. Tentang apa bu? Huum, aku lali. Opo yo. Apa ya mbak. Mungkin tema besarnya aja bu? Tentang apa gitu bu? Apa ya, oh iya DDC. Seng DDC lewat ini lho. e-DDc itu ta bu? Iya, e-DDC, kuliah terbuka ya. Harus ikut, seluruhnya. Terus opo maneh ya. Lupa aku mbak. Aku ping 2 nek nggak 3 bu. Yang satu lebih ke keilmuan apa teknisnya bu? Huum, huum, teknisnya. Kalau ketika kerja bu, seminar atau pelatihan yang pernah diikuti bu? Aku pelatihan nggak ikut, ehh (mencari di file pribadi) (Hhhmmm) ngantuk aku mbak. Iki lho mbak, pendidikan dan pelatihan manajemen perpustakaan. Yang menyampaikan dari perpustakaan provinsi ya bu? Iya balai diklat. (masih mencari di file pribadi) Ini seminar-seminar mbak. Oh yang sertifikasi itu? Huum, seminar nasional. Pembicaranya darimana bu? Krinayana Itu ketika menggodok tentang sertifikasi atau ketika sertifikasi sudah keluar bu ? Sertifikasi sudah keluar. Eh mau setifikasi, belum belum keluar. Belum ada sertifikasi. Banyak kalau seminar-seminar itu banyak. Kayak gini, workshop pelayanan perpustakaan.
Bu Ratna yang ngsi? Heem, kayak gitu sering. Kalau pelatihan satu kali tok. Kalau workshopnya bu Ratna itu tentang apa ya bu? Yang layanan TBM untuk layanan masyarakat? Iya lebih kepada pelayanan masyarakat, manajemennya. Mungkin itu lebih tepatnya untuk temen-temen yang sudah terjun di masyarakat ya Heem heem Kalau buku-buku mungkin bu? Yang sering dibaca ibu Saya sering baca novel, kalau ada waktu. Kalau ada novel yang bagus, ada bedah buku. Kalau kelihatannya bagus ya tak baca. Ya kayak ini ini mbak, ini aku dapat mbak (menunjukkan buku) Sering baca-baca buku yang dibawah juga ya bu? Huum, tapi ya seng tipis tipis mbak. Buat ngisi waktu luang juga ya bu? Huum. Kalau aku nunggu atau apa ya tak bawa. Oh dulu ibu juga pernah melayani di bawah? Pernah. Kan dulu sebelum ada anak-anak outsourcing, kita melayani ke bawah. Ibu bagian apa bu? Pelayanan, ya ngurusi TBM, pendampingan sekolah, administrasinya. Aku juga ngurus denda. Oh jadi bisa dikatakan, manajemennya ada disini yang outsorcing dibawah menjalankan begitu ya bu? Huum huum. Kalau kordinator TBM secara keseluruhan itu siapa bu? Kalau TBM itu di layanan, kalau sekolah di pembinaan. Pembinaan itu pembinaan SDM atau koleksi sih bu? Itu lho pembinaan yang di mas Arif lho. Jadi pembinaan SDM. Kalau yang pegang koordinator dari koordinator TBM itu ada nggak bu? Kalau disini itu coordinator dari sub kordinator diatasnya ada korwil. Jadi ada korwil Surabaya barat, Surabaya timur, Surabaya pusat, jadi ada 5 korwil. Kalau ada keluhan ijin atau apa langsung ijin ke korwil. Oh itu terkait adiministrasinya ya bu? Kalau terkait transfer ilmu atau apa gitu bu? Oh itu dari bu Arini sendiri, jadi langsung bareng-bareng. Putra putri panenengan ada berapa bu? 2 satu putra satu putri Kalau suaminya kerja di perusahaan swasta ya bu? Iya Asli Surabaya ya bu? Iya Kemarin sempat bertemu bu Galuh itu, ternyata beliau pecinta alam ya?
Huum, iya iku senengane munggah gunung. Teman-temannya banyak laki-laki. Kalau aku kan ya senang, tapi nggak seneng naik atau apa gitu. Ternyata katanya 1 angkatan sama Pak Zaky ya? Panjenengan juga ya berarti? Huum, pak Zaky. Pak Imam juga. Pak Imam Yuadi? Huum seangkatan. Hahaha iya bu, kemarin juga sempata ketemu pak Zaky, saya bilang “Pak, dapat salam dari bu Galuh?” Jawabnya “Siapa ya” Halah gaya, haha. Orangnya memang kayak gitu. Kalau bu Galuh sudah menikah bu? Belum Kalau bu Galuh, organisasi kepustakawanan aktif bu? Ya itu sama, IPI itu. Sama pak Arif juga berarti? Huum Pak Bowo? Tapi kalau Pak Bowo kan aktivis ya. Kalau kita ya nggak mbak, nggak ada waktu untuk itu. Terus aku yo gak seneng mbak, ngowos rono ngowos rene. Nggak bisa. Kalau buku-buku tentang perpustakaan bu? Mungkin yang sering ibu buat sebagai pedomanwaktu kuliah? Atau mungkin tokoh pustakawan yang menginspirasi bu? Sapa ya yang menginspirasi ya. Gak iku e mbak, nggak ada. Biasa. Huum. Soalnya juga sedikit ya bu orang perpustakaan itu? Iya paling aku nek pas seminar, iku lagek ngerti iku pak Blasius. Wes ngono tok. Kalau menurut ibu pemikiran Pak Blasius itu bagaimana sih? Bagus, pemikirannya itu apa ya. Memotivasi kita. Terus mengenai perpustakaan itu lho apa. Kepala perpustakaan Universitas Indonesia. Ya udah segitu, nggak yang segitu amat aku. Kalau kayak gitu bisa diimplementasikan di pekerjaa nggak sih bu? Kalau dipekerjaan, gini lho mbak. Saya kan nggak langsung ke perpustakaan mendetail. Aku kan di luar backgroundnya lho mbak. Jadi ya nggak anu mbak. Aku kan nggak ada waktu luang di keluarga, iki barusan ngumpulkan data-data, terus iki sek tak ngleyeh. Kalau buku perpustakaan bu? Huum, iyo itu Sulistyo Basuki iku. Hahaha iya kitab itu bu.
Hahaha iya mbak, kan dulu itu harus semua punya mbak. Wajib itu mbak. Itu wajib itu. Kalau klasifikasi katalogisasi kan bahasa inggris semua tu, akhire beli kamus itu. Lha nek nggak isok bahasa inggris.
Siapa bu yang biasanya ngajar? Kalau klasifikasi itu bu Irin dari Widya Mandala. Wes semnagat pokoke wonge iku, cuepet. Kan dulu juga dari sana ya. Kene sek nggoleki, seng pinter bahasa inggris wes jawab. Hmmmmm…. Pernah diajar bu Tri juga bu? Kalau bu Tri itu pernah, opo yo tapi lali aku. Gak seberapa, mau mau selesai iku diajar bu Tri. Bukan wajib kok. Biasanya itu yang hampir setiap semester ada itu Bu Rahma sama Pak Koko. Terus Pak Sumarno. Pak Bowo sekarang dimana bu? Ndak ada dari pagi, jaga pameran katanya, ya buy a? (tanya teman sebelah) Tapi mbuh. Lhoh kenapa memangnya bu? Wes nggak usah diomong mbak. Sering nggak masuk? Ya kayak gitu. Oh ada pameran bu? Iya di DBL, Islamic Book Fair. Oh perpustakaan juga buka pameran disitu? Huum huum WAWANCARA KE-4 Mengenai pekerjaan itu kan dimulai dari bapak yang bekerja di foto copy di perpustakaan UNAIR. Di perpustakaan UNAIR yang kedokteran. Jadi ya saya tahu, kok kelihatannya kerjanya enak. Ya dapat dari itu tok. Akhirnya disarankan keluarga untuk ke perpustakaan. Ketika di sekolah kana da perpustakaanya ya bu. Dari SD, SMP dan SMA. Oh SD nggak ada mbak. Oh nggak ada ya bu, itu kan pasti ada pustakawannya ya bu. Kalau pustakawan itu, eeehhmm (berpikir) itu kan nggak khusus. Meskipun ada, SMA juga nggak ada yang jaga. Ketika itu, dalam pikiran ibu, perpustakaan itu apa sih bu? Ya waktu itu tempat buku, ilmu, cari sumber-sumber informasi. Jadi yang kita tahu sebelum terjun secara langsung.
Kalau melihat dari petugas perpustakaan ketika di sekolah itu bu, menurut ibu bagaimana? Kalau petugas perpustakaan di sekolah yow is cuma itu mbak, sekedar menunggu. Kan dari dulu nggak kayak sekarang, perpustakaan digalakkan apa. Kalau dulu kan nggak mbak. Begitu. Jadi masih terbatas hanya melayani peminjaman? Huum Sebenarnya cita-cita awal ibu sendiri apa sih bu? Cita-citaku waktu kecil ikuopo yo Sampe lali. Tapi bukan pustakawan ya bu? Nggak Aku dulu itu waktu kecil, aku iku seneng melihat orang pakai baju seragam. OOhhhhh Alhamdulillah sekarang terkabulkan ya bu. Huum huum, aku seneng waktu kecilku itu tok. Waktu dulu SMA itu kan biasanya ketika mau lulus mendapatkan pengarahan terkait jurusan-jurusan yang ada di perguruan tinggi kan bu? Waktu SMA nggak. Kalau aku masuk A1, A2 gitu. Oh waktu kelas 3 SMA bu? Nggak nggak. Oh jadi sosialisasi memang hanya dari keluarga ibu yag menyarankan ke perpustakaan itu ya bu? Huum Dan saat itu ibu belum memiliki padangan ke depanya mau masuk jurusana apa ya bu? Memang keluargaku kan ada yang di perpustakaan, D2 itu. Paklek itu, akhirnya aku disarankan untuk masuk perpustakaan. Om bulek, semua keluarga dari ibu seperti itu. Kan dia lihat prospeknya.
Keterangan Transkrip : PA : Informan (Pustakawan) Direkam pada hari Rabu 02 April 2014 pukul , Selasa 22 April 2014 pukul , Jumat 30 Mei 2014 pukul 12:25, Selasa 15 Juli 2014 Lokasi : Ruang kerja Bagian Layanan, Perpustakaan Umum Kota Surabaya
Data Informan? PB. Lulusan S1 Pendidikan Umum UNESA. Mengikuti diklat kesetaraan untuk pustakawan. Menjadi pustakawan sejak tahun 2007. WAWANCARA ke - 1 Jadi topik penelitian saya itu tentang pustakawan, bagaimana pustakawan memaknai profesinya. Kalau saya ini bukan dari background pustakawan. Saya awalnya dari background pendidikan yang kemudian di mutasi ke perpustakaan kemudian mengikuti diklat yang diadakan perpusnas salama 6 bulan. Terus opo maneh? Sebenarnya banyak sih pak yang mau didiskusikan tentang pustakawan. Oh iya, wes ngene ae ya besok disposisimu foto copyen ya. Ya pak, besok saya ke Pak Topo. Kemarin di disposisi ke beliau soalnya. Oh ya bisa minta nomer hp panjenengan pak? 0816956719. Jadi sebetulnya disini ni, secara tidak tertulis koordinator dari pustakawan. Nah menunjuk Pak Arief selaku koordinatornya. Jadi kalau ada apa, Sk, Ijazah atau apa itu dia. Kan memang ada diklat, tapi kalau di perpustakaan kan ada dua istilah pegawainya, yaitu pustakawan dan tenaga teknis. Nah siapa tenaga teknis? Meskipun dia petugas perpustakaan belum tentua dia pustakawan. Meskipun dia sudah pernah ikut pelatihan belum tentu dia pustakawan kalau belum mengikuti pelatihan penyetaraan. Oh ada diklatnya sendiri ya pak? Iya, Cuma pelatihan yang seperti itu adanya cuma di pusat, di perpusnas. Jadi nggak sembarang pelatihan ya pak? Ndak sembarang, kita itu untuk tenaga teknis aja. Jadi kita ini setiap tahun menyelenggarakan ada 3 jenis pelatihan, pelatihan untuk tenaga teknis perpustakaan sekolah, pelatihan tenaga teknis di yayasan termasuk PAUD dan TK, jadi kita memberikan pembekalan. Itu tenaga perpustakaan bukan pustakawan. Bukan pustakawan, kalau pustakawan itu ada jamnya terutama. Ada jamnya khusus. Kan biasanya diklatnya ada beberapa ya. Kebetulan ada yang dari perpusnas itu. Saya backgroundnya dari guru, kepala sekolah SMA, pengawas sekolah, kepala kantor. Jadi yang berkaitan dengan sekolah itu termasuk kualifikasi saya. Terutama untuk nimbus-nembus ke TK, SD, SMP. Termasuk teman-teman saya itu banyak yang disana. Ada yang teman satu kelas, teman satu ratting. Kebetulan saya juga termasuk backgroundnya guru tahun 1979. Sudah lahir belum? Hehehe belum pak. Tahun 79 saya sudah jadi guru umur 18 tahun. Jadi lulus SMA saya SPG. Umur 18 tahun sudah jadi pegawai. Jadi sampai sekarang kurang lebih sudah 36 tahun. Kalau jadi pustakawan sejak tahun berapa pak? Kalau jadi pustakawan tahun 2007, jadi 7 tahun.
Langsung disini ya pak ya? Dulunya saya pengen jadi pengawas kembali. Tapi ua sudah jadi pustakawan. Termasuk orang yang ngerti perpustakaan itu kan langka ya. Apalagi untuk mendalami itu. Nanti ini seperti yang saya katakana ke Bu Ratna ini, tahu bu ratna kan? Iya bu Ratnaningnsih. Saya katakana ke beliau, masukan ke UNAIR. Ilmu yang ada di bangku kuliah itu perlu disesuaikan dengan yang ada di lapangan. Tiap kali saya jadi juri sering bareng sama beliau. Sekarang itu sudah saatnya ada perubahan paradigma. Petugas itu maksimal umur 35 tahun. Minimal pendidikan SMA. Haru suka baca, harus bisa dongeng. Kita punya petugas TBM itu 421 dengan gaji 2 juta 2 ratus. Memanag harus beberapa hal, sekarang itu ngak bisa kalau hanya sekedar menunggu pemustaka datang. Harus menjemput bola. Harus melayani dengan baik. Termasuk di perpustakaan harus ada schedule. Dalam satu mingg itu schedule kamu apa, jadi nggak Cuma nunggu tok. Misalnya hari ini ada kegiatan apa. Jadi ada kegiatan rutin, kegiatan insidentil. Contoh kegiatan rutin apa, bimbingan belajar rutin, terus yang nggak rutin apa. Kemudian ada story telling, kemudian ada kurikulum wajib baca. Sudah ada itu. Tapi kalau di tempat yang lain baru wacana itu. Yak an? Kalau disini sudah sampai kebijakan dari walikota terus ada persetujuan dari dinas pendidikan juga ada lagi dari kepala sekolah. Terus ada bukunya, jadi itu resume anak itu baca atau nggak. Kita akan, dalam satu tahun di abaca berapa buku. Nanti kita sampai kesana. Jadi kita sudah memulai, nanti kita apa. Nanti kita lihat tingkat keberhasilan anak di dalam apa, minat budaya baca dengan cara story writing. Jadi habis baca berapa menit, terus menceritakan kembali. Kalau di tempat lain itu masih wacana. Di tempat yang lain yang melaksanakan 1 2, kalau di Surabaya sudah gerakan masal. Sudaha ada kebijakan. Kita yang dari perpus ikut menangani. Ya memang ada yang berhasil ada yang belum, tapi itu kan proses aja. Ibaratanya orang sekolah, ya bersyukurlah kalau muridnya pinter kabeh. Kalau menurut Koppa Nurma kana da yang pinter ada yang nggak. Kalau ada anak Sidoarjo, Lamongan bijine apika kabeh, orang-orang seng pinter iku cuma mesem tok. Nggak mungkin nek anak itu kuabeh bijine 9 9. Pasti ada yang nggak beres. Yang nggak beres apa, pengawasannya longgar. Jadi ada anak yang saling nyonto. Kan nggak bisa, nggak mungkin anak pinter kabeh lho. Dia pasti ada kelemahannya. Opo maneh jenenge kepala sekolah pengen muride akeh, ngongkon gurune. Terus kamu juga buat kuesiner? Oh ndak pak, saya wawancara. Oh ya monggo kalau masalah perbukuan, senajan buku ada di bu Jumpa. Kalau masalah personil memang ada di kita. Dalam arti pembinaan SDMnya. Tapi kalau terkait layanan di TBM. Meskipun sekarang kita juga menghandle. Tapi kita beda fungsi. Meskipun biasanya kalau ada tamu juga kesini.Thesis atau apa memang kebijakannya ada di kita. Termasuk apa apa ya. Ya udah kalau sms saya saja untuk janjian. Iya pak, terima kasih banyak.
WAWANCARA ke - 2 Jadi awalnya kan bapak dulu dari background pendidikan ya? Guru, penilik, kepala sekolah juga, pengawas iya, kepala kantor iya, kepala kantor departemen ya kecamatan, juga kepala cabang dinas, wakasie kesiswaan di dinas pendidikan, terus sekarang di perpustakaan. Itu dipindah langsung oleh pihak pemkot ya pak? Iya dari pemerintah kota Awalnya ketika bapak dipindah di perpustakaan kota ini bayangan bapak terkait pekerjaannya ini bagaimana sih pak? Bagi saya pribadi saya ini kan latar belakangnya senang membaca dan senang organisasi, sehingga dari ini saya enjoy aja. Karena bagi saya, dimanapun saya berada saya harus eksis. Karena saya punya latar belakang yang lebih dari teman-teman saya. Bahkan pada waktu saya SMP dan SMA saya berhasil menjadi pelajar teladan seSurabaya bahkan Se-Jawa Timur. Itu pada waktu jamannya bu Risma. Jadi saya mengalahkan siswa-siswa SMA se-Surabaya bahkan se-Jawa Timur. Bahkan ketika gurupun saya menjadi guru teladan. Terus kemudian awal disini, perpustakaan sini masih hanya berfokus pada perpustakaan kelurahan saja. Jadi belum menyentuh pada perpustakaan di sekolah-sekolah. Kemudian setelah saya hadir di tahun 2003, beberapa tahun kemudian ada perubahan pimpinan yang notabenenya memang memiliki background pendidikan, Jadi yang menjadi pimpinan disini adalah mantan Kepala Dinas saya di dinas pendidikan. Sehingga baru tahun 2004 ini perhatian perpustakaan kota ini kepada perpustakaan sekolah baik dari diklat maupun bantuan buku. Oh iya pak ya, saya juga pernah melihatnya di SDN Nginden Jangkungan ya pak ya. Oohh nggih nggih, itu awal 2009. Terus kemudian pustakawan disini pada waktu dulu ada, tapi senior. Itu dulu adalah pustakawan senior dari perpustakaan jatim yang hampir pension atau bahkan sudah pensiun ya, ditempatkan disini. Ya akhirnya menjadi tenaga yang diperbantukan, namanya pak Suryadi. Terus kemudian perkembangannya itu kebijakan-kebijakan itu sebenarnya mulai tahun 2005 itu embrio-embrionya mulai kita buatkan perdanya. Namun pada waktu itu namanya bukan perda perpustakaan, tapi raperda perpustakaan sekolah. Kebetulan bu Arini hadir mulai 2007, 2007 mulai kemudian ada sedikit sentuhan polemik. Perpustakaan kelurahan yang sekitar 141 itu nggak jalan dari hasil monev, akhirnya dari situ kita mulai plan over perpustakaan itu kita limpahkan ke ibu-ibu PKK. Kenapa? Karena pada waktu ada 3 permasalahan yang terjadi pada waktu itu. Yang pertama, permasalahan terkait petugas yang nggak ada, ndak seperti petugas saat ini yang ada. Dulu hanya oetugas kelurahan yang sambilan. Yang kedua ruangan, ruangannya ada.
Tapi ketika musim PEMILU, hancur sudah itu perpustakaan. Kemudian yang ketiga itu masalah koleksinya itu tetap. Oleh karena itu tahun 2009 itu PERDA lahir. Kan tahun 2007 itu UU 43, pada 1 November 2007 diudangkan oleh pak SBY. 2009 kita punya PERDA, tahun 2010 kita punya perwali. Tahun 2009 kita punya PERDA terkait jabatan fungsional pustakawan. Baru ini setelah itu muncul rekrutan pada tahun 2007. Jadi pada waktu itu ketika pegawai yang masih berstatus HONDA seperti mbak Erna dan mbak Galuh ini, kemudian mas Arief yang udah mengabdi sekitar 1012 tahun lebih kemudian diangkat. Jadi mereka mengabdi cukup lama. bukan terus karena mereka dulunya dari perpustakaan terus direkrut gitu bukan. Harus mengabdi dulu dengan status HONDA itu tadi. Kemudian pada waktu itu ada mbak galuh dan mbak Erna, kemudian menyusul mas Arief baru kemudian ada mas Bowo. Kemudian sebenarnya ada nyusul itu Mbak Emil sekarang yang terakhir. Jadi sekarang itu tenaga pustakawan kita yang terampil itu ada 4, tapi kayaknya ini akan 5 karena mbak Galuh dan Mbak Erna ini sudah lulus S1 dari UWK. Namun saat ini masih terampil, karena ijazahnya masih D3 belum alih jenjang. Kemudian kalau mbak Aulia dari jalur perguruan tinggi S1 namun belum memiliki jabatan fungsional. Jadi tunjangan fungsionalnya beum dapat. Jadi sekarang kita, total semuanya itu ada 6, 7 sama saya. Dulunya Bapak dari background pendidikan nih, terus kemudian dipindah menjadi pustakawan. Kalau dari Bapak sendiri, apa sih pak pustakawan itu? Yang jelas saya, ilmu pustakawan itu kalau dari awalnya itu mudah ya. Jadi orang awam itu melihatnya mudah jadi menyepelekan ya. Tapi kalau kita dalami, ternyata ilmunya seorang pustakawan itu cukup dalam ya. Dan tidak semua orang bisa melakukannya. Terutama orang yang membina sekolah saja ya, itu ilmunya masalah perpustakaan itu nggak punya. Kan saya punya ilmunya pengawas kan ya. Jadi biasanya Cuma dilihat, oh bukunya tertata rapi saja. Kalau klasifikasi, bagaimana meningkatkan budaya baca itu menjadi hal-hal yang bagi mereka itu nggak penting. Tapi setelah saya disini, saya mulai menyadari hal-hal tersebut dan tahu apa yang seharusnya dilakukan. Akhirnya permasalahan yang perlu di ini adalah SDM. SDM itu apa petugas. Sampai saat ini yang menjadi permasalahan itu, hingga saat ini formasi pemerintah pusat dengan pemerintah kota apalagi kabupaten.Formasi perekrutan perpustakaan ini masih sangat minim sekali atau bahkan tidak ada. Padahal sudah ada PERDA, dan lain-lainnya. Akhirnya dari pemerintah kota sendiri membuat proposal yaitu kalau kita harus menunggu perekrutan PNS dari perpustakaan itu bagaikan pungguk merindukan bulan, jadi mustahil gitu kalau dirasa. Akhirnya kita lewat program yang jalan, akhiranya kita punya program yang digagas dengan ibu walikota. Grand desain 5 perpustakaan wilayah di kota Surabaya, ada Surabaya Timur, Surabaya pusat, Surabaya selatan, utara dan barat. Jadi oleh bu Risma tidak direspon. Tapi akhirnya bu Risma meminta dana yang sudah ada itu dibuat untuk mendirikan perpustakaan yang di tengah masyarakat. Kan di PERDA kita, PERDA nomer 5 tahun 2009 itu memiliki perhatian pada 3 jenis perpustakaan. Kan jenis perpustakaan itu ada 5, namun yang tidak bisa kita fasilitasi itu yaitu perpustakaan nasional dan perpustakaan perguruan tinggi. Kan nggak mungkin kita mengcover perpustakaan nasional, kalau perpustakaan tinggi kan sudah mandiri sudah banyak orang-orang pintar didalamnya. Sehingga kita hanya memfokuskan
pada 3 itu tadi yaitu perpustakaan sekolah, perpustakaan umum dan perpustakaan khusus. Namun ini juga kita prioritas, yang pertama kita prioritas itu pada SD, SD juga ini ada prioritasnya SD negeri. Namanya suatu program kan harus ada skala prioritasnya. Ada kemudian perpustakaan khusus, namun masih belum maksimal. Pernah ada pelatihan tentang perpustakaan khusus, namun juga masih belum maksimal. Terus kemudian perpustakaan umum. Perpustakaan umum ini juga terbagi menjadi perpustakaan di kota, kecamatan kemudian kelurahan. Di PERDA kita, jenisnya perpustakaan umum sendiri ada 3, sejenis perpustakaan, taman baca dan sudut baca. Apa sih kaitanyya dengan perpustakaannya itu berkaitan denga jumlah bukunya. Minimal kan 500 judul untuk perpustakaan. Nah kemudian untuk taman baca dibawah itu, sekitar 300 judul buku sedangkan sudut baca itu minimal 100 judul buku. Jadi kita nggak mungkin sekali tembak langsung perpustakaan itu. Akhirnya kita diskusikan dalam musrenbang. Akhirnya yang dikasih penyuluhan pada waktu itu adalah para bunda PAUD. Kita sampaikan pada waktu itu yaitu kita punya mimpi untuk memiliki 1000 taman bacaan. Akhirnya kita beri tahu kalau pengen di RWnya pengen memiliki TBM itu bisa mengusulkan melalui pak Lurah. Akhirnya mulai dari awal sedikit sedikit, setiap tahun. Akhirnya diiimbangi dengan petugas itu. Ketika kita membuka recruitment pegawai, sangat jarang sekali yang memiliki background perpustakaan. Bahkan ada yang lucu lagi. Ada yang memiliki background D3, tapi ditakoni iku sek lolak lolok. Makanya kita sempat mempertanyakan dengan pendidikan yang ada di UNAIR maupun UWK. Sempat saya sampaikan, “Bu, rupanya kok ada yang salah ya pendidikan perpustakaan antara yang di UNAIR dan UWK?”, Kenapa?, Kelihatan mereka itu terlalu teoritis. Padahal saat ini kemampuan pustakawan itu dituntut untuk tidak hanya sekedar bisa klasifikasi saja, tapi juga kaitannya dengan peningkatan minat baca. Sedangkan petugas yang ada di kita, daya tawarnya minimal D3 dari negeri minimal IPK 2,75 dan kalau non negeri itu minimal 3,00. Itu administratfi. Kemudian kalau SMA/SMK minimal 8. Kemudian ada tes tulis, lolos tes tulis ada FGD. Mereka harus bisa berkomunikasi dan menyelesaikan permalahan. Kemudian ketiak wawancara yang ditanya terkait background organisasi, kemampuan story telling, dan kemampuan mengoperasikan komputer. Terus kemudian di wawancara mereka akan ditanya background organisasi, suka baca nggak, suka story telling nggak. Kemudian setelah itu ada tes psikologi, nanti akan kelihatan anak ini senang sama buku nggak. Kemudian ada tes paranoid. Saya sendiri yang ikut nge tes itu. Pada waktu tes itu ada salah satu pustakawan itu yang tidak nyambung. Oleh karena itu selain materi dari perkuliahan juga harus punya kemampuan lain. Termasuk apa, komunitasmu yang ada di UNAIR itu seharusnya merapat ke kita. Seharusnya kita tidak terpisah dengan kegiatan kita yang ada di sby ini. Kemudian saya melihat perkembangan saat ini, IPI harus eksis. Apalagi IPI pusat itu bagaikan hidup segan mati tak mau. Nggak usah jauh-jauhlah, kita IPI Surabaya aja, kalau IPI Jatim kebetulan yang pegang temen saya kebetulan sekretaris saya di suatu organisasi yang lain. Itu eksistensinya hanya terbatas di perguruan tinggi. Karena pemerintah dalam hal ini khususnya Depdikbud itu punya banyak sekolah. Itu tidak membuka krannya untuk angkatan formasi pustakawan. Sedangkan apa yang terjadi di lapangan, perpustakaan di sekolah-sekolah diisi dengan guru-guru yang notabenenya nggak ngerti ilmu tentang perpustakaan. Padahal sudah kita diklat.
Bahkan yang pernah saya temukan, saya pernah menemui salah satu pegawau padahal lulusan D3 ilmu perpsutakaan dan sudah bekerja selama 1 tahun, tapai apa yang dikerjakan. Jadi dia hanya mengerjakan hal-hal yang normative saja sehingga bersifat pasif. Jadi hanya mengolah buku, kan sebenarnya ndak kita harus proaktif harus bisa menyanyi, ice breaking, dan lainnnya. Pustakawan itu harus pro aktif, jadi jangan hanya bisa ngolah buku. Tapi dia harus ikut memback up fungsi dinas pendidikan untuk mencerdaskan bangsa. Ini seharusnya menjadi PR bersama termasuk saya pribadi. Kita berharap ada kebijakan dari pemerintah pusat utamanya Kementerian Dalama Negeri dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan membuka formasi untuk jabatan pustakawan. Yang lalu kebetulan saya mewakili bu Arini dalam seminar kementerian dalam negeri, saya sampaikan pada waktu ada tiga hal yang menjadi permasalahan. Yang pertama jadi kaitannya dibuka untuk formasi jabatan pustawakan. Terus yang kedua kaitannya dengan anggaran. Termasuk yang seharusnya gini, UNAIR yang hubungannya dengan jurusanmu ini kita berkumpul sesame pengelola perpustakaan. Jadi kita harus ngomong, jangan diam saja, Kita harus berani ngomong, paling tidak nulis di Koran. Apa yang ini tolonglah saya sudah mencetak pustakawan ini diopeni. Jadi UWK, UNAIR utamanya UNAIRlah yang perguruan tinggi negeri. Yang anunya pinter-pinter. Perpusnas itu tidak berdaya, perpusnas hanya mengurus yang teknis saja. Yang harus berperan memang Kemendagri dan Depdikbud itu, orang-orangnya darimana? Ya dari orang-orang yang pinter di perguruan tinggi apalagi yang punya jurusan perpustakaan. Seharusnya ada ide dari mahasiswa untuk ngumpul gitu, Jadi harus ada action, ada tindakan nyata. Kan di tempatmu ada organisasi yang di FISIP itu apa namanya? Himpunan Mahasiswa? Nah iya itu Himpunan Mahasiswa seharusnya bergabung dengan kita, khususnya dengan tim saya. Ibaratnya kalian harus menjadi menara gading. Nggak bisa kalau hanya mendapatkan teori perkuliahan. Jadi harus terjun langsung ke masyarakat. Jadi nggak hanya sekedar KKN. Kamu sudah KKN? Iya pak sudah Nah itu apa yang sampean lakukan ketika KKN? Banyak pak di berbagai bidang. Ndak ndak, yang hubungannya dengan perpustakaan. Saya diluar KKN juga pernah punya program namanya META PUSTAKA (Melek dan Cinta Pustaka) yaitu program pemberdayaan perpustakaan sekolah yang pada waktu itu kondisinya sangat memprihatinkan yaitu MI di daerah Blitar. Kita renovasi kembali kemudian kita sosialisasikan dengan teknik story telling. Selain itu di daerah saya di Bojonegoro juga begitu pak. Kamu Bojonegoro mana? Hehehe saya aslinya Tuban pak, tapi ketika SMA sekolah di Bojonegoro pak. Bojongoro mana?
SMA 3 pak, di Bojonegoro kota pak. Iya sih sebenarnya HIMA di jurusan saya kurang massif bergerak. Saat ini kan kepengurusan ada di tangan adek-adek kelas. Nah sepertinya kita juga bingung mau kemana, sedangkan bapak disini. Oleh karena itu sharing-sharing seperti ini sangat berarti sekali untuk ke depannya. Lhoh ndak, artinya kita gini kita minta ya. Di PERDA kita kan nggak ada hubungannaya untuk mengurus mahasiswa, ngurusi PTN. Termasuk IPI, kalau IPI nggak mendekat ya kita nggak ngurusi. Sepeti misalnya gini mbaknya mengatakan kan, sekarang kita itu bisa lihat. Kabupaten mana lembaga perpustakaan dengan dinas pendidikan yang bisa akur ya. Kenapa Surabaya bisa? Karena memang ada unsur historis ya. Soalnya yang jelas saya pernah bekerja dilingkungan dinas pendidikan, sehingga saya tahu, saya punya akses ke semua sekolah dan mereka tahu track record saya di sekolah. Terus kemudian bu wali ini punya kemampuan. Sehingga untuk daerah lain kalau mau menerobos seperti Surabaya ini banyak liku-likunya. Tapi yang jelas begini, terkait konstruksi itu kembali ke personal. Saya lihat hubungan IPI dengan pemerintah kota harus ditingkatkan. Artinya apa di sisi lain antara kepetingan IPI itu harus disinkronkan. Pelaksanaanya Badan Arsip dan Perpustakaan itu kalau nggak dianu ya gini. Sebenarnya saya kasihan sama sampean-sampean ini. Karena gini, yang banyak pustakawannya malah di provinsi itu 35. Kalau di perpustakaan kota ini masih Alhamdulillah. Coba di Pacitan itu hanya 1 dan kemudian pensiun. Jadi aturan yang kaitannya dengan pustakawan khususnya sertifikasi pustakawan itu yang ruwet. Jadi kayak sertifikasi guru itu, kalau sudah disertifikasi itu ruwet. Nggak sebanding dengan tunjangan. Makanya kadang-kadang saya selalu gini. Jadi guru sekarang ini kan jadi rebutan ya. Sekarang gini gaji pustakawan utama seperti bu Ratna, tunjangan saya bisa 2 3 kali atau bahkan 4 kali. Beliau berapa 700 ribu kalau nggak sekarang 1,2 juta, sedangkan saya sudah 6 juta. Jadi ada beberapa hal yang akhirnya ini. Termasuk tentang jabatan fungsional pustakawan itu terlalu ribet pada akreditasi pada pustakawan. Soalnya njlimet. Sampai pernah ada orang yang sudah nggak mau mnegurus jabatan fungsional pustakawannya. Memang harus menguasai computer, harus bisa membuat program kemudian membuat laporannya. Sehingga apa kembalinya pada kebijakan, termasuk harus ada masukan dari para guru besar, doctor, ahli-ahli perpustakaan gimana ini?. Termasuk mahasiswanya juga harus aktif, termasuk IPInya. Dulunya saya juga pengurus IPI Jawa Timur. Tapi ya nggak lama, karena anggarannya. Kenapa PGRI itu bisa menghasilkan undang-undang guru dan dosen. Mereka memiliki anggota yang militant dan dengan jumlah yang besar. Mereka bisa demo, kalau pustakawan demo. Apa yang mau didemo. Mari ngono bayarane gurung jelas disuruh ngurus yang lain. Jadi dari situ ada beberapa hal yang membuat itu. Itu yang mebuat saya berani menyampaikan itu ke pejabat-pejabat atasan, termasuk Depdagri dan perpusnas. Termasuk kaitannya dengan akreditasi perpustakaan. Seharusnya kan akreditasi itu ada pegawainya. Wong pegawainya ndak ada. Guru? Guru iku penggawean wes akeh. Apalagi dengan kurikulum 2013. Nggawe biji iku angel, dadine ngarang biji. Makanya ini kita membakc up perpustakaan-perpustakaan SD. Setiap minggu sekali itu kita briefing pegawaipegawai perpustakaan. Jadi ilmu itu berkembang. Terus apalagi yang ditanya?
Oh ya pak, ini termasuk kaitannya dengan pemilihan profesi pustakawan. Apakah keluarga mendukung ketika bapak dipindah sebagai pustakawan. Termasuk bapak sendiri kan yang saya tahu satu-satunya yang mengikuti pelatihan atau diklat inpassing ya? Pada waktu itu, itu dapat info ketika kunjungan ke Malang. Ada 3 orang yang dikirim, dan saya yang sesuai syarat. Syaratnya kan harus S1 non perpustakaan, golongan minimal golongan 3, dan umur dibawah 50 tahun. Kalau prinsip saya, ketika saya ditempatkan di sebuah lembaga dengan segera saya harus menguasai permasalahan dasar, memiliki ilmunya. Ilmunya untuk melaksanakan tugas. Jadi kalau tentang hal-hal yang sebagai referensinya, termasuk penyelesaian permasalahan dengan regulasinya biasanya saya yang menangani. Kalau dari keluarga sendiri saya pikir tidak masalah. Saya pikir saya disini saya sudah senang, karena disini saya ada kesempatan untuk mengabdi. Soalnya kalau ditempat yang lain, saya punya ambisi ini-ini, tapi banyak kendala. Kendalanya ada yang tidak suka kalau temannya melejit atau punya prestasi, kalau disini nggak ada. Dari sini Alhamdulillah saya mampu mengantarkan perpustakaan kota Surabaya jadi juara nasional, saya termasuk yang presentasi di dalamnya. Jadi saya disini saya bisa sedikit menyimpulkan kenapa Bapak masih bertahan menjadi seorang pustakawan karena Bapak memiliki keinginan untuk mengabdi, backgroundnya Bapak memang suka membaca dan bapak memiliki perhatian yang besar di dunia pendidikan yang itu sangat sinkron sekali dengan perpustakaan. Iya iya betul betul, pinter ngono. Hehe iya sudah mau lulus pak. Terus ini kaitannya terkait profesi pustakawan yang keprofesiannya itu sendiri masih menjadi perdebatan ya. Apalagi kalau menurut pandangan orang awam, masak sih putakawan itu profesi. Kan semua orang bisa mengerjakan dan tidak harus menempuh pendidikan perpustakaan. Kalau menurut bapak sendiri seperti apa? Jadi gini, sesuatu pekerjaan yang kaitannya dengan keahlian khsuus. Kayak guru, kan nggak semua orang bisa jadi guru. Seperti halnya dengan pustakawan. Kan dalam undang-undang sendiri sudah dijelaskan bahwa yang namanya pustakawan itu kan bisa diakui ada dua hal yaitu yang pertama memiliki background pendidikan perpustakaan dan yang kedua mengikuti diklat penyetaraan. Pada sisi yang lain ya itu tadi. Eksistensi yang lain yang perlu ditunjukkan. Seperti saya dan anda ini harus mampu menunjukkan eksistensi ke masyarakat. Seperti profesi-profesi yang sudah memasyarakatkan. Sekarang kan peran dan fungsi pustakawan di sekolah kan digantikan dengan guru yang belum memiliki ilmunya. Oleh karena itu pustakawan yang sudah level-level tinggi itu harus menunjukkan eksistensinya di masyarakat, khususnya di bidang pendidikan. Saya pikir-pikir ya karena itu orang-orang awam tidak mengetahui profesi pustakawan, jangankan orang awam, orang yang masih dalam satu instansi seperti ini aja lho banyak yang nggak tahu profesi pustakawan. Saya yang disini itu ibaratnya saya yang dibagian SDMnya. Termasuk kemarin kan
Surabaya mendeklarasikan sebagai kota literasi ya. Seharusnya dari sini ini kita harus tahu apa yang seharusnya kita lakukan. Peran itu juga peran pustakawan, disamping memang harus kerjasama. Jadi itu PR untuk kita semua, apalagi buat kita yang bekerja sebagai profesi pustakawan. Yang terutama itu kita tidak peka, tidak pekanya itu motivasi di daerah itu agak susah. Kadang mereka itu bingung harus berbuat apa. Harusnya perpustakaannya itu harus gini. Oleh karena itu memang kayaknya kita harus bangkit bersama-sama ya pak ya? Iya, harus bangkit bersama-sama. Makanya itu kita mulai dari Surabaya. Bapak sekarang sudah menyandang status sebagai pustakawan ya? Apakah ketika Bapak keluar itu memperkenalkan diri sebagai pustakawan atau malah under estimate dengan profesi pustakawan? Saya pernah waktu keluar itu ketika ada acara MLM, saya memperkenalkan diri sebagai pustakawan. Memang harus percaya diri, karena memang ya itu tadi jumlah kita sedikit. Ya kadang-kadang ada istilah yang perlu dipahami. Tidak semua pegawai itu bisa disebut dengan pustakawan. Oleh karena itu, kembali lagi ke undang-undang. Bahwa yang ada dua hal yaitu pustawakawan itu sendiri dan pegawai perpustakaan. Kalau saya no problem. Termasuk saya dengan Pak Koko yang sekarang direktur kemahasiswaan, itu kan dulu tetangga saya. Apakah selama menjadi pustakawan ada pengalaman yang negatif gitu pak ketika berinteraksi dengan orang lain? Kalau saya pribadi saya tidak ada masalah. Untuk itu untuk menjadi seorang pustakawan itu ilmunya jangan hanya terbatas ilmu perpustakaan saja. Tapi juga harus menguasai ilmu yang lain. Saya ini di LKMD eksis, pramuka eksis. Kita harus berperan dari semua lini. Makanya di Surabaya kota lietrasi merupakan sebuah gerakan pemerintah kota untuk menjadikan warga kota Surabaya itu memiliki cerdas dan kreatif dengan budaya membaca. Itu yang datang yang nominasi ada literasi politik dan yang lain. Termasuk pustakawan nggak gaptek computer, pinter bahasa inggris, yang kemudian itu harus dipengaruhi dengan ilmu-ilmu yang lain. Makanya nek saiki pustakawan tiu belum berbuat untuk kemajuan bangsa dan negara. Mau minta gajinya naik. Kalau seumpama guru kan sudah sesuai. Kalau mereka demo, kan jumlahnya banyak sehingga punya daya, pemerintah ya ndredek rek. Siapa dosen pembimbingmu? Dosen saya pak Helmy. Kan disini, di instansi pekerjaan sendiri kan nggak semua mempunyai background pustakawan ya pak. Bagaimana interaksinya ya pak? Apalagi membahas tentang profesi pustakawan? Kalau pengalaman atau pengamatan saya disini, mereka nggak ada masalah. Kalau dari tingkat keilmuan atau daya tangkapnya kan berbeda. Jadi istilahnya reaksi yang ditimbulkan berbeda. Memang lebih enak jika ngomong dengan yang pustakawa, setidaknya kan nyambung. Kalau ketika membahas tentang keprofesian pustakawan pak?
Ya itu kita masih terbatas. Apa yang paling mau mebahas tentang seritifikasi, kami hanya memanggil orang-orang itu saja. Tapi memang kalau terkait pegawai kita yang di lapangan itu kami selalu memberikan pelatihan setiap minggunya terkait teknisnya yang ada di lapangan. Mulai merubah ruang perpustakaan yang jelek menjadi bagus, dari menata koleksi hingga membuat kegiatan yang menarik. Kalau dari pustakawan sendiri kan ada kode etik ya pak ya? Iya tapi mohon maaf saja, sampai saat ini saya belum tahu kode etik itu mbak. Kode etik profesi itu saya ndak tahu. Artinya, terutama dari IPI itu ndak ada sosialisasi. Coba sampean tanyai yang lain, apa tahu mereka. Iya pak, kemaren saya wawancara bu Erna juga beliau tidak tahu. Itu seharusnya tanggung jawab ketua IPInya. Seharusnya ada semacam bukunya. Ya itu tadi yang eksis juga hanya tertentu karena memang ada ketidak pekaan itu tadi. Ada yang perlu gotong royong itu tadi. Kalau menurut Bapak sendiri kode etik dalam sebuah keporifesian itu pentinga apa ndak sih pak? Ya sangat penting, menjadi pedoman kerja bagi seorang pustakawan. Apa-apa yang boleh dan apa-apa yang tidak boleh. Terus apa yang kemudian diarahakan dan apa yang tidak diarahkan. Kamu sudah punya belum? Saya baru baca bukunya Zulfikar Zein itu sih pak, bukan kode etik yang asli. Nah kode etik itu kan sebetulnya singkat. Seperti kode etik guru. Terkait sikap, larangan, hubungan dengan masyarakat. Kalau kita lebih menekankan pada kode etiknya KORPRI itu, kita kan anggotanya KORPRI. Kalau di pramuka kan ya kode etiknya tri satya dan dasa dharma itu. Kalau tri satya ada 3 hal itu dan dasa dharma. Jadi hal-hal yang mendasar itu harusnya disosialisasikan. Itu tugasnya IPI bukan kantor. Waktu diklat aja kita nggak dikasih materi tentang kode etik. Di mata kuliah saya juga nggak ada pak, padahal yang saya amati dari profesi dokter maupun yang lainnya itu masuk dalam materi kuliah. Iya harusnya. Harusnya ngerti etika profesi. Ya sampean usulkan. Kalau kita ibaratnya kan seperti pemain sepakbola sama penonton sepak bola itu pinteran mana? Kadang malah pinteran yang nonton pak. Nah pinter kamu, kan kalau penonton itu goblok-goblokno pemain, padahal nggak ents aslinya. Makanya kadang-kadang ada yang jadi nato atau do more talk less. Kalau saya lebih menjadi yang do more talk less. Seperti ini saya ada tulisan Surabaya sebagai kota Literasi. (menunjukkan buku) Oh yang ada tari buku itu ya pak? Saya kebetulan juga ikut kepanitiaannya pak. Saya tidak ikut menulis, tapi saya ada disini (menunjukkan foto)
Oh ini penghargaan MDG’s Award itu ya pak? Iya ini prestasi yang tingkat internasional. Saya ikut presentasi ini. Ini penghargaannya seperti apa sih pak? Mungkin di bidang apa gitu pak? Ini pernghargaan di bidang pendidikan. Dan untuk yang ini (menunjukkan foto), bu Arini mendapatkan pengharagaan ini, saya yang menyiapkan executive summarynya. Ini penilaiannya seperti apa ya pak? Oh penilaiannya kompleks, dari segi kelembagaan, administrasi, kemudian update pengunjung, peminjam sampai pada outconenya termasuk juga dengan inovasiinovasi yang di lapangan. Jadi ini ada kluster-kluster. Ini termasuk kluster B dari Lubuk Linggau, gedung perpustakaannya bagus namun kegiatannya jarang. Kalau kia kluster A, itu dengan kota-kota yang sudah maju. Gimana , cukup? Kalau terkait jenjang karirnya pustakawan ini menurut bapak jelas atau bagaimana pak? Kok ngomongin jenjang, wong ngomong penambahan formasi aja masih belum jelas. Jenjang itu kan kaitannya dengan bagian ini. Apa yang tersirat dalam undang-undang bahwa orang seharusnya menjabat sebagai kepela perpustakaan itu harusnya lulusan perpustakaan itu kan sebenarnya hanya menjadi hal-hal yang menghancurkan. Karena prakteknya di lapangan, justru di kabupaten kota termasuk di UNAIR apa kepala perpustakaannya itu orang perpustakaan. Termasuk bos saya ini juga bukan pustakawan. Ya ada tapi hanya sebatas diklat manajemen perpustakaan, bukan diklat penyetaraan. Bu Maya, Bu Titik itu teman saya dan bukan perpustakaan. Karena apa, apa jabatan ini perlu masih diperjuangkan. Karean seringkali orang yang menjabat sebagai pustakawan itu masih belum eksis. Nah ini yang menjadi perhatian. Nah ini tadi perlu perjuangan, siapa? Ya orang-orang pinter ini. Jadi harus gotong royong, ibarat sebuah lidi. Jadi kalau kaitannya masalah jenjang itu ya itu. Ibarat bayi itu kita masih kecil. Apalagi undang-undang perpustakaan itu baru 2007, jadi masih SD. Kalau menurut bapak sendiri, menurut pengamatan itu pustakawan itu cenderung nggak mau tahu atau acuh tak acuh? Apakah mereka sendiri sebenarnya tidak menyadari hal-hal terjadi pada profesinya ini? Atau karena memang kerjaan mereka yang terlalu menumpuk sehingga tidak ada waktu untuk mengurusi ini? Sebenarnya mereka menyadari, namun suatu saat kita kerja kan dituntut untuk maksimal. Sisi yang lain kan terkait waktu. Jadi kembalinya kan gini, dalam suatu oragnisasi in kan harus ada magnet. Kan seperti organisasi pramuka. Ketika jadi pengurus, itu anggotanya terdiri dari orang-orang yang memang dari dulunya sudah di perpustakaan. Kalau sekarang ini, diisi dengan orang-orang yang nggak tahu jeluntrungannya berada di pucuk pimpinan. Kadang-kadang apalagi pimpina ngomong ini nggak penting nih. Jadi seharusnya pimpinan itu juga terlibat dalam sebuah organisasi. Seperti seorang pimpinan sebuah organisasi itu harus berpikir bagaimana organisasinya itu tetap hidup. Termasuk jika tidak ada anggaran itu, dia harus berfikir bagaimana caranya agar tidak mati. Kan bisa dengan berjejaring itu. Kalau bisa dikomunikasikan. Tahu bu trini kan? Termasuk seperti itu. Seperti pak
Abimanyu? Beliau kan juga sibuk, sekretaris BKD. Ndak tahu yang saya lihat beliau background perpustakaan. Tapi memang beliau pernah bekerja di perpustakaan. Ya itu tadi kembali lagi, kalo organisasi tidak memberikan keuntungan malah torok ya siapa yang mau. Makanya dari mahasiswa seperti ini memang seharusnya memiliki ideologis, tapi pada suatu ketika juga harus realistis juga. Suatu contoh saya sewaktu sekolah saya ketua OSIS ya. Kemudian saya mulai dari awal. Karena orang tua nggak mampu ya, saya mulai dari naik sepeda ontel. Kalau menurut bapak sendiri peluang profesi pustakawan sendiri ke depannya seperti apa sih pak? Kalau dilihat ya, apalagi Indonesia sendiri menjadi suatu negara maju sebenarnya masih perlu perjuangan keras. Kalau bahasa yang dulu, di angkatan kita yang pertama itu perlu extra ordinary. Saya belum bisa memperkirakan 5 sampai 10 tahun ke depan bakal ada perekrutan besar-besaran seperti profesi guru dan tenaga medis. Kalau tidak ada dorongan dari para pustakawan sendiri ya susah. Ini ada kalimatnya, Don’t you ask what the country bring to you, but you must ask what do you give to the country. Jadi jangan tanyakan pada negara, apa yang negara berikan padamu. Tapi seharusnya apa yang kamu berikan untuk negara. Ini kan pepatahnya John F. Kennedy. Jadi 5 – 10 tahun lagi ada perekrutan besar-besar, tapi kalau nggak ada upayan kalau IPI nggak mau eksis. Iya memang penting pak, saya kadang juga ironi ketika melihat teman saya yang orientasi masuk jurusan hanya karena PNS. Dan bahkan tidak pernah berpikir seharusnya profesi pustakawan itu harus apa sih. Ya mungkin kalau hanya sekedar kerja juga sebenarnya core permasalahnnya dibuka dulu. Jadi memang dari pemerintah sendiri belum membuka rekruitmen untuk pustakawan ya pak? Nah itu yang dari dulu, kalau Kemendagri dan Depdikbud membuka besar-besaran. Kita lihat yang ada di Jawa Timur. Kalau di provinsi sih nggak usah diomong. Di provinsi ada 35. Kalau disini sendiri ada 6 atau nggak 7, padahal masyarakat Surabaya ada berapa juta. Sedangkan lulusanmu sendiri ada berapa banyak. Apalagi yang di daerah, juga masih belum rata. Tulungagung ngenes, daerah-daerah yang lain juga. Kebetulan diskusi tingkat provinsi saya kan menjadi ketua terkait SDM ini. Rekomendasi saya ke gubernur, gubernur memerintahkan walikota dan bupati mebuka formasi perekrutan pustakawan. Termasuk Mbak Aulia ini juga beruntung, formasi di Surabaya ini cuma 1. Kan karek dongane, bejo apa nggak. Kalau di tempat saya, masih lumayan bayarnnya 2,2 juta itu diatas UMR. Tapi kalau di sekolah-sekolah itu dibawah 1 juta. Jadi dikembalikan lagi, pemerintah kota itu bergantung pada pusat. Ya ujungnya di tadi pada Kemendagri dan Depdikbud itu. Jadi kaitannya untuk peluaang itu ya kembali lagi bekerja sambil berdoa. Tapi yang jelas kita punya keyakinan. Bahkan dia bukan sarjana, sarjana geografi itu. Termasuk di tulisanmu tadi yang di PDII LIPI itu kan mereka sudah minta tapi juga nggak ada. Apalgi dengan kondisis sekarang, untuk ngolah buku saja sudah pake software.
Tapi jangan patah semangat, yang penting itu semuanya harus dijalani dengan optimis. Tapi kalau kita menjalani dengan pesimis, nanti auranya negatif. Wawancara sesi 2 ( 3 Juni 2014 jam 13.15) Saya lulus S1 tahun 86. Kuliah di UNESA jurusan pendidikan umum. Jadi awal masuk kira-kira 83 ya pak? Siapa? Saya? Eh 82 ya? Iya saya awal masuk 82. Awalnya masuk SPG 79, kuliah di IKIP di D1. Oh ambil D1 dulu? Iya, ambil D1 1 tahun jurusan IPS saya. Jadi punya akta sama ijazah, akta 1 sama diploma 1. Akta itu sertifikat untuk bisa mengajar SMP. Oh keprofesian untuk guru itu ya pak? Oh heem Ikut diklat penyetaraan itu kira-kira tahun berapa pak? Diklat penyetaraan itu kira-kira tahun 2007. Materinya apa saja ya pak yang diberikan? Materinya banyak, bentar saya carikan. Nggak hafal saya. Opoo yang kamu tanyakan? Apa yang mau kamu tanyakan? Mau lihat materinya aja sih pak. Itu 3 bulan. Oh itu full 3 bulan di Jakarta ya pak? Iya full. Itu dulunya ada utusan dari pimpinan atau inisiatif bapak sendiri? Pastinya utusan dari pimpinan, dulu itu ada 3 yang dikirim. Itu dari perpus kota sendiri atau se Surabaya pak? Itu dari perpus kota sendiri ada 3. Tapi yang diterima Cuma saya sendiri. Oh 3 orang itupun masih seleksi ya pak? Iya masih diseleksi. Nah ini lho materi-materinya. (menunjukkan balik sertifikat) Yang ngisi dari perpusnas sendiri ya pak? Ya perpusnas semua. Ya mungkin ada materi yang paling teringat? Yang jelas materi yang sifatnya aplikatif, seperti kaitannya dengan ehmmm… ya seperti manajemen perpus, katalog, klasifikasi. Hanya saja terkadang kan kita langsung fokus ke pembinaan. Jadi yang terkait pengantar perpustakaan, pengantar perundangn perpustakaan. Ini kan termasuk ilmu baru ya buat bapak, apa yang bapak rasakan? Apa merasa bosan dengan materi-materi yang disampaikan atau oh ini ilmu baru seperti itu pak? Iya pastinya ini ilmu baru ya buat saya, tapi kan sebelumnya saya sudah menjabat. Sudah pernah jadi kepala sekolah, pengawas, jug jadi kepala kantor. Jadi kaitannya yang baru ya masalah ini klasifikasi, katalog, jadi dalam arti kita memahami perpustakaan itu secara total gitu. Kalau yang dulu itu ya hanya sebatas di permukaan aja. Jadi waktu saya jadi instruktur guru dan kepala sekolah itu kaitannya tentang perpus juga nggak begitu disinggung. Termasuk saya sebagai juri akreditasi sekolah
juga nggak detail, oh perpusnya gini. Penataannya, koleksinya sudah bagus, sudah di klasifikasi, ada catatan buku paket nggak boleh banyak-banyak masuk perpus. Ya itu aja, kalau kaitannya sampe detail-detail pengolahan, teknis itu belum. Itu merasa bosan nggak sih pak? Yang jelas nggak bosen ya saya ini. Saya bisa menularkan ilmu saya ke temen-temen. Akhirnya saya ini termasuk disini ni, yang dulunya nggak ahli jadi ahli ya. Dalam arti saya menjadi tempat jujukan untuk bertanya. Kaitannya untuk temen-temen termasuk. Saya banyak memberikan kontribusi kaitannya dengan kemajuan perpustakaan ini. Termasuk raperda perpustakaan, termasuk perwali, termasuk kaitannya dengan pengembangan perpustakaan ini sampai seperti ini. Itu termasuk sumbangan pemikiran dari saya. Termasuk sekarang kalau ada permintaan narasumber yang kaitannya dengan perpustakaan, biasanya saya yang diminta untuk mewakili ketika bu Arininya sedang berhalangan. Baru kalau saya nggak bisa baru diwakili yang lain. Sering ngisi seminar apa aja mungkin pak? Sebenarnya nggak banyak, cuma pernah di Jakarta itu jadi narasumber di Mendagri, juga pernah di ITS. Wah di ITS juga ya pak? Tentang apa itu pak? Tentang revitalisasi perpustakaan sekolah, bagaimana kita membedah perpustakaan sekolah. Masih sangat berhubungan dengan sekolah ya pak? Iya, itu kemarin termasuk saya prsentasi untuk pecan lomba untuk memperoleh MDGs award. MDGs award itu penghargaa internasional. Alhahmdulillah itu kita dapat. Waah untuk memprofilkan perpustakaan kota ya pak? Iya. Mungkin ketika selain diklat yang diadakan oleh perpusnas, mungkin bapak pernah mengikuti diklat atau seminar tentang kepustakawanan pak? Kalau anu ndak, setelah ini kan sudah diangggap diklat paripurna ya. Jadi ketika ada diklat itu giliran temen-temen yang lain. Kalau misalnya da diklat manajemen perpustakaan, akhirnya ya anu saya hanya konsultan saja. Termasuk ini menjadi acuan (menunjukkan sertifikat diklat). Kan ini waktunya 3 bulan, sedangkan mereka menyelenggarakan hanya 1 minggu sehingga materi apa saja yang perlu disampaikan. Termasuk diklat bercerita, itu temen-temen yang lain yang berangkat. Termasuk ada diklat IT pengolahan, itu yang lain yang berangkat. Jadi gantian gitu istilahnya. Saya sendiri kan juga tahu diri, biar teman-teman yang lain juga merasakan. Termasuk diklat penyetaraan ini kan saya juga mendorong teman-teman yang lain. Tapi alasannya juga gitu, satu alasannya lama. Waktu itu saya niati, karena itu memang merupakan bidang yang saya tekuni sehingga saya berfikir itu merupakan peluang. Sama dulu disini ada Pak Suriyadi, dia pustakawan pensiunan dari provinsi terus diperkerjakan disini. Terus ada seperti seniormu itu, dia statusnya masih honorer dulu. Dulu D3 baru lulus dari UWK. Tapi ya Cuma sekedar ilmu, kalau kaitannya dengan jiwa jelajah di sekolah ya nggak punya. Hubungan dengan instansi yang ada
di dinas pendidikan, temen-temen yang disini di luar saya yang perlu memperkaya diri. Selain itu juga sebelum disini saya juga aktivis pramuka, jadi mulai jadi pengurus pramuka gugus depan, kecamatan sampai kota. Sehingga itu membuat akses saya banyak. Sehingga kalau hal terkait pengembangan perpus, kalau kaitannya dengan pengembangan perpus di sekolah, jadi temen-temen nggak ada masalah. Bentar ya ( mengangkat telpon) Terus terus apalagi? Kalau buku-buku tentang perpustakaan mungkin pak? Bapak suka membaca apa? Kalau buku-buku perpustakaan saya lebih suka dengan yang kaitannya tentang biografi ya. Terus buku-buku yang ada disini (mengeluarkan buku). Termasuk seperti gini (menunjukkan buku) Oh lebih ke hubungan dengan orang lain ya pak? Iya, ada juga yang religi ada yang Kalau mungkin buku-buku tentang pustakawan atau peprustakaan gitu pak? Ehm saya pikir saya kan sudah punya ilmunya. Termasuk kaitannya dengan katalog, klasifikasi. Termasuk kaitannya tentang perda, peraturan menteri yang terkait perpustakaan, permendiknas nomor 25 yang kaitannya dengan standar. Ya itu yang sifatnya yang urgent, yang kaitannya dengan kebijakan. Karena kebetulan saya yang pegang rolenya. Mungkin temen-temen yang lain yang hubungannya dengan ilmu murninya ya. Kalau saya tidak disitu, tataran saya implementasinya. Jadi kaitannya kebijakan-kebijakan apa, jadi memang yang cocok di kantor ya seperti-seperti itu. Kecuali kalau ada tendensi lain. Kecuali kalau di akademisi beda, kalau buku-buku, seperti bu Ratna yang kaitannya untuk mendukung dia mengajar. Kalau kita kaitannya dengan untuk menunjang atau reflkesi kita dalam hal membuat suatu kebijakan. Bapak termasuk orang yang mengawal kebijakan-kebijakan tentang perpustakaan ya? Iya termasuk membuat awal perda perpus itu mulai ngawalnya saya sampai jadi termasuk perwali itu termasuk MoU dengan dinas pendidikan. Termasuk bagian nyetting akalu lomba supaya menang itu gimana. Termasuk yang terakhir saya membuat organisasi namanya forum perpustakaan sekolah. Yang notabenenya itu, Anggotanya sapa pak? Kepala perpustakaan SMP dan SMA negeri. Khsusus SMP dan SMA sendiri. Kita pisah kenapa karena termasuk dalam pedomannya sendiri juga beda. Pedoman penyelenggaraan gitu? Iya, istilah standarnya berbeda. Istilahnya antara SMP dan SMA punya anu sendiri. Termasuk juga bahan koleksinya, memang ada yang sama tapi ada yang beda. Bagus itu pak, forum ini kegiatannya seperti apa ya pak? Forum ini kaitannya dalam bentuk sharing ya. Jadi bentuknya seperti MGMP. Jadi forum itu forum pertemuan kepala perpustakaan se SMP negeri se kota Surabaya. Dalam forum itu tentunya ada beberapa kepentinga. Yang jelas bagi saya selaku eh apa Pembina dari perpustakaan itu apa untuk membina perpustakaan yang ada di sekolah itu bisa menjadi baik dan bermanfaat atau memback-up pencapaian tujuan yang ada di sekolah. Karena di sisi lain, banyak kepala perpustakaan yang sebetulnya
backgroundnya tidak dari perpustakaan. Rata-rata dari guru dan itupun ada yang tidak ikut diklat. Ini jadi permasalahan sendiri. Sehingga bagaimana perpustakaan bisa berkembang dengan baik jika yang mengelolanya tidak professional atau tidak berkompeten. Makanya forum ini saya adakan, supaya di sisi lain mereka yang sudah diberi amanah dari sekolah ini mereka memiliki wadah untuk sharing. Dia bisa sharing, curhat, gimana sih permasalahan di perpustakaanku. Termasuk kita punya idealisme, soalnya di kota Suarabaya kalau berjalan dengan baik itu sampai punya otomasi terbentuk itu akhirnya apa, pengolahan buku dengan software. Jadi lebih enak ngolah bukunya. Jadi misalnya buku ini ditulis subyeknya berpacu melawan usia. Terus nanti muncul nomernya. Jadi udah otomatis. Kita udah punya sistemnya. Dan setiap sekolah sudah ada ya pak ya? Ndak semua, karena masing-maisng sekolah memiliki keterbatasan. Keterbatasan diantaranya ITnya, anggaran kan. Wong SMP di Surabaya lho ada yang sambat. Ruang perpustakaannya belum difasilitasi. Padahal kita sudah menawari software itu, tapi kan butuh internet, komputer, printer. Jadi ada sebagian yang sudah jalan, da nada yang belum. Termasuk SD juga. Untuk mereka bisa mendapatkan SIPUS itu tadi, sistem informasi perpustakaan ini, dia harus punya ruangan yang standar. Oh ada standarisasinya ya? Iya ada standar, koleksinya juga sudah banyak, ada petugasnya, selain itu ada komitmen dari kepala sekolahnya juga. Program itu kita berikan dan memang kita berikan secara cuma-cuma. Yang penting ada fasilitas dari sekolahnya ya pak ya? Iya, jadi artinya tidak kita berikan secara royal.Kok langsung dikasih nggak, harus ada persyaratan-persyaratan tertentu supaya program ini nggak dianggap remeh. Padahal kalau itu beli dari orang lain mahal itu. Bisa sampe 5-10 juta itu. Apalagi? Di forum itu kan dari kepala perpustakaan ya pak? Apa ada kepala perpustakaan yang backgroundnya bukan dari perpustakaan? Iya ada, bahkan ada yang diundang kan kepala perpustakaan ya. Yang datang itu bukan kepalanya, tapi petugasnya. Ya itu tadi kepala perpus hanya cari kompenasasi 12 jam itu. Nah ini yang nantinya menjadi masalah. Seharusnya kan diisi oleh orangorang yang berkompeten di bidangnya. Ya nggak papalah guru, guru yang punya keinginan. Ya seperti saya ini kan, dimana guru tapi punya keinginan untuk belajar. Makanya kemarin selain dari materi itu, kemarin juga kita beri materi standar nasional perpustakaan. Mulai dari strukturnya itu bagaimana, syarat jadi kepala perpus itu gimana, kemudian petugasnya itu kualifikasinya gimana, termasuk juga program kerja, termauk kaitannya program wajib membaca, terus kemudian jam layanannya kalau SMP minimal 7 jam, kalau SMA 8 jam. Kemudian apa saja yang menadi tugas perpus itu yang ada 11 item itu. Pengadaan bukunya, pengolahan bukunya, pengolahan untuk pustakanya gimana, perawatannya bagaimana. Kemudian termasuk bagaiamana memaksimalkan perpustakaan itu sehingga mampu dimanfaatkan dengan baik. Nah itu kan perlu ada promosi, perlu ada kerjasama dengan perpustakaan yang lain. Nah itu yang kadang-kadang perlu ada jejaring itu tadi. Bukannya nggak ngerti aapa ya yang akan tak garap iki, makanya malas ke perpus.
Bapak termasuk yang mengonsep materi-materi yang akan disampaikan pada forumforum itu? Lhoh iya, jadi kita kan bagi tugas. Ini misalnya seperti kemarin, materinya SIPUS. Kalau SIPUS itu kan bagian staf saya. Kalau saya kan materi yang sifatnya standar termasuk yang bersifat umum. Terus ada lagi ehm satunya lagi, kan kita juga kerjasama dengan Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi. Jadi saya nggandeng ketua Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi. Kenapa? Supaya apa yang terjadi di perguruan tinggi itu , kepala SMP dan SMA itu tahu. Termasuk juga ada feedback untuk yang ketua perpustakaan perguruan tinggi. Apa yang terjadi di sekolah-sekolah. Termasuk kerjasama dengan Petra. Sempat kerjasama dengan UNAIR, anu mlempem. Perpustakaannya pak? Ya semuam orang-orangnya juga. Yang anu Cuma bu Tri, yang lain kurang mendekat. Sebetulnya saya tu eman. Sebetulnya saya itu dekat dengan bu Nove, bu Nove itu dulu kan sebelum jadi dosen jadi anu itu kan yo koyok sampean ngene. Itu kan dulu stafnya bu Tri Susantari. Masih anu itu dia ikut monev sama saya. Akhirnya jadi dosen terus dikirim ke Australia. Termasuk bu Endang Gunarti Terus keliahatan agak jauh, sehingga kita menggandeng yang lain. Sekarang nggandeng bu Dian kepalanya Petra itu. Yang notabebenya juga lulusan UNAIR itu. Terus ada bu Munawaroh. STIE Perbanas itu ya pak? Iya kepalanya STIE Perbanas, orang provinsi. Justru orang-orang perguruan tinggi itu dekat dengan saya, karena saya sudah ngawal sejak 2003. Dulu kita punya forum Kerjasama Perpustakaan yang notabenenya itu anggotanya para kepala perpustakaan seluruh kota Surabaya. Jadi ada dari perguruan tinggi. UNAIR itu waktu itu kepalanya bu Ratna itu, sama bu tri. Terus yang dari ITS itu, pak sapa itu namanya. Pak Achmad, terus Pak Ananta UGM, Pak Unan Petra, Pak Waji UBAYA, terus bu Imas Maesaroh yang sekarang doctor. Terus kemudian pak Aditya. Jadi orang-orang lama. Itu termasuk mitra saya yang menyusun raperda. Itu termasuk yang menyusun anskah akademiknya ya bu Tri itu. Waktu itu kemarin masih kita libatkan untuk ngisi materi. Yang masih bertahan ya Bu Tri sama bu Ratna. Kapan hari ada bu Nove sama temen-temennya mau penelitian terkait TBM. Nggak tahu tu hasilnya bagaimana. Pernah sekali ketemu. Oh ya pak, kaitannya dengan bapak kan ikut mengawal terkait RAPERDA, PERWALI, UU dan pengimplementasiannya. Kalau nggak salah saya pernah baca di UU itu dijelaskan bahwa untuk menjadi kepala perpustakaan itu harus dari background perpustakaan ya pak. Nah itu apakah diturunkan ada diimplementasikan di kota Surabaya itu sendiri pak? Nah itu yang juga menjadi masalah. Masalahnya nggak hanya di kota Surabaya, tapi masalah di Indonesia. Baru-baru ini juga pernah dibahas di PERDA Jawa Timur. Memang di salah satu kausul ada yang menyebutkan seperti itu. Tapi sampean harus tahun, bahwa sekarang itu berlaku otonomi daerah. Jadi tergantung peraturan kepala daerah. Di sisi yang lain stok untuk pustakawan itu belum juga memenuhi. Dalam artian SDMnya ya. Tapi nggak bisa diambil kesimpulan ya. Diambil contoh,
meskipun pustakawan di provinsi itu banyak nyatanya yang jadi kepala perpustakaannya bukan dari perpustakaan. Kembali lagi pada kebijakan kepala daerah. Itu memang UU itu idealis. Karena apa, termasuk jika UU diterapkan seperti itu, saya punya kesempatan yang besar untuk menempati jabatan itu. Karena saya punya background sudah ikut diklat penyetaraan itu. Namun saya kembalikan lagi nasib sudah menggariskan seperti ini. Ya jadi memang kembali lagi keputusan daerah. Kepala daerah itu kan juga punya kader-kader. Memang pada sisi yang lain ada hal-hal yang, memang sebenarnya bisa difasilitasi dengan begini. Kana da diklat kepala perustakaan kalau nggak salah 2 minggu. Ada difasilitasi itu. Jadi kalau dia bukan dari background perpustaakaan. Cuma jarang sekali yang ikut, karena apa dari kepala perpustakaan ada tanggung jawab di perpustakaan juga. Akhirnya ada kesepakatan membuat kelas khusus setiap 2 minggu. Akhirnya itu ada. Salah satu produknya yang ikut diklat itu ada kepala perpustakaan Tulungagung, Blitar. Jadi mereka berupaya mendatangkan narasumber dari Jakarta. Kan nggak boleh itu, jadi ada kekhususan. Jadi yang mengisi ya perpusnas. Kalau yang bapak rasakan sendiri, apakah kebijaka dari kepala perpustakaan yang bukan dari background perpustakaan itu aka sangat berpengaruh untuk perkembangan perpustakaan? Yang jelas pastinya begini ya. Itu kembali pada masing-masing orang ya. Jadi kalau bukan dari background perpustakaan itu belajar ke kita. Pokonya urusan perpus kita anu. Ada yang pasrah bongkokan, ada juga yang menggali ilmu dari kita atau dari orang lain. Ya lewat diskusi, itu kembali lagi tergantung orangnya. Seperti bu Arini ini pertama kali datang langsung menggali ilmu dari kita-kita ini. Baik dari ilmu perpustakaan maupun kearsipan. Termasuk juga menggali pada narasumber yang lain, bu Ratna, bu Tri. Yang diajak diskusi, termasuk sharing untuk pengembangan perpustakaan. Akhirnya Alhamdulillah kita dapat juara se provinsi itu sejak tahun 2003, kalau yang nasional itu tahun 2013. Kemudian MDGs itu 2014. Awal dulu bapak memang berminat ke pendidikan? Iya dari awal saya memang berminat di pendidikan, termasuk kedua orang tua saya adalah guru. Iya kepengen meneruskanlah, makanya anak saya yang nomor 1 itu saya paksa betul untuk masuk di UNESA jadi guru. Sedangkan untuk nomor 2 dan 3 ini saya beri kebijakan bebas. Akhirnya dia memilih ITS. Terus saya tanyakan kan gini, jadi anak pertama itu mungkin juga keinginan orang tua dan keinginan anak sendiri. Dulu saya pengen anak saya itu pengen jadi guru matematika. Tapi dia nggak mau, akhirnya milih kimia. Memang waktu itu saya suruh ke UNESA. Kenapa? Karena memang ada dasar pemikiran seperti ini, saya kan kebetulan guru, istri saya guru, orang tua guru, mertua saya juga guru. Kan anak pertama itu harus jadi, saya punya bayangan pemikiran kalau sudah lulus saya bisa mengarahkan dan insyaAllah bisa membantu. Umpamanya kan kolega saya banyak. Kalau anak kedua saya beri kebebasan. Alhamdulillah ini sudah S2 dan sudah berkeluarga. Sekarang sudah kerja di sekolah. Alhmdulillah baru 2 tahun sudah mendapatkan kepercayaan untuk mengemban amanah yang lain. Jadi dari awal ngajar, guru rata-rata diberi jatah ngajar 24 jam itu kan sudah banyak. Dia masuk langsung diberi 52 jam. Dikasih jabatan
yang lain, jadi wali kelas, ketua koperasi, staff kurikulum. Termasuk yang sekarang juga anu, desain untuk pengolahan dana BOS.Kan besar itu untuk anak SMK. Saya Cuma punya anu gini, kamu harus jadi pokonya modalmu harus kerja yang sungguhsungguh. Kaitannya dengan honor atau gaji, itu dinomor duakan. Yang pertama cari pengalaman yang banyak, kalau ada tugas segera diselesaikan, jujur, kemudian disiplin. Jadi dari situ, apalalgi namanya pimpinan kan seperti itu. Dulu waktu saya juga gitu, waktu saya lulus S1 tahun 86, saya jadi guru SMA 1 tahun abis itu jadi kepala sekolah. Jadi waktu itu kisahnya gini, saya pikir saya akan dipecat itu. Waktu itu saya diberi jam nggak sampai kayak anak saya, saya dikasih 20 jam. Cuma waktu itu saya ngajar di SD, SMP dan SMA. Jadi waktu itu saya ngajar bukan materi saya. Saya kan pendidikan umum. Tapi di sekolah itu saya ngajar PMP, tata negara, PSPB. Diantara ini yang paling sulit itu tata negara. Karena saya belum pernah, akhirnya saya belajar. Saya ini guru yang saya ingin berpenampilan ketiak mengajar tanpa buku. Saya ndak mau seperti guru ngajar baca buku. Yang terjadi apa, karena kegiatan saya dari pagi sampai malam. Akhirnya nggak kuat itum saya kurangi dari 20 jam ke 10 jam. Wah batin saya, ini pasti saya dipecat. Tapi nasib berkata lain. Saya di tempat itu terjadi kres antara kepala sekolah dan wakil. Terus oleh kepala yayasan saya dipromosikan jadi wakil. Jadi waktu hari H, waktu itu demokrasi. Saya dari wakil jadi kepala sekolah, yang kepala sekola jadi wakil saya. Jadi seperti mimpi. Yang awalnya berangkat itu guru, akhirnya jadi calon kepala sekolah, tahunya dari beberapa jam kemudian jadi kepala sekolah. Terus dari awal juga seperti itu. Kebetulan saya punya bekal dari organisasi, saya dulu di OSIS jadi OSIS saya, terus di pramuka. Setelah 4 tahun saya geser untuk, itu jabatan untuk sekolah swasta. Jadi waktu itu saya jadi guru SD negeri, swasta saya jadi kepala sekolah SMA. Juga sekaligus guru bimibingan IPIEM. Saya dulu jadi kepala sekola tunjangan jabatan 150, saya di bimbingan IPIEM bisa dapat 500. Jadi kepala SD waktu itu 18 ribu. Jadi kenangan tinggal kenangan aja sih. Boleh saya foto ini materi-materi ini? Boleh boleh. Oh aa studi bandingnya juga ya pak? Iya waktu itu di Bandung sama perpustakaan provinsi Bandung. Kenapa kok di Bandung pak? Wah kalau itu saya nggak tahu ya, mungkin waktu itu Bandung bagus ya. Atau sekalian rekreasi. Di Jakarta kan rekreasine nang Bandung. Kalau diklat provinsi itu studi bandingnya di perpustakaan nasional. Saya dijadikan konsultan, sebenarnya yang dikirim 1. Tapi ada yang nggak datang, saya diminta 2 ditambah lagi jadi kita ngirim 3. Saya dulu masuk 5 besar ini. Saya kalah dengan juara 1 itu kaitannya dengan absensi. Saya dulu kan punya tanggungan selaku ketua BPP, Badan Pemeriksa Pengadaan Barang. Jadi harus menanda tangani transaksi untuk pengadaan barang kantor, terus waktu ada kunjungan pimpinan ke Jakarta saya yang guidenya. Sehingga saya harus meninggalkan kelas. Sedangkan yang juara 1 itu, selama 3 bulan nggak pernah pulang. Ya nggak masalah bagi saya.
Ada seminarnya juga ya pak? Ini yang ngisi dari orang perpusnas atau luar perpusnas pak? Seminarnya ini dari luar. Ada mantan pustakawan, pustakawan berprsetasi tingkat internasional. Apa itu. Suherman itu pak? Bukan bukan, udah lama kok. Pak herman kan baru-baru ini. Terus juga ada kunjungan ke UI juga. Saya dulu termasuk penanya yang aktif. Jadi kelas itu kalau nggak ada saya sepi. Terus kalau ulangan itu pasti rebutan dekat saya. Saya biarkan, nek wes amri tak duduhno. Seperti kuliah gitu ya pak? Iya dari pagi sampai sore, apalagi saya agak nakal. Kalau kelihatan materi nggak enak, apalagi saya sudah tahu tak tinggal umbah umbah. Tak tinggal cuci-cuci. Yang lainnya itu tanya, kemana tadi. Saya jadi wakil ketua kelas. Termasuk dalam satu bulan itu saya pegang sapa yang ulang tahun. Biar nggak bosen. Termasuk ada yang cinta lokasi. Dulu ndak boleh antara perempuan dan laki-laki yang duduk berdekatan. Ternyata memang benar, antara dalim sama anu. Biasanya kalau ada konggres IPI itu ketemu, atau kegiatan tingkat nasional. Ya ada yang masih tetep di perpus, ada juga yang di pindah. Oh bisa dipindah juga ya pak? Bisa, teman saya dulu yang ikut itu ada yang sudah jadi kepala perpustakaan kabupaten akhirnya di pindanh di sekrataris dewan. Dulu dia ketua kelas. Lucunya, kita dulu 1 kamar. Jadi kalau dia cape gitu, ayo pak antarkan saya pijet. Kalau di nggak pernah nyuci, nyuruh laundry. Kalau saya sendiri. Kalau malam di Monas, kan cedek mlaku. Ada materi tentang jabatan fungsional juga ya pak? Iya yang KEMENPAN itu, sebenernya dengan KEMENPAN yang baru itu sudah tidak ada lagi jabatan pustakawan terampil. Jadi diharapkan seperti guru. Pustakawan itu ya lulusan S1 sehingga bisa melanjutkan ke pustakawan ahli. Tapi di lapangan kan belum begitu.
Keterangan Transkrip : PB: Informan (Pustakawan/ Pustakawan Inpassing) Direkam pada hari Rabu, 07 Mei 2014 dan Senin, 2 Juni Lokasi : Ruang kerja Bagian Pembinaan, Perpustakaan Umum Kota Surabaya
Data Informan PC. Lulusan D3 Perpustakaan UNAIR. Mulai bekerja di Perpustakaan Kota tahun 2006 dan diangkat PNS tahun 2010. Saat ini golongan II/c. Bapak dulu dari jurusan perpustakaan ya pak? Iya mbak, saya D3 Perpustakaan UNAIR. Boleh cerita nih pak, awalnya ketertarikan bapak memilih jurusan perpustakaan ketika awal kuliah? Saya punya tetangga yang juga bekera di perpustakaan. Saya lihat kok enak. Istilahnya beliau sudah bekerja dan langsung PNS, kelihatannya kok enak. Akhirnya saya tertarik masuk perpustakaan. Lagipula dulu di UNAIR kan ada jurusan akuntansi, manajemen, ya mungkin dengan saya memilih perpustakaan kan peluangnya lebih banyak dibandingkan dengan jurusan yang lain. Jadi saya lebih mudah masuk. Pertimbangannya itu dulu. Setelah masuk jurusan itu pak? Kalau setelah masuk jurusan itu, kan saya dulu kuliah sambil kerja ya mbak ya. Jadi saya kalau malamnya kerja, paginya kuliah. Saya kan membiayai kuliah sendiri soalnya mbak. Saya kerja di sebuah restoran. Tapi memang waktu saya dan teman-teman nggak PD kalau ditanya “jurusannya apa mas?”. Nahhh, hahaha (tertawa). Nggak tahu kalau sekarang masih sama apa nggak. Rasanya perpustakaan itu dibawah sendiri daripada jurusan yang lain gitu. Kalau kami kan S1 ya pak, namanya kan Ilmu Informasi dan Perpustakaan. Jadi biasanya kalau ditanya itu bilangnya jurusan Ilmu Informasi dan pada bagian perpustakaan itu diucapkan dengan pelan. Hahaha perpustakaannya kancrit. Tapi nu lho mbak, setelah sampean lulus insyaAllah jika dibandingkan dengan jurusan lain lebih mudah. Apalagi sekarang kan citranya perpustakaan lagi naik daun. Seperti yang di Surabaya itu habis dapat penghargaan. Jadi jangan khawatir kalau masalah pekerjaan insyaAllah mudah dibandingkan dengan jurusan lain seperti bahasa Indonesia. Malah banyak dari jurusan lain seperti bahasa Indonesia yang lari ke perpustakaan. Saya lihat pustakawan disini masih sedikit ya pak? Iya mbak, kebetulan yang dari jurusan perpustakaan UNAIR sendiri ada 6 orang. 6 termasuk mbak Aulia. Yang senior itu ada Mbak Galuh dan Mbak Erna. Kalau mas Bowo itu kan dulunya pidahan dari Probolinggo. Kalau saya masuk tahun 2006, kemudian diangkat tahun 2010. Jadi saya ini yang terakhir. Ini yang barusan ada K1 sama K2, ini Mbak Emil katut. Dia sudah S1 UWK, tapi yang diakui masih D3nya. Pertama kali mendengar profesi pustakawan ini pak, apa sih yang tergambar? Kalau saya diawal kan memang mikirnya yang penting saya keluar dari perpustakaan bekerja sesuai dengan bidang saya. Tapi kenyataannya tidak, pada waktu itu kan saya masih harus meneruskan pekerjaan saya yang lama. Jadi pada waktu itu tahun 96 itu baru-baru bekerja di perpustakaan tahun 2004. Jadi pada
waktu itu ada tawaran dari tetangga saya. Memang pada waktu itu sih gajinya masih honorer ya. Kalau dibandingkan dengan swasta ya bisa dua kali lipat. Awalnya saya nggak mau. Tapi kalau kayak gini saya mikir, kenapa nggak dari dulu aja. Tapi untungnya nggak lama sudah diangkat. Itu setelah saya di PHK dari pekerjaan sebelumnya. Baru mencari cari dan Alhamdulillah tetangga saya ada yang bekerja disini dan saya nitip lamaran. Ditanyai pada waktu itu, “apa ijazahmu?” “perpustakaan”, terus diproses Alhamdulillah diterima. Ya pertama kainya ini jadi bekerja di perpustakaan. Dulunya kan memang di perusahaan swasta. Oh iya pak, sama seperti bu Erna ya. Beliau dulu juga pegawai administrasi dari perusahaan swasta. Oh kalau bu Erna saya kurang tahu mbak. Belum disini soalnya saya. Kalau bapak sendiri ketika bekerja di lembaga non perpustakaan sendiri itu bagaimana pak rasanya? Hehe Iya rasanya itu gimana ya mbak, jadi bisa dibilang kan belum menemukan wadah yang sesungguhnya. Jadi ilmu yang didapat itu tidak bisa diaplikasikan. Jadi ilmu yang kita pelajari di perguruan tinggi selama 3 sampai 3,5 tahun itu merasa tidak berguna. Apa merasa ada yang kurang begitu pak? Iya mbak ada yang kurang. Percuma, jadi apalagi kerjaan yang seperti saya dulu itu kerjaan yang bisa dikerjaan orang lain tanpa harus menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Kayak kerjaan saya kemarin. Kalau menurut bapak, pekerjaan apa sih pak yang dilakukan oleh pustakawan? Kebetulan saya ini kan pustakawan ya mbak. Baru ngurus title pustakawan itu di tahun 2012. Oh jabatan fungsional itu ya pak? Nah iya jabatan fungsional itu mbak. Kayak mbak Aulia ini kan nggak mau disuruh ngururs-ngurus itu. Soalnya ngurus pertama kali seperti ngurus DUPAK itu. Kalau nggak benar-benar niat ya nggak bakalan anu mbak. Nggak sesuai memang, tunjangannya itu kecil. Apalagi kalau mengumpulkan kredit poin dengan tunjangan itu nggak sumbut. Misalnya nih klasifikasi itu poinnya 0,00 sekian gitu mbak. Apa pak? waah sedikit sekali ya. Memang kayak gitu, klasifikasi itu, ngentry juga 0,00 sekian gitu. Nah kalau dibandingkan dengan tunjangan itu, tunjangan buat yang D3 aja ya, kan pustakawan pelaksana termasuk pustakawan termapil yang nantinya jadi pustakawan ahli. Kalau D3 seperti saya ini namanya pustakawan pelaksana. Golongan IIc, itu tunjangannya hanya 240 ribu. Bayangkan dengan mengumpulkan poin yang seperti itu tadi. Kalau dibandingkan dengan yang PNS biasa, bukan fungsional itu selisihnya 60 ribu. Jadi PNS yang bukan fungsional itu juga sudah dapat tunjangan sebsar 180 ribu selisihnya cuma 60 ribu. Mungkin enaknya itu , fungsional itu bisa naik pangkat 2 tahun sekali. Ini juga masih katanya, soalanya saya juga belum merasakan. Kalau yang PNS biasa kan 4 tahun sekali. Kenaikan golongan itu maksudnya. Kalau saya saat ini kan masih mengunakan aturan PNS, 4 tahun sekali. Soalnya baru ngurus fungsional tahun
2010. Tinggal lihat aja nantinya, apa benar 4 tahun sekali. Saya belum membuktikan. Jadi itulah, nek isok ya mengurus hal-hal seperti itu jangan dipersulit. Wes tunjangannya kecil, mempersulit orang. Jadi banyak yang enggan untuk mengurusi itu. Wes tunjangannya sedikit, jadi nggak sesuai. Seperti ini tadi yang saya bendel itu untuk mrngurusi ini. Penilaiannya sendiri setiap 2 tahun sekali.
Apa saja pak yang dinilai? Ya itu tadi lho mbak, kayak ikut seminar itu nilanya 1. Lumayan besar itu mbak disbanding yang kayak itu tadi harus klasifikasi sampe berapa biar dapat angka bulat. Sebenarnya pustakawan kalau mau nulis buku, artikel dimuat di Koran itu poinnya lumayan tinggi.Apalagi di bagian saya, saya kan di bagian pengadaan. Itu sedikit yang bisa dikerjakan untuk mengisi angka kredit. Jadi seperti klasifikasi, penomoran, dan lainnya itu lebih banyak di bagian pengolahan. Pengolahan, ngentry, katalog. Kalau di layanan kana da layanan sirkulasi, mobil keliling, story telling itu juga ada nilainya. Kalau di bagian saya ini, ee apa mbak kan di bagian diklat, tapi di samping kerja saya juga ngajar. Tapi ngajar ini kalau dinilai dari juknis itu malah nggak sumbut, itu nilainya itu 0, berapa gitu sedikit. Jadi kalau seumpama seminar gitu kan itungannya jam. Paling hanya beberapa jam saja, ndak seperti kalau pelatihan sampai 3 hari gitu kan sudah berjam-jam. Ya 15 jam, kalau saya ngajar kan paling sekitar 2 jam. Jadi mungkin pustakawan yang sambil ngajar itu lumayan mbak poinnya. Itu poinny 0,24 atau berapa itu. Kecuali kalau jadi pemateri narasumber seminar gitu itu tinggi. Nanti itu kan keluarnya sertifikat. Buktinya kan sertifikat itu. Jadi selain buru ilmunya, saya juga memburu sertifikat itu. Katanya kalau berangkat seminar atau pelatihan gitu harus dapat disposisi dari atasan ya pak? Iya harus itu, kayak contohnya saya ini diminta untuk menjadi pendamping SMAN 5 untuk lomba. Jadi Surabaya diwakili oleh SMA 5. Jadi seperti lomba cerdas cermat. Kemarin sudah merangkum beberapa judul buku, nanti diceritakan kembali. Kalau menurut bapak, prospeknya pustakawan di era informasi saat ini itu seperti apa sih pak? Mestinya profesi pustakawan ke depannya itu lebih keren mbak. Apalagi sekarang dengan adanya UU ASN, jadi setiap SKPD atau kantor itu disesuaikan dengan jurusannya. Jadi nanti itu eselon seperti pak Elok itu akan dipangkas. Jadi kedepannya akan banyak fungsionalnya. Katanya sih juga tunjangannya banyak. Jadi kalau dari hokum ya di bagian hokum. Nggak tahu nantinya bakal ada yang overload ada yang tidak. Makanya nanti nggak tahu seperti apa. Makanya kayaknya akan tidak seimbang. Apalagi jabatan pustakawan yang masih sedikit. Dulu disini ada yang memang dari pustakawan, tap ada yang di rolling ke BKD, ada yang hokum. Itu dulu dia masuknya dari perpustakaan. Di dinas tanah 1, 1nya di hukum. Nggak tahu nantinya mungkin akan dipilihi ya. Dipitati mungkin ya.
Saya juga kaget, ketika disini saya kira pustakawan itu banyak. Tapi ternyata kok sedikit. Iya sedikit ya, kan kalau mengacu pada UU sebenarnya juga kepala perpustakaan itu harusnya backgorungnnya dari perpustakaan. Tapi saya rasa ke depannya juga masih kesulitan. Seperti Bu Arini itu, itu beliau bukan dari perpustakaan. Karena ya itu nanti, karena terkendala oleh pangkat. Karena itu untuk jadi kepala perpustakaan kan harus eselon berapa gitu.
Kalau dari keluarga sendiri pak, apakah mereka mendukung bapak bekerja sebagai pustakawan? Kalau dari keluarga sendiri Alhamdulillah, apalagi dengan status saya saat ini kan sudah PNS. Walaupun gajinya juga sama dengan pegawai swasta yang lain, bahkan lebih rendah. Tapi mungkin karena ada jaminan ke depannya ya pak? Kalau kata orang jaman dulu itu kan, PNS itu dicokot-cokot alot gitu mbak. Mbuh apa itu yang dicokot (tertawa). Terus mungkin kan selain dari gaji itu kana da GDP, itu kan lumayan ada tambahan jadi bisa untuk tambahan gaji. Sekitar sebesar 1 kali gaji lah. Tapi ya nggak serta merta langsung gitu mbak. Selain gaji pokok, itu juga ada tambahan dari pemerintah daerah itu disesuaikan dengan kemampuan daerahnya masing-masing. Kalau motivasi yang membuat bapak hingga saat ini bertahan sebagai pustakawan itu apa ya pak? Motivasi yang jelas dari diri sendiri, keluarga itu pasti. Dari keluarga itu istilahnya nggak ada yang nggembosi. Saya mau pindah jadi dokter kan juga nggak mungkin. Saat ini bisa dibilang posisi yang sudah mapan lah. Maksudnya PNSnya bukan pustakawannya. Jadi bisa dikatakan PNSnyalah yang bisa dibanggakan oleh keluarga. Jadi bukan profesi pustakawannya. Kalau profesi pustakawannya sih masih belum begitu anu ya. Ya kalau pustakawan dapat gaji 5 juta gitu lain lagi. Tapi kemarin akhamdulillah dapat perhatian dari BKD. Jadi kana da poin itu, kalau pustakawan itu 730, sedangkan yang biasa 680. Jadi sempat itu protes, “wong jabatane podo kok”. Saya jawab, “wong pustakawan kok”. Saya disini kan termasuk golongan terendah. Teman saya kan kebanyakan golongan 3. Seperti mbak Aulia itu kan lulusan S1, kemudian ikut tes pemkot itu. Tapi Alhamdulillah poinnya sama dengan golongan 3, karena pustakawan. Jadi lumayan diakui, ada penghargaan khusus. Jadi seperti tadi 180, kalau pustakawan 240. Kalau guru tunjangannya bisa mencapai 3 juta, jadi bisa dibilang profesi pustakawan dengan guru itu beda jauh. Yang pentig kan kita syukuri. Enak kalau udah syukur. Engko nek ndangak ae kurang. Tapi kalau kita lihat bawah insyaAllah akan syukur. Kalau kita melihatnya ke atas terus, itu mobilnya kok gonta ganti, rumahnya mewah itu malah jauh dari rasa syukur nanti mbak. Kalau menurut bapak sendiri, apakah pustakawan itu sebuah profesi?
Iya, pustakawan itu termasuk profesi. Jadi profesi yang mulia, karena apa mengajak masyarakat untuk mebaca, mendongeng. Mnecerdaskan masyarakatlah. Apalagi semenjak dipimpin sama bu Arini. Surabaya kan mengalami kemajuan yang sangat pesat dibidang perpustakaan. Kalau dulu nggak ada apa-apa. Kalau sekarang kan perpustakaan mulai mendapat perhatian. Dikit-dikit masuk koran, dikit-dikit masuk TV, dikit-dikit dapat penghargaan. Selang seminggu dapat penghargaan lagi. Ya memang kemarin sempet ada yang pro dan kontra sih. Kan dari Socrates Award itu, katanya lembaganya nggak anulah. Kan sekarang Suarabaya kan menuju kota Literasi, TBMnya banyak. Katanya Surabaya belum ada. Kan itu tergantung dengan pemerintah kotanya. Kalau anggarannya nggak diwadahi ya mana mungkin bisa membuat TBM banyak. Ya itu berkaitan dengan kebijakan anggaran. Kalau menurut Bapak, profesi itu seperti apa sih pak? Mungkin seperti dokter itu kan disebut profesi yang salah satu faktornya ada sekolah keprofesiannya. Hahaha iya kalau menurut saya kayak pustakawan itu orang ini bekerja di perpustakaan dan dulunya sekolahnya di perpustakaan. Tapi ada juga yang bukan dari perpustakaan tapi harus menjalani pelatihan untuk bisa dianggap sebagai pustakawan. Seperti pak Elok itu kan dulunya bukan dari perpustakaan. Tapi karena ikut diklat itu akhirnya diakui sebagai pustakawan. Oh itu yang ikut pak Elok aja ya pak? Iya pak Elok aja itu mbak. Dulu ada yang mau ikut, antri itu di pusatkan. Jadi satu tahun itu hanya berapa gitu. Dan dibatasai usia minimal (berfikir). 50 tahun katanya ya pak? Iya 50 tahun mungkin, jadi kalau sekarang kan usia pensiun diperpanjang mungkin juga usia minimalnya bisa bertambah. Apa sudah nyaman menjadi profesi pustakawan? Ya Alhamdulillah mbak, masak saya mau tengak tengok ke profesi yang lain. Kalau terkait interaksi dengan rekan sepekerjaan, seperti mungkin dalam satu ruangan sendiri itu kan tidak semua memiliki background pustakawan ya pak, apalagi pimpinannya sendiri juga bukan pustakawan. Itu apakah mengalami kesulitan pak? Kalau saya rasa nggak ya mbak, termasuk kompak. Jadi kita memiliki satu tujuan Surabaya adalah termasuk kota Minat Baca. Jadi tujuan kita sama, mendongkrak mint abaca dari masyarakat Surabaya. Bahkan minat baca dari orang perpustakaan sendiri, ini minat bacanya, hahaha (tertawa). Soalnya memang saya akui, minat baca saya tergolong rendah. Tapi saya berusahalah, paling tidak setiap hari baca minimal 1 lembar kertas. Disamping meningkatkan minat baca orang lain , kita juga meningkatkan minat baca diri sendiri. Masak kita ngobrak-obrak orang untuk senang bacam tapi kita sendiri nggak suka membaca. Terus kalau pengalaman positif gitu pak ketika keluar dengan menyandang sebagai pustakawan?
Ya itu mbak senangnya kalau dikirim untuk mengikuti pelatihan atau seminar, itu senangnya gini ketemu dengan teman lama yang kebetulan juga bekerja di perpustakaan yang mungkin bekerja di Sumenep, Probolinggo gitu. Jadi seperti reuni kecil. Itu enaknya, jadi belum tentu kalau nggak ada acara bakal ketemu. Dengan adanya kayak temu karya, diklat itu biasanya ketemu. Kalau mungkin di luar forum pustakawan mungkin pak? Ehhmm gimana itu mbak maksudnya?di rumah atau? Eeehhmmm (berfikir), mungkin ada seminar atau pelatihan yang tidak bertema tentang perpustakaan gitu pak? Oh kalau itu sih memang jarang mbak, tapi juga pernah sih. Kayak seminar pajak, kan bukan bidang saya. Kebetulan saya kan juga megang duitnya sub bidang, jadi pas ada seminar itu ya ikut aja lah. Kalau pahamnya sih nggak segitu paham. Sertifikatnya kan nggak bisa diajukan untuk akreditasi pustakawan. Biasanya kalau memperkenalkan diri gitu apa bilang saya pustakawan, atau saya PNS atau saya bekerja di perpustakaan pak? Hahahaha (tertawa), ya nggak segitunya sih. Ya biasanya kalau kita ngobrol dengan teman gitu, oh dari Surabaya dan dari perpustakaan. Tapi kalau dari Surabaya gitu ya mbak, itu dihargai karena memang Surabaya vokal. Apalagi bu Arini juga sering diundang pusat sebagai narasumber. Baik dari segi anggaran, banyaknya TBM. Tapi kalau pustakawan itu sendiri itu mestinya kurang, dari jumlah 45 PNS 400 tenaga outsourcing itu pustakawannya hanya 6. Paling nggak kan harus berapa persen ya. Ya 40 % aja. Tapi setidaknya di setiap bagian ada perwakilannya, kalau di pengolahan ada mbak Galuh, di layanan ada mbak Erna dan mas Bowo, disini ada saya sama mbak Aulia, mas Zaki juga itu tadi. Tapi ya itulah lengkap, diwakili di setiap bidang. Kalau disini kana da 3 bidang mbak, ada layanan, pengolahan dan pembinaan. Ketika berinteraksi dengan teman seperkerjaan membahasan tentang pustakawan, mungkin dengan bu Galuh atau siapa gitu pak? Oh iya pernah pernah, dulu kita pernah sebentar membentuk perkumpulan pustakawan. Tapi juga nggak berlanjut. Oh iya pak, apa bapak mengetahui tentang kode etik profesi pustakawan? Kalau terkait kode etik pustakawan………, kebetulan kita masih belum punya mbak. Ohh iya pak, kemarin bu Erna juga bilangnya belum tahu pak. Iya namanya sebuah profesi itu kan biasanya pasti ada kode etiknya. Saya juga belum tahu sih mbak, saya juga jadi penasaran coba habis ini saya tak browsingbrowsing di internet barangkali ada. Masalahnya itu, kayak organisasi IPI itu bagaikan mati suri. Apa ya, kayaknya gregetnya itu kurang. Bapak sendiri tergabung dalam IPI? Iya saya anggota tergabung kemarin. Ya saya lihat itu tadi, masih kurang jelas. Apa pengurusnya yang kurang greget atau gimana ya. Yang menggerakkan. Ntah itu mau mengadakan pertemuan 2 bulan sekali atau gimana, biar anggotanya ini kumpul. Belum berjalan dan belum dilaksanakan. Terus mungkin di perpustakaan
sini ada berapa orang, di perguruan tinggi ada berapa orang. Ya mungkin diundanglah, ntah itu mau membicarakan perpustakaan ke depannya atau apalah. Kita ngadakan kegiatan apa yang kaitannya dengan pustakawan. Jadi saya daftar jadi anggota tet, bahkan kartu anggota saya masih kartu anggota sementara. Yang asli malah durung tak jupuk (tertawa). Belum pernah ikut pertemuannya gitu pak? Belum, tapi yang kemarin waktu lokakarya itu yang ngadain provinsi tapi ya itu masih belum greget. Mungkin profesi-profesi lain sering ya mengadakan pertemuan gitu. Pustakawan ini lho yang jarang, minatnya kurang. Selain ikut IPI itu pak, mungkin ikut kegiatan lain? Selain IPI, saya aktif dikampung ya di masjid. Kan makhluk sosial. Kalau menurut bapak sendiri, kalau memang pustakawan itu disebut sebagai pustakawan, apa sih yang seharusnya dilakukan itu pak? Ya itu tadi, yang namanya profesi pustakawan kan intinya perlu mendalami apa sih pustakawan itu. Kalau kita kan pustakawan, jadi kita kan kerjanya di perpustakaan. Harus memberikan informasi pada pengguna, membantu orang memnelusur informasi, dan lain sebagainya. Kalau menurut bapak, apa sih kebelihan menjadi seorang pustakawan? Kalau menurut saya kan 1) Kita kan juga gaji, 2) Dengan jadi pustakawan kan kita bergelut dengan banyak buku, jadi isitlahnya kita harus dimanfaatkan. Ibaratnya kan kalau kita mencari buku apapun kan kita mudah mencarinya. Kalau kekurangannya pak? Kekurangannya (sambil berpikir), apa ya. Kekurangannya kalau dibandingkan dengan profesi lain, pustakawan masih belum sejajar dengan profesi lain. Kita kan masih di bawah mereka. Oh iya ya pak, kalau memang terlihatnya profesi pustakawan ini belum begitu dilihat oleh masyarakat. Sebenarnya kalau menurut bapak sendiri apa sih yang seharusnya dilakukan? Dan pihak mana aja sih pak yang seharsunya terlibat? Iya jadi memang yang harus dilakukan itu dari diri sendiri. Jadi harus aktif perkumpulan, seperti IPI itu harusnya kuat. Jadi pengurusnya itu harus all out untuk memperkenalkan kepada masyarakat bahwa profesi pustakawan itu ada. Sedangkan pihak-pihak yang seharusnya terlibat iya instansi tempat kerja kita seperti badan arsip perpustakaan, perguruan tinggi seperti UNAIR itu kan juga ada jurusan perpustakaan. Itu seharusnya memang harus terlibat dalam eeee istilahnya memboomingkan pustakawan itu sendiri. Terus dari organisasi pustakawan, terus yang paling anu juga dari pustakawan itu sendiri. Kalau pengetahuan tentang jenjang karier pustakawan pak? Kalau jenjang karir sih mestinya jelas mbak, apalagi fungsional. Kana da jenjangnya dari pelaksana, pustakawan terampil dan seterusnya. Kalau pustakawan sih emang jelas. Kalau kita berjalan di jalan yang mestinya.
Dan apakah itu yang menjadi motivasi bapak hingga saat ini masih bertahan sebagai pustakawan? Iyyaaaaaaa, haha dan tidak mungkin saya melirik profesi yang lain. Yang penting kita dalami lebih dalam. Memang saya syukuri, pertama saya kan lulusan perpustakaan. Kedua kan sudah bekerja di perpustakaan. Dan yang ketiga saya sudah diangkat menjadi PNS, terus mau apalagi, mau menekuni profesi apalagi gitu. Saya juga harus bener-bener menguasai ilmunya. Kan tadi ada beberapa bagian untuk menjadi pustakawan, apa sih pak yang bisa dikembangkan ketika menjadi pustakawan? Pengembangannya ya ketika ada seminar, atau apa . Jadi jangan sampai kita itu apa, kemudian kita lakukan dengan menghadiri seminar, workshop, baca buku untuk mengembangkan keilmuan kita sebagai pustakawan dan jangan ketinggal oleh jaman. Uptodatelah maksudnya. Jangan sampai pustakawan itu ketinggalan berita, berita di Koran, TV. Selalu mengikuti, jangan sampai pustakawan itu ketika ditanya sama pengunjung itu tidak tahu. Kalau disini semua dituntut untutk mengikuti berita, ntah itu hanya baca sekilas asal tahu beritanya. Kalau dari pimpinannya sendiri pak, apakah memberikan perhatian terhadap pustakawan? Dari pimpinan kita sendiri memang menganjurkan kita untuk mengembangakn keilmuan. Kalau ada apa-apa memang yang diutus juga pustakawannya. Ada kegiatan apa, kelihatannya yang diutamakan pustakawan. Seperti yang kemarin di Tretes itu mas Bowo yang dikirim. Kayak yang besok ini ke Sumenep itu. Jadi memang memiliki perhatian khusus ya pak? Dari dari pimpinan kita sendiri sangat apresiatif terhadap pustakawan mbak. Buktinya kalau ada apa-apa itu yang dikirim juga pustakawan. Emang yang diutamakan itu pustakawan. Memang gantian. Meskipun beliau tidak memiliki background perpustakaan ya pak ya? Iya Alhamdulillah meskipun tidak memiliki background perpustakaan ya. Soalnya memang beliau sendiri smart ya, suka membaca dari kecil. Jadi dia enjoy. Kemarin kana ada istilahnya perpustakaan menjadi tempat buangan ya, tapi kalau bu Arini nggak kok. Menurut saya beliau pindah disini kan karena memang pindah aja, rotasi jabatan. Awal-awal memang benar disini itu kebanyakan PNS yang kasus, kayak satpol pp dulu juga gitu kena kasus terus dipindah ke perpustakaan. Kalau bu Arini disini nggak, kalau memang awakmu pengen kerja disini ya, kalau tidak sesuai aturan ya diberi sanksi. Termasuk kemarin itu ada 3 orang yang di pensiun dinikan. Mereka dauber-uber utang orang sampai beberapa bulan, terus dikeluarkan. Ada juga yang masuk keluar, terus gak jelas pekerjaannya. Akhirnya di pesiun dinikan. Alhamdulillah kalau bu Arini disini tegas, kalau dulu kan nggak ada yang berani. Bu Arini dulu kan memang dari BKD. Dia kan punya aturab-aturan. Alhamdulillah sekarang, kan dulunya PNS terkenal dengan pulang cepat, terlambat, Alhamdulillah saat ini paradigma itu sedikit demi sedikit. Sekarang mbaknya menemui PNS yang jam kerja ngopi itu,
mungkin masih ada. Tapi insyaAllah kalau PNS disini nggak ada, Pagi tiu sudah harus keliling ke sekolah-sekolah. Iya mbak jadi sistem kita kan kita ada 400 orang yang bekerja di luar. Jadi kan jauh dari pengawasan kita. Jadi kita harus nge cek ke TBM, sekolahan. Soalnya anak-anak itu juga kan nakal, bahkan ada yang sampai seminggu lebih nggak pernah masuk. Kita juga biasanya tanya ke warga sekitar, gimana anak ini? Masuk nggak? gitu mbak. Tiap hari apa sering bolos atau apa. Biasanya kita mengoreknya ya dari tetangga sekitar. Kalau dari sekolah sendiri biasanya pihak sekolah yang telepon kita langsung, “Pak anak ini kok dua hari ini nggak masuk?”. Ini baru ada pengawasan. Paling nggak sekarang kan dibagi, 1 pegawai 1 kecamatan untuk megang sekolah dan juga TBM. Kalau saya ini kebetulan megang kecamatan Sukolilo.
Kalau menurut Bapak, pustakawan itu seharusnya bagaimana ya pak? Kalau profesi pustakawan kan masih satu jalur dengan pendidikan ya mbak ya. Jadi ya kita juga perlu terjun ke sekolah, terjun di TBM ya itu tadi kita membuat istilah pendidikan karakter yang saat ini sedang marak digaung-gaungkan. Oh ya pak, kalau dari background keluarga, istri bekerja dimana pak? Istri dulu bekerja, tapi sekarang sudah nggak. Putra atau putrinya pak? Saya punya 2 anak, yang pertama sudah kelas 1 SMA di MAN tapi. Terus yang kedua kelas 2 SMP. Bapak tinggalnya di Surabaya atau? Di Surabaya, di Ngagel dadi gang 3. Tapi masih sementara mbak. Kalau pas waktu kuliah dulu, materi-materi yang diberikan dulu apakah sesuai dengan dunia pekerjaan yang sedang bapak geluti saat ini? Terus materi-materi itu ingin mencetak pustakawan seperti apa sih? Ya kalau yang saya tahu, materi-materi yag diberikan waktu kuliah dulu otomatis bermanfaat. Cuman waktu itu kita di D3 ya, jadi kebanyakan teknisnya, Jadi kalau sore jam 3 itu kita praktek bagaiman membuat katalog itu, klasifikasi. Kalau teoriteori sangat sedikit. Terus waktu itu kan saya sempat vakum tidak di perpustakaan setelah lulus, jadi ilmu perpustakaan ya hampir lupa. Jadi belajar lagi. Tapi Alhamdulillah sekarang bisa apa istilah habitatnya, sesuai dengan ilmunya. Dulu kan saya banyak di marketing mulai tahun berapa ya dulu. Sampe 2003. Saya dulu itu kuiah sambil kerja mbak. Jadi memang apa ya kalau malam kerja, kalau pagi kuliah. Yang di marketing itu juga pak? Bukan itu di supermarket. Jadi setelah saya lulus itu saya di marketing itu, ada testesan saya ikut dan masuk. Jadi kalau kuliah ya kadang-kadang ngantuk. Lha gimana wong malam kerja. Yang lebih sengsara ketika ospek itu sampe sehari penuh. Pagi sampe malam, mari malem nyambung kerja. Mungkin ada salah satu dosen yang dulu waktu kuliah yang menginspirasi mungkin pak?
Ehhhhmmm siapa ya, dosen dulu ya mungkin ada bu Ratna, Pak Sumarno beliau enak, dosen yang terkenal killer dulu ada, Pak Wahyu namanya? Masih ada? Sudah tidak ngajar lagi pak. Yang lainnya ya standar-standar aja, kayak Pak Koko. Pak Koko masih ngajar? Masih Bu Endang, Bu Tri Susantari, Bu Is, sudah meninggal beliau. Mungkin ada lagi yang bener-bener ilmunya yang menjadi pegangan sampai sekarang? Siapa ya, kalau dulu yang bimibing saya ya Pak Koko itu. Sudah itu aja sih mbak. Ehm kalau buku perpustakaan yang sering dibaca itu terkait apa sih pak? Apa? Buku? Ya mungkin pengantar ilmu perpustakaan itu mbak. Itu buku satusatunya, sama mengelola perpustakaan karangan siapa itu lupa saya. Itu yang biasanya jadi senjata. Katanya dulu buku Pengantar Ilmu Perpustakaan diwajibkan semua punya ya pak? Huum, itu buku wajib, Tapi waktu itu saya foto copy. Kalau buku-buku laiinya pak selain pustakawan, yang biasanya dibaca? Kalau buku ya kebanyakan buku-bku tentang agama, buku-buku biografi tokohtokoh itu saya suka. Sering ikut pelatihan atau seminar pak? Kalau waktu kuliah jarang sih mbak, kalau sekarang ini kan mendukung fungsional saya. Setiap seminar kana da poinnya. Selain itu, kalau ada utusan atau disposisi, kan ya harus berangkat. Kalau yang free, bebas saya sesuaikan dengan waktunya. Kalau bisa ya saya ikut. Biasanya ikut seminar/pelatihan tentang apa? Kalau provinsi yang mengadakan kebanyakan ya tentang seminar pengolahan buku. Kayak IT, macem-macem sesuai dengan bidang yang mengadakan. Jadi kalau bidang pengolahan ya tentang pengolahannya, kalau bidang layanan ya masalah layanannya. Lebih ke teknisnya ya pak? Kalau keilmuwannya? Maksudnya keilmuwan? Kalau lebih ke teorinya gitu mbak? Nggak, kalau seminar pelatihan kan ya kayak gitu. Kalau diklat langsung praktek. Biasanya tentang program-program baru. Tapi yo nggak praktek juga sih. Kayak pengolahan mungkin ada peraturan-peraturan baru, jadi sosialisasi peraturan baru itu. Hampir setiap tahun ada sih. Menunjang untuk jabatan fungsional juga ya pak? Iya Kayaknya kemarin bingung banget pak ngurus? Hahaha iya DUPAK, ternyata kemarin jangka waktunya dari Januari sampe Desember. Ternyata penilaiannya kan bulan Juni, kemarin Januari sampai Mei saya harus melaporkan apa yang dikerjakan. Ini Januari yang belum. Maka kalau
tidak di anu, dianggap hangus katakanlah. Seperti jadi juri, pendampingan, ngelola-ngelola lain jadi ilang. Dikasih waktu 2 hari.
Soalnya itu berpengaruh pada tunjangan juga ya? Iya itu tadi yang pernah saya ceritakan dulu. Kalau sudah punya SK Pustakawan tunjangannya 240. Maksudnya kalau kita tidak mengumpulkan, nanti berpengaruhnya pada apa sih pak? Hoh ya berpengaruh, kalau sampai berapa tahun tidak mengumpulkan ya tambah soro mbak. Isok di copot jadi pustakawan. Dadi PNS biasa. Kalau sudah nyemplung jadi pustakawan yang harus mentaati peraturannya, ya tiap tahun harus mengumpulkan DUPAK itu. Tidak mudah mengumpulkan satu per satu, nilainya kecil 0,01. Kemarin juga sempat diceritain sama Pak Waqot juga sih pak, kenapa kok Bapak nggak ingin jadi pustakawan?Katanya nggak mbak. Kalau Pak Waqot kan harus ikut diklat dulu. Kalau mbak Aulia sudah bisa langsung. Kan sudah S1, ijazahnya kan diakui berapa ya, 100 kalau nggak salah. Kalau D3 kan 60. Jadi D2 40. Terus poin pertama ya itu. Itu ada standarisasi setiap bulan harus berapa poin gitu pak? Nggak ada, paling cuma ini setiap 2 tahun itu 20. Ya nggak banyak sih sebenarnya. Tapi seumpama sekarang kan 60, makanya untuk mengikuti jenjang berikutnya, 2 tahun lagi itu jadi 80. Selama seminar atau pelatihan mungkin ada yang menginspirasi gitu pak? Hahaha nggak ada mbak. Lebih ke teknis mungkin ya pak soalnya? Iya WAWANCARA KETIGA Dulu di sekolah bapak, dari SD sampai SMA ada perpustakaannya? Terus terang ya mbak, saya ini kan dari desa (pengucapan agak lirih) Kan Lamongan kan ya pak? Iya mbak, terus terang dari SD sampe SMA itu nggak ada perpustakaan. Ooh yang bapak tahu awalnya dari perpustakaan umum kabupaten ya berarti? Iya cuman waktu saya hijrah ke Surabaya itu waktu masuk UNAIR, Jadi waktu pertama kali bapak memilih jurusan perpustakaan itu, bapak tidak tahu perpustakaan itu seperti apa? Belum tahu, Cuma saya tahu dari saudara saya yang mengambil jurusan perpustakaan sehingga tertarik masuk jurusan perpustakaan. Kalau dari SD, SMP SMA kan dulu saya sekolah agama, jadi nggak ada perpustakaannya.
Berarti ketika awal masuk jurusan perpustakaan belum tahu sama sekali tentang perpustakaan ya? Iya, pokoknya dulu itu yang penting masuk perguruan tinggi negeri. Jadi memang belum tahu gambaran nanti seperti apa. Tapi di awal ketika sebelum memilih jurusan perpustakaan itu tentunya ada memberikan sosialisasi tentang prospek ke depannya. Ya itu saya lihat dari luaran itu, kebetulan saudara saya kan lulus dari perpustakaan itu langsung dapat pekerjaan. Kebetulan juga diangkat PNS. Jadi ketertarikan saya awalnya dari situ. Kalau terkait dalam-dalamnya saya belum tahu juga. Urusan anu belakangan. Dulu awal cita-cita bapak apa? Tentara mbak, pernah saya ikut daftar tapi ada cacat di bagian belakang karena pernah jatuh dulu. Pokoknya kuliah cari jurusan yang amanlah, yang penting masuk. Itu dulu mbak, apalagi saya sekolahnya kan sekolah desa ya, ya nggak ada apa-apanya. Lhoh bapak lamongan mana? Sukodadi, disana tap sekolah agama. Jadi ketika kuliah, pasti ada perpustakaan UNAIR itu pak. Nah saat itu pemahaman yang terbentuk tentang pustakawa dan perpustakaan itu seperti apa sih pak? Kalau dulu kan pustakawan kan belum seberapa booming. Yang saya tahu ya pegawai perpustakaan, yang melayani mahasiswa, peminjaman buku, bagian referensi, melayani mahasiswa kalau ada pertanyaan tentang penelusuran informasi. Jujur saya itu waktu kuliah sek gurung mudeng. Saya itu bikin katalg saja nggak bisa. Kebetulan dulu saya juga kerja. Kalau kuliah yo ngaktuk, hahaha. Jadi bisa dibilang bekal awalnya kan yang penting lulus perguruan tinggi? Apalagi dulu kan setelah lulus nggak langsung kerja di perpustakaan..
Keterangan Transkrip : PC (Pustakawan/ Pustakawan Pelaksana) Direkam pada hari Rabu, 07 Mei 2014 pukul 11:01 dan Selasa, 03 Juni 2014 pukul 14:16 Lokasi : Ruang Rapat, Perpustakaan Umum Kota Surabaya
Data Informan? PD. Lulusan D3 Perpustakaan UNAIR. Bekerja di Perpustakaan Umum Kota sejak tahun 2011 . Golongan II/d WAWANCARA KE - 1 Itu sering saya katakan di berbagai forum, kalau saya dari bayi cenger. Salah satunya saya. Kenapa saya ini masuk pustakawan? Sakjane ngono teko bapakku, bapakku dulu pustakawan. Ohhhh begitu Jadi sebenarnya saya seluk beluk buku itu bermula dari bapak. Bapak itu selalu memberikan saya itu masih ingat saya waktu itu, dikasih uang 500 perak, waktu itu sudah banyak. Harga buku waktu itu 90 ripis. Saya waktu itu diberi bapak uang 500 perak untuk membeli buku. Waktu itu membeli buku di Sari Agung, sekarang nggak ada Sari Agung, adanya Gunung Agung. Sari Agung di daerah Tunjungan. Jadi nek mari bapak bayara, mesti minggu depannya saya di took buku diberi uang 500 itu disuruh beli buku sak kapok kapokmu, sak waregwaregmu, sak katokmu. Pokoknya ya budgetnya 500 itu, dienteni sama bapak di kasir terus mari ngono totalan. Jadi buku saya itu banyak. Waktu saya TK besar itu sudah punya buku sekitar 50an. Lha yaopo wong angger dina tuku buku. Dadi 500 lebih. Saya punya perpustakaan di rumah. Masih ingat aku tak jejer nang tas koper yang presiden itu, tak suruh baca temen-temen. Wes apal aku, waktu itu memang sek gratul-gratul maca, diwacakne eyang, diwacakne bapakku. Dadi ketika orang mau, sek aku mau cerita ulang, flashback. Jadi ketika seseorang mau melakukan sesuatu, dia harus tahu apa yang akan dia lakukan. Iya pak Dan rata-rata kalau menurut saya, dia melakukan tidak dengan sepenuh hati. Lek bahasaku dia akan banyak sekali mahasiswa perpustakaan saat ini yang terjebak, terperosok, salah pilih, tersesat, tapi jangan lupa ketika mereka melakukan eeehhmmm opo, melakukan aktivitas itu nantinya mereka akan tahu apa sih yang namanya jati diri seorang pustakawan. Saya pikir lambat laun dia akan “insyaf”. Kamu kalau ngomong sama aku agak berkeseniaan, agak tersentil, karena memang saya orang agak nyleneh. Mereka akan insyaf. Bahwa dunia kepustakawanan itu dunia yang luar biasa. Mungkin dia akan pulang dan taubatan nasuha, mandi kembang dan mulai menata diri, menata niat kalau pustakawan itu penting juga. Awal-awalnya di semester pertama memang agak bingung ketika diajari filsafat, opo hubungane sama perpustakaan. Jauh banget kan. Pengenalan tuhan, tuhan seng yaopo. Opo hubungane. Padahal itu di titik nadir seseorang untuk berfikir bahwa oh dunia perpustakaan itu koyok ngene, jadi harus mengenal bahwa dunia perpustakaan cara pendekatan filosofis. Jadi harus mengenal semua
bidang ilmu secara pendekatan filosofis. Filsafat. Filsafat ilmu itu adalah kuncinya. Dia akan terpelosok lebih dalam lagi dan menikmati. Apa sih dunia kepustakawanan. Dengan pertanyaanmu itu tadi, tentunya sudah bisa sedikit bisa apa namanya, terjawab. Bahwa ketika seseorang itu sudah eeehhhm kalau istilahku itu mumpuni untuk sebuah keilmuan, dia sudah merasakan kesaktian dari ilmu perpustakaan, dia akan semakin menikmati. Tapi kalau dia melakukan belum tahu indahnya kepustakawanan, dia akan melakukan sesuatu yang terpaksa daripada nggak nyambut gawe. Rohnya nggak ada. Ya chasingnya apik, bajunya bagus, mlente ngono, tapi otaknya nggak ada. Nyusun sewu, saya bisa mengatakan ini, saya sering mengatasi. Dia hanya melakukan hanya, kalau dalam bahasa agamanya gugur kewajiban. Dia tidak punya konsep mau dibawa kemana perjuangan ini. Kok boro-boro ngono penting teko mulih mene bayaran. Tapi kalau sudah tahu bahwa ini sebuah pekerjaan dan ini passionmu. Kalau kata orang Medura iku ngene, kudu ngerti passion dan pese. Apa itu pak pese? Pese itu duwik. Nek passionmu jelas, pesemu akeh. Kayak aku, dia melihat aku seorang pustakawan dan punya visi bagaimana memajukan Taman Bacaan untuk masyarakat. Kita punya 400. Orang bisa melihat saya ketika saya bisa membenahi 400 ini mereka berbinar-binar iso opo. Wong edan. Itu passion kita kelihatan. Orang yang professional yang Pustakawan yang apa, fokus di TBM. Akhirnya apa, pesene akeh. Di celuk’i rono rene untuk sebuah pengembangan itu. Makanya saranku untuk nantinya kamu kalau mau menggeluti sebuah bidang, jangan kabeh mbuk emplok. We dodolan, we pinter masak yo. Nggak usah akeh-akeh, khususno masak mie teko jepang teko anu. Mie tok ae. Wes mi ae, ojok akehakeh. Dadi kamu nggak punya merk. Ketika ada orang yang tanya, merke opo. Orang akan bisa menjelaskan sendiri. Mungkin kamu punya skill hukum. Mungkin kamu bisa meretas permasalahan korupsi dengan hukum dalam dokumentasi. Aku ngerti wong iki dadi korupsi karena ini ngene-ngene, pakai teori-teori. Kamu nantinya akan dikenal sebagai seorang pustakawan yang paham tentang pendokumentasian khususnya untuk bagaimana caranya meruntut kejadian-kejadian. Kamu punya subyek disitu. Jadi fokus disitu, ojok dadi pustakawan seng kuabeh mbuk ayahi. Dadi dokter umum ae, pustakawan umum bukan pustakawan spesialis. Dadi kalau passionmu udah jelas, baru nanti terjawab persoalanmu. Kalau dia mau mendadar atau menempa dirinya untuk menjadi seorang yang professional dan terdepan, dekne iku akhiranya masuk di professional yang mana iku nanti dekne akan menikmati yang namanya fokus. Tapi nek dekne niate awale terpelosok, terjeglong jeglong, iku mari ngono mlebu perpustakaan, 30 tahun aku kok mergawe klasifikasi tok. Lha wong jelas ae dekne nang klasifikasi, wong dia nggak mau keluar dari tembok-tembok. Coba kalau dia mau keluar bersosialisasi ke komunitas-komunitas lain, aku pakai teorinya martabak, semakin dia dibanting dia akan semakin lebar. Tapi lek dekne terus
berkutat nang kono, dadi mahasiswa yang kupu-kupu, kuliah pulang kuliah pulang nggak nduwe kanca ya percuma. Sekarang jamane ngene (nunjukk ke computer yang sedang membuka akun facebook). Nggae ngene aku isok ketemu wong Amerika, nggawe media opo sosial. Kita bisa kemana-mana. Kita share aja fotofoto kita. Oh wong iki ngene, terus gambare ngene. Sakjane lapo wong iki. Gak popo kene diarani narsis. Tapi bagi saya publikasi. Kalau kita nggak bisa dodol awak, ya dalam tanda kutip ya, bukan yang jelek, bagaimana kita bisa menunjukkan kemampuan kita. Baru kita bisa, pese itu akan datang sendiri. Kalau kata Cak No wong Meduro yo, passion dan pese. Tulisen nang kono, passion dan pese. Itu penting, passion itu ya itu tadi profesionalitas, fokusan seseorang pada bidang tertentu. Tapi passion nggak isok jalan kalau pese nggak mendatangi. Nah pese isok datang iku nek dek yo kudu googling. Iya pak, kalau boleh sharing ya pak. Biasanya yang saya dapatkan materi tentang passion itu dalam materi kewirausahaan. Passion dan fokus. Dan baru kali ini saya sadar kalau menjadi pustakawan itu juga harus passion dan fokus. Dan itu juga penting ya pak. Oh iya, jadi gini. Jangan diartikan sebuah usaha itu barang, sekarang itu jasa. You itu juga bisa jasa. Dadi gak perlu kulakan jasa iku. Kulakan iku teko ancen lombok, Opo utekmu. Sangat bodoh sekali seorang pustakawan yang tidak mau menempa dirinya dengan membaca buku, itu kan goblok. Itu seperti mati di lumbungnya pari, guoblok iku sak gobloke goblok. Lapo kok gak mbuk dang, mbuk pangan. Kon iki wes nang nggone buku, lapo gak mbuk icipi bukumu. Opo yo mbuk waca? Yo karepmu kon kepengen opo. Wong buku pilihane akeh. Aku mudun nggolek buku sak mbledose wetengku kan kenek, sampe sirahku cemutcemut lho keturutan. Yo kan? Ada waktu luang. Tapi nggak ada pustakawan yang sadar. Sampe ada pustakawan yang nggak mau baca itu soro, penyakiten iku. Ya iku bisa kamu apa, kamu teliti di temen-temen yang ada disini. Di ajak ngomong ngene gak eruh, iki novele sapa gak tumon. Aduuuh lak soro. Ya perkoro iku mau, dia melakukan pekerjaan tapi ngak ngerti maksude. Ya iku dekne nglakoni sholat tapi gak ngerti ilmune, dekne sholat jengkang jengking maghrib patang rokaat, soale gak ngerti ilmune. Lha saiki lho nang kene gak ngerti ilmune, lha terus yoopo. Nang ngisor iku kan buku tok. Kan goblok. Kita nggak bisa memanfaatkan apa yang ada. Nah disitu pemikirannya. Kamu bisa maca sak karepmu. Nek buku gak kanggo, piye isok pinter. Sekarang itu sudah jamannya belajar mandiri. Mlebu ruangan, sak karepmu iku oe njupuk buku opo. Jadi jangan hanya mendapatkan ilmu dari seseorang text bookmu, jare wak dul ngene. Nek isok bantah, jarene ngene-ngene terus kembangkan sebuah paradigm baru. Wes gak popo. Ojok jarene iki jarene iki, jarene kabeh iku salah. Hahaha (tertawa). Bebas kan? Salah kabeh, seng bener jareku. Wani a? Tapi yo kudu ono ilmune. Untuk menjadi seperti itu kan butuh penempaan diri, PD untuk menyatakan itu teori baru. Yo kan? Lha saiki teorine muk ngono-ngono tok. Jangan salah ya. Teori-teori itu
kalau kamu perhatikan perpustakaan di luar negeri, satu tahun itu ganti, ada teori baru. Buku-buku seng wes elek iku, dikumpulne nang gudang diterimo karo Asia Foundation di buwak instansi-instansi. Dadi seng mbuk waca iku kelas 1, wong kono wes kelas 10. Teorimu iku wes terbelakang, wong buku seng mbuk waca iku wes 5 tahun yang lalu. Yo? Yo toh? Misteri itu aja dibongkar, pustakawan terdepan untuk mengorek itu. Nek kon manganmu seng sampah-sampah terus, yo teori-teorimu seng lawas. Wong onok teori seng anyar kene gak ngerti. Opo maneh seng gak gelem maca, seng maca ae kliru kok. Ilmune ilmu wes mambu. Ya iku, seperti itu. Iya pak, pengantar yang luar biasa. Hehehe (tertawa) Hahaha iya, saya suka diskusi sama orang, tapi ati-ati nek mulih pasti mumet. Jare pak Bowo iku mau kok kliru kabeh. Mati aku. Pernah iku onok seng sms, jarene omongamu saitik pak. Tapi aku kegowo mimpi. “Apane?”. Lha iyo aku disalahne terus. Yo kapokmu kapan. Jadi gini lho, untuk menginspirasi seseorang, bukan saya menyalahkan, tapi ini discuss. Sudah saatnya orang membuka diri bahwa inilah sebuah perubahan. Nek petuahe wong Arab, jangan lihat siapa yang bicara tapi lihatlah kualitas dia bicara. Meskipun seng ngomong iku wong ngemis, nek seng diomongne jeru ya. Yak an? Menusuk di hati. Gak perlu seng ngomong sorbanan sampek sundul langit. Terus ada pertanyaan apalagi? Apa yang? Sepertinya saya malah belum memberi pertanyaan pak, tadi sudah banyak sekali ilmunya. Hahaha (tertawa) wis kenek la’an. Sekedar sharing ya pak, saya memang sering melihat pustakawan itu tidak tahu pekerjaannya apa. Mereka hanya terfokus pada rutinitas pekerjaannya saja. Aku kemarin menantang di IIP PSTP itu, buatkan forum nanti saya tak datang. Boleh tuh pak Saya cukup ngomong 60 menit, ngko mulihmu la’ ngelu. Nek gak ngelu ojok takon aku. Sesok tuku oskadon sek. Artinya gini, mungkin kalian di teori-teori saat ini mereka nggak ngomong tentang ilmune dalan. Nggak ngomong tentang hakikat manfaat. Nanti pas pulang terus segera sujud, taubatan nasuh dan shalat taubat. Karena kita diciptakan oleh Allah, menurut saya ya, seorang pustakawan itu di ranah yang tepat. Subhanalah (tersenyum) Iya ta? Mengkirik aku nek ngomong iki. Hahaha saya juga pak
Bayangkan, Iqro’ bismirabbikalladzi dan seterusnya itu kan perintah membaca. Kene iku lho wes nduwe kuncine. Ngongkon wong maca, tapi awake dewe gak maca. Ngongkoni wong shalat, tapi awake dewe gak shalat. Salah kan awake dewe. Ngongkoni wong shalat, ngongkoni maca tapi awake dewe gak. Lak yo salah toh? Lha sekarang apa yang seharusnya kita lakukan, lakukan yang sebenarnya yang terbaik. Ngongkoni wong maca lho, lha awak dewe. Kuncine iqro’. Bahkan dengan membaca iku, sek tak duduhi kok isok membaca iku isok nggae perubahan. Saya banyak ngaji lapangan, gak nganggo ayat. Tapi disitu hikmahnya lebih gede. Dari situ aku tahu ternyata luar biasa. Pengen opo ae lho isok. Dan hari ini tugas saya adalah meyadarkan mereka ke jalan yang benar. Kemarin tersesat, “aku nag ndi ya iki? Ngidek lemah ta gak ya aku iki?”. Seolaholah bekerja itu nggak ada artine. Opo yo, ngene tok. Ada sesuatu yang bisa kita lakukan. Mumet toh? Hahaha iya pak Contoh ya, hari ini pak Wib yo iku bukakno, Aku dewe yo gak kepengen. Saya masuk ke dalam kumpulan orang-orang yang dia sangat getol terhadap pendidikan. Setelah aku kenalan dengan, karena modelku itu kepengen mencari teman baru. Kalau teman lama gitu, koyoke aku bosen. Aku masuk ngono dalam komunitas yang aku sudah tahu mau dibawa kemana wes tak tinggal, cukup tak kecot ilmunya sampek sak mene tok. Aku akan mencari kumpulan-kumpulan orang lagi. Akhirnya masuklah aku ke kumpulan temen-temen Rumah Pintar. Itu dari bu Ani Yudhoyono. Hari ini pak Wib menjadi sekretaris Forum Rumah Pintar Jawa Timur dan juga menjadi Forum Taman Bacaan Masyarakat Jawa Timur. Terus mari ngono, tak delok kanan kiri iku gak onok lho seng pustakawan. Kenek diitunglah. Guduk gak onok. Dan merekapun bekerjanya tidak dengan hati. Karena mungkin bikin proposal dapat duit isok nggae mangan, tapi nggak melihat jauh ke depan sebuah perubahan. Hari ini sebenarnya saya mau menulis, apa yang seharusnya dilakukan. Kalau istilah saya itu revolution, bagaimana kita bisa merubah dengan membaca. Onok teorine, nanti tak. Pake teori apa aku gak maca ndi ndi. Jareku iki. Dadi aku maca buku, ngedekne bareng-bareng. Ngene tibake. Harusnya seperti itu, dengan membaca orang bisa berubah. Apapun. Nah kita di ranah itu, di sebuah media informasi. Tak hanya membaca untuk sebuah rekreasi tapi lebih dalam. Maca seng menginspirasi dekne dan akhirnya akan mebuat suatu perubahan yang lebih pada hidupnya. Kayak wingi, aku cuma pengen ngerti kabulatore sepeda motor. Itu kan membaca yang paling rendah ya. Tapi jauh daripada itu. Pesenku ya iku ae kumpulno kanca-kancamu opo jenenge? Forum gitu pak? Nggak usah onok jajanane gak popo, cangkru’an ngono yo gak popo. Kamu bisa add ke Wibowo Purnomohadi. Temen-temen saya juga mau saya kumpulin. Mas Bambang.
Bambang Haryanto? Bambang Prakoso Ohhhhhh Pernah denger ya?
Iya itu yang di grup Revolusi Perpustakaan itu bukan sih pak? Oh iya, itu kan memang salah satu otaknya saya. Wong saya yang add kok. Aku lho maca kabeh. Tapi saya sekarang nggak banyak muncul. Oh iya saya juga tergabung sih pak, tapi saya juga hanya pemerhati saja. Sudah lama, seng awal-awal aku seng manasi. Seng nge add yo aku, wong aku yo salah siji admine. Iki mau 20 seng tak confirm. Sangat menginspirasi itu. Itu dulu saya sama mas Subhan, sekarang beliau ada di Sriwijaya, Un apa? Unsri pak. Oh iya UNSRI, Palembang. Iya dia anak Palembang. Belum pernah ketemu saya. Tak lihat komen-komennya. Wong edan iki. Kita belum pernah ketemu. Baru kemaren dua bulan lalu saya ketemu dengan sapa itu namanya, onok Maulana e. Murrod, Murrod Maulana namanya. Itu dia dulu dari Jawa Barat. Yo komenkomenan tok. Akhirnya jadi teman akrab. Dekne biasane memperhatikan komenkomenku yang nakal, ngumpat-ngumpat. Yo betik kan, ketok kan. Awale komen, dari komen itu orang bisa melihat kualitas pikiran. Akhire kenalan, nggak tahu petuk. Akhire wingi iku ketemu. Karena Surabaya itu mendapatkan juara nasional, akhirnya kita baru tahu dan kenalan. Yowes dilanjut, ya sudah kita lanjut di facebook itu kita ngobrol. Jadi di sela-sela saya bekerja, saya juga butuh tadi. Butuh nanrsisnya itu tadi. Tapi kan otakku bisa ditabrakne dengan pola pemikiran yang lain. Omong titik ae lho ketok, oh wong iki gila apa nggak. Ngomong kok cengengesan. Bisa, saya bisa melihat kualitas pemikiran seseorang dari omongannya. Kadang kan onok seng cengengesan tapi pemikiranne apik. Kadang suwi serius, tapi opo seng diomongne gak jelas. Ada lagi? Banyak pak. Hahaha iya menarik ini, isok-isok sampe jam 6 iki. Hehehe iya pak, kalau boleh cerita juga. Kalau saya melihat teman-teman saya yang di IIP itu kebanyakan masuk jurusan IIP karena memang hanya berorientasi pada PNSnya saja. Mereka beranggapan setelah lulus IIP mereka akan banyak dicari kerja. Saya jujur saja ya pak, awalny saya
masuk IIP juga bisa dibilang tersesat. Tapi setelah saya magang di PDII LIPI, kalau Bapak kenal dengan pak Blasius. Hahaha tak duduhi ya, seng wani ngomong ke Pak Blasius eyang iku Cuma aku tok. Aku nggak pernah ngomong pak Blasius, opo pak Darlah. Aku manggilnya eyang. Menurut saya beliau orang yang luar biasa. Kalau beliau ke Surabaya pasti mencari saya. Nah iya pak, ketika saya bertemu dengan bapak itu bagaikan saya bertemu dengan, kalau saya manggilnya pak Blasius itu emang oppa sih pak. Sekarang saya menemukan sosok beliau di Bapak ini. Jadi gini, kita memang hampir sama. Pemikiran kita sama. Dasar beliau sama, yaitu filsafat. Bapak suka baca apa? Tiga karya, itu filsafat katolik. Saya jug baca itu. Nyuwun sewu, kalau kata ustadz saya kowe ojok Cuma maca kitab kuning tok, kitab abang, kitang kelawu. Tapi aku yakin kowe isok opo jenenge semacam sebuah saringan. Ndi seng apik, ndi ampas iku saringan, buwaken ae ampase. Tapi untuk sebuah bacaan, bebaskan saja dirimu untuk mecari pertanyaan-pertanyaan. Kita itu bagaikan gelas kosong. Allah itu memberikan kita otak seperti gelas kosong. Otak iki ngerti, isok-isok dadi teori anyar. Kalau kita memang. Nah itu kuncinya. Tapi kalau menurutku jangan lupa istighfar. Iku seng angel. Maca gak sekedar maca, nek isok maca karo turu-turu gak masalah. Tapi satu kalimat kamu kalau benar-benar meresapi, itu sebuah note yang ternilai dalam simpul-simpul sarafmu. Seje karo wong maca-maca biasane. Isok mari, tapi gak onok ilmue.. Al kitab ini menjadi temenku, yo gak tak waca. Tak kek kene wae, kon Kristen a?. Yo sak karep. Aku menghargai dia yang memberikan ke aku. Jadi gak usah repotrepot wong sugih. Seng penting iku teguh di hati. Kok koyoke wong iku slengekan, iku hanya chasing. Tampilan semata, iti saya. Itu memnggambarkan, ketika orang itu tahu isinya hati. Hehehehe (tertawa) Jadi kenapa saya bilang eyang, karena saya anggap beliau guru saya. Meskipun beliau katholik, tapi aku gak masalah. Dengan beliau aku bisa ngomong macammacam. Le, wayahe sholat. Oh nggih. Saya juga beberapa kali menginap di rumah beliau. Beliau di Jakarta. Iya pak. Sek aku pengen tanya, dirimu dapat nomer hpku darimana? Jadi sebelumnya saya sudah sering kesini, saya kan sedang mencari yang background pustakawan fungsional. Kalau nggak dari bu Galuh ya bu Erna. Ooh soalnya nomer ini itu nomer saya yang jarang aktif. Kadang mati kadang yo tak uripi. Jadi yo nomere sek. Jadi kalau menghubungi ke nomor yang tadi itu pak?
Iya yang sms ke kamu tadi itu. Ya jadi memang pada awalnya saya ketemu dengan pak Blasius itu, terus pengen membuat sebuah forum dimana nanti yang ngisi itu pak Blasius. Beliau sih nggak papa, tapi kok ya agak sungkan kalau mau mengundang beliau jauh-jauh dari Jakarta ke Surabaya. Nggak papa, kumpulkan aja. Saya sudah mengumpulkan itu, namanya Komunitas Literasi Surabaya. Tapi hanya itu sebuah nama. Aku sedang menulis buku, judulnya “Suwuk Koordinator”. Dadi aku sedang nyuwuk awakmu, tak sebul terus bari ngono awakmu sadar. Ngerti kowe? Iya pak Aku rodok nyleneh, jadi bahasa-bahasaku bahasa berkesenian. Jadi apa seng tak karepne atiku. Aku durung nemu istilah baru bagaimana mengubah pola pikir seseorang. Dadi kan kowe reneo terus tak suwuk terus awakmu sadar. EEeeee kumpulan inspirasinya temen-temen yang di TBM-TBM itu. Jadi istilahnya bagaimana aku bisa membuat seseorang yang seperti kamu, nek kowe kan mahasiswa seng nggak ngerti apa-apa tentang kerjane wong perpustakaan. Sedangkan mereka yang berjumlah 400 itu kan bukan pustaakawan, dekne mungkin ijazahnya pepustakaan, tapi ketika mereka sudah masuk kesini, bekerja untuk menghasilkan sebuah karya. Itu yang butuh sesuatu untuk yang akhirnya saya pikir apa ya kata yang tepat, ya suwuk itu. Kok koordinator pak? Jadi sebenarnya gini mbak, kan banyak TBM. Sebenarnya saya pengawasnya, jadi koordinator dari beberapa TBM. Jadi suwuk koordinator itu, bagaimana seorang coordinator itu bisa menyuwuk anak buahe iku mau seng maune nggak ngerti apa ae. Tapi yo sangat sedikit aja. Itu pengalaman yang luar biasa. Makane nek onok mahasiswa pengen tak suwuk, yo aku tak ngetokno ilmu suwukku. Soale aku gak nemu e kata seng cocok, nek ilmu kan suntik iku kesehatan. Nek pola pikir kan. Kan tunggale wong mondok nggak krasan tersu diceluk kyaine, “wuuuuuhhh”. Wes ta? Bu, mpun sampean tinggal ae, larene mpun. Berapa responden? Sebenarnya saya kan kualitatif pak, jadi informannya tidak terbatas. Oh enak yo kualitatif. Hehehe iya pak, makanya saya harus wawancara satu-satu. Bentar pak, saya jadi harus memilih-milih nih pertanyaan mana yang belum terjawab. Hehe Wes diurut ae gak papa.
Berarti dari awal, bapak memang menggeluti dunia kepustakawanan ya? Yang diawali dari senang membaca. Ndak juga, dulu saya sempat mau murtad jadi pustakawan. Kok bisa pak? Setelah lulus kuliah? Iyaa, setelah lulus kuliah itu kerja di ITATS, terus ITS perkapalan, terus nang STIKOM. Terus rabi, bojoku mahasiswaku. Makane aku di perpustakaan itu dapat jodoh. Aku ngomong suk nek kene merid, aku tak metu teko kene, tak nggolek pekerjaan seng gak nang perpustakaan. Sempat kepikiran dalam tanda kutip, akhirnya muangkel murtad jadi pustakawan. Mari ngono onok PHK, terus onok lowongan PNS iku akhire dadi PNS iku mau. Dadi aku teko lulus sampe dadi PNS iku 11 tahun. Dadi nggak langsung dadi PNS. Dadi selama 11 tahun aku melalang buana, mencari jati diri. Jadi PNS nang kene kan rata-rata teko honorer, tapi aku gak. Jadi secara pengalaman wes sundul langit. Karena ya iku mau, pencarianku kan akeh. Kalo mereka kan tidak mengalami proses-proses itu, hanya menunggu saja. 11 tahun lho, kan yo suwi. Saya baru masuk sini 34 tahun. Jadi sangat muda. Keluarga mendukung untuk jadi pustakawan pak? Iyo Kalau dari istri pak? Iyo rek, kan istri ngerti. Dia kan orang komunitas, jadi tahu wong iki lapo ae. Paling protese paling, nyambut gawe kok gak enek duwite. Kan memang tidak semua ktivitas itu aktivitas perdagangan. Aktivitas ini kan aktivitas perubahan. Kalau aktivitas perdagangan kan, kulak, batine isok diitung. Kalau perubahan nggak isok. Kudu real. Nek filisofis angel. Dokter kan enak, suntik del. Ada dua kemungkinan, arek iki sembuh apa mati. Wes ketemu mas Arif awakmu? Sudah pak Pak Elok iku juga pustakawan lho. Iya pak sudah, pustakawan inpassing ya pak? Iya. Mbak Aulia? Bu Galuh? Mbak Aulia sampun, bu Galuh yang belum. Ketemu bu Erna? Sudah pak Kapan?
Kapan ya pak, sudah lumayan lama, 2-3 minggu yang lalu. Kalau menurut Bapak sendiri, pustakawan itu sebuah profesi bukan sih pak? Sek, definisi profesi opo se? Nah itu juga yang mau saya tanyakan, kalau menurut bapak profesi itu apa sih pak? Soale nek pendefinisiannya salah, jawabane isok salah. Makane perlu dipadakne sek. (sambil mencari referensi di internet) Janji untuk memenuhi janji khusus secara tepat dan permanen. Dadi takokmu ngene, apakah pak Wib tetep mau jadi pustakawan terus sampe mati? Aku yo sek pengen dagang, pengen dadi konglomerat. Meskipun iki sek tetep. Tapi kan aku yo pengen dadi konglomerat. Nyambi kan oleh ya. Maksude ki negen lho, pekerjaan itu akan dilakukan terus menerus apa nggak. Dirimu apa sek pengen murtad teko pustakawan ta gak. Kalau profesi iku kan semacam ilmu syariat, ilmu yang dilakukan secara terus menerus. Meskipun aku wes gak dadi pustakawan, nek aku wes ngerti ilmune yo aku sek selalu nulung. Artinya, profesi itu ya bisa iya bisa nggak. Kalau menurut saya, profesi disini, profesi ini bila dibandingkan dengan dokter misalnya setelah lulus S1 kan ada sekolah keprofesiannya ya pak. Terus selain itu, profesi ini kan nggak semua orang bisa melakukannya. Ya itulah rancunya pustakawan. Aku pernah tukaran, di sebuah forum Taman Bacaan Masyarakat itu, mereka ingin dipanggil sebagai pustakawan. Yak an? Saya tidak sepakat. Kamu lihato postinganku, disitu ada postinganku banyak komen-komennya, kamu bisa lihat komen-komennya. Jadi tabib iku gak podo karo dokter. Wes opo ae lah, onok mantra. Istilahe nang deso kan mbah dukun, wong pinter. Apa mereka nuntut dadi dokter? Nggak, mereka wes cukup dipanggil mbah yo mbah. Lapo kok woro-woro dadi pustakawan? Entukmu opo? Ngerti ya jawabanku? Nggak perlu. Nek budeku biyen iku perawat, nek onok wong lara iku dikek i opo ngono penting waras. Apa budeku njaluk diceluk bu Dokter? Ya nggak. Nggak usah ngomong dekne perawat, bu mantra atau apa. Kalau aku kan gini, kalau kita mengerjakan sesuatu dengan kesadaran penuh, cinta kasih, dengan keikhlasan. Itu kita nggak perlu pengakuan, saya pustakawan, nggak usah, malah nggak nyaman. Songgone abot lho, suk nek akhirat malah ditakoni lapo ae seng mbuk lakoni dadi pustakawan. Seng pustakawan seng lulusan perpustakaan ae seng dadi manager pemasaran uakeh. Lek jarene pak Blasius, kaya hati, yo wes iku ae kita melayani mereka. Bah kita mau terbelakang kek, mau nggak kek nggak ngurus. Onok cerita lucu, ada di sebuah tempat yang menyelenggarakan seminar apalah namanya, judulnya adalah membuktikan profesi apa yang paling berpengaruh
dalam kehidupan bermasyarakat. Yang diundang dari semua ikatan profesi. Setiap ikatan profesi di profinsi ada satu wakil. Dekne disitu boleh narsis, boleh ngomong bahwa profesinya paling baik. Terakhir ternyata dari Indonesia iku seng wakili Indonesia. Nah dekne teko iku malah ndepipis nang pojok mburi dewe, turu. Seng liyane podo eyel daftar ndisek, tapi pustakawan iku mau nggak Dekne malah nang pojokan, mburi dewe turu. Bareng terakhir, sudah habis ini? Bareng di delok absene kok kurang 1. Ternyata pustakawan iku mau. Digugah dekne. Dekne cumak ngomong ngene. Haduh anda-anda ini kan pandai karena membaca di tempat saya. Langsung spontan seng teko ngadek kabeh dan tepuk tangan. Dadi gak kakehan omong, seng liyane kan ngomong pirang-pirang jam. Terus maknane apa? Pustakawan itu bisa merubah mereka semua, lha lapo. Kene butuh dihargai? Nggak. Kene di nggak dihargaipun gak popo. Buktine profesine kene yo luwih gede daripada profesi seng liyane. Iku bodohe, ketika menjadi pustakawan itu tapi tidak bisa mencuri ilmune yang mereka punya. Kene lho seng nduwe buku, khatamne kabeh po’o, sampek wetengmu mbledos. Hehehehe (tertawa). Iku aku ngomong ngono nang kang Herman, kang Herman iku juara pustakawan se Asia Tenggara. Oh iya Suherman. Tak ceritani ngono, terus ngguyu wonge. Akhire dadi kanca karena guyon-guyon. Nek ketemu, yooo. Padahal dia terbaik se Asia Tenggara lho. Asalnya kita juga membaca. Bagaimana menanggulangi itu? Dekne tak guyoni cerita iku, ngono tok dengan gaya sundanya. Wes dijawab? Aku nggak jawab lho padahal. Hahaha tapi ini yang saya buktikan pak. Wes coba ae takon seng liyane pasti jawabane mesti beda. Pola pikirnya seseorang itu berkembang. Kalau saya ini ngomong karo sopo ae, koyok gus dur iku musuh tok iku. Tapi kadang nek ngomong karo musuh iku diwedeni. Jelas-jelas ngerampok dekne, leh ape mateni aku. Yon dang pateni, aku y kapan-kapan mati. Opo wong gak keder. Terus wedi. Mungkin kamu beberapa orang jarang menemui wong seng rodok bento-bento. Iya pak, ini yang saya cari. Soale ya itu tadi, dadi wong ngene yo kudu istiqomah. Itu jalanmu. Kamu berani berbeda, berarti kamu harus menentang. Tapi kamu harus berani mempertanggung jawabkan polah tingkahmu. Nek gak pengen yo iku ikuti arus, tapi nek gak pengen ya ojok ikuti arus. Onok carane iku. Aruse nek gede, kapalmu glempang. Diikuti aruse, tapi kamu bergeser pada jalan yang berlainan. Nek kowe mbuka tatap ngene yo ilang. Soalnya kamu akan merubah sistem. Jadi bisa dikatakan, menempel tapi tidak lekat. Nek lekat iku mancep. Jadi kayak teorine rel sepur nang Jepang. Karena mereka itu pake teorinya magnet. Gesekannya 0.
Kalau boleh dikatakan, Bapak sudah merasa nyaman menjadi pustakawan? Belum belum. Saya belum merasa nyaman menjadi pustakawan. Lhoh? Orang sejahtera itu nggak mesti cerdas, tapi kalau orang cerdas iku mesti sejahtera. Karepku njalukku yaopo? Menteri kesejahteraan iku bubarakan, ganti menteri pencerdasan rakyat. Siapa yang ada disana? ANRI, Perpusnas, DIKNAS, terus sijine eehmmm riset, menristek. Karena kita hari ini kita butuh riset yang banyak untuk eehmmm apa? Berguna pak? Iya berdaya guna, ada teknologi tepat guna. Persoalane, saat ini mereka punya riset yang banyak tapi nggak isok diimplementasikan masyarakat, percuma la’an. Dekne yo meneliti, ketemu peneliti tek mari garapen. Cepet. Peneliti yo gajine sitik, piye ape maju. Kekuatan yang kita butuhkan saat ini adalah menguasai organ-organ pengambil kebijakan. Pustakawan yang ada di DPR atau bahkan menteri. Lha carane yaopo? Yo kudu iku mau ditembus. Lha nek solusi epreketekketekan iku kan Cuma ngerumpi nang warung karo ngombe kopi. Tapi kita ngga punya bargaining. Mau kan ketoke guyon ya, masuk akal kan. Mosok PP 7 tahun nggak ditutuk. Sampek wingi iku guyonanane tak ilokne, apa perlu aku urunan gae tuku palu cekne iku ditutuk. Opo angele sih karek nutuk ae. Opo ngenteni cak BY lengser sek lagek ditutuk. Yo temen kan, pas cak BY ape lengser lagi ditutuk. Besok ini aku sama beberapa temen, sama mas Bambang mau tak bahas masalah hukum. Mau tak komparasi antara PP sama RPP. Selama 7 tahun itu mau PPne isine opo, RPPne isine opo. Podo ta gak. Itu kan break down dari UU nomor 43 tahun 2007 itu. Nah RPP nang PP iku dalam sejarah Indonesia selama 7 tahun itu juara 1 paling lama maksude. Iku wingi wes ape di demo karo arek-arek. Nggae replika palu, urunan tuku gabus terus di dok “RPP disahkan menjadi PP. Ijek terus tak lawan lewat iki mau. Asline pemikiran iku radikal. Artinya perubahan yang radikal, namun tak kemas yang nggak normal. Tapi sebenarnya saya ingin membawa teman-teman untuk berpikir. Jadi analoginya nek kene sikile lara ya, nah podo sambat larane gak waras-waras. Jadi saat ini yang kita butuhkan adalah nggolek betadine, resiki lukae tambani mari. Dadi nggak usah sambat-sambatan, nangis. Nggak menyelesaikan. Makane golekono iku terus sembuh. Nah neg gak ono iku, nggak ada yang di organ-organ, nggak ada yang punya kekuatan. Logikanya lho iku. Makanya aku ngomong nggak iku mau, gak guyon aku. Karena itu yang dibutuhkan. Selama kita nggak ada decision maker nang duwur seng kuat. Ya minimal itu tadi. Yo gak popo aku wong cilik, ape ngomong banter ngene dipikire angin. Hehehe tapi saya punya maksud baik kok, bukan karena aku seorang pustakawan itu, bukan. Karena memang hari ini hari pembodohan sistemik yang dilakukan oleh orang lain maupun oleh sistem. Itu aja sebenarnya. Contohe ojok maca, alung kerja. Saya selama 6 tahun ditempatkan di Probolinggo yang mayoritas masih termarjinal.
Aku bisa ngomong ngene karena memang saya sudah ditempa pengalaman, aku dimana-mana. Aku ngomong ngene kan karena aku ngelakoni langsung. Orangorang sana itu berpikirnya, enakan kerjo daripada sekolah. Lapo kuliah duwurduwur sampe es ting ting yo gak sugih. Aku dodolan rongsokan wesi ae wes nimbang sak mene itung kalkulator dadi duwik. Paribasane Aceh tsunami, sapa seng seneng? Wong Meduro, nggawa kalkulator. Wooooohhh wesi maneh. Seneng ae, wong dekne rono nggowo kalkulator kok. Seng liyane kan nggowo apa PPK seng nggae ngeramut wong lara. (Ada orang yang mencari bu Evi dan tanya ke pak beliau) Guyonan yo, tapi ngerti yo karepku? Padahal itu luar biasa, tapi kita nggak punya. Nggak popo aku gak direken. Aku kan bilang, butuh seseorang yang nyleneh, ngomong sak enake tapi pas dipikir kok masuk yo. Karena itu tadi, logikanya pemimpin itu harus jembatan yang menghubungkan antara penelitian, tekstual dan implementasi di lapangane. Sopo seng gelem nggawe. Percuma nek nggak onok peraturane. Di kabupaten Probolinggo iku ada PLTU, tapi malah ada 2 desa yang nggak ada listriknya. Ada 2 desa yang nggak ada listriknya. Aneh kan, padahal onok PLTU. Yo iku mau podo karo wong mati nang lumbunge pari. Makanya itu tadi, ada kebodohankebodohan sistemik yang dipelihara. Aku malah pernah nang daerah Barong Nganjuk iku. Seng lucu maneh, aku nggak habis pikir. Ada bakti sosial hari Kartini. Yowes ulang-ulang April Mei ngene. Kan aku barusan masih senat, dan teman-teman pada waktu itu selalu membangun perpustakaan desa. Dan selalu aku yang menjadi panitia karena aku punya link di beberapa penerbit. Jadi aku isok njaluk buku. Dadi waktu jamanku iku, akeh buku seng nang gudang seng rusak. Dadi miring-miring titik lho dek. Tapi dekne kan mesti, nek panganan yowes gosong. Lha ngono kuwi aku dikon milihi. Yo iku tak kilokno.Daripada mangkrak dikilokno. Aku mau cerita bahwa di daerah itu di Barong itu, saya pernah tahu ada salah satu desa, lupa saya namanya tapi disana sangat miskin. Jadi pas wayahe jumat opo iku wonge nggak wani metu omah. Sampek koyok ngono. Di daerah agak sebelah desa iku ono kawasan yang anake iku malah di dol karo wong tuwone untuk diperjual belikan. Bahkan disana yang membuat saya menangis, jika harga semakin mahal itu prestise sebuah keluarga akan semakin meningkat. Aku ngene, subhanallah. Iki rumus nggolek nang ndi. Gak tuk aku rasane. Mumet aku, nggak nyampek ilmuku. Meneng dek aku waktu iku, piye iki carane. Dari situ aku sadar. Terlalu ditutp supaya, padahal iku logika-logika terbalik yang luar biasa. Memang seharusnya orang-orang seperti kita yang melawan. Cuman piye carane. Seng liyane paling, uasyik yo. Tapi aku nangis. Terus yang kedua di daerah Pasuruan desanya namanya Jimbaran kecamatane Puspo. Iku sekitar 12 km dari Bromo. Rodok rono maneh iku Hindu wes akeh, akeh kirik wesan. Seng aneh nang kono, iku angka perceraiannya tinggi. Anak 13-
15 tahun iku wes rondo ping 2. Waktu iku aku gak ngerti. Aku dijak are-arek dadi leader, pioneer masuk ndisik. Ok aku seneng-seneng ae. Tek, seng tak janggal iku aku moto. Kayaknya di pojokan iku kan mau dibuat gardu, kan memang ada dana dari beberapa sponsor. Nah onok cah cilik-cilik tak ajak foto, jebret lha kok isok nangis jerit jerit lho dek. Aku bingung, aku ra lapo-lapo. Ternyata dekne ndelok blitz iku kaget. Akhire jeder, teko kono dok. Kira-kira 3-5 harian. Peristiwa itu yang membuat nggak lupa. Beberapa orang masuk di dapurnya kepala desa. Kene kan buka supermie. Lha bapake, “nopo niku mas?”. “Supermie pak, lha bapak mboten ngertos?”. “Mboten mas, lha wong awak-awake kene ndeso kok”. Lha supermie ae nggak ngerti cak. “Monggo diicipi pak”. Wektu iku ya, aku semester 1-2anlah. Nggak sampe 3, nek semester 3 aku nggak gelem melok-melok ngono kuwi. Sekitar tahun iku, bayangkan di Indonsia nang wilayah Jawa Timur iku, nek iku suku pak opo nang papua ngono aku sek ngerti. Iku seng aneh maneh pas adus nang kali. Iku arek lanang-lanang mbuetik. Ngajak adus nang kali. Banyune lho uadem dek. Kene seng normal-normal paling adus bebek. Arek-arek iku mudun yo paling nggak 3-4 km an padahal. Pak lurahe ngomong padahal masyarakat sini paling malas kalau disuruh mandi. Lha kok rondo-rondo iku mudun. Pas kene ngadakne penyuluhan nang balai desa ngono, kita ngundange kan ba’da ashar. Tapi seng mudun iku yo, bari dhuhur iku wes podo mudun. Bengesan dek, uayu uayu. Dadi pas kene munggah iku onok beberapa seng nggowo motor, lha kok “pak mahasiswa pak mahasiswa”. Ternyata mereka itu terbongkar angka perceraiannya tinggi, nggak sampe 17 tahun iku wes rondo pin 2 ping 3. Wes yo suatu malam jumat, waktu iku hansip yo. Lapo hansip iku kok akeh ya. Niku mriki niku kuwatos. Ting mriki niku wonten kuda putih mlajeng-mlajeng. Kwatir nek bapak bapak mahasiswa niku. Opo ngono kuwi, cerita mitos. Mitosnya seperti itu. Yo lungguh-lungguh karo hansip iku. Jadi disana iku masih benar-benar terbelakang. Kapan-kapan pengen mrono maneh aku. Kapan hari kau ketemu kancaku arek pasuruan, jarena oh nek Puspo yo ancene ngono. Nggone daerahku Kraksaan kabupaten Probolinggo iku yo akeh. Mungkin nek nggonmu Bojonegoro, neg nggone lawu iku seng sek terbelakang yo akeh. Dadi iku mau, kene nggak melakukan itu mergawene yo iku mau gugur kewajiban. Kan kebohongan iku bermanfaat bagi manusia, jika kita ada di ranah itu. Kalau kita berpikir itu. Ladang kita untuk sedekah. Makane kalo dia mau.. Kalau kata pak Blasius ketika kita mau membuat karya itu yang harus disiapkan yan hati kita dan raga kita. Satu sisi saya harus bekerja, nggak mungkin saya mengganggu jam kerja untuk melakukan aktivitas sosial saya. Nggak mungkin, wes amanah iku. Kalau kamu mau melakukan sesuatu yang lebih, resiko yo iku mau. Bakal kesel. Dadi dengan hati dan raga untuk masuk di ranah itu. Yo melakukan itu tok, nggak ada yang lain. Wawancara sesi 3
Artinya kita memang harus menggunakan nalar sehat untuk menakar itu semua, memiliki wawasan yang luas., harus belajar Yang kedua saya pengen punya lembaga, aku hari ini yang menjadi kebingungan adalah lembaga itu kan harus asda penghuninya. Sedangkan aku sendiri nggak mungkin harus lari kemana-mana. Soalnya lembaga itu seharusnya dihuni oleh orang-orang kreatif. Aku bisa mencarikan duwit, tapi nggak isok seatle ngurusi iku perjalanannya dari ujung pohon sampai ke akar. Aku mungkin bisa men desain iki digowo rene gowo rene. Aku nggak tahu, aku sebenere pengen ketemu temen-temen.pustakawan, Aku pengen ngumpulno. Pengen liat visionernya kedepan. Ehm kalau ngomong untung ruginya durung, iki durung ngomongke provit oriented, tapi kalau itu kita menemukan orang-orang dengan visi sama, kita kepingine opo.cuman yo iku mau koyok penelitian, itu..jadi yang utama Jadi harus melalui penelitian dan surve lapangan. Cuman kita harus punya funding2 yang “tidak terikat”. Saya fikir iku iku duwek gede. kalau memang bicara kita profesional. Dan aku Misal aku butuh kamu tok untuk jadi leader proyek ini ki isok ae trus kemudian tak bantu ketemu dengan orang ini kemudian kita deal harga, untuk sebuah even ini, itu bisa, Cuma ngumpulke kan butuh tempat, ngumpulke relawan .... yang mau diwawancara, dsb. Tempat sih gak masalah yo, nek relawan bisa diakali diambil, mungkin relawan-relawan ini bisa diambilkan dari adik-adik kita. Paroh waktu, disela-selannya. Sekarang aku butuh, SDM. Tapi yo iku di isi orang-orang yang mau di bawa kemana??aku pengen itu ada di beberapa kota. Intinya sih aku pengen ada “maket pencerdasan???” onok perpustakaan, penelitian, trus bisa buat press release, macem-macem.tapi prisip dunia kepustakawanan, tapi di isi oleh yo kui mau, Gak kudu di isi pustakawan, tapi orang orang dengan pasion yang sama. Aku hari ini beberahpa hari nyarik,beberapa orang, ayok mulai mengerucut-ngerucut. Aku yang agak tak siapkan hari ini ya tempat, karena menurut saya, sekretariat iku kudune gak pindah-pindah, ketokane lek aku sih, walaupun bagi banyak orang gak,. Tapi bagiku sekretaris iku penting, minimal, gae alamat surat lah. Iya meskipun pindah-pindah tapi ada suatu tempatnya.. Ho oh itu menjadi penting, karena nilai ke valid an sebuah lembaga ya karena tempatnya, tapi kan alamat itu akan mengikat sebuah lembaga, ngko di goleki rono ilang, di goleki maneh ilang maneh. Meskipun bisa aja dengan memanfaatkan media maya, bahwa kita pindah-pindah gitu ya, cuman...secara.. Kredibilitas pak?
Iya, aku sakjane ini sudah lama, ini sakjane program lama,kerena yo itu tadi, pas koyok koe,.aku pengen due lembaga sendiri, .aku sudah ada dua lembaga yang tak proses, cuman karena orang yang tak bentuk wes mencar kabeh, iso tetap bisa memakai nama itu asalkan yang lama itu dikumpulkan kembali. --selingan-Intinya itu, aku pengen ketemuan sama temen2, ya itu, sebenernya salah satunya, kebutuhan mereka harus kita tangkap sebagai sebuah peluang, jadi sama dengan aku dulu ketika sekarang itu sak jurusan akeh, misal sak angkatan itu 60, itu satu tahun cuma diterima 1 orang, sedang jumlah lulusannya makin banyak ya, UWK, UIN? Maringene UB, macem-macem, satu sisi kalau kita gak mengembangkan industri kreatif dalam tanda kutip “kerjo dewe”, yo tak pikir akan menumpuk pengangguran intelektual. Makane aku pengen ketemu wong, ayok lah dek sapa, yok kita ngomong, tapi gak semua, Tapi yo harus dicatat, Tapi yo gak semua orang mampu melakukan hal ini, melakukan tantangan. Kalau dari temen2 saya itu bisa dihitung sih pak, Bisa dihitung yang ingin memajukan dunia perpustakaan. Termasuk Dina. Makannya aku pengen ketemu sama kamu ambek dina atau siapa sajalah, tak fikir kamu yang lebih tahu dulu, kamu dan kawan-kawanmu yang memang sudah mengenal dunia ini. Tapi iki tawaran aja.. Syukur syukur kalau ada anak surabaya gitu misalnya,trus golek nggon, trus aku ada rumah, walau agak jauh, daerah ngagel, a,, kalau teman2 serius akan saya modali, aku ada rumah,untuk lembaga itu, tak modali, kita buat manajemen kantor yang serius, sebuah kantor. Walaupun untuk masalah profit oriented masih belum. tapi kita harus punya visi bahwa organisasi harus seatle. Paling gak untuk listrik, air, kita buat. Kekuatan ku saat ini adalah jaringan,jadi aku bisa “jual diri”, aku bisa ketemu orang-orang akeh untuk ini2---“09.20. tapi kan gak mungkin aku melakukan itu sendirian, sementara aku juga punya amanah sebagai seorang PNS. We ngko ngene-ngene, mungkin hanya bisa mengkoordinasikan by phone. Nek golek duwit iku gampang banget, misalkan nulis neng artikel, palig gak golek lembaga dulu, paling gak buat bensin atau makan nya arek2. 500 cukup gae 10 dino misale. Jadi tidak ada kata yang nganu, Tapi ya itu tadi, harus sama ideologisnya, karena model kayak gini, Namun gak bisa dipungkiri orang-orang yang semangat, mentalitas trus tenaganya itu terbatas, tapi lek sama-sama kan kuat. Dari pada kita harus melamar2 kan lebih keren kita membuat gede2 set, wah keren itu, gede-gede wes ndue lembaga dewe. koyok LBH kui lo. Dia akhire gae impersial, misal kamu penelitian tentang perpustakaan anak, satu sisi kita tetep jaringan besar. lebih misal kamu, we gaopo balik nak bojonegoro, tapi khusus ngembangne perpustakaan sekolah, memperbaiki disana, tapi kita masih jaringan yang sangat kuat,aku punya mimpu, nah kayak gitu itu peluang . kita akan menjadi jaringan yang sangat kuat dan besar.
Saya sangat akrab dengan Y**I. Cuman, hari ini saya gak sejalan dengan mereka. Karena dia itu model lembaga, yang menurut saya hanya menjadi lembaga yang hanya fokus pada perpustakaan, jadi golek duit, gawe perpustakaan trus ditinggal. Aku gak mau seperti itu, kita harus melalui penelitian,tapi kita jugak ngopeni tapi tetep kaet awal sampe akhir gak ditinggalkan, walaupun toh nanti nilai kontraknya habis dibuat.., perpustakaan kota karo Y**I dulu itu awalya dibuat dengan dana CSR, sampoerna kalo aku ngunui Moh ya, kalau dia sih bangga dengan dirinya, moh singg tak lihat itu, trus dia main duit, nilai segini kontrak, tapi ngko misal untuk ngencengi SDM dan Hanya beberapa pos..dan karena yang keluar itu ya bekacunge, yo karena kita deket. Makane dekne ngumpulne relawan padahal disatu sisi asline dekne oleh duit gede, tapi relawane gak dibayar. Oh saya baru tau pak, Jadi yang saya tau kalau di Y**I seperti perpustakaan yang ada di ANAMBAS itu saya fikir tetap berlanjut, sampe mereka itu katanya kaderisasi jadi mengajak orang-orang sana. Sekarang pertanyaan saya selama 7 tahun, proyek mana yang dilakukan? Dan mana saja yang hari ini masih tetap di pangku oleh dia? Jadi itu pertanyaan seperti itu dulu. Jadi dekne iku, coro gampange adalah, dekne tandur, sampe setengah umur,sampek uwoh pertama, trus ditinggal, nah ditinggal itu memang dia sudah menyiapkan orang-orang sana untuk melanjutkan, Tapi “tanda kutip” Tiada kontroling manajemen? Yo, gak ada dana khusus untuk disana. Jadi lek aku yo ngajak perang, dipukul mlayu, jadi kalau berhubungan dengan orang iku gak keetemu nalar. Kalo aku mending koe garapen suroboyo ae, duite soko aku , tapi satu kampung kecamatan itu, isok sangat literate, maju banget dengan dia kembangkan, kawal terus sampek konglomerat kabeh. Kui ae wes apik, 1 ae lo gapopo, 1 RT ae misale, tapi diwehi income, mungkin sekarang gaji pastinya, misal perbulan bisa sampek 500 juta. Akhire kan akan timbul persebaran. Gak mungkin lah sampek berhasil kita gak mikir duwit, trus kita gak diopeni... Cuman kita sudah bisa menberikan bukti ke masyarakat bahwa orang yang literate memiliki kelebihan di banding dengan yang lain,itu butuh kerja keras. Sopok sing ditakoni,isok ngomong, ojo nang materi rek. Itu yang tak... Iki makane pengen ketemu mbek arek-arek,diskusi mau dibawa kemana program diskusi kita, apa yang bisa didapat. ini perjuangan berat, masyarakat itu butuh , saya sangat membaca pustakawan yang PNS, dibalik layar tok. Sangkik suwine. Sebenernya saya juga punya impian sih pak, maksutnya, pikiran saya, saya di IIP itu kan memang bukan keinginan saya, namun setelah saya keluar ,
tidak ingin bekerja karena keilmuan saya, tapi ilmu saya tetap bisa bermanfaat untuk orang-orang. Saya ingin memiliki perusahaan, namun saya ingin memiliki sebuah yayasan, seperti taman baca yang bisa memberdayakan masyarakat, sehingga bisa memberdayakan masyarakat termasuk ekonominya, pendidikannya, jadi bisa memberdayakan dari segi apapun. Ya hal itu harus dibuktikan, Harus ya pak ya? Aku pernah mimpi dewe iso ternyata, terlalu pongah, ngomong itu harus sebuah jamaah, banyak orang menganggap harus satu ide, satu visi,saling melengkapi, awakmu mungkin pinter IT, aku pinter neng dana, trus kita ketemu kene ngomog mbek guya guyu, dek dek, tanda tangan wes. Tak jelasno pesan opo sing tak gowo dalam program ini, trus aku bisa meyakinkan mereka, tanda tangan wes, itu ternyata lek menurut saya, Itu lek menurut saya, masiing-masing punya plus minus, gak mungkin orang sempurana, menguasai negosiasi dan teknis, akhire ya aku butuh, sedang mengupayakan, opo sing iso.. sek durung ketemu. Trus yok opo perkembangan tulisanmu? Prooses pak. Trus awakmu gae teori apa?iku psikologi? Sebenarnya kalau penelitian kualitatif kan tergantung temuan di lapangan. Kayaknya juga psikologi sosial, nah nanti dari sini akan ada penggolongan tipologi pustakawan. Salah satunya bukunya pak blasius, ITS. 2 itu yo? Ada rekomendasi pak? Aku itu buku buku terbelakang, banyak main di sistem, misal hari ini membuat tulisan, tentang hubungan antara pustakawan dan korupsi, sampai sejauh mana mengubah menanggulangi dsb, mainku di sistem. Gak pernah tentang person, banyak pergerakan bisa jadi ya perubahan sosial, gak individu orang-perorang. Jadi kemarin yang tak tag itu, waktu mendapat buku, “menulis mengubah takdir” Takdir bisa dirubah dengan menulis, “penghancuran buku dari masa kemasa”. Ternyata buku itu mempengaruhi peradaban. Jadi ternyata perang itu gak hanya fisiknya saja, membunuh nyawa orang per orang, tapi lewat ideologinya, yo iku bukune di jur, sehingga gak ada peradaban,yang bisa diteruskan ke anak cucu. Trus tanggal 20 ini, aku mendapat buku, Bumi Tragi, yakni tragedi nol buku, ki sedang tak goleki, trgedi nol buku sampek sejauh mana, dari perpustakaan, minat baca, mengapa minat baca itu rendah, ituu disitu, itu awal, kemudian, itu sing tak pelajari.
Kemarin sing banyak membuat aku penasaran, sukarno terlibat PKI apakah ndak, peritiwa rengasdngklok, ajane sing pengen merdeka itu sukarno, opo golongan muda, opo sukarni dkk, apakah pencurian itu ada kekerasan gak? Trus ngapain aja diculik? kenapa menculiknya mendadak sekali? Mendadak bagi saya itu tanda kutip? Berarti nek Yang menginisiasi adalah pemuda? Gak cocok nek misale dek e dijadikan proklamator, yo mungkin dek e sing moco, tapi sak jane niat opoo enggak dekne merdeka, ajane yo durung niat, wong dek e dipekso, “wes saiki ae wis, kesuen” yo wi ketepakan. La iki argumenku, tapi membuat argumen kan butuh referensi. Kemarin ada bukunya Hatta, salah satu sub bab. Jadi buku-buku itu, Menurut hatta, ditulis di bukunya itu. tapi nak ta tulis, akan jadi perdebatan, perjuangan Sukarno, koyok pancasila, apakah penggalinya adalah Soekarno, padahal sebelum Sukarno tanggal 19 itu, iku, ada soepomo, dia yang ketiga malahan. tapi iku meh podo, tinggal menyempurnakan aja. Tapi kok malah soekarno sing di dadekne anukan butir2 e opo. trus jamane diadu2ne piagam jakarta, melakukan syariat islam dibuak, sampek biuh. Makane itu butuh. Apa yang bisa saya bantu. Kembali topik Iku mau pemanasan, Awalnya, karena bapak menjadi pustakawan, suka dengan buku, kemudian masuk dijurusan perpustakaan. Ketika masuk diperpustakaan, Apakah bapak ada ketertarikan kepustakawanannya, atau belum ? Belum, sampai semester 2 saya masih pengen bisa jadi insinyur, dulu itu saya ikut bimbingan belajar, namannya pibeta, disana dikatakan kalau tidak diterima negeri, setahun bisa kembali, tanp bayar. Aku katakan aku masuk D3 UNAIR. Semester awal aku masih tenggelam. Tenggelam dalam artian jam 4 aku harus les lagi, akhirnya apa yang terrjadi, IP ku anjlok, C C C BC, karena aku belajarnya gak fokus, titu berlangsung 1 tahun, semester berikutnya masih seperti itu, karena aku pengen nembak lagii, apalagi awal-awal, itu kan pelajaran pengantar ilmu perpustakaan, filsafat, iku oooopoooooo ngunu, sangat-sangat tidak nyaman aku, aku gak bisa terima, aku suka fisika, aku pengen jadi orang fisika yang sangat detail dgitu.trus kongkon moco, yo memang aku suka baca, tapi nek dikon moco gak sevisi. Kalau gak sesuai gitu kayak keterpaksaan. Aku baru sadar ketika, Akhirnya tak , walaupun aku ikut 1 tahun, tak putuskan untuk tidak UMPTN lagi, padahal aku sudah menguasai 80 % lah ya, waktu itu aku lupa ada peristiwa apa, akhirnya gak jadi. Akhirnya, sempat 1 tahun itu mulai berfikir, dengan uang pas pasan dari ibuk, “yok opo carane aku iso enjoy, mengakui apa yang saya lakukan adalah jalan
hidupku, butuh penghayatan yang kuat, akhirnya aku terdapmpar di UKKI 30:20, waktu itu jadi aktivis, aku jarang pulang, ngabdi disitu, akhirnya terakhir itu jadi ketua perpustakaan UKKI, jadi ideologi saya keliatan, lek ada perbuatan, bahwa pasionku disana, kalau aku masuk senat, senat ada kegiatan, mlayune yo panggah neng aku. Awal sik golek2, sue2 ketahuan. Nek ada bakti sosial hari kartini,setiap tahun ada itu, yo sumbangan yo macem2. Itu awal. Sampek akhir aku di UKKI,enek bursa buku, sampe akhire aku semakin tenggelam dalam buku. yo memang ada masa transisi, 1 tahun itu cukup untuk membuat sadar, artinya separo jalan, akhirnya 1 tahun, aku nggenjot. IP di tahun terakhir malah, IPK terakhir 2,63. Sudah cukup, cukup untuk pustakawan dalam tanda kutip, karena saya bukan tipe pustakawan yang pengen kuliah diluar negeri, aku gak pengen pinter, koyok gitu, tapiaku pengen bermanfaat. Aku gak ngoyo, kepengen IP 3,90 aku sederhana aja, apa yang bisa ya tak lakukan, perubahan2 yang saya bisa.. Lek ngomong temen yo wes kalah. Menarik ini kan, kuliah di UKKI, SENAT, HMI, PMII Organisasi di lingkungan univ ya pak? kebanyakan orang2 diluar jurusan kita. Seperti yng saya rasakan juga, saat ini, Seperti mas yanuar jadi ketua, UKMKI Ketika tenggelam dalam aktifitas kita malah lupa kita lo jurusan perpustakaan. Gak, mereka lebih banyak diskusi saya, mereka lebih tertarik, karena langkah saya di filasafat, jadi aku lek ngomong, dengan orang hukum lek diskusi dengan aku, boleh lah tentang teori2 hukum. Tapi kalau diskusi sama mas Anas misalnya, Misalkan pemilihan umum di amerika, secara teoritis dekne lebih menguasai, karena referensinya, kuliahnya politik, tapi secara analisa, dia kalah. Di banyak kejadian aku pakai nalarku, lebih manjur. Aku kan mocoku TONG SAMPAH, jadi kabeh tak baca, jadi analisaku lebih luas. Orang yang kualitas ngomongnya, didelok, seneng moco ta gak, gaya ngomongnya ada isinya atau tidak. Ketok Memang seharusnya, seperti saya dan mas yanuar, ketika kita terlalu terlelap dengan kegiatan univ,, kadang ketika kita kembali ke jurusan, oh iya kita anak perpustakaan... Gini, kalau saya di UKKI, saya kenal, ustadz saya, mendata orang-orang akan mendata sopo sing arep sowan,dari mulai jumatan-jumatan, dari silaturahmi itulah akhirnya yang mendewaakan saya. Saya banyak belajar bukan dari buku, tapi diskusi, dari situ semakin tahu, Penting. Dia aja yang gak belajar ilmu kita tapi tahu. , di amerika, seorang pustakawan, nilainya sama kayak PHD, kajiannyakajian filsafa, gak cuman ngomong ilmu. DR o nek PHD, seorang pustakawan harusnya juga seperti itu, kajian2nya filsafat. Kemarin sama pak Daniel Rosyid,
mencermati pendidikan di Indonesia kita sepaham, padahal DPR. kenapa aku yang hanya D3, aku bisa ngimbangne Profesor, kadang aku yo dibenerne profesor. Kita merasa dihargai, iseng-iseng aku nulis SALAM (Pustakawan?) GO_BLOG, memang dalam sebuah tulisan aku membuat judul yang kontrofersial, pembuatan judul harus tanda tanya. Saya katakan disana kalau kita main sistem, jadi koyok jaringan informasi, itu terlalu tergesa, itu susah, karena kita melalui jalur birokrasi. Pustakawan GOBLOG itu memancing kita, menulis di blog, gak hanya di blog, facebook, apa yang di dapat? Tidak hanya berjejaring, Bisa sharing informasi, pertemanan “intelektual” seperti itu lebih akurat, dari pada, karena sentimen kepustakawanan. Dari pada kantor, takok instansimu, halah sui. Hari ini sebenarnya yang kita butuhkan itu, kalau nulis sebenernya kata-kata apapun, tak fikir itu bisa. Tapi ide itu yang murni aktual, gung ta didelok uwong, pasti cepet. Jadi renungan sebuah diskusi, kita kemana, kita dapat apa. Jadi aku 4 tahun nulis ,literasi informasi, halah preketek, tapi prakteke yo opo, iso oleh opo, wong sugeh po yo pasti literasi informasi. Lek aku yo teori implementasi. Lek ambek pak itu rodok nyambung, karena banyak foto2 di filosofikan. Tapi tidak tahu lapangan yang ada di INDO, gak banyak yang memahami Indonesia. Jadi kalau dibilang, bapak bangga sebagai pustakawan? Gak, saya gak pernah bangga karena belum ada perubahan sama sekali, Saya protek iya, belum ada yang menurut saya capaian yang bombastis, dan saya mencari, lek aku wes puas aku leren. Kalau pakai teori parabola, nek sudh ada di titik puncak, yo karek mudune, wes gak iso munggah maneh, tapi nek kita masih mencari puncak, sik munggah terus. Nek wes puas, karek mudune. Wes mari kok. Interaksi dengan teman sekantor? Gini, Kalau diskusi masalah perpustakaan, rata rata, jujur kita berversi-versi, karena, artinya, kok aku maleh ngomog koe, dia kan orang-orang yang di ZONA NYAMAN, mereka nertine yo sekitar penjara, nek jenise koyok aku, yo pustakawan yang nekat untuk lepaas. Dadi aku harus nomong politik, tau pendidikan, tau ekonomi, hari INI MENURUT SAYA KITA HARUS MEYAKINKAN MASYARAKAT BAHWA ILMU KITA INI BERMANFAAT. DENGAN KEGIATAN, faedahe opo, tapi nek iku hoby hari ini yang kita butuhkan, kita gak iso lo nyeleksi produk kita kalau kita sendiri gak terjun ke masyarakat trus perpustakaan tok. Hari ini mereka, WINGI DEK, aku kemaren bingung, enak2 garap tugas, memang aku lek sakit, dikos kosan. Mbukak, ada twitter, bukak lelptop, “PAK BISA gak ngisi materi? Masalah SEX Education” Audiens e? bagi wali murid, sekolah islam TERNAMA di Surabaya. Bagi saya buk, bukan masalah iso gak iso, 5 meit aku iso, tapi saat ini bukan masalah itu. Aku iso ngomongene HIV, tapi aku duduk dokter umum. Aku spesialisasiku nak TBM, Minat baca. Tapi nek lepas dari itu, yo aku profesional
noh, Sorry, bukan aku gak butuh duite,dengan alasan kredibilitas, tapi yo tak tolak dengan alasan yang bisa diterima. Misal aku penyanyi keronccong, tapi hari ini kudu dangdut, bukan pasionku kok. Keroncong di dangdutne pie terusan. Ojo mergo aku iso pop iso keroncong trus iso ditanggap ngono. Selama, menjadi PNS, selama menjadi pustakawan, pelatihan2 yang diberikan mendukung gak sih? Gak, Saya sangat mengkritisi pelatihan2 mereka.bahwa . menurut saya hanya seremonial belaka. Hanya untuk ngehabisin duwit, “ekstrimnya seperti itu.” Saya banyak belajar dari teman-teman LSM, bagaimana membuat organisasi yang matang, bagaimana bermusyawaran dnegan benar, apa yang harus kita lakukan jika ketemu orang, tapi aku harus ikuti dulu mereka, jangan terus kontra, nah kalau sudah masuk, baru memilah meilih, mana yang baik. Mengarahkan mereka, Sehingga mereka tergiring, secara tidak sadar.,koyok negosiasi kemarin, banyak yang tak ambil dari organisasi msayarakat. La teori2 mereka lo, loh kok ngene Termasuk materi perkuliahan? Ya karena gini, mereka bukan praktisi, mereka mengajar karena baca buku, masing masing dosen kalau berganti matakuliah, beda. Berdasaarkan apa yang dia baca. kita gak punya kurikulum baku, tentang literasi, tujuane trus ngene ngene gak ada. koe mengambil matakuliah yang sama degan pengajar yang berbeda,,,intuk e iso bedo, jadi menurut saya lebih enjoy mendapat informasi belajar sendiri. Jadi aku bien nek kuliah, nek kamu pengen ngerti, saya itu, hanya 5-10 menit sebelum teng sebelum masuk saya berangkat, kurang 5 menit aku mesti ngilang, nek enek tugas aku gak onok. Tapi terkadang, nek diskusi kelompokm mereka berlomba untuk, rebutan saya, walaupun yang ngerjakan bukan saya, karena saya argumentasinya.. wooo nanti kamu ikut dalam kelompok ku yo. dadi nek guyonanku, aku lek iso gak usah kuliah, tapi aku gak tau ngrepek, gak nyonto awakmu, tapi iso oleh A. mbak dian, aku belajar-yo belajar mandiri, jadi cumak takok tak deleng, eh opoo kuliahe, iki materine trus golek dewe,nek perpustakaan. paling yo sulistyo basuki, sing liane kan manajemen manajemen, gak enek sing spessifik. Saiki ono internet ajane yo wes. Loh bapak sekarang aktif dimana saja pak, Organisasinya? Hari ini aku Sekretaris forum taman baca masyarakat Jatim, sekretaris indonesia pintar Jawatimur itu mengelola rumah pintarnya Bu Any. Trus biasanya diskusinya ke temen-temen itu. Biasanya komunitas LITERASI SUROBOYO, Sekarang banyak diundang, dengan temen2 relawan. Aku kadang kadang heran. Anda investasi bagi kami.
Soale aku mesti lucu, masuk ditengah-tengah. Gak kepikiran ngono. Aku dijadikan penyeimbang, Kenek pak wibowo dikritisi,tapi akhirnya WOOO IYOYOOO :P akhirnya mereka nyaman dengan gayaku. Makane kemarin ketika diskusi diawal, aku bilang, OOT DOLY 55:05 Kita jangan terjebak oleh skenario, kita pemuda harus jadi penyeimbang, Makane pertemuan pertama kemarin aku kan bilang kan, kalau ini hanya dipindah saja tempatnya.. trus, ee kita.. kita gak berusaha mengawal ini, jadi cuman digantung, manfaate opo awakdewe? gak onok, kita jangan terjebak pada naluri, kita seorag pemuda, ben kepikir, mereka yang punya udzur, misalkan kita besok didadekno , mbok tuku kabeh, dadekno sangrila ke 2. Nek wes diskenario ngono kan, temen rek. Kita harus berfikir alternatif. Aku nganu mas dalu lho, ngebel, janjian. Mantan presiden BEM, Bagus itu,pola, cuman kan kadang mahasiswa kan kadang2 ngono. Awakmu mau ngebel aku ta diii? NGGAK Gak popo dek tak sambi dek? Iya pak, Tapi lanjut ya pak? ya Kalau saya baca kan, anggapan masyarakat perpustakaan, profesi yang termarjinalkan, gak menarik minat orang, orang-orang gak tertarik, termasuk lulusan perpustakaan, apa yang menurut bapak perlu dibenahi? Yang harus dibenahi yang pertama kita butuh penelitian bahwasanya ilmu kita bernilai strategis.siapa yang membuktikan? Yo pustakawane dewe. Selama deke gak merasa terganggu oleh stigma.”alah bene ae wes” Artinya pasang kacamata kuda. Ahh urusan masyarakat nilai aku opo gak ngurus. Kalau gak ada orang yang peduli ya selamannya akan seperti ini. Hari ini yang dibutuhkan apa? Pustakawan yang petarung. Akan masuk dikomunitas2 kecil. Kita harus menjadi pionir, jadi agen, aku dengan passionku, sehingga orang2 bisa beranggapan “ pustakawan iso diajak ngomong sembarang kalir, pergerakan, ekonomi, kesehatan dsb” Jadi bukan klarifikasi, sehingga butuh orang-orang yang bisa bertarung, masuk ke komunitas-komunitas profesional.
Menurutku kita harus menjadi pioneer, menjadi agen, aku dengan pasionku, sehingga orang orang bisa mikir, pustakawan iso diajak ngomong tentang semua
hal... utuk itu butuh orang2 yang berani bertarung, opo yo istilahe, masuk pada komunitas2 profesional
Sik akeh to? Dikit sih pak Nah yang paling penasaran sih pak? Kan yang saya lihat bapak itu orang yang tipe2 lapangan banget. Tak duduhi, saya itu muridnya munir, saya lama di IBF, di advokasi. Jadi tekanan sosialku dibina di organisasi itu. kenapa saya masuk PNS? Saya terlalu capek berkoar2 diluar sistem, aku sekarang punya analogi baru, berada didalam sistem, tapi untuk kesana butuh nyali besar, sisteme ajur, tapi apa salahnya saya berusahan memperbaiki dalamnya, nah ini butuh keberanian yang sangat besar. Karena orang pasti berfikir kayak gitu. Tapi selagi kita yakin akan sebuah kebenaran, jalani ae. Aku gak banyak membuat revolusi, aku lek menganggap argumentasiku, kepala badan menganggap aku lebih bisa masuk di adek2, mereka lebih manut nek karo aku. itu kemampuan naratif, aku iso membuat yakin orang lain, aku gak oppo tukaran koyok nginiki,adu argumentasi, kita bedo yo gak popo, tapi akhire buat kesepakatan, kedekatan2 itu akhirnya dilakukan, walaupun dulu itu “ HALAH OMONG TOK” Aku tempaanku waktu itu lebih keras dibanding kamu, aku bukan tipe orang yang nunjukkan “Ini loh gagalku” Ben opo. Sangat sederhana, orang itu aku perlu ngomong yang muluk2 asalkan istiqomah, dari sesuatu yang sudah kita buka, dan perubahan itu datang. Nek muluk2 malah gak terbukti dilapangan. Banyak yang saya lakukan. Dirimu lek iseng2 ketemu klambi biru, takoki PAK WIB PIYE. Gapopo, itu bukti kedekatan dnegan seorang wibowo. Ek aku sih sak madyo. Pokoke aku ngene. Aku mau ketemu wakil ketua DPRD, yang ternyata dari fraksi PKS katanya mas dalu kenal dekat, anak saya sekolah di SDIT penghafal qur’an juga, yang hari ini sekolahnya diitutup. Aku pengen ketemu beliau salah satunya pengen pindah. Katanya didanai oleh PKS. Aku seneng ada yang mendanai. Bantu aku ...INI BUKAN HARAPAN PUSTAKAWAN, TAPI SEBUAH TUNTUTAN PROFESIONAL, INTINYA PENGEN BERMANFAATLAH. PENGEN NEBAR ENERGI POSITIF BUAT ORANG-ORANG. Bagi saya itu hanya sebuah profesi dek, pustakawan iku makrifat hakikat, gak krono DUPAK, saiki wong kerjo jengkang-jengking gak ngerti maknane opo.saiki dienakne ae SELAMA KITA BISA BERBUAT BAIK.
Selama kita bsa berbuat baik, yo ayo dilakokno, misale ono sing kenal aku, di dongakne dadi presiden, moro-moro enek mlaikat lewat. Dibanding dengan pustakawan yang lain NEK AKU mungkin bedo yo, Iyo pak kadang bisa di tebak. Mereka banyak ngerjakan multiple choice, ABCD hahaha. Nek aku kan terangkaanlah, uraikanlah. Itu penting ya,sehingga lawan nyaman, dalam komunikasi, yang penting pesan tersampaikan. Mengungkapkan dengan hati-hati, jadi nek wes seeeet, gampang masuk. Sehingga curhat opo ae di lapangan, nek dek e wes gak terbuka karo aku, menutup diri, susah. Itu aku bedanya dengan yang lain. Tapi ndelok sek modele pie, frekuensinya gimana senengane ngomong opo. Gang doly itu yang besar, ana lampu2ne... ganroamingg e gang jarak. Gene pak kartono kui putat. Kita itu kalah dengan mereka... hahaha. Aku nek stand up komedi ngunu menang. Kon jaga jarak hahaha
Wawancara sesi 3 Gimana? Ada yang salah? Ndak salah sih pak, tapi ada yang kurang. Jadi kalau pas saya transkrip itu kok kayaknya perlu ini ya. Oh iya ya, piye piye? Dulu kan awalnya Bapak pengen jadi insiyur. Terus kok milih perpustakaan itu pak. Itu memang nyoba-nyoba atau? Iyo nyoba-nyoba klebu terus kejeglong pisan. Berarti awalnya milih insiyur? Iya milih di ITS. Kok milihnya ke perpustakaan pak? Iya dulu itu D3, bapakku gak oleh nang ITS. Di UNAIR aja, dan di UNAIR yang paling bawah itu perpustakaan. Soalnya apa, orang tuaku kalau nggak masuk negeri nggak oleh kuliah. Dadi nggolek seng paling elek, dadi neg nggak mlebu yo bodone aku. Terus akhirnya mlebu yo kejeglong. Soale yang perpustakaan itu pilihan bapak, aku diminta masuk perpustakaan tapi aku moh. Terus akhirnya nggak keterima seng iku, y owes tak turuti. Iseng aja, mergo nuruti wong tuwo. Dulu bapak pindahan dari Probolinggo? 5-6 tahun, 2006-2011 akhir. Dulu pas awal tes CPNS memang bapak langsung ditempatkan di Probolinggo? Iya dulu memang milihnya di Probolinggo. Di Probolinggo terus dipindah nang kene oleh. Oh jadi bukan dipindah ya pak?
Nggak, mutasi iyo. Mutasi itu ada sebabnya nggak sih pak? Permintaan itu, kalau sini mau ya aku mau. Kalau sini nggak mau ya aku nggak pindah. 5-6 tahun itu kondisi lapangannya tentu sangat berbeda ya dengan yang disini. Mungkin selama di Probolinggo itu bapak menemukan inspirasi tentang kepustakawanan gitu pak? Kalaudi desa tentunya sangat berbeda, banyak tantangannya. (Lagi ngobrol sama orang TBM kurang lebih 1 menit) Piye piye? Oh iya pak, apa selama di Probolinggo ada pengalaman gitu pak sehingga kita sadar bahwa pustakawan itu sebenrnya sangat dibutuhkan di masyarakat atau bagaimana gitu pak? Kalau bilang setiap ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Artinya kondisi masyarakat disana dengan yang disini berbeda. Disana kebanyakan orang Madura. Logikanya orang Madura itu pendidikan nomor sekian. Yang penting itu kaya. Jadi kalau dia bekerja walaupun dalam tanda kutip nggolek rongsokan ae isok munggah kaji lapo sekolah. Jadi kulminasi mereka itu munggah kaji. Itu filosofinya lho ya, jadi sekolah ya percuma nggak isok munggah kaji. Aku 2 tahun ae wes isok munggah kaji. Artinya itu tantanganku disana. Bisa minat bacanya rendah iku yaopo carane. Satu, disana itu pusat kotanya dengan desanya itu jauh. Jadi penyebarannya, kalau di Kabupaten Probolinggo itu kotanya panjang. Dari pojok selatan ke utara. Oh nggak timur ke barat itu sekitar 50 km. Beda sama Surabaya kan bunder, kalau mau diambil tengahnya buat perpustakaan kan mudah. Kalau ini nggak, 1,5 jam. Jadi kalau mau ke perpustakaan iku nggak mungkin. Strateginya mesti ada di kecamatan-kecamatan tapi sejauh ini masih belum. Terus budaya bacanya kalau orang Madura itu biasanya ketika jumatan mau berangkat jumatan, jam jam 9 iku rame-ramene. Cuman banyak masalah kendala ketika anak-anak pondok itu bukan asli situ. Mulih iku kadang bukune digowo. Dadi seng kadung seneng maca, bukune dipek. Kompleksitasnya disitu. Dadi memang beda. Terus perhatian opo ehm dari bupati mbek anune jauh. Itu kan perhatian itu berkaitan dengan PAD itu, semakin perhatian berarti dana yang dikucurkan ke suatu instansi itu gede. Disini itu dana 1 tahunnya 25 M. Kalau disana itu 1 M. Jadi 1:25, itupun pernah turun menjadi 900-800 juta. Bayangin. Makanya ketika pak wib masuk disini itu bagaikan masuk di lapangan yang berbeda. Kalau disana itu bagaikan masuk di lapangan yang rumpute uatos dadi nek bal-balan sikil ketatap watu iku bocel. Meskipun nggae sepatu iku riskan untuk tibo. Nek nang kene 1:25 tentu lebih empuk. Aku isok gulung kuming. Istilahnya lebih gesit. Aku nggak ada resiko jatuh, jatuhpun gulung kuming nggak sampai boncel. Secara lapangan itu mendukung sama nggak itu beda. Jadi kita bisa eksplore ilmu kita secara habis-habisan. Secara penghargaan juga beda.
Ehm kalau saya lihat bapak kan kalau saya lihat bapak itu termasuk seseorang pemerhati kepustakawanan ya pak ya? Proses menuju kesadaran itu bagaimana? Dari pertama dialog, kita tahu nasib kita ketika bercengkrama dengan teman yang lain. Oh nek iku ngene, nang nggonku ngene. Paling tidak kumpulan iku kan menjadi sebuah problematika. Jadi kesimpulannya ini lho. Dari sana kan mulai, kita tahu bahwa disana itu ada masalah, bukan hanya disimpan tapi juga dicari solusinya. Awalnya memang kumpul-kumpul, nggonmu yaopo? Nggonku kerjoan jenderal bayaran kopral mas. Lhoh jenderalmu koyok opo. Aku pernah kerja nglasifikasi dari sepuluh fakultas itu selama tiga tahun nggak digarap. Bayangkan. Uakehe buku iku, dan itu aku selesaikan selama 2 tahun. Dan itu aku nggak tahu, sepuluh fakultas itu kan teknik. Inggris teknik karo inggris biasa, dipadakne karo DDC ae kadang nggak metu nomer. Lek wong males, nggak gelem belajar. Nek aku sih iseng ae, tapi ojok diterusne. Nek nang kono terus jenuh aku. Aku hari ini sudah tidak mau kerja di ranah-ranah yang monoton. Aku emoh. Aku cemderung ke sistem. Karena sistem itu lebih fleksibel. Itu aku. Kalau aku ditempatkan di tempat yang jenuh. Mati nu kreatifitasku. Apalgi kerja nang perpustakaan sekolah seng ditemui iku ae. Perpustakaan perguruan tinggi sama aja. Nggak ada yang baru. Kalau disini ka selalu ada yang baru. Kayak semboyane Jawa Pos. Saya besok ada lagi, ada lagi ada lagi. Kalau bapak disini di bagian apa pak? Di pelayanan Ehm jobdescnya maksudnya pak? Di pelayanan, di pelayanan. Pelayanan itu ya yang ngurusi temen-temen. Lebih ke manajemen pelayanan ya pak? Nggak nggak, lebih ke pengaturan layanan. Bagaimana kita di masyarakat, mereka kan ujung tombak. Ada perpustakaan keliling yo dikekne aku. Nek onok tamu yo aku seng nerima tamu. Terkadang yang menjadi hambatan pekerjaan kita itu karena DUPAK. DUPAK itu beda. Itu yang kadang, nggak ngerti aku. Nggak isok mikir wes. Karena apa, kepala perpustakaan bukan pustakawan. Itu menjadi masalah nggak sih pak? Yo masalah, itu pengkhianatan namanya. Kok isok? Di UU 43 itu dikatakan, waib seorang kepala perpustakaan itu adalah lulusan perpustakaan. Kalau kayak gitu, kenapa aturan dibuat?. Kemarin itu aku bentrok sama orang-orang itu. “Anda nggak baca UU 43? Buat apa itu ditulis, itu lho yang mengerjakan itu harus bertahun-tahun, debat gak karu-karuan. Mungkin nggae kopi 7 dino 7 bengi. Ketika itu ditelurkan, tapi kalian-kalian ini nggak mau untuk mengawalnya. Saya berani ngomong kayak gitu. Tanggapannya pak? Marah saat itu, yo pasti marah. Saya katakana, kalau pak Wib itu orangnya frontal. Coba kalian lihat semua rumah sakit yang ada, coba tanya kepalanya itu
apa dokter, bidan apa perawat. Golek ono tapi, golek ono seng guduk dokter ngomongo aku. Tidak ada. Mau rumah sakit mau rumah bersalin pasti kepalane iku dokter. Dadi aku pakai ayat pada waktu itu. Di saat sebuah profesi atau urusan kalau tidak dikelola oleh ahlinya itu bukan. Ngamuk malah. Kepala perpustakaan ITB ngamuk ambek aku. Ibu buka UU 43, ayate tak goleki kan. Kalau ini nggak diterapkan, hancur perpustakaan di Indonesia. Dan percuma UU dibuat oleh pakar-pakar kalau nggak di ejawantahkan atau diimplementasikan sampai ke bawah. Yang mengkhiayanati ini ternyata orang-orang yang bukan pendidikannya pustakawan. Lara muangkel. Kadang-kadang kita berpedoman pada peraturan. Dekne ngomong jangan ngomong peraturan. Lhoh emang iki hukum rimba ta. Peranga ae yuk. Orang dibuat itu diatur dalam UU, kita mau apa juga diatur dalam UU. Lek jaremu tok, kita main di ranah filosofis nggak masuk. Makanya kalau gayanya pak Blasius, kalau dibuat untuk mengupayakan semangat kita ok. Kalau filosofis dibuat untuk ranah perjuangan, nggak cocok. Kita mainnya di ranah hukum. Nah ketegasan itu penting. Nek nggak ngono pustakawane yo gak dadi kepala perpustakaan. Seng dadi kepala perpustakaan sekolah malah guru, lapo. Ruwet ruwet, buyarno ae poo. Aku wani ngomong ngono, nang forum aku wani ngomong ngono. Sapa seng nggak wani. Buktine opo, aku didik arek 400 lho nggak onok seng. Padahal seng pendidikan perpustakaan lho paling cuma piro. Isok i. Walaupun terseok-seok. Isok I, nggak perlu teori seng ndakik ndakik. Nang lapangan yo isek rame. Di UNAIR juga gitu pak, kepala perpustakaannya bukan pustakawan. Iya, apoteker toh? Makanya aku bilang, iku bodo. Seng bodo sapa? Yo pustakawane. Lapo nggak protes. Nek aku yo wani, dengan segala resikonya. Tapi ini memang harus dibalik, ketika aku ngomong ngene, kon siap ta nganteni aku? Siap aku jawab. Biasane ngono, nglempar. Haduh kecil iku. Opo seng nggak isok iku. Tapi yang saya tangkap dari temen-temen di perpustakaan sini juga, mereka merasa puas dengan perkembangan perpustakaan ketika dipimpin oleh beliau. Nggak, saya tidak puas. Tipikalnya PR itu tipikal diktator. Ide-ide dia itu ide-ide saya. Ini dulu sepi, ketika 2011 ketika saya masuk itu mulai rame. Iki biyen arekarek iki arek PHK terus. Tapi aku mbengok, saya di tim pembinaan. Mereka lho kacau gimana membina teman-teman. Lhoh kalau jujur aku katakan, tak takoni ngene “iki suk sampai kapan koyok ngene”?. Yo saiki anu wali kotane anu, neg nggak. Dekne nggak berani menjamin. Dadi percuma duwik sak mene, terus ada pergantian opo toh opo isok isok iki buyar. Balik nol maneh. Nggak ada jaminan ini untuk terus lanjut. Gonjang-ganjinge jaman, isok ae iki ditiadakan. Banyak fakta, nanti kapan-kapan. Kita pernah juara-juara, tapi juara-juara itu kalau menurut aku hanya siluman. Bukan juara yang betul-betul. Jujur iku rong dino
mari, di geruduk wong 400 tok iki seng sitok nglabel seng sitok anu. Mari iku. Bukan yang bener-bener.
Kayaknya PR memang lebih condong ke branding ya pak? Ke branding, ke pencitraan. Dia kalau ngomong boleh, tapi kalau teknik nggak ada apa-apanya. Dia ber api api hanya di tataran awal aja. Kalau teknis nol. Kayak iki ae pelayanan, iki buku seng nggak balik akeh iki. Ora mungkin diurusi ambek dekne. Ketika bappeko ngomong, paling lagek ngomong ngene “Pak Bowo, iki piye carane?”. Buwaken ae bu. Kenapa kok tanya saya, pustakawane lho akeh. Mbuk anggep aku isok, aku nek ngomong ae ngawur. Tapi jangan salah, saya di Suarabaya aja saya pernah di 4 perpustakaan. Belum yang di perusahaan itu aku nyekel arsipe perusahaan. Dadi aku 11 tahun sudah memalui fase-fase yang luar biasa untuk menjadi kepompong yang mau menjadi kupu-kupu. Kalau mereka kan nggak. Malah yang lama-lama itu dari sini mulai honorer. Dadi nang kene mulai 12 tahun yang lalu, dadi dekne diangkat mergo dekne nang ken we skate mbahmbah wes diangkat. Beda, bedanya disitu. Kalau aku kan pindah-pindah, semakin aku tahu persoalan, koyok opo solusine cepet. Tapi kadang kalau peran seperti saya yang dalam tanda kutip keminter, kalah bosku. Agak tidak nyaman. Kalau pak Wib kan orangnya meledak-ledak. Tapi aku diam. Aku cenderung diam, karena filosofiku kan padi. Semakin merunduk semakin berisi. Dadi meneng ae. Toh jatuh juga nanti. Jujur kalau buku-buku yang disini, buku-buku disini itu haraganya 15-30an. Jadi kualitas buku-buku best seller di took-toko, disini malah nggak ada. Ini buku-buku yang aku katakan buku 15-20 ribu. Soale aku banyak yang punya. Nek aku ndelok buku seng apik, lhoh kene melok. Dadi bu Arini iku modele pencitraane iku banyak. Dadi lebih berorientasi pada kuantitas. Bukan kualitas. Makanya banyak orang yang masuk kesini males karena bukunya. Iya sih pak, kemarin saya sempet lihat-lihat kok bukunya kayaknya asingasing ya. Ya, karena seperti itu, Target dia di kuantitas. Kenapa? Karena ya ada, nanti kamu bisa tahu politik. Itu politik pengadaan, ada hubungannya sama pengadaa, ya ada hubungannya dengan income. Pokoke pencitraane pokoke bukune akeh. Bukumu akeh lho nggsk isok diwaca, bukumu elek. Bukumu lho 15 ewuan. Golekono nang gramedia nag ngarepan, padakno nang kene lak uakeh. Aku berani ngomong gitu. Itu gaya pemikiranku. Ketika kuliah kan masih belum menemukan jiwa kepustakawanan ya pak. Tentu itu kan ada prosesnya. Apa mungkin sering ikut seminar kepustakawanan, atau? Nek aku nggak hanya kepustakawanan. Aku itu seminar adalah mencari makan. Dadi aku melu seminar opo ae, karena itu ilmu bagi saya. Ilmu itukan nggak harus
spesifik dengan ilmu kita. Tapi kita bisa ngomong politik luar negeri, karena aku sering ketemu dengan teman-teman HI. Biasane ngomong strategi Indonesia ke depan yaopo. Isok ngomong ekonomi, hukum, agama, yang ada hubungannya dengan kawin siri, kawin campur. Sebenarnya pustakawan itu kan referensi berjalan, semakin dia tahu banyak tapi nggak dalam. Semakin di tahu banyak itu semakin bagus. Makanya saya suka seminar, suka ngobrol dengan diluar habitat kita itu penting. Biar wawasan kita bisa luas. Kalau kowe terkungkum dalam ilmumu itu aja, itu nggak berkembang. Lha masyarakat saat ini yang dibutuhkan itu bagaimana kita bisa menjadi PR bagi keilmuan kita dengan masyarakat. Kalau kowe omongane tentang katalog, terus opo hubungane ambek jenenge ambek perekonomian, ambek peningkatan ekonomi, mungkin keluarga, mungkin per kapita. Yo nggak isok, nggak ketemu nang nalar. Kalau kita ngomong keilmuan masalah penelusuran informasi, literasi informasi ke meraka, terus kita jabarkan sebuah kewajiban masing-masing individu dalam masyarakat yang mungkin menambah ilmu bagi dirinya itu luar biasa. Nah untuk membuat mereka bisa yakin dengan keprofesian kita, pustakawan itu saran saya jangan terbelenggu di kalau aku ngarani iki penjara. Artinya kalau kamu hanya terkungkung dalam ruangan ini saja, kamu nggak terjun ke masyarakat, kamu nggak mewartakan bahwa ini pustakawan, kumpul dengan orang-orang yang berbeda ya ruwet. Yo nggak ngerti mereka. Ehm kalau buku-buku tentang perpustakaan pak, mungkin sering baca buku karangan siapa gitu pak? Ehhhmmm aku kolektor buku, apa maneh perpustakaan. Pokoke angger nang took buku onok, aku punya 3000-5000an. Belum pernah tak deteksi jumlahnya, tapi nek 10 dus ae onok. Yo seperti kewajiban kita. Tak beli, pake uang saya sendiri. Jadi saya nggak ngurusi wong liyo. Kalau itu menunjang karierku, menunjang keilmuwanku. Kemarin aku beli yag terkahir itu yang agak susah, pengahancuran buku-buku dari masa ke masa. Itu gara-gara aku ndelok nang took buku. Ape tak tuku nggak nduwe duwit. Tak balenin sesoke, ternyata wes ilang. Neng kene ewes nduwe duwik nggolek iku uangel. Sampek tak telusur ke penerbitnya, nang Suroboyo sek isek. Isek aku sek nduwe nang Jakarta, tak kirim. Biaya kirime meh 70, bukune 73 biayane 70. Lak tuku buku 2 aku. Nggak tuku nang Surabaya ae aku. Buku iku apik, karena menceritakan bahwa sebenarnya perpustakaan itu bisa mempengaruhi perdaban. Dadi pengahncuran buku berarti memusnahkan dokumentasi peradaban. Kalau dokumentasi peradaban dimusnahkan berarti onok masalah. Zaman keemasan islam itu harus ada buku otentik buku-buku. Buku itu dikarang oleh kepala perpustakaan Venezuela, terus lupa aku, pokoke orang-orang daerah kiri, Venezuela, Kuba atau Ekuator. Tapi beliau waktu itu ada di Irak. Ternyata waktu perang di Irak itu buku-bukune dihancurkan. Ameriak itu bukan hanya menginflasi sadam, tapi sadam iku pengen menghancurkan bukune. Ngeri bukune, tapi itu bagi saya dahsyat. Terus aku punya buku, tapi saiki tak selangne
uwong ilang. Mungkin aku nek ketemu maneh tak tuku. Aku pernah nduwe buku itu adalah pengarange yakin bahwa peradaban keilmuan itu dibangun oleh orang islam. Dia sendiri orang Yahudi. Tapi dia mengatakan bahwa perkembangan ini adalah buah dari keemasan islam. Bukune apik iku, cilik tipis. Cuma tak selangne arek, akhire nggak balik. Dadi iku sebuah pengakuan jujur orang Yahudi, bahwa sebenarnya ada upaya dari dia untuk. Dia ngakoni. Seperti itu bukunya. Seng tak koleksi kan buku-buku seng sangat ideologis, buku-buku pergerakan tapi seng hubungannya sama buku. Kenapa orang-orang pergerakan di negeri ini sangat suka sama buku. Mungkin tidak sehebat itu. Untuk merdeka itu dia harus kemana mana. Seperti Sutan syahrir, Tan Malaka, Soekarno itu kan sangat ideologis. Tapi sekarang pemimpin-pemimpin kita nggak ada yang nulis seperti itu, bukubukunya yang sangat teknis. Kalau selama kuliah, mungkin ada dosen yang menjadi inspirasi gitu pak? Ehhhmmm Prof. Kunto. Iku wong edan. Ngajar di PSTP pak? Iya, dosen tamu gitu. Cuman 4 kali pertemuan kok. Dia tu lucu, dia tu dosen, ahli apa gitu di bidang kesehatan tapi lama di UNESCO malah secara guyona. “Saya itu kalau sekarang disuruh nulis obat gitu lupa saya”. Padahal dia dokter. Karena dia lama di UNESCO, eh kok UNESCO, UNICEF. Jadi dia berjuang untuk danadana masalah penyakit tropis yang ada di Indonesia. Tapi dia mainnya di tataran kebijakan. Kenapa penelitian-penelitian untuk penyakit tropic ini dananya lebih sedikit daripada penyakit HIV. Beliau menentang itu. Soale wong barat akeh seng HIV. Kita di negara ketiga malah nggak dikek I duwit akeh, ben mati klesek a. Karena pengalaman sama pemikiran beliau ya pak yang membuat bapak terinspirasi? Dia di tataran filosofi omongannya. Jadi kita bisa tangkap iku. Soale seng liyane omongane teknis. Soale nek wong saiki ngomong teknis, saiki iling sesok lali. Lek ngomonge filosofi titik tapi jangket. Ngerti njangket? Jawa kan? Hehehe iya pak tahu kok. Membekas. Detail e, digaekne pertanyaan. Kalau materi-materi di perkuliahan sendiri apakah menunjang untuk profesi pustakawan? Tidak, terlalu banyak di teknis. Kita itu terkadang banyak di tingkat-tingkat kebijakan, trik trik pendekatan ke atasan itu. Kene akhire kalau banyak di teknis, kita kurang bisa positioning. Dadi nggak isok nyanyangan karo bose awake dewe. Dadine nggah nggih. Garapen iki, nggih. Cuman bagaiman di tataran kebijakan, nggak isok ngomong. Kalah disitu, kalau saya bilang ideologi kepustakawanan. Eyang Dar bilang itu kepustakawanan, itu ideologinya. Bagaimana kita masuk
pada semangat pembaharuan, pelayanan. Nek nggak ngono nek mergawe nang perpustakaan sekolah, 20 tahun nggak diangkat angkat wah buyar. Itu banyak, di temen-temen seperti ini banyak di masyarakat itu. Seperti mas sapa iku Kaliasin. Burhan itu petugasnya yang ada di sekolah. Itu lulusan D3 Perpustakaan. Sakdurunge iku di cueki. Bukan persoalan teknis, tapi persoalan hubungan. Iku kasuse sama dengan yang mas Hamdan, dekne nang sekolahan nggak diangkat angkat gajine 500-700 kene teko gajine 2,2 juta. Mumet ndase. Aku ki wes pinter, tapi nggak diangkat angkat. Nek iku gak tatag dekne. Dekne nggak ada kekuatan bargaining. Ayo wes a? Sek akeh? Kesimpulan dari semuanya pak, kalau menurut bapak profesi pustakawan itu harusnya seperti apa? Pustakawan harusnya 1. Kuat di jejaring keorganisasia. Di IPI itu perlu ada perombakan sistem. Jadi ketemu nggak mung oas seminar tok. Jadi seharusnya ada diskusi-diskusi kritis secara berkala yang menampung keluhan di masingmasing regionalnya. Jadi ada diskusi, nggak hanya seminar kongkon bayar seminar. Jadi ruhnya nggak ada. Terus dihuni dengan orang-orang yang aktif. Rata-rata kalau IPI Surabaya iku nek nggak perguruan tinggi, yang lebih dominan. Yang IPI provinsi, itu orang-orang provinsi yang rata-rata orang yang terbelenggu oleh ruang-ruang. Akhirnya pemikirane yo iku mau, seminar mulih seminar mulih. Hahaha nek iku aku ra perlu, nek perlu aku iso ngomong koyok dekne. Jadi artinya kalau saya kritiisi mereka terlalu puas dengan jalannya. Dadi nggak hanya seminar, ngumpul, reunion arek PSTP, hahaha mulih. Sory lho yo, omonganku ancen rodok pedes, soale nggak onok sensor. Hehe Ada lagi pak? Ya itu harus di re re apa ya, pokoke diperbaiki akeh lah. Ben ne kegiatannya nggak hanya itu itu. Akhirnya aku nggak ada ruh ketika ketemu mereka. Nyuwun sewu ket jaman aku 96, kegiatan Cuma iku iku tok. Terus aku pe keluar dari pustakawan. Terus tahun 2007 aku masuk maneh, kok pancet. Hahaha WAWANCARA KEEMPAT Iki mau ceritane karo ngetik nulis buku. Saya itu sama temen-temen mau buat buku. Menggiring gelombang literasi judul bukunya. Mene paling tidak tanggal 1 Agustus sudah deadline. Terus menurut saya, saya harus bisa berteori menurut pengalaman saya, saya harus bergerak untuk sebuah perubahan. Nggak ngerti iku mau, aku terlepas dari Kappa opo iku mau, gerakan yaopo tapi prinsipnya itu kan sesuatu yang bisa ditawar. Ntah itu berupa gerakan harus roadshow, wes mbuhlan aku nggak ngerti, gurung maca apa-apa aku. Pokoknya prinsipnya aku, apapun yang dilakukan oleh pustakawan untuk memajukan, siap perang. Aku sudah memiliki senjata yang banyak, Cuma aku nek mbuk dekek nang TNI garis besare
kopassus seng perang aku yo gelem, opo aku iki brigadirmu brimob, aku yo gelem. Pokoke aku siap perang dengan segala kekuatan jaringanku. Apapunlah, onok duwite gak onok duwite wes gelem budal aku. Itu nganu toh? Pak Blasius mau buka yang Jawa Timur atau Surabaya ngono toh? Ya pokoknya ada yang di Jakarta, terus ada di Surabaya dan saling integrasi. Boleh, nggak aku nanti tak ngobrol di facebook. Aku kan konsepnya nggak ngerti. Nek awakmu isok jelasne sitik konsepe aku isok nambahi. Prinsipnya beliau inginnya seperti apa. Kalau perbincangan terkait KSKI sendiri mungkin lebih baik dijelaskan oleh yang dipasrahi langsung ya pak. Nggal nggak maskude semacam konsultan, atau? Ehhmm lebih menghasilkan karya sih pak. Oh tulisan? Iya pak. Sembaranglah, prinsipnya gini. Pak Blasius pernah bilang. “mas kalau samean nggae, aku mau buat prakatanya untuk yang didepan itu. Wes nulis sembarang ae”. Lhoh pak saya ini orang praktisi, praktisi iku gak atek teori pak. Indonesia itu nggak ada teori yang baku untuk ini seperti literasi, sangat-sangat langit padahal kita butuh membumi. Nggak popo tulisen, iku hal-hal yang praktis. Aku lho wes nulis. Yaopo gerakan literasi iku bisa membumi. Salah satunya saya mengkritisi masalah perlombaan tujuh belasan agustus. Hubungannya apa pak? Lhhooohh iya hubungannya apa, kadang-kadang nggak kepikir kan. Itu menurut saya menyesatkan. Nanti kita bisa debatable, bisa diperdebatkan. Menurut saya itu terlalu fun, nggak ada hubungannya mangan krupuk sama peringatan 17an. Menurut saya saat ini harus diubah. Termasuk permainannya harus cerdas cermat, perkalian. Jadi muatannya nggak hanya fun, tapi “ada muatan intelektualnya”. Terus mulai empu gandring sampe saiki dolanane balap karung. Nek balap karung ada perkalian terus balap karung maneh, sehingga nggak hanya fisik tapi juga intelektual. Tapi lek nggak onok uteke, tidak ada muatannya intelektual ya gae opo. Kita bisa mengerti adek-adek kita ini ngerti apa nggak, pinter apa nggak, nggak terus mangan kerupuk, berarti seng “nggrangsang” menang. Kan hanya itu tok. Kan kita lalai bahwa intelektual itu masih kurang. Nek nggae puzzle ae gampang, coba saiki nggae puzzle tutupen matamu, isok nggak. Opo tanganmu mengguri, terus matamu ditutup. Isok nggak? Nah artinya bagaimana segala permainan dapat dikombinasi dengan hal-hal yang mencerdaskan. Lha maksudku, aku mau membuat sebuah tulisan yang itu sederhana, dan perubahan itu harusnya revolusioner atau harus serentak. Lek kita ngomong mau literasi, yo ayo. Nggak Cuma literasi iku dari kampus ke kampus, dari seminar ke seminar. Kan harus digerakkan, harus ada perubahan. Dilihat satu
tahun, arek iki yaopo modele. Yon anti hubungi. Ya aku nulis itu bareng-bareng sama temen-temen praktisi juga.
Oh sapa aja pak? Yo akeh, onok mas Agus Hirman, Mas Yusron. Yang aku tahu mereka bertiga, jadi para penggiat TBM nulis bareng. Terserah nanti mau dibawa seperti apa. Lek kowe wes ndelok facebookku kan. Aku wes nang ndi nang ndi, ceramah nang forum-forum. Sekarang apa yang bisa bantu? Nah iya pak, kalau dari skripsi saya itu konsep pemahaman pustakawannya itu dimulai dari pemahaman sejak individu itu lahir dan mampu bersosialisasi hingga saat ini. Nah kemarin kan saya lebih banyak mengeksplore dari mulai menempuh pendidikan perguruan tinggi hingg saat ini. Dulu bapak kan bapaknya seorang pustakawan, tentunya sejak kecil bapak sudah bersosialisasi dengan profesi pustakawan. Menurut pemahaman awal bapak melihat profesi bapaknya seorang pustakawan itu sendiri bagaimana sih pak? Awal memang, pertamanya nggak tahu. Wajar, pekerjaan pustakawan itu apa. Akhirnya lambat laun waktu itu bapak selalu memberi saya uang 500 perak, kalau sekarang mungkin sekitar 100-200 ribu untuk aku digowo nang nggone sari agung, took buku. Awal kecintaan saya digiring bapak, “we tak kei duwik, belonjoo sak karepmu seng mbuk senengi, tapi wocoen”. Nah buku seng mbuk waca iku kene ceritakne nang bapak. Iku ketika awal kesukaaan saya terhadap buku. Seorang anak kecil yang mendapat buku baru, saat itu, contoh manusia ikan ngono wes imajinasinya tinggi. Itu yang luar biasa. Awalnya dari situ. Karena bukuku uakeh, tak taruh di tas koper presiden. Mbiyen tas koper dek. Koyok wong dodolan jamu. Iku aku D4. Jadi awalnya dari situ. Dadi itu mendekatkan saya, saya memiliki perpustakaan kecil terus kemudian nang kampung ada lomba membuat perpustakaan dari gardu. Tom-tom, Ananda, Kuncung iku kabeh aku nduwe. Saiki teko ngono rong dino telung dino iku wes katam kabeh. Kalau melihat profesinya sendiri pak, pernah terbayang nggak sih pak? Nggak, saya terbuka profesinya apa itu ketika mahasiswa. Jujur waktu itu bapak iku kok ngene wae kerjaane. Di kantor ya diam aja tu. Kan karena beliau di kantor itu bagian kerjasama ya, beliau bagian tourney itu ke daerah-daerah. Pembenahan disana. Nah disana balik, terus nggae laporan. Yang harus ada perpustakaannya waktu itu dinas kesehatan dan rumah sakit. Rumah sakit kan gak akeh, sak kabupaten kan satu, kantor dinas satu. Nah bapak bagian membuat jaringan. Bapak bukan bagian pengolahan. Dadi aku nggak ngerti opoo bukune
kok diolah. Tapi kalo membaca yo, aku punya background disana. Tapi pemahaman lebih filosofis itu ngga nduwe. Dan lambat laun itu ternyata strategis. Kan biasanya anak-anak itu kan punya mimpi yang tidak jauh dengan orang tuanya. Kalau aku nggak, aku dulu suka matematika. Makane iku aku pengen dadi insiyur. Seneng eksak aku, walaupun di pelajaran IPS iku apik. Namun lambat laun nggonmu iku, kon seneng ngomong, seneng dolin, seneng bergaul. Kalau oramg eksak kan orang yang introvert. Jadi aku baru tahu. Yo butuh tempo, karena mencari jati diri itu butuh proses. Kalau melihat perpustakaan gitu pak, waktu kecil apa sih pemahaman yang terbentuk? Aku waktu kecil iku, waktu itu di perpustakaan provinsi. Waktu iku masih nang nggone jalan jimerto. Eh ondomohen iku opo jalane? Ehm walikota mustajab pak Nang nggone sate kelopo iku lho dek. Dulu disitu, dadi omahku nang kapas krampung aku sepedaan. Itu awalnya ku punya kartu perpustakaan. Untuk filofis itu nggak terlalu anu. Jadi nggak terlalu fokus ini pekerjaannya gimana. Aku banyak tahu ketika banyak membaca buku. Oh pekerjaannya seperti ini. Kan di sekolah-sekolah juga ada perpustakaannya ya pak ya? Iya iya, cuman perpustakaan waktu itu tidak menarik. Soale waktu iku bukune ya buku-buku pelajaran. Buku paket ya pak? Iyo, bahkan aku SMA iku masih inget aku dulu A1 ya. IPA, tapi wocoanku editor, tempo, buku-buku politik, majalah-majalah politik. Dadi nek maca iku sak “mbreg”. Soale percuma nggak diwaca wong, dadi cuman didekek tok. “Tak selange”, “Piro?”, “10 olehlah”, “Lha kon ngak sinau ta?” “Lha sinau ya sinau bu”. Kok kayaknya ini ya, politik itu ternyata enak ya, penuh analisa. Iku yang membuatku agak mbalelo. Nek matematika kan stagnan ya. Nek ngeneki kan onok analisane, teorine, ilmunya berkembang. Iku semakin aku ngerti, bekne nang kene ya. Biyen kan dogmanya yang A1 iku kan pinter, iku seng tak kejar, saya mampu. Perkembangannya kan nggak mesti, yang merubah dunia lho orang-orang sosial bukan teknik. Jadi kalau bisa dibilang, diawal melihat perpustakaan sekolah itu kan bisa dibilang tempat yang membosankan. Iya, bahkan dulu saya masih ingat itu temen-temen disuruh membuat ketrampilan membuat rak-rak itu dari kayu sama triplek untuk rak perpustakaan. Nggae dewe kita ini. Prakaryane malah arek-arek seng nggae. Yo nggak menarik, sampai sekarangpun juga nggak menarik kan. Dana membeli bukupun juga kecil.
Apa itu salah satu penyebab awalnya untuk masuk perpustakaan itu tidak ada minat sama sekali pak? Bisa dikatakan seperti itu, karena kita nggak tahu kan sebenanrnya. Mungkin kalau mau makan buah itu kan seng gurung dikoceki. Artinya kita melihat kulit iki pas pahit. Opo maneh duren. Tapi kalau kita tahu filosofinya dan merasakan duren itu manis. Tapi nek ndelok bentuke tok iku, ketiban ae lho masyaAllah. Kita kan hari ini sedang melihat, nek filosofisnya pak Wib kenapa saat ini masyarakat menguderestimatekan kita. Dekne iku seperti ndelok duren, kalau dia tahu manfaate ternyata itu bisa mengubah pola pikir manusia ya dengan membiasakan membaca. Tapi nek ndelok durene yo gak kebayang.
Keterangan Transkrip: PD (Pustakawan/Pustakawan Pengatur tk I) Direkam pada hari Rabu, 07 Mei 2014 pukul 12:20, Rabu 28 Mei 2014 pukul 11:54, Senin 02 Juni 2014 pukul 09:53 Lokasi : Ruang baca perpustakaan umum kota Surabaya dan Ruang kerja layanan perpustakaan umum kota Surabaya.
Data Informan? PE. Lulusan D3 Perpustakaan UNAIR. Golongan II/d. Bekerja di perpustakaan kota tahun 2000, hingga memiliki jabatan fungsional tahun 2011. WAWANCARA KE - 1 Dapat info dari temennya ibu. Abis itu ya udah, perpus itu kan pilihan kedua. Pilihan pertamanya pajak. Oh D3 pajak? Huum, pilihan kedua. Akhirnya keterima, masuk ya dijalani aja. Ini saya bacakan saja bu. Daripada nanti ibu bingung. (Meminta kertas draft wawancara yang dibawa bu Galuh) Awalnya pajak ya bu? Terus selama menjalani perkuliahan apakah mendapat materi kuliah itu merasa nyaman atau merasa “Waduh seharusnya saya tidak disini” atau bagaiamana bu? Ya nyaman sih. Dikasih wawasan perpustakaan itu gini-gini. Nantinya nyari pekerjaan itu mudah. Kalau menurutku mudah. Apalagi sekarang lagi langka ya. Banyak yang milih perpustakaan. Terus selama masa perkuliahan 3 tahun itu bu, eehm mungkin apa sudah ada gambaran nantinya saya jadi pustakawan atau bagaimana bu? Terlanjur kan, terus kemudian aku ya harus di perpustakaan. Nggak mungkin kan saya cari pekerjaan lain kan nggak mungkin. Maksudnya yang bukan perpustakaan. Kemudian disini, dulunya kan nggak disini. Oh iya yang di tengah kota itu ya bu? Iya terus pindah disini, akhirnya dikasih tahu. Aku masuk sini itu terakhir. Dulu itu mbak Eca, terus mbak Erna terus baru aku. Lulusnya juga duluan mbak Erna 96, aku kan 97. Jadi aku 3,5 tahun. Soale anu e mbak, (tertawa) apa ya ada yang mana pilihannya. Jadi molor 1 semester. Setelah menjalani sebagai pustakawan bu apakah sudah merasa nyaman? Alhamdulillah nyaman sih, cuman akhirnya itu pertama kali itu puegel. Kan tugasnya nambah kan ya. Kita kan harus bikin angka kredit, ya kan? Untuk mengurus jabatan fungsional pustakawan itu ya bu? Iya kalo jabatan fungsional itu kan harus ngurus angka kredit. Itu kita nggak bisa ngerjakan setiap hari jam kerja itu ndak bisa. Jadi kebetulan aku sama mbak erna kan sama ya. Jadi ngerjakannya sabtu minggu mbak, sampe dibelani mbak erna ngajak anaknya, ngajak suaminya. Sabtu minggu lho itu. Kayak gini nggak bisa mbak, nggak enak sama yang lainnya jam kerja gini. Kayak input data-data itu ya bu? Huum, bisanya ya sabtu minggu atau di luar jam kerja itu. Kayak sore pulang kerja gitu mbak.
Oh ya kemaren bu Erna juga sempat cerita. Bu Galuh itu mbak teman seperjuangan saya. Istilahe aku sama mbak Erna itu babat alas. Dari golongan II/d saiki II/b . Ya gara-gara BKDnya sini nggak tahu kalau fungsional itu naiknya 2 tahun sekali. Ndak tahu mbak. Ya yaopo yo, yoweslah dijalani ae. Yang baik itu provinsi sana. Dia welcome gitu, bantu kita. Kan yang nilai sana. Kita bikin DUPAK, yang nilai sana. Kebetulan sana itu banyak temen, kakak kelas banyak yang disana. Mbak ini kurang gini. Kalo disini terbatas. Dan kayaknya mereka nggak ngreken. Y awes yaapa dijalani aja. Yaopo maneh, nggak terkajur sih. Memang setelah lulus, apa ibu langsung masuk di perpustakaan kota ini atau? Ya cuma nglamar-nglamar gitu mbak. Pernah dipanggil itu sama Universitas Jayabaya Jakarta sana. Tapi sama orang tua nggak boleh. Jauh dan daerah sana kan mahal. Awalnya sempat nganggur sih, terus akhirnya keterima disini ini. Sempet dites sama SMA sana lho daerah Ampel, nggak keterima soalnya dulu belum pakai jilbab. Oh iya soalnya sekolah islam ya bu ya? Iya, harus pakai jilbab. Ya coba dikasih tahu. Nyoba ngirim surat lamaran kesini, Alhamdulillah diterima. Soalnya dulu kan masih belum banyak ya mbak ya. Yang sudah disini waktu itu 3, saya, mbak Erna sama mbak Echa itu. Mbak Echanya sekarang diamana ya bu? Mbak Echa sekarang di dinas tanah. Ehhhm yang malatar belakangi ibu mengurus jabatan fungsional ini dari diri sendiri atau tuntutan dari pimpinan ya bu? Hahahaha mbak Erna ngomong apa? Dari pimpinan ya? Iya dari pimpinan bu. Iyo podo, sama mbak. Disuruh, dipaksa. Soalnya kalau ada lomba-lomba itu kan harus ada fungsionalnya. Hhhhmmm sampai dipermalukan di anu mbak di orang lain. Maksudnya bukan pegawai sini. Soale apa ya, pokoke kudu harus masuk pustakawan. Tapi ojok ditulis mbak. Mbaknya ini skripsine apa? Konstruksi sosial pustakawan terhadap profesinya, jadi bagaimana pustakawan ini memaknai pustakawan sebagai profesinya. OOhhh ini sekarang bab berapa? Lagi jalan bab 2 sama bab 3. Bab 2 itu gambaran umumnya sini ya. Iya bu Soalnya kemaren itu saya ambil transfer di UWK itu. Alhamdulillah wes lulus. Iya ini ngambil maksimalisasi peningkatan minat baca. Ehhm kalau dari keluarga sendiri, apakah keluarga mendukung? Kalau keluarga itu nggak menuntut sama sekali mbak. Jadi tergantung saya. Ketika awal masuk kuliah di jurusan perpustakaan apakah orang tua mendukung atau bagaimana bu?
Lhoh justru kan saya direkomendasikan temennya ibu itu. Jadi ibu saya kan kerja di rumah sakit. Anaknya temennya itu kuliah di perpustakaan gitu. Akhirnya aku diarahkan kesitu. Yo weslah dituruti aelah. Jenenge ae omongane wong tuwo.
Kalau pajak itu pilihan ibu sendiri? Iya, itu aku anu mbak. Maksudnya, dulu ikut-ikut teman saya ya. Dulu itu manajeman, manajemen pemasaran, kan peminatnya banyak. Terus milih pajak itu. Terus akhire masuk pilihan kedua. Ya Alhamdulillah mbak. Soale rata-rata teman saya itu pilihan kedua e mbak. Sampai angkatan saya sekarang juga kebanyakan pilihan kedua. Kamu D3? Ndak bu, saya S1nya. Iya, banyak yang pilihan kedua. Tapi ya nggak apa apa sih. Sekarang lho banyak yang membutuhkan. Apalagi sekarang cari kerja itu dilihat juga lulusannya lho. Oh, instansinya begitu bu? Lulusannya kan kadang UNAIR lulusan ini. Kapan hari itu saya lihat kan Unair ya S1 jurusannya. Dilihat itu lulusan UNAIR. Lebih sulit ya. Saiangannya banyak juga. Ketika pertama kali masuk kuliah itu kan ibu sudah memiliki gambaran nantinya akan bekerja di perpustakaan. Itu ibu sudah punya gambaran apa belum sih bu? Nanti ibu kerjanya ngapain? Aku ngertiku itu waktu PKL, aku dulu PKL di Migas Cepu sana mbak. Waaah saya aslinya Tuban bu. Lahir di Cepu, mbah saya di Cepu. Ohhh, aku disana di migas sana. Bertiga sama temenku. Kan lainnya sudah dapat. Ya aku tahunya, oh nantinya aku kerjanya kayak gini. Jadi ya melayani orang pinjam. Ada perpustakaannya ya bu? Ada perpusnya, tapi perpustakaan khusus. Wong migas iku. Oh perminyakan gitu hu bukunya? Huum, perminyakan terus apa. Banyak kok yang PKL disana. Its juga. Oh iya, di ITS kan tekniknya ya bu ya. Iya, ya agak nyeleh juga sih PKL nang kono. Tapi dulu itu aku dikasih tahu kakak kelasku. Ada yang pernah PKL disitu. Ya enak sih, perpusnya lumayan sih. Nggak besar tapi jadi tahu pekerjaannya nanti kayak gitu. Sudah bagus ya bu waktu itu? Ya belum sih, masih sistemnya manual. Administrasinya juga masih belum bagus banget. Kalau saya dulu magang di Jakarta. Dimana mbak? Di PDII LIPI. Ohhh…. Ya nyoba-nyoba sih bu. Dulu saya pengen lho masuk sana. Yang dibutuhkan S1. Dulu kana da ya saingannya yang Jakarta sama Bandung. Dikasih surat balasanya, maaf yang
dibuthkan S1. Aku padahal puengen masuk sana. Ilmu pengetahuankan ya? Dokumentasi ya. Iya bu. Kayaknya kok apa ya, mungkin perpustakaannya bagus. Dulu aku tertarik disana. Tapi ya terlanjur. Dulu saya juga tertarik untuk kesana, jadi ya agak ngoyo juga ke Jakarta. Sendiri ya mbak? Kebetulan sama teman saya 1. Awal tahun pas Jakarta banjir-banjirnya itu. Terus ngekos disana? Awalnya mau tinggal di guest housenya LIPI, tapi temen saya itu punya saudara di Cibubur. Beliau nggak tega kalau kita tinggal disana. Jadi kita tinggal di rumah beliau. Kita kalau berangkat itu jam 5 setengah 6, soalnya macet dan jaraknya lumayan jauh bu dari PDII LIPI. Susah senang tinggal di Jakarta satu bulan. Tapi bersyukur bu, panjenengan nggak ke PDII LIPI. Macet banget bu. Dulu tu saya pernah ikut tes di perpusnas itu. Aku naik kereta ke Jakarta. Iya sama mbak Erna itu. Untung ada saudara disana, jadi enak. Yaopo yo. Masih belum keterima. Tapi kata bu Erna yang keterima kebanyakn laki-laki ya bu? Iya, ditempatkan di luar pulau. Di Palembang. Takdirnya disini mungkin ya bu. hehehe Lhoh itu pas udah disini mbak. Oh sudah disini ya bu. Dulu kan kita masih honorer kan. Ini kira-kira diangkat PNS nggak ya. Sampai akhirnya kita nyoba di sana itu. Tapi Alhamdulillah kok ada pengangkatan yang SBY itu. Ya alhmadulillah diangkat tahun 2008. Berapa tahun bu jadi honorer? 13 tahun. Jadi honorer 13 tahun. Diangkatnya bareng-bareng kok mbak, ada 9 orang. Oh termasuk bu Emil itu ya bu? Kalau bu Emil kan barusan. Mbak Emil dulu di Arsip sana. Oh di Dukuh Kupan ya bu? Iya, tenaga kontrak. Kalau menurut ibu sendiri untuk saat ini peluangnya pustakawan itu seperti apa sih bu? Katanya kan sekarang era informasi, akses informasi lebih mudah. Pustakawan itu peluangnya dimananya? Kalau menurutku iya, bukan tunjangannya yang kecil ya. Bukan. Maksudku nggak ada gregetnya gitu. Dari sananya ya biasa ae. Kayak kerjaan sehari-hari ya biasa. Ya kita itu biasa itu. Maksudnya nggak ngoyo banget. Kayak jabat ini jabat itu. Kurang gregetnya ya bu? Iya. Mbaknya kok ambil topik pustakawan? Iya bu, jadi kalau ibu kenal sama pak Blasius. Saya nggak pernah ketemu, paling pernah dengar. Saya pernah diskusi dan tertarik dengan pustakawan ketika sama pak Blasius itu.
Mas Bowo itu yang kenal. Oh iya pak Bowo itu kenal. Beliau itu kan pindahan dari Probolinggo atau Tulungagung gitu. Barusan masihan. Oh masih barusan? Iya. Tapi asli Surabaya kan ya bu? Iya aslinya Surabaya. Kalau menrut ibu sendiri, ibu pernah dengar profesi bu? Nah apakah pustakawan itu bisa disebut dengan profesi bu? Semestinya bisa. Kalau menurut ibu sendiri, profesi itu apa sih bu? Profesi itu ya (lama berpikir) Terserah kok bu, nggak usah yang terlalu teoritis begitu. Oh kalau profesi itu ya seperti profesi dokter, Kuliahnya harus kedokteran. Jadi harus ada background pendidikan yang linier ya bu? Huum, rata-rata soalnya itu mbak. Nggak semua yang jadi pustakawan itu dari jurusan perpustakaan. Apa namanya, contohnya S1 ya, kalau dia mau jadi pustakawan dia harus diklat dulu di perpusnas. 6 bulan, baru bisa jadi pustakawan. Oh yang kayakn pak Elok gitu ya bu? Huum, sama kan kayak guru jadi dia harus nempuh. Sekolah lagi, apa namanya, akta 4 ya. Kayaknya pustakawan juga gitu. Tapi kalau yang di provinsi itu kebanyakan lulusannya nggak perpustakaan kok. Kalau disana jumlahnya berapa bu? 35 ya? Aku kurang tahu ya mbak, baru setelah itu mereka sekolah lagi perpustakaan di UWK. Banyak kok orang provinsi yang ngambil S1 disitu. Jadi kalau menurut ibu profesi itu kalau memiliki background dari perpustakaan ya bu?Saya pernah baca juga bu, kalau memang profesi pustakawan sekarang masih menjadi perdebatan terkait keprofesiannya ini. Pantas nggak sih bu kalau menurut ibu sendiri?Kita kalau melihat dokter, apoteker itu kan ada sekolah keprofesiannya sendiri. Apalagi kalau menurut orang awam, pekerjaan pustakawan kan bisa dikerjakan semua orang. Kalau dikerjakan semua orang kok kayaknya bisa sih, tapi mereka nggak kalau menurutku ya memang bisa tapi asal-asalan. Kayak klasifikasi ya, bisa tapi nggak, dekne paling bisanya Cuma angka besarnya aja. Padahal buku kan kan subyeknya luas ya, harus benar-benar detail sampai ada lokasi ada ini. Jadi nggak bisa menyeluruh dan mendetail ya bu? Yang pernah saya baca juga nih bu kalau pustakawan itu dikenal dengan profesi buangan, bahkan ada juga yang mengatakan kalau profesi pustakawan itu profesi yang termarjinalkan, dipandang sebelah mata. Kalau dari ibu sendiri yang telah menajalani sebagai pustakawan, apakah hal tersebut memang benar-benar terjadi bu?
Gini ya, kalau di pemkot itu kalau ada pegawai yang bermasalah itu ditaruh di perpustakaan. Mungkin sana pikirannya, di perpus lho enak gak lapo lapo. Padahal kan nggak yo. Kerjanya banyak kan. Melayani ini, kalau ada pengunjung yang minta nyariin buku. Tapi umumnya mereka menganggapnya itu buangan.
Oh disini juga kayak gitu? Kalau dari aku sih, ya itu tadi nggak ada gregetnya. Jadi dipandang sebelah mata. Jadi yo bener ancene. Kalau dengan teman se kantor ini bu?Apa juga merasa termarjinalkan gitu? Oh ndak biasa. Oh mungkin soalnya ini juga instansinya perpustakaan ya. Mungkin kalau ibu keluar dari instansi gitu bu? Kebetulan kalau aku ketemu temanku itu Alhamdulillah ketemunya teman perpus semua. Kalau mereka kan masalahnya lain-lain ya. Biasanya kita sharing gitu. Saling ngasih informasi, kalau seumpama ada hal baru tentang perpustakaannya. Soalnya banyak temenku yang di perpguruan tinggi, ada yang di sekolahan ada. Ada yang di UNAIR ta bu? Hehe Kalau di UNAIR banyak mbak, ada pak Tri, pak Eka, Zaki seangkatan itu. Oh pak Zaky? Zaky kenal toh? Saiki nang rektorat kok. Oh itu temannya ibu? Iya seangkatan. Sekarang beliau di direktorat kemahasiswaan. Oh, kalau pak Tri itu? Pak Tri itu dulu pernah ngajar saya mata kuliah kewirausahaan. Kalau nggak salah beliau itu TU di Farmasi atau dimana gitu bu. Oh aku nggak tahu kalau itu, pokonya tahuku ya di UNAIR gitu. Terus mas Eka yang perpus. Sekarang beliau kuliah S2 di UNPAD. Orang perpustakaan juga bu? Iya itu seangkatan malah mbak. Tri, Eka, Zaky itu seangkatan. Kalau pak Zaky itu sama saya sudah kenal banget itu bu. Biasanya saya sering ketemu beliau. Oh zaky itu, kalau sampean kesana salam ya. Oh iya insyaAllah saya sampaikan bu. Biasane kalau ngumpul bareng itu dia sama istrinya. Pokoknya kalau angkatan yang paling sering ngumpul itu ya angkatan 93.
Oh angkatan panjenengan itu ya bu? Heem, angkatan sampean lho kompak mbak. Oh iya bu, emang bener bu. Emang jarang banget yang bisa kompak itu bu. Kalau saya sama anak-anak sering ngumpul itu soalnya dulunya saya (tersenyum malu) sering naik gunung. Ohhh enaknya bu. Terus biasanya ngajak adek-adek itu. Tapi sekarang jarang mbak. Dulu itu ke Welirang. Arjuna. Waaah sudah semua bu? Sudah (tersenyum malu), dulu maksude iku seng awal seng dirikan kan angkatanku. Dulu itu namanya MAPUSPA (Mahasiswa Pencinta Alam Perpustakaan). Oh ada sendiri? Iya yang dirikan angkatanku mbak. Nggak semua sih, Cuma tertentu tok. Sampai wisuda ke puncake iku pakai pakaian wisuda gitu mbak. Waaah keren bu, saya pengen kayak gitu Ini rencana sama temen-temen juga gitu bu. Iyo mbak, makane ini samai ambek arek-arek iku kompak. Yang cowok-cowok iku, termasuk Tri, Zaky itu kalau naik gunung kan bareng. Lhoh iya bu? Nggak kelihatan bu. Oh nggak kelihatan ya bu, iya sih saiki wes jarang kok. Kemaren itu baru dari penanggungan. Kan anak-anak naik sendiri. Aku bilang, wiiih aku dijak yo. Terus katanya nek aku ngajak sampean engko aku mbuk tinggal. Padahal hahahaha Wah ibunya tangguh ya berarti Hahahah ndak kok, biasa. Keren keren nih ada pustakawan yang hobi naik gunung juga ternyata. Enak kan kuliahe gak full. Sekarang nggak ada ta yang perpus sendiri gitu? Dulu angkatan 94, 95, 96, 97 itu ikut. Ya nggak semua, jadi enak kenal adek-adek angkatan. Wahh kalau saya biasanya ngajak teman saya yang dari pramuka itu bu, bukan yang satu jurusan. Kalau anak pramuka kan biasa. Bukannya kalau pramuka itu biasanya kemah gitu. Iya, tapi kalau teman saya ini biasanya ke gunung, pantai gitu bu. Temen sejurusanpun susah kalau diajak gitu. Biar tahu, maksudnya biar tahu oh rasanya naik gunung itu kayak gini. Ibu tahu tentang kode etik profesi ndak bu?
Oh pernah denger sih Sudah pernah membaca atau punya bukunya? Belum punya, baca paling sekilas tok. Setelah itu ya lali. Iya ini dari beberapa yang saya tanyai juga bilangnya begitu e bu. Kalau menurut ibu sendiri, kode etik profesi dalam sebuah profesi itu penting nggak sih bu? Kayaknya sih penting, kayaknya lho ya. Menurut ibu sendiri siapa sih yang bertanggungjawab terhadap sosialisasi kode etik ini? Aku nggak anu, sapa ya mbak. Itu kayak organisasi, kayak IDI. IDI itu kan biasanya mengeluarkan kode etik. Kalau di pustakawan sendiri bu? IPI itu, tapi IPI itu nggak jalan. Maksudnya ya jalan, tapi ya stag. Nggak konsisten. Ibu juga tergabung salam IPI? Aku anggotae mbak, tapi ya gitu nggak aktif gitu mbak. Sananya ya yang nggak pernah aktif. Dulu pernah ikut pemilihan IPI. Ketuanya lho orang provinsi. Kita nggak tahu program kerjanya apa saja. Eman ya bu? Iya eman sakjane. Kalau selain IPI apakah ibu ikut organisasi lain bu? Nggak mbak, wong IPI aja nggak pernah muncul. Selain organisasi kepustakawanan mungkin bu? Nggak mbak. Hahaha Kalau seumpama kita menganggap sebagai profesi, apa sih yang seharusnya dilakukan bu? Ya kita harus memajukan perpustakaan. Perpustakaan kita maksudnya. Iya kan? Sebelum perpustakaan-perpustakaan lainnya. Kayak sekolahan, kita kan juga kerjasama dengan sekolahan sekolahan lainnya. Ya harus dibenahi. Ini sampean disini tok? Iya di perpuskota aja bu Ndak, maksudnya sudah melihat layanannnay gimana?Ndak bekne sampean kalau melihat layanan, sampean bisa menilai. Soalnya kemarin itu ada yang complain kok pegawainya nggoleki buku ae nggak ketemu. Lha masalahe aku nang pengolahan. Dan aku nggak enak ape ngandani. Paling aku ngomonge nang mbak Erna. Tapi nggak tahu, mbak Erna udah dikasih tahu yang lain apa belum. Kalau tenaga yang dibawah itu tenaga kontrak ya bu?
Iya outsourcing. Mereka bukan dari jurusan perpustakaan. Ya ada jurusan perpus, tapi di TBM kayaknya. Ohhh Huum, ada yang kemarin ini kan rekruitmen. Oh iya saya ketemu kakak kelas saya juga waktu itu. Eman lho asline mbak. Oh itu untuk tenaga outsourcing? Iya, kita kan nggak ngangkat pegawai. Oh iya, pegawai kan dari pusat ya bu. Iya eman asline nggak bisa berkembang. Ada anak angkatan 2000 berapa gitu. Anak 3 cewek cewek. Mereka kan sudah akrab gitu sama saya. Ya kenalnya disini. Tak kei masukan. Lapo sampean iku njaga TBM tok? Eman ijazahe sampean. Akhirnya mereka keluar, tapi Alhamdulillah sekarang dia kerja di perpustakaan UPN. Ya soalnya kan disini nggak lapo lapo lho mbak. Paling Cuma njaga buku tok. Di UNAIR aja lho dibuka honorer, disini lho nggak ada honorer. Makanya mbaknya nek onok ojok daftar. Kalau bisa ya di ITS atau UNAIR. Aku nggak provoktor lho, Cuma menyarankan. Eman soalnya. Ada andra itu jaga TBM. Wes tak kei masukan. Aku nggak mekso lho. Tapi ketoke aeke enjoy nang kene yowes. Oh iya saya juga kemarin ketemu kakak kelas, saya tanya, “ngapain mbak”. Katanya “wawancara gitu. S1 bu. Lhoh eman. Mungkin batu loncatan. Mungkin dia barusan lulus? Iya baru lulus kok. Anak-anak itu biasanya kalau ada info lowongan gitu nge share di fb, kana da grup fb pstp angkatan. Bikin sendiri. Kadang saya di sms, di bbm katanya bekne ada adek kelas yang cari kerja. Wah bagus juga ya bu ikatan alumninya? Iya bagus mbak. Aku bingung sapa ya. Aku nggak kenal arek. Ada adek kelasku lho dek, dekne lho wes S2, dosen. Aku ae ambek Erna nek gak didorong S1 karo arek-arek yo aras-arasen. Pinter jadi dosen. Adek kelasku Heri iku saiki entuk beasiswa S3 nang Australia. Dulu dosen dimana bu? Dosen di UNDIP Beliau yang juga sempat ngajar di UNAIR juga bukan sih bu? Oh iya huum Yang tinggi kecil itu ya bu? Iya huum, biasane nek naik gunung aku yo ambek arek iku.
Wah itu dosen yang disenengi anak-anak itu bu. Iya orangnya kan cool gitu ya. Maksudnya biasanya. Iya nyenengne gitu bu. Dapat beasiswa ke Australia, pinter itu. Mungkin dia ingin mengembangkan ilmunya. Aku nggak nyongko dia jadi dosen. Dulu dosen UWK, mungkin gajinya sedikit. Terus ke UNAIR itu. Terus Pak Imam itu. Sekarang S3 di Taiwan. Nek pak Imam iku anu, wonge nggak seramah Heri iki. Jaga jarak. Dulu pas kuliah juga gitu. Dekne nggak gelem nek ada arek nyonto. Dipek dewe. Pokoke aku berhasil ngono. Kalau menurut ibu kelebihan seorang pustakawan itu apa sih bu? Mungkin gini mbak biasanya kan suka baca. Jadi tahu informasi-informasi yang dia dapat. Dengan membaca itu kita tahu. Jadi minat bacanya tinggi, biasanya gitu. Mungkin ada yang lain bu? Apa ya mbak ndak ada Kalau terkait program gitu bu? Ya kita bisa bikin program program untuk perpustakaan. Ya ndak maskdunya adminsitrasinya biar nggak manual. Kalau kekurangannya bu? Kekurangan apa ya, akeh e menurutku. Ya itu berkembangnya lambat. Maksudnya harus pelan-pelan. Itu perkembangan dalam hal keilmuan atau jenjang karier atau apa bu? Kayaknya jenjang karier. Ilmu itu kan selalu berkembang. Kalau kariern pustakawan harus gini harus gini. Terkait administrasinya gitu ya? Kalau jenjang kariernya jelas ya bu? Ya nggak sih mbak. Tunjangannya ya sih disyukuri ae dapat berapa. Kalau melihat dari keunggulan tadi, apa yang bisa dikembangkan seorang pustakawan bu? Ya mengajak supaya menarik supaya minat bacanya meningkat. (Ada ibu serekan kerja yang meninformasikan “Mbak muni terus”) Apa sih yang harapan ibu ke depan terkait profesi pustakawan? Iya apa ya, harapannya ke depannya lebih anulah. Lebih ditingkatkan, kalau bisa tunjangannnya ditambah. Ada lagi mungkin bu? Udah itu aja mbak. Mungkin kalau ada apa-apa ada yang kurang bisa tanya-tanya lagi ke saya.
Keterangan transkrip: PE (Informan/ Pustakawan Pengatur tingkat I) Direkam Selasa, 20 Mei 2014 pukul 10:59 Lokasi : Ruang kerja Bagian Pengoalahan