PENINGKATAN SINTASAN DAN KINERJA PERTUMBUHAN UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei, Boone) DI MEDIA BERSALINITAS RENDAH
ERLY YOSEF KALIGIS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Peningkatan Sintasan dan Kinerja Pertumbuhan Udang Vaname (Litopenaeus vannamei, Boone) di Media Bersalinitas Rendah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Mei 2010
Erly Y. Kaligis NIM. C161050051
ABSTRACT ERLY YOSEF KALIGIS. Improving the Survival Rate and the Growth Performance of the Pacific White Shrimp (Litopenaeus vannamei, Boone) Rare on Low Salinity Medium. Under direction of DANIEL DJOKOSETIYANTO, RIDWAN AFFANDI, ING MOKOGINTA, and KADARWAN SOEWARDI. The research was carried out in three phases. The first phase was to study the effect of adding calcium on the short-term survival of Pacific white shrimp postlarvae (Litopenaeus vannamei, Boone). Preliminary experiment consisted of 16 treatments in combination between the level of calcium (0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 150 ppm) and the medium salinity endpoint (0 ppt, 2 ppt, 4 ppt, 6 ppt). The second experiment consist of different Ca2+ level namely A (0 ppm Ca2+), B (50 ppm Ca2+), C (100 ppm Ca2+), D (150 ppm Ca2+), and D (25 ppt salinity /control). Several biological responses, including the survival rate in first trial, osmoregulatory capacity and oxygen consumption in the main trial, were discussed. Result of the first experiment showed that maximum percentage of mean survival rate was 92.2 % in B treatment (50 ppm Ca2+). No significant effect between calcium level observed on both osmoregulatory capacity and oxygen consumption, but it occurs lower in salinity 25 ppt and control. The second phase was conducted to determine the effect of potassium concentration medium on the metabolism, potassium whole body, survival rate, growth, and feed eficiency of L. vannamei postlarvae. Treatments consisted of different concentration of K+ added to distilled water. Four treatments were set, namely A, B, C, and D, where K2CO3 levels were 0, 30, 60, and 90 ppm, respectively. After the 42-days feeding trial, survival rate of the shrimp under the four treatments were not significantly affected by different K+ concentration in low salinity water. Solutions with K+ without or added K+ exhibited an average high survival rate above 83.33%. The final wet weight of the shrimp under treatment D (90 ppm K2CO3) were significantly higher, while the value of osmoregulatory capacity and oxygen consumption in treatment A (0 ppm K2CO3) significantly higher than those under the other four treatments.The aim of the third phase was to study the effect of protein and calcium level in the diet on the growth performance of postlarvae. Three level of dietary protein and three level of calcium was used in this experiment. Fifteen shrimp (PL25) were placed in triplicate 45-L glasses aquarium. The shrimp fed on the experimental diets four times daily, 8% of body weight. Feeding trial was conducted for 28 days. Growth performance was evaluated by RNA/DNA ratio, calcium and protein retention, frequency of moulting, daily growth rate, and feed efficiency. The last experiment showed that the survival rate was the same between treatments. Shrimp fed on diet 45% protein and 2% calcium produce higher RNA/DNA ratio, protein retention, daily growth rate, and feed efficiency compare to the other treatments. It was concluded that postlarvae L. vannamei require 45% protein and 2% calcium in low salinity condition. Keywords:, calcium, potassium, protein, low salinity, Litopenaeus vannamei
RINGKASAN ERLY YOSEF KALIGIS. Peningkatan sintasan dan kinerja pertumbuhan udang vaname (Litopenaeus vannamei, Boone) di media bersalinitas rendah. Dibimbing oleh DANIEL DJOKOSETIYANTO, RIDWAN AFFANDI, ING MOKOGINTA, dan KADARWAN SOEWARDI. Penelitian dilakukan dalam tiga tahap. Penelitian tahap pertama terdiri dari dua seri percobaan. Percobaan pertama bertujuan mengkaji pengaruh penambahan berbagai kadar kalsium pada berbagai salinitas media terhadap sintasan postlarva vaname (Litopenaeus vannamei, Boone). Rancangan yang digunakan adalah model faktorial terdiri enam belas perlakuan dengan 3 ulangan dibedakan berdasarkan penurunan salinitas (0 ppt, 2 ppt, 4 ppt, 6 ppt) dengan penambahan kalsium (0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 150 ppm) dalam media pengencer air tawar. Percobaan kedua merupakan pengulangan dari percobaan pertama pada salinitas akhir 2 ppt melalui evaluasi osmolaritas dan laju metabolisme. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap terdiri 5 perlakuan berdasarkan penambahan kalsium dalam media yaitu: (A) 0 ppm, (B) 50 ppm, (C) 100 ppm, (D) 150 ppm, dan kontrol (salinitas 25 ppt) dengan 3 ulangan. Benih vaname (PL 20) yang digunakan diperoleh dari balai pembenihan (hatchery) komersial hasil pemijahan dari satu induk dalam upaya meminimalkan variasi unit percobaan. Setiap wadah diisi air bersalinitas 25 ppt yang kemudian diturunkan secara gradual selama 96 jam hingga salinitas perlakuan akhir 0 ppt, 2 ppt, 4 ppt, dan 6 ppt. Sedangkan pada percobaan kedua salinitas akhir yang dituju 2 ppt. Pemberian pakan Artemia dilakukan 4 kali perhari. Beberapa respon biologi yang diamati dalam percobaan pertama yaitu sintasan, kemudian variabel gradien osmotik dan konsumsi oksigen diamati selanjutnya pada percobaan kedua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata sintasan tertinggi di salinitas 0 ppt dicapai dengan perlakuan B (0 ppt; 50 ppm kalsium) yaitu sekitar 92,2%. Pada percobaan kedua, seluruh perlakuan penambahan Ca2+ menunjukkan sintasan yang tinggi. Berdasarkan pengamatan juga tidak terdapat perbedaan gradien osmotik dan tingkat konsumsi oksigen pada perlakuan kalsium di salinitas 2 ppt, akan tetapi gradien osmotik dan tingkat konsumsi oksigen lebih tinggi pada udang di media salinitas 2 ppt daripada kontrol (salinitas 25 ppt). Disarankan bahwa penambahan kalsium 50 ppm sebagai perlakuan terbaik untuk meningkatkan sintasan postlarva vaname selama aklimasi ke salinitas rendah. Penelitian tahap kedua bertujuan menentukan kadar potasium optimal bagi kandungan potasium tubuh, gradien osmotik, tingkat konsumsi oksigen, sintasan, laju pertumbuhan bobot rerata harian, dan efisiensi pemanfaatan pakan pada media bersalinitas 2 ppt. Perlakuan merupakan perbedaan kadar potasium dalam air bersalinitas rendah. Ada 4 perlakuan yang digunakan yaitu A (0 ppm K2CO3), B (30 ppm K2CO3), C (60 ppm K2CO3), dan D (90 ppm K2CO3). Sebelum percobaan dimulai, dilakukan aklimatisasi dalam lingkungan laboratorium selama 10 hari yaitu saat postlarva berumur 10 hari (PL 10) hingga PL 20. Selanjutnya, dilakukan tahapan aklimasi dari salinitas 25 ppt ke salinitas 2 ppt selama 96 jam. Benih (PL 27) lalu diseleksi dan ditimbang agar seragam digunakan sebagai hewan uji. Setiap akuarium diisi postlarva sebanyak 10 individu. Setelah 42 hari
pemeliharaan, sintasan pada keempat perlakuan tidak dipengaruhi oleh konsentrasi K+ media. Media dengan penambahan K2CO3 atau tanpa K2CO3 menunjukkan nilai sintasan di atas 83,33%. Laju pertumbuhan bobot rerata harian tertinggi dicapai pada perlakuan D (90 ppm K2CO3), sementara gradien osmotik dan tingkat konsumsi oksigen secara nyata lebih tinggi di perlakuan A (0 ppm K2CO3) dan B (30 ppm K2CO3). Tujuan dari penelitian tahap ketiga adalah mengkaji pengaruh kadar protein dan kalsium pakan terhadap kinerja pertumbuhan postlarva vaname. Perlakuan terdiri atas perbedaan kadar protein (25, 35, 45 %) dengan kalsium (0, 2, 4 %) dalam pakan. Hewan uji yang digunakan sebelumnya telah diaklimatisasi dalam kondisi laboratorium kemudian dilanjutkan tahapan aklimasi secara gradual dari salinitas 25 ppt ke 2 ppt. Saat stadia PL 25, postlarva diseleksi berdasarkan ukuran yang sama dengan bobot awal rata-rata sekitar 0,0279 g. Setiap akuarium ditebar udang sebanyak 15 individu. Selanjutnya udang uji diberikan pakan perlakuan 4 kali perhari. Waktu pemeliharaan untuk mengkaji efek pemberian pakan terhadap postlarva sekitar 4 minggu. Beberapa variabel yang diamati pada penelitian tahap ketiga adalah rasio RNA/DNA, retensi protein, retensi kalsium, frekuensi ganti kulit, laju pertumbuhan bobot rerata harian, efisiensi pemanfaatan pakan, dan sintasan. Hasil pengujian memperlihatkan respons nyata terhadap kinerja pertumbuhan. Perlakuan terbaik untuk mempercepat peningkatan pertumbuhan postlarva adalah kadar protein 45% dengan kadar kalsium 2% pakan (perlakuan H). Dengan kadar protein dan kalsium optimal, terjadi peningkatan rasio RNA/DNA, retensi protein, retensi kalsium, dan efisiensi pakan, sehingga menghasilkan laju pertumbuhan yang tinggi pada pemeliharaan di media salinitas 2 ppt. Kata kunci: kalsium, potasium, protein, salinitas rendah, Litopenaeus vannamei
PENINGKATAN SINTASAN DAN KINERJA PERTUMBUHAN UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei, Boone) DI MEDIA BERSALINITAS RENDAH
ERLY YOSEF KALIGIS
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PENGUJI PADA UJIAN TERTUTUP Dr. Ir.Agus Oman Sudrajat, M.Sc. Staf Pengajar Departemen Budidaya Perairan, FPIK, IPB Dr. Ir. Tatag Budiardi, M.Si. Staf Pengajar Departemen Budidaya Perairan, FPIK, IPB PENGUJI PADA UJIAN TERBUKA Dr. Ir. Zafril Imran Azwar, M.S. Peneliti di Balai Riset Perikanan Air Tawar, Bogor Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S. Guru Besar Departemen Budidaya Perairan, FPIK, IPB
Judul Disertasi
: Peningkatan sintasan dan kinerja pertumbuhan udang vaname (Litopenaeus vannamei, Boone) di media bersalinitas rendah
Nama
: Erly Yosef Kaligis
NIM
: C161050051
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Daniel Djokosetiyanto, DEA Ketua
Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA Anggota
Prof. Dr. Ir. Ing Mokoginta Anggota
Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S.
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Tanggal ujian: 08 April 2010
Tanggal lulus:
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PRAKATA Segala puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa atas segala berkatNya sehingga penulisan hasil penelitian disertasi dengan judul “Peningkatan sintasan dan kinerja pertumbuhan udang vaname (Litopenaeus vannamei, Boone) di media bersalinitas rendah” dapat terselesaikan. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Program Doktor di Program Studi Ilmu Perairan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis
mengucapkan
terima
kasih
yang
mendalam
kepada
Bapak Prof. Dr. Ir. Daniel Djokosetiyanto, DEA, Bapak Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA, Ibu
Prof. Dr. Ir. Ing Mokoginta, dan Bapak Prof. Dr. Ir. Kadarwan
Soewardi selaku komisi pembimbing atas semua arahan, masukan, dan nasihat selama penelitian dan penulisan disertasi. Ucapan terima kasih juga kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S., Bapak Dr. Ir. Zafril Imran Azwar, M.S., Bapak Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc., Bapak Dr.Ir. Tatag Budiardi, M.Si. yang telah memberikan banyak saran dan masukan selama Ujian Terbuka dan Ujian Tertutup, juga kepada mantan ketua Program Studi Ilmu Perairan, Bapak
Dr. Chairul
Muluk, M.Sc. yang telah memberi masukan serta memperluas wawasan keilmuan penulis selama pendidikan. Banyak pihak telah membantu selama studi, penelitian, hingga ujian akhir. Untuk itu, penulis menghaturkan terima kasih kepada pimpinan Universitas Sam Ratulangi dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Manado atas kesempatan kepada penulis melanjutkan pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia sebagai sponsor beasiswa pendidikan pascasarjana (BPPS), yayasan Mandiri, yayasan Toyota & Astra, Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan atas bantuan dana penelitian disertasi, Pemerintah Daerah Sulawesi Utara yang telah memberikan bantuan dana pendidikan dan fasilitas tempat tinggal selama di Bogor, serta kepada PT. Central Proteinaprima, Tbk. dan PT. BAA Anyer yang telah memberi bantuan hewan uji bagi terlaksananya penelitian. Atas bantuan dan dukungan selama studi, penulis menyampaikan terima kasih kepada: staf administrasi Departemen Budidaya Perairan: Yuli, Asep, Adi; Teknisi laboratorium: Bapak Wasjan, Ibu Lina, Bapak Jajang, Abe, Yosi, Mul; Teman-teman di Program Studi Ilmu Perairan: Sriati, Fadly Tantu, Heru, Jusri
Nilawati; Rekan-rekan di Asrama Bogor Baru 1: Varda Takaendengan, Emma Moko, Lady Lengkey, Azer Yalindua, Meylan Kaligis, Meivy Lintang, Tommy Lolowang, Debby Rayer, Susan Rumengan, Donata Pandin, Jack Mamangkey, Hasnawaty, Hengky Sinjal, Agung Windarto, Alfret Luasunaung; Rekan-rekan di Bogor: Deny Karwur, Broerie Pojoh, Ridwan Lasabuda, Joy Kumaat, Sukma Gedoan, Only Rembet, Altien Rindengan, dan Yosep Karamoy. Secara khusus, penulis menyampaikan terima kasih kepada Ayahanda Deki Kaligis dan Ibu Marrien Sekeon, kakak-kakak: Jou, Denny, Ito, dan seluruh keluarga atas bantuan doa dan dukungan moril selama penyelesaian studi. Penulis menyadari bahwa apa yang sudah dicapai melalui penulisan disertasi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik diperlukan bagi penyempurnaan tulisan ini. Semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan terobosan baru dalam budidaya udang di Indonesia.
Bogor, Mei 2010 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis
dilahirkan
di
Tanawangko,
Minahasa
pada
tanggal
7 September 1973 dari pasangan Bapak Deki Kaligis dan Ibu Fredrika Putong sebagai anak ke-dua dari dua bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh pada Fakultas Perikanan Program Studi Ilmu Kelautan, Jurusan Manajemen Sumber Daya Perairan, Universitas Sam Ratulangi, Manado, dan lulus pada tahun 1998. Selanjutnya, penulis diangkat menjadi staf pengajar Fakultas Perikanan sejak tahun 2000 pada Program Studi Ilmu Kelautan, Jurusan Manajemen Sumber Daya Perairan. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan studi ke program Magister sains (S2) di Program Studi Ilmu Perairan, Sekolah Pascasarjana IPB, dan lulus pada tahun 2005. Selanjutnya, pada tahun 2005 penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi program doktor (S 3) pada Program Studi yang sama dengan bantuan dana beasiswa pendidikan pascasarjana yang diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia (BPPS).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xv
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
Latar Belakang .............................................................................. Perumusan Masalah ...................................................................... Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... Hipotesis ........................................................................................ Novelty ..........................................................................................
1 5 6 6 7
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
9
Biologi Udang Vaname (L. vannamei) ......................................... Perkembangan Larva .................................................................... Pertumbuhan dan Ganti Kulit ........................................................ Osmoregulasi ................................................................................ Peranan Mineral Kalsium dan Potasium ........................................ Kebutuhan Nutrien Udang ...........................................................
9 10 11 15 17 23
BAHAN DAN METODE .........................................................................
28
Ruang Lingkup Penelitian.............................................................. Penelitian Tahap Pertama ............................................................. Waktu dan Tempat .............................................................. Rancangan Percobaan .......................................................... Pelaksanaan Percobaan ........................................................ Analisis Data ....................................................................... Penelitian Tahap Kedua ................................................................ Waktu dan Tempat .............................................................. Rancangan Percobaan .......................................................... Pelaksanaan Percobaan ........................................................ Analisis Data ....................................................................... Penelitian Tahap Ketiga ................................................................ Waktu dan Tempat .............................................................. Rancangan Percobaan .......................................................... Pelaksanaan Percobaan ........................................................ Analisis Data .......................................................................
28 29
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. Hasil Penelitian Tahap Pertama ...................................................... Percobaan Pertama ............................................................... Percobaan Kedua ................................................................
50 50 50
29
29 30 34 35 35 36 36 39 41 41 41 44 47
51
x
Pembahasan .................................................................................. Hasil Penelitian Tahap Kedua ....................................................... Kandungan Potasium Tubuh ................................................ Gradien Osmotik ................................................................. Tingkat Konsumsi Oksigen ................................................. Sintasan ................................................................................ Laju Pertumbuhan Bobot Rerata Harian ............................. Efisiensi Pemanfaatan Pakan ............................................... Pembahasan .................................................................................. Hasil Penelitian Tahap Ketiga ....................................................... Rasio RNA/DNA ................................................................ Retensi Protein .................................................................... Retensi Kalsium ................................................................... Frekuensi Ganti Kulit .......................................................... Laju Pertumbuhan Bobot Rerata Harian ............................. Efisiensi Pemanfaatan Pakan .............................................. Sintasan ................................................................................ Pembahasan ...................................................................................
53 57 59 60 61 62 62 63 65 70 70 71 71 71 72 73 74 74
SIMPULAN DAN SARAN .....................................................................
80
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
81
LAMPIRAN ..............................................................................................
90
xi
DAFTAR TABEL Halaman 1
Waktu serta karakteristik setiap stadia pada larva udang vaname saat berkembang pada kondisi normal (Wyban & Sweeney 1991) …………………………………...............................
11
2
Komposisi bahan pakan percobaan ……………………………........
42
3
Komposisi proksimat dan kandungan kalsium pakan percobaan .......
43
4
Parameter fisika kimia media selama percobaan …………………...
47
5
Nilai gradien osmotik (GO), tingkat konsumsi oksigen (OC), pembelanjaan energi pada metabolisme basal (EB), dan sintasan (S) postlarva vaname (L. vannamei) yang terukur dalam percobaan kedua pada salinitas 2 ppt …………………………………………...
51
Nilai kadar potasium tubuh (K+), gradien osmotik (GO), tingkat konsumsi oksigen (OC), pembelanjaan energi pada metabolisme basal (EB), sintasan (S), laju pertumbuhan bobot rerata harian (LPRH), dan efisiensi pemanfaatan pakan (EP) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap kedua ………………………....
58
Konsentrasi mineral utama setiap perlakuan pada air bersalinitas 2 ppt yang digunakan dalam penelitian tahap kedua ……………….
59
Nilai rataan dan simpangan baku rasio RNA/DNA, retensi protein (RP), dan retensi kalsium (RCa) postlarva vaname (L. vannamei) …
70
Nilai rataan dan simpangan baku frekuensi ganti kulit (FGK), laju pertumbuhan bobot rerata harian (LPRH), efisiensi pemanfaatan pakan (EP), dan sintasan (S) postlarva vaname (L. vannamei) ……..............................................................................
72
6
7 8 9
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman Bagan alir perumusan masalah pengaruh penambahan Ca2+ selama aklimasi, penambahan mineral K+ dalam media, serta pengkayaan protein dan Ca2+ dalam pakan bagi kualitas dan kuantitas postlarva udang vaname ………………………………………………………
8
2
Anatomi lengkap L. vannamei (Wyban & Sweeney 1991) ……........
10
3
Reaksi-reaksi metabolisme dalam mineralisasi tulang (Georgievskii VI 1982) …………………………………………………………….
19
4
Skema urutan kegiatan penelitian …………………………………...
28
5
Skema pengaturan wadah pada percobaan ke-2 dalam penelitian penelitian tahap pertama melalui tampak atas ……………………....
31
6
Tata letak penempatan wadah penelitian tahap ke-2 ..........................
37
7
Tata letak penempatan wadah penelitian tahap ke-3 ………………..
45
8
Sintasan (S) postlarva L. vannamei setelah 4 hari percobaan pada berbagai kombinasi salinitas dan penambahan kalsium media, yaitu 0 ppt; 0 ppm Ca2+ (A), 0 ppt; 50 ppm Ca2+ (B), 0 ppt;100 ppm Ca2+ (C), 0 ppt ; 150 ppm; Ca2+ (D), 2 ppt; 0 ppm Ca2+ (E), 2 ppt; 50 ppm Ca2+(F), 2 ppt;100 ppm Ca2+ (G), 2 ppt;150 ppm Ca2+ (H), 4 ppt; 0 ppm ppm Ca2+ (I), 4 ppt ; 50 ppm Ca2+ (J), 4 ppt; 100 ppm Ca (K), 4 ppt; 150 ppm Ca2+ (L), 6 ppt ; 0 ppm Ca2+ (M), 6 ppt; 50 ppm Ca2+ (N), 6 ppt; 100 ppm Ca2+ (O), 6 ppt;150 ppm Ca2+ (P) ……………………………………………………………...
50
Hubungan antara kadar potasium karbonat media dengan nilai kandungan potasium tubuh (K+) postlarva vaname ………………..
60
10 Hubungan antara kadar potasium karbonat media dengan nilai gradien osmotik (GO) postlarva vaname ………………………......
61
11 Hubungan antara kadar potasium karbonat media dengan nilai tingkat konsumsi oksigen (OC) postlarva vaname …………...…….
62
12 Bobot rata-rata individu postlarva vaname selama enam minggu penelitian tahap kedua dengan perlakuan K2CO3 media berbeda (A:0 ppm K2CO3, B:30 ppm K2CO3, C:60 ppm K2CO3, D:90 ppm K2CO3) ……………………………...................................................
63
13 Hubungan antara kadar potasium karbonat media dengan nilai laju pertumbuhan bobot rerata harian (LPRH) postlarva vaname ……....
64
1
9
xiii
14 Hubungan antara kadar potasium karbonat media dengan nilai efisiensi pemanfaatan pakan (EP) postlarva vaname ……………….
64
15 Bobot rata-rata individu postlarva vaname selama empat minggu penelitian tahap ketiga dengan perlakuan pakan kadar protein dan kalsium berbeda (A: 25% protein;0% kalsium, B: 25% protein;2% kalsium, C: 25% protein;4% kalsium, D: 35% protein;0% kalsium, E: 35% protein;2% kalsium, F: 35% protein;4% kalsium, G: 45% protein;0% kalsium, H: 45% protein;2% kalsium, I: 45% protein;4% kalsium) ...........................................................................
73
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Pengukuran osmolaritas dengan osmometer (SOP OSMOMAT 030) ………………………………………………………………….
91
2
Prosedur preparasi sampel untuk analisa mineral ..............................
92
3
Pengukuran kandungan mineral dengan Atomic Absorption Spectrofotometer (AAS, Shimadzu AA-680) .....................................
93
4
Prosedur ekstraksi DNA (Puregene) ………………………………..
94
5
Prosedur ektraksi RNA ……………………………………………...
95
6
Prosedur pengukuran konsentrasi DNA dan RNA ………………….
96
7
Prosedur analisis proksimat pakan dan udang ……………………....
97
8
Hasil perhitungan sintasan pada percobaan pertama dalam penelitian tahap pertama ………........................................................
101
Nilai osmolaritas cairan tubuh, osmolaritas media, gradien osmotik (GO), tingkat konsumsi oksigen (OC), pembelanjaan energi pada metabolisme basal (EB), dan sintasan (S) postlarva vaname (L. vannamei) dari setiap perlakuan dan ulangan pada akhir percobaan kedua penelitian tahap pertama …………………………
102
10 Nilai kandungan potasium tubuh (K+), gradien osmotik (GO), tingkat konsumsi oksigen (OC), pembelanjaan energi pada metabolisme basal (EB), sintasan (S), laju pertumbuhan bobot rerata harian (LPRH), efisiensi pemanfaatan pakan (EP), pertumbuhan bobot (W), dan konsumsi pakan (KP) postlarva vaname (L. vannamei) dari setiap perlakuan dan ulangan pada akhir penelitian tahap kedua …….....................................................
103
11 Peningkatan pertumbuhan bobot selama 4 minggu penelitian tahap ketiga …………………………………………………………
104
12 Nilai total RNA, total DNA, rasio RNA/DNA, retensi protein (RP), retensi kalsium (RCa), frekuensi ganti kulit (FGK), laju pertumbuhan bobot rerata harian (LPRH), efisiensi pemanfaatan pakan (EP), dan sintasan (S) postlarva vaname (L. vannamei) dari setiap perlakuan dan ulangan pada akhir penelitian tahap ketiga …..
105
13 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data sintasan (S) postlarva vaname (L. vannamei) percobaan pertama pengaruh salinitas dan kalsium media ....................................................................................
106
9
xv
14 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data gradien osmotik (GO) postlarva vaname (L. vannamei) pada percobaan ke-2 penelitian tahap pertama .....................................................................................
108
15 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data tingkat konsumsi oksigen (OC) postlarva vaname (L.vannamei) pada percobaan ke-2 penelitian tahap pertama ....................................................................
109
16 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data pembelanjaan energi pada metabolisme basal (EB) postlarva vaname (L. vannamei) pada percobaan ke-2 penelitian tahap pertama ...........................................
110
17 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data sintasan (S) postlarva vaname (L. vannamei) pada percobaan ke-2 penelitian tahap pertama ..............................................................................................
111
18 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data kandungan potasium tubuh (K+) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap kedua ..................................................................................................
112
19 Hasil analisis regresi data kandungan potasium tubuh (K+) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap kedua ..........................
113
20 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data gradien osmotik (GO) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap kedua ...........
114
21 Hasil analisis regresi data gradien osmotik (GO) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap kedua ........................................
115
22 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data tingkat konsumsi oksigen (OC) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap kedua ..................................................................................................
116
23 Hasil analisis regresi data tingkat konsumsi oksigen (OC) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap kedua .........................
117
24 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data pembelanjaan energi pada metabolisme basal (EB) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap kedua .......................................................................
118
25 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data sintasan (S) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap kedua .........................
119
26 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data laju pertumbuhan bobot rerata harian (LPRH) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap kedua ........................................................................
120
27 Hasil analisis regresi data laju pertumbuhan bobot rerata harian (LPRH) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap kedua ..................................................................................................
121
xvi
28 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data efisiensi pemanfaatan pakan (EP) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap kedua ..................................................................................................
122
29 Hasil analisis regresi data efisiensi pemanfaatan pakan (EP) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap kedua ..........
123
30 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data konsumsi pakan (KP) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap kedua ...........
124
31 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data rasio RNA/DNA postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap ketiga .........................
125
32 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data retensi (RP) protein postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap ketiga ..........
126
33 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data retensi kalsium (RCa) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap ketiga ..........
127
34 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data frekuensi ganti kulit (FGK) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap ketiga ..................................................................................................
128
35 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data laju pertumbuhan bobot rerata harian (LPRH) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap ketiga .......................................................................
129
36 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data efisiensi pemanfaatan pakan (EP) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap ketiga ..................................................................................................
130
xvii
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Perairan nasional Indonesia menyimpan potensi perikanan yang besar untuk dikembangkan. Dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan masyarakat yang terus meningkat, maka sektor perikanan memikul tanggung jawab dan peran penting sebagai penyedia protein ikan. Perlu kearifan dalam mengelola kekayaan alam perairan yang dimiliki yaitu dengan mengedepankan aspek-aspek efisiensi produksi serta penerapan teknologi yang handal dan ramah lingkungan. Melalui pengembangan produksi perikanan nasional khususnya dari sektor budidaya, diharapkan dapat mengurangi ketergantungan dari alam sekaligus meningkatkan produktivitas, menjamin ketersediaan pangan, dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Udang vaname (Litopenaeus vannamei) adalah salah satu produk perikanan yang sedang berkembang saat ini. Sejak tahun 2001, jenis udang ini telah ditetapkan pemerintah sebagai unggulan sektor perikanan budidaya di Indonesia. Salah satu tujuan diintroduksinya udang vaname adalah untuk memacu produksi udang nasional yang selama beberapa tahun sebelumnya mengalami penurunan. Kontribusi udang vaname tercermin dari produksi udang ini yang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, dengan total tahun 2009 mencapai 244.650 ton atau sekitar 70,2% dari produksi udang nasional (Nurdjana 2010). Penerapan skala teknologi sederhana hingga intensif dalam produksi udang di wilayah tropis telah menunjukkan bahwa udang vaname memiliki beberapa kelebihan dibanding udang yang lain. Udang vaname memiliki sintasan tinggi sekitar 90% walaupun dengan densitas pemeliharaan yang padat, 150 ekor/m2 (SEAFDEC 2005), pertumbuhan yang cepat (size 60-80 dalam 60 hari pertama), kandungan daging yang lebih banyak (66-68%) dibanding udang windu (62%) (Anonim 2005), serta relatif toleransi terhadap serangan penyakit viral seperti WSSV (White Spot Syndrome Virus), TSV (Taura Syndrome Virus), dan IHHNV (Infectious Hypodermal and Hematopoietic Necrosis Virus) (Taukhid et al. 2006). Berbagai keunggulan tersebut menyebabkan banyak petambak beralih ke vaname dari usaha budidaya udang windu (Penaeus monodon).
2
Selain itu, udang vaname ternyata memiliki sifat euryhalin (Velasco et al. 1999). Bray et al.(1994) menyatakan bahwa udang vaname dapat dipelihara di daerah perairan pantai (coastal) dengan kisaran salinitas 0,5 ppt - 40 ppt. Kemampuan ini memberi peluang bagi petambak udang untuk mengembangkan komoditas ini di perairan daratan (inland water). Selama ini, budidaya udang vaname dilakukan di daerah perairan bersalinitas tinggi di tambak-tambak estuari, sementara potensi lahan untuk pengembangan budidaya di air bersalinitas rendah sangat besar, mencapai 2,072 juta hektar lahan air tawar (kolam dan sawah) dengan belum termanfaatkan sekitar 89,9% (DKP 2005). Budidaya udang vaname di air bersalinitas rendah juga dapat merupakan pilihan alternatif mengingat mulai munculnya berbagai penyakit infeksi pada udang yang dipelihara di tambak air asin. Dengan penerapan teknologi pemeliharaan di lingkungan salinitas rendah, maka terbuka peluang untuk lebih memperluas produksi budidaya udang vaname. Produksi benih berkualitas merupakan salah satu aspek penting dalam keberhasilan budidaya vaname di perairan bersalinitas rendah. Kesehatan dan vitalitas postlarva yang dihasilkan selama pendederan (nursery stage) akan menentukan potensi pertumbuhan dan sintasan di lingkungan kolam pembesaran. Hingga saat ini, telah dikembangkan berbagai metode aklimasi ke air bersalinitas rendah, namun masih dihadapkan dengan masalah sintasan yang rendah. Hana (2007) melaporkan bahwa sintasan postlarva vaname hanya sekitar 48,33% saat diaklimasi ke salinitas 2 ppt selama 96 jam. Sementara di tempat lain, dilaporkan udang ini mampu diaklimasi hingga salinitas 1 ppt selama 48 jam dengan sintasan sekitar 97% (McGraw et al. 2002; Davis et al. 2002). Teknik aklimasi yang diterapkan perlu diperbaiki dan disesuaikan dengan karakteristik lingkungan budidaya. Oleh karena itu, untuk keberhasilan budidaya udang vaname di air bersalinitas rendah, dibutuhkan pengembangan teknik aklimasi yang baru. Salah satu upaya untuk mempertahankan sintasan benih tetap tinggi saat aklimasi ke air bersalinitas rendah adalah dengan penambahan mineral penting dalam media air tawar. Ketika terjadi perubahan salinitas secara bertahap ke salinitas rendah maka akan diiringi dengan penurunan pH dan tekanan osmotik media yang menyebabkan udang mudah stres, kurang nafsu makan, serta cenderung berkulit tipis. Penambahan mineral kalsium diperlukan karena selain
3
untuk peningkatan pH media dan pembentukan eksoskeleton juga esensial dalam proses osmoregulasi (Larvor 1983; Boyd 1988; Cheng et al. 2006). Fungsi kalsium menurut Wood (2000) yaitu menentukan permeabilitas sel untuk keseimbangan osmotis, sehingga kondisi stres dapat berkurang. Informasi tentang konsentrasi minimum kalsium media untuk sintasan udang vaname masih terbatas, sedangkan pada jenis krustasea lain telah diuji. Peran kalsium telah dilaporkan pada Penaeus monodon (Irawan 1988; Edi 1990), Callinectes sapidus (Neufeld & Cameron 1994; Perry et al. 2001), Gammarus lacustris dan Astacus astacus
(Rukke
2002),
Cherax
quadricarinatus
(Kaligis
2005),
serta
Paranephrops zealandicus (Hammond et al. 2006). Setelah diadaptasikan pada air bersalinitas rendah, sintasan postlarva vaname yang dihasilkan dalam pemeliharaan selanjutnya masih rendah sehingga dibutuhkan penambahan mineral lain. Secara umum, faktor pembatas terhadap sintasan dan pertumbuhan udang di perairan salinitas rendah adalah komposisi mineral yang kurang dibandingkan di perairan salinitas normal. Proses-proses fisiologis dapat berlangsung secara normal bergantung dari ketersediaan anion (bikarbonat, karbonat, klorida, dan sulfat) serta kation tertentu (kalsium, magnesium, potasium, dan natrium) (Roy 2006). Berbagai penelitian telah mengungkapkan bahwa mineral yang krusial berpengaruh terhadap sintasan udang vaname di air bersalinitas rendah adalah potasium (K+) (Davis et al. 2002; Saoud et al. 2003; McGraw & Scarpa 2003; Davis et al. 2005). Potasium berperan penting karena dalam metabolisme krustasea, mineral ini terhubungkan dengan aktivitas enzim osmoregulasi, Na+K+-ATPase (Larvor 1983; McGraw & Scarpa 2003). Penambahan potasium dalam media dapat menyebabkan berkurangnya beban osmotik udang vaname selama pemeliharaan di air bersalinitas rendah. Efek potasium sejauh ini telah diuji pada juvenil atau ukuran pembesaran di kolam. Namun, konsentrasi optimum mineral ini bagi postlarva setelah tahapan aklimasi ke air bersalinitas rendah belum diketahui pasti. Kajian lebih mendalam dibutuhkan untuk menginvestigasi pengaruh penambahan potasium terhadap sintasan dan pertumbuhan postlarva vaname.
4
Udang vaname termasuk jenis penaeid yang melakukan regulasi hiperosmotik ketika terjadi perubahan ke media bersalinitas rendah. Adanya penurunan salinitas dapat menyebabkan kondisi stres sehingga udang akan berusaha mempertahankan tekanan osmotik tubuh dengan mengekstrak elektrolit dari lingkungan kemudian mempertahankan agar tidak terjadi difusi ion ke luar tubuh. Untuk menghadapi kondisi seperti ini, diperlukan energi ekstra yang dapat membantu postlarva mempertahankan vitalitas. Beberapa penelitian telah membuktikan peran nutrien khusus terhadap sintasan udang saat kondisi stres lingkungan. McGraw et al. (2002) telah memperlihatkan bahwa sintasan postlarva vaname dapat meningkat apabila pakan Artemia tetap diberikan selama aklimasi ke air bersalinitas rendah. Telah diketahui sintasan postlarva dapat dipertahankan tetap tinggi dengan penambahan nutrien seperti HUFA. Ketika dilakukan penurunan mendadak salinitas dalam jangka pendek (24 jam), pengkayaan Artemia dengan asam lemak (HUFA) mampu meningkatkan sintasan udang windu (P.monodon) (Lavens & Sorgelos 2000). Hasil yang sama dilaporkan dalam pemeliharaan udang vaname (L. vannamei) melalui pengkayaan rotifer dengan HUFA (Wahyudin 2005). Di pihak lain, kebutuhan nutrisi udang vaname di salinitas normal sudah diteliti. Davis et al. (1992) melaporkan bahwa juvenil vaname membutuhkan interaksi
berbagai
macam
mineral
dalam
pakan
untuk
meningkatkan
pertumbuhan. Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa rasio Ca/P pakan lebih mempengaruhi pertumbuhan, efisiensi pakan, dan kadar kalsium karapas dibanding hanya penambahan kalsium (Davis et al. 1993). Telah diketahui bahwa salah satu kebutuhan penting dalam pakan adalah protein yang berperan bagi pertumbuhan, keseimbangan energi, dan kondisi imunitas udang. Kebutuhan protein yang disarankan untuk juvenil vaname sekitar 32% (Kureshy & Davis 2002) dan 35% (Pascual et al. 2004). Namun, apakah pemberian protein dan kalsium pakan memadai untuk postlarva yang dipelihara di media bersalinitas rendah perlu diketahui. Kemungkinan ada perbedaan kebutuhan nutrisi di media salinitas optimum dengan di air bersalinitas rendah. Oleh karena itu, diperlukan kajian peran kalsium dan protein bagi peningkatan pertumbuhan udang vaname selama pemeliharaan di air bersalinitas rendah.
5
Perumusan Masalah Permasalahan yang dihadapi yaitu masih rendahnya sintasan postlarva ketika aklimasi ke air bersalinitas rendah, serta belum maksimalnya pertumbuhan selama pemeliharaan selanjutnya. Adanya penerapan aklimasi salinitas yang belum sesuai menyebabkan beban osmotik tetap tinggi saat mencapai salinitas rendah. Beban osmotik yang terus meningkat disertai kehilangan ion-ion penting dalam tubuh akan menurunkan sintasan postlarva vaname. Rendahnya pertumbuhan disebabkan metabolisme dan ganti kulit yang tidak berlangsung lancar. Penyebabnya antara lain kualitas pakan rendah sehingga nutrien yang dibutuhkan tidak memadai. Berbagai masalah tersebut akan menyebabkan ketidakcukupan benih vaname berkualitas untuk budidaya di air salinitas rendah. Kemampuan udang untuk melakukan proses-proses fisiologis secara normal ditentukan oleh tersedianya mineral penting dalam media. Penambahan kalsium karbonat (CaCO3) dan potasium karbonat (K2CO3) dalam media dapat mempertahankan kualitas air (buffer pH) serta untuk fungsi osmoregulasi udang. Kalsium (Ca2+) berperan penting dalam menjaga keseimbangan asam basa dan potensial membran bagi transport ion Na+ dan Cl-, sedangkan potasium (K+) diperlukan untuk mempertahankan konsentrasi K+ dalam sel yang mempengaruhi aktivitas enzim Na+K+-ATPase sehingga proses metabolisme tetap berjalan normal saat terjadi fluktuasi salinitas lingkungan. Bila kondisi media optimal dapat dicapai, akan terjadi sinergi dalam mekanisme osmoregulasi yang menurunkan beban osmotik. Dengan demikian, ketersediaan energi makin banyak teralokasi untuk mempertahankan sintasan dan meningkatkan pertumbuhan udang selama pemeliharaan di air bersalinitas rendah. Kebutuhan untuk energi osmoregulasi dan pertumbuhan di media bersalinitas rendah dapat ditingkatkan lewat pengkayaan pakan buatan. Penurunan salinitas akan menyebabkan defisiensi kalsium dan peningkatan stres saat fase postlarva. Dengan meningkatnya pemanfaatan protein tubuh untuk mengimbangi pengeluaran energi osmoregulasi, maka pertumbuhan dapat berlangsung tidak maksimal. Oleh karena itu, penambahan protein dan kalsium dibutuhkan selama tahapan pemeliharaan di air salinitas rendah. Martin et al. 1984; Piliang 2005 menyatakan bahwa penyerapan dan ekskresi kalsium dalam tubuh dapat
6
dipengaruhi jumlah asupan protein, sehingga keseimbangan kedua komponen ini dibutuhkan dalam pakan. Secara skematis, bagan alir perumusan masalah disajikan dalam Gambar 1. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian adalah : 1. menentukan kadar kalsium optimal bagi sintasan postlarva melalui evaluasi osmolaritas dan laju metabolisme selama aklimasi ke salinitas rendah 2. menentukan kadar potasium optimal bagi kandungan potasium tubuh, gradien osmotik, tingkat konsumsi oksigen, sintasan, laju pertumbuhan bobot rerata harian, dan efisiensi pemanfaatan pakan selama pemeliharaan di salinitas 2 ppt 3. mengkaji pengaruh pakan yang berkadar protein dan kalsium berbeda terhadap kinerja pertumbuhan postlarva vaname di media salinitas 2 ppt. Manfaat dari penelitian ini adalah mendapatkan informasi yang dijadikan landasan dalam pengembangan teknik pemeliharaan vaname pada lingkungan air bersalinitas rendah. Hipotesis Berdasarkan tujuan penelitian, maka hipotesis yang diajukan sebagai berikut: 1. apabila kadar kalsium dalam media mampu secara efektif mempertahankan keseimbangan mineral dalam tubuh maka beban osmotik semakin rendah sehingga sintasan tetap tinggi pada saat aklimasi ke media salinitas rendah 2. apabila kadar potasium media mampu meningkatkan efisiensi osmotik maka ketersediaan energi semakin banyak teralokasi untuk menunjang sintasan dan pertumbuhan udang vaname selama pemeliharaan di salinitas rendah 3. apabila pemberian protein dan kalsium dalam pakan dapat memenuhi kebutuhan metabolisme dalam tubuh maka sintesis protein dan ganti kulit akan meningkat sehingga menunjang pertumbuhan udang vaname selama pemeliharaan di salinitas rendah.
7
Novelty Berbagai pendekatan yang baru perlu dilakukan dalam meningkatkan vitalitas postlarva untuk tujuan pemeliharaan di air bersalinitas rendah. Walaupun teknik aklimasi telah berkembang, hasilnya belum cukup terbukti dalam penerapan di lingkungan kolam. Kemampuan hidup benih vaname dapat dipengaruhi oleh produktivitas alam atau berbagai parameter lingkungan. Perlakuan mineral kalsium dilanjutkan potasium dalam media sangat penting untuk mempertahankan sintasan postlarva tetap tinggi. Bahan nutrisi terutama protein dan kalsium pakan diperlukan bagi pertumbuhan vaname di media salinitas rendah. Penambahan mineral kalsium dalam media selama tahap aklimasi ke salinitas rendah merupakan nilai kebaruan dalam penelitian ini, sementara pemberian potasium dan pakan yang mengandung protein dan kalsium untuk pemeliharaan postlarva vaname masih jarang diteliti. Oleh karena itu, hasil penelitian ini akan menjadi sumbangan informasi berguna bagi pengembangan budidaya vaname.
8
-
Retensi Protein
Pakan buatan Diperkaya Protein & Ca2+ & Protein
Manaj. Pakan
Tingk. Kons. Opt?
Pertumb. Stadia
Sintesis Protein +
Prot & Ca2+ Opt ?
Deposisi Kalsium
Laju Pertumbuhan
Konsumsi Oksigen Kualitas Air Aklimasi Salinitas + Ca2+
Potasium (K+) Media
Ca2+ Media Opt?
K+ Opt ?
+
+
Frekuensi Molting Efisiensi Pakan
Vaname
Manaj. Kualitas Air
+
Kerja Osmotis
Pertumb. Biomassa
Sintasan Postlarva Postlarva
-
Gambar 1 Bagan alir perumusan masalah pengaruh penambahan Ca2+ selama aklimasi, penambahan mineral K+ dalam media, serta pengkayaan protein dan Ca2+ dalam pakan bagi kualitas dan kuantitas postlarva udang vaname.
Kualitas & Kuantitas Vaname
9
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Udang Vaname (L. vannamei) Udang vaname termasuk dalam ordo dekapoda yang memiliki berbagai ciri. Ordo ini mempunyai 10 kaki. Karapas berkembang dengan baik sehingga menutupi seluruh kepala dan thoraks. Panjang tubuh vaname dapat mencapai 230 mm atau 9 inci. Bobot maksimal udang betina sekitar 120 g, sedangkan jantan relatif lebih ringan. Keseluruhan tubuh berwarna putih, termasuk kaki berwarna putih atau pucat. Udang vaname agak sulit dibedakan dari udang biru (L. stylirostris) walaupun diketahui memiliki penyebaran geografis yang sama. Udang vaname banyak ditemukan di perairan lebih dalam (Bailey-Brock & Moss 1992; Eloovara 2001; Wyban & Sweeney 1991). Genus Penaeus memiliki ciri umum adanya gigi pada rostrum serta antena yang panjang (Gambar 2). Pada bagian ventral dari rostrum terdapat 2 gigi, serta 8 – 9 gigi di bagian dorsal. Antena beserta sepasang kaki pertama berfungsi untuk mengambil makanan. Sub genus Litopenaeus digambarkan dengan adanya telikum terbuka tanpa tempat penyimpanan sperma pada udang betina (Wyban & Sweeney 1991) . Walaupun tergolong jenis omnivora atau pemakan detritus, dari penelitian terakhir berdasarkan kandungan perut, udang penaeid termasuk jenis karnivora yang memakan krustasea kecil, amphipods, dan polikaeta di alam. Jenis makanan ini tidak tersedia di kolam budidaya intensif sehingga udang hanya makan pakan buatan dan detritus kolam (Wyban & Sweeney 1991). Udang vaname termasuk katadromos yaitu udang dewasa hidup di laut sedangkan udang muda akan berpindah ke daerah pantai. Udang ini di lingkungan alam mendiami dasar perairan berlumpur dari garis pantai hingga kedalaman sekitar 72 meter (235 kaki) dan menghuni daerah mangrove yang terlindung dari gangguan luar. Di habitat aslinya perairan Amerika Selatan, Tengah, dan Utara, udang akan matang kelamin, kawin, dan bertelur di kolom air laut terbuka berkedalaman 70 meter yang memiliki suhu 26-28oC dan salinitas sekitar 35 ppt. Telur akan menetas menjadi larva yang merupakan bagian zooplankton di perairan terbuka. Postlarva vaname kemudian bergerak ke pantai, dan berdiam
10
Gambar 2 Anatomi lengkap L. vannamei (Wyban & Sweeney 1991). di dasar perairan dangkal. Laut perairan dangkal terdapat nutrien melimpah, serta salinitas dan suhu air lebih bervariasi dibandingkan laut terbuka. Setelah beberapa bulan di daerah estuari, udang dewasa akan kembali ke lingkungan laut dalam, dan mengalami kematangan seksual, kawin, dan bertelur (Eloovara 2001; Wyban & Sweeney 1991). Perkembangan Larva Perkembangan larva merupakan perubahan stadia saat larva hingga postlarva (Tabel 1). Menurut Wyban dan Sweeney (1991), setelah fertilisasi, telur vaname menetas sekitar 14-16 jam kemudian. Memasuki tahapan larva, perkembangan melalui 3 stadia, yaitu nauplius, zoea, dan mysis. Setelah itu berlangsung tahapan postlarva. Pergantian stadia terjadi setelah larva mengalami molting. Lamanya waktu untuk setiap stadia berbeda, yaitu stadia nauplius sekitar 5 hari, zoea dan mysis sekitar 3 hari, selanjutnya tahapan postlarva yang berlangsung lebih lama. Eloovara (2001) menyatakan bahwa postlarva (PL) mengalami perubahan dari PL 1 - PL 10 (sering sampai PL 20). Pola makan udang vaname berubah sesuai tahapan stadia. Saat stadia nauplius, udang masih memanfaatkan nutrisi dari kantung telur yang dibawanya. Kemudian udang berubah jadi zoea yang memiliki kemampuan memanfaatkan makanan dari luar seperti mikroalga. Metamorfosis zoea menjadi mysis ditandai dengan
perubahan
dari
herbivora
menjadi
karnivora
yang
memakan
zooplankton. Setelah stadia mysis berakhir, udang masuk stadia postlarva yang sudah menyerupai udang muda dalam hal konsumsi makanan maupun tingkah
11
Tabel 1 Waktu serta karakteristik setiap stadia larva udang vaname saat berkembang pada kondisi normal (Wyban & Sweeney 1991) Hari ke
Stadia
Karakteristik
1
Naupli - 1
badan berbentuk bulat dengan panjang 0,40 mm, antena pertama terdiri 3 setae, antena kedua terdiri 5 setae
2
Naupli - 2
ujung antena pertama terdapat setae yang satu panjang, dan dua buah yang pendek, antena kedua terdiri 6 setae
3
Naupli - 3
dua buah furcal masing-masing memiliki 3 duri, antena kedua terdapat 7 setae
4
Naupli - 4
masing-masing furcal terdapat 5 duri, antena kedua terdiri 8 setae, terjadi segmentasi di antena
5
Naupli - 5
terlihat jelas setation antara antena pertama dan kedua, tubuh lebih pipih
6
Zoea - 1
panjang tubuh sekitar 1,0 mm, tubuh terpisah dua bagian: thoraks (kepala) dan abdomen (ekor), makanan dapat terlihat bila larva sedang makan
8
Zoea - 2
mata telah bertangkai, rostrum dan duri di atas mata
9
Zoea - 3
sepasang uropoda biramus mulai berkembang, duri pada ruas-ruas tubuh mulai tampak
10
Mysis - 1
badan seperti udang dewasa dengan panjang sekitar 3,4 mm, kuncup pleopoda, telson dan uropoda mulai berkembang
11
Mysis - 2
kuncup pleopoda telah ada tapi belum bersegmen
12
Mysis - 3
pleopoda bertambah panjang dan beruas-ruas, tampak duri pertama dorsal di rostrum
13
Postlarva
panjang tubuh sekitar 3,4 mm, telah ada setae renang, udang telah mampu berenang ke depan
lakunya. Saat larva, udang vaname bersifat planktonik, kemudian berubah menjadi bentik saat postlarva. Udang tahap larva akan berpindah tempat dari laut terbuka ke arah pantai dan estuari sampai menjadi dewasa (Wyban & Sweeney 1991; Elovaara 2001). Pertumbuhan dan Ganti Kulit Pertumbuhan adalah proses biologis yang kompleks. Secara sederhana, pertumbuhan dirumuskan sebagai pertambahan ukuran panjang dan berat dalam jangka waktu tertentu, sedangkan dalam konteks individu pertumbuhan
12
merupakan pertambahan jaringan akibat dari pembelahan sel secara mitosis yang terjadi bila ada kelebihan input energi dan asam amino (protein) yang berasal dari makanan (Effendie 2002). Pada krustasea, pertumbuhan terjadi secara berkala setelah pergantian kulit. Pertambahan panjang dan bobot tubuh akan terhambat bila tidak didahului oleh ganti kulit. Saat kondisi nutrisi memadai dan lingkungan mendukung, pertumbuhan terjadi secara optimal (Wyban & Sweeney 1991; Wickins & Lee 2002). Pertumbuhan sebenarnya merupakan ekspresi dari proses sintesis protein. Proses ini terjadi pada kelompok-kelompok sitoplasmik yang sangat kecil yang disebut ribosom. Madigan et al. (2009) menyatakan bahwa proses sintesis protein diawali kode genetik dalam urutan nukleotida tertentu dalam DNA yang ditranskripsikan ke dalam urutan nukleotida dalam RNA. Kode genetik ditulis dalam bentuk messenger RNA (mRNA) yang selanjutnya ditranslasi melalui penggabungan kelompok RNA lain (tRNA, rRNA) dalam ribosom untuk mengarahkan ke sintesis protein. Dalam proses ini, dibutuhkan bahan dasar asam amino sitoplasma, katalisator enzim RNA-polimerase saat transkripsi dan aminoacyl-tRNA synthetases saat translasi, serta sumber energi dari ATP. Asam ribonukleat (RNA) memegang peranan penting dalam proses sintesa protein. Busacker et al. (1990) menyatakan bahwa konsentrasi RNA dapat digunakan sebagai pengukur laju pertumbuhan. Awalnya dari hipotesis bahwa laju input pakan menentukan konsentrasi RNA pada jaringan sebagaimana laju input pakan menentukan laju sintesis protein. Ini teramati dari hubungan langsung antara konsentrasi RNA dengan sintesis protein, kemudian terjadi pertumbuhan jaringan. Konsentrasi RNA akan berfluktuasi bergantung dari aktivitas sintesis protein, sebaliknya konsentrasi DNA relatif konstan dalam sel (Houlihan et al. 1993). Konsentrasi RNA dalam jaringan dapat mengestimasi jumlah ribosom. Campbell et al. (2002) mendeskripsikan bahwa ribosom terdiri sub unit besar dan kecil yang dibangun dari protein-protein dengan RNA ribosom (rRNA) sebanyak kira-kira 60%. Dalam genom suatu eukariot multiseluler, molekul rRNA dapat dikode dari satu unit transkripsi tunggal yang berulang sebanyak ribuan kali
13
sehingga salinan yang banyak dapat membuat jutaan ribosom yang dibutuhkan untuk sintesis protein yang aktif. Untuk mengestimasi pertumbuhan, penggunaan asam nukleat dalam bentuk rasio RNA/DNA merupakan metode yang cukup akurat, selain juga dapat menjadi indikator kondisi nutrisi ikan (Rooker & Holt 1996). Parameter ini telah diuji pada beberapa jenis ikan. Raae et al. (1988) melaporkan bahwa larva ikan cod (Gadus morhua) yang dipelihara tanpa pemberian pakan memperlihatkan penurunan nilai ratio RNA/DNA. Sebaliknya, pada ikan yang diberi pakan, nilai rasio RNA/DNA relatif konstan walau terjadi sedikit fluktuasi. Tarkii et al. (1994) juga dengan sukses menggunakan rasio RNA/DNA dalam memprediksi pertumbuhan pada ikan striped jack (Caranx delicatissimus). Hasil penelitian selama 42 hari pada larva menunjukkan adanya peningkatan rasio RNA/DNA dalam tubuh seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ikan. Selanjutnya, Nandeesha et al. (2000) melaporkan bahwa penggantian sumber protein tepung ikan ke silkworm pupae mampu mempengaruhi rasio RNA/DNA, pertumbuhan, rasio konversi pakan, dan retensi protein ikan mas (Cyprinus carpio). Peningkatan ratio RNA/DNA terjadi pada kadar pupae 50% (8,29±0,51) dibandingkan kadar pupae 30% (7,15±0,28) dan 40% (6,69±0,05) yang mengindikasikan peningkatan efisiensi minyak pupae sebagai sumber energi bagi pertumbuhan. Seperti halnya arthropoda lain, pertumbuhan udang ditentukan oleh frekuensi molting dan peningkatan pertumbuhan. Frekuensi molting adalah fungsi dari ukuran udang yaitu waktu antara peningkatan molting, sedangkan peningkatan pertumbuhan adalah seberapa besar pertumbuhan terjadi setiap molting baru. Untuk tumbuh, tubuh udang yang tertutup karapas keras harus melepaskan karapas tua dan mengembangkan karapas baru yang lebih ringan dan besar (Wyban & Sweeney 1991). Kecepatan pertumbuhan akan meningkat apabila kondisi lingkungan dan nutrisi cocok (Wickins & Lee 2002). Kulit bagian luar (eksoskeleton) krustasea tersusun dari beberapa lapisan seperti membran bagian dalam, epidermis seluler, dan kutikula (Wickins & Lee 2002). Komposisi kutikula terdiri empat lapisan, yaitu tiga dari pengerasan matriks kitin atau endokutikula, dan satu tanpa kitin atau epikutikula. Epikutikula yang berada di bagian terluar terdiri dari sedikit lipid sehingga mampu menahan
14
air. Lapisan membran yang merupakan lapisan terdalam endokutikula tidak mengalami kalsifikasi (Dennell 1960). Saat ganti kulit, akan terjadi pembagian pada kutikula (Lowery 1988). Daur ulang kalsium terjadi pada keseluruhan tahapan ganti kulit. Menurut Perry et al. (2001), proses mineralisasi kulit (eksoskeleton) secara kimia merupakan pembentukan kalsium karbonat dan ion hidrogen dari ion kalsium dan bikarbonat dalam kutikula. Persamaan reaksi sebagai berikut : Ca2+ + HCO3¯
CaCO3 +
H+
Ion hidrogen yang diproduksi selama reaksi ini secara aktif ditransportasi dari kutikula ke darah (hemolimp) serta dari darah ke media eksternal melewati insang. Jumlah kalsium untuk mineralisasi berasal dari air laut dengan penambahan minimal dari kalsium yang tersimpan di tubuh. Sedangkan bikarbonat selain dibawa langsung dari air laut juga dari CO2 yang dihasilkan selama respirasi. Kecepatan pengambilan kalsium dan bikarbonat bergantung pada konsentrasi ion-ion ini dalam air laut. Pada ketam biru (C. sapidus), jumlah bersih kalsium yang masuk ke tubuh saat tahap postmolt mencapai 26% dari kadar kalsium di air laut. Pengerasan kutikula berlangsung 2 – 3 jam setelah ecdysis melalui pembentukan protein kulit serta deposisi kalsium dan bikarbonat, sedangkan eksoskeleton baru akan kembali normal (ke tahap intermolt) setelah sekitar 7 sampai 10 hari postmolt. Total kandungan mineral dalam kulit saat mineralisasi adalah setengah hingga satu kali dari konsentrasi saat intermolt (Perry et al. 2001). Passano (1960) mengemukakan bahwa ganti kulit pada dekapoda merupakan proses kompleks yang terdiri atas tahapan premolt, molt, postmolt, dan intermolt. Urutan utama siklus molting adalah sebagai berikut (Wickins & Lee 2002): (1)
akumulasi cadangan mineral dan bahan organik
(2)
pemindahan material dari kulit lama dan pembentukan eksoskeleton baru
(3)
ecdysis (molting) diiringi penyerapan air
(4)
pengerasan molekul eksoskeleton melalui penyusunan kembali matriks organik dan garam anorganik
15
(5)
pergantian cairan melalui pertumbuhan jaringan tubuh. Siklus ganti kulit merupakan proses yang dipengaruhi berbagai kelenjar
dan organ. Permulaan ganti kulit dikontrol oleh MIH (Molt Inhibiting Hormone) yang dibentuk sel neurosekretori tertentu dalam organ X. Sebelum dilepas ke hemolimp, MIH disimpan di kelenjar sinus yang akan dilepas dari akhiran axon lebih besar pada struktur ini (Passano 1960). Organ Y merupakan sumber dari hormon molting yang disekresikan sebagai suatu prekursor (ecdysone), selanjutnya di hemolimp berubah menjadi hormon aktif, 20-OH-ecdysone. MIH dapat menghambat proses molting melalui penghambatan sekresi ecdysteroid dari organ Y (Huberman 2000). Jika udang tumbuh, frekuensi molting juga akan meningkat. Frekuensi molting secara alamiah bergantung pada suhu dan spesies. Udang penaeid saat stadia larva mengalami molting 2-3 kali dalam sehari, kemudian saat juvenil akan molting setiap 3-25 hari (Wickins & Lee 2002). Saat suhu 28oC, udang vaname tahap larva mengalami molting setiap 30-40 jam, tahap juvenil yang berukuran 1-5 g setiap 4-6 hari, dan udang dewasa ukuran 15 g akan molting dengan interval 2 minggu (Wyban & Sweeney 1991). Osmoregulasi Osmoregulasi merupakan suatu bentuk sistem homeostasis yang berperan penting dalam mengatur keadaan stabil atau mengontrol fluktuasi lingkungan internalnya (Affandi & Tang 2002). Pengaturan osmotik cairan tubuh juga diartikan sebagai pengaturan total konsentrasi partikel dari cairan pada tingkatan berbeda terhadap media eksternal (Robertson 1960). Selama osmoregulasi, hewan air membutuhkan keseimbangan osmotik antara cairan tubuh dan media yang sangat krusial bagi kelangsungan kehidupannya. Spesies air tawar dapat kehilangan ion-ion saat berpindah ke lingkungan hipotonik atau ketika bertahan dari hidrasi (Davis & Gatlin III 1991). Perubahan salinitas menyebabkan beberapa jenis krustasea bereaksi dengan jalan mengatur cairan tubuh agar isoosmotik dengan salinitas lingkungan. Jenis ini termasuk bentuk poikilosmotik. Jenis krustasea lain termasuk bentuk homoiosmotik yang mempertahankan medium internal tetap konstan hingga batas
16
tertentu walaupun terjadi fluktuasi salinitas lingkungan. Dekapoda yang secara khusus berasal dari air payau termasuk pada poikilosmotik pada kisaran salinitas normal atau tinggi, dan homoiosmotik pada salinitas rendah (Robertson 1960). Jenis dekapoda yang darahnya isoosmotik dengan air laut normal menunjukkan jenis pengaturan hiperosmotik di media pengenceran air laut. Krustasea ini melakukan pengambilan aktif garam dari medium eksternal dalam upaya mengimbangi kehilangan garam karena difusi keluar atau sekresi antennal. Karena ion-ion hilang selama sekresi isoosmotik, pengambilan air bersama ionion dari medium harus dikontrol untuk mempertahankan keseimbangan air yaitu lewat adanya permukaan-permukaan sel yang permeabel air. Hasil bersih ion-ion akan diserap dari cairan sehingga konsentrasi osmotik sama antara darah dan urin (Robertson 1960). Dalam sel-sel klorida insang atau terletak pada bagian perpanjangan sistem tubular sitoplasma, terdapat suatu Na+K+-activated ATPase yang berfungsi sebagai pompa ion. Enzim ini secara ekstensif dan aktif melakukan transport Na+ keluar dari sel untuk bertukar dengan K+ ke dalam sel (Imsland et al. 2003). Kurangnya kebutuhan energi untuk pompa ion pada salinitas optimal dapat mengarahkan pada pengurangan aktivitas sel-sel klorida yang kemudian akan mengurangi aktivitas enzim Na+K+-ATPase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada postlarva vaname aktivitas enzim ini sekitar 46,8±13,2 μmol fosfat/g.j di media salinitas 30 ppt, sedangkan di media salinitas 10 ppt sekitar 79,9±19,6 μmol fosfat/g.j (Palacios et al. 2004). Kebutuhan energi untuk aktivitas enzim Na+K+-ATPase secara umum lebih rendah di lingkungan yang isoosmotik, sehingga energi yang disimpan cukup substansial untuk meningkatkan sintasan dan pertumbuhan (Imsland et al. 2003; Palacios et al. 2004). Informasi cukup rinci tentang pengaturan osmotik hemolimp seperti dikemukakan Sang dan Fotedar (2004) berdasarkan penelitian pada western king prawn (P. latisulcatus). Hasil penelitian selama 20 dan 60 hari menunjukkan bahwa semakin tinggi salinitas perlakuan terjadi kecenderungan peningkatan osmolaritas hemolimp, juga dengan semakin besar ukuran udang maka osmolaritas hemolimp semakin tinggi. Pada salinitas 46 ppt, udang yang berukuran 2,98±0,35 g memiliki osmolaritas hemolimp sekitar 977,75±15,31
17
mOsm/l H2O. Osmolaritas hemolimp kemudian meningkat menjadi 1102±50,27 mOsm/l H2O setelah 60 hari pemeliharaan ketika ukuran udang 4,27±0,76 gram. Pada pengukuran hari ke-20, udang yang dipelihara pada salinitas 46 ppt menunjukkan osmolaritas hemolimp tertinggi sekitar 1001,00±41,6 mOsm/l H2O, yang berbeda nyata dibanding perlakuan salinitas lainnya (10, 22, 34 ppt). Osmolaritas hemolimp terendah, 664,00±57,70 mOsm/l H2O dihasilkan pada pemeliharaan di salinitas 10 ppt. Hasil pengukuran lainnya menunjukkan indeks hepatosomatik dan indeks otot ekor lebih rendah pada udang di salinitas 46 ppt yang mengindikasikan penggunaan energi lebih banyak dari hepatopankreas untuk aktivitas osmoregulasi pada kondisi salinitas tersebut. Peranan Mineral Kalsium dan Potasium Kalsium adalah mineral yang esensial untuk struktur jaringan keras, pembekuan darah, kontraksi otot, transmisi saraf, osmoregulasi, dan sebagai kofaktor proses-proses enzimatik (Larvor 1983; Cheng et al. 2006). Elemen ini ditemukan terbanyak kelima di kulit bumi, serta terbanyak dalam tubuh hewan yakni 1-2% dari total bobot tubuh. Kalsium tidak terdapat dalam bentuk bebas, namun berupa kation yang bermuatan dua ion positif (Piliang 2005). Penambahan kalsium karbonat (CaCO3) pada kolam budidaya bertujuan untuk: 1) menetralkan ion Al, Fe, Mn, H, dan 2) menambah unsur Ca2+ ke dalam perairan. Boyd (1988) menyatakan bahwa penetral utama dalam kapur yaitu karbonat (CO32-) yang menghasilkan OH-,
sehingga akan merangsang
perombakan bahan organik yang mengandung Al, Fe, Mn menjadi dipercepat. Bahan kapur (CaCO3) di perairan juga akan bereaksi dengan CO2 yang kemudian membentuk kalsium dan bikarbonat. Persamaan reaksi kesetimbangan yang terjadi antara calcite (CaCO3) dengan bikarbonat (HCO-3) sebagai berikut : CaCO3 + CO2 + H2O
Ca2+ + 2 HCO3-
Konsentrasi kalsium (Ca2+) akan meningkat setelah pengapuran. Calcite sebenarnya memiliki daya larut rendah, namun kelarutan bahan ini akan meningkat jika karbondioksida melimpah. Bikarbonat mengandung sifat basa karena tersusun atas karbonat (CO32-). Melalui reaksi hidrolisis selanjutnya dengan H2O, bikarbonat akan menghasilkan OH-. Pengapuran pada perairan yang
18
alkalinitasnya rendah akan menyebabkan peningkatan pH pada pagi hari karena adanya peningkatan pada sistem penyangga (peningkatan ion OH-) yang selanjutnya menyebabkan perubahan pH air harian tidak terlalu berfluktuatif (Boyd 1988). Fungsi kalsium dalam proses osmoregulasi sehubungan dengan stabilitas permeabilitas branchial insang dalam mengatur transport natrium (Na+) dan air (Potts 1984). Menurut Wood (2000), kalsium akan berikatan dengan komponen protein membran untuk mengubah fluiditas dalam membran. Fungsi kalsium berhubungan dengan perkembangan chanel khusus dalam membran sel yang berpengaruh penting dalam menentukan permeabilitas sel dari ion Na+ dan K+. Efek kalsium melalui kandungan ion ini dalam pori sel yang dapat mempengaruhi transepithial menjadi positif yaitu mengurangi pengeluaran Na+ melebihi pengeluaran Cl- dalam sel (Potts 1984). Suatu penelitian telah melaporkan bahwa konsentrasi kalsium eksternal berpengaruh terhadap keseimbangan osmotik pada ikan pinfish air laut (Lagodon rhomboides) selama pemeliharaan di air bersalinitas rendah (Carrier & Evans 1976). Konsentrasi kalsium media sekitar 10 mmol dapat mempengaruhi permeabilitas insang untuk ion Na+ sehingga kadar ion ini dalam tubuh tetap tinggi. Namun, peningkatan efflux ion Na+ ke luar tubuh ditunjukkan pada media tanpa suplementasi Ca2+ yang meningkatkan mortalitas ikan hingga 96%. Fungsi kalsium lainnya adalah dalam pembentukan jaringan keras dari tulang, eksoskeleton, sisik, dan gigi. Selama proses pembentukan jaringan tubuh ini, kalsium berperan utama karena 99% kalsium dalam tubuh terdapat dalam jaringan terutama tulang atau eksoskeleton (Piliang 2005). Secara singkat, Larvor (1983) menyebutkan bahwa proses pembentukan eksoskeleton meliputi produksi awal osteoid dari osteoblasts, pematangan osteoid, permulaan mineralisasi, kemudian terjadi mineralisasi. Menurut Georgievskii VI (1982), ada beberapa tahapan mineralisasi jaringan tulang atau eksoskeleton (Gambar 3). Produksi pertama dari sintesa eksoskeleton yaitu matriks organik (kolagen), mukopolisakarida, kompleks protein karbohidrat, dan ATP. Selama tahap ini, medium diperkaya dengan ion kalsium dan fosfat yang diabsorbsi dari mukopolisakarida tanpa ada pembentukan
19
Sintesis protein
Metabolisme lipid dan fosfolipid metabolism
Glikolisis
Biosintesis mukopolisakarida
PO43UTP
Kolagen
Ca2+
Mg2+ Cl+
Na CO3
2-
Kompleks protein-karbohidrat complexes
ATP
Pusat Kristalisasi
Garam tulang
Siklus Krebs
Sitrat organik P
PO43-
K+
Gambar 3 Reaksi-reaksi metabolisme dalam mineralisasi tulang (Georgievskii VI 1982). pusat kristalisasi. Mukopolisakarida sendiri memiliki afinitas tinggi ion kalsium dan fosfor. Sebelum mineral-mineral mulai terdeposit dalam zona mineralisasi, oksigen disalurkan dalam aliran darah. Kemudian, proses oksidasi dan produksi ATP terjadi secara intensif. Peningkatan aktivitas osteoblast melalui enzim alkaline phosphatase mempengaruhi produksi substansi dasar dan kompleks protein karbohidrat. Adanya hidrolisis kolagen ini melepas sejumlah besar hidroksiprolin yang akan terbuang ke urin. Kelompok reaktif yaitu sisi rantai asam amino yang memiliki kemampuan spesifik sebagai pusat kristalisasi dilepaskan membentuk jaringan kolagen. Kelompok-kelompok reaktif kolagen selanjutnya bereaksi dengan fosfat dan kalsium yang sebelumnya mengelilingi mukopolisakarida, dan membentuk pusat kristalisasi. Komposisi penyusun jaringan tulang terdiri dari bahan dasar organik/kolagen (38%), anorganik (32%), dan air (20%) yang dapat bervariasi menurut umur, makanan, dan tempat hidup.
20
Kebutuhan kalsium untuk udang laut secara individual dan interaksinya telah terkandung dalam alkalinitas, pH, dan karbondioksida dari air kultur sehingga udang tidak membutuhkan suplemen kalsium pakan. Kandungan dalam media dapat mempengaruhi pengambilan kalsium oleh udang serta metabolisme yang terjadi saat mineralisasi kulit (eksoskeleton). Sedangkan udang air tawar yang hidup di perairan dengan kesadahan rendah membutuhkan suplementasi kalsium pakan. Sebagai contoh, alkalinitas tinggi sampai di atas 150 mg/l akan mengurangi toleransi kalsium pakan pada udang galah (M. rosenbergii). Namun, jika alkalinitas di bawah 100 mg/l dengan kesadahan berkisar antara 25-100 mg/l, penambahan kalsium dalam pakan akan meningkatkan sintasan dan pertumbuhan juvenil udang air tawar ini. Sedangkan untuk golongan penaeid, alkalinitas yang diperlukan lebih tinggi sekitar 150-200 mg/l CaCO3 (Wickins & Lee 2002). Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa kandungan kalsium yang tinggi dalam perairan dapat mempengaruhi mineralisasi kulit dan pertumbuhan krustasea. Efek kalsium media terhadap konsentrasi kalsium hemolimp telah diuji pada pemeliharaan ketam biru (C. sapidus) oleh Neufeld dan Cameron (1994). Pada perlakuan kalsium media 0,24 dan 0,10 mmol/l, konsentrasi kalsium hemolimp sekitar 5,6 dan 4,6 mmol/l, namun dengan meningkatnya kalsium media menjadi 1,4 mmol/l terjadi peningkatan konsentrasi kalsium hemolimp sekitar 8 mmol/l. Selanjutnya dengan hewan uji yang sama, Perry et al. (2001) menguji efek kalsium dalam air laut terhadap kalsifikasi eksoskeleton. Konsentrasi kalsium yang diturunkan sekitar 60-80% dari normal (kadar kalsium normal pada tiap salinitas dikalkulasi proporsional berdasarkan konsentrasi kalsium 400 mg/l pada 34,325 ppt) dapat menurunkan laju kalsifikasi eksoskeleton. Pengerasan kulit lunak terjadi lebih cepat (4±1 jam) pada konsentrasi kalsium normal, sedangkan pada salinitas 12 ppt dan 25 ppt dengan perlakuan kalsium rendah, pengerasan terjadi lebih lama (6±2 dan 9±3 jam). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa pemberian kapur dalam media sebanyak 50,5 g/ 0,36 m2 dapat meningkatkan pertumbuhan udang windu, P. monodon (Irawan 1988). Ganti kulit udang ini dapat ditingkatkan hingga 67,8% melalui
21
penambahan kapur sebanyak 75 mg/l dengan biji bungkil teh dalam media (Edi 1990). Efek kalsium juga telah diinvestigasi dari beberapa penelitian di media air tawar. Rukke (2002) melaporkan bahwa dalam pemeliharaan di danau perairan lunak, G. lacustris dan A. astacus membutuhkan kandungan kalsium antara 5-20 mg/l dalam media untuk meningkatkan sintasan, bobot kering kalsium, dan persentase kalsium tubuh, sedangkan konsentrasi kalsium di bawah 5 mg/l dapat membatasi produksi kedua jenis krustasea ini. Kaligis (2005) menyimpulkan bahwa alkalinitas minimum 110 ppm yang dicapai dengan penambahan kalsium karbonat (CaCO3) dibutuhkan pada pemeliharaan cherax red claw (C. quadricarinatus). Adanya peningkatan efisiensi pakan dan frekuensi ganti kulit berkontribusi langsung ke pertumbuhan lobster air tawar tersebut. Berdasarkan penelitian pada crayfish air tawar P. zealandicus, Hammond et al. (2006) melaporkan bahwa perlakuan konsentrasi kalsium minimum sekitar 10 mg/l mampu meningkatkan sintasan, namun perlakuan kalsium (0, 5, 10, 20, 80 mg/l) tidak berpengaruh pada pertumbuhan dan ganti kulit jenis krustasea ini. Potasium (K+) adalah suatu elemen intraselluler yang penting. Ion ini sangat berpengaruh dalam metabolisme ketika terjadi pengeluaran energi dibutuhkan untuk menjaga konsentrasi konstan gradien melewati dinding sel. Berbagai jenis bahan yang dibutuhkan sel dibawa melalui transpor aktif natrium (Na+) yang terhubungkan dengan transpor potasium (K+) di bagian dalam sel melalui sepasang pompa ion. Sistem ini menggunakan energi dari ATP yang termanfaatkan untuk aktivitas Na+K+-ATPase (Larvor 1983). Pada perairan air payau dan tawar, potasium merupakan unsur pokok yang ditemukan sedikit. Konsentrasi potasium mempengaruhi aktivitas enzim Na+K+ATP-ase pada krustasea yaitu dalam mempertahankan aktivitas enzim ini tetap konstan ketika terjadi fluktuasi salinitas lingkungan perairan (McGraw & Scarpa 2003). Di perairan salinitas rendah, potasium adalah mineral yang paling berkorelasi dengan sintasan postlarva vaname. Dari hasil investigasi komposisi mineral beberapa perairan di Amerika, Saoud et al. (2003) melaporkan bahwa sintasan vaname cenderung lebih tinggi pada perairan dengan konsentrasi K+ yang tinggi. Penelitian lainnya oleh McGraw dan Scarpa (2003) yang menguji efek K+
22
dengan mineral lain menunjukkan bahwa sintasan postlarva vaname tetap tinggi ketika dilakukan penambahan K+ sebanyak 10 ppm dalam media air tawar. Nilai sintasan dicapai sekitar 83-97% pada pemeliharaan selama 24 jam dan 77-83% pada pemeliharaan 48 jam. Sedangkan penggunaan mineral lain seperti Ca2+, Mg2+, dan SO4 menunjukkan kecenderungan penurunan sintasan. Penambahan K+ juga berpengaruh terhadap sintasan dan pertumbuhan udang vaname dalam jangka waktu pemeliharaan lebih lama. Davis et al. (2005) melaporkan bahwa penambahan K+ (bentuk larutan KCl dan KCl-MgCl) dalam media mampu mempertahankan sintasan benih vaname relatif tinggi (76,5-89,0%) setelah pemeliharaan 21 hari di media salinitas 4 ppt. Selanjutnya, dari hasil penerapan di tambak bersalinitas rendah, McNevin et al. (2004) melaporkan terjadi peningkatan produksi udang vaname mencapai 4.068 kg/hektar (awalnya 595 kg/hektar) ketika kandungan K+ dan Mg2+ ditingkatkan dari 6,2 ppm K+ ke 40 ppm K+ dan 4,6 ppm Mg2+ ke 20 ppm Mg2+. Sumber K+ dan Mg2+ yang digunakan adalah potasium klorida (KCl) dan potasium magnesium sulfat (Kmag: K2SO4.2MgSO4). Roy et al. (2007) melaporkan bahwa konsentrasi K+ media berbeda berpengaruh terhadap sintasan dan pertumbuhan udang vaname. Hasil penelitian selama pemeliharaan 14 hari dengan menggunakan postlarva menunjukkan bahwa media dengan konsentrasi K+ 10, 20, 40 ppm dalam media buatan 4 ppt mampu mempertahankan sintasan sekitar 46,3-55,0%, sedangkan pada konsentrasi K+ terendah (5 ppm), nilai sintasan yang dicapai hanya 21,25%. Nilai sintasan dan pertumbuhan individu tertinggi ditunjukkan pada media pengenceran air laut 4 ppt (kontrol) yaitu sekitar 78% dan 0,132 g. Hasil uji selanjutnya dengan menggunakan juvenil vaname selama pemeliharaan 49 hari menunjukkan peningkatan nilai sintasan pada perlakuan K+ 10-40 ppm serta kontrol (93,3-96,7%). Seperti hasil penelitian pertama, sintasan terendah (23,3%) ditunjukkan pada media dengan konsentrasi K+ 5 ppm. Nilai osmolaritas hemolimp, konsumsi oksigen, dan laju mineralisasi hepatopankreas yang terukur relatif sama pada semua perlakuan. Juvenil vaname mencapai pertumbuhan maksimal sekitar 4,9 g pada media kontrol 4 ppt.
23
Kebutuhan Nutrien Udang Protein merupakan komponen pakan yang dibutuhkan sebagai sumber energi maupun dalam pembentuk jaringan tubuh. Apabila kebutuhan energi dari sumber karbohidrat dan lemak tidak mencukupi, konsumsi protein berlebih dari yang dibutuhkan, ataupun kualitas protein rendah, maka protein akan digunakan sebagai sumber energi dan terbatas untuk pertumbuhan (Phillips Jr 1969). Berbeda dengan hewan mamalia, ikan dan hewan air umumnya memperoleh energi dari protein (Brett & Groves 1979). Susunan asam amino yang terkandung dalam bahan sumber akan menentukan kualitas protein. National Research Council (1983) menyatakan bahwa udang membutuhkan 10 jenis asam amino esensial untuk pertumbuhan, yaitu : arginin, histidin, isoleusin, leusin, lisin, valin, metionin, fenilalanin, treonin dan triptofan. Untuk kebutuhan energi, asam amino dideaminasi sehingga menghasilkan amoniak dan rantai karbon. Selanjutnya terjadi oksidasi menghasilkan energi. Bentuk sampingan diekskresikan melalui insang dan ginjal. Ekskresi nitrogen akan lebih rendah dari ikan yang diberi pakan protein kualitas tinggi dibanding protein kualitas rendah. Kualitas protein tergantung dari kecernaan dan nilai biologis protein yang ditentukan oleh kualitas dan kuantitas asam amino penyusun protein (Furuichi 1988). Kebutuhan protein didefinisikan sebagai jumlah protein yang dibutuhkan setiap hewan air atau setiap biomassa perhari yang disesuaikan kecernaan pakan (Kureshy & Davis 2002). Beberapa faktor biotik yang mempengaruhi kebutuhan protein yaitu spesies, keadaan fisiologis, ukuran, dan karakteristik pakan (kualitas protein dan ratio energi protein), sedangkan faktor abiotik adalah suhu dan salinitas. Berbagai penelitian telah melaporkan akan kebutuhan protein vaname di air bersalinitas tinggi. Colvin dan Brand (1977), diacu dalam Cuzon et al. (2004) mencatat bahwa kebutuhan protein untuk juvenil vaname adalah kurang dari 30%, sedangkan untuk postlarva sekitar 30-35%. Untuk ukuran juvenil, hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa kadar protein lebih tinggi dibutuhkan. Cousin (1995), diacu dalam Kureshy dan Davis (2002) menyarankan pemberian protein sekitar 30-35%. Hasil penelitian Kureshy dan Davis (2002) menunjukkan
24
pertumbuhan juvenil dan pradewasa vaname lebih tinggi dengan pemberian protein pakan 32% dibandingkan 15% dan 48%. Akan tetapi, pemberian pakan berkadar protein 48% menghasilkan nilai efisiensi pakan lebih tinggi dibandingkan kadar protein 32% yang mengindikasikan kadar protein optimum yang dibutuhkan kemungkinan di atas 32%. Pascual et al. (2004) kemudian melakukan evaluasi pengaruh pakan dengan kadar protein 5%, 15%, dan 40% terhadap pertumbuhan, efisiensi asimilasi, dan kapasitas imun udang. Laju pertumbuhan tertinggi juvenil dicapai dengan pemberian pakan berkadar protein 40%, sedangkan terendah dengan pakan berkadar protein 5%. Penurunan laju pertumbuhan pada perlakuan protein 5% berkaitan dengan terjadinya peningkatan metabolisme
dan
penurunan
kapasitas
imun
lewat
penurunan
OxyHC
(hemosianin), konsentrasi hemosit, dan kapasitas phagositosis. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, disarankan pemberian protein dalam pakan untuk juvenil vaname di atas 35%. Sehubungan dengan terjadinya stres fisiologis unik yang diiringi peningkatan ongkos energetik saat budidaya udang di perairan salinitas rendah, maka secara potensial kebutuhan protein dapat berbeda dengan kebutuhan protein di air salinitas tinggi (Roy 2006). Untuk kajian di salinitas rendah, perlu diketahui kebutuhan protein pada vaname karena berpotensi mempengaruhi kemampuan udang untuk osmoregulasi pada kondisi demikian. Asam amino bebas yang terkandung dalam protein memainkan peran penting dalam osmoregulasi dan dapat merupakan sumber energi umum yang dibutuhkan untuk mempertahankan pompa ion bagi pertukaran ion dan ongkos energi lainnya terkait dengan osmoregulasi (Davis et al. 2002). Lemak pakan merupakan sumber energi dan sumber asam lemak esensial. Ikan membutuhkan lemak untuk kebutuhan energi, struktur sel, dan ketahanan integritas biomembran. Lemak dalam bentuk trigliserida akan dihidrolisis secara lengkap dalam saluran pencernaan menjadi gliserol dan asam lemak. Ada dua macam asam lemak yaitu asam lemak non esensial dan asam lemak esensial yang harus diperoleh dari luar tubuh (Furuichi 1988). Asam lemak esensial (EFA) yang berasal dari kelompok HUFA (High Unsaturated Fatty Acid) dan PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) mempunyai
25
peranan penting untuk kegiatan metabolisme, komponen membran (fosfolipid dan kolesterol), sebagai senyawa awal prostaglandin, tromboksan, prostasiklin, dan leukotrin (BNF 1992), serta berfungsi dalam pengangkutan nutrien bukan lemak terutama vitamin A, D, E, dan K (Furuichi 1988). Beberapa asam lemak yang esensial untuk krustasea adalah 18:2ω-6 (asam linoleat), 18:3ω-3 (asam linolenat), 20:5ω-3 (asam eikosapentaenoat, EPA), dan 22:6ω-3 (asam dokosahexaenoat, DHA) (Gonzalez-Felix et al. 2003). EPA dan DHA bermanfaat dalam mendukung sintasan dan pertumbuhan pada berbagai jenis krustasea. Hasil penelitian Gonzalez-Felix et al. (2002), diacu dalam Gonzalez-Felix et al. (2003) menunjukkan bahwa n-3 HUFA (High Unsaturated Fatty Acid) seperti EPA dan DHA lebih penting daripada PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) untuk pertumbuhan udang vaname (L. vannamei). Selanjutnya, Wahyudin (2005) mencatat bahwa terjadi peningkatan sintasan udang vaname sekitar 70,8-84,2% dengan pemberian rotifer yang diperkaya sumber lemak minyak ikan, minyak cumi, dan A1 DHA Selco, sedangkan dengan perlakuan rotifer tanpa pengkayaan menunjukkan sintasan lebih rendah (45,5%). Peran HUFA juga telah diuji pada udang windu (P. monodon). Kontara et al. (1995), diacu dalam Lavens dan Sorgeloos (2000) melaporkan bahwa pengkayaan Artemia dengan HUFA konsentrasi tinggi ternyata mampu meningkatkan sintasan hingga 87% saat dilakukan penurunan mendadak salinitas media. Hasil yang sama dilaporkan Rees et al. (1994), diacu dalam Lavens dan Sorgeloos (2000) bahwa terjadi penurunan mortalitas udang windu sekitar 10% ketika pakan alami Artemia diperkaya HUFA dosis tinggi, 31 mg/g (rasio DHA/EPA: 0,5). Kebutuhan kalsium dan fosfor dalam pakan adalah penting sehubungan dengan peran dalam struktur tulang dan metabolisme. Bentuk kristalin utama kalsium dan fosfor dalam tulang adalah hydroxyapatite, Ca10(PO4)6(OH)2. Pada vertebrata, vitamin D (1,25 dihydroxycholecalsiferol) berfungsi sebagai hormon dalam mempertahankan konsentrasi serum kalsium dan fosfor yaitu melalui perubahan laju absorbsi pada usus (lewat ikatan Ca2+-protein), penyerapan di ginjal, dan mobilisasi dari tulang (Larvor 1983; Davis & Gatlin III 1991). Pemahaman mengenai kalsium dalam tubuh telah diketahui, tapi bagian fosfor sulit untuk dianalisa karena metabolisme yang lebih kompleks termasuk
26
peran dalam metabolisme energi. Selain berperan dalam struktur tulang, fosfor merupakan bagian dari RNA dan DNA serta berfungsi esensial dalam fosforilasi metabolisme energi (Larvor 1983). Kecepatan pengambilan fosfor dari badan air hanya sekitar 0,001 ppm (Hilton 1989), sementara kadar ion ini di air laut sangat rendah, sekitar 0,003 ppm (Adey & Loveland 1991). Oleh karena itu, fosfor merupakan nutrien terbatas paling utama di lingkungan. Fakta ini menunjukkan kurangnya tingkat optimum rasio Ca/P dalam pakan bagi kebanyakan spesies ikan (Hilton 1989). Interaksi kalsium dengan fosfor dalam pakan dilaporkan dapat meningkatkan pertumbuhan udang vaname. Davis et al. (1992) melaporkan bahwa pakan dengan kandungan mineral berbeda tidak mempengaruhi sintasan dan pertumbuhan juvenil vaname. Hasil penelitian Davis et al. (1993) kemudian menunjukkan bahwa keseimbangan kalsium dan fosfor diperlukan dalam pakan selama pemeliharaan juvenil di media salinitas 28 ppt. Pemberian kalsium tanpa fosfor dalam pakan tidak mempengaruhi pertumbuhan. Namun, pertumbuhan yang tinggi teramati pada perlakuan kandungan kalsium 2% dengan fosfor 1% (rasio Ca/P : 2:1) dan kalsium 1% dengan fosfor 1% (rasio Ca/P 1:1). Peningkatan kalsium 3-4% dalam pakan justru menurunkan laju pertumbuhan. Berdasarkan penelitian di salinitas rendah oleh Cheng et al. (2006), rasio Ca/P pakan memperlihatkan respon pertumbuhan berbeda pada juvenil vaname dibandingkan di salinitas normal. Perlakuan merupakan kombinasi kalsium (0, 1, 2%) dan fosfor (0; 0,5; 1; 1,5; 2%) dalam pakan. Dari hasil penelitian tersebut, pertumbuhan, sintasan, dan mineralisasi jaringan tubuh secara nyata dipengaruhi kadar kalsium, fosfor, dan interaksi antara kalsium dan fosfor. Pemberian fosfor dalam pakan tergantung dari kadar kalsium pakan. Kesimpulan yang didapat bahwa pakan dengan kadar 1% kalsium dan 1,5 - 2% fosfor (Rasio Ca/P : 1:1,5 atau 1:2) adalah cocok untuk pertumbuhan maksimal. Bentuk persenyawaan kalsium dan fosfor telah diuji pada ikan rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) oleh Satoh et al.(1993). Perlakuan merupakan variasi dari kadar fosfor dengan berbagai mineral lain dalam pakan. Perbandingan kadar kalsium dan fosfor dalam pakan sekitar 9,9:25,0 (monokalsium fosfat: Ca(H2PO4)2), 22,7:27,2 (dikalsium fosfat: CaHPO4), dan 27,1:24,0 (trikalsium
27
fosfat: Ca3(PO4)2). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan lebih tinggi pada
pakan
yang
mengandung
dikalsium
fosfat
(CaHPO4)
dibanding
monokalsium fosfat (Ca(H2PO4)2 dan trikalsium fosfat (Ca3(PO4)2. Proporsi dari kalsium terhadap fosfor juga mempengaruhi penyerapan dari Zn. Perlakuan pakan dengan dikalsium fosfat (CaHPO4) mampu meningkatkan penyerapan Zn sehingga menurunkan kekerdilan dan katarak, sedangkan peningkatan kalsium (trikalsium
fosfat)
dalam
pakan
dapat
menghambat
ketersediaan
Zn.
Suplementasi dengan dikalsium fosfat (pakan dengan rasio Ca/P sekitar 1:1,2 atau 1:1) merupakan proporsi yang seimbang untuk peningkatan pertumbuhan.
28
BAHAN DAN METODE Ruang Lingkup Penelitian Kajian penelitian ini meliputi: (1) ketahanan hidup postlarva vaname selama tahapan aklimatisasi ke salinitas rendah, (2) perkembangan dan ketahanan hidup postlarva setelah tahapan aklimasi dengan adanya penambahan mineral pada media, serta (3) peningkatan pertumbuhan postlarva lewat pengkayaan pakan buatan selama pemeliharaan di air bersalinitas rendah. Sebagai input yang dirancang untuk perlakuan yaitu penambahan mineral kalsium (Ca2+) selama aklimasi ke salinitas rendah berbeda dan salinitas 2 ppt pada penelitian tahap-1, penambahan mineral potasium (K+) dalam media pada penelitian tahap-2, serta pemberian protein dan kalsium pakan dalam penelitian tahap-3. Seluruh kegiatan penelitian disajikan dalam Gambar 4. Setiap tahapan penelitian merupakan rangkaian saling berkaitan. Data yang diukur pada udang umur PL 20 hingga juvenil. Pengambilan data dilaksanakan selama kira-kira 6 minggu penelitian berlangsung. Hasil percobaan tahapan aklimasi salinitas pada penelitian tahap-1 merupakan bentuk keberhasilan dari proses adaptasi yang terukur dari nilai gradien osmotik, tingkat konsumsi oksigen, dan sintasan. Hasil penelitian awal dijadikan pedoman untuk penelitian tahap kedua yang berlanjut pada penelitian tahap ketiga.
SELESAI
START
PL 10
PL 20
25 ppt TAHAP AKLIMATISASI LABORATORIUM
25 ppt
0,2,4,6 ppt
TAHAP AKLIMASI SALINITAS (Penelitian 1) Perlakuan Ca 2+ Media Pada 0,2,4,6 ppt Perlakuan Ca2+ pada 2 ppt
Juvenil udang (4-6 minggu)
PL 24
+ Ca2+ pada 2 ppt
Gambar 4 Skema urutan kegiatan penelitian.
2 ppt TAHAP PEMELIHARAAN (Penelitian 2 dan 3) + K+ Media + Protein & Ca2+ Pakan
29
Penelitian Tahap Pertama Waktu dan Tempat Penelitian tahap pertama dilakukan di Laboratorium Fisiologi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Sebelumnya, dilakukan persiapan peralatan instalasi pemeliharaan dan pengadaan benih vaname. Lama penelitian sekitar 14 hari, mencakup: tahapan aklimatisasi selama 10 hari, kemudian percobaan aklimasi ke salinitas 2 ppt selama 4 hari (96 jam). Analisa selanjutnya berlangsung di beberapa tempat. Pengukuran tekanan osmotis hemolimp dan media di lakukan di Laboratorium Embriologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB. Pengambilan data respirasi di Laboratorium Fisiologi, FPIK. Sedangkan analisa kualitas air dilakukan di Laboratorium Lingkungan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Rancangan Percobaan Penelitian tahap pertama terdiri dua seri percobaan. Percobaan pertama bertujuan mengkaji pengaruh penambahan berbagai kadar kalsium pada berbagai salinitas media terhadap sintasan postlarva vaname. Rancangan yang digunakan adalah model faktorial terdiri 16 perlakuan dengan 3 ulangan dibedakan berdasarkan penurunan salinitas (0 ppt, 2 ppt, 4 ppt, 6 ppt) dengan penambahan kalsium
karbonat (0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 150 ppm) dalam media pengencer
air tawar. Percobaan kedua merupakan pengulangan dari percobaan pendahuluan pada salinitas akhir 2 ppt. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap terdiri 5 perlakuan dengan 3 ulangan. Perlakuan ditentukan berdasarkan penambahan kalsium (CaCO3) dalam air tawar yang disajikan sebagai berikut : Perlakuan A : Tanpa penambahan kalsium (kadar kalsium 20 ppm) Perlakuan B : Penambahan 50 ppm kalsium (kadar kalsium 70 ppm) Perlakuan C : Penambahan 100 ppm kalsium (kadar kalsium 120 ppm) Perlakuan D : Penambahan 150 ppm kalsium (kadar kalsium 170 ppm) Perlakuan E : Media salinitas 25 ppt (kontrol)
30
Pelaksanaan Percobaan Pengkayaan Pakan Alami Pakan alami yang digunakan yaitu kista Artemia salina dari Blue Marine dengan hatching rate 80%. Wadah untuk penetasan berupa akuarium berukuran 15 × 15 × 15 cm yang telah dilengkapi aerator. Wadah ini diisi air laut bersalinitas 25 ppt sebanyak 3 liter kemudian dimasukkan kista artemia sebanyak 5 g/l air. Setelah kista menetas menjadi nauplius, dilakukan pemanenan. Peralatan yang digunakan berupa saringan plankton net (diameter 120 μm) dengan wadah lain sebagai penampung. Sebelum diberikan ke postlarva, nauplius Artemia diperkaya dengan HUFA berupa minyak ikan. Wadah yang digunakan untuk pengkayaan adalah akuarium dengan volume 5 liter. Kepadatan nauplius Artemia sekitar 300.000 individu/l. Pengkayaan dengan HUFA dilakukan selama 6 jam. Dosis pengkayaan untuk 5 liter media dibutuhkan 0,25 ml minyak ikan yang dicampur 0,12 g ragi roti, 0,005 g kuning telur, dan 50 ml air. Campuran ini dibuat emulsi dengan menggunakan blender selama 5 menit, kemudian disimpan di refrigerator. Penyediaan pakan alami dilakukan setiap hari selama tahapan aklimatisasi laboratorium dan pelaksanaan percobaan. Aklimasi Salinitas Hewan uji yang digunakan adalah postlarva vaname. Benih diambil dari balai pembenihan (hatchery) yang berasal dari pemijahan satu induk untuk meminimalkan
variasi
unit
percobaan.
Sebelum
digunakan,
postlarva
diaklimatisasi pada kondisi laboratorium selama 10 hari dari PL 10 hingga PL 20. Stok postlarva sekitar 2000 individu dimasukkan dalam 2 wadah akuarium ukuran 60 × 30 × 40 cm yang telah diaerasi. Media pemeliharaan berupa air bersalinitas 25 ppt. Pemberian pakan alami ke benih vaname dilakukan kontinyu 4 kali per hari hingga postlarva berumur 20 hari (PL 20). Wadah pemeliharaan untuk percobaan tahap pertama dan kedua berupa akuarium kaca berukuran 30 × 30 × 40 cm. Jumlah wadah pada percobaan tahap pertama sekitar 58 unit, sedangkan tahap kedua sekitar 12 unit. Konstruksi wadah
31
Y3.3
Y1.1
Td
Tc
Y4.1
Y3.1
Y2.3
Y4.2 Pa
Ta
Y3.2
Tb
Po
Y1.2
Y4.3
Y1.3
Y2.1
Keterangan : Y1.1 – Y4.3 Ta - Td Pa Po OP
OP
Y2.2
: : : : :
Wadah perlakuan 1 sampai 4 Tandon air perlakuan kalsium (0,50,100,150 ppm) Pipa-pipa penyalur air tawar Pipa penyalur oksigen Pompa oksigen
Gambar 5 Skema pengaturan wadah pada percobaan ke-2 dalam penelitian tahap pertama melalui tampak atas. wadah dilengkapi dengan sistem pengatur salinitas, thermometer, dan aerator. Sebelum digunakan, seluruh wadah dicuci dengan deterjen, selanjutnya disucihama dengan metilen blue dan kaporit. Wadah kemudian ditempatkan di atas meja beton dan diatur secara acak sesuai satuan percobaan. Di samping wadah-wadah percobaan, juga dipasang 4 unit wadah tempat air tawar (media perlakuan) yang ditempatkan lebih tinggi untuk memudahkan dalam mengalirkan air tawar ke setiap wadah perlakuan. Untuk menjaga kestabilan suhu media maka ruangan kultur dilengkapi penerangan lampu. Skema pengaturan wadah perlakuan ditampilkan pada Gambar 5. Media pemeliharaan yaitu air laut yang berasal dari perairan pantai Ancol Jakarta. Sebelum digunakan, air diendapkan selama kira-kira 7 hari dalam bak penampung dengan diaerasi. Media air laut bersalinitas sekitar 30 ppt kemudian diencerkan menjadi salinitas 25 ppt. Teknik pengenceran salinitas menggunakan rumus :
Va x Na = V1 x N1 Keterangan : Va
= Volume akhir yang dikehendaki (l)
Na
= Salinitas akhir yang dikehendaki (ppt)
V1
= Volume air laut yang diencerkan (l)
N1
= Tingkat salinitas air laut yang diencerkan (ppt)
32
Media perlakuan
yang berbeda kandungan kalsium dibuat dari
pengenceran larutan kalsium yang bersumber dari kapur pertanian (CaCO3). Bahan kapur ini ditambahkan ke dalam air dengan volume tertentu sehingga didapatkan larutan baku berkalsium tinggi. Selanjutnya kandungan kalsium (kesadahan kalsium) ditentukan dengan metode titrasi (Hariyadi et al. 1992). Pengadaan media perlakuan yang berbeda kadar kalsiumnya (0, 50, 100, 150 ppm) didasarkan pada metode pengenceran dengan rumusan berikut: NA.VA = N1.V1. + N2.V2. + ... + Nn.Vn. Keterangan : NA = konsentrasi kalsium akhir (ppm) VA = volume larutan kalsium akhir (l) N1 = konsentrasi baku (ppm) V1 = volume larutan kalsium baku (l) N2 = konsentrasi larutan kalsium 2 (ppm) V2 = volume larutan 2 (l) Nn = konsentrasi larutan ke-n (ppm) Vn = volume larutan ke-n (l). Pada percobaan pertama, sekitar 50 individu postlarva umur 20 hari (PL 20) dimasukkan ke dalam wadah-wadah percobaan akuarium ukuran 30 × 30 × 40 cm. Total perlakuan adalah 16 dengan 3 ulangan. Penurunan salinitas dilakukan dengan cara menambahkan media air tawar yang mengandung kalsium. Setiap wadah diisi air bersalinitas 25 ppt sekitar 2,7 liter yang selanjutnya diturunkan secara gradual hingga salinitas perlakuan akhir 0 ppt, 2 ppt, 4 ppt, dan 6 ppt. Debit air tawar diatur sehingga lama penurunan salinitas sama pada semua wadah perlakuan. Selama tahapan aklimasi ke salinitas rendah, pakan Artemia diberikan secara at libitum dengan jumlah sekitar 300 ind/PL. Frekuensi pemberian pakan 4 kali dalam sehari, dilakukan pada pagi (pukul 07.00), siang (pukul 12.00), sore (pukul 17.00), dan malam hari (pukul 20.00). Urutan kegiatan dalam seri percobaan kedua seperti yang dilakukan sebelumnya. Udang berumur 20 hari (PL 20) secara bertahap diaklimasikan selama 4 hari. Penurunan salinitas dengan cara menambahkan media air tawar yang mengandung kalsium berbeda. Sekitar 80% media dari tiap wadah
33
ditambahkan setiap hari melalui penetesan hingga hari ke-4 mencapai salinitas 2 ppt. Selama penelitian, pengelolaan media air dilakukan secara seksama agar kualitas air tetap terjaga dengan baik. Kualitas air media dipertahankan pada keadaan yang mendukung sintasan postlarva melalui pengaturan suhu, salinitas, serta aerasi. Suhu media dimonitor tiap hari dengan tetap pada kisaran 27-290C. Penurunan salinitas diatur sehingga lamanya sama pada seluruh perlakuan. Demikian juga kadar oksigen, pengaturan melalui sistem aerasi dilakukan secara kontinyu setiap hari. Pengambilan Data Jumlah udang hidup dihitung setiap hari untuk menentukan sintasan postlarva. Banyaknya postlarva dapat bertahan hidup dimonitor secara kontinyu selama periode 4 hari penurunan salinitas. Di akhir percobaan bersamaan dengan pengambilan data sintasan, dilakukan pengukuran kualitas air tiap perlakuan. Perlakuan kalsium optimum digunakan untuk penelitian selanjutnya. Selain pengambilan data sintasan tiap hari, kegiatan lain pada percobaan kedua yaitu pengambilan data osmolaritas dan tingkat konsumsi oksigen. Gradien osmotik merupakan selisih dari osmolaritas cairan tubuh dan osmolaritas media. Gradien osmotik dan tingkat konsumsi oksigen ditentukan pada hari ke-4. Osmolaritas cairan tubuh dan osmolaritas media diukur secara bersamaan. Sekitar 10 individu dari tiap unit perlakuan dipisahkan, kemudian digerus dalam tabung ependorf. Selanjutnya jaringan tubuh udang disentrifus dengan kecepatan 6000 rpm. Bagian supernatan (cairan tubuh) dipisahkan sebanyak 50 µl, sedangkan sampel media diambil sebanyak 10 ml dari setiap wadah. Pengukuran osmolaritas menggunakan peralatan osmometer (OSMOMAT 030, Gonotec) yang secara prosedural disajikan pada Lampiran 1. Pengukuran tingkat konsumsi oksigen dilakukan pada keadaan standar (basal) untuk menentukan tingkat metabolisme udang selama mengalami stres aklimasi salinitas. Data dari seluruh perlakuan diambil saat hari ke-4. Sebanyak 10 individu postlarva tiap perlakuan dan salinitas normal (25 ppt) dipisahkan secara acak kemudian ditempatkan pada wadah akuarium kecil berukuran
34
15 × 15 × 15 cm yang berisi media perlakuan. Selanjutnya hewan uji dipuasakan selama 24 jam. Postlarva dimasukkan ke dalam wadah berisi 200 ml media perlakuan yang diberi penutup stirofom dan diaerasi penuh. Setelah mencapai jenuh oksigen, aerasi dihentikan. Pengukuran penurunan kandungan DO dalam media dilakukan saat awal (0 menit) dan 60 menit kemudian. Peralatan yang digunakan adalah DO-meter. Selanjutnya, untuk melihat besarnya energi yang dibutuhkan untuk aktivitas metabolisme standar (basal), data tingkat konsumsi oksigen dikonversikan ke pembelanjaan energi pada metabolisme basal (EB) menurut perumusan Brett dan Groves (1979). Parameter kualitas air yang diukur selama penelitian tahap pertama meliputi salinitas, suhu, pH, oksigen, kesadahan, amoniak, dan nitrit. Pengukuran suhu, salinitas, dan DO dilakukan secara in situ setiap hari. Sedangkan kandungan pH, alkalinitas, kesadahan, amoniak, dan nitrit diukur secara kimiawi yaitu saat awal dan akhir percobaan. Analisis Data Variabel yang diamati untuk respon metabolisme dan osmoregulasi adalah sebagai berikut : 1. Gradien Osmotik (Lignot et al. 2000) GO = │Osmolaritas hemolimp udang (mOsm/l H2O) Osmolaritas media (mOsm /l H2O)│ 2.
Tingkat Konsumsi Oksigen (Liao & Huang 1975) V × (DOto - DOtt) OC
= W × t
Keterangan : OC
= tingkat konsumsi oksigen (mgO2 /g . jam)
V
= volume air dalam wadah (l)
DOto
= konsentrasi oksigen terlarut awal pengamatan (mg/l)
DOtt
= konsentrasi oksigen terlarut pada waktu t (mg/l)
W
= bobot udang uji (g)
35
T
= periode pengamatan (jam)
3. Sintasan Postlarva (Effendie 2002) S (%) = (Nt /No) × 100 Keterangan : S
= persentase udang uji yang hidup (%)
Nt
= jumlah individu udang uji pada akhir penelitian (individu)
No
= jumlah individu udang uji pada awal penelitian (individu)
Untuk mengevaluasi pengaruh penambahan kalsium, keseluruhan data nilai tengah gradien osmotik, tingkat konsumsi oksigen, pembelanjaan energi pada metabolisme basal, dan sintasan diolah secara statistik dengan paket program SPSS (SPSS 15.00 for Windows, SPSS Inc, USA) dan Excel 2007 for Windows. Data dianalisis lanjut dengan uji Tukey dengan tujuan mengetahui perbedaan diantara nilai tengah variabel (Steel & Torrie 1991). Sedangkan data osmolaritas cairan tubuh, osmolaritas media, dan kualitas air diinterpretasikan dalam bentuk tabel. Penelitian Tahap Kedua Waktu dan Tempat Penelitian tahap kedua bertujuan menentukan kadar potasium optimal bagi kandungan potasium tubuh, gradien osmotik, tingkat konsumsi oksigen, sintasan, laju pertumbuhan bobot rerata harian, dan efisiensi pemanfaatan pakan. Tempat pelaksanaan di Laboratorium Fisiologi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Pengukuran kandungan potasium tubuh dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Hewan Perah, Fakultas Peternakan, IPB. Sedangkan pengukuran tekanan osmotis dilakukan di Laboratorium Embriologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB. Keseluruhan kegiatan penelitian yang dimulai dari pengadaan postlarva, aklimatisasi laboratorium, aklimasi ke salinitas rendah, dan tahap pemeliharaan berlangsung sekitar 57 hari. Percobaan dengan pengambilan data dilaksanakan selama 42 hari (6 minggu).
36
Rancangan Percobaan Metode
yang
digunakan
adalah
metode
eksperimental
dengan
menggunakan Rancangan Acak Lengkap. Percobaan terdiri atas 4 perlakuan dengan 3 ulangan berdasarkan penambahan potasium karbonat (K2CO3) dalam media pemeliharaan. Penentuan perlakuan yang diterapkan dalam penelitian tahap kedua adalah sebagai berikut : Perlakuan A : Tanpa penambahan K2CO3/ kontrol Perlakuan B : Penambahan 30 ppm K2CO3 Perlakuan C : Penambahan 60 ppm K2CO3 Perlakuan D : Penambahan 90 ppm K2CO3 Pelaksanaan Percobaan Aklimatisasi dan Pemeliharaan Wadah percobaan berupa akuarium kaca berjumlah 12 unit dengan ukuran 60 × 40 × 30 cm. Seluruh wadah dibersihkan dengan menggunakan kaporit. Selanjutnya wadah diatur secara acak menurut perlakuan. Untuk kebutuhan oksigen, setiap unit akuarium diaerasi dari aerator induk, serta dilengkapi pengukur suhu (thermometer). Gambaran penempatan wadah percobaan secara lebih jelas disajikan pada Gambar 6. Media perlakuan potasium dibuat terpisah-pisah dari pengenceran air laut. Sumber air tawar berasal dari air tanah yang telah diendapkan di laboratorium, sedangkan air laut berasal dari pantai Ancol, Jakarta yang didapatkan dari tempat penjualan komersil. Pengadaan media perlakuan diawali dengan pengenceran air laut bersalinitas 30 ppt menjadi 2 ppt. Selanjutnya, air dimasukkan ke 4 buah wadah (bak) masing-masing sebanyak 1000 liter. Bahan potasium karbonat (K2CO3) ditambahkan sebanyak 0 g, 30 g, 60 g, dan 90 g ke dalam media. Dari setiap wadah, kemudian diambil sampel sebanyak 100 ml untuk pengukuran kadar potasium terlarut. Konsentrasi potasium perlakuan diukur dengan peralatan Atomic Absorption Spectrofotometer (AAS, Shimadzu AA-680). Setelah diketahui konsentrasi perlakuan, media dimasukkan ke dalam akuarium dengan volume sekitar 45 liter per akuarium. Hewan uji yang digunakan melalui tahapan aklimasi dengan perlakuan
37
Gambar 6 Tata letak penempatan wadah penelitian tahap ke-2.
terbaik penelitian tahap-1. Postlarva sebelumnya diaklimatisasi dalam kondisi laboratorium selama 10 hari. Saat berumur sekitar 20 hari (PL 20), postlarva diaklimasi ke salinitas 2 ppt selama 4 hari. Media air tawar yang digunakan mengandung kalsium sekitar 70 ppm yang merupakan kadar optimal penelitian tahap pertama. Wadah akuarium berukuran 60 × 30 × 40 cm sebanyak 5 unit diisi media air laut 25 ppt sekitar 5,4 liter perakuarium. Selanjutnya, setiap wadah dimasukkan PL 20 sebanyak 400 individu. Selama tahapan aklimasi berlangsung, pakan alami Artemia yang diperkaya minyak ikan diberikan secara kontinyu sebanyak 4 kali perhari. Postlarva (PL 24) kemudian diberi campuran pakan alami dan pakan buatan (pelet). Menjelang percobaan, benih (PL 27) diseleksi dan ditimbang agar seragam digunakan sebagai hewan uji. Bobot awal rata-rata adalah 0,0382 g/individu. Setiap akuarium selanjutnya diisi postlarva berjumlah 10 individu. Pakan yang digunakan dalam penelitian tahap kedua berupa pakan buatan/pelet berbentuk crumble dengan kandungan protein sekitar 40% (Chuen shin, PT. Grobest Indomakmur). Sebelum digunakan, pakan diukur komposisi bahan penyusun dengan analisa proksimat. Jumlah pakan yang diberikan sekitar 8% dari bobot tubuh udang dengan frekuensi pemberian 4 kali
38
perhari. Sisa pakan yang tertinggal di dasar wadah dikumpulkan, dan pada akhir penelitian dikeringkan dan dihitung sebagai pakan tak terkonsumsi. Selama penelitian berlangsung, kualitas air media dijaga agar mendukung udang tetap hidup. Pengecekan kualitas air dilakukan dengan mempertahankan kisaran suhu air, oksigen terlarut, pH, serta amoniak pada kisaran ideal untuk pemeliharaan. Pergantian air dilakukan setiap hari sebanyak 20% dengan air media pengganti yang telah dipersiapkan sebelumnya. Penyiponan feses dan sisasisa pakan dilakukan pada sore hari sebelum pemberian pakan. Pengambilan Data Selain pengamatan sintasan, dalam penelitian tahap kedua dilakukan pengukuran bobot basah untuk menentukan pertumbuhan serta efisiensi pemanfaatan pakan. Kegiatan ini dilaksanakan pada hari pertama dan dilanjutkan setiap 7 hari selama 42 hari percobaan. Postlarva vaname ditimbang perpopulasi pada masing-masing wadah, kemudian dihitung rata-rata bobot individu. Data bobot pada awal dan akhir merupakan dasar penentuan laju pertumbuhan harian. Peralatan yang digunakan adalah timbangan elektrik dengan tingkat ketelitian 3 digit di belakang koma. Gradien osmotik dari tiap perlakuan potasium ditentukan dengan mengikuti prosedur yang dikemukakan dalam penelitian tahap pertama. Pengukuran osmolaritas dilakukan pada akhir penelitian. Sekitar 50 μl sampel cairan diambil dari 2 individu setiap unit percobaan, sedangkan jumlah sampel media sebanyak 10 ml. Sampel hemolimp dan air media kemudian dianalisis menggunakan osmometer (SOP OSMOMAT 030). Pengaruh perlakuan potasium media diukur secara kuantitatif berdasarkan konsentrasi potasium tubuh udang. Pengukuran dilakukan di akhir percobaan dengan menggunakan udang yang tidak sedang ganti kulit. Dari setiap wadah percobaan, diisolasi sekitar 3-4 individu, kemudian dilanjutkan preparasi sampel (Lampiran 2). Peralatan yang digunakan untuk pengukuran adalah AAS (Shimadzu AA-680). Prosedur pengukuran kandungan potasium tubuh disajikan pada Lampiran 3.
39
Data penunjang untuk melihat laju metabolisme didasarkan pengukuran tingkat konsumsi oksigen pada keadaan standar (basal) yang kemudian dikonversikan ke pembelanjaan energi pada metabolisme basal (EB). Prosedur pengukuran seperti pada penelitian tahap pertama. Sekitar 5 individu udang dalam masing-masing wadah percobaan dipuasakan selama 24 jam. Kemudian, kelompok udang ini dimasukkan dalam wadah stoples yang diisi media 0,5 liter dan sebelumnya telah diaerasi. Pengukuran DO media dilakukan saat awal (0 menit) dan 60 menit kemudian dengan menggunakan peralatan DO-meter. Setelah pengukuran, seluruh udang ditimbang untuk mendapatkan bobot total perunit perlakuan sebagai dasar dalam penentuan tingkat konsumsi oksigen. Pengukuran parameter kualitas air dilakukan pada beberapa periode waktu berbeda. Pengukuran suhu, salinitas, dan kandungan gas oksigen dilakukan setiap hari. Sedangkan pH, kesadahan, amoniak, dan kandungan nitrit diukur pada awal dan akhir penelitian. Dari setiap wadah diambil sekitar 100 ml untuk pengukuran pH dan amoniak. Analisis Data Untuk mengkaji pengaruh perlakuan potasium dalam media, beberapa variabel yang diukur selama penelitian tahap kedua adalah sebagai berikut : 1.
Kandungan potasium (K+) Kandungan potasium (mg/g) ditentukan dari pengukuran sampel seluruh tubuh udang tiap perlakuan (Davis et al. 1992).
2.
Gradien Osmotik (Lignot et al. 2000) GO = │Osmolaritas hemolimp udang (mOsm /l H2O ) Osmolaritas media (mOsm /l H2O)│
3.
Tingkat Konsumsi Oksigen (Liao & Huang 1975) V × (DOto - DOtt) OC = W × t Keterangan : OC
= tingkat konsumsi oksigen (mgO2 /g . jam)
40
4.
V
= volume air dalam wadah (l)
DOto
= konsentrasi oksigen terlarut awal pengamatan (mg/l)
DOtt
= konsentrasi oksigen terlarut pada waktu t (mg/l)
W
= bobot udang uji (g)
T
= periode pengamatan (jam)
Sintasan Postlarva (Effendie 2002) S (%) = (Nt / No) × 100 Keterangan :
5.
S
= persentase udang uji yang hidup (%)
Nt
= jumlah individu udang uji pada akhir penelitian (individu)
No
= jumlah individu udang uji pada awal penelitian (individu)
Laju Pertumbuhan Bobot Rerata Harian (Huisman 1976) LPRH (%) =
t
Wt
- 1
× 100
Wo Keterangan :
6.
LPRH
= laju pertumbuhan bobot rerata harian (%)
Wt
= bobot rata-rata individu pada waktu t (g)
Wo
= bobot udang pada awal percobaan (g)
t
= lama percobaan (hari)
Efisiensi Pemanfaatan Pakan (Takeuchi 1988) (Bt + Bd) – Bo × 100
EP (%) = F Keterangan : EP
= efisiensi pemanfaatan pakan (%)
Bt
= biomassa mutlak udang pada akhir percobaan (g)
Bd
= biomassa mutlak udang yang mati selama percobaan (g)
Bo
= biomassa mutlak udang pada awal percobaan (g)
F
= jumlah (g) pakan yang dikonsumsi oleh udang selama
41
percobaan, atau selisih antara total pakan awal dengan total pakan yang tersisa Seluruh data kandungan K+ tubuh, gradien osmotik, tingkat konsumsi oksigen, pembelanjaan energi pada metabolisme basal, sintasan, laju pertumbuhan bobot rerata harian, dan efisiensi pemanfaatan pakan dianalisa secara statistik dengan paket program SPSS (SPSS 15.00 for Windows, SPSS Inc, USA) dan Excel 2007 for Windows. Bila berbeda nyata (P<0,05), nilai tengah variabel dianalisa lanjut dengan menggunakan uji Tukey (Steel & Torrie 1991). Uji regresi dilakukan untuk melihat keeratan efek perlakuan terhadap variabel yang diukur. Sedangkan data osmolaritas media, osmolaritas hemolimp, dan kualitas air disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel. Penelitian Tahap Ketiga Waktu dan Tempat Penelitian tahap ketiga dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB selama 28 hari. Analisa proksimat dan kualitas air dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ikan dan Laboratorium Lingkungan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Kandungan kalsium dianalisis di Laboratorium Nutrisi Hewan Perah, Fakultas Peternakan, IPB, sedangkan rasio RNA/DNA di Laboratorium Marine Science Technology (MST), Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang dipakai adalah model eksperimental dengan desain Rancangan Faktorial. Percobaan terdiri atas 9 perlakuan (3×3) dengan pengulangan sebanyak 3 kali. Rancangan perlakuan didasarkan pada pemberian kadar protein (25, 35, 45%) dan kalsium (0, 2, 4 %) dalam pakan buatan. Komposisi bahan penyusun pakan perlakuan disajikan pada Tabel 2, sementara hasil analisis proksimat pakan ditampilkan pada Tabel 3.
42
Tabel 2 Komposisi bahan pakan percobaan Perlakuan protein dan kalsium pakan berbeda A (25;0)
Bahan Tepung ikan Tepung terigu Tepung kedelai Tepung rebon Minyak Ikan Minyak cumi Lecithin CMC* Selulosa Vitamin mix.*** Mineral mix.tanpa CaHPO4** CaHPO4 Total Keterangan : 1.
6,0 2,0 39,5 2,0 2,0 1,5 1,5 5,0 36,5 2,0 2,0 0,0 100,0
B (25;2) 6,0 2,0 39,5 2,0 2,0 1,5 1,5 5,0 32,5 2,0 2,0 4,0 100,0
C (25;4) 6,0 2,0 39,5 2,0 2,0 1,5 1,5 5,0 28,5 2,0 2,0 8,0 100,0
D (35;0)
E (35;2)
21,0 8,5 34,0 2,0 2,0 1,5 1,5 5,0 20,5 2,0 2,0 0,0 100,0
21,0 8,5 34,0 2,0 2,0 1,5 1,5 5,0 16,5 2,0 2,0 4,0 100,0
F (35;4) 21,0 8,5 34,0 2,0 2,0 1,5 1,5 5,0 12,5 2,0 2,0 8,0 100,0
G (45;0) 44,0 14,0 15,5 2,0 2,0 1,5 1,5 5,0 10,5 2,0 2,0 0,0 100,0
H (45;2) I (45;4) 44,0 14,0 15,5 2,0 2,0 1,5 1,5 5,0 6,5 2,0 2,0 4,0 100,0
44,0 14,0 15,5 2,0 2,0 1,5 1,5 5,0 2,5 2,0 2,0 8,0 100,0
CMC : Carboxyl Methyl Cellulose
2.
Komposisi Mineral mix (per 100 g) : NaCl 1,0 g, MgSO4.7H2O 15,0 g, NaH2PO4.2H2O 25,0 g, KH2PO4 32,0 g, Fe-citrate 2,5 g, Trace element mix. 1,0 g (100 g trace element : ZnSO 4.7H2O 35,3 g , MnSO4.4H2O 16,2 g, CuSO4.5H2O 3,1 g, CoCL2.6H2O 0,1 g, KlO3 0,3 g, selulosa 45 g ) (Takeuchi 1988)
3.
Komposisi Vitamin mix. (per 100 g) : vitamin B 1 6 mg, vitamin B2 10 g, vitamin B6 4 g, vitamin B12 0,01 mg, vitamin C 500 mg, Niacin 40 mg, Ca-pantothenate 10 mg, Inositol 200 mg, Biotin 0,6 mg, Folic acid 1,5 mg, p-Amino-benzoic acid 5 mg, vitamin K3 5 mg, vitamin A 4000 IU, vitamin D3 4000 IU (Takeuchi 1988)
43
Tabel 3 Komposisi proksimat dan kandungan kalsium pakan percobaan Pakan percobaan (perlakuan protein dan kalsium) Bahan
A (25;0)
B (25;2)
C (25;4)
D (35;0)
E (35;2)
F (35;4)
G (45;0)
H (45;2)
I (45;4)
Protein
26,15
26,59
26,48
35,80
36,12
35,56
46,59
46,43
46,36
BETN
34,0
34,24
32,65
33,57
33,26
33,28
29,72
30,29
30,22
Lemak
6,18
5,12
7,15
6,56
6,22
6,84
7,73
7,65
7,39
Serat Kasar
25,19
24,14
22,61
16,65
15,52
14,13
9,51
7,91
7,21
Kadar abu
8,48
9,91
11,11
7,42
8,88
10,19
6,45
7,72
8,82
242,92
242,92
242,92
337,57
337,57
337,57
434,14
434,14
434,14
C/P**
9,55
9,55
9,55
9,52
9,52
9,52
9,54
9,54
9,54
Kalsium
0,79
2,31
3,40
0,71
2,70
3,39
0,76
2,24
3,42
DE*
Keterangan : 1. DE : kandungan energi (kcal/g pakan) 2. C/P : rasio energi protein pakan
44
Pelaksanaan Percobaan Persiapan dan Pemeliharaan Stok postlarva sebagai hewan uji diperoleh berdasarkan hasil terbaik penelitian sebelumnya. Postlarva diaklimatisasi dalam kondisi laboratorium selama 10 hari, kemudian dilanjutkan tahapan aklimasi secara gradual dari salinitas 25 ppt ke 2 ppt selama 4 hari. Selama aklimasi hingga PL 24, pemberian pakan Artemia tetap dilakukan. Sebelum percobaan pertumbuhan dimulai, seluruh wadah percobaan diatur secara acak dalam suatu sistem resirkulasi. Tata letak wadah perlakuan disajikan dalam Gambar 7. Wadah berupa akuarium berukuran 60 × 30 × 40 cm dengan jumlah 27 unit menurut perlakuan yang diterapkan. Sebelum dimasukkan dalam wadah percobaan, air media bersalinitas 2 ppt dipersiapkan melalui pengenceran, selanjutnya ditambahkan CaCO3 dan K2CO3 sehingga kadar menjadi 70 ppm Ca2+ dan 41,44 ppm K+ yang merupakan kadar optimal penelitian sebelumnya. Setiap wadah akuarium diisi air media sebanyak 45 liter. Seluruh media kemudian diresirkulasi dengan menggunakan beberapa penyaringan terdiri dari kain kapas, kerikil, dan zeolit. Selama penelitian berlangsung, media diaerasi untuk mempertahankan ketersediaan oksigen. Pengaturan lampu dalam ruangan juga dilakukan agar suhu tetap konstan. Pakan perlakuan dibuat 9 macam berdasarkan kadar protein (25%, 35%, 45%) dan mineral kalsium (0%, 2%, 4%). Sumber protein adalah tepung rebon, tepung ikan, dan bungkil kedelai. Rasio energi protein dari perlakuan ditetapkan sama. Penambahan mineral kalsium menggunakan dikalsium fosfat (CaHPO4). Ukuran pelet disesuaikan untuk postlarva yaitu bentuk crumble dengan diameter 0,5 mm. Sebelum dibuat, bahan baku pakan dianalisa proksimat untuk penyusunan komposisi pakan perlakuan. Analisa proksimat juga dilakukan setelah pakan dibuat dalam menentukan kadar bahan penyusun seluruh perlakuan. Pemeliharaan benih berlangsung selama 4 minggu. Saat memasuki percobaan, hewan uji pada stadia PL 25 diseleksi berdasarkan ukuran yang sama dengan bobot awal rata-rata sekitar 0,0279 g. Setiap akuarium ditebar udang sebanyak 15 individu. Pakan diberikan berkisar 8% dari bobot basah tiap hari
45
Gambar 7 Tata letak penempatan wadah penelitian tahap ke-3. dengan frekuensi 4 kali perhari, selanjutnya diatur tiap hari berdasarkan jumlah pakan terkonsumsi. Banyaknya pakan yang diberikan dan sisa pakan selama penelitian dicatat untuk penentuan tingkat konsumsi pakan yang nantinya dijadikan dasar untuk menghitung efisiensi pemanfaatan pakan. Untuk mempertahankan kualitas media pemeliharaan, sisa pakan dan kotoran dikeluarkan dari media dengan cara disipon yang dilakukan sore hari sebelum pemberian pakan. Setiap hari juga dilakukan pergantian air dalam tiap wadah dengan media baru sebanyak 10%. Pengambilan Data Pertumbuhan ditentukan lewat pengambilan data bobot udang dan rasio RNA/DNA. Bersamaan pengamatan jumlah udang yang hidup, dilakukan penimbangan bobot basah setiap 7 hari untuk penentuan efisiensi pakan dan pertumbuhan harian. Pengukuran bobot menggunakan timbangan digital 3 digit dibelakang koma. Evaluasi pertumbuhan selanjutnya berdasarkan pengukuran ratio RNA/DNA pada hari terakhir percobaan. Sekitar 1 individu udang yang tidak sedang ganti kulit dipisahkan dari tiap perlakuan, kemudian diambil bagian otot putih untuk dianalisa. Kandungan DNA dan RNA diukur dengan
46
menggunakan peralatan spektrofotometer (Gene Quant). Prosedur ekstraksi dan pengukuran DNA dan RNA ditampilkan di Lampiran 4-6. Untuk mengetahui kandungan protein kasar, kadar lemak kasar, serat kasar, kadar abu, kadar air, dan BETN dari tubuh hewan dilakukan uji proksimat mengikuti metode yang dikemukakan Takeuchi (1988). Analisa proksimat hewan uji dilakukan pada awal dan akhir percobaan, sedangkan untuk pakan dilakukan sebelum dan sesudah peramuan pakan. Untuk pengukuran proksimat hewan uji saat awal percobaan, dibutuhkan sekitar 200 individu udang karena disesuaikan dengan ukuran sampel, sedangkan pada akhir percobaan, dibutuhkan sekitar 2-3 individu diambil dari setiap unit percobaan. Analisa proksimat untuk protein kasar berdasarkan metode Kjeldhal. Tahapan preparasi sampel hingga analisis disajikan dalam Lampiran 7. Setelah diketahui kandungan proksimat dilakukan perhitungan retensi protein. Pengukuran kandungan kalsium tubuh dilakukan untuk mengetahui penyerapan kalsium pakan oleh udang. Peralatan yang digunakan adalah AAS (Shimadzu AA-680). Udang dalam keadaan fase intermolt atau pada bobot normal yang digunakan dalam pengukuran. Sekitar 2-3 individu dipisahkan dari setiap unit percobaan, kemudian dipreparasi dengan menggunakan bagian keseluruhan tubuh udang. Prosedur preparasi dan pengukuran kalsium seperti pengukuran potasium pada penelitian sebelumnya. Data kalsium tubuh awal, akhir, serta yang terkandung dalam pakan kemudian dicatat untuk menentukan retensi kalsium. Frekuensi ganti kulit dilakukan percobaan tersendiri. Wadah ukuran 15 × 15 × 15 cm diisi air media 2 ppt sekitar 2 liter, selanjutnya dimasukkan masing-masing 1 individu. Setiap perlakuan terdiri atas 3 ulangan. Untuk mensuplai kebutuhan oksigen, maka setiap wadah dilengkapi aerasi. Pakan perlakuan diberikan empat kali perhari. Pengambilan data dilakukan dengan menghitung jumlah ganti kulit setiap hari untuk menentukan frekuensi ganti kulit. Untuk menentukan kelayakan kualitas media terhadap udang uji, maka dilakukan pengukuran parameter kualitas air media yang dimulai sejak penelitian tahap awal. Parameter fisika kimia air yang diamati adalah suhu, salinitas, kandungan gas oksigen terlarut (Dissolved Oxygen), pH, alkalinitas, kesadahan, amoniak, dan nitrit. Pengukuran parameter suhu air dilaksanakan dua kali sehari.
47
Tabel 4 Parameter fisika kimia media selama percobaan Parameter
Kisaran
Suhu
27 – 28 0C
Salinitas
0 – 25 ppt
DO
6,1 – 7,7 mg/l
pH
7,2 - 8,54
Alkalinitas
32 – 400 mg/l
Kesadahan
24,02 – 143,28 mg/l
Amoniak
0,100 – 0,187 mg/l
Nitrit
0,121 – 0,275 mg/l
Kandungan gas oksigen terlarut diukur sekali seminggu, sedangkan pH, alkalinitas, kesadahan, amoniak, dan nitrit diukur tiga kali pada awal, tengah, dan akhir penelitian. Data kualitas air yang tersaji dalam Tabel 4 menunjukkan bahwa semua parameter yang diukur selama penelitian masih berada pada batas toleransi bagi budidaya udang vaname. Oleh karena itu, kondisi media pemeliharaan mampu mendukung terhadap sintasan dan pertumbuhan postlarva. Analisis Data Untuk mengetahui pengaruh pakan uji, beberapa variabel yang diukur adalah sebagai berikut : 1. Rasio RNA/DNA RNA (μg/mg sampel) = (RNA × D1 × V1) / W1 DNA (μg/mg sampel) = (DNA × D2 × V2) / W2 Keterangan : RNA
= konsentrasi RNA (μg/ml)
DNA
= konsentrasi DNA (μg/ml)
D1
= faktor pengencer untuk analisa RNA (40)
D2
= faktor pengencer untuk analisa DNA (20)
V1, V2
= volume larutan RNA dan DNA (ml)
48
W1, W2 = bobot sampel untuk analisis RNA dan DNA (mg) 2. Retensi Protein (Takeuchi 1988) Bobot protein tubuh akhir - bobot protein tubuh awal (g) RP (%) =
× 100 Bobot total protein yang dikonsumsi (g)
3. Retensi Kalsium (Takeuchi 1988) Bobot kalsium tubuh akhir - bobot kalsium tubuh awal (g) RCa (%) =
× 100 Bobot total kalsium yang dikonsumsi (g)
4.
Frekuensi Ganti Kulit Analisa frekuensi ganti kulit dilakukan berdasarkan jumlah keseluruhan ganti kulit pada setiap perlakuan.
5. Laju Pertumbuhan Bobot Rerata Harian (Huisman 1976) LPRH (%) =
t
Wt
- 1
× 100
Wo Keterangan :
6.
LPRH
= laju pertumbuhan bobot rerata harian (%)
Wt
= bobot rata-rata individu pada waktu t (g)
Wo
= bobot udang pada awal percobaan (g)
t
= lama percobaan (hari) Efisiensi Pemanfaatan Pakan (Takeuchi 1988) (Bt + Bd) – Bo × 100
EP (%) = F Keterangan : EP
= efisiensi pemanfaatan pakan (%)
Bt
= biomassa mutlak udang pada akhir percobaan (g)
Bd
= biomassa mutlak udang yang mati selama percobaan (g)
Bo
= biomassa mutlak udang pada awal percobaan (g)
49
F
= jumlah (g) pakan yang dikonsumsi oleh udang selama percobaan, atau selisih antara total pakan awal dengan total pakan tersisa.
7. Sintasan Postlarva (Effendie 2002) S (%) = (Nt / No) × 100 Keterangan : S
= persentase udang uji yang hidup (%)
Nt
= jumlah individu udang uji pada akhir penelitian (individu)
No
= jumlah individu udang uji pada awal penelitian (individu)
Seluruh data rasio RNA/DNA, retensi protein, retensi kalsium, frekuensi ganti kulit, laju pertumbuhan bobot rerata harian, efisiensi pemanfaatan pakan, dan sintasan diuji secara statistik (ANOVA) menggunakan program SPSS (SPSS versi 15.00 for Windows, SPSS Inc. USA), dan Excel 2007 for Windows. Uji Tukey digunakan selanjutnya untuk menentukan perbedaan nilai tengah di antara seluruh variabel (Steel & Torrie 1991). Untuk mengestimasi kadar optimal dari perlakuan, maka seluruh data nilai tengah variabel ditampilkan dalam bentuk tabel. Data kualitas air juga diinterpretasikan secara deskriptif.
50
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Tahap Pertama Pencobaan Pertama Nilai sintasan postlarva hari ke-4 dalam percobaan pertama ditunjukkan pada Gambar 8. Kisaran nilai sintasan seluruh perlakuan sangat lebar yaitu 0% hingga 100%. Perlakuan pada salinitas 2 ppt, 4 ppt, dan 6 ppt menunjukkan nilai sintasan tertinggi (100%) kemudian terjadi penurunan sintasan pada salinitas 0 ppt. Sintasan pada salinitas 2 ppt, 4 ppt, dan 6 ppt tidak dipengaruhi perlakuan kalsium, sedangkan pada salinitas 0 ppt dipengaruhi penambahan kalsium. Perlakuan B (0 ppt;50 ppm Ca2+), C (0 ppt;100 ppm Ca2+), dan D (0 ppt;150 ppm Ca2+) menunjukkan nilai sintasan yang tinggi atau relatif sama dengan yang dicapai di salinitas 2 ppt, 4 ppt, dan 6 ppt. Sedangkan nilai sintasan terendah yaitu 0% dicapai pada perlakuan A (tanpa penambahan kalsium). 100 90 80 70
S (%)
60 50 40 30 20 10 0
A
B
C
D
E
F
G H
I
J
K
L M N O
P
Kombinasi salinitas dan kalsium Gambar 8 Sintasan (S) postlarva L. vannamei setelah 4 hari percobaan pada berbagai kombinasi salinitas dan penambahan kalsium media, yaitu 0 ppt;0 ppm Ca2+ (A), 0 ppt;50 ppm Ca2+ (B), 0 ppt;100 ppm Ca2+ (C), 0 ppt;150 ppm Ca2+ (D), 2 ppt;0 ppm Ca2+ (E), 2 ppt;50 ppm Ca2+ (F), 2 ppt;100 ppm Ca2+ (G), 2 ppt;150 ppm Ca2+ (H), 4 ppt;0 ppm Ca2+ (I), 4 ppt;50 ppm Ca2+ (J), 4 ppt;100 ppm Ca2+ (K), 4 ppt;150 ppm Ca2+ (L), 6 ppt;0 ppm Ca2+ (M), 6 ppt;50 ppm Ca2+ (N), 6 ppt;100 ppm Ca2+ (O), 6 ppt;150 ppm Ca2+ (P).
51
Percobaan Kedua Hasil analisis pengaruh penambahan kalsium media yang terdiri atas variabel gradien osmotik, tingkat konsumsi oksigen, pembelanjaan energi pada metabolisme basal, dan sintasan terangkum pada Tabel 5. Tabel 5 Nilai gradien osmotik (GO), tingkat konsumsi oksigen (OC), pembelanjaan energi pada metabolisme basal (EB), dan sintasan (S) postlarva vaname (L. vannamei) yang terukur dalam percobaan kedua pada salinitas 2 ppt Variabel dan simpangan baku Perlakuan Kalsium
GO (mOsm/l H2O)
OC (mgO2/g.j)
EB (kcal/kg.j)
S (%)
A (0 ppm Ca2+)
656,0 ± 2,00a
2,93 ± 0,06a
9,676±0,203a
98,0 ± 2,0a
2+
B (50 ppm Ca )
652,7 ± 1,15a
2,84 ± 0,07a
9,368±0,222a 100,0 ± 0,0a
C (100 ppm Ca2+)
656,0 ± 3,46a
2,84 ± 0,12a
9,361±0,390a 100,0 ± 0,0a
657,0 ± 3,00a
2,92 ± 0,06a
9,643±0,217a 100,0 ± 0,0a
3,3 ± 1,15b
2,22 ± 0,08b
7,340±0,272b 100,0 ± 0,0a
D (150 ppm Ca2+) 2+
E (25 ppt, 412 ppm Ca )
Nilai tengah dengan tanda huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda nyata (P>0,05) Konversi O2 terhadap pembelanjaan energi pada metabolisme basal (EB), 1.000 mg O2/kg.j = 3,3 kcal/kg.j (Brett & Groves 1979)
Gradien Osmotik Perlakuan kalsium media berpengaruh terhadap gradien osmotik (GO) postlarva. Nilai GO didapat dari selisih antara osmolaritas cairan tubuh dengan osmolaritas media. Berdasarkan hasil pengukuran yang ditampilkan dalam Lampiran 9, penambahan kalsium berkorelasi langsung dengan peningkatan osmolaritas media. Hasil pengukuran osmolaritas cairan tubuh (hemolimp) dengan perlakuan kalsium didapat cenderung sama, namun osmolaritas cairan tubuh postlarva di salinitas 25 ppt masih lebih tinggi dibanding osmolaritas cairan tubuh di salinitas 2 ppt. Nilai osmolaritas cairan tubuh udang di media salinitas 25 ppt mendekati nilai osmolaritas media. Dari nilai osmolaritas media dan osmolaritas cairan tubuh, nilai GO pada seluruh perlakuan berkisar antara 3,3±1,15 – 657,0±3,00 mOsm/l H2O. Perlakuan kalsium menunjukkan respon GO
52
relatif sama pada seluruh perlakuan, sedangkan GO terendah pada media salinitas 25 ppt yaitu sekitar 3,3±1,15 mOsm/l H2O. Tingkat Konsumsi Oksigen Tingkat konsumsi oksigen (OC) adalah jumlah oksigen yang digunakan dalam proses oksidasi untuk menghasilkan energi. Rata-rata nilai OC yang terukur pada hari ke-4 tahapan aklimasi berkisar antara 2,22±0,08 mgO2/g.j pada perlakuan 25 ppt hingga 2,93±0,06 mgO2/g. j pada perlakuan A (0 ppm Ca2+) (Tabel 5). Penambahan kalsium memberikan pengaruh yang sama terhadap tingkat konsumsi oksigen. Walaupun tidak berbeda nyata di antara seluruh perlakuan kalsium, namun nilai tingkat konsumsi oksigen postlarva pada perlakuan A (0 ppm Ca2+), B (50 ppm Ca2+), C (100 ppm Ca2+), dan D (150 ppm Ca2+) berbeda dengan tingkat konsumsi oksigen postlarva di salinitas 25 ppt dengan lebih tinggi di salinitas rendah (Lampiran 14). Hasil pengukuran tingkat konsumsi oksigen postlarva selanjutnya dikonversi ke dalam energi/bobot per jam yang disebut pembelanjaan energi pada metabolisme basal (EB) untuk kebutuhan proses pemeliharaan di media salinitas rendah. Nilai EB yang terukur berkisar 7,340±0,272 hingga 9,676±0,203 kcal/kg.j (Tabel 5). Pemberian Ca2+ berbeda menunjukkan nilai EB relatif sama, namun penurunan terlihat pada perlakuan E (25 ppt). Hal ini mengindikasikan bahwa postlarva vaname membutuhkan energi lebih banyak untuk kebutuhan dasar di salinitas rendah. Sintasan Percobaan kedua dalam penelitian tahap pertama didesain untuk memverifikasi hasil sintasan yang didapat sebelumnya pada salinitas 2 ppt dengan uji lanjutan terhadap pengaruh perlakuan. Perlakuan penambahan kalsium pada salinitas akhir 2 ppt secara keseluruhan menunjukkan respon sintasan yang tinggi (98,0±2,0% – 100±0,0%) seperti media salinitas 25 ppt. Berdasarkan rangkuman nilai sintasan percobaan pertama dan kedua, nilai sintasan yang dicapai pada salinitas 2 ppt cenderung sama seperti yang dihasilkan pada percobaan pertama dengan salinitas akhir 2 ppt. Adanya penambahan dan tanpa penambahan kalsium memberikan respon sintasan relatif sama di salinitas 2 ppt.
53
Pembahasan Berdasarkan hasil observasi dalam percobaan pertama, adanya interaksi antara salinitas dengan penambahan kalsium media secara nyata mempengaruhi nilai sintasan postlarva. Hal ini terlihat dari menurunnya sintasan saat salinitas 0 ppt dengan tanpa penambahan kalsium, sedangkan pada media salinitas 2 ppt, 4 ppt, dan 6 ppt respon sintasan mencapai 100%. Laporan penelitian sebelumnya mencatat bahwa postlarva vaname hanya mampu diaklimasi hingga salinitas 1 ppt (Davis et al. 2002) dan 0,7 ppt (McGraw & Scarpa 2003). Penurunan salinitas hingga 0 ppt menyebabkan terjadi pengurangan secara drastis komposisi ion utama seperti Na+, Cl-, Mg2+, Ca2+, dan K+ yang meningkatkan kondisi stres akibat beban osmotik yang terlalu tinggi. Nilai sintasan mencapai 0% di perlakuan A (0 ppt;0 ppm Ca2+) merupakan respon dari beban osmotik yang melebihi batas normal di salinitas 0 ppt. Namun, fenomena sintasan relatif tinggi terjadi pada perlakuan B (0 ppt; 50 ppm Ca2+). Hasil percobaan ini mengindikasikan bahwa postlarva vaname membutuhkan penambahan kalsium sekurangnya 50 ppm selama tahapan aklimasi ke salinitas 0 ppt untuk mempertahankan sintasan tetap tinggi. Potts (1984) menyatakan bahwa kalsium berfungsi untuk stabilitas permeabilitas membran insang dalam pengaturan transport ion Na+ dan Cl-. Ion natrium (Na+) terkonsentrasi di luar sel (cairan tubuh) yang terhubungkan dengan ion potasium (K+) di bagian dalam sel merupakan sistem pompa ion untuk transport berbagai bahan yang dibutuhkan sel (Larvor 1983). Pada saat kondisi salinitas rendah, ion-ion penting seperti Na+ cenderung keluar menyebabkan tubuh kekurangan ion, sebaliknya air cenderung menerobos masuk dalam tubuh. Dengan penambahan kalsium dalam penelitian ini maka permeabilitas membran untuk ion Na+ berkurang sehingga menurunkan pengeluaran ion ini ke lingkungan. Oleh karena itu, secara tidak langsung kalsium menyebabkan berkurangnya beban osmotik karena mekanisme osmoregulasi tetap dipertahankan dengan adanya keseimbangan Na+ dan K+. Keseimbangan osmotis ini menyebabkan kondisi stres udang lebih rendah dan sintasan lebih tinggi. Carrier dan Evans (1976) membuktikan peranan kalsium berdasarkan penelitian pada jenis teleostei air laut, L. rhomboides. Ketika ikan dipelihara di
54
media air tawar tanpa kalsium, terjadi peningkatan laju mortalitas hingga 96%. Namun, respon sebaliknya terlihat saat ikan dipindahkan ke media air tawar mengandung kalsium. Sintasan ikan relatif tinggi di media berkalsium berkorelasi dengan konsentrasi ion Na+ lebih tinggi dalam cairan tubuh ikan. Kesimpulan yang didapat bahwa kalsium secara nyata dapat menurunkan efflux ion Na+ dari cairan tubuh ikan sehingga tingkat mortalitas menurun. Selain itu, alasan lain bahwa penambahan kalsium dalam media air tawar penting untuk mempertahankan sintasan postlarva karena mineral ini dibutuhkan bagi pembentukan eksoskeleton yang terjadi berulang selama molting (Wyban & Sweeney 1991). Kulit udang secara umum tersusun dari CaCO3, dengan sumber kalsium berasal dari air laut (Perry et al. 2001). Saat aklimasi ke salinitas rendah, eksoskeleton udang diduga cenderung tipis sehubungan semakin berkurangnya kandungan ion kalsium media. Terhambatnya ganti kulit karena pengerasan eksoskeleton yang tidak sempurna dapat menyebabkan udang vaname gagal ganti kulit sehingga meningkatkan mortalitas, seperti yang dilaporkan pada krustasea lain (Edi 1990; Perry et al. 2001). Di media salinitas normal, udang vaname tidak membutuhkan kalsium dari dalam tubuh (melalui pakan), karena kalsium secara berlanjut diserap dari media lingkungan (Davis et al. 1993). Nilai sintasan dalam penelitian ini lebih tinggi nilainya dari pustaka yang dilaporkan sebelumnya. Hana (2007) mencatat bahwa nilai sintasan didapat lebih rendah (<50%) ketika aklimasi postlarva vaname (PL 20) ke salinitas 2 ppt. Perbedaan hasil sintasan diduga karena metode yang digunakan berlainan. Adanya penggantian pakan dari sebelumnya pakan alami (Artemia) ke pakan jenis lain saat periode aklimasi ke salinitas 2 ppt merupakan faktor utama yang menurunkan nilai sintasan pada penelitian tersebut. Kejadian sama juga dilaporkan saat aklimasi ke salinitas rendah Metapenaeus monoceros (Kumlu et al. 2001). Hasil penelitian Davis et al. (2002) menunjukkan bahwa sintasan vaname PL 20 sekitar 0-8% ketika diaklimasi ke salinitas 0 ppt selama 48 jam. Oleh karena itu, penambahan kalsium dalam penelitian ini ternyata berperan penting terhadap ketahanan hidup postlarva disamping juga lama aklimasi 96 jam yang dipergunakan. Davis et al. (2004) menyatakan bahwa aklimasi jangka pendek
55
adalah cara baik dan cepat, namun metode aklimasi lebih lama juga dapat dilakukan. Hasil percobaan kedua menunjukkan bahwa penambahan kalsium dalam media selama tahapan aklimasi ke salinitas 2 ppt tidak berpengaruh terhadap gradien osmotik (GO) postlarva. Respon GO udang lebih tinggi dicapai pada perlakuan D (150 ppm Ca2+) dibandingkan perlakuan lainnya, walaupun hasil keseluruhan tidak berbeda nyata. Hal ini menandakan bahwa pada kondisi media 2 ppt proses osmoregulasi yang terjadi relatif sama. Ketersediaan kalsium dan ion lainnya diduga masih tercukupi sehingga penambahan kalsium dalam media tidak mempengaruhi mekanisme osmotik postlarva di kondisi tersebut. Udang vaname secara alamiah melakukan kerja hiperosmotik saat salinitas rendah sehubungan mempertahankan keseimbangan osmotik. Kemampuan mengatur osmolaritas hemolimp ini secara umum ditemukan pada spesies krustasea air payau (Mantel & Farmer 1983). Hasil yang didapat menunjukkan ada perbedaan osmolaritas cairan tubuh di media salinitas 2 ppt dengan salinitas 25 ppt yang ditandai dengan sedikit penurunan osmolaritas cairan tubuh selama tahapan aklimasi ke salinitas 2 ppt. Perubahan ini berkaitan dengan proses osmoregulasi yaitu postlarva tetap mempertahankan kisaran osmolaritas hemolimp di atas osmolaritas media. Kejadian seperti ini telah dilaporkan Buckle et al. (2006); Sowers et al. (2006) yang mencatat adanya penurunan osmolaritas hemolimp udang vaname ukuran juvenil dan dewasa seiring penurunan salinitas media. Korelasi antara salinitas media dengan osmolaritas hemolimp juga teramati pada P. latisulcatus (Sang & Fotedar 2004) dan P. monodon (Tantulo & Fotedar 2006). Meningkatnya gradien osmotik seiring dengan penurunan salinitas media telah diukur pada juvenil P.stylirostris (Lemaire et al. 2002). Dalam penelitian ini, nilai osmolaritas cairan tubuh udang di media salinitas 25 ppt mendekati nilai osmolaritas media sehingga gradien osmotik sangat rendah. Nilai GO yang mendekati titik isoosmotik ini menggambarkan beban osmotik terendah pada udang. Titik isoosmotik dihubungkan dengan kondisi optimal bagi pertumbuhan dengan pengeluaran energi terendah bagi proses respirasi, osmoregulasi, dan ekskresi (Cuzon et al. 2004).
56
Tingkat konsumsi oksigen (OC) merupakan indeks metabolisme yang telah banyak dipergunakan untuk mengetahui respon fisiologis di bawah kondisi stres lingkungan. Beberapa penelitian telah menggunakan pengujian tingkat konsumsi oksigen untuk menganalisis metabolisme dan aktivitas dekapoda krustasea (Thomas et al. 2000; Spanopoulos-Hernandez et al. 2005; Li et al. 2007). Nilai OC yang terukur tidak berbeda nyata pada seluruh perlakuan kalsium. Berdasarkan pengukuran di media salinitas 25 ppt, nilai OC didapat lebih rendah yang berarti pemanfaatan energi oleh postlarva untuk aktivitas dasar di media salinitas 25 ppt lebih rendah. Nilai konsumsi oksigen postlarva pada kondisi 25 ppt setara dengan pembelanjaan energi pada metabolisme basal (EB) sebanyak 7,340±0,272 kcal/kg.j di kondisi demikian. Li et al. (2007) menyatakan bahwa tingkat konsumsi oksigen udang yang tinggi di media salinitas rendah berhubungan dengan tingginya pengeluaran energi untuk osmoregulasi. Berdasarkan hasil pengukuran gradien osmotik, aktivitas osmoregulasi postlarva lebih tinggi di media bersalinitas 2 ppt menyebabkan pembelanjaan energi lebih tinggi di kondisi demikian. Adanya peningkatan EB terutama untuk aktivitas osmoregulasi mengindikasikan bahwa potensi tumbuh udang vaname di media 2 ppt dapat lebih rendah dibandingkan di media 25 ppt. Hasil ini konsisten dengan laporan Syafei (2006) yang menunjukkan bahwa laju metabolisme, beban osmotik, dan potensi tumbuh udang galah (M. rosenbergii) berhubungan langsung dengan perubahan kondisi salinitas media. Dengan menggunakan juvenil vaname, Li et al. (2007) membuktikan bahwa tingkat konsumsi oksigen dan kuosien respiratori udang cenderung lebih tinggi di kondisi media salinitas 3 ppt dibandingkan media salinitas 17 ppt dan 32 ppt yang berlanjut dengan menurunnya pertumbuhan pada kondisi salinitas 3 ppt. Postlarva vaname yang diaklimasi hingga salinitas 2 ppt menunjukkan nilai sintasan tetap tinggi. Hasil sintasan yang dicapai relatif sama dengan hasil percobaan pertama. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perlakuan kalsium tidak berpengaruh pada postlarva di bawah kondisi percobaan 2 ppt. Walaupun terjadi penurunan kandungan mineral secara umum setelah salinitas 2 ppt, diduga perubahan ini belum mempengaruhi ketahanan hidup postlarva. Hasil yang sama
57
juga dilaporkan Davis et al. (2002) bahwa nilai sintasan tetap tinggi ketika postlarva vaname diaklimasi ke salinitas 2 ppt. Penambahan kalsium selama aklimasi ke salinitas 2 ppt tidak berpengaruh pada nilai sintasan postlarva karena kemungkinan konsentrasi seluruh mineral di salinitas demikian masih relatif cukup mendukung proses fisiologis udang. Menurut Davis et al. (2004), ion-ion seperti kalsium (Ca2+), potasium (K+), dan magnesium (Mg2+) sangat penting bagi sintasan udang di lingkungan salinitas rendah. Disebutkan bahwa walaupun kalsium diperlukan, namun rasio Ca/K sekitar 1:1 juga penting. Dalam penelitian ini, diduga kisaran rasio Ca/K setelah salinitas 2 ppt juga mendekati 1:1 karena merupakan representasi dari rasio di air laut lewat penggunaan media hasil pengenceran air laut dan air tawar. Jadi, penambahan kalsium tidak berpengaruh pada nilai sintasan di media salinitas akhir 2 ppt karena rasio Ca/K di kondisi demikian telah memenuhi kebutuhan bagi homeostasi postlarva. Peningkatan rasio Ca/K media melebihi 1:1 diduga tidak berpengaruh terhadap potensi tumbuh postlarva vaname, karena kelebihan kalsium dari yang dibutuhkan tubuh akan diekskresikan (Piliang 2005). Dari hasil gradien osmotik dan tingkat konsumsi oksigen yang dicapai sebelumnya, terindikasi bahwa tingkat stres postlarva cenderung lebih tinggi di salinitas 2 ppt dibandingkan media salinitas 25 ppt. Walaupun demikian, postlarva ternyata memiliki ketahanan hidup saat diaklimasi hingga salinitas 2 ppt. Dengan rasio Ca/K yang seimbang di media salinitas 2 ppt, diduga postlarva vaname dapat mengembangkan kapasitas osmoregulator sehingga mampu bertahan hidup pada kondisi salinitas demikian. Berdasarkan rangkuman nilai sintasan percobaan pertama dan kedua maka penurunan salinitas bisa hingga 0 ppt dengan syarat diperlukan penambahan kalsium dalam media. Hasil Penelitian Tahap Kedua Rata-rata kandungan potasium tubuh, gradien osmotik, tingkat konsumsi oksigen, pembelanjaan energi pada metabolisme basal, sintasan, laju pertumbuhan bobot rerata harian, dan efisiensi pemanfaatan pakan postlarva vaname pada penelitian tahap ke-2 dirangkum dalam Tabel 6, sementara hasil analisis air media dengan perlakuan potasium karbonat (K2CO3) disajikan dalam Tabel 7.
58
Tabel 6 Nilai kadar potasium tubuh (K+), gradien osmotik (GO), tingkat konsumsi oksigen (OC), pembelanjaan energi pada metabolisme basal (EB), sintasan (S), laju pertumbuhan bobot rerata harian (LPRH), dan efisiensi pemanfaatan pakan (EP) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap kedua Variabel dan simpangan baku Perlakuan
K+ (mg/g)
GO (mOsm/l H2O)
OC (mg O2/g.j)
EB (kcal/kg. j)
S (%)
LPRH (%)
EP (%)
A (0 ppm K2CO3)
2,170 ± 0,063a
645,67 ± 13,58a
0,395 ± 0,019a
1,303 ± 0,065a
86,67 ± 5,77a
9,413 ± 0,333a
36,96 ± 2,28a
B (30 ppm K2CO3)
2,169 ± 0,030a
588,67 ± 27,61b
0,397 ± 0,010a
1,311 ± 0,034a
90,00 ± 0,00a
9,994 ± 0,176a
48,13 ± 2,45a
C (60 ppm K2CO3)
2,367 ± 0,025b
501,33 ± 17,01c
0,294 ± 0,012b
0,971 ± 0,041b
83,33 ± 5,77a
11,246 ± 0,242b
64,92 ± 3,49b
D (90 ppm K2CO3)
2,424 ± 0,026c
483,00 ± 14,73c
0,289 ± 0,015b
0,956 ± 0,048b
86,67 ± 11,55a
11,306 ± 0,313b
70,45 ± 8,19b
Nilai tengah dengan tanda huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda nyata (P>0,05)
59
Tabel 7 Konsentrasi mineral utama setiap perlakuan pada air bersalinitas 2 ppt yang digunakan dalam penelitian tahap kedua Konsentrasi mineral (ppm) Perlakuan
K+
Na+
Ca2+
Mg2+
A (0 ppm K2CO3)
7,452
1178,190
58,260
138,404
B (30 ppm K2CO3)
28,502
1177,406
58,167
138,774
C (60 ppm K2CO3)
41,439
1177,798
58,214
138,589
D (90 ppm K2CO3)
55,253
1177,994
58,190
138,496
Media dengan penambahan kadar K2CO3 berbeda menunjukkan kadar mineral K+ berbeda pada air bersalinitas 2 ppt yang digunakan. Konsentrasi K+ berkisar antara 7,452 ppm pada media perlakuan A (0 ppm K2CO3) hingga 55,253 ppm pada media perlakuan D (90 ppm K2CO3). Sedangkan konsentrasi dari ion utama lain yaitu Na+, Ca2+, dan Mg2+ yang terukur cenderung sama pada seluruh media perlakuan. Kandungan Potasium Tubuh Rata-rata kandungan potasium (K+) tubuh bervariasi dari 2,169±0,030 mg/g hingga 2,424±0,026 mg/g. Pada perlakuan C (60 ppm K2CO3) dan D (90 ppm K2CO3) kandungan K+ tubuh yang terukur lebih tinggi dibandingkan perlakuan A (0 ppm K2CO3) dan B (30 ppm K2CO3). Kandungan K+ yang terukur berbeda yaitu perlakuan penambahan K+ tertinggi menunjukkan komposisi K+ tubuh sekitar 2,424 mg/g berkorelasi dengan peningkatan K+ media. Hasil ini menandakan bahwa postlarva membutuhkan ketersediaan K+ yang lebih tinggi dalam media untuk meningkatkan setiap proses fisiologis pada kondisi salinitas 2 ppt. Walaupun fungsi K+ media pada percobaan ini terlihat dari peningkatan kandungan K+ tubuh, peningkatan tersebut untuk setiap perlakuan tidak terlalu tinggi.
60
2.5
K+ (mg/g)
2.45 2.4 2.35 2.3
Y = 2,139 + 0,003x R² = 81,1%
2.25 2.2 2.15 2.1
0
30
60
90
Kadar potasium karbonat (ppm) Gambar 9 Hubungan antara kadar potasium karbonat media dengan nilai kandungan potasium tubuh (K+) postlarva vaname. Berdasarkan analisis regresi (Lampiran 19), pengaruh penambahan potasium terhadap kandungan potasium tubuh menunjukkan respon linear mengikuti persamaan Y = 2,139 + 0,003x dengan nilai R2 = 81,1%, artinya kandungan potasium tubuh postlarva meningkat seiring dengan peningkatan potasium media. Gradien Osmotik Gradien osmotik postlarva (GO) pada perlakuan K+ media berbeda disajikan pada Tabel 6. Dari hasil perhitungan osmolaritas, GO postlarva pada perlakuan A (tanpa penambahan K2CO3) lebih tinggi dibandingkan perlakuan yang lain. Hasil pengamatan osmolaritas cairan tubuh menunjukkan bahwa postlarva vaname adalah tipe osmoregulator. Osmolaritas hemolimp cenderung menurun seiring penurunan salinitas merupakan tipe pengaturan hiperosmoregulator yaitu tekanan osmotik cairan tubuh selalu lebih tinggi dari tekanan osmolaritas media, sedangkan tekanan osmotik media menurun secara linear seiring penurunan salinitas media. Hasil analisis regresi (Gambar 10) menunjukkan bahwa pengaruh nyata penambahan potasium terhadap gradien osmotik digambarkan dalam suatu regresi
61
700
GO (mOsm/l H2O)
650
Y = 640,967 - 1,918x R² = 90,0%
600
550
500
450
0
30
60
90
Kadar potasium karbonat (ppm) Gambar 10
Hubungan antara kadar potasium karbonat media dengan nilai gradien osmotik (GO) postlarva vaname.
linear (Y = 640,967 – 1,918x, R2 = 90,0%). Gradien osmotik menurun seiring dengan peningkatan K+ media dengan kisaran antara 483,0 mOsm/l H2O hingga 645,67 mOsm/l H2O. Tingkat Konsumsi Oksigen Rata-rata tingkat konsumsi oksigen (OC) yang terukur antara 0,289 mg O2 /g.j pada perlakuan D (90 ppm K2CO3) hingga 0,397 mg O2/g.j pada perlakuan B (30 ppm K2CO3) (Tabel 6). Tingkat konsumsi oksigen postlarva pada perlakuan A (0 ppm K2CO3) dan B (30 ppm K2CO3) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan C (60 ppm K2CO3) dan D (90 ppm K2CO3). Pada perlakuan C (60 ppm K2CO3) dan D (90 ppm K2CO3), nilai OC yang terukur cenderung sama dan
merupakan kondisi terendah respon metabolisme postlarva didasarkan pada pengukuran tingkat konsumsi oksigen pada keadaan metabolisme basal. Berdasarkan konversi dari nilai OC, nilai pembelanjaan energi pada metabolisme basal (EB) pada seluruh perlakuan sekitar 0,956±0,048 hingga 1,311±0,034 kcal/kg.jam. Hasil analisis regresi hubungan antara potasium dengan tingkat konsumsi oksigen menunjukkan model linear mengikuti persamaan y = 0,407 - 0,001x
62
0.42 0.4
Y = 0,407 - 0,001x R² = 76,7%
OC (mg O2/g.j)
0.38 0.36 0.34 0.32 0.3 0.28 0.26 0
30
60
90
Kadar potasium karbonat (ppm) Gambar 11 Hubungan antara kadar potasium karbonat media dengan nilai tingkat konsumsi oksigen (OC) postlarva vaname. dengan nilai R2=76,7%, artinya tingkat konsumsi oksigen menurun seiring dengan peningkatan kadar potasium media (Gambar 11). Sintasan Hasil rata-rata nilai sintasan yang didapat (Tabel 6) menunjukkan bahwa media dengan perlakuan potasium cocok untuk postlarva setelah dilakukan tahapan pemeliharaan di salinitas 2 ppt. Selama 6 minggu pemeliharaan, tidak ada penurunan sintasan yang signifikan. Kisaran sintasan antara 83,33±5,77% pada perlakuan C (60 ppm K2CO3) hingga 90,00±10,00% pada perlakuan B (30 ppm K2CO3) dengan rata-rata sintasan keseluruhan 86,67%.
Laju Pertumbuhan Bobot Rerata Harian Penambahan K+ media berpengaruh terhadap laju pertumbuhan bobot rerata harian (LPRH). Berdasarkan pengamatan pertumbuhan tiap minggu (Gambar 12), pola pertumbuhan postlarva pada seluruh perlakuan secara umum hampir serupa. Pola pertumbuhan selama pemeliharaan 6 minggu merupakan fase
63
4 3.5
Bobot (g)
3 2.5 A
2
B
1.5
C
1
D
0.5 0 0
1
2
3
4
5
6
Waktu (minggu) Gambar 12 Bobot rata-rata individu postlarva vaname selama enam minggu penelitian tahap kedua dengan perlakuan K2CO3 media berbeda (A:0 ppm K2CO3, B:30 ppm K2CO3, C:60 ppm K2CO3, D:90 ppm K2CO3) pertumbuhan eksponensial dengan ditandai terus meningkatnya laju pertumbuhan. Pada awal percobaan, bobot tubuh postlarva di setiap perlakuan adalah sama, namun setelah minggu kedua peningkatan bobot udang lebih tinggi teramati pada perlakuan C (60 ppm K2CO3) dan D (90 ppm K2CO3) yang berlanjut hingga akhir pengamatan minggu ke-6. Dari data bobot rata-rata individu, maka nilai LPRH yang terukur berbeda di antara perlakuan potasium. Peningkatan kadar potasium media menunjukkan respon LPRH lebih tinggi dibandingkan kadar potasium rendah (Tabel 6). Nilai LPRH udang didapat tertinggi pada media perlakuan C (60 ppm K2CO3) dan D (90 ppm K2CO3). Hasil analisis regresi pengaruh penambahan K+ dalam media terhadap LPRH menunjukkan respon linear mengikuti persamaan Y = 9,264 + 0,025x dengan nilai R2 = 77,3%, artinya terjadi peningkatan nilai LPRH seiring dengan peningkatan kadar K+ media (Gambar 13). Efisiensi Pemanfaatan Pakan Nilai efisiensi pemanfaatan pakan (EP) postlarva pada berbagai perlakuan penambahan potasium media berkisar antara 36,96% - 70,45%. Rata-rata nilai EP
64
11.5
LPRH (%)
11 10.5
Y = 9,264 + 0,025x R² = 77,3%
10 9.5 9 0
30
60
90
Kadar potasium karbonat (ppm) Gambar 13 Hubungan antara kadar potasium karbonat media dengan nilai laju pertumbuhan bobot rerata harian (LPRH) postlarva vaname. tertinggi ditunjukkan pada perlakuan D (90 ppm K2CO3) yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan C (60 ppm K2CO3). Berdasarkan analisis regresi, terlihat pengaruh perlakuan K+ terhadap nilai EP adalah nyata dengan respon linear (Gambar 14). Persamaan yang diperoleh dari model hubungan efisiensi pemanfaatan pakan (Y) dan perlakuan penambahan K2CO3 (X) yaitu: Y = 37,529 + 0,391x dengan nilai R2 = 89,3%. 90
EP (%)
80 70 60 Y = 37,529 + 0,391x R2 = 89,3%
50 40 30 0
30
60
90
Kadar potasium karbonat (ppm) Gambar 14 Hubungan antara kadar potasium karbonat media dengan nilai efisiensi pemanfaatan pakan (EP) postlarva vaname.
65
Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan K2CO3 dalam media ternyata sangat efektif meningkatkan kadar K+ dalam tubuh. Walaupun pada beberapa jenis krustasea, kadar K+ dalam hemolimp dan tubuh diatur selama terjadi perubahan salinitas lingkungan (McGraw & Scarpa 2003), namun dalam penelitian ini kadar K+ yang terukur dalam seluruh tubuh postlarva berbeda di antara perlakuan. Kadar K+ tubuh mengalami penurunan pada media perlakuan A (0 ppm K2CO3) dan B (30 ppm K2CO3), sedangkan pada media perlakuan C (60 ppm K2CO3) dan D (90 ppm K2CO3), akumulasi K+ dalam tubuh relatif sama. Pada perlakuan C (60 ppm K2CO3) meningkatnya kadar K+ menyebabkan naiknya kadar K+ dalam tubuh (2,367±0,025 ppm) yang mengindikasikan bahwa penyerapan mineral ini terjadi lebih tinggi. Efek penurunan salinitas meningkatkan kebutuhan K+ oleh postlarva sehubungan mempertahankan keseimbangan ion ini dalam tubuh. Adanya perbedaan respon K+ tubuh yang dicapai dalam penelitian ini kemungkinan disebabkan perbedaan kadar K+ media yang berpengaruh terhadap proses fisiologis. DiSilvestro (2005) menyatakan bahwa tingginya kandungan K+ dalam tubuh karena ion ini dibutuhkan di dalam sel untuk pertumbuhan normal sel, sintesa protein, serta untuk pengaturan gradien antara cairan intra dan ektraseluler membran. Perbedaan kandungan K+ terespon pada gradien osmotik (GO) postlarva. Berdasarkan hasil yang didapat, rendahnya GO pada media perlakuan C (60 ppm K2CO3) dan D (90 ppm K2CO3) menandakan bahwa udang pada kondisi media tersebut menunjukkan aktivitas osmoregulasi minimum. Mantel dan Farmer (1983) menyatakan bahwa potasium tidak hanya berkontribusi bagi total osmolaritas hemolimp krustasea tapi juga penting untuk aktivitas enzim Na+K+-ATPase. Saat terjadi penurunan salinitas, keseimbangan Na+ dan K+ dalam tubuh tetap akan dipertahankan dengan sebagian besar pertukaran kedua ion ini berasal dari medium eksternal dibandingkan dari persediaan mineral tubuh (McGraw & Scarpa 2003). Dari hasil pengukuran K+ tubuh, adanya peningkatan kadar K+ media mampu mempertahankan kadar K+ dalam tubuh tetap tinggi. Keseimbangan K+ dalam sel tubuh akan menyebabkan kerja enzim osmoregulasi
66
tetap normal saat kondisi salinitas 2 ppt. Aktivitas pompa ion Na+ dari sel spesial (ionocytes) ke dalam hemolimp maupun transport ion lainnya pada krustasea dikendalikan oleh Na+K+-ATPase yang menggunakan ATP sebagai sumber energi. Hasil osmolaritas dalam penelitian ini berbeda dibandingkan penelitian lain yang menggunakan stadia yang lebih tinggi. Roy et al. (2007) melaporkan bahwa nilai osmolaritas hemolimp pada juvenil vaname cenderung sama (609,8 647,0 mmol/kg) ketika dipelihara dengan perlakuan K+ berbeda pada media buatan bersalinitas 4 ppt. Nilai relatif sama juga berdasarkan pengukuran Cl-, K+ dan Na+ hemolimp. Stadia postlarva yang digunakan dalam penelitian ini dapat menjelaskan mengapa toleransi pada salinitas 2 ppt berbeda di antara perlakuan K+ media berdasarkan hasil pengukuran gradien osmotik. Beberapa hasil penelitian telah mengungkapkan bahwa tahapan postlarva sangat penting untuk menentukan osmolaregulasi udang (McGraw et al. 2002; Tsuzuki et al. 2003). Selama perkembangan di media salinitas 2 ppt, postlarva vaname diduga membutuhkan lebih banyak energi untuk mempertahankan sintasan. Oleh karena itu, pengaruh penambahan K+ terhadap kebutuhan energi untuk osmoregulasi postlarva dapat berbeda dibandingkan pada stadia yang lebih tinggi. Davis et al (2002) menyatakan bahwa postlarva penaeid memiliki toleransi yang rendah terhadap fluktuasi salinitas yang besar dibandingkan juvenil atau udang dewasa. Pengukuran tingkat konsumsi oksigen pada keadaan metabolisme basal untuk menggambarkan proses metabolisme terjadi saat udang hanya mampu memanfaatkan energi untuk aktivitas-aktivitas dasar seperti osmoregulasi, kerja jantung, respirasi, dan sebagainya (Affandi & Tang 2002). Dalam penelitian ini, peningkatan kadar K+ media dengan waktu pemeliharaan cukup lama secara nyata menurunkan tingkat konsumsi oksigen postlarva. Hasil analisis regresi memperlihatkan penurunan tingkat konsumsi oksigen seiring naiknya kadar K+ media. Tingkat konsumsi oksigen terendah postlarva dicapai dengan penambahan 90 ppm K2CO3 yang tidak berbeda nyata dengan penambahan 60 ppm K2CO3. Pengaruh K+ terhadap tingkat konsumsi oksigen postlarva ternyata berbeda dibandingkan juvenil vaname. Roy et al. (2007) melaporkan bahwa nilai tingkat konsumsi oksigen juvenil di antara beberapa perlakuan K+ media tidak
67
berbeda nyata atau sekitar 0,336 hingga 0,358 mgO2/ g.j. Sedangkan dari hasil penelitian Li et al. (2007), nilai tingkat konsumsi oksigen juvenil vaname (0,69 g) yang terukur lebih tinggi yaitu sekitar 2,3 mg O2/g.j, saat dipelihara selama 30 hari pada salinitas 3 ppt. Diduga selain faktor umur (stadia), respon tingkat konsumsi oksigen postlarva di media buatan salinitas rendah berbeda dengan media pengenceran air laut. Menurunnya nilai konsumsi oksigen pada kadar K+ media tinggi (60 dan 90 ppm K2CO3) menandakan kebutuhan energi bagi postlarva untuk proses osmoregulasi lebih sedikit. Pada media salinitas rendah, pembelanjaan energi pada metabolisme basal (EB) diduga lebih diprioritaskan untuk mempertahankan kerja osmotik udang. Namun, dengan meningkatnya kadar K+ media, jumlah EB cenderung menurun. Ini terlihat dari nilai EB terendah sekitar 0,956±0,048 kcal/kg.j pada perlakuan D (90 ppm K2CO3). Hasil pengukuran gradien osmotik sebelumnya menunjukkan bahwa beban osmotik postlarva pada perlakuan C (60 ppm K2CO3) dan D (90 ppm K2CO3) mencapai tingkat terendah. Pada kondisi perlakuan seperti ini, diduga pengeluaran energi untuk aktivitas enzim Na+K+-ATPase dalam kegiatan pengaturan osmotik dan pengangkutan aktif ion Na+, K+, dan Cl- sangat rendah. Jadi, peningkatan kadar K+ media berpengaruh terhadap efisiensi energi terutama untuk menunjang aktivitas osmoregulasi pada postlarva di media salinitas rendah. Nilai sintasan postlarva yang teramati tetap tinggi selama 6 minggu percobaan. Hasil sintasan mengindikasikan perlakuan potasium media tidak mempengaruhi ketahanan hidup udang di kondisi salinitas 2 ppt. Hal ini karena kondisi media 2 ppt masih dalam batas kisaran toleransi postlarva vaname. Ketahanan hidup udang vaname di salinitas rendah sama dengan beberapa jenis penaeid lain (Lemaire et al. 2002; Tsuzuki et al. 2003). Perlakuan K+ media tidak mempengaruhi nilai sintasan membuktikan bahwa kandungan K+ sebagai mineral utama penyusun media salinitas 2 ppt yang digunakan masih di atas konsentrasi minimum yang dibutuhkan postlarva vaname. Pada media tanpa penambahan K2CO3 (perlakuan A), konsentrasi K+ yang terukur sekitar 7,452 ppm. Nilai ini masih cukup tinggi dibandingkan laporan McGraw dan Scarpa (2003) bahwa
68
kebutuhan minimum postlarva vaname akan potasium di salinitas 0,7 ppt sekitar 1 ppm. Pengaruh K+ media terhadap kandungan K+ tubuh, gradien osmotik, dan tingkat konsumsi oksigen terekspresi terhadap pertumbuhan postlarva. Nilai LPRH tertinggi dicapai pada perlakuan D (90 ppm K2CO3) yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan C (60 ppm K2CO3). Walaupun nilai sintasan yang teramati tetap tinggi pada perlakuan A (0 ppm K2CO3) dan B (30 ppm K2CO3), meningkatnya kondisi stres pada perlakuan demikan ternyata berpengaruh terhadap penurunan pertumbuhan postlarva. Hasil ini mengindikasikan bahwa dengan penggunaan media perlakuan C (60 ppm K2CO3) atau kadar K+ minimal 41,44 ppm dalam media salinitas 2 ppt, postlarva vaname dapat mencapai pertumbuhan terbaik. Postlarva yang dipelihara di media perlakuan C (60 ppm K2CO3) memiliki nilai LPRH maksimum karena rasio Na/K yang identik dengan air laut umumnya. Dengan rasio Na/K sekitar 28,4 pada perlakuan C (60 ppm K2CO3), diduga udang mampu mempertahankan efisiensi energi yang dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan antara Na+ dan K+ di cairan intraseluler dan ekstraseluler (DersjantLi et al. 2001). Hasil yang sama dilaporkan Roy et al. (2007) yang menggunakan media buatan bersalinitas 4 ppt. Perlakuan optimum untuk juvenil vaname adalah media yang memiliki rasio Na/K sekitar 28,1 atau kontrol (air laut 4 ppt), sedangkan respon pertumbuhan terendah pada rasio Na/K media sekitar 119 atau konsentrasi K+ sekitar 5 ppm. Di salinitas normal (30 ppt), rasio Na/K media juga berpengaruh terhadap pertumbuhan juvenil vaname, seperti dilaporkan Zhu et al. (2004). Media yang mengandung rasio Na/K sekitar 34,1 merupakan perlakuan optimum, sebaliknya perlakuan dengan rasio Na/K tertinggi sekitar 187,4 menunjukkan defisiensi K+ yang menurunkan pertumbuhan. Penggunaan media pemeliharaan bersalinitas rendah dapat mempengaruhi performa pertumbuhan vaname karena secara alamiah udang ini hidup di perairan salinitas tinggi. Pada saat salinitas media tinggi dengan komposisi mineral yang lengkap, pertumbuhan udang dipengaruhi oleh mineral lainnya. Kandungan K+ dalam tubuh dan hemolimp pada kondisi demikian tetap dipertahankan pada kisaran yang tinggi (McGraw & Scarpa 2003). Sebaliknya dalam penelitian ini
69
dengan media bersalinitas 2 ppt, kandungan seluruh mineral jauh lebih rendah sehingga peningkatan konsentrasi K+ media penting untuk mempertahankan keseimbangan Na/K dalam tubuh. Oleh karena itu kemungkinan lebih cocok jika rasio Na/K sama atau lebih rendah dari rasio Na/K air laut untuk penerapan di salinitas rendah. Adanya keseimbangan antara rasio Na/K dalam tubuh dengan lingkungan akan menyebabkan proses fisiologis tetap berjalan normal pada kondisi salinitas rendah. Bila kandungan K+ dalam media kurang maka terjadi ketidakseimbangan kadar K+ dalam bagian basolaterial dari sel-sel klorida insang yang meningkatkan aktivitas enzim osmoregulasi, Na+K+-ATPase. Ketidakseimbangan rasio Na/K juga menurunkan konsentrasi K+ hemolimp. Berkurangnya konsentrasi K+ di hemolimp dapat berpengaruh pada fungsi saraf (Robertson 1960). Oleh sebab itu, kadar K+ dalam bagian basolaterial dari sel-sel harus digantikan K+ dari dalam sel yang tergantung oleh difusi K+ dari media. Media optimum (60 ppm K2CO3) dalam penelitian ini selain dapat mempertahankan efisiensi energi untuk aktivitas osmoregulasi, juga menyebabkan konsumsi pakan postlarva meningkat. Pada kondisi seperti ini, alokasi energi bagi pertumbuhan semakin banyak sehingga nilai LPRH lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Efek K+ terhadap pertumbuhan postlarva di salinitas 2 ppt dapat diindikasikan dari perbedaan nilai efisiensi pemanfaatan pakan. Berdasarkan hasil yang didapatkan, media perlakuan D (90 ppm K2CO3) menunjukkan rata-rata efisiensi pemanfaatan pakan tertinggi sekitar 70,45% yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan C (60 ppm K2CO3) sekitar 64,92%, sedangkan efisiensi pemanfaatan pakan terendah dicapai pada perlakuan A (0 ppm K2CO3) sekitar 36,96 %. Di bawah kondisi yang optimal, kelebihan nutrisi pakan yang terserap menyebabkan efisiensi pakan tinggi di media perlakuan C (60 ppm K2CO3) dan D (90 ppm K2CO3). Dengan pengurangan kebutuhan energi bagi aktivitasaktivitas dasar seperti aktivitas osmoregulasi, maka bahan nutrisi pakan akan termanfaatkan bagi pertumbuhan. Perlakuan A (0 ppm K2CO3) menunjukkan terjadi peningkatan stres, oleh karena itu nilai efisiensi pemanfaatan pakan lebih rendah dibandingkan perlakuan lainnya. Perbedaan siknifikan nilai EP antara perlakuan B (30 ppm K2CO3) dengan C (60 ppm K2CO3) menandakan bahwa
70
terjadi penurunan stres yang cukup tinggi pada media perlakuan C (60 ppm K2CO3) yang selanjutnya berpengaruh pada peningkatan pertumbuhan postlarva. Hasil Penelitian Tahap Ketiga Pemberian pakan yang mengandung protein dan kalsium berbeda terhadap postlarva udang vaname (L. vannamei) selama pemeliharaan di media bersalinitas 2 ppt menghasilkan data yang berkaitan kinerja pertumbuhan udang (Tabel 8). Rasio RNA/DNA Hasil pengamatan rataan rasio RNA/DNA udang vaname pada akhir percobaan ditampilkan pada Tabel 8 didasarkan perhitungan data seluruh perlakuan pada Lampiran 12. Kadar total RNA dari semua perlakuan berkisar antara 1,271 µg/mg pada perlakuan F (35% protein; 4% kalsium) hingga 10,139 µg/mg pada perlakuan G (45% protein; 0% kalsium). Berdasarkan pengukuran sampel perlakuan yang sama didapatkan bahwa total kandungan DNA yang terukur sekitar 32,579 µg/mg hingga 172,695 µg/mg. Data nilai rasio Tabel 8 Nilai rataan dan simpangan baku rasio RNA/DNA, retensi protein (RP), dan retensi kalsium (RCa) postlarva vaname (L. vannamei) Perlakuan Protein-Ca2+ Pakan
Variabel dan simpangan baku rasio RNA/DNA
RP (%)
RCa(%)
A (25 - 0)
0,069 ± 0,019a
2,11 ± 1,282a
1,43 ± 0,007c
B (25 - 2)
0,057 ± 0,005a
3,09 ± 1,136a
0,99 ± 0,006a
C (25 - 4)
0,064 ± 0,045a
1,64 ± 1,403a
1,26 ± 0,005b
D (35 - 0)
0,013 ± 0,005a
9,64 ± 1,473b
1,46 ± 0,006c
E (35 - 2)
0,057 ± 0,021a
10,29 ± 1,489b
1,73 ± 0,012d
F (35 - 4)
0,042 ± 0,002a
3,99 ± 0,708a
0,98 ± 0,047a
G (45 - 0)
0,141 ± 0,003b
14,09 ± 2,146b
1,83 ± 0,065e
H (45 - 2)
0,137 ± 0,018b
14,67 ± 4,916b
1,85 ± 0,049e
I (45 - 4)
0,059 ± 0,013a
12,48 ± 2,702b
1,86 ± 0,027e
Nilai tengah dengan tanda huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda nyata (P>0,05)
71
RNA/DNA ditentukan kemudian dari data nilai RNA dan DNA seluruh ulangan pada tiap perlakuan. Rasio RNA/DNA udang dengan pemberian perlakuan protein dan kalsium pakan mengalami perubahan berarti. Data yang terukur pada akhir penelitian menunjukkan nilai rataan rasio RNA/DNA tertinggi ditunjukkan pada perlakuan G (45% protein; 0% kalsium) yaitu sebesar 0,141 yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan H (45% protein; 2% kalsium), namun berbeda nyata dengan semua perlakuan yang lain (Tabel 8). Retensi Protein Penambahan protein maupun kalsium dalam pakan ternyata berpengaruh terhadap nilai retensi protein (RP). Postlarva yang diberi kombinasi pakan dengan perlakuan H (45% protein; 2% kalsium) menunjukkan RP tertinggi sekitar 14,67±4,916%, sedangkan terendah dicapai pada perlakuan A (25% protein; 0% kalsium) sebesar 2,11±1,283% (Tabel 8). Hasil ini menunjukkan bahwa postlarva yang menerima asupan suplementasi yang optimal dengan kadar protein pakan tertinggi (45%) memberi respon RP lebih baik yang menentukan pertumbuhan postlarva di media salinitas rendah. Retensi Kalsium Nilai retensi kalsium (RCa) pada seluruh perlakuan tidak terlalu tinggi. Kalsium yang terakumulasi tubuh meningkat sejalan dengan naiknya kandungan protein dalam pakan, sedangkan adanya penambahan kalsium pakan cenderung menghasilkan respon RCa berfluktuasi. Nilai RCa tertinggi didapat pada perlakuan I (45% protein; 4% kalsium) yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan G (45% protein; 0% kalsium) dan H (45% protein; 2% kalsium), sedangkan nilai RCa terendah pada perlakuan F (35% protein; 4% kalsium). Seperti hasil nilai RP, pemberian protein 45% dalam pakan menunjukkan respon RCa lebih tinggi di bandingkan kadar protein lebih rendah. Frekuensi Ganti Kulit Data frekuensi ganti kulit (FGK) merupakan rata-rata jumlah ganti kulit yang terjadi pada tiap individu udang setelah diberikan pakan dengan kandungan
72
Tabel 9 Nilai rataan dan simpangan baku frekuensi ganti kulit (FGK), laju pertumbuhan bobot rerata harian (LPRH), efisiensi pemanfaatan pakan (EP), dan sintasan (S) postlarva vaname (L. vannamei) Perlakuan Protein-Ca Pakan
Variabel dan simpangan baku FGK
A (25 - 0)
3,67 ± 0,577a
12,37 ± 0,124ab
56,58 ± 1,63b
100,00 ± 0,00
B (25 - 2)
6,00 ± 1,000b
12,51 ± 0,172b
59,19 ± 1,53b
100,00 ± 0,00
C (25 - 4)
6,00 ± 0,000b
12,39 ± 0,128ab
60,64 ± 1,11b
100,00 ± 0,00
D (35 - 0)
3,67 ± 0,577a
11,93 ± 0,298a
54,76 ± 1,65ab
100,00 ± 0,00
E (35 - 2)
5,67 ± 0,578b
11,77 ± 0,084a
52,81 ± 1,62a
100,00 ± 0,00
F (35 - 4)
6,33 ± 0,578b
11,66 ± 0,027a
55,72 ± 1,93ab
100,00 ± 0,00
G (45 - 0)
6,00 ± 1,000b
12,86 ± 0,124b
69,35 ± 0,69c
100,00 ± 0,00
H (45 - 2)
6,33 ± 0,578b
12,90 ± 0,168bc
73,99 ± 1,41d
100,00 ± 0,00
I (45 - 4)
7,33 ± 0,578b
12,34 ± 0,064b
62,61 ± 0,74bc
100,00 ± 0,00
LPRH (%)
EP (%)
S (%)
Nilai tengah dengan tanda huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda nyata (P>0,05)
protein dan kalsium berbeda. Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 9, rata-rata FGK udang dicapai lebih rendah dengan pemberian pakan berkadar kalsium rendah (0%) dengan protein 25% dan 35%, sedangkan kadar protein 45% memberikan pengaruh positif terhadap ganti kulit udang. Nilai FGK tertinggi dicapai pada perlakuan I (45% protein; 4% kalsium) yaitu sekitar 7,33 kali,sedangkan FGK terendah sekitar 3,67 kali dicapai pada perlakuan A (25% protein; 0% kalsium) dan D (35% protein; 0% kalsium). Laju Pertumbuhan Bobot Rerata Harian Laju pertumbuhan bobot rerata harian postlarva (LPRH) didapat dari perhitungan bobot rata-rata individu. Rata-rata nilai LPRH tertinggi dicapai pada perlakuan H (45% protein; 2% kalsium) sebesar 12,90%, yang berbeda nyata dengan perlakuan lain. Pada perlakuan F (35% protein; 4% kalsium), rata-rata nilai LPRH dicapai terendah yaitu sekitar 11,66% (Tabel 9). Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa bobot postlarva pada seluruh perlakuan terus mengalami peningkatan yang nyata (Gambar 15). Pada awal
73
0.9 A
0.8 B
0.7
Bobot (gram)
C
0.6 D
0.5 E
0.4 F
0.3 G
0.2 H
0.1 I
0 0
1
2
3
4
Waktu (minggu) Gambar 15 Bobot rata-rata individu postlarva vaname selama empat minggu penelitian tahap ketiga dengan perlakuan pakan kadar protein dan kalsium berbeda (A: 25% protein;0% kalsium, B: 25% protein;2% kalsium, C: 25% protein;4% kalsium, D: 35% protein;0% kalsium, E: 35% protein;2% kalsium, F: 35% protein;4% kalsium, G: 45% protein;0% kalsium, H: 45% protein;2% kalsium, I: 45% protein;4% kalsium) percobaan, bobot rata-rata individu sekitar 0,0279 g kemudian meningkat di atas 0,612 g pada akhir percobaan (minggu ke-4). Peningkatan bobot individu lebih tinggi dengan pemberian pakan perlakuan G (45% protein; 0% kalsium) dan H (45% protein; 2% kalsium) setelah minggu pertama, sedangkan pada perlakuan I (45% protein; 4% kalsium) pertumbuhan cenderung sama dengan perlakuan lainnya. Hasil ini membuktikan bahwa postlarva yang memperoleh pakan dengan komposisi optimal menghasilkan peningkatan pertumbuhan yang lebih besar. Efisiensi Pemanfaatan Pakan Penambahan protein secara nyata lebih berpengaruh terhadap efisiensi pemanfaatan pakan (EP) dibandingkan kalsium pakan. Pemberian protein 45% dan kalsium 2% pakan (perlakuan H) menunjukkan nilai EP tertinggi (73,99±1,41%), namun cenderung menurun pada perlakuan I (45% protein; 4%
74
kalsium) (Tabel 9). Sedangkan nilai EP terendah dicapai pada perlakuan E (35% protein; 2% kalsium) yaitu sekitar 52,81±1,62%. Sintasan Ketahanan hidup postlarva vaname di media salinitas rendah terutama dipengaruhi oleh parameter fisika-kimia air, tekanan osmotik media, dan pakan. Nilai sintasan tinggi yang dihasilkan memberikan gambaran hasil interaksi antara daya dukung lingkungan dan pakan. Hasil percobaan selama 4 minggu menunjukkan bahwa perlakuan pemberian protein dan kalsium berbeda dalam pakan memberikan pengaruh yang sama terhadap nilai sintasan postlarva ketika dipelihara di salinitas 2 ppt. Nilai sintasan seluruh perlakuan di akhir percobaan adalah 100% (Tabel 9). Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar protein dan kalsium dalam pakan secara nyata berpengaruh terhadap rasio RNA/DNA postlarva udang vaname. Pada perlakuan H (45% protein; 2% kalsium) dan G (45% protein; 0% kalsium), nilai rasio RNA/DNA dicapai tertinggi yang berbeda dibandingkan perlakuan kadar protein lebih rendah. Nilai rasio RNA/DNA dalam penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan rasio RNA/DNA larva ikan. Pada ikan gobi (Gobiosoma bosc), rasio RNA/DNA sekitar 8,41 (Satterwhite 2003), sedangkan pada ikan flounder (Paralichthys olivaceus) sekitar 5,91 (Gwak et al. 2003). Perbedaan ini disebabkan bahwa kebanyakan krustasea mengikuti perubahan morfologi dramatis yang berhubungan dengan perkembangan ontogenetic (Aiken & Waddy 1992), seperti pada udang vaname bahwa peningkatan ukuran tubuh terjadi hanya setelah pergantian eksoskeleton. Peningkatan rasio RNA/DNA dengan pemberian kadar protein 45% dan kalsium 2% pakan menggambarkan bahwa parameter ini dapat digunakan untuk mendiagnosis respon pertumbuhan pada postlarva vaname dengan perlakuan pakan. Perbedaan rasio RNA/DNA secara umum dapat disebabkan oleh spesies dan lingkungan percobaan (Ali et al. 2006). Walaupun demikian, rasio RNA/DNA juga telah memberikan informasi berguna mengenai status nutrisi dari hewan air
75
(Nandeesha et al. 2000; Gwak et al. 2003). Karena pada umumnya pertumbuhan larva sangat tergantung dari sintesis protein, maka rasio RNA/DNA juga secara sensitif dipengaruhi kadar protein pakan. Nilai rasio RNA/DNA tertinggi dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa dengan pemberian pakan optimal terjadi peningkatan aktivitas ribosomal dalam sel sehingga meningkatkan protein sintesis dalam setiap ribosom pada udang vaname. Kompensasi selanjutnya dari aktivitas ini seperti perubahan ukuran tubuh. Nilai rasio RNA/DNA yang mengindikasikan adanya sintesis protein berbeda terlihat pada retensi protein (RP). Ketika kandungan protein pakan rendah, maka tekanan terhadap protein tubuh meningkat karena kebutuhan untuk perbaikan jaringan dan kehilangan nitrogen metabolik. Postlarva yang menerima asupan suplementasi optimal dengan protein tertinggi (45%) memperlihatkan nilai RP yang tinggi. Namun dibandingkan yang lain, perlakuan H (45% protein; 2% kalsium) menunjukkan RP tertinggi sebesar 14,67±4,91%. Meningkatnya RP menandakan bahwa kadar protein tinggi pakan lebih termanfaatkan bagi pertumbuhan dibandingkan kadar protein rendah. Dari hasil pengukuran rasio RNA/DNA, naiknya RP merupakan respon selanjutnya dari sintesis protein tubuh. Perlakuan optimal diduga mampu meningkatkan aktivitas RNA dalam ribosom sehingga mempengaruhi naiknya sintesis protein dalam tubuh. Perubahan dalam status nutrisi ini selanjutnya mengarah pada perubahan ukuran sel yang tersusun dari berbagai protein struktural, kemudian terjadi pertumbuhan jaringan tubuh. Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa walaupun protein tinggi (45%) dibutuhkan, dengan naiknya kadar kalsium pakan justru dapat menghambat retensi protein. Hal ini telah dilaporkan berdasarkan percobaan penambahan kalsium pada beberapa level fosfor pakan (Cheng et al. 2003). Sebelumnya, Davis et al. (1993) telah mengamati bahwa pemberian pakan dengan kadar 3% kalsium atau lebih dapat menekan pertumbuhan udang vaname. Penambahan kalsium dalam penelitian ini secara nyata tidak terlalu mempengaruhi aktivitas sintesis protein postlarva vaname, karena diduga kalsium dalam pakan dapat memberikan efek penghambatan bagi penyerapan fosfor dan mineral penting lainnya (Cheng et al. 2003; Wickins & Lee 2002).
76
Pengaruh kalsium pakan cenderung memberikan respon retensi kalsium (RCa) yang berfluktuasi dibandingkan protein pakan. Nilai RCa tertinggi dicapai pada perlakuan I (45% protein; 4% kalsium), sedangkan perlakuan F (35% protein; 4% kalsium) menunjukkan RCa terendah. Hasil yang dicapai ini mengindikasikan bahwa pemberian kalsium pada kadar protein pakan tinggi (45%) dapat meningkatkan simpanan kalsium dalam jaringan tubuh, walaupun secara langsung hewan air dapat menyerap kalsium dari lingkungan media. Meningkatnya RCa menunjukkan bahwa perlakuan protein dan kalsium berpengaruh terutama untuk mempertahankan homeostasis kalsium pada postlarva vaname. Adanya pemberian protein dan kalsium pakan memberikan respon positif terhadap ganti kulit postlarva. Pada seluruh perlakuan, frekuensi ganti kulit udang (FGK) tertinggi pada perlakuan I (45% protein; 4% kalsium) yaitu 7,33, sedangkan terendah pada perlakuan A (25% protein; 0% kalsium) dan D (35% protein; 0% kalsium) yaitu sekitar 3,67. Hasil ini sejalan penelitian Serang (2006) yang melaporkan bahwa kadar protein pakan dan rasio energi protein berpengaruh terhadap frekuensi ganti kulit pada rajungan (Portunus pelagicus). Meningkatnya FGK berhubungan dengan akumulasi kalsium yang tinggi. Dari hasil pengukuran sebelumnya, nilai RCa didapat tertinggi pada perlakuan I (45% protein; 4% kalsium) yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan G (45% protein; 0% kalsium) dan H (45% protein; 2% kalsium). Kadar protein pakan lebih rendah ternyata menurunkan nilai retensi kalsium yang selanjutnya berpengaruh terhadap nilai FGK. Davis et al. (1993) mencatat bahwa ratio Ca/P dalam pakan dapat mempengaruhi kandungan kalsium karapas yang tidak berhubungan ke pertumbuhan. Dalam penelitian ini, sumber kalsium pakan merupakan bentuk persenyawaan dikalsium fosfat (CaHPO4) yang seimbang dalam mendukung formasi eksoskeleton tubuh. Pemberian kalsium dengan protein tinggi dalam pakan dapat berperan untuk akumulasi kalsium tubuh. Adanya ikatan kalsium dan protein dengan pengaruh vitamin D akan mempertahankan konsentrasi kalsium dalam tubuh (Davis & Gatlin III 1991). Oleh karena itu, meningkatnya retensi kalsium dalam tubuh dapat mempercepat proses pengerasan kulit sehingga FGK menjadi lebih tinggi.
77
Pertumbuhan postlarva secara nyata merupakan respon dari penambahan protein pakan. Data yang tersaji memperlihatkan bahwa rata-rata retensi protein tertinggi akan diikuti oleh nilai LPRH tertinggi pula pada perlakuan H (45% protein; 2% kalsium) sebesar 12,90% yang berbeda nyata dengan perlakuan lain. Peningkatan kadar protein pakan 45% diduga memberi sumbangan asam amino dalam porsi yang lebih banyak sehingga udang mampu secara efisien memanfaatkan kelebihan protein pakan untuk pertumbuhan di media salinitas 2 ppt. Hasil ini sejalan dengan laporan Rosas et al. (2001), diacu dalam Cuzon et al. (2004) berdasarkan penelitian di media salinitas 15 ppt. Laju pertumbuhan vaname lebih tinggi dicapai dengan pemberian pakan buatan berkadar protein 50% dibandingkan kadar protein 30%. Shiau et al. (1991) melaporkan hasil yang relatif sama ketika menggunakan udang windu (P. monodon). Pemeliharaan dilakukan pada media salinitas 15 ppt dengan perlakuan kadar protein pakan (32%, 36%, 40%, 44%, 48%, 52%). Penambahan bobot tertinggi ditunjukkan udang yang diberi pakan dengan kadar protein 44% yang tidak berbeda nyata dengan pakan berkadar protein 48% dan 52%, sedangkan pertumbuhan yang rendah dengan pemberian pakan 32%, 36%, dan 40% protein. Nilai LPRH tertinggi dalam penelitian ini mengindikasikan pemberian pakan dengan protein 45% dan kalsium 2% dibutuhkan bagi pemeliharaan postlarva vaname di salinitas 2 ppt. Cuzon et al. (2004) menyatakan bahwa pada kondisi salinitas rendah maka pemberian protein pakan tinggi dapat menghasilkan laju pertumbuhan yang tinggi karena pengaruh suplai asam amino pakan sebagai sumber energi dan menggantikan kehilangan asam amino dalam jaringan tubuh. Laju pertumbuhan yang tinggi akan diiringi dengan semakin meningkatnya konsentrasi protein hemolimp menandakan bahwa metabolisme protein meningkat ketika udang diberi pakan dengan kadar protein tinggi. Kehilangan asam amino bebas (FAA) dari otot yang dilepas ke darah setelah perubahan salinitas menyebabkan peningkatan pemasukan air dari medium eksternal. Namun, adanya mekanisme transfer FAA ke kelenjar gastrik akan dapat meminimalkan beban osmotik. Hal ini karena sintesis hemosianin yang terjadi di kelenjar gastrik dapat menyebabkan meningkatnya kandungan protein hemolimp ketika FAA ditransfer dari darah.
78
Konsentrasi protein hemolimp yang tinggi setelah aklimasi ke salinitas rendah menandakan bahwa kandungan hemosianin digunakan sebagai sumber energi. Di samping itu, jenis krustasea secara umum mampu beradaptasi dengan mensintesa glukosa melalui glukoneogenesis yang dipengaruhi metabolisme asam amino (Pascual et al. 2004). Kebutuhan untuk suplai energi osmotik di salinitas rendah dapat dipenuhi dengan ketersediaan asam amino esensial. Dengan perlakuan H (45% protein; 2% kalsium) pakan, ketersediaan asam amino hemolimp dan sintesis hemosianin diduga meningkat. Kelebihan protein dari yang dibutuhkan untuk aktivitas dasar terlihat dari naiknya nilai rentensi protein (RP) yang menyebabkan meningkatnya laju pertumbuhan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa efisiensi pemanfaatan pakan (EP) dipengaruhi oleh kadar protein dan kalsium pakan. Karena LPRH tertinggi dicapai pada perlakuan H (45% protein; 2% Ca2+), dengan jumlah pakan sama maka EP dicapai juga tertinggi sekitar 73,99±1,41% pada perlakuan tersebut. Nilai efisiensi pakan tertinggi membuktikan bahwa postlarva membutuhkan pasokan nutrien khususnya protein lebih tinggi. Dengan rasio energi protein sama pada seluruh perlakuan, maka postlarva mampu memanfaatkan sumber energi lain yang terdapat dalam pakan secara sama terutama karbohidrat dan lemak tanpa mengganggu porsi protein pakan yang digunakan untuk tumbuh. Penggunaan energi protein sebagai sumber energi secara relatif akan kurang efisien dibandingkan dengan lipid, karena dapat mengurangi jumlah ketersediaan protein bagi penyusun jaringan tubuh (Kureshy & Davis 2002). Dari hasil yang didapat, nilai EP yang dihubungkan dengan nilai LPRH maksimum menunjukkan bahwa penggunaan protein 45% dan kalsium 2% dalam pakan dapat lebih efisien untuk meningkatkan pertumbuhan. Nilai sintasan didapat cenderung sama pada seluruh perlakuan. Tingginya nilai sintasan (100%) berarti kualitas media pemeliharaan dengan sistem resirkulasi mampu mendukung sintasan postlarva di media salinitas rendah. Nilai sintasan yang didapat dalam penelitian ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menggunakan sistem resirkulasi. Cheng et al. (2006) melaporkan nilai sintasan juvenil vaname di media salinitas
79
2 ppt sekitar 58,33-85,27% dengan perlakuan rasio Ca/P dalam pakan, sedangkan Roy et al. (2006) mencatat bahwa nilai sintasan juvenil vaname sekitar 93,4-97,5% ketika dipelihara di media salinitas 1,5 ppt dengan pemberian suplemen lesitin dan kolesterol dalam pakan. Hasil penelitian di media salinitas 2 ppt menggunakan sistem statis dengan perlakuan pergantian pakan alami dan buatan oleh Taqwa (2008) menunjukkan nilai sintasan postlarva vaname berkisar antara 81,67-90,00%. Dalam penelitian ini, nilai sintasan yang tinggi menggambarkan bahwa kondisi media serta densitas udang sangat mendukung pemeliharaan di salinitas 2 ppt. Postlarva yang telah beradaptasi terhadap lingkungan salinitas 2 ppt juga menunjukkan bahwa pada stadia PL 25 organ pencernaan telah mampu memanfaatkan pakan yang diberikan.
80
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
Perlakuan terbaik untuk mempertahankan sintasan postlarva vaname tetap tinggi pada saat salinitas 0 ppt adalah dengan penambahan kalsium 50 ppm sehingga kadar kalsium air menjadi 70 ppm.
2.
Nilai sintasan baik di salinitas 2 ppt maupun 25 ppt mencapai 100%, akan tetapi beban osmotik pada salinitas 2 ppt jauh lebih tinggi dibandingkan pada salinitas 25 ppt (kondisi normal).
3.
Kadar potasium tubuh, laju pertumbuhan bobot rerata harian, dan efisiensi pakan mencapai nilai maksimum yang disertai dengan nilai gradien osmotik dan pembelanjaan energi pada metabolisme basal terendah dari postlarva vaname di media salinitas 2 ppt adalah pada kadar K+ media minimum 41,44 ppm.
4.
Kadar protein 45% dan kalsium 2% pakan menghasilkan kinerja pertumbuhan terbaik pada postlarva vaname yang dipelihara pada media 2 ppt. Saran
1.
Untuk menghasilkan daya tahan hidup postlarva saat tahapan aklimasi ke salinitas 0 ppt hingga 2 ppt diperlukan penambahan kalsium sekurangnya 50 ppm sehingga kadar kalsium 70 ppm dalam media air tawar.
2.
Penambahan K+ sekitar 60 ppm diperlukan untuk pemeliharaan postlarva vaname setelah tahapan aklimasi.
3.
Pemeliharaan postlarva vaname di salinitas 2 ppt dapat menggunakan pakan praktis dengan kadar protein 45% dan kalsium 2%.
4.
Diperlukan penelitian lanjutan dengan tujuan untuk mendapatkan waktu aklimasi ke salinitas rendah lebih singkat dari penelitian ini (96 jam), dengan pemberian mineral lain selain Ca2+ seperti K+ dan Mg2+.
81
DAFTAR PUSTAKA Adey WH, Loveland K. 1991. Dinamic Aquaria. Building Living Ecosystems. San Diego: Academic Press, Inc. Affandi R, Tang UM. 2002. Fisiologi Hewan Air. Pekanbaru: Unri Press. Aiken DE, Waddy SL. 1992. The growth process in crayfish. Aquatic Scien 6:335-381. Ali M, Iqbali R, Rana SA, Athar M, Iqbali F. 2006. Effect of feed cycling on specific growth rate, condition factor and RNA/DNA ratio of Labeo rohita. Afr J Biotech 5:1551-1556. [Anonim]. 2005. Petunjuk Teknis Pembenihan Udang Vannamei. Situbondo: BBAP. Bailey-Brock JH, Moss SM. 1992. Penaeid taxonomy, biology and zoogeography. Di dalam: Fast AW & Lester LJ, editor. Marine Shrimp Culture:Principles and Practices. Amsterdam: Elsevier Science Publishers. hlm 9-27. [BNF] British National Foundation. 1992. Unsaturated Fatty Acids. Nutritional and Physiological Significance. Chapman and Hall. Boyd CE. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Fourth Printing. Alabama : Auburn University Agricultural Experiment Station. Bray WA, Lawrence AL, Leung-Trujillo JR. 1994. The effect of salinity on growth and survival of Penaeus vannamei,with observations on the interaction of IHHN virus and salinity. Aquaculture 122:133-146. Brett JR, Groves TDD. 1979. Physiological Energetics. Di dalam: Hoar WS, Randall DJ, Brett JR, editor. Fish physiology Volume ke-VIII. Bioenergetics and Growth. San Diego: Academic Press. Inc. hlm 279-352. Buckle LF, Baron B, Hernandez M. 2006. Osmoregulatory capacity of the shrimp Litopenaeus vannamei at different temperatures and salinities, and optimal culture environment. J Tropic Biol 54:745-753. Busacker GP, Adelman IR, Goolish EM. 1990. Growth. Di dalam: Schreck CB & Moyle PB, editor. Methods for Fish Biology. Maryland: America Fishery Society. hlm 363-387. Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2002. Biologi. Ed ke-5. Jilid ke-1. Manalu W, penerjemah. Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Biology, Fifth Edition.
82
Carrier JC, Evans DH. 1976. The role of environmental calcium in freshwater survival of the marine teleost, Lagodon rhomboides. J experim Biol 65:529-538. Cheng W, Liu CH, Kuo CM. 2003. Effects of dissolved oxygen on hemolymph parameters of freshwater giant prawn, Macrobrachium rosenbergii (de Man). Aquaculture 220:843–856. Cheng KM, Hu CQ, Liu YN, Zheng SX, Qi XJ. 2006. Effects of dietary calcium, phosphorus and calcium/ phosphorus ratio on the growth and tissue mineralization of Litopenaeus vannamei reared in low-salinity water. Aquaculture 251:472-483. Colvin LB, Brand CW. 1977. The protein requirement of penaeid shrimp at various life cycle stages in controlled environment systems. Proc Wor Maric Soc 8:821–840. Cousin M. 1995. Contribution a` l’e´tude de l’utilisation des glucides et du rapport proteine/e´nergie chez P. vannamei et P. stylirostris. Paris: Institut National Agronomique Paris-Grignon. Cuzon G, Lawrence A, Gaxiola G, Rosas C, Guillaume J. 2004. Nutrition of Litopenaeus vannamei reared in tanks or in ponds. Aquaculture 235:513-551. Davis DA, Gatlin DM III. 1991. Dietary mineral requirements of fish and shrimp. Di dalam: Akiyama DM, Tan RKH, editor. Proceedings of the Aquaculture Feed Processing and Nutrition Workshop. Singapore: American Soybean Association. hlm 49-67. Davis, DA., Lawrence AL, Gatlin DM III. 1992. Mineral requirements of Penaeus vannamei: a preliminary examination of the dietary essentiality for thirteen minerals. J Wor Aquac Soc 23:8–14. Davis DA, Lawrence A, Gatlin DM III. 1993. Response of Penaeus vannamei to dietary calcium, phosphorus, and calcium: phosphorus ratio. J Wor Aquac Soc 24:504-515. Davis DA, Saoud IP, McGraw WJ, Rouse DB. 2002. Consideration for Litopenaeus vannamei reared in inland low salinity waters. Di dalam CruzSuarez IE, Rieque-Marie D, Tapia-Salazar M, Gaxiola-Cortes MG, Simoes N, editor. Avances en nutricion acuicola VI memories del VI Simposium Internacional de Nutricion Acuicola 3 al 6 de September del 2002. Cancun, Quantana Roo. Hlm 73-90. Davis DA, Samocha TM, Boyd CE. 2004. Acclimating pacific white shrimp, Litopenaeus vannamei, to Inland, Low-Salinity Waters. SRAC Publication No. 2601.
83
Davis DA, Boyd CE, Rouse DB, Saoud IP. 2005. Effects of potassium, magnesium and age on growth and survival of Litopenaeus vannamei postlarvae reared in inland low salinity well waters in West Alabama. J Wor Aquac Soc 36:416-419. Dennell R. 1960. Integument and exoskeleton.. Di dalam: Waterman TH, editor. The Physiology of Crustacea. Vol I: Metabolism and growth. New York: Academic Press. hlm 449-472. Dersjant-Li Y, Wu S, Verstegen MWA, Schrama JW, Verreth JAJ. 2001. The impact of changing dietary Na/K ratios on growth and nutrient utilization in juvenile African catfish, Clarias gariepinus. Aquaculture 198:293-305. DiSilvestro RA. 2005. Handbook of Minerals as Nutritional Supplements. Boca Raton: CRC Press. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Revitalisasi Perikanan Budidaya 2006-2009. Jakarta: DKP RI. Edi MH. 1990. Peranan kalsit air media dengan bungkil biji teh pada perangsangan ganti kulit udang windu (Penaeus monodon) [tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Effendie HMI. 2002. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. Elovaara AK. 2001. Shrimp Farming Manual. Practical Technology for Intensive Shrimp Production. Arnold K. Eloovara & Caribbean Press, Ltd. Furuichi M. 1988. Dietary Requirements. Di dalam: Watanabe T, editor. Fish Nutrition and Mariculture. JICA Textbook, the General Aquaculture Course. Tokyo: Department of Aquatic Biosciences, Tokyo University of Fisheries. hlm 8-78. Georgievskii VI. 1982. General information on minerals. Di dalam: Georgievskii VI, Annenkov BN, Samokhin VT, editor. Mineral Nutrition of Animals. London: Butterworths. hlm 11-56. Gonzalez-Felix ML, Lawrence AL, Gatlin DM III, Perez-Velazquez M. 2002. Nutritional evaluation of fatty acids for the open thelycum shrimp, Litopenaeus vannamei: I. Effect of dietary linoleic and linolenic acids at different concentrations and ratios on juvenile shrimp growth, survival, and fatty acid composition. Aquacul Nutr 9:105–113. Gonzalez-Felix ML, Lawrence AL, Gatlin DM III, Perez-Velazquez M. 2003. Nutritional evaluation of fatty acids for the open thelycum shrimp, Litopenaeus vannamei: II. Effect of dietary n-3 and n-6 polyunsaturated and highly unsaturated fatty acids on juvenile shrimp growth, survival, and fatty acid composition. Aquacul Nutr 9:115-122.
84
Gwak WS, Tsusaki T, Tanaka M. 2003. Nutritional condition, as evaluated by RNA/DNA ratios, of hatchery-reared Japanese flounder from hatch to release. Aquaculture 219:503–514. Hammond KS, Hollow JW, Townsend CR, Lokman PM. 2006. Effects of temperature and water calcium concentration on growth, survival and moulting of freshwater crayfish, Paranephrops zealandicus. Aquaculture 251:271–279. Hana GC. 2007. Respon udang vannamei (Litopenaeus vannamei) terhadap media bersalinitas rendah [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hariyadi S, Suryadiputra INN, Widigdo B. 1992. Limnologi Metoda Analisa Kualitas Air. Bogor: Laboratorium Limnologi Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hilton JW. 1989. The interaction of vitamins, minerals and diet composition in the diet of fish. Aquaculture 79:223-244. Houlihan DF, Mathers E, Foster A. 1993. Biochemical correlates of growth rate in fish. Di dalam: Rankin JC & Janxsen FB, editor. Fish Ecophysiology. London: Chapman and Hall. hlm 45-71. Huberman A. 2000. Shrimp endocrinology. A review. Aquaculture 191:191-208. Huisman EA. 1976. Food Conversion efficiencies at maintenance and production level of carp, Cyprinus carpio and rainbow trout, Salmo gairdneri. Aquaculture 9:259-273. Imsland AK, Gunnarsson S, Foss A, Stefansson SO. 2003. Gill Na+, K+-ATPase activity, plasma chloride and osmolality in juvenile turbot (Scophthalmus maximus) reared at different temperatures and salinities. Aquaculture 218:671-683. Irawan B. 1988. Pengaruh pemberian kapur terhadap kualitas habitat dan produksi biomassa udang windu (Penaeus monodon Fabricus) [tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kaligis EY. 2005. Pertumbuhan dan sintasan postlarva lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) pada media alkalinitas berbeda [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kontara EKM, Lavens P, Sorgeloos P. 1995. Dietary effects of DHA/EPA on culture performance and fatty acid composition of Penaeus monodon postlarvae. Di dalam: Lavens P, Jaspers E, Roelants I, editor. Larvi ’95. Europ Aquac Soc. hal 204–208.
85
Kumlu M, Eroldogan OT, Saglamtimur B. 2001. The effects of salinity and added substrates on growth and survival of Metapenaeus monoceros Decapoda: Penaeidae post-larvae. Aquaculture 196:177–188. Kureshy N, Davis DA. 2002. Protein requirement for maintenance and maximum weight gain for the Pacific white shrimp, Litopenaeus vannamei. Aquaculture 204:125–143. Larvor P. 1983. Minerals. Di dalam: Riis PM, editor. Dinamic Biochemistry of Animal Production. Amsterdam: Elsevier. hlm 281-315. Lavens P, Sorgeloos P. 2000. Experiences on importance of diet for shrimp postlarval quality. Aquaculture 191:169-176. Lemaire P, Bernard E, Martinez-Paz JA, Chim L. 2002. Combined effect of temperature and salinity on osmoregulation of juvenile and subadult Penaeus stylirostris. Aquaculture 209:307-317. Li E et al. 2007. Growth, body composition, respiration and ambient ammonia nitrogen tolerance of the juvenile white shrimp, Litopenaeus vannamei, at different salinities. Short communication. Aquaculture 265:385–390. Liao IC, Huang HJ. 1975. Studies on the respiration jof economic prawns in Taiwan. I. Oxygen comsumption and lethal dissolved oxygen of egg up to young prawns of Penaeus monodon Fab. J Fis Soc Taiw 4:33-50. Lignot JH, Spanings-Pierrot C, Charmantier G. 2000. Osmoregulatory capacity as a tool in monitoring the physiological condition and the effect of stress in crustaceans. Aquaculture 191:209–245. Lowery RS. 1988. Growth, moulting and reproduction. Di dalam: Holdich DM, Lowery RS, editor. Freshwater Crayfish: Biology Management and Exploitation. Portland: Timber Press. hlm 83-90. Madigan MT, Martinko JM, Dunlap PV, Clark DP. 2009. Biology of Microorganisms. Ed ke-12. San Fransisco: Pearson Education, Inc. Mantel LH, Farmer LL. 1983. Osmotic and ionic regulation. Di dalam: Mantel LH, editor. The Biology of Crustacea, Volume ke-5.Internal Anatomy and Physiological Regulation. New York: Academic Press. hlm 53-161. Martin Jr. DW, Mayes PA, Rodwell VW. 1984. Biokimia. Edisi ke-19. Dharma A, Kurniawan AS, penerjemah. Jakarta: EGC penerbit buku kedokteran. Terjemahan dari: Harper’s Review of Biochemistry. McGraw WJ, Davis DA, Teichert-Coddington D, Rouse DB. 2002. Acclimation of Litopenaeus vannamei postlarvae to low salinity: Influence of age, salinity endpoint, and rate of salinity reduction. J Wor Aquac Soc. hal 78-84.
86
McGraw WJ, Scarpa J. 2003. Minimum environmental potassium for survival of Pasific white shrimp Litopenaeus vannamei (Bonne) in freshwater. J Shell Res 22:263-267. McNevin AA, Boyd CE, Silapajarn O, Silapajarn K. 2004. Ionic supplementation of pond waters for inland culture of marine shrimp. J Wor Aquac Soc 35:460467. Nandeesha MC, Gangadhara B, Varghese TJ, Keshavanath P. 2000. Growth response and flesh quality of common carp, Cyprinus carpio fed with high levels of nondefatted silkworm pupae. Asian Fisher Scien 13:235-242 [NRC] National Research Council. 1983. Nutrient Requirements of Warm Water Fishes and Shellfish; Revised Edition. Washington DC: National Academic Press. Neufeld DS, Cameron JN. 1994. Effect of the external concentration of calcium on the postmoult uptake of calcium in blue crabs (Callinectes sapidus). J Experim Biol 188:1-9. Nurdjana ML. 2010. Program peningkatan produksi perikanan tahun 2010-2014 dalam rangka feed the world. Disampaikan pada “Seminar Nasional Feed The World”, Jakarta Convention Center, 28 Januari 2010. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, DKP RI. Palacios E, Bonilla A, Luna D, Racotta IS. 2004. Survival, Na+/K+-ATPase and lipid responses to salinity challenge in fed and starved white pacific shrimp (Litopenaeus vannamei) postlarvae. Aquaculture 234:497-511. Pascual C et al. 2004. Litopenaeus vannamei juveniles energetic balance and immunological response to dietary proteins. Aquaculture 239:375–395. Passano LM. 1960. Moulting and its control. Di dalam: Waterman TH, editor. The Physiology of Crustacean. Volume ke-1. Metabolism and Growth. New York : Academic Press. hlm 473-536. Perry H et al. 2001. Calcium concentration in seawater and exoskeletal calcification in the blue crab, Callinectes sapidus. Aquaculture 198:197–208. Phillips Jr. AM. 1969. Nutrition, digestion, and energy utilization. Di dalam: Hoar WS, Randall DJ, editor. Fish Physiology. Volume ke-1, Excretion, Ionic Regulation, and Metabolism. New York: Academic Press. hlm 391-432. Piliang WG. 2005. Nutrisi Mineral. Edisi ke-5. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Potts WTW. 1984. Transepithelial potential in fish gills. Di dalam: Hoar WS, Randall DJ, editor. Fish physiology, Volume ke-10 Bagian ke-2. Ion and Water Transfer. Orlando: Academic Press. hlm 105 –128.
87
Raae AJ, Opstad I, Kvenseth P, Walther BT. 1988. RNA, DNA, and protein during early development in feeding and starved cod (Gadus morhua L.) larvae. Aquaculture 73:247-259. Rees JF, Cure K, Piyatiratitivorakul S, Sorgeloos P, Menasveta P. 1994. Highly unsaturated fatty acid requirements of Penaeus monodon postlarvae: an experimental approach based on Artemia enrichment. Aquaculture 122:193– 207. Robertson JD. 1960. Osmotic and ionic regulation. Di dalam: Waterman TH, editor. The Physiology of Crustacean. Volume ke-1: Metabolism and Growth. New York : Academic Press. hlm 317-339. Rooker JR, Holt GJ. 1996. Application of RNA:DNA ratio to evaluate the condition and growth of larval and juvenile red drum (Sciaenops ocellatus). Mar Freshwat Res 47:283-290. Rosas C, et al. 2001. Effect of dietary protein and energy levels (P/E) on growth, oxygen consumption, hemolymph and digestive gland carbohydrates, nitrogen excretion and osmotic pressure of Litopenaeus vannamei and L. setiferus juveniles (Crustacea Decapoda Penaeidae). Aquac Res 32:1-20. Roy LA. 2006. Physiological and nutritional requirements for the culture of the Pacific white shrimp Litopenaeus vannamei in low salinity waters. [dissertation]. Alabama: The Graduate Faculty of Auburn University. Roy LA, Davis DA, Saoud IP. 2006. Effects of lecithin and cholesterol supplementation to practical diets for Litopenaeus vannamei reared in low salinity waters. Aquaculture 257:446–452 Roy LA, Davis DA, Saoud IP, Henry RP. 2007. Effects of varying levels of aqueous potassium and magnesium on survival, growth, and respiration of Litopenaeus vannamei reared in low salinity waters. Aquaculture 262:461–469. Rukke NA. 2002. Effects of low calcium concentrations on two common freshwater crustaceans, Gammarus lacustris and Astacus astacus. Funct Ecol 16:357–366. Sang HM, Fotedar R. 2004. Growth, survival, haemolymph osmolality and organosomatic indices of the western king prawn (Penaeus latisulcatus Kishinouye, 1896) reared at different salinities. Aquaculture 234:601-614. Saoud IP, Davis DA, Rouse DB. 2003. Suitability studies of inland well waters for Litopenaeus vannamei culture. Aquaculture 217:373-383. Satoh S, Porn-Ngam N, Takeuchi T, Watanabe T. 1993. Effect of various types of phosphates on zinc availability to rainbow trout. Nipp Suis Gakk 59:1395-1400.
88
Satterwhite MC. 2003. RNA:DNA as an indicator of nutritional condition and growth in larval naked Goby, Gobiosoma bosc [thesis]. Louisiana State University and Agricultural and Mechanical College. [SEAFDEC] Southeast Asian Fisheries Development Center. 2005. Regional Technical Consultation on the Aquaculture of P. vannamei and Other Exotic Shrimps in Southeast Asia. Manila: SEAFDEC Aquaculture Department. Serang AM. 2006. Pengaruh kadar protein dan rasio energy protein pakan berbeda terhadap kinerja pertumbuhan benih rajungan (Portunus pelagicus) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Shiau SY, Kwok CC, Chow BS. 1991. Optimal dietary protein level of Penaeus monodon reared in seawater and brackish water. Niss Suis Gakk 57:711-716. Sowers AD, Young SP, Grosell M, Browdy CL, Tomasso JR. 2006. Hemolymph osmolality and cation concentrations in Litopenaeus vannamei during exposure to artificial sea salt or a mixed-ion solution: Relationship to potassium flux. Comp Biochem Physiol, A. 145:176–180. Spanopoulos-Hernandez M, Martınez-Palacios CA, Vanegas-Perez RC, Rosas C, Ross LG. 2005. The combined effects of salinity and temperature on the oxygen consumption of juvenile shrimps Litopenaeus stylirostris (Stimpson, 1874). Aquaculture 244:341–348. Steel RGD, Torrie JH. 1991. Principles and Procedures of Statistics. London: McGraw-Hill, Book Company, INC. Syafei LS. 2006. Pengaruh Beban Kerja Osmotik terhadap Sintasan, Lama Waktu Perkembangan Larva dan Potensi Tumbuh Pascalarva Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii) [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Takeuchi T. 1988. Laboratory work, chemical evaluation of dietary nutrients. Di dalam: Watanabe T, editor. Fish Nutrition and Mariculture. JICA Textbook, the General Aquaculture Course. Tokyo: Department of Aquatic Biosciences, Tokyo University of Fisheries. hlm 179-233. Tantulo U, Fotedar R. 2006. Comparison of growth, osmoregulatory capacity, ionic regulation and organoiosmotic indices of black tiger prawn (Penaeus monodon Fabricus, 1798) juveniles reared in potassium fortified inland saline water and ocean water at different salinities. Aquaculture 258:594-605. Taqwa FH. 2008. Pengaruh penambahan kalium pada masa adaptasi penurunan salinitas dan waktu penggantian pakan alami oleh pakan buatan terhadap performa postlarva udang vaname (Litopenaeus vannamei) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
89
Tarkii K et al. 1994. Chemical composition, RNA and DNA content, and alkaline phosphatase activity with growth of striped jack larvae through juveniles. Fish Scien 60:73-79. Taukhid, Partasasmita S, Haryadi J, Sudradjat A. 2006. Permasalahan umum dan rekomendasi solusi budi daya udang vaname (Litopenaeus vannamei) di Jawa Timur. Di dalam: Sudradjad A, Rusastra IW, Heruwati ES, Priono B, editor. Analisis Kebijakan Pembangunan Perikanan Budi Daya. Pusat Riset Perikanan Budidaya. hlm 15-22. Thomas CW, Crear BJ, Hart PR. 2000. The effect of temperature on survival, growth, feeding and metabolic activity of the southern rock lobster, Jasus edwardsii. Aquaculture 185:73–84. Tsuzuki MY, Cavally RO, Bianchini A. 2003. Effect of salinity on survival, growth, and oxygen consumption of Pink shrimp Farfantepenaeus paulensis (Perez – Farfante 1967). J Shellf Res 22:555–559. Wahyudin. 2005. Pengaruh rotifera yang diperkaya dengan beberapa jenis sumber lemak terhadap kelangsungan hidup udang vannamei (Litopenaeus vannamei) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Wickins JF, Lee DOC. 2002. Crustacean Farming, Ranching and Culture. Oxford: Blackwell Science. Wood RJ. 2000. Calcium and phosphorus. Di dalam: Stipanuk MH, editor. Biochemical and Physiological Aspects of Human Nutrition. Philadelphia: W.B. Saunders Company. hlm 643-670. Wyban JA, Sweeney JN. 1991. Intensif Shrimp Production Technology, the Oceanic Institut Shrimp Manual. Honolulu: The Oceanic Institute. Zhu C, Dong S, Wang F, Huang G. 2004. Effects of Na/K ratio in seawater on growth and energy budget of juvenile Litopenaeus vannamei. Aquaculture 234:485–496.
90
LAMPIRAN
91
Lampiran 1 Pengukuran osmolaritas dengan osmometer (SOP OSMOMAT 030) 1. Menyalakan main power (terletak di belakang dekat kabel main power) 2. Posisi handle sampel di atas 3. Alat akan melakukan prosedur pemanasan dengan indikasi lampu spont cryst result dan no cryst menyala secara bergantian. Tunggu sampai mati hanya lampu sampel yang menyala 4. Zero set: a. Siapkan aquadest dan masukkan 50 µm dalam tabung sampel masukkan ke sensor b. Tekan tombol zero sampai keluar angka 0.000 c. Turunkan handle sampel tunggu sampai display 0.000 dan lampu result menyala d. Angkat handle e. Bilas sensor menggunakan aquadest bersihkan dengan tissue 5. Kalibrasi: a. Siapkan cairan standar kalibrasi dan masukkan 50 µm dalam tabung sampel masukkan ke sensor b. Tekan tombol Cal sampai keluar angka 0.300 c. Turunkan handle sampel tunggu sampai display 0.300 dan lampu result menyala d. Angkat handle e. Bilas sensor menggunakan aquadest bersihkan dengan tissue 6. Sampel: a. Siapkan cairan sampel dan masukkan 50 µm dalam tabung sampel kemudian masukkan ke sensor b. Tekan tombol sampel c. Turunkan handle sampel tunggu sampai pengukuran selesai dan lampu resultnya menyala d. Angkat handle e. Bilas sensor menggunakan aquadest bersihkan dengan tissue 7. Setelah selesai melakukan pengukuran: a. Bersihkan sensor menggunakan tissue basahi aquadest b. Pada saat tidak digunakan sensor harus di tutup dengan tabung kosong (handle dalam posisi turun) c. Matikan main power: off d. Cabut aliran listrik dari pusat listrik
92
Lampiran 2 Prosedur preparasi sampel untuk analisa mineral 1.
Timbang 1 gr sampel, kemudian masukkan kedalam erlenmeyer ukuran 125 ml/100 ml
2.
Tambahkan 5 ml HNO3 (p) diamkan selama 1 jam pada suhu ruang di ruang asam.
3.
Panaskan diatas hot plate dengan temperatur rendah selama 4-6 jam (dalam ruang asam).
4.
Biarkan semalam (sampel ditutup).
5.
Tambahkan 0,4 ml H2SO4 (p), lalu panaskan diatas hot plate sampai larutan berkurang (lebih pekat), biasanya 1 jam.
6.
Tambahkan 2-3 tetes larutan campuran HClO4: HNO3 (2:1). Sampel masih tetap diatas hot plate, pemanasan terus dilanjutkan sampai ada perubahan warna dari coklat ke kuning tua dan ke kuning muda (biasanya 1 jam)
7.
Setelah ada perubahan warna, pemanasan masih dilanjutkan selama 10-15 menit
8.
Pindahkan sampel, dinginkan dan tambahkan 2 ml aquades dan 0,6 ml HCl (p).
9.
Panaskan kembali agar sampel larut (15 menit), kemudian masukkan ke dalam labu takar 100 ml.
10.
Apabila ada endapan, saring dengan glass wool
11.
Hasil pengabuan basah bisa di analisa di AAS atau spektrofotometer untuk analisa berbagai mineral.
Sebelumnya dipreparasi dulu dengan faktor pengenceran yang dibutuhkan, selanjutnya tambahkan bahan kimia untuk menghilangkan ion-ion pengganggu (Cl3La.7H2O). Analisa Fosfor
Analisa Ca, Mg, K, Na, Zn, Fe, dll
100 ml
0,5 ml
100 ml
+
Aquades (up to 3 ml) + 2 ml lar. C
Di dipipet 0,5 ml
+
0,05 ml Cl3La.7H2O Aquades (5 ml)
Di kocok divortex
93
Lampiran 3 Pengukuran kandungan mineral dengan Atomic Absorption Spectrofotometer (AAS, Shimadzu AA-680) AAS Spektro (λ = 660 nm)
1. 2. 3. 4.
5.
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
13. 14.
15. 16. 17. 18. 19. 20.
Hubungkan alat dengan listrik Nyalakan stabilizer Gas asetilen dibuka Nyalakan kompresor a. Tekan tombol On b. Tutup semua kran udara yang ada di kompresor (Ada 3 kran, 1 dibawah alat kompresor,1 di tempat berwarna biru muda, 1 kran bawah pada alat sebelah kompresor) c. Tunggu sampai tekanan berhenti pada angka 2 Hidupkan Power Utama pada alat dihidupkan, tunggu sampai inisialisasi lampu kathoda selesai, ditandai dengan munculnya ”Shimadzu AA-680 Ready” pada printer Tekan Mode, lalu tekan angka 2, Enter Tekan Signal Proc, lalu tekan angka 3, Enter Untuk memilih lampu, misalnya Calsium Tekan #HC Lamp, tekan angka 1, Enter Tekan Elem, tekan angka 9, Enter Tekan Start, tunggu sampai keluar ”Analytical Line Search” pada print out Matikan Start, ditunggu sampai 15 menit Tahap pengukuran sampel a. Matikan Leak CHK b. Hidupkan Ignite, ditekan sampai api pada pembakaran hidup c. Tekan Start d. Masukan selang pengisap sampel pada aquadest untuk menolkan alat (Blanko) e. Tekan ”Measure”, selama nyala pada Measure belum hilang, selang jangan diangkat f. Setelah nyala pada Measure hilang, angkat selang dan celupkan pada larutan standar g. Demikian seterusnya sampai pengukuran pada sampel dilakukan hal yang sama Ulangi injek larutan standar setelah pengecekan sekitar 12 sampel Setelah semua sampel diukur, tekan Extinguish Pada tahap ini, bila akan ganti lampu kathoda (untuk analisis mineral yang lain), dilakukan lagi tahap no.8-10 Apabila selesai analisis sampel, tutup gas asetilen Tekan Extinguish Kompresor di ”Off” kan, dibuka semua kran yang awalnya ditutup, dibiarkan sampai tekanan turun pada angka 0 Matikan Power Utama Stabilizer di Off kan Cabut stop kontak
94
Lampiran 4 Prosedur ekstraksi DNA (Puregene) 1. Timbang 5-10 mg sampel daging, tambahkan 200 µl Cell Lysis Solution. 2. Tambahkan 1,5 µl Proteinase K (20 mg/ml). Inkubasi pada suhu 55°C (over night). 3. Sampel dikeluarkan dari alat inkubator dan biarkan sampai mencapai suhu ruang. Tambahkan 1,5 µl RNase (4 mg/ml), aduk dengan hati-hati sebanyak 25 kali. Inkubasi pada 37°C selama 60 menit. 4. Keluarkan sampel dari alat inkubator dan biarkan sampai mencapai suhu ruang. Disimpan on ice selama 5 menit. Tambahkan 100 µl Protein Precipitation Solution. 5. Sentrifuse pada 12.000 rpm selama 10 menit. 6. Pindahkan supernatan ke tube baru yang telah berisi 300 µl Isopropanol, diaduk dengan hati-hati sebanyak 50 kali. 7. Sentrifuse pada 12.000 rpm selama 3 menit. 8. Pindahkan/buang supernatan, tambahkan 300 µl Etanol 70% dingin. 9. Sentrifuse pada 12.000 rpm selama 3 menit. 10. Buang Etanol dan kering udarakan pellet DNA selama 15 menit. 11. Tambahkan 50 jil DNA Rehydration Solution atau SOW, inkubasi pada 65°C selama 1 jam. 12. Simpan larutan DNA pada refrigerator (suhu 4°C).
95
Lampiran 5 Prosedur ekstraksi RNA 1.
Timbang sampel daging sebanyak 25-50 mg
2.
Masukkan ke dalam mikrotube 1,5 ml yang telah berisi 200 µl ISOGEN (on ice), kemudian digerus sampai hancur.
3.
Jika belum hancur, tambahkan lagi 200 µl ISOGEN, digerus kembali sampai semua jaringan hancur.
4.
Jika semua jaringan telah hancur, tambahkan 400 µl ISOGEN (volume akhir 800 ul).
5.
Simpan di suhu ruang selama 5 menit (lysis).
6. Tambahkan 200 µl Chloroform (CHCI3), vortex selama 15 detik pada kecepatan sedang. 7.
Simpan di suhu ruang, selama 2-3 menit.
8. Sentrifus pada suhu ruang, selama 5 menit. Supernatan yang terbentuk dipindah ke tube yang baru. 9. Pindahkan supernatan pada tube baru yang telah berisi 400 µl Isopropanol. 10. Vortex pelan sampai homogen, simpan pada suhu ruang selama 5-10 menit. 11. Sentrifus pada suhu 4°C, kecepatan 12.000 rpm, selama 15 menit. 12. Supernatan dibuang, tambahkan 1 ml Ethanol 70% dingin, jangan divortex. 13. Sentrifus pada suhu 4°C, kecepatan 12.000 rpm, selama 15 menit. 14. Buang supernatan, lalu dikering udarakan. Setelah kering, tambahkan DEPC (20-50 µl). 15. Konsentrasi larutan RNA diukur dengan menggunakan alat Gene Quant.
96
Lampiran 6 Prosedur pengukuran konsentrasi DNA dan RNA 1. Larutan DNA atau RNA diencerkan terlebih dahulu sebanyak 40 kali. 2. Alat Gene Quant dinyalakan, dan kuvet dikeluarkan dari tempat penyimpanan lalu dibilas dengan akuades. 3. Kalibrasi dilakukan dengan mengukur absorbansi pelarut (SOW untuk DNA dan DEPC untuk RNA), dengan memasukkan 80 µl pelarut tersebut ke dalam kuvet. Kemudian kuvet dimasukkan ke dalam alat, lalu tekan tombol "set ref", hasil pembacaan akan menunjukkan nilai absorbansi 0.000. Dilanjutkan dengan pengukuran konsentrasi DNA atau RNA. 4. Kuvet yang akan digunakan, dibilas terlebih dahulu dengan 20 µl larutan DNA atau RNA yang akan diukur. Setelah itu larutan yang akan diukur dimasukkan ke dalam kuvet sebanyak 80 µl dan kuvet diletakkan di dalam alat. 5. Setelah tombol "sample" ditekan dan konsentrasi larutan sudah terbaca, kuvet dikeluarkan dan dibilas dengan akuades.
97
Lampiran 7 Prosedur analisis proksimat pakan dan udang a. Prosedur analisis kadar protein kasar dengan metode semi mikro Kjeldahl (Takeuchi 1988) 1. Timbang sampel sebanyak 0,5-1,0 g dan masukan ke dalam labu Kjedahl no. 1, kemudian salah satu labu (no. 2) digunakan sebagai blanko. 2. Tambahkan ke dalam labu no. 1 sebanyak 3 gram katalis (K2SO4 + CuSO4.5H2O) dengan rasio 9 : 1 (w/w) dan 10 ml H2SO4 pekat). 3. Labu no. 2 dipanaskan 3-4 jam sampai cairan dalam labu berwarna hijau, setelah itu pemanasan diperpanjang 30 menit lagi. 4. Larutan didinginkan lalu ditambahkan air destilata 30 ml. Selanjutnya larutan no. 2 dimasukan ke labu takar, tambahkan larutan destilata sampai volume larutan menjadi 100 ml. 5. Dilakukan proses destilasi untuk membebaskan kembali NH3 yang berasal dari proses destruksi pada no. 4. 6. Labu erlenmeyer diisi 10 ml H2SO4 0,05 N dan ditambahkan 2-3 tetes indikator (methyl red/methylen blue), dipersiapkan sebagai penampung NHa yang dibebaskan dari labu no. 4. 7. Labu destilasi diisi 5 ml larutan no. 4, lalu ditambah larutan natrium hidroksida 30%. 8. Pemanasan dengan uap terhadap labu destilasi (no. 7) dilakukan minimum 10 menit, setelah kondensasi uap terlihat pada kondensor. 9. Larutan dalam labu erlenmeyer dititrasi dengan 0,05 N larutan natrium hidroksida. 10. Dengan metode ini diperoleh kadar nitrogen total yang dihitung dengan rumus: 0,0007* × (Vb - Vs) × F × 6,25** × 20 Kadar protein (%) =
× 100 S
Keterangan: Vs
:
ml 0,05 N titer NaOH untuk sampel
Vb
:
ml titer NaOH untuk blanko
98
F S * **
: : : :
faktor koreksi dari 0,05 N larutan NaOH bobot sampel (g) 1 ml NaOH = 0,0007 g nitrogen faktor nitrogen
b. Prosedur analisis kadar lemak kasar dengan metode ether Soxhlet (Takeuchi 1988) 1. Labu ekstraksi dipanaskan pada suhu 110°C selama 1 jam. Kemudian didinginkan selama 30 menit dalam eksikator. Panaskan kembali selama 30 menit, lalu dinginkan, kemudian ditimbang. Proses tersebut diulang sampai tidak ada perbedaan bobot labu lebih dari 0,3 mg. Bobot labu ekstraksi ditimbang (A). 2. Sebanyak 1-2 sampel dimasukkan ke dalam tabung filter, lalu dipanaskan pada suhu 100°C selama 2-3 jam. 3. Tempatkan tabung filter pada no. 2 ke dalam ekstraksi dari alat Soxhlet. Kemudian disambungkan kondensor labu ekstraksi pada no. 1 yang telah diisi 100 ml petroleum ether. 4. Panaskan ether pada labu ekstraksi dengan menggunakan water bath, pada suhu 70°C selama 16 jam. 5.
Panaskan labu ekstraksi pada suhu 100°C, kemudian timbang (B).
6.
Persentase lemak kasar dihitung dengan menggunakan rumus : B - A Kadar lemak (%) =
× 100 bobot sampel
c.
Prosedur analisis kadar abu (Takeuchi 1988) 1. Cawan
porselen dipanaskan pada suhu 600°C selama 1 jam dengan
menggunakan muffle furnace, kemudian dibiarkan pada suhu muffle furnace turun sampai 110°C, lalu cawan porselin dikeluarkan dan disimpan dalam eksikator selama 30 menit, lalu ditimbang (A). 2. Masukkan sampel lalu timbang (B), penimbangan sampai 4 desimal. 3. Panaskan dalam muffle furnace pada suhu 600°C, sampai bahan berwarna putih.
99
4. Cawan porselen dikeluarkan lalu didinginkan dalam eksikator selama 30 menit, lalu ditimbang (C). 5.
Persentase kadar abu ditentukan dengan rumus : C - A Kadar abu (%)
=
× 100 B - A
d. Prosedur analisis kadar air (Takeuchi 1988) 1. Cawan porselen dipanaskan pada suhu 105-110°C selama 1 jam, didinginkan dalam eksikator 10 menit dan ditimbang (X1). 2.
Bahan seberat A gram dimasukkan ke dalam cawan X1.
3.
Cawan yang sudah berisi bahan dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105-110°C selama 3 jam, selanjutnya didinginkan dalam eksikator dan ditimbang.
4. Prosedur no. 3 diulang kembali, jika tidak ada perubahan bobot maka pengukuran selesai (X2). 5. Persentase kadar air dihitung dengan rumus: X1 - X2 Kadar air (%) =
× 100 A
e. Prosedur analisis kadar serat kasar (Takeuchi 1988) 1. Bahan (A gram) dimasukkan ke dalam erlenmeyer 350 ml, ditambahkan dengan 50 ml H2S04 0,3 N, kemudian dipanaskan di atas hot plate selama 30 menit. 2. Tambahkan 25 ml NaOH 1,5 N, kemudian dipanaskan kembali selama 30 menit. 3. Panaskan kertas saring Whatman (Ø : 10 cm) dalam oven, dieksikator selama 10 menit, kemudian ditimbang (X1). Pasang kertas saring pada corong Buchner yang dihubungkan dengan vacum pump.
100
4. Larutan yang telah dipanaskan dituang ke dalam corong Buchner. Lakukan pembilasan berturut-turut menggunakan 50 ml air panas, 50 ml H2S04 0,3 N, 50 ml air panas dan 25 ml aseton. 5. Panaskan cawan porselen pada suhu 105-110°C selama 1 jam dan didinginkan dalam eksikator. 6. Masukkan kertas saring dari corong Buchner ke dalam cawan, panaskan pada suhu 105°C, tempatkan pada eksikator dan ditimbang (X2). 7. Dengan metode ini diperoleh kadar serat kasar dengan rumus : X1 - X2 Kadar serat kasar (%) =
× 100 A
f. Prosedur analisis kadar karbohidrat (Takeuchi 1988) 1. Kadar karbohidrat total ditentukan dengan metode carbohydrate by difference yaitu : 100% - (kadar air + abu + protein + lemak). 2. Kadar karbohidrat N-free menunjukkan besarnya kandungan karbohidrat yang dapat dicerna dari suatu bahan pangan, yang ditentukan dengan cara : 100% - (kadar air + abu + protein + lemak + serat kasar).
101
Lampiran 8 Hasil perhitungan sintasan pada percobaan pertama dalam penelitian tahap pertama
Perlakuan (Salinitas – Ca2+)
Sintasan (S,%) / ulangan
Rata-rata Sintasan (S,%) dan Simpangan Baku
1
2
3
A (0 ppt - 0 ppm Ca2+)
0
0
0
0 ± 0,0
B (0 ppt - 50 ppm Ca2+)
92
94
90
92 ± 2,0
C (0 ppt - 100 ppm Ca2+)
94
96
92
94 ± 2,0
D (0 ppt - 150 ppm Ca2+)
92
94
90
92 ± 2,0
E (2 ppt - 0 ppm Ca2+)
100
100
100
100 ± 0,0
2+
F (2 ppt - 50 ppm Ca )
100
100
100
100 ± 0,0
G (2 ppt - 100 ppm Ca2+)
100
100
100
100 ± 0,0
H (2 ppt - 150 ppm Ca2+)
100
100
100
100 ± 0,0
I (4 ppt - 0 ppm Ca2+)
100
100
100
100 ± 0,0
J (4 ppt - 50 ppm Ca2+)
100
100
100
100 ± 0,0
K (4 ppt - 100 ppm Ca2+)
100
100
100
100 ± 0,0
2+
L (4 ppt - 150 ppm Ca )
100
100
100
100 ± 0,0
M (6 ppt - 0 ppm Ca2+)
100
100
100
100 ± 0,0
N (6 ppt - 50 ppm Ca2+)
100
100
100
100 ± 0,0
O (6 ppt - 100 ppm Ca2+)
100
100
100
100 ± 0,0
P (6 ppt - 150 ppm Ca2+)
100
100
100
100 ± 0,0
102
Lampiran 9 Nilai osmolaritas cairan tubuh, osmolaritas media, gradien osmotik (GO), tingkat konsumsi oksigen (OC), pembelanjaan energi pada metabolisme basal (EB), dan sintasan (S) postlarva vaname (L. vannamei) dari setiap perlakuan dan ulangan pada akhir percobaan kedua penelitian tahap pertama
Perlakuan Ca2+ Media
Osmolaritas cairan tubuh (mOsm/l H2O)
Osmolaritas Media (mOsm/l H2O)
GO (mOsm/l H2O)
0 0 0 50 50 50 100 100 100 150 150 150 25 ppt 25 ppt 25 ppt
669 670 669 670 667 669 671 676 672 679 672 678 684 684 686
13 12 15 16 15 17 17 16 18 19 18 21 688 686 690
656 658 654 654 652 652 654 660 654 660 654 657 4 2 4
OC (mg O2/g.j) 2,92 2,88 3,00 2,80 2,92 2,80 2,83 2,72 2,96 2,96 2,85 2,96 2,31 2,14 2,22
EB (kcal/kg.j) 9,625 9,504 9,900 9,240 9,625 9,240 9,350 8,976 9,757 9,768 9,392 9,768 7,615 7,071 7,333
S (%)
100 96 98 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
103
Lampiran 10 Nilai kandungan potasium tubuh (K+), gradien osmotik (GO), tingkat konsumsi oksigen (OC), pembelanjaan energi pada metabolisme basal (EB), sintasan (S), laju pertumbuhan bobot rerata harian (LPRH), efisiensi pemanfaatan pakan (EP), pertumbuhan bobot (W), dan konsumsi pakan postlarva vaname (L. vannamei) dari setiap perlakuan dan ulangan pada akhir penelitian tahap kedua Perlakuan K+ Media 0 0 0 30 30 30 60 60 60 90 90 90
K+ (mg/g)
GO (mOsm/l H2O)
OC (mg O2/g.j)
EB (kcal/kg.j)
S (%)
LPRH (%)
EP (%)
2,242 2,147 2,124 2,203 2,144 2,161 2,392 2,363 2,343 2,397 2,427 2,449
653 630 654 582 619 565 518 502 484 486 467 496
0,413 0,399 0,373 0,395 0,409 0,388 0,280 0,302 0,301 0,288 0,276 0,305
1,362 1,315 1,233 1,303 1,349 1,282 0,923 0,996 0,994 0,952 0,910 1,006
90 80 90 90 100 80 80 90 80 80 80 100
9,504 9,693 9,044 9,650 9,816 9,115 11,192 11,035 11,511 10,966 11,371 11,581
39,394 36,644 34,859 49,694 49,387 45,298 62,183 63,723 68,848 64,818 66,672 79,855
W (g)
KP (g)
17,156 15,896 15,209 21,746 21,666 19,836 28,536 29,026 32,207 26,506 30,596 40,236
43,55 43,38 43,63 43,76 43,87 43,79 45,89 45,55 46,78 45,83 45,89 46,78
104
Lampiran 11 Peningkatan pertumbuhan bobot selama 4 minggu pada penelitian tahap ketiga Bobot rata-rata tiap minggu pengamatan (g) Perlakuan (protein-kalsium pakan)
0
1
2
3
4
A (25 – 0)
0,0279
0,078 ± 0,003
0,219 ± 0,017
0,403 ± 0,010
0,735 ± 0,023
B (25 – 2)
0,0279
0,074 ± 0,003
0,211 ± 0,015
0,395 ± 0,017
0,757 ± 0,032
C (25 – 4)
0,0279
0,077 ± 0,001
0,225 ± 0,013
0,399 ± 0,014
0,734 ± 0,024
D (35 – 0)
0,0279
0,072 ± 0,007
0,194 ± 0,020
0,318 ± 0,018
0,655 ± 0,049
E (35 – 2)
0,0279
0,069 ± 0,001
0,217 ± 0,013
0,340 ± 0,027
0,629 ± 0,013
F (35 – 4)
0,0279
0,071 ± 0,002
0,223 ± 0,017
0,320 ± 0,008
0,612 ± 0,004
G (45 – 0)
0,0279
0,071 ± 0,005
0,286 ± 0,015
0,487 ± 0,009
0,826 ± 0,026
H (45 – 2)
0,0279
0,072 ± 0,003
0,278 ± 0,013
0,479 ± 0,011
0,835 ± 0,035
I (45 – 4)
0,0279
0,072 ± 0,003
0,276 ± 0,022
0,394 ± 0,037
0,725 ± 0,012
105
Lampiran 12 Nilai total RNA, total DNA, rasio RNA/DNA, retensi protein (RP), retensi kalsium (RCa), frekuensi ganti kulit (FGK), laju pertumbuhan bobot rerata harian (LPRH), efisiensi pemanfaatan pakan (EP), dan sintasan (S) postlarva vaname (L. vannamei) dari setiap perlakuan dan ulangan pada akhir penelitian tahap ketiga Perlakuan (ProteinKalsium Pakan)
Total RNA (μg/mg)
Total DNA (μg/mg)
Rasio RNA:DNA
A (25 – 0)
4,376 4,315 4,346 3,272 2,681 2,926 4,405 5,252 4,829 2,093 1,318 1,319 3,098 2,479 2,779 3,535 1,271 2,412 10,139 7,475 8,813 6,485 6,686 6,593 4,023 4,529 4,282
48,886 84,135 66,588 53,038 51,443 52,147 38,293 172,695 105,361 116,704 166,685 102,902 38,734 64,147 51,816 81,032 32,579 56,794 70,069 54,237 62,967 41,600 55,979 48,111 84,257 62,036 73,937
0,089 0,051 0,065 0,062 0,052 0,056 0,115 0,030 0,045 0,018 0,008 0,013 0,079 0,039 0,054 0,044 0,039 0,042 0,145 0,138 0,139 0,156 0,119 0,137 0,048 0,073 0,058
B (25 – 2)
C (25 – 4)
D (35 – 0)
E (35 – 2)
F (35 – 4)
G (45 – 0)
H (45 – 2) I (45 – 4)
RP (%) 0,735 2,315 3,275 2,875 2,085 4,325 2,425 2,485 0,025 11,345 8,845 8,745 9,345 9,535 12,015 3,175 4,435 4,365 13,395 12,375 16,495 12,385 11,315 20,315 14,055 9,365 14,035
RCa (%)
FGK
LPRH (%)
EP (%)
S (%)
1,438 1,439 1,427 0,997 0,998 0,987 1,261 1,270 1,263 1,463 1,462 1,452 1,720 1,743 1,727 1,020 0,989 0,928 1,882 1,860 1,761 1,874 1,883 1,794 1,893 1,840 1,724
4,00 4,00 3,00 6,00 5,00 7,00 6,00 6,00 6,00 3,00 4,00 4,00 6,00 5,00 6,00 7,00 6,00 6,00 6,00 5,00 6,00 6,00 6,00 7,00 7,00 6,00 7,00
12,259 12,506 12,354 12,668 12,532 12,327 12,332 12,532 12,293 11,869 11,660 12,248 11,750 11,863 11,699 11,640 11,654 11,692 13,001 12,813 12,769 12,823 13,095 12,788 12,409 12,327 12,282
55,537 58,466 55,740 59,834 60,288 57,446 60,848 61,640 59,439 55,164 52,940 56,165 51,769 51,977 54,673 54,890 57,924 54,345 69,739 69,743 68,583 73,658 75,544 72,779 63,101 62,962 61,753
100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
106
Lampiran 13 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data sintasan postlarva (S) vaname (L. vannamei) percobaan pertama pengaruh salinitas dan kalsium media
ANOVA Variabel: S Sumber Model koreksi Intersep Salinitas kalsium Salinitas * kalsium Error Total Total koreksi
Jumlah kuadrat 27701.250 409590.750 8372.250 4832.250 14496.750 24.000 437316.000 27725.250
Derajat bebas 15 1 3 3 9 32 48 47
Rata-rata kuadrat 1846.750 409590.750 2790.750 1610.750 1610.750 .750
F 2462.333 546121.0 3721.000 2147.667 2147.667
Sik. .000 .000 .000 .000 .000
Uji Tukey
(I) Salinitas 0
2
4
6
(J) Salinitas 2
Perbedaan Rataan (I-J) -30.500 *
Interval kepercayaan 95% Std. Error .353
Sik. .000
Batas bawah -31.458
Batas atas -29.542
4
-30.500 *
.353
.000
-31.458
-29.542
6
-30.500 *
.353
.000
-31.458
-29.542
0
30.500 *
.353
.000
29.542
31.458
4
.000
.353
1.000
-.958
.958
6
.000
.353
1.000
-.958
.958
0
30.500 *
.353
.000
29.542
31.458
2
.000
.353
1.000
-.958
.958
6
.000
.353
1.000
-.958
.958
0
30.500 *
.353
.000
29.542
31.458
2
.000
.353
1.000
-.958
.958
4
.000
.353
1.000
-.958
.958
*. Perbedaan rataan nyata pada taraf 0,05
107
Sambungan Lampiran 13
Uji Tukey
(I) Kalsium 0
50
Perbedaan Rataan (I-J) -23.000 *
Std. Error .3535
Sik. .000
100
-23.500 *
.3535
.000
-24.458
-22.542
150
-23.000 *
.3535
.000
-23.958
-22.042
23.000 *
.3535
.000
22.042
23.958
.3535
.500
-1.458
.458
(J) Kalsium 50
0 100 150
100
Batas atas -22.042
.0000
.3535
1.000
-.958
.958
0
23.500 *
.3535
.000
22.542
24.458
50
.500
.3535
.500
-.458
1.458
150 150
-.500
Interval kepercayaan 95% Batas bawah -23.958
.500
.3535
.500
-.458
1.458
23.000 *
.3535
.000
22.042
23.958
50
.000
.3535
1.000
-.958
.958
100
-.500
.3535
.500
-1.458
.458
0
*. Perbedaan rataan nyata pada taraf 0,05
108
Lampiran 14 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data gradien osmotik (GO) postlarva vaname (L. vannamei) pada percobaan ke-2 penelitian tahap pertama ANOVA Variabel: GO Jumlah kuadrat 1020543 55.333 1020598
Antara kelompok Dalam kelompok Total
Derajat bebas 4 10 14
Rata-rata kuadrat 255135.667 5,533
F 46108.855
Sik. .000
Uji Tukey
(I) Kalsium 0
25 ppt
(J) Kalsium 25 ppt 50
Batas bawah 646.346
Batas atas 658.988
1.921
.457
-2.988
9.654
.000
1.921
1.000
-6.321
6.321
150
-1.000
1.921
.983
-7.321
5.321
0 50
-652.667 *
1.921
.000
-658.988
-646.346
-649.333 *
1.921
.000
-655.654
-643.012
100
-652.667 *
1.921
.000
-658.988
-646.346
150
-653.667 *
1.921
.000
-659.988
-647.346
-3.333
1.921
.457
-9.654
2.988
1.921
.000
643.012
655.654
100
-3.333
1.921
.457
-9.654
2.987
150
-4.333
1.921
.236
-10.654
1.987
0
649.333 *
.000
1.921
1.000
-6.321
6.321
652.667 *
1.921
.000
646.345
658.988
50
3.333
1.921
.457
-2.988
9.654
150
-1.000
1.921
.983
-7.321
5.321
0
1.000
1.921
.983
-5.321
7.321
25 ppt
150
Sik. .000
3.330
25 ppt
100
Interval kepercayaan 95%
100
0
50
Perbedaan Rataan (I-J) Std. Error 65.667 * 1.921
25 ppt
653.667 *
1.921
.000
647.345
659.988
50
4.333
1.921
.236
-1.988
10.654
100
1.000
1.921
.983
-5.321
7.321
*. Perbedaan rataan nyata pada taraf 0,05
109
Lampiran 15 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data tingkat konsumsi oksigen (OC) postlarva vaname (L. vannamei) pada percobaan ke-2 penelitian tahap pertama ANOVA Variabel: OC
Antara kelompok Dalam kelompok Total
Jumlah kuadrat 1.064 .067 1.131
Derajat bebas 4 10 14
Rata-rata kuadrat .266 .007
F 39.781
Sik. .000
Uji Tukey
(I) Kalsium 0
(J) Kalsium 25 ppt
50
Interval kepercayaan 95% Batas bawah Batas atas .488 .928
.093
.067
.642
-.126
.313
.096
.067
.623
-.124
.315
.067
1.000
-.209
.229
0
-.708
*
.067
.000
-.927
-.488
50
-.615
*
.067
.000
-.834
-.395
100
-.612
*
.067
.000
-.832
-.393
150
-.698
*
.067
.000
-.917
-.478
0
-.093
.067
.642
-.313
.126
.067
.000
.394
.834
100
.010
.615
*
.067
1.000
-.217
.222
150
.083
.067
.727
-.302
.136
0
-.096
.067
.623
-.315
.124
25 ppt
150
.067
Sik. .000
100
25 ppt
100
Std. Error
50 150 25 ppt
Perbedaan Rataan (I-J) .708 *
.002
.067
.000
.392
.832
50
-.002
.612
*
.067
1.000
-.221
.217
150
-.085
.067
.709
-.305
.134
0
-.010
.067
1.000
-.229
.209
.067
.000
.478
.917
25 ppt
.698
50
.083
.067
.727
-.136
.303
100
.085
.067
.709
-.134
.305
*. Perbedaan rataan nyata pada taraf 0,05
*
110
Lampiran 16 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data pembelanjaan energi pada metabolisme basal (EB) postlarva vaname (L. vannamei) pada percobaan ke-2 penelitian tahap pertama ANOVA Variabel: EB Jumlah kuadrat 11.585 .728 12.313
Antara kelompok Dalam kelompok Total
Derajat bebas 4 10 14
Rata-rata kuadrat 2.896 .073
F 39.781
Sik. .000
Uji Tukey
(I) Kalsium 0
(J) Kalsium 25 ppt
50
100
150
Interval kepercayaan 95% Sik. .000
Batas bawah 1.611
Batas atas 3.061
50
.308
.220
.642
-.417
1.033
100
.315
.220
.623
-.409
1.040
150 25 ppt
Perbedaan Rataan (I-J) Std. Error 2.336 * .220
.033
.220
1.000
-.691
.759
0
-2.336
.220
.000
-3.061
-1.611
50
-2.028 *
.220
.000
-2.753
-1.303
100
-2.021 *
.220
.000
-2.745
-1.295
150
-2.302 *
.220
.000
-3.027
-1.578
.220
.642
-1.033
.417
.220
.000
1.303
2.753
0
-.308
25
2.028
*
100
.007
.220
1.000
-.717
.732
150
-.274
.220
.727
-.999
.451
0
-.315
.220
.623
-1.040
.409
25 ppt
2.021
.220
.000
1.295
2.746
50
-.007
.220
1.000
-.732
.717
150
-.282
.220
.709
-1.007
.443
0
-.033
.220
1.000
-.758
.691
25
2.303
.220
.000
1.577
3.027
50
.274
.220
.727
-.450
.999
100
.282
.220
.709
-.443
1.007
*. Perbedaan rataan nyata pada taraf 0,05
*
*
111
Lampiran 17 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data sintasan (S) postlarva vaname (L. vannamei) pada percobaan ke-2 penelitian tahap pertama ANOVA Variabel: S
Antara kelompok Dalam kelompok Total
Jumlah kuadrat 9.600 8.000 17.600
Derajat bebas 4 10 14
Rata-rata kuadrat 2.400 .800
F 3.000
Sik. .072
Uji Tukey
(I) Kalsium 0
25 ppt
50
(J) Kalsium 25 ppt
Perbedaan Rataan (I-J) -2.000
50 100 150 0
Batas bawah -4.403
Batas atas .403
-2.000
.730
.117
-4.403
.403
-2.000
.730
.117
-4.403
.403
-2.000
.730
.117
-4.403
.403
2.000
.730
.117
-.403
4.403
.000
.730
1.000
-2.403
2.403
100
.000
.730
1.000
-2.403
2.403
150
.000
.730
1.000
-2.403
2.403
0
2.000
.730
.117
-.403
4.403
25 ppt
.000
.730
1.000
-2.403
2.403
100
.000
.730
1.000
-2.403
2.403
.000
.730
1.000
-2.403
2.403
2.000
.730
.117
-.403
4.403
25 ppt
.000
.730
1.000
-2.403
2.403
50
.000
.730
1.000
-2.403
2.403
0
150 150
Sik. .117
500
150 100
Interval kepercayaan 95% Std. Error .730
.000
.730
1.000
-2.403
2.403
2.000
.730
.117
-.403
4.403
25ppt
.000
.730
1.000
-2.403
2.403
50
.000
.730
1.000
-2.403
2.403
100
.000
.730
1.000
-2.403
2.403
0
112
Lampiran 18 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data kandungan potasium tubuh (K+) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap kedua
ANOVA Variabel: K+
Antara kelompok Dalam kelompok Total
Jumlah kuadrat 222592229 271865.9 22531095
Derajat bebas 3 8 11
Rata-rata kuadrat 7419743.187 33983.241
F 218.335
Sik. .000
Uji Tukey
(I) Potasium 0
30
Interval kepercayaan 95% Std. Error 150.517
Sik. .979
Batas bawah -540.243
Batas atas 423.776
60
-2281.727 * 150.517
.000
-2763.737
-1799.718
90
-3099.530 * 150.517
.000
-3581.539
-2617.520
0
60.
90
(J) Potasium 30
Perbedaan Rataan (I-J) -58.233
150.517
.979
-423.776
540.243
60
-2223.494 * 150.517
58.233
.000
-2705.504
-1741.484
90
-3041.296 * 150.517
.000
-3523.306
-2559.287
0
2281.727 * 150.517
.000
1799.718
2763.737
30
2223.494 * 150.517
.000
1741.484
2705.504
90
-817.802 * 150.517
.003
-1299.812
-335.793
0
3099.530 * 150.517
.000
2617.520
3581.539
30
3041.296 * 150.517
.000
2559.287
3523.306
60
817.802 * 150.517
.003
335.793
1299.812
*.Perbedaan rataan nyata pada taraf 0,05
113
Lampiran 19 Hasil analisis regresi data kandungan potasium tubuh (K+) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap kedua
ANOVA
Model 1
Regresi Sisa Total
Jumlah kuadrat .137 .032 .169
Rata-rata kuadrat .137 .003
Derajat bebas 1 10 11
F 42.974
Sik. .000
t 78.417 6.555
Sik. .000 .000
a. Prediktor: (konstan), Perlakuan potasium b. Variabel tak bebas: Potasium Tubuh
Model 1
Model 1
R .901
R kuadrat .811
(Konstan) Perlakuan potasium
Penyesuaian R kuadrat .792
Prakiraan Std. Error .056
Koefisien tak standarisasi B Std. Error 2.139 .027 .003 .000
Koefisien standarisasi Beta .901
114
Lampiran 20 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data gradien osmotik (GO) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap kedua
ANOVA Variabel: GO
Antara kelompok Dalam kelompok Total
Jumlah kuadrat 52252.667 2906.000 55158.667
Derajat bebas 3 8 11
Rata-rata kuadrat 17417.556 363.250
F 47.949
Sik. .000
Uji Tukey
Perbedaan Rataan (I) Potasium 0
30
60
90
Interval kepercayaan 95%
(J) Potasium 30
(I-J) Std. Error 57.000 * 15.561
Sik. .026
60
144.333 *
15.561
.000
94.499
194.167
90
162.666 *
15.561
.000
112.832
212.500
0
-57.000 *
15.561
.026
-106.834
-7.165
60
87.333 *
15.561
.002
37.499
137.167
90
105.666 *
15.561
.001
55.832
155.500
0
-144.333 *
15.561
.000
-194.167
-94.499
30
-87.333 *
15.561
.002
-137.167
-37.499
90
18.333
15.561
.656
-31.500
68.167
0
-162.666 *
15.561
.000
-212.500
-112.832
30
-105.666 *
15.561
.001
-155.500
-55.832
60
-18.333
15.561
.656
-68.167
31.500
*. Perbedaan rataan nyata pada taraf 0,05
Batas bawah 7.165
Batas atas 106.834
115
Lampiran 21 Hasil analisis regresi data gradien osmotik (GO) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap kedua
ANOVA
Model 1
Jumlah kuadrat 49651.267 5507.400 55158.667
Regresi Sisa Total
Derajat bebas 1 10 11
Rata-rata kuadrat 49651.267 550.740
F 90.154
Sik. .000
t 56.542 -9.495
Sik. .000 .000
a. Prediktor: (konstan), Perlakuan potasium b. Variabel tak bebas: Gradien Osmotik
Model 1
Model 1
R .949
R kuadrat .900
(Konstan) Perlakuan potasium
Penyesuaian R kuadrat .890
Prakiraan Std. Error 23.468
Koefisien tak standarisasi B Std. Error 640.967 11.336 -1.918 .202
Koefisien Standarisasi Beta -.949
116
Lampiran 22 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data tingkat konsumsi oksigen (OC) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap kedua ANOVA Variabel: OC
Antara kelompok Dalam kelompok Total
Jumlah kuadrat .033 .002 .034
Derajat bebas 3 8 11
Rata-rata kuadrat .011 .000
F 49.763
Sik. .000
Uji Tukey
(I) Potasium 0
30
60
90
(J) Potasium 30
Perbedaan Rataan (I-J)
Interval kepercayaan 95% Std. Error .012
-.002
Sik. .997
Batas bawah -.041
Batas atas .036
60
.100
*
.012
.000
.062
.139
90
.105
*
.012
.000
.066
.144
0
.002
.012
.997
-.036
.041
60
.102
*
.012
.000
.064
.141
90
.107
*
.012
.000
.069
.146
0
-.101
*
.012
.000
-.139
-.061
30
-.102
*
.012
.000
-.141
-.064
90
.004
.012
.980
-.034
.043
0
-.105
*
.012
.000
-.144
-.066
30
-.107
*
.012
.000
-.146
-.069
60
-.004
.012
.980
-.043
.034
*. Perbedaan rataan nyata pada taraf 0,05
117
Lampiran 23 Hasil analisis regresi data tingkat konsumsi oksigen (OC) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap kedua
ANOVA
Model 1
Regresi Sisa Total
Jumlah kuadrat .026 .008 .034
Derajat bebas 1 10 11
Rata-rata kuadrat .026 .001
F 32.843
Sik. .000
t 29.779 -5.731
Sik. .000 .000
a. Prediktor: (konstan), Perlakuan potasium b. Variabel tak bebas: Tingkat Konsumsi Oksigen
Model 1
Model 1
R .876
R kuadrat .767
(Konstan) Perlakuan potasium
Penyesuaian R kuadrat .743
Prakiraan Std. Error .028
Koefisien tak standarisasi B Std. Error .407 .014 -.001 .000
Koefisien standarisasi Beta -.876
118
Lampiran 24 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data pembelanjaan energi pada metabolisme basal (EB) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap kedua
ANOVA Variabel: EB
Antara kelompok Dalam kelompok Total
Jumlah kuadrat .354 .019 .373
Derajat bebas 3 8 11
Rata-rata kuadrat .118 .002
F 49.763
Sik. .000
Uji Tukey
(I) Potasium 0
30
60
90
(J) Potasium 30
Perbedaan Rataan (I-J) -.008
Interval kepercayaan 95% Std. Error .039
Sik. .997
60
.332
*
.039
.000
90
.347
*
.039
0
.008
.039
60
.339
*
90
.355
*
0
-.332
30
-.339
90
.015
0
-.347
30
-.355
60
-.015
*. Perbedaan rataan nyata pada taraf 0,05
Batas bawah -.135
Batas atas .119
.204
.459
.000
.219
.474
.997
-.119
.135
.039
.000
.212
.467
.039
.000
.227
.482
*
.039
.000
-.459
-.204
*
.039
.000
-.467
-.212
.039
.980
-.112
.142
*
.039
.000
-.474
-.219
*
.039
.000
-.482
-.227
.039
.980
-.142
.112
119
Lampiran 25 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data sintasan (S) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap kedua
ANOVA Variabel: S
Antara kelompok Dalam kelompok Total
Jumlah kuadrat 158.333 466.667 625.000
Derajat bebas 3 8 11
Rata-rata kuadrat 52.778 58.333
F .905
Sik. .480
Uji Tukey
(I) Potasium 0
Perbedaan Rataan (I-J) -6.667
Std. Error 6.236
3.333 .000
0 60 90
6.667
(J) Potasium 30 60 90
30
60
90
Interval kepercayaan 95%
Sik. .717
Batas bawah -26.636
Batas atas 13.303
6.236
.948
-16.636
23.303
6.236
1.000
-19.970
19.970
6.667
6.236
.717
-13.303
26.636
10.000
6.236
.428
-9.970
29.970
6.236
.717
-13.303
26.636
6.236
.948
-23.303
16.636
.428
-29.970
9.970
0 30
-10.000
6.236
90
-3.333
6.236
.948
-23.303
16.636
0
.000
6.236
1.000
-19.970
19.970
30
-6.667
6.236
.717
-26.636
13.303
60
3.333
6.236
.948
-16.636
23.303
120
Lampiran 26 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data laju pertumbuhan bobot rerata harian (LPRH) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap kedua ANOVA Variabel: LPRH
Antara kelompok Dalam kelompok Total
Jumlah kuadrat 9.808 .804 10.612
Derajat bebas 3 8 11
Rata-rata kuadrat 3.269 .101
F 32.513
Sik. .000
Uji Tukey
(I) Potasium 0
30
60
90
(J) Potasium 30
Perbedaan Rataan (I-J) -.113
Interval kepercayaan 95% Std. Error .259
Sik. .970
Batas bawah -.943
Batas atas .715
60
-1.832 *
.259
.000
-2.662
-1.003
90
-1.892 *
.259
.000
-2.722
-1.064
0
.113
.259
.970
-.716
.943
60
-1.718 *
.259
.001
-2.548
-.889
90
-1.779 *
.259
.001
-2.608
-.950
0
1.832 *
.259
.000
1.003
2.662
30
1.718 *
.259
.001
.889
2.548
90
-.0601
.259
.995
-.889
.768
0
1.892 *
.259
.000
1.064
2.722
30
1.779 *
.259
.001
.950
2.608
.259
.995
-.769
.889
60 *. Perbedaan rataan nyata pada taraf 0,05
.060
121
Lampiran 27 Hasil analisis regresi data laju pertumbuhan bobot rerata harian (LPRH) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap kedua ANOVA
Model 1
Regresi Sisa Total
Jumlah kuadrat 8.208 2.405 10.612
Derajat bebas 1 10 11
Rata-rata kuadrat 8.208 .240
F 34.131
Sik. .000
t 39.107 5.842
Sik. .000 .000
a. Prediktor: (konstan), Perlakuan potasium b. Variabel tak bebas: Laju Pertumbuhan Bobot Rerata Harian
Model 1
Model 1
R .879
R kuadrat .773
(Konstan) Perlakuan potasium
Penyesuaian R kuadrat .751
Prakiraan Std. Error .490
Koefisien tak standarisasi B Std. Error 9.264 .237 .025 .004
Koefisien standarisasi Beta .879
122
Lampiran 28 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data efisiensi pemanfaatan pakan (EP) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap kedua ANOVA Variabel: EP Jumlah Kuadrat 2128.349 181.285 2309.634
Antara kelompok Dalam kelompok Total
Derajat bebas 3 8 11
Rata-rata kuadrat 709.450 22.661
F 31.308
Sik. .000
Uji Tukey
Perbedaan Rataan (I) Potasium 0
30
60
90
Interval kepercayaan 95%
(J) Potasium 30
(I-J) -11.161
Std. Error 3.887
Sik. .080
60
-27.952 *
3.887
.000
-40.399
-15.505
90
-33.483 *
3.887
.000
-45.929
-21.036
0
11.161
3.887
.080
-1.286
23.607
60
-16.792 *
3.887
.011
-29.238
-4.345
90
-22.322 *
3.887
.002
-34.769
-9.875
0
27.952 *
3.887
.000
15.505
40.399
30
16.792 *
3.887
.011
4.345
29.238
90
-5.530
3.887
.521
-17.977
6.916
0
33.483 *
3.887
.000
21.036
45.929
30
22.322 *
3.887
.002
9.875
34.769
3.887
.521
-6.916
17.977
60 *. Perbedaan rataan nyata pada taraf 0,05
5.530
Batas bawah -23.607
Batas atas 1.286
123
Lampiran 29 Hasil analisis regresi data efisiensi pemanfaatan pakan (EP) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap kedua
ANOVA
Model 1
Jumlah kuadrat 2061.771 247.863 2309.634
Regresi Sisa Total
Derajat bebas 1 10 11
Rata-rata kuadrat 2061.771 24.786
F 83.182
Sik. .000
a. Prediktor: (konstan), Perlakuan potasium b. Variabel tak bebas: Efisiensi Pemanfaatan Pakan
Model 1
Model 1
R .945
R kuadrat .893
(Konstan) Perlakuan potasium
Penyesuaian R kuadrat .882
Prakiraan Std. Error 4.979
Koefisien tak standarisasi B Std. Error 37.529 2.405 .391 .043
Koefisien standarisasi Beta .945
t 15.605 9.120
Sik. .000 .000
124
Lampiran 30 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data konsumsi pakan (KP) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap kedua
ANOVA Variabel: KP Jumlah kuadrat 18.242 1.412 19.654
Antara kelompok Dalam kelompok Total
Derajat bebas 3 8 11
Rata-rata kuadrat 6.081 .177
F 34.451
Sik. .000
Uji Tukey
(I) Potasium 0
30
60
90
(J) Potasium 30
Perbedaan Rataan (I-J) -.287
Std. Error .343
Sik. .836
Interval kepercayaan 95% Batas bawah Batas atas -1.385 .812
60
-2.553 *
.343
.000
-3.652
-1.458
90
-2.647 *
.343
.000
-3.745
-1.548
0
.287
.343
.836
-.812
1.385
60
-2.267 *
.343
.001
-3.365
-1.168
90
-2.360 *
.343
.001
-3.458
-1.261
0
2.553 *
.343
.000
1.455
3.652
30
2.267 *
.343
.001
1.168
3.365
90
-.093
.343
.992
-1.192
1.005
0
2.647 *
.343
.000
1.548
3.745
30
2.360 *
.343
.001
1.261
3.458
.343
.992
-1.005
1.192
60 *.Perbedaan rataan nyata pada taraf 0,05
.093
125
Lampiran 31 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data rasio RNA/DNA postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap ketiga ANOVA Variabel: Rasio RNA /DNA Sumber Model koreksi Intersep Protein Kalsium Protein * Kalsium Error Total Total koreksi
Jumlah kuadrat .042 .136 .026 .004 .012 .007 .185 .049
Derajat bebas 8 1 2 2 4 18 27 26
Rata-rata kuadrat .005 .136 .013 .002 .003 .000
F 13.992 359.917 34.852 5.123 7.996
Sik. .000 .000 .000 .017 .001
Uji Tukey
(I) Protein 25 35 45
(J) Protein 35
Perbedaan Rataan (I-J) .0257 *
45
-.0496
*
.009
.000
-.073
-.026
25
-.026
*
.009
.030
-.049
-.002
45
-.075
*
.009
.000
-.099
-.052
25
.049
*
.009
.000
.0262
.073
35
.075
*
.009
.000
.052
.099
Interval kepercayaan 95% Std. Error .009
Sik. .030
Batas bawah .003
Batas atas .049
*. Perbedaan rataan nyata pada taraf 0,05
(I) Kalsium 0 2 4
(J) Kalsium 2
Perbedaan Rataan (I-J) -.009
4
.019
0
.009
4
.028
0
-.019
2
-.029
*. Perbedaan rataan nyata pada taraf 0,05
* *
Interval kepercayaan 95% Std. Error .009
Sik. .551
Batas bawah -.033
Batas atas .014
.009
.121
-.004
.042
.009
.551
-.014
.033
.009
.015
.005
.052
.009
.121
-.042
.004
.009
.015
-.052
-.005
126
Lampiran 32 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data retensi protein (RP) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap ketiga ANOVA Variabel: RP Sumber Model koreksi Intersep Protein Kalsium Protein * Kalsium Error Total Total koreksi
Jumlah kuadrat 674.718 1729.360 591.574 54.470 28.674 91.744 2495.822 766.462
Derajat bebas 8 1 2 2 4 18 27 26
Rata-rata kuadrat 84.340 1729.360 295.787 27.235 7.168 5.097
F 16.547 339.296 58.033 5.343 1.406
Sik. .000 .000 .000 .015 .272
Uji Tukey
(I) Protein 25 35 45
(J) Protein 35 45 25 45 25 35
Perbedaan Rataan (I-J) -5.695 * -11.465 * 5.695 * -5.770 * 11.465 * 5.770 *
Std. Error 1.064 1.064 1.064 1.064 1.064 1.064
Sik. .000 .000 .000 .000 .000 .000
Interval kepercayaan 95% Batas bawah Batas atas -8.412 -2.979 -14.182 -8.749 2.979 8.412 -8.486 -3.054 8.749 14.182 3.054 8.486
*. Perbedaan rataan nyata pada taraf 0,05
(I) Kalsium 0 2 4
(J) Kalsium 2 4 0 4 0 2
Perbedaan Rataan (I-J) -.741 2.573 .741 3.314 * -2.573 -3.314 *
*. Perbedaan rataan nyata pada taraf 0,05
Interval kepercayaan 95% Std. Error 1.064 1.064 1.064 1.064 1.064 1.064
Sik. .769 .065 .769 .016 .065 .016
Batas bawah -3.457 -.143 -1.975 .598 -5.289 -6.031
Batas atas 1.975 5.289 3.457 6.031 .143 -.598
127
Lampiran 33 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data retensi kalsium (RCa) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap ketiga ANOVA Variabel: RCa Sumber Model koreksi Intersep Protein Kalsium Protein * Kalsium Error Total Total koreksi
Jumlah kuadrat 2.997 59.862 1.832 .217 .947 .021 62.880 3.018
Derajat bebas 8 1 2 2 4 18 27 26
Rata-rata kuadrat .375 59.862 .916 .109 .237 .001
F 323.062 51625.162 790.094 93.753 204.200
Sik. .000 .000 .000 .000 .000
Uji Tukey
(I) Protein 25 35 45 .
4
Std. Error .0160 .0160 .0160 .0160 .0160 .0160
Sik. .000 .000 .000 .000 .000 .000
Interval kepercayaan 95% Batas bawah Batas atas -.199 -.117 -.655 -.573 .117 .199 -.497 -.415 .573 .655 .415 .497
*. Perbedaan rataan nyata pada taraf 0,05
(I) Kalsium 0 2
(J) Protein 35 45 25 45 25 35
Perbedaan Rataan (I-J) -.158 * -.614 * .158 * -.456 * .614 * .456 *
(J) Kalsium 2 4 0 4 0 2
Perbedaan Rataan (I-J) .051 * .211 * -.051 * .159 * -.211 * -.159 *
*. Perbedaan rataan nyata pada taraf 0,05
Std. Error .0160 .0160 .0160 .0160 .0160 .0160
Sik. .014 .000 .014 .000 .000 .000
Interval kepercayaan 95% Batas bawah Batas atas .010 .092 .169 .252 -.092 -.010 .119 .200 -.252 -.169 -.201 -.119
128
Lampiran 34 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data frekuensi ganti kulit (FGK) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap ketiga ANOVA Variabel: FGK Sumber Model koreksi Intersep Protein Kalsium Protein * Kalsium Error Total Total koreksi
Jumlah kuadrat 30.000 833.333 6.000 20.667 3.333 6.667 870.000 36.667
Derajat bebas 8 1 2 2 4 18 27 26
Rata-rata kuadrat 3.750 833.333 3.000 10.333 .833 .370
F 10.125 2250.000 8.100 27.900 2.250
Sik. .000 .000 .003 .000 .104
Uji Tukey
(I) Protein 25 35 45
(J) Protein 35 45 25 45 25 35
Perbedaan Rataan (I-J) .000 -1.000 * .000 -1.000 * 1.000 * 1.000 *
Std. Error .287 .287 .287 .287 .287 .287
Sik. 1.000 .007 1.000 .007 .007 .007
Interval kepercayaan 95% Batas bawah Bataa atas -.732 .732 -1.732 -.268 -.732 .732 -1.732 -.268 .268 1.732 .268 1.732
*. Perbedaan rataan nyata pada taraf 0,05
(I) Kalsium 0 2 4
(J) Kalsium 2 4 0 4 0 2
Perbedaan Rataan (I-J) -1.667 * -2.000 * 1.667 * -.333 2.000 * .333
*. Perbedaan rataan nyata pada taraf 0,05
Std. Error .287 .287 .287 .287 .287 .287
Sik. .000 .000 .000 .490 .000 .490
Interval kepercayaan 95% Batas bawah Batas atas -2.399 -.934 -2.732 -1.268 .934 2.399 -1.065 .399 1.268 2.732 -.399 1.065
129
Lampiran 35 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data laju pertumbuhan bobot rerata harian (LPRH) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap ketiga ANOVA Variabel: LPRH Sumber Model koreksi Intersep Protein Kalsium Protein * Kalsium Error Total Total koreksi
Jumlah kuadrat 4.685 4087.073 3.956 .410 .320 .411 4092.170 5.097
Derajat bebas 8 1 2 2 4 18 27 26
Rata-rata kuadrat .586 4087.073 1.978 .205 .080 .023
F 25.633 178874.1 86.560 8.964 3.503
Sik. .000 .000 .000 .002 .028
Uji Tukey
(I) Protein 25 35 45
(J) Protein 35 45 25 45 25 35
Perbedaan Rataan (I-J) .636 * -.278 * -.636 * -.914 * .278 * .914 *
Std. Error .071 .071 .071 .071 .071 .071
Sik. .000 .003 .000 .000 .003 .000
Interval kepercayaan 95% Batas bawah Batas atas .454 .818 -.459 -.096 -.818 -.454 -1.096 -.732 .096 .459 .732 1.096
*. Perbedaan rataan nyata pada taraf 0,05
(I) Kalsium 0 2 4
(J) Kalsium 2 4 0 4 0 2
Perbedaan Rataan (I-J) Std. Error -.007 .071 .258 * .071 .007 .071 .265 * .071 -.258 * .071 -.265 * .071
*. Perbedaan rataan nyata pada taraf 0,05
Sik. .994 .005 .994 .004 .005 .004
Interval kepercayaan 95% Batas bawah Batas atas -.189 .176 .076 .439 -.175 .189 .083 .447 -.439 -.076 -.447 -.083
130
Lampiran 36 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data efisiensi pemanfaatan pakan (EP) postlarva vaname (L. vannamei) pada penelitian tahap ketiga ANOVA Variabel: EP Sumber Model koreksi Intersep Protein Kalsium Protein * Kalsium Error Total Total koreksi
Jumlah kuadrat 1190.709 99244.079 955.317 26.780 208.612 36.621 100471.409 1227.330
Derajat bebas 8 1 2 2 4 18 27 26
Rata-rata kuadrat 148.839 99244.079 477.659 13.390 52.153 2.034
F 73.158 48780.865 234.781 6.581 25.634
Sik. .000 .000 .000 .007 .000
Uji Tukey
(I) Protein 25 35 45
(J) Protein 35 45 25 45 25 35
Perbedaan rataan (I-J) 4.377 -9.847 -4.377 -14.223 9.847 14.224
* * * * * *
Std. Error .672 .672 .672 .672 .672 .672
Sik. .000 .000 .000 .000 .000 .000
Interval kepercayaan 95% Batas bawah Batas atas 2.661 6.093 -11.563 -8.131 -6.093 -2.661 -15.939 -12.508 8.131 11.563 12.508 15.939
*. Perbedaan rataan nyata pada taraf 0,05
(I) Kalsium 0 2 4
(J) Kalsium 2 4 0 4 0 2
Perbedaan rataan (I-J) -1.765 * .575 1.765 * 2.341 * -.575 -2.341 *
*. Perbedaan rataan nyata pada taraf 0,05
Std. Error .672 .672 .672 .672 .672 .672
Sik. .043 .674 .043 .007 .674 .007
Interval kepercayaan 95% Batas bawah Batas atas -3.482 -.049 -1.141 2.291 .049 3.482 .625 4.057 -2.291 1.141 -4.057 -.625
131
132
133
Tabel penelitian 1
Perlakuan Kalsium
A (0 ppm Ca - 2 ppt) B (50 ppm Ca - 2 ppt) C (100 ppm Ca - 2 ppt) D (150 ppm Ca - 2 ppt) Salinitas 25 ppt
Osmolaritas Cairan tubuh (mOsm/ L H2O )
Osmolaritas media (mOsm/L H2O )
669,3 ± 0,57a 668,6 ± 1,53a 673,0 ± 2,64a 679,0 ± 1,00a 684,7 ± 1,15a
13,3 ± 1,53 16,0 ± 1,00 17,0 ± 1,00 19,3 ± 1,52 688,0 ± 2,00
Gradien osmotik (mOsm/ L H2O) 656 ± 2,00a 652,7 ± 1,15a 656,0± 3,46a 659,7 ± 2,52a 3,3 ± 1,15b
Nilai tengah dengan tanda huruf yang sama pada baris berbeda adalah tidak berbeda nyata (P>0,05)
Tabel 5. Nilai sintasan serta simpangan baku dari percobaan pertama dan kedua Perlakuan
Sintasan (%) dan simpangan baku
K 1 (0 ppm Ca - 0 ppt) K 2 (50 ppm Ca - 0 ppt) A (0 ppm Ca - 2 ppt) B (50 ppm Ca - 2 ppt) C (100 ppm Ca - 2 ppt) D (150 ppm Ca - 2 ppt)
0,0 ± 0,10a 92,0 ± 2,0b 96,0 ± 2,0b 100,0 ± 0,0b 100,0 ± 0,0b 100,0 ± 0,0b
Nilai tengah dengan tanda huruf yang sama pada baris berbeda adalah tidak berbeda nyata (P>0,05)
Tabel 11. Nilai rataan kandungan total asam amino dan rasio RNA/DNA tiap perlakuan Perlakuan Pakan
RNA
DNA
Rasio dan Simpangan baku
A B C D E F G H
4345.421 2976.57 4828.383 1706.486 2788.497 2403.061 8807.645 6586.002
66510.27 52240.97 105494.5 102891.9 51438.52 56805.85 62155.36 48789.8
0.070 ± 0.027a 0.056 ± 0.006a 0.072 ± 0.059a 0.023 ± 0.014a 0.059 ± 0.029a 0.041 ± 0.003a 0.141 ± 0.004b 0.137 ± 0.025b
Total asam nukleat
134
I
4275.954
73146.3
0.060 ± 0.017a
Nilai tengah dengan tanda huruf yang sama pada baris berbeda adalah tidak berbeda nyata (P>0,05)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sintasan postlarva di media salinitas 2 ppt sekitar…(Hana 2007), dan di media 4 ppt sekitar 21,25-55,0% (Roy et al. 2007).
Peningkatan pertumbuhan dalam penelitian ini masih lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan juvenil vaname di media salinitas normal (25 ppt). Laju pertumbuhan yang dilaporkan sekitar 5,29 – 6,92%/hari (Gong et al. 2000), dan 3,95 – 4,56% /hari (Gonzalez-Felix et al. 2002).
Selama ini, budidaya udang vaname dilakukan di daerah perairan bersalinitas tinggi di tambak-tambak estuari, sementara potensi lahan untuk budidaya di air bersalinitas rendah sangat besar, mencapai 2,23 juta hektar lahan air tawar dengan belum termanfaatkan sekitar 89,9% (DKP 2005).
Penelitian lain telah melaporkan bahwa dengan peningkatan
K+
bermanfaat terhadap sintasan udang di lingkungan perairan kolam. Mace (2008) mencatat bahwa peningkatan konsentrasi K+ hingga sekitar 3,6% dari kadar Na+ mampu menekan masalah kematian udang vaname selama periode percobaan 48 jam di kolam air tanah (ground water). Berdasarkan penelitian pada juvenil udang windu (P. monodon), Tantulo dan Fotedar (2006) menunjukkan bahwa nilai sintasan semakin meningkat ketika udang dipelihara di air tanah 5 ppt yang telah diperkaya lewat penambahan K+ 100% sehingga konsentrasi K+ menjadi 51 mg/l.
Tingginya FGK berkorelasi selanjutnya dengan semakin pendek jarak waktu interomolt. Pada stadia postlarva, lamanya intermoult lebih pendek daripada udang dewasa karena seringnya intensitas pergantian kulit. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa frekuensi ganti kulit mengalami pengurangan yang disebabkan oleh perubahan stadia dari postlarva ke juvenil (Wyban & Sweeney 1991). Berdasarkan hasil sebelumnya, peran nutrisi protein dan kalsium pakan bagi pertumbuhan secara mendalam dapat dijelaskan, namun peran komponen
135
pakan ini bagi ganti kulit masih jarang dilaporkan. Oleh karena itu efek protein dan kalsium pakan terhadap ganti kulit dalam penelitian ini merupakan informasi penting dalam pemeliharaan postlarva vaname.
McNevin et al. (2004) melaporkan terjadi peningkatan produksi udang vaname mencapai 4.068 kg/hektar , S=67% (awalnya 595 kg/hektar, S=19%) ketika kandungan K+ dan Mg2+ ditingkatkan dari 6,2 ppm K+ ke 40 ppm K+ dan 4,6 ppm mg2+ ke 20 ppm Mg2+ dengan menggunakan muriate potash dan potasium magnesium sulfate (Kmag). Pengaruh K (muriate potash) lebih berperan dari mg . salinitas sekitar 2,6-4 ppt. Anonim 2005. Petunjuk Teknis Pembenihan Udang Vannamei. Situbondo: BBAP. Tingkat kerja osmotik (osmoregulatory capacity)
merupakan suatu indikator
untuk menjelaskan proses yang dialami hewan air selama periode stres lingkungan (Lignot et al. 2000; Cheng et al. 2006). [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Revitalisasi Perikanan Budidaya 2006-2009. Jakarta: DKP RI. 275 pp.
Madigan MT, Martinko JM, Dunlap PV, Clark DP. 2009. Biology of Microorganisms. Edisi ke-12. San Fransisco: Pearson Education, Inc. 1061 pp
Arnold SJ, Sellars MJ, Crocos PJ, Coman GJ. 2006. Intensive production of juvenile tiger shrimp Penaeus monodon: An evaluation of stocking density and artificial substrates. Aquaculture 261: 890–896 [SEAFDEC] Southeast Asian Fisheries Development Center. 2005. Regional Technical Consultation on the Aquaculture of P. vannamei and Other Exotic Shrimps in Southeast Asia. Manila: SEAFDEC Aquaculture Department. 91 pp. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Strategi Pembangunan Kelautan dan Perikanan Tahun 2007. Jakarta: DKPRI. 51 pp. Laramore, S., C.R. Laramore, and J. Scarpa. 2001. Effect of low salinity on growth and survival of post larvae and juvenile Litopenaeus vannamei. Journal of the World Aquaculture Society 32: 385-392.
136
Gonzalez-Felix ML, Lawrence AL, Gatlin III DM, Perez-Velazquez M. 2002. Effect of dietary phospholipid on essential fatty acid requirements and tissue lipid composition of Litopenaeus vannamei juveniles. Aquaculture 207:151–167. Gonzalez-Felix ML, Lawrence AL, Gatlin III DM, Perez-Velazquez M. 2003. Nutritional evaluation of fatty acids for the open thelycum shrimp, Litopenaeus vannamei: I. Effect of dietary linoleic and linolenic acids at different concentrations and ratios on juvenile shrimp growth, survival and fatty acid composition. Aquac Nutr 9:105-113. Boyd CE. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Netherland: Elsevier Scientific Publishing Company. Anggoro S. 1992. Efek osmotik berbagai tingkat salinitas media terhadap daya tetas telur dan vitalitas larva udang windu, Penaeus monodon F [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Akiyama DM, Dominy WG. 1980. Penaeid shrimp nutrition for the commercial feed industry. Paper Submitted for Publication. Deshimaru O, Yone Y. 1978. Requirement of prawn for dietary minerals. Nipp Suis Gakk 44:907– 910.
Davis DA, Arnold CR. 2000. Replacement of fish meal in practical diets for the Pacific white shrimp, Litopenaeus vannamei. Aquaculture 185:291–298. Fielder DS, Bardsley WJ, Allan GL. 2001. Survival and growth of Australian snapper, Pagrus auratus, insaline groundwater from inland New South Wales, Australia. Aquaculture 201:73–90. Gong H,Lawrence AL, Jiang DH, Castille FL, Gatlin DM. 2000. Lipid nutrition of juvenile Litopenaeus vannamei. Dietary cholesterol and de-oiled soy lecithin requirements and their interaction. Aquaculture 190:305–324. Kumar S, Tembhre M. 1997. Anatomy and Physiology of Fishes. New Delhi: UBS Publishers Distributors Ltd. Lignot JH, Spanings-Pierrot C, Charmantier G. 2000. Osmoregulatory capacity as a tool in monitoring the physiological condition and the effect of stress in crustaceans. Aquaculture 191:209-245. Heath AG. 1987. Water Pollution and Fish Physiology. Boca Raton : CRC Press, Inc.
137
Selanjutnya Velasco et al. (2000) menguji efek kadar protein pakan berbeda (5, 10, 15, 20, 25%), dan mendapatkan bahwa kebutuhan protein untuk postlarva vaname sekitar 24,5%. Martinez-Cordova LR, et al. 2003. Dietary protein level and natural food management in the culture of blue (Litopenaeus stylirostris) and white shrimp (Litopenaeus vannamei) in microcosms. Aquac Nutr 9:155-160. Mace CE. 2008. Evaluation of Ground Water from the Lajas Valley for Low Salinity Culture of the Pacific White Shrimp Litopenaeus vannamei [dissertation]. Puerto Rico: University of Puerto Rico Mayaguez Campus. Muhammad A, Rehana I, Shabbir AR, Mohammad A, Furhan I. 2006. Effect of feed cycling on specific growth rate, condition factor and RNA/DNA ratio of Labeo rohita. Afr J Biotech 5:1551-1556. Roy LA, Davis DA, Saoud IP, Henry RP. 2007b. Supplementation of potassium, magnesium and sodium chloride in practical diets for the Pacific white shrimp, Litopenaeus vannamei, reared in low salinity waters. Aquacul Nutr 13:104–113. Davis DA, Lawrence A, Gatlin DM III. 1993a. Dietary copper requirement of P. vannamei. Bull Jpn Soc Scienc Fish 59:117–122. Sowers A Satoh S, Porn-Ngam N, Takeuchi T, Watanabe T. 1993. Effect of various types of phosphates on zinc availability to rainbow trout. Nippon Suisan Gakkaishi 59:1395-1400. D, Young SP, Grosell M, Browdy CL, Tomasso JR. 2006. Hemolymph osmolality and cation concentrations in Litopenaeus vannamei during exposure to artificial sea salt or a mixed-ion solution: Relationship to potassium flux. Comp.Biochem. Physiol., A. 145:176–180. Comparative Biochemistry and Physiology, Part A 145 (2006) 176–180 Tacon AGJ. 1991. Vitamin nutrition in shrimp and fish. Di dalam: Akiyama DM & Tan RKH. Proceeding of the Aquaculture Feed Processing and Nutrition Workshop. Thailand and Indonesia, September 19-25 1991. Singapore: American Soybean Association. hlm 42-48. Tung PH, Shiau SY. 1991. Effect of meal frequency on growth performance of hybrid Tilapia, Oreochromis niloticus x O. aureus, fed different carbohydrate diet. Aquaculture 92:343-350. Velasco M, Lawrence AL, Castille FL. 1999. Effect of variation in daily feeding frequency and ration size on growth of shrimp, Litopenaeus vannamei (Boone), in zero water exchange culture tanks. Aquaculture 179:141-148.
138
Villalon JR. 1991. Practical manual for semi-intensive commercial production of marine shrimp. Aquaculture. Texas: Texas A&M University Sea Grant College Program Wedemeyer GA. 1996. Physiology of Fish in Intesive Culture Systems. New York: Chapman and Hall. Zonneveld N, Huisman EA, Boon JH. 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Somanath B, Palavesam A, Lazarus S, Ayyappan M. 2000. Influence of nutrient sources on specific dynamic action of pearl spot, Etroplus suratensis (Bloch). Naga 23:15-17 Nurdjana M. 2010. Program peningkatan produksi perikanan tahun 2010-2014 dalam rangka feed the world. Disampaikan pada “Seminar Nasional Feed The World ”, Jakarta Convention Center, 28 Januari 2010. 44 hlm. Davis DA, Arnold CR, McCallum I. 2002a. Nutritional value of feed peas (Pisum sativum) in practical diet formulations for Litopenaeus vannamei. Aquac Nutr 8:87–94. Pottinger TG, Carrick TR, Yeomans WE. 2002. The three-spined stickleback as an environmental sentinel: effects of stressors on whole-body physiological indices. J Fis Biol 61:207–229. Cousin M. 1995. Contribution a` l’e´tude de l’utilisation des glucides et du rapport proteine/e´nergie chez P. vannamei et P. stylirostris. Institut National Agronomique Paris-Grignon. 181 pp., 201 pp. Velasco, M., Lawrence, AL, Castille FL, Obaldo LG. 2000. Dietary protein requirement for Litopenaeus vannamei. Di dalam: Cruz -Suarez LE, RicqueMarie D, Tapia-Salazar M, Olvera-Novoa MA, Civera-Cerecedo R, editor. Avances en Nutricion Acuícola V. Memorias del V Simposium Internacional de Nutricion Acuícola. 19-22 Noviembre, 2000. Merida, Yucatan, Mexico. hlm 181-192.
Produksi vaname tahun 2009 sekitar 244.650 ton. Produksi udang: 348.100 ton Kontribusi ekonomi vaname 2009 sekitar: Rp. 9.786.000.000.000 (9,786 triliun) Kontribusi perikanan budidaya: Rp. 46.312.702.000.000 (46,312 triliun) Kontribusi ekonomi udang vaname 21,13% (devisa terbesar).
139
Sumber: Nurdjana (2010)
Perlakuan merupakan variasi dari kadar fosfor dengan berbagai mineral lain dalam pakan, yaitu: kontrol, Ca(H2PO4)2, CaHPO4, Ca3(PO4)2, NaH2PO4, Na2HPO4, KH2PO4, K2HPO4, H3PO4, dan tepung tulang. Selama ini, usaha budidaya udang vaname
dilakukan di
daerah perairan
bersalinitas tinggi di tambak-tambak estuari, sementara adanya potensi pengembangan lahan untuk budidaya payau yang besar mencapai 913.000 ha, belum termasuk perairan air tawar (DKP 2007), menjadikan budidaya di salinitas rendah dapat berkembang lebih luas.
Perubahan dalam status nutrisi dapat mengarahkan pada perubahan jumlah ribosom dalam sel (Ali et al. 2006).
Hasil berbeda dilaporkan Roy (2007a) berdasarkan pengamatan pada juvenil vaname. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kadar K+ dalam hepatopankreas udang relatif sama di antara perlakuan K+ media. Perbedaan dengan hasil penelitian ini diduga karena penyerapan seluruh tubuh terhadap mineral K+ relatif lebih banyak dengan adanya peningkatan K+ media.
Penyerapan kalsium adalah lewat usus melalui mekanisme transpor aktif. Efek stres dapat dikurangi apabila K+ ditambahkan dalam air media (Mantel & Farmer 1983).
Pandian TJ, Balasundaram C. 1982. Moulting and spawning cycles in Macrobrachium nobilii. Di dalam: New MB, editor. Giant Prawn Farming. Amsterdam: Elsevier Scientific Publishing Company. hlm 59-71.
140
Hipotesis: Apabila penambahan kalsium dan potasium dalam media serta pengkayaan pakan dengan kalsium dan protein mampu secara
efektif menunjang proses
osmoregulasi maka ketersediaan energi semakin banyak untuk menunjang sintasan dan pertumbuhan udang vaname.
Rasio Na/K yang terkandung di air berhubungan dengan energi yang dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan antara K+ dan Na+ di cairan intraseluler dan ekstraseluler (Dersjant-Li et al. 2001).