PENINGKATAN RIAP PERTUMBUHAN TANAMAN TEMBESU MELALUI BEBERAPA PERLAKUAN SILVIKULTUR Oleh: Agus Sofyan1), Abdul Hakim Lukman1), Junaidah2) dan Nasrun S.3) 1) Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2) Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Banjar Baru 3) Teknisi Litkayasa pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Tembesu merupakan salah sata jenis pohon lokal yang sangat populer di wilayah Sumatera Bagian Selatan. Kayu tembesu umumnya digunakan untuk konstruksi berat, mebel dan ukiran. Saat ini pemakaian kayu tembesu sudah sangat berkurang dan digantikan oleh jenis-jenis kayu lainnya dengan kualitas di bawah tembesu. Hal ini disebabkan karena suplay bahan baku kayu tembesu sudah sangat sulit diperoleh. Untuk menjamin ketersediaan suplay kayu tembesu, tentunya perlu dilakukan pembangunan hutan tanaman tembesu yang bersifat produktif. Beberapa perlakuan silvikultur telah dilakukan dalam upaya peningkatan produktivitas (riap pertumbuhan) tanaman tembesu, yaitu pemeliharaan yang intensif, pemangkasan batang dan penjarangan. Rerata peningkatan riap pertambahan diameter melalui perlakuan pemeliharaan adalah sebesar 30,77% (dari rerata sebesar 1,82 menjadi 2,38 cm/tahun) pada umur 3 tahun dan sebesar 23,95% (dari rerata sebesar 1,67 cm/tahun menjadi 2,07 cm/tahun) pada umur 6 tahun, sementara rerata perolehan peningkatan pertambahan diameter melalui perlakuan pemangkasan adalah sebesar 23,07% - 23,67% (dari rerata (kontrol) sebesar 1,69 cm menjadi 2,08 cm dan 2,09 cm, dengan intensitas penjarangan 40% dan 50%). Sementara peningkatan pertambahan diameter yang diperoleh melalui pengaturan jarak tanam (penjarangan) sebesar 26,39% (dari rerata sebesar 3,22 cm menjadi 4,07 cm, dengan pola penjarangan untuk walang) dan meningkat 18,94% (dari retata 3,22 cm menjadi 3,83 cm, dengan melalui pola penjarangan baris), setelah 2 tahun penjarangan. Kata kunci:
hutan tanaman, tembesu, produktif, perlakuan silvikultur, peningkatan riap I.
PENDAHULUAN
Tembesu (Fagraea fragrans) merupakan salah satu jenis yang sangat populer di wilayah Sumatera, khususnya Sumatera Bagian Selatan. Kayu tembesu termasuk dalam kelas awet I, kelas kuat I-II (Martawijaya et al., 1992), sifat kayu mudah dikerjakan dengan tekstur halus (Lemmens et al., 1995). Kayu tembesu dapat 1
digunakan untuk berbagai keperluan seperti industri mebel, ukiran dan konstruksi berat. Di Wilayah Sumatera Bagian Selatan, masyarakat yang menggunakan produk berbahan baku kayu tembesu, umumnya identik dengan kelompok masyarakat menengah ke atas. Pada saat ini pemakaian kayu tembesu untuk berbagai keperluan sudah sangat berkurang dan mulai digantikan oleh jenis-jenis kayu lain dengan kualitas lebih rendah dari tembesu seperti medang batu, gerunggang dan malabira. Hal ini disebabkan karena bahan baku kayu tembesu sudah sangat sulit diperoleh. Menurut Martin et al. (2011), permintaan kayu tembesu untuk kebutuhan industri ukiran dan mebeler di kota Palembang dalam beberapa tahun terakhir mencapai sebesar 3.120 m3 per tahun. Sebagaimana penurunan potensi jenis-jenis tanaman komersial yang lain, potensi tembesu pada sebaran alaminya juga telah semakin menurun, sementara kebutuhannya semakin meningkat. Di wilayah Sumatera Bagian Selatan (Sumatera Selatan, Jambi dan Lampung) sebagian masyarakatnya telah menempatkan tembesu sebagai tanaman yang mempunyai nilai khusus dalam pengelolaan usaha kebun mereka. Hal ini dicirikan dengan adanya upaya yang serius dalam mempertahankan tanaman (anakan alam) tembesu yang terdapat pada lahan kebun yang mereka usahakan, yaitu dengan memeliharanya secara bersama-sama dengan tanaman pokok (karet atau tanaman lainnya). Dengan pola tersebut petani akan memiliki hasil sampingan yang cukup menjanjikan tanpa perlu mengeluarkan biaya tambahan dalam pengelolaan usaha kebun mereka. Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi perubahan
persepsi
yang
cukup
menggembirakan,
dimana
sebagian
kecil
masyarakat/petani telah mulai melakukan penanaman tembesu dengan menggunakan materi tanaman/bibit hasil budidaya (bukan trubusan alam), baik sebagai tanaman sela maupun sebagai tanaman pokok dalam bentuk penanaman monokultur. Mengingat investasi dalam pengusahaan/pembangunan hutan tanaman, baik hutan rakyat (HR) maupun hutan tanaman rakyat (HTR) yang relatif besar dengan masa pengembalian modal (panen) yang relatif lama serta tingkat resiko yang tinggi, maka pembangunan dan pengelolaannya harus diarahkan pada usaha yang bersifat produktif. Pembangunan hutan tanaman khususnya hutan rakyat dan hutan tanaman
2
rakyat yang produktif dapat dilakukan melalui upaya peningkatan kapasitas pengetahuan dan teknologi budidaya para pelaku usaha (petani), terutama hal-hal yang terkait dengan beberapa aspek seperti kesesuaian lahan, pemilihan jenis dan bahan tanaman serta praktek-praktek silvikultur yang tepat, sesuai jenis serta mutu genetik materi atau bahan bibit yang digunakan. Dalam Budidaya, petani atau pelaku usaha tidak boleh hanya ‘sekedar’ menanam dengan bahan tanaman dan pengetahuan serta teknologi ‘seadanya’, sehingga tidak diperoleh hasil yang maksimal. Dalam paper ini penulis mencoba menyajikan beberapa informasi tentang tembesu serta hasil-hasil penelitian yang terkait dengan praktek-praktek silvikultur yang dapat meningkatkan riap pertumbuhan tanaman atau tegakan tembesu.
II. PERAN SILVIKULTUR DALAM PENINGKATAN RIAP Tidak diragukan lagi bahwa pembangunan dan pengelolaan hutan tanaman (hutan tanaman industri, hutan rakyat dan hutan tanaman rakyat) memerlukan praktek-praktek sivikultur yang tepat, sehingga diperoleh pertumbuhan tanaman atau tegakan yang optimal. Praktek-praktek silvikultur tersebut dilakukan dalam rangka upaya memberi ruang dan peluang pertumbuhan yang optimal. Peran dan pengaruh nyata dari praktek-praktek silvikultur terhadap peningkatan riap pertumbuhan tanaman/tegakan telah banyak dilaporkan, begitu pula peran benih unggul dalam mencapai pertumbuhan tegakan yang maksimal. Beberapa hal penting dalam pembangunan hutan tanaman antara lain adalah: 1. Kesesuaian lahan Kesesuaian lahan (antara jenis dan tapak) mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap hasil pertumbuhan tanaman, karenanya informasi kesesuaian lahan yang terkait dengan persyaratan tumbuh jenis-jenis yang akan dikembangkan/dibudidayakan menjadi hal yang sangat penting untuk diketahui. Menurut Shelbourne (1972), Zobel dan Talbert (1984) pertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat tumbuh (edafis) dan faktor iklim (klimatis). Hal senada juga dikemukakan oleh Foth dan Turk (1994) yang menyatakan bahwa pada dasarnya tanaman yang tumbuh di atas tanah tergantung pada kondisi tanahnya 3
sebagai tempat tersedianya air dan unsur-unsur hara serta kondisi iklim yang merupakan pendukung utama dalam proses pertumbuhan tanaman. Kegagalan program/kegiatan penanaman seringkali disebabkan oleh faktor ketidaksesuaian jenis dengan kondisi tapaknya. Salah satu contoh kasus yang sangat nyata adalah kegagalan pertumbuhan dalam penanaman jati yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir di sebagian besar wilayah Sumatera. Menurut Hardiyanto (2005), ketidaksesuaian lahan (antara jenis dengan tapak) menyebabkan produktivitas hutan tanaman tidak optimal bahkan dalam banyak kasus dapat mengalami kegagalan. 2. Manipulasi lingkungan Dalam konsep silvikultur intensif, upaya manipulasi lingkungan melalui praktekpraktek silvikultur yang ditujukan untuk memacu pertumbuhan tanaman, saat ini sudah menjadi suatu tuntutan yang harus dilakukan. Penggunaan dan pemilihan media, pemupukan (jenis dan dosis) yang tepat pada tingkat pembibitan harus dilakukan secara tetap, begitu pula pada tingkat penanaman, dimana status pemeliharaan dan pengolahan lahan pada pertumbuhan awal akan sangat menentukan hasil pertumbuhan tanaman/tegakan pada periode lanjutannya. Menurut Suparna (2005) dan Soekotjo (2009), bahwa penyiapan lahan, pemberian unsur hara serta pemeliharaan tanaman merupakan hal penting dalam upaya peningkatan produktivitas tegakan. Hal senada juga dikemukakan oleh Purwita dan Supriadi (2010), bahwa pemeliharaan tanaman yang disertai dengan pemupukan yang tepat telah menghasilkan peningkatan produktivitas (volume) yang nyata pada tegakan Acacia mangium. 3. Materi atau bahan tanaman Sebagaimana diketahui bahwa pertumbuhan tanaman merupakan hasil interaksi antara faktor genetik (yang terdapat dalam tanaman) dengan faktor lingkungan (Zobel dan Talbert, 1984). Peningkatan produktivitas pertumbuhan tegakan, selain dapat dicapai melalui praktek-praktek silvikultur yang tepat, juga sangat ditentukan oleh materi tanaman (mutu genetik). Peningkatan riap pertumbuhan melalui pemanfaatan benih bermutu telah banyak dilaporkan. Beberapa contoh peningkatan riap pertumbuhan/volume dalam pembangunan hutan tanaman melalui penggunaan benih bermutu (genetik) antara lain adalah, peningkatan riap pertumbuhan jenis Eucalyptus hybrid dari 26 m3/ha/th menjadi 42-50 m3/ha/th di
4
Brazil dan Congo, serta peningkatan volume sebesar 7-12% pada generasi pertama untuk jenis Pinus taeda di Amerika Selatan (Hardiyanto, 2007 dalam Sofyan 2009). III. PENINGKATAN RIAP PERTUMBUHAN TANAMAN TEMBESU Tembesu termasuk dalam kelompok tanaman/pohon yang mempunyai pertumbuhan relatif lambat, dengan bentuk batang yang cenderung tidak lurus pada pertumbuhannya secara alami serta jumlah cabang yang sangat banyak dan sukar luruh (Gambar 1 dan 2). Tembesu termasuk jenis yang sukar melakukan peluruhan atau prunning secara alami (self prunning rendah). Dalam rangka meningkatkan riap pertumbuhan serta bentuk batang dalam budidaya jenis tembesu, maka telah dilakukan serangkaian penelitian guna diperoleh hasil pertumbuhan serta bentuk batang yang optimal. Dari beberapa perlakuan silvikultur yang diterapkan, telah diperoleh hasil yang cukup menggembirakan.
Gambar 1. Percabangan tanaman muda
Gambar 2. Percabangan tanaman Umur 5 tahun (cabang tidak luruh)
5
Beberapa hasil yang telah diperoleh dalam penelitian tembesu, antara lain adalah: 1. Peningkatan kualitas bentuk batang Pertumbuhan tanaman tembesu secara alami, seringkali menghasilkan batang dengan bentuk yang tidak lurus dan cenderung bengkok, dengan jumlah percabangan yang sangat banyak. Kondisi pertumbuhan yang demikian sangat berpengaruh terhadap nilai jual kayu tembesu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis tembesu tidak mempunyai sifat peluruhan cabang secara alami yang baik (self prunning rendah) sebagaimana disajikan dalam Gambar 3, karenanya untuk memperoleh pertumbuhan dan bentuk batang yang baik, harus dilakukan pemangkasan cabang secara intensif sejak pertumbuhan awalnya (Gambar 4). Dengan pemangkasan yang tepat, selain diperoleh bentuk batang yang baik (lurus dan tidak mengandung mata kayu yang besar), juga diperoleh peningkatan riap pertumbuhan tanaman/tegakan.
Gambar 3. Perlakuan Pemangkasan
Gambar 4. Percabangan tembesu tanpa pemangkasan
6
2. Peningkatan Riap Pertumbuhan Tinggi dan Diameter Tujuan utama penanaman tembesu adalah diperolehnya produk hasil kayu yang maksimal.
Beberapa
upaya
yang telah
dilakukan
dalam
meningkatkan
pertumbuhan tanaman/tegakan tembesu adalah pemeliharaan yang intensif, perlakuan pemangkasan cabang serta penjarangan tanaman. Hasil yang telah diperoleh dari penerapan perlakuan tersebut, selengkapnya disajikan dalam Tabel 1, 2 dan Tabel 3. Tabel 1. Rerata riap pertumbuhan tembesu pada status pemeliharaan dan lokasi yang berbeda Riap
No
Umur (tahun)
Jarak tanam (m x m)
Kerapatan (N/ha)
Diameter (cm/th)
Tinggi (m/th)
1 2 3 4 5 6
3 4 5 6 3 6
3x2 3x2 3x2 3 x2 3x3 3x3
1666 1666 1666 1666 1111 1111
2,38 2,28 2,52 2,07 1,82 1,67
1,70 1,65 2,02 1,71 1,82 1,71
Lokasi Mr Enim* Mr Enim* Mr Enim* Mr Enim* OKU Timur OKU Timur
* Plot penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang (Benakat, M. Enim) Hasil pada Tabel 1 menunjukkan bahwa status pemeliharaan tanaman pada fase pertumbuhan awal (setelah penanaman sampai dengan umur 2-3 tahun) seperti penyiangan gulma, intensitas dan frekuensi penyiangan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tegakan tanaman tembesu. Hasil pada Tabel 1 menunjukkan bahwa rerata riap pertimbuhan tegakan tembesu yang dikelola secara lebih intensif (Plot penelitian BPK Palembang), menghasilkan rerata nilai yang lebih tinggi dibanding dengan rerata pertumbuhan tegakan yang dikelola masyarakat (tegakan berlokasi di OKU Timur), baik pada umur 3 tahun maupun umur 6 tahun. Tegakan yang dikelola secara intensif oleh Balai Penelitian Kehutanan Palembang mempunyai nilai rerata riap pertumbuhan 30,77% lebih tinggi (2,38 cm/tahun) dibanding dengan rerata riap pertumbuhan diameter tanaman yang dikelola masyarakat (OKU Timur) dengan rerata sebesar 1,82 cm/tahun. Sementara rerata peningkatan pertumbuhan diameter pada umur 6 tahun sebesar 23,95% yaitu dari rerata diameter sebesar 1,67 cm/tahun menjadi 2,07 cm/tahun.
7
Berbeda dengan rerata pertumbuhan diameter yang mengalami peningkatan cukup besar yaitu 23,95% - 30,77%, rerata riap pertumbuhan tinggi nampak tidak memberikan hasil pertumbuhan yang berbeda baik pada umur 3 tahun maupun umur 6 tahun. Hasil ini mengindikasikan bahwa pemeliharaan tanaman pada awal pertumbuhan (1-3 tahun) sangat penting dilakukan dalam rangka pencapaian pertumbuhan tanaman yang optimal. Sebagaimana
status
pemeliharaan
tanaman,
upaya
peningkatan
riap
pertumbuhan tanaman juga dapat dilakukan melalui perlakuan silvikultur yang lain, seperti pemangkasan dengan tingkat/intensiatas yang tepat (Viquez dan Perez, 2005). Hasil penelitian pemangkasan dengan intensitas pemangkasan sebesar 40% dan 50%, ternyata telah menghasilkan rerata pertumbuhan (pertambahan) diameter (dbh) lebih tinggi dibanding dengan perlakuan kontrol atau tanpa pemangkasan serta pemangkasan dengan intensitas sebesar 60%, yaitu masing-masing sebesar 2.08 cm/tahun dan 2.09 cm/tahun, sementara perolehan rerata riap diameter pada perlakuan kontrol dan pemangkasan dengan intensitas sebesar 60% masing-masing sebesar 1,69 cm/tahun dan 1,87 cm/tahun, sebagaimana disajikan dalam Tabel 2. Dari hasil ini nampak bahwa melalui perlakuan pemangkasan cabang tanaman tembesu sebesar 40% dan 50%, telah dapat meningkatkan rerata riap pertumbuhan masingmasing sebesar 23,07% dan 23.67% lebih tinggi dibanding kontrol. Pengaruh pemangkasan terhadap pertambahan tinggi tanaman tembesu setelah satu tahun pemangkasan, tidak mamberikan pengaruh/hasil yang nyata, namun demikian nilai pertambahannya masih lebih tinggi dari perlakuan kontrol (Tabel 2). Sebagaimana halnya dengan perolehan rerata pertambahan diameter dan tinggi, rerata riap tahunan (umurr 3 tahun) pada perlakuan pemangkasan 40% dan 50% juga menunjukkan hasil yang lebih tinggi dari perlakuan kontrol. Dengan hasil tersebut di atas, selain diperoleh meningkatkan riap pertumbuhan tanaman, dengan perlakuan pemangkasan juga akan dihasilkan batang bebas cabang yang lebih tinggi/panjang dan bebas dari mata kayu, sehingga dapat meningkatkan kualitas dan nilai ekonomi kayu.
8
Tabel 2. Rerata pertambahan dan riap pertumbuhan tembesu sebagai respon dari perlakuan pemangkasan pada umur 2 tahun Tinggi (m)
Intensitas Pemangkasan
2 th
3 th
Δ
Kontrol (0%) 40% 50% 60% Rerata
2.86 3.38 3.32 3.40 3.24
4.75 5.44 5.27 5.40 5.23
1.89 2.06 1.95 2.00 1.97
Diameter (cm) Riap 1.58 1.81 1.76 1.80 1.74
2 th
3th
Δ
4.47 5.67 5.52 5.27 5.23
6.16 7.75 7.61 7.14 7.25
1.69 2.08 2.09 1.87 1.93
Riap 2.05 2.58 2.54 2.38 2.39
Keterangan: 40% : intensitas pemangkasan 40% dari tinggi total, sisa tinggi tajuk 60% Δ : pertambahan tinggi dan diameter setelah satu tahun dipangkas
Selain diperoleh melalui pemeliharaan yang intensif dan pemangkasan, peningkatan riap pertumbuhan tanaman tembesu juga diperoleh pada perlakuan penjarangan yang dilakukan pada umur 4 tahun. Melalui perlakuan penjarangan yang dilakukan dengan beberapa pola yaitu penjarangan pola baris, untu walang (berselang) dan kontrol (tanpa penjarangan), ternyata penjarangan dengan pola untu walang menghasilkan rerata pertumbuhan (pertambahan diameter) terbaik, baik pertambahan 1 tahun (2.06 cm) maupun 2 tahun (4.07 cm) setelah penjarangan, sebagaimana disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Riap tinggi dan diameter tembesu sebagai respon dari beberapa pola penjarangan Tinggi (m) Penjarangan
Diameter (cm)
4 th
5 th
6 th
Δ
Riap
4 th
5 th
6 th
Δ
Riap
Kontrol
6.52
8.60
10.24
3.72
1.63
9.19
10.60
12.41
3.22
1.97
Untu walang
6.75
8.50
10.09
3.34
1.60
9.04
11.10
13.11
4.07
2.08
Tebang baris
6.51
8.50
10.61
4.10
1.68
9.11
11.00
12.94
3.83
2.05
6.59 8.53 10.31 3.72 1.64 9.11 Keterangan: Δ : Pertambahan tinggi dan diameter setelah 2.5 tahun dijarangkan
10.90
12.82
3.71
2.03
Rerata
9
Hasil pada Tabel 3 menunjukkan bahwa penjarangan dengan pola untu walang dan pola tebang baris setelah 2 tahun perlakuan penjarangan memberikan rerata pertumbuhan diameter yang lebih tinggi yaitu masing-masing 4.07 cm (meningkat 26,39%) dan 3.83 cm (meningkat 18,94%) dibanding dengan perlakuan kontrol. Dampak dari peningkatan pertumbuhan diameter tersebut adalah meningkatnya riap diameter pada penjarangan pola untu walang dan tebang baris, masing-masing 5.58% dan 4.06% lebih tinggi dari kontrol. Sebagaimana halnya pada perlakuan pemangkasan, perlakuan penjarangan juga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tinggi. Dari hasil-hasil sebagaimana diuraikan di atas nampak bahwa dengan pemeliharaan intensif, pemangkasan cabang serta penjarangan telah diperoleh rerata riap pertumbuhan yang optimal. Hasil peningkatan riap pertumbuhan tersebut, sesungguhnya masih dapat ditingkatkan lagi, yaitu melalui penggunaan meteri atau bahan tanaman (benih/bibit) hasil seleksi, yang dapat dilakukan mulai pada tahap pemilihan atau seleksi pohon-pohon induk (mother tree) yang mempunyai pertumbuhan unggul atau dominan sebagai sumber benih, kemudian dilanjutkan dengan seleksi pada tingkat buah dan benih dari hasil yang telah diperoleh, dengan memilih buah atau benih yang telah masak secara fisiologis, berukuran besar dan sehat. Tindakan seleksi kemudian dilanjutkan pada tingkat kecambah atau semai dan tingkat bibit, dengan memilih semai atau bibit yang mempunyai pertumbuhan (vigor) dan penampilan yang baik. Langkah lain yang juga dapat dilakukan untuk meningkatkan rerata riap pertumbuhan adalah, dengan cara memanfaatkan bahan vegetatif (klon) yang berasal dari pohon-pohon induk yang unggul sebagai bahan tanaman. Dalam jangka panjang tentunya akan dicapai peningkatan riap pertumbuhan yang maksimal, melalui serangkaian program-program pemuliaan. Karenanya, seiring dengan upaya melalui praktek-praktek silvikultur yang sedang dilakukan, secara bersamaan harus dibangun sumber-sumber benih jenis-jenis yang akan dikembangkan.
10
IV.
PENUTUP
Pembangunan hutan tanaman (hutan rakyat, hutan tanaman rakyat, hutan tanaman industri) yang produktif harus ditunjang dengan praktek-praktek silvikultur yang tepat sesuai jenis, pemeliharaan yang intensif, pemangkasan cabang serta pengaturan jarak tanam (melalui penjarangan) dapat meningkatkan rerata riap pertumbuhan tanaman tembesu.
DAFTAR PUSTAKA Foth, H.D. and L.M. Turk. 1994. Fundamentals of Soil Science. Sixth Edition. John Wiley and Sons, Inc. New York. Hardiyanto, E. B. 2005. Beberapa Isu Silvikultur dalm Pengembangan Hutan Tanaman. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan. Yogyakarta, 26-27 Mei 2005. pp: 121-132. Fakultas Kehutanan UGM dan ITTO. Yogjakarta. Lemmens, R.H.M.J., I. Soerianegara and W.C. Wong. 1995. Plant Resources of South East Asia No 5 (2). Timer Trees: Minor Comercial timbers. PROSEA. Bogor, Indonesia. Martawijaya, A., I. Kartasujana., Y. I. Mandang, S. A. Prawira dan K. Kadir. 1992. Atlas Kayu Indoneisa Jilid II Balitbang Kehutanan. Bogor. Martin, E, Premono, B.T, Baktiawan, A. 2011. Laporan Penelitian Teknik Budidaya Tembesu: Status Pembudidayaan Tembesu. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Purwita, T. Dan B. Supriadi. 2010. Pembangunan Hutan Tanaman Industri Acacia mangium di PT. Musi Hutan Persada. Makalah pada Diskusi Multi Pihak Peran Litbang dalam Mendukung Percepatan Pembangunan Hutan Tanaman di Sumatera Selatan. Palembang. Shelbourne. 1972. Genotype Environment Interaction : Its Study and its Implications in Forestry Improvement. Proc. IUFRO Genetics –Sabrao Joint Symposia. Tokyo. Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif (SILIN). Gadjah Mada University Press. Yogjakarta. Suparna, N. 2005. Meningkatkan Produktivitas Kayu dari Hutan Alam dengan Penerapan Silvikultur Intensif di PT. Sari Bumi Kusuma, Unit Seruyan. Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan: 30-47. Fakultas Kehutanan UGM dan ITTO. Yogjakarta.
11
Sofyan, A. 2009. Silvikultur Intensif Dalam Peningkatan Produktivitas Hutan Tanaman. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian ‘Peran IPTEK dalam Mendukung Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Palembang, 2 Desember 2009. Viquez, E. dan D. Perez. 2005. Effect of Pruning on Tree Growth, Yield, and Wood Properties of Tectona grandis Plantations in Costa Rica. Silva Fennica 39(3): 381-390. Zobel dan Talbert. 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Willey and Sons. New York.
12