Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN 979-587-580-9
Peningkatan Produksi Persawahan Pasang Surut dengan Teknologi Ratun Padi The Increase Of Tidal Rice Fields Production With Ratoon Technology Novisrayani Kesmayanti1*),Edi Romza1& Evriani Mareza1 Fakultas Pertanian, Universitas IBA, Jalan Mayor Ruslan, Palembang1Fakultas Pertanian, Universitas IBA, Jalan Mayor Ruslan, Palembang Sumatera Selatan *) Telp. Corresponding author :
[email protected] ABSTRACT Intensification of paddy in tidal land can do ratoon technology implementation. Ratoon technology is very potential to be developed in tidal areas as a solution to some constraints such as the cultivation of the high price of inputs, limited and expensive labor costs, as well as the time of planting is very dependent on the season, as well as to increase the production of rice unity. This study was conducted in September 2013-May 2014 and aims to obtain the cutting height singgang to increase vigor and vegetative phase and reproductive ratun tidal land. Singgang cutting height (10, 20, 30 and 40 cm), planting material Ciherang, one factor with Randomized Block Design and five replications are located in the area of tidal rice fields in the village of Telang Sari (overflow type B), District of Tanjung Lago, Banyuasin. The results showed, that ratoon technology can be used as an effort to increase rice production ups, but the application must consider the height of the cutting technology is the best singgang 40 cm. The singgang cutting40 cm produces ratoon with the number of tillers, tillers productive and higher percentage growth, flowering and harvesting age faster and component production is grain and grain weight per clump contents, ratoon production, total production per hectare and the percentage of production ratun to major crops higher. Keywords: rice, ratun, tidal rice fields ABSTRAK Intensifikasi padi sawah pasang surut dapat dilakukan dengan penerapan teknologi ratun. Teknologi ratun sangat potensial dikembangkan di daerah pasang surut sebagai solusi beberapa kendala budidaya seperti tingginya harga saprodi, terbatas dan mahalnya upah tenaga kerja, serta waktu tanam yang sangat tergantung pada musim, sekaligus untuk menambah produksi sawah persatuan luas. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2013-Mei 2014 dan bertujuan memperoleh ketinggian pemotongan singgang untuk peningkatan vigor dan fase vegetatif serta reproduktif ratun padi lahan pasang surut. Tinggi pemotongan singgang(10, 20, 30 dan 40 cm dpt), bahan tanamvarietas Ciherang, Rancangan Acak Kelompok satu faktor dan lima ulangan, penelitian berlokasi di areal persawahan pasang surut di Desa Telang Sari (luapan tipe B), Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa teknologi ratun dapat digunakan sebagai upaya peningkatan produksi sawah pasang surut, namun aplikasi teknologi harus memperhatikan ketinggian pemotongan singgang yaitu yang terbaik 40 cm. Pemotongan singgang 40 cm menghasilkan ratun dengan jumlah anakan, anakan produktif dan persentase tumbuh yang lebih tinggi, umur berbunga dan umur panen yang lebih cepat serta komponen produksi yaitu bobot gabah dan gabah isi per rumpun, produksi ratun, total produksi per hektar dan persentase produksi ratun terhadap tanaman utama yang lebih tinggi. 1
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN 979-587-580-9
Kata kunci:padi, ratun, sawah pasang surut PENDAHULUAN Peningkatan produksi beras nasional dapat dilakukan bersamaan secara ekstensifikasi dan intensifikasi. Ekstensifikasi dapat dilakukan melalui pemanfaatan lahan sub-optimal sebagai areal persawahan diantaranya lahan pasang surut. Pemanfaatan lahan-lahan suboptimal yang sangat luas di Indonesia sebagai areal pertanian telah menjadi salah satu kebijakan pertanian pemerintah Indonesia. Lahan-lahan suboptimal ini sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai areal pertanian dan persawahan asalkan dikelola dan didiseminasi dengan paket teknologi yang tepat. Aplikasi paket teknik budidaya yang tepat dan dapat dilakukan antara lain penggunaan varietas adaptif dan potensial, perbaikan fisik dan kimia tanah, serta penambahan hara dan bahan organik atau amelioran tanah. Haryono (2013), menaksir luasan lahan suboptimal di Indonesia yang sesuai untuk pertanian mencapai 91,9 juta hektar dan agroekosistem lahan pasang surut mencapai 9,3 juta hektar (10,1%). Sampai saat ini, sebagian lahan suboptimal tersebut sudah dimanfaatkan dengan tingkat keberhasilan yang sangat variatif. Ada beberapa contoh keberhasilan, namun secara umum produktivitasnya masih relatif rendah. Hal ini antara lain dikarenakan kurangnya pengelolaan dan penerapan teknik budidaya yang tepat seperti ketidaksesuaian varietas padi yang ditanam dengan karakteristik lahan pasang surut dan kurangnya aplikasi paket teknologi budidaya untuk meningkatkan produktivitas persawahan pasang surut tersebut. Intensifikasi padi sawah dapat dilakukan dengan penggunaan varietas unggul dan adaptif serta penerapan sistem ratun(Flinn dan Mercado, 1988). Sistem ratun sangat potensial dikembangkan di daerah pasang surut mengingat beberapa kendala budidaya di daerah tersebut, seperti tingginya harga saprodi, terbatas dan mahalnya upah tenaga kerja, serta waktu tanam yang sangat tergantung pada musim. Aplikasi sistem ratun padi akan mengatasi kendala budidaya tersebut, karena penanaman ratun padi setelah panen tanaman utama tidak memerlukan pengolahan lahan sehingga mengatasi mahalnya saprodi dan upah tenaga kerja. Sistem ratun juga memanfaatkan sisa waktu musim tanam setelah panen tanaman utama sehingga mengatasi faktor kendala musim tanam (Ambili dan Rosamma, 2002; Santos et al., 2003). Ratun merupakan rumpun tanaman padi yang tumbuh kembali setelah dipanen dan menghasilkan anakan baru serta gabah, sehingga selanjutnya dapat dipanen. Keunggulan ratun adalah memberikan tambahan produksi per musim tanam dan menghemat biaya produksi, serta waktu persiapan tanam (Nakano dan Morita, 2007 ; Islam et al., 2008). Saat ini informasi tentang ratun pada tanaman padi mulai berkembang.Studi ratun tanaman padi banyak dilakukan di Filipina, India, China dan Jepang, namun di Indonesia informasi tentang ratun padi masih sangat terbatas. Kemampuan tanaman padi menghasilkan ratun juga ditentukan oleh sifat genetik. Secara genetik, setiap jenis padi memiliki kemampuan menghasilkan ratun yang berbeda-beda (Susilawati et al., 2010). Faktor penentu keberhasilan tumbuh dan produksi ratun adalah vigor singgang setelah panen tanaman utama yang erat kaitannya dengan karbohidrat atau cadangan makanan hasil fotosintesis.Salah satu faktor yang berhubungan dengan status karbohidrat ratun adalah tinggi pemotongan singgang. Tinggi pemotongan juga berkaitan dengan ruas tanaman yang tersisa, dimana pada setiap bukunya terdapat tunas-tunas lateral yang akan menghasilkan tunas-tunas ratun. Tinggi pemotongan mempengaruhi dan menentukan jumlah tunas yang tumbuh dan periode pertumbuhan ratun (Jichao dan Xiaohui, 1996). Beberapa penelitian mengenai ketinggian pemotongan singgang tanaman utama untuk ditumbuhkan sebagai ratun padi telah dilakukan dengan hasil yang sangat variatif dan tidak 2
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN 979-587-580-9
konsisten, serta sangat tergantung pada jenis lahan dan lokasi pertanamannya. Diantaranya hasil penelitian Sack et al. (2003) yang menunjukkan bahwa tinggi pemotongan singgang 15 cm dan 20 cm dari permukaan tanah (dpt) merupakan pemotongan optimal yang dapat meningkatkan vigor ratun. Tinggi pemotongan yang lebih rendah yaitu 5 cm dpt akan menurunkan hasil. Hasil penelitian Petroudi et al.(2011) menunjukkan bahwa, pemotongan yang rendah (10 cm) memberikan hasil ratun dan indeks panen yang lebih tinggi dibandingkan pemotongan yang tinggi (40 cm).Bertolak belakang dengan hasil penelitian Huossainzade et al. (2011), bahwa pemotongan batang yang tinggi (30 cm) memberikan hasil ratun tertinggi 1.952 kg/ha. Hasil penelitian Nassiri et al. (2011) menunjukkan bahwa, pada pemotongan tanaman utama setinggi 40 cm memberikan hasil ratun tertinggi dibandingkan tinggi pemotongan 0 dan 20 cm. Hasil penelitian Kesmayati dan Mareza (2014), menunjukkan pemotongan 40 cm memberikan hasil terbaik. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh paket teknologi lengkap dan tepat guna untuk meningkatkan produktivitas persawahan pasang surut. Untuk memperoleh paket teknologi lengkap dan tepat guna tersebut, maka dilakukan serangkaian penelitian selama dua tahun yang terbagi dalam tiga tahapan penelitian. BAHAN DAN METODE Artikel ini merangkum dan menyajikan hasil penelitian danpercobaan tahap pertama dari tiga tahapan percobaan penelitian multi tahun hibah bersaing. Percobaan tahap pertama (September 2013-Mei 2014) bertujuan memperoleh ketinggian pemotongan singgang untuk peningkatan vigor dan fase vegetatif serta reproduktif ratun padi lahan pasang surut. Percobaan pertama berupa pengaturan tinggi pemotongan singgang(10, 20, 30 dan 40 cm dpt), bahan tanamvarietas Ciherang, Rancangan Acak Kelompok satu faktor dan lima ulangan berlokasi di areal persawahan pasang surut di Desa Telang Sari (luapan tipe B), Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin. Penanaman dengan sistem sebar langsung pada plot yang berukuran 4 m x 5 m, dengan jarak antar plot 1 m. Pemupukan tanaman utama sesuai rekomendasi pupuk petani di lokasi yaitu urea 300 kg /ha dan SP36 100 kg/ha (Gunadi dan Sartono, 2012). Tanaman utama yang siap panen dipanen. Saat panen tanaman utama, batang padi dipotong sesuai dengan perlakuan tinggi pemotongan singgang, Pupuk untuk tanaman ratun diberikan 2 hari setelah panen tanaman utama dengan dosis setengah dari dosis pupuk tanaman utama. Pemberian pupuk dilakukan sebanyak 2 kali yaitu setengah dosis urea dan seluruh dosis SP-36 dan KCl diberikan sebagai pupuk dasar pada saat tanam, sisa setengah dosis urea diberikan pada saat tanaman berumur 40 HST. Pemeliharaan tanaman meliputi pengairan dan pengendalian hama, penyakit dan gulma menggunakan pestisida yang dilakukan jika ada tanaman yang terserang. Telaah data dilakukan dengan analisis varian Rancangan Acak Kelompok yang dilanjutkan dengan Uji BNJ pada taraf 5%. HASIL Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknologi ratun dapat menambah produksi persawahan pasang surut per satuan luas, namun ada faktor utama yang mempengaruhi yaitu ketinggian pemotongan singgang atau ratun tersebut. Terjadi peningkatan hasil yang signifikan pada pemotongan ratun yang semakin tinggi (40 cm) dengan hasil panen ratun. Secara vegetatif, vigor ratun yang dipotong 40 cm lebih baik dibandingkan vigor ratun yang dipotong 10 cm, 20 cm dan 30 cm. Hal ini terlihat pada jumlah anakan dan anakan 3
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN 979-587-580-9
produktif ratun (Tabel 1), umur berbunga dan umur panen yang lebih cepat (Tabel 2) dan persentase tumbuh ratun (Tabel 2). Data produksi juga menunjukkan bahwa semakin tinggi pemotongan singgang (ratun padi) maka komponen produksi akan lebih tinggi. Hal ini terlihat pada data bobot gabah per rumpun dan bobot gabah isi per rumpun (Tabel 3), produksi ratun (Tabel 4), total produksi per hektar (tanaman utama dan ratun) (Tabel 4), dan persentase produksi ratun terhadap tanaman utama dalam menambah produksi per satuan luas (Tabel 4). PEMBAHASAN Pada fase pertumbuhan ratun, perbedaan ketinggian pemotongan singgang yang diberikan memberikan dampak pertumbuhan yang berbeda pula terhadap ratun padi yang terlihat dari perbedaan respon pertumbuhan tanaman. Ketinggian pemotongan singgang memberikan pengaruh yang nyata sampai sangat nyata terhadap karakter pertumbuhan ratun yang diamati. Data-data hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi pemotongan singgang, maka pertumbuhan ratun semakin baik. Terjadi peningkatan jumlah anakan dan jumlah anakan produktif (Tabel 1) ratun padi yang berasal dari singgang dengan ketinggian pemotongan 40 cm dibandingkan ratun dari singgang 10 cm, 20 cm dan 30 cm. Peningkatan dan perbaikan pertumbuhan ratun padi yang berasal dari singgang dengan ketinggian pemotongan 40 cm dikarenakan ratun yang berasal dari singgang 40 cm memiliki jumlah ruas yang lebih banyak dibandingkan ratun dari ketinggian 10, 20 dan 30 cm. Ratun dari ketinggian singgang 40 cm juga memiliki cadangan karbohidrat yang lebih banyak untuk mendukung pertumbuhan dan produksinya. Menurut Jichao dan Xiaohui (1996), tinggi pemotongan singgang tanaman utama merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan status karbohidrat tanaman yang berpengaruh terhadap kemampuan padi menghasikan ratun. Tinggi pemotongan dapat menentukan jumlah tunas yang tumbuh, namun kondisinya sangat dipengaruhi sisa asimilat sebagai cadangan pada batang yang dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan ratun dan tingkat vigor ratun. Selain itu, tinggi pemotongan berkaitan pula dengan ruas tanaman yang tersisa, dimana pada ratun tanaman padi setiap bukunya terdapat tunas-tunas lateral yang akan menghasilkan tunas-tunas ratun. Pada beberapa varietas, tunas ratun tumbuh dari ruas yang lebih tinggi. Tinggi pemotongan singgang juga mempengaruhi jumlah anakan dan anakan produktif ratun. Ratun yang berasal dari singgang 40 cm mempunyai anakan (11,27 anakan/rumpun) dan anakan produktif (8,73 anakan/rumpun) yang lebih banyak dibandingkan ratun dari singgang 10 cm, 20 cm, dan 30 cm (Tabel 6). Hal ini dikarenakan kandungan karbohidrat yang lebih banyak pada ratun 40 cm mendorong pertumbuhan dan pembentukan anakan ratun. Menurut Mahadevappa dan Yogeesha (1988), tinggi pemotongan memacu tunas yang dorman untuk tumbuh. Menurut Jichao dan Xiaohui (1996), tinggi pemotongan dapat menentukan jumlah tunas yang tumbuh, namun kondisinya sangat dipengaruhi sisa asimilat sebagai cadangan pada batang yang dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan ratun dan tingkat vigor ratun. Hasil penelitian Sack et al. (2003) dan Nakano et al. (2009) menunjukkan, bahwa jumlah anakan akan meningkat secara efektif pada tinggi pemotongan 15-20 cm. Pada pemotongan di atas 20 cm anakan ratun yang dihasilkan lebih cepat keluar. Menurut Harrel et al, (2009), ketinggian pemotongan singgang juga akan mempengaruhi jumlah anakan ratun. Terjadi percepatan umur berbunga dan umur panen ratun padi yang berasal dari singgang dengan ketinggian pemotongan 40 cm dibandingkan ratun dari singgang 10 cm, 20 cm dan 30 cm (Tabel 2). Umur berbunga ratun dari singgang 40 cm( 17,0 hsp) dan 4
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN 979-587-580-9
umur panen (46,80 hsp) lebih cepat dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan percepatan pertumbuhan ratun padi dari singgang 40 cm akan mempercepatan pula peralihan ratun memasuki fase generatif, sehingga umur berbunga dan umur panen menjadi lebih cepat. Persentase tumbuh ratun padi yang berasal dari singgang dengan ketinggian pemotongan 40 cm ( 86%) tidak berbeda dengan 30 cm (80%) dan 20 cm (78%), namun berbeda dengan 10 cm (40%). Hal ini dikarena semakin tinggi pemotongan singgang, maka titik tumbuh calon tunas dan anakan baru juga akan lebih tinggi, sehingga pertumbuhan ratun dan anakan lebih baik, anakan juga tidak terinjak-injak. Menurut Harell et al. (2009), varietas Jasmine yang batangnya dipotong 40 cm pada saat panen tanaman utama, maka anakan akan tumbuh dari basipetal (mulai dari buku teratas baru dilanjutkan buku di bawahnya) dan 60 % anakan berasal dari buku axilar, sedangkan varietas Tabonet 84 % anakan berasal dari buku basal. Hasil penelitian Nakano et al. (2009) menunjukkan, bahwa persentase tunas ratun yang mati berkurang pada tinggi pemotongan 15-20 cm, dibandingkan pemotongan yang lebih rendah. Menurut Susilawati (2011), tinggi pemotongan singgang 10 cm juga menyebabkan singgang bekas panen mudah terinjak dan sering mengalami kebusukan karena terlalu dekat dengan air yang masih menggenangi lahan, pada gilirannya pemotongan singgang yang rendah atau hanya beberapa cm di atas permukaan tanah akan menghasilkan jumlah anakan dan jumlah anakan produktif yang lebih sedikit. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa semakin tinggi pemotongan singgang, maka hasil komponen produksi semakin meningkat. Singgang yang dipotong 40 cm menghasilan ratun dengan bobot gabah per rumpun dan bobot gabah isi per rumpun (Tabel 3) tertinggi. Hal ini dikarenakan semakin tinggi ratun, maka kandungan karbohidrat untuk mendorong pertumbuhan semakin tinggi. Menurut Jichao dan Xiaohui (1996), pemotongan yang lebih tinggi dari permukaan tanah menunjukkan banyaknya jumlah cadangan karbohidrat tersedia dari tanaman utama yang dapat dimanfaatkan ratun. Sebagaimana hasil penelitian Nassiri et al. (2011) yang menunjukkan pemotongan tanaman utama yang tinggi (40 cm) memberikan hasil ratun tertinggi dibandingkan tinggi pemotongan 0 dan 20 cm. Hasil penelitian Santos et al.(2003) membuktikan bahwa tinggi pemotongan yang rendah yaitu 5 cm dpt, dapat menurunkan hasil 12-37 % dibandingkan tinggi pemotongan 15 cm. Demikian pula menurut Harrel et al. (2009), tinggi pemotongan mempengaruhi jumlah anakan dan hasil biji, sehingga budidaya ratun dapat dilakukan dengan tinggi pemotongan tanaman utama setelah panen berkisar 40-50 cm dpt. Sedangkan hasil penelitian Huossainzade et al. (2011), pemotongan 30 cm memberikan hasil ratun tertinggi 1.952 kg/ha. Hasil penelitian Susilawati (2011) di lahan pasang surut Kalimantan dengan sistem tanam pindah, tinggi pemotongan 20 cm dari permukaan tanah (tersisa 2-3 ruas) merupakan pemotongan optimal yang dapat meningkatkan vigor ratun dan mengoptimalkan produksi biji pada malai ratun. tunas ratun dan bulir pada malai yang terbentuk lebih baik dibandingkan pemotongan 10 cm Produksi ratun dan total produksi (tanaman utama dan ratun) ratun dari singgang yang dipotong 40 cm juga tertinggi dibandingkan singgang yang dipotong pada ketinggian 10 cm, 20 cm dan 30 cm. Produksi ratun dari singgang 40 cm (2,37 t/ha) tidak berbeda dengan 30 cm (1,98 t/ha) dan 20 cm (1,88 t/ha), namun berbeda dengan 10 cm (0,82 t/ha) (Tabel 4). Sedangkan total produksi tanaman utama untuk semua perlakuan dan ulangan sama karena pada fase tanaman utama pemberian perlakuan belum dilakukan. Produksi tanaman utama pada petakan 10 cm (7,67 t/ha), 20 cm (6,68 t/ha), 30 cm (7,56 t/ha) dan 40 cm (8,53 t/ha). Setelah ditambahkan dengan produksi ratun, maka total produksi menjadi : 10 cm (8,49 t/ha), 20 cm (8,75 t/ha), 30 cm (9,54 tha) dan 40 cm (10,89 t/ha) (Tabel 4). 5
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN 979-587-580-9
Data persentase produksi ratun terhadap tanaman utama pada Tabel 4, menunjukkan bahwa ratun padi yang berasal dari singgang dengan ketinggian 40 cm mempunyai produksi tertinggi dengan persentase produksi terhadap tanaman utama yang tertinggi pula. Hasil uji lanjut menunjukkan, bahwa persentase produksi ratun terhadap tanaman utama dari ratun 40 cm (30,39%) yang lebih besar dan berbeda dengan 30 cm (28%), 20 cm (29,85%) dan 10 cm (9,79%). Hal ini dikarenakan pada ketinggian pemotongan singgang 40 cm, maka vigor dan kualitas pertumbuhan ratun lebih baik, jumlah anakan dan anakan produktif (Tabel 1) juga lebih banyak, persentase tumbuh ratun (Tabel 2) lebih tinggi, komponen produksi seperti bobot gabah/rumpun (Tabel 3) lebih tinggi dan produksi ratun (Tabel 4) juga lebih tinggi. Tingginya vigor dan kualitas tumbuh ratun ini sangat dipengaruhi oleh keberadaan karbohidrat pada ratun untuk mendorong pertumbuhan, pembentukan anakan dan komponen produksi. Jichao dan Xiaohui (1996) menjelaskan bahwa, pemotongan singgang yang lebih tinggi dari permukaan tanah akan memperbanyaknya jumlah cadangan karbohidrat tersedia dari tanaman utama yang dapat dimanfaatkan ratun, sehingga vigor dan pertumbuhan ratun menjadi lebih optimal. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Nassiri et al. (2011) yang menunjukkan bahwa, pemotongan tanaman utama yang tinggi (40 cm) memberikan hasil atau produksi ratun tertinggi dibandingkan tinggi pemotongan 0 dan 20 cm. Demikian pula menurut Harrel et al. (2009), bahwa budidaya ratun dapat dilakukan dengan tinggi pemotongan panen berkisar 40-50 cm dari atas permukaan tanah karena selain menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik, juga menghasilkan produksi yang lebih tinggi. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa, teknologi ratun padi dapat dijadikan salah satu upaya untuk meningkatkan produksi persawahan pasang surut. Hal ini terlihat dari hasil penelitian, dimana produksi tanaman perhektar bertambah dengan penggunaan teknologi ratun. Teknologi ratun sangat tergantung pada ketinggian pemotongan singgang atau ratun padi. Singgang yang dipotong 40 cm menghasilkan ratun dengan pertumbuhan dan produksi tertinggi daripada singgang dengan ketinggian 10, 20 dan 30 cm. UCAPAN TERIMA KASIH Tim peneliti mengucapkan terima kasih kepada DP2M Dirjen Dikti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang telah mendanai penelitian ini dengan Dana Penelitian Hibah Bersaing tahun anggaran 2014 dan 2015. DAFTAR PUSTAKA Ambili, S.N. and C.A. Rosamma. 2002. Character Association in Ratoon Crop of Rice (Oryza sativa L.). J. Tropical Agric. 40:1-3. Flinn, J.C. and M.D. Mercado. 1988. Economic Perspectives of Rice Ratooning. p. 17-29. In W.H. Smith, V. Kumble, E.P. Cervantes (Eds.) Rice Ratooning. IRRI, Los Banos. Philippines. Gunadi. 2012. Komunikasi Pribadi. Petugas Penyuluh Lapangan Desa Telang Sari, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin. Harrel, D.L., A.B. Jason, and B. Sterling. 2009. Evaluation of Main-Crop Stubble Height on Ratoon Rice Growth and Development. Field Crops Research114 (2009): 396– 403. Haryono. 2013. Strategi dan kebijakan kementerian pertanian dalam optimalisasi lahan suboptimal mendukung ketahanan pangan nasional. Dalam Herlinda, S., B Lakitan, 6
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN 979-587-580-9
Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, M.I. Syafutri dan D Meidalima (ed.) Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal. Pusat Unggulan Riset Pengembangan Lahan Suboptimal (PUR-LSO) Universitas Sriwijaya, Palembang. Hal. 1-4. Huossainzade, A. E. Azarpour, H.Z. Doustan M. Moraditochaee and H.R.Bozorgi. 2011. Management of Cutting Height and Nitrogen Fertilizer Rates on Grain Yield and Several Attributes of Ratoon Rice (Oryza sativa L.) In Iran.World Applied Science Journal 15 (8): 1089-1094. Islam M.S., M. Hasannuzzaman, Md. Rukonuzzaman. 2008. Ratoon Rice Response to Different Fertilizer Doses in Irrigated Condition. Agric. Conspec. Sci. 73:197-202. Jichao, Y. and S. Xiaohui. 1996. Effect of Cutting Node and Leaves Retained on the Mother Stem on Rice Ratooning. J Sichuan Agric Univ. 4 (7): 42-53. Kesmayanti, N dan E. Mareza. 2014. Peningkatan Produksi Persawahan Pasang Surut di Sumatera Selatan dengan Varietas Padi Potensial dan Pengaturan Ketinggian Pemotongan Singgang. Prosiding Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu Pertanian BKS-PTN Wil. Barat Buku I .ISBN : 978-602-72006-0-9), Agustus 2014.
Nakano, H. dan S. Morita. 2007. Effects of Twice Harvesting on Total Dry Matter Yield of Rice. Field Crops Research 101: 269–275. Nassiri, M., H. Pirdashti and T. N. Nejad. 2011. Effect of Level and Time of Nitrogen Fertilizer Application and Cutting Height on Yield and Yield Component of Rice Ratooning. Proceedings of the Fourth International Iran and Russia Conference. Pp. 602-606. Petroudi, E. R., G. Noormohammadi, M. J. Mirhadi, H. Madani, and H. R. Mobasser. 2011. Effects of Nitrogen Fertilization and Rice Harvest Height on Agronomic Yield Indices of Ratoon Rice-Berseem Clover Intercropping System. Australian Journal of Crop Science 5(5):566-574. Sacks, E. J., J. P. Roxas, and M. T. St. Cruz. 2003. Developing Perennial Upland Rice II: Field Performance of S1 Families from an Intermated Oryza sativa/O. longistaminata Population. Crop Sci. 43:129–134. Santos, A.B., N.K. Fageria, and A.S. Prabhu. 2003. Rice Ratooning Management Practices for Higher Yields. Comm. Soil Sci. Plant Anal. 34:881-918. Susilawati, B.S. Purwoko, H. Aswidinnoor, dan E. Santosa. 2010. Keragaan Varietas dan Galur Padi Tipe Baru Indonesia dalam Sistem Ratun. J. Agron. Indonesia 38 (3) : 177 – 184. Susilawati. 2011. Agronomi Ratun Genotipe-Genotipe Padi Potensial untuk Lahan Pasang Surut. Disertasi.Institut Pertanian Bogor. Tabel 1. Jumlah anakan (anakan/rumpun) dan jumlah anakan produktif (anakan/rumpun) ratun tanaman padi persawahan pasang surut varietas Ciherang Perlakuan Ketinggian Jumlah Anakan Jumlah Anakan Produktif Pemotongan Singgang 10 cm 4,80 a 3,53 a 20 cm 8,67 b 6,33 b 30 cm 9,60 bc 7,20 bc 40 cm 11,27 c 8,73 c BNJ 5% 2,22 2,02 Keterangan : Angka-angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada UBNJ 5% 7
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN 979-587-580-9
Tabel 2. Umur Berbunga (hsp), umur panen (hsp), dan persentase tumbuh (%) ratun tanaman padi persawahan pasang surut varietas Ciherang Perlakuan Ketinggian Umur Berbunga Umur Panen Persentase Tumbuh Pemotongan Singgang Ratun 10 cm 40,60 b 69,60 d 40,00 b 20 cm 23,80 a 62,20 c 78,00 a 30 cm 20,20 a 54,80 b 80,00 a 40 cm 17,00 a 46,80 a 86,00 a BNJ 5% 7,55 2,22 12,95 Keterangan : Angka-angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada UBNJ 5% Tabel 3. Bobot gabah per rumpun (g), dan bobot gabah isi per rumpun ( g) ratun tanaman padi persawahan pasang surut varietas Ciherang Perlakuan Ketinggian Pemotongan Bobot gabah bobot gabah isi per Singgang per rumpun rumpun 10 cm 3,77 a 3,28 a 20 cm 8,51 ab 7,51 b 30 cm 9,05 b 7,92 b 40 cm 10,54 b 9,48 b BNJ 5% 4,48 3,81 Keterangan : Angka-angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada UBNJ 5% Tabel 4. Produksi ratun (t/ha), total produksi (Tu dan Ratun) (ton/ha), dan persentase produksi ratun terhadap tanaman utama (%) ratun padi varietas Ciherang Perlakuan Ketinggian Produksi ratun Total produksi Persentase Produksi Pemotongan (Tu dan Ratun) Ratun terhadap Tanaman Singgang Utama 10 cm 0,82 a 8,49 9,79 a 20 cm 1,88 b 8,75 29,85 b 30 cm 1,98 b 9,54 28,00 ab 40 cm 2,37 b 10,89 30,29 b BNJ 5% 19,1 953,57 Keterangan : Angka-angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada UBNJ 5%
8