Dharma Ekonomi – STIE Dharmaputra
No. 37 / Th XX / April 2013
PENINGKATAN LOYALITAS PELANGGAN DALAM KONTEKS BIAYA BERPINDAH Ken Sudarti
[email protected] Fakultas Ekonomi Universitas Islam Sultan Agung Semarang Abstrak Artikel ini menjelaskan tentang peran biaya berpindah dalam memoderasi variabel kualitas pelayanan, persepsi nilai dan citra corporat terhadap loyalitas pelanggan. Kualitas pelayanan, persepsi nilai dan citra corporat tidak selalu berhubungan positif dengan loyalitas, ada variabel biaya berpindah yang memediasi variabel-variabel tersebut. Jika biaya berpindah dipersepsikan tinggi, maka konsumen cenderung lebih bersedia untuk tetap menjalin hubungan dengan perusahaan tanpa memperhatikan persepsi nilai,kualitas pelayanan dan citra. Kebalikanya, jika biaya berpindah rendah, maka persepsi nilai yang rendah, kualitas pelayanan yang buruk dan citra yang tidak baik dapat menyebabkan konsumen berpindah ke perusahaan lain. Keyword: kualitas pelayanan, persepsi nilai, biaya berpindah, loyalitas
PENDAHULUAN Dalam konteks pemasaran, konsep loyalitas merupakan kajian yang sangat penting. Menurut Hanning-Thurau, Langer dan Hansen (2001) loyalitas pelanggan secara luas diterima sebagai sesuatu yang membantu perusahaan untuk mencapai kesuksesan jangka panjang, karena itu dalam konteks pemasaran loyalitas pelanggan merupakan harapan utama yang ingin dicapai perusahaan. Loyalitas pelanggan dianggap oleh banyak perusahaan jasa sebagai sumber yang sangat penting untuk memenangkan persaingan (Woodruff, 1997). Meningkatkan loyalitas konsumen dapat menciptakan profitabilitas dan pertumbuhan yang lebih besar (Heskett dan Sasser, 1997). Menurut Palmatier et al. (2006) loyalitas merupakan hasil dari kombinasi atau hubungan multidimensi dari minat, sikap, prestasi penjualan dan perilaku pelanggan. Auh (2005) mengatakan bahwa loyalitas dapat berupa kesediaan untuk
Dharma Ekonomi – STIE Dharmaputra
No. 37 / Th XX / April 2013
melakukan pembelian ulang dan tetap bersedia melakukan pembelian ulang meskipun dengan adanya kenaikan harga. Definisi tentang loyalitas pelanggan dapat diperoleh dari beberapa sumber. Griffin (2003) mendefinisikan loyalitas pelanggan sebagai sikap atau perilaku pembelian nonrandom untuk melakukan keputusan membeli secara terus-menerus terhadap produk untuk perusahaan yang dipilih, Oliver (1997) mendefinisikan loyalitas pelanggan sebagai komitmen yang mendalam untuk membeli kembali di kemudian hari, meskipun pengaruh situasional dan upaya-upaya pemasaran memiliki potensi untuk menyebabkan perilaku berpindah. Banyak
penelitian
tentang
loyalitas
yang
dihubungkan
dengan
antesedennya (Cronin, Brady dan Hult, 2000; Woodruff, 1997; Yi dan Gong, 2008; Liu, Leach, dan Bernhardi, 2005). Selanjutnya peneliti mulai memasukkan variabel biaya berpindah sebagai variabel moderating antara kepuasan konsumen dan loyalitas pelanggan (Bell, Auh, dan Smalley, 2005; Jones, Mothersbaugh dan Beatty, 2000; Yang dan Patterson, 2004). Yu Wang (2010) juga mencoba menggunakan variabel biaya berpindah sebagai variabel yang memoderasi hubungan antara kualitas jasa, persepsi nilai, citra terhadap loyalitas pelanggan. Pertanyaan yang muncul adalah: apakah kualitas jasa, persepsi nilai dan citra mempengaruhi loyalitas secara langsung? Apakah penurunan kualitas jasa, persepsi nilai dan citra selalu memperburuk hubungan antara konsumen dan perusahaan? Dari penelitiannya Yu Wang (2010) ditemukan bahwa biaya berpindah yang rendah menguatkan hubungan antara kualitas jasa, persepsi nilai dan citra terhadap loyalitas pelanggan dibandingkan dengan biaya berpindah yang tinggi. Temuan ini bertentangan dengan temuan Burham, Frels dan Mahajan (2003) dan Lam et al. (2004) yang mengatakan bahwa biaya berpindah mempunyai hubungan positif dengan loyalitas pelanggan. Artinya jika biaya berpindah dipersepsikan tinggi, maka konsumen cenderung lebih bersedia untuk tetap menjalin hubungan dengan perusahaan tanpa memperhatikan persepsi nilai. Kebalikanya, jika biaya berpindah rendah, maka persepsi nilai yang rendah dapat menyebabkan konsumen berpindah ke perusahaan lain.
Dharma Ekonomi – STIE Dharmaputra
No. 37 / Th XX / April 2013
LOYALITAS PELANGGAN Definisi tentang loyalitas pelanggan dapat diperoleh dari beberapa sumber. Griffin (2003) mendefinisikan loyalitas pelanggan sebagai sikap atau perilaku pembelian nonrandom untuk melakukan keputusan membeli secara terus-menerus terhadap produk untuk perusahaan yang dipilih, Oliver (1997) mendefinisikan loyalitas pelanggan sebagai komitmen yang mendalam untuk membeli kembali di kemudian hari, meskipun pengaruh situasional dan upayaupaya pemasaran memiliki potensi untuk menyebabkan perilaku berpindah. Menurut Mowen dan Minor (2002), kesetiaan konsumen dapat didefinisikan dari sikap positif yang ditunjukan oleh konsumen terhadap merek atau produk atau jasa tertentu, dan berniat melakukan pembelian secara berulang terhadap produk atau jasa dengan merek tertentu. Semakin tingginya loyalitas yang ditunjukan oleh konsumen, maka semakin besar pula keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan tertentu, oleh sebab itu perusahaan harus dapat mengetahui sejauh mana loyalitas konsumen terhadap produk yang dihasilkan. Indikator loyalitas menurut Kotler dan Keller (2006) adalah Repeat purchase (pembelian ulang), Retention (ketahanan terhadap pengaruh negatif mengenai perusahaan),
referrals (mereferensikan secara total eksistensi
perusahaan). Zeithaml (2000) menjelaskan bahwa customer yang loyal biasanya melakukan beberapa hal berikut ini: (1) Secara terus menerus melakukan word of mouth communication, (2) Tidak mempunyai keinginan untuk berpindah ke pesaing (3) Membeli lebih banyak produk dari perusahaan. Menurut Fedwick (dalam Sasana, 2005) loyalitas terbagi menjadi empat golongan yaitu konsumen loyal (entreched), konsumen normal (average) konsumen setengah loyal (shallow) dan konsumen tidak loyal (convertible). Konsumen loyal adalah konsumen yang tidak akan pindah ke produk yang lain atau merk lain, sedangkan konsumen normal adalah konsumen yang masih mempunyai loyalitas yang tinggi, tetapi masih ada kemungkinan pindah ke produk lain atau merek lain. Tingkat konsumen yang ketiga adalah konsumen setengah loyal yang artinya konsumen masih mempunyai sikap loyal terhadap
Dharma Ekonomi – STIE Dharmaputra
No. 37 / Th XX / April 2013
merek tertentu, namun sebagian sikapnya adalah sikap swicther. Tingkat konsumen yang tidak loyal adalah, konsumen yang akan selalu dari satu merk atau produk ke merek atau produk lainnya. Menurut Barnes (2003) loyalitas dapat dilihat dengan kesediaan dari konsumen untuk merekomendasikan perusahaan atau produk atau jasa tersebut kepada teman, anggota keluarga, dan orang lain. Perusahaan atau organisasi yang bersangkutan harus dapat meningkatkan kepuasan konsumen, agar konsumen yang semakin loyal dapat merekomendasikan perusahaah atau produk yang mereka gunakan.
KUALITAS JASA Kualitas didefinisikan secara luas sebagai superioritas produk secara keseluruhan (Zeithaml, 1998). Kualitas ditentukan dengan membandingkan antara standar yang spesifik dengan performa aktual (Shinca, 1985). Menurut Song dan Parry (1997) kualitas produk memiliki variabel berupa spesifikasi yang sesuai, tahan lama dan dapat dipercaya. Kualitas juga memainkan peran kritis kearah peningkatan
kepuasan
pelanggan,
menurunkan
biaya
pemasaran
dan
meningkatkan pendapatan (Johnson, 1998 dalam Gustaffson, 2000). Kualitas pelayanan adalah serangkaian kegiatan yang ditawarkan individu atau organisasi kepada pihak lain sebagai jalan keluar bagi permasalahan pelanggan, berupa jasa dan sifatnya intangible (Fitzsimons, 2001). Penekanan definisi diatas adalah bahwa jasa atau layanan adalah aktifitas yang tidak berujud (intangible). Sifat tidak berwujud tersebut menjadi karakteristik utama jasa secara keseluruhan. Organisasi internasional yang berwenang untuk melakukan standarisasi (Oliver, 1997) mendefinisikan kualitas sebagai: “Quality is the totally of features and characteristic of a product or service that bear on its ability to satisfy and implied needs”, artinya bahwa kualitas adalah ciri-ciri dan karakteristik-karakteristik dari suatu produk atau layanan yang memiliki kemampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Secara lebih sederhana, kualitas layanan diartikan sebagai keputusan umum konsumen terhadap suatu
Dharma Ekonomi – STIE Dharmaputra
No. 37 / Th XX / April 2013
produk atau layanan setelah melalui proses membandingkan (consumer-generated comparative judgement) dengan kebutuhannya. Kualitas layanan merupakan dorongan pelanggan, yang menentukan keputusan terakhir akan kualitas jasa di pasar. Pengukuran kualitas ini dari segi pemasaran harus menggunakan sudut pandang konsumen (Stanton, Etzel dan Walker, 1994). Keller (1998) kualitas merupakan persepsi konsumen terhadap keseluruhan atribut produk atau jasa relative terhadap alternatif-alternatif yang relevan dan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu kualitas tidak bisa ditetapkan secara objektif, karena kualitas yang dipersepsikan merupakan persepsi yang melibatkan apa yang penting bagi pelanggan. Demikian halnya dengan Zeithaml (1998), kualitas layanan merupakan penilaian pengguna atas keistimewaan atau keunggulan suatu layanan secara menyeluruh. Pada dasarnya pelanggan senantiasa mencari pedoman yang dapat memberikan petunjuk dalam menilai kualitas layanan (Shostack, 1977; dalam Bitner, 1990). Salah satu pedoman tersebut adalah perilaku dan sikap para penyaji layanan (Bitner, 1990). Layanan memiliki kerakteristik
yang intangible dan
dihasilkan serta dikomunikasikan secara bersamaan (Bitner, 1990). Kualitas layanan berdasarkan metode servqual, pada prinsipnya merupakan konsep yang meninjau layanan kepada pelanggan. Bitner et al. (1994) menyatakan bahwa penyajian suatu layanan sangat dipengaruhi oleh kualitas interaksi antar pengguna dengan penyaji layanan yang dikenal dengan istilah marketing interaktif. Kualitas interaksi inilah yang menjadi fokus utama penilaian pelanggan berdasarkan metode servqual.
PERSEPSI NILAI Day (2002) mendefinisikan value terdiri dari semua manfaat-manfaat transaksi dikurangi dengan semua biaya-biaya traksaksi. Biaya-biaya ini termasuk harga, biaya waktu, pengetahuan produk, upaya-upaya. Dipandang dari sudut konsumen, value merefleksikan harga rendah ketika konsumen menerima apa yang mereka harapkan dan ketika kualitas produk merefleksikan harga yang harus mereka bayarkan (Shoemaker, 2003; Zeithaml, 2000). Parasuraman dan Grewal
Dharma Ekonomi – STIE Dharmaputra
No. 37 / Th XX / April 2013
(2000) menyatakan bahwa persepsi nilai adalah konstruk yang dinamis dan merupakan kombinasi dari empat komponen, yaitu: acquisition value, transaktion value, in-use value dan redemption value. Zeithaml (2000) menyatakan bahwa nilai pelanggan adalah konstruk multi dimensional, terdiri dari beberapa dimensi seperti: reliability, responsiveness dan empathy, namun juga hasil dari strategi perusahaan seperti teknologi dan perbaikan proses. Persepsi nilai berakar dari equity theory, yang mempertimbangkan rasio consumer outcome/input terhadap service provider’s outcome/input (Oliver dan DeSarbo, 1988). Konsep equity mengacu pada evaluasi konsumen, apakah baik, adil, pantas terhadap biaya-biaya yang dipersepsikan (Bolton dan Lemon, 1999). Biaya yang dipersepsikan meliputi biaya moneter dan pengorbanan-pengorbanan non moneter seperti pengorbanan waktu, tenaga dan stress. Persepsi nilai dihasilkan dari evaluasi dari perbandingan hasil dengan pengorbanan. Kadangkadang konsumen juga membandingkan antara rasio input output dari perusahaan dengan rasio input output dari perusahaan pesaing.
CITRA Pakar pemasaran memberikan berbagai definisi serta pendapat tentang citra dengan penekanan yang berbeda. Walaupun demikian, mereka sepakat akan semakin pentingnya citra (yang positif) bagi sebuah produk. Bahkan Band (1987) menambahkan satu P lagi yaitu ‘public image’ dalam bauran pemasaran sebelumnya, yaitu Product, Price, Place, Promotion. Kotler (2000) mendefiniskan citra sebagai seperangkat keyakinan, ide dan kesan yang dimiliki seseorang terhadap suatu objek. Sikap dan tindakan seseorang terhadap suatu objek sangat dikondisikan oleh citra produk yang bersangkutan. Yusoff (1995) mengatakan bahwa suatu perusahaan dilihat melalui citranya, baik citra positif maupun citra negatif. Citra yang positif akan memberikan dampak yang baik terhadap produk perusahaan yang akhirnya dapat meningkatkan penjualan. Sebaliknya, penjualan produk suatu perusahaan akan mengalami penurunan, jika citra perusahaan dinilai negatif. Pendapat ini didukung oleh Sunter (1993) yang berkeyakinan bahwa citra inilah yang akan membantu
Dharma Ekonomi – STIE Dharmaputra
No. 37 / Th XX / April 2013
pelanggan dalam membedakan antara sebuah produk dengan produk lainnya. Dalam penelitiannya, Anderson (1999) menyimpulkan bahwa citra produk berpengaruh langsung dan signifikan terhadap loyalitas pelanggan. Bloomer, Ruyter dan Peeters (1998) juga menyatakan bahwa citra tidak mempunyai pengaruh langsung terhadap loyalitas, namun menjadi variabel moderator antara kualitas dan loyalitas.
BIAYA BERPINDAH Switching cost dapat didefinisikan sebagai biaya-biaya yang muncul karena perpindahan dari satu perusahaan ke perusahaan lain (Heide dan weiss, 1995). Switcing cost termasuk biaya moneter dan biaya non moneter seperti biaya waktu, biaya tenaga dan biaya psikis (Dick dan Basu, 1994). Biaya-biaya itu termasuk kehilangan manfaat-manfaat loyalitas karena berakhirnya suatu hubungan (Heide dan Weiss, 1995). Sebagai contoh: pemahaman tentang prosedur suatu jasa termasuk switching cost karena pengetahuan ini tidak akan berguna jika konsumen mengakhiri suatu hubungan. Switching cost tidak hanya mencakup risiko keuangan saja melainkan, mencakup segala hal yang ditanggung konsumen karena telah memilih berganti produk.
HUBUNGAN
ANTARA KUALITAS
JASA DENGAN
LOYALITAS
PELANGGAN DALAM KONTEKS BIAYA BERPINDAH Caruana (2002) meneliti tentang pengaruh service quality terhadap loyalitas pelanggan dan dimediasi oleh kepuasan pelanggan. Dengan mengambil data 1000 nasabah bank, dia mendapatkan hasil bahwa ada pengaruh antara persepsi kualitas terhadap loyalitas dengan dimediasi oleh kepuasan pelanggan. Dean (2002) meneliti tentang pengaruh kualitas jasa terhadap loyalitas pelanggan. Dia menyarankan bahwa karakteristik seperti orientasi pelanggan, prioritas jasa dan kualitas mempunyai pengaruh kuat dalam membangun loyalitas. Dean mendapatkan data dari konsumen individual pada industri asuransi menyatakan bahwa persepsi terhadap kualitas memediasi orientasi pelanggan terhadap loyalitas.
Dharma Ekonomi – STIE Dharmaputra
No. 37 / Th XX / April 2013
Fullerton dan Taylor (2002) dalam studinya menyimpulkan bahwa kepuasan pelanggan memediasi pengaruh antara kualitas jasa dan keinginan berpindah, keinginan membela dan kesediaan membeli dengan harga yang lebih tinggi. Bloomer et al. (1998), meneliti tentang penyebab loyalitas nasabah bank. Hasil studinya menunjukkan bahwa citra secara langsung berpengaruh pada loyalitas. Selain itu dia menyatakan bahwa ada pengaruh langsung dan tidak langsung antara kualitas jasa dan kepuasan terhadap loyalitas. Dia juga menegaskan bahwa kualitas jasa dan kepuasan merupakan kunci membangun loyalitas. Penelitian yang dilakukan oleh Sabihaini (2002) pada jasa perbankan, ditemukan bahwa kualitas layanan mempunyai hubungan positif dengan behavioral intention yang favorable dengan ditunjukkan oleh tingkat loyalitas dan kesediaan membeli dengan harga premium, sebaliknya hubungan tersebut bersifat negatif untuk behavioral intention yang unfavorable yang ditandai dengan swiching. Konsumen akan melakukan swiching bila batas toleransi terlampaui dan tergantung pada tingkat sensitivitas konsumen dalam merespon kepuasan yang belum terpenuhi.
HUBUNGAN
ANTARA
PERSEPSI
NILAI
DENGAN
LOYALITAS
PELANGGAN DALAM KONTEKS BIAYA BERPINDAH Lovelock, Patterson dan Walker dalam Tjiptono (2000) menyatakan bahwa kesuksesan suatu perusahaan dipengaruhi oleh beberapa determinan, diantaranya adalah kepercayaan, kepuasan dan persepsi nilai. Gale (1997) mengatakan bahwa tingkat loyalitas pelanggan dipengaruhi oleh persepsi konsumen terhadap nilai yang ditawarkan perusahaan. Parasuraman et al. (1998) mengatakan bahwa pelanggan membentuk suatu harapan terhadap nilai dan bertindak berdasarkan hal itu, dan mereka mempertimbangkan penawaran mana yang memberikan nilai tertinggi. Penawaran yang memenuhi harapan nilai pelanggan mempengaruhi kepuasan dan kemungkinan pelanggan akan membeli lagi.
Dharma Ekonomi – STIE Dharmaputra
No. 37 / Th XX / April 2013
Persepsi nilai merupakan perbandingan antara apa yang diterima (manfaat) dengan pengorbanan-pengorbanannya (biaya) (Heskett et al., 1997; Buzzell dan Gale, 1987). Persepsi konsumen terhadap nilai yang mereka terima dari perusahaan dapat memotivasi mereka untuk tetap menjalin hubungan dengan perusahaan. Jadi nilai yang dipersepsikan konsumen berpengaruh langsung dengan loyalitas pelanggan (Bolton dan Drew, 1991; Singh dan Sabol, 2002; Woodruff, 1997; Yang dan Peterson, 2004). Yu Wang (2010) menyatakan bahwa dalam situasi dimana biaya berpindah tinggi, konsumen bersedia untuk bertahan dengan perusahaan jasa tanpa mengabaikan persepsi nilai. Hubungan antara persepsi nilai dan loyalitas pelanggan kecil atau dapat diabaikan dalam kondisi biaya perpindah tinggi. Kebalikannya, dengan biaya berpindah rendah, persepsi nilai yang rendah dapat mengarahkan konsumen untuk berpindah dengan cepat ke perusahaan lain. Jadi, dapat diduga ada hubungan positif antara persepsi nilai dan loyalitas konsumen dalam kondisi biaya berpindah rendah. HUBUNGAN ANTARA CITRA DENGAN LOYALITAS PELANGGAN DALAM KONTEKS BIAYA BERPINDAH Citra digambarkan sebagai keseluruhan kesan yang terbentuk dalam pikiran konsumen tentang sebuah perusahaan (Barich dan Kotler, 1991). Citra suatu perusahaan dihubungkan dengan kondisi fisik dan lingkungan, seperti nama perusahaan, arsitektur, variasi jasa yang ditawarkan, dan interaksi dengan klien perusahaan (Nguyen dan Leblanc, 2001). Citra perusahaan merupakan hasil dari proses evaluasi (Aydin dan Ozer, 2005). Penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa citra suatu perusahaan mempunyai pengaruh langsung (Nguyen dan Leblanck, 2001) dan tidak langsung (Ball, Coelho dan Vilares, 2006; Bloomer dan Ruyter, 1996) terhadap loyalitas. Konsumen pada umumnya menimbang-nimbang antara biaya dan manfaat dari suatu keputusan (Hauser dan Wernerfelt, 1990). Implikasinya adalah jika biaya berpindah meningkat, biaya akan lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang didapatkan karena berpindah ke perusahaan lain yang dianggap lebih baik.
Dharma Ekonomi – STIE Dharmaputra
No. 37 / Th XX / April 2013
Citra perusahaan juga berhubungan dengan kepuasan (Ball, Ceolho dan Vilares, 2006; Bloomer dan Ruyter, 1996) dan pegaruh dari kepuasan konsumen dengan minat pembelian ulang turun dibawah kondisi tingginya biaya berpindah (Jones, Motherbaugh dan Beatty, 2000). Temuan ini mempunyai implikasi bahwa jika biaya berpindah meningkat, konsumen yang tidak puas mungkin lebih suka bertahan dengan perusahaan jasa, bahkan ketika citra dari perusahaan menjadi negatif. Penelitian ini menduga bahwa hubungan antara citra perusahaan dan loyalitas pelanggan dapat diabaikan dalam kondisi biaya berpindah tinggi. Di lain pihak, dengan biaya perpindah yang rendah, konsumen dengan persepsi citra yang negatif akan lebih suka untuk meninggalkan perusahaan.
Simpulan Seringkali penurunan dalam kualitas pelayanan, nilai pelanggan dan citra dihubungkan dengan penurunan loyalitas. Logikanya, jika kualitas pelayanan dinilai buruk, persepsi nilai dinilai rendah dan citra yang dipersepsikan buruk akan menurunkan minat pelanggan untuk berhubungan jangka panjang dengan perusahaan. Namun ternyata biaya berpindah dapat memoderasi kualitas pelayanan, nilai persepsi nilai dan citra terhadap loyalitas. Artinya jika jika biaya berpindah meningkat, konsumen yang tidak puas terhadap pelayanan mungkin lebih suka bertahan dengan perusahaan jasa, bahkan ketika citra dari perusahaan menjadi negatif. Hubungan antara citra perusahaan dan loyalitas pelanggan dapat diabaikan dalam kondisi biaya berpindah tinggi. Di lain pihak, dengan biaya perpindah yang rendah, konsumen dengan persepsi citra yang negatif akan lebih suka untuk meninggalkan perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA Anderson, T.W. 1999. What Drives Customer Loyalty with Complaint Resolution?. Journal of Service Research. 1(4). 324-332 Auh, S. 2005. The Effects of Soft and Hard Service Attribute on Loyalty: The Mediating Role of Trust. Journal of Service Marketing. 19(2). 81-92. Band, William A. 1987. Build Your Company Image ti Increase Sales. Sales and Marketing Management in Canada. 28. 10-12
Dharma Ekonomi – STIE Dharmaputra
No. 37 / Th XX / April 2013
Bloomer, Ruyter and Peeters. 1998. Investigating Driven of Bak Loyalty: The Complex Relationship between Image, Service Quality and Satisfaction. International Journal of Bank Marketing. 16(7). 276-286 Bitner, M.J., Booms, B.H., and Tetreault, M.S. 1990. The Service Encounter: Diagnosing Favorable and Unfavorable Incidents. Journal of Marketing, 54(1). 71-84 Bitner M.J., Bernard H.B., Mohr L.A. 1994. Critical Service Encounter: The Employee’s Viewpoint. Journal of Marketing. October. Burnham, T.A., Frels, J.K. and Mahajan, V. 2003. Consumer Switching Cost: A Typology, Antecedents, and Consequences. Journal of The Academy of Marketing Science. 31. 103-126 Bell, S.J., Auh, S. And Smalley,K. 2005. Customer Relationship Dynamics: Service Quality and Customer Loyalty in Context of varying Levels of Customer Expertise and Switching Cost. Journal of the Academy of Marketing Science. 33. 169-183 Caruana, A. 2002. Service Quality: The Effect of Service Quality and the Mediating Role of Customer Satisfaction. European Journal of Marketing. 36. 811-828. Cronin, J.J., Jr.,Brady, M.K., and Hult, G.T.M. 2000. Assesing the Effect of Quality, Value and Customer Satisfaction on Customer Behaviour Intentions in Service Environments. Journal of Retailing. 76. 193-218 Dean, A. 2002. Service Quality in Call Centres: Implications for Customer Loyalty. Management Service Quality. 12. 414-423 Day, E. 2002. The Role of Value in Consumer Satisfaction. Journal of Consumer Satisfaction, Dissatisfaction and Complaining Behaviour. 15(1). 22-32 Fullerton, G. and S.Taylor. 2002. Mediating, Interactive and Non-Linear effect in Service Quality and Satisfaction with Service Research. Canadian Journal of Administration Science. 19. 124-136 Fitzsimmons, James A. 2001. Service Management Operation Strategy, and Information Technology. Third Edition, Mac Graw-Hill International Edition, USA. Gustfsson, J. and Forzano, L.B. 2003. The Effects of Consumer Satisfaction, Relationship Commitment Dimensions, and Triggers on Consumer Retention. Journal of Marketing. 69(4). 210-218 Henning-Trurau, T., Gwinner, K.P. and Gremler, D.D. 2002. Understanding Relationship Marketing Outcomes an integration of Relational Benefits and Relationship Quality.Journal of Service Research. 33(4). 487-510. Heskett, J.L., Sasser W.E., Schlesinger L.A. 1997. The Service Profit Chain: How Leading Companies Link Profit, Growth to Loyalty, Satisfaction and Value. New York: A Division of Simon&Schuster Inc Kotler, P. 2000. Marketing Management. The Millenium Edition. New Jersey: Prentice hall International, Inc. Keller, Kevin Lane. 1998. Strategic Brands Management: Building, Measuring and Managing Brand Equity. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Dharma Ekonomi – STIE Dharmaputra
No. 37 / Th XX / April 2013
Lam, S.Y., Shankar, V., Erramilli,M.K. and Murthy, B. 2004. Customer Value, Satisfaction, Loyalty, and Switching Cost: An Illustration From A Business-to-Business Service Context. Journal of the Academy of Marketing Science. 32. 293-311 Liu, A.H., Lech, M.P., and Bernhardt, K.L. 2005. Examining Customer Value Perceptions of Organizational Buyers When Sourcing from Multiple Vendors. Journal of Business Research. 58. 559-568 Oliver, R.L. 1997. Satisfaction: A Behavioral Perspective on the Customer. New York: McGraw-Hill, Inc. Palmatier, R.W., Dant, R.P., Grewal, D. and Evans, K.R. 2006. Factors Influencing the Effectiveness of Relationship Marketing: A MetaAnalysis. Journal of Marketing.70. 136-153. Parasuraman, A. Dan Grewal, D. 2000. The Impact of Technology on the QualityValue-Loyalty Chain: A Research Agenda. Journal Academy of Marketing Science. 28(1). 168-173 Sunter, C. 1993. Factors thet Determine the Corporate Image of South African Banking Institution. International Journal of Bank Marketing. 13(3). 1217. Song, M., and Parry, M.E. 1997. A Cross National Comparative Study of New Product Development Process: Japan and USA. Journal of Marketing. Sabihaini. 2002. Analisis Konsekuensi Keperilakuan Kualitas layanan, Suatu Kajian Empirik. Usahawan. No.02.th XXXI. 29-36 Shoemaker, S. 2003. The Future of Pricing in Service. Journal of Revenue and Pricing Management. 2(3). 271-279 Woodruff, R.B. 1997. Customer Value: The Next Source for Competitive Advantage. Journal of The Academy of marketing Science. 25. 139-153 Yusoff, M. 1995. Konsep Asas Periklanan. Malaysia. Dewan Bahasa dan Pustaka. Yu Wang, Chung. 2010. Service Quality, Perceived value, Corporate Image, and Customer Loyalty in Context of Varying Levels of Swithing Cost. Journal Psychology and Marketing. 27(3). 252-262 Yi, Y., and Gong, T. 2008. The Electronic Service Quality Model: the Moderating Effect of Customer Self-Efficacy. Psychology and Marketing. 25. 587601 Zeithaml, V.A. 2000. Service Quality, Profitability, and the Economic Worth of Customers: What we Know and What We Need toLearn. Journal of the Academy of Marketing Sience. 28(1). 67-85 Zeithaml. A. 1988. Consumer Perceptions of Price, Quality and Value: A Meansand Model and Synthesis of Evidence. Journal of Marketing. 52(3). 2-22