Makalah Pendamping: Pendidikan Kimia
551
Paralel D
PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN KIMIA SISWA SMA NEGERI 1 NOGOSARI BOYOLALI MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF STAD (Student Teams Achievement Divisions) DISERTAI PETA KONSEP 2)
2)
2)
2)
Sri Yamtinah Budi Hastuti Ashadi Haryono Narimo Prodi Pendidikan Kimia PMIPA FKIP-UNS E-mail:
[email protected] PENDAHULUAN Pendidikan sains (IPA) mempunyai potensi untuk memainkan peranan strategis dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. Berbagai upaya pembaharuan dalam pembelajaran sains terus dikembangkan dengan harapan agar para siswa memiliki bekal yang cukup untuk dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mata pelajaran kimia yang termasuk dalam bidang sains selama ini dianggap sebagai mata pelajaran sulit bagi siswa. Hal ini disebabkan karena sebagian besar materi ilmu kimia merupakan konsep-konsep yang abstrak (Kean dan Middlecamp, 1984). Sehingga tidak mudah bagi guru untuk membuat siswa memahami konsep - konsep kimia dengan segera. Belum lagi bagi guru yang mengajar di sekolah yang belum memiliki fasilitas laboratorium dan mediamedia pembelajaran, tentunya akan sangat sulit mengajarkan konsep-konsep kimia. Di samping itu guru juga dihadapkan pada keterbatasan waktu, di mana guru kimia kelas X hanya memiliki alokasi waktu 3 jam pelajaran per minggu (untuk Kurikulum 2004) dan bahkan menjadi 2 jam pelajaran per minggu (untuk Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan / kurikulum 2006) dengan beban materi yang banyak. Kelemahan-kelemahan di atas menyebabkan pembelajaran materi kimia hanya merupakan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa untuk mengejar target kurikulum (meskipun pada KTSP guru dikatakan memiliki hak untuk mengembangkan kurikulum sendiri, namun masih tetap harus mengacu pada Standar Kompetensi dan Standar Isi yang telah disusun pemerintah). Bila hal ini terjadi terus menerus maka siswa akan mempelajari kimia sebagai hafalan, yang akibatnya siswa akan kesulitan mengunakan kimia sebagai ilmu dasar dalam mempelajari ilmu yang lain. Pembelajaran kimia seperti di atas masih banyak dijumpai di sekolah-sekolah, dan banyak dikeluhkan oleh guru kimia pada forum-forum pertemuan guru seperti MGMP untuk mencari metode pembelajaran yang memudahkan penanaman konsep pada siswa. Demikian juga halnya yang terjadi di
ISBN : 979-498-547-3
3)
SMA Negeri 1 Nogosari Boyolali, pembelajaran kimia yang dilakukan guru masih didominasi dengan metode ceramah, dilanjutkan dengan contoh soal dan diakhiri dengan latihan soal yang harus dikerjakan siswa secara mandiri. Pada saat peneliti melakukan observasi kelas , guru (Narimo, S.Pd) sedang mengajarkan materi redoks. Guru mengajar dengan metode ceramah disertai contohcontoh dalam kehidupan sehari-hari. Hampir tidak ada siswa yang bertanya ketika dijelaskan oleh guru meskipun guru memberi kesempatan, akan tetapi pada saat ulangan harian persentase siswa yang mencapai batas ketuntasan (nilai 60) tidak lebih dari 55%, itupun dengan perolehan nilai yang tidak bisa dikatakan bagus, karena rerata nilai mereka yang mencapai ketuntasan belajar hanya 67,4. Ini berarti sekitar 45% siswa masih belum memahami konsep dengan baik (data nilai guru tahun 2008) Berdasarkan diskusi guru dan dosen untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi di kelas, disepakati bahwa di samping hasil belajar yang rendah, masalah yang terjadi dalam proses pembelajaran adalah kurang aktifnya siswa di kelas. Pembelajaran kimia pada sekolah tersebut menunjukkan kualitas proses dan hasil belajar yang masih rendah. Tim menyepakati bahwa salah satu penyebab timbulnya masalah tersebut adalah diduga karena metode mengajar yang digunakan guru adalah metode konvensional yaitu ceramah yang dikombinasi dengan tanya jawab dan latihan soal. Selain itu, siswa masih merasa bahwa pelajaran kimia adalah pelajaran yang sulit karena banyak menghafal rumus-rumus. Guru belum memotivasi siswa agar aktif bekerja dan berpikir serta mengembangkan sikap ilmiah tetapi cenderung menyampaikan informasi (transfer of knowledge) sehingga kegiatan siswa lebih banyak mencatat dan menghafal. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru belum dapat menuntun siswa menemukan konsep yang dipelajari tetapi masih terbatas pada penyelesaian soal-soal yang ada pada buku. Untuk memperbaiki kualitas pembelajaran kimia di kelas itu, perlu dicari suatu metode yang dapat membuat suasana bahwa siswa tidak takut tetapi senang mempelajari ilmu kimia.
552
Makalah Pendamping: Pendidikan Kimia Paralel D
Penelitian kurikulum berbasis kompetensi harus berkaitan dengan tuntutan standar kompetensi, organisasi pengalaman belajar, dan aktivitas untuk mengembangkan dan memiliki kompetensi seefektif mungkin. Proses penelitian kurikulum berbasis kompetensi menggunakan asumsi bahwa siswa yang akan belajar telah memiliki pengetahuan dan keterampilan awal yang dibutuhkan untuk menguasai kompetensi tertentu. Pengetahuan dan keterampilan awal tersebut harus diperhatikan. Dalam pembelajaran berbasis kompetensi perlu ditentukan standar minimum kompetensi yang harus dikuasai siswa. Sesuai pendapat tersebut, komponen materi pokok pembelajaran berbasis kompetensi meliputi: (1). Kompetensi yang akan dicapai, (2). Strategi penyampaian untuk mencapai kompetensi, (3). sistem evaluasi atai penilaian yang digunakan untuk menentukan keberhasilan siswa dalam mencapai kompetensi (Mc Ashan, 1989). Paradigma pembelajaran sekarang ini bergeser dari Behavioristik ke arah Konstruktivisme. Dengan pendekatan konstruktivisme, siswa belajar untuk mengkonstruk sendiri pengetahuannya, dengan bantuan guru sebagai fasilitator. Salah satu model pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivis adalah pembelajaran kooperatifkolaboratif. Dengan pembelajaran kooperatifkolaboratif ini siswa diharapkan dapat berperan aktif dalam proses pembelajaran, bekerja sama antar teman, sehingga dapat meningkatkan kualitas proses maupun prestasi belajar siswa. Salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan yang termasuk ke dalam model kooperatif-kolaboratif adalah metode STAD (Student Teams Achievement Division) Materi Ikatan Kimia merupakan salah satu materi di kelas X semester ke-1 yang selama ini hanya diajarkan dengan metode ceramah, sehingga hasil belajar kurang memuaskan. Materi ini termasuk dalam materi esensial karena konsep yang dipelajari dalam Ikatan Kimia menjadi dasar bagi materi-materi yang lain. Untuk itu perlu dicari metode yang dapat membuat siswa lebih aktif dalam belajar sehingga dapat memperoleh capaian hasil belajar yang lebih baik. Dalam teori konstruktivisme, peserta didik harus menemukan sendiri dan memecahkan informasi baru dengan aturan lama dan merevisinya apabila aturan itu tidak sesuai lagi. Hal ini sangat mutlak diperlukan dalam pembelajaran kimia yang memiliki sifat dinamis. Menurut Van Glaser dalam Paul (1996) dikatakan bahwa pengetahuan bukan-
lah suatu tiruan dari kenyataan (realitas), pengetahuan ini dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu ia berinteraksi dengan lingkungannya. Pandangan konstruktivisme menyatakan bahwa peserta didik diberi kesempatan agar menggunakan suatu teknik sendiri dalam belajar secara sadar dan pendidik dalam hal ini membimbing peserta didik ke tingkat pengetahuan ke arah yang lebih tinggi (Daiute dalam Strommen,2003). Dengan demikian agar peserta didik benarbenar memahami materi, mereka harus bekerja sama untuk memecahkan masalah dan kesulitan yang ada dengan ide-ide dan kemampuannya. Ide pokok pada teori konstruktivisme adalah peserta didik secara aktif membangun pengetahuan mereka sendiri. Pembelajaran merupakan kerja mental aktif, dan bukanlah menerima pelajaran secara pasif. Dalam kerja mental peserta didik ini, pendidik memegang peranan penting dengan cara memberi dukungan, tantangan berfikir, namun dalam hal ini peserta didik tetap merupakan kunci pembelajaran. Menurut Kamii dalam Dahar (1989) bahwa prinsip yang paling umum dan esensial yang dapat diturunkan dari konstruktivisme adalah bahwa siswa memperoleh banyak pengetahuan di luar sekolah dan pendidikan seharusnya memperhatikan hal itu dan menunjang proses alamiah itu. Pendekatan dalam pembelajaran konstruktivisme dapat menggunakan pembelajaran secara kooperatif ekstensif. Menurut teori ini peserta didik akan lebih mudah menemukan dan mengerti akan konsep-konsep yang sulit jika mereka dapat membicarakan dan mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya. Peserta didik secara rutin bekerja dalam kelompok yang terdiri dari sekitar empat orang untuk saling membantu memecahkan masalah-masalah. Dalam hal ini penekanannya pada aspek sosial dalam pembelajaran dan penggunaan kelompok-kelompok yang sederajat untuk menghasilkan pemikiran dan tantangan miskonsepsi peserta didik sebagai unsur kuncinya. Pada sistem pengajaran ini memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja sama dengan temannya dalam tugas-tugas terstruktur dan inilah yang disebut dengan pengajaran gotong-royong atau Cooperative Learning (Slavin R.E, 1995). Pembelajaran ini bisa menimbulkan keagresifan dalam sistem kompetisi dan hilangnya keterasingan individu tanpa mengorbankan aspek kognitif. Peta konsep adalah diagram yang dibentuk/disusun untuk menunjukkan pemahaman seseorang tentang suatu konsep atau
ISBN : 979-498-547-3
Makalah Pendamping: Pendidikan Kimia
553
Paralel D
gagasan. Peta semacam ini mempunyai struktur berjenjang, yaitu dari yang bersifat umum menuju yang bersifat khusus, dilengkapi dengan garis-garis penghubung yang sesuai yang disebut proposisi. Peta konsep kemudian dikembangkan menjadi suatu teknik pembelajaran untuk menjajaki struktur pengetahuan sesseorang, dan juga dipakai sebagai alat untuk mengakses perubahan/perkembangan pemahaman tentang sains (Novak, 1991 dalam Doran , Chan, dan Tamir, 1998). Proses penyusunan peta konsep merupakan teknik yang baik sekali sebab membimbing siswa untuk secara aktif memikirkan hubungan-hubungan di antara konsep-konsep yang akan dijadikannya peta konsep, sehingga dengan demikian pembelajaran tidak dapat hanya sekedar menghafal konsep-konsep atau fakta-fakta sains. Dengan perkataan lain, proses penyusunan peta konsep dapat memfasilitasi pemahaman mengenai sains. Lebih lanjut Doran, Chan, dan Tamir (1998) menyatakan bahwa di samping merupakan teknik belajar peta konsep dapat dipakai untuk tujuan-tujuan lain, misalnya untuk mengetahui pengetahuan awal yang dimiliki siswa sebelum pembelajaran, serta untuk mendorong terjadinya pembelajaran kooperatif, juga dapat dipakai sebagai penata awal. Bagi siswa peta konsep dapat bermanfaat sebagai alat bantu belajar sebab dengan peta konsep mereka dapat menilai dirinya sendiri dengan kritis. METODE PENELITIAN A. Setting dan Subyek Penelitian Penelitian dilakukan di kelas X-2 dengan jumlah siswa sebanyak 36 orang terdiri dari 10 siswa putra dan 26 siswa putri. SMA Negeri 1 Nogosari Boyolali. Pemilihan kelas di dasarkan pada kenyataan bahwa kelas X-2 merupakan kelas dengan rerata kemampuan yang paling rendah di antara seluruh kelas yang ada. Di samping kemampuan akademik yang rata-rata rendah, kelas X-2 juga mempunyai karakteristik yang berbeda dengan siswa kelas yang lain. Siswa di kelas ini kurang aktif dalam pembelajaran, tetapi kekompakan kelas cukup tinggi. Pelaksanaan penelitian pada bulan Oktober 2009, yang disesuaikan dengan alokasi waktu yang telah disusun oleh guru B. Prosedur Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas (classroom action research) yang berusaha mengkaji dan merefleksikan secara mendalam beberapa
ISBN : 979-498-547-3
aspek dalam kegiatan belajar mengajar, yaitu keaktifan siswa dan kerjasama siswa, serta prestasi belajar siswa. Penelitian ini dibagi dalam dua siklus yang disesuaikan dengan alokasi waktu dan topik yang dipilih. Masing-masing siklus terdiri dari empat langkah (Kemmis dan Mc Taggart, 1988) berikut: a) perencanaan, yaitu merumuskan masalah, menentukan tujuan dan metode penelitian serta membuat rencana tindakan, b) tindakan, yang dilakukan sebagai upaya perubahan yang dilakukan, c) observasi, dilakukan secara sistematis untuk mengamati hasil atau dampak tindakan terhadap proses belajar mengajar, dan d) refleksi, yaitu mengkaji dan mempertimbangkan hasil atau dampak tindakan yang dilakukan. Prosedur dan langkah-langkah yang digunakan dalam melaksanakan penelitian ini mengikuti model yang dikembangkan oleh Kemmis dan Mc Taggart yaitu model spiral. Perencanaan Kemmis menggunakan sistem spiral refleksi diri yang dimulai dengan rencana tindakan (planning), tindakan (acting), pengamatan (observing) dan refleksi (reflecting). Kegiatan ini disebut dengan satu siklus kegiatan pemecahan masalah (Suharsimi Arikunto, dkk, 2006:117). C. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: lembar observasi, kuesioner terbuka, kuis atau tes prestasi belajar, dan catatan guru/jurnal. Instrumen observasi disusun berdasarkan komponen dasar pembelajaran metode STAD. Kuesioner terbuka digunakan untuk mengetahui tanggapan siswa terhadap pembelajaran metode STAD dan kuis atau tes prestasi belajar digunakan untuk mengetahui prestasi belajar siswa. D. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, kuesioner dan tes. Teknik observasi digunakan untuk merekam kualitas proses belajar mengajar berdasarkan instrumen observasi. Sedangkan tes digunakan untuk mengetahui kualitas hasil belajar. Kuesioner digunakan untuk mengetahui tanggapan siswa (kepuasan siswa) terhadap pelaksanaan pembelajaran. E. Analisis Data Data hasil observasi, catatan guru, kuesioner terbuka dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui kualitas proses belajar mengajar. Untuk mengetahui kualitas prestasi
554
Makalah Pendamping: Pendidikan Kimia Paralel D
belajar siswa dilakukan dengan cara melihat nilai individu yang diperoleh dari hasil tes. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Siklus 1 1. Tahap Perencanaan ( planning ) Pada tahap ini, peneliti dan guru bekerja sama untuk mempersiapkan perangkat-perangkat pembelajaran juga instrumen penelitian yang lain. Beberapa perangkat yang disusun pada tahap ini adalah: perangkat pembelajaran, perangkat evaluasi, perangkat observasi, dan angket balikan siswa. 2. Tahap pelaksanaan atau tindakan (Acting) a. Berdasarkan perencanaan yang telah disusun, dilaksanakan pembelajaran pada kelas X-2 pada materi Ikatan Kimia pada konsep : kestabilan atom, ikatan ion, ikatan kovalen sebanyak 3 kali pertemuan yang masing-masing dengan durasi waktu 90 dan 45 menit. Pada pertemuan pertama, dilakukan presentasi kelas oleh guru untuk memperkenalkan pembelajaran kooperatif metode STAD, membagi kelompok sesuai dengan kemampuan awal siswa serta menyebutkan konsep-konsep yang harus dipelajari. b. Pertemuan kedua, guru memberikan lembar kerja siswa (LKS) yang harus dikerjakan secara berkelompok. Selain lembar kerja guru juga memberikan bahan untuk menyusun peta konsep. Pada kerja kelompok ini masing-masing kelompok diberikan lembar kerja yang sama. Waktu yang disediakan untuk diskusi kelompok ini adalah 50 menit, dan 30 menit sisa waktu digunakan untuk diskusi kelas untuk pembahasan sekaligus koreksi bersama hasil kerja kelompok dengan cara koreksi silang antar kelompok. Hasil dari koreksi silang ini dipilih kelompok pemenang yaitu yang memperoleh skor tertinggi. Pada pertemuan kedua ini pengamatan difokuskan pada interaksi siswa dalam kelompok. c. Pertemuan ke tiga siswa melaksanakan kegiatan tes akhir siklus 1 secara individu dengan mengerjakan 14 soal selama 50 menit dan sisa waktu 40 menit berikutnya siswa diminta mengisi angket balikan tentang pendapat para siswa dengan metode pembelajaran yang telah dilakukan dan koreksi bersama.
3. Tahap Observasi dan Evaluasi Pada tahap pelaksanaan, ketika guru mengadakan presentasi 2 orang peneliti melakukan pengamatan / observasi terhadap pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan instrumen lembar observasi. Ini dilaksanakan pada pertemuan pertama. Pada tahap ini beberapa hasil observasi dapat dikemukakan sebagai berikut : a. Guru mengawali pembelajaran dengan menyampaikan tujuan pembelajaran berkaitan dengan materi Ikatan Kimia. Selanjutnya membagi kelompok dengan masing-masing beranggota 5 orang. Guru membagi kelompok berdasarkan kemampuan awal siswa, yang didasarkan pada hasil ulangan harian guru pada materi sebelumnya. Pada pembelajaran ini dari 36 siswa yang ada, 3 orang yang nampak kurang memperhatikan dan lebih banyak mengantuk, 4 orang asyik bicara sendiri, 2 orang diamati peneliti sedang mengerjakan PR mata pelajaran matematika. Sedangkan 27 siswa yang lain ( 75 % ) nampak aktif mencermati presentasi guru sambil mencatat beberapa hal yang mereka anggap penting. b. Pada pertemuan kedua, guru membagikan lembar kerja siswa (LKS) dan bahan untuk menyusun peta konsep pada kelompok siswa yang berisi latihan-latihan soal materi Ikatan Kimia. Pada diskusi ini, sebanyak 4 dari 7 kelompok ( 57 %) sudah cukup baik berdiskusi, dan dapat dilihat interaksi sesama anggota kelompok. Namun pada 2 kelompok yang lain, beberapa siswa masih belum dapat bekerja sama dengan baik dengan teman kelompok. Beberapa anak yang pandai lebih banyak mengerjakan sendiri tidak mau membantu teman yang bertanya, sebagian yang lain membantu tetapi dengan langsung mengerjakan bukan dengan menjelaskan pada teman yang bertanya.. c. Pada pertemuan ketiga, kegiatan pembelajaran adalah adalah tes akhir siklus dengan 14 soal obyektif. Tes akhir siklus 1 ini dikerjakan selama 50 menit. Empatpuluh menit terakhir digunakan untuk mengisi kuesioner tentang tanggapan siswa terhadap pembelajaran yang telah dilakukan dan koreksi bersama. Hasil tes akhir siklus ini digunakan untuk menentukan kelompok yang terbaik dengan jalan menjumlahkan nilai yang diperoleh masing-masing anggota. Kelompok yang berhasil meraih predikat kelompok terbaik adalah kelompok 3.
ISBN : 979-498-547-3
Makalah Pendamping: Pendidikan Kimia
555
Paralel D
d. Setelah selesai ketiga pertemuan, dilanjutkan dengan pertemuan guru dan peneliti untuk diskusi tentang hasil-hasil pengamatan selama proses pembelajaran. 4. Tahap Refleksi Pada tahapan refleksi, guru dan peneliti berusaha mengulas secara kritis tentang perubahan yang terjadi pada siswa, suasana kelas dan guru. Beberapa hal yang dibahas pada tahap refleksi ini adalah : 1) Menganalisis dan merencanakan tindakan lanjutan berdasarkan tanggapan siswa terhadap angket balikan. Terdapat 10 pernyataan yang diberikan kepada siswa pada akhir siklus 1 atau setelah tes siklus 1. Pernyataan ini digunakan untuk menjaring tanggapan siswa terhadap metode pembelajaran yang telah dilakukan. Secara keseluruhan dapat dikatakan sebagian besar siswa merasa tertarik terhadap pembelajaran
yang dilakukan. Sehingga dengan tanggapan siswa yang positif ini. 2) Menganalisis dan merencanakan tindakan lanjutan berdasarkan pengamatan dengan lembar monitoring Pada saat pembelajaran, khususnya pada pertemuan kesatu dan kedua para siswa nampak sebagian besar siswa antusias, meskipun ada sebagian siswa yang masih kurang aktif karena mengantuk dan mengerjakan PR mata pelajaran lain. Pada pertemuan kedua, hal yang dapat dicermati guru dan peneliti adalah terbinanya kerjasama dengan baik pada kerja kelompok dalam mengerjakan LKS dan dalam penyusunan peta konsep. Dari 7 kelompok yang ada, sebanyak 5 kelompok sudah menunjukkan keaktifan dalam diskusi kelompok. Dalam penyusunan peta konsep, dari 7 kelompok 4 ( 57% ) kelompok sudah mampu menyusun peta konsep dengan benar.
3) Menganalisis dan merencanakan tindakan lanjutan berdasarkan hasil tes. Hasil yang dicapai berdasarkan tes hasil belajar pada siklus 1 dapat dilihat pada tabel berikut : Aspek yg Dinilai Jumlah Siswa Jumlah Siswa Rerata Nilai Prosentase Tuntas Ketuntasan Ketuntasan 36 22 76,86 72,2% Prestasi Belajar Dilihat dari prosentase ketuntasan , ternyata hasil yang dicapai pada siklus 1 ini sudah melebihi target yang ditetapkan yaitu sebesar 60%. Untuk itu tindakan tidak perlu dilanjutkan di siklus 2 karena seluruh target yang ditetapkan telah berhasil dicapai. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: (1). Penggunaan model pembelajaran Cooperative Learning metode STAD disertai peta konsep dapat meningkatkan kualitas proses meliputi keaktifan belajar siswa dan interaksi siswa dalam kerja kelompok pada kelas X-2 SMA Negeri 1 Nogosari Boyolali dalam mempelajari materi Ikatan Kimia, (2). Penggunaan model pembelajaran Cooperative Learning metode STAD disertai peta konsep dapat meningkatkan prestasi belajar ditinjau dari ketuntasan hasil belajar siswa kelas X-2 SMA Negeri 1 Nogosari Boyolali dalam mempelajari materi Ikatan Kimia Beberapa hal yang perlu disarankan dari hasil penelitian ini adalah (1). Model pembelajaran Cooperative Learning perlu dikembangkan dengan memvariasikan dengan menggunakan metode pembelajaran yang lain untuk dapat lebih memaksimalkan
ISBN : 979-498-547-3
kualitas pembelajaran, (2). Perlu dilakukan penelitian tindakan untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran selain keaktifan belajar dan kerjasama dalam kelompok, karena masih sangat banyak indikator kualitas proses pembelajaran, (3). Perlu kreatifitas untuk mendesain strategi pembelajaran di kelas agar tercipta suasana pembelajaran yang kondusif, yang dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa. DAFTAR PUSTAKA Anita Lie, (2004). Cooperative Learning : mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta : Grasindo Bodner, G. M. 1986. Constructivism: A theory of knowledge. Journal of Chemical Education. 63(10). Budi Usodo. 2000. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Pada Pembelajaran Kalkulus di Jurusan P.MIPA. Surakarta : UNS Press Depdiknas. 2001. Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Kimia SMA. Jakarta : Puskur Depdiknas Jonassen, D.H. 1999. Designing constructivist learning environments. Dalam Reigeluth, C.M. (Ed): Instructionaldesign theories and models: A new
556
Makalah Pendamping: Pendidikan Kimia Paralel D
paradigm of instructional theory, volume II. Pp. 215-239. New Jersey: Lawrence Erlbaum associates, Publisher. Kemmis, S. & McTaggart, R. 1988. The Action Research Planner. Third Edition. Victoria: Deakin University Press. Mc Ashan, H.H (1989). Competency Based Education and Behavioral Objectives. New Jersey. Educational Technology Publications, Englewood Cllifs Paul Suparno, 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta : Kanisius Ratna Wilis Dahar, (1989). Teori-teori Belajar. Bandung : Erlangga Rukoyah. (2003). Efektifitas Metode Pembelajaran Kooperatif STAD berdasarkan Nlai UUB CAWU III dan Sikap Ilmiah
Guna Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa kelas II SMU Assalam Sukoharjo tahun pelajaran 2002/2003.Skripsi tidak diterbitkan. Slavin, R.E. (1995). Cooperative Learning Theory Research and Practice. Boston : Asimon dan Schuster Co Sri Yamtinah, (2006). Penerapan Metode Cooperative Learning tipe STAD yang Dikembangkan Dengan Teknik Collective Responsibility Pada Pembelajaran Konsep Mol. Penelitian Mandiri. Tidak diterbitkan Strommen, E.F. (2003). Constructivism, Technology, and the Future of Classroom Learning. Pada : http://www.ilt.columbia.edu/publications /paper/construct.html. diakses tanggal 3 Pebruari 2003
ISBN : 979-498-547-3