JURNAL TEKNIK, (2013) 1-6
1
Peningkatan Kualitas Layanan SMP Negeri 29 Surabaya dengan Integrasi Metode Service Quality (Servqual), Kano Model, dan House of Quality (HOQ) Pramesti Sri Indraswari, H. Hari Supriyanto, Ir., MSIE Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 E-mail:
[email protected],
[email protected] Abstrak
Dewasa ini pendidikan telah menjadi aspek penting bagi tumbuh kembang anak, tidak terkecuali bagi anak berkebutuhan khusus (ABK). Pemerintah melalui Permendiknas No. 70 Tahun 2009 telah menyatakan untuk menjamin pendidikan ABK yang setara dengan anak reguler lainnya melalui pembentukan Sekolah Inklusi. Namun tidak sedikit sekolah inklusi yang belum siap untuk menjadi sekolah inklusi yang mampu mengakomodasi kebutuhan sarana prasarana belajar siswa reguler dan siswa ABK secara bersama-sama dalam satu kelas sehingga peningkatan kualitas pada layanan sekolah ini diharapkan mampu meningkatkan kemampuan sekolah dalam mengakomodasi kebutuhan mereka. Pada SMP Negeri 29 Surabaya khususnya yang menjadi role model untuk SMPN Inklusi pertama di wilayah Surabaya, diawali dengan meneliti aspek-aspek dari dimensi kualitas jasa yang memiliki performansi terendah berdasarkan nilai Gap kuesioner. Kemudian dilanjutkan dengan plot Kano Model untuk mengetahui atribut yang berada di dalam kategori must-be (basic needs), serta berdasarkan atribut kategori tersebut dibentuk Rumah Kualitas (HOQ) guna mengetahui respon teknis primer yang diperlukan sekolah dalam meningkatkan kualitas layanannya. Hasil akhir yang diberikan berupa buku saku yang memberikan rekomendasi perbaikan terhadap atribut sarana prasarana yang kritis, seperti sarana ruang perpustakaan, ruang lab IPA, ruang terapi ABK, dll. Kata kunci— sekolah inklusi, anak berkebutuhan khusus Quality (HOQ) PENDAHULUAN Pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara [1]. Pendidikan dewasa ini dianggap sebagai faktor penunjang bagi kesejahteraan masyarakat. Baik masyarakat di kalangan atas maupun di kalangan bawah telah mengutamakan pendidikan sebagai faktor yang membantu mengentaskan mereka dari kemiskinan. Menilik mengenai pentingnya pendidikan bagi generasi penerus bangsa ini, sudah semestinya pendidikan mampu memberikan yang terbaik bagi anak bangsa tanpa memandang keterbatasan ekonomi, fisik maupun mental anak. Pernyataan Salamanca Tentang Pendidikan Inklusi 1994 menyatakan bahwa anak dan remaja penyandang disabilitas serta penyandang kebutuhan pendidikan khusus lainnya seyogyanya tercakup dalam perencanaan pendidikan yang dibuat untuk anak pada umumnya . Tidak hanya itu, Peraturan Pemerintah nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelengaraan Pendidikan menyatakan bahwa penerimaan peserta didik pada setiap satuan pendidikan dilakukan tanpa diskriminasi [2]. Bentuk diskriminasi yang dimaksud antara lain perbedaan atas dasar gender, agama, etnis, status sosial, kemampuan ekonomi dan kondisi fisik atau mental anak. Guna menjamin pelayanan pendidikan sebagaimana dimaksud, maka Pemerintah melalui Menteri Pendidikan Nasional telah menerbitkan Peraturan Mendiknas nomor 70
(ABK), Service Quality (Servqual), Kano Model, House of Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Pendidikan Inklusif sebagai filosofi pendidikan menempatkan prioritas tertinggi pada pemenuhan hak untuk memperoleh pendidikan kepada semua anak termasuk di dalamnya peserta didik berkebutuhan khusus. Implementasinya membawa konsekuensi pada pengembangan sistem pendidikan dimana secara bersamasama semua stakeholder sekolah dan masyarakat untuk sadar dan memiliki tanggung jawab bersama dalam mendidik semua siswa sehingga mereka dapat berkembang secara optimal sesuai potensi mereka. Data siswa berkebutuhan khusus se-Indonesia per tahun 2005-2006 yang diklasifikasikan menurut jenis kelainan dan jenjang pendidikannya ditunjukkan pada tabel di berikut: Tabel 1. Jumlah ABK Menurut Jenis Kelainan dan Jenjang Pendidikannya. Jenis Kelainan
Jumlah Sekolah
TK LB
SD LB
SLTP LB
SM LB
Jumlah Siswa
1
Tunanetra
563
299
2153
532
236
3220
2
Tunarungu
1115
2640
12485
2884
1279
19288
1173
2742
19438
3890
1954
28024
625
1172
7248
1461
682
10563
462
220
1403
243
61
1927
85
92
348
78
37
555
3 4 5 6
Tunagrahita Ringan Tunagrahita Sedang Tunadaksa Ringan Tunadaksa Sedang
7
Tunalaras
42
32
598
162
35
827
8
Tunaganda
56
69
277
65
40
451
JURNAL TEKNIK, (2013) 1-6 Jenis Kelainan 9
Autis
Jumlah Sekolah 296
TOTAL
2
TK LB
SD LB
SLTP LB
SM LB
Jumlah Siswa
745
899
80
31
1755
8011
44849
9395
4355
66610
(Sumber: SIM Dit. PSLB)
Pada data diatas terlihat bahwa anak berkebutuhan khusus di Indonesia dewasa ini cukup banyak sehingga pendidikan yang layak dan tanpa diskriminasi untuk mereka sangatlah diperlukan, terlebih lagi mayoritas dari anak berkebutuhan khusus tersebut adalah anak berkelainan tunagrahita ringan dan tunarungu, dimana tunagrahita ringan dapat ditangani oleh guru reguler (guru non-Pendidikan Luar Biasa) secara baik dan intensif sedangkan anak berkelainan tunarungu dewasa ini sudah banyak dibantu oleh alat bantu dengar, sehingga bukan menjadi persoalan besar bagi sekolah inklusi untuk menerima dan menangani anak-anak berkebutuhan khusus. Di kota Surabaya saat ini sudah cukup banyak sekolah inklusif negeri maupun swasta yang ditunjuk pemerintah kota. Namun menurut Dr. Adriana S. Ginanjar, M.S, psikolog dan Koordinator Klinik Terpadu, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dalam wawancaranya dengan kompas online [3] mengatakan sekolah-sekolah inklusif ini belum siap untuk menerima anak-anak ABK (Anak Berkebutuhan Khusus). Tenaga pengajar dianggap belum memenuhi persyaratan. Selain itu ruang kelas tidak seharusnya diisi peserta didik sebanyak 40 orang, melainkan 20 orang. Ketidaksiapan lainnya bisa dilihat dari tenaga pengajar yang belum memenuhi persyaratan. Menurut Adriana, guru seharusnya mengetahui soal gangguan autis atau kalau perlu mengikuti pelatihan yang mengajarkan metode-metode penanganan anak autis. "Artinya persyaratan-persyaratan itu belum semuanya di ikuti sekolah," katanya. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah kesiapan dari teman-teman sebaya mereka. Karena masih banyak anak dengan autis yang mendapatkan perilaku kesenjangan sosial dari teman-teman normal mereka yang lain. Tidak hanya kompas online yang berhasil mengcapture rendahnya kualitas sekolah inklusi. Baik solopos.com dan sindonews.com juga turut menunjukkan kondisi sekolah inklusi tersebut. Menurut Didik Budi Santoso, Komisi D DPRD Sidoarjo saat berkunjung ke sekolah inklusi mengatakan, Sarana dan Prasarana penunjang bagi siswa berkebutuhan khusus masih minim. Selain itu, guru yang menangani siswa berkebutuhan khusus juga kurang. Harusnya juga dilengkapi ruang interaksi khusus bagi siswa berkebutuhan khusus serta penunjang lainnya [4]. Bekti Pratiwi, terapis tuna rungu Yayasan Penyandang Anak Cacat (YPAC) Solo juga mengatakan Sekolah Inklusi baru sekedar label, tidak semua sekolah inklusi memiliki pendidikan yang dilengkapi fasilitas mendukung bagi siswa ABK. Sekalipun sejumlah sekolah ada yang menyediakan layanan pendidikan tersebut namun orangtua siswa harus merogoh kocek lebih dalam lantaran sekolah membutuhkan biaya ekstra untuk membayar guru khusus dan terapis [5]. Sebagian besar dari sekolah inklusi tersebut sadar atas keterbatasan mereka dan sedang berusaha meningkatkan kualitas didik mereka. Kurangnya sarana dan prasarana sekolah serta kurangnya pengetahuan pengajar mengenai pendidikan terhadap anak-anak ABK ini menjadi salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan inklusif. Untuk itu
perlu adanya quality improvement untuk dapat meningkatkan kualitas pendidikan inklusif dengan merancang strategi peningkatan kualitas pada perbaikan atribut yang kritis. I. METODE Tahapan metode yang pertama-tama dilakukan adalah mengidentifikasi latar belakang, rumusan masalah dan tujuan penelitian. Kemudian dilakukan studi lapangan dan studi literatur untuk mengetahui metode yang dapat digunakan secara tepat untuk memenuhi tujuan penelitian. Setelah itu dilakukan pengambilan data dengan kuesioner sebanyak dua kali yaitu kuesioner awal untuk mengetahui dimensi service quality yang kritis dan kuesioner akhir yang menilai masing-masing atribut dari dimensi service quality yang kritis tersebut. Pengolahan data berikutnya dilakukan dengan mengkategorikan masing-masing atribut tersebut ke dalam Kano Model dan atribut berkategori must-be pada Kano Model tersebut akan diolah lebih lanjut kedalam HOQ untuk mengetahui rekomendasi perbaikan kualitas atribut. II. URAIAN PENELITIAN A. Pendidikan Inklusif Pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai proses pembelajaran bagi individu untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman yang lebih tinggi mengenai obyek-obyek tertentu dan spesifik dimana pengetahuan tersebut diperoleh secara formal yang berakibat individu mempunyai pola pikir dan perilaku sesuai dengan pendidikan yang telah diperolehnya. Menurut Permendiknas No. 70 Tahun 2009, pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik normal pada umumnya [2]. Walaupun dalam pendidikan inklusif berarti menempatkan siswa berkelainan fisik dalam kelas atau sekolah reguler, inklusi bukanlah sekedar memasukkan anak berkelainan sebanyak mungkin dalam lingkungan belajar siswa normal. Inklusi merupakan suatu sistem yang hanya dapat diterapkan ketika semua warga sekolah memahami dan mengadopsinya. Inklusi juga menyangkut hal-hal bagaimana orang-orang dewasa dan teman sekelas yang normal menyambut semua siswa dalam kelas dan mengenali bahwa keanekaragaman siswa tidak mengharuskan penggunaan pendekatan tunggal untuk seluruh siswa. B. Service Quality (Servqual) Service quality merupakan instrument yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas/mutu dari suatu pelayanan jasa berdasarkan perspektif customer-nya [6]. Assessment Servqual pada suatu obyek layanan jasa umumnya dilakukan dengan membagi-bagikan kuesioner (angket) kepada customer. Kemudian dari penilaian customer tersebut diperoleh nilai persepsi dan ekspektasi terhadap pelayanan obyek amatan. Selisih (gap) terbesar dari persepsi dan ekspektasi tersebut yang didefinisikan sebagai atribut/dimensi service quality yang kritis. Berikut ini pengolahan data gap masing-masing dimensi Servqual pada kuesioner pendahuluan:
JURNAL TEKNIK, (2013) 1-6
3
Tabel 2. Nilai Gap Masing-masing Dimensi Servqual pada Kuesioner Pendahuluan Rata-rata Pernyataan Tingkat Persepsi Ekspektasi Gap Kepentingan Dimensi 1 1 6.254 8.484 -2.231 9.126 (Tangibles) Dimensi 2 2 7.035 8.535 -1.501 9.059 (Emphaty) Bagian 3 3 7.201 8.636 -1.435 9.185 (Reliability) Bagian 4 4 (Responsive7.143 8.653 -1.510 9.224 ness) Bagian 5 5 6.524 8.682 -2.158 9.204 (Assurance)
Berdasarkan pengolahan data diatas diketahui dimensi Servqual yang memiliki gap terbesar adalah dimensi tangibles yang melingkupi aspek fisik, infrastruktur, sarana dan prasarana sekolah, sehingga atribut kuesioner akhir yang dibentuk merupakan atribut-atribut yang terfokus pada aspek tangibles. C. Kano Model Kano model merupakan plot yang digunakan untuk mengkategorikan atribut-atribut berdasarkan tingkat kepentingannya maupun fungsionalitasnya. Kano Model yang digunakan dalam penelitian ini merupakan Kano Model yang diadaptasi dari Importance-Performance Analysis (IPA), dimana sumbu-x pada plot tersebut merupakan rata-rata penilaian customer terhadap tingkat kepentingan atribut, sedangkan sumbu-y pada plot tersebut merupakan rata-rata penilaian customer terhadap performansi (persepsi) atribut. Namun sebelum dilakukan plot Kano Model, beberapa uji statistik dilakukan untuk menguji apakah data benar-benar layak untuk dilakukan pengolahan lebih lanjut. Uji statistik tersbeut adalah penentuan jumlah sampel kuesioner, uji validitas dan uji reliabilitas. Uji reliabilitas pada ketiga aspek penilaian persepsi, ekspektasi, serta tingkat kepentingan pada kuesioner akhir ditunjukkan pada tabel berikut: Tabel 3. Nilai Uji Reliabilitas pada Kuesioner Akhir Atribut Cronbach Alpha Persepsi 0.979 Ekspektasi 0.924 Tingkat Kepentingan 0.919
Instrumen memiliki reliabilitas yang tinggi jika bernilai lebih besar dari 0,6. Baik dari instrumen persepsi maupun dari instrumen tingkat kepentingan keduanya memiliki Cronbach Alpha lebih besar dari 0,9 maka instrument ini memiliki reliabilitas tinggi dan layak digunakan pada pengolahan data selanjutnya. Pada pengolahan data plot Kano Model berikutnya, kategori yang mmenjadi fokusan penelitian adalah kategori must-be (basic needs) yang berada pada sisi kanan bawah kuadran. Dengan demikian, atribut-atribut yang digunakan dalam pengolahan data HOQ berikutnya hanyalah atribut-atribut yang berada pada kuadran must-be (kanan-bawah). Kategori must-be merupakan kategori yang mewakili atribut-atribut yang merupakan kebutuhan mendasar konsumen (basic needs). Artinya atribut ini memiliki tingkat
Gambar 1. Plot Kano Model
kepentingan yang tinggi namun performansi yang diberikan oleh penyedia jasa masih tergolong rendah [7]. Pada gambar plot Kano Model diatas, tidak kurang dari 15 atribut yang merupakan atribut dalam kategori must-be. Atribut-atribut tersebut merupakan atribut kritis yang akan dioleh lebih lanjut ke dalam House of Quality (HOQ) untuk mendapatkan rekomendasi perbaikan kualitasnya. Atributatribut tersebut adalah sebagai berikut: ID A5 A6 A9 A10 C4 C5 D7 D11 D12 D14 D15 E1 E5 F6 F9 G1 H2 I4 I5 I6 J4
Tabel 4. Atribut dalam Kategori Must-be pada Kano Model Pernyataan Atribut Instalasi listrik di sekolah lancar dan tidak mudah mati Dilengkapi sistem penangkal petir dan tabung pemadam kebakaran Terdapat talang penyalur air hujan Terdapat jalur evakuasi/penunjuk arah yang jelas untuk menyelamatkan diri jika terjadi bencana alam atau bencana kebakaran Siswa selalu mendapatkan kamus, ensiklopedi atau buku buku referensi lain yang dibutuhkan di perpustakaan Perpustakaan dilengkapi dengan alat penunjang belajar seperti globe, peta, VCD/DVD pembelajaran, dan alat peraga lainnya Jumlah kursi Lab IPA cukup untuk memenuhi seluruh siswa kelas Terdapat lebih dari 3 wastafel di Lab IPA yang mampu mengalirkan air bersih dengan lancar Siswa tidak pernah kekurangan peralatan/bahan yang disediakan saat melakukan percobaan IPA Terdapat tabung pemadam kebakaran di lab IPA Terdapat kotak P3K yang disediakan di lab IPA Tempat beribadah memiliki luas yang memadai Tempat wudhu memadai dan jarang mengantri Terdapat satu set instrumen konseling di ruang konseling untuk mengetahui bimbingan seperti apa yang diberikan kepada siswa Terdapat satu set perlengkapan tes kecerdasan bagi tunagrahita di ruang konseling. Ruang UKS cukup luas untuk menampung seluruh perabotan dan tidak terasa sempit Ruang terapi dilengkapi dengan kamar mandi dan/atau jamban khusus untuk latihan ABK Terdapat kloset duduk untuk ABK di jamban Terdapat bak mandi dan air bersih dalam jumlah cukup di jamban Terdapat gayung, gantungan pakaian dan tempat sampah di jamban Terdapat tangga dan ramp untuk pengguna kursi roda
D. Quality Function Deployment (QFD) QFD merupakan pendekatan sistematik yang menentukan permintaan konsumen kemudian menerjemahkan permintaan tersebut secara akurat ke dalam respon teknis dan perencanaan produksi [8]. Ada banyak manfaat yang dapat diperoleh dari QFD guna meningkatkan
JURNAL TEKNIK, (2013) 1-6
4
daya saingnya melalui perbaikan kualitas dan produktivitasnya secara berkesinambungan. Keuntungan dan manfaat utama yang diberikan adalah terciptanya rancangan produk/jasa baru yang memuaskan kebutuhan pelanggan [9]. Alat yang digunakan untuk menggunakan struktur QFD adalah matriks yang berbentuk rumah yang biasa disebut dengan House of Quality (HOQ). House of Quality (HOQ) merupakan matriks rumah kualitas yang digunakan untuk merancang produk/jasa baru sesuai customer requirement (keinginan pelanggan) atau dapat pula digunakan sebagai matriks yang digunakan untuk memberikan rekomendasi perbaikan atas produk atau sistem jasa yang sudah ada. Hasil pengolahan data HOQ ditunjukkan pada gambar 2. Input customer needs pada HOQ berasal dari atribut kategori must-be pada Kano Model. Berdasarkan 21 customer needs tersebut kemudian dibentuk 22 respon teknis yang memiliki perannya masing-masing guna memperbaiki customer need yang memiliki performansi rendah tersebut. dari sekian respon teknis ini kemudian dibobotannya masing-masing berdasarkan tinggi rendahnya relationship dengan customer needs. III. ANALISIS DATA A. Analisa Hasil Service Quality (Servqual) Analisa hasil Servqual dilakukan atas dasar dari hasil kuesioner Servqual yang dilakukan sebanyak dua kali yaitu kuesioner pendahuluan dan kuesioner akhir. Kuesioner pendahuluan dilakukan guna mengetahui dimensi service quality apakah yang memiliki gap terbesar, kemudian kuesioner akhir dilakukan untuk menilai masing-masing atribut dari dimensi service quality gap terbesar yang diperoleh pada kuesioner pendahuluan sebelumnya. Pengolahan data pada kuesioner pendahuluan menunjukkan gap terbesar terletak pada dimensi tangibles. Dimensi ini merupakan dimensi yang mengacu pada kondisi fisik bangunan, ruang kelas, ruang perpustakaan, dan aspek fisik lain yang menunjang belajar mengajar disekolah. Dimensi
ini memiliki gap terbesar diantara dimensi lainnya karena banyak sarana prasarana sekolah yang kurang terawat dan kondisinya masih belum sesuai dengan standar yang ditetapkan dalam Permendiknas. Contohnya kondisi lab IPA yang memiliki sarana yang kurang memadai sehingga praktek IPA yang dilakukan sekolah seringkali dilakukan diruang kelas. Oleh karena itu, dimensi tangibles mengenai sarana prasarana sekolah inilah yang menjadi fokusan penelitian dengan kembali membentuk kuesioner akhir yang berfokus untuk menilai masing-masing sarana prasarana yang dimiliki sekolah. Kuesioner akhir yang terbentuk merupakan kuesioner yang berisi atribut-atribut penilaian untuk masing-masing fasilitas yang ada di sekolah. Atribut yang dinilai dari masing-masing sarana tersebut tidak serta merta terbentuk dari brainstorming penelitian namun terbentuk dari standar sarana prasarana yang diatur dalam Permendiknas No. 24 serta Permendiknas No 33. Aspek-aspek yang dimunculkan adalah aspek-aspek standar sarana prasarana yang harus dipenuhi oleh sekolah, sehingga ketika aspek tersebut belum dapat dipenuhi sekolah, maka sekolah berhak mengajukan permohonan dana untuk memenuhi standar yang diperlukan tersebut. Permohonan dana yang disetujui umumnya adalah permohonan dana terhadap atribut yang merupakan kebutuhan mendasar bagi sekolah yang berada dalam kondisi kritis. Untuk itu dilakukan pengkategorian atribut pada Kano Model untuk mengetahui atribut sarana prasarana yang berada dalam kondisi kritis berdasarkan pada perspektif konsumen. Namun respon teknis perbaikan pada HOQ serta rekomendasi perbaikan yang diberikan nantinya juga turut mempertimbangkan kondisi eksisting sarana prasarana yang ada di sekolah. B. Analisa Hasil Kano Model Pengolahan data pada Kano Model dilakukan dengan menggunakan penilaian atribut pada kuesioner akhir. Tidak kurang dari 100 atribut yang dinilai dari berbagai sarana prasarana sekolah, 21 atribut diantaranya merupakan atribut
Gambar 2. House of Quality (HOQ)
JURNAL TEKNIK, (2013) 1-6 kritis yang berada pada kategori must-be (basic need) dimana atribut ini memiliki tingkat kepentingan yang tinggi namun performansi yang diberikan oleh penyedia jasa masih tergolong rendah. Sarana prasarana ynag berada pada kategori must-be tersebut diantaranya adalah sarana prasarana mengenai kondisi lingkungan sekolah terkait instalasi listrik yang masih sering mengalami gangguan, kurang tersedianya tabung pemadam kebakaran, sistem penangkal petir, serta belum tersedianya petunjuk penyelamatan diri ketika dalam kondisi darurat. Sarana berikutnya merupakan sarana ruang perpustakaan dimana sekolah dianggap belum memenuhi buku referensi dan alat penunjang belajar yang belum sesuai dengan standar. Sarana pada lab IPA merupakan sarana yang paling banyak memiliki atribut yang dinilai kritis oleh responden. Atribut kritis tersebut terletak pada minimnya jumlah kursi di lab IPA, tidak tersedianya bak cuci peralatan (wastafel), belum tersedianya peralatan/bahan percobaan dalam jumlah memadai, serta tidak tersedianya tabung pemadam kebakaran dan kotak P3K di lab IPA. Tempat ibadah (musholla) juga memiliki beberapa atribut kritis yaitu terkait dengan kurang luasnya kapasitas musholla di sekolah serta kurang memadainya jumlah kran wudhu di tempat wudhu putra dan putri. Begitu pula halnya dengan ruang konseling, ruang UKS, ruang terapi, jamban siswa, dan koridor sekolah jugamemiliki atribut kritis di dalamnya. Ruang konseling memiliki atribut kritis pada kurangnya instrument konseling bagi siswa, serta kurang rutinnya pengaplikasian alat tes kecerdasan bagi tunagrahita. Kemudian ruang UKS dirasa memiliki luas yang kurang memadai, lalu ruang terapi belum menyediakan jamban khusus siswa tunagrahita untuk terapi mengurus diri, dan juga jamban siswa belum dilengkapi kloset duduk untuk ABK, belum tersedia air bersih dalam jumlah memadai, belum tersedianya perlengkapan (gayung, gantungan pakaian, tempat sampah) di kamar mandi dalam kondisi baik, serta kurang terawatnya tangga ramp untuk siswa ABK. C. Analisa Hasil House of Quality (HOQ) Tahapan pertama pada House of Quality adalah penentuan isi dari matrix customer need. House of Quality menggunakan hasil dari pengolahan kategori must-be pada Kano Model sebagai inputan customer need. Kemudian berikutnya pada planning matrix terdapat benchmarking yang dilakukan dengan membandingkan pencapaian sarana prasarana sekolah terhadap aspek-aspek sarana prasarana yang di standarkan pada Permendiknas No 24 dan Permendiknas No 33. Benchmarking pada pada matriks ini menunjukkan hasil yang fair, dimana terdapat beberapa atribut yang mampu dipenuhi sekolah dengan lebih baik dari apa yang distandarkan, serta terdapat beberapa atribut yang masih jauh dibawah standar. Competitive analysis pada matrik ini menghitung sejauh apa peningkatan yang harus dilakukan sekolah melalui improvement ratio (IR). Masing-masing customer need akan memiliki nilai IR yang berbeda-beda sehingga dapat dibuat rank customer need yang memiliki IR terbesar hingga terkecil. Beberapa customer need yang memiliki rank tertinggi diantaranya adalah tidak tersedianya jalur evakuasi penyelamatan diri, tidak tersedianya kloset duduk khusus ABK, rendahnya perlengkapan safety building sekolah, serta tidak tersedianya wastafel cuci peralatan dan tabung pemadam kebakaran di lab IPA. Respon teknis yang
5 terbentuk pada matriks technical response berikutnya merupakan respon teknis yang dibentuk untuk perbaikan atau meningkatkan kualitas bagi customer need yang diampu. Dari 21 customer need yang kritis terdapat 22 respon teknis yang berhasil dibentuk. Dari 22 respon teknis tersebut beberapa diantaranya merupakan respon teknis yang mampu mengampu lebih dari satu customer need karena respon teknis tersebut merupakan respon teknis yang banyak dibutuhkan disegala aspek seperti respon teknis mengenai perawatan, pengadaan, permohonan dana renovasi,dll. Setelah pembentukan respon teknis, matriks berikutnya yang dianalisa adalah relationship matriks yang menggambarkan kuat tidaknya hubungan antara masingmasing respon teknis dengan masing-masing customer needs. Simbol Θ digunakan untuk menujukkan hubungan strong relationship, Simbol Ο digunakan untuk menujukkan hubungan medium relationship, serta simbol ▲ digunakan untuk menujukkan hubungan weak relationship. Sebagian besar hubungan yang ditunjukkan pada matriks tersebut merupakan hubungan strong relationship dan medium relationship karena masing-masing repon teknis memiliki pengaruh kuat dalam memperbaiki kualitas customer need yang diampunya. Correlation matrix berikutnya merupakan matriks yang berada pada atap HOQ, matriks ini menggambarkan kuat tidaknya hubungan antara respon teknis satu dengan respon teknis lainnya. Tidak semua respon teknis memiliki korelasi dengan respon teknis yang lainnya sehingga hanya beberapa respon teknis yang memiliki korelasi positif dan negatif. Korelasi positif yang muncul menunjukkan bahwa pemenuhan respon teknis yang satu akan menjadi penunjang kuat bagi pemenuhan respon teknis yang lainnya sedangkan korelasi negatif yang muncul merupakan korelasi yang akan menjatuhkan respon teknis yang satu dengan yang lain. Hal ini terjadi pada respon teknis yang mengacu pada penggunaan dana. Penggunaan dana pada suatu kebutuhan akan menyebabkan tertundanya penggunaan dana pada kebutuhan lain. Kemudian matriks yang terakhir merupakan technical matrix yang berada pada sisi paling bawah HOQ. Matriks ini merupakan matriks yang menghitung bobot dari masingmasing respon teknis berdasarkan tingggi rendahnya tingkat kepentingan customer need serta tinggi rendahnya relationship respon teknis tersebut dengan customer need. D. Analisa Rekomendasi Perbaikan Rekomendasi perbaikan yang utama dipilih berdasarkan respon teknis yang memiliki bobot tertinggi kemudian diambil customer need yang memiliki rank tertinggi. Pada HOQ, respon teknis yang memiliki bobot tertinggi adalah respon teknis mengenai perawatan sarana prasarana terkait dengan customer need pada rank tertingginya yaitu customer need mengenai perlengkapan safety building sekolah akan sistem penangkal petir dan tabung pemadam kebakaran, serta customer need mengenai ketersediaan perlengkapan di lab IPA dalam jumlah memadai. Perawatan yang dilakukan pada customer need mengenai perlengkapan safety building di sekolah dapat berupa pengecakan secara berkala terhadap sistem penangkal petir dan tabung pemadam kebakaran, memeperbaiki kerusakan, serta mengganti beberapa komponen yang rusak. Pihak sekolah juga perlu menambah tabung pemadam kebakaran untuk ditempatkan di beberapa titik yang rawan mengalami
JURNAL TEKNIK, (2013) 1-6 korsleting maupun kebakaran. Titik-titik kritis tersebut seperti di ruang lab IPA, lab komputer, ruang tata boga, ruang kantin dan titik di dekat trafo sekolah. Sejauh ini sekolah hanya menempatkan tabung pemadam kebakaran diruang guru, sehingga perlu penambahan tabung pemadam kebakaran di titik-titik kritis tersebut agar dapat segera ditangani ketika terjadi kebakaran. Supporting response dari warga sekolah terkait customer need ini dapat berupa menjaga peralatan-peralatan elektronik ketika badai petir datang seperti, menonaktifkan antenna televisi dan wi-fi sekolah agar tidak terkena gangguan dari badai petir, serta menjauhkan bahan-bahan berbahaya dari resiko korsleting, seperti tidak membawa air minum di ruang lab komputer untuk menghindari air yang tumpah ke soket listrik yang dapat menyebabkan korsleting. Laboratorium IPA juga memiliki banyak aspek yang perlu perawatan, yaitu kesediaan kotak P3K, tabung pemadam kebakaran, serta bahan dan peralatan percobaannya. Sama halnya dengan di perpustakaan, bahan dan peralatan percobaan membutuhkan standar prosedur penggunaan dan pengembalian peralatan percobaan. Petugas dan guru mata pelajaran terkait juga wajib mendampingi siswa saat mengambil takaran bahan percobaan agar penggunaannya sesuai kebutuhan. Setiap akan memasuki tahun ajaran baru, petugas wajib mengecek persediaan bahan percobaan dan kondisi peralatan percobaan yang akan digunakan untuk satu tahun pelajaran kedepan, sehingga saat melakukan percobaan siswa tidak kekurangan bahan dan alat percobaan. Disamping itu petugas juga perlu memberikan nomor seri tertentu pada peralatan percobaan, sehingga memudahkan dalam pencarian dan penanganannya ketika digunakan siswa untuk percobaan. Perawatan pada kotak P3K dan tabung kebakaran juga relatif mudah dilakukan. Petugas cukup mengecek persediaan obat-obatan setiap semester dan mencatat obat apa saja yang habis ataupun kadaluarsa sehingga dapat dibeli nantinya. Perawatan tabung kebakaran juga relatif mudah dimana sekolah sudah mampu menerapkan perawatan setahun sekali dengan mengganti dan/atau menambah isi dari tabung pemadam kebakaran tersebut, sehingga sekolah perlu menjaga konsistensi dari perawatan tersebut. Supporting response dalam hal ini adalah siswasiswi yang wajib menerapkan standar penggunaan sarana lab IPA yang telah diberikan sekolah secara baik dan benar, jika tidak siswa harus siap dikenai sanksi yang berlaku.
6
3.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis Pramesti mengucapkan terima kasih terutama kepada Allah SWT atas lindungan, rahmat, dan hidayah yang telah diberikan kepada penulis selama ini, serta ibunda tercinta Indah Sri Mujiwati, Alm. Papa Bambang Pujiono, dan Bapak Sarasono, kepada dosen pembimbing Bapak H. Hari Supriyanto, Ir., MSIE, serta Bu Triworo dan Pak Topik dari pihak sekolah SMPN 29 Surabaya yang telah bersedia untuk bekerja sama dan tidak lupa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah mendukung dalam penulisan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA [1] [2]
[3]
[4]
IV. KESIMPULAN DAN RINGKASAN Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Konsep Service Quality dikenal memiliki lima dimensi kualitas, dari kelima dimensi tersebut, dimensi atribut paling kritis yang didapatkan dari kusioner pendahuluan adalah dimensi tangibles dengan gap -2.231, kemudian diikuti dengan dimensi assurance -2.158, responsiveness -1.510, emphaty -1.501 dan reliability -1.435. Tangibles merupakan aspek fisik yang meliputi sarana prasarana sekolah inklusi, sehingga kuesioner akhir yang dibentuk meliputi masing-masing aspek sarana dan prasarana yang ada di sekolah inklusi 2. Sarana dan prasarana di sekolah inklusi tersebut relatif dapat dinilai cukup, dimana beberapa sarana prasarana dapat memenuhi standar yang diatur dalam
Permendiknas namun beberapa diantaranya masih belum dapat memenuhinya. Beberapa sarana prasarana yang belum dapat memenuhi standar yang diberikan adalah sarana prasarana lingkungan sekolah, perabot ruang kelas, perabot perpustakaan, perlengkapan percobaan lab IPA serta perlengkapan di ruang UKS. Kemudian beberapa sarana prasarana sekolah yang dapat memenuhi standar adalah sarana prasarana mushollah tempat beribadah, ruang konseling, jamban, ruang sirkulasi (koridor dan tangga sekolah), dan lapangan olah raga. Rekomendasi peningkatan kualitas terbentuk dari respon teknis kritis dari pengolahan House of Quality. Beberapa respon teknis kritis tersebut adalah “Perawatan sarana prasarana terkait”, “Pembelian sarana prasarana terkait”, “Mengajukan permohonan renovasi sarana prasarana terkait”, “Melakukan pengadaan bahan-bahan bangunan untuk renovasi” serta ”Melakukan perbaikan tata letak (relayout) sarana prasarana terkait”.
[5]
[6] [7]
[8]
[9]
Dinas Pendidikan Jawa Timur. 2012. Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif (TK, SD, SMP, SMU, SMK., Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur: Surabaya. Direktorat Jendral Pendidikan Dasar. 2012. Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009: Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar: Jakarta. Mikail, B. 2012. Sekolah Inklusi Belum Siap Menampung ABK. diakses 11 Oktober 2012, dari Kompas.com: http://health.kompas.com/read/2012/04/15/10551282/Sekolah.Inklusi. Belum.Siap.Menampung.ABK Rouf, Abdul. 2013. Jadi Percontohan, Sekolah Inklusi Minim Fasilitas. diakses 26 Maret 2013, dari http://daerah.sindonews.com/read/2013/02/05/23/714536/jadipercontohan-sekolah-inklusi-minim-fasilitas Sasongko, Bambang Aris. 2011. Sekolah Inklusi Baru Sekedar Label. diakses 26 Maret 2013, dari http://www.solopos.com/2011/11/27/sekolah-inklusi-baru-sekadarlabel-126145 Lee, Y. L. & Hing, N. 1995. Measuring Quality In Restaurant Operations : An Application Of The Servqual Instrument. Science. Vol. 14. Hal. 293-310. Chen, Li Fei. 2011. A Novel Approach to Regression Analysis for the Classification of Quality Attributes in the Kano Model: An Empirical Test in the Food and Beverage Industry. Omega. Vol. 40. Hal. 651659. Park, S., Ham, S. & Lee, M. 2012. How to Improve the Promotion of Korean Beef Barbecue, Bulgogi, for International Customers. An Application of Quality Function Deployment. Appetite. Vol. 49. Hal 324-332. Wijaya, Tony. 2011. Manajemen Kualitas Jasa: Desain Servqual, QFD, dan Kano Disertai Contoh Aplikasi Dalam Kasus Penelitian. PT. Indeks: Jakarta.