PENINGKATAN KUALITAS BATANG KELAPA SAWIT BAGIAN DALAM DENGAN METODE CLOSE SYSTEM COMPRESSION DAN KOMPREGNASI FENOL FORMALDEHIDA
RUDI HARTONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Peningkatan Kualitas Batang Kelapa Sawit Bagian Dalam dengan Metode Close System Compression dan Kompregnasi Fenol Formaldehida adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012 Rudi Hartono NIM E263070021
ABSTRACT RUDI HARTONO. Quality Enhancement of The Inner Part of Oil Palm Trunk by Close System Compression Method and by Phenol Formaldehyde Compregnation. Under direction of IMAM WAHYUDI, FAUZI FEBRIANTO and WAHYU DWIANTO.
Improvement of physical and mechanical properties of oil palm trunk could be done by close system compression (CSC) and by compregnation with fenol formaldehida. The aims of these researches were to determine the maximum compression level by studying the density distribution and stress-strain curves of oil palm trunk, to evaluated the fixation of the inner part of oil palm trunk by close system compression, heat treatment and steam treatment, to measured the physical, mechanical, anatomical and chemical of densified oil palm trunk by CSC, and to evaluated the physical and mechanical of phenol formaldehyde (PF)densified of oil palm trunk. The results showed that density of oil palm trunk was around 0.23-0.74 g/cm3. The density at the outer part was higher, and then decreasing toward the center of trunk. The stress-strain curves showed that water saturated and wet conditions were easier to compress than that of air dry condition. The compression level increased from the outer part to the center. The maximum compression levels of the center park were 67% in air dry condition and 72-73% in wet and water saturated conditions from their initial thickness. Fixation of the trunk by steam treatment method was achieved at 170 oC for 30 min, by CSC at 180 oC for 30 min, while by heat treatment was not yet fixed even at 200 oC for 180 min. Compression by CSC results in the improvement of the physical and mechanical properties of the inner part of oil palm trunk. The density, MOR, MOE and compression parallel to grain of densified-oil palm trunk were improved 3.33-90%, 14.31-192.81%, 43.22-192.74% and 18.93123.20%, from the initial samples (control), respectively. The chemical components especially holocellulose was decreased with the increasing of temperature and time of compression, but the other components (lignin, alfa cellulose, extractive by hot water and by alcohol-benzene) were increased. Then, PF compregnation results in the improvement of the physical and mechanical of the inner part of oil palm trunk. The density, MOR, MOE and compression parallel to grain of PF-densified oil palm trunk were improved 94.12–176.47%, 191.7–309.5%, 108.2–287.5%, and 83.72–191.75%, from the initial samples (control), respectively. The last, the inner part of oil palm trunk after treating by CSC and by compregnation PF is suitable for furniture material. Keyword : Close system compression, phenol formaldehyde, physical and mechanical properties, oil palm trunk, impregnation.
RINGKASAN RUDI HARTONO. Peningkatan Kualitas Batang Kelapa Sawit Bagian Dalam dengan Metode Close System Compression dan Kompregnasi Fenol Formaldehida. Dibimbing oleh IMAM WAHYUDI, FAUZI FEBRIANTO dan WAHYU DWIANTO. Batang kelapa sawit (BKS) memiliki potensi yang sangat besar untuk dijadikan sebagai pengganti kayu mengingat luas perkebunan kelapa sawit yang terus bertambah. Kendala pemanfaatan dari BKS adalah sifat-sifatnya yang kurang baik, seperti kembang susut yang tinggi, sifat kekuatan dan keawetan yang rendah, serta sifat permesinan yang jelek. Bakar et al. (2000) mengemukakan bahwa hanya 1/3 bagian terluar dari BKS yang memiliki sifat kekuatan yang baik sehingga bisa digunakan sebagai bahan bangunan dan furniture, sedangkan 2/3 bagian dalam kurang baik. Upaya perbaikan sifat-sifat BKS dapat dilakukan dengan modifikasi kayu, salah satunya adalah metode pemadatan. Sifat fisis dan mekanis kayu hasil pemadatan pada umumnya meningkat. Namun jika tanpa perlakuan tertentu, pemadatan yang dilakukan belum menghasilkan fiksasi permanen atau masih terjadi pemulihan tebal (recovery) apabila kayu tersebut terkena air atau kelembaban tinggi. Padahal fiksasi permanen mutlak dibutuhkan untuk penggunaan sebagai bahan bangunan atau furniture. Metode pemadatan dengan close system compression (CSC) yang merupakan modifikasi dari steam treatment adalah metode pemadatan yang menghasilkan fiksasi dalam waktu yang singkat. Recovery of set (RS) pemadatan kayu Sengon suhu 180 oC selama 30 menit menghasilkan RS sebesar 1.6%, sedangkan perendaman contoh uji dalam larutan NaOH 2% mampu menurunkan suhu menjadi 160 oC dengan RS sebesar 1.84% (Amin et al. 2007). Upaya fiksasi BKS dapat juga dilakukan dengan impregnasi fenol formaldehida (PF). Impregnasi PF ke dalam kayu mampu meningkatkan stabilitas dimensi (Ohmae et al. 2002; Rowell 2005; Furuno et al. 2004) dan mengurangi sifat higroskopis kayu (Hill 2006). PF juga secara signifikan meningkatkan sifat mekanis kayu (Shams et al., 2004, 2006, 2009). Walaupun penelitian impregnasi PF telah banyak dilakukan, namun penelitian penggunaan PF dalam CSC belum pernah dilakukan. Diharapkan penggunaan PF dalam CSC mampu meningkatkan penetrasi PF ke dalam kayu dan memperbaiki sifat-sifat BKS, baik stabilitas dimensi maupun sifat fisis dan mekanisnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kualitas BKS bagian dalam. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah menganalisis tingkat pemadatan maksimal yang dapat dilakukan pada BKS (berdasarkan distribusi kerapatan dan kurva stress strain), menganalisis fiksasi BKS bagian dalam dengan metode CSC, menganalisis sifat fisis, mekanis, anatomi dan kimia BKS bagian dalam yang dipadatkan dengan metode CSC dan menganalisis fiksasi dan sifat fisis-mekanis BKS terkompregnasi PF, serta menjelaskan fenomena yang terjadi pada proses pemadatan BKS melalui analisis derajat kristalinitas, perubahan komponen kimia dan Fourier Transform Infrared (FT-IR). Bahan yang digunakan adalah BKS. Untuk menganalisis tingkat pemadatan yang dapat dilakukan, ditebang sebanyak 3 pohon. Dari setiap pohon
diambil potongan berupa disk setebal 10 cm pada ketinggian 1 m, 3 m dan 5 m. Penentuan nilai kerapatan menggunakan contoh uji berukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm. Contoh uji diambil secara horizontal dari masing-masing potongan disk dan diberi nomor secara berurutan (tepi kiri ke tepi kanan). Sedangkan untuk contoh uji stress-strain diambil dari disk pada ketinggian 1 m dari bagian dekat kulit sampai ke pusat batang. Kemudian dikelompokkan menjadi 3 kondisi yaitu kering udara, basah dan jenuh air. Fiksasi BKS bagian dalam dengan metode CSC dibandingkan dengan metode heat treatment (HT) dan steam treatment (ST) dengan berbagai variasi suhu dan waktu. Parameter yang diukur adalah RS dan kehilangan berat/weight loss (WL). Pada BKS terpadatkan metode CSC ini dilakukan analisis sifat fisis, mekanis, kimia dan anatomi. Dari masing-masing sampel diambil untuk pengujian derajat kristalinitas dengan X-ray defraktometer. Pengamatan juga dilakukan untuk melihat perubahan gugus fungsi pada BKS yang dipadatkan dengan alat FTIR. Data dianalisis dengan uji rancangan acak lengkap faktorial dengan 4 kali ulangan. Faktor perlakuan adalah suhu 120, 140, 160 dan 180 oC dengan waktu 10, 20 30 dan 40 menit. Uji lanjut dilakukan dengan uji beda nyata uji wilayah berganda Duncan. Impregnasi PF dilakukan dengan pra-impregnasi berupa pemadatan awal (pemadatan awal dan tanpa pemadatan) dan variasi metode impregnasi (rendam, vakum, vakum tekan). Konsentrasi PF adalah 20 % dengan suhu curing 135 oC. Sifat-sifat yang diamati adalah sifat fisis, mekanis dan anatomi batang kelapa sawit terkompregnasi PF. Untuk melihat perubahan gugus fungsi pada kayu yang dipadatkan digunakan alat FTIR. Data dianalisis dengan uji rancangan acak lengkap sederhana dengan 4 kali ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi nilai kerapatan BKS tertinggi berada pada bagian tepi dekat kulit, kemudian menurun pada bagian tengah dan terendah terdapat pada bagian pusat dengan kerapatan berkisar antara 0.23-0.74 g/cm3. Distribusi kerapatan ini menyebabkan wilayah plastis kurva stress-strain yang dihasilkan semakin melandai dengan menurunnya kerapatan BKS, selain dipengaruhi juga oleh kondisi BKS (kering, basah dan jenuh air). Pada kerapatan yang sama, kurva stress-strain BKS sama dengan kurva stressstrain kayu Sengon pada arah tangensial. Tingkat pemadatan yang dapat dilakukan sangat berhubungan erat dengan nilai kerapatan dan kondisi BKS (kering, basah dan jenuh air). Tingkat pemadatan maksimal BKS pada bagian tepi dekat kulit masing-masing adalah sebesar 37% pada kondisi kering udara, 38% pada kondisi basah dan 47% pada kondisi jenuh air, sedangkan bagian pusat batang dapat dipadatkan sampai 67% pada kondisi kering udara, dan 72% pada kondisi basah atau jenuh air. Pada semua metode pemadatan (metode ST, HT dan ST), faktor suhu dan waktu sangat berkontribusi terhadap nilai RS dan WL. Metode pemadatan yang paling cepat untuk menghasilkan fiksasi adalah metode ST, diikuti metode CSC, dan terakhir metode HT. Namun nilai WL pada BKS bagian dalam yang paling tinggi dihasilkan oleh metode ST, diikuti metode CSC dan yang paling rendah adalah metode HT. Fiksasi BKS bagian dalam dengan metode ST dicapai pada suhu 170 oC selama 30 menit, dengan metode CSC pada suhu 180 oC selama 30 menit, sedangkan dengan metode HT hingga suhu 200 oC selama 180 menit (3 jam)
belum mencapai fiksasi. Walau fiksasi dengan metode CSC tidak secepat metode ST, namun metode ini memiliki beberapa kelebihan, antara lain lebih sederhana, mudah diaplikasikan, dapat digunakan pada contoh uji berukuran besar. Perbedaan nilai RS dan WL antara BKS bagian dalam dengan kayu Sengon disebabkan perbedaan struktur anatomi dan komposisi kimianya. Struktur anatomi BKS bagian dalam di dominasi oleh jaringan parenkim dasar yang banyak mengandung pati dan sedikit vascular bundles. Pemadatan dengan metode CSC mengakibatkan terjadinya peningkatan kristalinitas BKS bagian dalam akibat meningkatnya suhu dan waktu. Ada hubungan yang erat antara kristalinitas dengan sifat fisis dan mekanis BKS. Kerapatan BKS terpadatkan meningkat sebesar 3.33-90%, MOE sebesar 43.22192.74%, MOR sebesar 14.31-192.81% dan keteguhan tekan sejajar serat sebesar 18.93-123.20%. Walau sudah terjadi peningkatan, namun berdasarkan kelas kuat kayu (PKKI 1961), kerapatan masuk Kelas Kuat III, MOR dan keteguhan tekan sejajar serat masuk ke dalam Kelas Kuat V. Peningkatan suhu dan waktu pemadatan dengan CSC menyebabkan perubahan warna, struktur anatomi dan komponen kimia BKS terpadatkan. Semakin meningkat waktu dan suhu pemadatan menyebabkan warna BKS semakin gelap. Berdasarkan struktur anatomi dapat diketahui bahwa vascular bundles, pori dan jaringan parenkim dasar pada BKS yang dipadatkan menjadi memipih. Jarak antar vascular bundles akibat pemadatan juga cenderung lebih rapat. Pemadatan dengan CSC menyebabkan kadar holoselulosa berkurang, namun terjadi peningkatan kadar alfa selulosa, lignin, dan zat ekstraktif yang terlarut dalam alkohol benzen dan dalam air panas. Hasil FTIR antara BKS terpadatkan secara umum tidak terdapat perbedaan pita serapan yang jelas dibandingkan kontrol. Perubahan yang terjadi kebanyakan lebih kepada intensitasnya. Pada BKS yang dipadatkan, intensitas lebih meningkat dibandingkan dengan kontrol. Upaya untuk meningkatkan lagi kualitas BKS dilakukan dengan mengimpregnasi PF dengan berbagai metode. Metode impregnasi PF yang menghasilkan fiksasi rendah (RS di bawah 5%) adalah metode tanpa pemadatan awal (dengan vakum tekan atau vakum) dan metode pemadatan awal dengan vakum tekan. Metode ini menyebabkan banyak PF masuk ke dalam struktur BKS dan mengisi vessel (pori) serta jaringan parenkim dasar, diindikasikan dengan WG yang tinggi. Impregnasi PF yang masuk mampu meningkatkan fiksasi dan kerapatan BKS, serta sifat mekanisnya. Kerapatan meningkat sebesar 94.12-176.47%, MOR sebesar 191.7-309.5%, MOE 108.2-287.5%, sedangkan nilai keteguhan tekan sejajar serat meningkat sebesar 83.72-191.75%. Secara keseluruhan, sifat mekanis tertinggi dihasilkan dari perlakuan tanpa pemadatan awal dengan vakum tekan. Berdasarkan kelas kuat, kerapatan masuk Kelas Kuat I, MOR masuk Kelas Kuat III dan keteguhan tekan sejajar serat masuk Kelas Kuat IV. Peningkatan kualitas BKS bagian dalam telah dilakukan dengan metode CSC dan impregnasi PF. Pada metode CSC, sifat fisis dan mekanis meningkat sebesar 1.6-2.5 kali, sedangkan pada kompregnasi PF meningkat secara signifikan dengan peningkatan antara 3-5 kali dibandingkan nilai kontrol. Ditinjau dari fiksasi, sifat fisis dan mekanis, maka BKS bagian dalam yang telah ditingkatkan kualitasnya sesuai digunakan untuk bahan baku furniture non struktural.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebarkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENINGKATAN KUALITAS BATANG KELAPA SAWIT BAGIAN DALAM DENGAN METODE CLOSE SYSTEM COMPRESSION DAN KOMPREGNASI FENOL FORMALDEHIDA
RUDI HARTONO
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Mayor Rekayasa dan Peningkatan Mutu Hasil Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup
: 1. Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS. 2. Prof (R). Dr. Ir. Gustan Pari, MS.
Penguji pada Ujian Terbuka
: 1. Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr 2. Prof (R) Dr. Ir. Subyakto, MSc.
Judul Disertasi
:
Nama NRP Program Studi/mayor
: : :
Peningkatan Kualitas Batang Kelapa Sawit Bagian Dalam dengan Metode Close System Compression dan Kompregnasi Fenol Formaldehida Rudi Hartono E. 263070021 Rekayasa dan Peningkatan Mutu Hasil Hutan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS Ketua
Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS Anggota
Dr. Ir. Wahyu Dwianto, M.Agr Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi/Mayor Rekayasa dan Peningkatan Mutu Hasil Hutan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus :
17 Januari 2012
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2010 ini adalah Diversifikasi Fungsi Biodiversitas. Terima kasih penulis ucapkan kepada : 1. Prof Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS sebagai ketua Komisi Pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS. dan Dr. Ir. Wahyu Dwianto, M. Agr sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak membimbing dan memberikan masukan serta saran dalam berbagai kesempatan diskusi terkait dengan penelitian ini. Demikian juga penulis ucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS. dan Prof (R), Dr. Gustan Pari, MS. selaku penguji pada ujian tertutup, Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr dan Prof (R) Dr. Ir. Subyakto, MSc. selaku penguji pada ujian terbuka yang telah memberikan masukan dan saran. 2. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Pertanian USU Medan, atas segala bantuan dan kesempatan melanjutkan di Sekolah Pascasarjana IPB. 3. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang memberikan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS), Hibah Disertasi dan Program Sandwich sehingga penulis berkesempatan menimba ilmu di Jepang. 4. Laboratory of Active Bio-based Material, Research Institute for Sustainable Humanosphere, Kyoto University, khususnya Prof. Dr. Hiroyuki Yano dan Assoc. Prof. Dr. Toshiro Morooka, yang telah menerima dan memberikan segala bantuannya untuk program sandwich. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman PPI Kyoto atas segala persahabatannya. 5. Seluruh dosen khususnya di Departemen Hasil Hutan yang telah mencurahkan ilmu dan pengalamannya. 6. Kepala UPT Biomaterial, ketua kelompok peneliti, seluruh peneliti, pegawai dan teknisi di LIPI Cibinong yang telah memberikan ijin penelitian, dan segala bantuan, serta persahabatan selama penulis melaksanakan penelitian, khususnya pak Sumato, pak Saeful, pak Jayadi, pak Fajar dan pak Luky yang banyak membantu di laboratorium. 7. Staf di Laboratorium Sifat Dasar Bagian Peningkatan Mutu Kayu Departemen Hasil Hutan; Laboratorium Pengawetan Kayu, Laboratorium Anatomi Kayu, Laboratorium Pengolahan Kimia Hasil Hutan dan Energi Biomassa Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan
Departemen Kehutanan, Bogor yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis melaksanakan penelitian. 8. Teman-teman Jurusan Teknologi Hasil Hutan, mayor RPM dan TSK angkatan 2007, teman-teman dari PS Kehutanan USU, teman-teman Unwim yang banyak memberikan semangat dan bantuannya. 9. Para ustadz di DKM Al Hurriyah yang banyak memberi sentuhan ruhani dan semangat untuk menimba ilmu. 10. Kepada ayahanda M. Syarif, ibunda Samini, adik dan kakak serta seluruh keluarga di Medan. Demikian juga kepada ayahanda H. Khusnu Fahmi, ibunda Hj. Junariah dan seluruh keluarga di Serang, Banten atas segala doa dan kasih sayangnya. 11. Istriku tercinta Candrasari, anandaku M. Azman dan M. Taufiqurrahman terima kasih atas segala cinta, dukungan dan pengorbanannya selama penulis melaksanakan studi di Bogor. Selain itu, Alhamdulillah Disertasi ini dapat terselesaikan atas segala bantuan dari berbagai pihak yang tidak dapat penulis ucapkan satu per satu. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesarbesarnya. Semoga amal baik bapak ibu di balas oleh Allah SWT. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Januari 2012 Rudi Hartono
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Medan pada tanggal 9 April 1970 sebagai anak ke-3 dari pasangan M. Syarif dan Samini. Penulis menikah dengan Candrasari dan alhamdulillah dikarunia dua orang putra yaitu M. Azman dan M. Taufiqurrahman. Pendidikan sarjana di tempuh di Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, lulus tahun 1994. Pada tahun 1998, diterima sebagai mahasiswa S2 di Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) dengan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) yang diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia dan lulus pada tahun 2001. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada mayor Rekayasa dan Peningkatan Mutu Hasil Hutan (RPM) diperoleh pada tahun 2007 dengan beasiswa BPPS. Selama mengikuti program S3, penulis aktif mengikuti seminar Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) dan Indonesian Wood Research Society (IWoRS). Seminar Mapeki yang diikuti antara lain MAPEKI XI pada bulan Agustus 2008 di Palangkaraya, MAPEKI XII yang diadakan di Bandung pada bulan Juli 2009, dan pada bulan November 2010 dilaksanakan MAPEKI XIII di Bali dan MAPEKI XIV yang diadakan di Yogyakarta pada bulan November 2011. Ada 4 makalah yang berkaitan dengan penelitian batang kelapa sawit yang dipublikasikan. Pada IWoRS II yang dilaksanakan di Bali tahun 2010, disajikan karya ilmiah dengan judul Curing Time Effect on Physical and Mechanical Properties of Phenol Formaldehyde-Densified Oil Palm Wood, sedangkan pada MAPEKI XIV tahun 2011 disajikan karya ilmiah dengan judul Peningkatan Kualitas Batang Kelapa Sawit Bagian Dalam dengan Metode Close System Compression. Karya ilmiah yang sudah dipublikasikan di Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan Vol 3 No. 2 tahun 2010 dengan judul Pengaruh Waktu Impregnasi dan Konsentrasi Phenol Formaldehyde terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Batang Kelapa Sawit Terpadatkan dan di Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis Vol 9 No. 1 tahun 2011 dengan judul Pengukuran Tingkat Pemadatan Maksimum Batang Kelapa Sawit. Saat mengikuti program S3, penulis diterima untuk hibah program Sandwich. Negara yang menjadi tujuan program ini adalah Jepang, tepatnya di Laboratory of Active Bio-based Material, Research Institute for Sustaianble Humanosphere, Kyoto University. Program ini dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan November 2009 sampai Januari 2010. Penulis pernah bekerja sebagai staf pengajar di Universitas Winaya Mukti (UNWIM) sejak tahun 1995 – 2003. Pada tahun 2004 diterima sebagai staf pengajar di Program Studi Ilmu Kehutanan, Fahultas Pertanian USU, Medan.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL……………………………………………………….
xvii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………
xviii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………..
xx
1. PENDAHULUAN……………………………………………........... Latar Belakang…………………………………………………… Tujuan Penelitian………………………………………………… Manfaat Penelitian……………………………………………….. Hipotesis Penelitian………………………………………………. Noveltis ………………………………………………………….. Kerangka Pemikiran………………………………………………
1 1 3 4 4 4 5
2. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………… Perkebunan Kelapa Sawit………………………………………... 1. Klasifikasi Kelapa Sawit ……………………………………… 2. Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit…………………………. 3. Potensi Peremajaan Kelapa Sawit………………………........... Sifat-sifat Batang Kelapa Sawit…………………………………. 1. Sifat Anatomi…………………………………………………. 2. Kadar Air……………………………………………………... 3. Kerapatan……………………………………………………... 4. Kerapatan Ikatan Pembuluh…………………………………... 5. Penyusutan……………………………………………………. 6. Sifat Mekanis…………………………………………………. 7. Sifat Kimia……………………………………………………. Pemadatan Kayu…………………………………………………. Fenol Formaldehida…………………………………………….
7 7 7 7 8 9 9 11 11 12 12 12 13 14 17
3. DISTRIBUSI KERAPATAN DAN STRESS-STRAIN BATANG KELAPA SAWIT…………………………………………………… Pendahuluan……………………………………………………… Bahan dan Metode……………………………………………….. Hasil dan Pembahasan …………………………………………… Distribusi Kerapatan ………………………………………….. Kurva Stress-strain …………………………………………… Tingkat Pemadatan Maksimal (Maximum Compression Level) Perbandingan dengan Stress-Strain Kayu Sengon ……………. Simpulan………………………………………………………….
19 19 19 22 22 25 27 29 30
4. FIKSASI BATANG KELAPA SAWIT BAGIAN DALAM DENGAN METODE CLOSE SYSTEM COMPRESSION Pendahuluan……………………………………………………… Bahan dan Metode………………………………………………..
31 31 31
Hasil dan Pembahasan …………………………………………… Recovery of Set (Pemulihan Tebal) …………………………. Weight Loss (Kehilangan Berat) ……………………………... Perbandingan dengan RS dan WL Kayu Sengon …………….. Simpulan………………………………………………………….
34 34 37 41 42
5. PENINGKATAN MUTU BATANG KELAPA SAWIT BAGIAN DALAM DENGAN CLOSE SYSTEM COMPRESSION………...... Pendahuluan……………………………………………………… Bahan dan Metode……………………………………………….. Hasil dan Pembahasan …………………………………………… Penampilan BKS Terpadatkan………………………………… Sifat Anatomi BKS …………………………………………… Sifat Fisis BKS……………………………………………….. Sifat Mekanis BKS .................................................................... Kristalinitas .................................. ............................................. Sifat Kimia BKS.......................... .............................................. Simpulan………………………………………………………….
45 45 45 48 48 49 51 53 55 59 61
6. FIKSASI DAN SIFAT FISIS-MEKANIS BATANG KELAPA SAWIT TERKOMPREGNASI FENOL FORMALDEHIDA……… Pendahuluan……………………………………………………… Bahan dan Metode……………………………………………….. Hasil dan Pembahasan …………………………………………… Sifat Fisis BKS Terkompregnasi PF…………………………… Sifat Mekanis BKS Terkompregnasi PF………………………. Simpulan………………………………………………………….
63 63 63 66 66 68 74
7. PEMBAHASAN UMUM……………………………………………
75
8. SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………..
Simpulan ………………………………………………………… Saran ……………………………………………………………..
83 83 85
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………..
87
LAMPIRAN……………………………………………………………. .
93
xvi
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Luas areal kelapa sawit menurut propinsi di seluruh Indonesia….
8
2
Potensi Peremajaan Kelapa Sawit di Beberapa Provinsi…………
9
3
Hasil analisa kimia pada berbagai posisi kedalaman batang …….
13
4
Tingkat pemadatan maksimal BKS pada 3 (tiga) kondisi……………………………………………………………
27
Variasi suhu dan waktu yang digunakan pada pemadatan metode HT, ST dan CSC………………………………………………….
32
Skema suhu pelunakan dan degradasi komponen kimia kayu……………………………………………………………….
40
Perbandingan nilai RS dan WL antara BKS bagian dalam dan kayu sengon dengan metode CSC……………………
42
Komponen kimia BKS bagian dalam yang terpadatkan dengan metode CSC....................................................................................
59
9
Skema metode impregnasi PF.........................................................
64
10
Sifat fisis BKS terkompregnasi PF……………………………….
66
11
Perbandingan kualitas BKS bagian dalam yang terpadatkan dengan metode CSC dan terkompregnasi PF…………………….
81
5 6 7 8
xvii
DAFTAR GAMBAR Halaman
1
Diagram alir penelitian………………………………………….
6
2
Vascular bundles dengan 1 buah vessel besar (a) dan 3 buah vessel besar (b) pada bidang lintang menggunakan light microscopy ………………………………………………………
10
Struktur vascular bundles dari BKS pada bidang lintang dengan keberadaan jaringan parenchymatous ground, vessels, fibres dan phloem ……………………………………….
11
Rangkaian peralatan pada ST (A) Autoclave yang dilengkapi alat kempa, (B) Boiler, (C) Mesin pengatur suhu, tekanan dan kecepatan tekan ………………………………………………….
16
5
Peralatan pada CSC, (A) Hot press, (B) Autoclave plat besi…….
17
6
Cara pengambilan dan pembuatan contoh uji kerapatan dan stress-strain………………………………………………………
20
7
Penentuan tingkat pemadatan maksimal…………………………
21
8
Penentuan tingkat stoke strain…………………………………...
21
9
Distribusi kerapatan BKS pada berbagai ketinggian batang…….
23
10
Distribusi kerapatan vascular bundles BKS dari bagian tepi (dekat kulit) menuju ke pusat …………………………………..
23
Kurva stress-strain BKS: A) Kondisi Kering Udara, B) Kondisi Basah, dan C) Kondisi Jenuh Air ……………………………….
26
Hubungan antara kerapatan BKS dengan stroke strain (%) pada kondisi kering udara, basah dan jenuh air ……..........................
28
Perbandingan antara kurva stress-strain BKS dengan kayu sengon …………………………………………………………...
29
Perbandingan struktur kayu pada penampang lintang antara BKS (A) dengan kayu sengon (B) ………………
30
Nilai RS dengan metode HT pada berbagai variasi suhu dan waktu ……………………………………………………………
34
Nilai RS dengan metode ST pada berbagai variasi suhu dan waktu ……………………………………………………………
34
Nilai RS dengan metode CSC pada berbagai variasi suhu dan waktu ……………………………………………………………
35
Nilai RS pada berbagai metode pemadatan …………………….
35
3
4
11 12 13 14 15 16 17 18
xviii
19
Nilai WL dengan metode HT pada berbagai variasi suhu dan waktu …………………………………………………………….
37
Nilai WL dengan metode ST pada berbagai variasi suhu dan waktu ……………………………………………………………
38
Nilai WL dengan metode CSC pada berbagai variasi suhu dan waktu …………………………………………………………….
38
22
Nilai WL pada berbagai metode pemadatan …………………….
39
23
Hubungan antara nilai RS dan WL pada metode ST dan CSC….
41
24
Penampilan BKS terpadatkan dengan metode CSC ……………
49
25
Penampang lintang BKS: (A) Kontrol (B) Pemadatan dengan perbesaran 30x, (C) Kontrol, (D) Pemadatan dengan perbesaran 50x ………………………………………………..……………..
50
Penampang pada arah longitudinal BKS: (A) Kontrol dan (B) Pemadatan dengan perbesaran 50x ……………………………..
50
Hubungan antara RS dan kerapatan pada berbagai suhu dan waktu pemadatan ..........................................................................
51
28
Nilai MOE BKS terpadatkan dengan metode CSC......................
53
29
Nilai MOR BKS terpadatkan dengan metode CSC.....................
53
30
Nilai keteguhan tekan sejajar serat BKS terpadatkan dengan metode CSC...................................................................................
54
31
Nilai kristalinitas BKS terpadatkan .............................................
55
32
Hubungan kristalinitas dengan (1) MOE, (2) MOR dan (3) keteguhan tekan sejajar serat ........................................................
56
Pita serapan FTIR batang kelapa sawit pada kondisi kontrol dan yang terpadatkan............................................................................
57
Hubungan antara (1) kerapatan dengan WG dan (2) RS dengan WG……………………………………………………………….
67
35
Nilai MOR BKS terkompregnasi PF…………………………….
69
36
Nilai MOE BKS terkompregnasi PF…………………………….
69
37
Nilai keteguhan tekan sejajar serat BKS terkompregnasi PF……
69
38
Hubungan antara (1) MOR dengan WG, (2) MOE dengan WG dan (3) keteguhan tekan sejajar serat dengan WG …………….
71
Resin PF yang menempati rongga vessel dan parenkim dasar pada (A) penampang lintang dan (B) penampang radial ………..
72
Pita serapan FTIR batang kelapa sawit pada kondisi kontrol dan yang terkompregnasi PF ...............................................................
73
20 21
26 27
33 34
39 40
xix
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1
Distribusi kerapatan batang kelapa sawit dari bagian tepi kiri ke tepi kanan pada berbagai ketinggian…………………………….
93
Nilai RS dan WL dengan metode CSC pada berbagai variasi suhu dan waktu…………………………………………………..
94
Nilai RS dan WL dengan metode heat treatment pada berbagai variasi suhu dan waktu…………………………………………..
95
Nilai RS dan WL dengan metode steam treatment pada berbagai variasi suhu dan waktu…………………………………………..
96
Analisis sidik ragam terhadap RS dan WL batang kelapa sawit terpadatkan dengan metode ST, HT dan CSC…………………..
97
Uji wilayah berganda Duncan terhadap RS dan WL batang kelapa sawit terpadatkan dengan metode ST, HT dan CSC…….
99
Pengujian komponen kimia BKS (kadar air, kelarutan ekstraktif dalam alkohol benzen, kelarutan ekstraktif dalam air panas, klason lignin, holoselulosa dan alfa selulosa)……………………
101
Sifat fisis dan mekanis batang kelapa sawit terpadatkan dengan CSC................................................................................................
105
Analisis sidik ragam terhadap sifat fisis dan mekanis batang kelapa sawit terpadatkan dengan CSC..........................................
108
10
Uji wilayah berganda Duncan terhadap RS..................................
110
11
Kristalinitas batang kelapa sawit...................................................
111
12
Analisis komponen kimia batang kelapa sawit bagian dalam yang telah dipadatkan dengan metode CSC…………………….
113
2 3 4 5 6 7
8 9
13 14 15 16
xx
Inspeksi data perekat fenol formaldehida (PT. Palmolite Adhesive Industri).......................................................................... Sifat fisis dan mekanis batang kelapa sawit terkompregnasi PF………………………………………………………………..
115 116
Analisis sidik ragam terhadap sifat fisis dan mekanis batang kelapa sawit terkompregnasi PF…………………………………
118
Uji wilayah berganda Duncan terhadap sifat fisis dan mekanis batang kelapa sawit terkompregnasi PF …………………............
120
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 1970-an baru seluas 133 298 ha. Namun, pada tahun 2009 luas areal perkebunan kelapa sawit tersebut telah mencapai lebih dari 8.25 juta ha, dan tersebar di 22 provinsi di Indonesia (Departemen Pertanian 2010). Mengingat potensinya yang sangat besar dengan aksesibilitas yang tinggi dan bentuk morfologi batang yang silindris, maka batang kelapa sawit (BKS) dapat dijadikan sebagai alternatif pengganti kayu yang sangat menjanjikan terutama hasil kegiatan peremajaan, yang selama ini kurang dimanfaatkan dan hanya dijadikan limbah. Menurut Febrianto & Bakar (2004), dari kegiatan peremajaan kebun sawit dapat dihasilkan kayu gergajian sebanyak 50.1 m3/ha hanya dari bagian tepi batang. Pemanfaatan BKS dalam bentuk utuh memiliki beberapa permasalahan. Hal ini terkait dengan sejumlah kelemahan yang ada, khususnya dalam hal stabilitas dimensi, kekuatan, keawetan dan sifat permesinan. Stabilitas dimensi BKS tergolong sangat rendah dengan variasi susut sebesar 9.2-74%, kekuatan masuk dalam Kelas Kuat III–V, keawetan Kelas Awet V dan sifat permesinan Kelas V (Bakar et al. 1998, 1999a, 1999b). Ratanawilai et al. (2006) bahkan mengemukakan bahwa sifat mekanis BKS 2 kali lebih rendah dibandingkan kayu jati dan karet yang sering digunakan sebagai bahan baku pembuatan furniture. Bakar et al. (2000) mengemukakan bahwa hanya 1/3 bagian terluar dan 3/4 bagian terbawah dari BKS yang dapat digunakan sebagai bahan bangunan konstruksi ringan dan furniture karena memiliki sifat fisis dan mekanis yang lebih baik. Sisanya kurang baik. Oleh karena itu perlu upaya-upaya alternatif agar 2/3 bagian dalam BKS dapat dimanfaatkan. Salah satunya adalah dengan cara pemadatan (densifying by compression).
Berdasarkan hasil-hasil penelitian
terdahulu menggunakan kayu, pemadatan ternyata mampu meningkatkan sifat fisis dan sifat mekanis secara signifikan misalnya pada kayu Sugi (Inoue & Norimoto, 1991; Dwianto et al. 1997); Agathis (Sulistyono 2003); Sengon (Darmaji 2003); dan batang Kelapa (Wardhani 2005).
2
Jika tanpa perlakuan tertentu, kayu yang dipadatkan (untuk selanjutnya ditulis kayu terpadatkan) cenderung akan kembali ke bentuk semula (recovery) akibat adanya pengaruh kelembaban atau perendaman. Ini adalah permasalahan utama pada proses pemadatan. Padahal, fiksasi yang permanen atau recovery of set (RS) sebesar 0% sangat dibutuhkan agar kayu terpadatkan dapat digunakan sebagai alternatif pengganti kayu komersial. Banyak usaha yang telah dilakukan untuk membuat kayu terpadatkan mencapai fiksasi yang permanen. Salah satunya adalah dengan metode heat treatment (HT) yaitu pemadatan kayu dalam kondisi kering menggunakan suhu tinggi.
Menurut Inoue & Norimoto (1991), fiksasi permanen pada proses
pemadatan dengan HT dapat dicapai pada suhu 180 oC selama 20 jam, atau pada suhu 200 oC selama 5 jam, atau pada suhu 220 oC selama 3 jam. Namun akibat penggunaan suhu tinggi dan lamanya waktu pemadatan mengakibatkan berkurangnya sifat mekanis kayu seiring dengan kehilangan berat kayu. Steam treatment (ST) merupakan metode lain yang digunakan untuk mencapai fiksasi permanen. Pada metode ini, uap air panas bertekanan tinggi dari boiler dimasukkan ke dalam autoclave yang dilengkapi dengan alat kempa tahan panas (Inoue et al. 1993). Lebih lanjut Inoue et al. (1993) mengemukakan bahwa dengan tekanan uap panas dalam autoclave sebesar 9-20 kg/cm2 maka fiksasi permanen dapat terjadi pada suhu 180 oC selama 8 menit, atau pada suhu 200 oC selama 1 menit. Demikian juga Ito et al. (1998) yang mengemukakan bahwa fiksasi tercapai pada suhu 200 oC selama 3 menit, sedangkan Morsing (2000) mengungkapkan bahwa fiksasi terjadi pada suhu 190 oC selama 15 menit. Menurut Dwianto et al. (1999), fiksasi tersebut disebabkan karena adanya pelepasan tegangan (stress relaxation) akibat terdegradasinya komponen kimia kayu. Kelebihan dari metode ini adalah fiksasi dapat dihasilkan dalam waktu singkat dan tidak banyak mengurangi sifat mekanis kayu. Namun kelemahannya adalah membutuhkan peralatan yang sangat mahal, seperti boiler, autoclave dan alat kempa tahan panas. Metode pemadatan yang merupakan modifikasi dari ST adalah thermohydro-mechanical. Prinsip kerja metode ini hampir sama dengan ST yaitu memasukkan uap panas ke dalam autoclave untuk membuat kayu menjadi plastis,
3
kemudian dipadatkan dengan tekanan yang tinggi. Kelebihan pada metode ini adalah tidak merusak struktur kayu secara berlebihan dan nilai RS yang sangat kecil (Navi & Girardet 2000; Heger et al. 2004). Metode ST kemudian dimodifikasi oleh Amin & Dwianto (2006) dengan nama close system compression (CSC). Metode CSC mempunyai prinsip yang sama dengan ST. Alat cetakan CSC yang terbuat dari stainless steel dilengkapi dengan 2 lubang, yaitu untuk keluarnya uap air dan untuk mengukur besar tekanan pada saat pemadatan. Hasil penelitian Amin & Dwianto (2006) mengungkapkan bahwa penggunaan CSC pada kayu Randu jenuh air pada suhu 180 oC selama 30 menit menghasilkan RS sebesar 9.60%, sedangkan dengan penambahan air sebanyak 400 ml menghasilkan RS sebesar 8.92%. Lebih lanjut Amin et al. (2007) mengemukakan bahwa pada kayu Sengon suhu 180
o
C selama 30 menit
menghasilkan RS sebesar 1.6%, sedangkan perendaman contoh uji dalam larutan NaOH 2% mampu menurunkan suhu menjadi 160 oC dengan RS sebesar 1.84%. Selain metode pemadatan dengan suhu tinggi, penggunaan resin seperti fenol formaldehida (phenol formaldehyde = PF) merupakan metode yang efektif untuk mencapai fiksasi yang permanen. Impregnasi PF ke dalam kayu mampu meningkatkan stabilitas dimensi (Ohmae et al. 2002; Rowell 2005; Furuno et al. 2004) dan mengurangi sifat higroskopis kayu (Hill 2006). PF juga secara signifikan meningkatkan sifat mekanis kayu (Shams et al., 2004, 2006, 2009). Walaupun penelitian impregnasi PF telah banyak dilakukan, namun penelitian penggunaan resin PF dengan metode CSC belum pernah dilakukan. Diharapkan penggunaan PF dengan metode CSC, mampu meningkatkan penetrasi PF ke dalam kayu dan juga memperbaiki sifat-sifat kayu dalam hal ini BKS, baik stabilitas dimensi maupun sifat fisis dan mekanisnya.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas BKS bagian dalam. Adapun tujuan khususnya adalah: 1. Menganalisis tingkat pemadatan maksimal yang dapat dilakukan pada BKS (berdasarkan distribusi kerapatan dan kurva stress strain).
4
2. Menganalisis fiksasi BKS bagian dalam dengan metode CSC. 3. Menganalisis sifat fisis, mekanis, anatomi dan kimia BKS bagian dalam yang dipadatkan dengan metode CSC. 4. Menganalisis fiksasi dan sifat fisis-mekanis BKS terkompregnasi PF. 5. Menjelaskan fenomena yang terjadi pada proses pemadatan BKS melalui analisis derajat kristalinitas, perubahan komponen kimia dan Fourier Transform Infrared (FT-IR).
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat mengenai pemanfaatan BKS bagian dalam. Secara khusus, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat pada masyarakat mengenai: 1.
Tingkat pemadatan yang dapat dilakukan terhadap BKS.
2.
Sifat-sifat BKS terpadatkan khususnya dengan metode CSC
3.
Sifat-sifat BKS terpadatkan dengan metode CSC dan kompregnasi PF
Hipotesis Penelitian 1. Tingkat pemadatan yang diterapkan pada BKS berbeda menurut bagian batang. 2. Fenomena fiksasi pada BKS bagian dalam berbeda dengan fenomena pada kayu umumnya. 3. Pemadatan dengan CSC meningkatkan sifat fisis dan mekanis BKS bagian dalam. 4. Impregnasi PF ke dalam BKS bagian dalam menghasilkan fiksasi permanen dan meningkatkan sifat fisis dan mekanisnya.
Noveltis Noveltis dari penelitian ini adalah : 1. Informasi ilmiah tentang hubungan antara kerapatan dengan tingkat pemadatan maksimal yang dapat diterapkan pada BKS.
5
2. Pemadatan BKS dapat dilakukan pada berbagai arah, tidak seperti pada kayu umumnya. 3. Penggunaan metode CSC untuk mencapai fiksasi permanen pada BKS bagian
dalam mendekati metode ST.
Kerangka Pemikiran Selama ini BKS hasil peremajaan pohon yang sudah tua dan tidak produktif hanya menjadi limbah tanpa ada pemanfaatan yang berarti. Hal ini dikarenakan sejumlah kelemahan yang ada pada BKS apabila digunakan dalam bentuk utuh khususnya dalam hal stabilitas dimensi, kekuatan, keawetan dan sifat permesinan. BKS yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan konstruksi ringan dan furniture hanya 1/3 bagian luar (Bakar et al. 2000), sedangkan 2/3 bagian dalam tidak. Sehingga perlu upaya-upaya agar 2/3 bagian dalam BKS tersebut dapat dimanfaatkan. Salah satunya adalah dengan cara memadatkan BKS. Pemadatan pada umumnya mampu meningkatkan sifat fisis dan mekanis kayu. Namun untuk mencapai fiksasi diperlukan perlakuan selanjutnya. Berbagai metode pemadatan telah dikembangkan, seperti heat treatment, steam treatment, dan CSC. Metode CSC merupakan modifikasi dari metode steam treatment. Metode ini merupakan salah satu metode pemadatan yang mampu menghasilkan fiksasi dalam waktu singkat. Agar pemadatan dengan CSC dapat dilakukan dengan baik, maka perlu diketahui terlebih dahulu distribusi kerapatan dan kurva stress-strain. Dari kedua data tersebut, akan dapat ditentukan tingkat pemadatan yang maksimal yang dapat diterapkan pada BKS bagian dalam. Selanjutnya dicari kondisi optimal berdasarkan variasi suhu dan waktu untuk mencapai fiksasi BKS bagian dalam dengan metode CSC. Sebagai pembanding, dilakukan juga penentuan fiksasi dengan metode heat treatment dan juga steam treatment, sehingga diketahui metode mana yang paling efektif. Kemudian dianalisis sifat fisis, mekanis, dan kimia BKS terpadatkan dengan CSC untuk mengetahui perlakuan yang paling optimal. Selain itu, penggunaan PF diketahui mampu meningkatkan stabilitas dimensi. Pra-impregnasi PF dilakukan untuk mengetahui keefektifan masuknya
6
PF ke dalam struktur BKS dan menganalisis fiksasi, sifat fisis dan mekanisnya. Selama ini pematangan PF menggunakan panas yang berasal dari hot press, sedangkan dengan pemadatan metode CSC belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, dicoba untuk memadukan kompregnasi PF dengan pemadatan metode CSC. Tahap-tahap penelitian disajikan pada Gambar 1. Perkebunan Kelapa Sawit : Hasil peremajaan sangat berpotensi sebagai bahan baku kayu
1/3 bagian luar sesuai untuk konstruksi ringan dan furniture
PEMANFAATAN BATANG KELAPA SAWIT
2/3 bagian bagian dalam tidak sesuai untuk konstruksi ringan dan furniture
Distribusi Kerapatan dan Stress-strain BKS
Fiksasi BKS dengan metode CSC (dibandingkan dengan metode HT dan ST)
Riset 1
Riset 2
Sifat-sifat BKS terpadatkan dengan CSC (Fisis, mekanis, kimia, anatomi, kristalinitas dan FTIR)
Riset 3
Fiksasi dan sifat-sifat BKS terkompregnasi dengan pra-impregnasi PF (Fisis, mekanis, dan FTIR)
Riset 4
BKS bagian dalam sebagai bahan baku furniture
Gambar 1. Diagram alir penelitian
7
2. TINJAUAN PUSTAKA Perkebunan Kelapa Sawit 1. Klasifikasi Kelapa Sawit Tomlinson (1961) mengemukakan bahwa menurut pengklasifikasiannya, kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tanaman yang tergolong:
2.
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Famili
: Arecaceae (Palmae)
Subfamili
: Cocoidae
Genus
: Elaeis
Spesies
: guineensis
Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Di Indonesia perkebunan kelapa sawit mulai dikembangkan sejak tahun
1970 dengan luas areal mencapai 133.298 hektar. Tahun-tahun berikutnya luas areal bertambah dengan laju sekitar 11% per tahun, dari 1.126 juta ha pada tahun 1991 mencapai sekitar 3.584 juta ha pada tahun 2001 (Susila 2003). Menurut data Departemen Pertanian (2010) pada tahun 2009 luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah mencapai lebih dari 8.25 juta ha yang tersebar di 22 provinsi di Indonesia. Provinsi Riau dan Sumatera Utara merupakan provinsi dengan areal perkebunan yang terluas. Data mengenai penyebaran perkebunan kelapa sawit disajikan pada Tabel 1.
8
Tabel 1. Luas areal kelapa sawit menurut provinsi di seluruh Indonesia Luas Lahan Perkebunan Sawit (Ha) pada Tahun No.
Provinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
2005
2006
2007
2008
2009
Nanggroe Aceh D. Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung Jawa Barat Banten Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Sulawesi Barat Papua Papua Barat
254.261 894.911 282.518 1.277.703 13.698 403.477 548.678 130.037 147.125 148.535 8.744 14.076 381.791 434.481 134.621 201.236 48.334 16.018 466 57.476 39.090 16.540
308.560 979.541 315.618 1.547.942 6.933 568.751 630.214 133.284 165.221 157.229 9.831 14.077 492.112 571.874 243.451 237.765 48.431 24.490 2.966 75.154 29.736 31.734
274.822 998.966 291.734 1.620.882 6.678 448.899 682.730 172.227 163.455 152.409 10.550 14.894 451.400 616.331 257.862 339.294 52.298 15.708 18.912 115.906 29.736 31.144
287.038 1.017.574 327.653 1.673.553 8.256 484.137 690.729 185.508 202.863 152.511 11.531 14.894 499.548 870.201 290.852 409.566 47.336 15.944 21.033 94.319 27.657 31.144
313.745 1.044.854 344.352 1.925.344 2.645 489.384 775.339 141.897 224.651 153.160 12.140 15.023 602.124 1.091.620 312.719 530.552 65.055 17.407 21.669 107.249 26.256 31.142
TOTAL
5.453.816
6.594.914
6.766.837
7.363.847
8.248.327
Sumber : Departemen Pertanian 2010
3. Potensi Peremajaan Kelapa Sawit Peremajaan kelapa sawit pada umumnya dilakukan pada umur 25 tahun. Susila (2003) mengemukakan bahwa secara umum potensi peremajaan adalah berkisar antara 20000-50000 ha per tahun. Pada tahun 2003-2004, potensi areal untuk peremajaan adalah sekitar 20 ribu ha per tahun. Pada tahun 2005, potensi areal peremajaan meningkat menjadi sekitar 30 ribu ha. Potensi areal peremajaan meningkat cukup pesat pada tahun 2009 dan 2010 yang masing-masing mencapai sekitar 50 ribu dan 37 ribu ha.
9
Areal yang potensial untuk diremajakan terutama berada di lima provinsi utama (Tabel 2). Tabel 2. Potensi Peremajaan Kelapa Sawit di Beberapa Provinsi Provinsi
Areal Peremajaan (ha)
Sumatera Utara
6644 – 16609
Riau
5144 – 12860
Sumatera Selatan
2520 – 6300
Kalimantan Barat
2080 – 5200
Aceh
1600 – 4000
Lainnya
2013 – 5031
Sumber: Susila (2003)
Sifat-sifat Batang Kelapa Sawit 1. Sifat Anatomi Tanaman kelapa sawit termasuk dalam kelas monokotil. Dalam pertumbuhannya, tanaman monokotil berbeda dengan tanaman dikotil karena tidak dijumpai adanya meristem lateral, sehingga pada monokotil pertumbuhan hanya ditentukan oleh meristem apikal. Hal ini dapat dilihat dari bentuk batang yang tidak mengalami penambahan diameter sepanjang hidupnya (Killmann & Choon 1985; Prayitno 1991). Pada penampang transversalnya, Killmann & Choon (1985) membagi BKS menjadi 3 bagian yaitu cortex, peripheral region dan central zone. Cortex merupakan bagian terluar batang dengan tebal sekitar 1.5-3.5 cm. Peripheral region merupakan wilayah yang agak gelap, yang sangat padat dengan vascular bundles dan sedikit parenchyma. Bagian ini memberikan kekuatan terhadap BKS. Daerah central merupakan wilayah yang paling luas sekitar 80% dari total area. Erwinsyah (2008) membagi penampang lintang batang menjadi 3 bagian yaitu peripheral, central dan inner zone. Peripheral merupakan zona paling luar batang sebelum kulit dan korteks. Vascular bundles pada daerah ini sangat padat, sedangkan sel parenkim sangat sedikit dibandingkan wilayah lainnya. Orientasi vascular bundle mengarah ke arah titik pusat dari batang. Secara visual, daerah ini terlihat agak gelap. Zona central merupakan daerah paling lebar sekitar 50%
10
dari total seluruh daerah. Orientasi vascular bundles pada daerah ini adalah random atau acak. Zona inner hanya 20-25% dari total daerah dan memiliki kandungan sel parenkim yang tinggi. Kandungan vascular bundle pada daerah ini paling sedikit dibandingkan daerah lainnya. Orientasi vascular bundles pada daerah ini sama dengan zona central. Rahayu (2001) dan Erwinsyah (2008) mengemukakan bahwa komponen utama penyusun BKS adalah vascular bundles dan parenkim, maka bila pada lokasi tertentu dijumpai vascular bundles dalam jumlah yang banyak, akibatnya proporsi parenkim akan berkurang. Luasan vascular bundles di bagian tepi lebih tinggi dan semakin berkurang ke arah pusat, sebaliknya di bagian tepi luasan parenkim lebih rendah dan semakin meningkat ke arah pusat. Erwinsyah (2008) mengemukakan bahwa struktur vascular bundles terdiri dari 1 atau 2 vessels pada zona peripheral dan 2 atau 3 vessels pada zona central dan inner. Vessels tersebut dibagi juga menjadi 2 bagian yaitu vessels besar dan kecil. Vessel besar memiliki dinding tebal dan diduga sebagai komponen utama untuk transportasi nutrisi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3.
(a) Vascular bundles dengan 1 buah vessel besar besar
(b) Vascular bundles dengan 3 buah vessel
Gambar 2. Vascular bundles dengan 1 buah vessel besar (a) dan 3 buah vessel besar (b) pada bidang lintang menggunakan light microscopy (sumber Erwinsyah 2008)
11
Gambar 3. Struktur vascular bundles BKS pada bidang lintang dengan keberadaan jaringan parenchymatous ground, vessels, fibres dan phloem (foto oleh E. Bäucker 2005 dalam Erwinsyah 2008) 2. Kadar Air Killmann & Choon (1985) menyatakan bahwa kadar air BKS sangat bervariasi antara 100-500%. Lim & Khoo (1986) menyatakan bahwa kadar air meningkat ke arah tinggi batang dan juga ke arah pusat batang. Sedangkan Bakar et al. (1998) mengemukakan variasi kadar air BKS berkisar antara 134.7-575.5%. Bagian pusat BKS umumnya mempunyai kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian tengah dan tepinya. Kadar air BKS akan turun dari pangkal ke beberapa meter di atas pangkal dan kemudian naik menuju bagian ujung.
Hal ini disebabkan pada bagian pusat dan bagian ujung memiliki
prosentase jumlah parenkim yang lebih tinggi. Parenkim merupakan jaringan penyimpan cadangan makanan (pati) dan mengandung lebih banyak air dibandingkan vascular bundle (Bakar et al. 1998). 3. Kerapatan Lim & Khoo (1986) menyatakan bahwa nilai kerapatan BKS sangat bervariasi mulai dari 0.2-0.6 g/cm3 dengan rata-rata 0.37 g/cm3. Menurut Bakar et al. (1998), kerapatan BKS berkisar antara 0.11-0.40 g/cm3, sedangkan Erwinsyah (2008) mengemukakan bahwa kerapatan berkisar antara 0.14–0.60 g/cm3.
12
Prayitno (1995) mengemukakan bahwa variasi kerapatan BKS sangat lebar berkisar antara 0.28-0.75 g/cm3.
Hal ini disebabkan adanya variasi struktur
anatomi BKS yang sangat lebar dari bagian pusat (didominasi oleh jaringan parenkim, berdinding tipis) dan di daerah dekat kulit (didominasi oleh vascular bundles, berdinding tebal). Variasi menurut arah ketinggian batang adalah bagian pangkal mempunyai nilai kerapatan tertinggi, diikuti bagian tengah dan bagian ujung. Nilai kerapatan tertinggi juga tercatat pada lapisan terluar dan nilainya menurun menuju ke empulur (Prayitno 1995) 4. Kerapatan Ikatan Pembuluh Bakar et al. (1998) mengemukakan bahwa kerapatan vascular bundles di bagian tepi sangat tinggi dan mengalami penurunan ke arah pusat batang. Sedangkan faktor ketinggian tidak memberikan kecenderungan yang jelas tentang jumlah vascular bundles. Pola kerapatan vascular bundles BKS berbanding lurus dengan nilai berat jenis. Bagian tepi yang mempunyai vascular bundles lebih banyak menghasilkan nilai berat jenis yang tinggi pula. Jaringan vascular bundles mempunyai kerapatan yang lebih tinggi daripada jaringan di sekitarnya (Bakar et al. 1998). 5. Penyusutan Bakar et al. (1998) menyatakan bahwa penyusutan volume BKS berkisar antara 25-74%. Berdasarkan kedalaman batang, nilai susut volume tertinggi ada pada bagian pusat dan semakin ke tepi semakin kecil.
Berdasarkan arah
ketinggian batang, bagian pangkal (sampai ketinggian 4.5 m) mempunyai nilai susut yang lebih rendah dibandingkan bagian lainnya. Prayitno (1995) dan Bakar et al. (1998) menganggap hal yang terakhir ini sebagai suatu anomali. 6. Sifat Mekanis Bakar et al. (1999a) mengemukakan bahwa seluruh sifat mekanis yang diteliti termasuk modulus of rupture (MOR), modulus of elasticity (MOE), keteguhan tekan, keteguhan belah, keteguhan geser, kekerasan dan keteguhan pukul menurun dari bagian dekat kulit ke arah pusat batang dan dari bagian
13
pangkal ke arah pucuk batang, dimana pengaruh kedalaman (arah diameter) lebih besar dari pengaruh arah ketinggian. Pada arah horizontal, seluruh sifat mekanis menurun tajam dari bagian tepi ke bagian tengah, dan menurun landai dari bagian tengah ke bagian pusat batang. Penurunan tersebut terutama disebabkan perbedaan BJ dan kerapatan vascular bundles pada masing-masing bagian. Sedangkan penurunan pada arah tinggi disebabkan oleh perbedaan umur dari BKS pada setiap ketinggian (Bakar et al. 1999a). Dibandingkan dengan kayu, nilai-nilai MOE, MOR, keteguhan tekan, keteguhan geser dan kekerasan BKS bagian luar hampir setara dengan nilai kekuatan pada kayu Sengon, dan masuk ke dalam Kelas Kuat IV-V (Bakar et al. 1999a). 7. Sifat Kimia Bakar et al. (1998) mengemukakan bahwa sifat kimia BKS bervariasi secara horizontal. Kandungan selulosa dan lignin menurun dari bagian dekat kulit ke arah pusat batang, sedangkan kandungan pati meningkat ke arah pusat batang. Kandungan silika dan abu lebih tinggi pada bagian pusat batang, seperti terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil analisis kimia pada berbagai posisi kedalaman batang Jenis Analisis Lignin (%) Selulosa (%) Pati (%) Abu (%) Silika (%) Kelarutan (%) : Air dingin Air panas Alkohol Benzen NaOH 1 % Sumber: Bakar et al. (1998)
Dekat Kulit 37.87 45.40 4.09 2.23 1.26
Tengah 36.66 42.16 4.81 2.14 1.26
Pusat 36.31 41.11 5.90 3.14 1.96
11.24 12.51 9.90 27.64
13.56 15.22 9.89 28.48
17.82 18.22 10.84 32.26
14
Pemadatan Kayu Pemadatan kayu solid ditujukan untuk meningkatkan sifat-sifat kayu baik sifat fisis maupun mekanisnya seperti kerapatan, kekerasan sisi, dan kekuatan geser serta memperbaiki stabilitas dimensi kayu. Produk yang dihasilkan dikenal dengan densified wood. Pada pembuatan produk-produk komposit kegiatan pengempaan lebih ditujukan untuk membantu meningkatkan ikatan rekat antar kayu dengan perekatnya (Kollman et al. 1975). Menurut Kollman et al. (1975), kayu dapat dipadatkan dengan dua cara, yaitu dengan impregnasi (densifying by impregnation) dan pengempaan (densifying by compression). Melalui impregnasi, rongga kayu diisi dengan berbagai zat yang menyebabkan kayu menjadi lebih padat. Zat-zat tersebut dapat berupa polimer resin PF, larutan vinil, resin alam cair, lilin, sulfur dan logam ringan, sedangkan dengan pengempaan dapat memodifikasi sifat-sifat kayu dibawah kondisi plastis tanpa merusak struktur sel kayu. Teknik pemadatan kayu dengan cara pengempaan membutuhkan 4 tahap yaitu: (1) pelunakan atau plastisasi dinding sel, (2) pengempaan sejajar serat pada saat pelunakan, (3) setting melalui pendinginan dan pengeringan pada saat deformasi, dan (4) fiksasi (Inoue 1994 dalam Morsing 2000). Proses plastisasi dapat dilakukan secara fisik maupun kimia. Secara fisik, plastisasi kayu terjadi bila tiga komponennya yaitu air dalam kayu, temperatur yang tinggi dan tekanan ada secara bersama-sama. Proses plastisasi ini dapat dilakukan dengan cara mengeringkan kayu dalam oven, perendaman panas dan dingin, perebusan dan pengukusan menggunakan autoclave. Sedangkan secara kimia, proses plastisasi dilakukan dengan menggunakan bahan kimia seperti NaOH yang mampu melunakkan lignin, sehingga ketika pemadatan menjadi lebih mudah. Fiksasi merupakan tahap akhir dari proses pemadatan. Pada tahap ini, kayu terpadatkan tidak kembali ke bentuk dan ukuran semula atau bersifat permanen. Mekanisme fiksasi terjadi karena meningkatnya daerah kristalin pada struktur selulosa (Ito et al. 1998) dan terjadinya hidrolisa hemiselulosa yang mengakibatkan berkurangnya internal stress pada kayu (Hsu et al. 1998). Pemadatan kayu yang bersifat permanen dapat dilakukan dengan menggunakan metode (1) perekatan atau modifikasi kimia, (2) perlakuan suhu
15
tinggi pada kayu kering atau heat treatment (HT), dan (3) perlakuan uap panas pada kondisi kayu basah atau steam treatment (ST). Prinsip pemadatan kayu metode modifikasi kimia adalah dengan memasukkan perekat atau bahan kimia (Fujimoto 1992) ke dalam kayu dan proses curing atau polimerisasinya terjadi pada saat pengempaan dalam kondisi kayu terdeformasi. Perekat yang dapat digunakan dalam metode ini dapat berupa fenol, melamin, urea, tanin atau perekat yang berasal dari lateks. Sedangkan modifikasi kimia dapat menggunakan metode formalisasi, esterifikasi atau asetilasi. Pemadatan kayu metode HT dapat diterapkan dengan menggunakan alat kempa panas atau oven. Metode ini membutuhkan waktu yang lama untuk tercapainya fiksasi yang permanen. Inoue & Norimoto (1991) meneliti fiksasi permanen dari pemadatan kayu Sugi (Cryptomeria japonica D. Don) dengan pemanasan pada kondisi kering. Hasil yang diperoleh adalah fiksasi permanen kayu Sugi dicapai pada suhu 180 oC selama 20 jam, atau 200 oC selama 5 jam, atau 220 oC selama 3 jam. Dwianto et al. (1997) melakukan penelitian dan menggunakan kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) juga menghasilkan waktu dan temperatur yang sama. Namun dijelaskan lebih lanjut bahwa fiksasi oleh HT disebabkan oleh pelepasan internal stress dalam mikrofibril dan matriks melalui degradasi dinding sel kayu, bukan oleh meningkatnya kristalisasi mikrofibril (Dwianto et al. 1996). Metode ST adalah memanaskan kayu dengan menggunakan uap panas atau uap air suhu tinggi. Contoh uji untuk metode ST diletakkan di dalam autoclave yang dilengkapi dengan alat kempa tahan panas. Kemudian dialirkan uap panas yang berasal dari boiler sesuai suhu yang diinginkan. Selanjutnya dilakukan pemadatan sesuai variasi suhu dan waktu yang diamati menggunakan alat pengatur suhu dan tekanan (Gambar 4).
16
A
B
C
Gambar 4. Rangkaian peralatan pada ST: (A) Boiler, (B) Autoclave yang dilengkapi alat kempa, dan (C) Mesin pengatur suhu, tekanan dan kecepatan tekan. Ito et al. (1998) mengemukakan bahwa dengan ST, fiksasi dicapai pada suhu 200 oC selama 3 menit. Dwianto et al. (1999) juga mengemukakan bahwa fiksasi permanen dicapai pada suhu 200 oC selama 10 menit, sedangkan Morsing (2000) mendapatkan hasil pada suhu 190 oC selama 15 menit. Kelebihan dari metode ini adalah fiksasi yang bersifat permanen dari kayu yang dikempa dapat dicapai lebih cepat jika dibandingkan dengan metode (2) dan tidak banyak mempengaruhi atau menurunkan sifat mekanik kayu. Sedangkan kelemahan metode ini adalah sulit untuk diterapkan pada skala pemakaian karena membutuhkan perangkat yang sangat mahal, yaitu boiler, autoclave dan alat kempa tahan panas yang dimasukkan ke dalam autoclave; serta tidak dapat dilakukan terhadap kayu dengan ukuran besar. Metode ST kemudian dimodifikasi oleh Amin & Dwianto (2006) dengan nama Close System Compression (CSC). Alat cetakan CSC berupa stainless steel yang dilengkapi dengan 2 lubang, yaitu untuk keluarnya uap air dan untuk mengukur tekanan yang terjadi pada saat pemadatan. Kayu yang akan dikempa, diletakkan di tengah cetakan, kemudian ditutup dengan lembaran stainless dan diletakkan di antara plat hot press (Gambar 5). Prinsip kerja dari metode CSC ini adalah sama dengan metode ST.
17
A
B
Gambar 5. Peralatan pada CSC : (A) Hot press, (B) Autoclave plat besi. Amin & Dwianto (2006) melakukan penelitian dengan menggunakan kayu Randu jenuh air. Hasilnya menunjukkan bahwa pada suhu 180 oC selama 30 menit menghasilkan RS sebesar 9.60%, sedangkan dengan penambahan air sebanyak 400 ml menghasilkan RS sebesar 8.92%. Lebih lanjut Amin et al. (2007) mengemukakan bahwa pada kayu Sengon suhu 180 oC selama 30 menit menghasilkan RS sebesar 1.6%, sedangkan perendaman spesimen dalam larutan NaOH 2% mampu menurunkan suhu menjadi 160 oC dengan RS sebesar 1.84%. Fenol Formaldehida Perekat PF merupakan salah satu jenis perekat untuk penggunaan eksterior yang memiliki sifat tahan cuaca dan tahan air. Secara lebih rinci, Kliwon & Iskandar (2008) menjelaskan sifat yang dimiliki perekat jenis ini, antara lain: 1. Daya rekat baik walau dipakai di luar (tempat yang tidak terlindung). 2. Kelarutan dalam air baik. 3. Cepat menjadi stabil, lamanya pengempaan dapat diperpendek. 4. Kestabilan kekentalan baik selama operasi. Perekat PF biasanya disiapkan dalam 2 metode yang berbeda. Metode ke-1 melibatkan katalis basa dengan formaldehida yang berlebih terhadap fenol. Produk yang mula-mula terbentuk disebut resol dengan mudah bisa dimatangkan menjadi polimer termoset melalui pemanasan. Metode ke-2 melibatkan katalis asam, menggunakan fenol yang berlebih terhadap formaldehida. Produk ini
18
disebut novolak yang membutuhkan lebih banyak formaldehida untuk mengefektifkan proses pematangannya (Steven 2007). Perekat PF merupakan salah satu jenis resin dalam modifikasi kimia yang dapat menghasilkan fiksasi yang permanen pada kayu. Metode ini berbeda dengan metode heat treatment, ST dan CSC yang lebih ke arah modifikasi kayu secara fisik melalui pengaturan suhu, kadar air dan waktu pemadatan. Ohmae et al. (2002) dan (Rowell 2005) mengemukakan bahwa impregnasi PF ke dalam kayu mampu meningkatkan stabilitas dimensi. Impregnasi PF juga mengurangi sifat higroskopis kayu (Hill 2006). Efektifitas PF tergantung pada penetrasinya ke dalam kayu. PF juga secara signifikan meningkatkan sifat mekanis kayu (Shams et al. 2004, 2006, 2009). Furuno et al. (2004) mengemukakan bahwa resin PF dengan berat molekul rendah dari 290-480 mampu berpenetrasi ke dalam dinding sel kayu dan meningkatkan stabilitas dimensi, sedangkan resin PF dengan berat molekul 820 hanya berada di lumen sel dan tidak memberikan pengaruh terhadap stabilitas kayu.
19
3. DISTRIBUSI KERAPATAN DAN STRESS-STRAIN BATANG KELAPA SAWIT Pendahuluan Dibandingkan sifat-sifat serupa pada kayu, stabilitas dimensi, kekuatan, keawetan dan sifat permesinan batang kelapa sawit (BKS) lebih inferior. Oleh karena itu, peningkatan sifat-sifat tersebut merupakan usaha yang perlu dilakukan agar BKS dan kayu-kayu berkualitas rendah lainnya dapat dimanfaatkan lebih optimal. Salah satunya adalah dengan proses pemadatan (densifying by compression) karena beberapa penelitian terdahulu membuktikan bahwa pemadatan mampu meningkatkan sifat fisis dan mekanis kayu secara signifikan. Amin et al. (2004) mengemukakan bahwa pemadatan sebesar 33% terhadap kayu Randu, Jengkol, Manii, Mindi, Angsana dan Mangga mampu meningkatkan kerapatan sebesar 35.72%; MOE 80.07%; dan MOR 66.40% dari nilai awalnya. Sedangkan
pada
batang
Kelapa,
pemadatan
sebesar
10-30%
mampu
meningkatkan kerapatan sebesar 4.43-27.21% (Wardhani 2005). Untuk memperoleh hasil pemadatan yang optimal, tingkat atau besarnya pemadatan yang dilakukan harus sesuai dengan kurva stress-strain yang ada. Penelitian tentang hal ini sudah banyak dilakukan antara lain oleh Ellis & Steiner (2002). Namun penelitian tentang tingkat pemadatan yang dikaitkan dengan nilai kerapatan apalagi pada BKS belum pernah dilakukan. Hal inilah yang mendasari dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui distribusi kerapatan secara horizontal pada ketinggian 1 m, 3 m dan 5 m, serta kurva stress-strain untuk menentukan tingkat optimal pemadatan yang harus dilakukan terhadap BKS. Bahan dan Metode Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah BKS. Alat-alat yang digunakan adalah gergaji, oven, kipas angin, bak perendaman, vakum, caliper, desikator, timbangan digital, cutter, mikroskop, dan Universal Testing Machine (UTM).
20
Metode Penelitian Tanaman kelapa sawit yang berumur 40 tahun dengan diameter sekitar 40 cm, berasal dari Desa Cikarawang Darmaga ditebang sebanyak 3 batang. Dari setiap batang diambil potongan berupa disk setebal 10 cm pada ketinggian 1 m, 3 m dan 5 m. Selanjutnya dibuat contoh uji kerapatan dan stress-strain berdasarkan interval sebesar 2 cm, seperti terlihat pada Gambar 6. 2 cm
2 cm
2 cm 2 cm 2 cm 2 cm
B A1 A2 A3
Pembagian contoh uji Lempengan BKS
B = A1 = A2 = A3 =
c.u. kerapatan c.u stress-strain jenuh c.u. stress-strain basah c.u. stress-strain kering udara
Gambar 6. Cara pengambilan dan pembuatan contoh uji kerapatan dan stressstrain Pada pengujian kerapatan, contoh uji yang digunakan berukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm. Parameter yang diukur adalah berat dan volume kering udara. Contoh uji diambil secara horizontal dari masing-masing potongan disk dan diberi nomor secara berurutan (tepi kiri ke tepi kanan).
Seluruh contoh uji kemudian
dikeringudarakan selama 3 minggu, selanjutnya ditimbang beratnya dan diukur volumenya. Contoh uji stress-strain juga berukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm, tetapi diambil dari disk pada ketinggian 1 m dari bagian dekat kulit sampai ke pusat batang. Kemudian dikelompokkan menjadi 3 kondisi yaitu kering udara, basah (titik jenuh serat) dan jenuh air. Untuk menghasilkan kondisi kering udara, contoh uji diangin-anginkan dengan kipas angin selama 3 minggu (kadar air berkisar 1518%). Untuk memperoleh contoh uji dalam kondisi basah (kadar air 40-50%), contoh uji direndam dalam air selama 3 jam, sedangkan untuk mendapatkan
21
kondisi jenuh air, contoh uji direndam dalam air dan divakum sampai contoh uji tenggelam. Kurva stress-strain dibutuhkan untuk menentukan besarnya tingkat pemadatan yang dapat dilakukan. Kurva stress-strain pada kayu umumnya mempunyai zonasi yaitu wilayah elastis (elastic region) di bagian awal, lalu diikuti dengan wilayah plastis (collapse dominan region), dan kemudian meningkat dengan sangat tajam (post collapse region) yang menunjukkan bahwa dinding sel kayu telah mengalami tegangan maksimum atau mengalami kerusakan (Shams et al. 2004). Untuk mengetahui tingkat pemadatan maksimal yang dapat dilakukan, dicari perpotongan garis antara wilayah plastis dan wilayah post collapse region seperti terlihat pada Gambar 7, sedangkan penentuan stoke strain seperti terlihat pada Gambar 8.
Gambar 7. Penentuan tingkat pemadatan maksimal
Stroke strain 50 % 2 cm
1 cm
Tebal awal
Tebal setelah pemadatan
Gambar 8. Penentuan tingkat stoke strain
22
Sebelum dilakukan pengujian stress-strain dengan menggunakan mesin Universal Testing Machine (UTM), seluruh contoh uji diukur dimensinya. Sebagai perbandingan, dilakukan juga pengukuran stress-strain terhadap kayu Sengon arah radial dan tangensial pada kondisi kerapatan yang sama dengan BKS yaitu 0.3 g/cm3.
Analisis Data Analisis data untuk distribusi kerapatan dilakukan dengan metode Rancangan Acak Lengkap Faktorial, dengan faktor A adalah kerapatan secara vertikal (ketinggian 1, 3, 5 m) dan faktor B adalah kerapatan secara horizontal, dengan 3 (tiga) kali ulangan. Model umum rancangan acak lengkap faktorial adalah sebagai berikut (Gaspersz 1994) : Yijk =
+ Ai + Bj + (AB)ij + ijk
dimana : Yijk
= nilai pengaruh faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j pada ulangan ke-k µ = nilai rata-rata pengamatan = pengaruh faktor A taraf ke-i Ai Bj = pengaruh faktor B taraf ke-j (AB)ij = pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j ijk = pengaruh galat percobaan dari kombinasi taraf ke-i dan ke-j ulangan ke-k
Jika hasil analisis terdapat interaksi, maka dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan. Analisis data di atas menggunakan software SPSS 16.0 for Windows.
Hasil dan Pembahasan Distribusi Kerapatan Kerapatan BKS hasil penelitian ini berkisar antara
0.23–0.74 g/cm3.
Distribusi kerapatan BKS secara horizontal dapat dilihat pada Gambar 9.
23
Kerapatan (g/cm3)
0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15
Interval keKetinggian 1 m
Ketinggian 3 m
Ketinggian 5 m
Gambar 9. Distribusi kerapatan BKS pada berbagai ketinggian batang. Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa pola distribusi kerapatan BKS pada ketinggian 1 m, 3 m, maupun 5 m relatif sama. Secara horizontal, kerapatan tertinggi terdapat pada bagian tepi, kemudian menurun pada bagian tengah dan terendah pada bagian pusat batang. Secara vertikal, kerapatan batang kelapa sawit pada bagian tepi luar sedikit lebih tinggi pada ketinggian 1 m (bagian pangkal), diikuti ketinggian 3 m dan 5 m. Perbedaan nilai kerapatan antara bagian tepi ke arah pusat batang terkait dengan distribusi vascular bundles dalam batang. Pada Gambar 10 terlihat bahwa vascular bundles pada bagian tepi lebih rapat dan berangsur-angsur berkurang ke arah pusat.
2 cm
Gambar 10. Distribusi kerapatan vascular bundles BKS dari bagian tepi (dekat kulit) menuju ke pusat.
24
Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa arah vertikal (ketinggian 1, 3, 5 m) dan arah horizontal, serta interaksinya berpengaruh sangat nyata terhadap nilai kerapatan. Secara vertikal, kerapatan menurun dari bagian pangkal ke bagian tengah batang, dan kemudian sedikit meningkat ke arah ujung batang. Nilai kerapatan pada BKS lebih ditentukan oleh vascular bundles. Vascular bundles merupakan kumpulan dari serat-serat yang tersusun secara vertikal (Gambar 3). Semakin tinggi kerapatan vascular bundles, maka akan semakin banyak kandungan serat-seratnya. Serat-serat ini akan memberikan kekuatan terhadap BKS, termasuk nilai kerapatannya. Hasil yang sama diperoleh juga oleh Lim & Gan (2005) dan Erwinsyah (2008). Hal ini disebabkan semakin tinggi posisi batang, semakin sedikit proporsi vascular bundles yang dimilikinya. Secara horizontal, Bakar et al. (2008) menyatakan bahwa ada dua penyebab terjadinya perbedaan nilai kerapatan BKS. Pertama, bagian tepi didominasi oleh vascular bundles (51%) yang memiliki kerapatan tinggi, sedangkan bagian tengah di dominasi oleh jaringan parenkim (70%) yang memiliki kerapatan rendah. Kedua, dinding sel jaringan parenkim bagian tepi lebih tebal dibandingkan bagian tengah. Itulah sebabnya mengapa kerapatan BKS di bagian tepi batang lebih tinggi dibandingkan dengan kerapatan BKS di bagian tengah (pusat). Kerapatan BKS bervariasi tergantung pada lokasi tempat tumbuh. Kerapatan BKS umur 25 tahun yang berasal dari perkebunan di Aek Pancur, Sumatera Utara berkisar antara 0.14-0.60 g/cm3 (Erwinsyah 2008), sedangkan yang berasal dari PTPN VII Lampung berkisar antara 0.11-0.40 g/cm3 (Bakar et al. 2000). Kerapatan BKS juga dipengaruhi umur tanaman. Pada penelitian ini, kerapatan bagian tepi mencapai 0.74 g/cm3. Hal ini kemungkinan disebabkan umur yang lebih tua (40 tahun) lebih banyak memiliki porsi vascular bundles. Dengan meningkatnya umur tanaman, frekuensi vascular bundles dibagian tepi dan tebal dinding sel juga semakin meningkat. Hal ini yang mengakibatkan terjadinya perbedaan hasil.
25
Kurva Stress-Strain Jika kayu diberi beban, maka kayu akan mengalami perubahan bentuk (deformasi). Pada wilayah elastis, apabila kayu diberi beban dan kemudian beban dilepaskan, maka kayu akan kembali ke bentuk semula. Pada wilayah plastis, apabila kayu diberi beban dan kemudian beban dilepaskan, maka kayu akan mengalami perubahan bentuk yang tetap, meskipun belum mengalami kerusakan (Panshin & de Zeeuw 1980). Pada wilayah plastis ini proses pemadatan dilakukan sesuai dengan tingkat pemadatan yang diinginkan. Kurva stress-strain pada BKS dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 3 kondisi yaitu kondisi kering udara, basah dan jenuh air. Kurva stressstrain BKS pada kondisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 11. Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa kurva stress-strain yang dihasilkan pada ketiga kondisi tersebut memiliki pola yang hampir sama. Namun stress yang dibutuhkan untuk memadatkan batang pada kondisi kering udara lebih besar dibandingkan kondisi basah dan juga jenuh air. Ellis & Steiner (2002) mengemukakan bahwa semakin tinggi kadar air yang dimiliki, maka kayu akan semakin plastis dan kurva stress strain akan semakin landai. Kurva stress-strain yang terjadi pada contoh uji nomor 1 dan 2 (dekat tepi) terus meningkat pada semua kondisi dan tidak terlihat secara jelas wilayah plastisnya. Hal ini terkait dengan nilai kerapatan pada bagian luar yang lebih tinggi dibandingkan bagian tengah atau pusat batang (Gambar 9). Tingginya kerapatan akibat
frekuensi vascular bundles yang rapat, sehingga luasan
permukaan vascular bundles per cm2 lebih tinggi dibandingkan luasan parenkim dasar (Gambar 10). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Rahayu (2001) dan Erwinsyah (2008). Keberadaan vascular bundles ini memberikan kekuatan secara mekanis untuk menahan beban, oleh karena itu pada bagian terluar dibutuhkan stress yang lebih besar untuk memadatkan BKS dan semakin ke dalam stress yang dibutuhkan semakin berkurang.
26
Stress (kg cm-2) 800
720
640
A
Stress(kgf/cm2)
560
1
480
2
400
5
320
3
240
4
6
160
7
80
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Stroke S tr ain(%)
Stroke strain (%)
Stress (kg cm-2) 800
720
640
Stress(kgf/cm2)
560
B
480
400
4
1
2
320
5
240
3
160
6 7
80
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Stroke S tr ain(%)
Stroke strain (%)
Stress (kg cm-2) 800
720
640
C
Stress(kgf/cm2)
560
480
1
2
400
320
4
240
3
160
6
5
7
80
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Stroke S tr ain(%)
Stoke strain (%)
Gambar 11.
Kurva stress-strain BKS: A) Kondisi Kering Udara, B) Kondisi Basah, dan C) Kondisi Jenuh Air Keterangan: Angka 1 dan seterusnya menunjukkan lokasi contoh uji arah horizontal (dari bagian tepi ke arah pusat batang).
27
Tingkat Pemadatan Maksimal (Maximum Compression Level) Berdasarkan kurva stress-strain tersebut dapat ditentukan tingkat pemadatan maksimal pada daerah plastis tanpa merusak dinding sel BKS. Pemadatan maksimal BKS pada kondisi kering udara, basah dan jenuh air dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Tingkat pemadatan maksimal BKS pada 3 (tiga) kondisi. Nomor Contoh Uji 1 2 3 4 5 6 7
Kerapatan rata-rata (g/cm3) 0.63 0.56 0.45 0.35 0.33 0.29 0.26
Tingkat Pemadatan (%) Kering Udara Basah Jenuh Air 37 38 47 46 52 55 57 57 64 61 64 65 63 70 70 65 71 72 67 72 73
Dari Tabel 4 terlihat bahwa tingkat pemadatan pada kondisi kering udara paling rendah, diikuti kondisi basah dan jenuh air. Selanjutnya diketahui juga bahwa pada semua kondisi, contoh uji nomor 1 (paling tepi) memiliki tingkat pemadatan yang paling rendah, yaitu antara 37-47%. Tingkat pemadatan cenderung meningkat ke pusat batang dan mencapai maksimum pada contoh uji nomor 7 (pusat batang) masing-masing sebesar 67%, 72% dan 73% untuk kondisi kering udara, basah dan jenuh air. Hal ini juga berkaitan dengan nilai kerapatan kayu dimana kerapatan contoh uji nomor 1 paling tinggi, sedangkan nomor 7 paling rendah (Gambar 9). Semakin rendah kerapatan, maka semakin tinggi tingkat pemadatan yang dapat dilakukan. Jika dilihat pada Tabel 4, kerapatan awal pada kondisi kering udara contoh uji nomor 1 dan 2 adalah 0.63 g/cm3 dan 0.56 g/cm3. Kerapatan BKS sampai contoh uji nomor 2 sudah cukup tinggi, sehingga jika digunakan untuk keperluan bahan bangunan, maka pada bagian tersebut sudah cukup kuat untuk menahan beban. Namun jika ingin ditingkatkan lagi kualitasnya dengan
pemadatan,
maksimal pemadatan yang dapat dilakukan pada kondisi kering contoh uji nomor 1 adalah 37% dan nomor 2 adalah 46%.
28
Hubungan antara kerapatan dan stroke strain (%) pada kondisi kering udara, basah dan jenuh air dapat dilihat pada Gambar 12. Nilai stroke strain ini menunjukkan tingkat pemadatan maksimal yang dapat dilakukan.
Stroke Strain (%)
80 70 60 Kering Udara
50
Basah Jenuh Air
40 30 0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
Kerapatan (g/cm3)
Gambar 12. Hubungan antara kerapatan BKS dengan stroke strain (%) pada kondisi kering udara, basah dan jenuh air. Dari Gambar 12 terlihat bahwa tingkat pemadatan yang paling rendah adalah pada kondisi kering udara, diikuti kondisi basah dan jenuh air. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa jika diketahui kerapatan BKS, maka dapat ditentukan tingkat pemadatan maksimal pada semua kondisi, baik kering udara, basah ataupun jenuh air. Hubungan antara kerapatan dan stroke strain ditunjukkan oleh garis polynomial, dimana persamaan pada kondisi kering udara adalah y = – 0.964x2 + 2.892x + 64.14, R² = 0.990; kondisi basah y = – x2 + 2.571x + 70.14, R² = 0.990; kondisi jenuh air y = – 0.738x2 + 1.690x + 71.71, R² = 0.984, dimana x adalah kerapatan dan y adalah stroke strain. Hal ini menunjukkan bahwa baik pada kondisi kering udara, basah maupun jenuh air, nilai kerapatan memiliki hubungan yang sangat nyata (signifikan) dengan nilai stroke strain, diindikasikan dari tingginya nilai R2 yang dihasilkan.
29
Perbandingan dengan Stress-Strain Kayu Sengon Pada Gambar 13 dapat dilihat perbandingan kurva stress-strain antara BKS dengan kayu Sengon pada kerapatan yang sama. Kayu Sengon dipadatkan pada arah radial and tangensial. Stress (kg/cm2) 300
270
240
Str ess(kgf/cm 2)
210
180
150
120
Sengon arah radial 90
BKS
60
Sengon arah tangensial
30
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Stroke Str ain(%)
Stroke strain (%)
Gambar 13. Perbandingan antara kurva stress-strain BKS dengan kayu Sengon . Gambar 13 menunjukkan bahwa kurva stress-strain BKS identik dengan kurva stress-strain kayu Sengon pada arah tangensial. Kedua jenis tersebut dapat dipadatkan hingga 68% dari tebal awal pada arah tangensial. Tidak adanya tahanan sel jari-jari pada kayu Sengon saat pemadatan arah tangensial diduga sebagai penyebabnya, sehingga efek pemadatannya serupa dengan BKS yang diketahui tidak memiliki jari-jari. Dengan demikian maka BKS yang tersusun oleh jaringan parenkim dasar dan vascular bundles lebih memungkinkan untuk dipadatkan dari berbagai arah. Pada Gambar 13 juga terlihat bahwa stress awal kayu Sengon pada arah radial sedikit lebih tinggi dibandingkan arah tangensialnya. Hal ini
karena
pengaruh dari jari-jari kayu (Gambar 14 B). Namun pemadatan pada arah radial memiliki wilayah plastis yang lebih panjang, sehingga tingkat pemadatan kayu Sengon yang bisa dilakukan mencapai 71%, hampir sama dengan BKS pada kondisi basah.
30
BKS dengan kerapatan 0.3 g/cm3 berada di bagian pusat batang. Bagian pusat batang diketahui memiliki jaringan parenkim dasar yang maksimal. Semakin banyak parenkim dasar, maka akan semakin mudah dipadatkan karena dinding parenkim relatif sangat tipis. Perbedaan struktur BKS dan kayu Sengon ditunjukkan pada Gambar 14. Parenkim dasar
Jari-jari
Vascular bundles
Pori
500 µm
A. BKS
500 µm
B. Kayu Sengon
Gambar 14. Perbandingan struktur kayu pada penampang lintang antara BKS (A) dengan kayu Sengon (B)
Simpulan
Distribusi nilai kerapatan BKS tertinggi berada pada bagian tepi dekat kulit, kemudian menurun pada bagian tengah dan terendah terdapat pada bagian pusat dengan kerapatan berkisar antara 0.23-0.74 g/cm3. Distribusi kerapatan ini menyebabkan wilayah plastis kurva stress-strain yang dihasilkan semakin melandai dengan menurunnya kerapatan, selain dipengaruhi juga oleh kondisi BKS (kering, basah dan jenuh air). Pada kerapatan yang sama, kurva stress-strain BKS sama dengan kurva stress-strain kayu Sengon pada arah tangensial. Tingkat pemadatan yang dapat dilakukan sangat berhubungan erat dengan nilai kerapatan dan kondisi BKS (kering, basah dan jenuh air). Tingkat pemadatan maksimal BKS pada bagian tepi dekat kulit masing-masing adalah sebesar 37% pada kondisi kering udara, 38% pada kondisi basah dan 47% pada kondisi jenuh air, sedangkan bagian pusat batang dapat dipadatkan sampai 67% pada kondisi kering udara, dan 72% pada kondisi basah atau jenuh air.
31
4. FIKSASI BATANG KELAPA SAWIT BAGIAN DALAM DENGAN METODE CLOSE SYSTEM COMPRESSION Pendahuluan Pemadatan merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan sifat fisis dan mekanis kayu. Permasalahannya apabila tidak diberi perlakuan tertentu, kayu terpadatkan cenderung akan kembali ke bentuk semula bila mendapat pengaruh kelembaban atau perendaman. Padahal fiksasi permanen mutlak diperlukan, agar kayu terpadatkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan alternatif pengganti kayukayu komersial. Upaya agar kayu terpadatkan bersifat permanen dapat dilakukan dengan metode Close System Compression (CSC). Metode ini merupakan modifikasi dari metode steam treatment (ST). Prinsip kerja dari metode CSC adalah memanfaatkan air yang menguap dari dalam kayu akibat pemanasan kempa panas yang tidak dapat keluar, sehingga menjadi uap panas. Karena pemadatan dengan CSC terhadap BKS belum pernah dilakukan, maka dilakukanlah penelitian ini untuk mengevaluasi fiksasi yang terjadi. Hasil yang diperoleh selanjutnya akan dibandingkan dengan hasil metode ST dan metode heat treatment (HT). Tingkat pemadatan yang digunakan pada metode CSC adalah 50%, karena berdasarkan penelitian sebelumnya, tingkat pemadatan maksimal yang dapat dilakukan pada BKS bagian dalam adalah
67% pada
kondisi kering udara, dan 72% pada kondisi basah atau jenuh air.
Bahan dan Metode Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah BKS dengan kerapatan 0.3 g/cm3. Alat-alat dalam penelitian ini adalah kaliper, oven, timbangan digital, gergaji circular,
vacuum machine, kempa panas, close system compression
(CSC), rangkaian peralatan ST.
32
Metode Penelitian Pada penelitian ini, evaluasi yang dilakukan untuk pengujian fiksasi adalah pemulihan tebal atau recovery of set (RS) dan kehilangan berat atau weight loss (WL). Hasil pengujian RS dan WL dengan metode CSC akan dibandingkan dengan metode ST dan HT. Contoh uji dibagi 3 (tiga) kelompok yaitu untuk CSC, ST dan HT. Contoh uji ST berukuran 3 cm (panjang) x 2 cm (lebar) x 1 cm (tebal), sedangkan contoh uji untuk HT dan CSC berukuran 5 cm (panjang) x 4 cm (lebar) x 2 cm (tebal). Contoh uji untuk pengujian ST dan CSC dalam kondisi jenuh air, sedangkan contoh uji HT dalam kondisi kering udara. Sebelum dilakukan pemadatan, seluruh contoh uji dikeringkan dalam oven suhu 60 ºC sampai beratnya stabil, kemudian diukur dimensi tebal (To) dan berat awalnya (Wo). Selanjutnya contoh uji divakum sampai kondisi jenuh air (untuk CSC dan ST), dan diletakkan dalam ruangan sampai kondisi kering udara (untuk HT). Pemadatan dilakukan pada arah tebal dengan tingkat pemadatan sebesar 50%. Variasi perlakuan yang digunakan untuk pemadatan dengan ketiga metode (HT, ST dan CSC) adalah suhu dan waktu (Tabel 5). Jumlah contoh uji untuk tiap perlakuan pada ST adalah 3 buah, sedangkan pada HT dan CSC adalah 6 buah. Tabel 5. Variasi suhu dan waktu yang digunakan pada pemadatan metode HT, ST dan CSC Suhu (oC)
No
Metode Pemadatan
Waktu (Menit)
1
Heat treatment
120, 140, 160, 180, 200
0,10, 30, 60, 180
2
Steam treatment
120, 140, 160, 170, 180
0, 5, 10, 30
3
Close system compression
120, 140, 160, 180, 200
0,10, 20, 30, 40
Contoh uji untuk CSC diletakan di dalam alat CSC berukuran 25 cm x 25 cm x 2 cm yang dilengkapi autoclave plat besi dengan penutup cetakan dari bahan stainless, dan pressure-meter untuk mengukur tekanan uap di dalam cetakan. Di Selanjutnya dilakukan pemadatan menggunakan kempa panas (hot press) sesuai variasi suhu dan waktu yang diamati. Tekanan kempa yang digunakan sebesar 35 kg/cm2.
33
Contoh uji untuk metode ST diletakan di dalam autoclave yang dilengkapi dengan alat kempa (Gambar 4). Kemudian dialirkan uap panas yang berasal dari boiler sesuai suhu yang diinginkan. Selanjutnya dilakukan pemadatan sesuai variasi suhu dan waktu yang diamati menggunakan alat pengatur suhu dan tekanan. Demikian juga contoh uji untuk metode HT diletakan di tengah-tengah alat kempa panas konvensional. Selanjutnya dilakukan pemadatan sesuai variasi suhu dan waktu yang diamati. Tekanan kempa yang digunakan sebesar 35 kg/cm2. BKS yang telah dipadatkan selanjutnya dikeringkan dalam oven dan diukur tebalnya (Tc). Kemudian dilakukan pengujian pemulihan tebal dengan cara merendam di dalam air pada suhu ruang selama 24 jam, dan dilanjutkan dengan perebusan dalam air mendidih selama 30 menit. Kayu yang telah direbus dikeringkan lagi dalam oven, kemudian diukur kembali tebal (Tr) dan berat akhir kayu (Wr) setelah recovery, mengikuti prosedur Inoue et al. (1993). Besarnya RS dan WL diukur dalam kondisi kering tanur dengan rumus: RS = [(Tr – Tc) / (To – Tc)] x 100% WL = [(Wo – Wr) / Wo] x 100% Analisis Data Analisis data untuk setiap metode pemadatan dilakukan dengan metode Rancangan Acak Lengkap Faktorial, dengan faktor A adalah suhu pemadatan dan faktor B adalah waktu. Untuk metode ST sebanyak 3 (tiga) kali ulangan, sedangkan untuk metode HT dan CSC dilakukan sebanyak 6 (enam) kali ulangan. Model umum rancangan acak lengkap faktorial adalah sebagai berikut (Gaspersz 1994) : Yijk = dimana : Yijk
+ Ai + Bj + (AB)ij + ijk
= nilai pengaruh faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j pada ulangan ke-k µ = nilai rata-rata pengamatan Ai = pengaruh faktor A taraf ke-i Bj = pengaruh faktor B taraf ke-j (AB)ij = pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j ijk = pengaruh galat percobaan dari kombinasi taraf ke-i dan ke-j ulangan ke-k
34
Jika hasil analisis terdapat interaksi, maka dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan. Analisis data di atas menggunakan software SPSS 16.0 for Windows. Hasil dan Pembahasan Recovery of Set (Pemulihan Tebal) Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada metode CSC nilai rata-rata RS berkisar antara 97.35–(-19.20%), metode HT berkisar antara 97.35–8.85%, sedangkan ST
berkisar antara 95.29–(-6.49%). Nilai RS selengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran 2, 3 dan 4. Nilai RS pada metode HT, ST dan CSC secara berurutan disajikan pada Gambar 15, 16 dan 17. 120 100
R S (%)
80
o 120 120oC C o 140 140oC C o 160 oC 160 C o 180 180oC C o 200 200oC C
60 40 20 0 0
10
30
60
180
Waktu (Menit)
Gambar 15. Nilai RS dengan metode HT pada berbagai variasi suhu dan waktu 120 100 o
R S (%)
80
120oCC 120 o 140oC C 140 o 160oCC 160 o 170oC C 170 o 180 180oCC
60 40 20 0 -20 0
5
10
30
Waktu (Menit)
Gambar 16. Nilai RS dengan metode ST pada berbagai variasi suhu dan waktu
35
120 100 80
o
120oCC 120 140 140oCoC 160 160oCoC 180 180oCoC 200 200oCoC
R S (%)
60 40 20 0 -20 0
10
20
30
40
-40
Waktu (Menit)
Gambar 17. Nilai RS dengan metode CSC pada berbagai variasi suhu dan waktu Berdasarkan gambar-gambar tersebut terlihat bahwa suhu dan waktu pemadatan memberikan pengaruh terhadap nilai RS, baik pada metode HT, ST maupun CSC. Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pemadatan akan menghasilkan nilai RS yang semakin rendah. Semakin kecil nilai RS, maka fiksasi kayu hasil pemadatan akan semakin baik. Perbandingan nilai RS pada 3 metode di atas pada suhu 120, 140, 160 dan o
180 C dengan lama pemadatan 30 menit ini disajikan pada Gambar 18. 120 100
R S (%)
80 60
HT-30'
40
CSC-30'
20
ST-30'
0 -20 120
140
160
180
Suhu (oC)
Gambar 18. Nilai RS pada berbagai metode pemadatan Metode pemadatan yang dilakukan akan menghasilkan nilai RS yang berbeda. Metode yang paling cepat menghasilkan fiksasi adalah metode ST, diikuti CSC dan yang paling lama metode HT. Metode CSC berada di antara metode HT dan ST, tetapi RS yang dihasilkan hampir sama dengan metode ST.
36
Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa pada setiap metode, faktor suhu dan waktu serta interaksinya berbeda sangat nyata terhadap nilai RS (Lampiran 5). Hal ini berarti bahwa semua faktor memberikan kontribusi secara signifikan terhadap nilai RS yang dihasilkan. Hasil uji lanjut dengan uji wilayah berganda Duncan, secara umum pada metode ST hampir semua interaksi antara suhu dengan waktu berbeda nyata terhadap nilai RS kecuali pada waktu 0 menit. Sedangkan pada metode HT dan CSC, sebagian besar interaksi suhu dengan waktu tidak berbeda nyata (Lampiran 6). Metode ST dan CSC mempunyai prinsip yang sama yaitu uap air yang dialirkan atau dihasilkan akan terjebak dalam alat kempa kedap udara. Perbedaannya adalah pada metode ST uap air panas (steam) yang dialirkan dari boiler ke alat kempa, sedangkan metode CSC uap air panas dihasilkan dari air yang keluar dari dalam kayu. Semakin meningkat suhu dan semakin lama waktu pemadatan pada kayu jenuh air, maka uap air panas yang dihasilkan akan semakin banyak, sehingga tekanan uap air panas akan semakin tinggi pula. Hal ini akan melunakkan hemiselulosa dan lignin. Kayu yang telah lunak akan bersifat plastis. Pelunakan hemiselulosa dan lignin dapat mempercepat terjadinya deformasi sel penyusun kayu dan fiksasi. Menurut Mitsui et al. (2007), perlakuan pemanasan akan mendegradasi gugus hidroksil selulosa yang diawali pada daerah amorf dan berlanjut ke daerah semikristalin yang kemudian diakhiri di daerah kristalin. Perubahan dari daerah amorf ke daerah kristalin menyebabkan daya serap air menjadi berkurang sehingga kayu akan lebih stabil. Sedangkan Dwianto et al. (1999) mengemukakan bahwa pengempaan kayu pada suhu di atas 180 ºC dapat menyebabkan terdegradasinya komponen hemiselulosa dan lignin di dalam dinding sel. Hal ini akan mengakibatkan tegangan yang tersimpan dalam mikrofibril akan mengalami relaksasi. Pada kondisi ini deformasi yang terjadi tidak kembali ke bentuk semula atau kayu mengalami fiksasi. Metode ST membutuhkan waktu yang singkat untuk menghasilkan fiksasi kayu. Inoue et al. (1993) mengemukakan bahwa fiksasi permanen kayu Sugi dicapai pada suhu 180 ºC dalam waktu 8 menit atau pada suhu 200 oC dalam waktu 1 menit.
Sedangkan pada BKS bagian dalam, fiksasi permanen pada
37
metode ST dicapai pada suhu 170 oC dalam waktu 30 menit dan metode CSC pada suhu 180 oC dalam waktu 30 menit. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan struktur jaringan BKS, dimana pada BKS bagian dalam lebih di dominasi oleh parenkim dasar dan sedikit vascular bundles. Komposisi kimia pada jaringan parenkim dasar banyak mengandung zat ekstraktif khususnya pati. Fiksasi permanen dengan metode HT membutuhkan waktu yang lebih lama. Inoue & Norimoto (1991) mengemukakan bahwa fiksasi permanen pada kayu Sugi pada suhu 180 oC selama 20 jam, atau 200 oC selama 5 jam, atau 220 o
C selama 3 jam. Pada BKS fiksasi permanen belum tercapai meskipun
menggunakan suhu 200 oC selama 3 jam dan masih menghasilkan nilai RS 8.85%. Mekanisme fiksasi permanen pada metode HT disebabkan oleh pelepasan internal stress dalam mikrofibril melalui degradasi komponen hemiselulosa, sedangkan pada metode ST disebabkan oleh reaksi cross-lingking komponen kimia di dalam matriks dan meningkatnya daerah kristalin di struktur selulosa (Dwianto et al. 1996). Weight Loss (Kehilangan Berat) Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada metode CSC nilai rata-rata WL berkisar 1.71–21.06%, metode HT berkisar 2.83–11.86% dan ST berkisar 3.67– 21.63%. Nilai WL pada metode HT, ST dan CSC secara berurutan disajikan pada Gambar 19, 20 dan 21, sedangkan data selengkapnya pada Lampiran 2, 3 dan 4. 25
W L (%)
20 o
15
120oCC 120 140 140oCoC 160 160oCoC 180 180oCoC 200 200oCoC
10 5 0 0
10
30
60
180
Waktu (Menit)
Gambar 19. Nilai WL dengan metode HT pada berbagai variasi suhu dan waktu
38
25
W L (%)
20 o 120 120oC C o 140 140oCC o 160 160oC C o 170 oC 170 C o 180 180oC C
15 10 5 0 0
5
10
30
Waktu (Menit)
Gambar 20. Nilai WL dengan metode ST pada berbagai variasi suhu dan waktu 25
W L (%)
20 o
15
120oCC 120 o 140oC C 140 o 160 160oCC o 180 180oC C o 200 200oC C
10 5 0 0
10
20
30
40
Waktu (Menit)
Gambar 21. Nilai WL dengan metode CSC pada berbagai variasi suhu dan waktu Pada gambar-gambar tersebut terlihat bahwa suhu dan waktu pemadatan mengakibatkan peningkatan nilai WL, pada ketiga metode yang dicoba. Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pemadatan akan mengakibatkan nilai WL yang semakin besar. Semakin besar nilai WL yang dihasilkan, maka akan semakin banyak komponen kimia di dalam BKS yang terdegradasi. Perbandingan nilai WL pada 3 metode di atas dilakukan pada suhu 120 oC, 140 oC, 160 oC dan 180 oC dengan lama pemadatan 30 menit disajikan pada Gambar 22.
39
25
W L (%)
20 15 HT-30'
10
CSC-30' ST-30'
5 0 120
140
160
180
Suhu (oC)
Gambar 22. Nilai WL pada berbagai metode pemadatan Berdasarkan Gambar 22 terlihat kecenderungan bahwa WL semakin meningkat seiring dengan meningkatnya suhu dan lamanya waktu pemadatan. Nilai WL terendah diakibatkan oleh metode HT, diikuti metode CSC dan terbesar oleh metode ST. Terlihat bahwa WL akibat metode CSC berada di antara metode HT dan ST. Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa pada setiap metode, faktor suhu dan waktu serta interaksinya berbeda sangat nyata terhadap nilai WL (Lampiran 5). Hal ini berarti bahwa semua faktor memberikan kontribusi secara signifikan terhadap nilai WL yang dihasilkan. Hasil uji lanjut dengan uji wilayah berganda Duncan, secara umum pada semua metode (ST, HT, CSC) banyak interaksi antara suhu dengan waktu tidak berbeda nyata terhadap nilai WL (Lampiran 6). Metode ST dan CSC merupakan metode pemadatan dengan cara mengkombinasikan antara faktor kadar air kayu, suhu, waktu pengempaan, serta tekanan uap panas yang berasal dari air dalam kayu yang menguap selama proses pengempaan. Meningkatnya suhu dan tekanan uap panas pada kayu jenuh air akan melunakkan komponen kimia kayu atau bahkan dapat mendegradasinya. Pelunakan dan degradasi komponen kimia kayu sangat tergantung pada beberapa kondisi antara lain suhu, lama waktu pemadatan, kelembaban, uap air panas. Skema suhu yang dibutuhkan untuk pelunakan dan degradasi komponen kimia kayu dapat dilihat pada Tabel 6 (Morsing 2000).
40
Tabel 6. Skema suhu pelunakan dan degradasi komponen kimia kayu Komponen Kimia Kayu Selulosa
Suhu Pelunakan/Tg (oC) Kering Basah >230 >220
Hemiselulosa
160-220
<25
>160
>160
>150
60-90
>160
>160
Lignin
Degradasi dimulai pada suhu (oC) Kering Basah >200 >200
Sumber : Morsing 2000
Tabel 6 memperlihatkan bahwa pada kondisi kering, pelunakan lignin baru terjadi pada suhu di atas 150 oC, sedangkan hemiselulosa pada suhu 160-220 oC. Hal ini menjelaskan bahwa kondisi contoh uji berpengaruh terhadap nilai WL. Pada kondisi contoh uji yang kering seperti pada metode HT, nilai WL paling kecil dibandingkan pada metode ST dan CSC. Nilai WL pada metode HT sampai suhu 200 oC selama 180 menit mencapai 11.86%. Pada kondisi basah, pelunakan lignin dan hemiselulosa sudah terjadi pada suhu rendah yaitu antara 60-90 oC untuk lignin dan pada suhu dibawah 25 oC untuk hemiselulosa. Degradasi keduanya terjadi pada suhu di atas 160 oC. Selain suhu dan kondisi BKS, tekanan uap panas juga akan mempengaruhi nilai WL. Tekanan uap panas akan mendesak uap air keluar dari dalam BKS. Keluarnya uap air dari dalam BKS kemungkinan menyebabkan rusaknya komponen kimia sehingga sebagian komponen kimia BKS terutama zat-zat volatile dan zat-zat ekstraktif juga akan ikut keluar. Hal ini memperlihatkan tingginya nilai WL pada metode ST dan CSC. Nilai WL yang lebih tinggi pada metode ST dibandingkan metode CSC lebih disebabkan oleh tekanan uap panas yang dihasilkan. Pada metode ST, tekanan uap panas berasal dari boiler dan tekanannya dapat diatur hingga mencapai 10 kg/cm2, sedangkan pada metode CSC hanya bergantung pada air yang berada di dalam BKS. Nilai WL pada metode ST suhu 180 oC selama 30 menit mencapai 21.63%, sedangkan metode CSC hanya 12.59%. Hubungan antara nilai RS dengan WL BKS bagian dalam pada metode ST dan CSC disajikan pada Gambar 23.
41
100 90 80
R S (%)
70 60 50 ST
40
CSC
30 20 10 0 -10 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
W L (%)
Gambar 23. Hubungan antara nilai RS dan WL pada metode ST dan CSC. Berdasarkan Gambar 23 terlihat bahwa pada metode CSC, nilai WL sampai 3%, masih sedikit menurunkan nilai RS. Namun setelah nilai WL 3%, terjadi penurunan RS yang sangat drastis, dan fiksasi dicapai dengan WL sebesar 12.59%. Demikian juga yang terjadi dengan metode ST, dimana sampai WL 4%, masih sedikit menurunkan nilai RS. Setelah nilai tersebut, WL menurun seiring dengan penurunan nilai RS. Fiksasi dengan metode ST dicapai dengan WL sebesar 19.17%. Nilai WL yang dihasilkan dengan metode CSC lebih kecil dibandingkan dengan metode ST. Perbandingan dengan RS dan WL Kayu Sengon Perbandingan RS dan WL antara BKS bagian dalam dan kayu Sengon dengan metode CSC disajikan pada Tabel 7. Kedua jenis kayu tersebut mempunyai kerapatan yang sama yaitu rata-rata 0.3 g/cm3. Pemadatan yang dilakukan selama 30 menit. Nilai RS dan WL kayu Sengon yang diacu dari Amin et al. (2007).
42
Tabel 7. Perbandingan nilai RS dan WL antara BKS bagian dalam dan kayu Sengon dengan metode CSC. Suhu (oC) 120 140 160 180
BKS Bagian Dalam RS (%) WL (%) 89.33 3.22 54.32 3.89 8.37 7.17 1.36 12.59
Kayu Sengon* RS (%) WL (%) 61.45 0.75 37.52 1.90 3.44 4.14 1.60 10.52
* Sumber : Amin et al. (2007)
Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa nilai RS yang dihasilkan dari BKS bagian dalam pada suhu 120, 140 dan 160 oC lebih besar dibandingkan kayu Sengon, tetapi pada suhu 180 oC nilainya hampir sama. Namun nilai WL yang dihasilkan lebih tinggi pada BKS bagian dalam. Pada BKS bagian dalam nilai RS yang dihasilkan pada suhu 180 oC waktu 30 menit mencapai 1.36% dan WL sebesar 12.59%, sedangkan pada kayu Sengon nilai RS yang dihasilkan sebesar 1.60% dan WL sebesar 10.52%. Perbedaan nilai RS dan WL antara BKS dengan kayu Sengon disebabkan perbedaan struktur anatomi dan kimia diantara keduanya. BKS bagian dalam lebih didominasi oleh parenkim dasar, sedangkan sel parenkim pada Sengon relatif terbatas. Jaringan parenkim dasar banyak mengandung pati. Kandungan pati pada jaringan parenkim dasar mencapai 5.9% (Bakar et al. 1998). Ketika dipadatkan dengan metode CSC, dengan waktu pemadatan yang lama serta adanya tekanan uap panas, maka zat ekstraktif khususnya pati yang ada akan terlarut dan terbawa keluar sehingga mengakibatkan nilai WL BKS bagian dalam lebih tinggi dibandingkan nilai WL pada kayu Sengon.
Simpulan
Pada semua metode pemadatan (metode ST, HT dan ST), faktor suhu dan waktu sangat berkontribusi terhadap nilai RS dan WL. Metode pemadatan yang paling cepat untuk menghasilkan fiksasi adalah metode ST, diikuti metode CSC, dan terakhir metode HT. Namun nilai WL pada BKS bagian dalam yang paling
43
tinggi dihasilkan oleh metode ST, diikuti metode CSC dan yang paling rendah adalah metode HT. Fiksasi BKS bagian dalam dengan metode ST dicapai pada suhu 170 oC selama 30 menit, dengan metode CSC pada suhu 180 oC selama 30 menit, sedangkan dengan metode HT hingga suhu 200 oC selama 180 menit (3 jam) belum mencapai fiksasi. Walau fiksasi dengan metode CSC tidak secepat metode ST, namun metode ini memiliki beberapa kelebihan, antara lain lebih sederhana, mudah diaplikasikan, dapat digunakan pada contoh uji berukuran besar. Perbedaan nilai RS dan WL antara BKS bagian dalam dengan kayu Sengon disebabkan perbedaan struktur anatomi dan komposisi kimianya. Struktur anatomi BKS bagian dalam di dominasi oleh jaringan parenkim dasar yang banyak mengandung pati dan sedikit vascular bundles.
44
45
5. PENGUJIAN SIFAT FISIS, MEKANIS, ANATOMI DAN KIMIA BATANG KELAPA SAWIT TERPADATKAN DENGAN METODE CLOSE SYSTEM COMPRESSION Pendahuluan Pemadatan dengan metode CSC mampu menghasilkan fiksasi BKS secara permanen dalam waktu singkat. Walau tidak secepat metode ST, namun BKS bagian dalam sudah mencapai fiksasi permanen pada suhu 180 oC dalam waktu 30 menit dengan nilai WL sebesar 12.59%. Nilai WL yang dihasilkan ini masih lebih rendah dibandingkan nilai WL dengan metode ST. Oleh karena itu perlu diketahui pengaruh metode CSC terhadap perubahan sifat-sifat BKS bagian dalam lainnya. Karena penelitian serupa belum pernah dilakukan, maka dilakukan penelitian lanjutan untuk menganalisis sifat fisis, mekanis, anatomi dan kimia BKS terpadatkan dengan CSC. Bahan dan Metode Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan adalah BKS bagian dalam dengan kerapatan 0.3 g/cm3, polietylene glicol (PEG), alkohol, xylol, safranin, dan enthelen. Alatalat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kaliper, oven, pisau mikrotom, timbangan digital, gergaji circular, desikator, vacum, universal testing machine, hot press, autoclave
steam machine, kipas angin, dan x-ray
difractometer, fourier transform infrared (FTIR), serta slice microtom. Metode Penelitian Pemadatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pemadatan yang dikembangkan oleh Amin & Dwianto (2006), yang dinamakan close system compression (CSC) untuk mendapatkan stabilitas dimensi yang tinggi dalam waktu singkat. Prinsip kerja dari metode ini adalah air yang menguap akibat hot press berfungsi sebagai uap panas karena tidak dapat keluar dari cetakan. Contoh uji yang digunakan berukuran 15 x 2 x 5 cm (panjang, tebal, lebar) lalu dikeringkan pada suhu 60 oC sampai beratnya konstan dan diukur tebal
46
awalnya (To). Contoh uji kemudian direndam dalam air dan divakum sampai jenuh, lalu dipadatkan dengan tingkat pemadatan sebesar 50% pada suhu 120, 140, 160, 180, 200 oC selama 10, 20, 30 dan 40 menit, dengan 4 kali ulangan. Setelah dipadatkan, dilakukan pembuatan contoh uji untuk pengujian sifat fisis, mekanis, kimia dan pengamatan anatomi sesuai standar yang dijadikan acuan. Selain itu dilakukan juga pengujian kristalinitas kayu. Sifat Anatomi Pengamatan penampilan BKS baik kontrol maupun yang terpadatkan dilakukan dengan mengamati perubahan warna pada papan yang telah dipadatkan. Selain itu, pengamatan sifat anatomi dilakukan secara makroskopis dari hasil pemotretan dengan perbesaran 30 kali dan secara mikroskopis dari hasil pemotretan slide mikrotom berketebalan 30 µm yang telah diberi safranin sebagai pewarna. Sifat Fisis Sifat fisis yang diteliti adalah kerapatan dan fiksasi. Pengujian fiksasi BKS dilakukan berdasarkan Inoue et al. (1993), dimana fiksasi yang terjadi didasarkan oleh nilai pemulihan tebal atau recovery of set (RS) nya. Nilai RS dihitung dengan rumus [(Tr-Tc)/(To-Tc)]x100%, dimana To adalah tebal awal, Tc adalah tebal setelah pemadatan, Tr (tebal recovery) adalah tebal setelah direndam dalam air selama 24 jam dan direbus selama 30 menit. Semuanya diukur dalam kondisi kering tanur. Pengujian kerapatan BKS berdasarkan BS 373 tahun 1957 yang dimodifikasi.
Pengujian kerapatan dilakukan dengan menimbang berat dan
mengukur volume
kondisi kering udara. Kerapatan dihitung dengan rumus:
berat/volume (g/cm3). Sifat Mekanis Pengujian modulus of rupture (MOR) dan modulus of elasticity (MOE) berdasarkan BS 373 tahun 1957 yang dimodifikasi dengan menggunakan contoh uji yang berukuran 15 x 1 x 1 cm. Persamaan MOR = (3PL)/(2bh2) dan MOE = (∆PL3)/( ∆y 4bh3), dimana L adalah jarak sanggah, b adalah lebar contoh uji, P
47
adalah beban maksimum, h tebal contoh uji, ∆P adalah beban sebelum batas proporsi (kg) dan Δy adalah defleksi yang terjadi (cm). Nilai keteguhan tekan sejajar serat juga dihitung berdasarkan standar BS 373 tahun 1957. Keteguhan tekan sejajar serat merupakan perbandingan beban maksimum (kg) dengan luas penampang (cm2). Sifat Kimia Sifat kimia yang diteliti adalah kelarutan zat ekstraktif dalam air panas, kelarutan zat ekstraktif dalam alkohol benzene, kadar lignin, holosellulosa, dan alfa sellulosa. Contoh uji untuk pengujian kimia adalah contoh uji pemadatan pada suhu 160 oC dan 180 oC, selama 10, 20, 30 dan 40 menit, serta kontrol dalam bentuk serbuk yang lolos di 40 mesh dan tersaring di 60 mesh. Analisis komponen kimia kayu mengacu pada TAPPI (1996) yang meliputi kelarutan zat ekstraktif dalam alkohol benzene (T 204 om-88), kelarutan zat ekstraktif dalam air panas (T 207 om-88), kadar holoselulosa (TAPPI T 9m54), kadar lignin (T 222 om-88) dan kadar alfa selulosa. Metode pengujian komponen kimia kayu disajikan pada Lampiran 7 . FTIR Pada pengujian FTIR, contoh uji yang digunakan adalah kontrol dan contoh uji saat fiksasi (metode CSC pada suhu 180 oC selama 30 menit). Contoh uji berupa serbuk sebanyak 2 mg dicampur dengan 100-200 mg KBr. Campuran tersebut dihomogenkan dan dilakukan dengan cepat supaya KBr tidak menyerap air. Setelah itu campuran tersebut dimasukkan ke dalam alat pembuat pelet. Kemudian diberi perlakuan vakum pada proses tersebut selama 5 menit dan dipadatkan selama 5 menit. Selanjutnya pelet yang terbentuk dipindahkan ke tempat yang kering dan pelet siap dianalisis menggunakan FTIR. Derajat Kristalinitas Derajat
kristalinitan
dihitung
menggunakan
X-ray
Diffractometer
(Shimadzu, XRD-7000) dimana ukuran contoh uji berupa sayatan tipis dengan ukuran 0.50 mm (tebal) x 0.5 cm (lebar) x 1 cm (panjang). Derajat kristalinitas diukur dengan cara membandingkan daerah kristalin dengan jumlah daerah
48
kristalin dan amorf. Pengamatan 2θ pada kisaran 10 - 40o. Persamaan untuk derajat kristalin adalah : Derajat kristalin =
Daerah kristalin x 100% Daerah kristalin + daerah amorf
Analisis Data Data hasil pengujian sifat fisis (kerapatan) dan mekanis (MOR, MOE dan keteguhan tekan sejajar serat) BKS terpadatkan dianalisis menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan 2 faktor yaitu faktor suhu (120, 140, 160 dan 180 oC) dan faktor waktu (10, 20, 30 dan 40 menit), dengan 4 kali ulangan. Model umum rancangan acak lengkap faktorial adalah sebagai berikut (Gaspersz 1994) : Yijk =
+ Ai + Bj + (AB)ij + ijk
dimana : Yijk
= nilai pengaruh faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j pada ulangan ke-k µ = nilai rata-rata pengamatan = pengaruh faktor A taraf ke-i Ai Bj = pengaruh faktor B taraf ke-j (AB)ij = pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j ijk = pengaruh galat percobaan dari kombinasi taraf ke-i dan ke-j ulangan ke-k
Jika hasil analisis terdapat interaksi, maka dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan. Analisis data di atas menggunakan software SPSS 16.0 for Windows.
Hasil dan Pembahasan Penampilan BKS Terpadatkan Pemadatan kayu menghasilkan perubahan warna pada papan yang dipadatkan. Penampilan papan yang dipadatkan dapat dilihat pada Gambar 24. Pada Gambar 24 dapat dilihat bahwa BKS yang dipadatkan pada suhu 180 oC relatif lebih gelap dibandingkan dengan BKS lainnya. Ada kecenderungan semakin tinggi suhu pemadatan, akan semakin gelap pula warna yang dihasilkan.
49
Kontrol
120 oC
140 oC
160 oC
180 oC
Gambar 24. Penampilan BKS terpadatkan dengan metode CSC Perubahan warna selama proses pemadatan dengan CSC disebabkan oleh serangkaian reaksi kimia antara komponen dinding sel dan zat ekstraktif dalam kondisi temperatur tinggi dan steam (uap panas) yang menghasilkan kelembaban tinggi. Zhang & Cai (2006) mengemukakan bahwa pemanasan terhadap selulosa dan hemiselulosa akan mengakibatkan terjadinya perubahan warna. Hemiselulosa sangat sensitif terhadap temperatur tinggi dibandingkan selulosa. Selama proses steam (uap panas), terjadi degradasi selulosa dan hemiselulosa, kemudian pyromucic aldehyde dan beberapa polisakarida dengan berat molekul rendah yang berasal dari hemiselulosa. Lignin dan zat ekstraktif juga berkontribusi terhadap perubahan warna. Sedangkan menurut
Hayashi et al. (2002), suhu 180 oC
mengakibatkan terjadinya peluruhan lignin sehingga warna kayu berubah. Sifat Anatomi BKS Tingkat pemadatan sebesar 50% akan mengakibatkan perubahan tebal kayu dan ini akan berdampak terhadap sifat-sifat kayu yang dihasilkan, termasuk secara anatomi. Perubahan struktur anatomi pada penampang lintang tersebut dapat dilihat pada Gambar 25.
50
Vascular bundle Parenkim dasar Vessel
(A) Kontrol
(C) Kontrol
(B) Pemadatan
(D) Pemadatan
Gambar 25. Penampang lintang BKS: (A) Kontrol (B) Pemadatan dengan perbesaran 30x, (C) Kontrol, (D) pemadatan dengan perbesaran 50x Perubahan struktur anatomi BKS terpadatkan juga terjadi pada arah longitudinal. Jaringan parenkim dasar dan vessel (pori) mengalami kerusakan seperti terlihat pada Gambar 26. Fiber vessel
A. Kontrol
B. Pemadatan
Gambar 26. Penampang pada arah longitudinal BKS: (A) Pemadatan dengan perbesaran 50x
Kontrol dan (B)
51
Dari Gambar 25 dan 26 terlihat bahwa kerusakan BKS bagian dalam yang terpadatkan terjadi pada daerah parenkim dasar, vessel dan vascular bundles. Parenkim dasar dan vessel memiliki dinding yang tipis dan rongga sel yang besar sehingga pada saat pemadatan terjadi, maka yang pertama sekali mengalami kerusakan adalah daerah parenkim dasar dan vessel. Demikian juga dengan vascular bundles yang merupakan kumpulan dari serat-serat turut mengalami kerusakan, terlihat dari perubahan bentuknya. Pemadatan ini menyebabkan jarak antar vascular bundles akibat pemadatan cenderung lebih rapat. Sifat Fisis BKS Sifat fisis kayu yang diamati adalah kerapatan dan RS. Nilai rata-rata RS berkisar antara 92.36 – (-3.76) dan kerapatan BKS terpadatkan dengan metode CSC berkisar antara 0.31-0.57 g/cm3. Nilai rata-rata RS dan kerapatan disajikan pada Gambar 27 dan data selengkapnya disajikan pada Lampiran 8. 1 0.8 0.6 0.4
RS
0.2
Kerapatan
0 -0.2
Gambar 27. Hubungan antara RS dan kerapatan pada berbagai suhu dan waktu pemadatan Gambar 27 memperlihatkan bahwa suhu dan waktu pemadatan memberikan kontribusi terhadap nilai RS dan kerapatan. Nilai RS semakin menurun dengan semakin meningkatnya suhu dan semakin lamanya waktu pemadatan. Hal ini membuktikan bahwa BKS yang terpadatkan semakin meningkat stabilitas dimensinya dan semakin meningkat pula kerapatannya. Pada awal perlakuan dengan suhu 120 oC selama 10 menit, nilai RS yang dihasilkan adalah 0.92 atau 92%. Nilai RS menurun dengan meningkatnya suhu
52
dan waktu pemadatan, sehingga pada suhu 180 oC selama 30 menit nilai RS adalah 1.74%, sedangkan suhu 180 oC selama 40 menit nilai RS adalah -3.75%. Hal ini berarti terjadi penyusutan dari tebal yang ditargetkan dan menandakan telah terdegradasinya komponen kimiawi BKS. Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa pada nilai kerapatan BKS hanya faktor suhu yang berkontribusi secara signifikan, sedangkan faktor waktu pemadatan dan interaksi antara duanya tidak berpengaruh nyata. Pada nilai RS, semua faktor memberikan kontribusi secara signifikan terhadap nilai RS, baik itu faktor suhu, kerapatan, maupun interaksi keduanya (Lampiran 9). Hasil uji lanjut dengan uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa nilai RS pada saat fiksasi yaitu pada metode CSC suhu 180 oC selama 30 menit tidak berbeda nyata dengan RS yang dihasilkan pada suhu 160 oC selama 40 menit dan suhu 180 o
C selama 20 (Lampiran 10). Hal ini berarti bahwa nilai RS yang dihasilkan pada
kondisi tersebut sudah cukup bagus. Metode CSC ini menghasilkan fiksasi yang lebih cepat dibandingkan metode heat treatment. Dalam penelitian ini, fiksasi BKS bagian dalam dicapai pada suhu 180 oC selama 30 menit. Sedangkan pada metode heat treatment, meskipun menggunakan suhu 200 oC selama 3 jam masih menghasilkan RS sebesar 8.85%. Nilai kerapatan yang dihasilkan dengan metode ini meningkat seiring menurunnya nilai RS. Menurunnya nilai RS akan mengakibatkan berkurangnya tebal contoh uji, sehingga secara keseluruhan volume sampel menjadi berkurang, sementara massanya relatif tetap. Hal inilah mengakibatkan rongga sel dan dinding sel menjadi lebih padat.
Selain itu, penggunaan suhu tinggi
mengakibatkan peningkatan daerah kristalin pada struktur selulosa, dimana sebagian daerah amorf berubah menjadi daerah kristalin. Nilai kerapatan BKS terpadatkan meningkat sebesar 3.33–90%, dari 0.3 g/cm3 menjadi 0.31–0.57 g/cm3. Nilai kerapatan mulai konstan (>0.5 g/cm3) pada suhu 160 oC selama 20 menit. Nilai kerapatan tertinggi dihasilkan dari perlakuan pemadatan pada suhu 180 oC selama 30 dan 40 menit. Hasil yang sama diperoleh Murhofiq (2000) yang menunjukkan bahwa pemadatan sebesar 50% mampu meningkatkan kerapatan kayu Agathis dari 0.41 g/cm3 menjadi 0.79 g/cm3 dan
53
kayu Sengon dari 0.23 g/cm3 menjadi 0.48 g/cm3, demikian juga Sulistyono (2001) pada pemadatan kayu Agathis, kerapatan arah radial meningkat dari 0.430.46 g/cm3 menjadi 0.70-0.85 g/cm3 dan arah tangensial menjadi 0.69-0.84 g/cm3. Sifat Mekanis BKS Sifat mekanis yang diteliti adalah MOE, MOR dan keteguhan tekan sejajar serat. Nilai sifat mekanis BKS terpadatkan dengan metode CSC disajikan pada Gambar 28, 29 dan 30. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8. 30000
MOE (kg/cm2)
25000 20000 10 menit
15000
20 menit
10000
30 menit
5000
40 menit Kontrol
0 120
140
160
180
Suhu (oC)
Gambar 28. Nilai MOE BKS terpadatkan dengan metode CSC
240
MOR (kg/cm2)
200 160 10 menit
120
20 menit
80
30 menit
40
40 menit Kontrol
0 120
140
160
180
Suhu (oC)
Gambar 29. Nilai MOR BKS terpadatkan dengan metode CSC
54
Tekan // serat (kg/cm2)
140 120 100 80
10 menit
60
20 menit 30 menit
40
40 menit
20
Kontrol
0 120
140
160
180
Suhu (oC)
Gambar 30. Nilai keteguhan tekan sejajar serat BKS terpadatkan dengan metode CSC Pada gambar-gambar di atas tersebut terlihat bahwa suhu dan waktu pemadatan memberikan kontribusi terhadap sifat mekanis yang diteliti. Semua sifat mekanis (MOE, MOR dan keteguhan tekan sejajar serat) cenderung meningkat seiring meningkatnya suhu dan waktu pemadatan Peningkatan nilai MOE BKS bagian dalam setelah dipadatkan sebesar 43.22192.74%, MOR meningkat 14.31-192.81% dan keteguhan tekan sejajar serat meningkat 18.93-123.20%. Secara keseluruhan, sifat mekanis tertinggi dihasilkan pada pemadatan suhu 160oC selama 40 menit, diikuti oleh pemadatan suhu 180oC selama 30 menit. Berdasarkan kelas kuat kayu (PKKI 1961), maka nilai MOR dan keteguhan tekan sejajar serat yang dihasilkan tersebut masuk Kelas Kuat V. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor suhu dan waktu memberikan kontribusi terhadap nilai MOR dan MOE, sedangkan interaksi antara keduanya tidak berpengaruh nyata. Pada keteguhan tekan sejajar serat, hanya faktor suhu yang memberikan kontribusi terhadap nilai keteguhan tekan (Lampiran 9). Peningkatan sifat mekanis ini juga terkait dengan meningkatnya nilai derajat kristalinitas. Hal ini terjadi karena panas yang ada saat BKS dikempa mampu melunakkan komponen matriks penyusun dinding sel yang ada di bagian permukaan mengakibatkan BKS menjadi lebih kering (molekul air berkurang), daerah amorf menjadi berkurang pada selulosa, serta merapatnya benang-benang makrofibril membentuk fraksi kristalik.
55
Kristalinitas Kristalinitas BKS bagian dalam yang dipadatkan dengan CSC diteliti hanya pada suhu 160 oC dan 180 oC dengan waktu 10, 20, 30 dan 40 menit disajikan pada Gambar 31, data selengkapnya disajikan pada Lampiran 11. 55.49
60
48.7 50.14
Kristalinitas (%)
50
39.4
43.98 45.28
49.51 44.52
40 30
26.86
20 10 0
Gambar 31. Nilai kristalinitas BKS terpadatkan Pada gambar di atas, terlihat adanya peningkatan nilai kristalinitas BKS yang terpadatkan dibandingkan kontrol (26.86%). Pada suhu 160
o
C nilai
kristalinitas meningkat seiring lamanya waktu pemadatan, sedangkan pada suhu 180 oC nilai kristalinitas meningkat dari waktu 10 menit hingga 30 menit dan mengalami penurunan pada waktu 40 menit. Hubungan antara sifat mekanis kayu dengan derajat kristalinitas disajikan pada Gambar 32. Hubungan antara kristalinitas dan ketiga sifat mekanis yang diteliti ditunjukkan oleh garis polynomial. Hubungan kristalinitas dengan MOE ditentukan oleh persamaan y = -2E-07x2 + 0.011x - 124.5, dengan R² = 0.856; hubungannya dengan MOR y = 0.004x2 - 1.450x + 149.8, dengan R² = 0.809, sedangkan dengannya dengan keteguhan tekan sejajar serat y = 0.012x2 - 2.229x + 141.2, dengan R² = 0.695. Hal ini menunjukkan bahwa sifat mekanis memiliki hubungan yang erat dengan daerah kristalinitas, diindikasikan dari nilai R2 yang tinggi. Semakin tinggi derajat kristalinitasnya, akan semakin tinggi pula sifat fisismekanis yang dihasilkan.
Derajat Kristalinitas (%)
56
60
y = -2E-07x2 + 0.011x - 124.5 R² = 0.856
55 50 45 40 35 30 19000
21000
23000
25000
27000
29000
MOE (kg/cm2)
(1)
Derajat Kristalinitas (%)
60 55
y = 0.004x2 - 1.450x + 149.8 R² = 0.809
50 45 40 35 30 120
140
160
180
200
220
MOR (kg/cm2)
(2)
Derajat Kristalinitas (%)
60
y = 0.012x2 - 2.229x + 141.2 R² = 0.695
55 50 45 40 35 30 95
100
105
110
115
120
125
Keteguhan Tekan (kg/cm2)
(3) Gambar 32. Hubungan kristalinitas dengan (1) MOE, (2) MOR dan (3) keteguhan tekan sejajar serat.
57
Mitsui et al. (2008) mengemukakan bahwa perlakuan pemanasan akan mendegradasi kelompok-kelompok hidroksil selulosa yang diawali dengan daerah amorf, kemudian daerah semikristalin, dan diakhiri di daerah kristalin. Perubahan dari daerah amorf ke daerah kristalin menyebabkan daya serap air menjadi berkurang sehingga kayu akan lebih stabil. Perlakuan pemadatan dengan metode CSC dapat menyebabkan perubahan gugus fungsi komponen kimia BKS. Untuk melihat perubahan tersebut dilakukan uji FTIR. Contoh uji yang digunakan adalah BKS kontrol dan yang terpadatkan pada suhu 180 oC selama 30 menit. Hasil uji FTIR ditunjukkan pada Gambar 33.
C-H
C=O C=C O
O-H
Gambar 33. Pita serapan FTIR BKS pada kondisi kontrol dan yang terpadatkan (merah = kontrol; biru = pemadatan suhu 180 oC, 30 menit) Hasil pencirian dengan spektrum FTIR, BKS mempunyai pita serapan pada bilangan gelombang 3412.71-3416.69 cm-1 yang merupakan gugus O-H dan bilangan gelombang 2920.78 cm-1 yang mengindikasikan gugus C-H. Selain itu terlihat pita serapan pada panjang gelombang 1737.74-1736.13 cm-1 mengindikasikan
gugus
C=O,
panjang
gelombang
1616-1620
cm-1
mengindikasikan vibrasi cincin aromatik dan panjang gelombang 1512 cm-1 mengindikasikan gugus C=C (Cresswell et al. 1982; Supratman 2007). Fengel &
58
Wegener (1995) mengemukakan bahwa sebagian besar fingerprint lignin di dapat sekitar 1510 cm-1 dan 1600 cm-1. Pada umumnya pemadatan pada suhu tinggi di atas 120
o
C akan
menguapkan air yang ada di dalam kayu, baik itu air bebas di lumen atau rongga sel, maupun air terikat yang ada di dinding sel. Cresswell et al. (1982) mengemukakan bahwa absorpsi O-H terikat terlihat pada panjang gelombang 3450-3200 cm-1 sebagai pita yang agak lebar dan kuat.
Sedangkan getaran
-1
regangan O-H bebas berada pada daerah 3700-3500 cm . Penguapan air dari dalam kayu akan menyebabkan terlepasnya gugus hidroksil selulosa, sehingga kandungan gugus hidroksil akan berkurang dan terjadi perubahan pada puncak-puncaknya di panjang gelombang sekitar 3400 cm-1 nya. Perubahan puncak-puncak akibat pemanasan pada suhu tinggi terjadi pada partikel Bambu dan Sengon (Suhasman 2011), kayu Agathis dan Mangium (Hadiyane 2011). Namun pada pemadatan metode CSC tidak terjadi perubahan puncak, baik pada gugus O-H maupun gugus C-H. Hal ini karena pada metode CSC, uap air panas yang keluar dari kayu terjebak dalam autoclave selama proses pemadatan. Pada Gambar 33 terlihat perubahan puncak pada panjang gelombang 1737.74-1736.13 cm-1 yang mengindikasikan
gugus C=O. Intensitas panjang
gelombang BKS yang diberi perlakuan meningkat dibandingkan kontrol. Tjeerdsma & Militz (2005) mengemukakan bahwa kayu yang diberi perlakuan uap air panas pada suhu tinggi menghasilkan asam asetat, diindikasikan dari peningkatan intensitas panjang gelombang 1740 cm-1. Asam asetat ini dihasilkan dari degradasi karbohidrat, khususnya hemiselulosa. Kadar asam asetat meningkat seiring peningkatan suhu dan waktu. Sedangkan pada perlakuan panas (kondisi kering) terjadi proses esterifikasi dari lignin kompleks. Esterifikasi berkontribusi pada penurunan higroskopis kayu dan peningkatan stabilitas dimensi serta keawetan. Selain itu, BKS mengandung banyak pati. Bakar et al. (1998) mengemukakan bahwa pada BKS bagian dalam kandungan patinya dapat mencapai 5.9%. Daerah fingerprint pati berada pada panjang gelombang 8001200 cm-1 (Savenou et al. 2002). Berdasarkan spektrum FTIR, pada puncak
59
1035.48-1054 cm-1 tersebut puncak yang dihasilkan melebar.
Hal itu
mengindikasikan bahwa BKS memiliki kandungan pati yang cukup besar. Pada panjang gelombang tersebut puncak yang dihasilkan sangat berbeda pada Bambu dan Sengon (Suhasman 2011), kayu Agathis dan Mangium (Hadiyane 2011), dimana puncak yang dihasilkan tajam dan mengecil. Namun pemadatan BKS dengan metode CSC pada suhu 180 oC selama 30 menit secara umum tidak terdapat perbedaan pita serapan yang jelas dibandingkan kontrol. Hal ini terjadi karena tidak ada senyawa kimia yang dimasukkan ke dalam papan yang dipadatkan, sehingga tidak terjadi perubahan gugus fungsi komponen kimia. Perubahan yang terjadi kebanyakan lebih kepada intensitasnya. Pada BKS terpadatkan, intensitas lebih meningkat dibandingkan dengan BKS kontrol. Sifat Kimia BKS Sifat kimia yang diteliti adalah holoselulosa, alfa selulosa, lignin, kelarutan ekstraktif dalam alkohol benzene dan dalam air panas. Nilai komponen kimia BKS bagian dalam yang terpadatkan dengan metode CSC disajikan pada Tabel 8. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 12. Tabel 8. Komponen kimia BKS bagian dalam yang terpadatkan dengan metode CSC Suhu (oC) Kontrol 160 160 160 160 180 180 180 180
Waktu (menit)
Holoselulosa (%)
Alfa Selulosa (%)
Lignin (%)
10 20 30 40 10 20 30 40
63.99 62.46 61.75 60.97 58.52 61.61 60.35 58.69 57.66
52.33 53.71 53.67 54.52 55.24 53.51 54.23 54.78 55.37
19.59 26.43 28.53 28.39 30.31 27.54 29.95 31.61 33.2
Holoselulosa
merupakan
produk
yang
Kelarutan Alkohol Air Panas Benzen (%) (%) 2.24 25.79 2.78 15.69 3.5 16.93 4.97 16.9 5.65 18.07 5.02 16.14 5.88 17.26 8.57 20.66 9.83 21.89
dihasilkan
setelah
lignin
dihilangkan dari kayu. Holoselulosa mewakili jumlah dari selulosa dan hemiselulosa. Hemiselulosa mempunyai derajat polimerisasi yang lebih rendah
60
dibandingkan selulosa sehingga lebih mudah terdegradasi oleh panas (Achmadi 1990, Fengel & Wegener 1995). Tabel 8 menunjukkan bahwa holoselulosa menurun seiring dengan peningkatan suhu dan waktu pemadatan. Berkurangnya kadar holoselulosa disebabkan karena adanya degradasi komponen hemiselulosa. Tjeerdsma & Militz (2005) mengemukakan bahwa uap air panas pada suhu tinggi menyebabkan peningkatan kadar asam asetat, seiring peningkatan suhu dan waktu. Asam asetat ini dihasilkan dari degradasi hemiselulosa.
Sedangkan Morsing (2000)
mengemukakan bahwa dalam kondisi basah, gelatinasi hemiselulosa kayu mulai terjadi pada suhu 25 oC dan kerusakan terjadi pada suhu 160 oC. Sebaliknya, alfa selulosa meningkat seiring dengan meningkatnya suhu dan waktu pemadatan. Hsu et al. (1988) mengemukakan bahwa perlakuan panas dapat menyebabkan kayu terfiksasi karena adanya hidrolisa pada hemiselulosa. Hasil yang sama diperoleh dalam penelitian Boonstra & Tjeerdsma (2006). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sulitnya selulosa terdegradasi di bawah suhu 200 oC (Torress et al. 1986 dalam Boonstra and Tjeerdsma, 2006). Lebih lanjut, Fengel and Wegener (1984) mengemukakan bahwa perlakuan suhu tinggi meningkatkan struktur kristalin pada selulosa. Tabel 8 juga memperlihatkan bahwa
meningkatnya suhu dan waktu
kempa pada CSC, maka lignin yang dihasilkan cenderung meningkat. Lignin terbesar didapatkan pada kondisi suhu 180 oC selama 40 menit dengan kadar lignin mencapai 33%. Hasil yang sama juga diperoleh oleh Boonstra & Tjeerdsma (2006) dan Danang et al. (2009). Hal senada juga diungkapkan oleh Fengel & Wegener (1995) bahwa kandungan lignin tetap konstan dalam kisaran suhu yang lebar, dimana di atas suhu 140-150
o
C kandungan lignin naik. Kenaikan
kandungan lignin pada perlakuan panas terjadi karena sebagian dari degradasi karbohidrat oleh perlakuan panas kemungkinan menahan fraksi lignin dengan analisis Klason lignin. Sedangkan Boonstra & Tjeerdsma (2006) mengemukakan bahwa reaksi kondensasi lignin berkontribusi terhadap kandungan lignin yang lebih tinggi. Terutama pada suhu tinggi, depolimerisasi hemiselulosa dapat berpengaruh terhadap reaksi polimerisasi lignin.
61
Zat ekstraktif yang larut dalam alkohol benzen adalah malam, lemak, resin dan komponen-komponen yang tidak larut dalam eter, sedangkan zat ekstraktif yang larut dalam air panas adalah tanin, gum, gula dan zat berwarna dalam kayu serta pati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar zat ekstraktif baik yang terlarut dalam alkohol benzen maupun dalam air panas meningkat seiring peningkatan suhu dan waktu pemadatan. Hal ini diduga karena zat yang terlarut bukan hanya zat ekstraktif, melainkan hasil ikutan akibat terdegradasinya hemiselulosa.
Perlakuan
panas
cenderung
menyebabkan
hemiselulosa
terdegradasi menjadi gula sederhana akibat pemutusan ikatan molekul oleh panas. Maka dari itu, dengan semakin lama suhu dan waktu kempa maka pemutusan ikatan pada hemiselulosa menjadi lebih banyak sehingga akan menjadi gula sederhana yang terlarut. Komponen hemiselulosa akan terlarut bersama zat ekstraktif. Tingginya kadar zat ekstraktif pada kelarutan air panas dibandingkan dengan alkohol benzen disebabkan karena pada BKS bagian dalam banyak mengandung pati. Menurut Fengel & Wegener (1995) gula, pati, zat warna dan lain sebagainya termasuk dalam ekstraktif yang larut dalam pelarut-pelarut netral.
Simpulan Pemadatan dengan metode CSC mengakibatkan terjadinya peningkatan kristalinitas BKS bagian dalam akibat meningkatnya
suhu dan waktu. Ada
hubungan yang erat antara kristalinitas dengan sifat fisis dan mekanis BKS. Kerapatan BKS terpadatkan meningkat sebesar 3.33-90%, MOE sebesar 43.22192.74%, MOR sebesar 14.31-192.81% dan keteguhan tekan sejajar serat sebesar 18.93-123.20%. Walau sudah terjadi peningkatan, namun berdasarkan kelas kuat kayu (PKKI 1961), kerapatan masuk Kelas Kuat III, MOR dan keteguhan tekan sejajar serat masuk ke dalam Kelas Kuat V. Peningkatan suhu dan waktu pemadatan dengan CSC menyebabkan perubahan warna, struktur anatomi dan komponen kimia BKS terpadatkan. Semakin meningkat waktu dan suhu pemadatan menyebabkan warna BKS semakin gelap. Berdasarkan struktur anatomi dapat diketahui bahwa vascular
62
bundles, pori dan jaringan parenkim dasar pada BKS yang dipadatkan menjadi memipih. Jarak antar vascular bundles akibat pemadatan juga cenderung lebih rapat. Pemadatan dengan CSC menyebabkan kadar holoselulosa berkurang, namun terjadi peningkatan kadar alfa selulosa, lignin, dan zat ekstraktif yang terlarut dalam alkohol benzen dan dalam air panas. Hasil FTIR antara BKS terpadatkan secara umum tidak terdapat perbedaan pita serapan yang jelas dibandingkan kontrol. Perubahan yang terjadi kebanyakan lebih kepada intensitasnya. Pada BKS yang dipadatkan, intensitas lebih meningkat dibandingkan dengan kontrol.
63
6. FIKSASI DAN SIFAT FISIS-MEKANIS BATANG KELAPA SAWIT TERKOMPREGNASI FENOL FORMALDEHIDA Pendahuluan Peningkatan kualitas BKS bagian dalam telah dilakukan dengan metode CSC. Fiksasi permanen dicapai pada suhu 180 oC selama 30 menit. Namun sifat mekanisnya masih rendah, karena berdasarkan kelas kuat kayu (PKKI 1961) masuk Kelas Kuat V. Oleh karena itu dilakukan penelitian lanjutan dengan mengimpregnasi resin khususnya fenol formaldehida (phenol formaldehyde = PF) ke dalam BKS. Penggunaan PF diketahui mampu meningkatkan stabilitas dimensi dan meningkatkan sifat fisis dan mekanis. Fiksasi permanen akan dapat dihasilkan jika PF mampu berpenetrasi ke dalam struktur BKS. Pemadatan awal pada contoh uji diduga akan mampu meningkatkan penetrasi PF, karena PF yang digunakan bukan senyawa dengan berat molekul rendah. Demikian juga dengan metode impregnasi, akan berpengaruh terhadap penetrasi PF ke dalam BKS. Berdasarkan hal tersebut dilakukan penelitian pengaruh pra-impregnasi PF terhadap sifat fisis dan mekanis BKS terkompregnasi dengan CSC. Bahan dan Metode Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan adalah BKS bagian dalam dan PF. Alat-alat yang digunakan terdiri dari kaliper, oven, timbangan digital, gergaji circular, vacuum machine, kempa panas (hot press), dan FTIR. Metode Penelitian Conton uji berupa BKS bagian dalam dengan kerapatan rata-rata 0.34 g/cm3 berukuran 15 (panjang) x 2 (tebal) x 5 (lebar) cm. Contoh uji dikeringkan dalam oven pada suhu 60 oC selama 3 hari, kemudian diukur berat kering oven (Wo) dan tebal (To). Contoh uji secara garis besar dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu tanpa dan dengan pemadatan awal. Pemadatan awal dilakukan sampai kondisi drying set
64
yaitu contoh uji dipadatkan 50% pada suhu 100 oC selama 4 jam. Pada kondisi drying set ini, contoh uji tidak akan recovery lagi setelah dikeluarkan dari kempa panas, namun masih bisa recovery apabila terkena air atau kelembaban tinggi. Diharapkan dengan kondisi ini, ketika diimpregnasi akan semakin banyak PF yang masuk. Kemudian contoh uji diimpregnasi PF konsentrasi 20% dengan cara direndam selama 24 jam; vakum 600 mm Hg selama 1 jam; dan vakum 600 mm Hg selama 1 jam, dilanjutkan dengan tekan pada tekanan 10 kg/cm2 selama 30 menit. Masing-masing perlakuan dengan 4 ulangan (Tabel 9). Tabel 9. Skema metode impregnasi PF Kode A B C D E F
Metode Impregnasi Tanpa pemadatan awal, Rendam selama 24 jam Tanpa pemadatan awal, Vakum selama 1 jam, Tanpa pemadatan awal, Vakum selama 1 jam dan tekan selama 30 menit Pemadatan awal, Rendam selama 24 jam Pemadatan awal, Vakum selama 1 jam, Pemadatan awal, Vakum selama 1 jam dan tekan selama 30 menit
Contoh uji yang telah diberi perlakuan PF kemudian dioven pada suhu 60 o
C selama 15 jam. Kemudian contoh uji dipadatkan sebesar 50% dengan metode
CSC pada suhu 135 oC selama 10 menit berdasarkan spesifikasi dari PT. Pamolite Adhesive Industri (Lampiran 13), dibuang uap air panasnya dan dipertahankan selama 10 menit. Contoh uji terpadatkan diletakkan pada suhu ruang selama 2 minggu. kemudian diukur berat dan dimensinya. Selanjutnya contoh uji dipotong-potong untuk pengujian sifat fisis (kerapatan dan RS) dan sifat mekanis (MOE, MOR, tekan sejajar serat). Contoh uji kerapatan dan RS berukuran 2 cm x 2 cm x 1 cm, MOE/MOR berukuran 15 cm x 1 cm x 1 cm, dan tekan sejajar serat berukuran 4 cm x 1 cm x 1 cm. Sifat Fisis Sifat fisis yang diteliti adalah kerapatan, fiksasi dan penambahan berat (weight gain = WG). Pengujian fiksasi BKS dilakukan berdasarkan Inoue et al. (1993), dimana fiksasi yang terjadi didasarkan oleh nilai RS, sedangkan kerapatan mengacu pada standar BS 373 tahun 1957 yang dimodifikasi. Nilai RS dihitung dengan rumus [(Tr-Tc) / (To-Tc)] x 100%, dimana To adalah tebal awal, Tc adalah tebal setelah pemadatan, dan Tr (tebal recovery)
65
adalah tebal setelah direndam dalam air selama 24 jam dan direbus selama 30 menit. Semuanya diukur dalam kondisi kering tanur. Pengujian kerapatan BKS dilakukan dengan menimbang berat dan mengukur volume sampel pada kondisi kering udara. Kerapatan dihitung dengan rumus: berat / volume (g/cm3). Pengujian weight gain (WG) dilakukan dengan menimbang berat awal contoh uji dan berat setelah kompregnasi PF. WG dihitung dengan rumus = {(WP-Wa) / Wa} x 100% dimana Wa adalah berat awal contoh uji dan WP adalah berat setelah diberi perlakuan. Sifat Mekanis Pengujian modulus of rupture (MOR) dan modulus of elasticity (MOE) berdasarkan BS 373 tahun 1957 yang dimodifikasi dengan menggunakan contoh uji yang berukuran 15 x 1 x 1 cm. MOR dihitung dengan rumus: (3PL) / (2bh2) dan MOE dengan rumus: (∆P L3) / ( ∆y 4bh3), dimana L adalah jarak sangga, b adalah lebar contoh uji, P adalah beban maksimum, h tebal contoh uji, ∆P adalah beban sebelum batas proporsi (kg) dan Δy adalah defleksi yang terjadi (cm). Nilai keteguhan tekan sejajar serat juga dihitung berdasarkan standar BS 373 tahun 1957. Keteguhan tekan sejajar serat merupakan perbandingan antara beban maksimum (kg) dengan luas penampang (cm2) nya. Analisis Data Data hasil pengujian sifat fisis (kerapatan, RS) dan mekanis (MOR, MOE dan tekan) BKS terpadatkan dengan pra-impregnasi PF dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap sederhana dengan 4 (empat) kali ulangan. Model umum rancangan acak lengkap sederhana adalah sebagai berikut (Gaspersz 1994) : Yijk = dimana : Yijk µ Ai ijk
= = = =
+ Ai + ij nilai pengaruh faktor A taraf ke-i pada ulangan ke-j nilai rata-rata pengamatan pengaruh faktor A taraf ke-i pengaruh galat percobaan dari taraf ke-i ulangan ke-j
Jika hasil analisisnya berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji wilayah berganda duncan. Analisis data di atas menggunakan software SPSS 16.0 for Windows.
66
Hasil dan Pembahasan Sifat Fisis BKS Terkompregnasi PF Hasil penelitian sifat fisis memperlihatkan bahwa nilai kerapatan rata-rata BKS yang telah terkompregnasi PF konsentrasi 20% berkisar antara 0.66-0.94 g/cm3, nilai RS berkisar antara 1.92-40.25%, sedangkan WG berkisar antara 10.59-50.94%. Nilai kerapatan, RS dan WG rata-rata disajikan pada Tabel 10, sedangkan nilai selengkapnya disajikan pada Lampiran 14. Tabel 10. Sifat fisis BKS terkompregnasi PF
A
Kontrol Tanpa pemadatan awal, rendam
Kerapatan (g/cm3) 0.34 0.70
RS (%) 40.25
WG (%) 11.52
B
Tanpa pemadatan awal, vakum
0.77
3.56
28.37
C
Tanpa pemadatan awal, vakum tekan
0.94
1.92
50.94
D
Pemadatan awal, rendam
0.66
26.11
10.59
E
Pemadatan awal, vakum
0.72
13.55
17.39
F
Pemadatan awal, vakum tekan
0.80
2.50
36.68
Kode
Metode
Pada Tabel 10 diketahui bahwa nilai kerapatan dan nilai WG tertinggi dihasilkan dari metode C (tanpa pemadatan awal dengan vakum tekan) dengan nilai kerapatan sebesar 0.94 g/cm3 dan nilai WG sebesar 50.94%. Sedangkan nilai RS yang terbaik adalah nilai RS yang terkecil. Semakin kecil nilai RS, maka semakin stabil contoh uji dari pengaruh air dan kelembaban tinggi. Nilai RS di bawah 5% dihasilkan dari metode B, C dan F, secara berurutan nilai yang dihasilkan sebesar 3.56, 1.92 dan 2.50% Hal ini berarti perlakuan tersebut sangat efektif untuk stabilitas dimensi setelah BKS tersebut dipadatkan. Nilai kerapatan dan nilai RS yang dihasilkan ini berhubungan dengan WG. Semakin tinggi WG, maka kerapatan yang dihasilkan akan semakin tinggi sedangkan nilai RS akan semakin rendah. Hubungan antara WG dengan nilai kerapatan dan RS ditunjukkan pada Gambar 34.
67
Kerapatan (g/cm3)
1.00 y = 9E-05x2 + 0.000x + 0.665 R² = 0.966
0.90 0.80 0.70 0.60 0.50 0
10
20
30
40
50
60
50
60
WG (%)
R S (%)
(1) 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
y = 3559.x-1.97 R² = 0.957
0
10
20
30
40
WG (%) (2) Gambar 34. Hubungan antara (1) kerapatan dengan WG dan (2) RS dengan WG Hubungan antara WG dengan kerapatan dan RS ditunjukkan oleh garis polynomial, dimana persamaan untuk hubungan WG dan kerapatan adalah y = 9E-05 x2 + 0.000 x + 0.665 dengan R² = 0.966; sedangkan persamaan untuk WG dan RS ditunjukkan oleh garis power y = 3559 x-1.97 dengan R² = 0.957. Hal ini menunjukkan bahwa nilai kerapatan dan RS memiliki hubungan yang nyata dengan WG, diindikasikan dari tingginya nilai R2 yang dihasilkan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa metode impregnasi berpengaruh sangat nyata terhadap nilai RS dan kerapatan (Lampiran 15). Hasil uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa nilai kerapatan pada semua
68
perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Sedangkan pada nilai RS, metode B, C dan F tidak berbeda nyata. Pada perlakuan tersebut, nilai RS yang dihasilkan di bawah 5% (Lampiran 16). Metode impregnasi memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai kerapatan dan RS. Peningkatan kerapatan pada BKS terkompregnasi PF sebesar 94.11-176.47%. Kerapatan tertinggi dihasilkan dari metode C sebesar 0.94 g/cm3. Jika diklasifikasikan berdasarkan kelas kuat kayu (PPKI 1961), maka nilai tersebut masuk ke dalam kelas kuat I. Demikian juga dengan nilai RS, dimana nilai RS terkecil dihasilkan dari Metode C. Pada metode ini, PF lebih banyak masuk ke dalam BKS dibandingkan metode perlakuan lainnya. Hal ini terlihat dari nilai WG yang dihasilkan (Tabel 10). Resin PF termasuk bahan yang hidropobik, sehingga dengan masuknya PF ke dalam struktur BKS bagian dalam akan mengisi rongga di jaringan parenkim dasar, vessel dan rongga-rongga kosong lainnya, sehingga menyebabkan stabilitas dimensi BKS menjadi meningkat. Hal ini menyebabkan RS menjadi berkurang dengan semakin meningkatnya WG atau PF yang masuk ke dalam BKS. Selain itu, masuknya PF menyebabkan peningkatan terhadap kerapatan BKS. PF yang masuk ke dalam dinding sel kayu akan memberikan kontribusi terhadap stabilitas dimensi kayu (Furuno et al. 2004) atau pada bambu strip (Anwar et al. 2009). Demikian juga Gabrielli dan Kamke (2008) menyebutkan bahwa PF mampu meningkatkan stabilitas dimensi dan juga mengurangi pengembangan tebal kayu. Sifat Mekanis BKS Terkompregnasi PF Hasil penelitian sifat mekanis memperlihatkan bahwa nilai rata-rata MOR BKS yang telah terkompregnasi PF berkisar antara 359.38-504.46 kg/cm2, MOE berkisar antara 25289-47069 kg/cm2, dan keteguhan tekan sejajar serat berkisar antara 146.06-231.94 kg/cm2. Nilai sifat mekanis disajikan pada Gambar 35, 36 dan 37, sedangkan nilai selengkapnya disajikan pada Lampiran 14.
69
MOR (kg/cm2)
600 500 400 300 200 Kontrol
100 0 A
B
C
D
E
F
Metode
Gambar 35. Nilai MOR BKS terkompregnasi PF
MOE (kg/cm2)
60000 50000 40000 30000 20000 Kontrol
10000 0 A
B
C
D
E
F
Metode
Gambar 36. Nilai MOE BKS terkompregnasi PF
Tekan //serat (kg/cm2)
300 250 200 150 100
Kontrol
50 0 A
B
C
D
E
F
Metode
Gambar 37. Nilai keteguhan tekan sejajar serat BKS terkompregnasi PF Keterangan : A = Tanpa pemadatan awal, rendam B = Tanpa pemadatan awal, vakum C = Tanpa pemadatan awal, vakum-tekan
D = Pemadatan awal, rendam E = Pemadatan awal, vakum F = Pemadatan awal, vakum-tekan
70
Berdasarkan gambar-gambar di atas terlihat bahwa sifat mekanis yang dihasilkan menunjukkan pola yang sama, baik MOR, MOE dan keteguhan tekan sejajar serat. Sifat mekanis pada contoh uji tanpa pemadatan (metode A, B dan C) lebih tinggi dibandingkan dengan contoh uji dengan pemadatan awal (metode D, E dan F).
Di tinjau dari cara masuknya PF, maka sifat mekanis tertinggi
dihasilkan dari metode vakum tekan (C, F), diikuti vakum (B, E) dan yang terakhir adalah rendaman (A, D). Peningkatan nilai MOR BKS bagian dalam setelah kompregnasi PF dalam CSC sebesar 191.7-309.5%, MOE sebesar 108.2-287.5% dan keteguhan tekan sejajar serat sebesar 83.72-191.75%. Secara keseluruhan, sifat mekanis tertinggi dihasilkan pada metode C yaitu perlakuan tanpa pemadatan awal dengan metode vakum tekan. Berdasarkan kelas kuat kayu (PKKI 1961) untuk nilai MOR masuk kelas III dan keteguhan tekan sejajar serat masuk kelas IV. Nilai sifat mekanis yang dihasilkan ini berhubungan dengan WG. Semakin tinggi WG, maka semakin tinggi pula MOR, MOE dan keteguhan tekan sejajar serat. Hubungan antara WG dengan nilai MOR, MOE dan keteguhan tekan sejajar serat ditunjukkan pada Gambar 38. Hubungan antara WG dengan ketiga sifat mekanis yang diteliti ditunjukkan oleh garis polynomial, dimana persamaan untuk hubungan WG dengan MOR adalah y = -0.015 x2 + 4.103 x + 333.5 dengan R² = 0.949; dengan MOE adalah y = -8.754 x2 + 1031 x + 17063 dengan R² = 0.983; dan dengan keteguhan tekan sejajar serat adalah y = -0.013 x2 + 2.806 x + 125.2 dengan R² = 0.928. Hal ini menunjukkan bahwa MOR, MOE dan keteguhan tekan sejajar serat memiliki hubungan yang signifikan dengan WG, diindikasikan dari tingginya nilai R2 yang dihasilkan.
71
550
MOR (kg/cm2)
500 450 400
y = -0.015x2 + 4.103x + 333.5 R² = 0.949
350 300 250 200 150 0
10
20
30
40
50
60
WG (%)
(1)
MOE (kg/cm2)
50000 45000 40000
y = -8.754x2 + 1031.x + 17063 R² = 0.983
35000 30000 25000 20000 15000 0
10
20
30
40
50
60
WG (%)
Keteguhan Tekan (kg/cm2)
(2)
260 240 220 200 180 160 140 120 100
y = -0.013x2 + 2.806x + 125.2 R² = 0.928
0
10
20
30
40
50
60
WG (%)
(3) Gambar 38. Hubungan antara (1) MOR dengan WG, (2) MOE dengan WG dan (3) keteguhan tekan sejajar serat dengan WG
72
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa metode impregnasi memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap sifat mekanis kayu, baik itu MOR, MOE maupun keteguhan tekan sejajar serat (Lampiran 15). Hasil uji lanjut dengan uji wilayah berganda duncan memperlihatkan bahwa metode C dan F tidak berbeda nyata terhadap nilai MOE dan keteguhan tekan sejajar serat, sedangkan pada nilai MOR, metode C berbeda nyata dengan yang lainnya (Lampiran 16). Hal ini berarti walaupun sifat mekanis terbaik dihasilkan dengan metode C (tanpa pemadatan dengan vakum tekan), namun metode F (dengan pemadatan, vakum tekan) dapat sebagai alternatif dalam pemilihan metode untuk mengimpregnasi PF ke dalam BKS. Metode vakum tekan merupakan metode yang terbaik. Pada awalnya, BKS vakum dilakukan untuk mengeluarkan udara yang ada di dalam contoh uji, kemudian ditekan dengan tekanan 10 kg/cm2 memaksa PF masuk ke dalam struktur BKS. Hal ini menyebabkan jaringan pada parenkim dasar dan juga pada vessel menjadi rusak dan terbuka, sehingga PF menjadi mudah masuk. Resin PF akan menempati rongga-rongga di jaringan parenkim dasar dan juga di vessel (pori) seperti terlihat pada Gambar 39.
B
A
PF di Parenkim dasar
PF di Parenkim dasar PF di Vessel
PF di Vessel
Gambar 39. Resin PF yang menempati rongga vessel dan parenkim dasar pada (A) penampang lintang dan (B) penampang radial Peningkatan nilai MOR, MOE dan keteguhan tekan sejajar serat karena banyaknya PF yang masuk ke dalam struktur jaringan BKS. Masuknya PF ke dalam struktur jaringan BKS meningkatkan sifat fisis dan mekanis kayu. Hal
73
senada disampaikan oleh Shams et al. ( 2004) bahwa
PF secara signifikan
mampu meningkatkan sifat mekanis kayu. Demikian juga Anwar et al. (2009) yang mengemukakan bahwa pemberian PF pada bamboo strip mampu meningkatkan sifat mekanis kayu (MOE, MOR dan tekan sejajar serat) jika dibandingkan dengan kontrol. Hasil uji FTIR menunjukkan bahwa adanya ikatan antara resin PF dengan BKS dilihat dengan perubahan gugus fungsi seperti pada Gambar 40.
Kontrol
O-H
Gambar 40.
C-H
Kompregnasi PF C=O
C=C O
Pita serapan FTIR BKS pada kondisi kontrol dan yang terkompregnasi PF (merah = kontrol; biru = resin PF; hijau = kompregnasi PF)
Hasil pencirian dengan spektrum infra merah terlihat bahwa pada panjang gelombang 3400 cm-1 (gugus O-H), puncak semakin melebar karena adanya penambahan gugus OH dari fenol yang berasal dari PF. Pada panjang gelombang 2920.78 cm-1 yang mengindikasikan gugus C-H, puncaknya semakin kecil. Sedangkan pada panjang gelombang 1736.52 cm-1 yang mengindikasikan adanya gugus C=O, tidak terlihat lagi pada contoh uji yang terkompregnasi PF. Hal ini mengindikasikan adanya ikatan antara komponen penyusun BKS dengan PF
74
Simpulan
Metode impregnasi PF yang menghasilkan fiksasi rendah (RS di bawah 5%) adalah metode tanpa pemadatan awal (dengan vakum tekan atau vakum) dan metode pemadatan awal dengan vakum tekan. Metode ini menyebabkan banyak PF masuk ke dalam struktur BKS dan mengisi vessel (pori) serta
jaringan
parenkim dasar, diindikasikan dengan WG yang tinggi. Impregnasi PF yang masuk mampu meningkatkan fiksasi dan kerapatan BKS, serta sifat mekanisnya. Kerapatan meningkat sebesar 94.12-176.47%, MOR sebesar 191.7-309.5%, MOE 108.2-287.5%, sedangkan nilai keteguhan tekan sejajar serat meningkat sebesar 83.72-191.75%. Secara keseluruhan, sifat mekanis tertinggi dihasilkan pada perlakuan tanpa pemadatan awal dengan metode vakum tekan. Berdasarkan kelas kuat, kerapatan masuk Kelas Kuat I, MOR masuk Kelas Kuat III dan keteguhan tekan sejajar serat masuk Kelas Kuat IV. Hasil pengujian FTIR mengindikasikan adanya ikatan antara komponen penyusun BKS dengan PF. Hal ini diindikasikan dari pelebaran puncak pada gugus O-H, mengecilnya puncak pada gugus C-H dan hilangnya puncak pada gugus C=O.
75
7. PEMBAHASAN UMUM Batang kelapa sawit (BKS) bagian dalam yang berkualitas rendah dapat ditingkatkan kualitasnya melalui pemadatan menggunakan metode Close System Compresion (CSC). Upaya pemanfaatan ini akan optimal apabila diketahui sifatsifat BKS, terutama distribusi radial nilai kerapatannya. Hal ini karena struktur BKS berbeda dengan struktur kayu pada umumnya. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa nilai kerapatan BKS berkisar antara 0.23-0.74 g/cm3. Kerapatan BKS tertinggi berada pada bagian tepi dekat kulit, kemudian menurun pada bagian tengah dan terendah terdapat pada bagian pusat batang. Hal ini disebabkan oleh distribusi vascular bundles yang lebih rapat pada bagian tepi dan berangsur-angsur berkurang ke arah pusat. Bakar et al. (2008) menyatakan bahwa dua sebab perbedaan kerapatan BKS secara horizontal dimana pada bagian tepi lebih tinggi dibandingkan bagian dalam. Pertama, bagian tepi didominasi oleh vascular bundles (51%) yang memiliki kerapatan tinggi, sedangkan bagian tengah di dominasi oleh jaringan parenkim (70%) yang memiliki kerapatan rendah. Kedua, dinding sel jaringan parenkim bagian tepi lebih tebal dibandingkan bagian tengah. Perbedaan kerapatan ini menyebabkan wilayah plastis kurva stress-strain yang dihasilkan semakin melandai dengan menurunnya kerapatan kayu. Kurva stress strain juga dipengaruhi oleh kondisi BKS (kering, basah dan jenuh air). Semakin tinggi kadar air BKS, maka akan semakin sedikit force (tenaga) yang dibutuhkan untuk memadatkannya. Kurva stress-strain ini dibutuhkan untuk mengetahui tingkat pemadatan yang bisa dilakukan terhadap BKS. Tingkat pemadatan maksimal BKS berbeda-beda seiring dengan perbedaan nilai kerapatan dan kondisi BKS (kering, basah dan jenuh air). Pada bagian tepi dekat kulit masing-masing adalah sebesar 37% pada kondisi kering udara, 38% pada kondisi basah dan 47% pada kondisi jenuh air, sedangkan bagian pusat batang dapat dipadatkan sampai 67% pada kondisi kering udara, dan 72% pada kondisi basah atau jenuh air. Selanjutnya dilakukan penelitian tingkat fiksasi yang dihasilkan dari pemadatan BKS. Metode yang digunakan adalah metode heat treatment (HT), ST
76
dan CSC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fiksasi BKS bagian dalam dengan metode ST dicapai pada suhu 170 oC selama 30 menit, dengan metode CSC pada suhu 180 oC selama 30 menit, sedangkan dengan metode HT belum tercapai fiksasi permanen meskipun menggunakan suhu 200 oC selama 3 jam dan masih menghasilkan nilai RS 8.85%. Kehilangan berat atau WL pada BKS bagian dalam yang paling tinggi dihasilkan oleh metode ST, diikuti metode CSC dan yang paling sedikit adalah metode HT. Walau fiksasi dengan metode CSC tidak secepat metode ST, namun metode ini memiliki beberapa kelebihan, antara lain lebih sederhana, mudah diaplikasikan, biayanya murah.dan dapat diaplikasikan untuk ukuran pemakaian. Metode ST dan CSC mempunyai prinsip yang sama yaitu uap panas yang dialirkan atau dihasilkan akan terjebak dalam alat kempa kedap udara. Perbedaannya adalah pada metode ST uap panas (steam) yang dialirkan dari boiler ke alat kempa, sedangkan metode CSC uap panas dihasilkan dari air yang ada di dalam kayu. Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pemadatan pada kayu jenuh air, maka uap panas yang dihasilkan akan semakin banyak, sehingga tekanan uap panas akan semakin tinggi pula. Hal ini akan melunakkan hemiselulosa dan lignin. Kayu yang telah lunak akan bersifat plastis. Pelunakan hemiselulosa dan lignin dapat mempercepat terjadinya deformasi sel penyusun BKS dan fiksasi. Pemadatan BKS pada suhu tinggi dapat menyebabkan perubahan pada BKS. Perubahan pada BKS bagian dalam yang terpadatkan terjadi pada daerah parenkim dasar, vessel dan vascular bundles. Parenkim dasar dan vessel memiliki dinding yang tipis dan rongga sel yang besar sehingga pada saat pemadatan terjadi, maka yang pertama sekali mengalami kerusakan adalah daerah parenkim dasar dan vessel. Demikian juga dengan vascular bundles
yang merupakan
kumpulan dari serat-serat turut mengalami kerusakan, terlihat dari perubahan bentuknya. Pemadatan ini menyebabkan jarak antar vascular bundles akibat pemadatan cenderung lebih rapat. Peningkatan sifat fisis dan mekanis ini terkait dengan meningkatnya nilai derajat kristalinitas. Hal ini terjadi karena panas yang ada saat BKS dikempa mampu melunakkan komponen matriks penyusun dinding sel yang ada di bagian
77
permukaan mengakibatkan BKS menjadi lebih kering (molekul air berkurang), daerah amorf menjadi berkurang pada selulosa, serta merapatnya benang-benang makrofibril membentuk fraksi kristalik. Terdapat hubungan yang erat antara daerah kristalin dengan sifat fisis dan mekanis BKS. Semakin tinggi derajat kristalinitasnya, akan semakin tinggi pula sifat fisis-mekanis yang dihasilkan. Sifat fisis dan mekanis BKS terpadatkan (kerapatan, MOR, MOE dan keteguhan tekan sejajar serat) cenderung meningkat dengan metode CSC. Peningkatan kerapatan BKS terpadatkan sebesar 3.33–90%, MOE meningkat 43.22-192.74%, MOR meningkat 14.31-192.81% dan keteguhan tekan sejajar serat meningkat 18.93-123.20%.
Berdasarkan kelas kuat kayu (PKKI 1961),
maka kerapatan BKS terpadatkan masuk Kelas Kuat III, sedangkan MOR dan keteguhan tekan sejajar serat yang dihasilkan tersebut masuk Kelas Kuat V. Hasil pencirian dengan spektrum FTIR, BKS terpadatkan mempunyai pita serapan pada bilangan gelombang 3412.71-3416.69 cm-1 yang merupakan gugus O-H dan bilangan gelombang 2920.78 cm-1 yang mengindikasikan gugus C-H. Selain itu terlihat pita serapan pada panjang gelombang 1737.74-1736.13 cm-1 mengindikasikan
gugus
C=O,
panjang
gelombang
1616-1620
cm-1
mengindikasikan vibrasi cincin aromatik dan panjang gelombang 1512 cm-1 mengindikasikan gugus C=C (Cresswell et al. 1982; Supratman 2007). Pada umumnya pemadatan pada suhu tinggi di atas 120
o
C akan
menguapkan air yang ada di dalam kayu, baik itu air bebas di lumen atau rongga sel, maupun air terikat yang ada di dinding sel. Cresswell et al. (1982) mengemukakan bahwa absorpsi O-H terikat terlihat pada panjang gelombang 3450-3200 cm-1 sebagai pita yang agak lebar dan kuat.
Sedangkan getaran
regangan O-H bebas berada pada daerah 3700-3500 cm-1. Penguapan air dari dalam kayu akan menyebabkan terlepasnya gugus hidroksil selulosa, sehingga kandungan gugus hidroksil akan berkurang dan terjadi perubahan pada puncak-puncaknya di panjang gelombang sekitar 3400 cm-1 nya. Perubahan puncak-puncak akibat pemanasan pada suhu tinggi terjadi pada partikel Bambu dan Sengon (Suhasman 2011) dan pada pemadatan kayu Agathis dan Mangium (Hadiyane 2011). Namun pada pemadatan metode CSC tidak terjadi perubahan puncak, baik pada gugus O-H maupun gugus C-H. Hal ini
78
karena pada metode CSC, uap air yang keluar dari kayu terjebak dalam autoclave selama proses pemadatan. Pada panjang gelombang 1737.74-1736.13 cm-1 yang mengindikasikan gugus C=O, intensitas panjang gelombang BKS yang diberi perlakuan meningkat dibandingkan kontrol. Tjeerdsma & Militz (2005) mengemukakan bahwa kayu yang diberi perlakuan uap air panas pada suhu tinggi menghasilkan asam asetat, diindikasikan dari peningkatan intensitas panjang gelombang 1740 cm-1. Asam asetat ini dihasilkan dari degradasi karbohidrat, khususnya hemiselulosa. Kadar asam asetat meningkat seiring peningkatan suhu dan waktu. Sedangkan pada perlakuan panas (kondisi kering) terjadi proses esterifikasi dari lignin kompleks. Esterifikasi berkontribusi pada penurunan higroskopis kayu dan
peningkatan
stabilitas dimensi dan keawetan. Selain itu, BKS mengandung banyak pati. Bakar et al. (1998) mengemukakan bahwa pada BKS bagian dalam kandungan patinya dapat mencapai 5.9%. Daerah fingerprint pati berada pada panjang gelombang 8001200 cm-1 (Savenou et al. 2002). Berdasarkan spektrum FTIR, pada puncak 1035.48-1054 cm-1 tersebut puncak yang dihasilkan melebar.
Hal itu
mengindikasikan bahwa BKS memiliki kandungan pati yang cukup besar. Pada panjang gelombang tersebut puncak yang dihasilkan sangat berbeda pada Bambu dan Sengon (Suhasman 2011), kayu Agathis dan Mangium (Hadiyane 2011), dimana puncak yang dihasilkan tajam dan mengecil. Namun pemadatan BKS dengan metode CSC pada suhu 180 oC selama 30 menit secara umum tidak terdapat perbedaan pita serapan yang jelas dibandingkan kontrol. Hal ini terjadi karena tidak ada senyawa kimia yang dimasukkan ke dalam papan yang dipadatkan, sehingga tidak terjadi perubahan gugus fungsi komponen kimia. Perubahan yang terjadi kebanyakan lebih kepada intensitasnya. Pada BKS terpadatkan, intensitas lebih meningkat dibandingkan dengan BKS kontrol. Pemadatan dengan CSC juga menyebabkan perubahan komponen kimia penyusun BKS. Kadar holoselulosa berkurang seiring dengan meningkatnya suhu dan waktu pemadatan. Sebaliknya terjadi peningkatan kadar alfa selulosa, lignin,
79
zat ekstraktif baik yang terlarut dalam alkohol benzen maupun yang larut dalam air panas. Holoselulosa
merupakan
produk
yang
dihasilkan
setelah
lignin
dihilangkan dari kayu. Holoselulosa mewakili jumlah dari selulosa dan hemiselulosa. Hemiselulosa mempunyai derajat polimerisasi yang lebih rendah dibandingkan selulosa karena panjang molekul hemiselulosa lebih pendek dan lebih labil sehingga sangat mudah terdegradasi oleh panas (Achmadi 1990, Fengel & Wegener 1995). Berkurangnya kadar holoselulosa disebabkan karena adanya degradasi komponen hemiselulosa. Berkurangnya kadar holoselulosa disebabkan karena adanya degradasi komponen hemiselulosa. Tjeerdsma & Militz (2005) mengemukakan bahwa uap air panas pada suhu tinggi menyebabkan peningkatan kadar asam asetat, seiring peningkatan suhu dan waktu. Asam asetat ini dihasilkan dari degradasi hemiselulosa. Sedangkan Morsing (2000) mengemukakan bahwa dalam kondisi basah, gelatinasi hemiselulosa kayu mulai terjadi pada suhu 25 oC dan kerusakan terjadi pada suhu 160 oC. Sebaliknya, alfa selulosa meningkat seiring dengan meningkatnya suhu dan waktu pemadatan. Hsu et al. (1988) mengemukakan bahwa perlakuan panas dapat menyebabkan kayu terfiksasi karena adanya hidrolisa pada hemiselulosa. Hasil yang sama diperoleh dalam penelitian Boonstra & Tjeerdsma (2006). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sulitnya selulosa terdegradasi di bawah suhu 200 oC (Torress et al. 1986 dalam Boonstra and Tjeerdsma, 2006). Lebih lanjut, Fengel and Wegener (1984) mengemukakan bahwa perlakuan suhu tinggi meningkatkan struktur kristalin pada selulosa. Meningkatnya suhu dan waktu kempa pada CSC menyebabkan lignin yang dihasilkan cenderung meningkat. Lignin terbesar didapatkan pada kondisi suhu 180 oC selama 40 menit dengan kadar lignin mencapai 33%. Kenaikan kandungan lignin pada perlakuan panas terjadi karena sebagian dari degradasi karbohidrat oleh perlakuan panas kemungkinan menahan fraksi lignin dengan analisis. Demikian juga dengan kadar zat ekstraktif yang meningkat seiring dengan peningkatan suhu dan waktu pemadatan, baik yang terlarut dalam alkohol benzen maupun dalam air panas. Hal ini diduga karena zat yang terlarut bukan hanya zat
80
ekstraktif, melainkan hasil ikutan akibat terdegradasinya hemiselulosa. Perlakuan panas cenderung menyebabkan hemiselulosa terdegradasi menjadi gula sederhana akibat pemutusan ikatan molekul oleh panas. Maka dari itu, dengan semakin lama suhu dan waktu kempa maka pemutusan ikatan pada hemiselulosa menjadi lebih banyak sehingga akan menjadi gula sederhana yang terlarut. Komponen hemiselulosa akan terlarut bersama zat ekstraktif. Tingginya kadar zat ekstraktif pada kelarutan air panas dibandingkan dengan alkohol benzen disebabkan karena pada BKS bagian dalam banyak mengandung pati. Menurut Fengel & Wegener (1995) gula, pati, zat warna dan lain sebagainya termasuk dalam ekstraktif yang larut dalam pelarut-pelarut netral. Upaya untuk menghasilkan fiksasi permanen dapat juga dilakukan dengan impregnasi PF. Impregnasi ini akan menyebabkan PF masuk ke dalam struktur BKS mengisis vessel (pori) dan jaringan parenkim dasar. Impregnasi PF ke dalam kayu mampu meningkatkan stabilitas dimensi (Ohmae et al. 2002; Rowell 2005; Furuno et al. 2004).) dan mengurangi sifat higroskopis kayu (Hill 2006). Hasil penelitian fiksasi dengan impregnasi PF dihasilkan pada perlakuan tanpa pemadatan awal dengan metode vakum tekan. Mekanisme fiksasi yang dihasilkan dengan impregnasi PF ini berbeda dengan metode CSC. Pada impregnasi PF, fiksasi dihasilkan dengan penambahan berat atau WG sebesar 50.94%, sedangkan pada metode CSC fiksasi terjadi dengan kehilangan berat atau WL sebesar 12.59%. Impregnasi PF juga mampu meningkatkan sifat fisis dan mekanis BKS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan dan sifat mekanis BKS (MOR, MOE dan keteguhan tekan sejajar serat) meningkat. Hal senada disampaikan oleh Shams et al. (2004, 2009) bahwa
PF secara signifikan mampu meningkatkan
sifat mekanis kayu. Demikian juga Anwar et al. (2009) mengemukakan bahwa pemberian PF pada bamboo strip mampu meningkatkan sifat mekanis kayu (MOE, MOR dan tekan sejajar serat) jika dibandingkan dengan kontrol. Sebagai perbandingan kualitas BKS terpadatkan dengan metode CSC dengan kualitas BKS terkompregnasi PF disajikan pada Tabel 11.
81
Tabel 11.
Perbandingan kualitas BKS bagian dalam yang terpadatkan dengan metode CSC dan terkompregnasi PF
Variabel
Kerapatan (g/cm3)
RS (%)
0.32
-
10787
96.35
67.15
0.57 1.8 kali
1.74
25298 2.5 kali
200.61 2 kali
107.04 1.6 kali
0.94
1.92
47069
504.46
231.94
4.5 kali
5 kali
4 kali
V III
V IV
Kontrol CSC Suhu 180 oC, 30 menit Peningkatan Kualitas PF dalam CSC Tanpa pemadatan awal, metode vakum tekan (%) Peningkatan Kualitas Kelas Kuat* CSC PF dalam CSC
3 kali
III I
MOE MOR Tekan (kg/cm2) (kg/cm2) (kg/cm2)
*Menurut PKKI N.I-5, 1961
Dari tabel di atas terlihat peningkatan kualitas BKS terpadatkan dengan metode CSC dan BKS yang terkompregnasi PF. Pada metode CSC, sifat fisis dan mekanis meningkat sebesar 1.6-2.5 kali, sedangkan pada kompregnasi PF meningkat secara signifikan dengan peningkatan antara 3-5 kali dibandingkan nilai kontrol. BKS bagian dalam telah mampu ditingkatkan kualitasnya sebesar 1.6–2.5 kali dibandingkan nilai kekuatan awal (kontrol) dengan metode CSC. Namun jika
diklasifikasikan berdasarkan kelas kuat PKKI 1961 masih rendah. Kerapatan BKS masuk kelas III, sedangkan keteguhan tekan sejajar serat dan MOR masuk kelas V. Upaya perbaikan kualitas juga dilakukan dengan impregnasi PF sehingga kualitasnya meningkat 3-5 kali dibandingkan nilai kontrol. Berdasarkan klasifikasi kelas kuat PPKI 1961, maka kerapatan masuk kelas I, MOR kelas III, sedangkan keteguhan tekan sejajar serat kelas IV. Peningkatan kualitas BKS bagian dalam yang telah dilakukan, baik menggunakan metode CSC maupun dengan metode impregnasi PF. Berdasarkan klasifikasi kelas kuat PPKI 1961, sifat mekanis BKS bagian dalam masuk kelas kuat III-V. Penggunaan yang paling cocok untuk BKS bagian dalam, berdasarkan kualitas tersebut adalah digunakan sebagai bahan furniture non struktural.
82
Persyaratan furniture non struktural pada umumnya adalah fiksasi atau stabilitas dimensi yang tinggi. Fiksasi dapat dihasilkan dari metode CSC ataupun impregnasi PF. Pada metode CSC, fiksasi dihasilkan pada suhu 180 oC selama 30 menit, sedangkan dengan impregnasi PF (konsentrasi 20%) dihasilkan dari metode tanpa pemadatan awal dengan vakum tekan. Pada umumnya furniture menggunakan bahan baku berkerapatan sedang, sehingga furniture yang dihasilkan tidak terlalu berat. Pada metode CSC kerapatan tertinggi sebesar 0.57 g/cm3 dan sangat cocok untuk persyaratan bahan baku furniture. Pada impregnasi PF, kerapatan tertinggi sebesar 0.91 g/cm3 yang dihasilkan dari metode tanpa pemadatan awal dengan vakum tekan. Kerapatan seperti ini akan menghasilkan furniture yang sangat berat. Oleh karena itu, alternatif lain adalah dari metode pemadatan awal dengan vakum tekan (kerapatan 0.80 g/cm3) atau metode tanpa pemadatan awal dengan vakum (kerapatan 0.77 g/cm3). Metode ini dipilih sebagai alternatif karena stabilitas dimensi sangat tinggi, ditinjau dari nilai RS yang dihasilkan yaitu 2.50% dan 3.56%. Pada furniture non struktural, kekuatan yang digunakan bisa dari Kelas Kuat III-V. Berdasarkan hal ini, maka BKS yang ditingkatkan kualitasnya sangat cocok untuk digunakan sebagai bahan baku furniture. Khusus untuk BKS terpadatkan dengan Kelas Kuat V dapat dikombinasikan dengan kayu-kayu yang memiliki kualitas lebih tinggi, sehingga dalam penggunaannya bisa menjadi lebih kuat.
83
8. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Distribusi nilai kerapatan BKS tertinggi berada pada bagian tepi dekat kulit, kemudian menurun pada bagian tengah dan terendah terdapat pada bagian pusat dengan kerapatan berkisar antara 0.23-0.74 g/cm3. Distribusi kerapatan ini menyebabkan wilayah plastis kurva stress-strain yang dihasilkan semakin melandai dengan menurunnya kerapatan BKS, selain dipengaruhi juga oleh kondisi BKS (kering, basah dan jenuh air). Pada kerapatan yang sama, kurva stress-strain BKS sama dengan kurva stress-strain kayu Sengon pada arah tangensial. Tingkat pemadatan yang dapat dilakukan sangat berhubungan erat dengan nilai kerapatan dan kondisi BKS (kering, basah dan jenuh air). Tingkat pemadatan maksimal BKS pada bagian tepi dekat kulit masing-masing adalah sebesar 37% pada kondisi kering udara, 38% pada kondisi basah dan 47% pada kondisi jenuh air, sedangkan bagian pusat batang dapat dipadatkan sampai 67% pada kondisi kering udara, dan 72% pada kondisi basah atau jenuh air. Pada semua metode pemadatan (metode ST, HT dan ST), faktor suhu dan waktu sangat berkontribusi terhadap nilai RS dan WL. Metode pemadatan yang paling cepat untuk menghasilkan fiksasi adalah metode ST, diikuti metode CSC, dan terakhir metode HT. Namun nilai WL pada BKS bagian dalam yang paling tinggi dihasilkan oleh metode ST, diikuti metode CSC dan yang paling rendah adalah metode HT. Fiksasi BKS bagian dalam dengan metode ST dicapai pada suhu 170 oC selama 30 menit,
dengan metode CSC pada suhu 180 oC selama 30 menit,
sedangkan dengan metode HT hingga suhu 200 oC selama 180 menit (3 jam) belum mencapai fiksasi. Walau fiksasi dengan metode CSC tidak secepat metode ST, namun metode ini memiliki beberapa kelebihan, antara lain lebih sederhana, mudah diaplikasikan, dapat digunakan pada contoh uji berukuran besar. Perbedaan nilai RS dan WL antara BKS bagian dalam dengan kayu Sengon disebabkan perbedaan struktur anatomi dan komposisi kimianya. Struktur
84
anatomi BKS bagian dalam di dominasi oleh jaringan parenkim dasar yang banyak mengandung pati dan sedikit vascular bundles. Pemadatan dengan metode CSC mengakibatkan terjadinya peningkatan kristalinitas BKS bagian dalam akibat meningkatnya
suhu dan waktu. Ada
hubungan yang erat antara kristalinitas dengan sifat fisis dan mekanis BKS. Kerapatan BKS terpadatkan meningkat sebesar 3.33-90%, MOE sebesar 43.22192.74%, MOR sebesar 14.31-192.81% dan keteguhan tekan sejajar serat sebesar 18.93-123.20%. Walau sudah terjadi peningkatan, namun berdasarkan kelas kuat kayu (PKKI 1961), kerapatan masuk Kelas Kuat III, MOR dan keteguhan tekan sejajar serat masuk ke dalam Kelas Kuat V. Peningkatan suhu dan waktu pemadatan dengan CSC menyebabkan perubahan warna, struktur anatomi dan komponen kimia BKS terpadatkan. Semakin meningkat waktu dan suhu pemadatan menyebabkan warna BKS semakin gelap. Berdasarkan struktur anatomi dapat diketahui bahwa vascular bundles, pori dan jaringan parenkim dasar pada BKS yang dipadatkan menjadi memipih. Jarak antar vascular bundles akibat pemadatan juga cenderung lebih rapat. Pemadatan dengan CSC menyebabkan kadar holoselulosa berkurang, namun terjadi peningkatan kadar alfa selulosa, lignin, dan zat ekstraktif yang terlarut dalam alkohol benzen dan dalam air panas. Hasil FTIR antara BKS terpadatkan secara umum tidak terdapat perbedaan pita serapan yang jelas dibandingkan kontrol. Perubahan yang terjadi kebanyakan lebih kepada intensitasnya. Pada BKS yang dipadatkan, intensitas lebih meningkat dibandingkan dengan kontrol. Upaya untuk meningkatkan lagi kualitas BKS dilakukan dengan mengimpregnasi PF dengan berbagai metode. Metode impregnasi PF yang menghasilkan fiksasi rendah (RS di bawah 5%) adalah metode tanpa pemadatan awal (dengan vakum tekan atau vakum) dan metode pemadatan awal dengan vakum tekan. Metode ini menyebabkan banyak PF masuk ke dalam struktur BKS dan mengisi vessel (pori) serta jaringan parenkim dasar, diindikasikan dengan WG yang tinggi. Impregnasi PF yang masuk mampu meningkatkan fiksasi dan kerapatan BKS, serta sifat mekanisnya. Kerapatan meningkat sebesar 94.12-176.47%,
85
MOR sebesar 191.7-309.5%, MOE 108.2-287.5%, sedangkan nilai keteguhan tekan sejajar serat meningkat sebesar 83.72-191.75%. Secara keseluruhan, sifat mekanis tertinggi dihasilkan pada perlakuan tanpa pemadatan awal dengan metode vakum tekan. Berdasarkan kelas kuat, kerapatan masuk Kelas Kuat I, MOR masuk Kelas Kuat III dan keteguhan tekan sejajar serat masuk Kelas Kuat IV. Hasil pengujian FTIR mengindikasikan adanya ikatan antara komponen penyusun BKS dengan PF. Hal ini diindikasikan dari pelebaran puncak pada gugus O-H, mengecilnya puncak pada gugus C-H dan hilangnya puncak pada gugus C=O. Peningkatan kualitas BKS bagian dalam telah dilakukan dengan metode CSC dan impregnasi PF. Pada metode CSC, sifat fisis dan mekanis meningkat sebesar 1.6-2.5 kali, sedangkan pada kompregnasi PF meningkat secara signifikan dengan peningkatan antara 3-5 kali dibandingkan nilai kontrol. Ditinjau dari fiksasi, sifat fisis dan mekanis, maka BKS bagian dalam yang telah ditingkatkan kualitasnya sesuai digunakan untuk bahan baku furniture non struktural.
Saran BKS bagian dalam dapat ditingkatkan kualitasnya dengan metode CSC dan fiksasi permanen dicapai pada suhu 180 oC selama 30 menit. Sifat fisis dan mekanis meningkat dengan metode pemadatan ini. Namun penelitian yang dilakukan ini dalam skala laboratorium dengan contoh uji kecil. Perlu diteliti untuk contoh uji besar dengan membuat papan dalam skala pemakaian. Selain itu, perlu diteliti untuk pembuatan papan lamina dengan mengkombinasikan dalam yang lunak.
antara BKS bagian luar yang keras dengan BKS bagian
86
87
DAFTAR PUSTAKA Achmadi S. 1990. Kimia Kayu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas-Ilmu Hayat, IPB. Bogor Amin Y, Dwianto W dan Prianto AH. 2004. Sifat Mekanik Kayu Kompresi. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) VII; Makasar, 5-6 Agustus 2004. hlm 90 - 95 Amin Y dan Dwianto W. 2006. Pengaruh Suhu dan Tekanan Uap terhadap Fiksasi Kayu Kompressi dengan Menggunakan Close System Compression. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis Vol 4 (2): 55-60 Amin Y, Darmawan T, Wahyuni I dan Dwianto W. 2007. Pengaruh Perendaman NaOH terhadap Fiksasi Kayu Kompresi dengan Menggunakan Close System Compression. Prosiding Seminar MAPEKI X; di Pontianak, 9-11 Agustus 2007. hlm 240-247. Anwar UMK, Paridah MT, Hamdan H, Sapuan SM and Bakar ES. 2009. Effect of Curing Time on Physical and Mechanical Properties of Phenolic-treated Bamboo Strips. Industrial Crops and Products 2 9: 214–219 Bakar ES, Rachman O, Hermawan D, Karlinasari L dan Rosdiana N. 1998. Pemanfaatan Batang Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) Sebagai Bahan Bangunan dan Furniture (I) : Sifat Fisis, Kimia dan Keawetan Alami Kayu Kelapa Sawit. Jurnal Teknologi Hasil Hutan Vol. XI (1): 1-11 Bakar ES, Rachman O, Darmawan W, Hidayat I. 1999a. Pemanfaatan Batang Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) Sebagai Bahan Bangunan dan Furniture (II) : Sifat Mekanis Kayu Kelapa Sawit. Jurnal Teknologi Hasil Hutan Vol. XII (1): 10-20 Bakar ES, Massijaya Y, Tobing TL dan Ma’mur A. 1999b. Pemanfaatan Batang Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) Sebagai Bahan Bangunan dan Meubel (III) : Sifat Keterawetan Kayu Sawit dengan Basilit-CFK dan Impralit-BI. . Jurnal Teknologi Hasil Hutan Vol. XII (2): 13–20 Bakar ES, Rachman O, Massijaya Y dan Bahruni. 2000. Pemanfaatan Batang Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) Sebagai Bahan Bangunan dan Furniture. Laporan Penelitian Hibah Bersaing VI Perguruan Tinggi. Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Boonstra MJ, Tjeerdsma B. 2006. Chemical Analysis of Heat Treated Softwoods. Holz als Roh- und Werkstoff 64: 204–211.
88
Creswell C, Runquist OA, Champell MM. 1982. Analisis Spektrum Senyawa Organik (Terjemahan). Penerbit ITB. Bandung. Danang SA, Wahyuni I, Amin Y, Darmawan T, Dwianto W. 2009. Degradasi Komponen Kimia Kayu Akibat Proses Densifikasi Kayu dengan Metode Close System Compression (CSC). Prosiding Simposium Nasional I Forum Teknologi Hasil Hutan (FTHH); Bogor, 30-31 Oktober 2009. hlm: 197-202. Darmaji A. 2003. Pengaruh Perlakuan Awal dan Tingkat Pemadatan terhadap Sifat Fisis dan MekanisKayu Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Departemen Pertanian. 2010. Statistik Pertanian 2010. Dwianto W, Tanaka F, Inoue M, Norimoto M. 1996. Crystallinity Change of Wood by Heat or Steam Treatment. The 46th Annual Meeting of the Japan Wood Research Society. Kumamoto, April 1996. Dwianto W, Inoue M, Norimoto M. 1997. Fixation of Compressive Deformation of Wood By Heat Treatment. Mokuzai Gakkaishi 43 (4) : 303 – 309 Dwianto W, Morooka T, Norimoto M and Kitajima T. 1999. Stress Relaxation of Sugi (Cryptomeria japonica D.Don) Wood in Radial Compression under High Temperature Steam. Holzforschung 53 : 541–546 Ellis S, Steiner P. 2002. The Behaviour of Five Wood Species in Compression. IAWA Journal, Vol. 23 (2): 201 –211. Erwinsyah. 2008. Improvement of Oil Palm Wood Properties Using Bioresin. Institut für Forstnutzung und Forsttechnik [Dissertation]. Dresden: Fakultät für Forst-, Geo- und Hydrowissenschaften. Technische Universität Dresden. Febrianto F dan Bakar ES. 2004. Kajian Potensi, Sifat-sifat dasar dan Kemungkinan Pemanfaatan Kayu Karet dan Biomassa Sawit di Kabupaten Musi Banyuasin. Kerjasama antar Pemerintah Daerah Musi Banyuasin dengan Lembaga Manajemen Agribisnis Agroindustri IPB. Fengel D dan Wegener G. 1995. KAYU: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. penerjemah; Sastrohamijoyo H. Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: WOOD: Chemistry, Ultrastructure, Reactions. Fujimoto H. 1992. Weathering Behavior of Chemically Modified Wood with a Maleic Acid Glycerol (MG) Mixture. New Zealand FRI Bull. 176: 87-96
89
Furuno T, Imamura Y, Kajita H. 2004. The Modification of Wood by Treatment with Low Molecular Weight Phenol-formaldehyde Resin: a Properties Enhancement with Neutralized Phenolic-resin and Resin Penetration into Wood Cell Walls. Wood Sci Technol 37(5): 349–361 Gabrielli C and Kamke FA. 2008. Treatment of Chemically Modified Wood with VTC Process to Improve Dimensional Stability. Forest Product Journal 58 (12): 82-86 Gaspersz V. 1991. Metode Perancangan Percobaan : Untuk Ilmu-ilmu Pertanian, Ilmu-ilmu Teknik dan Biologi. Armico. Bandung. Hadiyane A. 2011. Perubahan Sifat-Sifat Komponen Penyusun Kayu, Struktur Sel Kayu dan Sifat-sifat Dasar Kayu Terdensifikasi Secara Parsial [Disertasi]. Bogor: Program Studi Ilmu Pengetahuan dan Kehutanan. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hayashi K, Sugimori M, Yamashita. 2002. Color Change of Wood During High Temperature Drying. In: Dwianto W et al. Proceeding of 4th International Wood Science Symposium; Serpong, Indonesia. Sept 2-5 2002. hlm 72-73 Heger F, Groux M, Girarder F, Welzbacher C, Rapp AO and Navi P. 2004. Mechanical and Durability Performance of THM-Densified Wood. Final Workshop COST Action E22 ‘Environmental Optimisation of Wood Protection; Lisboa – Portugal, 22-23 March 2004. Hill C. 2006. Wood Modification : Chemical, Thermal and Other Processes. Jhon Wiley & Sons. England Hsu WE, Schwald W, Schwald J, Shield JA. 1988. Chemical and Physical Change for Producing Dimensionally Stable Wood-based Composite. Part 1 : steam pretreatment. Wood Sci Tech. 22: 281-289 Inoue M and Norimoto M. 1991. Permanent Fixation of Compressive Deformation in Wood by Heat Treatment. Wood Research and Technical Notes 27: 31–40. Inoue M, Norimoto M, Tanahashi M, Rowell M. 1993. Steam or Heat Fixation of Compresssed Wood. Wood and Fiber Science 25 (3) : 224-235 Ito Y, Tanahashi M, Shigematsu M, Shinoda Y. 1998. Compressive-Molding of Wood by High-Pressure Steam-Treatment: Part 2. mechanism of permanent fixation. Holzforchung 52 (2): 217-221. Killman W and Choon LS. 1985. Anatomy and Properties of Oil Palm Stem. Bulletin PORIM (11): 18-42.
90
Kliwon S dan Iskandar MI. 2008. Teknologi Kayu Lapis dan Produk Sekundernya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Kollman FFP, Kuenzi EW, and Stamm AJ. 1975. Principle of Wood Science and Technology. Vol II. Spring Verlag, New York. Lim SC, and Khoo K. 1986. Characteristics of Oil Palm Trunk and Its Potential Utilization. The Malaysian Forester 49 (1): 3–22 Lim SC, Gan KS. 2005. Characteristics and Utilisation of Oil Palm Stem. Timber Technology Bulletin. No. 35. Forest Research Institute Malaysia. Mitsui K, Inagaki T, Tsuchikawa S. 2008. Monitoring of Hydroxyl Group in Wood during Heat Treatment Using NIR Spectroscopy. Biomacromolecules 9: 286-288 Morsing N. 2000. Densification of Wood : The Influence of Hygrothermal on Compression of Beech Perpendicular to The Grain. Department of Structure Engineering and Materials. Technical University of Denmark. Series R. No. 79. Murhofiq S. 2000. Pengaruh Pemadatan Arah Radial Disertai Suhu Tinggi terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Kayu Agathis (Agathis loranthifolia Salisb) dan Sengon (Paraserianthes falcataria (l.) Nielsen) [skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Navi P and Girardet F. 2000. Effects of Thermo-Hydro-Mechanical Treatment on the Structure and Properties of Wood. Holzforschung 54: 287–293 Ohmae K, Minato K, Norimoto M. 2002. The Analysis of Dimensional Changes due to Chemical Treatments and Water Soaking for Hinoki (Chamaecyparis obtusa) Wood. Holzforschung 56 (1): 98–102 Panshin AJ and de Zeeuw C. 1980. Textbook of Wood Technology, 4th ed. McGraw-Hill. New York. Prayitno TA. 1991. Palm Wood Utilization, Sago Properties and Its Utilization. IDRC-GMU Project Report. Prayitno TA. 1995. Bentuk Batang dan Sifat Fisis Kayu Kelapa Sawit. Buletin Fahutan UGM. No. 28 : 43 – 59 Rahayu IS. 2001. Sifat Dasar Vascular Bundle dan Paranchyma Batang Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Dalam Kaitannya dengan Sifat Fisis, Mekanis serta Keawetan [thesis]. Bogor: Program Studi Ilmu Pengetahuan dan Kehutanan. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
91
Ratanawilai T, Chumthong T and Kirdkong S. 2006. An Investigation on The Mechanical Properties of Trunks of Palm Oil Tree for The Furniture Industry. Journal of Oil Palm Research (Special Issue-April 2006) p : 114 – 121 Rowell
R. 2005. Chemical Modification of Wood. In: Rowell RM (ed) Handbook of Wood Chemistry, Wood Composites, Chap. 14. CRC Press, Boco Raton, p 381–420.
Saveneou A, Hill SE, Farhat IA, Mitchell JR. 2002. Organisation of the External Region of the Starch Granule as Determinated by Infrared Spectroscopic. Journal of Biological Macromolecules. 31: 79-85. Shams MI, Kagemori N, Yano H. 2004. Compressive Deformation of Wood Impregnated with Low Molecular Weight Phenol Formaldehyde (PF) Resin I: effects of pressing pressure and pressure holding. J Wood Sci 50: 337–342 Shams MI, Yano H, Endou K. 2006. Compressive Deformation of Wood Impregnated with Low Molecular Weight Phenol Formaldehyde (PF) Resin III: effects of sodium chlorite treatment. J Wood Sci 51: 234–238 Shams MI, Yano H. 2009. A New Method for Obtaining High Strength Phenol Formaldehyde Resin-impregnated Wood Composite at Low Pressing Pressure. Journal of Tropical Forest Science 21(2): 175–180 Stevens MP. 2007. Kimia Polimer, Ed 2. Penerjemah; Sopyan I. Pradnya Paramita, Jakarta. Terjemahan dari: Polymer Chemistry Suhasman. 2011. Papan Partikel Tanpa Perekat dari Bambu Andong dan Kayu Sengon Menggunakan Perlakuan Oksidasi [Disertasi]. Bogor: Program Studi Ilmu Pengetahuan dan Kehutanan. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sulistyono, Nugroho N, Surjokusumo, S. 2003. Teknik Rekayasa Pemadatan Kayu II: sifat fisis dan mekanis kayu Agathis (Agathis loranthifolia Salibs) terpadatkan dalam konstruksi bangunan. Buletin Teknik Pertanian 17: 1 Supratman U. 2007. Elusi Struktur Senyawa Organik. Diktat Kuliah Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Padjajaran. (Untuk Kalangan Sendiri). Jatinangor. Susila RW. 2003. Peta Perencanaan dan Peluang Investasi pada Regenerasi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Seminar Nasional Mengantisipasi Regenerasi Pertama Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Max Havelaar Indonesia Foundation. Bali.http://www.ipard.com/ art_perkebun/0030504wrs.asp [17 Juni 2010]
92
Tjeerdsma BF, Militz H. 2005. Chemical Changes in Hydrothermal Treated Wood: FTIR analysis of combined hydrothermal and dry heat-treated wood. Holz als Roh- und Werkstoff Vol 63: 102–111 Tomlinson PB. 1961. Anatomy of Monocotyledon. University Press. London Wardhani IY. 2005. Kajian Sifat Dasar dan Pemadatan Bagian Dalam Kayu Kelapa (Cocos nucifera L) [Disertasi]. Bogor: Program Studi Ilmu Pengetahuan dan Kehutanan. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Zhang Y, Cai L. 2006. Effects of Steam Explosion on Wood Appearance and Structure of Sub-alpine Fir. Wood Sci Technol 40: 427–436
93
Lampiran 1. Distribusi kerapatan batang kelapa sawit dari bagian tepi kiri ke tepi kanan pada berbagai ketinggian.
No
Ketinggian 1m Ulangan Rata2 1 2 3
Ketinggian 3 m Ulangan Rata2 1 2 3
Ketinggian 5 m Ulangan Rata2 1 2 3
1
0.75
0.76
0.72
0.74
0.70
0.68
0.70
0.69
0.61
0.65
0.62
0.63
2
0.63
0.67
0.62
0.64
0.58
0.61
0.56
0.58
0.54
0.59
0.53
0.55
3
0.46
0.45
0.40
0.44
0.47
0.47
0.42
0.45
0.46
0.49
0.43
0.46
4
0.33
0.38
0.33
0.35
0.34
0.36
0.33
0.34
0.40
0.41
0.36
0.39
5
0.28
0.32
0.28
0.29
0.33
0.32
0.34
0.33
0.38
0.36
0.32
0.35
6
0.26
0.30
0.26
0.27
0.28
0.27
0.27
0.27
0.34
0.35
0.32
0.34
7
0.24
0.27
0.25
0.25
0.26
0.25
0.25
0.25
0.23
0.25
0.25
0.24
8
0.23
0.24
0.23
0.23
0.26
0.23
0.24
0.24
0.28
0.25
0.23
0.25
9
0.26
0.30
0.26
0.27
0.28
0.29
0.27
0.28
0.33
0.32
0.29
0.31
10
0.27
0.31
0.26
0.28
0.30
0.33
0.28
0.30
0.38
0.36
0.34
0.36
11
0.28
0.35
0.28
0.30
0.39
0.40
0.35
0.38
0.39
0.38
0.35
0.37
12
0.30
0.37
0.31
0.32
0.40
0.41
0.36
0.39
0.54
0.54
0.47
0.52
13
0.42
0.47
0.45
0.45
0.57
0.61
0.54
0.57
0.57
0.58
0.54
0.57
14
0.54
0.60
0.57
0.57
0.61
0.67
0.67
0.65
0.63
0.63
0.61
0.62
15
0.66
0.72
0.71
0.69
94
Lampiran 2. Nilai RS dan WL dengan metode CSC pada berbagai variasi suhu dan waktu Suhu (oC)
Waktu (menit)
Recovery of Set (%)
Weight Loss (%)
120
0 10 20 30 40
97.35 95.18 90.17 89.33 86.27
0 2.53 3.13 3.22 3.29
140
0 10 20 30 40
91.74 85.82 71.35 54.32 53.04
0 2.85 3.35 3.89 4.22
160
0 10 20 30 40
89.35 57.58 22.06 8.37 6.25
0 3.50 6.04 7.17 11.82
180
0 10 20 30 40
87.34 44.42 8.17 1.36 -3.96
0 8.79 10.76 12.59 16.45
200
0 10 20 30 40
85.65 31.60 1.24 -8.10 -19.20
0 11.21 12.96 15.87 20.2
95
Lampiran 3.
Nilai RS dan WL dengan metode heat treatment pada berbagai variasi suhu dan waktu
Suhu (oC)
Waktu (menit)
Recovery of Set (%)
Weight Loss (%)
120
0 10 30 60 180
98.38 97.35 95.23 93.82 90.67
0 1.89 2.68 3.24 4.13
10 30 60 180
98.12 97.67 94.71 91.47 82.19
0 2.84 3.38 4.74 5.47
160
0 10 30 60 180
97.65 92.79 88.44 76.74 61.68
0 3.45 4.48 5.31 6.64
180
0 10 30 60 180
94.66 85.14 78.24 60.85 28.05
0 4.28 5.31 6.35 8.04
200
0 10 30 60 180
90.56 61.33 39.25 28.66 8.85
0 4.65 7.35 8.86 11.86
140
96
Lampiran 4. Nilai RS dan WL dengan metode steam treatment pada berbagai variasi suhu dan waktu Suhu (oC)
Waktu (menit)
Recovery of Set (%)
Weight Loss (%)
120
0 5 10 30
95.29 88.5 85.68 78.31
0 4.2 5.87 7.95
140
0 5 10 30
94.21 79.05 57.01 43.51
0 6.7 7.15 9.46
160
0 5 10 30
89.8 53.69 37.97 9.59
0 9.45 12.94 16.24
170
0 5 10 30
78.03 29.17 7.83 0.08
0 12.83 14.48 19.17
180
0 5 10 30
76.54 21.39 7.03 -6.49
0 14.4 15.11 21.63
97
Lampiran 5.
Analisis sidik ragam terhadap RS dan WL batang kelapa sawit terpadatkan dengan metode ST, HT dan CSC.
Analisis sidik ragam untuk RS dengan metode ST Sumber Keragaman Suhu Waktu Interaksi Error Total
Derajat Bebas 4 3 12 40 60
Jumlah Kuadrat 33553.219 31630.525 6492.612 373.490 230027.180
Kuadrat Tengah 8388.305 10543.508 541.051 9.337
F hitung 898.370 1129.188 57.945
P 0.000** 0.000** 0.000**
Keterangan : * berbeda nyata dengan selang kepercayaan 95% (α = 0.05) ** berbeda sangat nyata dengan selang kepercayaan 99% (α = 0.01)
Analisis sidik ragam untuk WL dengan metode ST Sumber Keragaman Suhu Waktu Interaksi Error Total
Derajat Bebas 4 3 12 40 60
Jumlah Kuadrat 621.840 1804.887 242.503 185.704 7584.777
Kuadrat Tengah 155.460 601.629 20.209 4.643
F hitung 33.486 129.589 4.353
P 0.000** 0.000** 0.000**
Keterangan : * berbeda nyata dengan selang kepercayaan 95% (α = 0.05) ** berbeda sangat nyata dengan selang kepercayaan 99% (α = 0.01)
Analisis sidik ragam untuk RS dengan metode HT Sumber Keragaman Suhu Waktu Interaksi Error Total
Derajat Bebas 4 4 16 125 150
Jumlah Kuadrat 49674.334 30485.737 15830.934 6477.740 998465.438
Kuadrat Tengah 12418.584 7621.434 989.433 51.822
F hitung 239.640 147.070 19.093
Keterangan : * berbeda nyata dengan selang kepercayaan 95% (α = 0.05) ** berbeda sangat nyata dengan selang kepercayaan 99% (α = 0.01)
P 0.000** 0.000** 0.000**
98
Lampiran 5 (sambungan)
Analisis sidik ragam untuk WL dengan metode HT Sumber Keragaman Suhu Waktu Interaksi Error Total
Derajat Bebas 4 4 16 125 150
Jumlah Kuadrat 300.391 895.307 124.574 443.168 4405.997
Kuadrat Tengah F hitung P 75.098 21.182 0.000** 223.827 63.133 0.000** 7.786 2.196 0.000** 3.545
Keterangan : * berbeda nyata dengan selang kepercayaan 95% (α = 0.05) ** berbeda sangat nyata dengan selang kepercayaan 99% (α = 0.01)
Analisis sidik ragam untuk RS dengan metode CSC Sumber Keragaman Suhu Waktu Interaksi Error Total
Derajat Bebas 4 4 16 125 150
Jumlah Kuadrat 116268.510 90160.983 26862.985 2558.815 597000.605
Kuadrat Tengah F hitung P 29067.127 1419.951 0.000** 22540.246 1101.108 0.000** 1678.937 82.017 0.000** 20.471
Keterangan : * berbeda nyata dengan selang kepercayaan 95% (α = 0.05) ** berbeda sangat nyata dengan selang kepercayaan 99% (α = 0.01)
Analisis sidik ragam untuk WL dengan metode CSC Sumber Keragaman Suhu Waktu Interaksi Error Total
Derajat Bebas 4 4 16 125 150
Jumlah Kuadrat 2120.784 2081.693 755.347 673.441 12020.218
Kuadrat Tengah F hitung P 530.196 98.412 0.000** 520.423 96.598 0.000** 47.209 8.763 0.000** 5.388
Keterangan : * berbeda nyata dengan selang kepercayaan 95% (α = 0.05) ** berbeda sangat nyata dengan selang kepercayaan 99% (α = 0.01)
99
Lampiran 6.
Uji wilayah berganda duncan terhadap RS dan WL batang kelapa sawit terpadatkan dengan metode ST, HT dan CSC.
Uji wilayah berganda duncan terhadap RS dengan metode ST Suhu 120 oC 140 oC 160 oC 170 oC 180 oC
0 A AB BC D D
Waktu (menit) 10 20 C C D E E I F J G J
30 D H J K L
Keterangan: Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Uji wilayah berganda duncan terhadap RS dengan metode HT Suhu o
120 C 140 oC 160 oC 180 oC 200 oC
0 A A A AB ABC
10 A A AB BCD E
Waktu (menit) 30 A AB ABC D F
60 AB ABC D E G
180 ABC CD E G H
Keterangan: Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Uji wilayah berganda duncan terhadap RS dengan metode CSC Suhu 120 oC 140 oC 160 oC 180 oC 200 oC
0 A BC CD CD D
10 AB CD F G H
Waktu (menit) 20 BCD E I J KL
Keterangan: Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
30 CD F J KL M
40 CD F JK LM N
100
Uji wilayah berganda duncan terhadap WL dengan metode ST Suhu 120 oC 140 oC 160 oC 170 oC 180 oC
Waktu (menit) 10 20 B BC BC BC CD DE DE E E E
0 A A A A A
30 BC CD EF F G
Keterangan: Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Uji wilayah berganda duncan terhadap WL dengan metode HT Suhu o
120 C 140 oC 160 oC 180 oC 200 oC
0 A A A A A
10 AB BCD BCDE BCDEF CDEF
Waktu (menit) 30 BC BCDE CDEF DEFG GHI
60 BCDE CDEF DEFG FGH J
180 BCDEF EFG FGHI HI K
Keterangan: Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Uji wilayah berganda duncan terhadap WL dengan metode CSC Suhu 120 oC 140 oC 160 oC 180 oC 200 oC
0 A A A A A
10 AB AB BC DE EF
Waktu (menit) 20 BC BC CD EF F
Keterangan: Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
30 BC BC D F G
40 BC BC F G H
101
Lampiran 7. Pengujian komponen kimia BKS (kadar air, kelarutan ekstraktif dalam alkohol benzen, kelarutan ekstraktif dalam air panas, klason lignin, holoselulosa dan alfa selulosa)
Kadar Air Cara kerja Letakkan cawan kosong (ukuran medium) dalam oven sehari atau minimal 3 jam sebelum pengujian. Masukkan cawan kosong tersebut dalam desikator sekitar 30 menit. Timbang cawan kosong tersebut. Timbang bahan masing-masing ± 2 gram ke dalam cawan. Masukkan cawan yang telah diisi bahan ke dalam oven 105 °C selama 16-24 jam. Pindahkan menggunakan penjepit ke desikator untuk didinginkan selama 30 menit. Kemudian timbang cawan yang berisi bahan tersebut . Kadar air kayu dihitung dengan rumus Kadar Air (%) = Berat awal contoh uji – berat akhir contoh uji x 100% Berat akhir contoh uji
Kelarutan Zat Ekstraktif dalam Alkohol-Benzene Cara kerja Siapkan labu didih ukuran 250 ml dalam oven sehari (105 °C) atau minimal 3 jam sebelum pengujian. Masukkan labu kosong tersebut dalam desikator sekitar 30 menit. Timbang labu kosong tersebut. Cek apakah keran air menyala atau tidak sebagai pendingin sokhlet Siapkan kertas saring segi empat (sebagai kokon), tali pengikat, gunting, kapas, dan pensil 2B. Masukkan serbuk masing-masing sebanyak 3 gram (berat kering oven) ke dalam kokon, tutup dengan kapas dan ikat dengan tali, kemudian tuliskan kode sampel pada kokon menggunakan pensil Kokon dipasangkan pemberat yaitu mini magnetic stirer. Masukkan kokon pada perangkat sokhlet dan tuang pelarut alkoholbenzene (1:2) sebanyak sekitar 2/3 isi labu didih. Ekstraksi selama 6 jam pada suhu sekitar 90 °C (set angka 50 pada hot plate). Keluarkan kokon dari sokhlet, masukkan ke oven 105 °C semalam. Masukkan kembali pelarut dalam wadahnya, sementara labu yang berisi hanya zat ekstraktif di dalam oven 105 °C, keringkan semalam.
102
Masukkan labu yang berisi zat ekstraktif ke desikator selama 30 menit, kemudian timbang. Persamaan untuk mencari kelarutan zat ekstraktif dalam alkohol-benzen : Kelarutan = (Berat labu berisi zat ekstraktif – Berat labu kosong) x 100% Berat serbuk kering oven
Kelarutan Zat Ekstraktif dalam Air Panas Cara Kerja Serbuk kayu ditimbang sebanyak 2 gram Serbuk kayu dimasukkan kedalam erlenmeyer ukuran 300 ml Masukkan air panas sejumlah 100 ml ke dalam erlenmeyer Letakkan selama 3 jam diatas waterbath pada suhu 950C Saring dengan cawan IG3 yang telah diketahui beratnya Sampel dicuci dengan air panas sampai filtrat tak berwarna Keringkan cawan IG3 yang telah berisi filtrat pada suhu 105 °C selama 16-24 jam Dinginkan ke dalam eksikator selama 30 menit kemudian timbang beratnya. Nilai kelarutan kayu dalam air panas dihitung dengan rumus :
Kelarutan (%) = (Berat serbuk awal–berat serbuk bebas esktraktif) x 100% Berat serbuk kering oven
Klason Lignin Cara kerja Cawan filter IG3 kosong dan cawan ukuran kecil yang telah dioven, dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang beratnya. Cawan kecil digunakan untuk mengukur kadar air serbuk bebas ekstraktif (lihat prosedur pengukuran kadar air, namun berat serbuk diganti hanya 0,5 gram) Masukkan serbuk bebas ekstraktif sebanyak 0,5 gram kering ke dalam beaker glass ukuran 50 ml, selanjutnya masukkan 7,5 ml H2S04 72 % Diaduk sesekali (dapat dilakukan dengan memasukkan mini magnetic stirer dan memasang angka 10 pada stirer plate) selama 4 jam pada suhu kamar Masukkan serbuk yang telah diaduk selama 4 jam tersebut ke dalam Erlenmeyer ukuran 300 ml Tambahkan masing-masing 280 ml akuades ke dalam Erlenmeyer
103
Tutup Erlenmeyer dengan alumunium foil rangkap dua dan di autoklaf 121 °C selama 15 menit (pada autoklaf pasang timer +20, sehingga menjadi 35) Saring langsung dengan cawan filter IG3 dan Cuci dengan air panas masing-masing 100 ml Keringkan cawan IG3 yang telah berisi filtrat pada suhu 105 °C selama 24 jam Dinginkan dalam desikator selama 30 menit kemudian timbang Kadar Lignin dihitung dengan rumus :
Lignin = (Cawan IG3 berisi lignin - cawan IG3 kosong) x 100 % Berat serbuk kering oven
Holoselulosa Cara kerja Cawan filter IG3 kosong dan cawan ukuran kecil yang telah dioven, dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang beratnya. Masukkan serbuk bebas ekstraktif sebanyak 1,5 gram kering ke dalam Erlenmeyer 100 ml. Kemudian masukkan masing-masing 90 ml akuades, 2,4 ml NaCIO2 25% dan 0,12 ml asam asetat glasial 100% Tutup dengan plastik tahan panas kemudian alumunium foil rangkap, panas kan dalam waterbath selama 1 jam pada suhu 80˚C (Note: pakai masker udara) Kemudian tanpa menunggu dingin tambahkan masing-masing 2,4 ml NaCIO2 25% dan 0,12 ml asam asetat glasial 100% berulang-ulang setiap jam sampai serbuk serbuk berwarna putih (u/ TKKS 2x penambahan, u/ hardwood 3x penambahan, u/ softwood 4x penambahan) Serbuk serbuk yang telah menjadi putih segera dimasukkan ke dalam cawan filter IG3 sambil divakum, sementara menunggu penyaringan siapkan nampan yang telah diberi es batu dan air untuk mernadam erlenmeyer yang belum disaring Cuci dengan air dingin 250 ml pada setiap serbuk Bilas dengan aseton Keringkan cawan filter IG3 yang telah berisi filter pada suhu 105 °C selama 16-24 jam Dinginkan dalam desikator selama 30 menit kemudian timbang Kadar holoselulosa dihitung dengan rumus :
Holoselulosa = (Cawan IG3 berisi holoselulosa-cawan IG3 kosong) x 100 % Berat serbuk kering oven
104
Alfa Selulosa Cara kerja Siapkan cawan filter IG3 kosong dalam oven sehari atau minimal 3 jam sebelum pengujian, Masukkan cawan IG3 kosong dalam desikator sekitar 30 menit dan ditimbang Siapkan 2 labu takar 100 ml untuk membuat larutan NaOH 17,5 % dan asam asetat glasial 10% Masukkan serbuk hasil uji holoselulosa sebanyak 0,5 gram kering ke dalam beaker glass ukuran 50 ml Tambahkan masing-masing 12,5 ml NaOH 17,5 % Letakkan di atas cawan penyangga yang telah dituang air di stirer plate yang dipasang pada angka 10 selama 30 menit Tambahkan masing-masing 12,5 ml akuades, biarkan selama 5 menit Saring menggunakan gelas filter IG3 Cuci dengan akuades selama sekitar 3 menit Cuci dengan 20 ml asam asetat glasial 10% Cuci masing-masing dengan 500 ml air panas Keringkan cawan filter IG3 yang telah berisi filter pada suhu 105 °C selama 16-24 jam, dinginkan dalam desikator selama 30 menit kemudian ditimbang Kadar alfa selulosa dihitung dengan rumus :
Alfa Selulosa = (Cawan IG3 berisi alfa selulosa-cawan IG3 kosong) x 100 % Berat serbuk holoselulosa kering oven
105
Lampiran 8. Sifat fisis dan mekanis batang kelapa sawit terpadatkan dengan CSC Perlakuan
Ulangan
MOE (kg/cm2)
MOR (kg/cm2)
Tekan (kg/cm2)
Kerapatan (g/cm3)
RS (%)
1
2
3
4
5
6
7
Kontrol
1 2 3
7196 11912 10224
67.06 58.59 88.89
69.58 54.15 45.19
0.31 0.29 0.30
-
4 Rata-rata Stdev
8370
63.45
50.20
0.30
9426 2074
69.50 13.39
54.78 10.52
0.30 0.02
-
1 2 3 4
16065 12943 12943 12048
82.03 84.30 108.06 89.13
72.5956 69.1096 58.081 60.817
0.31 0.31 0.32 0.32
93.24 93.16 92.23 90.80
Rata-rata Stdev
13500 1761
90.88 11.83
65.15 6.83
0.31 0.01
92.36 1.13
1 2 3 4 Rata-rata
13768 15566 12095 16017
87.47 95.83 91.19 104.96
69.3524 61.7591 59.8472 68.2416
0.35 0.33 0.32 0.3
87.52 87.49 87.64 83.49
14361
94.86
64.80
0.33
86.54
Stdev
1796
7.55
4.70
0.02
2.03
1 2 3 4 Rata-rata Stdev
15595 16354 15419 20180
102.34 99.32 84.30 105.43
82.784 78.084 83.4443 67.2716
0.35 0.4 0.38 0.35
84.17 84.55 76.57 77.96
16887 2232
97.85 9.37
77.90 7.47
0.37 0.02
80.81 4.14
1 2 3
19618 14868 16134
92.87 109.76 119.55
80.485 68.7298 85.0459
0.4 0.36 0.35
77.48 71.04 76.08
4 Rata-rata Stdev
19188
89.42
78.68
0.39
77.33
17452 2318
102.90 14.22
78.24 6.88
0.38 0.02
75.48 3.03
120 oC 10 menit
120 oC 20 menit
120 oC 30 menit
120 oC 40 menit
106
Lampiran 8 (sambungan) 1
2
3
4
5
6
7
140 C 10 menit
1 2 3 4 Rata-rata Stdev
20532 21369 15125 16991 18504 2945
99.40 91.38 119.00 97.41 101.80 11.97
91.9055 110.44 81.6942 78.7748 90.70 14.31
0.42 0.41 0.4 0.38 0.40 0.02
73.07 75.58 83.22 77.00 77.22 4.32
140 oC 20 menit
1 2 3 4 Rata-rata Stdev
22712 20253 23016 16888 20717 2837
122.56 100.95 103.28 103.60 107.60 10.05
122.475 97.7099 103.865 93.7091 104.44 12.73
0.43 0.41 0.4 0.42 0.42 0.01
73.00 76.81 75.78 72.90 74.62 1.98
140 oC 30 menit
1 2 3 4 Rata-rata Stdev
17778 18467 19838 24439 20131 2997
148.92 132.79 114.98 123.84 130.13 14.48
107.24 89.9579 101.017 125.14 105.84 14.72
0.44 0.42 0.46 0.43 0.44 0.02
63.89 62.60 67.49 61.61 63.90 2.57
140 oC 40 menit
1 2 3 4 Rata-rata Stdev
21326 27495 20582 23669 23268 3110
158.74 148.91 134.04 127.07 142.19 14.31
117.64 95.9874 97.42 129.784 110.21 16.37
0.43 0.5 0.49 0.43 0.46 0.04
63.81 44.56 51.79 57.89 54.51 8.25
160 oC 10 menit
1 2 3 4 Rata-rata Stdev
23459 23005 19263 22780 22127 1930
183.12 120.56 148.94 130.76 145.84 27.48
126.142 102.088 97.3283 93.6706 104.81 14.63
0.53 0.5 0.48 0.45 0.49 0.03
34.70 47.14 40.73 33.98 39.14 6.13
160 oC 20 menit
1 2 3 4 Rata-rata Stdev
21923 22630 27810 20383 23186 3222
200.05 181.44 210.93 181.50 193.48 14.56
126.457 130.999 96.198 111.921 116.39 15.73
0.52 0.51 0.54 0.53 0.53 0.01
19.91 25.75 27.61 16.09 22.34 5.30
o
107
Lampiran 8 (sambungan) 1
2
3
4
5
6
7
160 C 30 menit
1 2 3 4 Rata-rata Stdev
27588 21246 27243 24405 25121 2951
214.94 191.74 222.17 172.58 200.36 22.62
121.081 133.648 101.849 121.54 119.53 13.15
0.51 0.54 0.51 0.54 0.53 0.02
10.17 8.58 11.43 8.94 9.78 1.30
160 oC 40 menit
1 2 3 4 Rata-rata Stdev
25655 31038 28664 25021 27594 2792
209.99 201.85 172.58 229.08 203.37 23.49
129.171 101.269 126.304 132.344 122.27 14.22
0.56 0.51 0.6 0.57 0.56 0.04
6.41 4.53 4.12 5.07 5.03 1.00
180 oC 10 menit
1 2 3 4 Rata-rata Stdev
21418 23002 26321 20835 22894 2461
189.19 176.83 178.05 160.81 176.22 11.68
88.2121 115.813 117.646 94.6117 104.07 14.87
0.56 0.53 0.55 0.53 0.54 0.02
15.11 25.62 26.59 20.57 21.98 5.28
180 oC 20 menit
1 2 3 4 Rata-rata Stdev
29041 21254 22099 21939 23583 3657
225.34 174.32 171.07 226.19 199.23 30.67
104.016 103.113 108.454 111.335 106.73 3.86
0.53 0.54 0.57 0.56 0.55 0.02
6.83 6.93 4.47 6.03 6.06 1.14
180 oC 30 menit
1 2 3 4 Rata-rata Stdev
19813 26408 28168 26802 25298 3733
200.13 211.02 196.78 194.51 200.61 7.31
104.148 120.295 110.219 93.4863 107.04 11.22
0,61 0.6 0.56 0.54 0.57 0.03
1.90 1.66 1.67 1.74 1.74 0.11
180 oC 40 menit
1 2 3 4 Rata-rata Stdev
22453 22277 24492 25655 23719 1636
166.84 195.93 219.08 163.51 186.34 26.24
130.506 101.223 99.8835 103.468 108.77 14.57
0.54 0.59 0.58 0.57 0.57 0.02
-5.60 -3.46 -2.24 -3.76 -3.76 1.39
o
108
Lampiran 9. Analisis sidik ragam terhadap sifat fisis dan mekanis batang kelapa sawit terpadatkan dengan CSC (Kerapatan, RS, tekan, MOE dan MOR) Analisis sidik ragam untuk Kerapatan Sumber Keragaman Suhu Waktu Interaksi Error Total
Derajat Bebas 3 3 9 48 63
Jumlah Kuadrat 0.361806 0.035669 0.048469 0.278150 0.724094
Kuadrat Tengah F hitung 0.120602 20.81 0.011890 2.05 0.005385 0.93 0.005795
P 0.000** 0.119 0.509
Keterangan : * berbeda nyata dengan selang kepercayaan 95% (α = 0.05) ** berbeda sangat nyata dengan selang kepercayaan 99% (α = 0.01)
Analisis sidik ragam untuk RS Sumber Keragaman Suhu Waktu Interaksi Error Total
Derajat Bebas 3 3 9 48 63
Jumlah Kuadrat 67139.1 5939.9 454.0 803.8 74336.7
Kuadrat Tengah F hitung 22379.7 1336.46 1980.0 118.24 50.4 3.01 16.7
P 0.000** 0.000** 0.006**
Keterangan : * berbeda nyata dengan selang kepercayaan 95% (α = 0.05) ** berbeda sangat nyata dengan selang kepercayaan 99% (α = 0.01)
Analisis sidik ragam untuk keteguhan tekan //serat Sumber Keragaman Suhu Waktu Interaksi Error Total
Derajat Bebas 3 3 9 48 63
Jumlah Kuadrat 17766.3 1724.5 523.8 15570.2 35584.9
Kuadrat Tengah F hitung 5922.1 18.26 574.8 1.77 58.2 0.18 324.4
Keterangan : * berbeda nyata dengan selang kepercayaan 95% (α = 0.05) ** berbeda sangat nyata dengan selang kepercayaan 99% (α = 0.01)
P 0.000** 0.165 0.995
109
Lampiran 9 (sambungan) Analisis sidik ragam untuk MOR Sumber Keragaman Suhu Waktu Interaksi Error Total
Derajat Bebas 3 3 9 48 63
Jumlah Kuadrat 105402.9 9164.1 5611.1 29356.7
Kuadrat Tengah F hitung P 35134.3 57.45 0.000** 3054.7 4.99 0.004** 623.5 1.02 0.438 611.6
149534.7
Keterangan : * berbeda nyata dengan selang kepercayaan 95% (α = 0.05) ** berbeda sangat nyata dengan selang kepercayaan 99% (α = 0.01)
Analisis sidik ragam untuk MOE Sumber Keragaman Suhu Waktu Interaksi Error Total
Derajat Bebas 3 3 9 48 63
Jumlah Kuadrat 854039322 162303555 21987268 818446138 1856776283
Kuadrat Tengah F hitung P 284679774 16.70 0.000** 54101185 3.17 0.032* 2443030 0.14 0.998 17050961
Keterangan : * berbeda nyata dengan selang kepercayaan 95% (α = 0.05) ** berbeda sangat nyata dengan selang kepercayaan 99% (α = 0.01)
110
Lampiran 10. Uji wilayah berganda duncan terhadap RS Suhu 120 oC
Waktu (menit) 10
20
30
40
K
J
IJ
HI
o
HI
H
G
F
o
160 C
E
D
C
BC
180 oC
D
BC
AB
A
140 C
Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
111
Lampiran 11. Kristalinitas Batang Kelapa Sawit
Kontrol
Suhu 160 oC 10 menit
Suhu 160 oC 20 menit
Suhu 160 oC 30 menit
Suhu 160 oC 40 menit
112
Lampiran 11 (sambungan)
Suhu 180 oC 10 menit
Suhu 180 oC 20 menit
Suhu 180 oC 30 menit
Suhu 180 oC 40 menit
113
Lampiran 12. Analisis komponen kimia batang kelapa sawit bagian dalam yang telah dipadatkan dengan metode CSC Suhu/ Kadar Air Waktu Ulangan (%)
Kelarutan Alk-Benz (%)
Air Panas (%)
Lignin (%)
Holoselulosa (%)
Alfa Selulosa (%)
1
2
3
4
5
6
7
8
Kontrol
1 2 3
9.25 7.86 8.56 8.56
2.12 2.16 2.43 2.24
26.00 25.88 25.49 25.79
19.43 19.27 20.37 19.69
63.14 64.25 64.57 63.99
53.37 53.32 50.31 52.33
140 oC 20 mnt
1 2 3 Rata-rata
8.67 9.21 8.44 8.77
3.47 3.06 3.80 3.44
15.27 15.56 15.82 15.55
23.82 23.34 27.14 24.77
63.25 63.24 64.05 63.51
53.41 51.33 55.28 53.34
140 oC 40 mnt
1 2 3 Rata-rata
8.96 8.38 8.57 8.64
3.86 3.47 3.19 3.51
15.36 15.83 15.31 15.50
27.35 26.95 26.90 27.07
63.53 63.15 61.95 62.88
54.25 53.78 54.98 54.34
160 oC 10 mnt
1 2 3 Rata-rata
8.80 7.87 7.66 8.11
2.71 2.76 2.87 2.78
15.96 15.57 15.53 15.69
27.32 26.17 25.81 26.43
63.55 60.84 63.01 62.46
53.92 54.64 52.57 53.71
160 oC 20 mnt
1 2 3 Rata-rata
7.82 8.02 8.04 7.96
3.77 3.80 2.93 3.50
16.96 17.53 16.31 16.93
30.48 26.57 28.53 28.53
62.28 62.23 60.75 61.75
53.77 52.15 55.10 53.67
160 oC 30 mnt
1 2 3 Rata-rata
7.13 7.64 8.03 7.60
4.93 4.90 5.09 4.97
17.72 16.26 16.73 16.90
30.61 29.21 25.37 28.39
61.78 60.57 60.56 60.97
55.26 52.30 56.02 54.52
160 oC 40 mnt
1 2 3 Rata-rata
8.39 8.77 7.78 8.31
5.67 5.53 5.75 5.65
17.69 19.11 17.39 18.07
31.13 28.53 31.26 30.31
59.06 56.78 59.73 58.52
55.68 54.52 55.51 55.24
Rata-rata
114
Lampiran 12 (sambungan) 1 o
2
3
4
5
6
7
8
180 C 10 mnt
1 2 3 Rata-rata
7.91 7.08 7.58 7.52
4.93 5.32 4.81 5.02
15.63 16.89 15.90 16.14
26.54 28.78 27.31 27.54
61.82 60.72 62.28 61.61
54.69 53.25 52.58 53.51
180 oC 20 mnt
1 2 3 Rata-rata
7.96 7.38 7.10 7.48
5.65 6.02 5.98 5.88
17.12 17.82 16.83 17.26
29.17 30.01 30.66 29.95
60.79 60.45 59.81 60.35
54.74 53.98 53.96 54.23
180 oC 30 mnt
1 2 3 Rata-rata
7.83 7.17 6.87 7.29
8.38 8.20 9.14 8.57
20.06 21.41 20.51 20.66
31.72 32.28 30.84 31.61
58.86 57.65 59.55 58.69
54.56 54.61 55.18 54.78
180 oC 40 mnt
1 2 3 Rata-rata
7.11 6.62 6.68 6.80
9.70 9.91 9.89 9.83
21.55 21.46 22.65 21.89
34.65 32.03 32.90 33.20
57.57 58.33 57.07 57.66
56.95 54.36 54.79 55.37
115
Lampiran 13.
Inspeksi data perekat fenol formaldehida (PT. Palmolite Adhesive Industri).
Type : PA -3 02
Lot : 701/1
Parameter
Unit
Spesifikasi
Result
-
10.0-13.0
12.55
Poise
1.8-2.4
2.25
Gelation Time (135 C)
Minute
5-15
12’45”
Water Solubility (25 oC)
Time
-
-
%
41.0-44
42.5
%
-
-
-
1.190-1.200
1.200
o
pH (meter / 25 C) Viscosity (25 oC) o
o
Resin Content (135 C) Free Formaldehyde o
o
Spesific gravity (25 C/ 4 C)
116
Lampiran 14. Sifat fisis dan mekanis batang kelapa sawit terkompregnasi PF Perlakuan
Ulangan
MOR
MOE
Tekan
Krptn
RS
(kg/cm2)
(kg/cm2)
(kg/cm2)
(g/cm3)
(%)
Weight Gain (%)
3
4
5
6
7
8
1
2
Kontrol
1
111.405
12876
93.79
0.34
2
138.661
12107
73.34
0.34
3
117.289
11298
78.10
0.34
4
125.388
12309
72.78
0.33
Rataan
123.19
12148
79.51
0.34
Stdev
11.80
654
9.82
0.01
A
B
C
D
1
367.471
31667
167.52
0.75
35.89
10.83
2
389.105
33439
175.26
0.72
49.54
14.43
3
428.468
25785
194.74
0.69
39.43
12.26
4
354.796
26698
141.79
0.65
36.13
8.55
Rataan
384.96
29397
169.83
0.70
40.25
11.52
Stdev
32.28
3733
21.92
0.04
6.40
2.47
1
432.94
40749
197.27
0.74
2.91
29.23
2
410.24
36921
182.79
0.73
3.43
29.98
3
455.75
41322
185.42
0.81
2.34
30.20
4
429.30
38493
196.79
0.78
5.55
24.06
Rataan
432.06
39371
190.57
0.77
3.56
28.37
Stdev
18.67
2040
7.54
0.04
1.40
2.90
1
522.395
43269
214.66
0.86
1.89
49.91
2
534.344
43185
248.82
0.98
1.94
55.74
3
490.98
49815
238.06
0.94
2.34
42.32
4
470.12
52009
226.24
0.98
1.51
55.81
Rataan
504.46
47069
231.94
0.94
1.92
50.94
Stdev
29.30
4527
14.76
0.06
0.34
6.38
1
389.245
27083
139.90
0.65
18.28
12.93
2
363.59
27449
131.35
0.74
27.36
9.06
3
333.271
21350
174.44
0.62
34.56
11.82
4
351.41
25273
138.54
0.62
24.25
8.55
Rataan
359.38
25289
146.06
0.66
26.11
10.59
Stdev
23.49
2793
19.29
0.06
6.78
2.12
117
Lampiran 14 (sambungan) 1
2
E
1 2 3 4 Rataan Stdev
F
3
4
5
6
7
8
446.633 394.341 443.187 386.633 417.70 31.61
38898 35765 27162 28862 32672 5574
182.25 145.58 167.15 151.74 161.68 16.44
0.68 0.79 0.71 0.71 0.72 0.05
13.66 12.74 16.56 11.25 13.55 2.24
14.20 19.88 16.39 19.10 17.39 2.60
1
415.23
40854
209.59
0.89
2.03
42.26
2
457.56
43300
231.06
0.74
4.43
34.68
3
484.24
41063
193.06
0.75
1.41
33.06
4
470.53
45593
237.96
0.8
2.13
36.71
Rataan
456.89
42702
217.92
0.80
2.50
36.68
Stdev
29.84
2222
20.51
0.07
1.33
4.01
Keterangan : Kode A B C D E F
Perlakuan Tanpa Pemadatan awal, rendam PF selama 24 jam Tanpa Pemadatan awal, vakum PF selama 1 jam Tanpa Pemadatan awal, vakum PF selama 1 jam dan tekan selama 30 menit Pemadatan awal, rendam PF selama 24 jam Pemadatan awal, vakum PF selama 1 jam Pemadatan awal , vakum PF selama 1 jam dan tekan selama 30 menit
118
Lampiran 15. Analisis sidik ragam terhadap sifat fisis dan mekanis batang kelapa sawit terkompregnasi PF Analisis sidik ragam untuk WG Sumber Keragaman Metode Error Total
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
6 18 24
21170.588 247.724 21418.313
Kuadrat Tengah 3528.431 13.762
F hitung 256.381
P 0.000**
Keterangan : * berbeda nyata dengan selang kepercayaan 95% (α = 0.05) ** berbeda sangat nyata dengan selang kepercayaan 99% (α = 0.01)
Analisis sidik ragam untuk RS Sumber Keragaman Metode Error Total
Derajat Bebas 6 18 24
Jumlah Kuadrat 10031.946 287.217 10319.162
Kuadrat Tengah 1671.991 15.956
F hitung 104.784
P 0.000**
Keterangan : * berbeda nyata dengan selang kepercayaan 95% (α = 0.05) ** berbeda sangat nyata dengan selang kepercayaan 99% (α = 0.01)
Analisis sidik ragam untuk kerapatan Sumber Keragaman Metode Error Total
Derajat Bebas 6 18 24
Jumlah Kuadrat 14.195 .050 14.244
Kuadrat Tengah 2.366 0.003
F hitung 858.116
P 0.000**
Keterangan : * berbeda nyata dengan selang kepercayaan 95% (α = 0.05) ** berbeda sangat nyata dengan selang kepercayaan 99% (α = 0.01)
Analisis sidik ragam untuk keteguhan tekan sejajar serat Sumber Keragaman Metode Error Total
Derajat Bebas 6 18 24
Jumlah Kuadrat 855668.349 5454.711 861123.060
Kuadrat Tengah 142611.392 303.039
F hitung 470.603
Keterangan : * berbeda nyata dengan selang kepercayaan 95% (α = 0.05) ** berbeda sangat nyata dengan selang kepercayaan 99% (α = 0.01)
P 0.000**
119
Lampiran 15 (sambungan)
Analisis sidik ragam untuk MOE Sumber Keragaman Metode Error Total
Derajat Bebas 6 18 24
Jumlah Kuadrat 3.264E10 2.472E8 3.289E10
Kuadrat Tengah 5.440E9 1.373E7
F hitung 396.142
P 0.000**
Keterangan : * berbeda nyata dengan selang kepercayaan 95% (α = 0.05) ** berbeda sangat nyata dengan selang kepercayaan 99% (α = 0.01)
Analisis sidik ragam untuk MOR Sumber Keragaman Metode Error Total
Derajat Bebas 6 18 24
Jumlah Kuadrat 4406885.196 14069.670 4420954.866
Kuadrat Tengah 734480.866 781.648
F hitung 939.656
Keterangan : * berbeda nyata dengan selang kepercayaan 95% (α = 0.05) ** berbeda sangat nyata dengan selang kepercayaan 99% (α = 0.01)
P 0.000**
120
Lampiran 16. Uji wilayah berganda Duncan terhadap sifat fisis dan mekanis batang kelapa sawit terkompregnasi PF
Uji wilayah berganda duncan terhadap nilai WG Metode Impregnasi Tanpa Pemadatan awal, rendam PF 24 jam Tanpa Pemadatan awal , vakum PF selama 1 jam Tanpa Pemadatan awal, vakum PF selama 1 jam dan tekan selama 30 menit Pemadatan awal, rendam PF 24 jam Pemadatan awal, vakum PF selama 1 jam Pemadatan awal, vakum PF selama 1 jam dan tekan selama 30 menit
Uji Duncan E C A E D B
Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Uji wilayah berganda duncan terhadap nilai RS Metode Impregnasi Tanpa Pemadatan awal, rendam PF 24 jam Tanpa Pemadatan awal , vakum PF selama 1 jam Tanpa Pemadatan awal, vakum PF selama 1 jam dan tekan selama 30 menit Pemadatan awal, rendam PF 24 jam Pemadatan awal, vakum PF selama 1 jam Pemadatan awal, vakum PF selama 1 jam dan tekan selama 30 menit
Uji Duncan B A A C D A
Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Uji wilayah berganda duncan terhadap nilai kerapatan Metode Impregnasi Tanpa Pemadatan awal, rendam PF 24 jam Tanpa Pemadatan awal , vakum PF selama 1 jam Tanpa Pemadatan awal, vakum PF selama 1 jam dan tekan selama 30 menit Pemadatan awal, rendam PF 24 jam Pemadatan awal, vakum PF selama 1 jam Pemadatan awal, vakum PF selama 1 jam dan tekan selama 30 menit Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Uji Duncan CD BC A D BCD B
121
Lampiran 16 (sambungan)
Uji wilayah berganda duncan terhadap nilai MOE Metode Impregnasi
Uji Duncan
Tanpa Pemadatan awal, rendam PF 24 jam Tanpa Pemadatan awal , vakum PF selama 1 jam Tanpa Pemadatan awal, vakum PF selama 1 jam dan tekan selama 30 menit Pemadatan awal, rendam PF 24 jam Pemadatan awal, vakum PF selama 1 jam Pemadatan awal, vakum PF selama 1 jam dan tekan selama 30 menit
CD B A D C AB
Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Uji wilayah berganda duncan terhadap nilai MOR Metode Impregnasi
Uji Duncan
Tanpa Pemadatan awal, rendam PF 24 jam Tanpa Pemadatan awal , vakum PF selama 1 jam Tanpa Pemadatan awal, vakum PF selama 1 jam dan tekan selama 30 menit Pemadatan awal, rendam PF 24 jam Pemadatan awal, vakum PF selama 1 jam Pemadatan awal, vakum PF selama 1 jam dan tekan selama 30 menit
CD B A D BC B
Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Uji wilayah berganda duncan terhadap nilai keteguhan tekan sejajar serat Metode Impregnasi Tanpa Pemadatan awal, rendam PF 24 jam Tanpa Pemadatan awal , vakum PF selama 1 jam Tanpa Pemadatan awal, vakum PF selama 1 jam dan tekan selama 30 menit Pemadatan awal, rendam PF 24 jam Pemadatan awal, vakum PF selama 1 jam Pemadatan awal, vakum PF selama 1 jam dan tekan selama 30 menit Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Uji Duncan BC B A C C A