Peningkatan Keuntungan Usahatani Padi melalui SL-PTT di Sumatera Utara Yoshi Tri Sulistyaningsih dan Joko Mulyono Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jl. Tentara Pelajar, No.10, Bogor 16114, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Padi merupakan komoditas unggulan dan strategis. Ketahanan pangan nasional tergantung dari produksi padi sebagai kebutuhan pangan sebagian besar masyarakat Indonesia. Peningkatan produksi padi nasional diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Paket teknologi yang berperan dalam peningkatan produksi padi salah satunya adalah Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) melalui program SL-PTT. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis kelayakan usahatani padi dan peningkatan keuntungan usaha tani padi melalui program SL-PTT di Provinsi Sumatera Utara. Penelitian dilakukan pada tahun 2013 di 4 Kabupaten/Kota, Sumatera Utara yang merupakan sentra produksi padi nasional. Penelitian dilakukan pada lokasi SL-PTT dan non SL-PTT. Pengambilan sampel secara stratified random sampling sebanyak 30 petani. Data yang dikumpulkan meliputi data primer, antara lain: data penggunaan input produksi, luas lahan, produksi, produktivitas, harga input, harga output serta data karakteristik petani. Data sekunder yang diambil meliputi data perkembangan produktivitas, produksi, dan luas panen padi di provinsi. Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk mengetahui karakteristik petani, RC ratio untuk menganalisis kelayakan usaha tani, dan NKB untuk mengetahui peningkatan keuntungan usaha tani padi. Hasil yang diperoleh menunjukkan porsi biaya terbesar dalam usaha tani padi melalui SL-PTT pada biaya tenaga kerja, sedangkan pada non SL-PTT biaya terbesar pada biaya lain-lain (sewa lahan dan iuran air). Usaha tani padi layak diusahakan, dengan nilai RC sebesar 1,77 di lokasi SL-PTT lebih besar dibandingkan non SL-PTT yakni sebesar 1,52. Peningkatan keuntungan (NKB) karena penerapan SL-PTT sebesar 1,63. Kata kunci: padi, peningkatan keuntungan, SL-PTT, usaha tani
Pendahuluan Padi merupakan komoditas unggulan dan strategis, karena ketahanan pangan suatu bangsa tergantung dari produksi padi sebagai kebutuhan pangan sebagian besar masyarakat Indonesia. Pemerintah telah menetapkan target swasembada padi sejak tahun 2014. Selain itu, pemerintah juga telah menetapkan sasaran kecukupan pasokan produksi dalam negeri minimal 95% dari permintaan yakni melalui program surplus beras sebesar 10 juta ton sejak tahun 2014. Sasaran dan program tersebut didasari suatu kenyataan bahwa Indonesia mempunyai potensi sumberdaya padi yang tinggi walaupun tingkat produktivitas di tingkat petani masih jauh dari potensi yang ada. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masih terdapat perbedaan antara produktivitas padi di tingkat petani dan potensi yang ada. Produksi padi tahun 2014 diperkirakan sebanyak 70,61 juta ton GKG dengan luas panen 13,77 juta hektar dan produktivitas 5,13 ton/ha. Produktivitas masih bisa ditingkatkan sesuai potensi yang ada. Kesenjangan ini antara lain terkait dengan: masih rendahnya pemahaman dan penerapan teknologi dan inovasi budidaya pertanian, yang merupakan faktor dominan rendahnya produktivitas (Adiningsih et al.,1994). Saat ini produktivitas padi provinsi Sumatera Utara masih dibawah dari potensi yang ada walaupun dari tahun 2012 sampai tahun 2015 tren produktivitasnya cenderung meningkat sebesar 2,14%. Pada tahun 2015 produktivitas padi sebesar 5,17 ton/ha, dan ini masih berpotensi untuk Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
477
ditingkatkan. Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi sentra penghasil beras di Indonesia, dan termasuk wilayah yang surplus beras, seperti yang terlihat pada Tabel 1. Lokasilokasi pensuplasi terbesar produksi padi yakni Kab. Deli Serdang, Kab. Serdang Bedagai, Kab. Langkat dan Labuhan Batu Utara dan Mandailing Natal. Tabel 1. Kebutuhan beras provinsi Sumatera Utara Tahun 2012-2015 Uraian Jumlah Penduduk (Juta jiwa)
2012 13.215.401
2013 13.356.252
2014 13.498.604
2015 13.642.474
Jumlah Produksi Beras (Ton)
2.377.930
2.291.479
2.307.443
2.323.408
Jumlah Kebutuhan Beras (Ton)
1.808.527
1.827.903
1.847.385
1.867.076
Sumber: BPS Provinsi Sumatera Utara, 2012-2015
Rendahnya penerapan teknologi budidaya tampak dari besarnya kesenjangan potensi produksi dari hasil penelitian dengan hasil di lapangan yang diperoleh oleh petani. Hal ini disebabkan karena pemahaman dan penguasaan penerapan paket teknologi baru yang kurang dapat dipahami oleh petani secara utuh sehingga penerapan teknologinya sepotong-sepotong (Mashar, 2000). Seperti penggunaan pupuk yang tidak tepat, bibit unggul dan cara pemeliharaan yang belum optimal diterapkan petani belum optimal karena lemahnya sosialisasi teknologi, sistem pembinaan serta lemahnya modal usaha petani itu sendiri. Selain itu juga karena cara budidaya petani yang menerapkan budidaya konvensional dan kurang inovatif seperti kecenderungan menggunakan input pupuk kimia terus menerus, tidak menggunakan pergiliran tanaman, kehilangan pasca panen yang masih tinggi 15-20% dan memakai air irigasi yang tidak efisien. Akibatnya antara lain berdampak pada rendahnya produktivitas yang mengancam kelangsungan usaha tani. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Pemerintah melalui Badan Litbang Pertanian sejak tahun 2007 mencanangkan program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). SL-PTT merupakan program pembelajaran bagi petani dengan melihat dan belajar langsung tentang penerapan komponen teknologi budidaya padi yang benar (Jamal, 2009). SLPTT sudah berjalan sejak tahun 2007, namun beberapa hasil kajian SLPTT sebelumnya menunjukkan bahwa kinerja SLPTT masih cukup beragam. Hasil kajian kinerja SLPTT oleh Rachman, et al., (2019) pada komoditas padi, jagung, dan kedelai di Provinsi Jatim dan Jabar menunjukkan bahwa SLPTT mampu meningkatkan produksi padi, jagung, dan kedelai berturut-turut sampai 9,5 ton/ha; 8 ton/ha; dan 2,5 ton/ha, selain peningkatan produktivitas. Kegiatan ini diharapkan mampu meningkatkan produktivitas dan produksi padi secara signifikan dalam mempercepat tercapainya swasembada beras berkelanjutan sekaligus memperbaiki pendapatan petani. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan usahatani padi dan peningkatan keuntungan usaha tani padi melalui program SL-PTT di Provinsi Sumatera Utara. Metodologi Pengkajian dilakukan pada tahun 2013 di Provinsi Sumatera Utara meliputi Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Serdang Bedagai dan Langkat. Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi sentra penghasil padi nasional. Adapun responden dikelompokkan menjadi 2 yakni yang menerapkan SL-PTT dan yang tidak menerapkan SL-PTT (non SL-PTT). Data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan langsung dari petani contoh (responden), pengambilan sampel dengan stratified random sampling.
478
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
Petani dikelompokkan menjadi 2, yakni petani yang menerapkan SL-PTT dan yang tidak menerapkan SL PTT (non SL-PTT). Jumlah responden sebanyak 30 orang, terdiri dari 15 orang petani SL-PTT dan 15 orang petani non SL-PTT. Data dikumpulkan melalui wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Jenis data yang dikumpulkan meliputi: data penggunaan input produksi (benih, pupuk, tenaga kerja, obat-obatan, traktor, dll), produksi, produktivitas, harga input produksi, harga jual, serta karakteristik petani (umur, pendidikan, tanggungan keluarga, luas pemilikan lahan, dll). Jenis data sekunder meliputi data perkembangan produktivitas, produksi, dan luas panen padi di provinsi. Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk mengetahui karakteristik petani, dan RC ratio untuk menganalisis kelayakan usaha tani. Peningkatan keuntungan usaha tani padi dianalisis menggunakan Nisbah Peningkatan Keuntungan Bersih (NKB). Analisis Kelayakan Usahatani Metode analisis pendapatan dan kelayakan usahatani (Soekartawi, 2002). 1.
= TR - TC
2. RC = TR/ TC dimana:
= Keuntungan (Rp/ha/musim)
TR
= Total penerimaan (Rp/ha/musim)
TC R/C
= Total biaya (Rp/ha/musim) = Return Cost Rasio, merupakan perbandingan antara penerimaan dan biaya
Dengan ketentuan : R/C > 1, usahatani secara ekonomi menguntungkan R/C = 1, usahatani secara ekonomi berada pada titik impas (BEP) R/C < 1, usahatani secara ekonomi tidak menguntungkan
Nilai peningkatan keuntungan bersih dianalisis dengan menggunakan nisbah peningkatan keuntungan bersih (NKB). Formulasi NKB sebagai berikut: NKB = KBu/KBnu dimana: KBu : keuntungan bersih usahatani padi SL-PTT KBnu : keuntungan bersih usahatani padi non SL-PTT
Hasil dan Pembahasan Karakteristik petani di Sumatera Utara berdasarkan sampel yang diambil seperti pada tabel 3. Kisaran umur petani yakni 50,5 sampai dengan 52,4 tahun. Pada kisaran umur tersebut masih termasuk dalam katergori usia produktif. Kisaran umur produktif adalah 36-56 tahun dalam melakukan suatu kinerja. Rataan umur tersebut merupakan rataan umur tenaga kerja yang mendominasi sektor pertanian yakni umumnya mencapai lebih dari 50 tahun (Suharyanto et al., 2005). Lama pendidikan petani di Sumatera Utara rata-rata untuk petani SL-PTT 8,6 tahun sedangkan petani non SL-PTT 6,6 tahun. Tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap pola berpikir, kemampuan belajar dan taraf intelektual. Pendidikan yang tinggi mendorong petani lebih
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
479
rasional dalam melakukan usahatani (Suharyanto et al., 2005) dan keputusan petani dalam menentukan adopsi suatu inovasi sangat dipengaruhi oleh pendidikan formal (Isgin et al., 2008). Pengalaman budidaya rata-rata 29 tahun, ini termasuk cukup lama dalam mengusahakan budidaya padi sawah. Secara umum pengetahuan budidaya didapatkan secara turun-temurun. Pengalaman dalam usaha tani dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan petani dalam mengembangkan usahanya. Semakin lama pengalaman betani maka tingkat keterampilan dan pengetahuan petani dalam menerapkan teknologi akan semakin mudah dan cepat. Jumlah tanggungan keluarga rata-rata 3 orang. Anggota keluarga dapat dijadikan sebagai modal dalam melakukan usahatani sebagai tenaga kerja dalam keluarga, sehingga dapat mengurangi biaya riil yang dikeluarkan oleh petani. Menurut Soekartawi (1988), jumlah tanggungan keluarga dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak suatu teknologi baru. Rata-rata penguasaaan lahan pada petani SL-PTT sebesar 0,98 ha sedangkan pada petani non SL-PTT sebesar 1,3 ha. Menurut Koirala et al. (2016), lahan merupakan faktor kunci dalam produksi pertanian dan kepemilikan lahan memiliki dampak signifikan pada efisiensi teknis. Tabel 2. Karakteristik petani Karakteristik Umur (Thn) Pendidikan (Thn) Pengalaman budidaya (Thn) Jumlah tanggungan keluarga Penguasaan Lahan (ha)
Petani SL 50,5 8,6
Petani non SL 52,4 6,6
29
28,8
3
3
0,98
1,2
Sumber: Data primer diolah
Analisis Usaha Tani Dalam usaha tani padi,biaya yang keluarkan dikategorikan dalam 3 jenis biaya yaitu biaya sarana produksi, biaya tenaga kerja dan biaya lain-lain. Biaya sarana produksi terdiri dari biaya pembelian benih, pupuk, dan pestisida. Biaya tenaga kerja terdiri dari biaya pengolahan tanah, penanaman, pemupukan, penyemprotan, penyiangan, panen dan pasca panen. Biaya lainlain terdiri dari biaya sewa lahan dan biaya iuran air. Komponen biaya yang paling besar dikeluarkan yaitu biaya tenaga kerja sebesar 44,13%, sedangkan biaya lain-lain (sewa lahan dan iuran air) biaya yang dikeluarkan sebesar 37,49% dan biaya yang paling sedikit adalah biaya sarana produksi sebesar 18,38 % dari total biaya keseluruhan. Hal ini sedikit berbeda dengan petani di non SL-PTT dimana biaya yang paling besar dikeluarkan adalah biaya lain-lain (sewa lahan dan iuran air) sebesar 40,30 %, kemudian biaya tenaga kerja sebesar 39,79 % dan biaya yang paling kecil dikeluarkan adalah biaya sarana produksi sebesar 19,91%. Ariani et al. (2009), biaya sarana produksi mencapai 21,2%-25%, sedangkan biaya untuk tenaga kerja mencapai lebih dari 60 % dari total biaya usahatani padi pada usahatani padi pada musim hujan di lokasi Prima Tani Provinsi Banten (Kabupaten Serang, Pandeglang dan Lebak). Pada petani SL-PTT, biaya sarana produksi mencapai 18,38%. Ini lebih kecil dibandingkan dengan petani non SL-PTT yakni sebesar 19,91% dari total biaya. Adapun biaya yang paling besar dikeluarkan untuk pembelian pupuk sebesar 10,08% pada petani SL-PTT dam 10,57% pafa petani non SL-PTT. Pupuk yang digunakan yaitu urea, ZA, SP-36 dan pupuk kandang. Menurut Ariani et al. (2009), porsi terbesar biaya sarana produksi digunakan untuk
480
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
pembelian pupuk. Selain itu, penggunaan pestisida juga membutuhkan biaya yang cukup besar yakni 6,71% pada petani SL-PTT dan 7,26% pada petani non SL-PTT. Total biaya tenaga kerja pada petani SL-PTT lebih tinggi (Rp. 6.224.000,-) dibandingkan non SL-PTT (Rp. 5.182.000,-). Perbedaan ini disebabkan perbedaan dalam biaya penanaman, dimana biaya penanaman pada petani SL-PTT lebih besar daripada petani non SL-PTT, karena penerapan jarak tanam seperti jajar legowo. Sistem tanam jajar legowo memerlukan tenaga kerja lebih banyak dan waktu lebih lama dibandingkan dengan system konvensional, yaitu sistem tegel sehingga menambah biaya pengeluaran. Sistem jajar legowo perlu didukung oleh alat dan mesin pertanian sehingga dapat mengurangi biaya tenaga kerja. Dalam komponen tenaga kerja, persentase biaya yang paling besar dikeluarkan untuk biaya panen termasuk didalamnya biaya untuk pengangkutan dan perontokan. Pada petani SL-PTT biaya panen lebih tinggi dibandingkan non SL-PTT, dimana pada SL-PTT mencapai 21,44%, sedangkan non SL-PTT mencapai 19,90 %. Perhitungan upah panen sampai dengan siap dijual yaitu sebesar 12% dari total produksi, dimana produksi pada petani SL-PTT lebih tinggi dibandingkan non SL-PTT sehingga biaya panen SL-PTT lebih tinggi dibandingkan non SL-PTT. Persentase biaya terbesar kedua adalah biaya olah tanah yang sebagian besar sudah menggunakan traktor, baik pada petani SLPTT maupun non SL-PTT. Dalam satu hektar lahan sawah, biayanya sebesar Rp 1.600.000,- Selain menggunakan traktor untuk olah tanahnya, tenaga manusia juga dibutuhkan untuk membuat pematang sawah. Menurut Ariani et al. (2009), persentase terbesar biaya tenaga kerja digunakan untuk panen. Biaya lain-lain yang didalamnya terdapat komponen biaya sewa lahan dan iuran air dalam satu kali musim tanam pada petani SL-PTT dan non SL-PTT dikeluarkan biaya sebesar Rp 5.288.000,-. Adapun biaya tersebut terdiri dari biaya sewa yang dikeluarkan sebesar 5 juta/musim tanam dan iuran air Rp 288.000. Dilihat dari prosentase terhadap biaya total, biaya lain-lain pada petani SL-PTT lebih kecil dibanding petani non SL-PTT yakni 37,49: 40,48%. Hal ini dipengaruhi oleh komponen biaya lain, dimana pada petani SL-PTT komponen terbesar biaya pada biaya tenaga kerja (44,13%), sedangkan pada petani non SL-PTT komponen biaya terbesar pada biaya lain-lain (40,48%). Rincian biaya dan produksi dalam usaha tani padi petani SL-PTT dan non SLPTT di Sumatera Utara disajikan dalam tabel 3. Tabel 3. Analisis usahatani padi dalam 1 hektar sawah SL-PTT dan non SL-PTT Analisa Usaha Tani
Analisa Usaha Tani
(S-PTT)
(non SL-PTT)
URAIAN Jumlah
Harga (Rp)
I. Biaya sarana produksi 1. Biaya Benih
25
9.000
2. Biaya pupuk
% Thd Biaya
Nilai (Rp) 2.592.500
18,38
225.000
1,6
1.421.500
10,08
Jumlah
30
Harga (Rp)
9.000
Nilai (Rp)
% Thd Biaya
2.592.500
19,85
270.000
2,07
1.376.500
10,54
-
Urea
300
1,.900
570.000
4,04
275
1.900
522.500
4
-
ZA
10
1.700
17.000
0,12
10
1.800
18.000
0,14
-
SP-36
15
2.300
34.500
0,24
15
2.400
36.000
0,28
-
KCL
-
NPK/ponska
-
Kandang/kompos
-
Bentuk cair
-
-
500
1.600
800.000 -
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
5,67
500
1.600
800.000
6,12
-
481
Analisa Usaha Tani
Analisa Usaha Tani
(S-PTT)
(non SL-PTT)
URAIAN Jumlah
Harga (Rp)
3. Biaya Pestisida/obat *)
% Thd Biaya
Nilai (Rp)
Jumlah
Harga (Rp)
Nilai (Rp)
% Thd Biaya
946.000
6,71
946.000
7,24
570.000
4,04
570.000
4,36
125.000
250.000
1,77
2
125.000
250.000
1,91
45.000
90.000
0,64
2
45.000
90.000
0,69
- utk hama kresek
230.000
1,63
230.000
1,76
Bentuk padat/tepung (gr):
376.000
2,67
376.000
2,89
Bentuk cair (cc): -
Prepaton
-
Secor
2 2
- Saturendae
6
21.000
126.000
0,89
6
21.000
126.000
0,96
- Utk hama keong
5
50.000
250.000
1,77
5
50.000
250.000
1,91
6.224.000
44,13
5.182.000
39,67
2.000.000
14,18
1.690.000
12,94
II. Biaya Tenaga Kerja 1. Biaya pengolahan tanah**) -
Ternak
-
-
-
Traktor
1.600.000
1.600.000
12,25
-
Manusia
400.000
90.000
0,69
450.000
3,44
2. Biaya penanaman
850.000
6,03
70.000
0,5
1
70.000
70.000
0,54
3. Biaya pemupukan
1
70.000
4. Biaya penyemprotan
1
70.000
70.000
0,5
2
70.000
140.000
1,07
5. Biaya penyiangan
6
35.000
210.000
1,49
4
60.000
240.000
1,84
840
3.600
3.024.000
21,44
720
3.600
2.592.000
19,84
6. Biaya panen 7. Biaya pengangkutan
-
-
8. Biaya perontokan
-
-
III.
Biaya lain
1. Biaya sewa lahan/musim 2. Biaya iuran air/pompa
80
3.600
3. Biaya lainnya: _____ IV. Total biaya I + II + III V. Penjualan Produksi kotor VI. Laba /benefit
7
3,6
5.288.000
37,49
5.288.000
40,48
5.000.000
35,45
5.000.000
38,28
288,.000
2,04
248.400
2,2
69
3.600
-
-
14.104.500
13.062.500
25.200.000
6
3.300
19.800.000
11.095.500
6.737.500
RC
1,79
1,52
NKB
1,63
Sumber: Data primer diolah
Hasil panen dalam satu hektar sawah petani SL-PTT sebesar 7 ton dan petani non SLPTT sebesar 6 ton dengan menggunakan varietas padi ciherang. Varietas ciherang banyak digunakan oleh petani karena kebiasaan petani sudah menggunakan varietas ciherang sejak lama dan hasilnya bagus. Perbedaan hasil panen pada petani SL-PTT salah satunya karena ada perlakuan sistem tanam jajar legowo. Menurut Salahudun et, al (2009) jarak tanam mempengaruhi panjang malai, jumlah bulir per malai, dan hasil per hektar tanaman padi. Sehingga, populasi yang lebih tinggi pada sistem tanam jajar legowo memberi peluang untuk mendapatkan hasil yang lebih tinggi (Suhartatik, et al., 2009). Hasil produksi sebesar 7 ton per hektar pada petani SL-PTT ini
482
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
melebihi dari rata-rata produksi di Provinsi Sumatera Utara yaitu sebesar 5,017 t/ha. Dengan harga jual GKP sebesar Rp 3.600/kg, total penerimaannya sebesar Rp 25.200.000,- pada petani SL-PTT dan Rp 19.800.000,- pada petani non SL-PTT. Sehingga laba yang dihasilkan per hektar sawah yang diusahakan sebesar Rp 11.095.500 pada petani SL-PTT dan Rp 6.777.100,- pada petani non SL-PTT,-. Dari hasil analisis diperoleh nilai R/C padi lebih dari satu, sehingga usahatani padi dianggap layak baik pada petani SL-PTT maupun non SL-PTT. Perbandingan penerimaan dengan biaya (R/C) diperoleh hasil 1,79 pada petani SL-PTT dan 1,52 pada petani non SL-PTT. Menurut Andriati dan Sudana (2007), R/C usahatani padi sawah pada musim hujan di Kabupaten Karawang, Jawa Barat tahun 2005 diperoleh sebesar 1,54-1,70. Ariani et al. (2009), R/C usahatani padi pada musim hujan di lokasi Prima Tani Propinsi Banten (Kabupaten Serang, Pandeglang dan Lebak) diperoleh sebesar 1,9-2,3. Nilai R/C padi pada petani SL-PTT adalah 1,79 artinya setiap biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 1.000,- terhadap input yang diberikan akan memperoleh penerimaan sebesar Rp. 1.790,-. Nilai R/C padi pada petani non SL-PTT adalah 1,52 artinya setiap biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 1.000,- terhadap input yang diberikan akan memperoleh penerimaan sebesar Rp. 1.520,-. Peningkatan keuntungan bersih (NKB) yang diperoleh dari usahatani padi melalui pendekatan SL-PTT sebesar 1,63 artinya keuntungan usahatani padi pada petani yang menerapkan SL-PTT 1,63 lebih tinggi dibandingkan keuntungan usahatani padi non SL-PTT. Kesimpulan Porsi biaya terbesar yang digunakan dalam usahatani padi melalui SL-PTT berbeda dibandingkan non SL-PTT. Penggunaan teknologi seperti sistem tanam jajar legowo menyebabkan terjadinya peningkatan biaya tenaga kerja. Pada SL-PTT porsi biaya terbesar digunakan untuk biaya tenaga kerja, sedangkan pada non SL-PTT porsi biaya terbesar digunakan untuk biaya lainlain. Usahatani padi di Sumatera Utara di lokasi SL-PTT maupun non SL-PTT layak dengan R/C 1,79 dan1,52. Keuntungan yang diperoleh dari usahatani padi melalui pendekatan SL-PTT lebih tinggi dibandingkan non SL-PTT. Peningkatan keuntungan bersih (NKB) yang diperoleh dari usahatani padi melalui pendekatan SL-PTT sebesar 1,63.
Ucapan Terima Kasih Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Wasito dan kelompok tani yang telah membantu dalam pengambilan data di lapang. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Titim Rahmawati, MP yang telah memberikan masukan dalam menganalisis data.
Daftar Pustaka Andriati dan W. Sudana. 2007. Keragaan dan Analisis Finansial Usahatani Padi (Kasus Desa Primatani, Kabupaten Karawang, Jawa Barat). Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 10(2):106-118.
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
483
Ariani, M., A. Saryoko, dan S. Muttakin. 2009. Peningkatan Keuntungan Usahatani Padi Melalui Pendekatan PTT di Lokasi Prima Tani Provinsi Banten. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 12(3):172-179. Isgin, T., A. Bilgic, D.L. Forster, and M.T. Batte. 2008. Using Count Data Models to Determine the Factors Affecting Farmer’s Quantity Decisions of Precisions Farming Technology Adoption. Computer and Electronic in Agriculture. 62:231-242. Jamal, E. 2009. Telaah Penggunaan Pendekatan Sekolah Lapang Dalam Pengelolaan Tanaman Pangan Terpadu (PTT) Padi: Kasus di Kabupaten Blitar dan Kediri, Jawa Timur. Analisis Kebijakan Pertanian 7 (4): 24. Koirala, K.H., A. Mishra, and S. Mohanty. 2016. Impact of Land Ownership on Productivity and Efficiency of Rice Farmers:The Case of the Philippines. Land Use Policy. 50:371-378. Mashar, A.Z. 2000. Teknologi Hayati Bio P 2000 Z Sebagai Upaya untuk Memacu Produktivitas Pertanian Organik di Lahan Marginal. Makalah disampaikan Lokakarya dan pelatihan teknologi organik di Cibitung 22 Mei 2000. Rachman, B., I.W. Rusastra, Y. Yusdja, A.R. Nurmanaf, Ashari, H. Tarigan, E. Ariningsih, dan Sunarsih. 2009. Laporan Akhir Kinerja dan Dampak Program Strategis Departemen Pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Salahuddin, K.M., S.H. Chowhdury, S. Munira, M.M. Islam, & S. Parvin. 2009. Response of nitrogen and plant spacing of transplanted Aman Rice. Bangladesh J. Agric. Res. 34(2): 279-285. Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Soekartawi. 2002. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Sri Adiningsih J., M. Soepartini, A. kusno, Mulyadi, dan Wiwik Hartati. 1994. Teknologi untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Sawah dan Lahan Kering. Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan Untuk Pembangunan Kawasan Timur Indonesia di Palu 17 – 20 Januari 1994 Suhartatik, E., A.K. Makarim, dan Ikhwani. 2011. Respon lima varietas unggul baru terhadap perubahan jarak tanam. Inovasi Tekonologi Padi Mengantisipasi Cekaman Lingkungan Biotik dan Abiotik. Prosiding seminar Nasional hasil penelitian Padi 2011. p.12591273. Suharyanto, Destialisma dan I.A. Parawati. 2005. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Adopsi Teknologi Tabela di Provinsi Bali. Prosiding Seminar Nasional. “Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Dalam Upaya Mempercepat Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan di Lahan Marginal”. NTB, 30-31 Agustus 2005. Hal 122-128.
484
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016