DAMPAK PENERAPAN PROGRAM SLPTT TERHADAP PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KECAMATAN TELAGASARI KABUPATEN KARAWANG
FAJAR FIRMANA H34110035
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Berjudul Dampak Penerapan Program SLPTT Terhadap Pendapatan Usahatani Padi Di Kecamatan Telagasari Kabupaten Karawang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing saya dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2015
Fajar Firmana H34110035
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
iv
ABSTRAK FAJAR FIRMANA. Dampak Penerapan Program SLPTT Terhadap Pendapatan Usahatani Padi Di Kecamatan Telagasari Kabupaten Karawang. Dibimbing oleh RITA NURMALINA.
Selama lima tahun terakhir, tingkat konsumsi beras penduduk Indonesia masih tergolong tinggi yaitu rata-rata 136.268 kg per kapita per tahun. Meskipun saat ini produksi beras di Indonesia mengalami peningkatan, akan tetapi sampai saat ini pemerintah masih melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi masalah ini yaitu dengan menerapkan program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT). Penelitian dilakukan dengan observasi langsung dan wawancara kepada petani sebagai responden di Desa Kalibuaya melalui metode purposive sampling. Terdapat beberapa perbedaan penggunaan komponen teknologi antara petani program SLPTT dan non SLPTT ketika melakukan kegiatan usahatani padi. Namun, di Desa Kalibuaya perlu ditingkatkan beberapa komponen teknologi pilihan dan dasar yang dianjurkan pada program SLPTT. Produktivitas dan pendapatan atas biaya total dari usahatani padi program SLPTT adalah 6.91 ton per hektar dan Rp 12 197 679.92, angka ini lebih tinggi daripada non program SLPTT yaitu 6.20 ton per hektar dan Rp 10 569 281.60. Usahatani padi program SLPTT lebih efisien dibandingkan dengan non program SLPTT dengan rasio R/C atas biaya total masing-masing sebesar 1.88 and 1.79. Kata kunci: Beras, Pendapatan Usahatani Padi, R/C dan SLPTT. ABSTRACT FAJAR FIRMANA. The Impact of The Program SLPTT on the Paddy Farm Business Income in Telagasari Subdistrict, Karawang Regency. Supervised by RITA NURMALINA
Over the past five years, rice consumption level of Indonesian population is still relatively high, at an average of 136.268 kg per capita per year. Although rice production in Indonesia has increased, government still imports to meet domestic demand. One of government's efforts to solve the problem is by implementing the Field School of Integrated Crop Management (SLPTT). The purposes of this research are to describe the activity of technology on rice farming, to evaluate the implementation of SLPTT and non-SLPTT program, and to analyze the income of rice farm business from SLPTT and non-SLPTT program in Kalibuaya Village. The study was conducted with direct observation and interview to the rice farmers in Kalibuaya Village as respondents selected by purposive sampling method. There are some differences in the use of technology components between SLPTT and non-SLPTT program farmers when they do rice farming activities. However, in Kalibuaya village should be increased several primary and selection technology components SLPTT program. Productivity and income over total cost of rice farm business from SLPTT program are 6.91 tons per hectare and Rp. 12 197 679.92, higher than non-SLPTT program, 6.20 tons per hectare and Rp 10 569 281.60. Rice farm business of SLPTT program is more efficient than non-SLPTT program with ratios of R/C on total cost are 1.88 and 1.79, respectively. Keywords: Paddy Farm Business, Rice, R/ C, and SLPTT.
v
DAMPAK PENERAPAN PROGRAM SLPTT TERHADAP PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KECAMATAN TELAGASARI KABUPATEN KARAWANG
FAJAR FIRMANA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
vi
vii
PRAKATA Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2015 sampai Februari 2015 ini ialah Dampak Penerapan Program SLPTT Terhadap Pendapatan Usahatani Padi Di Kecamatan Telagasari Kabupaten Karawang. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Handoko selaku kepala UPTD Kecamatan Telagasari, serta para penyuluh BP3K Kecamatan Telagasari yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2015 Fajar Firmana
viii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (SLPTT) Biaya dan Penerimaan Usahatani Padi Program SLPTT dan Non SLPTT Efisiensi Usahatani Padi Program SLPTT dan Non SLPTT KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka Pemikiran Operasional METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Penentuan Responden Metode Pengolahan dan Analisis Data Biaya Usahatani Penerimaan Usahatani Pendapatan Usahatani Efisiensi Usahatani Uji Normalitas Data Uji Mann-Whitney Uji Beda T-Test GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran umum Desa Kalibuaya Karakteristik Petani Responden Usia Petani Tingkat Pendidikan Pengalaman Berusahatani Padi Luas Lahan Garapan Status Kepemilikan Lahan KERAGAAN USAHATANI PADI Keragaan Usahatani Padi Petani Program SLPTT dan Non SLPTT
x xi xi 1 1 4 5 5 6 6 6 8 9 10 10 12 15 15 15 15 16 16 16 17 17 18 19 19 20 20 22 22 23 23 24 25 25 25
ix
Permasalahan Keragaan Usahatani Padi Petani Program SLPTT dan Non SLPTT EVALUASI PENERAPAN KOMPONEN TEKNOLOGI PETANI PROGRAM SLPTT DAN NON SLPTT DI DESA KALIBUAYA Mekanisme Pelaksanaan Program SLPTT Padi di Desa Kalibuaya Penerapan Komponen Teknologi Program SLPTT di Desa Kalibuaya Hasil Penerapan Program SLPTT di Desa Kalibuaya ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI PROGRAM SLPTT DAN NON PROGRAM SLPTT DI DESA KALIBUAYA Analisis Biaya Usahatani Petani Progam SLPTT dan Non SLPTT Analisis Biaya yang Diperhitungkan Petani Program SLPTT dan Non SLPTT Penerimaan Usahatani Petani Progam SLPTT dan Non SLPTT Pendapatan Usahatani Petani Program SLPTT dan Non SLPTT Analisis R/C Rasio Petani Program SLPTT dan Petani Non SLPTT Uji Normalitas Data Uji Mann-Whitney Uji Beda T-Test SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
34 35 35 36 48 48 48 56 58 59 60 61 62 63 64 64 65 65 67 66
DAFTAR TABEL 1. Produktivitas padi di Indonesia 2009-2013 2. Luas tanam, produksi, produktivitas komoditas Padi Kabupaten Karawang tahun 2009-2013 3. Komponen perhitungan pendapatan usahatani dan nilai R/C rasio Desa Kalibuaya, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang tahun 2014 4. Sebaran penduduk Desa Kalibuaya berdasarkan mata pencaharian 5. Sebaran petani responden berdasarkan kelompok usia pada usahatani padi di Desa Kalibuaya tahun 2014 6. Sebaran petani responden berdasarkan pendidikan terakhir pada usahatani padi di Desa Kalibuaya tahun 2014 7. Sebaran petani responden berdasarkan pengalaman berusahatani padi di Desa Kalibuaya tahun 2014 8. Sebaran petani responden berdasarkan luas lahan pada usahatani padi di Desa Kalibuaya tahun 2014 9. Sebaran petani responden berdasarkan status kepemilikan lahan garapan pada usahatani padi di Desa Kalibuaya tahun 2014
2 4 18 21 22 23 24 24 25
x
10. Sebaran petani berdasarkan penggunaan benih Varietas Unggul Baru padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014 11. Sebaran petani berdasarkan penggunaan benih berlabel biru padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014 12. Sebaran petani berdasarkan penggunaan pupuk dan jerami padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014 13. Sebaran petani berdasarkan penggunaan pupuk padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014 14. Sebaran petani berdasarkan penggunaan pestisida organik padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014 15. Sebaran petani berdasarkan frekuensi penyemprotan pestisida padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014. 16. Sebaran petani berdasarkan penggunaan bibit muda padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014 17. Sebaran petani berdasarkan jumlah bibit yang ditanam per lubang padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014 18. Sebaran petani berdasarkan aturan tanam petani padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014 19. Sebaran petani berdasarkan penggunaan alat gasrok untuk melakukan penyiangan padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014 20. Sebaran petani berdasarkan waktu panen padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014 21. Sebaran petani berdasarkan perontokan gabah padi program SLPTT dan non SLPTT tahun 2014 22. Biaya tunai usahatani padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014 23. Biaya yang diperhitungkan petani program SLPTT di Desa Kalibuaya, 2014 24. Biaya yang diperhitungkan petani non SLPTT di Desa Kalibuaya, 2014 25. Penerimaan usahatani padi petani program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014 26. Penerimaan, Biaya, Pendapatan, serta R/C Rasio Usahatani Petani Program SLPTT dan Non SLPTT per hektar per musim di Desa Kalibuaya, 2014 27. Hasil Uji Kenormalan Data Petani Program SLPTT dan Non SLPTT Per Hektar pada Musim Kering II dengan Uji Shapiro-Wilk 28. Hasil uji perbedaan pendapatan dan R/C usahatani petani program SLPTT dan non SLPTT per hektar pada musim kering II 2014 dengan uji Mann-Whitney 29. Hasil uji perbedaan produksi padi petani program SLPTT dan non SLPTT per hektar pada musim kering II 2014 dengan uji T-test
DAFTAR GAMBAR 1. Kerangka pemikiran operasional 2. Pemberian pupuk organik 3. Kegiatan pembajakan sawah dengan traktor
14 26 27
37 38 39 40 41 42 43 44 44 46 47 47 55 57 57 59 60 61 62 63
xi
4. 5. 6. 7. 8.
Hamparan lahan semai benih Kegiatan penanaman (jajar legowo 2:1) Kegiatan penyiangan (alat gasrok) Kegiatan penyemprotan di lahan sawah Kegiatan panen di lahan sawah
28 29 30 32 33
DAFTAR LAMPIRAN 1. Tabel pendapatan usahatani petani program SLPTT di Desa Kalibuaya musim tanam gadu II (Agustus 2014 –November 2014) 2. Tabel pendapatan usahatani petani non SLPTT di Desa Kalibuaya musim tanam gadu II (Agustus 2014 –November 2014) 3. Volume berat bersih impor ekspor beras Indonesia tahun 2008-2012 4. Hasil uji normalitas data pendapatan atas biaya tunai per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014 5. Hasil uji normalitas data pendapatan atas biaya total per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014 6. Hasil uji normalitas data produksi padi per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014 7. Hasil uji normalitas data R/C atas biaya tunai per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014 8. Hasil uji normalitas data R/C atas biaya total per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014 9. Hasil uji Mann-Whitney data pendapatan atas biaya tunai per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014 10. Hasil uji Mann-Whitney data pendapatan atas biaya total per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014 11. Hasil uji Mann-Whitney data R/C atas biaya tunai per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014 12. Hasil uji Mann-Whitney data R/C atas biaya total per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014 13. Hasil uji t-test data produksi padi per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014
67 68
69 69 69 70 70 70 71 71 72 72
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang besar. Pada tahun 2005-2010 laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1.3 persen (BPS, 2014). Hal ini menjadi perhatian utama bagi pemerintah karena dengan jumlah penduduk yang besar, maka akan mempengaruhi ketersedian terhadap bahan pangan. Selain itu, dengan laju pertumbuhan yang tinggi maka pemerintah wajib memenuhi kebutuhan bahan pangan yang cukup, bergizi, dan aman sebagai kebutuhan dasar manusia dalam kelangsungan hidup. UndangUndang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan 1 , menjelaskan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Salah satu bahan pangan utama Indonesia adalah beras yang merupakan bahan pangan pokok bagi hampir seluruh penduduk Indonesia. Penduduk Indonesia memiliki tingkat konsumsi yang tinggi terhadap bahan pangan beras. Selama lima tahun terakhir rata-rata tingkat konsumsi beras penduduk Indonesia sebesar 136.268 kg per kapita per tahun (BPS, 2014). Sebagai bahan pangan pokok, beras masih menjadi pilihan dibandingkan dengan bahan pangan lain seperti jagung, ubi, sagu dan bahan lainnya. Hal ini disebabkan beras memiliki kandungan nutrisi yang cukup, mudah disimpan dan disajikan, enak rasanya dan sudah menjadi budaya konsumsi sejak lama bagi seluruh penduduk Indonesia. Tingkat konsumsi beras Indonesia pada tahun 2013 termasuk tinggi yakni mencapai 139.15 kg per kapita per tahun. Hal ini berbeda apabila dibandingkan dengan tingkat rata-rata konsumsi beras dunia yang hanya 60 kg per kapita per tahun 2. Berdasarkan amanah UU Pangan 18/2012, pemerintah dituntut untuk bisa meningkatkan produksi padi nasional guna memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Peningkatan produksi beras dapat dilakukan melalui upaya peningkatan produktivitas. Produktivitas padi di Indonesia cukup tinggi dibandingkan dari negara lain yang ada di Asia. Akan tetapi, hal itu tidak cukup untuk bisa memenuhi kebutuhan beras nasional yang selalu mengalami peningkatan. Diperlukan terobosan baru diantaranya melalui dukungan inovasi teknologi dan strategi untuk bisa meningkatkan produksi dan dapat berpengaruh terhadap pendapatan bagi petani. Berikut Tabel 1 adalah data mengenai produktivitas padi di Indonesia dalam bentuk gabah kering giling pada tahun 2008 – 2012. Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa produktivitas padi yang ada di Indonesia cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan laju 0.76 1
BKPD Jabar. 2012. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan [Internet]. [Diunduh 2 April 2015]. Tersedia pada http://bkpd.jabarprov.go.id/file/2014/02/UU-PANGANNO-18-TAHUN-2012.pdf. 2 Rosalina. 2013. Konsumsi Beras Ditargetkan Turun 1.5 Persen. [Internet]. [Diunduh 17 Februari 2015]. Tersedia pada: http://m.tempo.co/read/news/2013/03/26/090469454/KonsumsiBeras-Ditargetkan-Turun-15-persen.
2
persen per tahun, begitu juga dengan luas areal panen dan produksi gabah kering giling (GKG) yang mengalami peningkatan masing-masing dengan laju pertumbuhan 1.80 persen dan 2.57 persen per tahun. Selain itu, terjadi penurunan luas panen dan produktivitas pada tahun 2011 yang berdampak terhadap penurunan produksi. Berdasarkan Direktorat Pangan dan Pertanian (2013), penurunan produksi padi hanya terjadi di beberapa wilayah Pulau Jawa tidak untuk di luar Pulau Jawa. Penurunan luas panen padi terjadi karena mengalami kekurangan air pada musim kemarau yang relatif panjang sehingga menyebabkan lahan tidak bisa ditanami atau mundur tanam. Kekurangan air pada fase tertentu dapat menyebabkan jumlah anakan padi menjadi berkurang dan pembentukan bulir gabah kurang optimal3. Tabel 1. Produktivitas padi di Indonesia 2009-2013. Tahun Luas panen Produktivitas (Ha) (Ton/Ha) 2009 12 883 576 4.999 2010 13 253 450 5.015 2011 13 224 379 4.944 2012 13 443 443 5.136 2013 13 835 252 5.152 Laju 1.80 0.76 (%/th)
Produksi GKG (Ton) 64 398 890 66 469 394 65 385 183 69 045 141 71 279 709 2.57
Sumber: Direktorat Pangan dan Pertanian, tahun 2013, diolah
Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa produksi padi di Indonesia setiap tahun cenderung mengalami peningkatan. Akan tetapi sampai saat ini, untuk bisa memenuhi kebutuhan beras dalam negeri pemerintah tetap melakukan kebijakan impor. Semakin besar impor, disatu sisi bermanfaat untuk jangka waktu pendek karena dapat menyediakan kebutuhan rakyat suatu negara akan produk tersebut, namun dalam jangka waktu panjang dapat mematikan produk sejenis yang diproduksi dalam negeri. Hal penting yang harus diperhatikan apabila kebijakan impor terus dilakukan adalah dapat menguras devisa negara pengimpor. Oleh karena itu, kebijakan impor yang dilakukan pemerintah saat ini harus dilakukan secara sehat dengan tujuan mencukupi kekurangan produk dalam negeri, akan tetapi tetap memperhatikan kedaulatan pangan nasional. Volume impor beras negara Indonesia setiap tahun tinggi sehingga dapat dikatakan sebagai negara net importir. Selama tahun 2008-2012, volume ekspor beras berfluktuasi dengan kecenderungan mengalami penurunan. Secara statistik terjadi penurunan volume ekspor rata-rata 18.87 persen per tahun. Sebaliknya, volume impor cenderung mengalami peningkatan, terutama pada tahun 2011 yakni mencapai sekitar 2.7 juta ton. Walaupun volume impor pada tahun 2012 terjadi penurunan, tetapi volume impor masih tinggi yakni sebesar 1.93 juta. Secara statistik, volume impor meningkat sangat cepat dengan rata-rata 61.85 persen per 3
Suhari,Iswadi. 2011. Produksi Padi Tahun 2011 Diperkirakan Turun 1.63 Persen. [Internet]. [Diunduh 17 Februari 2015]. Tersedia pada: http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2011/11/02/bps-produksi-padi-tahun-2011 diperkirakan-turun-163-persen-408949.html
3
tahun selama tahun 2008-2012. Rincian mengenai seberapa besar volume berat bersih impor dan ekspor beras Indonesia tahun 2008-2012 terdapat pada Lampiran 3. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dengan banyak mengeluarkan dana untuk investasi pada sektor pertanian, agar kebutuhan pangan dapat terpenuhi sesuai dengan perkembangan penduduk. Sudah banyak program pertanian seperti bantuan maupun subsidi benih, pupuk, jalan pertanian, dan alat dan mesin pertanian (alsintan) untuk kelancaran usahatani padi. Namun, menurut Herman Supriadi et al. (2012) sejauh ini masih sedikit upaya yang diberikan untuk memperhatikan pendidikan petani, seperti kegiatan belajar secara terstruktur, peningkatan pemahaman petani, inovasi, adopsi, serta pengambilan keputusan. Petani Indonesia ada saat ini umumnya masih kurang mampu dalam menganalisis situasi dan membuat inovasi baru. Hal ini membuat pemerintah berinisiatif melakukan upaya dan solusi alternatif salah satunya adalah memberikan program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT). Program SLPTT pada tahun 1989 berasal dari gagasan mengenai strategi Pengendalian Hama Terpadu (PHT), selanjutnya berkembang menjadi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang mengintegrasikan beberapa hal yaitu potensi biofisik, sosial ekonomi dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani yang ada pada beberapa wilayah berpotensi di Indonesia. Program SLPTT menerapkan berbagai komponen teknologi usahatani melalui penggunaan input produksi yang efisien menurut spesifik lokasi, sehingga mampu menghasilkan produktivitas tinggi untuk menunjang peningkatan produksi yang berkelanjutan (Badan Litbang Pertanian, 2007). Penerapan program SLPTT memerlukan dukungan dari berbagai instasi terkait, yakni pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan sampai dengan tingkat desa. Selain itu, diharapkan juga adanya dukungan dari pihak lain, seperti BUMN, swasta, serta lembaga swadaya masyarakat. Pelaksanaan program ini merupakan pedoman yang diterbitkan oleh pihak Direktorat Jenderal Tanaman Pangan mengenai langkah-langkah operasional pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) sebagai acuan bagi para pelaksana yang di provinsi, kabupaten/kota, serta instansi lain. Selanjutnya pihak-pihak tersebut dapat melakukan perincian secara teknis dengan menyesuaikan keadaan di setiap daerahnya masing-masing untuk ditentukan lokasi yang spesifik. Kegiatan program SLPTT akan berjalan dengan lancar dan berhasil apabila adanya gerakan kerjasama, terkoordinasi, terpantau mulai dari pusat sampai dengan lapangan, pengembangan serta pemantapan. Namun akan menjadi masalah apabila pada faktanya program ini tidak bisa menjadi solusi alternatif untuk meningkatkan produktivitas padi dan tidak dapat mensejahterakan petani. Program SLPTT padi saat ini sudah diterapkan pada beberapa provinsi sentra produksi padi di Indonesia, pemilihan program SLPTT pada suatu provinsi dengan pertimbangan bahwa provinsi tersebut memiliki daerah yang berpotensi baik dalam hal pengembangan usahatani padi. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang menerapkan program SLPTT karena dinilai sebagai provinsi yang memiliki banyak daerah berpotensi untuk bisa meningkatkan produksi padi di tingkat nasional.
4
Perumusan Masalah Jawa Barat merupakan salah satu sentra penghasil padi terbesar di Indonesia, sehingga memiliki peran penting untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras nasional. Salah satu daerah di Jawa Barat yang merupakan daerah penghasil padi adalah Kabupaten Karawang. Dikatakan sebagai daerah penghasil padi karena pertanian di Kabupaten Karawang memiliki luas tanam, produksi, produktivitas padi termasuk baik dibandingkan beberapa daerah lainnya. Berikut Tabel 2 merupakan data yang menunjukkan luas tanam, produksi, dan produktivitas padi di Kabupeten Karawang pada tahun 2009 – 2013. Tabel 2. Luas tanam, produksi, produktivitas komoditas Padi Kabupaten Karawang tahun 2009-2013. Tahun Luas Tanam (Ha) Luas Tanam (Ha) Produktivitas (Ton/Ha) 2009 196 635 1 085 267 5.853 2010 199 703 1 101 899 5.929 2011 198 702 1 126 073 6.017 2012 196 077 1 069 012 5.812 2013 191 324 1 139 206 6.090 Laju -0.68 1.22 1.00 (%/th) Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat 2014, diolah
Berdasarkan data pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa hasil produksi dan produktivitas padi di Kabupaten Karawang masih bersifat fluktuatif karena sempat terjadinya penurunan produktivitas pada tahun 2012 dari tahun sebelumnya. Selanjutnya pada tahun 2013 produktivitas meningkat kembali meskipun peningkatan yang terjadi tidak begitu besar. Menurut Dinas Pertanian Kabupaten Karawang (2014), Sejak tahun 2009 sampai saat ini pertanian padi di Kabupaten Karawang sudah menerapkan program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT). Apabila pemerintah sebagai pihak pemberi kebijakan mampu menjaga konsistensi kebijakan ke arah pembangunan pertanian, dengan tujuan dan langkah yang jelas untuk mencapai swasmbada beras maka keinginan tersebut perlu dilanjutkan. Upaya peningkatan produksi tanaman padi masih terus menjadi prioritas utama pemerintah setiap tahunnya. Pemerintah telah melakukan berbagai program untuk bisa membantu petani dalam meningkatkan hasil produksi dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan nasional. Namun, pada umumnya sikap petani di Indonesia berbeda-beda terhadap beberapa program yang diberikan oleh pemerintah. Perbedaan sikap petani karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau alam, masyarakat maupun penyuluh, serta modal. Seharusnya dengan diadakannya program SLPTT khususnya di Kabupaten Karawang selain dapat meningkatkan hasil produksi, tetapi dapat juga meningkatkan hasil pendapatan petani. Program SLPTT memerlukan biaya yang akan berpengaruh terhadap hasil pendapatan apabila petani harus menerapkan beberapa komponen teknologi sesuai dengan anjuran. Kabupaten Karawang merupakan salah satu daerah kawasan pemantapan program SLPTT karena produktivitasnya di atas rata-rata produktivitas
5
provinsi. Produktivitas padi di Kabupaten Karawang pada tahun 2013 sebesar 6.1 ton/ha, sedangkan jumlah produktivitas padi di Jawa Barat hanya 5.9 ton/ha4. Pada umumnya petani program SLPTT pada kawasan pemantapan tidak mendapatkan bantuan saprodi (pupuk dan benih) dari pemerintah, bantuan tersebut hanya diberikan kepada petani laboratorium lapangan (LL). Pemilihan program SLPTT di Kabupaten Karawang karena termasuk daerah lumbung padi di Jawa Barat, maka hal ini dapat dijadikan bahan evaluasi apakah program ini sudah berjalan dan diterapkan dengan baik sehingga dapat tercapai tujuan akhir dari Program SLPTT. Salah satu wilayah yang menerapkan program SLPTT di Kabupaten Karawang adalah Desa Kalibuaya, Kecamatan Telagasari. Kecamatan Telagasari merupakan salah satu kecamatan yang memiliki luas lahan sawah terluas di Kabupaten Karawang. Selain itu, penerapan program SLPTT di Kecamatan Telagasari telah dilakukan sejak tahun 2009. Salah satu desa di Kecamatan Telagasari yang memiliki luas lahan terluas dan telah menerapkan program SLPTT adalah Desa Kalibuaya. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan dalam penelitian ini : 1. Bagaimana keragaan teknologi pada usahatani padi yang menerapkan program SLPTT dan non program SLPTT? 2. Bagaimana penerapan komponen teknologi program SLPTT yang dilakukan oleh petani? 3. Bagaimana pendapatan usahatani padi program SLPTT dan non program SLPTT?
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya, tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mendeskripsikan keragaan teknologi pada usahatani padi yang menerapkan program SLPTT dan non program SLPTT. 2. Mengevaluasi penerapan komponen teknologi program SLPTT dan non program SLPTT terhadap produksi padi. 3. Menganalisis pendapatan usahatani padi program SLPTT dan non program SLPTT.
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Bagi pemerintah, sebagai bahan evaluasi mengenai penerapan program SLPTT dan dampaknya terhadap peningkatan produksi beras serta pendapatan petani. 4
Bps Provinsi Jawa Barat. Produksi Padi, Jagung, Dan Kedelai. [Internet]. [diunduh 17 Mei 2015]. Tersedia pada: http://jabar.bps.go.id/new/website/brs_ind/brsInd-20150311124818.pdf
6
2. Bagi petani dan kelompok tani yang ada di desa, sebagai rujukan untuk mengetahu bagaimana melakukan usahatani yang menguntungkan. 3. Bagi peneliti lainnya, sebagai rujukan untuk melanjutkan penelitian yang terkait dengan permasalahan beras, program SLPTT, dan pertanian di Kabupaten Karawang.
Ruang Lingkup Penelitian Komoditas yang menjadi objek penelitian ini adalah komoditas padi. Penelitian ini menggunakan desain penelitian dengan menggunakan metode observasi, wawancara dan diskusi. Responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah para petani padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang. Analisis penelitian ini dilakukan pada satu musim tanam yang sama antara petani program SLPTT dan non SLPTT yakni pada musim kering kedua tahun 2014 (Agustus – November 2014). Alat nalisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif untuk menjelaskan penerapan komponen teknologi SLPTT di Desa Kalibuaya, keragaan usahatani petani padi program SLPTT dan non SLPTT, serta analisis pendapatan usahatani, dan rasio R/C atas biaya.
TINJAUAN PUSTAKA Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (SLPTT) Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) padi adalah salah satu program metode alih teknologi yang diberikan kepada petani sebagai kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan produksi padi dan swasembada beras di Indonesia. Pada tahun 2008, pemerintah berkomitmen membuat program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Bentuk implementasi dari program P2BN yaitu adanya pengenalan teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yang dilakukan dengan pendekatan metode sekolah lapangan (SL). Pada dasarnya, SLPTT adalah tempat pendidikan non formal sebagai sarana bagi petani untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan berusahatani dengan menggali potensi sumber daya yang tersedia dan menerapkan beberapa komponen teknologi baru. Program SLPTT melibatkan beberapa institusi yang memiliki fungsinya masing-masing dan berada di bawah naungan Kementrian Pertanian, yaitu diantaranya Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Badan Sumberdaya Manusia Pertanian, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, serta Dinas Pertanian Provinsi/Kabupaten/Kota. Penelitian terdahulu, Nurasa dan Supriadi (2012) program SLPTT padi di Indonesia telah mendapatkan alokasi dana yang sangat besar namun hasilnya belum seimbang dengan tujuan yang ingin dicapai. Hal ini karena masih banyaknya
7
masalah di beberapa wilayah yang menerapkan program tersebut. Peran dari pemerintah diperlukan dalam hal kelancaran akses modal, akses informasi teknologi maupun pasar, ketersediaan maupun distribusi benih dan pupuk secara tepat sesuai kebutuhan petani. Upaya untuk meningkatkan produksi beras nasional melalui program SLPTT diperlukan program aksi yang langsung berdampak nyata seperti adanya intensifikasi padi dengan komponen teknologi, ekstensifikasi padi di daerah luar Pulau Jawa, rekayasa sosial dan peran kelembagaan petani, serta dukungan kebijakan pemerintah yang membantu dan memihak petani. Pemerintah seharusnya tidak hanya membuat program, tetapi dapat menjamin kelancaran akses modal, akses informasi teknologi maupun pasar, ketersediaan dan distribusi komponen input secara tepat sesuai dengan kebutuhan petani. Pelaksanaan kegiatan program SLPTT harus memperhatikan dan melaksanakan beberapa prinsip yang terkandung dalam PTT (Supriadi et al., 2012), yaitu: a. Terpadu, adalah suatu pendekatan agar sumber daya tanaman, tanah dan air dapat dikelola dengan sebaik-baiknya secara terpadu. b. Sinergis, adalah memanfaatkan komponen teknologi pertanian, dengan memperhatikan keterkaitan yang saling mendukung antar komponen teknologi. c. Spesifik lokasi, adalah memperhatikan kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik maupun sosial budaya dan ekonomi petani setempat. d. Partisipatif, dimana petani turut berperan serta dalam memilih dan menguji teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat dan kemampuan petani melalui proses pembelajaran dalam bentuk laboratorium lapangan. Supriadi et al. (2012), program SLPTT diperlukan konsepsi kebijakan pendampingan dan pengawalan, persepsi responden terhadap konsepsi dan kebijakan program, implementasi, dampak program, serta reorientasi kebijakan. Permasalahan pelaksanaan program SLPTT dari awal program tahun 2008 sampai 2011 yaitu keterlambatan benih dan kualitas benih, tidak diminati petani karena tidak mampu menerapkan komponen teknologi, akses komponen input yang terbatas, dan kemampuan manajemen petani. Namun, petani menyadari bahwa program SLPTT dinilai akan bermanfaat sehingga perlu disempurnakan dengan adanya koordinasi dan komunikasi antar institusi yang berperan. Alokasi luas lahan SLPTT terdiri dari beberapa tahap kawasan yaitu kawasan pertumbuhan, pengembangan, dan pemantapan. Kawasan pertumbuhan adalah daerah yang tingkat produktivitasnya masih di bawah rata-rata produktivitas provinsi atau daerah suboptimal, pemanfaatan lahan belum optimal, tingkat kehilangan hasil masih tinggi. Kawasan pengembangan adalah daerah yang tingkat produktivitasnya hampir sama dengan rata-rata produktivitas provinsi, pemanfaatan lahan hampir optimal, tingkat kehilangan hasil sedang, akan tetapi mutu hasil belum optimal. Penelitian dilakukan oleh Tiominar (2013) yaitu keragaan dan pendapatan usahatani padi program SLPTT dan non program SLPTT di Kabupaten Cianjur. Kabupaten Cianjur salah satu daerah kawasan pengembangan, dimana produktivitas pada tahun 2013 yang dihasilkan oleh petani SLPTT sebesar 6.00 ton/ha per musim tanam, sementara petani non SLPTT sebesar 5.17 ton/ha per musim tanam. Produktivitas tersebut hampir sama dengan produktivitas provinsi Jawa Barat pada tahun 2013 yakni sebesar 6.09 ton/ha. Pelaksanaan program SLPTT di Kabupate Cianjur sebagai daerah pengembangan telah berjalan baik,
8
namun belum optimal. Hal ini disebabkan karena tingginya harga benih dan pupuk, tingginya serangan hama keong dan tungro, kurangnya tenaga kerja, banyaknya peserta program SLPTT yang tidak menerapkan komponen teknologi, serta menurunnya produksi panen akibat musim hujan. Program SLPTT padi Kabupaten Karawang saat ini berada pada kawasan pemantapan karena tingkat produktivitasnya di atas rata-rata produktivitas provinsi, mutu hasil belum optimal, efisiensi usaha belum berkembang dan optimalisasi pendapatan melalui produksi subsektor tanaman sudah maksimal. Penelitian yang dilakukan oleh Ariyono (2011), produktivitas padi di Kabupaten Karawang pada tahun 2011 sebesar 7.4 ton/ha per musim tanam. Produktivitas tersebut berada di atas rata-rata produktivitas provinsi Jawa Barat pada tahun 2011 yakni sebesar 6.02 ton/ha. Berdasarkan penelitian terdahulu dapat disimpulkan bahwa penerapan program SLPTT akan bermanfaat apabila komponen teknologi dilakukan secara optimal. Selain itu, program SLPTT perlu disempurnakan dengan adanya koordinasi dan komunikasi antar institusi yang berperan. Penerapan komponen teknologi SLPTT bagi petani bertujuan untuk meningkatkan produktivitas padi di semua daerah Indonesia.
Biaya dan Penerimaan Usahatani Padi Program SLPTT dan Non SLPTT Perbedaan komponen teknologi dalam kegiatan usahatani padi program SLPTT berimplikasi terhadap perbedaan biaya yang dikeluarkan dan produksi yang dihasilkan sehingga berpengaruh terhadap penerimaan petani. Penelitian yang dilakukan oleh Timoniar (2013) menunjukkan bahwa biaya usahatani padi program SLPTT lebih besar dibandingkan dengan non SLPTT karena usahatani padi program SLPTT menggunakan komponen input yang lebih banyak dibandingkan non SLPTT. Komponen biaya tenaga kerja memiliki proporsi terbesar dalam biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani SLPTT dan non SLPTT. Selain itu, komponen input lain petani SLPTT yang lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPTT adalah penggunaan pupuk organik, pestisida cair, pestisida padat, sewa traktor, serta biaya panen. Penelitian lain dilakukan oleh Asnawi (2013) menunjukkan bahwa pengunaan biaya produksi usahatani padi petani SLPTT di Kabupaten Pesawaran, Lampung lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPTT. Komponen input petani SLPTT yang lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPTT adalah total biaya saprodi. Perbedaan yang nyata dalam penggunaan input diatara petani SLPTT dan non SLPTT adalah dosis anjuran pupuk N, P, dan K. Rata-rata penggunaan pupuk pada petani non SLPTT yaitu Urea 206.25 kg/ha, SP-18 137.5 kg/ha, Ponska 106.25 kg/ha, sedangkan pada petani SLPTT yaitu Urea 276.55 kg/ha, SP-18 216.25 kg/ha, Ponska 465.63 kg/ha. Dilihat dari sisi penerimaan, berdasarkan penelitian Timoniar (2013) di Kabupaten Cianjur dengan adanya penerapan program SLPTT maka penerimaan petani program SLPTT lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPTT. Perbedaan penerimaan disebabkan karena jumlah gabah dari hasil produksi yang dijual oleh petani program SLPTT lebih besar dibandingkan petani non SLPTT. Selain itu, terdapat perbedaan harga gabah meskipun dengan selisih yang rendah,
9
yakni sebesar Rp 141.2/kg gabah kering panen. Gabah yang dihasilkan oleh petani program SLPTT memiliki kualitas bulir yang baik, yakni lebih berisi dibandingkan usahatani dengan cara yang lama sebelum mengikuti program SLPTT. Namun, karena tidak semua komponen teknologi diterapkan dalam kegiatan usahatani, maka selisih harga yang terjadi tidak terlalu besar. Penerimaan usahatani petani program SLPTT di Kabupaten Pesawaran, Lampung lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPTT terjadi juga pada penelitian Asnawi (2013). Perbedaan benih VUB yang dilakukan oleh petani SLPTT dan petani non SLPTT menyebabkan adanya perbedaan produktivitas karena pemilihan benih petani SLPTT disesuaikan dengan kondisi di lapangan sesuai dengan musim tanam. Selain itu, komponen teknologi yang banyak diterapkan oleh petani program SLPTT adalah pemupukan berimbang dan penerapan sisten tanam jajar legowo 2:1 atau jajar legowo 3:1.
Analisis Efisiensi Usahatani Padi Program SLPTT dan Non SLPTT Analisis efisiensi usahatani dapat diukur salah satunya dengan mengetahui nilai R/C usahatani yaitu membandingkan antara biaya dan penerimaan dari kegiatan usahatani. Petani padi program SLPTT seharusnya dapat menghasilkan nilai R/C rasio yang tinggi dari penggunaan faktor produksi yang dimiliki. Beberapa penelitian terdahulu mengenai nilai R/C biaya total petani SLPTT dan non SLPTT di beberapa wilayah Indonesia. Marsudi (2009) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat efisiensi usahatani di Kabupaten Ngawi sebelum dan sesudah penerapan program SLPTT padi terlihat dari perbandingan R/C sebelum SLPTT adalah sebesar 1.56, sedangkan setelah SL-PTT adalah sebesar 1.88. Selisih nilai R/C biaya total sebelum dan sesudah program SLPTT sebesar 0.32. Selisih nilai R/C biaya total yang besar terjadi diantara petani program SLPTT dan non SLPTT pada penelitian Asnawi (2013) di Kabupaten Pesawaran, Lampung yaitu sebesar 0.81. Petani program SLPTT memiliki nilai R/C biaya total sebesar 3.15, sementara petani non SLPTT sebesar 2.34. Selanjutnya selisih nilai R/C biaya total yang tidak begitu besar terjadi diantara petani program SLPTT dan non SLPTT pada penelitian Timoniar (2013) di Kabupaten Cianjur yaitu sebesar 0.21. Petani program SLPTT memiliki nilai R/C biaya total sebesar 1.87, sementara petani non SLPTT sebesar 1.66. Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu secara umum usahatani padi yang dilakukan di beberapa wilayah Indonesia dapat dikatakan menguntungkan karena memiliki nilai R/C lebih dari satu. Namun, nilai R/C rasio akan mendapatkan hasil yang lebih besar dengan adanya program SLPTT padi. Penerapan komponen teknologi program SLPTT dengan adanya pendampingan dari penyuluh dapat meningkatkan jumlah produksi padi. Penelitian Hendri (2005) mengenai produksi cabang usahatani Padi di Kabupaten Karawang memiliki nilai analisis R/C rasio di sebesar 0.76 (lebih kecil dari satu), sehingga dapat disimpulkan bahwa cabang usahatani padi ladang di Desa Wanajaya tidak menguntungkan bagi petani. Hal ini terjadi karena pada saat itu tidak adanya pemberian bimbingan dan penyuluhan dari instansi terkait mengenai teknik budidaya padi ladang yang tepat seperti kombinasi penggunaan pupuk dan pestisida yang tepat dan pola tanam yang
10
tepatuntuk mencapai usahatani padi ladang yang lebih produktif dan menguntungkan.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Usahatani Definisi ilmu usahatani menurut Hernanto (1996) adalah ilmu yang mempelajari hal ikhwal inter usahatani yang meliputi organisasi, operasi, pembiayaan dan penjualan, perihal usahatani itu sebagai unit atau satuan produksi dalam keseluruhan organisasi. Menurut Shinta (2011), ilmu usahatani adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan orang melakukan pertanian dan permasalahan yang ditinjau secara khusus dari kedudukan pengusahanya sendiri, atau ilmu usahatani yaitu menyelidiki cara-cara seorang petani sebagai pengusaha dalam menyusun, mengatur dan menjalankan perusahaan itu. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan usahatani adalah usaha yang dilakukan oleh petani atau produsen untuk menghasilkan pendapatan dengan cara memanfaatkan sumber daya alam, tenaga kerja, dan modal, serta mengorganisasikan beberapa sarana produksi pertanian dan komponen teknologi dalam usaha yang dijalankan terkait dengan usaha bidang pertanian seperti usaha pada tanaman dan usaha hewan ternak. Produktivitas kegiatan usahatani akan semakin baik apabila petani atau produsen dapat mengalokasian faktor-faktor produksi berdasarkan prinsip efisien teknis dan efisien harga, serta adanya pengelolaan yang tepat. Berikut uraian faktor produksi dalam kegiatan usahatani menurut Shinta (2011) dan Hernato (1996), yaitu: a. Lahan Lahan merupakan tempat atau lokasi yang dipilih oleh petani untuk dijadikan kegiatan produksi. Jenis lahan yang harus diperhatikan terkait dengan luas, kesuburan, kemiringan, serta pemilihan lokasi. Kondisi tanah yang harus diperhatikan seperti ketersedian air, udara atau suhu tanah yang dapat meningkatkan kehidupan tanah, unsur tanah dengan unsur hara dalam jumlah yang seimbang dan mencukupi tanpa adanya unsur-unsur toksis. Faktor lain yang harus diperhatikan oleh petani adalah komoditi yang ditanam sesuai dengan kondisi tanah, penerapan teknologi, kesuburan tanah, dan lain sebagainya. Faktor alam yang harus disesuaikan yaitu keadaan iklim. Keadaan iklim menjadi sangat penting untuk diperhatikan karena sebagai faktor penentu pemilihan komoditas dan penerapan teknologi yang akan digunakan oleh petani. b. Tenaga Kerja Tenaga kerja adalah energi yang dicurahkan dalam suatu proses kegiatan untuk menghasilkan suatu produk (Shinta, 2011). Tenaga kerja manusia dapat berasal dari dalam keluarga petani dan luar keluarga yang terdiri dari pria,wanita,
11
serta anak. Tenaga kerja dalam keluarga adalah jumlah tenaga kerja yang tersedia pada satu keluarga petani. Tenaga kerja luar keluarga adalah tenaga kerja yang diperoleh dengan cara upahan dari petani atau berupa tolong-menolong. Penggunaan tenaga kerja dalam dan luar keluarga memiliki hubungan dengan skala kegiatan usahatani yang dilakukan. Usahatani skala kecil pada umumnya menggunakan tenaga kerja keluarga,sedangkan usahatani skala besar menggunakan tenaga kerja luar keluarga dan tenaga kerja ahli. c. Modal Modal merupakan unsur pokok usahatani yang juga berperan penting untuk kesuksesan kegiatan usahatani. Pengertian modal secara ekonomi adalah barang yang memiliki nilai ekonomi digunakan untuk menghasilkan tambahan kekayaan atau untuk bisa meningkatkan produksi suatu usaha yang dijankan. Modal dalam kegiatan usahatani adalah tanah, bangunan, alat-alat pertanian, tanaman, ternak, saprodi, piutang dari bank dan uang tunai (Shinta, 2011). Sumber modal petani dapat berasal dari milik petani, melakukan pinjaman (kredit, pinjaman pada pihak lain), warisan, modal dari usaha lain, dan kontrak sewa. d. Manajemen Untuk mencapai tujuan produksi yang diharapkan diperlukan kemampuan dari petani dalam pengelolaan usahatani seperti kemampuan merencanakan, mengorganisir, mengarahkan, mengkoordinasikan dan mengawasi. Beberapa kemampuan tersebut harus dapat bersinergi dengan baik dari awal hingga akhir kegiatan. Manajemen dalam usahatani terkait dengan peran petani sebagai manajer dan pihak tenaga kerja yang digunakan. Petani yang baik dalam hal manajemen adalah petani yang memiliki kemampuan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman, serta pengambilan keputusan yang baik dalam bidang usaha pertanian. Konsep Pendapatan Usahatani Pendapatan usahatani terdiri dari pendapatan tunai usahatani dan pendapatan total usahatani. Pendapatan tunai usahatani adalah hasil selisih antara penerimaan dan pengeluaran usahatani. Pendapatan total usahatani adalah hasil dari pendapatan yang dilakukan oleh petani dari seluruh pengeluaran biaya usahatani. Sehingga pendapatan bersih usahatani diperoleh dari selisih antara penerimaan usahatani dengan biaya total usahatani. Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi. Tujuan analisis pendapatan usahatani adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan ukuran dari keuntungan kegiatan usahatani sehingga dapat digunakan untuk membandingkan keragaan beberapa usahatani, serta ukuran tingkat kesejahteraan petani. Hasil akhir dari nilai pendapatan dikatakan untung apabila selisih antara penerimaan usahatani dan biaya usahatani bernilai positif.Para petani tentunya berharap akan dapat meningkatkan pendapatanya dari hasil kegiatan usahatani, karena pendapatan merupakan hal terpenting bagi petani untuk kebutuhan hidup. Besar pendapatan tidak dapat dikatakan memiliki efisiensi yang baik karena bisa saja pendapatan yang besar diperoleh dari investasi yang jumlahnya besar pula. Analisis pendapatan usahatani diperlukan informasi mengenai penerimaan dan pengularan yang dilakukan oleh petani dalam jangka waktu tertentu. Penerimaan usahatani adalah nilai produksi yang dihasilkan petani dalam jangka waktu tertentu, di mana secara perhitungan merupakan hasil perkalian antara
12
jumlah produksi total dengan harga satuan dari produksi tersebut. Penerimaan usahatani dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penerimaan tunai dan penerimaan non tunai. Menurut Soekartawi et al. (1985), penerimaan tunai usahatani adalah nilai yang diterima dari penjualan produk usahatani. Sementara penerimaan non tunai (diperhitungkan) adalah hasil penerimaan petani yang berasal dari kosumsi sendiri atau digunakan untuk bibit. Selanjutnya penerimaan total adalah gabungan jumlah dari penerimaan tunai dan non tunai. Pengeluaran usahatani adalah nilai dari penggunaan faktor-faktor produksi yang dilakukan oleh petani dalam melakukan kegiatan usahatani. Sementara menurut Soekartawi et al. (1985), pengeluaran usahatani terdiri dari pengeluaran tunai dan pengeluaran total. Pengeluaran tunai adalah jumlah pengeluaran uang yang harus dikeluarkan oleh petani untuk membeli kebutuhan (barang dan jasa) usahatani. Sementara pengeluaran total adalah semua yang habis dikeluarkan oleh petani dalam melakukan kegiatan usahatai termasuk biaya yang diperhitungan, seperti penyusutan alat, sewa lahan, serta tenaga kerja dalam keluarga. Biaya dalam usahatani dibedakan menjadi dua, yaitu biaya tunai dan biaya non tunai. Biaya tunai adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh petani secara tunai, biaya ini terdiri dari beberapa komponen kegiatan usahatani yaitu pembelian benih, pupuk, pestisida, upah tenaga kerja luar keluarga, sewa traktor, iuran, serta pajak dan sewa lahan. Biaya non tunai (diperhitungkan) adalah biaya yang tidak termasuk ke dalam biaya tunai, akan tetapi biaya tersebut diperhitungkan dalam usahatani. Biaya non tunai terdiri dari tenaga kerja dalam keluarga, benih yang didapatkan dari hasil panen sendiri, sewa lahan yang diperhitungkan untuk petani pemilik, dan penyusutan peralatan. Efisiensi Pendapatan Usahatani Menurut Hernanto (1996), besar dari hasil pendapatan usahatani yang diperoleh petani belum cukup untuk menggambarkan tingkat efisiensi. Oleh sebab itu, diperlukan ukuran untuk mengetahui tingkat efisiensi penghasilan usahatani. Salah satu ukuran efisiensi pendapatan usahatani adalah dengan menghitung nilai rasio imbangan penerimaan dan biaya (rasio R/C) atau melalukan perbandingan antara penerimaan dan biaya. R/C menunjukkan berapa rupiah penerimaan usahatani yang akan diperoleh petani dari setiap rupiah biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan usahatani. Semakin tinggi nilai dari rasio R/C maka semakin tinggi pula penerimaan usahatani yang akan diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang telah dikeluarkan dan hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan usahatani menguntungkan bagi petani.
Kerangka Pemikiran Operasional Salah satu bahan pangan utama Indonesia adalah beras karena merupakan bahan pangan pokok. Sampai saat ini tingkat konsumsi masyarakat Indonesia terhadap beras masih tergolong tinggi. Sebagai bahan pangan pokok, beras masih menjadi pilihan dibandingkan jagung, ubi, sagu dan bahan lainnya. Pemerintah dituntut untuk meningkatkan produksi padi nasional sebagai penghasil beras guna memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.
13
SLPTT (Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu) merupakan bentuk implementasi program P2BN. Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) telah diadopsi oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan melalui program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu dalam upaya pencapaian sasaran produksi padi, jagung, dan kedelai melalui peningkatan produktivitas tanaman. Program SLPTT di Kabupaten Karawang sudah diterapkan sejak tahun 2009 sampai dengan saat ini. Program ini sudah cukup lama berjalanan karena SLPTT menjadi program andalan yang dilakukan oleh pemerintah pusat bagi para petani padi. Menurut pihak Dinas Pertanian Karawang, dampak positif program SLPPT adalah penerapan program secara intensifikasi secara menyeluruh sudah berjalan dengan baik di beberapa wilayah Kabupaten Karawang. Tahap dari program SLPTT yang ada di Karawang adalah tahap pengembangan dan pemantapan. Tahap pengembangan diterapkan bagi beberapa wilayah yang baru menerapkan program SLPTT dan tahap pemantapan diterapkan bagi beberapa wilayah yang sudah lama menerapkan program SLPTT. Luas lahan yang digunakan untuk program SLPTT padi seluas 38.000 hektar dan beberapa wilayah yang baru memulai untuk menerapkan program. Jumlah kelompok tani yang sudah menerapkan program SLPTT di Kabupaten Karawang berjumlah 797 tersebar di beberapa wilayah kecamatan. Kecamatan Telagasari merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Karawang yang telah menerapkan program SLPTT padi. Kecamatan ini terdiri dari 14 desa dengan total luas wilayah 4 368 hektar yang terdiri dari tanah darat 443 hektar dan tanah sawah 3 925 hektar. Beberapa alasan Kecamatan Telagasari berkesempatan untuk menerapkan program SLPTT padi yakni karena secara umum warga Kecamatan Telagasari bekerja sebagai petani padi, sudah terbentuk kelompok tani padi berjumlah 26, serta memiliki total lahan yang luas dan sesuai dengan penerapan program SLPTT yakni berjumlah 1.150 hektar. Terdapat satu desa yang memiliki luas lahan SLPTT lebih luas dibandingkan desa lainnya yakni Desa Kalibuaya. Desa ini memiliki total luas lahan padi 264 hektar dan mempunyai 16 kelompok tani. Dampak program SLPTT terhadap peningkatan produksi padi yang dilaksanakan di beberapa wilayah sejauh ini banyak terjadi kontroversi. Adanya pendapat beberapa pihak yang mendukung program SLPTT agar terus dijalankan karena mempunyai dampak positif terhadap peningkatan produksi. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa program ini tidak berjalan seperti yang diharapkan karena belum sepenuhnya memenuhi target penerapan tekonologi yang dilakukan oleh petani. Selain itu, banyak hasil studi yang mengemukakan bahwa program SLPTT memiliki permasalahan dalam beberapa dimensi pokok mengenai tataran konsepsi, implementasi program, dan pendanaan, kebijakan pemerintah, serta dampak program secara umum terhadap peningkatan produksi padi nasional. Pada penerapannya di beberapa wilayah bahwa petani peserta program SLPTT mengalami kesulitan dan beranggapan program ini tidak memberikan dampak lebih terhadap pendapatan usahatani. Untuk memperjelas pemahaman mengenai gagasan penelitian, maka penjabaran kerangka pemikiran operasional penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
14
Beras sebagai bahan pangan utama Indonesia dengan tingkat konsumsi yang tinggi
Komponen teknologi SLPTT dilakukan oleh petani dengan tujuan produktivitas padi dan pendapatan usahatani Program SLPTT padi diterapkan pada beberapa provinsi sentra produksi padi di Indonesia
Penerapan program SLPTT padi di Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat sebagai daerah potensi padi
Penerapan komponen teknologi Analisis kualitatif program SLPTT Analisi keragaan usahatani
Analisis pendapatan usahatani Analisis kuantitatif Analisi R/C rasio
Saran Pengembangan Program SLPTT Padi
Gambar 1. Kerangka pemikiran operasional penelitian Penerapan Program SLPTT dan Non Program SLPTT Padi di Desa Kalibuaya, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang.
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian
15
Penelitian dilaksanakan di Desa Kalibuaya, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang, Provinisi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan bahwa Desa Kalibuaya merupakan salah satu desa yang memiliki luas lahan terluas di Kecamatan Telagasari, memiliki sebagian besar masyarkatnya berprofesi sebagai petani padi, dan desa dengan sebagian kelompok tani yang telah menerapkan program SLPTT. Waktu pengumpulan data dimulai dari bulan Januari hingga Februari 2015.
Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder yang diperoleh dari berbagai bahan pustaka yang terkait dengan penelitian, antara lain textbook, hasil penelitian, internet, jurnal dan data dari berbagai lembaga pemerintahan yaitu BPS Indonesia, BPS Jawa Barat, Badan Litbang Pertanian, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, Dinas Pertanian Kabupaten Karawang, serta BP3K (Balai Penyuluh Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan) Kecamatan Telagasari. Data primer yang diperoleh melalui hasil wawancara langsung dengan pihak dinas pertanian, kepala UPTD Kecamatan Telagasari, penyuluh BP4K Kecamatan Telagasari, dan petani sebagai responden utama. Data primer yang diperoleh terkait dengan keragaan usahatani, penerapan komponen teknologi program SLPTT, komponen biaya tunai dan non tunai, serta komponen penerimaan tunai dan non tunai. Petani yang diwawancarai adalah petani yang merupakan peserta program SLPTT dan petani non program SLPTT di Desa Kallibuaya. Teknik wawancara yang digunakan adalah melakukan wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner yang telah disusun dalam penelitian ini.
Metode Penentuan Responden Responden dalam penelitian ini adalah para petani padi yang tergabung dalam beberapa kelompok tani di Desa Kalibuaya, pemilihan sampel penelitian dilakukan melalui metode purposive sampling. Metode purposive sampling yaitu pemilihan petani yang dijadikan sebagai responden secara sengaja dengan kriteria yang sesuai pada penelitian ini. Responden terdiri dari petani yang menerapkan program SLPTT sebanyak 30 orang dan petani yang tidak menerapkan program SLPTT sebanyak 30 orang, sehingga total responden sebanyak 60 orang.
Metode Pengolahan dan Analisis Data Penelitian ini melakukan pengolahan dan analisis data secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis secara kualitatif dilakukan untuk mendeskripsikan gambaran umum lokasi penelitian, karakteristik petani responden, keragaan usahatani padi,
16
serta penerapan komponen teknologi dari peserta program SLPTT dan petani non SLPTT. Analisis kuantitatif dilakukan untuk melakukan perhitungan mengenai analisis biaya usahatani, penerimaan usahatani, pendapatan usahatani, dan R/C yang didapatkan melalui pengolahan data primer. Pengolahan data primer menggunakan bantuan software microsoft excel dan SPSS 17, selanjutnya hasil dari pengolahan data tersebut dapat disajikan dalam bentuk tabel sehingga dapat diinterpretasikan. Biaya usahatani Analisis biaya usahatani digunakan untuk mengetahui berapa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam kegiatan usahatani yang dilakukan petani program SLPTT dan petani non SLPTT. Biaya dalam kegiatan usahatani dapat dibedakan menjadi dua jenis biaya, yakni biaya tunai dan biaya tidak tunai. Biaya usahatani adalah hasil penjumlahan biaya secara keseluruhan yang dikeluarkan dalam kegiatan usahatani baik biaya tunai maupun tidak tunai. Perhitungan biaya usahatani adalah sebagai berikut: TC = C + NC Keterangan: TC = Total Biaya C = Total Biaya Tunai NC = Total Biaya Non Tunai Biaya tunai terdiri dari pembelian benih, pupuk, pestisida, upah tenaga kerja luar keluarga, sewa traktor, iuran desa, pajak, sewa lahan, serta beberapa komponen tenaga kerja. Biaya non tunai terdiri dari tenaga kerja dalam keluarga, benih yang didapatkan dari hasil panen sendiri, sewa lahan yang diperhitungkan untuk petani pemilik, dan penyusutan peralatan. Menurut Suratiyah (2009) perhitungan penyusutan berdasarkan metode garis lurus (straight line method) adalah dengan membagi hasil antara nilai pembelian dengan nilai sisa yang selanjutnya dibagi oleh umur ekonomi dari alat tersebut. Penerimaan Usahatani Analisis penerimaan usahatani digunakan untuk mengetahui berapa besarnya penerimaan yang diperoleh oleh petani dalam kegiatan usahatani petani program SLPTT dan petani non program SLPTT. Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Pernyataan tersebut secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut (Soekartawi, 1995): TR = Y x Py
Keterangan: TR = Total Penerimaan (Rupiah) Y = Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani (Kg) Py = Harga jual produk per unit (Rupiah/Kg)
17
Penerimaan dalam kegiatan usahatani terdiri dari dua jenis sumber penerimaan, yakni penerimaan tunai dan penerimaan tidak tunai. Penerimaan tunai adalah penerimaan yang didapatkan dari hasil kegiatan produksi usahatani yang dijual. Penerimaan tidak tunai adalah hasil produksi yang tidak dijual oleh petani, namun hasil tersebut digunakan untuk keperluan lain, seperti untuk konsumsi atau benih. Sehingga penerimaan total usahatani merupakan hasil keseluruhan nilai produksi yang usahatani yang dijual, dikonsumsi keluarga, serta yang dijadikan persediaan. Pendapatan Usahatani Pendapatan usahatani adalah balas jasa yang didapatkan oleh petani atas penggunaan faktor produksi, seperti lahan, modal, serta tenaga kerja. Pendapatan usahatani terdiri dari pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya tunai merupakan biaya yang harus dikeluarkan langsung oleh petani. Perhitungan dari pendapatan atas biaya tunai adalah selisih antara total penerimaan dengan biaya tunai. Sementara pendapatan atas biaya total adalah total biaya yang harus dikeluarkan oleh petani termasuk dengan semua input yang dimiliki petani diperhitungkan sebagai biaya. Perhitungan dari pendapatan atas biaya total adalah selisih antara total penerimaan dengan total biaya. Efisiensi Usahatani Analisis efisiensi pendapatan usahatani digunakan untuk mengetahui perhitungan efisiensi usahatani berdasarkan pendapatannya. Menurut Hernanto (1991) perhitungan efisiensi pendapatan usahatani salah satunya menggunakan rasio imbangan penerimaan dan biaya (R/C Rasio), yaitu sebagai berikut: R/C Rasio =
Penerimaan (Rp) Biaya (Rp)
Analisis rasio imbangan penerimaan dan biaya digunakan untuk melihat berapa penerimaan yang diperoleh oleh petani dari setiap rupiah yang telah dikeluarkan untuk usahataninya sebagai manfaat. Terdapat beberapa kriteria keputusan yang digunakan untuk melihat hasil dari analisis R/C rasio adalah sebagai berikut: R/C rasio > 1 : Usahatani menguntungkan, dikatakan efisien karena setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biayanya. R/C rasio = 1 : Usahatani impas, dikatakan kegiatan usahatani berada pada kondisi impas (keuntungan normal). R/C rasio < 1 : Usahatani rugi, dikatakan tidak efisien karena setiap tambahan biaya yang dikeluarkan kan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih kecil. Pendapatan usahatani dan nilai R/C rasio dapat diperoleh dengan menentukan terlebih dahulu nilai dari penerimaan dan nilai biaya. Perhitungan pada Tabel 3 dapat dibedakan menjadi pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya tunai merupakan hasil pengurangan antara total penerimaan dengan biaya tunai, sedangkan pendapatan atas biaya total merupakan hasil pengurangan antara total penerimaan dengan total biaya. Adapun perhitungan
18
atas pendapatan tunai merupakan hasil pengurangan penerimaan tunai dengan biaya tunai. Total biaya adalah penjumlahan dari biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Total biaya perlu diperhitungkan karena biaya yang dikeluarkan oleh petani sebenarnya tidak hanya menilai biaya secara tunai, tetapi juga biaya yang diperhitungkan. Tabel 3. Komponen perhitungan pendapatan usahatani dan nilai R/C rasio Desa Kalibuaya, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang tahun 2014. A. Penerimaan Tunai Harga x hasil panen yang dijual B. Penerimaan Harga x hasil panen yang dikonsumsi Diperhitungkan C. Total Penerimaan Penerimaan tunai + penerimaan diperhitungkan D. Biaya Tunai Benih, pupuk anorganik dan organik, obat padat dan cair, komponen tenaga kerja, karung, bagi hasil, pajak lahan, serta sewa lahan. E. Biaya diperhitungkan
Tenaga kerja dalam keluarga (TKDK), penyusutan alat, sewa lahan, benih hasil panen Biaya tunai + biaya diperhitungkan biaya Total penerimaan – biaya tunai
F. Total Biaya G. Pendapatan atas tunai H. Pendapatan atas biaya total I. Pendapatan tunai J. R/C rasio atas biaya tunai K. R/C rasio atas biaya total
Total penerimaan – total biaya Penerimaan tunai – biaya tunai Penerimaan tunai : penerimaan diperhitungkan Penerimaan tunai : biaya tunai
Uji Normalitas Data Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari uji normalitas data dan uji Mann-Whitney. Analisis uji normalitas data dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Uji tersebut salah satu uji normalitas yang digunakan untuk jumlah data ≤ 50, dimana pada penelitian ini data yang digunakan untuk petani program SLPTT dan non SLPTT masing-masing berjumlah 30. Apabila hasil dari uji normalitas memiliki sebaran data yang normal (p > 0.05), maka langkah selanjutnya dengan menggunakan analisis statistik parametrik (uji T). Apabila hasil dari dari uji normalitas memiliki sebaran data yang tidak menyebar secara normal (p < 0.05), maka langkah selanjutnya dengan menggunakan analisis statistik non-parametrik (Uji Mann-Whitney). Hipotesis uji normalitas adalah sebagai berikut: H0 : Data berdistribusi secara normal H1 : Data berdistribusi secara tidak normal Uji Mann-Whitney Analisis hubungan kausal dua variabel non parametrik dilakukan untuk analisis hubungan kausal (dependency) dari dua variabel bebas. Uji statistik yang dilakukan adalah uji Mann-Whitney untuk menyimpulkan dan membuktikan hubungan kausal antara dua variabel berbeda secara signifikan untuk jumlah data yang bersifat nonparametrik. Pada penelitian ini uji Mann-Whitney dilakukan untuk mengetahui apakah ada atau tidaknya perbedaan dari komponen data usahatani
19
petani program SLPTT dengan usahatani petani non SLPTT. Pengujian hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut (Harimini, 2009): Dalam bentuk kalimat: H0 : Tidak terdapat perbedaan antara petani program SLPTT dengan petani non SLPTT. H1 : Terdapat perbedaan antara petani program SLPTT dengan petani non SLPTT. Uji Mann-Whitney dilakukan perhitungan statistik uji dengan melakukan peringkat data pada sampel populasi. Berdasarkan data sampel selanjutnya dilakukan peringkat tanpa membedakan asal sampel yaitu petani program SLPTT dan petani non SLPTT. Setelah sampel diberikan peringkat selanjutnya dilakukan uji hipotesis dengan statistik uji. Analisis dilakukan dengan alat analisis SPSS dan disimpulkan melalui output SPSS. Taraf nyata yang digunakan ialah (α = 5 %). Pada output SPSS dapat dilihat informasi nilai Exact Sig (2-tailed). Apabila nilai Exact Sig (2-tailed) lebih kecil dari nilai α maka dapat disimpulkan tolak H0. Apabila nilai Exact Sig (2-tailed) lebih besar dari nilai α maka dapat disimpulkan terima H0. Hipotesis statistik diuji melalui statistik uji dengan model sebagai berikut: U-
Z= √
n1 n2 2
(n1 ) (n2) (n1 + n2 +1) 12
Keterangan: Z : Nilai Z hitung U : Jumlah peringkat n1 : Jumlah sampel 1 (petani program SLPTT) n2 : Jumlah sampel 2 (petani non SLPTT) Uji Beda T-Test Uji beda t-test digunakan untuk membandingkan beberapa komponen data antara petani program SLPTT dan non SLPTT apakah terdapat perbedaan signifikan secara statistik. Terdapat beberapa asumsi yang harus dipenuhi untuk analisis uji beda t-test yaitu sampel data berdistribusi secara normal, memiliki varians sama, dan datanya bersifat interval atau rasio. Untuk intepretasi uji beda ttest terlebih dahulu ditentukan uji hipotesis, uji hipotesis pada uji beda t-test yaitu sebagai berikut: H0 : Tidak terdapat perbedaan antara petani program SLPTT dengan petani non SLPTT. H1 : Terdapat perbedaan antara petani program SLPTT dengan petani non SLPTT Analisis dilakukan dengan alat analisis SPSS dan disimpulkan melalui output SPSS. Kriteria uji ini dengan cara membandingkan nilai Sig (2-tailed) dan nilai alfa dengan nilai alfa sebesar 0.05. Apabila hasil menunjukkan bahwa nilai Sig (2-tailed) > alfa, maka H0 diterima. Apabila hasil menunjukkan bahwa Sig (2tailed) < alfa, maka H0 ditolak. Taraf nyata yang digunakan ialah (α = 5 %). Perhitungan statistik uji beda t-test adalah sebagai berikut (Harimini, 2009):
20
t=
X1 – X2 1
1
1
n2
σ gab √n + σ gab=
√(n1+1)σ12 + (n2 + 1) σ22 n1+n2 -2
Keterangan: t : Nilai t hitung X1 : Rata-rata data petani program SLPTT X2 : Rata-rata data petani non SLPTT n1 : Jumlah petani program SLPTT n2 : Jumlah petani non SLPTT σ1 2 : Simpangan baku petani program SLPTT σ2 2 : Simpangan baku petani non SLPTT
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Gambaran Umum Desa Kalibuaya Penelitian ini dilakukan di Desa Kalibuaya, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang yang terdiri dari 3 dusun, 6 Rukun Warga (RW), dan 16 Rukun Tetangga (RT). Secara administratif wilayah penelitian Desa Kalibuaya berbatasan dengan: a. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Pasirkuning dan Desa Kalijaya. b. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Talagasari dan Desa Talagamulya. c. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Pasirmukti. d. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Cadaskertajaya. Berdasarkan agroekologi wilayah penelitian Desa Kalibuaya mempunyai luas wilayah kurang lebih 496 hektar yang terdiri dari lahan sawah 448 hektar dan luas lahan darat 48 hektar, sedangkan untuk sarana jalan terdiri dari jalan berbatu 3 km dan jalan aspal 25 km. Selain padi sawah, komoditi lain yang cukup dominan ditanam oleh petani adalah sayuran terdiri dari mentimun seluas 1.5 hektar, pare seluas 1 hektar, terong seluas 1.5 hektar, kacang panjang seluas 3 ha, serta emes seluas 1 hektar. Terdapat juga beberapa masyarakat yang melakukan usaha peternakan walaupun tidak begitu dominan seperti ternak bebek, ayam, serta sapi. Desa Kalibuaya berada pada bagian utara Provinsi Jawa Barat dan secara geografis berada pada 107°12’-107°40’ Bujur Timur (BT) dan 5°56’- 6°34’ Lintang Selatan (LS). Ketinggian pada wilayah penelitian Desa Kalibuaya antara 1- 4 m di atas permukanaa laut (dpl), sedangkan pH tanah berkisar 5.8 - 6.2, serta kondisi topografi datar. Frekuensi curah hujan sebesar 1 222 mm/tahun, dengan frekuensi curah hujan rata-rata terbesar terjadi pada bulan Desember hingga April. Luas lahan darat di wilayah penelitian Desa Kalibuaya adalah kurang lebih 48 hektar dengan perincian luas seperti perumahan atau pekarangan seluas 42
21
hektar, tegalan 3.4 hektar, kolam 1.6 hektar serta kuburan 1 hektar. Keadaan lahan berdasarkan struktur tanah, tekstur tanah, pH tanah, kedalaman air tanah dan kedalaman solum tanah di wilayah penelitian Desa Kalibuaya adalah sebagai berikut: a. Jenis tanah : Aluvial Kelabu. b. Struktur tanah : Gembur. c. Tekstur tanah : Remah. d. Kedalaman air tanah : 8 - 12 m. e. Kedalaman solum tanah : 1 m. f. pH tnah : 5.8 – 6.2 (sumber: Profil Desa Kalibuaya 2014)
Jumlah penduduk Desa Kalibuaya berjumlah 4 630 jiwa terdiri dari laki-laki berjumlah 2 290 jiwa dan perempuan berjumlah 2 340 jiwa, sedangkan jumlah Kepala Keluarga (KK) 1 304 jiwa di dalamnya termasuk Kepala Keluarga Tani (KKT) berjumlah 231 jiwa. Tabel 4. Sebaran penduduk Desa Kalibuaya berdasarkan mata pencaharian pada tahun 2014. No Uraian Jumlah (Orang) Persentase (%) Bidang Pertanian 1. Petani pemilik 154 4.40 2. Petani pemilik penggarap 245 7.00 3. Petani penggarap 89 2.54 4. Buruh tani 2 772 79.18 Bidang Non Pertanian 1. PNS 13 0.37 2. Pedagang 82 2.34 3. Jasa angkutan 57 1.63 4. Jasa tukang 89 2.54 Total 3 501 100.0 Sumber: Profil Desa Kalibuaya 2014
Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa sebagian besar mata pencaharian penduduk Desa Kalibuaya bergerak pada bidang pertanian. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4, dimana pekerjaan pada bidang pertanian terdiri dari 4.40 persen sebagai petani pemilik, 7.00 persen sebagai petani pemilik penggarap, 2.54 persen sebagai petani penggarap, dan 79.18 persen sebagai buruh tani. Selanjutnya pada bidang non pertanian terdiri dari 0.37 persen sebagai Pegawai Negeri Sipil, 2.34 persen sebagai pedagang, 1.63 persen sebagai jasa angkutan, dan 2.54 persen sebagai jasa tukang. Karakteristik Petani Responden Usia Petani Karakteristik usia petani merupakan lama responden hidup hingga penelitian ini dilakukan, umur produktif petani akan mempengaruhi bagaimana adopsi petani terhadap suatu inovasi baru. Dari keseluruhan responden petani
22
SLPTT, jumlah persentase terbesar berada pada kelompok usia 35-44 tahun sebesar 40 persen dan persentase terkecil berada pada kelompok usia 65-74 tahun sebesar 10.00 persen. Petani non SLPTT yang termasuk dalam kelompok usia 35-44 tahun dan 45-54 tahun memiliki jumlah persentase yang sama, yaitu masing-masing sebesar 26.67 persen dan persentase terkecil berada pada kelompok usia kurang dari 35 tahun. Jumlah petani yang termasuk dalam usia produktif lebih banyak terdapat pada petani program SLPTT, yaitu sebanyak 22 dari 30 petani, sedangkan pada petani non SLPTT hanya sebanyak 18 dari 30 petani. Kelompok usia produktif akan lebih baik dalam beberapa hal seperti tenaga yang dihasilkan lebih besar dalam melakukan kegiatan di sawah, serta lebih cepat dalam hal adopsi inovasi yang akan diterima walaupun minim dalam hal pengalaman. Selain itu, usia produktif bagi petani program SLPTT mempunya manfaat untuk bisa menerapkan komponen teknologi yang dianjurkan dan diinformasikan oleh penyuluh. Rata-rata usia petani SLPTT dan non SLPTT masing-masing sebesar 46.10 dan 50.73 tahun. Rata-rata usia keduanya berada di atas 45 tahun menunjukkan bahwa penduduk sebagai generasi muda yang ada di Desa Kalibuaya tidak banyak untuk menjadi seorang petani. Pada umumnya pekerjaan yang lebih diinginkan diluar bidang pertanian seperti pegawai buruh pabrik, pedagang, serta pekerjaan dibidang transportasi. Bagi sebagian petani yang berada di usia kurang dari 35 tahun adalah petani yang bekerja untuk meneruskan jejak keluarganya, terutama apabila keluarga petani tersebut memiliki lahan sendiri untuk digarap. Karakteristik petani berdasarkan kelompok usia dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Sebaran petani responden berdasarkan kelompok usia pada usahatani padi di Desa Kalibuaya tahun 2014. Kelompok Petani SLPTT Petani Non SLPTT Usia Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Tahun) (Orang) (%) (Orang) (%) Usia < 35 5 16.67 2 6.67 Usia 35 - 44 9 30.00 8 26.67 Usia 45 - 54 8 26.67 8 26.67 Usia 55 - 64 5 16.67 7 23.33 Usia 65 - 74 3 10.00 5 16.67 Total 30 100 30 100
Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan merupakan jumlah tahun mengikuti pendidikan formal yang ditempuh oleh petani responden. Pendidikan petani SLPTT maupun non SLPTT tergolong dalam kategori rendah karena persentase terbesar masing-masing 46.67 persen dan 40.00 persen berada pada kelompok 5-8 tahun atau hanya tamat tingkat sekolah dasar. Bahkan terdapat beberapa petani yang tidak dapat melanjutkan sekolah hingga tamat sekolah dasar, yaitu sebanyak 10.00 persen bagi petani SLPTT dan 20.00 persen bagi petani non SLPTT. Rata-rata tingkat pendidikan petani SLPTT dan non SLPTT masing-masing sebesar 7.47 dan 7.33 tahun. Tingkat pendidikan untuk petani program SLPTT dan
23
petani non SLPTT menyebar pada beberapa tingkatan sekolah yaitu Sekolah Dasar (SD) atau Sekolah Rakyat (SR), Sekolah Menengah Pertama (SMP), serta Sekolah Menengah Atas (SMA). Namun, terdapat perbedaan yakni sebanyak 2 orang (6.67 persen) petani non SLPTT yang telah menempuh pendidikan lebih tinggi hingga Sarjana (S1). Pada umumnya, petani dengan tingkat pendidikan tinggi beralasan untuk bekerja menjadi petani karena meneruskan usahatani keluarganya yang memiliki lahan sendiri. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi perilaku dan tingkat adopsi petani dalam mengaplikasikan tekonologi yang telah diberikan. Beberapa hal yang menyebabkan tingkat pendidikan petani rendah karena kurangnya kesadaran untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi, keterbatasan biaya keluarga untuk biaya sekolah, serta keinginan untuk langsung mencari pekerjaan. Selain itu, petani beranggapan bahwa keterampilan dasar bertani yang didapatkan secara turun menurun dari keluarga dapat membekali petani untuk menjadi petani. Berikut ini karakteristik petani berdasarkan tingkat pendidikan terakhir dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Sebaran petani responden berdasarkan pendidikan terakhir pada usahatani padi di Desa Kalibuaya tahun 2014. Pendidikan Petani SLPTT Petani Non SLPTT Terakhir Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Tahun) (Orang) (%) (Orang) (%) 1-4 3 10.00 6 20.00 5-8 14 46.67 12 40.00 9 - 12 13 43.33 10 33.33 12 - 16 0 0.00 2 6.67 Total 30 100 30 100 Pengalaman Berusahatani Padi Pengalaman berusahatani merupakan pengetahuan yang dimiliki petani dalam melakukan budidaya padi dalam kurun waktu tertentu. Tingkat pengalaman berusahatani yang sudah cukup lama terdapat pada petani non SLPTT, di mana persentase terbesar 40.00 persen didominasi dengan pengalaman petani lebih dari 20 tahun. Lain halnya dengan petani SLPTT yang memiliki persentase terbesar 80.00 persen didominasi dengan pengalaman petani kurang dari 20 tahun. Rata-rata pengalaman berusahatani pada petani non SLPTT lebih lama yaitu 20.13 tahun, sedangkan petani SLPTT hanya 13.07 tahun. Pada penelitian ini, pengalaman berusahatani memiliki hubungan positif dengan tingkat usia petani, sehingga pengalaman yang rendah didominasi oleh petani dengan usia muda. Terdapat banyak petani muda dengan pengalaman rendah memutuskan untuk menjalani beberapa program yang diberikan seperti pada petani program SLPTT. Harapan petani untuk mengikuti program adalah agar memberikan banyak manfaat, pengetahuan, dan modal dasar dalam menerima inovasi teknologi. Lain halnya dengan petani yang sudah lama berusahatani padi, cenderung memiliki prinsip sendiri dalam berusahatani sehingga sulit untuk menerima inovasi dan teknologi baru. Berikut ini karakteristik petani berdasarkan pengalaman berusahatani padi yang dapat dilihat pada Tabel 7.
24
Tabel 7. Sebaran petani responden berdasarkan pengalaman berusahatani padi di Desa Kalibuaya tahun 2014. Pengalaman Petani SLPTT Petani Non SLPTT Usahatani Padi Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Tahun) (Orang) (%) (Orang) (%) 1 - 10 18 60.00 9 30.00 11 - 20 6 20.00 9 30.00 21 - 30 4 13.33 6 20.00 > 30 2 6.67 6 20.00 Total 30 100 30 100 Luas Lahan Garapan Luas lahan garapan merupakan keseluruhan luas lahan yang dijadikan tempat untuk melakukan kegiatan usahatani padi serta digarap oleh petani, baik lahan milik sendiri, menyewa ataupun bagi hasil. Desa Kalibuaya salah satu desa yang mempunyai luas lahan sawah terluas di Kecamatan Telagasari yaitu seluas 448 ha. Oleh sebab itu, tidak heran apabila banyak petani baik petani program SLPTT dan non SLPTT memiliki luas lahan garapan lebih dari 1 ha. Pada penelitian ini petani program SLPTT menggarap lahan sawah dengan luas mulai dari 0.5 hektar sampai dengan 5 ha dengan rata-rata luas lahan yang digarap oleh 30 petani sebesar 1.185 ha. Selanjutnya untuk petani non SLPTT luas lahan mulai dari 0.3 ha sampai dengan 3 ha dengan rata-rata luas lahan yang digarap oleh 30 petani sebesar 0.87 ha. Berikut ini karakteristik petani berdasarkan luas lahan garapan padi yang dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Sebaran petani responden berdasarkan luas lahan garapan pada usahatani padi di Desa Kalibuaya tahun 2014. Luas Lahan Petani SLPTT Petani Non SLPTT Garapan Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Hektar) (Orang) (%) (Orang) (%) 0.26 - 0.50 10 30.00 7 23.33 0.51 - 0.75 1 6.67 8 23.33 0.76 - 1.00 8 30.00 7 23.33 > 1.00 11 33.33 8 30.00 Total 30 100 30 100 Status Kepemilikan Lahan Status kepemilikan lahan sawah yang digarap oleh petani program SLPTT dan non SLPTT terdiri dari lima kategori status, yaitu lahan milik sendiri, bagi hasil atau maro, sewa, gadai, serta kontrak. Sebagian besar petani baik program SLPTT maupun non SLPTT memiliki lahan sendiri yaitu masing-masing sebanyak 13 orang (43.33 persen) dan 14 orang (46.67 persen) dari total jumlah sampel masing masing 30 orang. Status kepemilikan lahan lainnya yang banyak dilakukan oleh petani adalah bagi hasil atau maro, yaitu terdiri dari 15 orang (50.00 persen) petani program SLPTT dan 13 orang (43.33 persen) petani non SLPTT dari total jumlah sampel masing masing 30 orang. Bagi hasil adalah pihak yang mempunyai lahan
25
menyerahkan lahannya tanpa memberikan modal kepada petani penggarap untuk diusahakan. Pada saat panen pemilik lahan dapat menikmati dari hasil lahannya dengan pembagian yang seimbang diantara kedua pihak. Status kepemilikan lahan lainnya seperti sewa, gadai, serta kontrak tidak banyak dilakukan oleh petani program SLPTT maupun non SLPTT. Berikut ini karakteristik petani berdasarkan status kepemilikan luas lahan garapan padi yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Sebaran petani responden berdasarkan status kepemilikan lahan garapan pada usahatani padi di Desa Kalibuaya tahun 2014. Status Kepemilikan Petani SLPTT Petani Non SLPTT Lahan Garapan Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Orang) (%) (Orang) (%) Milik Sendiri 13 43.33 14 46.67 Bagi Hasil 15 50.00 13 43.33 Sewa 1 3.33 1 3.33 Gadai 1 3.33 1 3.33 Kontrak 0 0.00 1 3.33 Total 30 100 30 100
KERAGAAN USAHATANI PADI
Keragaan Usahatani Padi Petani Program SLPTT dan Non SLPTT di Desa Kalibuaya Keragaan usahatani padi merupakan keseluruhan aspek kegiatan budidaya padi sawah yang dilakukan oleh petani program SLPTT (Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu) maupun non SLPTT di Desa Kalibuaya, Kecamatan Telagasari, mulai dari kegiatan persiapan lahan hingga pada tahap pemasaran. Secara umum teknik budidaya yang dilakukan oleh petani program SLPTT maupun non SLPTT tidak jauh berbeda. Petani non SLPTT pada umumnya menerapkan teknik budidaya sesuai dengan pengalaman usahatani mereka, sedangkan petani program SLPTT menerapkan teknik budidaya sesuai yang didapat dari pendampingan penyuluh BP3K (Balai Penyuluh Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan) Kecamatan Telagasari. Tahapan kegiatan budidaya padi pada dasarnya adalah persiapan lahan, persiapan benih dan persemaian, penanaman, penyiangan, pemupukan, penyemprotan, serta pemanenan. Walaupun secara umum sama, namun terdapat beberapa perbedaan penggunaan komponen teknologi dari tahapan budidaya antara petani program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya. a. Persiapan Lahan Tahapan persiapan lahan adalah kegiatan mempersiapkan lahan untuk penanaman padi musim tanam berikut pada saat setelah panen musim tanam sebelumnya hingga lahan siap ditanam. Tahapan ini terdiri dari beberapa kegiatan,
26
yaitu pembersihan lahan, menebarkan jerami, pergantian tanah atau pemopokan, pembajakan sawah dengan menggunakan traktor, nampingan dan meratakan tanah. 1. Pembersihan Lahan merupakan kegiatan untuk memudahkan pekerjaan pada saat pengolahan lahan dilakukan. Pada kegiatan ini tidak ada perbedaan diantara petani SLPTT dan non SLPTT, dimana kegiatan yang dilakukan adalah membersihkan gulma, rerumputan dan bebatuan yang ada pada lahan. Pada umumnya untuk pembersihan lahan petani padi program SLPTT maupun non SLPPT dibantu oleh pekerja luar keluarga agar lebih mudah dan cepat.
Gambar 2. Pemberian pupuk organik 2. Menebarkan Jerami, setelah lahan sawah bersih maka kegiatan selanjutnya adalah menebarkan jerami yang berasal dari panen musim sebelumnya. Kegiatan ini dilakukan oleh 53.33 persen dari petani program SLPTT, sedangkan untuk petani non SLPTT hanya 46.67 persen. Jerami yang disebar di lahan sawah kemudian didiamkan sampai membusuk. Manfaat dari jerami yang telah dibusukkan akan menjadi pupuk organik sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah. Petani dengan tingkat kesadaran yang rendah akan manfaat jerami untuk kesuburan lahan, maka yang akan dilakukan adalah membakar jerami, digunakan sebagai pakan ternak, ataupun diberikan kepada orang lain. Selain dari jerami, sebagian petani menambahkan pupuk organik dalam bentuk pupuk kompos atau kandang. Sebagian besar petani program SLPTT memberikan komposisi pupuk organik sebanyak 756.66 kg/hektar. Komposisi ini masih kurang dari anjuran yang diberikan oleh penyuluh yaitu sebanyak 2 ton/hektar. Petani non SLPTT memberikan komposisi pupuk organik jauh lebih rendah yakni sebanyak 364.75 kg /hektar. 3. Perbaikan Pematang Sawah (Pemopokan), selanjutnya sekitar 14 -18 hari setelah jerami disebar, kegiatan yang dilakukan oleh petani SLPTT maupun petani non SLPTT adalah pemopokan atau pergantian tanah. Pemopokan adalah memperbaiki pematang dan parit sebelum lahan dibajak. Tujuan diperbaikinya pematang adalah untuk menahan air selama pengolahan tanah agar air tidak keluar dari petak sawah dan untuk menutup lubang hama seperti tikus. Tujuan memperbaiki parit adalah untuk memperlancar arus air serta mengurangi jumlah biji gulma yang akan terbawa masuk ke dalam petakan.
27
Gambar 3. Kegiatan pembajakan sawah 4. Pembajakan Sawah, kegiatan ini bertujuan untuk mempercepat proses pembusukan sisa tanam dengan membalikan tanah. Secara umum petani SLPTT dan non SLPTT melakukan pembajakan sawah dengan menggunakan traktor yang dilakukan oleh pekerja borongan. Biaya untuk seawa traktor termasuk upah borongan dan bahan bakar adalah sebesar Rp 700 000 - Rp 800 000 /hektar. Setelah lahan dibajak, maka lahan harus segera digenangi agar kondisi tanah menjadi lebih lembut. 5. Kegiatan Nampingan dan Meratakan Tanah, nampingan adalah membersihkan pematang sawah dengan menggunakan cangkul, pematang sawah dipapas dan menggantinya dengan tanah hasil pembajakan. Kegiatan terakhir adalah kegiatan meratakan tanah dengan tujuan meratakan permukaan lahan sehingga air irigasi yang ada di petakan tersebar merata. Secara umum petani program SLPTT dan non SLPTT melakukan kegiatan ini sama dengan menggunakan jasa pekerja borongan (biaya pengolahan) untuk kegiatan pemopokan, nampingan, serta meratakan tanah yang dilakukan oleh buruh tani dengan upah sebesar Rp 800 000/hektar. b. Persemaian Benih Sebelum menyemai, petani harus menentukan varietas benih apa yang akan ditanam. Pemilihan varietas benih untuk petani program SLPTT adalah varietas Mekongga karena varietas tersebut yang dianjurkan oleh penyuluh kepada petani untuk penanaman padi pada musim kering II. Kesepakatan antara petani dan penyuluh dalam pemilihan varietas Mekongga berdasarkan pertimbangan kualitas terhadap serangan hama serta penyakit. Lain halnya dengan petani non SLPTT yang memilih banyak varietas seperti Mekongga, Ciherang, Inpari 14, serta membeli benih dari daerah lain. Pada umumnya pada beberapa musim terakhir petani non SLPTT lebih banyak menggunakan benih Ciherang, sedangkan terdapat juga petani lain yang mencoba-coba benih lain pada musim ini seperti Inpari 14. Penentuan luas lahan semai dan jumlah benih disesuaikan dengan luas lahan sawah yang akan digarap oleh petani. Tidak ada anjuran luasan yang diberikan oleh penyuluh kepada petani. Petani program SLPTT menyediakan lahan persemaian rata-rata seluas 150 m2 dan petani non program SLPTT seluas 134 m2 untuk 1 Ha luas lahan yang akan ditanami. Jumlah bibit yang ditanam berdasarkan anjuran dari penyuluh, yaitu sebanyak 20-25 kg per ha. Pada umumnya petani menyemai benih
28
menyesuaikan dengan keadaan untuk menghindari kelebihan atau kekurangan jumlah yang dinginkan. Beberapa permasalan selalu ada seperti banyaknya hama keong dan bibit yang mati atau tidak tumbuh. Hal lain yang perlu diperhitungkan adalah anjuran penggunaan bibit yang ditanam yaitu 1-2 rumpun per lubang tanam. Penentuan umur bibit yang dianjurkan oleh penyuluh kepada petani program SLPTT adalah 10 – 20 hari setelah sebar benih. Sebagian besar petani program SLPTT sudah menerapkan anjuran yang diberikan, sedangkan untuk petani non SLPTT tidak demikian. Beberapa petani Non SLPTT menggunakan bibit muda dengan umur kurang dari 10 hari atau bahkan lebih dari 20 hari. Perbedaan umur bibit untuk petani non SLPPT disebabkan perbedaan pemilihan varietas yang ditanam.
Gambar 4. Hamparan lahan semai benih Waktu yang digunakan untuk penanaman ketika bibit yang disemai mencapai umur 15-21 hari. Tahapan terakhir pada kegiatan ini adalah pencabutan bibit. Kegiatan pencabutan bibit pada umumnya dilakukan oleh bantuan pekerja yang diborong dengan biaya penanaman.
c. Penanaman Kegiatan penanaman atau tandur diawali dengan membuat garis-garis tanam di lahan sawah untuk menentukan barisan dan jarak tanam. Kegiatan ini disebut dengan pencaplakan dengan menggunakan alat caplak yang umumnya dimiliki oleh para pekerja. Kegiatan selanjutnya adalah pencabutan bibit dari lahan semai yang kemudian ditanam di lahan sawah yang sudah dipersiapkan. Anjuran penanaman di Desa Kalibuaya agar dilakukan secara serentak terutama jika petani tersebut tergabung dalam suatu kelompok tani. Pada umumnya petani dalam satu kelompok memiliki lahan yang berdekatan antar petani sehinga penanaman dapat dilakukan serentak untuk menghindari hama seperti tikus. Kegiatan penanaman dilakukan dengan bantuan para pekerja borongan tanam atau odong-odong baik wanita maupun pria. Pemberian upah disesuaikan dengan sistem tanam yang diterapkan oleh petani. Penanaman dengan legowo 2:1 atau legowo 4:1 tarif upah yang harus dibayar sebesar Rp 900 000 /hektar, sedangkan untuk sistem tanam pada umumnya seperti tegel tarif upahnya sebesar Rp 800 000.
29
Sistem tanam yang dilakukan oleh petani di Desa Kalibuaya beraneka ragam karena memiliki kebiasaan dan persepsi masing-masing. Petani program SLPTT dianjurkan untuk melakukan sistem tanam jajar legowo 2:1 dengan kriteria 50 cm x 25 cm x 12.5 cm; 50 cm x 25 cm x 15 cm; serta 40 cm x 25 cm x 15 cm. Fakta yang dijumpai pada penelitian ini hanya 13 orang (43.33 persen) petani program SLPTT yang telah mengikuti anjuran tersebut, sedangkan untuk petani non SLPTT bahkan tidak ada satupun yang menerapkan aturan tanam jajar legowo 2:1. Umumnya sistem tanam yang banyak dilakukan oleh petani khususnya petani Non SLPTT yaitu sistem jajar legowo 8:1 dan tegel dengan ukuran 25 cm x 25 cm atau 30 cm x 30 cm.
Gambar 5. Kegiatan penanaman (jajar legowo 2:1) Sistem tanam jajar legowo adalah suatu rekayasa sistem tanam yang merupakan perubahan dari jarak tanam tegel, dengan adanya aturan jarak tanam rumpun dan antar barisan. Tujuan petani menerapkan sistem tanam ini agar terjadi pemadatan rumpun padi sehingga meningkatkan populasi tanam padi /hektarnya. Jumlah rumpun yang diharapkan pada sistem tanam jajar legowo 2:1 berjumlah 213 000 rumpun/hektar. Berbeda cukup besar apabila dibandingkan dengan tegel yang hanya berjumlah 160 000 rumpun per hahektar, legowo 4 berjumlah 170 000 hektar5. Banyaknya petani memilih untuk melakukan tanam bibit lebih dari 2 rumpun karena tidak ingin mengambil resiko akan berkurangnya rumpun akibat dirusak oleh hama seperti keong. Banyaknya petani non SLPTT yang menerapkan tanam bibit 1-2 rumpun yakni sebanyak 19 petani (60 persen), sedangkan petani program SLPTT hanya 16 petani (53.33 persen) yang mengikuti anjuran tersebut. d. Pemeliharaan Pemeliharaan adalah salah satu tahap penting yang harus diperhatikan oleh petani dalam melakukan pemantauan pertumbuhan tanaman padi yang ditanam. Tahapan ini terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu penyiangan, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, serta pengairan atau irigasi. 5
Ikhwani., Pratiwi Restu Gagad, Paturrohman Eman, Makarim A.K. 2013. Peningkatan Produktivitas Padi Melalui Penerapan Jarak Tanam Jajar Legowo. [Internet]. [diunduh 26 Februari 2015]. Tersedia pada: http://pangan.litbang.pertanian.go.id/files/03-IkhwaniIT0802.pdf.
30
1. Penyiangan Penyiangan adalah menghilangkan rumput penggangu yang tumbuh di sekitar tanaman padi serta di pinggir pematang sawah. Penyiangan umumnya dilakukan dua kali dalam satu musim tanam. Peyiangan pertama dilakukaan pada saat tanaman padi berumur 15-20 hari setelah tanam, sedangkan yang kedua dilakukan tanaman padi berumum 25-30 hari. Alat yang digunakan pada kegiatan ini adalah parang dan gasrok sesuai dengan anjuran dari program SLPTT. Penggunaan gasrok diharapkan dapat membantu petani agar kegiatan penyiangan lebih cepat. Namun faktanya tidak banyak petani menggunakan gasrok karena petani lebih memilih penggunaan obat herbisida yang dinilai lebih baik dan mudah. Selain itu, untuk beberapa kondisi penggunaan gasrok dapat mengakibatkan kerusakan pada perakaran padi yang sedang tumbuh. Petani program SLPTT yang menggunakan alat gasrok berjumlah 4 orang (13.33 persen) dan petani non SLPTT berjumlah 11 orang (36.67 persen).
Gambar 6. Kegiatan penyiangan (alat gasrok) Kegiatan Penyiangan umumnya dikakukan dengan bantuan tenaga kerja borongan dengan memberikan upah pembayaran sistem ceblok. Sistem ceblok adalah pekerja borongan melakukan pekerjaan tanpa dibayar dengan upah uang. Namun pekerja mendapatkan hak untuk ikut melakukan kegiatan panen dan menerima bagian tertentu dari hasil panen sesuai kesepakatan diantara kedua pihak. Pada umumnya di Desa Kalibuaya upah yang diterima pekerja ceblokan sebesa 1/6 bagian dari hasil panen. Terdapat beberapa manfaat yang dirasakan oleh petani apabila melakukan kegiatan penyiangan dengan ceblok. Manfaat pekerja ceblok yaitu adanya jaminan akan kebutuhan pekerja saat panen dan peyiangan sehinga tidak sulit mencari pekerja karena dapat mengatur waktu pada saat dibutuhkan, pekerja ceblok ikut membatu petani dalam hal pengawasan dan pemeliharan, serta adanya rasa kepercayaan diantara kedua pihak didasarkan pada perjanjian dan kesepakatan. 2. Pemupukan Kegiatan pemupukan yang dianjurkan oleh program SLPTT adalah sebanyak tiga kali, yaitu pemupukan dasar, pemupukan susulan pertama (15 hari setelah tanam), serta pemupukan susulan kedua (30 hari setelah tanam). Dosis pupuk sesuai dengan rekomendasi analisis status hara tanah dengan memperhatikan Bagan Warna Daun (BWD) untuk menentukan waktu memupuk. Petani SLPTT
31
dianjurkan untuk memberikan pupuk organik seperti pupuk kompos atau kandang minimal 2 ton pada 1 hektar. Sebagian besar petani program SLPTT telah mengikuti anjuran jumlah pemupukan, waktu pemupukam, serta meningkatkan pemakaian pupuk organik, meskipun komposisi dosis pemupukan yang digunakan belum tepat sesuai anjuran. Kegiatan pemupukan umumnya dilakukan oleh petani sendiri dengan bantuan pekerja harian yang terdiri dari 1-2 pekerja/hektar. Untuk pupuk inorganic, pada umumnya petani di Desa Kalibuaya menggunakan jenis pupuk padat seperti NPK Phonska, Urea, dan TSP. Umumnya Petani memperoleh pupuk dari kios-kios pertanian yan ada di Desa Kalibuaya. Pada musim kering II ini petani mengalami kesulitan karena adanya kelangkaan pupuk urea sehingga harga pupuk meningkat. Kelangkaan disebabkan karena distribusi pupuk di tingkat produsen ke kios pengecer belum stabil dan adanya keterlambatan pengiriman pupuk. 3. Pengendalian Hama dan Penyakit Pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan oleh petani di Desa Kalibuaya diharapkan dapat mengikuti ketentuan yang dianjurkan dalam program SLPTT yakni pengendalian hama terpadu (PHT). Salah satu anjuran dari program adalah menyemprotkan pestisida sesuai dengan kebutuhan. Pada musim tanam ini banyak petani merasakan banyaknya serangan hama dan penyakit sehingga umumnya penyemprotan dilakukan 7-8 kali. Beberapa jenis hama yang banyak dikeluhkan oleh petani adalah hama tikus, keong mas, burung, kupu-kupu, kepik, penggerek batang, serta wereng. Penyakit yang banyak menyerang tanaman padi seperti penyakit pucuk daun menguning serta penyakit daun merah.
Gambar 7. Kegiatan penyemprotan di lahan sawah Obat yang digunakan petani berupa obat cair maupun padat yang sebagian besar merupakan obat kimiawi. Obat kimiawi terdiri dari beberapa jenis dan kegunaan didapatkan dari kios pertanian seperti spontan, demolish, rizotin, dan lain-lain. Petani program SLPTT tidak hanya menggunakan obat yang bersifat kimiawi karena adanya anjuran bagi petani untuk menggunakan obat organik. Pemberian obat organik terdiri dari obat yang terbuat dari bahan-bahan alami seperti kotoran kambing, sapi, serta obat siap jadi yang dijual di kios seperti superpam. Kesadaran petani program SLPTT akan penggunaan obat organik lebih baik dibandingkan dengan petani non SLPTT. Hal ini terjadi karena anggapan
32
petani non SLPTT bahwa obat kimiawi sudah cukup untuk mengatasi serangan hama dan penyakit serta mahalnya harga obat organik siap jadi seperti superpam. Alat yang digunakan untuk kegiatan penyemprotan adalah semprotan manual dan semprotan mesin. Umumnya petani di Desa Kalibuaya baik petani program SLPTT maupun non SLPTT sudah memiliki seprotan manual sendiri karena harganya yang terjangkau yakni Rp 300 000 – Rp 400 000. Lain halnya dengan semprotan mesin memiliki harga yang cukup mahal yakni sekitar Rp 850 000. Kegiatan penyemprotan umumnya dilakukan langsung oleh petani dengan bantuan pekerja harian yakni terdiri dari 1-2 pekerja/hektar. 4. Pengairan atau Irigasi Pengairan lahan sawah di Desa Kalibuaya berasal dari sumber pengairan BTLS IV dan BTLS V. Petani program SLPTT dan non SLPTT tidak mengalami kesulitan dalam memperoleh air untuk mengairi sawahnya walaupun pada musim musim kemarau II. Selain itu, terdapat peran dari P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air) dan Mitra Cai dalam pengelolaan kebutuhan air untuk mengontrol pengairan di Desa Kalibuaya. Namun menurut petani peran dan fungsi pengurus P3A dan Mitra Cai masih kurang dalam melakukan pengontrolan sarana pengairan. Kegiatan pengairan dilakukan untuk menyesuaikan kapasitas air yang ada dalam petakan lahan sawah sesuai dengan kebutuhan petani di setiap tahap kegiatan budidaya. Komponen pengairan berselang tidak ditekankan oleh penyuluh kepada petani program SLPTT di Desa Kalibuaya. Pengairan berselang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan menekan keracunan seperti kandungan besi (Fe). Petani program SLPTT masih belum bisa menerapkan komponen pengairan berselang secara baik seperti kedalaman air, waktu pengairan, serta tahapan kegiatannya. Pengairan yang banyak dilakukan oleh petani program SLPTT dan non SLPTT adalah pengairan secara terus menerus yang dilakukan dengan memberikan air kepada tanaman dan dibiarkan tergenang ketika beberapa hari setelah tanam (3-15 HST) hingga beberapa hari menjelang panen (3-5 hari sekali). Pengairan dengan cara ini dilakukan dengan mempertimbangkan waktu pemupukan, menekan pertumbuhan gulma, ketika ada serangan hama, serta menghemat tenaga untuk pengolahan tanah. e. Pemanenan Pemanenan merupakan tahap akhir dari keragaan usahatani padi. Prosen pemanenan padi harus dilakukan pada waktu yang tepat, karena ketepatan waktu tersebut mempengaruhi jumlah dan mutu gabah yang dihasilkan. Waktu pemanenan setiap petani dalam satu kelompok umumnya dilakukan secara serempak karena waktu tanam yang sama. Petani program SLPTT dan non SLPTT melakukan waktu panen saat padi berumur 95-115 HST. Pekerja yang dibutuhkan untuk kegiatan panen adalah pekerja ceblok dengan menggunakan alat sabit dan karung. Pada saat tanaman padi selesai dipanen, gabah dirontokkan dengan menggunakan mesin perontok yang disewa oleh petani dengan harga Rp 170 000 – Rp 180 000/ton GKP (Gabah Kering Panen) yang dihasilkan. Proses perontokan panen yang dilakukan oleh petani SLPTT tidak semua sesuai dengan anjuran program SLPPT yang menyarankan untuk dirontokkan secara langsung, tetapi didiamkan terlebih dahulu.
33
Gambar 8. Kegiatan panen di lahan sawah Petani program SLPTT dan non SLPTT menjual hasil panennya dalam bentuk GKP kepada beberapa pembeli. Umumnya pembeli merupakan calo, dimana calo akan mencari gabah yang sesuai dan sudah ada kesepakatan harga dengan pihak penggilingan. Pembeli lainnya adalah pengumpul tingkat desa serta pedang besar atau tengkulak.
Permasalahan Keragaan Usahatani Padi Petani Program SLPTT dan Non SLPTT Petani program SLPTT maupun non SLPTT di Desa Kalibuaya tentunya mengalami beberapa permasalahan dalam melaksanakan kegiatan usatani padi. Permasalahan setiap musim akan berbeda karena kondisi yang selalu berubah di setiap subsistem. Pemasalahan pada subsistem hulu adalah meningkatknya harga benih dan pupuk. Contohnya adalah harga benih VUB Mekongga label biru pada musim sebelumnya Rp 9 000/ kg menjadi Rp 10 000/kg. Beberapa jenis pupuk mengalami peningkatan harga yang begitu besar. Peningkatan harga ini karena terjadinya kelangkaan pupuk sehingga banyak petani tidak mendapatkan pupuk sesuai dengan jumlah yang diinginkan. Sebagai contoh pupuk urea pada musim sebelumnya harganya Rp 1 900/kg menjadi Rp 2 600/kg. Permasalahan lain adalah ketersediaan tenaga kerja tani (buruh tani) yang semakin sedikit di Desa Kalibuaya. Hal ini terjadi karena buruh tani lebih banyak berada pada usia tua, sedangkan tenaga kerja yang masih berpotensi banyak beralih profesi pekerjaan ke sektor non pertanian. Petani program SLPTT maupun petani non SLPTT lebih memilih kelompok pekerja borongan untuk membantu setiap kegiatan usahataninya. Pada musim ini upah borongan pekerja mengalami peningkatan dibandingkan pada musim sebelumnya yaitu dari Rp 700 000/ha menjadi Rp 800 000/ha. Selain itu, petani yang menerapkan legowo 2:1 dan legowo 4:1 harus membayar upah lebih mahal dibandingkan aturan tanam lainnya, yakni sebesar Rp 900 000/ha. Perbedaan upah tanam borongan disebabkan buruh tani membutuhkan keahlian, tenaga lebih banyak, serta alat garis tanam yang sesuai dengan anjuran dari petani.
34
Pada subsistem on-farm, permasalahan yang sangat merugikan petani adalah serangan hama seperti tikus, keong mas, burung, kupu-kupu, kepik, penggerek batang, serta wereng. Hama tikus dan penggerek batang lebih banyak dikeluhkan oleh petani karena jumlahnya yang banyak. Petani hanya menerapkan beberapa perangkap tikus untuk bisa mengurangi hama tikus. Banyaknya hama seperti penggerek batang membuat sebagian petani harus menyemprot lahan sawah setiap minggu untuk satu musim tanam. Permasalahan lain adalah kondisi saluran air yang banyak mengalami kerusakan, penyempitan, serta pendangkalan. Selain itu, beberapa petani mengeluhkan kondisi air yang kotor tercemar oleh banyak sampah. Pengelolaan air yang belum optimal mempengaruhi kesuburan dan menurunnya produktivitas lahan. Permasalahan selanjutnya adalah sewa traktor dan sewa mesin perontok. Biaya sewa traktor mengalami peningkatan pada musim sebelumnya Rp 700 000/ha menjadi Rp 800 000/ha. Peningkatan biaya sewa ini karena adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Permasalahan pada sewa mesin perontok adalah beberapa petani melakukan perontokan pada waktu yang tidak sesuai dengan yang diinginkan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pekerja sewa mesin perontok yang ada di Desa Kalibuaya. Pada sub sistem off-farm, permasalahan yang pertama adalah penjualan hasil panen tidak adanya jaminan harga yang menguntungkan petani walaupun pemerintah sudah menentukan harga dasar gabah. Posisi tawar petani masih lemah ketika berhadapan dengan pembeli sehingga yang menentukan harga adalah pembeli. Permasalahan kedua adalah kehadiran anggota kelompok tani pada waktu kegiatan pertemuan, khususnya petani program SLPTT masih kurang. Hal ini akan mempengaruhi informasi yang disampaikan oleh pihak penyuluh kepada setiap petani sehingga masih ada beberapa petani program SLPTT yang tidak menerapkan anjuran program. Permasalah ketiga adalah koperasi unit desa (KUD) serta koperasi kelompok tani (KKT) yang sudah tidak bergerak dalam menjalankan perannya untuk membantu perekonomian di Desa Kalibuaya. Permasalahan terakhir adalah tidak adanya keinginan petani untuk mengadakan kemitraan dengan pihak perbankan atau swasta karena petani masih merasakan kesulitan dalam hal memenuhi persyaratan untuk mengakses permodalan dari pihak bank.
EVALUASI PENERAPAN KOMPONEN TEKNOLOGI PETANI PROGRAM SLPTT DAN NON SLPTT DI DESA KALIBUAYA
Mekanisme Pelaksanaan Program SLPTT Padi di Desa Kalibuaya Program SLPTT di Desa Kalibuaya pertama kali dilaksanakan pada tahun 2008 yaitu musim penghujan periode Desember 2007- Maret 2008. Selama satu tahun pertama alokasi luas lahan SLPTT di Desa Kalibuaya berada pada tahap pengembangan, namun setelah satu tahun tersebut hingga saat ini alokasi luas lahan sudah berada pada tahap pemantapan. Pelaksanaan SLPTT di Desa Kalibuaya dilakukan oleh petani SLPTT model dan SLPTT reguler. Petani SLPTT model adalah petani yang mendapatkan program pelatihan dan bantuan input seperti
35
subsidi benih, pupuk serta pemberian sarana produksi pertanian. Petani SLPTT reguler adalah petani yang mendapatkan program pelatihan berupa pemberian materi dan praktek langsung di lapang tanpa adanya pemberian bantuan input dan sarana produksi pertanian. Pihak pendamping petani selama program berjalan adalah penyuluh BP3K (Balai Penyuluh Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan) tingkat Kecamatan Telagasari, dimana setiap penyuluh mendampingi satu desa. Selama program SLPTT berjalan selalu diadakan pertemuan di setiap musim tanam dengan tujuan memperlancar pemberian materi dan praktek kepada petani. Berdasarkan peraturan pelaksanaan SLPTT 2014, jumlah pertemuan harus dilaksanakan sebanyak 8 kali dalam satu musim tanam. Namun, fakta yang terjadi pertemuan hanya dilakukan selama empat kali. Keputusan melakukan empat kali pertemuan tersebut sesuai dengan hasil kesepakatan antara kelompok tani dan penyuluh. Setiap pertemuan harus dihadiri oleh semua anggota kelompok tani SLPTT, penyuluh, dan pendampingan dari kepala BP3K dan UPTD Kecamatan Telagasari. Pertemuan pertama dilakukan sebelum kegiatan penanaman. Materi pertemuan pertama adalah penentuan lokasi, penentuan rencana tanam, anjuran sistem tanam legowo 2, serta pemberian praktek pembuatan obat tanaman. Pertemuan kedua dilakukan pada saat 40 hari setelah tanam dengan melakukan pengamatan langsung oleh petani dan penyuluh di lapangan. Materi pertemuan kedua adalah untuk mengetahui tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah rumpun, serta serangan hama. Pertemuan ketiga dilakukan pada saat 75 hari setelah tanam dengan melakukan pengamatan langsung oleh petani dan penyuluh di lapangan. Materi pertemuan ketiga adalah untuk mengetahui perkembangan di lapangan yakni mengenai jumlah anakan produktif, jumlah malai, dan serangan hama. Pertemuan keempat adalah pertemuan akhir dilakukan pada saat setelah kegiatan panen dilakukan oleh petani. Pertemuan dilakukan dengan mengadakan rapat evaluasi program antara penyuluh dan kelompok tani untuk mengetahui berapa produksi yang dihasilkan.
Penerapan Komponen Teknologi Program SLPTT di Desa Kalibuaya Pada tahun 2014 di Desa Kalibuaya terdapat 16 kelompok tani dengan luas lahan seluruhnya adalah 488 hektar. Jumlah kelompok tani yang mengikuti program SLPTT sebanyak lima kelompok tani, yakni Sri Tani, Karyatani, Mekar Jaya, Mekarsakti, dan Lugina. Luas lahan sawah yang digunakan dalam program SLPTT di Desa Kalibuaya terdiri dari 187.5 hektar. Lahan sawah milik ketua kelompok tani SLPTT dijadikan sebagai lahan percontohan atau Laboratorium Lapangan (LL). Pada penelitian ini, kelompok tani yang dijadikan sebagai objek penelitian terdiri dari 3 kelompok tani SLPTT dan 3 kelompok tani non SLPTT. Pemilihan kelompok tani SLPTT berdasarkan pada kriteria luasan lahan yang dimiliki yakni Sri Tani (29 ha), Mekar Jaya (28 ha), dan Lugina (39.9 ha). Kelompok tani non SLPTT yang digunakan adalah Benong 1 (30 ha), Benong 2 (23 ha), dan Jayasari 2 (18.9 ha).
36
Penerapan komponen SLPTT terdiri dari teknologi dasar dan teknologi pilihan. Teknologi dasar terdiri dari Varietas Unggul Baru (VUB) inbrida atau hibrida, benih bermutu dan berlabel biru, pemberian bahan organik (jerami atau kompos), pengaturan populasi tanaman secara optimum, pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah, serta pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) dengan pendekatan PHT (Pengendalian Hama Terpadu). Komponen teknologi pilihan terdiri dari pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam, penggunaan bibit muda (< 21 hari), tanam bibit 1 – 3 tangkal per lubang, pengaturan tanam (jajar legowo 2:1 atau 4:1), pengairan secara efektif dan efisien, penyiangan dengan landak atau gasrok, serta panen tepat waktu dan gabah segera dirontok. Beberapa komponen yang digunakan akan disesuaikan oleh pihak BP3K, sesuai dengan wilayah di Desa Kalibuaya. Pada pelaksanaan komponen teknologi program SLPTT musim tanam kering II, tidak semua komponen dapat diterapkan oleh petani karena berbagai kondisi. Berikut ini disajikan evaluasi mengenai penerapan komponen teknologi SLPTT.
a. Komponen Teknologi Dasar 1. Varietas Unggul Baru (VUB) Varietas benih yang dianjurkan pada musim kering II di Desa Kalibuaya adalah varietas unggul baru (VUB) Mekongga. Pemilihan varietas ini merupakan kebijakan dari Sang Hiang Sri (SHS) yang juga disepakati oleh petani program SLPTT. Harga varietas Mekongga di beberapa kios pertanian Desa Kalibuaya adalah Rp 10 000 per kg. Sebagian besar petani SLPTT mengikuti anjuran penggunaan Mekongga, namun ada beberapa petani memilih varietas lain seperti Ciherang dengan harga Rp 12 000 per kg. Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa secara umum petani di Desa Kalibuaya sudah menggunakan varietas unggul baru (VUB) karena bukan merupakan hal yang asing bagi petani. Semua petani program SLPTT yakni 30 orang (100 persen) telah menggunakan benih VUB. Petani non SLPTT yang telah menggunakan benih VUB sebanyak 29 orang (96.67 perseng), sedangkan 1 orang (3.33 persen) memilih untuk mencoba varietas lain yang yakni varietas Sertani asal Lampung. Tabel 10. Sebaran petani berdasarkan penggunaan benih Varietas Unggul Baru padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014. Komponen Petani SLPTT Petani Non SLPTT Penggunaan Benih Jumlah Persentase Jumlah Persentase VUB (Orang) (%) (Orang) (%) Menggunakan benih 30 100 29 96.67 VUB Tidak menggunakan 0 0.00 1 3.33 benih VUB Total 30 100 30 100
37
2. Benih bermutu dan berlabel biru Pelaksanaan komponen benih yang dianjurkan pada program SLPTT di Desa Kalibuaya adalah benih bermutu, bersih, sehat, dan berlabel biru. Tujuan dari penggunaan benih bermutu adalah untuk menghasilkan bibit yang sehat dengan akar yang banyak, menghasilkan perkecambahan dan pertumbuhan seragam, tumbuh lebih cepat, dan berpotensi memiliki hasil yang tinggi serta berkualitas baik. Komponen benih label biru sebaiknya digunakan untuk satu kali musim tanam. Namun. sebagian petani program SLPTT dan non SLPTT menggunakan benih dari hasil panen musim sebelumnya. Berdasarkan anjuran dari program SLPTT di Desa Kalibuaya diharapkan petani untuk tidak menggunakan benih dari hasil panen sebelumnya karena benih tersebut akan berbeda kualitas dengan benih baru yang berlabel biru. Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa sebagian besar petani di Desa Kalibuaya telah menggunakan benih berlabel biru dalam satu musim tanam. Petani SLPTT sebanyak 22 orang (73.33 persen) telah menggunakan benih label biru setiap musim tanam dan 8 orang (26.67 persen) mencampur benih baru dan benih hasil panen. Petani non SLPTT sebanyak 20 orang (66.67 persen) menggunakan benih label biru setiap musim tanam dan 10 orang (33.33 persen) mencampur benih baru dan benih hasil panen. Salah satu alasan petani menggunakan benih label biru setiap satu musim tanam adalah untuk menghindari perbedaan pertumbuhan ketika benih ditanam, sedangkan alasan petani mencampur benih dari hasil panen sebelumnya adalah tidak ingin mengeluarkan biaya tambahan. Harga benih Mekongga memang mengalami peningkatan dibandingkan musim tanam sebelumnya, tetapi kebutuhan benih di Desa Kalibuaya tersedia. Pembelian benih label biru khususnya varietas Mekongga dan Ciherang dapat dilakukan di beberapa kios Desa Kalibuaya. Tabel 11. Sebaran petani berdasarkan penggunaan benih berlabel biru padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014. Komponen Benih Petani SLPTT Petani Non SLPTT Bermutu dan Jumlah Persentase Jumlah Persentase Berlabel (Orang) (%) (Orang) (%) Menggunakan benih 22 73.33 20 66.67 label biru setiap musim tanam. Mencapur benih 8 26.67 10 33.33 baru dan hasil panen sebelumnya. Menggunakan 0 0.00 0 0.00 semua benih dari hasil panen sebelumnya. Total 30 100 30 100 3. Pemberian bahan organik (jerami atau kompos) Program SLPTT padi di Desa Kalibuaya memberikan penekanan bagi petani untuk bisa menggunakan pupuk organik atau melakukan pengembalian jerami sisa hasil panen ke lahan sawah. Pupuk organik yang dapat digunakan dapat
38
berupa pupuk kompos, pupuk kandang, dan pupuk organik berformula yang dijual di kios pertanian. Dosis penggunaan pupuk organik yang dianjurkan adalah sebanyak 2 ton per hektar dengan harapan dapat meningkatkan kesuburan tanah. Selain itu, adanya anjuran bagi petani untuk memanfaatkan jerami yang berasal dari panen musim sebelumnya. Jerami yang telah dibusukkan akan menjadi pupuk organik sehingga dapat juga meningkatkan kesuburan tanah. Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa petani SLPTT memiliki tingkat kesadaran lebih tinggi dalam menggunakan pupuk organik dan memanfaatkan jerami dibandingkan dengan petani non SLPTT. Petani SLPTT yang telah menerapkan komponen ini sebanyak 16 orang (53.33 persen), sedangkan 14 orang (46.67) masih belum ada keinginan untuk menggunakan pupuk organik atau memanfaatkan jerami ke sawah. Petani non SLPTT yang telah menerapkan komponen ini hanya sebanyak 14 orang (46.67 persen), sedangkan 16 orang (53.33 persen) masih belum ada keinginan untuk menggunakan pupuk organik atau memanfaatkan jerami ke sawah. Sebagian besar petani tidak menggunakan pupuk organik karena menurut petani hanya dengan memberikan pupuk inorganic dapat meningkaftkan kesuburan tanah. Petani dengan tingkat kesadaran yang rendah akan manfaat jerami untuk kesuburan lahan, melakukan pembakaran jerami, menggunakan jerami untuk pakan ternak, ataupun memberikan jerami kepada orang lain. Tabel 12. Sebaran petani berdasarkan penggunaan pupuk dan jerami padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014. Komponen Petani SLPTT Petani Non SLPTT penggunaan pupuk Jumlah Persentase Jumlah Persentase dan jerami (Orang) (%) (Orang) (%) Menggunakan 16 53.33 14 46.67 pupuk organik dan pengembalian jerami ke sawah Tidak menggunakan 14 46.67 16 53.33 pupuk organik dan pengembalian jerami ke sawah Total 30 100 30 100 4. Pengaturan populasi tanam secara optimum Pengaturan populasi tanam dapat dicapai secara optimum apabila petani program SLPTT melaksanakan beberapa hal yang dianjurkan oleh program SLPTT 2014. Misalnya mengatur jarak tanam jajar legowo 2:1 dengan kriteria ukuran 50 cm x 25 cm x 12.5 cm; 50 cm x 25 cm x 15 cm; atau 40 cm x 25 cm x 15 cm. Menurut penyuluh di Desa Kalibuaya, petani yang mengatur jarak tanam dengan legowo 2:1 umumnya menggunakan kriteria ukuran 50 cm x 25 cm x 12.5 cm. Pada saat kegiatan pengukuran jarak tanam, petani harus mengontrol para pekerja agar pekerjaan yang dilakukan tepat. Hal itu dilakukan karena tidak banyak pekerja yang ahli dalam hal pengukuran jarak tanam legowo 2:1 yang membutuhkan waktu kerja lebih lama. Menurut penyuluh, pada musim kering II ini petani program SLPTT
39
yang menerapkan jajar legowo 2:1 menghasilkan populasi tanam sekitar 200 000/ha. Penyuluh akan mengetahui berapa populasi tanam yang dihasilkan oleh petani ketika adanya pertemuan 2 dan pertemuan 3 dengan melakukan pengamatan di lapangan. Untuk mencapai populasi yang dinginkan tidak hanya dibutuhkan jarak tanam yang tepat tetapi perlu memperhatikan faktor lainnya. Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh petani untuk menghasilkan jumlah populasi tanam secara optimum adalah kesuburan tanah, ketersediaan air, dan intensitas cahaya matahari. 5. Pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah Program SLPTT padi di Desa Kalibuaya memberikan penekanan bagi petani untuk bisa melakukan pemupukan sesuai dengan anjuran penyuluh, yakni sebanyak 3 kali. Berikut ini adalah ketentuan pemupukan program SLPTT di Desa Kalibuaya: I. Pemupukan I adalah pemupukan dasar NPK atau pemupukan pertama sebelum tanaman berumur 14 hari. Selain itu, adanya anjuran menggunakan pupuk organik sebanyak 2 ton per hektar. II. Pemupukan II adalah pemupukan susulan pertama ketika padi berumur 23-28 hari setelah tanam. III. Pemupukan III adalah pemupukan susulan kedua ketika padi berumur 38-42 hari setelah tanam. Dosis pupuk sesuai dengan rekomendasi analisis status hara tanah dengan menggunakan Bagan Warna Daun (BWD) untuk menentukan pemupukan berikutnya seperti urea. Ketentuannya, jika lebih dari 5 dari 10 daun yang diamati memiliki warna dalam batas kritis atau dengan nilai rata-rata kurang dari 4.0, maka tanaman harus segera diberi pupuk. Pemberian pupuk urea sebanyak 50 – 75 kg/ha pada musim hasil rendah. Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat bahwa pemupukan dengan anjuran seperti ini tidak banyak dilakukan oleh petani di Desa Kalibuaya. Khususnya petani program SLPTT yang telah menerapkan komponen ini hanya sebanyak 13 orang (43.33 persen) dan 17 orang (56.67 persen) melakukan pemupukan berdasarkan keinginan sendiri. Petani non SLPTT yang melakukan komponen ini sebanyak 7 orang (23.33 persen) dan 23 orang (76.67 persen) melakukan pemupukan berdasarkan keinginan sendiri. Pada penelitian ini, meskipun petani telah melakukan pemupukan sebanyak 3 kali, sebagian besar petani program SLPTT tidak mengikuti waktu pempukan dan dosis pupuk yang dianjurkan. Salah satu contoh waktu pemupukan pertama yang dianjurkan adalah 14 hari, sedangkan waktu yang dilakukan petani SLPTT beragam yakni 10 – 15 hari. Kondisi waktu pemupukan yang beragam ini dialami juga oleh petani non SLPTT. Permasalahan ini terjadi karena adanya kelangkaan pupuk di kios pertanian dan pasar sehingga petani sulit untuk mendapatkan pupuk pada awal musim kering II. Selain itu, harga pupuk yang mahal membuat petani harus mengurangi penggunaan pupuk seperti yang biasa dilakukan. Petani harus mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk musim kering II karena terjadinya kenaikan harga pupuk di pasaran. Tabel 13. Sebaran petani berdasarkan penggunaan pupuk padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014.
40
Komponen Penggunaan Pupuk Pemupukan 3 kali serta pemberian pupuk dasar dan organik Tidak melakukan pemupukan 3 kali serta tidak ada pupuk dasar dan organik Total
Petani SLPTT Jumlah Persentase (Orang) (%) 13 43.33
Petani Non SLPTT Jumlah Persentase (Orang) (%) 7 23.33
17
56.67
23
76.67
30
100
30
100
Kondisi lain yang tidak banyak dilakukan oleh petani di Desa Kalibuaya adalah penggunaan pupuk organik. Jumlah pupuk organik yang digunakan lebih sedikit dari anjuran yang diberikan 2 000 kg/ha, yakni petani SLPTT sebanyak 700.10 kg/hektar dan petani non SLPTT sebanyak 346.98 kg /hektar. 6. Pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) dengan pendekatan PHT (Pengendalian Hama Terpadu) Hama dan penyakit merupakan salah satu hal permasalahan bagi petani karena dapat mengurangi hasil dan bahkan menyebabkan gagal panen. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil panen yang optimum, perlu dilakukan usaha pengendalian hama dan penyakit. Pengendalian Hama Terpadu (HPT) merupakan komponen pengendalian yang memperhitungkan faktor ekologi agar pengendalian yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian dan tidak menggangu keseimbangan alami. Hama dan penyakit utama yang banyak dipermasalahkan adalah hama tikus, keong mas, burung, kupu-kupu, kepik, penggerek batang, serta wereng. Penyakit yang banyak menyerang tanaman padi adalah penyakit pucuk daun menguning dan penyakit daun merah. Program SLPTT padi di Desa Kalibuaya memberikan penekanan kepada petani agar menggunakan pestisida yang dibuat secara alami atau pestisida organik formula. Sebagian besar pestisida bahan alami yang digunakan terbuat dari kotoran ternak kambing atau sapi. Sebagian besar kotoran ternak diperoleh petani dari hewan ternak yang dimiliki atau pemberian gratis dari peternak yang ada di desa. Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa tingkat kesadaran petani program SLPTT menggunakan pestisida organik lebih baik dibandingkan dengan petani non SLPTT. Petani program SLPTT yang menggunakan pestisida organik sebanyak 18 orang (60 persen), sedangkan yang tidak menggunakan sebanyak 12 orang (40.00 persen). Kesadaran petani non SLPTT terhadap penggunaan pestisida organik jauh lebih rendah karena hanya 12 orang (40.00 persen) yang menggunakan, sedangkan 20 orang (60.00 persen) tidak menggunakan. Alasan petani SLPTT dan non SLPTT tidak menggunakan pestisida organik adalah tidak mengetahui cara pembuatan bahan alami yang ampuh untuk hama. Selain itu, masih kurangnya pengetahuan petani mengenai jenis-jenis obat formula organik yang dijual di pasaran.
41
Tabel 14. Sebaran petani berdasarkan penggunaan pestisida organik padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014. Komponen Petani SLPTT Petani Non SLPTT Penggunaan Jumlah Persentase Jumlah Persentase Pestisida Organik (Orang) (%) (Orang) (%) Melakukan 18 60.00 12 40.00 penyemprotan hama dengan pestisida organik Tidak melakukan 12 40.00 18 60.00 penyemprotan hama dengan pestisida organik Total 30 100 30 100 Selain anjuran penggunaan pestisida organik, petani program SLPTT juga diberikan penekanan untuk melakukan penyeprotan sesuai dengan kebutuhan dan tepat sasaran. Beberapa hal yang harus diperhatikan petani program SLPTT adalah melakukan pengawasan populasi hama dan pengamatan kerusakan tanaman sehingga jumlah penyemprotan dapat ditentukan. Tabel 15. Sebaran petani berdasarkan frekuensi penyemprotan pestisida padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014. Komponen Petani SLPTT Petani Non SLPTT Frekuensi Jumlah Persentase Jumlah Persentase Penyemprotan (Orang) (%) (Orang) (%) Penyemprotan 0-2 kali Penyemprotan 3-5 kali Penyemprotan 6-9 kali Penyemprotan 10-12 kali Penyemprotan >12 kali Total
0 3 19 8
0.00 10.00 63.33 26.67
4 7 9 6
13.33 23.33 30.00 20.00
0
0.00
4
13.33
30
100
30
100
Berdasarkan Tabel 15 dapat dilihat bahwa sebanyak 19 orang (63.33 persen) petani SLPTT lebih banyak melakukan penyemprotan 6-9 kali dalam satu musim tanam. Berdasarkan persentase Jumlah penyemprotan yang dilakukan petani non SLPTT beragam dimulai dari penyemprotan 0-2 kali hingga penyemprotan lebih dari 12 kali. Hal ini menunjukkan bahwa petani lebih memilih untuk mengatasi hama dengan cara instan, bahkan ada beberapa petani yang harus melakukan penyemprotan setiap minggunya. Komponen teknologi program SLPTT selanjutnya adalah komponen teknologi pilihan. Berikut ini adalah komponen teknologi pilihan yang dilakukan petani program SLPTT di Desa Kalibuaya: b. Komponen Teknologi Pilihan 1. Pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam
42
Pengolahan tanah sesuai musim merupakan anjuran yang diberikan kepada petani SLPTT agar dapat mengoptimumkan produktivitas tanaman padi. Misalnya pemilihan varietas benih Mekongga yang disesuaikan pada musim kering II atau musim kemarau II. Mekongga memiliki beberapa keunggulan diantaranya yaitu cocok untuk digunakan di dua musim berbeda dan varietas ini memiliki resistensi yang cukup baik terhadap serangan hama dan penyakit seperti serangan hama wereng. Menurut petani Desa Kalibuaya hama wereng akan selalu meningkat populasinya ketika musim kemarau sehingga batang daun akan kering dan berwarna cokelat. Sebagian petani program SLPTT yang menggunakan varietas Mekongga mengakui keunggulan benih ini dibandingkan dengan benih Ciherang, meskipun banyaknya serangan hama. Petani program SLPTT yang memilih varietas benih Mekongga pada musim kering II sebanyak 27 orang (90 persen), sedangkan petani non SLPTT sebanyak 14 orang (46.67 persen). Pola tanam yang dianjurkan di Desa Kalibuaya yaitu dalam hal waktu tanam yang dilakukan oleh petani program SLPTT terutama dalam satu kelompok tani harus serempak. Pada umumnya petani program SLPTT dan non SLPTT melakukan waktu tanam yang serentak (10 - 18 hari) berdasarkan kesepakatan dari setiap anggota. Waktu tanam serentak bertujuan agar mencegah resiko serangan hama yang berpindah dari satu lahan ke lahan lain yang saling berdekatan. 2. Penggunaan bibit muda (bibit < 21 hari) Penanaman bibit muda dan tunggal berdasarkan anjuran program SLPTT di Desa Kalibuaya adalah bibit padi berumur 10-21 hari setelah sebar (HSS). Penggunaan bibit muda akan menghasilkan anakan yang lebih baik dibandingkan dengan bibit tua dan batas umur bibit muda berdasarkan komponen SLPTT adalah 21 hari. Berdasarkan Tabel 16 dapat dilihat bahwa petani program SLPTT banyak mengikuti anjuran komponen penggunaan bibit muda. Petani non SLPTT juga banyak yang menggunakan bibit muda karena sudah mengetahui manfaatnya. Petani program SLPTT yang menggunakan bibit muda < 21 hari sebanyak 26 orang (86.67 persen) terdiri dari tiga bagian kelompok umur bibit, sedangkan petani non SLPTT sebanyak 25 orang (83.33 persen). Petani lain yang menggunakan bibit > 21 hari sebanyak 4 orang (13.33 persen) petani program SLPTT dan 5 orang (16.67 persen). Umumnya petani yang tidak sama dengan komponen ini menggunakan bibit muda berumur 22 – 25 hari hari setelah sebar (HSS), mereka berpendapat akan ada serangan hama keong jika menggunakan bibit muda. Tabel 16. Sebaran petani berdasarkan penggunaan bibit muda padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014. Komponen Petani SLPTT Petani Non SLPTT Penggunaan Bibit Jumlah Persentase Jumlah Persentase Muda (Orang) (%) (Orang) (%) Bibit 1-7 hari 0 0.00 1 3.33 Bibit 8-14 hari 3 10.00 6 20.00 Bibit 15-21 hari 23 76.67 18 60.00 Bibit > 21 hari 4 13.33 5 16.67 Total 30 100 30 100
43
3. Tanam bibit 1 – 3 tangkal per lubang Tanam bibit berdasarkan anjuran program SLPTT di Desa Kalibuaya adalah 1 – 2 tangkal per lubang. Anjuran program tanam bibit 1 – 2 tangkal per lubang bertujuan agar tanaman padi mendapatkan pupuk, air, unsur hara tanah serta intensitas cahaya matahari yang sesuai. Selain itu, lebih banyak jumlah bibit per lubang maka akan lebih tinggi kompetisi antar bibit. Berdasarkan Tabel 17 dapat dilihat bahwa di Desa Kalibuaya jumlah petani program SLPTT yang menerapkan anjuran komponen ini lebih sedikit dibandingkan dengan petani non SLPTT. Petani program SLPTT yang menerapkan tanam bibit 1 – 2 per lubang sebanyak 16 orang (53.33 persen), sedangkan petani non SLPTT sebanyak 18 orang (60.00 persen). Terdapat beberapa petani SLPTT sebanyak 14 orang (46.67 persen) dan non SLPTT sebanyak 12 orang (40.00 persen) memilih untuk menanam bibit 3 – 4 tangkal per lubang. Petani tersebut berpendapat apabila satu lubang hanya ditanami bibit dengan jumlah sedikit, biasanya akan ada bibit yang habis dimakan oleh hama. Apabila bibit habis dalam satu lubang, maka petani harus melakukan pekerjaan kembali untuk menanam dengan bibit baru. Tabel 17. Sebaran petani berdasarkan jumlah bibit yang ditanam per lubang padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014. Komponen Jumlah Petani SLPTT Petani Non SLPTT Tanam Bibit Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Orang) (%) (Orang) (%) 1 tangkal 3 10.00 5 15.67 2 tangkal 13 43.33 13 43.33 3 tangkal 8 26.67 11 36.67 > 3 tangkal 6 20.00 1 3.33 Total 30 100 30 100 4. Pengaturan tanam (jajar legowo 2:1 atau 4:1) Pengaturan tanam padi berdasarkan anjuran program SLPTT di Desa Kalibuaya adalah jajar legowo 2:1. Anjuran aturan tanam legowo 2:1 memiliki keunggulan dibandingkan aturan tanam lainnya, seperti pertumbuhan padi lebih merata, memudahkan pemeliharaan, populasi tanaman per satuan luas meningkat, pemupukan lebih efektif dan efisien, intensitas sinar matahari lebih baik, serta produksi padi lebih tinggi. Penerapan legowo 2:1 sangat diharapkan dapat dilakukan oleh petani khususnya petani program SLPTT yang umumnya masih menerapkan aturan tanam tegel atau legowo 8:1. Bahkan setiap musim tanam penyuluh BP3K dan UPTD Kecamatan Telagasari selalu memberikan sosialisasi kepada petani mengenai manfaat aturan tanam legowo 2:1. Tujuan sosialisasi jajar legowo 2:1 bagi petani program SLPTT adalah agar petani memahami manfaat legowo 2:1 serta petani di setiap kelompok dapat menerapkannya minimal pada lahan yang dijadikan LL (Laboratorium Lapang). Tabel 18. Sebaran petani berdasarkan aturan tanam petani padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014. Petani SLPTT Petani Non SLPTT
44
Komponen Aturan Tanam Jajar legowo 2:1 Jajar legowo 4:1 Jajar legowo 8:1 Jajar legowo 10:1 Tegel Total
Jumlah (Orang) 12 4 4 3 6 30
Persentase (%) 43.33 13.33 13.33 10.00 20.00 100
Jumlah (Orang) 0 4 12 5 9 30
Persentase (%) 0.00 13.33 40.00 16.67 30.00 100
Berdasarkan Tabel 18 dapat dilihat bahwa di Desa Kalibuaya petani yang menerapkan aturan tanam legowo 2:1 hanya dilakukan oleh petani program SLPTT yakni sebanyak 12 orang (43.33 persen). Namun, jumlah petani program SLPTT dengan aturan tanam legowo 2:1 masih jauh dari yang diharapkan karena masih banyak petani memilih untuk menerapkan aturan tanam lainnya. Aturan tanam lainnya yang banyak dilakukan oleh petani program SLPTT adalah tegel sebanyak 6 orang (20.00 persen), legowo 4:1 sebanyak 4 orang (13.33 persen), legowo 8:1 sebanyak 4 orang (13.33 persen), serta legowo 10:1 (10.00 persen). Petani non SLPTT umumnya lebih banyak menerapkan aturan tanam legowo 8:1 sebanyak 12 orang (40.00 persen) serta tegel sebanyak 9 orang (30.00 persen). Beberapa hal yang menyebabkan petani di Desa Kalibuaya tidak melakukan aturan tanam legowo 2:1 adalah pekerja yang dibutuhkan lebih banyak sehingga upah kerja borongan tanam legowo 2:1 lebih mahal Rp 100 000 per hektar dibandingkan upah tanam lainnya, dibutuhkan keahlian bagi petani dan pekerja ketika mengukur jarak tanamnya, serta dibutuhkan alat garis tanam (caplak) yang berbeda sehingga tidak banyak dimiliki oleh petani atau pekerja. Untuk mengubah kebiasaan yang ada menjadi anjuran program SLPTT penyuluh masih mengalami kesulitan. 5. Pengairan secara efektif dan efisien Pengairan secara efektif dan efisien berdasarkan komponen program SLPTT adalah pengairan berselang yang bertujuan untuk menekan keracunan unsur mikro, seperti besi (Fe) dan memberi kesempatan kepada akar untuk berkembang lebih baik. Pengairan berselang adalah pengaturan kondisi lahan dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian. Berikut ini cara pengairan berselang: Sawah diberikan air sedalam 5 cm sampai menjelang pemberian pupuk dasar (7-10 HST). Waktu pemberian pupuk air lahan dalam kondisi macakmacak. Satu hari setelah pemberian pupuk dasar, sawah diberikan air kembali sedalam 5 cm kemudian dibiarkan mengering selama 5 – 6 hari. Setelah permukaan retak, sawah langsung diberikan air kembali sedalam 5 cm. Lakukan dua kegiatan di atas sampai tanaman masuk stadia berbunga. Pada saat stadia berbunga sawah diberikan air terus menerus setinggi 5 cm. Mengeringkan sawah sekitar 2 minggu menjelang panen. Komponen pengairan berselang tidak ditekankan oleh penyuluh kepada petani program SLPTT di Desa Kalibuaya. Namun, setiap pertemuan dalam satu musim penyuluh selalu memberikan pengarahan kepada petani untuk bisa menerapkan pengairan berselang. Menurut penyuluh Desa Kalibuaya, petani program SLPTT masih belum bisa menerapkan komponen pengairan berselang
45
secara baik seperti kedalaman air, waktu pengairan, serta tahapan kegiatannya. Pengairan yang banyak dilakukan oleh petani program SLPTT dan non SLPTT adalah pengairan secara terus menerus yang dilakukan dengan memberikan air kepada tanaman dan dibiarkan tergenang ketika beberapa hari setelah tanam (3-15 HST) hingga beberapa hari menjelang panen (3-5 hari sekali). Pengairan dengan cara ini dilakukan dengan mempertimbangkan waktu pemupukan, menekan pertumbuhan gulma, ketika ada serangan hama, serta menghemat tenaga untuk pengolahan tanah. Terdapat beberapa masalah dalam kegiatan pengairan seperti banyaknya eceng gondok dan sampah di saluran irigasi. Selain membuat saluran irigasi tersendat, sampah juga menimbulkan bau busuk sehingga petani merasa terganggu ketika melakukan pengairan di sawah.
6. Penyiangan dengan landak atau gasrok Kegiatan penyiangan berdasarkan komponen program SLPTT adalah dengan menggunakan alat gasrok yang bertujuan untuk menghemat tenaga kerja dan biaya serta dapat memperbaiki perakaran tanaman padi. Kondisi lahan yang sesuai untuk penggunaan gasrok adalah kondisi tanah keras atau berat serta kondisi tanah yang kering. Penyiangan dengan gasrok tidak ditekankan oleh penyuluh kepada petani program SLPTT di Desa Kalibuaya karena umumnya petani atau pekerja tidak mempunyai alat tersebut dan tidak banyak pekerja yang bisa menggunakan alat tersebut dengan baik. Selain itu, lebih banyak petani lebih memilih menggunakan obat herbisida untuk mempermudah kegiatan penyiangan. Berdasarkan Tabel 19 dapat dilihat bahwa di Desa Kalibuaya petani yang banyak menggunakan alat gasrok untuk penyiangan adalah petani non SLPTT. Petani SLPTT yang menggunakan alat gasrok hanya sebanyak 4 orang (13.33 persen), sedangkan petani non SLPTT sebanyak 11 orang (36.67 persen). Sebagian besar alat gasrok hanya dimiliki oleh para pekerja ceblok, sedangkan petani tidak. Petani SLPTT dan non SLPTT lebih banyak memberikan pekerjaan kepada pekerja ceblok untuk melakukan penyiangan dengan tangan dan menggunakan herbisida. Petani program SLPTT yang melakukan penyiangan dengan tangan sebanyak 26 orang (86.67 persen), sedangkan petani non SLPTT sebanyak 19 orang (63.33 persen). Petani yang melakukan penyiangan dengan tangan merupakan petani yang memiliki kondisi tanah tidak keras dan kering. Tabel 19. Sebaran petani berdasarkan penggunaan alat gasrok untuk melakukan penyiangan padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014. Komponen Petani SLPTT Petani Non SLPTT Penggunaan Alat Jumlah Persentase Jumlah Persentase Gasrok (Orang) (%) (Orang) (%) Penyiangan gulma 4 13.33 11 36.67 dengan gasrok Penyiangan gulma 26 86.67 19 63.33 dengan tangan Total 30 100 30 100
46
7. Panen tepat waktu dan gabah segera dirontok Ketepatan waktu panen padi sangat menentukan kualitas butir padi sehingga petani program SLPTT di Desa Kalibuaya diberikan penekanan untuk ketepatan waktu panen. Panen terlalu cepat akan mengakibatkan sebagian biji padi tidak berisi atau akan rusak saat digiling, sedangkan panen terlambat akan mengurangi hasil karena butir padi mudah lepas dari malai dan tercecer di sawah. Menurut penyuluh di Desa Kalibuaya waktu panen untuk tanaman padi varietas Mekongga dan Ciherang adalah 105-110 HST. Berdasarkan Tabel 20 dapat dilihat bahwa petani di Desa Kalibuaya yang banyak menanam padi varietas Mekongga dan Ciherang sudah melakukan waktu panen sesuai dengan waktunya yakni 105-110 HST. Petani program SLPTT yang umumnya menanam padi Mekongga melakukan waktu panen 105-110 HST sebanyak 24 orang (80.00 persen). Petani non SLPTT yang umumnya menanam padi Ciherang melakukan waktu panen 105-110 HST sebanyak 19 orang (63.33 persen). Terdapat beberapa petani program SLPTT dan non SLPTT yang melakukan panen lebih cepat yakni 95-100 HST atau lebih lama yakni 15-120 HST. Petani padi memilih waktu panen lebih cepat dari waktu yang seharusnya beralasan bahwa padi miliknya sudah siap untuk dipanen, sedangkan waktu panen lebih lama beralasan bahwa tenaga kerja untuk panen masih ada pekerjaan di lahan petani lain. Tabel 20. Sebaran petani berdasarkan waktu panen padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014. Komponen Waktu Petani SLPTT Petani Non SLPTT Panen Padi Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Orang) (%) (Orang) (%) Waktu panen < 105 4 13.33 5 16.67 hari Waktu panen 105 – 24 80.00 19 63.33 110 hari Waktu panen > 110 2 6.67 6 20.00 hari Total 30 100 30 100 Komponen panen untuk program SLPTT selain panen tepat waktu adalah anjuran gabah untuk segera dirontok. Perontokan padi dilakukan segera setelah padi dipotong agar kualitas gabah dan beras giling lebih baik. Perontokan gabah petani di Desa Kalibuaya dengan menggunakan mesin perontok yang disewa oleh petani dengan harga Rp 170 000 – Rp 180 000/ton GKP (Gabah Kering Panen) yang dihasilkan. Di Desa Kalibuaya komponen perontokan gabah secara langsung tidak ditekankan oleh penyuluh kepada petani program SLPTT karena kondisi di mesin sewa perontok yang tidak mendukung. Tabel 21. Sebaran petani berdasarkan perontokan gabah padi program SLPTT dan non SLPTT tahun 2014. Komponen Petani SLPTT Petani Non SLPTT Perontokan Gabah Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Orang) (%) (Orang) (%)
47
Gabah dirontokan secara langsung Gabah tidak dirontokan secara langsung atau hari berikutnya Total
10
33.33
8
26.67
20
66.67
22
73.33
30
100
30
100
Berdasarkan Tabel 21 dapat dilihat bahwa petani di Desa Kalibuaya lebih banyak melakukan perontokan gabah dilakukan pada hari berikutnya. Petani program SLPTT yang melakukan perontokan gabah secara langsung sebanyak 10 orang (33.33 persen), sedangkan petani non SLPTT 8 orang (26.67 persen). Petani lebih banyak melakukan perontokan pada hari lain karena sewa mesin perontok tidak dapat dilakukan sesuai dengan waktu yang diinginkan petani. Selain itu, mesin perontok yang disewa pada saat panen akan lebih mahal Rp 100.00/ton GKP dibandingkan di hari lainnya. Petani juga beranggapan gabah yang dibiarkan selama beberapa hari tidak akan banyak mengurangi kualitas gabah. Hal ini yang menyebabkan baik petani program SLPTT maupun petani non SLPTT lebih memilih untuk melakukan perontokan gabah pada hari berikutnya. Petani program SLPTT yang melakukan perontokan gabah pada hari berikutnya sebanyak 20 orang (66.67 persen), sedangkan petani non SLPTT sebanyak 22 orang (73.33 persen).
Hasil Penerapan Program SLPTT di Desa Kalibuaya Tujuan penerapan program SLPTT di Desa Kalibuaya yang dilakukan oleh petani adalah untuk meningkatkan produktivitas, produksi, dan pendapatan petani. Selain itu program tersebut juga dimaksudkan agar kegiatan usahatani yang dilakukan memperhatikan kelestarian lingkungan melalui kegiatan pengelolaan tanaman, air, organisme pengganggu tanaman (OPT) dan iklim secara terpadu. Petani program SLPTT diharapkan dapat mengubah pola kegiatan usahatani agar dapat menerapkan beberapa komponen teknologi yang lebih bermanfaat bagi petani. Berdasarkan tingkat penerapan teknologi dasar, pada musim kering II 2014 petani program SLPTT di Desa Kalibuaya belum secara maksimal melakukan penerapan yang dianjurkan oleh penyuluh. Beberapa komponen yang perlu ditingkatkan penerapannya adalah pemberian bahan organik, anjuran pemupukan yang tepat, serta pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) dengan penyemprotan obat kimiawi. Berdasarkan tingkat penerapan komponen pilihan, pada musim kering II 2014 petani program SLPTT di Desa Kalibuaya tidak menerapkan tiga komponen yang dianjurkan yaitu pengairan secara efektif dan efisien, penyiangan dengan landak atau gasrok, serta panen tepat waktu dan gabah segera dirontok. Beberapa komponen pilihan lainnya yang telah diterapkan namun tidak dilakukan secara maksimal oleh petani program SLPTT, adalah pengaturan tanam jajar legowo 2.
48
ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI PETANI PROGRAM SLPTT DAN NON PROGRAM SLPTT DI DESA KALIBUAYA
Analisis Biaya Usahatani Petani Progam SLPTT dan Non SLPTT Analisis biaya usahatani dilakukan untuk mengetahui biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh petani program SLPTT dan non SLPTT dalam melakukan kegiatan usahatani padi. Biaya usahatani terbagi menjadi dua, yaitu biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai usahatani terdiri dari benih, pupuk organik dan anorganik, pestisida, herbisida, upah tenaga kerja luar keluarga, upah aktivitas yang dilakukan secara borongan seperti sewa traktor, biaya penanaman, biaya pengolahan tanah, sewa mesin perontok, pajak lahan, sewa lahan, serta pembelian karung. Biaya yang diperhitungkan terdiri dari tenaga kerja dalam keluarga, benih dari hasil panen musim sebelumnya, sewa lahan yang diperhitungkan, serta penyusutan peralatan. Biaya Tunai Berikut ini adalah komponen biaya tunai usahatani padi petani program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya: a. Biaya Benih Padi Pada umumnya petani di Desa Kalibuaya baik petani program SLPTT maupun non SLPTT menggunakan varietas unggul baru (VUB) jenis Mekongga dan Ciherang. Benih yang digunakan tersebut adalah benih sebar label biru atau bersertifikat yang dianjurkan untuk penggunaan satu musim tanam. Terdapat beberapa sumber bagi petani untuk memperoleh benih, yaitu kios pertanian di dalam atau di luar Desa Kalibuaya, BP3K, Kecamatan Telagasari, benih yang dijual oleh ketua kelompok tani, serta benih dari hasil panen sebelumnya. Pada musim kering II ini persedian benih cukup banyak di kios pertanian, sehingga petani tidak mengalami kesulitan untuk memperolehnya. Harga pasaran benih label biru varietas Mekongga sebesar Rp 11 000/kg, sedangkan varietas Ciherang sebesar Rp 12 000/kg. Meskipun persediaan benih banyak, akan tetapi harga benih meningkat dari musim panen sebelumnya. Misalnya harga benih label biru varietas Ciherang pada musim tanam sebelumnya hanya Rp 3 000/kg. Total penggunaan benih padi VUB berlabel biru yang digunakan oleh petani program SLPTT sebanyak 22.38 kg/ha, sedangkan petani non SLPTT sebanyak 15.35 kg/ha. Perbedaan total penggunaan benih diantara kedua kelompok tersebut karena adanya anjuran jumlah benih yang harus digunakan bagi petani program SLPTT yakni 20 kg/ha. Selain itu, banyak petani non SLPTT yang menggunakan benih dari hasil panen sebelumnya. Total biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli benih padi pada petani program SLPTT lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPTT. Total biaya benih petani program SLPTT untuk satu hektar sebesar Rp 210 810.56, sedangkan petani non SLPTT hanya sebesar Rp 173 243.38. b. Biaya pupuk organik Pupuk organik yang umum dipakai oleh petani program SLPTT dan non SLPTT adalah pupuk kandang atau kompos yang siap jadi dan dijual di kios pertanian. Pada program SLPTT pupuk organik dianjurkan sebagai komponen
49
utama dengan jumlah 2 000 kg/ha. Berdasarkan anjuran tersebut maka penggunaan pupuk organik petani program SLPTT lebih besar dibandingkan petani non SLPTT masing-masing sebanyak 700.01 kg/ha dan 364.75 kg/ha. Harga rata-rata pupuk organik di kios pertanian sebesar Rp 500/kg-Rp 800/kg. Total biaya pembelian pupuk organik petani program SLPTT untuk tiap satu hektar sebesar Rp 362 885.69, sedangkan petani non SLPTT sebesar Rp 184 808.83. Sebagian petani yang sudah menggunakan pupuk organik merasakan manfaat penggunaannya, karena dengan harga yang terjangkau petani dapat mengurangi penggunaan pupuk anorganik, lahan menjadi lebih subur sehingga berpengaruh terhadap produksi yang dihasilkan. c. Biaya pupuk anorganik Pupuk anorganik yang umumnya dipakai oleh petani program SLPTT dan non SLPTT adalah pupuk urea, NPK phonska, dan TSP. Pada musim kering II ini petani menghadapi masalah untuk memperoleh pupuk urea karena terjadi kelangkaan hampir di semua kios pertanian. Petani yang tidak cepat untuk membeli pupuk urea di awal musim maka akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan pupuk dan harganya mahal. Harga pupuk urea musim kering II sebesar Rp 2 600/kg, sedangkan musim sebelumnya hanya sebesar Rp 1 900/kg. Harga jenis pupuk NPK phonska dan TSP tidak dipermasalahkan oleh petani karena tersedia dan harganya yang tidak mengalami peningkatan, yakni masing-masing sebesar 2 300/kg dan 2 200/kg. Total penggunaan rata-rata pupuk anorganik yang dilakukan oleh petani non SLPTT lebih banyak dibandingkan dengan petani program SLPTT, yakni sebesar 460.13 kg/ha dan 414.52 kg/ha. Penggunaan pupuk anorganik yang lebih banyak membuat petani non SLPTT lebih besar mengeluarkan biaya dibandingkan dengan petani program SLPTT, yakni sebesar Rp 1 123 023.56. Hal yang menyebabkan penggunaan pupuk anorganik petani program SLPTT lebih sedikit karena sudah adanya pemberian pupuk organik. Total biaya untuk pupuk anorganik petani program SLPTT sebesar Rp 1 005 363.47. d. Obat-obatan padat Obat-obatan padat yang digunakan oleh setiap petani tidak banyak berbeda karena jenis obat padat yang dijual tidak banyak pilihan seperti obat cair. Obatobatan padat dapat diperoleh petani di beberapa kios pertanian di dalam atau di luar Desa Kalibuaya. Beberapa jenis obat padat yang banyak digunakan petani yaitu Furadan untuk menghindarkan benih padi dari cacing di tanah, Antracol untuk untuk mengendalikan penyakit daun terbakar pada tanaman padi, Ali +untuk mengendalikan gulma pada tanaman padi. Harga obat padat Antracol lebih mahal dibandingkan dengan harga obat lainnya yakni sebesar Rp 150 000/kg, sedangkan obat Furadan sebesar Rp 11 500/kg dan Ali + sebesar Rp 9 000/kg. Hanya beberapa petani yang menggunakan obat Antrakol karena harga yang mahal. Petani lain lebih banyak untuk menggunak obat Furadan. e. Obat-obatan cair Obat-obatan cair merupakan komponen input yang pasti digunakan oleh petani program SLPTT dan non SLPTT untuk merawat tanaman padi dari serangan berbagai hama dan penyakit. Setiap obat cair memiliki kegunaan dan harga yang berbeda sehingga banyak jenis obat cair yang dipilih oleh petani. Berikut ini adalah
50
berbagai jenis, kegunaan, dan harga obat cair yang digunakan oleh petani program SLPTT dan non SLPTT. Terdapat beberapa merek insektisida yang digunakan oleh petani SLPTT dan non SLPTT untuk menghadapi serangan hama yang dapat merusak tanaman padi. Berikut ini adalah merek dari insektisida yang digunakan oleh petani: 1. Starban:Mengendalikan ulat grayak dan penggerek polong, harga per liter Rp 420 000. 2. Abacel: Mengendalikan hama ulat grayak pada tanaman padi, harga per liter Rp 25 000. 3. Sidabas: Mengendalikan penyakit virus tungro dan wereng hijau, harga per liter Rp 62 500. 4. Spontan: Mengendalikan hama penggerek batang, wereng cokelat, hama putih, lalat daun, serta hama putih palsu pada tanaman padi, harga per liter Rp 63 000. 5. Decis: Insektisida non sistemik untuk membunuh hama pengerat atau tikus pada tanaman padi, harga per liter Rp 108 000. 6. Demolish: Mengendalikan hama Thrips sp, kutu daun, tungau, ulat daun, dan wereng coklat pada tanaman padi, harga per liter Rp 150 000. 7. Rizotin: Insektisida untuk mengendalikan hama wereng perusak daun pada tanaman padi, harga per liter Rp 50 000. 8. Superpam: Insektisida berbahan organik untuk mengendalikan hama perusak daun pada tanaman padi, harga per liter Rp 60 000. 9. Amezo: Insektisida untuk mengendalikan semua jenis hama perusak daun pada tanaman padi, harga per liter Rp 300 000. Insektisida merek spontan lebih banyak digunakan oleh petani program SLPTT dan non SLPTT, yakni sebanyak 1.65 liter/ha dan 1.67 liter/ha. Spontan merupaka insektisida dengan harga yang terjangkau dan sebagian besar petani sudah percaya dengan kualitasnya. Insektisida yang tidak banyak digunakan oleh petani program SLPTT adalah merek amezo sebanyak 0.03 liter/ha, sedangkan petani non SLPTT adalah merek starban sebanyak 0.09 liter/ha. Hal ini karena dua merek insektisida tersebut tidak banyak diketahui oleh petani, harga yang mahal, dan tidak banyak dijual di kios pertanian. Sebagian besar petani menggunakan fungisida ketika tanaman padi terserang penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Berikut ini adalah merek dari fungisida yang digunakan oleh petani: 1. Nustar: Fungisida untuk mencegah atau membunuh penyakit jamur pada tanaman padi, harga per liter Rp 120 000. 2. Score: Fungisida dan zat pengatur tumbuh untuk mengendalikan penyakit yang ada di dalam tanaman padi agar lebih sehat dan hijau, harga per liter Rp 95 000. Penggunaan fungisida yang dilakukan oleh petani program SLPTT hanya merek nustar dengan penggunaan yang tidak begitu banyak, yakni sebanyak 0.09 liter/ha. Petani non SLPTT menggunakan dua merek fungisida yaitu nustar dan score. Penggunaan score lebih banyak dilakukan oleh petani non SLPTT yaitu sebanyak 0.29 liter/ha, sedangkan nustar hanya sebanyak 0.01 liter/ha. Penggunaan fungisi oleh petani program SLPTT lebih sedikit dibandingkan dengan petani non SLPTT, karena tanaman padi petani program SLPTT tidak banyak diserang oleh penyakit.
51
Pada umumnya semua merek herbisida memiliki kegunaan yang sama yaitu untuk memberantas tumbuhan gulma tanpa meracuni tanaman padi. Berikut ini adalah merek dari herbisida yang digunakan oleh petani: 1. Starmen: Harga per liter Rp 60 000. 2. Amezo: Harga per liter Rp 300 000. 3. Trobos: Harga per liter Rp 125 000. 4. Round up: Harga per liter Rp 50 000. 5. Poltus: Harga per liter Rp 35 000. Penggunaan herbisida yang dilakukan oleh petani program SLPTT hanya merek trobos dan amezo, yakni sebanyak 0.42 liter/ha dan 0.03 liter/ha. Berbeda halnya dengan petani non SLPTT yang memilih untuk menggunakan beberapa merek herbisida, seperti starmen, poltus, serta round up. Total penggunaan poltus lebih banyak dibandingkan yang lainnya, yakni sebanyak 0.42 liter/ha. Beberapa petani tidak menggunakan herbisida karena akan menambah biaya yang harus dikeluarkan dan tidak ingin tanaman padi terkena racun ketika obat disemprot. f. Tenaga kerja luar keluarga (TKLK) Biaya tenaga kerja yang digolongkan dalam biaya tunai adalah tenaga kerja luar keluarga. Terdapat beberapa kegiatan usahatani padi yang membutuhkan tenaga kerja banyak sehingga petani harus mengeluarkan biaya untuk tenaga kerja. Upah yang dibayarkan kepada pekerja sesuai dengan jenis pekerjaan, jam kerja, hari kerja, dan pekerja pria atau wanita. Upah pekerja harian di Desa Kalibuaya umumnya sama dalam satu musim tanam, yakni sebesar Rp 70 000 untuk pria dan Rp 35 000 untuk wanita per hari orang kerja (HOK). Upah tersebut sudah termasuk dengan keperluan lain dari pekerja, seperti makan dan minum. Selain itu, upah pria Rp 70 000 dan upah wanita Rp 35 000 adalah upah untuk sat hari kerja dengan jumlah jam kerja selama 8 jam. Beberapa kegiatan usahatani padi yang membutuhkan pekerjaan harian yaitu pembersihan lahan sawah, pemupukan, penyemprotan, persemaian benih (kegiatan persemaian dan penaburan benih), dan pengolahan tanah (pemopokan, nampingan, dan meratakan tanah). Dalam satu hari pekerjaan usahatani dapat dilakukan selama kurang lebih 8 jam atau 4 jam, sehingga upah disesuaikan dengan jam pekerjaan. Jumlah pekerja harian setiap petani akan berbeda jumlah karena setiap petani mempunyai luas lahan yang berbeda dan saat ini jumlah pekerja harian sudah berkurang. Komponen input tenaga kerja luar keluarga merupakan salah satu komponen yang memiliki proporsi terbesar dalam biaya tunai baik untuk petani program SLPTT dan petani non SLPTT. Total biaya tenaga kerja luar keluarga petani program SLPTT lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPTT, yakni masing-masing sebesar Rp 1 046 376.26 dan Rp 754 476.93 per hektar. g. Biaya tanam Biaya tanam merupakan biaya untuk melakukan kegiatan penanaman padi yang harus dikeluarkan oleh petani kepada pekerja borongan. Pekerja borongan tanam di Desa Kalibuaya dinamakan dengan pekerja odong-odong yang merupakan para petandur pria maupun wanita tergabung dalam kelompok kerja tanam padi yang dipimpin seorang ketua. Semua petani di Desa Kalibuaya baik petani program SLPTT maupun petani non SLPTT membutuhkan pekerja borongan untuk menanam padi. Hal ini karena kegiatan penanaman membutuhkan banyak pekerja, membutuhkan keahlian, dan lamanya waktu kegiatan. Menurut petani penanaman
52
dengan pekerja borongan akan lebih mudah ditemukan dan lebih murah dibandingkan dengan pekerja harian. Selain itu, petani tidak perlu banyak ikut membantu pekerjaan karena hanya berperan untuk mengawasi kegiatan. Upah pekerja borongan tanam tidak sama karena disesuaikan dengan jarak tanam padi yang dikerjakan. Umumnya untuk jarak tanam padi yang sudah lama diterapkan oleh petani seperti legowo 8, legowo 10, dan tegel pekerja borongan diberikan upah sebesar Rp 800 000 per hektar. Jarak tanam yang membutuhkan keahlian, alat caplak baru, dan waktu lama seperti legowo 2:1 dan legowo 4:1 pekerja borongan diberikan upah sebesar Rp 900 000 per hektar. Upah tersebut sudah termasuk dengan keperluan lain dari pekerja, seperti makan dan minum. Jumlah pekerja borongan tanam umumnya berjumlah 10-15 pekerja per hektar yang terdiri dari pria dan wanita. Para pekerja borongan tanam berusaha untuk bisa menyelesaikan pekerjaan menanam selama satu hari agar penanaman dilakukan serentak, sehingga jumlah pekerja akan menyesuaikan dengan luas lahan petani. Total biaya tanam yang harus dikeluarkan oleh petani program SLPTT lebih besar dibandingkan petani non SLPTT, yakni masing-masing sebesar Rp 843 333.33 dan Rp 818 333.33 per hektar. Hal ini karena lebih banyak petani program SLPTT yang menggunakan jarak tanam legowo 2 dan legowo 4 dibandingkan dengan petani non SLPTT. h. Biaya pengolahan tanah Biaya pengolahan tanah merupakan biaya untuk kegiatan pemopokan, nampingan, dan meratakan tanah yang harus dikeluarkan oleh petani kepada pekerja borongan. Petani program SLPTT dan non SLPTT yang memiliki lahan luas umumnya akan menggunakan jasa pekerja borongan dibandingkan dengan pekerja harian. Hal ini karena banyaknya pekerjaan olahan tanah yang harus dikerjakan dan tidak hanya dilakukan selama satu hari. Adanya pekerja borongan untuk pengolahan tanah maka petani tidak harus ikut membantu pekerjaan karena hanya berperan untuk mengawasi kegiatan. Upah yang diberikan untuk pekerja borongan olahan tanah yakni sebesar Rp 700 000 sampai Rp 800 000per hektar. Umumnya untuk upah sebesar Rp 800 000 yang diberikan kepada pekerja sudah termasuk dengan keperluan lain dari pekerja, seperti makan dan minum, sedangkan Rp 700 000 tidak termasuk dengan keperluan lain pekerja. Jumlah pekerja borongan olahan tanah umumnya 10 pekerja per hektar yang didominasi oleh pria. Total biaya olahan tanah yang harus dikeluarkan oleh petani program SLPTT lebih besar dibandingkan petani non SLPTT, yakni masing-masing sebesar Rp 606 666.67 dan 630 000.00 per hektar. Hal ini karena lebih banyak petani program SLPTT yang menggunakan jasa pekerja borongan olahan tanah dibandingkan dengan petani non SLPTT. i. Biaya sewa traktor Traktor merupakan tenaga kerja mesin untuk membantu mengolah tanah agar mempercepat proses pembusukan sisa tanam melalui proses membalikan tanah. Rata-rata biaya untuk sewa traktor per hektar sebesar Rp 750 000-Rp 900 000 tergantung dengan kualitas traktor dan tingkat kekerasan tanah. Biaya sewa sudah termasuk dengan bahan bakar solar dan upah tenaga kerja yang mengoperasikan traktor. Biaya sewa traktor akan selalu meningkat setiap musim tanam karena pengaru dari kenaikan bahan bakar minyak. Total biaya sewa traktor
53
antara petani program SLPTT dan petani non SLPTT tidak berbeda jauh, yakni masing-masing sebesar Rp 790 000 dan Rp 796 666.67 per hektar. j. Biaya mesin perontok Mesin perontok (power thresher) merupakan tenaga kerja mesin untuk perontokan padi agar gabah dapat terlepas dari ilalang padi yang selanjut akan dikumpulkan dalam karung. Kegiatan perontokan dilakukan setelah petani melakukan pemotongan pada saat panen. Pada umumnya petani SLPTT dan petani non SLPTT harus menunggu untuk dapat menggunakan mesin perontok karena keterbatasan mesin, sehingga harus antri dengan petani lainnya. Hal ini menyebabkan banyak petani tidak merontok padi secara langsung pada saat hari panen dan memilih untuk mengumpulkan padi selama beberapa hari. Rata-rata biaya sewa mesin perontok per ton sebesar Rp 160 000-180 000 tergantung dengan kualitas mesin perontok dan hari perontokan. Total biaya mesin perontok yang harus dikeluarkan oleh petani program SLPTT lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPTT, yakni masing-masing sebesar Rp 1 190 777.55 dan Rp 1 079 688.35. Hal ini karena beberapa petani program SLPTT melakukan perontokan pada saat hari panen meskipun biaya sewa lebih mahal. k. Pajak lahan Pajak lahan merupakan biaya kewajiban yang harus dikeluarkan oleh petani program SLPTT dan petani non SLPTT. Pajak lahan yang dibayar setahun sekali akan dikonversikan dalam satu musim per hektar. Rata-rata biaya pajak yang harus dibayar tergantung dengan jumlah petani yang memiliki lahan sendiri atau lahan milik orang lain. Beberapa petani penggarap dengan sistem bagi hasil melakukan pembayaran pajak meskipun pembayaran dibagi dua dengan pemilik lahan. Total biaya untuk pajak lahan yang harus dikeluarkan petani non SLPTT lebih besar dibandingkan dengan petani program SLPTT, yakni masing-masing sebesar Rp 32 667.67 dan Rp 30 000.00 per musim. Hal ini karena petani program SLPTT yang memiliki lahan sendiri sebanyak 12 orang, sedangkan petani non SLPTT sebanyak 16 orang. l. Sewa lahan Pada usahatani petani program SLPTT, terdapat satu orang petani yang melakukan usahatani padi dengan menyewa lahan dari pihak lain. Petani tersebut tidak melakukan sewa lahan dari luasan lahan yang digarapnya karena terdapat luasan lahan miliknya sendiri. Petani program SLPTT yang melakukan sewa lahan membayar secara tunai sebesar Rp 1 827 957 per musim per hektar. Sementara petani non SLPTT, terdapat satu orang petani yang melakukan usahatani padi dengan menyewa lahan dari pihak lain. Petani tersebut melakukan sewa lahan dari semua luasan lahan yang digarapnya musim ini. Petani non SLPTT yang melakukan sewa lahan membayar secara tunai sebesar Rp 1 200 00 per musim per hektar. Perbedaan harga sewa lahan diantara petani program SLPTT dan non SLPTT disebabkan oleh beberapa hal seperti perbedaan lokasi petani dan perbedaan pihak penyewa lahan. Pada umumnya penyewa lahan sebagai pemiliki lahan bukan merupakan warga dari Desa Kalibuaya, tetapi warga kota Karawang atau Jakarta. m. Karung Karung merupakan salah satu kebutuhan bagi petani program SLPTT dan non SLPTT untuk melakukan kegiatan usahatani. Kegunaan karung yaitu untuk
54
menyimpan hasil gabah yang sudah di potong dan gabah yang akan dijual kepada pembeli. Karung umumnya digunakan untuk sekali musim panen dan tidak diganti sehingga termasuk dalam komponen biaya tunai. Sumber pembelian karung petani di Desa Kalibuaya adalah warung di Desa Kalibuaya dan pasar Telagasari, untuk harga karung pada musim ini sebesar Rp 2000-Rp 2 500/satuan. Alasan beberapa petani program SLPTT dan non SLPTT untuk tidak membeli karung karena ada beberapa pekerja ceblok yang telah menyediakan karung atau menggunakan karung dari hasil pemakaian pupuk. Total biaya untuk pembelian karung oleh petani program SLPTT dan non SLPTT masing-masing sebesar Rp 29 017.17 dan Rp 44 227.05 n. Biaya Bagi Hasil Biaya bagi hasil untuk petani program SLPTT dan non SLPTT termasuk dalam komponen biaya tunai. Petani program SLPTT dengan status kepemilikan lahan bagi hasil terdiri dari 15 orang, sedangkan petani non SLPTT 13 orang. Pembagian hasil panen berupa gabah kering panen kepada pemilik lahan sesuai dengan kesepakatan yaitu dibagi dua dari jumlah gabah yang dihasilkan. Dari seluruh responden petani program SLPTT dan non SLPTT, biaya yang harus dikeluarkan dalam melakukan usahatani ditanggung sendiri oleh petani sakap, kecuali pajak lahan. Total biaya untuk bagi hasil petani program SLPTT lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPTT, yakni masing-masing sebesar Rp 5 315 366.16 dan Rp 5 068 379.64. Perbedaan total biaya disebabkan petani sakap program SLPTT lebih banyak dibandingkan dengan petani sakap non SLPTT. Tabel 22. Biaya tunai usahatani padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014. Komponen Petani SLPTT Petani Non SLPTT Biaya Tunai Jumlah Harga/ Total biaya Jumlah Harga/ Total biaya satuan (Rp) satuan (Rp) 22.38 9 420.00 210 810.56 15.35 11 283.33 173 243.38 Benih Pupuk Anorganik Urea
TSP NPK Pupuk Organik Obat Cair Obat Padat TKLK Biaya Tanam Biaya Olahan Tanah Sewa Traktor Sewa Perontok Pajak Lahan Sewa Lahan Karung
201.82 2 580.00 116.26 2 233.33 96.44 2 333.33 700.10 518.33
520 690.91 259 693.20 225 019.36 362 885.69
251.11 121.19 87.82 364.75
2 590.00 2 180.00 2 373.33 506.67
650 386.95 264 433.20 208 433.20 184 808.83
340 913.94 296 525.19 1 046 376.26 843 333.33
520 285.92 159 332.28 754 476.93 818 333.33
606 666.67 790 000.00 1 190 777.55 30 000.00 60 931.90 29 017.17
630 000.00 796 666.67 1 079 688.35 32 666.67 80 000.00 44 227.05
55
Bagi Hasil Total Biaya Tunai
5 315 366.16 12 128 976.88
5 068 379.64 11 465 122.60
Berdasarkan Tabel 22 dapat dilihat bahwa total biaya tunai usahatani padi petani program SLPTT sebesar Rp 12 128 976.88, sedangkan untuk petani non SLPTT sebesar Rp 11 465 122.60. Total biaya tunai usahatani padi petani SLPTT lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPTT dengan selisih sebesar Rp 944 111.11. Hal ini terjadi karena petani program SLPTT terdapat beberapa komponen biaya tunai yang lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPTT, seperti pembelian benih, pupuk organik, pestisida padat, tenaga kerja luar keluarga, biaya tanam, sewa perontok, serta bagi hasil. Petani program SLPTT seharusnya dengan melakukan anjuran komponen teknologi dapat menghemat biaya, namun yang terjadi justru petani harus mengeluarkan biaya lebih besar. Misalnya komponen pembelian benih antara petani program SLPTT dan petani non SLPTT memiliki selisih sebesar Rp 37 567.18 karena jumlah benih yang digunakan petani program SLPTT lebih banyak meskipun harga benih murah. Harga benih lebih murah terjadi karena terdapat beberapa petani program SLPTT yang mendapatkan benih subsidi dari pemerintah. Namun, pemberian subsidi benih hanya diberikan kepada petani Laboratorium Lapang tidak untuk anggota lainnya. Selain itu, terdapat beberapa petani yang lebih memilih untuk menggunakan benih selain Mekongga seperti benih Ciherang yang harganya akan lebih mahal. Hal lain yang menyebabkan total biaya tunai petani program SLPTT lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPTT adalah adanya beberapa anjuran komponen teknologi yang mengharuskan petani untuk mengeluarkan biaya lebih besar, seperti biaya tanam dan sewa perontok. Biaya tanam lebih besar karena petani program SLPTT menggunakan jarak tanam legowo 2:1 dan legowo 4:1 dengan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan jarak tanam lainnya. Sewa mesin perontok lebih besar karena petani program SLPTT diberikan anjuran untuk melakukan langsung perontokan padi sehingga hari perontokan lebih cepat akan membutuhkan biaya yang lebih besar. Dari semua komponen biaya tunai yang ada pada usahatani padi, baik petani program SLPTT maupun petani non SLPPT, komponen input yang memiliki proprosi terbesar dalam biaya tunai adalah tenaga kerja yang terdiri dari TKLK, sewa traktor, sewa perontok, biaya tanam, dan biaya olahan tanah. Proporsi tenaga kerja petani program SLPTT dan non SLPTT masingmasing sebesar 36.91 persen dan 35.58 persen. Selain itu, komponen biaya lain petani program SLPTT dan non SLPTT yang memiliki proporsi terbesar adalah biaya bagi hasil yaitu masing-masing sebesar 43.82 persen dan 44.21 persen. Data perincian mengenai persentase komponen biaya petani program SLPTT dan petani non SLPTT dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Biaya yang Diperhitungkan Komponen biaya yang diperhitungkan untuk kegiatan usahatani padi petani program SLPTT dan petani non SLPTT terdiri dari tenaga kerja dalam keluarga (TKDK), penggunaan benih dari hasil panen musim tanam sebelumnya, sewa lahan yang diperhitungan bagi petani pemiliki lahan, dan penyusutan peralatan pertanian.
56
Tenaga kerja dalam keluarga adalah jasa pekerja yang berasal dari keluarga petani seperti istri, anak, saudara, atau petani tersebut. Beberapa petani di Desa Kalibuaya, baik petani program SLPTT dan non SLPTT masih menggunakan jasa pekerja dari dalam keluarga untuk beberapa kegiatan usahatani seperti pembersihan lahan, pengolahan tanah, pemupukan, serta penyemprotan. Penggunaan jasa pekerja dalam keluarga karena sudah biasa dilakukan oleh beberapa keluarga petani karena rasa ingin saling membantu antara keluarga. Selain itu, petani juga ingin mengurangi penggunaan tenaga kerja dari luar keluarga karena upah pekerja yang selalu meningkat setiap musimnya. Beberapa petani program SLPTT dan petani non SLPTT tidak hanya menggunakan benih baru untuk ditanam, tetapi juga benih dari hasil panen musim tanam sebelumnya. Hal ini karena petani ingin menghemat biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli benih baru meskipun petani mengetahui penggunaan benih hasil panen dengan benih baru akan berbeda kualitasnya. Perbedaan kualitas yang selalu terjadi adalah ketinggian tanaman padi ketika ditanam dan bulir yang dihasilkan akan berbeda. Sewa lahan termasuk biaya yang diperhitungkan bagi petani yang memiliki lahan sawah sendiri. Petani di Desa Kalibuaya, baik petani program SLPTT dan petani non SLPTT masih banyak yang memiliki lahannya sendiri untuk digarap meskipun adanya tawaran dari pihak lain yang ingin membeli lahannya. Petani program SLPTT yang memiliki lahan sendiri untuk digarap sebanyak 13 orang, sedangkan petani non SLPTT sebanyak 14 orang. Penyusutan peralatan pertanian termasuk biaya yang diperhitungan karena biaya peralatan pertanian tidak dikeluarkan lagi, namun memiliki nilai barang yang sudah ada dengan menghitung nilai penyusutannya. Biaya penyusutan peralatan dihitung dalam satu musim tanam, dimana dalam satu tahun petani program SLPTT dan non SLPTT terdiri dari tiga musim tanam. Alat pertanian yang digunakan petani untuk kegiatan usahatani seperti cangkul, parang, semprotan, dan sabit. Sementara alat pertanian lainnya dimiliki oleh buruh pekerja seperti caplak dan gasrok.Berikut ini merupakan perincian biaya yang diperhitungan dari petani program SLPTT di Desa Kalibuaya: Tabel 23. Biaya yang 2014. Komponen Biaya Penggunaan Benih Penyusutan Alat TKDK
diperhitungkan petani program SLPTT di Desa Kalibuaya, Satuan Kg/Ha Rp HOK
Sewa Lahan
Rp
Total Biaya
Rp
Jumlah 2.00
5.53
Harga/satuan 8 100.00
112 000.00
Nilai (Rp) 16 200.00 44 336.68 619 466.41 1 127 455.19 1 807 458.29
Tabel 24. Biaya yang diperhitungkan petani non SLPTT di Desa Kalibuaya, 2014. Komponen Biaya Satuan Jumlah Harga/satuan Nilai (Rp)
57
Penggunaan Benih Penyusutan Alat TKDK Sewa Lahan Total Biaya
Kg/Ha Rp HOK Rp Rp
3.52
6.17
8 166.67
112 000.00
28 736.53 38 676.53 690 643.84 1 207 987 1 966 044.61
Berdasarkan Tabel 23 dan Tabel 24, dapat dilihat bahwa total biaya yang diperhitungkan dari petani program SLPTT sebesar Rp 1 807 458.29, sedangkan petani non SLPTT lebih besar yakni sebesar Rp 1 966 044.61. Komponen biaya yang memiliki proporsi terbesar terhadap biaya yang diperhitungkan untuk petani program SLPTT dan petani non SLPTT adalah biaya sewa lahan masing-masing persentase sebesar 62.38 persen dan 61.14 persen dari total biaya yang diperhitungkan. Total biaya yang diperhitungkan petani non SLPTT lebih besar dibandingkan dengan petani program SLPTT dengan selisih sebesar Rp 158 586.32. Hal ini karena perbedaan yang cukup besar pada komponen sewa lahan diantara keduanya, dimana petani non SLPTT lebih banyak status kepemilikan lahan sendiri. Total biaya usahatani merupakan hasil penjumlahan antara total biaya tunai dan total biaya yang diperhitungkan. Total biaya usahatani padi petani program SLPTT lebih besar dibandingkan dengan petanin non SLPTT yakni masing-masing sebesar Rp 13 936 426.17 dan Rp 13 431 167.21. Perbedaan total biaya usahatani diantara keduanya tidak berbeda jauh dengan selisih sebesar Rp 505 258.96. Data perincian mengenai total biaya usahatani dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2.
Penerimaan Usahatani Petani Progam SLPTT dan Non SLPTT Analisis penerimaan usahatani terdiri dari penerimaan tunai dan penerimaan diperhitungkan. Penerimaan tunai usahatani adalah hasil dari penjualan gabah kering panen dari petani kepada pembeli pertama, seperti calo, pedagang pengumpul desa, dan pedagang pengumpul kecamatan. Penerimaan usahatani yang diperhitungkan adalah bagian dari hasi panen petani yang disimpan untuk dikonsumsi oleh rumah tangga. Penerimaan tunai usahatani yang didapatkan oleh petani program SLPTT sebesar Rp 24 710 214.60 dengan proporsi 94.55 persen dari total penerimaan. Penerimaan tunai yang didapatkan oleh petani non SLPTT sebesar Rp 21 748 510.65 dengan proporsi 90.62 persen dari total penerimaan. Penerimaan tunai usahatani petani program SLPTT lebih tinggi dibandingkan dengan petani non SLPTT. Hal ini terjadi karena produktivitas/ha tanaman padi dan harga gabah/kg yang diterima petani program SLPTT yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani non SLPTT. Rata-rata produktivitas/ha tanaman padi petani program SLPTT sebesar 6.91 ton/ha, sedangkan pada petani non SLPTT hanya 6.20 ton/ha. Produktivitas yang lebih tinggi akan berpengaruh terhadap jumlah produksi yang dihasilkan. Perbedaan harga gabah dikarenakan kualitas gabah yang dihasilkan, seperti bulir yang lebih berisi (bernas). Harga rata-rata gabah kering panen petani program SLPTT sebesar Rp 4 673.33/kg , sedangkan petani non SLPTT sebesar Rp 4 601.67/kg.
58
Selain penerimaan tunai usahatani, terdapat hasil panen yang diperhitungkan. Jumlah gabah yang disimpan oleh petani non SLPTT lebih tinggi dibandingkan dengan petani program SLPTT masing-masing 304.68 kg dan 489.37 kg. Perbedaan jumlah gabah yang disimpan karena sebagian besar petani SLPTT bersifat komersil yakni ingin menjual semua dari hasil panen gabah. Tabel 25 berikut menyajikan rincian penerimaan usahatani padi petani program SLPTT dan non SLPTT. Tabel 25. Penerimaan usahatani padi petani program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014. Komponen Petani SLPTT Petani Non SLPTT Penerimaan Volume Harga Nilai (Rp) Volume Harga Nilai (Rp) (GKP/ha) (Rp/Kg)
Penerimaan Tunai Penerimaan Non Tunai Total Penerimaan
(GKP/Ha) (Rp/Kg)
5 287.49 4 673.33 24 710 214.60 4 726.22 4 601.67 304.68 4 673.33 5 592.18
1 423 891.49
489.37 4 601.67
26 134 106.09 5 215.60
21 748 510.65 2 251 938.16 24 000 448.81
Pendapatan Usahatani Petani Program SLPTT dan Non SLPTT Analisis pendapatan usahatani dibagi menjadi pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya tunai dan biaya total musim tanam kering II petani program SLPTT lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPTT yaitu masing-masing sebesar Rp 14 005 138.21 dan Rp 12 197 679.92, sedangkan petani non SLPTT sebesar Rp 12 535 532.21 dan Rp 10 569 281.60. Selisih pendapatan biaya tunai diantara petani program SLPTT dan non SLPTT sebesar Rp 1 469 812.00/ musim tanam, sedangkan selisih pendapatan atas biaya total sebesar Rp 1 628 398.32/ musim tanam. Selisih pendapatan yang tidak terlalu besar diantara keduanya disebabkan karena kurang optimalnya total penerimaan yang didapatkan dan lebih besarnya total biaya untuk petani program SLPTT. Penerapan komponen-komponen teknologi yang dianjurkan dalam program SLPTT merupakan satu kesatuan yang harus diterapkan oleh petani untuk memperoleh hasil yang optimal, apabila salah satu atau beberapa teknologi tidak diterapkan maka target program SLPTT yang diinginkan tidak akan tercapai. Apabila dilihat dari komponen biaya, penerapan komponen teknologi dari program SLPTT seharusnya dapat berpengaruh terhadap pengunaan input usahatani yang lebih efektif dan efisien sehingga dapat meminimalisasi biaya. Pada umumnya petani program SLPTT di Desa Kalibuaya masih sulit untuk mengubah kebiasaan dalam kegiatan usahatani, seperti pengunaan komponen-komponen input. Anjuran yang diberikan oleh penyuluh tidak semuanya dilakukan oleh petani karena petani masih kurang percaya dengan manfaat yang akan didapatkan apabila menerapkan program SLPTT.
59
Berikut ini Tabel 26 perincian mengenai penerimaan, biaya, pendapatan, serta R/C rasio usahatani petani program SLPTT per hektar untuk musim tanam kering II. Tabel 26. Penerimaan, biaya, pendapatan, serta R/C rasio usahatani petani program SLPTT dan non SLPTT per hektar per musim di Desa Kalibuaya tahun 2014. Komponen Penerimaan Tunai Penerimaan yang Diperhitungkan Total Penerimaan Total Biaya Tunai Total Biaya Diperhitungkan Total Biaya Pendapatan atas Biaya Tunai Pendapatan atas Biaya Total R/C atas Biaya Tunai R/C atas Biaya Total
Petani SLPTT (Rp) 24 710 214.60
Petani Non SLPTT (Rp) 21 748 510.65
1 423 891.50 26 134 106.09 12 128 967.88
2 251 938.165 24 000 448.81 11 465 122.60
1 807 458.29 13 936 426.27
1 966 044.61 13 431 167.21
14 005 138.21
12 535 326.21
12 197 679.92
10 569 281.60
2.15
2.09
1.88
1.79
Analisis R/C Rasio Petani Program SLPTT dan Petani Non SLPTT Analisis R/C rasio merupakan perbandingan antara penerimaan yang diterima dengan setiap biaya yang harus dikeluarkan oleh petani ketika melakukan kegiatan usahatani. Pada penelitian ini, analisis R/C rasio terbagi menjadi dua, yaitu R/C rasio atas biaya tunai dan R/C rasio atas biaya total. Berdasarkan data pada Tabel 26, dapat dilihat bahwa nilai R/C atas biaya tunai dan biaya total usahatani petani program SLPTT lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPTT. Nilai R/C atas biaya tunai usahatani petani program SLPTT adalah sebesar 2.15, sedangkan usahatani petani non SLPTT adalah sebesar 2.09. Nilai R/C rasio atas biaya tunai memiliki arti bahwa dari setiap Rp 1.00 biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 2.15 untuk petani program SLPTT dan sebesar Rp 2.09 untuk petani non SLPTT. Selanjutnya apabila dilihat dari biaya total yang merupakan penjumlahan dari biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan, nilai R/C rasio biaya total usahatani petani program SLPTT adalah sebesar 1.88, sedangkan usahatani petani non SLPTT adalah sebesar 1.79. Nilai R/C rasio atas biaya total memiliki arti bahwa dari setiap Rp 1.00 biaya total yang dikeluarkan oleh petani akan menghasilkan
60
penerimaan sebesar Rp 1.88 untuk petani program SLPTT dan sebesar Rp 1.79 untuk petani non SLPTT. Berdasarkan hasil dari analisis R/C rasio atas biaya tunai dan biaya total, dapat dikatakan secara absolut bahwa usahatani petani program SLPTT lebih menguntungkan dibandingkan dengan petani non SLPTT. Nilai R/C rasio atas biaya tunai dan biaya total petani program SLPTT dan non SLPTT yang lebih besar dari satu, dikatakan efisien karena setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biayanya. Selisih R/C atas biaya tunai dan biaya total diantara petani program SLPTT dan non SLPTT yaitu masing-masing sebesar 0.09 dan 0.06. Diperlukan evaluasi penerapan komponen teknologi program SLPTT yang lebih baik agar petani program SLPTT dapat dikatakan lebih efisien dibandingkan petani non SLPTT. Tujuan program SLPTT bukan hanya untuk meningkatkan jumlah produksi padi yang dihasilkan, tetapi diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani dengan meminimalisasi biaya yang harus dikeluarkan.
Analisis Uji Normalitas Pendapatan, Produksi, dan Efisiensi R/C Rasio Pengujian kenormalan data dilakukan dengan analisis uji Shapiro-Wilk. Pengujian ini menggunakan hipotesis terima H0 yaitu data berdistribusi secara normal jika nilai Sig > alfa dengan nilai alfa sebesar 0.05. Sementara hipotesis tolak H0 yaitu data berdistribusi secara tidak normal jika nilai Sig < alfa dengan nilai alfa sebesar 0.05. Pada penelitian ini data diantara petani program SLPTT dan non SLPTT yang akan dilakukan uji normalitas adalah pendapatan atas biaya tunai per hektar pada musim kering II tahun 2014, pendapatan atas biaya total per hektar pada musim kering II tahun 2014, produksi padi petani per hektar pada musim kering II tahun 2014, R/C atas biaya tunai per hektar pada musim kering II tahun 2014, serta R/C atas biaya total per hektar pada musim kering II tahun 2014. Tabel 27. Hasil uji normalitas data petani program SLPTT dan non SLPTT per pektar pada musim kering II dengan uji Shapiro-Wilk. No
Komponen Data Statistic
1.
2.
3.
4.
5.
Petani SLPTT df Sig.
Pendapatan atas biaya tunai
.911
30
.016
Kesim pulan Tolak H0
Pendapatan atas biaya total
.891
30
.005
.969
30
.837 .812
R/C atas biaya tunai R/C atas biaya total
Petani Non SLPTT df Sig.
.914
30
.019
Kesim pulan Tolak H0
Tolak H0
.927
30
.042
Tolak H0
.505
Terima H0
.943
30
.109
Terima H0
30
.000
Tolak H0
.869
30
.002
Tolak H0
30
.000
.840
30
.000
Produksi padi
Tolak H0
Statistic
Tolak H0
61
Data pada Tabel 27 merupakan hasil pengujian output normalitas data pada program SPSS, diperoleh hasil bahwa komponen data petani program SLPTT dan non SLPTT yaitu pendapatan atas biaya tunai, pendapatan atas biaya total, R/C atas biaya tunai, serta R/C atas biaya total masing-masing memiliki nilai sig < nilai alfa (0.05). Oleh sebab itu, kesimpulan hipotesis pada komponen tersebut adalah tolak H0 yang artinya komponen data tersebut berdistribusi secara tidak normal. Sedangkan untuk komponen data produksi padi petani program SLPTT dan non SLPTT masing-masing memiliki nilai sig > nilai alfa (0.05), maka kesimpulan pada komponen data tersebut adalah terima H0 yang artinya komponen data produksi berdistribusi secara normal.
Uji Mann-Whitney Pendapatan, Produksi, dan Efisiensi R/C Rasio Setelah diketahui hasil uji normalitas data, maka akan diperoleh komponen data petani program SLPTT dan non SLPTT yang berdistribusi secara normal dan tidak normal. Komponen data petani program SLPTT dan non SLPTT yang berdistribusi secara tidak normal selanjutnya dilakukan uji non parametrik MannWhitney. Pengujian ini menggunakan hipotesis terima H0 yaitu tidak terdapat perbedaan antara komponen data petani program SLPTT dengan petani non SLPTT jika nilai Exact Sig (2-tailed) > alfa, dengan nilai alfa sebesar 0.05. Sementara hipotesis tolak H0 yaitu terdapat perbedaan antara komponen data petani program SLPTT dengan petani non SLPTT jika nilai Exact Sig (2-tailed) < alfa, dengan nilai alfa sebesar 0.05. Pada penelitian ini data diantara petani program SLPTT dan non SLPTT yang akan dilakukan dengan uji Mann-Whitney adalah pendapatan atas biaya tunai per hektar pada musim kering II tahun 2014, pendapatan atas biaya total per hektar pada musim kering II tahun 2014, R/C atas biaya tunai per hektar pada musim kering II tahun 2014, serta R/C atas biaya total per hektar pada musim kering II tahun 2014. Tabel 28. Hasil uji perbedaan pendapatan dan R/C usahatani petani program SLPTT dan non SLPTT per hektar pada musim kering II 2014 dengan uji MannWhitney. No
Komponen Data
1. 2. 3. 4.
Pendapatan atas biaya tunai Pendapatan atas biaya total R/C atas biaya tunai R/C atas biaya total
Mean Rank Petani SLPTT 31.13 31.03 30.60 32.53
Mean Rank Petani Non SLPTT 29.87 29.97 30.40 28.47
Exact sig (2-tailed) .779 .813 .965 -.902
Kesimpulan
Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0
Data pada Tabel 28 merupakan hasil pengujian output Mann-Whitney pada program SPSS, diperoleh hasil bahwa komponen data petani program SLPTT dan non SLPTT yaitu pendapatan atas biaya tunai, pendapatan atas biaya total, R/C atas biaya tunai, serta R/C atas biaya total masing-masing memiliki nilai Exact Sig (2tailed) > nilai alfa (0.05). Oleh sebab itu, kesimpulan hipotesis secara statistik pada komponen tersebut adalah terima H0 yang artinya tidak terdapat perbedaan antara
62
komponen data petani program SLPTT dengan petani non SLPTT. Berdasarkan nilai mean-rank diketahui bahwa nilai mean rank komponen data petani program SLPTT yaitu pendapatan atas biaya tunai, pendapatan atas biaya total, R/C atas biaya tunai, serta R/C atas biaya total masing-masing memiliki nilai lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPTT. Nilai mean rank tersebut memiliki arti secara statistik bahwa tingkat pendapatan atas biaya tunai, pendapatan atas biaya total, R/C atas biaya tunai, serta R/C atas biaya total pada petani program SLPTT lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPTT.
Uji Beda T-Test Pendapatan, Produksi, dan Efisiensi R/C Rasio Setelah diketahui hasil uji normalitas data, maka diperoleh data petani program SLPTT dan non SLPTT yang berdistribusi secara normal dan tidak normal. Komponen data petani program SLPTT dan non SLPTT yang berdistribusi secara normal selanjutnya dilakukan uji beda t-test. Pengujian ini menggunakan hipotesis terima H0 yaitu tidak terdapat perbedaan antara petani program SLPTT dengan petani non SLPTT jika nilai Sig (2-tailed) > alfa, dengan nilai alfa sebesar 0.05. Sementara hipotesis tolak H0 yaitu terdapat perbedaan antara komponen data petani program SLPTT dengan petani non SLPTT jika nilai Sig (2-tailed) < alfa, dengan nilai alfa sebesar 0.05. Pada penelitian ini data diantara petani program SLPTT dan non SLPTT yang akan dilakukan dengan uji beda t-test adalah produksi padi petani program SLPTT dan non SLPTT per hektar pada musim kering II tahun 2014. Tabel 29. Hasil uji perbedaan produksi padi petani program SLPTT dan non SLPTT per hektar pada musim kering II 2014 dengan uji T-test. Komponen
Petani SLPTT Mean
Petani Non SLPTT
Std.
Std. Error
Dev
Mean
Mean
Sig (2- tailed)
Std.
Std. Error
Equal
Equal
Dev
Mean
variances
variances
assumed
not assumed
Produksi 7.8640E3
6616.098
1207.929
5.1712E3
2262.397
413.055
.039
.042
padi
Data pada Tabel 29 merupakan hasil pengujian output t-tes pada program SPSS, diperoleh hasil bahwa komponen data produksi padi petani program SLPTT dan non SLPTT memiliki nilai Sig (2-tailed) > nilai alfa (0.05). Nilai Sig (2-tailed) yang akan digunakan yaitu nilai equal variances assumed sebesar 0.039. Nilai equal variances assumed digunakan sebagai uji hipotesis karena tidak ada perbedaan varians pada data produksi padi petani program SLPTT dan non SLPTT. Hal ini disebabkan karena nilai sig (0.065) Levene's Test for Equality of Variances > nilai alfa (0.05). Kesimpulan hipotesis secara statistik pada komponen produksi padi adalah tolak H0 yang artinya terdapat perbedaan antara data produksi padi
63
petani program SLPTT dengan petani non SLPTT. Selanjutnya pada output tersebut terlihat bahwa nilai mean petani program SLPTT (7.8640E3) > nilai mean petani non SLPTT (5.1712E3), yang artinya secara statistik bahwa produksi padi petani program SLPTT lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPTT.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Mengacu pada tujuan penelitian dan pembahasan dari hasil penelitian yang telah dilakukan menghasilkan beberapa kesimpulan, antara lain sebagai berikut: 1. Keragaan usahatani padi di Desa Kalibuaya meliputi penggunaan komponen input, kegiatan budidaya, dan hasil usahatani. Penggunaan komponen input terdiri dari benih, pupuk organik dan anorganik, obat padat dan cair, serta tenaga kerja. Tahapan kegiatan budidaya padi yang dilakukan oleh petani program SLPTT dan non SLPTT secara umum tidak jauh berbeda, meliputi persiapan lahan, persiapan benih dan persemaian, penanaman, penyiangan, pemupukan, penyemprotan, serta pemanenan. Walaupun secara umum sama, namun terdapat perbedaan penggunaan komponen teknologi karena petani program SLPTT melakukan kegiatan budidaya sesuai dengan anjuran program SLPTT. 2. Permasalahan yang dihadapi oleh petani program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya adalah permasalahan komponen input, subsistem on-farm, dan subsistem off-farm. Permasalahan komponen input seperti meningkatnya harga benih, kelangkaan pupuk urea, ketersediaan buruh tani harian, dan meningkatnya upah pekerja borongan. Permasalahan pada subsistem on-farm seperti serangan hama dan penyakit, kondisi saluaran air, meningkatnya biaya sewa traktor dan sewa mesin perontok. Permasalahan pada subsistem off-farm adalah posisi tawar menawar petani yang lemah, kurangnya kesadaran petani ketika ada pertemuan dengan penyuluh, tidak adanya lembaga pertanian di desa seperti koperasi, serta tidak adanya kemitraan dengan pihak lain seperti perbankan atau swasta. 3. Pelaksanaan program SLPTT di Desa Kalibuaya telah berjalan dengan baik, namun belum optimal. Hal ini karena tingginya persentase petani program SLPTT yang tidak menerapkan komponen teknologi anjuran program SLPTT. Pada musim kering II 2014 terdapat beberapa komponen yang tidak diterapkan, seperti pengairan secara efektif dan efisien, penyiangan dengan landak atau gasrok, serta panen tepat waktu dan gabah segera dirontok. Selain itu, komponen pilihan yang tidak dilakukan secara maksimal adalah pengaturan tanam jajar legowo 2:1. 4. Berdasarkan analisis pendapatan usahatani, usahatani padi petani program SLPTT secara absolut lebih menguntungkan dibandingkan dengan petani non SLPTT baik dilihat dari nilai pendapatan atas biaya tunai maupun atas biaya total. Berdasarkan analisis nilai R/C rasio, usahatani padi petani program SLPTT lebih efisien dibandingkan dengan petani non SLPTT dilihat dari nilai R/C rasio terhadap biaya tunai maupun biaya total.
64
5. Berdasarkan analisis statistik yaitu uji Mann-Whitney dan uji beda t-tes dapat
ditarik kesimpulan bahwa pendapatan atas biaya tunai, pendapatan atas biaya total, R/C atas biaya tunai, serta R/C atas biaya total tidak terdapat perbedaan secara signifikan diantara petani program SLPTT dan petani non SLPTT. Namun, terjadi perbedaan secara signifikan pada produksi padi diantara program SLPTT dan petani non SLPTT. Saran Berdasarkan simpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka terdapat beberapa saran yang berkaitan dengan penelitian khususnya program SLPTT, yaitu: 1. Dalam rangka meningkatkan produktivitas padi, petani perlu melakukan peningkatan penggunaan komponen input ketika melakukan kegiatan budidaya, seperti pengunaan benih bermutu, penggunaan pupuk organik, serta penggunaan obat padat dan cair yang tepat sasaran dan ramah lingkungan. 2. Keberhasilan program SLPTT dalam rangka meningkatkan produktivitas padi memerlukan pengembangan infrastruktur, kemampuan manajemen petani, dan peran kelembagaan pertanian pendukung sehingga dapat meminimalisasi permasalahan yang dihadapi oleh petani. 3. Penyuluh pertanian lapang (PPL) dan ketua kelompok tani sebagai petani LL (Laboratorium Lapang) di Desa Kalibuaya memiliki peran yang sangat penting dalam proses adopsi komponen teknologi yang dianjurkan program SLPTT untuk ditekankan kepada semua petani program SLPTT. Beberapa komponen teknologi dasar yang perlu ditingkatkan penerapannya adalah pemberian pupuk organik dan jerami, pemupukan yang tepat, serta pengendalian OPT. Sementara komponen pilihan yang harus ditingkatkan penerapannya adalah pengaturan jajar legowo 2. 4. Dalam rangka meningkatkan pendapatan usahatani petani program SLPTT, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan penerimaan dan meminimalisasi biaya usahatani. Peningkatan penerimaan dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas padi dan harga jual gabah kering panen (GKP), sedangkan biaya usahatani dapat diminimalisasi dengan cara mengurangi pengunaan komponen input yang berlebihan seperti benih, pupuk anorganik, obat padat dan cair, serta tenaga kerja. 5. Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan dapat menganalisis komponenkomponen teknologi apa saja yang berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas dan pendapatan petani di Desa Kalibuaya, sehingga dapat mengetahui kegiatan usahatani seperti apa yang efisien bagi petani.
DAFTAR PUSTAKA Ariyono, Ardie. 2011. Analisis Pendapatan Usahatani Padi dan Sistem Pemasaran Beras di Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Institut Pertanian Bogor.
65
[Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian]. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Padi. [Diunduh pada 05 Maret 2015]; tersedia pada http://www.litbang.pertanian.go.id. [Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian]. 2007. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah Irigasi. [Diunduh pada 08 Maret 2015]; tersedia pada http://www.litbang.pertanian.go.id. [Badan Pusat Statistik]. 2013. Volume berat bersih impor ekspor beras Indonesia tahun 2008-2012. [Diunduh pada 18 Februari 2015]; tersedia pada http://www.bps.go.id. [Badan Pusat Statistik]. 2014. Konsumsi Beras dan Jumlah Penduduk di Indonesia Tahun 2010-2013. [Diunduh pada 10 Februari 2015]; tersedia pada http://www.bps.go.id. [Direktorat Pangan dan Pertanian Kementrian Perancanaan Pembangunan Nasional]. 2013. Luas tanam, produksi, produktivitas komoditas Padi Kabupaten Karawang tahun 2009-2013. [diunduh pada 10 Februari 2015]; tersedia pada http://www.bappenas.go.id. Hernanto, Fadholi. 1996. Ilmu Usahatani. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar Swadaya. Harmini. 2009. Modul Matakuliah Metode Kuantitatif Bisnis I. Bogor: Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Marsudi. 2010. Evaluasi Petani Peserta Program Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) Padi Di Kabupaten Ngawi. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Surabaya. Nurasa, Tjetjep dan Supriadi, Herman. 2012. Program Sekolah Lapang Pengelolaan tanaman Terpadi (SL-PTT) Padi: Kinerja dan Antisipasi Kebijakan Mendukung Swasembada Pangan Berkelanjutan. [diunduh pada 01 Februari 2015]; tersedia pada http://pse.litbang.pertanian.go.id/. Robet Asnawi. 2013. Peningkatan Produktivitas dan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Model Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah di Kabupaten Pesawaran, Lampung. Jurnal Penelitian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung. Soekartawi, Soeharjo A, Dillon J, Hardaker J. 1985. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Dillon JL, Hardaker JB, Penerjemah; Jakarta: UI Press. Terjemahan dari : Farm Management Research for Small Development. Soekartawi. 1995, Analisis Usahatani. Jakarta: UI Press. Suratiyah K. 2009. Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar Swadaya. Shinta, Agustina. 2011. Ilmu Usahatani. Malang: Universitas Brawijaya Press (UB Press) Supriadi, H., I W. Rusastra, dan Ashari. 2012. Analisis Kebijakan dan Program SLPTT Menunjang Peningkatan Produksi Padi Nasional. Laporan Akhir Hasil Penelitian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Tiominar, Kinanthi Agatha. 2013. Keragaan dan Pendapatan Usahatani Program SLPTT dan Non Program SLPTT di Desa Sukaratu, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur. Skripsi. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
66
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel pendapatan usahatani petani program SLPTT di Desa Kalibuaya musim tanam kering II (Agustus 2014 –November 2014) Uraian Penerimaan Penerimaan Tunai Gabah Kering Panen Penerimaan yang Diperhitungkan Penerimaan untuk Konsumsi Total Penerimaan Pengeluaran Biaya Tunai Benih Pupuk Kimia Urea TSP NPK Phonska Pupuk Organik Obat Cair Obat padat TKLK Biaya Tanam Biaya Pengolahan Tanah Biaya Sewa Traktor Biaya Perontok Pajak Lahan Sewa Lahan Karung Bagi Hasil Total Biaya Tunai Biaya Diperhitungkan Benih Penyusutan Alat TKDK Sewa Lahan Total Biaya Diperhitungkan Total Biaya Pendapatan Pendapatan atas Biaya Tunai Pendapatan atas Biaya Total Rasio R/C atas biaya tunai Rasio R/C atas biaya total
Satuan
Jumlah
Harga per Unit
Nilai (Rp)
Persentase
Kg/Ha
5 287.49
4 673.33
24 710 214.60
94.55%
Kg/Ha Rp
304.68 5 592.18
4 673.33
1 423 891.50 26 134 106.09
5.45%
Kg/Ha
22.38
9 420.00
210 810.56
1.74%
Kg/Ha Kg/Ha Kg/Ha Kg/Ha Rp Rp HOK Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
201.82 116.26 96.44 700.10
2 580.00 2 233.33 2 333.33 518.33
520 690.91 259 653.20 225 019.36 362 885.69 340 913.94 296 525.19 1 046 376.26 843 333.33 606 666.67 790 000.00 1 190 777.55 30 000.00 60 931.90 29 017.17 5 315 366.16 12 128967.88
4.29% 2.14% 1.86% 2.99% 2.81% 2.44% 8.63% 6.95% 5.00% 6.51% 9.82% 0.25% 0.50% 0.24% 43.82%
Kg/Ha Rp HOK Rp Rp Rp
1.67
8 100.00
16 200.00 44 336.68 619 466.41 1 127 455.19 1 807 458.29 13 936 426.17
0.90% 2.45% 34.27% 62.38%
Rp Rp
14 005 138.21 12 197 679.92 2.15 1.88
67
Lampiran 2. Tabel pendapatan usahatani petani non SLPTT di Desa Kalibuaya musim tanam kering II (Agustus 2014 –November 2014) Uraian Penerimaan Penerimaan Tunai Gabah Kering Panen Penerimaan yang Diperhitungkan Penerimaan untuk Konsumsi Total Penerimaan Pengeluaran Biaya Tunai Pembelian benih Pupuk Kimia Urea TSP NPK Phonska Pupuk Organik Obat Cair Obat padat TKLK Biaya Tanam Biaya Pengolahan Tanah Biaya Sewa Traktor Biaya Perontok Pajak Lahan Sewa Lahan Karung Bagi Hasil Total Biaya Tunai Biaya Diperhitungkan Benih Penyusutan Alat TKDK Sewa Lahan Total Biaya Diperhitungkan Total Biaya Pendapatan Pendapatan atas Biaya Tunai Pendapatan atas Biaya Total R/C atas Biaya Tunai R/C atas Biaya Total
Satuan
Jumlah
Harga per Unit
Nilai (Rp)
Persentase
Kg/Ha
4 726.22
4 601.67
21 748 510.65
90.62%
Kg/Ha Rp
489.37 5 215.60
4601.67
2 251 938.16 24 000 448.81
9.38%
Kg/Ha
15.35
11 283.33
173 243.38
1.51%
Kg/Ha Kg/Ha Kg/Ha Kg/Ha Rp Rp HOK Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
251.11 121.19 87.82 364.75
2 590.00 2 180.00 2 373.33 506.67
650 386.95 264 203.40 208 433.20 184 808.83 520 285.92 159 322.28 754 476.93 818 333.33 630 000.00 796 666.67 1 079 688.35 32 666.67 80 000.00 44 227.05 5 068 379.64 11 465 122.60
5.67% 2.30% 1.82% 1.61% 4.54% 1.39% 6.58% 7.14% 5.49% 6.95% 9.42% 0.28% 0.70% 0.39% 44.21%
Kg/Ha Rp HOK Rp Rp Rp
3.52
8 166.67
28 736.53 38 676.53 690 643.84 1 207 987.71 1 966 044.61 13 431 167.21
1.46% 1.97% 35.13% 61.44%
Rp Rp
12 535 326.21 10 569 281.60 2.09 1.79
68
Lampiran 3. Volume berat bersih impor ekspor beras Indonesia tahun 2008-2012 Tahun Impor (Ton) Ekspor (Ton) 2008 288 369 1 867 2009 248 369 2 395 2010 686 108 345 2011 2 698 990 1 062 2012 1 972 563 1 091 Laju (%/th) 61.85 -18.87 Sumber: Badan Pusat Statistik 2013, diolah
Lampiran 4. Hasil uji normalitas data pendapatan atas biaya tunai per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014. Analisis Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic
df
Sig.
Statistic
df
Sig.
Pendapatan Tunai Petani SLPTT
.199
30
.004
.911
30
.016
Pendapatan Tunai Petani Non SLPTT
.181
30
.013
.914
30
.019
Lampiran 5. Hasil uji normalitas data pendapatan atas biaya total per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014. Analisis Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic
df
Sig.
Statistic
df
Sig.
Pendapatan Total Petani SLPTT
.192
30
.006
.891
30
.005
Pendapatan Total Petani Non SLPTT
.174
30
.021
.927
30
.042
Lampiran 6. Hasil uji normalitas data produksi padi per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014. Analisis Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic
df
Sig.
Statistic
df
Sig.
Produsi Petani SLPTT
.105
30
.200*
.969
30
.505
Produsi Petani Non SLPTT
.159
30
.052
.943
30
.109
69
Lampiran 7. Hasil uji normalitas data R/C atas biaya tunai per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014. Analisis Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic
df
Sig.
Statistic
Df
Sig.
R/C Biaya Tunai Petani SLPTT
.249
30
.000
.837
30
.000
R/C Biaya Tunai Petani Non SLPTT
.234
30
.000
.869
30
.002
Lampiran 8. Hasil uji normalitas data R/C atas biaya total per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014. Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic
df
Sig.
Statistic
df
Sig.
R/C Biaya Total Petani SLPTT
.220
30
.001
.812
30
.000
R/C Biaya Total Petani Non SLPTT
.244
30
.000
.840
30
.000
Lampiran 9. Hasil uji Mann-Whitney data pendapatan atas biaya tunai per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014. Mann-Whitney Test Ranks Kategori Pendapatan Atas Biaya Tunai
N
Mean Rank
1.00
30
31.13
934.00
2.00
30
29.87
896.00
Total
60
Test Statisticsa Pendapatan Atas Biaya Tunai Mann-Whitney U
431.000
Wilcoxon W
896.000
Z Asymp. Sig. (2-tailed)
Sum of Ranks
-.281 .779
70
Lampiran 10. Hasil uji Mann-Whitney data pendapatan atas biaya total per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014. Mann-Whitney Test Ranks Kategori Pendapatan Atas Biaya Total
N
Mean Rank
Sum of Ranks
1.00
30
31.03
931.00
2.00
30
29.97
899.00
Total
60
Test Statisticsa Pendapatan Atas Biaya Total Mann-Whitney U
434.000
Wilcoxon W
899.000
Z
-.237
Asymp. Sig. (2-tailed)
.813
Lampiran 11. Hasil uji Mann-Whitney data R/C atas biaya tunai per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014. Mann-Whitney Test Ranks Kategori R/C Atas Biaya Tunai
N
Mean Rank
1.00
30
30.60
918.00
2.00
30
30.40
912.00
Total
60
Test Statisticsa R/C Atas Biaya Tunai Mann-Whitney U
447.000
Wilcoxon W
912.000
Z Asymp. Sig. (2-tailed)
Sum of Ranks
-.044 .965
71
Lampiran 12. Hasil uji Mann-Whitney data R/C atas biaya total per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014. Mann-Whitney Test Ranks Kategori R/C Atas Biaya Total
N
Mean Rank
Sum of Ranks
1.00
30
32.53
976.00
2.00
30
28.47
854.00
Total
60
Test Statisticsa R/C Atas Biaya Total Mann-Whitney U
389.000
Wilcoxon W
854.000
Z
-.902
Asymp. Sig. (2-tailed)
.367
Lampiran 13. Hasil uji t-test data produksi padi per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014. Group Statistics Kategori Produksi padi
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
1
30 7.8640E3
6616.09824
1207.92875
2
30 5.1712E3
2262.39797
413.05547
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of
F
Sig.
t
df
Sig. (2-
Mean
Std. Error
tailed)
Difference
Difference
the Difference Lower
Upper
Produksi Equal variances 3.530 Padi
.065 2.109
58
.039 2692.80000 1276.59966
137.40815
5248.19185
2.109 35.691
.042 2692.80000 1276.59966
102.95631
5282.64369
assumed Equal variances not assumed
72
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 08 Februari 1993 dari pasangan Dr. Ir. Nyak Ilham M.Si dan Nurningsih, B.Ba. Penulis merupakan putra ketiga dari tiga bersaudara. Kakak pertama penulis bernama Indra Akbar Dilana, STP., M.Si yang saat ini bekerja pada Kementerian Perindustrian, sedangkan kakak kedua bernama Muhammad Taufiq Patra, SE yang bekerja pada Bank Rakyat Indonesia. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Polisi 4 Bogor dan pendidikan menengah pertama diselesaikan di SMP Negeri 1 Bogor, selanjutnya pendidikan lanjutan menengah atas di SMA Negeri 1 Bogor. Pada jenjang pendidikan selanjutnya penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN Undangan pada program Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Penulis juga saat ini sedang melanjutkan pendidikan pada program Magister Sains Agribisnis sebagai mahasiswa program sinergi S1-S2. Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis menerima beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA). Penulis juga aktif dalam mengikuti berbagai acara kepanitian yang diselenggarakan di IPB seperti Sportakuler selama dua periode, hingga menjadi panitia Masa Perkenalan Fakultas Ekonomi dan Manajemen serta Masa Perkenalan Departemen Agribisnis.