110
PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIK DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH Sri Delina Lubis1, Edy Surya2, Ani Minarni2 Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Medan 2 Dosen Prodi Pendidikan Matematika Universitas Negeri Medan Email:
[email protected] 1
ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui: (1) Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa SMP melalui model pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi daripada peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang memperoleh model pembelajaran konvensional, (2) Peningkatan kemandirian belajar siswa SMP melalui model pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi daripada peningkatan kemandirian belajar siswa yang memperoleh model pembelajaran konvensional, (3) Interaksi antara pembelajaran dengan pengetahuan awal matematik siswa terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik, (4) Interaksi antara pembelajaran dengan pengetahuan awal matematik siswa terhadap peningkatan kemandirian belajar siswa, (5) Proses jawaban yang dibuat siswa dalam menyelesaikan masalah pada masing-masing pembelajaran. Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen. Hasil penelitian menunjukkan (1) Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik dan kemandirian belajar siswa SMP melalui model pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi daripada peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik dan kemandirian belajar siswa yang memperoleh model pembelajaran konvensional. (2) Tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dengan pengetahuan awal matematik siswa terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik dan kemandirian belajar siswa. (3) Proses penyelesaian jawaban siswa yang pembelajarannya dengan mengunakan model pembelajaran berbasis masalah lebih baik dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional. Kata Kunci : Model Pembelajaran Berbasis Masalah, Pemecahan Masalah Matematik dan Kemandirian Belajar. ABSTRACT The purpose of this study to determine: (1) Increased mathematical problem solving ability junior high school students through problem-based learning model is higher than the increase in mathematical problem solving ability of students who received conventional learning models, (2) Increased self regulated learning of junior high school students learning through problem-based learning model higher than the increase in self regulated learning of students who received conventional learning models, (3) the interaction between learning with prior knowledge of mathematics students to the increase in mathematical problem-solving ability, (4) the interaction between learning with prior knowledge of mathematics students to increase student self regulated learning, (5 ) The process of answers that the students in solving problems in each lesson. This research is a quasi experimental. The results showed Sri Delina Lubis, Edy Surya, Ani Minarni. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik dan Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal Paradikma, Vol. 8, Nomor 3, Desember 2015, hal. 98-111.
110
(1) The increase in mathematical problem-solving ability and self regulated learning of junior high school students through problem-based learning model is higher than the increase in mathematical problem solving skills and self regulated learning of students who received conventional learning models. (2) There is no interaction between learning with prior knowledge of mathematics students to the increase in mathematical problem-solving ability and self regulated of student learning. (3) The process of settlement of the answers of students learning by using problem-based learning model is better than the conventional learning model.
Keywords: Problem Based Learning Model, Mathematical Problem Solving and Self Regulated Learning.
PENDAHULUAN Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) saat ini sangat pesat sehingga informasi darimanapun dapat diketahui segera dan waktu serta batas negara sudah tidak ada perbedaan lagi, akibatnya lahirlah suatu masa atau era yang dikenal dengan globalisasi. Seiring kehadiran IPTEK, dunia pendidikan matematika tidak dapat dipisahkan keberadaannya dengan perspektif pendidikan global abad ke-21. Menurut Kuzle (2013 :1) “At the beginning of the 21st century the rapid mathematization of work in almost all areas of business, industry, the social and life sciences dictates that most students learn more and different mathematics than school mathematics programs provide”. Memasuki abad ke-21 perkembangan dunia kerja matematika di berbagai bidang, seperti bisnis, industri, ilmu pengetahuan alam dan sosial, menuntut siswa untuk belajar matematika lebih dari sekedar program matematika yang di ajarkan di sekolah. Dengan kata lain, pendidikan matematika di abad ke-21 menuntut sumber daya manusia yang berkualitas, memiliki kemampuan komparatif, inovatif, kompetitif, dan mampu berkolaborasi sehingga mempunyai kemampuan dalam beradaptasi menghadapi perubahan zaman yang semakin cepat. Penguasaan terhadap matematika akan memberikan andil yang penting bagi pencapaian tujuan pendidikan
secara umum, yaitu melalui pembentukan manusia yang mampu berpikir logis, sistematis dan cermat serta bersifat objektif dan terbuka dalam menghadapi berbagai permasalahan. BSNP 2006 (Wardhani, S : 2008: 12) menetapkan untuk semua jenjang pendidikan dasar dan menengah bahwa tujuan pembelajaran matematika adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut : 1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep, dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh. 4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
Sri Delina Lubis, Edy Surya, Ani Minarni. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik dan Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal Paradikma, Vol. 8, Nomor 3, Desember 2015, hal. 98-111.
110
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Dari butir-butir di atas, terlihat bahwa kemampuan memecahkan masalah menjadi tujuan sentral dalam pembelajaran matematika. Seperti yang diungkapkan Vettleson (2010 :1), “In the discipline of mathematics, the use of problem solving skills has been extremely important and highly influential. Problem solving is the foundation of all mathematical and scientific discoveries”. Dalam disiplin ilmu matematika penggunaan keterampilan pemecahan masalah mempunyai pengaruh yang sangat penting. Pemecahan masalah merupakan dasar dari seluruh ilmu matematika dan proses menemukan pengetahuan baru. Selain itu Lesh and Zawojewski (dalam Kuzle, 2013 :1) mendefinisikan “Mathematical problem solving as the process of interpreting a situation mathematically, which usually involves several iterative cycles of expressing, testing, and revising mathematical interpretation and of sorting out, integrating, modifying, revising or refining clusters of mathematical concepts from various topics within and beyond mathematics”. Pemecahan masalah matematika adalah proses menafsirkan situasi matematis yang biasanya melibatkan beberapa siklus berulang, mengungkapkan, menguji, dan merevisi interpretasi matematika dan masalah matematika, mengintegrasikan, memodifikasi, merevisi atau memperbaiki kelompok konsep-konsep matematika dari berbagai topik dalam dan luar matematika. Namun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematik siswa masih rendah. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian Setiawati (2013) dimana rendahnya hasil belajar matematika siswa disebabkan karena materi yang diajarkan, sedikit atau kurang sekali penekanan matematika dalam konteks kehidupan sehari-hari, guru mengajarkan matematika
dengan materi pelajaran dan metode yang tidak menarik. Kegagalan menguasai matematika dengan baik diantaranya disebabkan siswa kurang menggunakan nalar dalam menyelesaikan masalah. Hal tersebut mungkin disebabkan karena siswa masih kesulitan dan lambat dalam memahami soal secara lengkap. Penyebab rendahnya adalah kurangnya keterampilan siswa dalam menerjemahkan kalimat sehari-hari ke dalam kalimat matematika. Hal ini diduga terjadi karena siswa belum cukup memiliki gambaran yang jelas khususnya cara mengaitkan antara keadaan real/nyata yang mereka temukan sehari-hari dengan kalimat matematika yang sesuai. Mungkin pula hal itu terjadi karena siswa kurang terlibat aktif secara mental (aktif mendayagunakan pikirannya) dalam pemecahan masalah. Berdasarkan analisis hasil PISA 2012 (Result in Focus, OECD, 2013: 5) Indonesia berada pada level kedua terendah setelah Peru, dimana dari 6 (enam) level kemampuan yang dirumuskan di dalam studi PISA, 75,7% siswa Indonesia berada pada level dibawah 2 (dua), dan hanya 0,3 % yang mampu menguasai pelajaran sampai level 6 (enam), sementara negara lain yang terlibat di dalam studi ini banyak yang mencapai level 4 (empat), 5 (lima), dan 6 (enam). Dengan keyakinan bahwa semua manusia diciptakan sama, interpretasi yang dapat disimpulkan dari hasil studi ini, hanya satu, yaitu yang diajarkan disekolah selama ini tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Analisis hasil TIMSS tahun 2011 (2012:46) di bidang matematika untuk siswa kelas VIII SMP juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Para siswa kelas VIII Indonesia menempati posisi ke 38 diantara 42 negara yang berpartisipasi dalam tes matematika. Dari rata-rata skor internasional 500, para siswa Indonesia hanya memperoleh rata-rata 386. Skor siswa Indonesia tersebut tertinggal dengan siswa sesama negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia dan Thailand yang masing-masing mendapat skor rata-rata 661, 440,427.
Sri Delina Lubis, Edy Surya, Ani Minarni. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik dan Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal Paradikma, Vol. 8, Nomor 3, Desember 2015, hal. 98-111.
110
Hasil PISA dan TIMSS yang rendah tersebut tentunya disebabkan oleh banyak faktor. Salah satu faktor penyebabnya antara lain siswa Indonesia pada umumnya kurang terlatih dalam menyelesaikan soalsoal dengan karakteristik seperti soal-soal pada PISA dan TIMSS. Hal itu setidaknya dapat dicermati dari contoh-contoh instrumen penilaian hasil belajar yang didesain oleh para guru matematika SMP (Sekolah Menengah Pertama) di Indonesia dalam Model Pengembangan Silabus yang diterbitkan oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) pada tahun 2007. Silabus yang disusun pada umumnya menyajikan instrumen penilaian hasil belajar yang substansinya kurang dikaitkan dengan konteks kehidupan yang dihadapi siswa dan kurang memfasilitasi siswa dalam mengungkapkan proses berpikir dan berargumentasi. Keadaan itu tidak sejalan dengan karakteristik dari soal-soal pada PISA dan TIMSS yang substansinya berupa “masalah” kontekstual, menuntut penalaran, argumentasi, kreativitas dalam menyelesaikannya. Dari hasil observasi yang dilakukan peneliti di SMPN 32 Medan juga menunjukkan bahwa siswa kesulitan dalam menyelesaikan soal dalam bentuk pemecahan masalah. Contohnya saat siswa diberikan soal sebagai berikut:
Gambar.1 Soal Pemecahan Masalah Seorang Pedagang sayur menjual 8 buah tomat dan 12 buah jeruk nipis dengan harga Rp. 4000. Kemudian ia menjual lagi 16 buah tomat dan 8 buah jeruk nipis dengan harga Rp. 5.600. Menurut kalian mana yang lebih mudah, menemukan harga 4 buah tomat dan 6 buah jeruk nipis atau harga 6 buah tomat dan 4 buat jeruk nipis?Hitunglah harga sebuah tomat dan sebuah jeruk nipis. Jika seorang pembeli membeli tomat dan jeruk nipis dengan
memberi uang Rp. 5000. dan memperoleh kembalian Rp. 50, berapa buah tomat dan buah jeruk nipis yang diperoleh pembeli? Dari jawaban 35 siswa, terdapat 9 siswa (26%) yang memiliki kemampuan pemecahan masalah dengan kategori tinggi karena sudah mampu memahami masalah dengan benar, mampu mempresentasikan masalah ke dalam bentuk persamaan dengan benar sehingga proses perhitungan menjadi benar, siswa mampu menerapkan strategi dan memecahkan masalah. Selain itu, terdapat 11 siswa (31%) yang memiliki kemampuan pemecahan masalah dengan kategori sedang karena sudah mampu memahami masalah dengan benar, mampu mempresentasikan masalah ke dalam bentuk persamaan dengan benar, siswa mampu menerapkan strategi dan memecahkan masalah walaupun masih salah dalam perhitungan. Sementara itu terdapat 15 siswa (43%) yang memiliki kemampuan pemecahan masalah dengan kategori rendah. Hal tersebut dikarenakan siswa belum mampu memahami masalah dengan benar, ini terlihat dari cara siswa mempresentasikan masalah ke dalam bentuk persamaan dengan benar sehingga proses perhitungan menjadi tidak tepat. Siswa juga tidak mampu memilih dan menerapkan strategi dalam memecahkan masalah. Berdasarkan hasil temuan tersebut jelas bahwa kemampuan pemecahan masalah dalam matematika perlu dilatih dan dibiasakan kepada siswa sedini mungkin. Kemampuan ini diperlukan siswa sebagai bekal dalam memecahkan masalah matematika yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan memecahkan masalah amatlah penting bukan saja bagi mereka yang dikemudian hari akan mendalami matematika, melainkan juga bagi mereka yang akan menerapkannya baik dalam bidang studi lain maupun dalam kehidupan sehari-hari. Selain kemampuan pemecahan masalah, kemandirian belajar siswa juga menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan studi siswa tersebut. Bird
Sri Delina Lubis, Edy Surya, Ani Minarni. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik dan Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal Paradikma, Vol. 8, Nomor 3, Desember 2015, hal. 98-111.
110
(2009 :4) menyatakan “Setting and achieving goals, time management, planning, self-monitoring, self-evaluating and taking control of one’s learning are all self-regulatory processes regarded as essential for lifelong learning”. Menetapkan dan mencapai tujuan, manajemen waktu, perencanaan dan pemantauan, evaluasi diri dan mengambil kendali dalam belajar merupakan proses kemandirian yang dianggap penting untuk belajar sepanjang hayat. Hal ini didukung oleh hasil studi tahun 2000, Education Commission 2000 (dalam Cheng, 2011 : 1) “ One of the most important in Hongkong is to promote student ability and learning to learn. In order to achieve this aim, teachers need to teach student both knowledge and skills”. Kemampuan belajar mandiri berkolerasi tinggi dengan keberhasilan belajar siswa. Pentingnya kemandirian belajar dalam matematika didukung pula oleh hasil studi Pintrich (dalam Cheng, 2011) dengan temuannya antara lain: individu yang memiliki kemandirian belajar yang tinggi cenderung belajar lebih baik, mampu memantau, mengevaluasi, dan mengatur belajarnya secara efektif, menghemat waktu dalam menyelesaikan tugasnya, mengatur belajar dan waktu secara efisien. Pemerintah juga menjelaskan pentingnya kemandirian belajar bagi peserta didik, ini tertuang dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 Bab IV Pasal 19 tentang Standar Proses yakni proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Berdasarkan pendapat dan hasil studi para pakar di atas, menunjukkan bahwa kemandirian belajar matematika menjadi salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan belajar siswa
khususnya yang terkait dengan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. Selain itu uraian tersebut juga menunjukkan bahwa pengembangan kemandirian belajar sangat diperlukan oleh individu yang belajar matematika karena akan berdampak efektif dan efisien dalam mengatur proses belajarnya sehingga menjadi lebih baik lagi. Berdasarkan pendapat di atas maka dapat di simpulkan bahwa kemandirian belajar saat ini sangat diperlukan oleh siswa dalam proses pembelajaran, ini dimaksudkan agar siswa dalam proses pembelajaran di kelas tidak hanya tergantung pada faktor guru, dan teman untuk dapat menyelesaikan permasalahannya, akan tetapi lebih kepada kemampuannya sendiri dalam mendiagnosis kebutuhan dalam belajarnya. Kenyataan yang terjadi saat ini di lapangan kebanyakan dari siswa belum mampu secara mandiri untuk menemukan, mengenal, memerinci hal-hal yang berlawanan dan menyusun pertanyaanpertanyaan yang timbul dari masalahnya. Sebab siswa awalnya hanya menurut saja apa yang disajikan oleh guru atau masih bergantung pada guru. Jika siswa diharapkan menjadi siswa yang mandiri, maka mereka perlu aktif dan dihadapkan pada kesempatan-kesempatan yang memungkinkan mereka berpikir, mengamati dan mengikuti pikiran orang lain. Untuk dapat mengatasi permasalahan tentang rendahnya kemampuan pemecahan masalah siswa dan rendahnya kemandirian belajar siswa kiranya perlu diterapkan suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik dan kemandirian belajar siswa. Salah satu model pembelajaran yang sesuai dengan permasalahan di atas adalah pembelajaran berdasarkan masalah. Hal ini karena pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran di mana siswa mengerjakan permasalahan yang autentik dengan maksud untuk
Sri Delina Lubis, Edy Surya, Ani Minarni. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik dan Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal Paradikma, Vol. 8, Nomor 3, Desember 2015, hal. 98-111.
110
menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat tinggi, mengembangkan kemandirian, dan percaya diri. Howard Barrows dan Kelson (dalam Amir, M.T 2010: 21) menjelaskan bahwa: “Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) adalah kurikulum dan proses pembelajaran. Dalam kurikulumnya dirancang masalah-masalah yang menuntut siswa mendapatkan pengetahuan yang penting, membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah dan memiliki strategi belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistemik untuk memecahkan masalah atau menghadapi masalah yang nanti diperlukan dalam kehidupan mendatang”. Pada bagian lain Tan (2003: 27) menjelaskan “Problem Based Learning in their attempts to innovate learning educators are exploring methodologies that emphasize these facets: real-world challenges, higher-order thinking skills, problem-solving skills, interdisciplinary learning, information-mining skills, teamwork, communication skills”. Model pembelajaran berbasis masalah (PBM) adalah inovasi pembelajaran dimana siswa dihadapkan pada masalah konteks dunia nyata, kemampuan berpikir tingkat tinggi, kemampuan pemecahan masalah, pembelajaran dengan berbagai disiplin ilmu, kemampuan dalam mengumpulkan informasi, bekerja dalam kelompok, serta kemampuan mengkomunikasikannya. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan metode eksperimen dalam bentuk quasi eksperimen. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas seluruh siswa SMP Negeri 32 Medan Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling yang dipilih dari dua kelas secara acak dengan syarat kelas
tersebut bukan kelas unggulan. Selanjutnya pemilihan kelas sampel berdasarkan informasi dari kepala sekolah dan guru bahwa pembagian siswa pada tiap kelas dibagi secara heterogen. Oleh karena itu sampel yang dipilih pada penelitian ini adalah kelas VIII-3 sebagai kelas eksperimen yang terdiri dari 30 orang siswa dan kelas VIII-6 sebagai kelas kontrol yang terdiri dari 30 orang siswa. Rancangan penelitian ini terdiri dari 4 tahap yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, tahap analisis data dan tahap membuat kesimpulan.Tahap pelaksaan diawali dengan memberikan soal tes Pengetahuan Awal Matematik untuk menentukan tingkat pengetahuan awal siswa (tinggi, sedang, rendah) kemudian dilanjutkan dengan memberikan pretes sebelum proses pembelajaran terhadap materi baru yang diberikan kepada siswa. Tes ini diberikan kepada siswa kelompok PBM dan kelompok konvensional dengan tujuan agar kedua kelompok memiliki kemampuan pemecahan masalah matematik dan kemandirian belajar dengan kondisi yang sama. Setelah kemampuan kedua kelompok sama, selanjutnya dilaksanakan tindakan berupa Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) pada kelas eksperimen dan pembelajaran konvensional pada kelas kontrol. Pelaksanaan pembelajaran dilakukan pada masing-masing kelompok. Setelah kegiatan pembelajaran berakhir maka dilanjutkan dengan pelaksaan postes kemampuan pemecahan masalah matematik dan kemandirian belajar. Pada tahap analisis data, data tes kemampuan pemecahan masalah matematik dan kemandirian belajar dianalisis secara kuantitatif dan proses penyelesaian jawaban siswa dianalisis secara deskriptif. HASIL PENELITIAN Data dalam penelitian ini terbagi atas dua jenis, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif diperoleh dari hasil proses pelaksanaan pembelajaran
Sri Delina Lubis, Edy Surya, Ani Minarni. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik dan Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal Paradikma, Vol. 8, Nomor 3, Desember 2015, hal. 98-111.
110
berbasis masalah dan pembelajaran software SPSS 20. Hal pertama yang konvensional di dalam kelas serta proses dilakukan adalah melakukan analisis penyelesaian masalah siswa. Sedangkan deskriptif yang bertujuan untuk melihat data kuantitatif diperoleh dari hasil tes gambaran pengetahuan awal matematika kemampuan pemecahan masalah siswa, tes kemampuan pemecahan masalah matematik dan kemandirian belajar siswa dan kemandirian belajar matematik yang yang diteliti baik sebelum (pretes) maupun terdiri dari rata-rata dan standar deviasi. sesudah (postes) pembelajaran. Dalam Kemudian dilakukan analisis inferensial melakukan analisis terhadap hasil terhadap pencapaian hasil tersebut dengan pengetahuan awal matematik, kemampuan uji-t, analisis variansi (ANOVA) satu dan pemecahan masalah dan kemandirian dua jalur. belajar matematik siswa digunakan Tabel 1 : Deskripsi Data PAM Siswa pada Kelas Eksperimen dan Kontrol Descriptive Statistics N Range Minimum Maximum Mean PAM_EKSPERIM 30 EN PAM_KONTROL 30 Valid N (listwise) 30
Std. Deviation
Variance
9
0
9
4,23
2,515
6,323
8
1
9
4,53
2,113
4,464
Tabel 1 di atas memberikan gambaran bahwa skor rerata PAM untuk masing-masing kelas sampel penelitian relatif sama, pada kelas eksperimen sebesar 4,23 dan kelas kontrol sebesar
4,53. Untuk mengetahui kesetaraan skor PAM kelas sampel penelitian, perlu dilakukan uji analisis yang meliputi: uji normalitas dan homogenitas distribusi data serta uji perbedaan rerata.
Tabel 2: Hasil Uji Normalitas Nilai Pengetahuan Awal Matematika Siswa Tests of Normality Pembelajaran Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df EKSPERIME ,137 30 ,157 ,953 30 PAM N KONTROL ,133 30 ,186 ,964 30 a. Lilliefors Significance Correction Dari table 2 di atas terlihat bahwa nilai signifikan Kolmogorov-Smirnov untuk kelas eksperimen sebesar 0,157 dan kelas kontrol sebesar 0,186. Nilai kedua signifikan tersebut lebih besar dari nilai taraf signifikan 0,05, sehingga hipotesis
Sig.
nol yang menyatakan data berdistribusi normal untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat diterima. Dengan kata lain, data untuk kelompok eksperimen dan kontrol mempunyai data yang berdistribusi normal.
Sri Delina Lubis, Edy Surya, Ani Minarni. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik dan Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal Paradikma, Vol. 8, Nomor 3, Desember 2015, hal. 98-111.
,199 ,384
110
Tabel 3: Hasil Uji Homogenitas Nilai Pengetahuan Awal Matematika Siswa Test of Homogeneity of Variances PAM Levene df1 df2 Sig. Statistic 1,292 1 58 ,260 Dari tabel 3 di atas terlihat bahwa nilai signifikan sebesar 0,260 yang lebih besar dari taraf signifikan 0,05. Dengan demikian, hipotesis nol yang menyatakan tidak ada perbedaan variansi antar
kelompok data dapat diterima. Hal ini menunjukkan bahwa kedua kelompok data kelas eksperimen dan kelas kontrol mempunyai variansi data yang homogen.
Tabel 4 : Hasil Uji-t Data Pengetahuan Awal Matematika Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
Levene's Test for Equality of Variances F Sig.
PAM
Equal variances assumed Equal variances not assumed
1,2 92
,260
Independent Samples Test t-test for Equality of Means
t
df
Sig. (2tailed)
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
,500
58
,619
,300
,600 -1,500
,900
,500
56,328
,619
,300
,600 -1,501
,901
Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 4 di atas dengan menggunakan uji-t pada taraf signifikan 05 (uji dua sisi, 1/2 0,025) diperoleh thitung sebesar 0,500 dengan nilai signifikan 0,619 sedangkan ttabel sebesar 1,67. Karena thitung < ttabel (0,500 < 1,67) dan signifikan > 0,05 (0,619 > 0,05), sehingga H0 diterima. Tabel 5 : Sebaran Sampel Penelitian Kelas Sampel Penelitian Kelas Eksperimen Kelas Kontrol Jumlah
Mean Std. Error Differe Difference nce
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan rata-rata kemampuan antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Atau dengan kata lain, kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memiliki kemampuan yang sama.
Kemampuan Siswa Tinggi Sedang Rendah 6 15 9 6 18 6 12 33 15
Sri Delina Lubis, Edy Surya, Ani Minarni. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik dan Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal Paradikma, Vol. 8, Nomor 3, Desember 2015, hal. 98-111.
110
Berdasarkan tabel 5 di atas, diperoleh pada kelas eksperimen tingkat kemampuan siswa untuk kategori tinggi ada 6 siswa, sedang 15 siswa dan rendah 9 siswa, sedangkan pada kelas kontrol tingkat kemampuan siswa untuk kategori tinggi ada 6 siswa, sedang 18 siswa dan rendah 6 siswa.
Untuk melihat peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model Pembelajaran Berbasis Masalah dengan siswa yang memperoleh Pembelajaran Konvensional adalah dengan menghitung gain kedua kelas.
Tabel 6 : Data Hasil Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik
Kelompok Eksperimen Kontrol
x min 0,55 0,19
Data skor N-Gain Kelompok xmaks SD x 1,00 0,71 0,11 0,76 0,50 0,15
Dari Tabel 6 di atas diperoleh bahwa skor minimum dan skor maksimum data kelompok eksperimen lebih tinggi daripada skor minimum dan skor maksimum data kelompok kontrol. Simpangan baku skor N-Gain kemampuan pemecahan masalah matematik siswa kelompok eksperimen
Kategori Tinggi Sedang
lebih tinggi dari kelas kontrol, artinya skor N-Gain kemampuan pemecahan masalah matematik siswa kelompok eksperimen lebih menyebar daripada skor N-Gain kemampuan pemecahan masalah matematik siswa kelompok kontrol.
Tabel 7 : Hasil Uji Normalitas Peningkatan Kemampuan pemecahan masalah Matematik Tests of Normality Pembelajaran Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. * ,092 30 ,200 ,964 30 ,391 N_Gain_KP Eksperimen * M Kontrol ,104 30 ,200 ,958 30 ,272 *. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction
Dari Tabel 7 nilai signifikan uji Kolmogorov-Smirnov pada skor gain kemampuan pemecahan masalah matematik kelas eksperimen dan kelas
kontrol adalah sama yaitu 0,200. Nilai signifikan kedua kelas lebih besar dari α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan skor NGain kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan model Pembelajaran Berbasis Masalah dan Pembelajaran Konvensional berdistribusi normal.
Sri Delina Lubis, Edy Surya, Ani Minarni. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik dan Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal Paradikma, Vol. 8, Nomor 3, Desember 2015, hal. 98-111.
110
Tabel 8 : Hasil Uji Homogenitas Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Test of Homogeneity of Variances N_Gain_KPM Levene df1 df2 Sig. Statistic 3,114 1 58 ,083 Dari Tabel 8 tersebut diperoleh nilai kemampuan pemecahan masalah kelas signifikan sebesar 0,083. Nilai signifikan eksperimen dengan kelas kontrol diterima. kemampuan pemecahan masalah Sehingga dapat disimpulkan bahwa kelas matematik lebih besar dari taraf signifikan eksperimen dan kelas kontrol untuk pemecahan masalah 0,05 sehingga hipotesis nol yang kemampuan menyatakan bahwa tidak terdapat matematik memiliki varians yang sama perbedaan variansi skor peningkatan (homogen). Tabel 9 : Data Hasil Peningkatan Kemandirian Belajar Matematik Siswa Data skorlompok N-Gain Kategori x Kelompok x SD x Eksperimen Kontrol
min
maks
0,12 0,06
0,48 0,41
Dari Tabel 9 di atas diperoleh bahwa skor minimum dan skor maksimum data kelompok eksperimen lebih tinggi daripada skor minimum dan skor maksimum data kelompok kontrol. Simpangan baku skor N-Gain kemandirian belajar matematik
0,32 0,27
0,087 0,089
Sedang Rendah
siswa kelompok kontrol lebih tinggi dari kelas eksperimen, artinya skor N-Gain kemandirian belajar matematik siswa kelompok kontrol lebih menyebar daripada skor N-Gain kemandirian belajar matematik siswa kelompok eksperimen.
Tabel 10 : Hasil Uji Normalitas Peningkatan Kemandirian Belajar Matematik Siswa Tests of Normality Pembelajara Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk n Statisti df Sig. Statistic df Sig. c Eksperimen ,107 30 ,200* ,958 30 ,277 N_Gain_Kemandiria n_Total Kontrol ,154 30 ,067 ,930 30 ,052 *. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction Dari Tabel 10 diperoleh nilai signifikan uji Kolmogorov-Smirnov pada skor N-Gain kemandirian belajar matematik siswa kelas eksperimen adalah 0,200 dan skor N-Gain kemandirian belajar matematik siswa kelas kontrol adalah 0,067. Nilai signifikan kedua kelas lebih
besar dari α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan skor N-Gain kemandirian belajar matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model Pembelajaran Berbasis Masalah dan Pembelajaran Konvensional berdistribusi normal.
Sri Delina Lubis, Edy Surya, Ani Minarni. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik dan Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal Paradikma, Vol. 8, Nomor 3, Desember 2015, hal. 98-111.
110
Tabel 11 : Hasil Uji Homogenitas Peningkatan Kemandirian Belajar Matematik Siswa Test of Homogeneity of Variances N_Gain_Kemandirian_Total Levene df1 df2 Sig. Statistic ,015 1 58 ,904 Dari Tabel 11 tersebut diperoleh skor peningkatan kemampuan pemecahan nilai signifikan sebesar 0,904. Nilai masalah kelas eksperimen dengan kelas diterima. Sehingga dapat signifikan kemandirian belajar matematik kontrol siswa lebih besar dari taraf signifikan 0,05 disimpulkan bahwa kelas eksperimen dan sehingga hipotesis nol yang menyatakan kelas kontrol untuk kemandirian belajar bahwa tidak terdapat perbedaan variansi matematik siswa memiliki varians yang sama (homogen). Tabel 12 :
Hasil Uji terhadap Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Berdasarkan Pembelajaran dan Hasil Uji Interaksi antara Pembelajaran dan PAM Terhadap Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Menggunakan ANAVA 2 Jalur
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: N_Gain_KPM Source Type III Sum df Mean F Sig. of Squares Square Corrected Model 1,041a 5 ,208 16,595 ,000 Intercept 17,433 1 17,433 1389,993 ,000 Pembelajaran ,616 1 ,616 49,123 ,000 PAM ,309 2 ,154 12,315 ,000 Pembelajaran * ,053 2 ,027 2,127 ,129 PAM Error ,677 54 ,013 Total 23,946 60 Corrected Total 1,718 59 a. R Squared = ,606 (Adjusted R Squared = ,569) Berdasarkan Tabel 12 terlihat bahwa untuk faktor pembelajaran, diperoleh nilai F hitung sebesar 49,123 dan nilai signifikan sebesar 0,000. Karena nilai signifikan lebih kecil dari nilai taraf signifikan 0,05, maka H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah
Partial Eta Squared ,606 ,963 ,476 ,313 ,073
matematik siswa yang memperoleh model Pembelajaran Berbasis Masalah lebih tinggi daripada kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Dari Tabel 12 juga terlihat bahwa untuk faktor pembelajaran dan PAM, diperoleh nilai F hitung sebesar 2,127 dan
Sri Delina Lubis, Edy Surya, Ani Minarni. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik dan Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal Paradikma, Vol. 8, Nomor 3, Desember 2015, hal. 98-111.
110
nilai signifikan sebesar 0,129. Karena nilai signifikan lebih besar dari nilai taraf signifikan 0,05, maka H1 ditolak dan H0 diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat interaksi yang signifikan antara pembelajaran dengan PAM terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa dapat diterima. Dengan kata lain gain rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematik siswa dengan pengetahuan awal matematika Tabel 13 :
(tinggi, sedang, rendah) siswa yang diajar dengan model Pembelajaran Berbasis Masalah tidak berbeda secara signifikan dengan siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional apabila dikelompokkan berdasarkan kombinasi antara pembelajaran dan PAM, atau faktor pembelajaran dan PAM secara bersamasama tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa.
Hasil Uji terhadap Peningkatan Kemandirian Belajar Siswa Berdasarkan Pembelajaran dan Hasil Uji Interaksi antara Pembelajaran dan PAM Terhadap Peningkatan Kemandirian Belajar Matematik Siswa Menggunakan ANAVA 2 Jalur
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: N_Gain_Kemandirian_Total Source Type III Sum df Mean F of Squares Square Corrected Model ,106a 5 ,021 2,946 Intercept 4,324 1 4,324 598,979 Pembelajaran ,061 1 ,061 8,404 PAM ,039 2 ,020 2,712 Pembelajaran * ,026 2 ,013 1,808 PAM Error ,390 54 ,007 Total 5,771 60 Corrected Total ,496 59 a. R Squared = ,214 (Adjusted R Squared = ,142) Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa untuk faktor pembelajaran, diperoleh nilai F hitung sebesar 8,404 dan nilai signifikan sebesar 0,005. Karena nilai signifikan lebih kecil dari nilai taraf signifikan 0,05, maka H0 ditolak dan H1 diterima. Sehingga peningkatan kemandirian belajar matematik siswa yang memperoleh model Pembelajaran Berbasis Masalah lebih tinggi daripada kemandirian belajar matematik siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Dari Tabel 13 juga terlihat bahwa untuk faktor pembelajaran dan PAM, diperoleh nilai F hitung sebesar 1,808 dan nilai signifikan sebesar 0,174. Karena nilai signifikan lebih besar dari nilai taraf signikan 0,05, maka tolak H1 dan terima
Sig. ,020 ,000 ,005 ,075
Partial Eta Squared ,214 ,917 ,135 ,091
,174
,063
H0, yang berarti tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dengan pengetahuan awal matematika terhadap peningkatan kemandirian belajar matematik siswa dapat diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat interaksi yang signifikan antara pembelajaran dengan PAM terhadap peningkatan kemandirian belajar matematik siswa dapat diterima. Dengan kata lain gain rata-rata kemandirian belajar matematik siswa dengan pengetahuan awal matematika (tinggi, sedang, rendah) siswa yang diajar dengan model Pembelajaran Berbasis Masalah tidak berbeda secara signifikan dengan siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional apabila dikelompokkan berdasarkan kombinasi
Sri Delina Lubis, Edy Surya, Ani Minarni. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik dan Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal Paradikma, Vol. 8, Nomor 3, Desember 2015, hal. 98-111.
110
antara pembelajaran dan PAM, atau faktor pembelajaran dan PAM secara bersamasama tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemandirian belajar matematik siswa.
konvensional) dan pengetahuan awal matematika siswa (tinggi, sedang dan rendah) terhadap peningkatan kemandirian belajar matematik siswa. Hal ini juga diartikan bahwa interaksi antara pembelajaran (model Pembelajaran Berbasis Masalah dan Pembelajaran konvensional) dan pengetahuan awal matematika siswa (tinggi, sedang dan rendah) tidak memberikan pengaruh secara bersama-sama yang signifikan terhadap peningkatan kemandirian belajar matematik siswa. Perbedaan peningkatan kemandirian belajar siswa disebabkan oleh perbedaan pembelajaran yang digunakan bukan karena pengetahuan awal matematika siswa.
KESIMPULAN 1.
Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah lebih tinggi daripada kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
2.
Peningkatan kemandirian belajar matematik siswa yang memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah lebih tinggi daripada kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
3.
Tidak terdapat interaksi antara pembelajaran (model Pembelajaran Berbasis Masalah dan Pembelajaran konvensional) dan pengetahuan awal matematika siswa (tinggi, sedang dan rendah) terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik. Hal ini juga diartikan bahwa interaksi antara pembelajaran (model Pembelajaran Berbasis Masalah dan Pembelajaran konvensional) dan pengetahuan awal matematika siswa (tinggi, sedang dan rendah) tidak memberikan pengaruh secara bersama-sama yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. Perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa disebabkan oleh perbedaan pembelajaran yang digunakan bukan karena pengetahuan awal matematika siswa.
4.
Tidak terdapat interaksi antara pembelajaran (model Pembelajaran Berbasis Masalah dan Pembelajaran
5.
Proses penyelesaian jawaban siswa dalam menyelesaikan masalah kemampuan pemecahan masalah dan kemandirian belajar matematik siswa pada Pembelajaran Berbasis Masalah terkesan lebih lengkap, bervariasi dan jawaban benar dibandingkan dengan proses penyelesaian jawaban siswa pada pembelajaran konvensional. Hal ini dapat ditemukan dari hasil kerja siswa baik yang diajar dengan model Pembelajaran Berbasis Masalah maupun pembelajaran konvensional. Secara klasikal siswa yang memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dapat dikatakan memiliki kemampuan yang kompeten dalam hal memecahkan masalah dan belajar secara mandiri. Di mana siswa telah mampu memberikan langkah penyelesaian jawaban yang lengkap dan benar, walaupun masih dijumpai sebagian kecil siswa yang memberikan jawaban dengan langkah yang lengkap tetapi tidak benar. Sedangkan pada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional, dapat dikatakan belum berkompeten dalam memecahkan masalah dan mandiri dalam belajar. Di mana masih banyak terdapat siswa yang belum mampu memberikan
Sri Delina Lubis, Edy Surya, Ani Minarni. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik dan Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal Paradikma, Vol. 8, Nomor 3, Desember 2015, hal. 98-111.
110
langkah penyelesaian jawaban secara lengkap dan benar. DAFTAR PUSTAKA Amir,
M. Taufik. 2010. Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning. Kencana Prenada Media Group : Jakarta.
Bird,
Lyn. 2009. Developing Self Regulated Learning Skills in Young Student. Thesis. Deakin University. Tidak dipublikasikan.
Cheng, Eric C.K. 2011. The role of self Regulated Learning in Enhancing Learning Performance. The Hongkong Institute of Education, Hongkong. Vol. 6 Issue 1. March 2011. ISSN 2094-1420. Kuzle, A. 2013. Patterns of Metacognitive Behavior During Mathematics Problem-Solving in a Dynamic Geometry Environment. International Electronic Journal of Mathematics Education, Vol. 8 , No. 1 PISA 2012. 2013. Result in Focus, What 15-year-olds know and what they can do with what they know. OECD, Programme for International Student Assesment. Setiawati, D. Peningkatan
2013.
Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematik Siswa Antara Pendekatan Contextual Teaching and Learning dan Pembelajaran Konvensional pada Siswa Kelas X SMK Negeri 1 Bireuen. Tesis Unimed. Jurnal Pendidikan Matematika PARADIKMA, Vol 6 No 1 Edisi Juni 2013, hal 1-13. Tan, O. Seng. 2003. Problem-Based Learning Innovation: Using Problems to Power Learning in the 21st Century. Cengage Learning : a division of Cengage Learning Asia Pte Ltd. TIMSS 2011. 2012. TIMSS 2011 International Result and Mathematics. TIMSS dan PIRLS. International Study Centre. Lynch School of Education, Boston Collage. Vettleson Jr. 2010. Problem Solving Based Instuction in the High School Mathematics Classroom. Bemidji, Minnesota, USA Wardhani, S. 2008. Analisis SI dan SKL Mata Pelajaran Matematika SMP/MTs untuk Optimalisasi Tujuan Mata Pelajaran Matematika. Kementrian Pendidikan Nasional. PPPPTK Matematika : Yogyakarta.
Perbedaan Kemampuan
Sri Delina Lubis, Edy Surya, Ani Minarni. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik dan Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal Paradikma, Vol. 8, Nomor 3, Desember 2015, hal. 98-111.