PENILAIAN EKONOMI BERBAGAI POLA PENGGUNAAN LAHAN BERDASARKAN CITRA SATELIT IKONOS TAHUN 2003 (Studi Kasus di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor)
NURDIN SULISTIYONO
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penilaian Ekonomi Berbagai Pola Penggunaan Lahan Berdasarkan Citra Satelit Ikonos Tahun 2003 (Studi Kasus di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc yang belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2006
Nurdin Sulistiyono E 051020041
ABSTRAK
NURDIN SULISTIYONO. Penilaian Ekonomi Berbagai Pola Penggunaan Lahan Berdasarkan Citra Satelit Ikonos Tahun 2003 (Studi Kasus di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor) Dibimbing oleh : Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman MA dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo MSc. Kegiatan penggunaan lahan di daerah hulu DAS sangat berpengaruh terhadap daerah hilir, karena pola penggunaan lahan di daerah hulu mempunyai eksternalitas negatif terhadap daerah hilir. Adanya dampak negatif ini tidak cukup dicegah dengan cara meminta masyarakat di daerah hulu untuk merubah pola penggunaan lahannya yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Mengingat dengan perubahan tersebut dapat menyebabkan pola kesejahteraan masyarakat bisa berkurang, maka perlu adanya mekanisme kompensasi atas perubahan penggunaan lahan di daerah hulu. Hal ini penting agar dampak negatif dari kegiatan pola penggunaan lahan di daerah hulu ini dapat dikurangi sementara disisi lain dapat meningkatkan pola kesejahteraan masyarakat hulu. Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah menentukan pola penggunaan lahan berdasarkan citra satelit Ikonos tahun 2003, membandingkan pola penggunaan lahan dengan RTRW Kabupaten Bogor, menentukan besarnya nilai ekonomi pada berbagai pola pengunaan lahan serta menentukan besarnya nilai kompensasi yang sebaiknya diberikan kepada masyarakat akibat merubah pola penggunaan lahannya pada kawasan lindung di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu. Untuk menentukan besarnya nilai ekonomi berbagai penggunaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat digunakan pendekatan produktivitas dan kesediaan membayar. Untuk menentukan besarnya nilai ekonomi hutan lindung digunakan pendekatan nilai ekonomi total. Sementara untuk mengidentifikasi pola penggunaan lahan yang ada dilakukan dengan bantuan citra satelit Ikonos Tahun 2003 dengan metode on screen. Hasil penelitian menunjukkan dari 39,24 % luas total Sub DAS Ciesek yang diperuntukkan sebagai kawasan lindung kini hanya tinggal 24,68 % dari luas total Sub DAS Ciesek yang masih menyisakan kawasan bervegetasi hutan. Pada kawasan-kawasan yang seharusnya berfungsi sebagai kawasan lindung, besarnya biaya kompensasi yang diberikan untuk mengganti pertanian lahan basah adalah sebesar Rp.3.386.986,58/ha/tahun, pertanian lahan kering sebesar Rp.7.562.937,97/ha/tahun dan kebun campuran sebesar Rp.3.093.222,65/ha/tahun. Sementara bagi bangunan rumah yang sebagian besar merupakan villa-villa seharusnya mereka diberikan pajak lingkungan yang tinggi karena telah membangun pemukiman di kawasan lindung. Besarnya nilai ekonomi penggunaan lahan pada kawasan lindung pada saat ini memberikan kontribusi sebesar Rp.9.550.570.082,90/tahun atau Rp.1.470.531.389,76 lebih besar jika dibandingkan dengan penggunaan lahan berdasarkan RTRW tahun 2000 yang memberikan kontribusi sebesar Rp.8.080.038.693,14/tahun. Diharapkan informasi nilai ekonomi berbagai pola penggunaan lahan serta nilai kompensasi perubahan penggunaan lahan di Sub DAS Ciesek bisa menjadi langkah awal untuk menentukan besarnya biaya yang diperlukan untuk mengembalikan fungsi-fungsi lingkungan kawasan lindung di DAS Ciliwung.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagaian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya
PENILAIAN EKONOMI BERBAGAI POLA PENGGUNAAN LAHAN BERDASARKAN CITRA SATELIT IKONOS TAHUN 2003 (Studi Kasus di DAS Ciliwung Hulu, Sub DAS Ciesek, Kabupaten Bogor)
NURDIN SULISTIYONO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul
:
Nama NIM
: :
Penilaian Ekonomi Berbagai Pola Penggunaan Lahan Berdasarkan Citra Satelit Ikonos Tahun 2003 (Studi Kasus di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor) Nurdin Sulistiyono E 051020041
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A. Ketua
Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 31 Agustus 2006
Tanggal Lulus :
ABSTRACT
The type of land uses in sub-watershed of Ciesek which is located in the upstream of Ciliwung watershed affects the downstream area. The land use types in the upstream give a negative externality to the downstream area. Land use types which are not in accordance with regional land use allocation plan may give a higher economical benefit. On the other hand, the environmental functions can be disturbed. A higher resolution satellite image, Ikonos of the year of 2003, was used to identify the land use types. This study aims to obtain information on land use types with remote sensing analysis using ikonos satellite image and to assess the economical value of subwatershed of Ciesek, Ciliwung Hulu Watershed. The concept of economical valuation which was used to assess the economical value of protected area is the concept of total economical value. The methods are market price valuation, travelling cost, substitution cost and continget valuation methods. Productivity approach was used as the method of cultivation area valuation. The research shows that the land use types of Ciesek sub-watershed are not in accordance with the allocated types. The total economical value of the protected area is 5,068,626,150.83 rupiahs/year or 7,741,539.89 rupiahs/ha/year. The economical value of the wet land agriculture is 3,729,747 rupiahs/ha/year, dry land agriculture is 7,905,698.23 rupiahs/ha/year. Mixed garden has the economical value of 3,435,982.91 rupiahs/ha/year while the common house types has the value of 554,653,679.65 rupiahs/ha/year and villa types give the value of 1,288,702,928.87 rupiahs/ha/year. Key words : Sub Watershed of Ciesek, landuse, economic value
PENDAHULUAN
Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan salah satu bentuk ekosistem yang secara umum terdiri dari wilayah hulu dan hilir. Wilayah hulu DAS didominasi oleh kegiatan pertanian lahan kering dan hutan sedangkan di wilayah hilir didominasi oleh pertanian lahan basah sawah dan pemukiman.
Sistem
Pengelolaan DAS harus dilakukan terintegrasi antara wilayah hulu dan hilir, dalam pengertian berbagai kegiatan pengelolaan di wilayah hulu dan hilir harus berjalan saling menunjang dan dapat dikoordinasikan. Sistim pengelolaan DAS di Indonesia masih banyak yang tidak memperhatikan hubungan keterkaitan daerah hulu-hilir sehingga banyak dijumpai DAS-DAS terutama dibagian hulu yang keadaannya kritis atau rusak. DAS Ciliwung merupakan DAS yang tergolong kritis. Pada dasarnya, DAS Ciliwung mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan DAS kritis lainnya.
Walaupun demikian, ada beberapa hal yang menyebabkan DAS
Ciliwung mendapat sorotan yang lebih banyak dibandingkan DAS-DAS lainnya, antara lain karena : (a) Wilayah Hilir DAS Ciliwung mencakup daerah ibukota negara (DKI Jakarta) yang sangat kaya akan asset-asset nasional dan pemukiman penduduk, (b) Kerusakan wilayah hulu DAS Ciliwung tidak semata-mata akibat kegiatan pertanian, tetapi juga oleh tumbuhnya pemukiman dan prasarana lainnya yang tidak berwawasan lingkungan, dan (c) wilayah hulu DAS Ciliwung merupakan kawasan wisata yang terus berkembang, hingga membutuhkan perencanaan yang dapat mengakomodasi tuntutan perkembangan tersebut. Mengingat betapa pentingnya keberadaan DAS Ciliwung Hulu sebagai daerah penyangga, pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan berkaitan dengan rencana penggunaan lahan di daerah Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopuncur). Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur dikategorikan sebagai kawasan tertentu yang memerlukan penanganan khusus dan merupakan kawasan yang mempunyai nilai strategis yang penataan ruangnya
harus diprioritaskan. Kemudian pada tahun 1999, pemerintah melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Bopunjur ditetapkan dengan fungsi utama kawasan sebagai kawasan lindung dan kawasan budidaya.
Kemudian pada tingkat Pemerintahan Daerah, Pemda
Kabupaten Bogor juga telah menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pada tahun 2000 yang mengatur tentang peruntukan penggunaan lahan yang penyusunannya telah disesuaikan dengan kaidah-kaidah lingkungan untuk seluruh wilayah Kabupaten Bogor termasuk Sub DAS Ciesek yang merupakan bagian dari DAS Ciliwung Hulu. Permasalahan yang timbul berkaitan dengan penggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu khususnya Sub DAS Ciesek adalah apakah pola penggunaan lahan yang ada sekarang telah sesuai dengan RTRW yang telah ditetapkan. Dengan bantuan citra satelit Ikonos yang merupakan citra satelit dengan resolusi tinggi diharapkan dapat membantu pengidentifikasian pola penggunaan lahan yang ada sekarang dengan lebih teliti. Permasalahan lain yang muncul adalah bahwasannya pola penggunaan lahan di daerah hulu mempunyai eksternalitas negatif terhadap daerah hilir, misalnya dengan adanya dampak banjir dan erosi yang bisa terjadi di daerah hilir.
Adanya dampak negatif ini tidak cukup dicegah dengan cara
meminta masyarakat di daerah hulu untuk merubah pola penggunaan lahannya yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah ditentukan pemerintah. Untuk itu perlu dipikirkan suatu mekanisme pemberian kompensasi bagi masyarakat yang tinggal di daerah kawasan lindung di hulu DAS agar bersedia merubah pola penggunaan lahannya agar sesuai dengan kaidahkaidah lingkungan. Berkaitan dengan mekanisme kompensasi kepada masyarakat dalam mengkonservasi lahan, konsep Purchase of Development Right (PDR) telah dikembangkan di negara-negara bagian di wilayah barat Amerika Serikat. Ide dari konsep PDR ini adalah untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat petani
yang
bersedia
mengkonservasi
lahannya
dengan
cara
tetap
mempertahankan lahannya sebagai lahan pertanian dan tidak menjual lahannya untuk pemukiman.
2
Berangkat dari ide PDR di atas, agar fungsi-fungsi lingkungan yang sangat penting bagi daerah hilir dapat kembali dipulihkan, maka penggunaan lahan di daerah hulu yang ada sekarang harus dikembalikan kepada penggunaan lahan yang sesuai dengan kepentingan lingkungan seperti yang telah direncanakan dalam RTRW.
Mengingat dengan perubahan tersebut dapat menyebabkan
pendapatan atau pola kesejahteraan masyarakat bisa berkurang, maka perlu adanya mekanisme kompensasi atas perubahan penggunaan lahan yang ada di daerah hulu. Hal ini penting agar dampak negatif dari kegiatan pola penggunaan lahan di daerah hulu ini dapat dikurangi sementara disisi lain dapat meningkatkan pola kesejahteraan masyarakat yang tinggal di daerah hulu. Permasalahannya berapa kompensasi yang sebaiknya diberikan kepada masyarakat di daerah hulu. Kompensasi yang sebaiknya diberikan adalah sebesar nilai ekonomi yang hilang akibat perubahan pola penggunaan lahan yang terjadi di daerah hulu. Untuk itu sebagai langkah awal penyediaan informasi nilai ekonomi berbagai pola penggunaan lahan yang ada menjadi sangat penting. Penelitian ini berusaha memberikan informasi tentang berbagai pola penggunaan lahan dengan bantuan teknik penginderaan jauh menggunakan citra satelit Ikonos, nilai ekonominya serta besarnya nilai kompensasi yang sebaiknya diberikan kepada masyarakat akibat merubah pola penggunaan lahannya di kawasan lindung di Sub DAS Ciesek. Diharapkan informasi ini bisa menjadi salah satu referensi bagi pihak-pihak yang terkait dalam melakukan kebijakan pengelolaan DAS di kawasan DAS Ciliwung Hulu, khususnya Sub DAS Ciesek.
Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam kegiatan pengelolaan Sub DAS Ciesek di DAS Ciliwung Hulu, memuat beberapa permasalahan, yakni : 1. Terjadi konflik kepentingan antara masyarakat dengan pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. Secara geografis fungsi Sub DAS Ciesek yang terletak di DAS Ciliwung bagian hulu memiliki fungsi penting sebagai kawasan yang melindungi daerah hilir, akan tetapi sekarang ini telah terjadi proses pergeseran penggunaan lahan. Sebagian wilayah yang diperuntukkan sebagai kawasan lindung di Sub DAS Ciesek telah beralih fungsi sebagai
3
kawasan budidaya.
Secara ekonomi pemanfaatan lahan dalam kawasan
lindung sebagai kawasan budidaya mungkin mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi tapi berbahaya dari segi lingkungan. 2. Salah satu upaya penyelesaian konflik yang terjadi adalah dengan mengetahui nilai ekonomi dari berbagai pola penggunaan lahan yang ada. Hal ini dirasa penting untuk dapat mengetahui besarnya nilai kompensasi yang sewajarnya diberikan kepada masyarakat akibat merubah pola penggunaan lahannya.
Tujuan Penelitian Tujuan dari kegiatan penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut : 1. Menentukan pola penggunaan lahan di Sub DAS Ciesek berdasarkan citra satelit Ikonos tahun 2003. 2. Membandingkan pola penggunaan lahan dengan RTRW Kabupaten Bogor untuk Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu. 3. Menentukan besarnya nilai ekonomi pada berbagai pola pengunaan lahan di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu. 4. Menentukan besarnya nilai kompensasi yang sebaiknya diberikan kepada masyarakat akibat merubah pola penggunaan lahannya pada kawasan lindung.
Manfaat Penelitian Penelitian ini berguna untuk masukan dan input bagi peneliti, instansi terkait dan ilmu pengetahuan. 1. Bagi peneliti, penelitian ini sebagai media untuk menerapkan salah satu teknik penilaian ekonomi lingkungan dengan bantuan GIS dan Remote Sensing untuk mendeteksi pola pengunaan lahan di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu. 2. Bagi instansi terkait, penelitian ini berguna sebagai bahan informasi tentang besarnya nilai ekonomi pada berbagai pola penggunaan lahan dan besarnya nilai kompensasi yang sebaiknya diberikan kepada masyarakat akibat merubah pola penggunaan lahannya di kawasan lindung di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu. Informasi ini diharapkan bisa menjadi salah satu dasar dalam upaya penyelesaian konflik lingkungan yang terjadi di Sub DAS Ciesek.
4
Kerangka Pemikiran Persoalan yang dihadapi dalam upaya pelestarian dan perlindungan hutan alam di hulu DAS adalah masih kurangnya dukungan dari masyarakat dan instansi terkait. Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, pengelola harus dapat meyakinkan bahwa berhasilnya upaya pelestarian kawasan ini akan memberikan keuntungan, baik secara ekonomis, sosial budaya maupun ekologis. Sebaliknya jika upaya pelestarian terhadap kawasan ini gagal maka akan menimbulkan kerugian berupa berkurangnya nilai keanekaragaman hayati dan rusaknya sistem pendukung kehidupan yang berperan dalam pembangunan berkelanjutan. Belum adanya informasi nilai ekonomis berbagai pola penggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu khususnya Sub DAS Ciesek menyebabkan berbagai pihak terkait kurang menghargai arti pentingnya kawasan ini sehingga bisa mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan dari kawasan lindung yang berfungsi sebagai kawasan resapan air ke penggunaan lain seperti pertanian dan pemukiman.
Dengan adanya informasi mengenai besarnya nilai ekonomi
berbagai pola penggunaan lahan yang ada dapat digunakan untuk menentukan besarnya kompensasi yang selayaknya diberikan kepada masyarakat akibat merubah pola penggunaan lahannya di kawasan lindung. Melalui sistem insentif dan disinsentif bagi semua pihak yang terlibat diharapkan fungsi ekologis dari kawasan lindung dapat diperbaiki dan dilain pihak juga bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Sub DAS Ciesek.
5
Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor POLA PENGUNAAN LAHAN Citra Satelit Ikonos Th 2003
Analisis Citra Satelit Peruntukan Penggunaan Lahan Sesuai RTRW Th 2000
Kawasan Lindung
Kondisi Penggunaan Lahan saat ini
Kawasan Budidaya
Kawasan Lindung
Kawasan Budidaya
Pertanian Lahan Basah
Daerah Kritis Terdegradasi
Pemanfaatan Kawasan Lindung Sebagai Kawasan Budidaya
Konflik Kepentingan antara Masyarakat dan PEMDA
Pertanian Lahan Kering Upaya Pengembalian Penggunaan Lahan Sesuai Peruntukannya
Tanaman Tahunan Kawasan Pemukiman
Nilai Ekonomi RTRW
Nilai Ekonomi Sekarang Kompensasi Ekonomi Akibat Perubahan Penggunaan Lahan
Pembayaran Jasa Lingkungan Mekanisme Transfer Benefit Hulu-Hilir
Informasi : Nilai Kompensasi Kepada Masyarakat Hulu Pengambilan Kebijakan dalam Pengelolaan DAS
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
6
TINJAUAN PUSTAKA
Nilai Kawasan Nilai (value) merupakan persepsi seseorang adalah harga yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu pada suatu tempat dan waktu tertentu. Kegunaan, kepuasan dan kesenangan merupakan istilah-istilah lain yang diterima dan berkonotasi nilai atau harga. Ukuran harga ditentukan oleh waktu, barang, atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk memiliki atau menggunakan barang atau jasa yang diinginkannya.
Penilaian (valuation) adalah kegiatan yang
berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk menduga nilai barang dan jasa (Davis and Johnson, 1987) Penilaian peranan ekosistem, termasuk kawasan konservasi, bagi kesejahteraan manusia merupakan pekerjaan yang sangat kompleks, mencakup berbagai faktor yang berkaitan dengan nilai sosial dan politik.
Menurut
Munasinghe dan McNeely (1994), nilai suatu kawasan konservasi sangat tergantung pada aturan-aturan manajemen yang berlaku. Dengan kata lain, nilai tersebut ditentukan tidak hanya oleh faktor-faktor biolgi dan ekonomi tetapi juga oleh kelembagaan yang dibangun untuk mengelola sumberdaya kawasan konservasi tersebut. Pearce et al. (1989), mengelompokkan nilai sumber daya hutan (SDH) dalam tiga macam nilai yaitu: •
Nilai Penggunaan Langsung, adalah manfaat yang langsung diambil dari SDH. Sebagai contoh manfaat penggunaan sumber daya hutan sebagai input untuk proses produksi atau sebagai barang konsumsi.
•
Nilai Penggunaan Tidak Langsung, yaitu nilai yang secara tidak langsung dirasakan manfaatnya, dapat berupa hal yang mendukung nilai guna langsung.
•
Nilai Non Penggunaan, yaitu semua manfaat yang dihasilkan bukan dari hasil interaksi secara fisik antara hutan dan konsumen (pengguna).
Sedangkan Barbier (1991) dalam Bishop (1999) mengelompokkan tipetipe nilai guna hutan sebagai berikut :
Tabel 1. Tipe-tipe Nilai Guna Hutan Nilai Guna Nilai Langsung
Nilai Tidak Langsung • Perlindungan Daerah Aliran Sungai
•
Hasil kayu (kayu bulat, kayu bakar
•
• Hasil non kayu (sumber pangan, tanaman obat, bahan genetik) Habitat • manusia
• •
Bentang lahan
• •
Siklus nutrisi
Nilai Bukan Guna Nilai Nilai Pilihan Keberadaan • Biodiversitas • Penggunaan (hidupan liar) langsung dan tidak langsung di masa yang akan datang • Budaya, tradisi
Pengurangan polusi udara
•
Nilai intrinsik
Pengatur iklim mikro Penyerapan carbon
•
Nilai warisan
Nilai ekonomi total (NET) merupakan penjumlahan dari nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung dan nilai non guna, dengan formulasi sebagai berikut (Pearce, 1992) : NET = Nilai Guna Langsung + Nilai Guna Tidak Langsung + Nilai Pilihan + Nilai Keberadaan
Nilai pilihan, mengacu kepada nilai penggunaan langsung dan tidak langsung yang berpotensi dihasilkan di masa yang akan datang. Hal ini meliputi manfaatmanfaat sumber daya alam yang “disimpan atau dipertahankan” untuk kepentingan yang akan datang (sumber daya hutan yang disishkan untuk pemanenan yang akan datang), apabila terdapat ketidakpastian akan ketersediaan
8
SDH tersebut, untuk pemanfaatan yang akan datang. Contoh lainnya adalah sumber daya genetik dari hutan tropis untuk kepentingan masa depan. Sedangkan, nilai bukan guna meliputi manfaat yang tidak dapat diukur yang diturunkan dari keberadaan hutan di luar nilai guna langsung dan tidak langsung. Nilai bukan guna terdiri atas nilai keberadaan dan nilai warisan. Nilai keberadaan adalah nilai kepedulian seseorang akan keberadaan suatu SDH berupa nilai yang diberikan oleh masyarakat kepada kawasan hutan atas manfaat spiritual, estetika dan kultural. Nilai warisan adalah nilai yang diberikan masyarakat yang hidup saat ini terhadap SDH, agar tetap utuh untuk diberikan kepada generasi akan datang. Nilai-nilai ini tidak terefleksi dalam harga pasar (Bishop, 1999). Akan tetapi, Pearce dan Moran (1994) mengingatkan bahwa nilai total tersebut tidak benar-benar total karena : (1) tidak mencakup keseluruhan nilai, kecuali nilai ekonomi, (2) banyak ahli ekologi menyatakan bahwa nilai ekonomi total belum mencakup semua nilai ekonomi karena ada beberapa fungsi ekologis dasar yang bersifat sinergis sehingga nilainya lebih besar dari nilai fungsi secara tunggal. Sebelum itu, Manan (1985) menyatakan bahwa dari sudut rimbawan hutan mempunyai fungsi serbaguna, paling tidak sebagai penghasil kayu, pengaturan tata air, tempat berlindung dan tumbuh kehidupan liar, penghasil pakan dan tempat wisata. Namun demikian sangat sulit menetapkan batas-batas fungsi tersebut secara tegas karena adanya interaksi antara fungsi tersebut. Penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam megalokasikan sumberdaya alam yang semakin langka (Kramer et.al, 1994). Menurut Munasinghe (1994) penilaian kontribusi fungsi ekosistem bagi kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang sangat kompleks, mencakup faktor-faktor nilai sosial dan politik. Sebagai contoh, nilai kawasan konservasi sangat ditentukan oleh aturan-aturan manajemen yang berlaku untuk areal tersebut.
Dengan kata lain, nilai tersebut tidak hanya
ditentukan oleh faktor-faktor fisik, biotik, dan ekonomi tetapi juga oleh kelembagaan yang dibangun untuk mengelola sumberdaya tersebut.
9
Metode Penilaian Sumberdaya Alam Pada umumnya metode penentuan nilai ekonomi sumberdaya dapat dilakukan melalui dua pendekatan yang mencakup beberapa teknik yaitu : pendekatan langsung dan pendekatan tidak langsung (Pearce dan Moran, 1994). Pendekatan langsung mencakup teknik-teknik yang mengupayakan untuk mendapatkan penilaian secara langsung dengan menggunakan percobaan dan survey. Teknik survey (kuisioner) terdiri atas dua tipe yaitu perolehan ranking (contingent ranking methode) dan perolehan nilai, meliputi keinginan untuk membayar (Willingness to pay) atau ketersediaan untuk menerima kompensasi (Willingness to accept). Konsep dasar bagi semua teknik penilaian ekonomi adalah kesediaan membayar dari individu untuk sumberdaya alam atau jasa lingkungan yang diperolehnya (Pearce dan Moran, 1994;Munasinghe, 1993; Hufschmidt, 1983) atau kesediaan untuk menerima kompensasi akibat adanya kerusakan lingkungan di sekitarnya (Pearce and Moran, 1994; Hufschmidt, 1983). Valuasi ekonomi manfaat lingkungan dan sumberdaya alam sangat diperlukan bagi pengambilan kebijakan dan analisis ekonomi suatu aktivitas proyek. Dalam valuasi dampak faktor yang perlu diperhatikan adalah determinasi dampak fisik dan valuasi dampak dalam aspek moneter. Penilaian dampak secara moneter didasarkan pada penilaian ahli akan dampak fisik dan keterkaitannya, karena dampak dapat menyebabkan perubahan produktivitas maupun perubahan kualitas lingkungan. Para ahli ekonomi telah mengembangkan metode valuasi untuk mengukur keuntungan dari pengelolaan lingkungan terutama yang tidak mempunyai nilai pasar.
Penilaian ini bisa menggunakan nilai dari pasar
pengganti. Beberapa ahli ekonomi telah mengembangkan dan mengaplikasikan beberapa metode penilaian manfaat hutan yang tidak memiliki harga pasar dalam satuan moneter. Beberapa metode mencoba untuk menggambarkan permintaan konsumen, sebagai contoh kesediaan membayar konsumen (willingness to payWTP) terhadap manfaat hutan yang tidak memiliki harga pasar dalam satuan moneter, atau kesediaan menerima konsumen (willingness to accept – WTA) terhadap kompensasi yang diberikan kepada konsumen untuk manfaat yang hilang
10
dalam satuan moneter.
Terdapat lima metode perhitungan ekonomi untuk
manfaat yang diperoleh dari sumber daya alam dan lingkungan (Bishop, 1999): (i)
Penilaian berdasarkan harga pasar, termasuk pendugaan manfaat dari kegiatan produksi dan konsumsi dalam kehidupan sehari-hari.
(ii) Pendekatan harga pengganti, termasuk metode biaya perjalanan, hedonic price, dan pendekatan barang pengganti. (iii) Pendekatan fungsi produksi, dengan fokus pada hubungan biofisik antara fungsi hutan dan kegiatan pasar. (iv) Pendekatan preferensi, termasuk metode penilaian kontingensi (v) Pendekatan berdasarkan biaya, termasuk di dalamnya adalah biaya penggantian dan pengeluaran defensif. Para ahli telah mengembangkan teknik dan cara valuasi dampak untuk mengukur manfaat lingkungan yang tidak mempunyai pasar atau harga yang jelas. Teknik dan cara yang beragam memerlukan pendekatan yang jelas agar tidak terjadi penghitungan ulang (double counting). Pendekatan yang dapat digunakan antara lain adalah CVM (contingent valuation method) yang didasarkan kepada pasar yang dibuat atau pasar hipotetik. Pada pendekatan ini, responden akan ditanya seberapa besar mereka berkeinginan untuk membayar jasa dan barang lingkungan untuk kenyamanan (misalnya untuk tidak terjadi banjir). Konsep dasar dalam valuasi manfaat dan biaya dampak lingkungan adalah didasarkan kepada kemauan membayar (willingness to pay) dari masyarakat untuk barang dan jasa lingkungan.
Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan harga
sebenarnya maupun harga bayangan sehingga distorsi yang disebabkan kebijakan pemerintah dan ketidaksempurnaan pasar dapat diminimalkan. Metode yang juga umum digunakan dalam melihat manfaat perlindungan DAS adalah perubahan produktivitas. Pendekatan ini didasarkan kepada interaksi dan perubahan dalam input/output dalam sistem produksi yang dipengaruhi oleh keberadaan program perlindungan DAS. Ini dapat digunakan untuk mengukur pengaruh erosi terhadap sistem usahatani, atau sedimentasi di waduk. Dalam hal ini ada beberapa pendekatan analisis biaya yang juga dapat dilakukan. Misalnya seberapa besar manfaat yang diperoleh dengan membiayai pencegahan dampak
11
(pendekatan pengeluaran preventif) dan biaya ganti dari jasa lingkungan (misalnya penggunaan pupuk akibat kehilangan hara dalam erosi tanah). Setiap teknik dan cara valuasi ini memerlukan persyaratan terutama data, biaya dan waktu serta tingkat akseptibilitas yang berbeda bagi pengambilan kebijakan. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menggunakan valuasi secara akurat dan efektif biaya sehingga teknik valuasi berkembang menjadi seni dan ilmu.
Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu Hasil penelitian yang dilakukan oleh Agustono (1996) menyebutkan besarnya nilai ekonomi total hutan mangrove di Muara Cimanuk Indramayu sebesar Rp. 117.290.000.000/th atau Rp. 14.618.218/ha/th yang terdiri dari penerimaan masyarakat sebesar Rp. 39.490.000.000/th atau 4.921.762/th/ha dan surplus konsumen sebesar Rp. 77.800.000.000/th atau Rp. 9.696.456/th/ha. Selanjutnya penelitian Wildayana (1999) dilakukan untuk melihat parameter sumberdaya lahan kering yang terintegrasi meliputi seluruh fungsifungsi valuasi ekonomi konversi hutan sekunder ke usaha tani lahan kering di Kecamatan Muara Enim Sumatera Selatan. Nilai total ekonomi ekosistem hutan sekunder di Kecamatan Gelumbang yang dihitung berdasarkan manfaat langsung, manfaat tak langsung, manfaat pilihan, manfaat kebanggaan, dan manfaat keberadaan sebesar Rp. 24,4 miliar/kawasan atau sebesar Rp. 2.561.257/ha. Penelitian yang dilakukan Roslinda (2002) menyebutkan nilai ekononi total Hutan Pendidikan Gunung Walat jika dilihat dari nilai yang dikorbankan adalah Rp. 5.711.188.216/th atau 15.908.602/ha/th sedangkan jika dilihat dari surplus konsumennya adalah Rp.8.468.785.997/th atau Rp.23.589.933/ha/th. Penelitian yang dilakukan Handayani (2002) menyebutkan besarnya nilai ekonomi total Taman Nasional Meru Betiri, Kabupaten Banyuwangi sebesar Rp. 2.550.058.083.186 atau Rp. 74.076.824.408/th. Dengan luasan efektif sebesar 55.648,61 ha maka rata-rata nilai ekonomi Taman Nasional Meru Betiri adalah Rp. 1.331.170/ha/th. Penelitian yang dilakukan Nurfatriani (2005) menyebutkan besarnya nilai ekonomi total kawasan yang direhabilitasi yang meliputi hutan dan lahan pada
12
proyek RHL Kecamatan Nglipar Kabupaten Gunung Kidul Propinsi DIY sebesar Rp. 95.886.082.429/th yang terdiri dari 19,41% nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung sebesar 2,33%, nilai pilihan sebesar 2,05% dan nilai keberadaan sebesar 76,20%. Sementara itu Parera (2005) menyebutkan besarnya nilai ekonomi total hutan kayu putih di Desa Piru, Kabupaten Seram Bagian Barat, provinsi Maluku sebesar Rp. 1.556.719/ha/th yang terdiri dari 98,45% manfaat langsung dan sisanya 1,55% manfaat tidak langsung.
DAS (Daerah Aliran Sungai) Menurut Manan (1985), DAS diartikan sebagai kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya beserta sedimen dan bahan larut lainnya ke dalam sungai yang akhirnya bermuara ke danau, atau ke laut. Kegiatan tata guna lahan yang bersifat merubah tipe atau jenis penutup lahan dalam sutu DAS seringkali dapat memperbesar atau memperkecil hasil air (water yield). Pada batas-batas tertentu kegiatan ini juga dapat mempengaruhi status kualitas air.
Pengaruh yang sama juga dapat terjadi oleh aktifitas
pembalakan hutan yang pada saat ini sedang gencar dilakukan di negara tropis, terutama negara-negara yang memiliki hutan alam yang masih luas. Perubahan dari jenis vegetasi ke jenis vegetasi yang lain adalah umum dalam pengelolaan DAS atau pengelolaan sumber daya alam (Asdak, 1995). DAS Ciliwung dari mulai hulu sampai titik patusan (outlet) di Teluk Jakarta meliputi areal seluas 347 km2. Panjang sungai utamanya adalah 117 km. Menurut toposekuensnya DAS Ciliwung dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: hulu, tengah dan hilir, masing-masing dengan stasiun pengamatan arus sungai di Bendung Katulampa Bogor, Ratujaya Depok, dan Pintu Air Manggarai Jakarta Selatan (Pawitan, 2002 dalam Tim IPB, 2002). Bagian hulu DAS Ciliwung mencakup areal seluas 146 km2 yang merupakan daerah pegunungan dengan elevasi antara 300 m sampai 3.000 m dpl. Di bagian hulu paling sedikit terdapat 7 Sub DAS, yaitu Sub DAS yaitu: Tugu, Cisarua, Cibogo, Cisukabirus, Ciesek, Ciseuseupan, dan Katulampa. Bagian hulu
13
dicirikan oleh sungai pegunungan yang berarus deras, variasi kemiringan lereng yang tinggi, dengan kemiringan lereng 2-15% (70,5 km2 ), 15-45% (52,9 km2), dan sisanya lebih dari 45%. Di bagian hulu masih banyak dijumpai mata air yang bergantung pada komposisi litografi dan kelulusan batuan (Tim IPB, 2002).
GIS dan Remote Sensing Proses pengklasifikasian penggunaan lahan dan penutupan lahan harus dapat menghasilkan suatu derajat kedetilan. Dengan kata lain, level kecermatan peta hasil berhubungan erat dengan skema klasifikasi yang akan dipilih sebagai rancangan untuk suatu tujuan yang dimaksud. Dewasa ini sebagian banyak survey penggunaan lahan dan penutupan lahan menggunakan citra dari pesawat terbang atau citra satelit dan survey lapangan dibatasi hanya dengan uji lapang dari hasil interpretasi (Lo, 1995). Klasifikasi citra menurut Lillesand dan Kiefer (1990), dibagi kedalam dua pendekatan
dasar
klasifikasi
yaitu
klasifikasi
terbimbing
(supervised
classification) dan klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification). Pada klasifikasi terbimbing proses pengklasifikasian dilakukan dengan prosedur pengenalan pola spektral dengan memilih kelompok atau kelas-kelas informasi yang diinginkan dan selanjutnya memilih contoh-contoh kelas yang mewakili setiap kelompok, kemudian dilakukan perhitungan statistik terhadap contohcontoh kelas yang digunakan sebagai dasar klasifikasi. Pada klasifikasi tidak terbimbing, proses pengklasifikasian dimulai dengan pemeriksaan seluruh pixel dan membagi kedalam kelas-kelas berdasarkan pada pengelompokan nilai-nilai citra seperti apa adanya. Hasil dari pengklasifikasian ini disebut kelas-kelas spektral. Kelas-kelas spektral tersebut kemudian dibandingkan dengan kelas-kelas data referensi untuk menentukan identitas dan nilai informasi kelas spektral tersebut. Sistim informasi geografis adalah kumpulan yang troganisir dari perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak komputer (software), data geografi dan pengguna yang didesain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, menganalisis, menyajikan dan menjelaskan semua bentuk dan data informasi yang bereferensi geografis, menyajikan dan menjelaskan semua bentuk
14
data dan informasi yang bereferensi geografi atau tempat di permukaan bumi (ESRI 1990). Digital Elevation Models (DEM) telah banyak dikombinasikan dengan citra satelit untuk berbagai macam tujuan, salah satunya adalah untuk menghasilkan citra sintetis yang stereoskopis (lillesand dan Kiefer 1979). Kata Ikonos berasal dari bahasa Yunani (Greek) “Eye-KOH-Nos” yang artinya sama dengan “citra atau image”. Satelit Ikonos mengorbit bumi pada orbit sunsynchronous. Satelit tersebut mengitari bumi 14 hari, atau setiap 98 menit. Satelit Ikonos yang diluncurkan September 1999 mengorbit pada ketinggian 681 km dengan inklinasi 98,10 pada waktu crossing 10.30 a.m (pike ad Brown 1999) Pita spektral 1, 2 dan 3 dari citra Ikonos multisepektral secara berurutan mengukur reflektansi spektrum elektromagnetik pada bagian biru, hijau dan merah. Pita-pita tersebut untuk mengukur karakteristik spektral yang tampak oleh mata.
Pita 4 mengukur refletansi spektrum elektromagnetik pada bagian
inframerah-dekat, dan sangat membantu dalam mengklasifikasikan vegetasi (NASA Commercial Remote Sensing Program 2001). Penggunaan Lahan Istilah penggunaan lahan menurut Lillesand dan Kiefer (1990) berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Informasi penutupan lahan dapat dikenali secara langsung dengan menggunakan penginderaan jauh yang tepat. Sedangkan informasi tentang kegiatan manusia pada lahan (penggunaan lahan) tidak selalu dapat ditafsir secara langsung dari penutupan lahannya. Menurut Aldrich (1981) dalam Lo (1995), lahan merupakan materi dasar dari suatu lingkungan (situs), yang diartikan berkaitan dengan
sejumlah
karakteristik alami, yaitu iklim, geologi tanah, topografi, hidrologi, dan biologi. Penutupan lahan menurut Lillesand dan Kiefer (1990) merupakan istilah yang berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi. Pengertian serupa ditambahkan Burley (1961) dalam Lo (1995) bahwa penutupan mengambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan. Secara umum terdapat tiga kelas data yang mencakup penutupan lahan:
15
1. Struktur fisik yang dibangun oleh manusia 2. Fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian dan kehidupan binatang 3. Tipe pembangunan Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang karena manusia mengalami kondisi yang berubah pada waktu yang berbeda (Lillesand dan Kiefer, 1990). Deteksi perubahan mencakup penggunaan fotografi udara berurutan diatas wilayah tertentu dari fotografi tersebut peta penggunaan lahan untuk setiap waktu dapat dipetakan dan dibandingkan (Lo, 1995). Campbell (1983) dalam Lo (1995) menambahkan bahwa peta perubahan penggunaan lahan antara dua periode waktu biasanya dapat dihasilkan. Faktor-faktor penyebab perubahan lahan yang terdapat pada beberapa literatur diuraikan oleh beberapa jenis kegiatan yang dapat mencirikan terjadinya perubahan lahan. Kegiatan-kegiatan tersebut misalnya gangguan terhadap hutan, penyerobotan lahan, dan perladangan berpindah. Penyebab perubahan lahan diperjelas oleh Lillesand dan Kiefer (1990) dalam definisinya mengenai perubahan lahan. Dalam definisi tersebut menyatakan bahwa perubahan lahan terjadi karena manusia yang mengubah lahan pada waktu yang berbeda. Pola-pola perubahan lahan seperti yang dikutip oleh Meffe dan Carroll (1994) dalam Basuni (2003) terjadi akibat responya terhadap pasar, teknologi, pertumbuhan populasi, kebijakkan pemerintah, degradasi lahan dan faktor sosial ekonomi lainnya.
16
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian Pengolahan data spasial citra satelit Ikonos penelitian dilakukan di laboratorium Spatial Database and Analysis Facilities (SDAF) Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
Sedangkan untuk
pengambilan data sosial ekonomi masyarakat, nilai ekonomi pada berbagai pola penggunaan lahan dan cek lapangan (ground truth) dilakukan di daerah Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu. Proses pengambilan data dilakukan selama enam bulan yaitu pada bulan Maret - Agustus 2005.
Batasan Penelitian Lingkup Wilayah Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan mengambil sampel data primer dari wawancara penduduk yang tinggal di DAS Ciliwung Hulu, Sub DAS Ciesek Kabupaten Bogor yang meliputi Kecamatan Megamendung yakni Desa Cipayung, Desa Cipayung Girang, Desa Megamendung dan Kecamatan Cisarua yakni Desa Cilember. Sedangkan sebagai pelengkap dalam penelitian ini juga mengambil data sekunder dari BPS, BAPPEDA, Dinas Kehutanan, BP DAS Ciliwung – Cisadane, dan beberapa instansi terkait lainya.
Batasan Nilai Ekonomi yang dihitung Nilai ekonomi pada berbagai pola penggunaan lahan yang dihitung dalam penelitian ini meliputi kawasan lindung berupa hutan lindung, serta kawasan budidaya yang terdiri dari pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, kebun campuran dan bangunan pemukiman yang dibagi menjadi dua yakni bangunan rumah biasa dan bangunan rumah villa berdasarkan citra satelit Ikonos tahun 2003.
Metode Pengambilan Sampel Rumah tangga sebagai unit sample yang dipilih adalah masyarakat yang tinggal di desa-desa yang ada di Sub DAS Ciesek yang meliputi Desa Cipayung, Cipayung Girang, Desa Cilember dan Desa Megamendung. Teknik pengambilan contoh dilakukan secara purposive dengan tetap memperhatikan keterwakilan dan ketersebaran data. Populasi yang digunakan dalam menentukan masing-masing nilai ekonomi adalah sebagai berikut : 1. Nilai ekonomi kawasan lindung (hutan) a. Untuk menentukan nilai ekonomi kayu bakar, populasinya adalah masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan lindung yang memanfaatkan hutan sebagai tempat mencari kayu bakar. b. Untuk menentukan nilai ekonomi jasa wisata, populasinya adalah pengunjung wisata alam Jurug Panjang yang ada di daerah penelitian. Pengunjung wisata adalah masyarakat sekitar maupun masyarakat yang berasal dari luar daerah penelitian. c. Untuk menentukan nilai ekonomi manfaat air untuk konsumsi rumah tangga, nilai hutan sebagai pengendali banjir dan nilai hutan sebagai habitat flora dan fauna populasinya adalah masyarakat yang tinggal di wilayah Sub DAS Ciesek. d. Untuk menetukan nilai ekonomi manfaat air untuk sektor pertanian populasinya adalah masyarakat petani yang mengusahakan pertanian lahan basah (sawah) dengan sistem irigasi yang ada di wilayah Sub DAS Ciesek. 2. Nilai ekonomi kawasan Budidaya a. Untuk menetukan nilai ekonomi pertanian lahan kering dan kebun campuran populasinya adalah masyarakat yang mengusahakan lahannya sebagai lahan pertanian lahan kering dan kebun campuran yang ada di wilayah Sub DAS Ciesek. b. Untuk menetukan nilai ekonomi bangunan pemukiman atau perumahan, populasinya adalah masyarakat yang mempunyai rumah di wilayah Sub DAS Ciesek.
18
Analisis Citra dan GIS Bahan yang digunakan dalam analisis perubahan pola penggunaan lahan adalah dengan menggunakan data citra satelit Ikonos tahun 2003. Sedangkan peralatan yang digunakan antara lain satu paket sistem informasi geografis termasuk komputer (PC Dekstop), Arc View dan software ERDAS Imagine 8.5. Adapun tahapan analisis citra dengan Ikonos untuk mendeteksi perubahan pola penggunaan lahan di Sub DAS Ciesek adalah : 1. Pengkoreksian Citra (Image restoration) Sebelum melakukan analisis citra langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan koreksi terhadap citra tersebut. Koreksi citra perlu dilakukan terhadap data mentah satelit dengan maksud untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan radiometrik dan geometrik. Koreksi radiometrik dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki bias pada nilai digital piksel yang diakibatkan oleh gangguan atmosfir ataupun akibat kesalahan sensor. Koreksi geometrik ditujukan untuk memperbaiki distorsi geometrik. Dalam melakukan koreksi geometrik terlebih dahulu menentukan tipe proyeksi dan sistem koordinat yang akan digunakan. Penyeragaman datadata kedalam sistem koordinat dan proyeksi yang sama, perlu dilakukan untuk mempermudah proses pengintegrasian data-data selama penelitian. Dalam hal ini proyeksi yang digunakan adalah Universal Transverse Mercator (UTM) dan sistem koordinat geografi yang menggunakan garis bujur (garis Timur-Barat) dan garis lintang (garis Utara-Selatan). Perbaikan distorsi geometrik dapat dilakukan dengan menggunakan data vektor jawa barat yang telah terkoreksi. 2. Pemotongan Citra (Subset Image) Pemotongan citra dilakukan dengan memotong wilayah yang menjadi objek studi. Batas wilayah yang akan dipotong dibuat dengan area of interest (aoi) yaitu pada wilayah yang masuk kedalam kawasan Sub DAS Ciesek. 3. Pengklasifikasian Citra (Image Clasification) Persiapan yang harus dilakukan sebelum melakukan pengklasifikasian adalah menetapkan kelas-kelas spektral yang terliput oleh citra satelit,
19
kemudian membuat aturan penetapan klasifikasi untuk setiap piksel kedalam kelas-kelas yang telah ditentukan. Pemilihan kelompokkelompok piksel kedalam kelas klasifikasi merupakan proses pemilihan objek (feature selection). Pembagian kelas klasifikasi dibuat berdasarkan kondisi penutupan lahan sebenarnya dilapangan dan dibatasi menurut kebutuhan pengklasifikasian. Kelas klasifikasi tersebut meliputi hutan kerapatan tinggi, hutan kerapatan rendah, kebun campuran, pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, semak belukar, bangunan perumahan, lahan kosong, jalan raya dan badan air. Tahapan klasifikasi dilakukan dengan metode on screen yakni dengan mendelineasi pola-pola penggunaan lahan yang ada secara visual menggunakan computer software Arc View 3.3. 4. Membandingkan pola penggunaan lahan yang ada dengan peruntukan lahan sesuai dengan RTRW Tahun 2000 Kabupaten Bogor. 5. Membuat
kelas
ketinggian
dan
kelerengan
lahan
menggunakan
Triangulated Irregular Network (TIN) untuk mengkelaskan faktor biofisik lahan kelerengan dan ketinggian. Faktor biofisik lahan (jarak ke jalan raya, kelas kelerengan dan kelas ketinggian) ini digunakan untuk mengetahui apakah faktor biofisik lahan berpengaruh terhadap besarnya nilai ekonomi pada penggunaan lahan untuk pemukiman.
Penilaian Ekonomi Kawasan Lindung Metode penilaian Hutan Lindung sebagai kawasan lindung di Sub DAS Ciesek menggunakan konsep Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) yang terdiri dari nilai guna dan nilai bukan guna. Gambar 2 berikut menjelaskan berbagai macam nilai yang dihitung dalam penelitian ini.
20
Nilai Ekonomi Total
Nilai Bukan Guna
Nilai Guna
Nilai Ekonomi Langsung
Nilai Ekonomi Tidak Langsung
• Kayu Bakar • Wisata Alam
Gambar 2 .
• Manfaat air untuk RT • Manfaat air untuk pertanian • Pencegah banjir dan erosi
Nilai Pilihan
• Penyerapan Karbon
Nilai Keberadaan
• Habitat Flora Fauna
Unsur-unsur yang Dihitung Untuk Menentukan Nilai Ekonomi Total Hutan Sebagai Kawasan Lindung di Sub DAS Ciesek
Persamaan yang dipakai untuk menentukan besarnya Nilai Ekonomi Total hutan sebagai kawasan lindung adalah sebagai berikut : NET
= NG + NBG = (NGL + NGTL) + (NP + NK)
Keterangan : NET
= Nilai Ekonomi Total
NG
= Nilai Guna
NBG = Nilai Bukan Guna NGL = Nilai Guna Langsung NGTL = Nilai Guna Tidak Langsung NP
= Nilai Pilihan
NK
= Nilai Keberadaan
Kuantifikasi seluruh manfaat dan fungsi ke dalam nilai uang dapat dilakukan melalui teknik kuantifkasi antara lain :
21
1. Nilai pasar Adalah pendekatan langsung untuk merupiahkan manfaat secara langsung komponen hutan alam yang dapat diperdagangkan misalnya kayu gelodongan, kayu bakar dan hijauan pakan ternak. 2. Harga tak langsung Adalah pendekatan yang digunakan bila mekanisme pasar gagal memberikan manfaat dan fungsi tak langsung dari komponen hutan alam karena terjadi gangguan terhadap pasar komponen hutan alam tersebut atau komponen hutan alam tersebut belum memiliki pasar. Cara ini digunakan untuk menilai manfaat fisik. 3. Contingent Valuation Method (CVM) Metode ini digunakan untuk menilai manfaat hutan alam dengan cara menanyakan kesediaan membayar (wellingness to pay) terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh hutan alam kepada sejumlah responden. Adapun Teknik Penilaian Ekonomi yang dipakai untuk menentukan besarnya nilai ekonomi total hutan sebagai kawasan lindung di DAS Ciliwung Hulu, Sub DAS Ciesek dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2.
Teknik Penilaian Ekonomi yang dipakai dalam Penentuan Nilai Ekonomi Total Hutan sebagai Kawasan Lindung
No Nilai Ekonomi 1 Nilai Guna Nilai Guna Langsung Nilai Guna Tidak Langsung
2
Nilai Bukan Guna Nilai Pilihan Nilai Keberadaan
Nilai ekonomi yang dihitung
Metode
Penghasil Kayu Bakar Jasa Wisata Alam Manfaat Air Untuk Rumah Tangga Manfaat Air Untuk Pertanian Lahan Basah Pencegah Banjir dan Erosi
Harga Pengganti Biaya Perjalanan Biaya Pengadaan
Penyerap Karbon Habitat Flora dan Fauna
Harga Pasar CVM
CVM CVM
22
Nilai Penghasil Kayu Bakar Nilai kayu bakar diduga melalui pendekatan biaya ganti, yakni besarnya waktu yang hilang guna mendapatkan kayu bakar dikalikan dengan besarnya upah kerja, hal ini dilakukan mengingat di lokasi penelitian tidak terdapat pasar untuk kayu bakar. Persamaan yang dipakai adalah sebagai berikut : = WrKB x Uhok x JP
NKB dimana : NKB
= Nilai penghasil kayu bakar (Rp/tahun)
WrKB = Rata-rata waktu yang hilang akibat mengambil kayu bakar dalam satu tahun (jam/tahun) Uhok
= Besarnya upah hari orang kerja (Rp/jam)
JP
= Jumlah populasi pengumpul kayu bakar
Nilai Jasa Wisata Untuk menduga nilai ekonomi wisata digunakan pendekatan biaya perjalanan (Travel Cost Method). Biaya perjalanan yang digunakan termasuk diantaranya biaya transportasi, biaya konsumsi, biaya penginapan dan biaya untuk membeli tiket masuk kawasan wisata alam. Tahapan penentuan nilai ekonomi wisata alam adalah sebagai berikut : 1. Menduga jumlah pengunjung dari masing-masing daerah asal pengunjung (zone) berdasarkan wawancara dengan responden. Zi
= Pi x ∑Y
dimana : Pi
= Persentase kunjungan dari zone i
Zi
= Jumlah pengunjung dari zone-i
∑Y
= Jumlah seluruh kunjungan
2. Menentukan besarnya biaya perjalanan rata-rata dari jumlah total biaya perjalanan yang dikeluarkan selama melakukan perjalanan atau kegiatan rekreasi. BPR
= TR + D + KR + L
Dimana : BPR
= Biaya perjalanan rata-rata (Rp/orang)
23
TR
= Biaya transportasi (Rp/orang)
D
= Biaya dokumentasi (Rp/orang)
KR
= Biaya konsumsi selama berwisata (Rp/orang)
L
= Biaya lain-lain (Rp/orang)
3. Menentukan biaya perjalanan rata-rata zone i (X1i) n ∑ Bpi X1i = j=1 Ni dimana : X1i
= Biaya perjalanan rata-rata daerah asal i
Bpi
= Biaya perjalanan hasil pengambilan contoh i
Ni
= Jumlah populasi daerah asal i
4. Menentukan laju kunjungan pengunjung per 1000 orang zona i dalam satu tahun. LKi
=
∑ JPi x 1000 ∑ JPT
dimana : LKi
= Laju kunjungan pengunjung zona i
JPi
= Jumlah pengunjung zona i
JPT
= Jumlah populasi pengunjung zona i
5. Menentukan nilai ekonomi wisata Nilai ekonomi wisata didapatkan dari total kesediaan membayar seluruh pengunjung pada tingkat harga karcis tanda masuk yang berlaku. Total kesediaan membayar pengunjung adalah luas daerah dibawah kurva permintaan jasa wisata pada tingkat harga karcis tanda masuk yang berlaku.
Nilai Sumber Air untuk Kebutuhan Rumah Tangga Konsumsi air untuk rumah tangga meliputi air untuk kebutuhan minum dan memasak, dan MCK. Penentuan nilai ekonomi air untuk konsumsi kebutuhan rumah tangga dilakukan dengan metode biaya pengadaan yang merupakan modifikasi dari metode biaya perjalanan dan metode kontingensi dengan menggunakan kurva permintaan Marshal, yang tahapannya adalah :
24
1. Menentukan model (kurva) permintaan dengan meregresikan permintaan (Y) sebagai variabel terikat dengan harga (biaya pengadaan) sebagai variabel bebas dan faktor sosial ekonomi lainnya. Y = β0 + β1X1 + β2X2 + …. + βnXn,
…………………………...(1)
Y
= Permintaan atau konsumsi (satuan atau kapita)
X1
= Biaya pengadaan (Rp/satuan)
β0
= Intersep
β1,2,3 .. n = Koefisien regresi X2, 3, ...n = Peubah bebas/faktor sosek 2. Menentukan intersep baru β0’ fungsi permintaan dengan peubah bebas X1 dan faktor lain (X2, X3, … Xn) tetap sehingga persamaan menjadi : Y = β0’ + β1X1 …………………………………………...............(2) 3. Menginversi persamaan fungsi asal sehingga X1 menjadi peubah terikat dan Y menjadi peubah bebas, sehingga persamaan menjadi : Y - β0’ X1 = ──── ……………………………………………………….(3) β1 4. Menduga rata-rata WTP dengan cara mengintegralkan persamaan 3 a U = ∫ ƒ(Y)∂Y 0
5. Menentukan nilai X1 pada saat Y dengan cara mensubstitusikan nilai Y ke persamaan 3 6. Menentukan rata-rata nilai yang dikorbankan oleh konsumen dengan cara mengalikan X1 dengan Y. 7. Menentukan nilai total WTP, nilai yang dikorbankan dan surplus konsumen dengan cara mengalikan nilai tersebut dengan populasi. Harga air dihitung berdasarkan pada biaya pengadaan, yaitu biaya yang harus dikorbankan untuk mendapatkan dan menggunakan air tersebut. Untuk penentuan nilai ekonomi air rumah tangga, maka dihitung harga (biaya pengadaan) air untuk rumah tangga dengan rumus sebagai berikut : HARTi = BPA RTi K RTi
25
dimana : HARTi
= Harga/biaya pengadaan air responden ke i (Rp/ m3)
BPA RTi = Biaya pengadaan air rumah tangga ke i (Rp) K RTi
= Jumlah kebutuhan air rumah tangga ke i (m3)
Nilai ekonomi total air rumah tangga didasarkan pada konsumsi air rumah tangga per kapita sehingga pengganda yang digunakan adalah jumlah penduduk di lokasi penelitian yang air untuk kebutuhan rumah tangganya bersumber dari sungai atau mata air yang ada di Sub DAS Ciesek. Untuk menentukan total nilai penggunaan air digunakan rumus sebagai berikut: NART = RNART X P Dimana : NART
= Nilai air rumah tangga (Rp/tahun)
RNART = Rata-rata nilai air rumah tangga (Rp/org/tahun) P
= Jumlah penduduk
Nilai Sumber Air untuk Lahan Basah (Persawahan) Nilai air untuk sektor pertanian dihitung dengan asumsi bahwa pertanian yang ada sumber airnya berasal dari kawasan lindung (hutan) yang ada di daerah hulu Sub DAS Ciesek.
Penentuan nilai ekonomi air untuk sektor pertanian
dilakukan dengan menggunakan CVM. Formula yang dipakai untuk menghitung nilai ekonomi air untuk persawahan adalah sebagai berikut :. NAS = WTPr x JP WTPr
n = ∑ WTPi / ni i=1
dimana : NAS
= Nilai air konsumsi untuk pertanian sawah (Rp/tahun)
WTPr
= Rata-rata kesediaan membayar (Rp/tahun/orang)
WTPi
= Kesediaan membayar responden ke i (Rp/tahun)
ni
= Jumlah responden
JP
= Jumlah populasi
26
Nilai Pengendali Banjir dan Erosi Penentuan nilai ekonomi hutan sebagai pengendali banjir dan erosi dilakukan dengan menggunakan CVM untuk mengetahui kesediaan membayar dari responden untuk menjaga hutan agar bisa menjalankan fungsinya sebagai pengendali banjir dan erosi. Formula yang dipakai adalah sebagai berikut :. NPBE = WTPr x JP n = ∑ WTPi / ni i=1
WTPr dimana :
NPBE = Nilai pengendali banjir dan erosi (Rp/tahun) WTPr
= Rata-rata kesediaan membayar (Rp/tahun/orang)
WTPi
= Kesediaan membayar responden ke i (Rp/tahun)
ni
= Jumlah responden
JP
= Jumlah populasi
Nilai Pilihan Penghitungan nilai ekonomi jasa hutan di Sub DAS Ciesek dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan harga pasar.
Harga carbon yang
dipakai adalah harga carbon yang berlaku dipasaran internasional pada saat mekanisme CDM (Clean Development Mechanism) dijalankan. Potensi hutan sebagai penyerap karbon didekati dari hasil penelitian Brown (1997) yang meneliti tentang kandungan karbon hutan tropis di Indonesia. Formula yang dipakai untuk menghitung nilai ekonomi hutan sebagai penyerap karbon adalah : NCS =
JCS x HCS
dimana : NCS
=
Nilai carbon stock (Rp/tahun)
HCS
=
Harga carbon persatuan (Rp/ton)
JCS
=
Jumlah potensi carbon stock (ton/ha/tahun)
Nilai Keberadaan Habitat Flora Fauna Nilai keberadaan hutan sebagai habitat flora fauna dihitung dengan menggunakan metode CVM untuk mengetahui kesediaan membayar dari responden untuk menjaga keberadaan hutan agar tetap ada sehingga dapat
27
berfungsi sebagai habitat flora dan fauna.
Formula yang digunakan adalah
sebagai berikut : NHF
= WTPr x JP
WTPr
n = ∑ WTPi / ni i=1
dimana : NHF
= Nilai habitat flora fauna (Rp)
WTPr
= Rata-rata kesediaan membayar (Rp/m3/orang)
WTPi
= Kesediaan membayar responden ke i (Rp/m3)
ni
= Jumlah responden
JP
= Jumlah populasi Penilaian Ekonomi Kawasan Budidaya
Sedangkan Nilai ekonomi penggunaan lahan untuk kawasan budidaya di DAS Ciliwung Hulu, Sub DAS Ciesek yang di hitung dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3.
No 1
2
Teknik Penilaian Ekonomi yang Dipakai dalam Penentuan Nilai Ekonomi Kawasan Budidaya Nilai Ekonomi Nilai Ekonomi
•
Penggunaan Lahan Pertanian lahan basah
Pertanian
•
Pertanian lahan kering
•
Kebun campuran
•
Bangunan Pemukiman
Nilai Ekonomi
Metode Harga pasar
CVM
perumahan
Nilai Ekonomi Pertanian Penentuan nilai ekonomi penggunan lahan untuk pertanian (pertanian lahan basah dan lahan kering) serta kebun campuran yang diusahakan oleh masyarakat yang tinggal di Sub DAS Ciesek.
Metode yang dipakai untuk
menghitung nilai ekonomi penggunaan lahan untuk pertanian dan kebun campuran dilakukan dengan menggunakan teknik pendekatan produktivitas, dimana persamaan yang dipakai adalah sebagai berikut :
28
NEUT = NPUT – BPUT NPUT = PrUT x HJUT x LAUT dimana : NEUT =
Nilai ekonomi usaha tani (Rp/tahun)
NPUT =
Nilai pendapatan usaha tani (Rp/tahun)
BPUT =
Biaya produksi usaha tani (Rp/tahun)
PrUT
=
Produksi rata-rata usaha tani (ton/ha/tahun)
HJUT
= Harga jual usaha tani (Rp/ton)
LAUT = Luas areal usaha tani (ha)
Nilai Bangunan Pemukiman Pendekatan penghitungan besarnya nilai ekonomi bangunan pemukiman didekati dengan metode CVM, yakni dengan cara menanyakan besarnya nilai kesediaan membeli para pemilik rumah yang dijadikan responden. Besarnya nilai ekonomi perumahan dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : NPRt
= WTPr / t
WTPr
n = ∑ WTPi / ni i=1
dimana : NPRt
= Nilai Perumahan tipe rumah ke-i (Rp/tahun)
WTPr
= Rata-rata kesediaan membeli (Rp/orang)
WTPi
= Kesediaan membeli responden ke i (Rp)
ni
= Jumlah responden
t
= Usia Rumah
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesediaan membeli rumah di daerah penelitian, maka digunakan analisis regresi berganda dengan metode stepwise (mengeluarkan faktor-faktor yang tidak berpengaruh). Model regresi yang digunakan sebagai berikut : Yi = a + b1x1 + b2x2 +…….+bnxn
29
dimana : Yi
= Kesediaan Membeli Rumah (Rp)
a,b
= konstanta
x1, xn = faktor kualitas lingungan, faktor biofisik lahan, faktor sosial ekonomi, faktor jenis dan kualitas bangunan. Adapun faktor-faktor yang diduga mempengaruhi kesediaan membeli rumah di daerah Sub DAS Ciesek adalah sebagai berikut : 1.
Faktor Kualitas lingkungan Semakin tinggi nilai apresiasi masyarakat terhadap kulaitas lingkungan, maka kesediaan membeli rumah akan semakin tinggi.
Faktor kualitas
lingkungan diukur dengan cara menanyakan kepada responden berapa besarnya nilai kualitas lingkungan yang meliputi aspek keamanan, kebersihan, keindahan dan aksesibilitas (skor 1-10). 2.
Jarak Semakin jauh dari jalan raya diduga mempengaruhi nilai jual bangunan rumah yang pada akhirnya juga akan memepengaruhi kesediaan membeli responden. Pengukuran jarak dari jalan raya dilakukan di atas citra satelit ikonos dengan fasilitas tools distance yang ada pada software Arc View 3.3.
3.
Ketinggian tempat Salah satu faktor yang diduga mempengaruhi kesediaan membeli rumah di daerah puncak khususnya Sub DAS Ciesek diantaranya karena faktor ketinggian tempat, dimana semakin tinggi tempat maka faktor kualitas lingkungan
seperti
panorama
alam dan
kesejukan
semakin
baik.
Pengukuran ketinggian tempat dilakukan dengan metode Triangulated Irregular Network (TIN) pada software Arc View 3.3. 4.
Kelerengan tempat Faktor kelerengan diduga juga ikut mempengaruhi kesediaan membeli rumah, dimana pada kelerengan tertentu panorama akan terlihat lebih indah. Pengukuran kelerengan tempat dilakukan dengan metode Triangulated Irregular Network (TIN) pada software Arc View 3.3.
30
5.
Pendapatan Semakin tinggi tingkat pendapatan responden juga diduga mempengaruhi kesediaan membeli rumah.
Pengukuran tingkat pendapatan responden
dilakukan dengan cara wawancara. 6.
Kondisi fisik bangunan rumah. Faktor kondisi fisik bangunan juga diduga mempengaruhi kesediaan membeli rumah, dimana semakin tinggi kualitas kelas bangunan rumah maka semakin tinggi kesediaan membeli bangunan rumah tersebut. Kondisi fisik
bangunan
rumah
di
daerah
penelitian
sangat
beragam,
pengklasifikasian kelas rumah berdasarkan kondisi fisik bangunan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Klasifikasi Kelas Rumah berdasarkan Kondisi Fisik Bangunan No
Parameter
Kelas 1
Kelas 2
1
Luas lantai
< 50 m2
50 – 120 m2
> 100 m2
2
Jenis lantai
Tanah/tegel
Tegel/Keramik
Keramik/marmer
3
Jens atap
Ijuk/ Genteng genteng tanah tanah/semen 4 Jenis dinding Batako/papan kayu Tembok/ terluas biasa/ kayu indah bambu 5 Penerangan Minyak tanah/ Listrik listrik (<450 Watt) (450 – 900 Watt) 6 Sumber air Sumur/ Sumur/PAM/ minum sungai Pompa air 7 MCK Sungai/ MCK Sendiri MCK umum Sumber : survey sosial ekonomi nasional tahun 2000
7.
Kelas 3
Genteng tanah/keramik/kayu Tembok/ kayu indah Listrik ( > 900 Watt) PAM/ Pompa air MCK Sendiri
Tipe atau jenis rumah Tipe atau jenis rumah di daerah penelitian diduga juga mempengaruhi kesediaan membeli bangunan rumah tersebut.
Pada penelitian ini jenis
bangunan rumah dibedakan dalam dua kategori yakni jenis rumah biasa (skor 1) dan jenis villa (skor 2).
31
Nilai Kompensasi atas Perubahan Pola Penggunaan Lahan Perubahan pola penggunaan lahan yang dimaksud ialah alih fungsi lahan yang dapat menurunkan fungsi kawasan lindung sebagai pensuplai kebutuhan air atau yang dianggap menyebabkan degradasi bagi kawasan Sub DAS Ciesek. Dalam hal ini adalah kawasan yang peruntukanya tidak sesuai dengan RTRW, dalam penelitian ini difokuskan kepada penggunaan lahan di kawasan lindung. Besarnya kompensasi yang sebaiknya diberikan kepada masyarakat agar bersedia merubah pola penggunaan lahannya dihitung dengan cara menghitung selisih manfaat ekonomi langsung hutan dengan berbagai pola penggunaan lahan yang ada di kawasan lindung.
32
Gambar 3. Alur Penelitian Penilaian Ekonomi Berbagai Pola Penggunaan Lahan Berdasarkan Citra Satelit Ikonos Tahun 2003
33
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Kondisi Fisik Wilayah Letak Geografi dan Administratif Sub DAS Ciesek merupakan bagian dari wilayah Sub DAS Ciliwung Hulu yang terletak pada koordinat geografis 106o48’45” sampai 107o00’30” sampai 107o00’30” Bujur Timur dan 6o36’30” lintang selatan. Secara administratif Sub DAS Ciesek terletak di dua buah Kecamatan yakni Kecamatan Megamendung (Desa Cipayung, Desa Cipayung Girang, dan Desa Megamendung) dan Kecamatan Cisarua (Desa Cilember) yang merupakan bagian dari Pemerintah Daerah Kabupaten Tingkat II Bogor, Propinsi Jawa Barat.
Iklim Berdasarkan klasifikasi iklim Koppen, wilayah studi termasuk dalam tipe iklim Af yakni iklim tropis lembab (tanpa bulan kering nyata) dengan curah hujan rata-rata tahunan selama periode 1989-2001 adalah 3636 mm/tahun dengan ratarata hujan bulanan 303 mm. Sebaran waktu (time distribution) hujan di lokasi penelitian yang diukur dari Gunung Mas, Citeko, Ciawi dan Katulampa menunjukkan bahwa batas musim kemarau dengan musim hujan tidak jelas, kecuali daerah Citeko di mana musim kemarau terjadi pada bulan Juni-September dan musim hujan pada bulan Oktober-Mei (Tim IPB, 2002).
Tanah dan Geologi Jenis-jenis tanah yang ada di wilayah Sub DAS Ciesek meliputi kompleks aluvial kelabu, latosol coklat kemerahan dan asosiasi latosol coklat kemerahan dengan latosol coklat. Dari jenis tanah yang ada, jenis tanah yang paling dominan adalah jenis asosiasi latosol coklat kemerahan dengan latosol coklat dengan prosentase mencapai 90,24 %. Jenis tanah Latosol pada umumnya berbahan induk batuan vulkanik yang bersifat intermedier, bersolum dalam, pH agak tinggi dengan kepekaan erosi rendah. Jenis tanah latosol dan asosiasinya memiliki sifat tanah yang baik yaitu tekstur liat berdebu hingga lempung berliat, struktur granular dan remah, kedalaman efektif umumnya >90 cm, dan agak tahan
terhadap erosi, serta pH tanah yang agak netral dan kandungan bahan organik yang rendah atau sedang.
Kondisi Sosial Ekonomi Kependudukan Secara umum jumlah laki-laki dan perempuan relative seimbang. Hal ini menunjukan menunjukan bahwa peluang kerja untuk laki-laki maupun perempuan relative sama sehingga mata pencaharian penduduk di Sub DAS Ciesek menjadi sangat beragam. Mata pencaharian penduduk terbesar adalah petani diikuti oleh buruh tani, pedagang, dan buruh industri kecil. Mata pencaharian sebagian kecil penduduk lainnya adalah pegawai negeri sipil (PNS) /TNI, tukang kayu dan bangunan, sopir angkutan, peternak, dan lain-lain. Oleh karena itu, agar dominasi mata pencaharian di bidang pertanian ini tidak mengganggu kelestarian alam dan agar produktivitas penduduk dan lahan tetep terjaga, diperlukan adanya upayaupaya rehabilitasi dan konservasi tanah secara baik dan berkesinambungan.
Pendidikan Pendidikan merupakan hal yang penting untuk dimiliki oleh anggota masyarakat karena dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan anggota masyarakat yang memadai maka suatu daerah dapat tumbuh dan berkembang melalui pembangunan di berbagai sector. Demikian juga halnya dengan masalah pertanian. Semakin tinggi pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat (khususnya pendidikan pertanian)maka akan semakin tinggi pula produktivitas pertaniannya. Tingkat pendidikan penduduk di Sub Sub DAS Ciesek pada umumnya tergolong rendah, terlihat dari sebagian besar penduduk hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP), hanya sebagian kecil saja yang merupakan lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA), sedangkan sarjana hanya ada beberapa orang saja.
35
Sarana dan Prasarana Perhubungan serta Komunikasi Sarana perhubungan dan komunikasi merupakan kebutuhan pokok suatu daerah dan merupakan suatu tanda maju atau tidaknya suatu daerah. Sarana dan prasarana perhubungan di wilayah Sub Sub DAS Ciesek adalah motor, angkot, jalan darat dimana sebagian besarsudah merupakan jalan aspal. Sedangkan sarana komunikasi yang digunakan oleh masyarakat adalah telepon,telivisi,dan radio
Sarana Perekonomian. Sarana perekonomian yang tersedia di Sub Sub DAS Ciesek adalah bank, koperasi, pasar, warung dan kios. Namun dari hasil penelitian menunjukkan bahwa umumya koperasi-koperasi yang ada tidak berfungsi dengan sebagaimana mestinya, bahkan ada desa yang tidak ada Koperasi Unit Desa (KUD)-nya.
36
HASIL DAN PEMBAHASAN
Peruntukan Kawasan Berdasarkan RTRW Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor tahun 2000, peruntukan lahan di Kabupaten Bogor dibagi kedalam dua kategori peruntukan yakni peruntukan untuk kawasan lindung dan peruntukan untuk kawasan budidaya.
Kawasan Lindung Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah budaya bangsa guna kepentingan pembanguna n berkelanjutan (Keppres No.32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung). Dalam Rencana Terperinci Tata Ruang Kawasan Bopunjur, Pemerintah Kabupaten Bogor (2000) telah dibuat ketentuan-ketentuan teknis kawasan lindung yang berpedoman kepada: Keppres No.32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan SK Gubernur Jawa Barat No. 413.21/SK.222HUK/91 tentang Kriteria Lokasi dan Standar Teknis Penataan Ruang di Kawasan Puncak. Cakupan kawasan lindung antara lain (Bapped Kab. Bogor, 2000): 1. Kawasan hutan lindung 2. Kawasan lindung di luar kawasan hutan 3. Kawasan yang merupakan resapan air 4. Kawasan suaka alam/cagar alam/suaka marga satwa, kawasan pelestarian alam, taman nasional/taman hutan raya/taman wisata alam 5. Jalur pengamanan aliran sungai (sempadan sunga i) 6. Kawasan sekitar mata air, danau/waduk Karakteristik kawasan lindung adalah (Bappeda Kab. Bogor, 2000) : 1. Kemiringan lereng diatas 40 % 2. Untuk jenis tanah peka terhadap erosi, yaitu jenis Regosol, Litosol, Orgosol dan Renzina, kemiringan lereng di atas 15 % 3. Kawasan resapan air tanah dengan ketinggian diatas 1000 mdpl
4. Merupakan kawasan hutan yang kompak atau hutan produksi dengan luas minimum 2500 m2 atau yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan Ketentuan teknis untuk penataan kawasan yang berfungsi lindung adalah sebagai berikut (Bappeda Kab. Bogor, 2000): 1. Fungsi hutan lindung sebagai reservoir alami perlu tetap dipertahankan keberadaannya, bersifat mutlak, tidak boleh dikonversikan atau diubah untuk kepentingan lain. Fungsi hidrologis dan ekologis hutan lindung perlu dipertahankan kelestariannya 2. Dalam kawasan lindung tidak diperkenankan adanya budidaya, termasuk mendirikan bangunan, kecuali bangunan untuk menunjang fungsi hutan lindung 3. Pembangunan jaringan transmisi dan infrastruktur yang menunjang kegiatan pariwisata seperti pos pengamat kebakaran, pos jaga, papan petunjuk, patok triangulasi, tugu, tiang listrik, menara TV, jalan setapak, dapat dibangun di kawasan lindung setelah mendapat persetujuan dari Menteri Kehutanan 4. Untuk pengamatan wilayah aliran sunga i dan menjaga kelestarian mata air, maka kawasan tersebut harus ditanami tanaman keras dengan ketentuan : a. Perlindungan tebing-tebing atau bantaran sungai yang potensial terhadap bahaya erosi dan longsor. •
Untuk lebar sungai kurang dari 2.5 m, areal penanaman berjarak minimal 10 m dari bibir sungai
•
Untuk sungai dengan lebar 2.5 – 10 m, areal penanaman berjarak minimal 50 m dari bibir sungai
•
Untuk lebar sungai >10 m, areal penanaman berjarak minimum 100 m dari bibir sungai
b. Untuk perlindungan sumber mata air, areal tersebut harus ditanami dengan tanaman keras, minimum sampai radius 50 m dan penutupan dengan vegetasi tertentu pada ruas-ruas tertentu disekeliling mata air c. Dilarang melakukan penebangan pohon dalam radius 200 m dari mata air, tepi jurang, kolam/situ, sungai dan anak sungai.
38
Kawasan Budidaya Kawasan Budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan (UU No.24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang). Dalam Rencana Terperinci Tata Ruang Kawasan Bopunjur, Pemerintah Kabupaten Bogor (2000) yang termasuk kawasan budidaya adalah: kawasan budidaya pertanian dan kawasan permukiman. Dalam Keppres No.114 tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur dijelaskan lebih detail tentang kedua kawasan tersebut, yaitu sebagai berikut : 1. Kawasan budidaya pertanian adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, terutama pertanian. Kawasan budidaya dibagi menjadi : a. Kawasan budidaya pertanian lahan basah adalah kawasan budidaya pertanian yang memiliki sistem pengairan tetap yang memberikan air secara terus menerus sepanjang tahun, musiman atau bergilir dengan tanama n utama padi. b. Kawasan budidaya pertanian tanaman lahan kering adalah areal lahan kering yang keadaan dan sifat fisiknya sesuai bagi tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan. Kawasan ini berupa areal pertanian dengan sistem pengelolaan lahan kering dengan kegiatan utama pertanian tanaman pangan dan dapat dikombinasikan dengan perkebunan tanaman hortikultura dan atau usaha tani peternakan. c. Kawasan budidaya pertanian tanaman tahunan/perkebunan adalah kawasan budidaya pertanian dengan tanaman tahunan/perkebunan sebagai tanaman utama yang dikelola dengan masukan teknologi sederhana sampai tinggi, dengan memperhatikan asas konservasi tanah dan air. Kawasan ini bisa berupa perkebunan besar, perkebunan rakyat, maupun hutan produksi. 2.
Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal/lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
39
708000
711000
714000
717000
9267000
9267000
9264000
9264000
708000
Gambar 4.
711000
714000
717000
Peta Arahan Penggunaan Lahan di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2000
40
Hasil Pengolahan Citra Satelit Ikonos Menurut Lillesand & Kiefer (1990), penutupan lahan merupakan istilah yang berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi. Ditambahkan lagi oleh Burley (1961) dalam Lo (1995) bahwa penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan. Konstruksi tersebut seluruhnya tampak secara langsung dari citra penginderaan jauh. Citra satelit Ikonos dapat digunakan untuk mendeteksi pola penggunaan lahan dengan baik dikarenakan resolusinya yang tinggi sehingga objek pada permukaan bumi lebih mudah untuk dikenali. Berkaitan dengan pemanfaatan lahan, di Sub DAS Ciesek terdapat berbagai pola penggunaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat. Berdasarkan citra satelit Ikonos tahun 2003, pada penelitian ini pola penutupan lahan secara garis besar terbagi dalam 9 tipe penutupan lahan antara lain : 1. Hutan Fungsi hutan yang ada di hulu Sub DAS Ciesek mempunyai fungsi utama sebagai kawasan lindung. Vegetasi yang mendominasi kawasan hutan lindung merupakan hasil suksesi alami, dengan kerapatan yang makin lama makin berkurang dan penyebaran vegetasi tidak merata sehingga terdapat kawasan hutan yang tidak memiliki penutupan vegetasi (terbuka) sehingga perlu diupayakan kegiatan rehabilitasi dalam bentuk reboisasi. Dalam penelitian ini, hutan diklasifikasikan menjadi dua yakni hutan berkerapatan vegetasi tinggi dan hutan berkerapatan vegetasi rendah. 2. Pertanian Lahan Kering Umumnya menempati daerah yang agak tinggi dan sulit dijangkau pengairan. Tanaman yang umum diusahakan adalah: pisang, singkong, jagung, ubi jalar, kacang tanah, kedelai, atau tanaman sayuran (kubis, wortel, kentang, bawang daun, tomat dan cabe). Lahan biasanya diolah petani dua kali dalam setahun, setelah itu diberakan (antara Juni-Agustus). 3. Pertanian Lahan Basah (Sawah) Tipe penggunaan lahan ini penyebarannya banyak bercampur dengan kawasan pemukiman. Sistem pertanian sawah ini pada umumnya menggunakan sistem
41
pengairan teknis dan sederhana.
Disamping tanaman padi sebagai komoditi
utama, sebagian masyarakat juga menanami sebagian lahan sawah mereka dengan beberapa komoditi sayuran seperti ketimun, ubi jalar, kacang tanah, kacang panjang. 4. Kebun Campuran Tipe penggunaan lahan ini merupakan kawasan budidaya pertanian yang dilakukan oleh masyarakat dimana komoditi pertanian yang di tanam seperti sayuran dan palawija dikombinasikan dengan tanaman keras seperti buah-buahan dan tanaman keras.
Di dalamnya termasuk tanaman tahunan, pekarangan,
taman-taman dalam penelitian ini juga di kelompokan ke dalam kebun campuran. 5. Semak belukar Tipe penutupan lahan ini merupakan kawasan kehutanan yang ditumbuhi rumputrumputan, alang-alang dan tanaman paku-pakuan. 6. Pemukiman Tipe penggunaan lahan ini termasuk juga kawasan industri, perdagangan dan jasa. Umumnya pemukiman menyebar dikawasan budidaya, namun ada sebagian kecil yang berada di kawasan lindung.
Dalam penelitian ini, pemukiman
diidentifikasikan dalam bentuk bangunan rumah. 7. Tanah Kosong Tanah kosong merupakan kawasan terbuka tanpa penutup vegetasi. Letak tanah kosong menyebar baik di kawasan budidaya maupun kawasan lindung. 8. Badan air Badan air dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua yakni sungai dan badan air seperti kolam ikan, empang. kolam renang. 9. Jalan raya utama Jalan raya utama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jalan raya Bogor Puncak yang terdapat di Sub DAS Ciesek.
42
Tabel 5 berikut ini menunjukan tampilan image berbagai pola penutupan lahan berdasarkan citra satelit Ikonos tahun 2003 yang ada di Sub DAS Ciesek. Tabel 5.
No
Pengklasifikasian Berbagai Penutupan Lahan Menggunakan Metode On Screen di Sub DAS Ciesek Berdasarkan Citra Satelit Ikonos Tahun 2003 Tampilan Image pada Citra Satelit Ikonos Tahun 2003
Hasil Intepretasi
1
Hutan Kerapatan Tinggi
2
Hutan Kerapatan Rendah
3
Semak Belukar
4
Pertanian Lahan Basah
5
Pertanian Lahan Kering
43
No
Tampilan Image pada Citra Satelit Ikonos Tahun 2003
Hasil Intepretasi
6
Kebun Campuran
7
Bangunan Pemukiman
8
Sungai
9
Jalan Raya
10
Tanah Kosong
Sumber analisis data primer, 2005
Berdasarkan hasil intepretasi citra satelit Ikonos tahun 2003 yang telah dilakukan, didapatkan pola penutupan lahan masyarakat yang tinggal di Sub DAS Ciesek seperti yang tetera pada Tabel 6 di bawah ini.
44
Tabel 6. Penutupan Lahan Berdasarkan Ikonos Tahun 2003 dan Peruntukan Penggunaan Lahan Berdasarkan RTRW Tahun 2000 di Sub DAS Ciesek Arahan Arahan Penggunaan Penggunaan Umum RTRW Khusus RTRW No 1 Kawasan Kawasan Lindung Hutan Lindung
2 Kawasan Budidaya Pertanian
Kawasan Pemukiman
Luas Berdasarkan RTRW (Ha) 1.041,10
% 39,24
Kawasan Pertanian Lahan Kering
539,87
20,35
Kawasan Pertanian Lahan Basah
127,75
4,81
Kawasan Perkebunan
261,84
9,87
Kawasan Tanaman Tahunan
265,57
10,01
Kawasan Pedesaan
417,15
15,72
TOTAL
2.653,27
Penutupan Lahan Berdasarkan Ikonos Tahun 2003 Hutan kerapatan tinggi Hutan kerapatan rendah Kebun campuran Bangunan rumah Pertanian lahan kering Semak belukar Sungai Tanah kosong Total a Pertanian lahan kering Badan air / kolam Hutan kerapatan tinggi Hutan kerapatan rendah Kebun campuran Bangunan rumah Sawah Sungai Tanah kosong Total b Sawah Kebun campuran Bangunan rumah Sungai Tanah kosong Total c Kebun campuran Pertanian lahan kering Hutan kerapatan tinggi Hutan kerapatan rendah Bangunan rumah Sawah Semak belukar Sungai Tanah kosong Total d Kebun campuran Pertanian lahan kering Sawah Bangunan rumah Semak belukar Sungai Tanah kosong Total e Bangunan rumah Jalan raya utama Tanah kosong Sungai Badan air / kolam Kebun campuran Pertanian lahan kering Sawah Total f
Luas Berdasarkan Ikonos (Ha) 521,48 133,25 35,72 2,06 144,70 200,42 0,69 2,79 1.041,10 269,88 0,51 5,32 1,68 109,53 38,81 103,04 8,20 2,91 539,87 56,63 41,82 24,94 2,52 1,83 127,75 72,92 82,74 7,00 54,26 17,91 22,74 1,99 1,05 1,23 261,84 71,52 99,34 54,21 5,97 31,10 2,42 1,01 265,57 127,49 3,47 4,23 6,34 0,45 150,43 60,40 64,35 417,15
% 50,09 12,80 3,43 0,20 13,90 19,25 0,07 0,27 100,00 49,99 0,09 0,99 0,31 20,29 7,19 19,09 1,52 0,54 100,00 44,33 32,74 19,52 1,97 1,43 100,00 27,85 31,60 2,67 20,72 6,84 8,68 0,76 0,40 0,47 100,00 26,93 37,41 20,41 2,25 11,71 0,91 0,38 100,00 30,56 0,83 1,01 1,52 0,11 36,06 14,48 15,43 100,00
2.653,27
Sumber analisis data primer, 2005
45
Dari Tabel 6 tersebut di atas dapat dilihat peruntukan lahan untuk kawasan lindung (hutan lindung) sesuai dengan RTRW Kabupaten Bo gor tahun 2000 sebesar 1.041,10 ha atau 39,24 % dari luas total Sub DAS Ciesek. Tetapi dari 39,24 % luas total Sub DAS Ciesek yang diperuntukan sebagai kawasan lindung kini hanya tinggal 24,68 % dari luas total Sub DAS Ciesek yang masih menyisakan kawasan bervegetasi hutan. Dari 1.041,10 ha areal yang diperuntukan sebagai kawasan hutan lindung, saat ini tinggal 654,73 ha atau 62,89 % kawasan yang masih berhutan, sedangkan sisanya seluas 30,53 % telah berubah fungsi menjadi penggunaan lainnya. Diantara perubahan pola penutupan lahan itu antara lain menjadi semak belukar 200,42 ha (19,25 %), pertanian lahan kering 144,69 ha (13,90 %), kebun campuran 35,72 ha (3,43 %), tanah kosong 2,79 ha (0,27 %), dan bangunan rumah 2,06 ha (0,20 %). Berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor tahun 2000, arahan penggunaan lahan untuk kawasan pemukiman di Sub DAS Ciesek mencakup areal wilayah seluas 417,15 ha atau 15,72 % dari luas total kawasan Sub DAS Ciesek. Luas total bangunan rumah di Sub DAS Ciesek berdasarkan hasil intepretasi citra satelit Ikonos tahun 2003 seluas 217,17 ha atau 8,14 % dari luas total kawasan Sub DAS Ciesek. Letak bangunan rumah ini menyebar di kawasan pemukiman (pedesaan) seluas 127,49 ha, di kawasan budidaya pertanian seluas 87,62 ha dan di kawasan lindung seluas 2,06 ha.
Dari 417,15 ha kawasan yang diperuntukan sebagai kawasan
pemukiman dalam RTRW kabupaten Bogor, berdasarkan hasil intrepretasi citra satelit Ikonos tahun 2003 luas bangunan rumah yang ada di dalam kawasan pemukiman (pedesaan) hanya 127,49 ha atau 30,56 %. Hal ini wajar, mengingat arahan penggunaan lahan kawasan pemukiman (pedesaan) berdasarkan RTRW termasuk juga di dalamnya lahan pekarangan, sementara intrepretasi berdasarkan citra satelit Ikonos hanya luas bangunan rumahnya saja. Arahan penggunaan lahan untuk kawasan budidaya pertanian berdasarkan RTRW terdiri dari areal pertanian lahan kering seluas 539,87 ha atau 20,35 %, pertanian lahan basah seluas 127,75 ha atau 4,81 %, kawasan perkebunan seluas 261,84 ha atau 9,87 % dan kawasan tanaman tahunan seluas 265,57 ha atau 10,01 % dari luas total Sub DAS Ciesek. Jika dilihat dari masing- masing peruntukan lahan
46
untuk kawasan budidaya pertanian, penggunaan lahan yang ada sekarang juga banyak yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Hal ini bisa dilihat pada pola penggunaan lahan berdasarkan citra satelit Ikonos dimana penggunaan lahan yang sesuai untuk masing-masing peruntukan lahan kawasan budidaya pertanian adalah ; untuk pertanian lahan kering hanya 49,99 %, untuk pertanian lahan basah hanya 44,33 %, untuk tanaman tahunan hanya 26,93 % saja yang sesuai, sisanya menyebar pada peruntukan penggunaan lainnya.
Sedangkan peruntukan lahan untuk perkebunan
(kebun teh), berdasarkan survey lapangan di Sub DAS Ciesek tidak ditemukan adanya kebun teh, tetapi pada peruntukan lahan ini didominasi oleh penggunaan lahan pertanian lahan kering yakni sebesar 31,60 %. Total luas penggunaan lahan untuk pertanian lahan kering di Sub DAS Ciesek mencapai 657,04 ha atau 24,76 % lebih besar jika dibandingkan peruntukannya dalam RTRW yang cuma 539,87 ha. Total penggunaan lahan untuk pertanian lahan basah mencapai 300,97 ha atau 11,34 % lebih besar jika dibandingkan peruntukannya dalam RTRW yang cuma seluas 127,75 ha. Demikian juga dengan total penggunaan lahan untuk kebun campuran yang mencapai 481,94 ha atau 18,16 % lebih besar jika dibandingkan peruntukannya dalam RTRW dimana peruntukan untuk tanaman tahunan hanya seluas 265,57 ha saja. Lebih besarnya luas kawasan budidaya pertanian saat ini dibandingkan dengan peruntukannya menyebabkan luas kawasan lindung di bagian hulu Sub DAS Ciesek menjadi semakin berkurang. Luas kawasan lindung juga mengalami penurunan luas akibat maraknya pembangunan villa di daerah kawasan lindung. Dengan alasan kondisi lingkungan yang el bih baik dan pemandangan yang lebih indah, menjadikan kawasan hutan sebagai kawasan lindung banyak digunakan sebagai kawasan pembangunan villa- villa yang banyak terdapat di Sub DAS Ciesek. Pembangunan kawasan pemukiman di Sub DAS Ciesek ini berkembang dengan pesat terutama bangunan villa, sehingga seringkali tidak sesuai dengan arahan penggunaan lahan yang telah disusun dalam RTRW Kabupaten Bogor. Hal ini tentunya dapat menimbulkan permasalahan lingkungan bagi masyarakat terutama yang tinggal di daerah hilir.
47
708000
711000
714000
717000
9267000
9267000
9264000
9264000
708000
711000
714000
717000
Gambar 5. Peta Penutupan Lahan di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu berdasarkan Citra Satelit Ikonos Tahun 2003
48
Nilai Ekonomi Kawasan Lindung Penilaian manfaat ekonomi kawasan lindung (hutan) dilakukan dengan menghitung nilai ekonomi total (Total Economic Value) yang terdiri dari : 1. Nilai Guna Nilai Guna Langsung Nilai Ekonomi Kayu Bakar Pemanfaatan kayu bakar masih dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, terutama oleh masyarakat yang tinggal di Kampung Pasaban, Kampung Citamiyang, Kampung Jawa, Kampung Sirimpak (Desa Megamendung) dan Kampung Bungur (Desa Cilember). Masyarakat menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah untuk memasak sehari- hari. Penilaian ekonomi manfaat hutan sebagai penghasil kayu bakar per tahun dilakukan dengan metode biaya pengganti yakni dengan cara menghitung besarnya waktu yang dikorbankan dalam satu tahun untuk mengambil kayu bakar dengan besarnya upah kerja yang seharusnya mereka terima. Pengambilan sampel responden dilakukan dengan mewancarai 17 orang responden yang terdiri dari 8 orang dari kampung Pasaban dan 6 orang dari Kampung Jawa (Desa Megamendung) serta 3 orang dari kampung Bungur (Desa Cilember). Adapun populasi pengumpul kayu bakar yang ada di Sub DAS Ciesek dapat dilihat pada Tabel 7.
Sementara
karakteristik sosial ekonomi pengumpul kayu bakar responden dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 7. Populasi Pengumpul Kayu Bakar di Sub DAS Ciesek Kampung Pasaban Citamiyang Sirimpak Kampung Jawa Kampung Bungur Total
Desa Megamendung Megamendung Megamendung Megamendung cilember
Jumlah KK
Jumlah Pengumpul Kayu Bakar (KK)
59 35 36 28 38 196
59 28 18 14 30 150
Sumber analisis data primer, 2005
49
Tabel 8. Karakteristik Sosial Ekonomi Pengumpul Kayu Bakar Uraian Konsumsi kayu bakar Lamanya Waktu Pengambilan KB Jumlah Anggota KK Jarak Ke Hutan Frekuensi Pengambilan KB Pendapatan Tingkat Pendidikan
Satuan ikat/orang/th jam/th orang km per minggu Rp/bln Skoring
Ra-rata 93,18 214,59 4,41 2,64 1,06 364.706 SMP*
Sumber : olahan data primer, 2005 * modus
Hasil penelitian menunjukan rata-rata pengambilan kayu bakar yang dilakukan oleh masyarakat adalah satu kali dalam seminggu dengan korbanan waktu yang diperlukan 4,3 jam sekali pengambilan. Adapun besarnya rata-rata upah kerja masyarakat di daerah ini adalah Rp.15.000/hari untuk 8 jam kerja atau Rp.1.875/jam. Besarnya nilai ekonomi hutan sebagai penghasil kayu bakar bagi masyarakat sekitar hutan adalah Rp.60.352.941,18/tahun atau Rp.92.179,75/ha/tahun, perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.
Nilai Ekonomi Wisata Kawasan hutan lindung yang berada di hulu Sub DAS Ciesek selain mempunyai peran sebagai kawasan lindung juga mempunyai keindahan alam, salah satunya dengan adanya lokasi wisata alam Curug Panjang. Perum Perhutani KPH Bogor bersama masyarakat Desa Megamendung telah mengelola kawasan wisata alam dalam bentuk pengelolaan kawasan wisata Curug Panjang. Kawasan wisata ini mulai dikelola sejak tahun 2000 oleh Perum Perhutani. Keindahan alam terutama jurug (air terjun) menjadi daya tarik utama kawasan wisata ini.
Dengan sistem
pengelolaan yang terus diperbaiki oleh Perum Perhutani bersama masyarakat sekitar, membuat tingkat kunjungan ke kawasan wisata ini dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada hari sabtu dan minggu tempat wisata alam ini ramai dikunjungi oleh pengunjung dari kota Bogor dan sekitarnya.
50
Penelitian dilakukan dengan cara mewawancarai 44 pengunjung kawasan wisata alam tentang besarnya biaya perjalanan yang dikeluarkan, karakteristik pengunjung, dan presepsi atau penilaian terhadap kawasan wisata alam. Informasi mengenai karakteristik dan presepsi pengunjung terhadap kawasan wisata alam Curug Panjang dapat dilihat dalam Tabel 9 berikut ini. Tabel 9.
No 1
2
3
4
5
6
7
8
Karakteristik dan Persepsi Pengunjung Kawasan Wisata Alam Curug Panjang Keterangan Jenis Pekerjaan • Pelajar/mahasiswa • Swasta Kelompok Umur • 12 - 20 • 20 - 30 • 30 tahun keatas Pendapatan • < Rp.500 rb • Rp. 500 rb – 1 juta • Rp. > 1 juta Motivasi Kunjungan • wisata • outbound • lainnya Intensitas Kunjungan • kurang dari 3 x • lebih dari 3 x Cara Melakukan Kunjungan • sendiri • berkelompok Lamanya Kunjungan • Pulang-pergi • menginap Tanggapan terhadap Fasilitas Wisata • baik • kurang
Jumlah
Prosentase (%)
34 10
77,27 22,73
22 20 2
50,00 45,45 4,54
36 6 2
81,81 13,63 4,54
26 12 6
59,09 27,27 13,64
30 14
68,18 31,82
5 39
11,36 88,64
16 28
36,36 63,64
4 40
9,09 90,91
Sumber analisis data primer, 2005
51
Dari Tabel 9 di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar pengunjung kawasan wisata alam Curug Panjang adalah pelajar/mahasiswa (77,27 %) kemudian diikuti oleh swasta (22,73 %) dimana kelompok umur pengunjung terbesar adalah kelompok umur 12 – 20 th (50 %), diikuti kelompok umur 20 – 30 th (45,45 %) dan 30 tahun ke atas (4,54 %).
Sebagian besar pengunjung kawasan wisata alam Curug Panjang
berpendapatan kurang dari Rp. 500.000 (81,81 %) hal ini bisa dimaklumi karena sebagian besar adalah pelajar/mahasiswa yang belum punya penghasilan. Motivasi kunjungan para pengunjung selain wisata (59,09 %), adalah outbound (27,27 %) dan sisanya motivasi la innya (13,64 %). Lokasi kawasan wisata Curug Panjang memang suda h lama dimanfaatkan sebagai kawasan outbound, kondisi alamnya yang indah serta kondisi jurug yang cukup menantang membuat kawasan ini sangat cocok untuk dikembangkan sebagai kawasan petualangan alam.
Para
pengunjung datang ke kawasan ini dengan cara berkelompok (88,64 %) sedangkan sisanya sendiri (11,36 %). Sebagian besar responden (31,82 %) mengatakan pernah datang lebih dari 3 kali ke kawasan wisata alam ini, sedangkan sisanya (68,18 %) menyatakan kurang dari 3 kali. Pengunjung yang datang lebih dari 3 kali sebagian besar adalah dari wilayah bogor sedangkan pengunjung dari luar bogor sebagian besar baru datang satu kali. Kawasan wisata alam ini hanya ramai pengunjung pada hari sabtu- minggu saja, sedangkan hari lain relatif sepi. Biasanya para pengunjung yang mempunyai motivasi outbound akan menginap (63,64 %) di kawasan wisata alam ini, sedangkan sisanya pulang pergi (36,36 %) yang kebanyakan merupakan pengunjung yang mempunyai motivasi berwisata. Persepsi para pengunjung terhadap kelengkapan fasilitas umum yang ada sebagian besar memberikan penilaian kurang memuaskan (90,91 %) sedangkan sisanya menyatakan sudah baik (9,09 %). Sebagian besar pengunjung menyarankan perlunya dibagun shelter-shelter untuk tempat peristirahatan, fasilitas toilet dan tempat ganti pakaian diperbaiki, papan-papan peringatan, lokasi camping ground yang lebih diperluas serta penambahan sarana-sarana outbound. Berdasarkan data dari Perum Perhutani jumlah pengunjung kawasan wisata alam Curug Panjang pada tahun 2000 berjumlah 3.800 dan tahun 2001 sebesar 4.037
52
atau mengalami peningkatan sebesar 237 orang, dengan asumsi peningkatan jumlah pengunjung tiap tahunnya sama maka pada tahun 2005 terdapat 4.985 pengunjung. Berdasarkan data jumlah pengunjung dan data sampel responden maka didapatkan tingkat kunjungan pengunjung seperti yang tersaji pada Tabel 10. Tabel 10. Tingkat Kunjungan di Kawasan Wisata Alam Curug Panjang Berdasarkan Biaya Perjalanan Jumlah Jumlah Populasi Prosentase Daerah Asal Sampel Daerah No Pengunjung Pengunjung Pengunjung Pengunjung (%) (orang) (orang) *
Jumlah Pengunjung (orang)
Laju Biaya Kunjungan Perjalanan per 1000 Rata-rata orang (Rp)
1
Bogor
16
36,36
820.707
1.813
3
19.109
2
Jakarta
22
50,00
8.792.000
2.493
1
63.659
3
Bekasi
6
13,64
1.877.414
680
1
52.500
Total 44 Sumber analisis data primer, 2005 Keterangan : * Data BPPS tahun 2003
4.985
Penentuan besarnya nilai manfaat ekonomi kawasan wisata alam ini dilakukan dengan menghitung besarnya biaya perjalanan (travel cost method) yang dikeluarkan oleh setiap pengunjung dari berbagai daerah asal.
Sedangkan besarnya biaya
perjalanan yang dikeluarkan oleh pengunjung di Kawasan Wisata Curug Panjang dapat dilihat pada Tabel 11 berikut ini.
Tabel 11. Besarnya Biaya Perjalanan Pengunjung Kawasan Wisata Alam Curug Panjang No 1 2 3 4 5
Jenis Pengeluaran Transportasi Konsumsi Tiket Masuk Penginapan lain-lain Jumlah
Biaya 17.320 16.066 3.000 3.286 7.571 47.242
Prosentase (%) 36,66 34,01 6,35 6,96 16,03
Sumber analisis data primer, 2005
53
Kurva permintaan manfaat rekreasi kawasan wisata alam Curug Panjang berdasarkan biaya perjalanan dibuat untuk melihat hubungan jumlah pengunjung pada berbaga i tingkat harga tiket masuk kawasan wisata.
Hasil penelitian
menunjukan semakin tinggi harga tiket masuk kawasan wisata maka semakin sedikit jumlah pengunjung kawasan wisata tersebut seperti yang terlihat pada Gambar 6.
HTM (Rp/orang)
70000 60000 50000 40000 30000 20000
10000 0 -
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
12.000
14.000
Jumlah Pengunjung (orang)
Gambar 6. Kurva Permintaan Manfaat Wisata Alam Curug Panjang
Pada harga tiket masuk yang dip erlakukan sekarang ini yakni Rp.3.000/orang, diperkirakan jumlah pengunjung akan mencapai 10.233 orang/tahun dengan keuntungan yang akan didapatkan pihak pengelola sebesar Rp.30.700.070/tahun, kesediaan membayar pengunjung atau manfaat rekreasi sebesar Rp. 164.062.827 atau Rp.16.032/orang, sementara surplus konsumen yang dirasakan oleh pengunjung mencapai Rp.133.362.757/tahun atau Rp.13.033/orang.
Hasil perhitungan juga
menunjukan bahwa penerimaan pihak pengelola akan maksimum pada saat harga tiket masuk sebesar Rp.12.000/orang dengan perkiraan jumlah pengunjung mencapai 5.270 orang/tahun. Pada kondisi ini pihak pengelola akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp.63.235.494. Besarnya nilai manfaat rekreasi adalah Rp.126.834.835 atau rata-rata kesediaan membayar setiap pengunjung mencapai Rp.24.069/orang, sedangkan surplus konsumen mencapai Rp.63.599.342 atau Rp.12.069/orang. Harga
54
tiket masuk pengunjung sebesar Rp .12.000/orang dirasakan masih wajar karena harga ini masih dibawah rata-rata kesediaan membayar pengunjung yang sebesar Rp.24.069/orang. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil perhitungan manfaat nilai ekonomi dari jasa wisata di Curug Panjang pada tingkat harga karcis yang sekarang berlaku (Rp.3000) dapat dilihat pada Tabel 12 berikut ini. Tabel 12. Nilai Ekonomi Wisata Curug Panjang pada Tingkat Harga yang Sekarang Berlaku
Kesediaan berkorban Nilai yang dikorbankan Surplus Konsumen
Nilai sampel (Rp/orang) 16.032 3.000 13.033
Jumlah pengunjung 10.233 10.233 10.233
Nilai Total (Rp/tahun) 164.062.827 30.700.070 133.362.757
Sumber analisis data primer, 2005
Gambar 7. Salah Satu Aktivitas Outbound yang dilakukan Pengunjung di Kawasan Wisata Alam Curug Panjang
55
Nilai Guna Tidak Langsung Nilai Ekonomi Penyedia Kebutuhan Air untuk Rumah Tangga Secara tidak langsung keberadaan kawasan hutan di Sub DAS Ciesek juga ikut menjamin siklus hidrologis kawasan tersebut. Dengan cara me nahan curah hujan yang tinggi dan meresapkannya ke dalam tanah, dan selanjutnya dilepas secara teratur ke dalam berbagai aliran air permukaan dan bawah permukaan, sehingga distribusinya lebih baik bagi berbagai kepentingan salah satunya untuk kebutuhan air rumah tangga. Masyarakat yang tinggal di kawasan ini sebagian besar memakai air yang bersumber dari mata air dan sumur.
Dari 69 responden masyarakat yang
menggunakan air yang bersumber dari mata air sebesar 79,71 % sedangkan sisanya 20,29 % dari sumur. Sebagian besar masyarakat menggunakan mata air yang banyak terdapat di daerah penelitian untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari seperti mencuci, mandi dan kakus.
Dari sumber air biasanya masyarakat membuat bak-bak
penampungan dari bangunan semen dan kemudian mengalirkannya sampai ke rumah dengan pipa pralon. Tidak jarang untuk lebih memperlancar penyaluran air terutama pada musim kemarau baik dari sumur maupun mata air, masyarakat memanfaatkan mesin pemompa air. Mesin pompa air ini banyak dimiliki oleh pemilik-pemilik villa yang banyak terdapat di daerah Sub DAS Ciesek. Karakteristik sosial ekonomi masyarakat pengguna air untuk kebutuhan rumah tangga di daerah Sub DAS Ciesek dapat dilihat pada Tabel 13 berikut ini. Tabel 13. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Pengguna Air untuk Kebutuhan Rumah Tangga Uraian Konsumsi Air Biaya Pengadaan Pendapatan Kepala Keluarga Jumlah Anggota Keluarga Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga Jarak ke Sumber Air
Satuan m /orang/tahun Rp/m3 Rp/bulan Orang Skoring meter 3
Rata-rata 167,42 408,01 3.052.608,70 5 S1 60,22
Sumber analisis data primer, 2005
56
Dari Tabel 13 di atas bisa dilihat bahwa rata-rata pemakaian air mencapai 167,42 m3/orang/tahun, angka ini cukup tinggi jika dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Kurniasih (2002) di Hutan Pendidikan Gunung Walat yang hanya berkisar 28,33 m3/orang/tahun. Hal ini dimaklumi karena sebagian besar pemakaian air masyarakat di daerah Sub DAS Ciesek berasal dari sumber mata air yang dialirkan ke rumah dan dibiarkan mengalir terus setiap hari. Demikian juga dengan biaya pengadaan yang cukup tinggi yakni mencapai Rp 408,01 /m3 dikarenakan komponen biaya yang cukup besar seperti pralon dan bak penampungan dari semen yang hampir semua masyarakat di daerah Sub DAS Ciesek menggunakannya serta mesin pemompa air (sanyo) yang banyak digunakan untuk membantu menyedot air yang banyak digunakan di villa-villa yang banyak terdapat di daerah penelitian. Penentuan manfaat ekonomi penyedia kebutuhan air untuk rumah tangga dalam penelitian ini menggunakan pendekatan metode biaya pengadaan yakni dengan menghitung besarnya biaya pengadaan yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk mengkonsumsi air. Variabel- variabel yang diduga mempengaruhi tingkat konsumsi air untuk kebutuhan rumah tangga (Y) antara lain biaya pengadaan (X1), tingkat pendapatan kepala keluarga (X2), jumlah anggota keluarga (X3), tingkat pendidikan kepala keluarga (X4) dan jarak ke sumber mata air (X5). Dari pengolahan regresi dengan metode stepwise yang dilakukan terhadap 69 responden terpilih, model kurva permintaan air untuk konsumsi rumah tangga masyarakat di Sub DAS Ciesek adalah Y = 134,628 - 0,0708 X1 + 8,995 X3 + 0,045 X5. Model tersebut nyata (P=0,000), dengan koefisisen determinasi (R2 ) 48,7% yang berarti 48,7 % kera gaman yang terjadi pada konsumsi air rumah tangga disebabkan oleh biaya pengadaan, jumlah anggota keluarga dan jarak ke sumber air. Dari ketiga variabel yang mempengaruhi tingkat konsumsi air untuk rumah tangga, variabel yang paling berpengaruh berturut-turut adalah biaya pengadaan (P = 0,000), jarak ke sumber air (P = 0,000), dan jumlah anggota keluarga (P = 0,009). Dari model kurva permintaan air untuk rumah tangga juga dapat dilihat bahwa biaya pengadaan berkorelasi negatif dengan tingkat konsumsi air, ini artinya semakin besar tingkat konsumsi air untuk rumah tangga maka semakin kecil biaya pengadaan.
57
Sedangkan untuk jumlah anggota keluarga dan jarak dari sumber air berkorelasi positif dengan tingkat konsumsi air yang berarti semakin banyak jumlah anggota keluarga dan semakin jauh jarak dari sumber air maka tingkat konsumsi air akan semakin tinggi.
Semakin jauh jarak dari sumber air, maka peluang untuk
mendapatkan sumber air yang besar dengan kualitas air lebih baik semakin besar. Sumber-sumber air yang lebih besar dan jernih di daerah Sub DAS Ciesek banyak terdapat di daerah hulu, yang berada jauh dari daerah pemukiman yang banyak terdapat di daerah hilir. Dengan demikian kegiatan perlindungan kawasan di daerah hulu Sub DAS Ciesek mutlak harus dilakukan, mengingat banyaknya masyarakat yang memanfaatkan daerah ini sebagai tempat mengambil sumber air untuk keperluan rumah tangga. Hasil perhitungan besarnya nilai ekonomi air untuk konsumsi rumah tangga di Sub DAS Ciesek berdasarkan model persamaan permintaan air untuk konsumsi rumah tangga yang telah di dapat yakni sebesar Rp.2.116.630.677,85/tahun atau Rp.237.556,75/KK/tahun. Dengan nilai yang dikorbankan oleh masyarakat sebesar Rp.352.126.318,50/tahun atau Rp.39.520,35/KK/tahun, masyarakat mendapatkan surplus konsumen sebesar Rp.1.764.504.359,35/tahun atau Rp. 198.036,40/KK/tahun. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3. Untuk lebih jelasnya rekapitulasi hasil perhitungan besarnya nilai ekonomi air untuk konsumsi rumah tangga di Sub DAS Ciesek dapat dilihat pada Tabel 14 di bawah ini.
Tabel 14. Nilai Ekonomi Air untuk Konsumsi Rumah Tangga
Kesediaan berkorban Nilai yang dikorbankan Surplus Konsumen
Nilai sampel (Rp/KK/tahun) 237.556,75 39.520,35 198.036,40
Populasi KK 8.910 8.910 8.910
Nilai Total (Rp/tahun) 2.116.630.677,85 352.126.318,50 1.764.504.359,35
Sumber analisis data primer, 2005
58
Gambar 8.
Saluran Air Berupa Peralon yang digunakan Mayarakat untuk Menga mbil Air untuk Kebutuhan Rumah Tangga
Gambar 9.
Bangunan Bak Penampungan Mata Air yang dijadikan sebagai Sumbe r Air untuk Memenuhi Kebutuhan Rumah Tangga
59
Nilai Ekonomi Penyedia Kebutuhan Air untuk Pertanian Disamping sebagai penyedia air untuk keperluan rumah tangga. keberadaan hutan di Sub DAS Ciesek juga berperan sebagai penyedia air untuk kebutuhan pertanian, khususnya pertanian sawah yang membutuhkan pengairan secara terus menerus. Penilaian dilakukan pada petani yang mengusahakan lahan pertaniannya dengan sistim irigasi, dimana lahan persawahannya dialiri air sepanjang hari. Asumsi yang dibangun adalah bahwa sumber air yang digunakan untuk mengaliri sawah para petani bersumber dari mata air-mata air yang berada dari kawasan lindung di Sub DAS Ciesek. Penilaian manfaat ekonomi sebagai penyedia air untuk sektor pertanian dalam penelitian ini menggunakan Contingent Valuation Method (CVM), yakni dengan cara menanyakan kepada petani yang menjadi responden tentang kesediaan membayar (Willingness to pay) akan air untuk mengairi sawah mereka per sekali panen. Pendekatan ini dilakukan mengingat susahnya mendapatkan informasi yang akurat tentang besarnya biaya pengadaan yang dikeluarkan oleh petani untuk mengairi sawah mereka. Jumlah petani yang menjadi responden berjumlah 22 orang petani, sama dengan responden yang digunakan untuk menentukan nilai ekonomi produk tivitas pertanian lahan basah. Kondisi karaketristik sosial ekonomi responden dapat dilihat pada Tabel 21 dan Tabel 22.
Dari hasil perhitungan didapatkan informasi bahwa rata-rata
kesediaan membayar petani di Sub DAS Ciesek sebesar Rp.15.773/orang/panen atau Rp.31.546 /orang/th sehingga nilai manfaat ekonomi sebagai penyedia air untuk sektor pertanian sebesar Rp.29.274.181,82/th atau Rp.44.711,77/ha/th. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4.
Nilai Ekonomi Pengendali Banjir dan Erosi Adanya vegetasi hutan dapat mencegah bahaya banjir dan erosi, demikian pula keberadaan hutan di Sub DAS Ciesek juga dapat berfungsi sebagai pengendali banjir dan erosi bagi daerah-daerah yang berada di bawahnya. Manfaat hutan sebagai pengendali banjir dan erosi ini sangat terkait dengan fungsi hutan lindung yang
60
berada di bagian hulu Sub DAS Ciesek yakni sebagai pengatur hidroorologi kawasan disekitarnya. Kerusakan ekosistem hutan di hulu Sub DAS Ciesek secara langsung akan berdampak pada meningkatnya erosi dan banjir serta terjadinya sedimentasi di daerah aliran sungai yang lebih rendah dan pada akhirnya akan berdampak pada kondisi sosial ekonomi masyarakatnya. Dalam penelitian ini masyarakat yang menjadi responden untuk menentukan besarnya nilai ekonomi kawasan lindung sebagai pengendali banjir dan erosi berjumlah 69 orang. Untuk lebih jelasnya tentang kondisi sosial ekonomi responden dapat dilihat pada Tabel 15 dan 16 berikut ini. Tabel 15. Rata-rata Pendapatan dan Jumlah Anggota Keluarga Responden untuk Menentukan Nilai Ekonomi Uraian Jumlah Anggota KK Pendapatan
Satuan orang Rp/bln
Ra-rata 5 3.030.145
Sumber : olahan data primer, 2005
Tabel 16. Distribusi Tingkat Pendidikan dan Jenis Pekerjaan Responden untuk Menentukan Nilai Ekonomi Uraian Tingkat Pendidikan SD SMP SMA S1 S2 Total Jenis Pekerjaan Petani Buruh Penjaga Villa Swasta PNS Wiraswasta Total
Jumlah 14 14 16 24 1 69 9 7 12 17 8 16 69
Persentase (%) 20,29 20,29 23,19 34,78 1,45 100,00 13,04 10,14 17,39 24,64 11,59 23,19 100,00
Sumber : olahan data primer, 2005
61
Dari Tabel 15 dan 16 tersebut di atas dapat dilihat bahwasannya sebagian besar responden berpendidikan S1 (34,78 %), kemudian berturut-turut diikuti oleh SMA (23,19 %), SD (20,29 %), SMP (20,29%) dan S2 (1,45 %). Sedangkan jika dilihat dari jenis pekerjaannya berturut-turut adalah swasta (24,64 %), wiraswasta (23,19 %), penjaga villa (17,39 %), petani (13,04 %), PNS (11,59 %) dan buruh (10,14 %). Banyaknya responden yang berprofesi di swasta dan wiraswasta dan sebagian dari mereka adalah pemilik villa-villa yang ada di daerah penelitian menyebabkan rata-rata tingkat pendapatan responden menjadi relatif tinggi, yakni sebesar Rp.3.030.145/bulan. Penilaian manfaat ekonomi hutan sebagai pengenda li banjir dan erosi dalam penelitian ini menggunakan Contingent Valuation Method (CVM), yakni dengan cara menanyakan kepada masyarakat yang menjadi responden tentang kesediaan membayar (Willingness to pay) akan fungsi hutan sebagai pengendali banjir dan erosi. Hasil penelitian menunjukan besarnya kesediaan membayar masyarakat untuk membayar agar hutan tetap terjaga dengan baik sehingga fungsi sebagai pengendali banjir dan erosi dapat berfungsi dengan baik adalah Rp.183.826/orang/tahun. Jika digandakan dengan seluruh jumlah rumah tangga yang ada di Sub DAS Ciesek sebesar 8.910 KK, maka besarnya nilai ekonomi sebagai pengendali banjir dan erosi sebesar
Rp.1.637.890.434,78/tahun
atau
Rp .2.501.623,47/hektar/tahun.
Hasil
perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5.
2. Nilai Bukan Guna Nilai Pilihan (Option Value) Nilai Hutan sebagai Penyerap Karbon Keberadaan hutan tropis sangat penting karena diyakini sebagai paru-paru dunia yang berfungsi menjaga keseimbangan iklim global dunia. Hutan diyakini oleh sebagian besar para ahli lingkungan dapat menurunkan emisi CO 2 di atmosfer melalui kemampuannya dalam menyerap gas berbahaya tersebut sehingga hutan disebut sebagai rosot karbon atau carbon sink karena fungsinya dalam menyerap dan menyimpan karbon.
62
Kehutanan menjadi isu yang kontroversial sejak diadopsi ke dalam Kyoto Protocol terutama berkaitan dengan tiga program dalam Kyoto Protocol yakni Joint Implementation (JI), Clean Devolopment Mechanism (CDM) dan Emission Trading (ET) yang merupakan market based instruments dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Dalam CDM besarnya kemampuan dalam menyerap karbon dihargai dengan nilai US$ 10/ton karbon. Berdasarkan studi inventarisasi Gas Rumah Kaca tahun 1994 (Ridwan et al., 2001) menyebutkan bahwa hutan mampu menyerap CO 2 sebesar 404 metrik ton. Sementara berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Brown (1997) untuk hutan tropis di Indonesia rata-rata 210 – 226 ton C/ha. Penghitungan nilai ekonomi jasa hutan di Sub DAS Ciesek dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan harga pasar dimana pada saat ini harga karbon yang berlaku di pasaran dunia sebesar US$ 10/ton atau bila dikurskan dengan nilai rupiah sekarang adalah sebesar Rp.93.000/ton.
Besarnya potensi hutan dalam
menyerap karbon didekati dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Brown (1997), dimana hutan tropis di Indonesia bisa menyerap karbon rata-rata 210 – 226 ton C/ha. Berdasarkan hasil penafsiran citra Ikonos tahun 2003 besarnya luasan hutan di Sub DAS Ciesek sebesar 654,73 ha yang terdiri dari hutan dengan kerapatan vegetasi tinggi sebesar 521,48 ha dan hutan dengan kerapatan vegetasi rendah sebesar 133,25 ha. Dengan mengasumsikan besarnya besarnya karbon yang dapat diserap seperti pada hasil penelitian Brown (1997) maka besarnya hutan dengan kerapatan vegetasi tinggi sebesar 226 ton C/ha dan besarnya hutan dengan kerapatan vegetasi rendah sebesar 210 ton C/ha.
Dalam penelitian ini jangka waktu pengelolaan hutan
diasumsikan sama dengan pengelolaan hutan alam yakni selama 35 tahun. Dengan mengalikan besarnya potensi karbon yang dapat diserap dengan harga karbon yang berlaku di pasaran dunia maka nilai ekonomi jasa hutan di Sub DAS Ciesek adalah sebesar Rp.387.510.290,23/tahun atau Rp.591.861,83/ha/tahun. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6.
63
Nilai Keberadaan Nilai Ekonomi Sebagai Habitat Flora dan Fauna Hutan dengan segala keunikan ekosistemnya merupakan habitat yang baik untuk tumbuh dan berkembangnya berbagai flora dan fauna yang ada di dalamnya. Hal ini menyebabkan keberadaan hutan sebagai habitat flora dan fauna mempunyai nilai dalam menjaga kelestarian flora dan fauna yang hidup dan berkembang didalamnya. Jumlah masyarakat yang menjadi responden dalam menentukan nilai keberadaan hutan sebagai habitat flora dan fauna ini berjumlah 69 orang. Adapun karakteristik sosial dan ekonomi responden dapat dilihat seperti pada Tabel 15 dan Tabel 16 di atas. Penilaian manfaat ekonomi hutan sebagai habitat satwa liar dalam penelitian ini menggunakan Contingent Valuation Method (CVM), yakni dengan cara menanyakan kepada masyarakat yang menjadi responden tentang kesediaan membayar (Willingness to pay) akan fungsi hutan sebagai habitat flora dan fauna. Hasil penelitian menunjukan besarnya kesediaan membayar masyarakat untuk membayar agar hutan tetap terjaga dengan baik sehingga fungsi sebagai habitat satwa liar dapat berfungsi dengan baik adalah Rp.77.333/orang/tahun. Jika digandakan dengan seluruh jumlah rumah tangga yang ada di Sub DAS Ciesek sebesar 8.910 KK. maka besarnya nilai ekonomi hutan sebagai habitat flora dan fauna sebesar Rp.689.040.000/tahun
atau
Rp .1.052.401,67/hektar/tahun.
Hasil
perhitungan
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7.
Rekapitulasi Nilai Ekonomi Total Kawasan Lindung Besarnya nilai ekonomi kawasan lindung dalam penelitian ini dihitung menggunakan konsep nilai ekonomi total atau Total Economic Value (TEV) dimana nilai ekonomi total kawasan lindung merupakan hasil penjumlahan nilai guna dan nilai bukan guna manfaat ekonomi dari hutan. Hasil rekapitulasi perhitungan nilai ekonomi total hutan lindung dalam penelitian ini selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 17 di bawah ini.
64
Tabel 17. Rekapitulasi Nilai Ekonomi Total Kawasan Hutan sebagai Kawasan Lindung di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu
No 1. a
b
2. a
b
Nilai Ekonomi Nilai Guna Nilai Guna Langsung Nilai Ekonomi Kayu Bakar Wisata Alam Total Nilai Guna langsung Nilai Guna Tidak Langsung Penyedia Kebutuhan Air untuk Rumah Tangga Penyedia Kebutuhan Air untuk Pertanian Pengendali Banjir dan Erosi Total Nilai Guna tidak langsung Total Nilai Guna Nilai Bukan Guna Nilai Pilihan Penyerap Karbon Total Nilai Pilihan Nilai Keberadaan Habitat Flora Fauna Total Nilai Keberadaan Total Nilai Bukan Guna
Total Nilai Ekonomi Sumber analisis data primer, 2005
Nilai Ekonomi per hektar (Rp/ha)
92.179,75 250.580,51 342.760,26
3.232.824,90
Nilai Ekonomi Total (Rp/th)
60.352.941,18 164.062.827,17 224.415.768,35
Persentase Terhadap Nilai Total (%)
1,19 3,23 4,41
2.116.630.677,85 41,63
44.711,77 29.274.181,82 0,58 2.501.623,47 1.637.890.434,78 32,21 5.779.160,14 3.783.795.294,45 74,41 6.121.920,40 4.008.211.062,81
591.861,83 591.861,83
387.510.290,23 387.510.290,23
78,83
7,62 7,62
1.052.401,67 1.052.401,67 1.644.263,51
689.040.000,00 13,55 689.040.000,00 13,55 1.076.550.290,23
7.766.183,90
5.084.761.353,04
100
21,17
100
100
Dari Tabel 17 di atas dapat dilihat nilai guna memberikan manfaat sebesar Rp.4.008.211.062,81 atau Rp.6.121.920,40/ha nilai ini memberikan kontribusi sebesar 78,83 % dari nilai ekonomi total kawasan lindung. Nila i ini terdiri dari nilai guna langsung sebesar Rp.224.415.768,35 atau Rp.342.760,26/ha (4,41 %) dan nilai guna tidak langsung sebesar Rp.3.783.795.294,45 atau Rp.5.779.160,14/ha (74,41%). Sementara sisanya sebesar 21,17 % merupakan kontribusi dari nilai bukan guna yang memberikan manfaat sebesar Rp.1.076.550.290,23 atau Rp1.644.263,51/ha. Nilai ini terdiri dari nilai pilihan sebesar Rp.387.510.290,23 atau Rp.591.861,83/ha (7,62 %) dan nilai keberadaan sebesar Rp.689.040.000,00 atau Rp. 1.052.401,67 (13,55 %).
65
Kecilnya nilai guna langsung yang cuma 4,41 % dari nilai ekonomi total kawasan hutan menunjukan masih kecilnya manfaat ekonomi kawasan hutan yang langsung dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan. Manfaat yang langsung dirasakan oleh masyarakat dengan adanya keberadaan hutan adalah sebagai penyedia kayu bakar dan sebagai lokasi wisata yakni dengan adanya pengelolaan kawasan wisata Curug Panjang yang dikelola oleh masyarakat bersama Perhutani. Jika dilihat masing-masing jenis pembentuk nilai ekonomi total kawasan lindung, nilai terbesar berasal dari nilai penyedia kebutuhan air untuk rumah tangga sebesar Rp.2.116.630.677,85 atau Rp.3.232.824,90/ha, nilai ini memberikan kontribusi sebesar 41,63 % dari nilai ekonomi total kawasan lindung.
Hal ini
menunjukan betapa pentingnya kawasan hutan sebagai pensuplai kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga masyarakat di Sub DAS Ciesek. Sedangkan penyumbang nilai ekonomi terkecil berasal dari nilai ekonomi penyedia air untuk kebutuhan pertanian sawah sebesar Rp.29.274.181,82 atau Rp.44.711,77/ha, nilai ini
Nilai Ekonomi (Rp/ha/th)
memberikan kontribusi sebesar 0,58 % dari nilai ekonomi total kawasan lindung.
3.500.000 3.000.000 2.500.000 2.000.000 1.500.000 1.000.000 500.000 0 kar lam Ba u ta A y a a s i K W
RT n ian si Air una rbo an Ero Fa ert Ka n P a p ra da lor Air tF nye njir Pe bita Ba i a l H da Jenis Nilai gen g n Pe
Gambar 10. Komponen Pembentuk Nilai Ekonomi Total Kawasan Lindung Per Hektar Per Tahun
66
Nilai Ekonomi Kawasan Budidaya Penggunaan Lahan untuk Pertanian Lahan Basah Hasil intrepretasi dari citra satelit Ikonos tahun 2003 didapatkan informasi bahwa luas lahan pertanian sawah seluas 300,97 ha atau 11,35 % dari luas Sub DAS Ciesek. Distribusi luas sawah dan jumlah petani untuk tiap-tiap desa di daerah penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Luas Pertanian Sawah dan Jumlah Petani di Sub DAS Ciesek
1 2
Desa
Luas (ha)1
Desa Cipayung Desa Cipayung Girang Desa Megamendung Desa Cilember Total
438,44 193,75 1724,22 296,86 2653,27
Luas prosentase Jumlah Pertanian (%) KK2 1 (ha) 86,96 28,89 4.597 32,06 10,65 1.691 51,36 17,06 1.325 138,48 46,01 1.297 300,97 100,00 4.597
Jumlah Petani2 93 230 106 499 928
sumber Ikonos tahun 2003 sumber Kecamatan Dalam Angka Tahun 2003
Adapun distribusi dan rata-rata lahan garapan petani yang menjadi responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 19 berikut. Tabel 19.
Distribusi dan Rata-rata Luas Lahan Garapan Petani Responden di Sub DAS Ciesek Desa
Desa Cipayung Desa Cipayung Girang Desa Megamendung Desa Clember Total
Jumlah Responden 5 5 4 8 22
Rata-rata lahan garapan (ha) 0,042 0,096 0,045 0,109
Sumber analisis data primer, 2005
Berdasarkan wawancara dengan 22 orang petani responden, rata-rata lahan yang menjadi garapan sawah seluas 790 m2 per orang. Perlu untuk diketahui bahwa
67
petani yang mengusahakan sawah di Sub DAS Ciesek ini bukan seluruhnya masyarakat yag tinggal di desa-desa yang ada di Sub DAS Ciesek tetapi banyak juga diantaranya petani yang berasal dari desa-desa di luar Sub DAS Ciesek. Karakteristik sosial ekonomi responden untuk menentukan nilai ekonomi pertanian lahan basah di daerah Sub DAS Ciesek dapat dilihat pada Tabel 20 dan 21 berikut ini. Tabel 20. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Petani Pertanian Lahan Basah Uraian
Satuan Rp/bln ha orang hari
Pendapatan Luas Garapan Jumlah Anggota KK Konsumsi Air Pertanian
Rata-rata 411.364 0,079 5,00 sepanjang hari
Sumber : olahan data primer, 2005
Tabel 21. Tingkat Pendidikan dan Status Kepemilikan Lahan Responden Petani Pertanian Lahan Basah Uraian Tingkat Pendidikan
Status Kepemilikan Lahan
SD SMP SMA Total Sendiri Sewa Penggarap
Jumlah 11 7 4 22 3 0 19 22
Persentase (%) 50,00 31,82 18,18 100,00 13,64 0,00 86,36 100,00
Sumber : olahan data primer, 2005
Sebagian besar responden yang menjadi petani sawah berpendidikan SD (50%) dengan rata-rata tingkat pendapatan sebesar Rp.411.364/bulan.
Dari hasil
wawancara juga didapatkan informasi bahwa 86,36% rata-rata lahan garapan para petani adalah tanah bukan milik para petani itu sendiri, melainkan tanah milik orangorang kota terutama orang dari Jakarta. Para petani tersebut hanya sebagai petani penggarap dengan sistem bagi hasil.
Akan tetapi banyak juga para petani yang
menggarap lahan orang-orang Jakarta dengan perjanjian seluruh hasil dari pertanian
68
sawah untuk para petani, sementara kewajiban mereka adalah menjaga keamanan lahan-lahan orang-orang Jakarta dan bersedia menghentikan kegiatan pertanian jika lahan tersebut akan dipergunakan oleh pemilik sah lahan garapan pertanian mereka. Berdasarkan pendekatan produktivitas, nilai ekonomi lahan pertanian lahan basah dapat ditentukan. Dengan rata-rata luas garapan sebesar 0,079 ha tiap petani mampu menghasilkan padi rata-rata sebesar 2,51 kuintal tiap kali panen. Jika dalam satu tahun terdapat dua kali panen maka petani bisa mendapatakan 5,2 kuintal per tahun. Besarnya nilai produktivitas lahan pertanian lahan basah untuk rata-rata seluas satu hektar dalam penelitian ini sebesar Rp.3.729.747/ha/tahun. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8. Sebagian besar dari petani pertanian lahan basah yang ada di daerah pene litian bersifat subsisten, artinya hasil padi mereka tidak dikomersilkan, melainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sebagian besar sistim pertanian yang dilakukan kurang intensif, petani hanya melakukan pekerjaan pertanian lahan basah ini hanya bersifat sebagi sambilan. Banyak diantara mereka mempunyai pekerjaan lain seperti sebagai penjaga villa, buruh dan wiraswasta.
Gambar 11.
Sistim Pertanian Lahan Basah (Sawah) yang Diusahakan oleh Masyarakat di Sub DAS Ciesek
69
Penggunaan Lahan untuk Pertanian Lahan Kering Pola pertanian lahan kering yang bayak dilakukan oleh masyarakat di Sub DAS Ciesek merupakan pola pertanian lahan kering dataran tinggi, dimana komoditi pertanian yang ditanam didominasi oleh pisang dan singkong.
Jenis komoditi
pertanian lahan kering lainnya yang juga banyak ditanam adalah sayuran seperti tomat, kubis, cabe, mentimun, sesin, buncis serta berbagai komoditi bunga potong. Seperti pertanian lahan basah, sistim pertanian lahan kering yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya masih kurang intensif, sehingga hasil yang didapatkan belum begitu menggembirakan. Karakteristik responden petani pertanian lahan kering di dalam penelitian ini bisa dilihat pada Tabel 22 berikut ini. Tabel 22. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Petani Pertanian Lahan Kering Uraian
Satuan ha orang Rp/bln
Luas Garapan Jumlah Anggota KK Pendapatan
Rata-rata 0,76 5,00 869.091
Sumber : olahan data primer, 2005
Tabel 23. Tingkat Pendidikan dan Status Kepemilikan Lahan Responden Petani Pertanian Lahan Kering Uraian Tingkat Pendidikan
Status Kepemilikan Lahan
SD SMP SMA S1 Total Sendiri Sewa Penggarap
Jumlah 4 3 4 3 14 4 2 8 14
Persentase (%) 28,57 21,43 28,57 21,43 100,00 28,57 14,29 57,14 100,00
Sumber : olahan data primer, 2005
70
Berdasarkan Tabel 22 dan 23 di atas, dapat dilihat rata-rata luas garapan petani lahan kering di daerah penelitian adalah 760 m2 , dengan status kepemilikan lahan adalah sebagai penggarap (57,14 %), serta status pendidikan terbesar adalah SD dan SMA (28,57 %). Seperti petani pertanian lahan basah, di daerah Sub DAS Ciesek memang kebanyakan lahan yang ada adalah milik dari orang Jakarta, sementara masyarakat setempat hanya sebagai penggarap saja. Berdasarkan pendekatan produktivitas, nilai ekonomi pertanian lahan kering yang ada di daerah Sub DAS Ciesek adalah sebesar Rp.7.905.698,23/ha /th (Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9). Nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan
dengan
pendapatan
petani
lahan
basah
yang
hanya
Rp.3.729.747/ha /tahun, hal ini dikarenakan ada sebagian masyarakat yang mengusahakan sistim penggarapan pertanian lahan kering dengan sistim yang lebih intensif sehingga nilai rata-ratanya menjadi tinggi, seperti pola pertanian yang dikelola oleh PUSKOPAL (Pusat Koperasi Angkatan Laut) dan usaha budidaya bunga potong.
Namun sebagian besar pertanian lahan kering yang ada di daerah
penelitian belum digarap dengan intensif, seperti pola pertanian laha n kering yang sangat mendominasi pemanfaatan lahan yang ada yakni pertania n lahan kering dengan komoditas utama tanaman singkong dan pisang.
Gambar 12.
Sistim Pertanian Lahan Kering yang Diusahakan oleh Masyarakat di Sub DAS Ciesek
71
Penggunaan Lahan untuk Kebun Campuran Dalam penelitian ini yang digolongkan kedalam kebun campuran merupakan pertanian lahan kering dengan melibatkan tanaman tahunan seperti buah-buahan dan tanaman
keras
seperti
sengon.
Karakteristik
responden
masyarakat
yang
mengusahakan penggunaan lahan dengan sistim kebun campuran di dalam penelitian ini bisa dilihat pada Tabel 24 berikut ini. Tabel 24. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Petani Kebun Campuran Uraian
Satuan ha orang Rp/bulan
Luas Garapan Jumlah Anggota KK Pendapatan
Rata-rata 0,441 5,00 622.500
Sumber : olahan data primer, 2005
Tabel 25.
Tingkat Pendidikan dan Status Kepemilikan Lahan Responden Petani Kebun Campuran
Uraian Tingkat Pendidikan
Status Kepemilikan Lahan
SD SMP SMA Total Sendiri Sewa Penggarap Total
Jumlah 4 4 4 12 5 0 7 12
Persentase (%) 33,33 33,33 33,33 100,00 41,67 0,00 58,33 100,00
Sumber : olahan data primer, 2005
Dari Tabel 24 dan 25 tersebut di atas dapat dilihat rata-rata luas garapan kebun campuran yang diusahakan oleh masyarakat adalah 441 m2 dengan status kepemilkan lahan adalah penggarap (58,33%), serta tingkat pendidikan responden SD, SMP dan SMA yang merata (33,33%). Berdasarkan pengamatan, sebagian besar pola kebun campuran yang dilakukan oleh masyarakat dilakukan tidak intensif, dimana kebunkebun campuran yang dikelola masyarakat terbagi atas petak-petak tanah yang tidak
72
begitu luas, bahkan banyak diantaranya merupakan pekarangan rumah. Masyarakat hanya sekedar memanfaatkan lahan yang ada baik yang merupakan kepunyaan sendiri atau hanya sekedar memanfaatkan lahan tidur kepunyaan orang-orang Jakarta. Sementara masyarakat yang benar-benar serius mengusahakan pola kebun campuran ini tidak dijumpai, hal ini bisa dilihat dengan tidak adanya masyarakat yang dengan sengaja menyewa lahan (0,00%) untuk dikelola dengan sistim kebun campuran. Dengan tidak dikelola dengan baiknya sistim kebun campuran di daerah Sub DAS Ciesek, menyebabkan tingkat produktivitas yang dihasilkan per hektarnya relatif kecil bila dibandingkan dengan sistim pertanian lahan basah dan sistim pertanian lahan kering. Berdasarkan pendekatan produktivitas, nilai ekonomi kebun campuran yang ada di daerah Sub DAS Ciesek adalah sebesar Rp.3.435.982,91 /ha/th. Hasil perhitungan nilai ekonomi kebun campuran selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 10.
Gambar 13.
Sistim Kebun Campuran yang Diusahakan oleh Masyarakat di Sub DAS Ciesek
73
Penggunaan Lahan untuk Pemukiman Kondisi udara pegunungan yang sejuk dengan pemandangan yang indah, menyebabkan penggunaan lahan untuk pemukiman terutama pembangunan villa-villa di Sub DAS Ciesek ini berkembang dengan pesat.
Pembangunan villa yang
bertambah terus dari tahun ke tahun menyebabkan permasalahan tersendiri bagi tata ruang kawasan puncak karena seringkali pembangunan villa-villa ini kurang mengindahkan aspek lingkungan dan peruntukan lahan seperti yang telah disusun dalam RTRW.
Besarnya jumlah villa dan jumlah rumah yang ada di Sub DAS
Ciesek dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Jumlah Rumah dan Villa yang Terdapat di Sub DAS Ciesek Desa
Luas (ha)
Jumlah Rumah1
Desa Cipayung Desa Cipayung Girang Desa Megamendung Desa Cilember Total
438,44 193,75 1.724,22 296,86 2.653,27
4597 1691 1325 1297 8910
Jumah Villa 60 106 370 100 636
Persentase Jumlah Villa (%) 1,31 6,27 27,93 7,71 7,14
Sumber Monografi Desa, 2004 Keterangan : 1 asumsi jumlah rumah sama dengan jumlah KK
Dari Tabel 26 di atas dapat dilihat jumlah persentase villa terbesar berada di Desa Megamendung yakni mencapai 370 buah villa atau 27,93 % dari jumlah rumah yang ada di Desa Megamendung. Hal ini bisa dimaklumi mengingat panorama alam Desa Megamendung yang relatif indah dibandingkan ketiga desa yang ada di Sub DAS Ciesek. Desa Megamendung merupakan desa dengan topografi ketinggian paling tinggi sehingga tingkat kesejukan udara relatif lebih sejuk.
Jumlah villa
dengan persentase terkecil berada di Desa Cipayung dengan persentase 1,31 % dengan jumlah villa sebanyak 60 unit. Desa Cipayung merupakan desa dengan topografi ketinggian paling rendah dibandingkan dengan ketiga desa lainnya, sehingga tingkat kesejukan udara relatif kurang jika dibandingkan dengan desa
74
lainnya. Disamping keindahan alam, tingkat kesejukan ini diduga menjadi salah satu motivasi orang dalam membangun villa. Penghitungan manfaat nilai perumahan dilakukan dengan metode CVM dengan mewancarai 69 orang responden, yang terdiri dari 44 responden untuk jenis bangunan rumah biasa dan 25 responden untuk jenis bangunan rumah villa. Sulitnya menemui responden para pemilik villa menjadi kendala utama dalam menentukan nilai ekonomi perumahan. Hal ini disebabkan pemilik villa tidak berada di villa setiap hari, melainkan hanya hari- hari tertentu saja. Bahkan tidak jarang villa-villa tersebut tidak ditempati melainkan disewakan.
Karakteristik sosial ekonomi
responden untuk tiap jenis rumah dalam peneiltian ini dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Karakteristik Sosial Ekonomi Responden masing- masing Jenis Rumah Jenis Bangunan Rumah Rumah Biasa Villa n % n %
Uraian
Tingkat Pendidikan
Jenis Pekerjaan
SD
14
31,82
-
0,00
SMP
13
29,55
-
0,00
SMA
12
27,27
5
20,00
S1
5
11,36
19
76,00
S2
-
0,00
1
4,00
Total
44
100,00
25
100,00
Petani
11
25,00
-
0,00
Buruh
7
15,91
-
0,00
12
27,27
-
0,00
Penjaga Villa
Status Penduduk
Swasta
3
6,82
14
56,00
PNS
8
18,18
-
0,00
Wiraswasta
3
6,82
11
44,00
Total
44
100,00
25
100,00
Asli
40
90,91
-
0,00
4
9,09
25
100,00
44
100,00
25
100,00
Pendatang Total Rata-rata Pendapatan (Rp/bln) Sumber : olahan data primer, 2005
718.864
7.160.000
75
Berdasarkan Tabel 27 di atas dapat dilihat responden untuk jenis bangunan rumah biasa sebagian besar berpendidikan SD (31,82 %), dengan jenis pekerjaan terbesar adalah berprofesi sebagai penjaga villa (27,27 %) serta status kependudukan adalah warga asli setempat (90,91 %). Sedangkan untuk jenis bangunan rumah villa status pendidikan terbesar adalah S1 (76,00 %), dengan jenis pekerjaan terbesar adalah berprofesi sebaga i karyawan swasta (56,00 %) serta status kependudukan adalah warga pendatang (100 %). Sebagian besar villa yang ada di daerah penelitian dimiliki oleh orang yang berdomisili di Jakarta yang digunakan untuk tempat peristirahatan pada hari- hari libur saja. Nilai jual tanah dan nilai harga jual dan nilai jual objek pajak (NJOP) disesuaikan dengan aksesibilitas atau kemudahan dicapainya lokasi. Harga jual tanah dan NJOP ini akan semakin tinggi bila aksesibilitasnya mudah, begitu juga sebaliknya. Berdasarkan wawancara dengan responden dan aparat desa setempat, NJOP masyarakat adalah seperti yang dicantumkan pada Tabel 28 berikut ini. Tabel 28. Harga Jual Tanah dan NJOP Perumahan di Sub DAS Ciesek Desa
Harga jual tanah yang dilalui (x Rp.1.000)
NJOP yang dilalui (x Rp.1.000)
Jalan Raya
Jalan Desa
Jalan Kampung
Jalan Raya
Jalan Desa
Jalan Kampung
Cipayung
1.000-1.500
100 - 300
100 - 300
464
100 - 180
36 - 64
Cipayung Girang
1.000-1.200
100 - 300
100 - 300
464 - 850
103 - 285
36 - 160
1.200
100 - 400
50 - 60
400
160 - 200
48 - 60
100 - 300
< 50
335
100 - 150
48 - 64
Megamendung
Cilember 1.200 Sumber : olahan data primer, 2005
Nilai ekonomi perumahan didasarkan pada rata-rata kesediaan membeli responden yang maksimal didalam membeli rumah. Rata-rata kesediaan membeli rumah responden untuk tipe rumah biasa sebesar Rp.93.181.818 dan untuk tipe rumah villa sebesar Rp.862.400.000. Dengan asumsi jangka waktu layak huni untuk tipe rumah biasa selama 30 tahun dan untuk tipe rumah villa selama 50 tahun maka besarnya nilai ekonomi perumahan
untuk tipe
rumah biasa
sebesar Rp.
554.653.679,65/ha/th dan untuk tipe rumah villa sebesar Rp.1.288.702.928,87/ha/th.
76
Berdasarkan analisis regresi dengan metode stepwise diketahui variabel yang mempengaruhi nilai kesediaan orang dalam membeli rumah adalah tingkat pendapatan (X5) dan kelas rumah atau kondisi fisik bangunan (X6), sementara variabel faktor lingkungan (X1), jarak dari jalan raya (X2), ketinggian tempat (X3), kemiringan lahan (X4) serta tipe rumah (X7) tidak berpengaruh nyata. Model regresi yang dihasilkan adalah Y = -363604537,91 + 54,46 X5 + 331119138,07 X6, dengan r2 sebesar 74,30 % dan p value sebesar 0,000. Hasil analisis regresi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 14. Berdasarkan model regresi ini bisa dijelaskan bahwa semakin besar tingkat pendapatan dan kualitas bangunan, maka kesediaan membeli rumah akan semakin tinggi pula. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 11.
a
b Gambar 14.
c
Kelas Bangunan 3 (a), Kelas Bangunan 2 (b), Kelas Bangunan 1 (c)
77
Perbandingan Nilai Ekonomi Penggunaan Lahan Berdasarkan Ikonos Tahun 2003 dan RTRW Tahun 2000 Besarnya nilai ekonomi pada berbagai penggunaan lahan yang ada sekarang jika dibandingkan dengan besarnya nilai ekonomi pengunaan lahan sesuai dengan oeruntukkannya sebagaimana yang telah disusun dalam RTRW tahun 2000 dapat dilihat pada Tabel 29 berikut ini. Tabel. 29.
Perbandingan Nilai Ekonomi Penggunaan Lahan Berdasarkan Ikonos Tahun 2003 dengan Nilai Ekonomi Penggunaan Lahan Berdasarkan RTRW Tahun 2000
Arahan Penggunaan Arahan Umum Penggunaan No RTRW Khusus RTRW 1 Kawasan Kawasan Lindung Hutan Lindung
2 Kawasan Budidaya Pertanian
Kawasan Pertanian Lahan Kering
Kawasan Pertanian Lahan Basah
Kawasan Perkebunan
Kawasan Tanaman Tahunan
Kawasan Pemukiman
TOTAL
Kawasan Pedesaan
Luas Penggunaan Lahan Berdasarkan Berdasarkan Ikonos RTRW (Ha) Tahun 2003 1.040,41 Hutan kerapatan tinggi Hutan kerapatan rendah Kebun campuran Bangunan rumah Pertanian lahan kering Semak belukar Tanah kosong Total a 531,17 Pertanian lahan kering Hutan kerapatan tinggi Hutan kerapatan rendah Kebun campuran Bangunan rumah Sawah Tanah kosong Total b 125,23 Sawah Kebun campuran Bangunan rumah Tanah kosong Total c 260,78 Kebun campuran Pertanian lahan kering Hutan kerapatan tinggi Hutan kerapatan rendah Bangunan rumah Sawah Semak belukar Tanah kosong Total d 263,15 Kebun campuran Pertanian lahan kering Sawah Bangunan rumah Semak belukar Tanah kosong Total e 406,89 Bangunan rumah Tanah kosong Kebun campuran Pertanian lahan kering Sawah Total f 2.627,63
Nilai Ekonomi Nilai Ekonomi Luas Penggunaan Lahan Penggunaan Lahan Berdasarkan Ikonos Berdasarkan Ikonos Berdasarkan RTRW (Ha) Tahun 2003 (Rp/ha/th) Tahun 2000 (Rp/ha/th) 521,48 4.049.917.347,95 133,25 1.034.844.005,08 35,72 122.729.873,42 2,06 2.271.197.074,01 144,70 1.143.915.006,02 200,42 369.566.776,41 2,79 558.400.000,00 1.040,41 9.550.570.082,90 8.080.038.693,14 269,88 2.133.574.028,09 5,32 41.331.630,73 1,68 13.023.890,41 109,53 376.326.027,78 38,81 42.852.420.826,16 103,04 384.313.113,92 2,91 1.456.500.000,00 531,17 47.257.489.517,09 4.199.238.108,35 56,63 211.219.293,04 41,82 143.699.677,09 24,94 27.535.918.244,41 1,83 1.283.100.000,00 125,23 29.173.937.214,54 467.057.547,47 72,92 250.562.181,45 82,74 654.077.943,42 7,00 54.332.222,59 54,26 421.408.670,95 17,91 19.769.462.134,25 22,74 84.810.713,29 1,99 3.665.813,88 1,23 863.100.000,00 260,78 22.101.419.679,83 552.055.319,16 71,52 245.755.241,37 99,34 785.344.156,90 54,21 202.204.494,94 5,97 6.588.348.537,01 31,10 57.353.022,65 1,01 603.600.000,00 263,15 8.482.605.452,86 904.189.209,66 127,49 140.762.324.440,62 4,23 8.454.000.000,00 150,43 516.885.216,50 60,40 477.464.644,86 64,35 239.994.289,87 406,89 150.450.668.591,85 225.681.926.406,93 2.627,63
267.016.690.539,07
239.884.505.284,69
Sumber : olahan data primer, 2005
78
Dalam penelitian ini, besarnya nilai ekonomi penggunaan lahan seperti yang tertera pada Tabel 30 di atas adalah nilai ekonomi diluar penutupan lahan untuk jalan, badan air dan sungai. Nilai ekonomi penggunaan lahan berdasarkan citra satelit Ikonos dan RTRW adalah hasil kali antara luas perpenutupan lahan dengan besarnya nilai ekonomi perhektar dari masing-masing penggunaan seperti yang telah dihitung pada penelitian ini.
Hasil penelitian Hartini (2005) menyebutkan besarnya nilai
ekonomi perkebunan teh pada PT. Sumber Sari Pakuan Cisarua Bogor sebesar Rp.2.116.930,75/ha. PT. Sumber Sari Pakuan Cisarua Bogor merupakan kawasan perkebunan teh terdekat dengan lokasi penelitian.
Dengan mengacu pada hasil
penelitian tersebut maka besarnya nilai ekonomi berdasarkan RTRW untuk peruntukan kawasan perkebunan pada penelitian ini diasumsikan sama dengan hasil penelitian tersebut. Asumsi ini dipakai karena di daerah Sub DAS Ciesek tidak terdapat kawasan perkebunan teh, sementara pada RTRW terdapat peruntukan untuk kawasan perkebunan teh. Berdasarkan Tabel 30 di atas dapat dilihat besarnya total nilai ekonomi penggunaan lahan di Sub DAS Ciesek saat ini yang dideteksi dari citra satelit Ikonos tahun 2003 sebesar Rp .267.016.690.539,07/tahun, sedangkan besarnya total nilai ekonomi penggunaan lahan menurut peruntukannya berdasarkan RTRW tahun 2000 sebesar Rp.239.884.505.284,69/tahun. Besarnya total nilai ekonomi lahan saat ini Rp.27.132.185.254,38 lebih besar jika dibandingkan dengan penggunaan lahan menurut peruntukannya berdasarkan RTRW tahun 2000. Besarnya nilai ekonomi penggunaan lahan pada kawasan lindung pada saat ini memberikan kontribusi sebesar Rp.9.550.570.082,90/tahun atau Rp.1.470.531.389,76 lebih besar jika dibandingkan dengan penggunaan lahan berdasarkan RTRW tahun 2000 yang hanya memberikan nilai ekonomi sebesar Rp.8.080.038.693,14 /tahun. Hal ini menunjukan pola penggunaan lahan yang ada sekarang ini secara ekonomis memberikan keuntungan yang lebih besar jika dibandingkan dengan penggunaan lahan sesuai dengan peruntukannya seperti yang sudah disusun dalam RTRW. Kecilnya manfaat ekonomi yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat dari penggunaan lahan sebagai hutan, mengakibatkan banyak terjadinya perubahan
79
penggunaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan lindung menjadi penggunaan lahan yang secara ekonomi memberikan nilai yang lebih tinggi, sehingga pola penggunaan lahan di Sub DAS Ciesek yang ada sekarang ini tidak sesuai dengan pola peruntukannya sebagaimana yang telah disusun dalam RTRW tahun 2000. Sebagai dampaknya kawasan lindung menjadi terganggu akibat desakan penggunaan lahan oleh masyarakat. Dilain pihak lahan- lahan masyarakat yang berada di dalam kawasan lindung juga banyak yang dijual kepada orang-orang Jakarta untuk pembangunan villa- villa yang secara ekonomi memang lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan menggunakannya sebagai lahan pertanian.
Nilai Kompensasi atas Perubahan Pola Penggunaan Lahan Peruntukan kawasan lindung seperti yang telah dituangkan dalam RTRW Kabupaten Bogor telah mempertimbangkan aspek ekologis agar fungsi- fungsi lingkungan dapat tetap terjaga, dimana untuk kawasan lindung di Sub DAS Ciesek, peruntukannya mencapai 39,24 % dari luas total luas Sub DAS.
Namun dalam
kenyataanya, berdasarkan citra satelit Ikonos tahun 2003, luas kawasan lindung yang ada sekarang telah mengalami penurunan sehingga luasan kawasan lindung yang bervegetasi hutan hanya tinggal 27,28 % dari total luas Sub DAS. Penur unan luasan kawasan lindung ini disebabkan oleh adanya tekanan dari masyarakat yang ada di sekitar kawasan ataupun di luar kawasan Sub DAS yang merubahnya menjadi kawasan budidaya. Adanya tekanan ini menyebabkan fungsi- fungsi lingkungan yang seharusnya
dijalankan
oleh
kawasan
lindung
menjadi
terganggu.
Untuk
mengembalikan fungsi- fungsi lingkungan yang ada di kawasan lindung seperti kondisi semula, maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengembalikan status kawasan yang sesuai dengan peruntukannya seperti yang telah tersusun dalam RTRW. Upaya untuk mengembalikan status kawasan lindung berarti pula merubah pola penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan RTRW. Upaya ini tidak selesai hanya dengan menyuruh masyarakat untuk merubah pola penggunaan lahannya agar sesuai dengan RTRW, melainkan perlu upaya- upaya lain agar masyarakat merasa
80
tidak dirugikan. Untuk itu perlu adanya nilai kompensasi yang diberikan kepada masyarakat agar bersedia untuk merubah pola penggunaan lahannya. Hal ini wajar, mengingat masyarakat telah mengeluarkan biaya dalam memanfaatkan lahan, sehingga pola-pola penggunaan lahan itu masing- masing mempunyai nilai ekonomi. Nilai kompensai yang diberikan merupakan selisih dari nilai guna langsung kawasan lindung (hutan) dengan nilai ekonomi kawasan budidaya. Berdasarkan hasil perhitungan dalam penelitian ini, besarnya selisih nilai ekonomi pada masing- masing pola penggunaan lahan yang ada pada kawasan lindung dapat dilihat pada Tabel 30 di bawah ini.
Tabel 30. Perubahan dan Kompensasi Nilai Ekonomi Akibat Penggunaan Hutan Lindung Menjadi Penggunaan Lain
Pergeseran Penggunaan Hutan Lindung
Nilai Ekonomi (Rp/ha/th)
Pergeseran
Besarnya Potensi Nilai Kompensasi (Selisih dengan NGLH)
(Rp/ha/th) Nilai Guna Langsung Hutan (NGLH) Pertanian Lahan Basah Pertanian Lahan Kering Kebun Campuran Bangunan rumah • Rumah Biasa • Villa
342.760,26 3.729.746,84 7.905.698,23 3.435.982,91
3.386.986,58 7.562.937,97 3.093.222,65
554.653.679,65 1.288.702.928,87
554.310.919,39 1.288.360.168,61
Sumber : olahan data primer, 2005
Dengan mengacu pada Tabel 30 di atas, maka besarnya biaya kompensasi yang sebaiknya diberikan kepada masyarakat di kawasan lindung untuk mengganti pola penggunaan lahannya menjadi hutan masing- masing sebagai berikut ; pertanian lahan basah sebesar Rp.3.386.986,58/ha/tahun, pertanian lahan kering sebesar Rp.7.562.937,97/ha /tahun, kebun campuran sebesar Rp.3.093.222,65/ha/tahun, bangunan rumah jenis rumah biasa sebesar Rp.554.310.919,39/ha/tahun, dan bangunan rumah jenis villa sebesar Rp.1.288.360.168,61/ha /tahun.
81
Akan tetapi melihat kondisi yang terjadi di Sub DAS Ciesek, dimana sebagian besar kawasan pemukiman yang berada di kawasan lindung merupakan villa-villa yang dipunyai oleh bukan masyarakat setempat melainkan orang-orang dari luar kawasan (Jakarta), maka konsep pemberian biaya kompensasi bagi bangunan pemukiman menjadi tidak layak untuk diterapkan. Alasan yang mendasarinya antara lain karena para pemilik villa tersebut bukan masyarakat setempat yang tingkat kesejahteraannya kurang sehingga secara ekonomi mereka tidak memerlukan bantuan.
Dalam hal ini, kompensasi hanya layak diberikan kepada masyarakat
petani setempat yang secara sah memiliki lahan di kawasan lindung dan mereka bersedia untuk merubah pola penggunaan lahannya menjadi kawasan lindung. Mengacu kepada konsep Purchase of Development Right, kompensasi juga layak diberikan kepada masyarakat petani setempat yang secara sah memiliki lahan yang berada di dalam kawasan lindung dengan catatan tetap mempertahankan lahannya dan bersedia untuk tidak menjual lahannya kepada para pengembang perumahan dan villa.
Kompensasi ini layak diberikan karena mereka rela tidak
menjual lahannya untuk pembangunan villa yang tentunya bisa mendatangkan keuntungan ekonomi yang tinggi bagi pemilik lahan. Disamping itu dengan tetap mempertahakan lahan pertanian, dari segi lingkungan penutupan lahan pertanian relatif lebih baik daripada pemukiman.
Kedepan, pemerintah juga harus bisa
mendorong sistim pertanian yang ramah lingkungan terutama bagi masyarakat yang mengusahakan lahan pertanian di dalam kawasan lindung. Bagi para pemilik villa yang berada di kawasan lindung tetapi mereka secara sah memiliki bukti kepemilikan, sudah sepantasnya mereka dikenai pajak (tax ) yang tinggi sebagai kompensasi atas kawasan lindung yang digunakan sebagai villa. Hasil dari pemungutan pajak lingkungan dari para pemilik villa dapat digunakan untuk merehabilitasi kawasan lindung dan sebagai sumber dana bagi pembayaran kompensasi kepada masyarakat yang bersedia merubah pola penggunaan lahannya serta kompensasi bagi masyarakat yang tetap mempertahankan lahan pertaniannya dan tidak menjual lahannya untuk kepentingan pembangunan pemukiman/villa di kawasan lindung.
82
Uraian di atas sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Putro et al, (2003) yang menyebutkan dalam pengelolaan DAS Ciliwung, dimana penyebab degradasi lahan berasal dari luar lahan pertanian (off-farm ) dan manfaat rehabilitasi dinikmati diluar lahan pertanian, maka penggunaan insentif dapat dilakukan. Namun mengingat bahwa masalah utamanya adalah faktor ekstrinsik, yakni: modal dan akses/kontrol atas lahan jangka panjang (banyak pemilik lahan bukan penduduk), pemberian insentif langsung tidak akan menyelesaikan permasalahan rehabilitasi lahan dalam jangka panjang. Dalam konteks ini, dua langkah dapat ditempuh : 1. Bagi masyarakat pemilik lahan dapat diberikan insentif berbasis pemberdayaan untuk mengadopsi teknik-teknik pertanian ramah lingkungan dan insentif berbasis kesejahteraan berupa kompensasi atas lahan yang digunakan untuk rehabilitasi atau pemilikan hasil panen. 2. Bagi pemilik lahan bukan penduduk setempat dan pemilik lahan untuk usaha perlu ditegakkan peraturan agar: •
mereka membayar pajak lingkungan atas manfaat yang diperolehnya
•
membayar denda bila melakukan pelanggaran atas fungsi lahan
•
mendapatkan keringanan pajak pertanahan bila memenuhi fungsi lahan yang ditetapkan menurut standar yang berlaku.
Lebih lanjut, Putro et al (2003) juga menyebutkan bahwa kebijakan dalam Sistem Insentif Rehabilitasi Lahan harus didasari atas prinsip-prinsip : 1. Prinsip Multisektor Terjadinya degradasi hutan dan lahan seringkali disebabkan oleh faktor- faktor diluar kehutanan. Adanya kebijakan insentif pada suatu sektor seringkali menjadi disinsentif bagi kegiatan RHL. Oleh karenanya kebijakan insentif RHL bukan hanya menjadi otoritas sektor kehutanan. Atas dasar hal tersebut, maka landasan kebijakan pengembangan sistem insentif RHL harus melalui pendekatan multisektoral, khususnya pada sektor-sektor yang terkait dengan sumberdaya hutan dan lahan seperti pertanahan, makro ekonomi, pertanian, perindustrian,
83
energi dll.
Dalam kerangka ini maka perlu didorong adanya kebijakan yang
sifatnya integratif dan koordina tif dari sektor-sektor tersebut. 2. Prinsip Pembagian Biaya -keuntungan (Cost-Benefit Sharing) Biaya dan manfaat dari kegiatan RHL seringkali tidak mengena pada pihak (orang/sektor) dan wilayah/lokasi yang sama . Hal inilah yang secara ekonomi sering menyebabkan terjadinya kegagalan pada kegiatan RHL. Untuk mencegah kegagalan tersebut maka dapat dilakukan melalui mekanisme ‘Cost-Benefit Sharing’ baik antar pihak/pelaku maupun wilayah seperti: •
hulu – hilir
•
desa – kota
•
sektor kehutanan – sektor non-kehutanan
•
nasional/domestik – internasional
•
sektor publik – sektor swasta
Bentuk insentif yang diusulkan untuk diterapkan sebagai usaha agar kawasan lindung yang sudah terlanjur digunakan dapat direhabilitasi disajik an pada Tabel 31. Tabel 31. Bentuk Bentuk Insentif yang Diusulkan No. Insentif Berbasis pemberdayaaan Berbasis kesejahteraan 1.
Langsung
• Pembangunan plot percontohan
• Subsidi bagi pemilik lahan yang digunakan untuk rehabilitasi
• Partisipasi dalam perencanaan dan • Subsidi massal pengambilan keputusan • Pemberian fungsi kontrol
• Kesempatan kerja
• Piagam penghargaan bagi yang berhasil
• Skema kredit usaha tani konservasi • Pemanfaatan lahan tidur dengan tanaman keras • Penyediaan bibit unggul
2.
Tidak langsung
• Pendidikan dan pelatihan termasuk penyuluhan
• Perbaikan infrastruktur
• Informasi dan teknologi
• Perbaikan jalur pemasaran
• Penguatan kelembagaan lokal
• Kebijakan harga
• Pengembangan kelompok • Sosialisasi program secara intensif Sumber: Putro et al., 2003.
84
Kedepan dengan kembalinya peruntukan kawasan lindung seperti yang telah disusun dalam RTRW, diharapkan fungsi- fungsi lingkungan dari kawasan lindung dapat dikembalikan sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di daerah hilir DAS.
Lebih lanjut, besarnya informasi nilai ekonomi
penggunaan lahan ini bisa dijadikan salah satu sumber informasi guna menghitung besarnya nilai kompensasi masyarakat hilir kepada masyarakat yang tinggal di daerah hulu DAS.
85
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Berdasarkan citra satelit Ikonos tahun 2003, pola penggunaan lahan yang ada sekarang di Sub DAS Ciesek tidak sesuai dengan peruntukan kawasan yang telah tersusun dalam RTRW Kabupaten Bogor tahun 2000. Hal ini bisa dilihat dengan semakin berkurangnya luas kawasan lindung dari 1.041,11 ha atau 39,24%, kini tinggal 654,731 ha atau 24,68 % saja dari luas total Sub DAS Ciesek yang masih berupa kawasan hutan. Perubahan pola penutupan lahan itu antara lain menjadi semak belukar 200,42 ha (19,25%), pertanian lahan kering 144,69 ha (13,90%), kebun campuran 35,72 ha (3,43%), tanah kosong 2,79 ha (0,27%), dan bangunan rumah 2,06 ha (0,20%). 2. Besarnya nilai ekonomi total kawasan lindung lebih besar jika dibandingkan dengan nilai ekonomi kawasan budidaya, tetapi berdasarkan jenis manfaat yang langsung dirasakan oleh masyarakat, nilai ekonomi kawasan lindung lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai ekonomi kawasan budidaya. Kecilnya manfaat langsung yang dirasakan oleh masyarakat menjadi salah satu sebab semakin banyaknya kawasan lindung di Sub DAS Ciesek yang digunakan sebagai kawasan budidaya oleh masyarakat. 3. Pada kawasan-kawasan yang seharusnya berfungsi sebagai kawasan lindung, besarnya biaya kompensasi yang diberikan untuk mengganti pertanian lahan basah adalah sebesar Rp.3.386.986,58/ha/tahun, pertanian lahan kering sebesar Rp.7.562.937,97/ha/tahun, kebun campuran sebesar Rp.3.093.222,65/ha/tahun. Nilai kompensasi ini belum mencerminkan nilai kompensasi atas jasa lingkungan yang diberikan oleh kawasan lindung. Sedangkan bagi para pemilik villa yang berada di kawasan lindung tetapi mereka secara sah memilki bukti kepemilikan, maka pengenaan beban pajak (tax) yang tinggi layak untuk diterapkan sebagai kompensasi atas kawasan lindung yang digunakan sebagai villa.
4. Besarnya nilai ekonomi penggunaan lahan pada kawasan lindung pada saat ini memberikan
kontribusi
sebesar
Rp.9.550.570.082,90/tahun
atau
Rp.1.470.531.389,76 lebih besar jika dibandingkan dengan penggunaan lahan berdasarkan RTRW Tahun 2000 yang memberikan nilai ekonomi sebesar Rp.8.080.038.693,14/tahun.
Dalam jangka pendek secara ekonomi pola
penggunaan lahan yang ada sekarang di Sub DAS Ciesek lebih menguntungkan tetapi dari segi lingkungan dalam jangka panjang akan membahayakan terutama bagi daerah hilir.
Saran Dari hasil penelitian diketahui bahwa pola penggunaan lahan yang ada di Sub DAS Ciesek tidak sesuai dengan peruntukan penggunaan lahan seperti yang telah disusun dalam RTRW, oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengembalikan fungsi kawasan sebagaimana yang telah ditentukan agar fungsifungsi lingkungan dapat berfungsi secara optimal. Pemberian kompensasi kepada masyarakat yang bersedia merubah pola pengunaan lahannya sesuai dengan RTRW dan kompensasi bagi masyarakat yang tetap mempertahankan lahan pertaniannya untuk tidak dijual untuk kepentingan pembangunan pemukiman/villa serta pemberian pajak lingkungan yang tinggi bagi pemilik villa di kawasan lindung, dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk mengembalikan fungsi lingkungan di kawasan lindung. Perlu dilakukan kegiatan penelitian serupa pada Sub DAS yang lainnya yang berada di DAS Ciliwung Hulu agar diperoleh informasi yang lebih komperensif mengenai nilai ekonomi berbagai pola penggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu. Informasi ini sangat diperlukan untuk menentukan besarnya manfaat DAS Ciliwung Hulu sebagai kawasan yang mempunyai fungsi lingkungan yang penting bagi daerah yang berada di daerah hilir sehingga upaya-upaya pemulihan fungsi-fungsi lingkungan
di
DAS
Ciliwung
Hulu
menjadi
prioritas
stakeholder
yang
berkepentingan.
87
DAFTAR PUSTAKA
Agustono. 1996. Nilai Ekonomi Hutan Mangrove Bagi Masyarakat (Studi Kasus di Muara Cimanuk, Indramayu). Tesis. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. Asdak C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Bahruni. 1999. Penilaian Sumberdaya Hutan dan Lingkungan. Diktat. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. [Bappeda Kabupaten Bogor] Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor. 2000. Rencana terperinci tata ruang kawasan bopunjur. Pemerintah Kabupaten Bogor. Basuni S. 2003. Inovasi Institusi Untuk Meningkatkan Kinerja Daerah Penyangga Kawasan Konservasi (Studi Kasus di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat). Disertasi. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bishop JT. 1999. Valuing Forests : A Review of Methods and Applications in Developing Countries. London: International Institute for Environment and Development. [BPS Kabupaten Bogor] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2004. Kecamatan Cisarua Dalam Angka Tahun 2004 : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. [BPS Kabupaten Bogor] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2004. Kecamatan Megamendung Dalam Angka Tahun 2004 : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Brown.
1997. Estimating Biomas and Biomas Change of Tropical Forest a Primer. FAO Forestry Paper No. 134. USA
Darusman D, Bahruni. 1993. Studi Permintaan terhadap Intangible (Rekreasi) dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perguruan Tinggi tanggal 5 – 9 pebruari 1992 di Hotel USSU, Cisarua Bogor. Buku III Bidang Hukum dan Ekonomi. Davis LS, KN Johnson. 1987. Forest Management. 3rd Edition. Mc-GrawHill Book Company. New York
Departemen Kehutanan. 1993. Kebijakan Pembangunan Kawasan Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya. Direktorat Jendral Perindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Jakarta. [ESRI] Enviromental System Research Institute. 1992. Understanding Geographic Information System The Arc/Info Method. ESRI Inc, Recland, California USA. Hartini DSP. 2005. Dampak Perubahan Sistem dan Harga Penjualan Teh Terhadap Penggunaan Sumberdaya, Produksi dan Penjualan di Perkebunan The Ciliwung, PT Sumber Sari Bumi Pakuan Cisarua Bogor. Skripsi. Jurusan Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Hufschmidt MM. 1987. Lingkungan, Sistem Alami, dan Pembangunan : Pedoman Penilaian Ekonomis. Reksohadiprodjo S, penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Environmental, Natural Systems, and Development, An Economic Valuation Guide. Handayani T. 2002. Nilai Ekonomi dan Strategi Pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. Lillesand TM, RW Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Terjemahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Lo CP. 1995. Penginderaan Jauh Terapan. Terjemahan. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Manan S. 1985. Peranan Hidrologi Hutan dan Pengelolaan DAS. Prosiding Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu. Departemen Kehutanan. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 3 – 5 Oktober. McNeely J. 1994. Ekonomi Keanekaragaman Hayati. Mengembangkan dan Memanfaatkan Perangsang Ekonomi Untuk Melestarikan Sumberdaya Hayati. Terjemahan oleh Kusdiyantinah SB. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Munasinghe M. 1994. Economic and Policy Issues in Natural Habitats and Protected Areas. Protected Area Economic and Policy. The World Bank, Wanshinton, DC. [NASA] Commercial Remote Sensing Program. 2001. Remote Sensing for Wetlands Delineation Around Utah’s Great Salt Lake. Final Report. Affliated Research Center (ARC). [NRM] Natural Resource Management Programme. 2000. Pelatihan Valuasi Ekonomi Sumber Daya Alam. Jakarta: Natural Resource Management Programme dan Bappedal.
89
Nurfatriani F. 2005. Nilai Ekonomi Kawasan yang Direhabilitasi (Hutan dan Lahan) Studi Kasus Proyek RHL Kecamatan Nglipar Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi DIY. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. Osborne PL. 1995. Biological and Cultural Diversity in Papua New Guinea : Conservation, Conflicts, Constrains and Compromise. Ambio Vol. 24 No. 4, June 1995 Parera E. 2005. Nilai Ekonomi Total Hutan Kayu Putih Kasus di Desa Piru, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. Pearce D, D Moran 1994. The Economic Value of Biodeversity. IUCN The World Conservation Union. Earthscan Publication Ltd, London. Stein ER, McLeod AH, Hyde M. 2001. Purchase of Development Rights Conserving Lands, Preserving Western Livelihoods. Western Governors’ Association, Trust for Public Land, and National Cattlemen’s Beef Association. Tucson, Arizona Putro HR, Saleh MB, Hendrayanto, Ichwandi I, Sudaryanto. 2003. Sistem Insentif Rehabilitasi Lahan dalam Rangka Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Ramdan H, Yusran, Dudung D. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi Daerah Perspektif Kebijakan dan Valuasi Ekonomi. Alqaprint, Jatinangor. Richards M. 1997. The Potential for Economic Valuation of Watershed Protection in Mountainous Areas : A Case Study from Bolivia. Mountain Research and Development. Vol. 17 Roslinda E. 2002. Nilai Ekonomi Hutan Pendidikan Gunung Walat dan Kontribusinya terhadap Masyarakat Sekitar [tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan. Sabri. 2004. Analisis Alih Fungsi Lahan Dengan Menggunakan Penginderaan Jauh dan Kesediaan Membayar di Sub DAS Ciliwung Hulu Jawa Barat. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. Tim IPB. 2002. Peningkatan kapasitas pengelolaan DAS Ciliwung untuk pengendalian banjir Jakarta [Makalah]. Di dalam : Lokakarya Pengelolaan DAS terpadu di era otonomi daerah : peningkatan kapasitas multipihak dalam pengendalian banjir DKI Jakarta; Jakarta, 8 Mei 2002. Jakarta: IPB dan Andersen/Prasetio Strategic Consulting. Wildayana E. 1999. Valuasi Ekonomi Konversi Hutan Sekunder ke Usaha Tani Lahan Kering di Kecamatan Gelumbang Muara Enim Sumatera Selatan. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.
90
Lampiran 1.
Perhitungan Nilai Ekonomi Manfaat Kayu Bakar
Lama Waktu Pengambilan kayu bakar (jam)
Total waktu pengambilan kayu bakar dalam 1 th (jam)
Total Nilai Ekonomi Manfaat kayu bakar (Rp/th)]
No
Desa
Kampung
Frekuensi Pengambilan kayu bakar (per minggu)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6) = (4) x (5) x 48 minggu
(7) = (6) x 1.875 jam
1
cilember
Bungur
1
5
240
450.000
2
cilember
Bungur
1
5
240
450.000
3
cilember
Bungur
1
5
240
450.000
4
megamendung
Pasaban
1
4
192
360.000
5
megamendung
Pasaban
1
4
192
360.000
6
megamendung
Pasaban
1
4
192
360.000
7
megamendung
Pasaban
1
5
240
450.000
8
megamendung
1
4
192
360.000
9
megamendung
Pasaban Pasaban
1
4
192
360.000
megamendung
Pasaban
2
3
288
540.000
megamendung
Pasaban
1
4
192
360.000
1
4
192
360.000
1
3
144
270.000
1
4
192
360.000
1
5
240
450.000
1
5
240
450.000
1
5
240
450.000
1.06
4,3
214.59
402.352,94
10 11 12
megamendung
13
megamendung
14
megamendung
15
megamendung
16
megamendung
17
megamendung Rata-rata
Kampung Jawa Kampung Jawa Kampung Jawa Kampung Jawa Kampung Jawa Kampung Jawa
Pendekatan harga kayu bakar : 1 hari jam kerja (8 jam) = Rp. 15.000/hari berarti utk 1 jam pengambilan kayu bakar Rp. 1.875/jam Populasi Pengumpul Kayu Bakar 150 KK Nilai Ekonomi Kayu Bakar (NKB) : NKB = Rata-rata Curahan Waktu yang Hilang X Gaji Orang Kerja X Jumlah Populasi Pengumpul Kayu Bakar = Rata-rata Total Nilai Ekonomi manfaat kayu bakar X Populasi Pengumpul KB NKB per tahun = Rp. 402.353 / tahun x 150 KK = Rp. 60.352.941,18 /tahun Nilai ekonomi per hektar = Rp. 60.352.941,18 / 654,731 ha = Rp.92.179,75/ha/tahun
91
Lampiran 2. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
U m ur 15 16 14 15 15 20 15 15 15 15 15 15 23 24 25 22 16 16 20 23 18 17 16 18 18 19 29 28 25 26 21 24 20 21 20 22 22 20 35 30 17 18 17 17
Perhitungan Nilai Ekonomi Manfaat Jasa Wisata Jurug Panjang p e k e rja a n p e la ja r p e la ja r p e la ja r p e la ja r p e la ja r P e la ja r P e la ja r P e la ja r P e la ja r p e la ja r p e la ja r p e la ja r sw a sta sw a sta sw a sta m a h a sisw a p e la ja r p e la ja r sw a sta P e la ja r P e la ja r P e la ja r P e la ja r P e la ja r P e la ja r P e la ja r sw a sta sw a sta sw a sta sw a sta m a h a sisw a m a h a sisw a m a h a sisw a m a h a sisw a m a h a sisw a m a h a sisw a m a h a sisw a m a h a sisw a sw a sta sw a sta p e la ja r p e la ja r p e la ja r p e la ja r
p e n d a p a ta n 5 0 0 .0 0 0 4 0 0 .0 0 0 6 0 0 .0 0 0 8 4 0 .0 0 0 7 0 0 .0 0 0 7 5 0 .0 0 0 7 5 0 .0 0 0 2 .0 0 0 .0 0 0 1 .5 0 0 .0 0 0 -
A sal B ogor B ogor B ogor B ogor B ogor B ogor B ogor B ogor B ogor B ogor B ogor B ogor B ogor B ogor B ogor B ogor J a k a rta J a k a rta J a k a rta J a k a rta J a k a rta J a k a rta J a k a rta J a k a rta J a k a rta J a k a rta J a k a rta J a k a rta J a k a rta J a k a rta J a k a rta J a k a rta J a k a rta J a k a rta J a k a rta J a k a rta J a k a rta J a k a rta B ekasi B ekasi B ekasi B ekasi B ekasi B ekasi
ja ra k 2 2 ,5 3 4 8 5 4 4 5 5 2 2 1 2 5 5 80 85 7 80 90 90 90 100 95 85 90 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 120 120 120 120
w a k tu te m p u h 15 15 20 25 90 20 15 15 15 15 10 10 10 15 60 60 90 90 90 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 100 100 120 150 200 120
dana yang d is ia p k a n 1 0 .0 0 0 1 0 .0 0 0 3 0 .0 0 0 3 0 .0 0 0 1 0 0 .0 0 0 1 0 0 .0 0 0 5 0 .0 0 0 5 0 .0 0 0 6 0 .0 0 0 2 0 .0 0 0 1 5 .0 0 0 2 0 .0 0 0 5 0 .0 0 0 5 0 .0 0 0 1 0 0 .0 0 0 5 0 .0 0 0 1 0 0 .0 0 0 1 0 0 .0 0 0 1 0 0 .0 0 0 8 0 .0 0 0 8 0 .0 0 0 1 0 0 .0 0 0 3 0 .0 0 0 7 0 .0 0 0 7 0 .0 0 0 1 0 0 .0 0 0 2 0 0 .0 0 0 1 0 0 .0 0 0 1 0 0 .0 0 0 1 0 0 .0 0 0 5 0 .0 0 0 7 0 .0 0 0 5 0 .0 0 0 2 0 0 .0 0 0 1 5 0 .0 0 0 1 0 0 .0 0 0 1 5 0 .0 0 0 2 0 0 .0 0 0 3 0 0 .0 0 0 2 5 0 .0 0 0 1 0 0 .0 0 0 1 0 0 .0 0 0 1 0 0 .0 0 0 1 0 0 .0 0 0
T o ta l C o s t 5 .0 0 0 5 .0 0 0 2 0 .0 0 0 2 0 .0 0 0 5 4 .7 5 0 5 2 .0 0 0 2 9 .0 0 0 2 5 .0 0 0 2 7 .0 0 0 6 .0 0 0 3 .0 0 0 3 .0 0 0 1 0 .0 0 0 5 .0 0 0 3 3 .0 0 0 8 .0 0 0 5 1 .7 5 0 5 4 .7 5 0 2 3 .0 0 0 6 9 .0 0 0 9 4 .0 0 0 5 4 .0 0 0 4 4 .0 0 0 4 4 .0 0 0 4 4 .0 0 0 4 4 .0 0 0 7 8 .0 0 0 5 0 .0 0 0 5 0 .0 0 0 5 0 .0 0 0 5 0 .0 0 0 5 0 .0 0 0 5 0 .0 0 0 1 1 6 .0 0 0 1 0 6 .0 0 0 9 6 .0 0 0 9 6 .0 0 0 8 6 .0 0 0 5 8 .0 0 0 5 8 .0 0 0 4 6 .0 0 0 5 1 .0 0 0 6 1 .0 0 0 4 1 .0 0 0
In te n s ita s k u n ju n g a n le b ih 3 x le b ih 3 x le b ih 3 x le b ih 3 x k u ra n g 3 x le b ih 3 x le b ih 3 x le b ih 3 x le b ih 3 x le b ih 3 x le b ih 3 x le b ih 3 x le b ih 3 x le b ih 3 x k u ra n g 3 x k u ra n g 3 x k u ra n g 3 x k u ra n g 3 x k u ra n g 3 x le b ih 3 x le b ih 3 x k u ra n g 3 x k u ra n g 3 x k u ra n g 3 x k u ra n g 3 x k u ra n g 3 x k u ra n g 3 x k u ra n g 3 x k u ra n g 3 x k u ra n g 3 x k u ra n g 3 x k u ra n g 3 x k u ra n g 3 x k u ra n g 3 x k u ra n g 3 x k u ra n g 3 x k u ra n g 3 x k u ra n g 3 x k u ra n g 3 x k u ra n g 3 x k u ra n g 3 x k u ra n g 3 x k u ra n g 3 x k u ra n g 3 x
M o tiv a s i k u n ju n g a n w is a ta w is a ta w is a ta w is a ta o u tb o n d w is a ta w is a ta w is a ta w is a ta w is a ta w is a ta w is a ta w is a ta w is a ta w is a ta w is a ta o u tb o n d o u tb o n d w is a ta w is a ta w is a ta w is a ta w is a ta w is a ta w is a ta w is a ta w is a ta P e la tih a n P e la tih a n P e la tih a n P e la tih a n P e la tih a n P e la tih a n o u tb o n d o u tb o n d o u tb o n d o u tb o n d o u tb o n d w is a ta w is a ta o u tb o n d o u tb o n d o u tb o n d o u tb o n d
C ara K e d a ta n g a n k e lo m p o k se n d iri k e lo m p o k k e lo m p o k se n d iri k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k se n d iri k e lo m p o k se n d iri se n d iri k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k k e lo m p o k
Lam a K u n ju n g a n PP PP PP PP m e n g in a p m e n g in a p m e n g in a p m e n g in a p m e n g in a p PP PP PP PP PP PP PP m e n g in a p m e n g in a p PP m e n g in a p m e n g in a p m e n g in a p m e n g in a p m e n g in a p m e n g in a p m e n g in a p m e n g in a p PP m e n g in a p m e n g in a p m e n g in a p m e n g in a p m e n g in a p m e n g in a p m e n g in a p m e n g in a p m e n g in a p m e n g in a p PP PP m e n g in a p m e n g in a p m e n g in a p PP
T anggapan F a s ilita s k u ra n g le n g k a p le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p k u ra n g le n g k a p
T anggapan P e tu g a s b a ik k u ra n g k u ra n g k u ra n g k u ra n g k u ra n g k u ra n g k u ra n g b a ik b a ik k u ra n g k u ra n g k u ra n g k u ra n g k u ra n g k u ra n g k u ra n g k u ra n g k u ra n g k u ra n g k u ra n g k u ra n g k u ra n g k u ra n g k u ra n g b a ik b a ik b a ik k u ra n g k u ra n g k u ra n g k u ra n g b a ik k u ra n g b a ik b a ik b a ik b a ik k u ra n g k u ra n g b a ik b a ik k u ra n g k u ra n g
92
Jumlah Daerah Asal Sampel No Pengunjung Pengunjung (orang)
Prosentase Pengunjung (%)
Laju Biaya Jumlah Populasi Jumlah Kunjungan Perjalanan Daerah Pengunjung Pengunjung per 1000 Rata-rata (orang) * (orang) orang (Rp) (5)
(6) = (5) x 4.985 (7) = (6) x 1000 : 100 : (5)
(8)
(1)
(2)
(3)
(4)
1
Bogor
16
36,36
820.707
1.813
3
19.109
2
Jakarta
22
50,00
8.792.000
2.493
1
63.659
3
Bekasi
6
13,64
1.877.414
680
1
52.500
Total
44
4.985
* Data BPPS tahun 2003
Perhitungan fungsi rekreasi Y = a – b (X) , dimana : Y = laju kunjungan (per 1000 orang) X = biaya perjalanan rata-rata (Rp/orang) A, b = kostanta
Berdasarkan metode freehand yakni dengan menghubungkan data antara laju kunjungan per 1000 orang sebagai variabel dependent (Y) dan biaya perjalanan rata-rata sebagai variabel independent (X) maka didapatkan persamaan garis untuk fungsi rekreasi adalah sebagai berikut : Y = 3,848 – 0,000048 X
93
Estimasi Kurva Permintaan Y = 3,848 – 0,000048 X
No
Harga Tiket Masuk (Rp/org)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
0 3000 6000 9000 12000 15000 18000 21000 24000 27000 30000 33000 36000 39000 42000 45000 48000 51000 54000 57000 60000 63000
Laju Kunjungan (per 1000 org) bogor jakarta bekasi 3 1 1 3 1 1 3 1 1 3 0 1 2 0 1 2 0 1 2 0 2 0 2 0 2 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 -
Jumlah Pengunjun Jumlah Pengunjung bogor jakarta bekasi 2.407 6.984 2.497 11.888 2.289 5.718 2.227 10.233 2.171 4.452 1.956 8.579 2.052 3.186 1.686 6.924 1.934 1.920 1.416 5.270 1.816 654 1.145 3.615 1.698 875 2.573 1.580 605 2.184 1.461 334 1.796 1.343 64 1.407 1.225 1.225 1.107 1.107 989 989 871 871 752 752 634 634 516 516 398 398 280 280 161 161 43 43 -
Keterangan : 1.
2.
Laju Kunjungan (LK)
= 3,848 – 0,000048 (Biaya Perjalanan + HTM)
Y (bogor) 1
= 3,848 – 0,000048 ( 19.109 + HTM)
Y (jakarta) 1
= 3,848 – 0,000048 ( 63.659 + HTM)
Y (bekasi) 1
= 3,848 – 0,000048 ( 52.500 + HTM)
Jumlah Pengunjung
= LK x Populasi / 1000
Y (bogor)
2
= Y (bogor) 1 x 820.707 / 1000
Y (jakarta) 2
= Y (jakarta) 1 x 8.792.000 / 1000
Y (bekasi) 2
= Y (bekasi) 1 x 1.877.414 / 1000
94
Perhitungan Surplus Konsumen Jumlah Harga Tiket Pengunjung Masuk (org) (Rp/org) 1 2 0 11.888 1500 3000 10.233 4500 6000 8.579 7500 9000 6.924 10500 12000 5.270 13500 15000 3.615 16500 18000 2.573 19500 21000 2.184 22500 24000 1.796 25000 27000 1.407 28500 30000 1.225 31500 33000 1.107 34500 36000 989 37500 39000 871 40500 42000 752 43500 45000 634 48500 48000 516 49500 51000 398 52500 54000 280 55500 57000 161 58500 60000 43 61500 63000 -
Penurunan 3
Selisih Kesediaan Membayar 5=1x3
Penerimaan 4=1x2 -
1.655
Total Kesediaan Membayar 6 166.544.693
Rata-rata Keseediaan Membayar 7=6:2 14.010
Surplus Konsumen 8=6-4 166.544.693
164.062.827
16.032
133.362.757
156.617.229
18.256
105.144.553
144.207.898
20.827
81.890.081
126.834.835
24.069
63.599.342
104.498.040
28.906
50.272.334
87.299.520
33.933
40.990.695
79.723.197
36.500
33.855.351
70.981.285
39.529
27.885.596
61.268.049
43.541
23.275.694
56.080.653
45.776
19.327.342
52.357.926
47.300
15.829.284
48.280.654
48.830
12.685.771
43.848.836
50.368
9.896.803
39.062.473
51.918
7.462.381
33.921.564
53.487
5.382.504
28.189.747
54.629
3.420.809
22.339.747
56.153
2.050.023
16.135.202
57.697
1.033.783
9.576.112
59.304
372.088
2.662.476
61.500
64.938
-
-
-
2.481.866 30.700.070
1.655
7.445.598 51.472.676
1.655
12.409.331 62.317.817
1.655
17.373.063 63.235.494
1.655
22.336.795 54.225.706
1.042
17.198.519 46.308.826
389
7.576.324 45.867.845
389
8.741.912 43.095.688
389
9.713.236 37.992.355
182
5.187.396 36.753.311
118
3.722.727 36.528.643
118
4.077.272 35.594.883
118
4.431.818 33.952.033
118
4.786.363 31.600.092
118
5.140.909 28.539.060
118
5.731.818 24.768.937
118
5.849.999 20.289.724
118
6.204.545 15.101.419
118
6.559.090 9.204.024
118
6.913.636 2.597.538
43
2.662.476 Total
166.544.693
95
Kurva Permintaan Wisata
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Harga Tiket Jumlah Masuk (Rp/org) Pengunjung (org) 0 11.888 3000 10.233 6000 8.579 9000 6.924 12000 5.270 15000 3.615 18000 2.573 21000 2.184 24000 1.796 27000 1.407 30000 1.225 33000 1.107 36000 989 39000 871 42000 752 45000 634 48000 516 51000 398 54000 280 57000 161 60000 43 63000 -
Penerimaan 30.700.070 51.472.676 62.317.817 63.235.494 54.225.706 46.308.826 45.867.845 43.095.688 37.992.355 36.753.311 36.528.643 35.594.883 33.952.033 31.600.092 28.539.060 24.768.937 20.289.724 15.101.419 9.204.024 2.597.538 -
Total Kesediaan Membayar 166.544.693 164.062.827 156.617.229 144.207.898 126.834.835 104.498.040 87.299.520 79.723.197 70.981.285 61.268.049 56.080.653 52.357.926 48.280.654 43.848.836 39.062.473 33.921.564 28.189.747 22.339.747 16.135.202 9.576.112 2.662.476 -
Surplus Konsumen 166.544.693 133.362.757 105.144.553 81.890.081 63.599.342 50.272.334 40.990.695 33.855.351 27.885.596 23.275.694 19.327.342 15.829.284 12.685.771 9.896.803 7.462.381 5.382.504 3.420.809 2.050.023 1.033.783 372.088 64.938 -
HTM (Rp/orang)
70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 -
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
12.000
14.000
Jumlah Pengunjung (orang)
Nilai sampel (Rp/orang) Kesediaan berkorban Nilai yang dikorbankan Surplus Konsumen
Jumlah
Nilai Total
pengunjung
(Rp/tahun)
16.032
10.233
164.062.827
3.000
10.233
30.700.070
13.033
10.233
133.362.757
96
Lampiran 3.
Perhitungan Nilai Ekonomi Manfaat Air Untuk Konsumsi Rumah Tangga
Pemakaian Air/th (m3/th) Y 292,00 146,00 219,00 146,00 146,00 109,50 146,00 146,00 146,00 219,00 255,50 182,50 109,50 146,00 146,00 219,00 109,50 219,00 146,00 146,00 73,00 219,00 109,50 109,50 146,00 146,00 292,00 146,00 146,00 146,00 146,00 365,00 146,00 219,00 146,00 109,50 146,00 109,50 292,00 146,00 146,00 146,00 219,00 146,00 146,00 219,00 292,00 292,00 146,00 219,00 219,00 73,00 109,50 146,00 109,50 182,50 292,00
Biaya Pendapatan Pengadaan KK (Rp/bulan) X1 X2 47,95 1000000 780,82 400000 136,99 350000 116,44 500000 404,11 550000 511,42 1300000 119,86 400000 130,14 650000 287,67 1200000 493,15 5000000 293,54 8500000 106,85 8000000 945,21 10000000 356,16 12000000 530,82 200000 68,49 600000 1324,20 1000000 461,19 2000000 89,04 300000 1284,25 900000 1191,78 550000 168,95 450000 173,52 500000 365,30 450000 133,56 460000 126,71 700000 157,53 7000000 904,11 6000000 513,70 4000000 465,75 8000000 311,64 3000000 186,30 670000 191,78 500000 68,49 400000 561,64 1000000 200,91 1500000 136,99 350000 488,58 700000 34,25 500000 421,23 500000 832,19 5000000 859,59 500000 410,96 10000000 650,68 14000000 671,23 9000000 283,11 15000000 212,33 200000 181,51 200000 321,92 400000 296,80 900000 205,48 500000 801,37 500000 164,38 650000 150,68 1500000 118,72 400000 271,23 350000 291,10 900000
Jumlah Anggota Keluarga (org) X3 4 4 3 5 6 4 4 6 3 4 6 6 5 6 6 5 12 6 5 5 6 7 6 5 5 6 6 5 4 5 3 6 5 8 5 5 4 5 6 5 6 6 7 6 5 6 7 7 6 1 10 4 2 4 4 5 5
Tingkat Pendidikan KK X4 3 1 1 2 2 4 1 2 4 4 4 4 4 4 1 1 2 3 1 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 2 2 1 1 4 2 2 3 2 3 4 3 4 4 4 4 1 1 1 3 1 2 2 4 1 2 4
Jarak Ke Sumber Air X5 150 3 300 3 1 4 1 12 2 70 40 5 23 15 2 2 2 2 20 23 5 4 8 30 10 10 10 40 15 15 35 600 4 3 400 0 12 20 3 30 20 60 150 100 50 200 500 500 40 50 38 50 10 13 6 40 75
97
Descriptives Descriptive Statistics
Y X1 X2 X3 X4 X5 Valid N (listwise)
N 69 69 69 69 69 69 69
Minimum 73,00 34,25 200000 1 1 0,0
Maximum 365,00 1324,20 15000000 12 5 600,0
Regression Variables Entered/Removed Model Variables Variables Entered Removed 1 X5 , 2
X1
3
X3
Mean 167,4239 408,0133 3052608,70 5,20 2,78 60,217
Std. Deviation 60,6058 320,7871 3911736,73 1,63 1,17 121,462
Method
Stepwise (Criteria: Probability-of-F-to-enter <= ,050, Probability-of-F-to-remove >= ,100). , Stepwise (Criteria: Probability-of-F-to-enter <= ,050, Probability-of-F-to-remove >= ,100). , Stepwise (Criteria: Probability-of-F-to-enter <= ,050, Probability-of-F-to-remove >= ,100).
a Dependent Variable: Y
Model Summary Model R 1 2 3
R Square ,561 ,656 ,698
,314 ,430 ,487
Adjusted R Square ,304 ,413 ,463
Std. Error of the Estimate 50,5600 46,4363 44,3933
a Predictors: (Constant), X5 b Predictors: (Constant), X5, X1 c Predictors: (Constant), X5, X1, X3
98
ANOVA Model
Sum of Squares 78494,997 171272,916 249767,913 107449,977 142317,936 249767,913 121668,466 128099,447 249767,913
1 Regression Residual Total 2 Regression Residual Total 3 Regression Residual Total a b c d
df
Mean Square 1 78494,997 67 2556,312 68 2 53724,989 66 2156,332 68 3 40556,155 65 1970,761 68
F
Sig.
30,706
,000
24,915
,000
20,579
,000
Predictors: (Constant), X5 Predictors: (Constant), X5, X1 Predictors: (Constant), X5, X1, X3 Dependent Variable: Y
Coefficients
Model 1 2
3
(Constant) X5 (Constant) X5 X1 (Constant) X5 X1 X3
Unstandardized Standardized t Sig. Coefficients Coefficients B Std. Error Beta 150,580 6,804 22,133 ,000 ,280 ,050 ,561 5,541 ,000 178,014 9,752 18,255 ,000 ,262 ,047 ,526 5,628 ,000 -6,466E-02 ,018 -,342 -3,664 ,000 134,628 18,650 7,219 ,000 ,247 ,045 ,496 5,507 ,000 -7,083E-02 ,017 -,375 -4,160 ,000 8,995 3,349 ,242 2,686 ,009
a Dependent Variable: Y
Excluded Variables Beta In
Model 1
2
3 a b c d
X1 X2 X3 X4 X2 X3 X4 X2 X4
-,342 ,051 ,192 -,037 ,158 ,242 ,113 ,145 ,170
t -3,664 ,503 1,921 -,359 1,651 2,686 1,113 1,581 1,744
Sig. ,000 ,617 ,059 ,721 ,103 ,009 ,270 ,119 ,086
Partial Correlation -,411 ,062 ,230 -,044 ,201 ,316 ,137 ,194 ,213
Collinearity Statistics Tolerance ,990 ,999 ,988 ,984 ,923 ,970 ,837 ,920 ,805
Predictors in the Model: (Constant), X5 Predictors in the Model: (Constant), X5, X1 Predictors in the Model: (Constant), X5, X1, X3 Dependent Variable: Y
99
Model yang digunakan : Y =134,628 - 0,0708 X1 + 8,995 X3 + 0,045 X5 Y =134,628 - 0,0708 X1 + 8,995 (5,2) + 0,045 (60,18) Y =184.14 - 0.0708 X1 Invers X1 = (184,14 - Y) / 0,0708 X1 = 2600,85 - 14,124 Y Pendugaan Kesediaan Membayar Y
U = ∫ f (Y) δY 0 Y
U = ∫ (2600,85 -14,124) δY 0 168,58
= 2600,84 Y – 14,124 Y2 ] 2 0 = 237.477,74 Penentuan X1 pada saat Y X1 = 2600,85 - 14,124 Y X1 = 2600,85 - 14,124 (167,42) X1 = 236,05 Penentuan Nilai yang dibayarkan konsumen pada saat harga X1 NA = X1 x Y NA = 236,05 x 167,42 NA = 39.520,35 Penentuan Surplus Konsumen SK = U - NA SK = 237.477,74 - 39.520,35 SK = 197.957,39 Nilai Ekonomi Air RT
Kesediaan berkorban Nilai yang dikorbankan Surplus Konsumen
Nilai sampel (Rp/KK/th) 237.477,74 39.520,35 197.957,39
Populasi KK 8.910 8.910 8.910
Nilai Total (Rp/th) 2.115.926.655,91 352.126.296,24 1.763.800.359,67
100
Lampiran 4.
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Perhitungan Nilai Ekonomi Manfaat Air Untuk Sektor Pertanian Sawah
Desa
Pendapatan (Rp/bln)
Luas Garapan (ha)
Sumber Air
Pendidikan
cipayung
irigasi
SD
400.000
0,060
WTP (Rp/th) 30.000
cipayung cipayung
irigasi irigasi
SD SMP
400.000 500.000
0,030 0,045
30.000 30.000
cipayung
irigasi
SMP
550.000
0,040
30.000
cipayung
irigasi
SMP
650.000
0,035
30.000
cipayung girang
irigasi
SD
200.000
0,060
30.000
cipayung girang
irigasi
SMA
450.000
0,050
50.000
cipayung girang
irigasi
SMA
450.000
0,100
30.000
cipayung girang
irigasi
SD
300.000
0,020
30.000
Cipayung girang
irigasi
SMA
500.000
0,250
30.000
megamendung
irigasi
SMP
600.000
0,040
30.000
megamendung megamendung
irigasi irigasi
SMP SD
500.000 400.000
0,050 0,035
40.000 40.000
megamendung
irigasi
SMP
350.000
0,055
30.000
cilember
irigasi
SD
200.000
0,100
14.000
cilember
irigasi
SD
200.000
0,070
30.000
cilember
irigasi
SD
500.000
0,075
40.000
cilember cilember
irigasi irigasi
SMP SD
500.000 400.000
0,250 0,040
30.000 30.000
cilember
irigasi
SMP
350.000
0,250
30.000
cilember
irigasi
SD
350.000
0,050
30.000
cilember Rata-rata
irigasi
SD
300.000 411.364
0,040 0,079
30.000 31.545
Perhitungan Nilai Ekonomi Sawah (NES) per Tahun : = WTP per tahun X Jumlah Petani = Rp.31.545 / th X 928 orang = Rp.29.274.181,82 /tahun Perhitungan Nilai Ekonomi Sawah (NES) per hektar per Tahun : = Rp.29.274.181,82 654,73 ha = Rp.44.711,77/ha/th
101
Lampiran 5. Penghitungan Nilai Ekonomi Hutan Sebagai Pengendali Banjir dan Erosi
No
Desa 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58
cipayung cipayung cipayung cipayung cipayung cipayung cipayung cipayung cipayung cipayung cipayung cipayung cipayung cipayung girang cipayung girang cipayung girang cipayung girang cipayung girang cipayung girang cipayung girang cipayung girang Cipayung girang cipayung girang cipayung girang cipayung girang Cipayung girang cipayung girang cipayung girang cipayung girang megamendung megamendung megamendung megamendung megamendung megamendung megamendung megamendung megamendung megamendung megamendung megamendung megamendung megamendung megamendung megamendung cilember cilember cilember cilember cilember cilember cilember cilember cilember cilember cilember cilember cilember
Pekerjaan PNS buruh petani petani penjaga villa PNS penjaga villa PNS pengusaha swasta swasta pengusaha swasta pedagang petani pedagang petani petani PNS penjaga villa penjaga villa petani penjaga villa penjaga villa swasta swasta Swasta Swasta Swasta tukang penjaga villa penjaga villa petani swasta pedagang buruh penjaga villa penjaga villa pengusaha pengusaha pengusaha Swasta pengusaha Swasta Swasta buruh buruh penjaga villa PNS petani petani Pensiunan PNS buruh buruh PNS penjaga villa swasta
Pendidikan SMA SD SD SMP SMP S1 SMP S1 S1 S1 S1 S1 S1 SD SD SMP SMP SD SMA SMA SMA SMA SMA SMA SMA SMA S1 S1 S1 SMP SMP SD SD S1 SMP SMP SMA SMP SMA S1 SMA S1 S1 S1 S1 SD SD SD SMA SD SMP SMP S1 SD SMP S1 SMA SMP
Pendapatan (Rp/bln) 1.000.000 400.000 350.000 500.000 550.000 1.300.000 650.000 1.200.000 5.000.000 8.500.000 8.000.000 10.000.000 12.000.000 200.000 600.000 1.000.000 450.000 300.000 900.000 550.000 450.000 500.000 450.000 460.000 700.000 7.000.000 6.000.000 4.000.000 8.000.000 3.000.000 670.000 500.000 400.000 1.000.000 1.500.000 350.000 700.000 500.000 500.000 5.000.000 500.000 10.000.000 14.000.000 9.000.000 15.000.000 200.000 200.000 400.000 900.000 500.000 500.000 650.000 1.500.000 400.000 350.000 900.000 600.000 1.100.000
WTP (Rp/th) 200.000 60.000 300.000 60.000 70.000 100.000 60.000 120.000 500.000 1.000.000 150.000 100.000 100.000 15.000 24.000 60.000 50.000 50.000 60.000 60.000 60.000 60.000 600.000 50.000 50.000 100.000 150.000 300.000 120.000 150.000 60.000 20.000 60.000 100.000 40.000 20.000 60.000 60.000 100.000 150.000 100.000 500.000 200.000 150.000 100.000 25.000 15.000 50.000 60.000 50.000 50.000 30.000 100.000 60.000 150.000 60.000 200.000 80.000
102
lanjutan.. 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69
NE
cilember cilember cilember cilember cilember cilember cilember cilember cilember cilember cilember Rata-rata
PNS petani pensiunan pengusaha swasta swasta pengusaha pengusaha swasta pengusaha swasta
SD SD SMA S1 S1 S1 S1 S1 S1 S2 SMA
350.000 400.000 1.500.000 2.000.000 8.000.000 6.000.000 10.000.000 6.000.000 7.000.000 12.000.000 4.000.000
25.000 60.000 350.000 300.000 500.000 200.000 1.000.000 100.000 600.000 2.000.000 120.000 183.826,09
= WTP rata-rata x Populasi = Rp. 183.826.09 /th x 8910 = Rp. 1.637.890.434,78 /th
Nilai Ekonomi Per Hektar = = Rp. 1.637.890.434,78 /th /654,731 ha = Rp. 2.501.623,47 /ha/th
103
Lampiran 6. Perhitungan Nilai Ekonomi Penyerap Karbon
Luas Hutan Berdasarkan Citra Satelit Ikonos 2003
Hutan hutan kerapatan rendah hutan kerapatan tinggi Total
Luas (Ha) 133,25 521,48 654,73
sumber ikonos th 2003
Hutan hutan kerapatan rendah hutan kerapatan tinggi
Potensi Karbon (ton/ha) 210 226
Sumber : Brown (1997)
Perhitungan Potensi Karbon di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu Harga Potensi Nilai Ekonomi Luas Karbon Karbon Hutan Karbon (Rp) (Ha) (Rp/ton) (ton/ha) hutan kerapatan 2.602.372.500,00 rendah 133,25 210 93.000 hutan kerapatan tinggi 521,48 226 93.000 10.960.487.658,00 Total 654,73 13.562.860.158,00 Dengan asumsi waktu daur hutan alam 35 tahun, maka potensi nilai ekonomi jasa penyerap karbon adalah : = Rp. 13.562.860.158,00 / 35 th = Rp. 387.510.290,23 /th Nilai Per hektar : = Rp. 387.510.290,23 /th / 723,93 ha = Rp. 591.861,83 /ha/th
104
Lampiran 7.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58
Penghitungan Nilai Ekonomi Hutan Sebagai Habitat Flora Fauna
Desa cipayung cipayung cipayung cipayung cipayung cipayung cipayung cipayung cipayung cipayung cipayung cipayung cipayung cipayung girang cipayung girang cipayung girang cipayung girang cipayung girang cipayung girang cipayung girang cipayung girang Cipayung girang cipayung girang cipayung girang cipayung girang Cipayung girang cipayung girang cipayung girang cipayung girang megamendung megamendung megamendung megamendung megamendung megamendung megamendung megamendung megamendung megamendung megamendung megamendung megamendung megamendung megamendung megamendung cilember cilember cilember cilember cilember cilember cilember cilember cilember cilember cilember cilember cilember
Pekerjaan PNS buruh petani petani penjaga villa PNS penjaga villa PNS pengusaha swasta swasta pengusaha swasta pedagang petani pedagang petani petani PNS penjaga villa penjaga villa petani penjaga villa penjaga villa swasta swasta Swasta Swasta Swasta tukang penjaga villa penjaga villa petani swasta pedagang buruh penjaga villa penjaga villa pengusaha pengusaha pengusaha Swasta pengusaha Swasta Swasta buruh buruh penjaga villa PNS petani petani Pensiunan PNS buruh buruh PNS penjaga villa swasta
Pendidikan SMA SD SD SMP SMP S1 SMP S1 S1 S1 S1 S1 S1 SD SD SMP SMP SD SMA SMA SMA SMA SMA SMA SMA SMA S1 S1 S1 SMP SMP SD SD S1 SMP SMP SMA SMP SMA S1 SMA S1 S1 S1 S1 SD SD SD SMA SD SMP SMP S1 SD SMP S1 SMA SMP
Pendapatan (Rp/bln) 1.000.000 400.000 350.000 500.000 550.000 1.300.000 650.000 1.200.000 5.000.000 8.500.000 8.000.000 10.000.000 12.000.000 200.000 600.000 1.000.000 450.000 300.000 900.000 550.000 450.000 500.000 450.000 460.000 700.000 7.000.000 6.000.000 4.000.000 8.000.000 3.000.000 670.000 500.000 400.000 1.000.000 1.500.000 350.000 700.000 500.000 500.000 5.000.000 500.000 10.000.000 14.000.000 9.000.000 15.000.000 200.000 200.000 400.000 900.000 500.000 500.000 650.000 1.500.000 400.000 350.000 900.000 600.000 1.100.000
WTP (Rp/th) 60.000 60.000 30.000 48.000 50.000 60.000 50.000 100.000 80.000 200.000 100.000 100.000 100.000 15.000 24.000 60.000 40.000 48.000 50.000 50.000 35.000 60.000 30.000 40.000 30.000 50.000 150.000 250.000 100.000 50.000 70.000 20.000 36.000 60.000 48.000 10.000 60.000 30.000 75.000 100.000 100.000 75.000 50.000 100.000 100.000 20.000 15.000 36.000 50.000 48.000 36.000 30.000 60.000 30.000 36.000 48.000 60.000 60.000
105
lanjutan.. 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69
NE
cilember cilember cilember cilember cilember cilember cilember cilember cilember cilember cilember Rata-rata
PNS petani pensiunan pengusaha swasta swasta pengusaha pengusaha swasta pengusaha swasta
SD SD SMA S1 S1 S1 S1 S1 S1 S2 SMA
350.000 400.000 1.500.000 2.000.000 8.000.000 6.000.000 10.000.000 6.000.000 7.000.000 12.000.000 4.000.000
25.000 50.000 200.000 30.000 400.000 200.000 500.000 100.000 48.000 100.000 100.000 77.333,33
= WTP rata-rata x Populasi = Rp. 77.333.33 /th x 8910 = Rp. 689.040.000,00 /th
Nilai Ekonomi Per Hektar : = Rp. 689.040.000,00 /th / 654,731 ha = Rp. 1.052.401,67/ha/th
106
Lampiran 8. Penghitungan Nilai Ekonomi Pertanian Lahan Basah No 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Desa 2
cipayung cipayung cipayung cipayung cipayung cipayung girang cipayung girang cipayung girang cipayung girang Cipayung girang megamendung megamendung megamendung megamendung cilember cilember cilember cilember cilember cilember cilember cilember Rata-rata
Pekerjaan Utama
Status Garapan
3
buruh petani petani penjaga villa penjaga villa petani penjaga villa penjaga villa petani petani penjaga villa penjaga villa petani buruh buruh buruh petani petani buruh buruh petani petani
Pendidikan
4
penggarap penggarap penggarap penggarap penggarap penggarap penggarap penggarap penggarap sendiri sendiri penggarap penggarap penggarap sendiri penggarap penggarap penggarap penggarap penggarap penggarap penggarap
5
SD SD SMP SMP SMP SD SMA SMA SD SMA SMA SMP SD SMP SD SD SD SMP SD SMP SD SD
Pendapatan (Rp/bln)
Luas Garapan (Ha)
6
7
400.000 300.000 300.000 500.000 450.000 200.000 450.000 450.000 300.000 500.000 600.000 500.000 375.000 350.000 200.000 200.000 500.000 500.000 400.000 350.000 450.000 400.000 394.318
0,060 0,030 0,045 0,040 0,035 0,060 0,050 0,100 0,020 0,250 0,040 0,050 0,035 0,055 0,100 0,070 0,075 0,250 0,040 0,250 0,050 0,040 0,079
Intensitas Panen
Produksi/ panen (kg)
Harga Jual (Rp/kg)
8
9
10
2 2 2 3 2 2 2 2 2 3 2 2 2 2 2 3 2 2 2 2 2 2 0
200 150 180 150 250 150 250 250 150 500 300 300 150 200 300 300 200 450 160 550 200 180 250,91
1300 1300 1300 1300 1300 1300 1300 1300 1300 1300 1300 1300 1300 1300 1300 1300 1300 1300 1300 1300 1300 1300 0
Penerimaan / Biaya / panen panen (Rp) (Rp) 11 = 9 x 10
260.000 195.000 234.000 195.000 325.000 195.000 325.000 325.000 195.000 650.000 390.000 390.000 195.000 260.000 390.000 390.000 260.000 585.000 208.000 715.000 260.000 234.000 326.182
12
175.850 110.000 186.000 170.500 182.000 116.000 150.000 285.000 121.000 454.500 180.000 128.000 185.000 180.000 128.000 195.000 200.000 235.000 175.000 300.000 120.500 165.000 188.289
Pendapatan (Rp/panen)
Nilai Pertanian (Rp/tahun)
13 = 11 - 12
14 = 13 x 8
84.150 85.000 48.000 24.500 143.000 79.000 175.000 40.000 74.000 195.500 210.000 262.000 10.000 80.000 262.000 195.000 60.000 350.000 33.000 415.000 139.500 69.000 137.893
168.300 170.000 96.000 73.500 286.000 158.000 350.000 80.000 148.000 586.500 420.000 524.000 20.000 160.000 524.000 585.000 120.000 700.000 66.000 830.000 279.000 138.000 294.650
Nilai Ekonomi Pertanian Lahan Basah per hektar per tahun : = Nilai Ekonomi Pertanian / rata-rata luas lahan = Rp 294.650 /th 0,079 ha = Rp.3.729.747/ha/tahun
107
Lampiran 9. Penghitungan Nilai Ekonomi Pertanian Lahan Kering
No 1
Desa
Pkerjaan Utama
2
3
1 2
cipayung cipayung girang
PNS petani
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
cipayung girang cipayung girang cipayung girang megamendung megamendung megamendung cilember cilember cilember megamendung cipayung girang megamendung Rata-rata
petani petani penjaga villa tukang penjaga villa penjaga villa pensiunan penjaga villa penjaga villa ABRI Pengusaha Wiraswasta
Pendidikan 4
Pendapatan (Rp/bln)
Status Kepemilikan Lahan
5
Luas Lahan (Ha) 6
7
S1 SD
1.300.000 200.000
sendiri penggarap
0,50 0,06
SD SD SMA SMP SMA SMP S1 SD SMA S1 S1 SMP
600.000 300.000 460.000 3.000.000 700.000 500.000 1.500.000 400.000 600.000 1.500.000 10.000.000 500.000 1.540.000
penggarap penggarap penggarap sendiri sendiri penggarap sendiri penggarap penggarap sewa sewa sendiri
0,90 0,06 0,05 0,50 0,20 0,60 0,20 0,08 0,50 1,00 0,72 1,50 0,49
Jenis Tanaman
Penerimaan (Rp/th)
8
9
pisang, singkong jagung manis, ketimun jagung manis, ketimun, singkong jagung, talas, cabe pisang, singkong pisang, singkong sinkong pisang , singkong tomat, timun, cabe, sesin singkong, pisang singkong cabe, tomat, sayuran bunga potong pisang
Biaya (Rp/th)
Nilai Ekonomi Pertanian (Rp/thn) 10
11 = 9 - 10
150.000 350.000
80.000 260.000
70.000 90.000
7.200.000 300.000 150.000 1.640.000 60.000 600.000 10.585.000 2.250.000 150.000 65.000.000 66.000.000 1.500.000
1.948.000 75.000 1.200.000 20.000 180.000 5.196.000 1.240.000
5.252.000 300.000 75.000 440.000 40.000 420.000 5.389.000 1.010.000 150.000 21.000.000 18.000.000 300.000 3.752.571,43
44.000.000 48.000.000 1.200.000
Nilai Ekonomi Pertanian Lahan Kering per hektar per tahun : = Nilai Ekonomi Pertanian / rata-rata luas lahan = Rp.3.752.571,43/th 0,49 ha = Rp.7.905.698,23/ha/th
108
Lampiran 12. Peta Kelas Ketinggian Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor
113
Lampiran 13. Peta Kelas Kelerengan Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor
114
Lampiran 14. Penghitungan Nilai Ekonomi Perumahan no
WTP (y)
Hedonic (x1)
Jarak (x2)
Ketinggian (x3)
Slope (x4)
Pendapatan (x5)
Kelas Bangunan (x6)
Tipe Rumah (x7)
1
75.000.000
7,00
236,40
470,51
13,27
1.000.000
1
1
2
45.000.000
7,50
1771,79
549,79
11,77
400.000
1
1
3
15.000.000
7,25
1394,77
484,62
8,32
350.000
1
1
4
35.000.000
7,00
1677,29
544,59
5,82
500.000
1
1
5
24.000.000
7,00
2582,40
575,00
0,00
550.000
1
1
6
200.000.000
7,50
82,22
480,86
6,45
1.300.000
2
1
7
150.000.000
7,25
1496,32
550,00
0,00
1.200.000
2
1
8
750.000.000
8,12
1321,57
479,49
14,98
5.000.000
3
1
9
250.000.000
8,00
596,62
557,78
21,96
8.500.000
2
1
10
290.000.000
7,75
957,91
472,76
12,12
8.000.000
2
2
11
500.000.000
8,62
286,90
569,25
9,65
10.000.000
2
2
12
400.000.000
8,37
156,36
577,39
5,82
12.000.000
2
2
13
70.000.000
5,00
1269,61
597,39
11,18
200.000
1
2
14
50.000.000
8,12
1135,05
587,50
0,00
600.000
1
2
15
100.000.000
7,00
1698,58
605,36
9,63
1.000.000
2
1
16
40.000.000
6,00
1685,14
613,86
10,66
2.000.000
1
1
17
20.000.000
6,00
798,87
589,58
5,56
300.000
1
1
18
750.000.000
7,75
5,50
587,50
0,00
900.000
2
1
19
50.000.000
7,00
974,02
585,23
7,30
550.000
1
1
20
30.000.000
7,87
1051,18
577,05
4,12
450.000
1
1
21
20.000.000
7,50
2502,63
735,96
11,68
500.000
1
1
22
150.000.000
8,00
537,66
605,25
7,52
450.000
1
1
23
65.000.000
6,75
1515,26
601,31
13,67
460.000
1
1 1
24
100.000.000
7,50
1391,60
623,54
19,55
700.000
2
25
800.000.000
8,75
2400,20
577,98
4,11
7.000.000
3
1
26
350.000.000
8,00
1314,45
587,50
-
6.000.000
2
1
27
300.000.000
7,50
685,90
563,63
4,70
4.000.000
2
2
28
900.000.000
7,75
121,90
584,53
7,04
8.000.000
3
2
29
300.000.000
7,50
1781,21
675,00
-
3.000.000
2
2
30
50.000.000
8,00
1767,82
664,24
20,07
670.000
1
2
31
30.000.000
5,50
656,65
621,34
12,21
500.000
1
1
32
28.000.000
7,37
3567,87
740,99
11,70
400.000
1
1
33
400.000.000
8,00
10,00
623,04
4,96
1.000.000
2
1
34
320.000.000
7,75
5,00
632,90
4,67
1.500.000
2
1
35
20.000.000
7,75
6284,28
1171,13
10,53
350.000
1
1
36
20.000.000
7,25
6142,14
1157,14
10,37
700.000
1
1
37
30.000.000
7,75
2480,97
650,00
-
500.000
1
1
38
150.000.000
8,25
1604,63
649,03
15,32
500.000
2
1
39
600.000.000
8,75
1614,53
662,21
20,15
5.000.000
2
1
40
450.000.000
8,37
2375,50
646,41
18,81
500.000
2
2
41
2.000.000.000
8,87
3910,40
869,74
11,99
10.000.000
3
2
42
1.800.000.000
8,87
4299,87
887,11
21,16
14.000.000
3
2
43
1.500.000.000
9,12
4424,18
947,48
31,09
9.000.000
3
2
44
1.700.000.000
9,25
3723,78
837,53
17,05
15.000.000
3
2
45
25.000.000
7,00
2590,18
719,24
8,87
200.000
1
2
46
75.000.000
6,00
4283,98
809,65
12,63
200.000
1
2
47
15.000.000
7,50
2557,19
728,74
8,10
400.000
1
1
48
90.000.000
7,87
1421,42
687,50
-
900.000
2
1
49
50.000.000
7,00
1332,65
687,50
-
500.000
1
1
50
50.000.000
6,62
1492,19
688,01
2,40
500.000
1
1 1
51
40.000.000
5,62
3390,73
766,34
19,38
650.000
1
52
150.000.000
8,00
2294,09
715,07
7,64
1.500.000
2
1
53
35.000.000
7,50
1474,03
696,14
5,78
400.000
1
1
54
25.000.000
7,25
2361,07
708,48
4,95
350.000
1
1
55
80.000.000
8,00
2524,91
725,00
-
900.000
2
1
56
28.000.000
7,25
2473,10
710,79
4,14
600.000
1
1
57
90.000.000
7,75
1398,52
687,50
-
1.100.000
2
1
58
35.000.000
7,37
1896,65
564,05
19,26
650.000
1
1
59
100.000.000
8,00
298,50
648,79
7,01
350.000
1
1
60
25.000.000
7,00
1937,63
544,61
6,68
400.000
1
1
61
220.000.000
8,50
5543,25
980,44
14,85
1.500.000
3
2
62
500.000.000
8,00
2573,06
738,63
10,21
2.000.000
3
2
63
450.000.000
8,75
3006,25
789,64
11,54
8.000.000
3
2
64
1.500.000.000
8,37
2344,09
715,51
7,64
6.000.000
3
2
65
1.200.000.000
8,00
3105,00
760,98
6,13
10.000.000
3
2
66
1.900.000.000
8,25
3099,11
757,84
5,77
6.000.000
3
2
67
850.000.000
8,37
3076,79
754,23
4,93
7.000.000
3
2
68
1.200.000.000
8,00
4024,93
876,74
32,84
12.000.000
3
2
69
1.000.000.000
8,25
650,20
663,49
2,71
4.000.000
3
2
110
Regression Variables Entered/Removed(a) Model 1
Variables Entered
Variables Removed
Method
X6
.
Stepwise (Criteria: Probability-of-F-to-enter <= ,050, Probability-of-F-to-remove >= ,100).
X5
.
Stepwise (Criteria: Probability-of-F-to-enter <= ,050, Probability-of-F-to-remove >= ,100).
2
a Dependent Variable: Y Model Summary
Model 1
R
Adjusted R Square
R Square
,817(a)
,668
,662
,862(b) ,743 a Predictors: (Constant), X6 b Predictors: (Constant), X6, X5
,735
2
Std. Error of the Estimate 313845195,7 22 2780
ANOVA(c)
Model 1
Sum of Squares 1187084
Regression Residual Total
2
Regression Residual
df
Mean Square 1187084 98498806877509900, 000
F 120,518
Sig. ,000(a)
2
661095
85,472
,000(b)
59
773261
1
590992
60
1778077 13217399756038 050000,000 456224
61
1777964
61
Total a Predictors: (Constant), X6 b Predictors: (Constant), X6, X5 c Dependent Variable: Y
Coefficients(a)
Unstandardized Coefficients
Model
B 1
(Constant) X6
2
-536
Std. Error 93917266,801
Standardized Coefficients
t
Sig.
Beta ,000
10,978
,000
-3,911
,000
47950958,673
X6
526158132,530 363604537,906 331119138,069
63170341,317
,514
5,244
,000
X5
54,460
13,045
,409
4,175
,000
(Constant)
,817
-5,706
92909164,624
a Dependent Variable: Y
111
Excluded Variables(c)
Beta In
Model
t
Sig.
Partial Correlation
Collinearity Statistics
X1
,111(a)
1,086
,282
,140
Tolerance ,530
X2
,123(a)
1,655
,103
,211
,968
X3
,144(a)
1,927
,059
,243
,954
X4
,074(a)
,972
,335
,126
,956
X5
,409(a)
4,175
,000
,478
,452
X7
,165(a)
1,853
,069
,235
,670
X1
,032(b)
,345
,732
,045
,506
X2
,107(b)
1,616
,111
,208
,965
,125(b) 1,887 X4 -,005(b) -,076 X7 ,068(b) ,798 a Predictors in the Model: (Constant), X6 b Predictors in the Model: (Constant), X6, X5 c Dependent Variable: Y
,064 ,939 ,428
,241 -,010 ,104
,950 ,881 ,606
1
2
X3
Keterangan : Y X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7
= Kesediaan Membeli Rumah (Rp) = Faktor Kualitas Lingkungan = Jarak ke Jalan Raya (m) = Ketinggian Tempat (m) = Kelerengan (%) = Pendapatan Rp/bulan) = Kelas Bangunan = Jenis Bangunan
Tabel. Perhitungan Nilai Ekonomi Rumah Per Hektar Per Tahun Tipe Rumah
Rata-rata Luas Bangunan (ha)
Usia Rumah (th)
Nilai Ekonomi (Rp)
Nilai Rumah (Rp/ha)
Nilai Rumah (Rp/ha/th)
1
2
3
4
5=4 : 2
6=5: 3
Rumah Biasa
0,0560
30
93.181.818
16.639.610.390
554.653.679,65
Villa
0,1338
50
862.400.000
64.435.146.444
1.288.702.928,87
rata-rata
0,1898
40
371884058
44.165.232.358
1.104.130.808,95
112
Lampiran 14. Citra Satelit Ikonos Tahun 2003, Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor Laboratorium SDAF Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan - IPB 708000
711000
714000
717000
9267000
9267000
9264000
9264000
708000
711000
714000
717000
115