PENGURANGAN INTENSITAS RADIASI SURYA DAN PENGARUHNYA PADA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L.)
OLEH : AHMAD MUSAWIR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
PENGURANGAN INTENSITAS RADIASI SURYA DAN PENGARUHNYA PADA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L.)
OLEH : AHMAD MUSAWIR
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agroklimatologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
ABSTRAK AHMAD MUSAWIR. Pengurangan Intensitas Radiasi Surya dan Pengaruhnya pada Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.). Dibimbing oleh YONNY KOESMARYONO dan TANIA JUNE. Radiasi surya mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman kentang. Di samping itu, intensitas yang optimum diperlukan agar pertumbuhan tanaman kentang dapat tumbuh dengan baik. Pada penelitian ini dipelajari pengurangan intensitas radiasi surya dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kentang pada berbagai periode pertumbuhan. Pengurangan dan periode pengurangan intensitas dianalisis dengan menggunakan analisis ragam pada taraf 5% kemudian dilanjutkan dengan uji Tukey. Pengurangan intensitas radiasi tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata pada indeks luas daun (ILD). Namun ada kecenderungan bahwa pengurangan intensitas akan meningkatkan nilai ILD. Perlakuan periode pengurangan intensitas memberikan perbedaan yang nyata pada nilai ILD terutama pada pengurangan selama pertumbuhan. Dengan semakin menurunnya tingkat intensitas radiasi surya nilai luas daun spesifik (LDS) semakin besar. Pada pengamatan 70 hst nilai LDS mempunyai nilai yang lebih besar pada pengurangan intensitas selama fase pertumbuhan dibandingkan pengurangan pada fase awal pertumbuhan. CGR menurun sejalan dengan pengurangan intensitas radiasi surya seperti ditunjukkan pada pengamatan 55 dan 70 hst, demikian pula pada perlakuan pengurangan intensitas selama fase pertumbuhan. Pola yang hampir sama dengan CGR terjadi pada NAR, dimana hasilnya akan turun bila intensitas yang diterima dikurangi. Berat umbi per tanaman pada percobaan menunjukkan, penerimaan intensitas 75% tidak menurunkan berat umbi total per tanaman, sedangkan pada intensitas 55% selama pertumbuhan dan intensitas 25% pada fase awal, fase akhir maupun selama pertumbuhan akan menurunkan berat umbi total per tanaman. Terdapat hubungan linier antara berat kering tanaman dengan berat kering umbi pada intensitas 100%, 75%, 55%, dan 25% berturut-turut mengikuti persamaan y = -5,350 + 0,927x ; y = 0,803 + 0,824x ; y = 9,207 + 0,673x ; y = 7,616 + 0,646x, dengan nilai EPU masing-masing sebesar 0,927; 0,824; 0,673; 0,646.
ABSTRACT AHMAD MUSAWIR. The Reduce of Sun Radiation Intensity and It's Effect on Potato (Solanum tuberosum L.) Growth and Production. Under Direction YONNY KOESMARYONO and TANIA JUNE The sun radiation is effecting the growth and production of potato plant. Beside that, optimum value of sun radiation intensity is needed for a good growth of potato plan. This research is studying the reduce of sun radiation intensity and it's effect on potato plan growth and production in different periode. The reduce of sun radiation intensity and the periode of reduced intensity in analyzed with analysis of variance (P 0.05) and then continued by Tukey test. The reduce of sun radiation intensity is not significantly different in the leaf area index (LAI). But there are tendency that the reduce of sun radiation intensity will increasing LAI value. Periode treatment resulting significantly difference on LAI value especially the reducing in the early phase of potato plan grow. As the decreasing of sun radiation intensity level, the value of spesific leaf area (SLA) is increasing. At 70 day post planning (dpp), the SLA value is bigger than the early phase of potato grow. CGR is decreasing as the sun radiation intensity decreased, showed in observation 55 and 70 dpp. That trend is also happened on reduced intensity treatment in plan growing phase. The similar pattern in CGR is happened in NAR, where the result is will decreased if the intensity is reduced. Corm weight per plan obtained from researh indicating, 75% intensity acceptance is not decreasing the total weight, meanwhile 55% intensity in growing phase and 25% in early grow phase is decreasing the total weight. There are linier relation between plan dry weight with corm dry weight in 100%, 75%, 50% and 25% intensity follow as concecutively y = -5,350 + 0,927x; y = 0,803 + 0,824x ; y = 9,207 + 0,673x ; y = 7,616 + 0,646x, with ESRP value each 0,927; 0,824; 0,673; 0,646.
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang berjudul Pengurangan Intensitas Radiasi Surya dan Pengaruhnya pada Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan hasil karya saya sendiri dengan bimbingan komisi pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Semua data dan informasi yang digunakan secara jelas dapat diperiksa kebenarannya. Tesis ini belum pernah dipublikasikan atau diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.
Bogor, April 2005
Ahmad Musawir
Judul Tesis Nama NRP Program Studi
: Pengurangan Intensitas Radiasi Surya dan Pengaruhnya pada Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) : Ahmad Musawir : P 12500004 : Agroklimatologi
Menyetujui : 1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS Ketua
Dr. Ir. Tania June, M.Sc Anggota
Mengetahui, 2. Ketua Program Studi Agroklimatologi
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc
Tanggal Sidang : 19 April 2005
PRAKATA
Tanggal Lulus :
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul tesis yang dipilih dalam penelitian ini adalah Pengurangan Intensitas Radiasi Surya dan Pengaruhnya pada Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.). Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr. Ir Tania June, M.Sc sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah banyak memberi arahan dan bimbingan. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Balai Penelitian Tanaman Hias Cipanas beserta staf yang telah membantu selama penelitian di lapangan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri dan anak tercinta Diana Permata, S.Kg dan Aqilah Salsabila, atas segala pengorbanan dan dukungannya. Kepada ayahanda, ibunda serta adik-adik, Rahmi, Erza, Safwat, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga tesis ini bermanfaat.
Bogor, April 2005
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 8 Maret 1974 dari ayah Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, SH dan ibu Siti Hafsah. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Pada tahun 1992 melalui jalur UMPTN penulis diterima sebagai mahasiswa di Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun 2000 penulis bekerja di Universitas Djuanda dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke program magister pada Program Studi Agroklimatologi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1992 penulis diterima sebagai karyawan Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Kota Batam hingga sekarang.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL………………………………………………………..
iii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………….
iv
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………..
v
PENDAHULUAN………………………………………………………. Latar Belakang ……………………………….…………………. Tujuan Penelitian………………………………….……………..
1 1 5
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………... Intensitas Radiasi Surya…………………………….…………… Budidaya Tanaman Kentang………….…………..……………...
6 6 11
BAHAN DAN METODE……………………………………………….. Tempat dan Waktu Penelitian……………………………..……. Bahan dan Alat……………………………………………..…… Metode………………………………………………….……….
17 17 17 17
HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………. Hasil……………………………………………………….……. Iklim Makro………………………………………………… Pengurangan Intensitas Radiasi Surya…………………..… Periode Pengurangan Intensitas…………………………….. Efisiensi Pembentukan Umbi ………………………………. Pembahasan………………………………………………………
26 26 26 26 29 31 34
KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………….… Kesimpulan……………………………………………………… Saran……………………………………………………………..
38 38 39
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………
40
LAMPIRAN……………………………………………………………..
44
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
ILD, LDS dan Berat Kering Tanaman pada Berbagai Tingkat Intensitas Radiasi Surya…………………………………………...
27
2.
CGR dan NAR pada Berbagai Tingkat Intensitas Radiasi Surya…
28
3.
ILD, LDS dan Berat Kering Tanaman pada Berbagai Periode Pengurangan Intensitas……………………………………………
30
4.
CGR dan NAR pada Berbagai Periode Pengurangan Intensitas …
31
5.
Berat Umbi pada Berbagai Tingkat dan Periode Pengurangan Intensitas ………………………………………………………….
33
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Denah Percobaan ………………………………………………
21
2.
Denah Anak Petak……………………………………………..
22
3.
Beberapa Perlakuan (II I3S1 dan II I3S2) pada Umur 23 hst...
23
4.
Beberapa Perlakuan (II I3S3 dan II I0)
24
5.
Perlakuan II I2S2 pada Umur 23 hst………………………….
pada Umur 23 hst…
25
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Data Iklim Makro Lokasi Penelitian……………………………….
44
2.
Analisis Ragam Indeks Luas Daun pada 55 hst……………………
47
3.
Analisis Ragam Indeks Luas Daun pada 70 hst……………………
47
4.
Analisis Ragam Luas Daun Spesifik pada 55 hst…………………
47
5.
Analisis Ragam Luas Daun Spesifik pada 70 hst…………………
47
6.
Analisis Ragam Berat Kering Tanaman pada 55 hst……………..
48
7.
Analisis Ragam Berat Kering Tanaman pada 70 hst……………..
48
8.
Analisis Ragam Berat Kering Tanaman pada 85 hst……………..
48
9.
Analisis Ragam Laju Pertumbuhan Tanaman (CGR) pada 55 hst
48
10.
Analisis Ragam Laju Pertumbuhan Tanaman (CGR) pada 70 hst
49
11.
Analisis Ragam Laju Asimilasi Bersih (NAR) pada 55 hst………
49
12.
Analisis Ragam Laju Asimilasi Bersih (NAR) pada 70 hst………
49
13.
Analisis Ragam Berat Umbi per Tanaman pada 55 hst…………..
49
14.
Analisis Ragam Berat Umbi per Tanaman pada 70 hst…………..
50
15.
Analisis Ragam Berat Umbi per Tanaman pada 85 hst…………..
50
16.
Analisis Ragam Berat Kering Umbi pada 55 hst…………………
50
17.
Analisis Ragam Berat Kering Umbi pada 70 hst…………………
50
18.
Analisis Ragam Berat Kering Umbi pada 85 hst…………………
51
19.
Analisis Regresi Bobot Kering Umbi terhadap Bobot Kering Tanaman pada Intensitas 100%…………………………………...
20.
Analisis Regresi Bobot Kering Umbi terhadap Bobot Kering Tanaman pada Intensitas 75%……………………………………...
21.
Analisis Regresi Bobot Kering Umbi terhadap Bobot Kering Tanaman pada Intensitas 55%……………………………………... 52
22.
Analisis Regresi Bobot Kering Umbi terhadap Bobot Kering Tanaman pada Intensitas 25%……………………………………... 52
51 51
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kentang merupakan salah satu komoditas pertanian khususnya dari sub sektor tanaman holtikultura. Kentang berasal dari daerah tropika Amarika Selatan kemudian diintroduksikan ke daerah subtropis di Eropa dan berkembang di sana. Sejak tahun 1794 tanaman kentang sudah diusahakan di Indonesia yaitu di Cisarua Bandung dan pada tahun 1811 telah tersebar ke daerah lain terutama di daerah pegunungan di Indonesia. Secara nutrisi umbi kentang merupakan bahan yang paling seimbang dalam menyediakan kalori dan protein bagi kebutuhan manusia dibanding bahan pangan lainnya Kentang menjadi makanan pokok di banyak negara. Melihat kandungan gizinya, kentang merupakan sumber utama karbohidrat. Zat-zat gizi yang terkandung dalam 100 gram bahan adalah kalori 347 kal, protein 0,3 gram, lemak 0,1 gram, karbohidrat 85,6 gram, kalsium (Ca) 20 gram, fosfor (P) 30 mg, besi (Fe) 0,5 mg dan vitamin B 0,04 mg (Pennington, 2003). Hal tersebut menjadikan kentang sebagai prioritas alternatif yang mampu mensubstitusi kebutuhan pangan pokok masyarakat. Bahkan untuk kalangan tertentu (penderita diabetes), kentang merupakan makanan pokok untuk diet, karena kandungan kadar gulanya yang rendah. Kentang merupakan komoditas yang penting dan mampu berperan untuk memenuhi gizi masyarakat. Mengingat pola konsumsi masyarakat terhadap makanan terutama di perkotaan, menjadikan kentang sebagai menu makanan sehari-hari. Restoran fast food dan
berbagai jenis penganan juga menggunakan kentang sebagai bahan/menu utamanya. Berbagai kenyataan tersebut semakin menegaskan besarnya kebutuhan masyarakat terhadap kentang. Prospek penyerapan dan permintaan pasar terhadap komoditas kentang dari tahun ke tahun terus meningkat. Hal itu sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, tingkat pendidikan masyarakat yang lebih memahami peranan dan nilai-nilai gizi. Peningkatan pendapatan/daya beli masyarakat yang semakin membaik telah ikut serta mengubah preferensi (kesukaan) masyarakat terhadap kentang. Perkembangan berbagai industri pengolahan hasil-hasil pertanian, dimana kentang dapat diolah menjadi makanan kecil juga membuat permintaan terhadap kentang sebagai bahan baku terus meningkat. Walaupun tergolong tanaman yang berasal dari daerah sub tropis, kentang dapat tumbuh dengan baik pada dataran tinggi tropis. Suhu optimal pada tanaman kentang berkisar antara 18 - 21 °C, sehingga budidaya di Indonesia terbatas pada dataran tinggi dengan ketinggian ideal 1000 – 1300 m dpl, sedangkan pada beberapa varietas kentang dapat ditanam di dataran menengah 300 – 700 m dpl. Pengaruh iklim terhadap tanaman diawali oleh pengaruh langsung cuaca terutama pengaruh radiasi dan suhu terhadap fotosintesis, respirasi, transpirasi dan proses-proses metabolisme di dalam sel organ tanaman. Radiasi surya merupakan unsur iklim yang sangat berperan terhadap pertumbuhan tanaman, penyediaan atau pembentukan limbung dan sumber. Dalam proses fotosintesis, klorofil daun menyerap energi radiasi surya pada kisaran panjang gelombang PAR ( Photosynthetic Active Radiation) antara 0,38 – 0,70 µm.
Radiasi surya yang sampai ke permukaan tanaman tergantung pada intensitas radiasi surya langsung dan radiasi surya difusi. Jumlah energi radiasi yang berperan terhadap petumbuhan tanaman ditentukan oleh proporsi radiasi surya yang diserap oleh tanaman tersebut. Sampai dengan tahun 2000 perkembangan luas panen tanaman kentang mencapai 73.068 Ha, dengan total produksi 977.349 ton (BPS, 2000). Terdapat 4 provinsi utama penghasil kentang, yakni Jawa Barat, Sumatera Utara, Jawa Timur dan Jawa Tengah masing-masing dengan luas panen 27.778 Ha, 15.275 Ha, 7.551 Ha dan 1.176 Ha, dengan rata-rata produksi 16,7 ton, 14,1 ton, 10,8 ton dan 12,0 ton per hektar (Suryanto, 2003). Gambaran karakteristik tanaman yang tumbuh pada intensitas radiasi matahari rendah nampak subur dan rimbun karena daunnya lebih lebar, namun hasil panennya cenderung rendah. Fenomena ini tampak jelas pada tanaman padi IR 747B2-6 seperti dilaporkan oleh Yoshida (1981), bahwa berkurangnya intensitas radiasi sampai 25% pada fase pertumbuhan reproduksi dan pemasakan, tidak mempengaruhi indeks panen dan jumlah malai, namun akan menurunkan produksi gabah 40 sampai 50%. June (1999) mengambil contoh tanaman ketimun, pada intensitas tinggi maka jumlah sel dan volume sel daun bertambah dua kali yang selanjutnya akan meningkatkan Indeks Luas Daun (Leaf Area Indeks/LAI). Disamping itu lapisan palisade daun akan bertambah tebal sehingga meningkatkan ketebalan daun. Daun yang mempunyai lapisan palisade lebih tebal akan mempunyai kapasitas fotosintesis per cm2 lebih besar sehingga Laju Asimilasi Bersih (Net Assimilation Rate/NAR) meningkat dan Laju Pertumbuhan Relatif (Relatif Growth Rate/RGR) secara potensial bisa lebih
tinggi. Ditambahkan oleh Lawlor (1993), peningkatan intensitas radiasi akan diikuti laju pertukaran CO2, namun peningkatan intensitas selanjutnya justru akan mengurangi laju pertukaran CO2 sampai tingkat dimana pengambilan CO2 sama dengan pengeluarannya. Keadaan ini yang umumnya terjadi pada tanaman C3, disebut tingkat cahaya jenuh yakni kondisi dimana kenaikan intensitas tidak lagi diikuti laju pertukaran CO2. Sebaliknya, pada intensitas radiasi matahari yang sangat rendah, misalnya sepertiga dari intensitas maksimal pada siang hari, maka berat kering total tanaman akan turun sampai 38% dan berat kering batang, daun serta akar meningkat sampai 57%, dimana keadaan ini dapat menurunkan berat umbi sampai 80% (Burton,1966). Lebih lanjut Haeder dan Beringer (1983) menyatakan, pada intensitas radiasi dan suhu yang ideal, potensi hasil tanaman kentang dapat mencapai 100 ton per hektar. Suryanto (2003) melaporkan, produktivitas 10 varietas kentang pada luas daun 2,650 – 8,253 cm2 atau setara dengan nilai ILD 1,26 – 3,93, berkisar 11 – 27 ton per hektar. Produksi ini apabila ditinjau dari sisi penangkapan energi matahari, efisiensinya masih rendah, karena menurut Haeder dan Beringer (1983), pada kisaran ILD tersebut dapat dihasilkan umbi kentang sekitar 20 – 50 ton per hektar. Fenomena ini memperlihatkan bahwa intensitas terbaik bagi suatu tanaman adalah intensitas yang optimum, yakni tidak melewati batas kejenuhan cahaya dan tidak terlalu rendah.
Tujuan Penelitian
Menganalisis pengurangan intensitas radiasi surya dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kentang pada berbagai periode pertumbuhan.
TINJAUAN PUSTAKA
Intensitas Radiasi Surya Matahari sebagai pusat pergerakan planet bumi, memancarkan radiasinya dalam bentuk gelombang elektromagnetik. Radiasi matahari ini merupakan sumber tenaga atau sumber energi bagi gerak kehidupan planet bumi, diantaranya membentuk perilaku iklim dan memberikan kehangatan bagi organismenya. Radiasi matahari setelah diterima atmosfir bumi selanjutnya masuk dalam biosfir, di mana pada daerah ini terdapat tumbuhan, satu-satunya organisme bumi yang mampu mengubahnya menjadi energi kimia sehingga menjadi bermanfaat bagi organisme lainnya. Intensitas radiasi matahari pada batas atmosfir bumi teratas, besarnya sekitar 1.370 W m-2 atau sekitar 2 kal m-2 menit-1. Jones (1992) menjelaskan radiasi ini dikenal sebagai tetapan radiasi matahari (solar constant). Pengamatan dengan pyrheliometer pada satelit Nimbus 7 menunjukkan tetapan radiasi matahari berkisar 1.369-1.375 W m-2 atau rata-rata 1.373 W m-2 dengan kecenderungan penurunan sekitar 0,02% per tahunnya. Dari radiasi tersebut, hanya sebagian saja yang sampai di permukaan bumi, lainnya dipantulkan kembali ke angkasa sebagai akibat pembelokan lapisan atas atmosfir dan sebagian diserap oleh berbagai partikel yang ada di udara (Monteith, 1990). Lebih lanjut disebutkan pula bahwa sekitar 60-75% radiasi gelombang pendek yang diamati di Observatorium Kew (51,5 °LU), hilang di atmosfir akibat pemantulan dan penyerapan berbagai partikel, seperti uap air, awan, debu dan asap. Intensitas radiasi matahari yang jatuh dipermukaan bumi dipengaruhi
oleh musim, yakni terendah 2,2 MJ m-2 hari-1 pada musim dingin (25%) dan tertinggi 16,2 MJ m-2 hari-1 pada musim panas (40%). Besarnya intensitas radiasi di permukaan bumi tergantung dari lintang tempat, ketebalan awan, topografi dan musim. Adanya awan di atmosfir menyebabkan penerimaan radiasi matahari di permukaan bumi bervariasi, dari 40% di daerah basah dengan banyak awan sampai 80% di daerah gurun yang kering (Larcher, 1980). Sugito (1999) menjelaskan, dalam hubungannya dengan tanaman, radiasi matahari digolongkan menjadi tiga, yakni intensitas, kualitas dan fotoperiodisitas. Dari ketiganya, aspek intensitas yang banyak berperan dalam konversi energi matahari dibandingkan dengan dua aspek radiasi matahari lainnya. Jones (1992) menambahkan, radiasi matahari sampai pada permukaan daun tanaman dapat secara langsung atau tidak, dapat berupa gelombang pendek dan gelombang panjang yang diterima melalui penerusan atmosfir, pemantulan awan dan pemantulan dari permukaan tanah. Intensitas radiasi matahari adalah banyaknya energi yang diterima oleh suatu tanaman per satuan luas dan per satuan waktu. Adanya satuan waktu berarti dalam pengukuran ini termasuk pula lama penyinaran atau atau lama matahari bersinar dalam satu hari (Sugito, 1999). Selanjutnya Lawlor (1993) mengatakan, untuk mengukur energi digunakan satuan J m-2 detik-1 dimana 1 J detik-1 = 1 watt (W) ekivalen dengan W m-2. Jones (1992) menambahkan, dalam The International System of Units (SI), untuk mengukur intensitas digunakan satuan W m-2. Di Indonesia yang beriklim tropis, intensitas radiasi matahari dipengaruhi oleh musim, letak geografis dan ketinggian tempat. Pada musim hujan, dimana terdapat
banyak awan, penerimaan intensitas radasi matahari hanya berkisar 47%, namun pada musim kemarau di mana pembentukan awan relatif berkurang radiasi bisa mencapai 70% (Lawlor, 1993). Pada siang hari terik dan langit bersih di musim kemarau intensitas radiasi matahari dapat mendekati 10.000 fc (foot candle) atau sekitar 1,5 kal cm-2 menit-1 setara dengan 1.045,5 W m-2 (Nasir, 1999). Larcher (1980) mengatakan bahwa banyaknya gunung di daerah tropis mempengaruhi penerimaan intensitas radiasi matahari. Pada dataran tinggi, karena rendahnya derajat kekeruhan atau polusi udara, maka penerimaan intensitas radiasi matahari akan lebih besar bila dibandingkan dengan dataran rendah. Dijelaskan pula, intensitas radasi matahari mempengaruhi perkembangan morfologi dan fisiologi tanaman, yakni ciri struktural, kimia dan fungsional tanaman. Dezfouli dan Herbert (1992) menjelaskan bahwa pada bagian morfologi tanaman, intensitas radiasi tinggi akan menghasilkan luas daun yang lebih kecil dengan tinggi tanaman atau ruas batang yang lebih pendek, sedangkan pada fisiologinya akan meningkatkan jumlah dan ukuran sel, khloroplas, stomata, nisbah khlorofil a dan b, C dan N, kandungan antosianin, energi dari bahan kering dan berat kering tanaman. Pada ciri fungsional, intensitas radiasi tinggi akan meningkatkan laju fotosintesis, fotorespirasi dan transpirasi tanaman. Sebaliknya, kurangnya intensitas dari kebutuhan tanaman akan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat karena proses fotosintesisnya terganggu. Peningkatan intensitas radiasi matahari ternyata tidak bersifat linier dengan laju fotosintesis. Peningkatan intensitas radiasi hasil pantulan mulsa tidak meningkatkan laju fotosintesis secara proporsional pada tanaman kentang (Matheny,
et al,1992). Chang (1974) menambahkan, pada siang hari yang terik di musim kemarau dimana intensitas radiasi matahari dapat mencapai 1.071,9 W m-2, tanaman hanya memanfaatkan cahaya 25 - 60% sesuai dengan tingkat kejenuhan cahaya masing-masing tanaman. Energi matahari dipancarkan melalui radiasi matahari berupa gelombang elektromagnetik. Tanaman pertanian mengkonversi energi matahari yang jatuh di atas permukaan
daunnya,
menjadi
energi
kimia
dalam
proses
fotosintesis.
Hampir 80 - 90% bahan kering tanaman adalah hasil fotosintesis. Namun demikian, penangkapan energi matahari oleh tanaman pertanian, efesiensinya sangatlah rendah. Bila dihitung dari besarnya energi matahari yang jatuh pada daun dan bahan kering yang dihasilkan tanaman, maka efesiensi konversi energi pada berbagai tanaman hanya berkisar 1 – 2% saja. Rendahnya efisiensi konversi energi ini disebabkan oleh berbagai sebab, yakni adanya pemantulan dan penerusan energi matahari yang jatuh pada tajuk tanaman, penggunaan sebagian energi matahari untuk transpirasi serta pembongkaran kembali hasil fotosintesisi dalam proses respirasi (Jones, 1992). Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) sebagai salah satu tanaman C3 yang berasal dari daerah sub tropis dibudidayakan hampir di seluruh belahan dunia. Di daerah sub tropis produksinya sekitar 40 ton per ha dan bila semua unsur pertumbuhan tanaman dalam keadaan optimal, potensi produksinya cukup tinggi, yakni sekitar 100 ton per ha (Tanaka, 1983). Di Indonesia yang beriklim tropis, tanaman kentang dibudidayakan di dataran tinggi untuk mendapatkan lingkungan ideal bagi pertumbuhannya.
Pertumbuhan tanaman pada dasarnya menggunakan hasil transformasi energi matahari menjadi energi kimia. Sinclair dan Muchow (1999) menyebutkan bahwa transformasi energi ini terdiri atas tiga tahap, yakni penangkapan intensitas radiasi matahari oleh kanopi tanaman, konversi energi radiasi matahari menjadi energi kimia dalam bentuk ATP dan NADPH yang selanjutnya digunakan sebagai sumber energi untuk mengubah karbondioksida menjadi gula dan pati dalam reaksi gelap, serta pembagian fotosintat ke bagian tanaman yang bernilai ekonomis. Jones (1992) menambahkan, penambahan berat kering tanaman pada saat fase vegetatif, merupakan fungsi linier dari radiasi matahari yang diserap tanaman. Lebih lanjut dijelaskan pula oleh Sinclair dan Muchow (1999) bahwa peningkatan intensitas radiasi matahari tidak selalu proporsional dengan hasil bersih fotosintesis, hubungan kedua parameter tersebut umumnya bersifat hiperbola. Dalam hubungannya dengan produksi bahan kering, terdapat faktor fisik dan biologi yang menentukan laju pertumbuhan tanaman, seperti fraksi radiasi matahari yang dapat ditangkap kanopi tanaman, intensitas radiasi pada individu daun, ketahanan difusi stomata daun dan perilaku sistem fotokimia (Monteith, 1972, dalam Sinclair dan Muchow, 1999). Jones (1992) menjelaskan, peningkatan berat kering tanaman terutama selama saat fase vegetatif merupakan fungsi linier dari intensitas radiasi yang ditangkap tanaman. Dijelaskan pula bahwa absorpsi terbesar dari spektrum cahaya terletak pada bagian PAR sedangkan yang terendah pada bagian dekat infra merah (Jones, 1992).
Larcher (1980) menambahkan sekitar 70% PAR yang masuk ke mesofil diserap oleh kloroplas, yakni di klorofil dan karotenoid. Budidaya Tanaman Kentang Sejak ditemukan berabad tahun yang lalu di Pegunungan Andes, Amerika Selatan, tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) banyak dibudidayakan manusia untuk bahan pangan, terutama di benua Eropa. Saat ini, untuk memenuhi kebutuhan beragam pangan, tanaman kentang dibudidayakan hampir di seluruh belahan dunia, tidak hanya di benua Eropa, Amerika atau Australia, namun juga pada beberapa negara berkembang di Asia dan Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Produksi kentang di Asia menyumbang 30% produksi kentang dunia yang berkisar 274 juta ton (Schmiediche dan Braun, 1997). Dalam
dunia
tumbuhan,
kentang
diklasifikasikan
ke
dalam
divisi
Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, Kelas Dicotyledonae, famili Solanaceae, genus Solanum dan spesies Solanum tuberosum L. Kentang termasuk
jenis tanaman sayuran semusim, berumur pendek dan
berbentuk perdu/semak. Kentang termasuk tanaman semusim karena hanya satu kali berproduksi sedangkan umur tanaman kentang bervariasi antara 85 - 180 hari. Tanaman ini daunnya berwarna hijau dan kelabu yang tumbuh berselangseling. Daun berbentuk lonjong dengan ujungnya meruncing. Batang tanaman berbentuk segiempat, memiliki sifat agak keras tetapi tidak begitu kuat. Tanaman umumnya berbunga dan memiliki warna kuning, putih atau ungu. Bunga memiliki benang sari lima buah dan tangkai putiknya panjang.
Tinggi Tanaman kentang sekitar 50 – 100 cm dan diameter kanopi sekitar 50 cm. Batang utama tumbuh langsung dari umbi bibit sedangkan batang sekunder dan tersier tumbuh dari batang di bawah permukaan tanah. Pada umbi bibit yang berkualitas bagus, dari satu umbi dapat tumbuh sampai 10 batang utama. Daun berbentuk majemuk, terdiri atas petiole, daun terminal dan lateral, daun sekunder dan kadang-kadang terbentuk daun keempat (Lovatt, 1997). Stolon sudah tumbuh pada awal pertumbuhan tanaman, yaitu sekitar 7-10 hari setelah tanaman/tunas bibit muncul di permukaan tanah. Umbi akan terbentuk kira-kira pada akhir dari terbentuknya
kuncup
bunga
(Sutater,
1986).
Selanjutnya
Lovatt
(1997)
menambahkan, umbi berkembang dari stolon yang tumbuh dari batang utama atau batang sekunder. Umbi dapat dikatakan sebagai bagian dari batang yang digunakan untuk penimbunan karbohidrat. Dalam satu rumpun tanaman yang baik dapat diperoleh 30 umbi. Akar tanaman tanaman tumbuh dari umbi bibit dan terutama dari batang utama yang terletak di bawah permukaan tanah. Bibit tanaman kentang dapat berasal dari umbi, perbanyakan melalui stek batang dan stek tunas daun. Tanaman ini tumbuh subur pada tanah yang berstruktur remah, gembur, banyak mengandung bahan organik, berdrainase baik dan memiliki lapisan olah yang dalam. Sifat fisik tanah yang baik akan akan menjamin ketersediaan oksigen di dalam tanah. Tanah yang memiliki sifat ini adalah tanah andosol yang terbentuk di pegunungan-pegunungan. Keadaan pH tanah yang sesuai untuk tanaman kentang bervariasi antara antara 5,0 – 7,0. Pertumbuhan tanaman kentang dibagi menjadi 4 fase, yakni pertumbuhan vegetatif, inisiasi, pembesaran dan pemasakan umbi. Fase vegetatif dimulai sejak
muncul tunas sampai inisiasi umbi, biasanya memerlukan waktu 2 sampai 4 minggu tergantung varietas dan suhu udara. Pada suhu di atas 20 °C tanaman akan mempunyai pertumbuhan vegetatif
yang baik, namun pertumbuhan umbi akan
terhambat. Sebelum fase vegetatif dimulai, diperlukan waktu 2 – 5 minggu bagi tunas untuk muncul di permukaan tanah, tergantung kondisi umbi bibit, varietas dan suhu tanah. Fase inisiasi dan pembesaran umbi, berlangsung selama 7 – 8 minggu, dimulai dengan pembentukan stolon dan dilanjutkan dengan pembesarannya. Suhu yang ideal bagi pembentukan umbi adalah 15 – 20 °C, bila terjadi suhu rendah di bawah 15 °C maka laju pertumbuhan daun dan stolon akan terhambat. Pada beberapa varietas, saat inisiasi umbi ditandai dengan munculnya kuncup bunga. Fase pemasakan umbi memerlukan waktu 2 – 3 minggu. Terlihat tiga perubahan penting pada tanaman, yakni kulit umbi mulai terbentuk, berat kering umbi mencapai maksimum serta bagian atas tanaman mulai berwarna kekuningan dan mati. Kisaran waktu pertumbuhan tanaman sejak tanam hingga panen sekitar 13 – 20 minggu. (Lovatt, 1997). Lovatt (1997) menjelaskan, tanaman kentang yang ditanam pada suhu siang hari 40 °C dan suhu malam hari 30 °C mempunyai rasio berat kering batang dengan daun yang tinggi dan rasio berat kering umbi dengan daun dan batang yang rendah. Dijelaskan pula, pada suhu harian yang tinggi maka alokasi asimilat akan dominan pada bagian atas tanaman, yakni daun, batang dan cabang, sebaliknya pada suhu yang rendah alokasi asimilat pada bagian umbi.
Umbi kentang adalah bagian organ penyimpanan yang sangat aktif karena sejak awal pertumbuhan tanaman, fotosintat telah ditranslokasikan ke bagian umbi daripada ke batang dan pada akhir fase vegetatif, fotosintat yang berada di batang juga akan ditranslokasikan ke umbi sebagai bagian sink organ tanaman dalam bentuk pati. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa konversi fotosintat menjadi karbohiodrat dalam umbi kentang sangat tinggi, yakni 0,83 g karbohidrat per gram fotosintat. Hal ini karena pati adalah produk utama dari karbohidrat daripada selulosa. (Tanaka, 1983). Selanjutnya ditambahkan oleh Manrique dan Bartholomew (1991), bila pada malam hari suhu udara cukup tinggi maka pertumbuhan vegetatif terpacu tetapi translokasi fotosintat ke bagian umbi terhambat dan akhirnya akan menurunkan produksi umbi. Pada saat ini hampir seluruh areal tanaman kentang di Indonesia didominasi varietas Granola. Petani menyukai varietas ini karena ketahanan tanaman terhadap penyakit khususnya Phytopthora infestans, umur tanaman yang pendek, potensi produksi yang cukup tinggi serta kualitas umbi yang prima dan disukai konsumen. Disamping aneka varietas dengan berbagai bentuk tajuk (luas daun) dan produktivitas yang telah ada di Jawa Timur, cukup banyak pula varietas introduksi dengan potensi hasil tinggi, seperti Morene, Atlantic, Russet Burbank, Riverina Russet, Nadine, Deleware, Galloway, Sheperdy, Deesire dan lain sebagainya (Diperta, 2002). Dalam hubungannnya dengan produksi suatu tanaman, agar diupayakan nilai ILD optimal, yaitu keadaan dimana hasil fotosintesis yang lebih besar dibanding respirasi dan transpirasi. ILD optimal untuk tanaman padi adalah 5-6 dan ketela
pohon 3 - 3,5 sedangkan pada tanaman kentang nilai ILD 4 – 5 mampu memberikan hasil umbi sampai 50 ton/ha. (Haeder dan Beringer, 1983). Nilai ILD suatu tanaman sangat erat hubungannya dengan berat kering tanaman. Berat kering tanaman akan bertambah dengan meningkatnya ILD, namun bila ILD terus meningkat maka berat kering akan menurun. Turunnya berat kering ini disebabkan laju fotosintesis berkurang karena daun saling menaungi. (Tanaka, 1983). Dari penelitian Wheeler et al. (1991) pada tanaman kentang kultivar Russet Burbank, Norland, dan Denali, menunjukkan penurunan hasil umbi yang sangat nyata bila intensitas radiasi turun sampai separuhnya. Matheny et al. (1992) menjelaskan, produksi fotosintat pada tanaman kentang sangat dipengaruhi intensitas dan kualitas radiasi matahari yang diserap kanopi tanaman. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa intensitas radiasi aktif fotosintesis mempengaruhi laju fotosintesis sedangkan spektrum cahaya lebih mempengaruhi distribusi fotosintat ke berbagai organ tanaman. Menurut Burton (1989) kisaran intensitas radiasi surya rata-rata harian yang optimum bagi tanaman kentang berkisar antara 10 – 25 MJ m-2 hari-1. Dengan intensitas radiasi surya tersebut memungkinkan dapat tercapai titik kejenuhan cahaya untuk fotosintesis tanaman kentang sebesar 0,2 cal cm-2 menit-1. Ditambahkan oleh Tanaka (1983) panjangnya periode pertumbuhan dan lamanya pertumbuhan organ penimbunan fotosintat sangat berpengaruh dalam peningkatan
hasil
tanaman
umbi-umbian.
Menyimak
hasil
penelitian
Koesmaryono, et al. (1998) tentang pengaruh tingkat pencahayaan pada tanaman kedelai, tanaman dengan intensitas pencahayaan sangat rendah (25% dari intensitas
penuh) akan mempunyai kandungan nitrogen daun yang rendah dibanding tanaman dengan pencahayaan penuh (100%). Tanaman dengan pencahayaan sangat rendah, juga akan mempunyai daun yang tipis atau nilai LDS yang tinggi, dibanding dengan tanaman yang mendapat pencahayaan penuh. Dari penelitian ini disimpulkan terdapat hubungan yang erat antara hasil bersih fotosintesis tanaman dengan pencahayaan. Laju fotosintesis bersih tanaman akan menurun sejalan dengan berkurangnya pencahayaan. Lawlor (1993) menjelaskan, tanaman C3 mampu mencapai fotosintesis maksimum pada keadaan cahaya rendah, sebaliknya tanaman C4 akan lebih efisien fotosintesisnya jika cahaya bersinar penuh.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian lapangan dilaksanakan mulai Bulan Mei sampai Agustus 2004 di Balai Penelitian Tanaman Hias Cipanas, Jawa Barat. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit tanaman kentang varietas Granola, pupuk organik, pupuk anorganik (Urea/ZA, SP-36, dan KCl) dan pupuk cair serta paranet dengan persentase naungan 25%, 55% dan 75%. Alat-alat yang digunakan adalah tube solarimeter, digital volt meter, oven, ring sample, penggaris, cangkul, timbangan dan alat-alat tulis. Metode a.
Rancangan : Rancangan Petak Terbagi dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan dalam RPT disusun menurut Rancangan Acak Kelompok, diulang 3 kali.
b.
Perlakuan : Kontrol (I0) = Tanpa perlakuan tingkat intensitas 100 % Petak Utama : Tingkat Intensitas I1 = Intensitas 75% I2 = Intensitas 55% I3 = Intensitas 25% Anak Petak
: Periode Pengurangan Intensitas S1 = 0 – 85 hst (Selama Pertumbuhan) S2 = 0 – 40 hst (Awal Pertumbuhan) S3 = 40 – 85 hst (Akhir Pertumbuhan)
Model linier dari rancangan penelitian adalah : Yijk = µ + á1 + Ij + δij + Sk + ISjk + εijk
Keterangan simbol : Yijk = Pengamatan pada kelompok ke-i, intensitas ke-j dan saat naungan ke-k µ
= Rataan umum
á1
= Pengaruh kelompok ke-i
Ij
= Pengaruh intensitas taraf ke-j
Sk
= Pengaruh saat naungan ke-k
ISjk = Pengaruh interaksi intensitas taraf ke-j dan saat naungan ke-k δij
= Pengaruh galat petak utama
εijk = Pengaruh acak dari anak petak
c.
Pelaksanaan : Percobaan lapang dilakukan dengan menggunakan luas anak petak 15 m2 (5 x 3 m) dan jarak tanam 70 x 30 cm atau dengan populasi tanaman 47.000 tanaman per hektar. Pemeliharaan tanaman meliputi pemupukan, penyiangan, pembubunan, serta pengendalian hama dan penyakit. Perlakuan tingkat intensitas radiasi matahari dilakukan dengan memberi naungan buatan (paranet) di atas pertanaman setinggi 1,5 m.
d.
Pengamatan : Pengamatan tanaman meliputi, jumlah dan luas daun, berat kering daun, berat tanaman, berat kering tanaman, berat umbi per tanaman dan berat kering umbi per tanaman. Pengamatan tanaman dilakukan secara destruktif dengan mengambil 2 contoh tanaman secara acak dimulai sejak 55 hst (hari setelah tanam) kemudian dilanjutkan setiap 15 hari sekali sampai 85 hst. Pengamatan berat kering tanaman dengan mengeringkan tanaman dalam oven selama 5 - 7 hari pada suhu 80 °C, sampai didapatkan berat yang konstan. Dari data pengamatan tanaman dihitung : 1. Indeks Luas Daun (ILD) LD ILD = -----------A dimana : LD = luas daun total tanaman (cm2) A = luas tanah yang ditutupi daun (cm2)
2. Laju Pertumbuhan Tanaman (Crop Growth Rate = CGR) (W2 – W1) 1 CGR = -----------------------.------------------- g m-2 hari-1 (t2 – t1) GA dimana :
W1 = berat biomassa saat t1 W2 = berat biomassa saat t2 GA = luas area (m2)
3. Laju asimilasi bersih (Net Assimilation Rate = NAR) (W2 – W1) 1 NAR = --------------------- . ------------------ g m-2 daun hari-1 (t2 – t1) LD dimana :
W1 = berat biomassa saat t1 W2 = berat biomassa saat t2 LD = luas daun (m2)
4. Ketebalan daun (Specific Leaf Area) = SLA atau Luas Daun Spesifik = LDS ) : LD LDS = -------------- cm2 g-1 WL dimana :
LD = luas daun (cm2) WL = berat kering daun (g)
5. Efisiensi Pembentukan Umbi (EPU) (Effeciency of Storage Root Production = ESRP) Koefisien Regesi (nilai b) dari persamaan linier y = a + bx dimana y = berat kering umbi, x = berat kering tanaman. U
5M
I3S3
I3S2
I3SI
I2SI
I2S3
I2S2
I0
I1S3
I1S2
I1S1
I1SI
I1S2
I1S3
I0
I2SI
I2S3
I2S2
I3S3
I3S2
I3SI
I2S2
I2S3
I2S1
I1SI
I1S3
I1S2
I3SI
I3S2
I3S3
I0
1M
3M Gambar 1. Denah Percobaan
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
* 1
*
* 3
*
* 2
*
*
*
*
* P
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
70 CM
3M
30 CM
5M
Keterangan : * = tanaman kentang; 1-3 = pengamatan destruktif; P = panen Gambar 2. Denah Anak Petak
Gambar 3. Beberapa Perlakuan (II I3S1 dan II I3S2) pada Umur 23 hst
Gambar 4. Beberapa Perlakuan (II I3S3 dan II I0) pada Umur 23 hst
Gambar 5. Perlakuan II I2S2 pada Umur 23 hst
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Iklim Makro Berdasarkan data iklim makro dari Stasiun Meteorologi Balai Penelitian Bioteknologi (Balitbio) Pacet Jawa Barat (107° 00’ BT, 6° 44’ LS, 1120-1200 m dpl.), selama penelitian berlangsung (Mei – Agustus 2004) mempunyai suhu udara rata-rata 21,9 °C, curah hujan 319,5 mm, dan rata-rata RH 50%. Intensitas radiasi total 5.193, 38 W m-2 (Zainal, 2004). Dengan tipe iklim Cs menurut Koppen, tipe A menurut Schmidt dan Ferguson dan tipe B2 menurut Oldeman. Pengurangan Intensitas Radiasi Surya Peubah pertumbuhan tanaman pada perlakuan tingkat intensitas ini meliputi ILD, LDS, berat kering tanaman, CGR, dan NAR. Tabel 1 memperlihatkan, terdapat perbedaan antara tanaman yang mendapat perlakuan intensitas dengan tanaman kontrol (intensitas 100%), pada peubah LDS dan berat kering tanaman pada umur tanaman 55 hst. Diantara perlakuan intensitas, terdapat perbedaan antara tingkat intensitas pada peubah LDS pada 55 hst dan berat kering tanaman pada 55 dan 70 hst. Semakin rendah intensitas radiasi yang diterima oleh tanaman (intensitas 75%, 55%, dan 25%) akan berakibat peningkatan luas daun spesifik serta penurunan berat kering tanaman. Perlakuan tingkat intensitas tidak memberikan pengaruh yang nyata pada indeks luas daun.
Tabel 1. ILD, LDS dan Berat Kering Tanaman pada Berbagai Tingkat Intensitas Radiasi Surya Intensitas Radiasi Surya Komponen ILD LDS (cm2 g-1) BK Tanaman (g tan-1)
Umur (hst) 55 70 55 70 55 70
100% (Kontrol) 1,77a 1,82a 1,07a 1,67a 64,48bc 76,12ab
75%
55%
25%
2,07a 2,42a 1,46a 1,88a 82,96c 90,35b
2,10a 2,57a 1,73ab 2,05a 68,63b 87,55ab
2,85a 3,37a 2,45b 2,48a 48,99a 64,25a
Keterangan : · Bilangan-bilangan pada sesama baris yang ditandai huruf sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji Tukey pada taraf 5%
Pada 55 hst perlakuan intensitas 25% mempunyai luas daun spesifik lebih besar (2,45 cm2 g-1) dari pada perlakuan intensitas 75% (1,46 cm2 g-1) dan intensitas 100% (1,07 cm2 g-1). Jika dibandingkan dengan tanaman kontrol (1,07 cm2 g-1), perlakuan intensitas 75% dan 55% tidak memberikan perbedaan hasil yang nyata. Perlakuan tingkat intensitas mempengaruhi berat kering tanaman. Dengan semakin kecilnya intensitas radiasi yang diterima menyebabkan penurunan berat kering tanaman. Pada Tabel 1 di atas tampak bahwa saat tanaman berumur 55 hst perlakuan intensitas 75% (82,96 g) dan intensitas 55% (68,63 g) nyata lebih tinggi dari berat kering tanaman yang mendapat perlakuan intensitas 25% (48,99 g). Berat kering tanaman yang mendapat perlakuan intensitas 25% (64,48 g) berbeda nyata dengan tanaman kontrol (76,12 g). Pada saat tanaman berumur 70 hst perlakuan intensitas 75% mempunyai berat kering tanaman tertinggi (90,35 g) diikuti perlakuan intensitas 25% (64,25 g) tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan intensitas 55% (87,55 g). Jika dibandingkan dengan berat kering tanaman pada perlakuan intensitas 100%, taraf-taraf tingkat
intensitas yang dicobakan tidak menghasilkan berat kering tanaman yang berbeda (Tabel 1). Tabel 2 memperlihatkan, terdapat perbedaan antara tanaman yang mendapat perlakuan intensitas 25% dengan tanaman kontrol (intensitas 100%), pada peubah CGR dan NAR pada umur tanaman 70 hst. Diantara perlakuan intensitas, terdapat perbedaan antara tingkat intensitas pada peubah CGR pada umur tanaman 55 dan 70 hst dan NAR pada 70 hst. Semakin rendah intensitas radiasi yang diterima oleh tanaman (intensitas 75%, 55%, dan 25%) akan berakibat penurunan nilai CGR dan NAR. Tabel 2. CGR dan NAR pada Berbagai Tingkat Intensitas Radiasi Surya Intensitas Radiasi Surya Komponen Umur 100% 75% 55% (hst) (Kontrol) CGR (g m-2 hari-1) 55 6,56ab 6,61b 6,47ab 70 9,31bc 10,84c 7,3b NAR (g m-2 daun hari-1) 55 0,47a 0,47a 0,28a 70 0,71bc 0,75c 0,42b
25% 2,47a 4,73a 0,19a 0,19a
Keterangan : · Bilangan-bilangan pada sesama baris yang ditandai huruf sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji Tukey pada taraf 5%
Pada 55 hst perlakuan intensitas 75% mempunyai CGR lebih tinggi (6,61 g m-2 hari-1) dari pada perlakuan intensitas 25% (2,47 g m-2 hari-1). Pada 70 hst tanaman dengan perlakuan intensitas 75% (10,84 g m-2 hari-1) dan intensitas 55% (7,3 g m-2 hari-1) nyata mempunyai CGR lebih tinggi dari tanaman yang mendapat perlakuan intensitas 25% (4,73 g m-2 hari-1).
Pada NAR tampak bahwa saat tanaman berumur 70 hst perlakuan intensitas 75% (0,75 g m-2 daun hari-1) dan intensitas 55% (0,42 g m-2 daun hari-1) nyata lebih tinggi dari tanaman yang mendapat perlakuan intensitas 25% (0,19 g m-2 daun hari-1). Periode Pengurangan Intensitas Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa perlakuan periode pengurangan intensitas selama pertumbuhan akan berakibat peningkatan ILD dibandingkan dengan pengurangan intensitas pada fase awal atau akhir pertumbuhan baik pada umur tanaman 55 hst maupun 70 hst. Pada umur tanaman 70 hst pengurangan intensitas selama pertumbuhan nyata menghasilkan ILD yang yang lebih besar bila dibandingkan dengan tanaman kontrol (intensitas 100%). Ketebalan daun diukur melalui pengamatan LDS. Dari analisis ragam menunjukkan bahwa pada umur tanaman 55 hst pengurangan intensitas tidak berpengaruh nyata terhadap LDS. Pada umur tanaman 70 hst pengaruh nyata diperlihatkan
pada pengurangan
intensitas
selama pertumbuhan
dan
awal
pertumbuhan. Hasil uji Tukey pada Tabel 3. memperlihatkan bahwa LDS terbesar dicapai pada pengurangan intensitas selama pertumbuhan (2,55 cm2 g-1) yang tidak berbeda nyata dengan pengurangan intensitas akhir pertumbuhan (2,04 cm2 g-1), tetapi lebih besar dari pada pengurangan intensitas awal pertumbuhan (1,71 cm2 g-1). Jika dibandingkan dengan LDS pada tanaman kontrol, pengurangan intensitas selama pertumbuhan menghasilkan LDS yang berbeda (Tabel 3).
Tabel 3. ILD, LDS dan Berat Kering Tanaman pada Berbagai Periode Pengurangan Intensitas Periode Pengurangan Intensitas Komponen ILD LDS (cm2 g-1) BK Tanaman (g tan-1)
Umur (hst) 55 70 55 70 55 70
Tanpa Pengurangan (Kontrol) 1,77ab 1,82a 1,07a 1,67a 64,48ab 76,12ab
Selama Pertumbuhan
Fase Awal Pertumbuhan
Fase Akhir Pertumbuhan
2,86b 3,38b 2,17a 2,55b 62,58a 74,62a
2,03a 2,36a 1,61a 1,71a 74,44b 90,08b
2,14a 2,63a 1,85a 2,04ab 63,56a 77,44ab
Keterangan : · Bilangan-bilangan pada sesama baris yang ditandai huruf sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji Tukey pada taraf 5%
Perlakuan periode pengurangan intensitas mempengaruhi berat kering tanaman. Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa perlakuan periode pengurangan intensitas selama pertumbuhan akan berakibat penurunan berat kering tanaman dibandingkan dengan pengurangan pada fase awal baik pada umur tanaman 55 hst maupun 70 hst. Jika dibandingkan dengan berat kering tanaman pada tanaman kontrol, taraf-taraf tingkat pengurangan intensitas tidak menghasilkan berat kering tanaman yang berbeda (Tabel 3). Hasil analisis ragam memperlihatkan tanaman yang mendapat pengurangan intensitas selama pertumbuhan, mempunyai CGR dan NAR yang lebih kecil dibandingkan dengan tanaman yang mendapat pengurangan pada awal pertumbuhan. Jika dibandingkan dengan CGR dan NAR pada perlakuan kontrol maka perlakuan pengurangan intensitas, baik selama pertumbuhan, awal pertumbuhan, maupun akhir pertumbuhan tidak memberikan nilai yang berbeda nyata dengan perlakuan kontrol (Tabel 4).
Tabel 4. CGR dan NAR pada Berbagai Periode Pengurangan Intensitas Periode Pengurangan Intensitas Komponen
Umur (HST)
CGR (g m-2 hari-1) NAR (g m-2 daun hari-1)
55 70 55 70
Tanpa Pengurangan (Kontrol) 6,56ab 9,31ab 0,47ab 0,52ab
Selama Pertumbuhan
Fase Awal Pertumbuhan
Fase Akhir Pertumbuhan
3,39a 6,31a 0,19a 0,38a
7,58b 7,67b 0,52b 0,71b
6,35ab 6,84ab 0,28a 0,47ab
Keterangan : · Bilangan-bilangan pada sesama baris yang ditandai huruf sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji Tukey pada taraf 5%
Efisiensi Pembentukan Umbi (EPU) Efisiensi pembentukan umbi ditandai oleh seberapa kuat pengaruh berat kering tanaman terhadap berat kering umbi. Plot antara berat kering tanaman (BKT) dengan berat kering umbi (BKU) disajikan pada Gambar 6 dan 7. Berdasarkan plot tersebut ada kecenderungan bahwa hubungan antara berat kering umbi dengan berat kering tanaman membentuk pola hubungan linier.
Intensitas 75%
Inte ns ita s 1 0 0 % 110
Y = -5,350 + 0,927x R2 = 96,6%
100
B e r a t K e rin g U m b i (g /ta n )
B e ra t K e rin g U m b i (g /ta n )
120
80 60 40
EPU = 0,927
20
100 90 80 70 60
EPU = 0,824
50
0
40 20
40
60
80
100
120
50
60
70
B e ra t K e ring T a n a m a n (g/ta n)
80
90
100
110
120
B e r a t K e ring T a na m a n (g/ta n)
B e ra t K e rin g U m b i (g /ta n )
B e ra t K e rin g U m b i (g /ta n )
Gambar 6. HubunganInte Berat Tanaman dengan Berat Kering Umbi pada ns ita s Kering 55% Intensita s 2 5 % Intensitas 100%, 120 90 dan 75%. 100 80 60 40
Y = 9,207 + 0,673x R2 = 85,0%
20 40
60
80
80 70 60 50 40
Y = 7,616 + 0,646x R2 = 78,7%
30 20 100
B e ra t K e ring T a na m a n (g/ta n)
120
140
30
40
50
60
70
80
B e ra t K e ring T a na m a n (g/ta n)
90
100
110
EPU = 0,673
EPU = 0,646
Gambar 7. Hubungan Berat Kering Tanaman dengan Berat Kering Umbi pada Intensitas 55% dan 25%.
Hasil analisis regresi menunjukkan hubungan linier antara berat kering tanaman dengan berat kering umbi pada intensitas 100%, 75%, 55%, dan 25% berturut-turut mengikuti persamaan y = -5,350 + 0,927x ;
y = 0,803 + 0,824x ;
y = 9,207 + 0,673x ; y = 7,616 + 0,646x dengan koefisien determinasi sebesar 96,6% ; 77,9% ; 85,0% ; 78,7%. Persamaan ini menunjukkan nilai EPU pada intensitas 100%, 75%, 55%, dan 25% sebesar 0,927; 0,824; 0,673; 0,646. Dari nilai EPU dapat dilihat, setiap 1 gram penambahan berat kering tanaman mampu meningkatkan 0,927 gram berat kering umbi pada intensitas 100%, 0,824 gram berat kering umbi pada intensitas 75%, 0,673 gram berat kering umbi pada intensitas 55%, dan 0,646 gram berat kering umbi pada intensitas 25%.
Tabel 5. Berat Umbi pada Berbagai Tingkat dan Periode Pengurangan Intensitas Perlakuan Intensitas 100% Intensitas 75% Selama Pertumbuhan Fase Awal Pertumbuhan Fase Akhir Pertumbuhan Intensitas 55% Selama Pertumbuhan Fase Awal Pertumbuhan Fase Akhir Pertumbuhan Intensitas 25% Selama Pertumbuhan
Berat Umbi (g tan-1) 660.00c 391.67abc 593.33c 411.83bc 316.67ab 419.00bc 355.83abc 172.00a
Fase Awal Pertumbuhan Fase Akhir Pertumbuhan ·
329.33ab 301.67ab
Keterangan : Bilangan-bilangan pada sesama kolom yang ditandai huruf sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji Tukey pada taraf 5%
Perlakuan pengurangan intensitas mempengaruhi berat umbi total per tanaman. Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa perlakuan intensitas 75% baik pada fase awal pertumbuhan, fase akhir pertumbuhan maupun selama pertumbuhan tidak menurunkan berat umbi total per tanaman, demikian pula dengan intensitas 55%, pada fase awal dan fase akhir pertumbuhan tidak menurunkan berat umbi total per tanaman, namun pada intensitas 55% selama pertumbuhan dan intensitas 25% pada fase awal, fase akhir maupun selama pertumbuhan akan menurunkan berat umbi total per tanaman (Tabel 5).
Pembahasan Adanya penerimaan intensitas yang lebih rendah tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata pada indeks luas daun (ILD). Namun demikian ada kecenderungan bahwa perlakuan tingkat intensitas 55% dan 25% baik pada 55 hst maupun 70 hst pada umumnya mempunyai ILD yang lebih tinggi daripada perlakuan intensitas 75%. Perlakuan periode pengurangan intensitas memberikan perbedaan yang nyata pada nilai ILD terutama pada periode pengurangan selama pertumbuhan.
Kecenderungan ini disebabkan karena helaian daun yang bertambah lebar dan tipis, seperti ditunjukkan oleh peningkatan nilai LDS pada Tabel 1. Pada tabel tersebut terlihat, tanaman yang menerima intensitas rendah akan menghasilkan nilai LDS tinggi, yang berarti ketebalan daun semakin tipis. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Suryanto (2003) pada perlakuan intensitas sekitar 50% dengan berbagai saat intensitas umumnya mempunyai ILD dan LDS yang lebih tinggi daripada perlakuan intensitas 70%, demikian pula pada perlakuan intensitas 30% umumnya mempunyai ILD dan LDS lebih tinggi daripada intensitas 50%. Ditambahkan oleh Suryanto (2003) adanya kecenderungan peningkatan ILD dan LDS pada tanaman yang mendapat intensitas rendah akan menurunkan kandungan klorofil dan kerapatan stomata. Fenomena ini juga dilaporkan oleh Koesmaryono et al. (1998), bahwa pemberian intensitas 25% pada tanaman kedelai ternyata menurunkan kerapatan stomata dan tahanan stomata daun serta mempunyai daun yang tipis atau nilai LDS yang tinggi, dibanding dengan tanaman yang mendapat pencahayaan penuh (100%). Menurut Fitter dan Hay (1991) hal ini terjadi karena pengurangan lapisan palisade daun, dari dua atau tiga sel menjadi satu sel. Ditambahkan oleh Lawlor (1993) tanaman yang ternaungi akan mengurangi ketebalan jaringan palisade dan mesofil pada sejumlah lapisan sel. Sel mesofil menjadi kecil dan dinding sel menjadi lebih tipis serta ruang udara antar sel menjadi lebih rapat. Peubah Crop Growth Rate (CGR) digunakan untuk mengetahui kecepatan tumbuh tanaman pada periode tertentu selama pertumbuhannya per satuan luas lahan. Kecepatan tumbuh tanaman sangat dipengaruhi oleh perubahan faktor lingkungan. Pada perlakuan penerimaan intensitas CGR menurun sejalan dengan rendahnya
tingkat intensitas seperti ditunjukkan pengamatan 55 hst dan 70 hst. Pada pengamatan tersebut tampak pula bahwa intensitas 25% mempunyai CGR paling rendah. Pada perlakuan periode pengurangan, pengurangan intensitas selama pertumbuhan akan memberikan nilai CGR yang rendah. Pola yang hampir sama dengan CGR terjadi pada NAR, dimana hasilnya akan turun bila pengurangan intensitas diberikan selama pertumbuhan serta intensitas yang diterima rendah. Kejadian ini juga dilaporkan oleh Suryanto (2003) bahwa CGR dan NAR menurun sejalan dengan rendahnya tingkat intensitas pada tanaman kentang. Salisbury dan Ross (1992) menjelaskan intensitas radiasi matahari yang rendah mengakibatkan kandungan klorofil daun berkurang dan selanjutnya menurunkan laju fotosintesis dan akumulasi fotosintat pada organ penyimpan. Keadaan ini terlihat pula dari berat kering total tanaman yang rendah pada semua perlakuan pengurangan intensitas (Tabel 1 dan 3). Larcher (1980) menyebutkan, sebagai tanaman C3 tanaman masih mampu melakukan fotosintesis optimal pada tingkat cahaya 30 – 50%, namun bila intensitas yang diterima semakin rendah maka akan mengganggu proses fotosintesis dan translokasi fotosintat. Pengaruh rendahnya intensitas pada akhirnya sangat mempengaruhi berat kering total tanaman, seperti perlakuan intensitas 25% yang umumnya mempunyai berat kering total tanaman terendah. Keadaan ini akhirnya akan menurunkan pula berat umbi total per tanaman. Kuantitas hasil, yakni berat umbi per tanaman pada percobaan menunjukkan, bila penerimaan intensitas semakin rendah dan semakin lama periode pengurangan maka akan menurunkan berat umbi total per tanaman (Tabel 5). Adanya pengurangan intensitas ini akan mengakibatkan ketebalan daun, kandungan klorofil dan kerapatan
stomata berkurang dan selanjutnya menghambat laju fotosintesis, seperti ditunjukkan dengan nilai CGR dan NAR yang rendah (Tabel 2 dan 4). Hal serupa dilaporkan oleh Suryanto (2003) pada penerimaan intensitas sekitar 70% tidak menurunkan berat umbi total, namun pada intensitas 50 dan 30% apalagi terjadi sepanjang fase pertumbuhan tanaman akan menurunkan berat umbi total sekitar 46%. Hal yang sama juga dilaporkan Koesmaryono et al. (1998) pada tanaman kedelai dengan tingkat intensitas 25%, dimana jumlah stomata, kandungan N dan ketebalan daunnya akan berkurang dan selanjutnya menghambat laju fotosintesis tanaman. Terhambatnya laju fotosintesis akan menurunkan laju translokasi fotosintat pada sink organ dalam hal ini umbi tanaman kentang. Keadaan seperti ini dikemukakan juga oleh Mills (2001) bahwa pembentukan umbi sangat dipengaruhi intensitas radiasi matahari, suhu dan kelembaban. Bila intensitas radiasi rendah maka kandungan klorofil daun berkurang yang mengakibatkan translokasi asimilat ke bagian umbi terganggu dan akhirnya umbi yang terbentuk cenderung kecil. Menurut Suryanto (2003) menurunnya hasil umbi dapat diatasi dengan cara penambahan magnesium dalam bentuk pupuk. Pada intensitas 100% dan 70%, pemberian 50 dan 100 Mg kg per ha dapat meningkatkan berat umbi total sampai 62%, namun bila intensitas kurang sampai 50% pemberian Mg tidak mampu lagi meningkatkan berat umbi. Ditambahkan oleh Suwandi et al. (1996), pemberian magnesium sebanyak 25 kg per hektar pada tanaman tomat yang ditanam pada musim penghujan atau pada intensitas radiasi yang relatif rendah mampu meningkatkan hasil buah serta mutu buah tomat, sedangkan pada tanaman kentang penggunaan 50 kg Mg per hektar, memberikan hasil umbi yang lebih baik daripada tanpa pemberian magnesium, sedangkan pada tanaman kacang tanah,
menurut Suntoro (2000) pemupukan Mg dalam bentuk dolomit dengan dosisi 425 kg per hektar, mampu meningkatkan hasil biji sebesar 6,51%. Hubungan berat kering tanaman dengan berat kering umbi antara tanaman kontrol dengan perlakuan intensitas mempunyai Efisiensi Pembentukan Umbi (EPU) yang lebih rendah daripada kontrol. Diantara tanaman yang mendapat perlakuan intensitas, nilai EPU semakin kecil seiring dengan rendahnya penerimaan intensitas (Gambar 6 dan 7). Suryanto (2003) menjelaskan bahwa nilai EPU akan semakin menurun dengan semakin berkurangnya intensitas radiasi yang dapat mengakibatkan menurunnya laju fotosintesis tanaman. Terhambatnya laju fotosintesis akan menurunkan laju translokasi fotosintat pada sink organ dalam hal ini umbi. Pada tanaman
kentang,
umbi
(Wheeler et al., 1991).
merupakan
80%
bagian
berat
kering
tanaman
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Adanya pengurangan intensitas radiasi tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata pada indeks luas daun (ILD). Namun demikian ada kecenderungan bahwa pengurangan intensitas 55% dan 25% baik pada 55 hst maupun 70 hst pada umumnya mempunyai ILD yang lebih tinggi daripada perlakuan intensitas 75%. Perlakuan periode pengurangan intensitas memberikan perbedaan yang nyata pada nilai ILD terutama pada pengurangan selama pertumbuhan. 2. Dengan semakin menurunnya tingkat intensitas radiasi surya nilai luas daun spesifik (LDS) semakin besar. Pada pengamatan 70 hst nilai LDS mempunyai nilai yang lebih besar pada pengurangan intensitas selama fase pertumbuhan dibandingkan pengurangan pada fase awal pertumbuhan. 3. CGR menurun sejalan dengan pengurangan intensitas radiasi surya seperti ditunjukkan pada pengamatan 55 dan 70 hst, demikian pula pada perlakuan pengurangan intensitas selama fase pertumbuhan. Pola yang hampir sama dengan CGR terjadi pada NAR, dimana hasilnya akan turun bila intensitas yang diterima dikurangi. 4. Berat umbi per tanaman pada percobaan menunjukkan, penerimaan intensitas 75% baik pada fase awal, fase akhir maupun selama pertumbuhan tidak menurunkan berat umbi total per tanaman, demikian pula dengan intensitas 55%, pada fase awal dan fase akhir pertumbuhan tidak menurunkan berat umbi total per
tanaman, namun pada intensitas 55% selama pertumbuhan dan intensitas 25% pada fase awal, fase akhir maupun selama pertumbuhan dapat menurunkan berat umbi total per tanaman. 5. Terdapat kering
hubungan umbi
mengikuti
linier antara
pada
persamaan
y = 9,207 + 0,673x ; masing sebesar 0,927;
berat
kering tanaman
dengan berat
intensitas 100%, 75%, 55%, dan 25% berturut-turut y = -5,350 + 0,927x ; y = 7,616 + 0,646x,
dengan
y = 0,803 + 0,824x ; nilai
EPU
masing-
0,824; 0,673; 0,646.
Saran Untuk menjaga agar berat umbi tetap baik pada penerimaan intensitas cahaya yang relatif rendah dapat diberikan magnesium dalam bentuk pupuk yang diharapkan dapat mengeliminir kehilangan klorofil daun sehingga dapat menjaga hasil umbi tanaman kentang.
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2000. Harvest Area, Production and Yield of Potatoes. www.bps.go.id Burton WG. 1989. The Potato. 3rd ed. New York: John Wiley & Sons. Burton WG. 1966. The Potato. A Survey of its History and Factors Influecing its Yield, Nutrive Value, Quality and Storage. Holland: H. Veenan & Zonen NV. Chang Jen Hu. 1974. Climate and Agriculture. An Ecological Survey. Univ. of Hawai. Chicago: Aldine Pub. Co. Dezfouli AH, SJ Herbert. 1992. Intensifying Plant Density Response of Corn with Artificial Shade. Agron J 84:547-551. [Diperta Jatim] Dinas Pertanian Jawa Timur. 2002. Laporan Kunjungan ke Australia Barat : Pelatihan Petani Hortikultura Jawa Timur di Australia Barat. Surabaya: Dinas Pertanian Tingkat I Jawa Timur. Fitter AH, RK.M Hay. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Terjemahan Sri Andani dan E.D. Purbayanti. Yogyakarta: Gajah Mada Univ.Press. Haeder HE, H Beringer. 1983. Potato. Symposium on Potential Productivity of Filed Crops Under Different Environment. Philippines: IRRI Los Banos. Jones HG. 1992. Plants and Microclimate. A Quantitative Approach to Environmental Plant Physiology. 2nded. New York: Cambridge Univ. Press. June T. 1999. Ekofisiologi Tanaman. Kapita Selecta Agroklimatologi. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Koesmaryono Y, H Sugimoto D. Ito, T Sato, T Haseba. 1998. Photosynthetic and Transpiration Rates of Soybean as Affected by Different Irradiances During Growth. Photosynthetica 35 (4):573-578. Koesmaryono Y. 1999. Tanggap Fotosintesis terhadap Lingkungan. Di dalam : Yonny Koesmaryono, Impron, Y. Sugiarto, editor. Kumpulan Makalah Pelatihan Dosen-Dosen Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Barat Dalam Bidang Agroklimatologi; Bogor, 1-12 Februari 1999. Bogor:Bagpro Peningkatan Kualitas SDM-Jurusan Geofisika dan Meteorologi Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor. hlm 166-178. Larcher W. 1980. Physiological Plant Ecology. New York: Trans. M.A. BiedermanThorson. Lawlor DW. 1993. Photosynthesis, Molecular, Physiological, and Environmental Processes. Hongkong: Longman Sci. Tech. Lovatt J. 1997. Potato Information Kit. The Agrilink Series. Queensland: The State of Queensland, Department of Primary Industries. Manrique LA, DP Bartholomew. 1991. Growth and Yield Performance of Potato Growth at Three Elevations in Hawaii: II Dry Matter Production and Efficiency of Partitioning. Crop. Sci 31:367-372. Matheny TA, PG Hunt, MJ Kasperbauer. 1992. Potato Tuber Production in Response to Reflected Light from Different Colored Mulches. Crop. Sci 32:1021-1024. Mills HA. 2001. Potato (Solanum tuberosum L.) UGA Horticulture. Univ. Of Georgia. www. uga.edu/vegetable/potato. Monteith JL, MH Unsworth. 1990. Principles of Environmental Physics. 2nded. New York: Chapman and Hall Inc. Nasir AA. 1999. Hubungan Iklim dan Tanaman. Kapita Selecta Agroklimatologi. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Pennington, J.A.T. 2003. Variability of Minerals in Foods. Paper P6-2. http://www/nal.usda.gov/fnic/foodcomp/conf/NDBC21/p6-2.pdf Salisbury FB, CW Ross. 1992. Plant Physiologi. 4th ed. Wadsworth Publishing Co. Schmiediche PE, AR Braun. 1997. Potatoes in Asia. A Growing Proposition. The International Potato Centre. www.cipotatoes.easap.org. Sinclair TR, T Horie. 1989. Leaf Nitrogen Photosynthesis and Crop Radiation Use Efficiency [A Review]. Crop. Sci 29:90-98. Sugito Y. 1999. Ekologi Tanaman. Malang: Universitas Brawijaya, Fakultas Pertanian. Suntoro. 2000. Pengaruh Residu Penggunaan Bahan Organik, Dolomit, dan KCl pada Tanaman Kacang Tanah (Arachis hypogea L.) di Oxic Dystrudepts Jumapolo Karanganyar. Habitat (12) 3:164-170. Suryanto A. 2003. Peningkatan Efisiensi Energi Tanaman pada Pertanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) di Dataran Tinggi melalui Perbaikan Teknik Budidaya [disertasi]. Malang: Universitas Brawijaya, Program Pascasarjana. Suwandi et al. 1996. Pengaruh Waktu Aplikasi Sulfomag dan Dosis NPK terhadap Pertumbuhan serta Hasil Tomat dan Kentang. Seminar Sehari Aplikasi Pupuk SKMg. Jakarta: Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Sutater T. 1986. Modifikasi Lingkungan Mikro pada Tanaman Kentang [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pascasarjana. Tanaka A. 1983. Physiological Aspect of Productivity in Fields Crops. Symposium on Potential Productivity of Field Crops under Different Environment. Philippines: IRRI, Los Banos.
Wheeler RM, TW Tibbits, AH Fizpatrick. 1991. Carbon Dioxide Effects on Potato Growth under Different Photoperiods and Irradiance. Crop Sci 3:1209-1213. Yoshida S. 1981. Fundamental of Rice Science. Phippines: IRRI Los Banos. Zainal E. 2004. Efek Penggunaan Berbagai Warna Mulsa Plastik pada Iklim Mikro, Ukuran Umbi dan Produksi Tanaman Kentang var. Granola (Solanum Tuberosum) [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Sekolah Pascasarjana.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Iklim Makro Lokasi Penelitian Temperatur (°C) Tanggal
Curah Hujan (mm) Ditakar Jam 07.00
Penyinaran Matahari (%) 08.00-16.00
7.00
13.00
18.00
Rata-Rata
Max
Min
1
2
3
4
5
6
7
8
29 Mei
20,0
24,6
22,0
22,2
25,2
15,4
-
58
30 Mei
19,2
25,0
23,0
22,4
25,2
15,4
-
58
31 Mei
20,0
24,8
21,8
22,2
25,2
15,4
-
68
1 Juni
19,4
24,8
21,8
22,0
25,4
16,0
-
-
2 Juni
20,2
23,8
22,0
22,0
25,4
16,0
-
-
3 Juni
14,2
24,0
21,6
21,6
25,4
16,0
-
-
4 Juni
19,4
24,2
21,8
21,8
25,4
16,0
-
-
5 Juni
20,4
23,6
21,4
21,8
25,4
16,0
-
-
6 Juni
20,2
24,2
21,6
22,0
25,4
16,0
-
-
7 Juni
19,8
24,6
22,0
22,1
25,4
16,0
-
-
8 Juni
20,0
23,6
21,8
21,8
25,4
15,4
-
-
9 Juni
20,2
24,8
22,0
22,3
25,4
15,4
16,0
-
10 Juni
18,8
23,6
21,6
21,3
25,4
15,4
-
-
11 Juni
20,2
24,6
22,0
22,3
25,4
15,4
2,0
-
12 Juni
20,4
23,8
21,6
21,9
25,0
15,4
-
-
13 Juni
19,8
24,6
22,0
22,1
25,0
15,4
12,2
-
14 Juni
20,2
24,2
21,6
22,0
25,0
15,2
-
-
15 Juni
20,0
24,2
22,0
22,1
25,0
15,2
-
-
16 Juni
20,2
23,8
20,8
21,6
25,0
15,2
-
-
17 Juni
20,0
24,0
21,4
21,8
25,0
15,2
-
-
18 Juni
20,2
24,6
22,6
22,5
25,0
15,2
-
-
19 Juni
20,4
25,0
22,8
22,7
25,2
15,4
-
-
20 Juni
20,4
24,4
21,6
22,1
25,2
15,4
-
-
21 Juni
20,0
24,6
22,0
22,3
25,2
15,4
-
-
22 Juni
19,8
24,0
21,8
21,9
25,2
15,4
-
-
23 Juni
19,6
24,2
22,0
21,9
25,0
15,4
12,4
-
24 Juni
19,8
23,4
21,6
21,6
25,0
15,4
3,6
-
25 Juni
19,6
24,2
22,0
21,9
25,0
15,4
21,6
-
26 Juni
19,8
24,8
22,0
22,2
25,4
15,4
8,3
-
27 Juni
20,2
25,0
21,8
22,3
25,4
15,4
-
-
28 Juni
20,0
25,2
22,4
22,5
25,6
15,4
-
-
Sumber : Stasiun Meteorologi Pacet Cipanas Jawa Barat (SMPK.KPPS) (6°44’ LS, 107 ° BT, 1.120-1200 m dpl)
Lanjutan Lampiran 1. Data Iklim Makro Lokasi Penelitian
7.00
13.00
18.00
Rata-Rata
Max
Min
Curah Hujan (mm) Ditakar Jam 07.00
1
2
3
4
5
6
7
8
29 Juni
19,4
25
21,8
22,1
25,6
15,4
-
-
30 Juni
20,0
25
22,0
22,3
25,6
15,4
-
-
1 Juli
19,8
24,4
21,8
22,0
25,2
15,4
-
50
2 Juli
19,6
23,6
22,0
21,7
25,2
15,4
-
46
3 Juli
20,6
22,8
21,8
21,7
25,6
15,4
10,6
73
4 Juli
19,8
23,8
21,4
21,7
25,6
15,4
2,1
38
5 Juli
19,8
24,4
21,6
21,9
25,6
15,4
-
42
6 Juli
20,2
23,8
20,8
21,6
25,0
16,0
-
41
7 Juli
20,2
22,4
21,2
21,3
25,0
16,0
-
52
8 Juli
20,0
24,6
21,8
22,1
25,0
16,0
3,8
26
9 Juli
20,2
24,4
22,0
22,2
25,2
16,0
4,1
25
10 Juli
19,8
23,8
21,6
21,7
25,2
16,0
12,4
37
11 Juli
20,2
22,8
20,4
21,1
25,2
16,0
-
42
12 Juli
20,2
22,4
20,8
21,1
25,2
16,2
-
52
13 Juli
19,8
24,2
22,4
22,1
25,2
16,2
-
42
14 Juli
19,6
24,6
21,8
22,0
25,2
16,2
6,2
48
15 Juli
19,8
24,2
22,0
22,0
25,2
16,2
-
52
16 Juli
20,2
24,4
22,6
22,4
25,2
15,0
3,0
52
17 Juli
20,0
23,8
21,8
21,9
25,4
15,0
-
47
18 Juli
20,4
23,6
22,0
22,0
25,4
15,0
-
42
19 Juli
19,6
24,2
21,8
21,9
25,4
15,0
-
39
20 Juli
20,0
23,6
22,0
21,9
25,4
15,0
-
43
21 Juli
20,2
24,2
21,6
22,0
25,4
15,0
-
52
22 Juli
20,0
24,6
22,0
22,2
25,4
15,0
-
55
23 Juli
19,6
24,4
21,8
21,9
25,4
15,0
-
45
24 Juli
19,4
24,6
22,2
22,1
25,6
15,4
-
42
25 Juli
19,6
23,8
21,6
21,7
25,2
15,4
-
40
26 Juli
20,0
24,2
22,0
22,1
25,2
15,4
-
38
27 Juli
19,6
23,6
21,2
21,5
25,2
15,4
-
36
28 Juli
19,8
23,2
22,0
21,7
25,2
15,4
-
40
Temperatur (°C) Tanggal
Sumber : Stasiun Meteorologi Pacet Cipanas Jawa Barat (SMPK.KPPS) (6°44’ LS, 107 ° BT, 1.120-1200 m dpl)
Lanjutan Lampiran 1. Data Iklim Makro Lokasi Penelitian
Penyinaran Matahari (%) 08.00-16.00
7.00
13.00
18.00
Rata-Rata
Max
Min
Curah Hujan (mm) Ditakar Jam 07.00
1
2
3
4
5
6
7
8
29 Juli
20,4
22,8
21,4
21,5
25,2
15,4
48
48
30 Juli
19,2
22,4
20,0
20,5
25,2
15,4
52
52
31 Juli
19,8
24,4
22,0
22,1
25,2
15,4
55
55
1 Agust
20,2
23,8
22
22
25,2
15,4
-
45
2 Agust
19,2
23,6
21,4
21,4
25,2
15,4
-
42
3 Agust
20,0
24,2
22,4
22,2
25,4
15,6
-
43
4 Agust
20,4
24,4
22,0
22,3
25,4
15,6
-
45
5 Agust
19,2
24,0
21,6
21,6
25,4
15,6
-
45
6 Agust
20,0
24,2
23,0
22,4
25,4
15,6
-
46
7 Agust
19,8
24,2
22,4
22,1
25,4
15,6
-
52
8 Agust
19,8
24,6
23,0
22.5
25,4
15,6
-
53
9 Agust
20,8
25,0
22,8
22,9
25,4
15,6
-
53
10 Agust
19,4
23,8
21,4
21,5
24,8
15,0
-
40
11 Agust
20,4
24,8
22,6
22,6
25,0
15,0
-
50
12 Agust
20,2
22,6
21,4
21,4
25,0
15,0
-
43
13 Agust
20,0
24,4
22,0
22,1
25,0
15,0
-
32
14 Agust
19,8
24,6
22,3
22,2
25,0
15,0
-
45
15 Agust
19,6
22,4
21,6
21,2
25,0
15,0
-
45
16 Agust
19,8
22,6
22,0
21,5
25,2
15,2
-
40
17 Agust
19,2
23,0
21,6
21,3
25,2
15,2
-
52
18 Agust
18,8
23,4
22,0
21,4
25,2
15,2
-
52
19 Agust
19,8
23,6
21,3
21,6
25,2
15,2
-
40
20 Agust
19,6
23,2
21,6
21,5
25,2
15,2
-
40
21 Agust
18,8
23,4
21,3
21,2
25,2
15,2
-
52
22 Agust
18,6
24,4
22,0
21,7
25,2
15,2
-
52
23 Agust
19,4
25,2
23,0
22,5
25,2
15,2
-
55
24 Agust
19,4
23,6
22,0
21,7
25,2
15,2
-
52
Temperatur (°C) Tanggal
Sumber : Stasiun Meteorologi Pacet Cipanas Jawa Barat (SMPK.KPPS) (6°44’ LS, 107 ° BT, 1.120-1200 m dpl)
Penyinaran Matahari (%) 08.00-16.00
Lampiran 2. Analisis ragam Indeks Luas Daun pada 55 hst Sumber Kelompok I Galat(a) S I*S Galat(b) Total
DB 2 2 4 2 4 12 26
JK 1.6199 3.5246 2.6296 3.7152 1.2310 9.2560 21.9763
KT 0.8100 1.7623 0.6574 1.8576 0.3077 0.7713
F 1.23 2.68
P 0.384 0.184
2.41 0.40
0.032 0.807
Lampiran 3. Analisis ragam Indeks Luas Daun pada 70 hst Sumber Kelompok I Galat(a) S I*S Galat(b) Total
DB 2 2 4 2 4 12 26
JK 2.024 4.718 5.863 5.021 1.696 14.117 33.439
KT 1.012 2.359 1.466 2.510 0.424 1.176
F 0.69 1.61
P 0.554 0.305
2.13 0.36
0.041 0.833
Lampiran 4. Analisis Ragam Luas Daun Spesifik pada 55 hst Sumber Kelompok I Galat(a) S I*S Galat(b) Total
DB 2 2 4 2 4 12 26
JK 0.9339 4.7370 0.9614 1.4326 0.8728 2.4179 11.3555
KT 0.4669 2.3685 0.2403 0.7163 0.2182 0.2015
F 1.94 9.85
P 0.257 0.028
3.55 1.08
0.049 0.408
Lampiran 5. Analisis Ragam Luas Daun Spesifik pada 70 hst Sumber Kelompok I Galat(a) S I*S Galat(b) Total
DB 2 2 4 2 4 12 26
JK 0.5728 1.1812 1.3270 3.2353 0.9609 4.1802 11.457
KT 0.2864 0.5906 0.3318 1.6176 0.2402 0.3483
F 0.86 1.78
P 0.488 0.280
4.64 0.69
0.032 0.613
Lampiran 6. Analisis Ragam Berat Kering Tanaman pada 55 hst Sumber Kelompok I Galat(a) S I*S Galat(b) Total
DB 2 2 4 2 4 12 26
JK 254.5 3810.5 740.6 2410.4 3729.2 4594.2 15539.5
KT 127.2 1905.3 185.2 1205.2 932.3 382.9
F 0.69 10.29
P 0.555 0.027
3.15 2.44
0.049 0.105
Lampiran 7. Analisis Ragam Berat Kering Tanaman pada 70 hst Sumber Kelompok I Galat(a) S I*S Galat(b) Total
DB 2 2 4 2 4 12 26
JK 188.2 3695.5 1056.1 1220.4 750.0 5136.0 12046.2
KT 94.1 1847.8 264.0 610.2 187.5 428.0
F 0.36 7.00
P 0.720 0.045
1.43 0.44
0.278 0.049
Lampiran 8. Analisis Ragam Berat Kering Tanaman pada 85 hst Sumber Kelompok I Galat(a) S I*S Galat(b) Total
DB 2 2 4 2 4 12 26
JK 1094.9 5235.9 130.9 780.7 1135.6 1845.3 10223.3
KT 547.5 2618.0 32.7 390.3 283.9 153.8
F 16.73 80.02
P 0.011 0.001
2.54 1.85
0.020 0.185
Lampiran 9. Analisis Ragam Laju Pertumbuhan Tanaman (CGR) pada 55 hst Sumber Kelompok I Galat(a) S I*S Galat(b) Total
DB 2 2 4 2 4 12 26
JK 18 299 4474 11 229 14113 19143
KT 9 149 1118 5 57 1176
F 0.01 0.13
P 0.043 0.039
0.00 0.05
0.048 0.048
Lampiran 10. Analisis Ragam Laju Pertumbuhan Tanaman (CGR) pada 70 hst Sumber Kelompok I Galat(a) S I*S Galat(b) Total
DB 2 2 4 2 4 12 26
JK 4430.3 19.9 4413.0 90.4 378.6 6413.1 15745.2
KT 2215.1 10.0 1103.3 45.2 94.6 534.4
F 2.01 0.01
P 0.249 0.041
0.08 0.18
0.039 0.946
Lampiran 11. Analisis Ragam Laju Asimilasi Bersih (NAR) pada 55 hst Sumber Kelompok I Galat(a) S I*S Galat(b) Total
DB 2 2 4 2 4 12 26
JK 0.0258 0.0654 0.5949 0.0048 0.0619 2.7512 3.5040
KT 0.0129 0.0327 0.1487 0.0024 0.0155 0.2293
F 0.09 0.22
P 0.919 0.812
0.01 0.07
0.049 0.991
Lampiran 12. Analisis Ragam Laju Asimilasi Bersih (NAR) pada 70 hst Sumber Kelompok I Galat(a) S I*S Galat(b) Total
DB 2 2 4 2 4 12 26
JK 0.40392 0.01739 0.56377 0.02183 0.01573 0.72818 1.75081
KT 0.20196 0.00869 0.14094 0.01091 0.00393 0.06068
F 1.43 0.06
P 0.339 0.041
0.18 0.06
0.038 0.991
Lampiran 13. Analisis Ragam Berat Umbi per Tanaman pada 55 hst Sumber Kelompok I Galat(a) S I*S Galat(b) Total
DB 2 2 4 2 4 12 26
JK 3610 130691 24258 91026 86997 74317 410898
KT 1805 65345 6064 45513 21749 6193
F 0.30 10.78
P 0.758 0.025
7.35 3.51
0.008 0.040
Lampiran 14. Analisis Ragam Berat Umbi per Tanaman pada 70 hst Sumber Kelompok I Galat(a) S I*S Galat(b) Total
DB 2 2 4 2 4 12 26
JK 3245 134446 33266 42985 11830 43739 269512
KT 1622 67223 8317 21493 2958 3645
F 0.20 8.08
P 0.830 0.039
5.90 0.81
0.016 0.042
Lampiran 15. Analisis Ragam Berat Umbi per Tanaman pada 85 hst Sumber Kelompok I Galat(a) S I*S Galat(b) Total
DB 2 2 4 2 4 12 26
JK 20284 147193 4117 26961 26898 49329 274782
KT 10142 73597 1029 13481 6724 4111
F 9.85 71.50
P 0.028 0.001
3.28 1.64
0.073 0.029
Lampiran 16. Analisis Ragam Berat Kering Umbi pada 55 hst Sumber Kelompok I Galat(a) S I*S Galat(b) Total
DB 2 2 4 2 4 12 26
JK 223.2 3743.5 513.4 1804.7 1920.6 3173.5 11378.8
KT 111.6 1871.7 128.3 902.4 480.1 264.5
F 0.87 14.58
P 0.486 0.015
3.41 1.82
0.067 0.191
Lampiran 17. Analisis Ragam Berat Kering Umbi pada 70 hst Sumber Kelompok I Galat(a) S I*S Galat(b) Total
DB 2 2 4 2 4 12 26
JK 11.9 2761.0 817.1 609.2 297.7 2505.2 7002.1
KT 6.0 1380.5 204.3 304.6 74.4 208.8
F 0.03 6.76
P 0.971 0.052
1.46 0.36
0.271 0.835
Lampiran 18. Analisis Ragam Berat Kering Umbi pada 85 hst Sumber Kelompok I Galat(a) S I*S Galat(b) Total
DB 2 2 4 2 4 12 26
JK 1150.0 5020.5 177.2 949.3 824.2 1994.8 10116.1
KT 575.0 2510.2 44.3 474.7 206.1 166.2
F 12.98 56.66
P 0.018 0.001
2.86 1.24
0.097 0.346
Lampiran 19. Analisis Regresi Bobot Kering Umbi terhadap Bobot Kering Tanaman pada Intensitas 100% The regression equation is BKU100 = - 5.350 + 0.927 BKT100 Predictor Constant BKT100
Coef -5.350 0.927
S = 3.679
StDev 3.372 0.043
R-Sq = 96.6%
T -1.587 21.418
P 0.132 0.000
R-Sq(adj) = 96.4%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 1 16 17
SS 6209.623 216.588 6426.211
MS 6209.623 13.537
F 458.723
P 0.000
Lampiran 20. Analisis Regresi Bobot Kering Umbi terhadap Bobot Kering Tanaman pada Intensitas 75% The regression equation is BKU75 = 0.803 + 0.824 BKT75 Predictor Constant BKT75
Coef 0.803 0.824
S = 6.500
StDev 7.681 0.088
R-Sq = 77.9%
T 0.105 9.394
P 0.918 0.000
R-Sq(adj) = 77.0%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 1 25 26
SS 3728.869 1056.371 4785.240
MS 3728.869 42.255
F 88.247
P 0.000
Lampiran 21. Analisis Regresi Bobot Kering Umbi terhadap Bobot Kering Tanaman pada Intensitas 55% The regression equation is BKU55 = 9.207 + 0.673 BKT55 Predictor Constant BKT55
Coef 9.207 0.673
S = 6.884
StDev 4.849 0.056
R-Sq = 85.0%
T 1.899 11.914
P 0.069 0.000
R-Sq(adj) = 84.4%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 1 25 26
SS 6727.078 1184.803 7911.881
MS 6727.078 47.392
F 141.945
P 0.000
Lampiran 22. Analisis Regresi Bobot Kering Umbi terhadap Bobot Kering Tanaman pada Intensitas 25% The regression equation is BKU25 = 7.616 + 0.646 BKT25 Predictor Constant BKT25
Coef 7.616 0.646
S = 6.389
StDev 4.156 0.067
R-Sq = 78.7%
T 1.833 9.612
P 0.079 0.000
R-Sq(adj) = 77.9%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 1 25 26
SS 3771.042 1020.429 4791.471
MS 3771.042 40.817
F 92.389
P 0.000