PENGUJIAN GALUR-GALUR HARAPAN JAGUNG TOLERAN KEKERINGAN DI PAPUA Fadjry Djufry dan Arifuddin Kasim Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua ABSTRAK Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mendapatkan varietas yang memiliki keunggulan pada kondisi lingkungan yang luas adalah dengan melakukan uji multilokasi. Suatu genotipe sebelum dilepas menjadi varietas unggul baru memerlukan uji multilokasi untuk menentukan daya adaptasi dan daya hasil serta stabilitasnya. Uji multilokasi galur harapan jagung di Papua dilaksanakan di dua wilayah yakni, Kabupaten Keerom (Arso), dan Kota Jayapura (Koya Barat). Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai November 2010. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok dan diulang tiga kali. Peubah yang diamati meliputi komponen pertumbuhan dan hasil tanaman yang diuji (tinggi tanaman 30 HST, tinggi tanaman saat panen, jumlah tongkol, panjang tongkol, jumlah baris per tongkol, berat 100 biji, hasil. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa hasil tertinggi jagung di Koya Barat (Kota Jayapura), dicapai oleh galur G1005 (9,17 t/ha) dan terendah pada Galur No. 11 (3,80 t/ha). Di Arso (Kabupaten Keerom), galur G1006 (6,74 t/ha) mampu menghasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan galur lainnya. Hasil terendah dicapai oleh galur G1005 (3,37 t/ha), tidak berbeda nyata dengan galur G1002 (3,97 t/ha), G1007 (3,47 t/ha) dan galur ASI (3,91 t/ha). Kata kunci: Multilokasi, galur harapan jagung, kekeringan.
PENDAHULUAN Untuk memenuhi permintaan atas kebutuhan jagung yang semakin tinggi, Badan Litbang Pertanian melalui Balai Penelitian Serealia Maros merakit dan melepas beberapa varietas unggul jagung yang berpotensi hasil lebih tinggi, serta toleran terhadap cekaman air. Melalui jaringan litkaji Balai Komoditas bekerja sama dengan BPTP melakukan kegiatan pemuliaan partisipatif dan uji multi lokasi galur-galur harapan jagung di Papua. Uji multilokasi genotipe baru sering menampilkan perbedaan hasil yang berubah-ubah dari satu lokasi dengan lokasi lainnya. Suatu genotipe memberikan hasil tertinggi di lokasi tertentu namun belum tentu di lokasi lainnya. Terdapatnya perbedaan antara rata-rata hasil dengan potensi hasil disebabkan karena adanya kerentanan terhadap berbagai cekaman biotik dan abiotik (Shah et al. 2005). Rendahnya produksi jagung pada lahan tadah hujan umumnya disebabkab 68
oleh cekaman abiotik berupa kekeringan. Kekeringan suatu keadaan yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Fisher et al. (1981) dan Dahlan (2001) menyatakan bahwa genotipe toleran kekeringan adalah genotipe yang masih mampu bertahan hidup dan memberikan hasil dalam kondisi air terbatas. Lebih lanjut Dahlan (2001) menyatakan jagung dapat tumbuh baik memerlukan curah hujan 25 mm/minggu. Produktivitas jagung di provinsi Papua baru mencapai, 1,9 t/ha (Distan Papua 2010). Sementara hasil-hasil penelitian yang telah di lakukan BPTP Papua menunjukkan produktivitas jagung dengan menerapkan pola PTT 5.5-7.2 t/ha (Rauf et al. 2009). Hal ini menunjukkan bahwa potensi untuk meningkatkan produktivitas jagung tersebut masih sangat memungkinkan. Uji multilokasi umumnya digunakan untuk mengevaluasi tanaman pada suatu hamparan yang luas yang merupakan target untuk lingkungan pertumbuhan tanaman (Berger et al.
Fadjry Djufry dan Arifuddin Kasim : Pengujian Galur-Galur Harapan Jagung Toleran Kekeringan di Papua
2007). Stabilitas hasil diukur berdasarkan variasi hasil dari berbagai kondisi lingkungan (Cleveland 2001). Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan pengujian beberapa galur harapan jagung yang bertujuan untuk mendapatkan galur harapan yang berdaya hasil tinggi pada beberapa kondisi lingkungan, khususnya kondisi lingkungan di Provinsi Papua.
Kegiatan ini dilaksanakan secara on farm dengan rakitan-rakitan teknologi spesifik lokal. Komponen-komponen teknologi yang diterapkan, seperti terlihat pada Tabel 2. Pengumpulan data meliputi : tinggi tanaman 30 hst, tinggi tanaman saat panen, jumlah tongkol, panjang tongkol, jumlah baris per tongkol, berat 100 biji, hasil (t/ha).
METODOLOGI
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilaksanakan pada MK 2010 mulai bulan Juli-November 2010 pada lahan petani di wilayah pengembangan tanaman pangan yaitu Kota Jayapura (Koya Barat) dan Kabupaten Keerom (Arso), menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) diulang tiga kali. Perlakuan yang digunakan terdiri dari 9 galur harapan jagung toleran kekeringan dan 3 varietas pembanding yaitu Makmur 4, ASI, dan Bima 4.
Pengujian galur harapan jagung toleran kekeringan produktivitas tinggi dilaksanakan di Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom dengan waktu tanam yang berbeda, sehingga penanaman tidak dapat dilakukan secara bersamaan. Tabel 1 memperlihatkan rataan tinggi tanaman, jumlah tongkal, berat tongkol, dan berat 100 biji berbeda antara galur dan varietas jagung di Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom.
Tabel 1. Komponen teknologi yang diterapkan pada jagung, di Kabupaten dan kota Jayapura, serta Kabupaten Keerom tahun 2010 Komponen teknologi Pengolahan tanah Varietas Kebutuhan benih Pembibitan/pesemaian Jumlah tanaman/benih per lubang tanam Jarak tanam Pemupukan
Pengairan Penyiangan Pengendalian hama/penyakit Panen dan Pascapanen
69
Seminar Nasional Serealia 2011
Pengelolaan tanaman Sempurna, dibuat saluran drainase 9 Galur Harapan Jagung , 3 varietas pembanding Bima 4, Makmur 4 dan AS1 15-20 kg/ha Tanam langsung 2-3 benih/lubang 75 cm x 45 cm Urea: 250 kg/ha SP36: 100 kg/ha KCl : 100 kg/ha (Pupuk Nitrogen berdasarkan BWD) Pengendalian gulma terpadu Pengendalian hama terpadu Tepat waktu dan prosessing dengan alat dan mesin
Tabel 2. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah tongkol/tanaman, Berat Tongkol kering dan Berat 100 biji jagung pada 2 kabupaten. Papua 2010. Lokasi Kab/Kota
Galur/ varietas
Tinggi tanaman (cm)
Berat Tongkol Kering (gr)
Berat 100 Biji (gr)
Koya Barat Kota Jayapura
G1001 162,37 abc 149,71 ab 25,40 cd 154,69 ab 27,69 abc G1002 166,73 ab 157,12 ab 23,41 d G1003 168,14 a 147,11 abc 26,87 bcd G1004 154,73 abc 156,46 ab 26,09 cd G1005 162,87 abc 161,10 a 25,82 cd G1006 163,67 abc 152,35 ab 27,99 abc G1007 163,30 abc 156,90 ab 30,54 a G1008 153,00 abc 159,39 a 28,45 abc G1009 148,30 c 124,80 c 26,75 bcd Makmur 4 165,70 ab 135,01 bc 27,07 bc AS1 151,70 bc 164,50 a 30,03 ab Bima 4 162,63 abc Arso G1001 210,20 ab 122,00 de 30,46 a Keerom G1002 201,93 ab 123,26 d 22,60 cd G1003 208,13 a 126,43 d 19,45 e G1004 175,13 b 136,41 c 24,47 c G1005 174,23 b 105,65 f 16,56 f G1006 177,47 ab 151,82 b 22,57 cd G1007 196,40 ab 102,15 f 21,24 e G1008 181,60 ab 95,88 g 21,21 e G1009 184,47 ab 122,90 d 20,73 e Makmur 4 191,40 ab 165,33 a 27,10 b AS1 182,87 ab 116,74 e 21,39 de Bima 4 185,20 ab 156,82 b 20,76 e Ket. Data yang diikuti dengan huruf yang sama pada satu baris menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 95%
Respon galur dan varietas terhadap pertumbuhan tinggi tanaman berbeda-beda. Hal tersebut dapat disebabkan genetik dari varietas/galur dan kemampuan adaptasi dari masingmasing galur/varietas terhadap kondisi tempat tumbuh tanaman. Jumlah tongkol per tanaman pada semua galur adalah satu tongkol/tanaman. Di kota Jayapura, galur tertinggi dicapai galur G1003 (168,14 cm) tidak berbeda nyata dengan 7 galur lainya dan semua varietas pembanding namun berbeda nyata dengan Galur G1009 sekaligus merupakan galur yang menghasilkan tinggi tanaman paling rendah yaitu 148,30 cm. Sedangkan di Kabupaten Keroom tanaman jagung tertinggi dihasilkan Galur G1003 (2003 cm) dan tidak berbeda nyata dengan galur dan varietas pembanding lainnya. Galur -
70
galur yang ditanam di Kabupaten Kerom mempunyai penampilan tinggi tanaman yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan galur-galur yang ditanaman di Kota Jayapura. Hal ini disebabkan karena kandungan unsur hara P dan K di Kabupaten Keerom lebih tinggi dan curah hujan cukup tinggi. Menurut Hardjowigeno (1987) kandungan P dan K sangat berperan memperbaiki struktur tanah serta menunjang perkembangan akar, metabolisme karbohidrat, proses fisiologis tanaman dan pemanjangan ruas. Jumlah tongkol yang diamati terlihat bahwa rata-rata jumlah tongkol setiap galur dan varietas pembanding hanya menghasilkan 1 tongkol kecuali galur G1006 menghasilkan 2 tongkol pertanaman pada kedua kabupaten.
Fadjry Djufry dan Arifuddin Kasim : Pengujian Galur-Galur Harapan Jagung Toleran Kekeringan di Papua
Berat tongkol galur atau varietas yang paling tinggi dihasilkan di Kota Jayapura adalah varietas pembanding BIMA 4 (164,50 gr), disusul galur G1006 (161.10 gr), dan galur G1009 (159,39 gr) ketiganya tidak berbeda nyata namun berbeda nyata dengan galur lainya. Selanjutnya di Kabupaten Keerom berat tongkol paling tinggi dihasilkan varietas Makmur 4 yaitu (165,33 gr) berbeda nyata dengan varietas dan galur lainnya. Berat tongkol paling ringan diperoleh pada galur G 1008 (95,88 gr) Sedangkan Berat 100 biji galur/ varietas pada kedua kabupaten memperlihatkan pengaruh yang berbeda nyata. Di kota Jayapura nampak bahwa
berat 100 biji paling tinggi dihasilkan Galur G1008 (30,54 gr) diikuti varietas BIMA 4 (30,03 gr) keduanya tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata dengan galur dan varietas lainnya. selanjutnya di kabupaten Kerom, berat 100 biji tertinggi dihasilkan galur G1001 (30,46 gr) dan berbeda nyata dengan semua galur dan varietas. Hasil berat 100 biji terendah didapatkan galur G100. Produkitivitas galur dan varietas pembanding jagung pada dua agroekosistem yang berbeda memperlihatkan pengaruh yang berbeda-beda pula, disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rata-Rata Berat Per Petak dan Jumlah Tongkol Per Petak Per Tanaman Jagung pada 2 Kabupaten. Papua 2010. Lokasi Kab/Kota
Galur/ varietas
Koya Barat Kota Jayapura
G1001 G1002 G1003 G1004 G1005 G1006 G1007 G1008 G1009 Makmur 4 AS1 Bima 4 G1001 G1002 G1003 G1004 G1005 G1006 G1007 G1008 G1009 Makmur 4 AS1 Bima 4
Arso Keerom
Berat tongkol per petak (kg) 10,29 b 10,49 b 9,63 b 11,63 ab 13,76 a 11,66 ab 9,99 b 11,48 ab 11,00 ab 9,76 b 5,70 c 9,87 b 8,05 def 5,96 g 8,67 cd 7,32 e 5,05 g 10,11 a 5,20 g 7,60 de 9,14 bc 8,41 cde 5,87 g 9,86 ab
Jumlah Tongkol per petak 97,00 bcd 86,33 bcde 73,00 ef 105,33 a 96,33 bcd 82,33 cde 77,00 e 104,00 ab 107,67 a 100,67 abc 54,67 f 80,00 de 83,57 b 66,50 de 96,37 a 66,93 de 60,73 e 80,97 bc 62,23 e 95,09 a 91,78 a 65,77 de 67,73 de 73,93 cd
Produksi (t/ha)
6,86 b 6,99 b 6,42 b 7,75 ab 9,17 a 7,77 ab 6,66 b 7,65 ab 7,33 a 6,51 b 3,80 c 6,58 b 5,37 def 3,97 g 5,78 cd 4,88 e 3,37 g 6,74 a 3,47 g 5,07 de 6,09 bc 5,61 cde 3,91 g 6,57 ab
Ket. Data yang diikuti dengan huruf yang sama pada satu baris menunjukan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 95%
71
Seminar Nasional Serealia 2011
Kemampuan galur atau varietas pembanding berinteraksi dengan lingkungannya sangat mempengaruhi produktivitas. Galur atau varietas yang mampu berinteraksi dengan lingkungan tempat tumbuhnya akan mampu menghasilkan produksi yang maksimal pula. Analisis statistik pada (Tabel 2) menunjukkan bahwa karakter galur atau varietas di 2 lokasi memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Koya Barat barat berat tongkol perpetak tertinggi diperoleh galur G1005 (13.76 kg) namun tidak berbeda nyata dengan galur G1006, galur G1008, dan G1009 (11 kg) dan terendah pada varietas ASI (5.70 kg), sedangkan di Arso berat tongkol perpetak tertinggi diperoleh pada galur G1006 (10.11 kg) berbeda nyata dengan galur G1002, galur G1005, galur G1007 dan varietas ASI , berat tongkol terendah didapatkan varietas ASI (5.87). Varietas ASI merupakan salah satu varietas yang memiliki daya adaptasi paling rendah pada 2 lokasi yang berbeda. Di Koya Barat jumlah tongkol tertinggi di hasilkan galur G1009 (107.67 buah) tidak berbeda nyata dengan galur G1004 (105.33 buah) dan terendah pada varietas ASI (54.67 buah), sedangkan di Arso jumlah tongkol per petak tertinggi dihasilkan galur G1003 (96.37 buah) namun tidak berbeda nyata dengan jumlah tongkol yang dihasilkan galur G1008 (95.09 buah) dan Galur G1009 (91.78 buah), dan jumlah tongkol terendah dihasilkan galur G1007 (62.23 buah) dan galur G1005 (60.73 buah). Hasil pengamatan menunjukan bahwa galur-galur yang diuji mampu beradaptasi pada kondisi kekeringan sehingga tetap mampu mempertahankan hasil produksi yang cukup tinggi dibandingkan varietas pembanding. di Koya Barat, produksi tertinggi dicapai oleh galur G1005 (9.17 ton/ha) dan terendah pada varietas ASI (3.80 ton/ha). Sedangkan di Arso, Galur G1006 ( 6,74 ton/ha) menghasilkan produksi lebih tinggi dibandingkan dengan galur lainnya, hasil terendah dicapai oleh galur G1005 (3.37 ton/ha) tidak berbeda nya 72
dengan Galur G1002 (3.97 ton/ha), galur G1007 (3.47 ton/ha) dan varietas ASI (3.91 ton/ha). Hal ini menunjukan bahwa galur-galur yang diuji pada lokasi pada 2 lokasi yaitu di Koya barat dan di Arso memiliki daya adaptasi yang lebih baik dari varietas pembanding. Daya hasil galur-galur pada pengujian ini menunjukkan hasil yang optimal dan lebih tinggi dari varietas pembanding. Dari galur-galur yang sifatnya sudah mantap sifatnya dan mempunyai daya adaptasi tinggi dapat diusulkan sebagai varietas unggul hibrida. Meskipun hasil di Koya Barat lebih baik di banding di Arso, namun dalam pertumbuhannya intensitas curah hujan cukup tinggi di Koya Barat sehingga mempengaruhi kuantitas dan kualitasnya. Curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan leaching unsur hara dalam tanah. Hal ini sejalan yang dengan Hardjowigeno (1987) bahwa tanah selain merupakan sistem tertutup juga sebagai sistem terbuka dimana tanah dapat menerimah dan dapat juga kehilangan unsur-unsur hara yang dimilikinya disebabkan oleh proses erosi, penguapan atau pencucian (leaching). Hama penyakit utama di Koya dan Arso adalah hama penggerek batang, ulat bibit sedangkan penyakit adalah penyakit namun intensitasnya serangannya masih rendah KESIMPULAN 1. Galur/varietas yang ditanam di Koya memberi hasil 3.80 - 9.17 t/ha, sedangkan di Kerom 3,37 – 6,74 t/ha 2. Hasil tertinggi di kedua lokasi pengkajian berbeda, di Koya, hasil tetinggi dicapai oleh galur G1005 (9,17 t/ha), terendah dari varietas ASI (3,80 t/ha), sedangkan pada lokasi Arso hasil tertinggi diperoleh dari galur G1006 (6,74 t/ha) dan terendah pada galur G1005 (3,37 t/ha).
Fadjry Djufry dan Arifuddin Kasim : Pengujian Galur-Galur Harapan Jagung Toleran Kekeringan di Papua
DAFTAR PUSTAKA Berger, J.D., Speijers, J., Sapra, R.L., and Sood, U.C .2007. Genotype by environment interaction and chickpea improvement. In: Chickpea Breeding and Management. Yadav SS, Redden RJ, Chen W, Sharma B (eds), CAB International, pp. 617-629. Cleveland, D.A. 2001. Is plant breeding science objevtive truth or social construction: The case of yield stability. Agriculture and Human Value 18:251-170 Dahlan, M. 2001, Pemulia tanaman untuk ketahanan terhadap kekeringan, Dalam Prosiding International Confrence on Agricultural Development NTT, Timor Timur and Maluku Tenggara 11-15 Desember 2001, Kupang. Distan Papua. 2010. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Tk. I Provinsi Papua.100 Hal.
73
Seminar Nasional Serealia 2011
Fisher, K.S.,E.C.,Johnson,and G.O.Edmeades.1981. Breeding and selection for drought resistence in tropical maize, CYMMYT Asia Regional Maize Program,Paper at Symposium on Principles and Methods in Crop Improvement for Drought Resistence, IRRI May 4-8, PO Box 2453. Bangkok Hardjowigeno,S. 1987. Ilmu Tanah, PT Media Sarana Perkasa. Bogor. Shah, T.M., Hassan, M., Haq, M.A., Atta, B.M., Alam, S.S., and Ali, H. 2005. Evaluation of Cicer species for resistance to Ascochyta Blight. Pak. J. Bot. 37(2):431-438. Rauf A.W., et al. 2009. Penerapan PTT Padi, Jagung, dan Kedelai pada Ekosistem Lahan Rawa dan Kering yang dapat meningkatkan Produktivitas padi > 6 ton/ha, Kedelai 2 ton/ha dan jagung > 5 ton/ha. Laporan Hasil Penelitian BPTP Papua. Tidak Dipublikasi. 30 hal.