Penguatan Kelembagaan Produksi dan Pemasaran Anyaman di Desa Sawah Kulon Kecamatan Pasawahan Kabupaten Purwakarta
VINNY MARLIANY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
i
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir dengan judul Penguatan Kelembagaan Produksi dan Pemasaran Anyaman di Desa Sawah Kulon Kecamatan Pasawahan Kabupaten Purwakarta adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas ini.
Bogor, Pebruari 2007
VINNY MARLIANY NRP. A.154050135
ii
ABSTRAK
VINNY MARLIANY, Penguatan Kelembagaan Produksi dan Pemasaran Anyaman di Desa Sawah Kulon Kecamatan Pasawahan Kabupaten Purwakarta. Dibimbing oleh NURAINI W. PRASODJO dan NINUK PURNANINGSIH. Pertumbuhan usaha kecil menengah merupakan salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi nasional. Jumlah unit usaha yang beragam memiliki kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja. Oleh karenanya usaha kecil ini sangat strategis dalam pembangunan ekonomi. Pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon Kecamatan Pasawahan Kabupaten Purwakarta memiliki potensi yang layak untuk dikembangkan karena usaha ini telah berjalan cukup lama. Sebagai usaha yang termasuk skala kecil, usaha ini cukup untuk mengatasi kesulitan ekonomi bagi sebagian kecil penduduk Desa Sawah Kulon yang sekaligus dapat pula menyerap tenaga kerja. Upaya yang dilakukan untuk mengembangkan usaha dari proses produksi dan pemasaran telah sering diupayakan, baik oleh pengrajin sendiri maupun dengan program pemerintah. Namun kendala yang dihadapi pengrajin anyaman belum sepenuhnya diatasi dengan memaksimalkan seluruh potensi yang dimiliki. Oleh karena itu, kajian yang disusun ini menitik beratkan pada penciptaan rencana program untuk mengembangkan kelembagaan produksi dan pemasaran yang selama ini dilakukan oleh pengrajin anyaman Desa Sawah Kulon. Pengumpulan data primer dilakukan dengan dengan wawancara, observasi langsung, dan diskusi kelompok. Data skunder diperoleh dengan melakukan studi dokumentasi. Metode dalam pengungkapan masalah dilakukan dengan MPA (Methode Participatory Asessment) bersama pengrajin anyaman dan perwakilan warga masyarakat. Analisis data dilakukan dengan menggunakan matriks SWOT guna mendapatkan strategi program yang partisipatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa kelembagaan produksi dan pemasaran yang selama ini dilakukan oleh pengrajin anyaman Desa sawah Kulon, belum memanfaatkan sumber-sumber potensi yang dapat menunjang perkembangan usaha anyaman. Dari segi produksi (penggunaan bahan baku, pelibatan tenaga kerja, penggunaan keterampilan), masih mengandalkan kekuatan internal pada diri pengrajin anyaman, begitupun dalam proses pemasaran. Faktor eksternal di luar pengrajin belum dimanfaatkan secara maksimal, sehingga pengrajin hanya memaksimalkan apa yang dimiliki tanpa diserta peningkatan kemampuan. Maka dengan dukungan dari berbagai pihak, baik dari lingkungan masyarakat desa maupun pemerintah, rencana program yang disusun diupayakan dapat mengatasi permasalahan produksi dan pemasaran bagi pengrajin anyaman. Rencana program ini menitik beratkan pada :1) Pendidikan dan pelatihan bagi pengrajin anyaman, 2) Penguatan usaha pengrajin anyaman dan budi daya tanaman bahan baku, 3) Promosi dan workshop anyaman, dan 4) Penekanan pada kebijakan pemerintah untuk keberpihakan pada pengrajin anyaman dalam memudahkan menjangkau berbagai sistem sumber.
iii
ABSTRACT
VINNY MARLIANY. To strengthen a Produce Capacities and Handicraftsman Marketing on Sawah Kulon village. Pasawahan sub district, Purwakarta distrct. It’s guided by NURAINI W. PRASODJO and NINUK PURNANINGSIH. The growth of midlle small scale business has represented one of activator national economic growth. The number of business unit with their variety was giving contribution around labor absorption, so is the small industry has a very strategic position on economic development. Handicrafstman in Sawah Kulon village Pasawahan sub district Purwakarta district actually have own potencies to be developed as long as this bussines have walked sufficiently long. As a small scale business, it’s so helpful to overcoming economic difficulty for some of member of community on Sawah Kulon village which at the some time could permeate labor enough. The efforts have been done to develop their business is trough production and marketing process which often strived by handicrafstman self and also with governmental program. But the constraint faced by handicrafstman have not overcomes full yet with optimally all potency owned. Therefore, study compiled by emphasized of creaton plan of program to develop capacities on produce and marketing which have done by handicrafstman on Sawah Kulon village. Thr primary data collecting conducted with some interview, direct observation and the group discussion. Secondary data have obtained by documentation study. Method in expression of problem has conducted by MPA (Method Participatory Assessment) with participative entangled matting handicrafstman and community representatives. Data analyses was conducted by using SWOT matrix to get participative program strategy. The result of study indicates that produce and the marketing capacities which during the time conducted by handicrafstman on Sawah Kulon village, has not exploited potency source yet which can support growth of handicrafter business. From facet produced (raw materal use, labor entangling, and skill use), still use internal strength at their own self, so as in course of marketing. External factor outside handicrafstman have not been exploited maximally yet, so that the handicrafstman only maximize what owned without joined the ability improvement. Hence with support of various parties, both from social environment of the village and also by government, the plan of program was compiled to be strived can overcome produce and marketing problems for handicrafstman. The plan of this program was emphasized of : (1) Aducation and training for handicrafstman, (2) Reinforcement of their business on handicrafstman and kindness crop as a based material, (3) Promotion and workshop around matting handicraft, and (4) Stressing for governemtal policy to support handicrafstman on facilitating to reach various system source.
iv
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
v
Penguatan Kelembagaan Produksi dan Pemasaran Anyaman di Desa Sawah Kulon Kecamatan Pasawahan Kabupaten Purwakarta
VINNY MARLIANY
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
vi
Judul Tugas Akhir : Penguatan Kelembagaan Produksi dan Pemasaran Anyaman di Desa Sawah Kulon Kecamatan Pasawahan Kabupaten Purwakarta Nama : VINNY MARLIANY NRP : A.154050135
Disetujui Komisi Pembimbing
Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS. Ketua
Dr. Ninuk Purnaningsih Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian : 5 Desember 2006
Tanggal Lulus :
vii
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena hanya atas limpahan nikmat rahmat dan karunia-Nya penulisi dapat menyelasaikan laporan akhir kajian pengembangan masyarakat. Penulisan kajian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Profesional pada Program studi Pengembangan Masyarakat, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penyelesaian penulisan kajian ini tidak terlepas dari peranan Komisi Pembimbing dan pihak lainnya yang telah memberikan arahan, koreksi, dan dukungan selama proses penyusunan kajian. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada : 1. Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS, selaku ketua komisi pembimbing atas dorongan, arahan, dan bimbingannya selama penyelesaian kajian. 2. Dr. Ninuk Purnaningsih, selaku anggota komisi pembimbing yang juga banyak memberikan bimbingan dan arahan dalam penyelesaian kajian. 3. Ir. Sutara Hendrakusumaatmadja, MS, selaku penguji luar komisi yang juga memberikan masukan untuk kajian ini. 4. Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS, selaku ketua Program Studi Magister Pengembangan Masyarakat IPB dan staf pengelola program lainnya yang telah banyak memberikan bantuan dan sumbangan pemikiran selama pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB. 5. Seluruh Dosen pengajar pada Program Studi Magister Pengembangan Masyarakat IPB dan STKS yang memberi materi perkuliahan. 6. Lembaga Departemen Sosial RI yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Program Pascasarjana IPB. 7. Suami tercinta Rahmat Koesnadi, dan anak-anakku Rafi Arizaldi, Rafdi Magiana, dan Rafasha R. Vianandya, yang selalu memberikan doa, dukungan, pengorbanan, dan motivasi kepada penulis 8. Masyarakat dan aparat Desa Sawah Kulon serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan, yang telah memberikan informasi yang diperlukan untuk penyelesaian kajian. Semoga kajian pengembangan Masyarakat ini dapat memberikan sumbangan kepada pihak-pihak yang memiliki kepentingan lebih lanjut. Terutama sekali dapat berguna bagi pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon Kecamatan Pasawahan Kabupaten Purwakarta. Akhir kata penulis berharap kajian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.
Bogor, Pebruari 2007
Vinny Marliany
viii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 13 Juni 1971 dari ayah R. Sudjaman Adisoma dan ibunda Djauhar Munawaroh (Almarhum), merupakan anak kedua dari enam bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) tahun 1983 di Purwakarta, Sekolah Menengah Pertama (SMP) tahun 1987 di Purwakarta, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun 1990 di Bandung. Pada tahun 1990 penulias melanjutkan sekolah pada Program Diploma IV Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung dan lulus tahun 1995. Sejak tahun 1998 penulis dingkat menjadi pegawai negeri sipil pada Departemen Sosial Propinsi Jawa Barat. Mulai tahun 2001 penulis bekerja di lingkungan pemerintah daerah Kabupaten Purwakarta pada Dinas Soial dan Pemberdayaan Masayarakat sampai saat ini.
ix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN I.
PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang ................................................................................ !. 2. Masalah Kajian ............................................................................... I. 3. Tujuan Kajian .................................................................................. I. 4. Kegunaan Kajian .............................................................................
II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Tinjauan Teoritis 2.1.1.Pengembangan Usaha Kecil dengan Pendekatan Kelompok serta Kemitraan dan PengembanganJejaring .... 2.1.2. Kelembagaan Produksi ...................................................... 2.1.3. Kelembagaan Pemasaran .................................................. 2.1.4. Pemberdayaan Ekonomi Lokal dan Pengembangan Masyarakat ........................................................................... 2.1.5. Analisis SWOT .................................................................... 2. 2. Kerangka Analisis ....................................................................... III. METODE KAJIAN 3. 1 Strategi Kajian 3.1.1. Batas-batas Kajian................................................................. 3.1.2. Pengolahan dan Analisis Data .............................................. 3. 2. Metode Lapangan 3.2.1. Tempat dan Waktu Kajian ................................................... 3.2.2. Metode dan Teknik Pengumpulan Data .............................. 3.3. Penyusunan Rancangan Program Pengembangan Masyarakat IV.
PETA SOSIAL KELOMPOK PENGRAJIN ANYAMAN DALAM KOMUNIYAS DESA SAWAH KULON KECAMATAN PASAWAHAN 4. 1. Gambaran Lokasi ....................................................................... 4. 2. Kependudukan ........................................................................... 4. 3. Kondisi Perekonomian Masyarakat ......................................... 4. 4. Struktur Komunitas .................................................................... 4. 5. Organisasi dan Kelembagaan ................................................... 4. 6. Sumber Daya Lokal ................................................................... 4. 7. Masalah Kesejahteraan Sosial ..................................................
xii xiv xv
1 3 5 6
7 14 16 17 21 21
25 26 27 28 30
32 34 38 39 41 43 46
x
V.
VI.
TINJAUAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT 5. 1. Program Pengembangan Kecamatan (PPK) 5. 1. 1. Gambaran Umum PPK ................................................. 5. 1. 2. PPK dan Pengembangan Ekonomi Lokal Kelompok Pengrajin Anyaman ....................................................... 5. 1.3. PPK, Pengembangan Kelembagaan, Modal Sosial, Gerakan Sosial Kelompok Pengrajin Anyaman ............ 5. 1. 4. PPK dan Kebijakan Sosial ............................................ 5. 1. 5. PPK dan Perilaku Manusia dalam Lingkungan Sosial ... 5. 2. Program Usaha Peningkatan Peranan Keluarga (UP2K) 5. 2. 1. Gambaran Umum UP2K ..................................... 5. 2. 2. UP2K dan Pengembangan Ekonomi Lokal Kelompok Pengrajin Anyaman ..................................................... 5. 2.3. UP2K, Pengembangan Kelembagaan, Modal Sosial, Gerakan Sosial Kelompok Pengrajin Anyaman ........ 5. 2. 4. UP2K dan Kebijakan Sosial ...................................... 5. 2. 5. UP2K dan Perilaku Manusia dalam Lingkungan Sosial .......................................................................... ANALISIS KELEMBAGAAN PRODUKSI DAN PEMASARAN USAHA KELOMPOK PENGRAJIN ANYAMAN 6 1. Karakteristik Kelompok Pengrajin Anyaman ............................. 6.2. Kelembagaan Produksi ............................................................. 6.3. Kelembagaan Pemasaran ........................................................ 6.4. Analisis Kelembagaan Produksi dan Pemasaran 6.4.1. Identifikasi Kelembagaan Produksi dan Pemasaran ......... 6.4.2. Penguatan Kelembagaan Produksi dan Pemasaran ......... 6.4.3. Analisis SWOT ...................................................................
VII. STRATEGI PENGUATAN KELEMBAGAAN PRODUKSI DAN PEMASARAN 7.1. Identifkasi Potensi dan Permasalahan ...................................... 7.2. Analisis SWOT ......................................................................... 7.3. Strategi Penguataan Kelembagaan Produksi dan Pemasaran Pengrajin Anyaman ............................................ VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 8.1. Kesimpulan ............................................................................. 8.2. Rekomendasi ......................................................................... DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ LAMPIRAN ...............................................................................................
49 52 56 59 60 60 63 67 70 72
73 77 85 89 94 99
102 106 111
126 128 131 133
xi
DAFTAR TABEL Halaman 1. Jadwal Pelaksanaan Kajian ...................................................... 2. Teknik Pengumpulan Data ........................................................ 3. Orbitasi, Jarak, dan Waktu Tempuh ......................................... 4. Batas-batas Desa Sawah Kulon .................................... ........ 5. Jumlah Kelompok Pengrajin Anyaman di Desa Sawah Kulon berdasarkan Letak Dusun pada Bulan Juli Tahun 2006 ............................................................. 6. Jumlah Penduduk Desa Sawah Kulon menururt Umur dan Jenis Kelamin pada Bulan Juli Tahun 2006 ............................... 7. Komposisi Jumlah Penduduk Pengrajin Anyaman di Desa Sawah Kulon menurut Umur dan Jenis Kelamin pada Bulan Juli Tahun 2006 ............................................................... 8. Komposisi Penduduk Pengrajin Anyaman di Desa Sawah Kulon Berdasarkan Tingkat Pendidikan pada Bulan Juli Tahun 2006 .............................................................. 9. Komposisi Penduduk Desa Sawah Kulon berdasarkan Mata Pencaharian pada Bulan Juli Tahun 2006 ....................... 10. Perkembangan Bantuan PPK pada Kelompok Pengrajin Anyaman di Desa Sawah Kulon pada Bulan Juli Tahun 2006 ........................................................................ 11. Penyaluran Dana Bantuan Pinjaman PPK di Desa Sawah Kulon pada Bulan Juli Tahun 2006 .............................. ......... 12. Perkembangan Bantuan UP2K pada Kelompok Pengrajin Anyaman di Desa Sawah Kulon pada Bulan Juli Tahun 2006 ................................................... ......... 13. Karakteristik Pengrajin Anyaman berdasarkan Usia dan Tingkat Pendidikan di Desa Sawah Kulon pada Bulan Juli Tahun 2006 ........................................ ..... ............ 14. Alasan Pemilihan Ketua Kelompok Pengrajin Anyaman di Desa sawah Kulon pada Bulan Juli Tahun 2006 ................... 15. Karakteristik Kelompok Pengrajin Anyaman di Tiap Dusun Di Desa Sawah Kulon pada Bulan Juli Tahun 2006 ................ 16. Perolehan Upah yang Diterima Pengrajin Anyaman di Desa Sawah Kulon yang Terlibat dalam Setiap Tahapan Pada Bulan Juli Tahun 2006 ..................................................... 17. Matriks Analisis SWOT Terhadap Kelembagaan Produksi dan Pemasaran yang Selama ini Dilakukan oleh Pengrajin Anyaman di Desa Sawah Kulon ..............................
28 30 32 33
34 35
36
37 38
54 55
66
73 74 76
79
100
xii
Halaman 18. Tingkat Pendidikan Pengrajin Anyaman Desa Sawah Kulon pada Bulan Juli Tahun 2006 ..................................................... 19. Matriks Analisis SWOT Terhadap Identifikasi Potensi dan Permasalahan yang Dihadapi Pengrajin Anyaman di Desa Sawah Kulon .................................................................. 20. Analisis Masalah, Potensi, dan Alternatif Pemecahan Masalah pada Pengrajin Anyaman .......................................... 21. Rancangan Penyusunan Program Pengembangan Masyarakat bagi Pengrajin Anyaman .................................... .
104
107 109 121
xiii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka Pemikiran ........................................................... 2. Alur Kerja ........................................................................... 3. Jejaring Sosial Pengrajin Anyaman dalam Masyarakat Desa Sawah Kulon .............................................................. 4. Kelembagaan Produksi dan Pemasaran dengan BantuanModal dari Bandar .................................................. 5. Kelembagaan Produksi dan Pemasaran dengan Pemilik Modal Tunggal ...................................................................... 6. Kelembagaan Produksi dan Pemasaran dengan PemilikModal Kelompok ........................................................ 7. Diagram Analisis SWOT Terhadap Kelembagaan Produksi dan Pemasaran yang Selama ini Dilakukan Pengrajin Anyaman .............................................................................. 8. Diagram Analisis SWOT Terhadap Identifikasi Potensi Permasalahan yang Di8hadapi Pengrajin Anyaman di Desa Sawah Kulon ...................................................................... 9. Pohan Masalah .................................................................
23 24 41 91 92 94 101
108 110
xiv
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan
selama
orde
baru
yang
telah
dilaksanakan
oleh
pemerintah Indonesia sangat bernuansa top-down karena ditunjang oleh sistem pemerintahan yang desentralisasi. Ketika otonomi daerah diterapkan dalam sistem pemerintahan di Indonesia, konsekuensi otonomi daerah dirasakan pula sampai pada tingkat desa di setiap kabupaten/kota. Program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah baik pusat, propinsi, sampai kabupaten/kota, mulai diarahkan pada program yang bernuansa bottom-up. Dalam konsep pengembangan masyarakat, program pembangunan yang diharapkan adalah program yang datang dari masyarakat sendiri berdasarkan aspirasi, keinginan, kebutuhan, dan partispasi masyarakat. Hal tersebut diharapkan muncul dari masyarakat dengan tujuan agar tercapai kondisi keberlanjutan (sustainable) atas suatu program pembangunan. Kondisi program pembangunan yang berkelanjutan dapat tercipta jika masyarakat memang membutuhkan program tersebut dan mengakar di masyarakat. Artinya program merupakan cerminan dari kebutuhan dan kondisi masyarakat yang sebenarnya. Seiring
dengan
kebijakan
otonomi
daerah,
pemerintah
mulai
mencanangkan pendekatan pembangunan yang lebih demokratis, dalam artian pembangunan dilakukan dengan pendekatan untuk memulihkan kedaulatan masyarakat. Pembangunan yang dilakukan pemerintah lebih mengedepankan pada swadaya masyarakat sedangkan pemerintah menempatkan diri sebagai fasilitator atau pendukung. Bagi masyarakat desa, perubahan paradigma pembangunan tersebut tidak langsung membawa perubahan pada masyarakat lokal di pedesaan, karenanya kesulitan mengartikulasikan otonomi daerah sebagai gerakan pembangunan mandiri.
Kondisi tersebut didukung
oleh
kurangnya pemahaman aparat pelaksana pemerintahan terhadap unsur asli pembangunan yang berbasis kompetensi lokal. Padahal jika ditelaah lebih jauh, pada masyarakat lokal pedesaan telah tersedianya sumber daya lokal, yang dapat dijadikan modal sosial dalam menciptakan iklim pembangunan yang berbasis unsur lokal. Tak dapat dipungkiri bahwa konsep pengembangan masyarakat di desa sangat menuntut kecerdasan dari masyarakat itu sendiri. Namun melihat latar belakang bangsa Indonesia yang selama orde baru pembangunan banyak didominasi oleh pemerintah (bukan cerminan partisipasi masyarakat), prosesnya
1
akan sulit dan memakan waktu yang lama. Oleh karena itu peranan pemerintah dalam pengembangan masyarakat tidak dapat dilepaskan. Menurut pendapat Sunyoto (2004) terdapat 3 hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu (1) bentuk kontribusi riil dari daerah yang diharapkan oleh pemerintah pusat dalam proses pembangunan dasar; (2) aspirasi masyarakat daerah sendiri, terutama yang terrefleksi pada prioritas program-program pembangunan daerah; (3) keterkaitan antar daerah dalam tata perekonomian dan politik (sehingga sinergi antar daerah). Peranan pemerintah baik pusat maupun daerah paling dominan dalam konteks pengembangan masyarakat adalah dalam perencanaan, pembuatan, dan pelaksanaan kebijakan sosial. Penetapan dasar hukum atas suatu kebijakan sosial menjadi wewenang pemerintah pada setiap tingkatan. Pada proses pembuatan kebijakan sosial, kondisi mental psikologis masyarakat harus diperhatikan sebagai objek kebijakan sosial tersebut. Namun dalam era otonomi daerah, sinergi antara komponen dalam pemerintahan dan masyarakat menjadi syarat mutlak untuk mewujudkan pengembangan masyarakat lokal. Otonomi daerah artinya bertambah kewenangan yang dimiliki oleh setiap daerah
di
tingkat
kabupaten/kota.
Kondisi
otonomi
terjadi
pula
pada
pemerintahan di tingkat desa, seperti yang terjadi di Desa Sawah Kulon Kecamatan Pasawahan Kabupaten Purwakarta. Program pembangunan yang dilaksanakan pada tingkat Desa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi kerakyatan yang berkelanjutan. Evaluasi terhadap program pembangunan yang telah dilaksanakan di Desa Sawah Kulon dilakukan untuk mengidentifikasi berbagai keberhasilan dan kegagalan yang terjadi. Perbaikan terhadap program dilakukan dengan mengoptimalkan seluruh potensi sumber daya lokal dan kekuatan sosial yang ada pada masyarakat Desa Sawah kulon. Hasil evaluasi dapat dijadikan dasar bagi penyusunan program lanjutan atau program sejenis di tempat lain yang berbeda (multiplikasi) sebagai keberlanjutan pengembangan masyarakat. Pemetaan sosial yang telah dilakukan di Desa Sawah Kulon Kecamatan Pasawahan menunjukkan adanya kelompok pengrajin anyaman dari daun pandan yang pernah mendapat program pengembangan masyarakat dari Pemerintah Daerah Purwakarta. Dari 12 kelompok pengrajin anyaman, hanya 5 kelompok yang pernah medapat dukungan bantuan program dari pemerintah daerah. Aktivitas usaha ekonomi lokal pengrajin anyaman ini telah ditekuni
2
kelompok masyarakat tertentu di Desa Sawah Kulon sebagai usaha turun temurun dari tahun 1970-an. Kemudian mereka mengembangkan jenis anyaman tidak hanya memproduksi tikar, tetapi mereka bisa memproduksi jenis lainnya, seperti topi, dompet, tas tangan, sandal, sajadah, dan pernak-pernik lainnya untuk ”souvenir”. Di Desa Sawah Kulon kelompok usaha pengrajin anyaman terdapat 12 kelompok yang tersebar di 5 dusun. Masing-masing kelompok beranggotakan 715 orang laki-laki dan perempuan sebagai pengrajin, tetapi dominan perempuan. Bagi perempuan pekerjaan menganyam dilakukan oleh ibu rumah tangga di sela pekerjaan rumah tangga dengan curahan waktu lebih banyak. Sedangkan bagi laki-laki pekerjaan tersebut dilakukan malam hari setelah pulang berburuh tani sebagai nafkah tambahan.
Kondisi tersebut sangat erat kaitannya dengan
strategi pola nafkah ganda dalam rumah tangga, dimana rumah tangga memiliki mata pencaharian alternatif. Namun pada kenyataannya mata pencaharian dari pengrajin
belum
memiliki
pengaruh
yang
significant
terhadap
kondisi
perekonomian mara pengrajin. Kelompok pengrajin anyaman ini terbentuk secara alamiah karena hubungan kekerabatan (pertalian saudara). Usaha yang dirintis oleh salah satu anggota keluarga kemudian mengajak kerabat lain untuk membantu dan akhirnya menjadi sebuah kelompok. Terdapat 12 kelompok pengrajin tikar. Kelompok tumbuh cukup banyak, mengingat potensi sumber daya alam berupa lahan di Desa Sawah Kulon yang cocok untuk ditanami pohon pandan. Alasan lain tumbuhnya kelompok penganyam karena informasi yang diperoleh setiap pertemuan mingguan pada tingkat desa (minggon desa) bahwa usaha anyaman dapat membawa keuntungan jika dikelola secara sungguh-sungguh.
1. 2. Masalah Kajian Kondisi usaha anyaman saat ini jika dilihat dari omzet sangat tidak stabil sehingga jenis produksi yang dihasilkan juga tidak stabil. Permasalahan omzet yang tidak stabil dipengaruhi oleh permintaan, keterampilan, dan bahan baku yang terbatas. Dengan kata lain kuantitas permintaan, kualitas keterampilan tenaga kerja, dan kontinuitas bahan baku, sangat berpengaruh terhadap produksi kerajinan anyaman ini. Produk anyaman yang hampir selalu diproduksi adalah tikar dan topi karena pangsa pasarnya telah ada. Untuk produksi anyaman jenis lainnya dibuat jika ada pesanan untuk pameran, souvenir, tahlilan
3
(khusus untuk sajadah). Keterbatasan produksi ini juga dikarenakan keterampilan tersebut belum dimiliki oleh semua anggota kelompok. Kendala bahan baku juga menjadi hambatan dalam memproduksi anyaman karena mengandalkan pohon pandan menghasilkan daun yang bagus. Jangkauan produk anyaman Desa Sawah Kulon terbatas di Kabupaten Purwakarta. Pemasaran yang dilakukan oleh kelompok pengrajin dilakukan secara sederhana dengan cara dipasarkan sendiri dengan berkeliling, atau dititipkan pemilik kios di pasar. Kondisi tersebut merupakan kendala sehingga belum dapat mengangkat kondisi ekonomi para pengrajin dimana nilai ekonomi yang dihasilkan dari pekerjaan sebagai pengrajin belum dapat meningkatkan kesejahteraan pengrajin. Kondisi masyarakat kelompok pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon masih berada pada kondisi miskin (Pra KS dan KS I) yang semuanya ada 142 KK. Di dalam masyarakat pedesaan sendiri dapat ditemukan dua macam keadaan menurut Sunyoto (2004), yaitu : Pada masyarakat pedesaan dapat ditemukan dua macam keadaan, yaitu : 1) Terdapat kemiskinan sekaligus kesenjangan, dan 2) Tidak terdapat kemiskinan tetapi kesenjangan masih ada. Namun pada kenyataan kehidupan di Desa Sawah Kulon khsususnya kelompok pengrajin anyaman, keadaan tersebut masih ditambah dengan : masih adanya kemiskinan tetapi karena adanya kekuatan sosial (gotong royong, saling tolong menolong) kesenjangan dapat dieliminer sekecil mungkin. Kondisi kemiskinan pada pengrajin anyaman ini salah satunya disebabkan oleh potensi yang dimiliki pengrajin belum digali. Peran pemerintah dan LSM sebagai fasilitator belum menjangkau kelompok ini secara maksimal. Pengrajin anyaman dapat dipandang sebagai kelompok usaha ekonomi porduktif yang potensial untuk dikembangkan. Daya dukung yang terdapat di Desa Sawah Kulon sendiri dapat menjadi pendorong untuk berkembangnya usaha anyaman ini. Lahan pertanian seluas 82 hektar yang terdapat di Desa Sawah Kulon, 12 hektar diantaranya digunakan untuk menanam bahan baku pohon pandan untuk menghidupi 142 KK dari 1001 KK. Tetapi pada kenyataan di lapangan, 99 KK pengrajin anyaman termasuk dalam kategori penyandang masalah kesejahteraan sosial yaitu keluarga miskin, wanita rawan sosial ekonomi, dan keluarga berumah tak layak huni. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan sebagai pengrajin anyaman ternyata sangat kecil kontribusinya terhadap peningkatan kesejahteraan pengrajin dalam hal pemenuhan kebutuhan standar hidup .
4
Melihat kenyataan kondisi pengrajin anyaman di lapangan, penulis tertarik untuk mengkaji strategi pengembangan masyarakat dengan fokus pada pengrajin anyaman dengan memberdayakan potensi sumber daya lokal. Pertanyaannya adalah bagaimana kelembagaan produksi dan pemasaran ini dapat menguatkan tingkat perekonomian pengrajin anyaman. Kegiatan-kegiatan apa yang dilakukan serta strategi dan teknik apa yang diterapkan di dalam proses community development. Berdasarkan Potensi Desa Sawah Kulon (2004)
terdapat 12 kelompok
pengrajin anyaman yang tersebar di 5 Dusun yang dilakukan oleh 142 KK yang termasuk dalam Pra KS dan KS 1. Dalam kenyataannya usaha anyaman adalah usaha
yang
menghasilkan
pendapatan
yang
mendukung
kelangsungan
kehidupan keluarga selain sebagai buruh tani (bagi laki-laki sebagai KK) dan pekerjaan utama bagi perempuan (selain ibu rumah tangga). Dengan demikian dalam rangka pengembangan masyarakat, kajian ini akan difokuskan untuk menggali lebih jauh informasi tentang : 1.
Bagaimana karakteristik kelompok pengrajin anyaman dan jenis produksi yang dihasilkan di Desa Sawah Kulon.
2.
Bagaimana
kelembagaan produksi kerajinan anyaman dari mulai tenaga
kerja, bahan baku, teknik keterampilan, dan permodalan, yang selama ini telah dilakukan. 3.
Bagaimana distribusi pemasaran
hasil produksi anyaman dari mulai
pengrajin di rumah tangga, kelompok, hingga ke konsumen. 4. Bagaimana merumuskan rencana
produksi
dan distribusi pemasaran
anyaman yang dilakukan bersama-sama dengan pengrajin. 1.3. Tujuan Kajian Secara umum kajian ini dilakukan dengan tujuan untuk : 1. Mengidentifikasi karakteristik kelompok pengrajin anyaman dan jenis produksi yang dihasilkan di Desa Sawah Kulon. 2. Mengidentifikasi kelembagaan produksi kerajinan anyaman
mulai dari
tenaga kerja, bahan baku, teknik keterampilan, dan permodalan. 3. Mengidentifikasi
distribusi pemasaran hasil produksi anyaman mulai dari
tingkat pengrajin dalam rumah tangga, kelompok, hingga ke konsumen. 4. Merumuskan strategi produksi dan distribusi pemasaran kerajinan anyaman.
5
1.4. Kegunaan Kajian Hasil dari kajian ini diharapkan dapat menjadi : 1. Memberikan gambaran baik bagi penulis maupun pemerintah daerah dalam memberdayakan kelompok pengrajin anyaman sebagai bagian dari proses pengembangan masyarakat desa. 2. Menjadi masukan bagi penentu kebijakan pembangunan lokal agar lebih memperhatikan potensi lokal sebagai kekuatan lokal yang dapat memberikan kontribusi langsung terhadap pengambangan masyarakat lokal. 3. Memberikan
pemikiran
bagi
terwujudnya
pengembangan
ekonomi
masyarakat lokal yang berkelanjutan.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Tinjauan Teoritis 2. 1. 1. Pengembangan Usaha Kecil dengan Pendekatan Kelompok, serta Kemitraan dan Pengembangan Jejaring Kegiatan usaha produksi dan pemasaran
yang dilakukan kelompok
pengrajin anyaman dapat dikategorikan sebagai usaha kecil. Apabila merujuk pengertian usaha kecil oleh Widyaningrum (2003) bahwa usaha kecil sebagai usaha yang bersifat padat karya dengan melibatkan anggota keluarga, ukuran unit yang kecil, dan akumulasi modal lebih banyak digunakan untuk pemenuhan kebutuhan keluarga dari pada untuk pengembangan usaha, maka jenis usaha menurut Hafsah (2000) yang termasuk usaha kecil adalah seperti pedagang kaki lima, warungan, bakul (gendong), dan kegiatan usaha ekonomi dalam rumah tangga. Sedangkan menurut Prawirokusumo (2001) Usaha Kecil dan Menengah adalah aktifitas dengan karakteristik : 1. Fleksibel, dalam arti jika menghadapi hambatan dalam menjalankan usahanya akan mudah berpindah pada usaha lain. Pada pengrajin anyaman selain sebagai pengrajin merekapun memiliki pekerjaan lain sebagai pola nafkah ganda dalam keluarga. 2. Dalam permodalan tidak selalu tergantung kepada modal dari luar dengan mengandalkan bantuan modal dari bandar atau bantuan lembaga keuangan lainnya. Dapat berkembang dengan kekuatan modal sendiri secara berkelompok mengumpulkan modal atau modal perorangan walaupun tersendat. 3. Sanggup mengembalikan pinjaman dengan suku bunga tinggi dalam jangka waktu tertentu. 4. Usaha kecil dan menengah ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan kegiatan usaha di berbagai sektor. Merupakan sarana distributor barang dan jasa dalam rangka melayani kebutuhan masyarakat. Berdasarkan definisi di atas, maka usaha anyaman di Desa Sawah Kulon dapat dikategorikan sebagai usaha kecil, usaha menengah, koperasi, atau sejenisnya, tidak hanya didasarkan pada kriteria permodalan, skala usaha, pemasaran, tetapi juga didasarkan pada kemampuan untuk tetap bertahan apabila menghadapi gangguan dalam berusaha. Pengembangan usaha kecil khususnya pengrajin anyaman berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (pustaka), masih menghadapi beberapa kendala dan 7
permasalahan. Permodalan, sarana prasarana, sumber daya manusia, bahan baku, pemasaran, persaingan, adalah masalah umum yang dihadapi usaha kecil seperti pengrajin anyaman ini. Menurut Prawirokusumo (2001), permasalahan yang dihadapi usaha kecil pengrajin anyaman adalah : 1. Usaha pengrajin anyaman berada di desa secara berkelompok-kelompok dan tersebar berjauhan. 2. Taraf pendidikan pengrajin yang rendah berakibat pada lemahnya dalam pengetahuan manajemen dan bisnis, sulit menerima gagasan baru,
dan
sikap mental cepat puas dengan apa yang telah dicapai. 3. Kelompok pengrajin sulit untuk dapat mengakses modal dari perbankan maupun lembaga non perbankan karena persayaratan yang sulit dan kekhawatiran tidak dapat mengembalikan pinjaman. 4. Penggunaan teknologi tradisional yang terbatas yang berimbas pada mutu dan produktivitas (kualitas dan kuantitas). 5. Penguasaan
teknologi
secara
pewarisan
berakibat
pada
kesulitan
mengembangkan keterampilan. 6. Karena kendala biaya sulit untuk mengikuti pameran ke tingkat yang lebih strategis untuk promosi hasil produksi. Kesempatan promosi melalui media cetak dan elektronik yang kurang sehingga sulit untuk berkembang. Untuk memahami pola perilaku dalam kelembagaan pemasaran tidak akan cukup hanya dengan melihat dan menjumlahkan perilaku anggota komunitas saja. Pola perilaku tersebut mencakup perilaku setiap anggota komunitas, kelompok dalam komunitas, dan perilaku komunitas secara umum. Sistem kegiatan produksi dan pemasaran yang dilakukan oleh pengrajin anyaman biasanya secara berkelompok. Kelompok dapat terbentuk berdasarkan kekerabatan, letak tempat tinggal, kesamaan keadaan, dan lain-lain. Thoha (1992) menyebutkan bahwa teori pembentukan kelompok terdapat tiga elemen yang satu sama lain saling berhubungan, yaitu : 1. Semakin banyak aktifitas yang dilakukan bersama orang lain (shared), semakin beraneka interaksinya, dan juga semakin kuat sentimen-sentimen diantara mereka. 2. Semakin banyak interaksi diantara orang-orang, maka semakin banyak kemungkinan aktifitas dan sentimen ditularkan (shared) pada orang lain.
8
3. Semakin banyak aktifitas dan sentimen yang ditularkan pada orang lain, dan semakin banyak sentimen seseorang dipahami oleh orang lain, maka semakin banyak kemungkinan ditularkan aktifitas dan interaksi. Memasuki kelompok yang sudah ada di masyarakat akan lebih mudah membentuk kohesivitas dari pada membentuk kelompok yang baru di desa. Menurut Astrid (1985) kelompok adalah terdiri dari dua orang atau lebih di dalamnya terbentuk pembagian pekerjaan secara khusus. Dalam pengembangan masyarakat dengan fokus pada pengrajin anyaman, maka kelompok yang sudah terbentuk ada di masyarakat akan lebih mudah membentuk kohesivitas. Untuk membangun sebuah kegiatan yang berfokus pada perkembangan kelompok dapat dilakukan karena adanya sentimen yang telah dipahami dan saling berpengaruh. Kelompok yang terbentuk dapat dipahami dengan mengenali karakteristik dari anggota kelompok tersebut. Karakteristik yang mudah untuk dipahami dan dikenali secara umum adalah dari usia, jenis kelamin. tingkat pendidikan, pekerjaan. Tetapi pada kelompok pengrajin anyaman ini, karakteristik
akan
dipahami dan dikenali adalah dari : 1. Struktur dalam kelompok, seperti : siapa yang memimpin dan pengambil keputusan, siapa yang paling berpengaruh dalam kelompok, siapa yang paling dipatuhi dalam kelompok, dan lain-lain. 2. Lamanya kelompok tersebut ada dan apa yang menjadikan penyebab kelompok itu tetap ada, apakah karena : ikatan kekerabatan, kepentingan ekonomi, pertalian agama, dan lain-lain. 3. Kelompok didominasi oleh perempuan atau laki, tingkat usia mereka, latar pendidikan mereka, dan lain-lain. Dengan asumsi pemikiran di atas, maka mudah melakukan pendekatan secara kelompok untuk mamahami dan mengenali permasalahan yang dihadapi oleh kelompok pengrajin. Kelompok pengelolaan
pengrajin
usaha
anyaman
dengan
merupakan
melibatkan
potensi
partisipasi
apabila
masyarakat
dalam dan
memberdayakan kekuatan lokal yang ada pada masyarakat. Adapun cara kerja model intervensi dalam pengembangan kelompok pengrajian anyaman dengan melibatkan dan memberdayakan kekuatan lokal yang ada pada masyarakat, melalui :
9
1) Penentuan kebutuhan, usaha membuat kerajian anyaman adalah usaha yang dapat memenuhi kebutuhkan sehari-hari bagi sebagian penduduk. 2) Kelembagaan pemasaran yang telah dilakukan
membawa manfaat lebih
positif bagi pengrajin. 3) Bagaimana pola produksi dan pemasaran dapat memajukan ekonomi masyarakat lokal dan menampung sumber daya lokal. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Arthur Dunham (1962;216) dalam Jusman Iskandar (1993) mengemukakan bahwa pengembangan masayarakat mencakup
perencanaan
yang
memfokuskan
pada
kebutuhan-kebutuhan
masyarakat, bantuan teknis, integrasi berbagai keahlian untuk membantu masyarakat serta ditekankan pada prinsip gotong royong dan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu potensi, kekuatan sosial, dan sumber daya lokal, apabila dilibatkan dalam strategi pengelolaan pemasaran kerajinan anyaman dapat mengarah pada pengembangan masyarakat lokal. Secara nasional usaha kecil menengah yang dilakukan oleh 225.000 (1998) kelompok UKM, harus mampu menjadi kekuatan perekonomian nasional. Mekanisme pasar menjadi kekuatan utama dalam perdagangan dalam negeri. Prospek ke depan usaha kecil menengah yang memiliki daya saing (competitive advantages), hal ini dapat dilihat dari : 1. Produktifitas, yaitu input per unit (tenaga kerja, modal, bahan baku). 2. Inovasi dalam produksi hasil usaha kecil menengah (desain, fungsi, proses, pemasaran) yang bertumpu pada kuantitas dan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki. 3. Segmentasi/focus, karena tidak ada suatu daerah yang memiliki daya saing dalam semua industri, maka hal ini tergantung pada bagaimana kita dapat mengeksplore kelebihan yang dimilki. Kebijakan dalam pengembangan usaha kecil menengah akan mendukung pada perkembangan yang kondusif bagi usaha kecil menengah. Langkah operasional kebijakan dapat berupa : 1. Kebijakan persaingan yang sehat dan pengurangan distrorsi pasar. 2. Kebijakan ekonomi yang memberikan peluang bagi usaha kecil menengah untuk mengurangi beban biaya yang tidak berhubungan dengan proses produksi. 3. Kebijakan pertumbuhan kemitraan dengan prinsip saling memerlukan, memperkuat, dan saling menguntungkan.
10
Mengacu pada kebijaksanaan dasar operasional tersebut, maka penumbuhan iklim yang kondusif dapat dilakukan melalui pengembangan terpadu, terarah dan berkesinambungan semakin relevan dan perlu ditingkatkan. Dengan demikian usaha kecil menengah diharapkan dapat tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan ekonomi yang tangguh, mandiri, dan mampu memperkuat struktur perekonomian nasional. Pendapat Prawirikusumo (2001), bahwa dukungan penguatan kepada kelompok usaha ekonomi kecil menengah dapat berupa : 1) Peningkatan kualitas sumber daya manusia koperasi dan UKM, 2) Peningkatan penguasaan teknologi, 3) Peningkatan penguasaan informasi, 4) Peningkatan penguasaan permodalan, 5) Peningkatan penguasaan pasar, optimalisasi organisasi manajemen, 6) Pencadangan tempat usaha, 7) Pencadangan bidang-bidang usaha. Konsep kemitraan dalam Haeruman dan Eriyanto (2001) yang tercantum dalam UU nomor 9 tahun 1999 berbunyi kerjasama antara usaha kecil dengan usaha
menengah
atau
dengan
usaha
besar
disertai
pembinaan
dan
pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah dan usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Tujuan dari kemitraan itu sendiri adalah untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha, meningkatkan kualitas sumber daya kelompok mitra, peningkatan skala usaha, serta menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok mandiri. Kemitraan pada kelompok pengrajin anyaman adalah satu solusi untuk mengatasi permasalahan dalam permodalan, pemasaran, penyediaan bahan baku, yang berorientasi pada saling menguntungkan. Kemitraan yang akan dibangun nantinya berdasar pada adanya jalinan kerjasama dan kepercayaan (trust). Dalam kemitraan tidak ada pihak yang rendah, tetapi setara (egaliter), hasil yang didapat akan memberikan keuntungan bagi pihak-pihak yang bermitra. Beberapa peluang pengembangan usaha pengrajin anyaman yang dapat diperoleh melalui kegiatan kemitraan yaitu : 1. Kerjasama pemasaran atau penampungan produk usaha secara lebih jelas. 2. Kerjasama dalam bentuk bantuan dana, teknologi, atau sasaran lain yang diberikan usaha besar. 3. Kerjasama untuk dapat menghindar dari proses persaingan terhadap produk yang sama antara pengusaha kecil, pengusaha menengah, atau pengusaha besar.
11
4. Kerjasama dengan berbagi tugas masing-masing pengusaha sesuai dengan spesialisasi
dan
tugas
masing-masing
dalam
sistem
bisnis
yang
berkesinambungan. Untuk dapat melaksanakan kemitraan dengan baik, diperlukan ketaatan dan kepatuhan di antara yang bermitra terhadap kesepakatan bersama, sehingga tumbuh etika kemitraan, baik dalam hubungan sosial dan ekonomi yang dijalin. Pada pengembangan usaha kerajinan anyaman terdapat empat subsistem, yaitu : (1) sub-sistem hulu : tenaga kerja, bahan baku, permodalan, (2) sub-sistem usaha : proses produksi pembuatan kerajinan anyaman, (3) subsistem hilir : pemasaran, dan (4) sub-sistem penunjang : teknik keterampilan, penyuluhan, bimbingan. Dengan demikian pengrajin sebagai produsen dan pihak luar yang akan bermitra dengan pengrajin, menjadi komponen yang sangat penting. Sedangkan konsep kemitraan pada kelompok pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon ini menekankan pada : bahan baku, permodalan, teknik keterampilan, dan perluasan jalur pemasaran. Proses produksi dan pemasaran dari kerajinan anyaman memerlukan pengembangan jejaring untuk mendapatkan hasil produksi dan jalur pemasaran yang memberi keuntungan maksimal bagi kelompok pengrajin. Pengembangan kemitraan dan jejaring bagi kelompok pengrajin anyaman dapat memperluas perolehan bahan baku, permodalan, teknik keterampilan, dan pemasaran yang lebih baik. Pengembangan usaha-usaha kecil produktif yang berbasiskan kepada komunitas,
diharapkan
bisa
melibatkan
stakeholders
seperti
organisasi
pemerintah dan masyarakat, atau organisasi internasional. Pengembangan jejaring dalam kelembagaan tidak mengadopsi pendekatan birokrasi atau teknokrat. Keberhasilan dalam pengembangan jejaring merupakan media untuk merumuskan kebijakan menjadi sangat penting. Semua tergantung kepada komitmen semua stakeholders yang terlibat. Konsep usaha berbasiskan komunitas merupakan perpaduan dari konsep pembangunan yang berbasis masyarakat (community based developmen) dengan konsep ekonomi berbasis masyarakat (community based economy). Adanya beragam institusi dalam komunitas yang bergerak di bidang usaha produktif yang berbasis komunitas dan melembaga, baik pada sektor pertanian dan non pertanian (pengrajin). Jejaring kelembagaan kolaboratif yang dikembangkan harus dapat menjalin hubungan berdasarkan prinsip kesetaraan
12
dengan
institusi-institusi
tersebut.
Sistem
jejaring
yang
dibentuk
perlu
mempertimbangkan mekanisme pada sistem tradisional, karena mereka yang memiliki kewenangan untuk mengatur. Aturan yang menjadi kendala dalam proses produksi dan pemasaran akan dihilangkan dan diganti dengan tujuan untuk menghindarkan dari kesulitan untuk tumbuh dan berkembang serta menghindari situasi yang menyengsarakan. Hal-hal tersebut perlu diingat dalam pengembangan jejaring karena akan menyelamatkan jaringan pasar yang sudah ada. Dalam pengembangan kapasitas komunitas lokal, pemerintah lokal diharapkan dapat berperan sebagai fasilitator. Seluruh stakeholders yang terlibat mampu
mengsinergiskan
aktifitas
pengembangan
masyarakat
untuk
meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengembangan usaha ekonomi produktif yang berbasiskan sumber daya lokal. Dalam hal pendanaan kegiatan produktif, peranan pemerintah lokal tetap sebagai fasilitator dari pada bertindak sebagai donatur. Pemerintah lokal perlu mengalokasikan dana untuk masyarakat lapisan bawah atau pengusaha kecil di wilayahnya. Penguatan kelembagaan merupakan hal penting dalam pemberdayaan masyarakat. Maka harus dimulai dengan kesepakatan bahwa penguatan kelembagaan dan alokasi dana merupakan dukungan bagi pemberdayaan masyarakat yang melengkapi perkembangan kegiatan usaha produktif masyarakat lokal. Apabila dilandasi dengan respon yang baik serta prinsip-prinsip partisipatori, maka hasil pemikiran stakeholders pada tingkat lokal atau nasional perlu dikembangkan pada jejaring di tingkat komunitas dan lokal. Rumusan dari jejaring perlu mendapat tanggapan dari masyarakat lokal. Hasilnya adalah dapat dimanfaatkannya SDA secara optimal, setiap orang yang mau bekerja dapat memperoleh pekerjaan dan pendapatan untuk memenuhi kebutuhannya. Produk yang dihasilkan bisa diolah dan dipasarkan dengan harga wajar. Kegiatan produktif yang dilakukan ramah lingkungan, bebas polusi, sehingga ada jaminan keberlanjutan usaha. Apabila kelompok dalam masyarakat suatu komunitas ingin bekerjasama dengan pihak lain (vertikal maupun horizontal), maka dapat terwujud masyarakat pengusaha kecil yang kuat yang nantinya akan membuka peluang besar menjadi masyarakat pengusaha menengah. Kebijakan dan program yang melibatkan berbagai pihak yang berbeda kepentingan
dan
mungkin
pula
berbeda
dalam
tingkatan
pengambilan
keputusan, memerlukan mekanisme yang sangat tepat. Mekanisme yang
13
memiliki fleksibilitas sekaligus menjamin efisiensi adalah melalui pembentukan jejaring (networking). Jejaring dapat dibentuk dengan kerjasama antar lembaga pada tingkatan yang sama atau berbeda pada berbagai tingakatan (daerah, propinsi, atau pusat).
2. 1. 2. Kelembagaan Produksi Istilah kelembagaan (instituion) dapat diartikan sebagai tata aturan atau pola hubungan yang mengatur perilaku dalam sebuah sebuah sistem (abstark). Dapat pula diartikan sebagai bentuk wujud berupa lembaga seperti organisasi tertentu (konkrit). Kelembagaan menurut Hayami dan Kikuchi (1982) dalam Syahyuti (2003) adalah suatu perangkat aturan yang mengatur atau mengikat dan dipatuhi oleh masyarakat. Pengembangan kelembagaan dalam kaitannya dengan ekonomi lokal dapat didefinisikan sebagai proses untuk memperbaiki kemampuan lembaga guna mengefektifkan penggunaan sumber daya manusia dengan keuangan yang tersedia (Israel, 1992). Aninditya (2004) berpendapat bahwa produksi merupakan proses kegiatan mengolah bahan mentah menjadi barang jadi yang siap dipakai dengan semuan sistem yang manjadi faktor penunjang. Assauri dalam Nilasari dan wilujueng (2006) berpendapat bahwa Produksi adalah merupakan segala kegiatan dalam menciptakan dan menambah kegunaan (utilitiy) sesuatu barang atau jasa. Kegunaan yang diperoleh dari proses produksi adalah : 1. Kegunaan bentuk (Utility of Form). Seperti daun pandan menjadi tikar, topi, tas, dompet. 2. Kegunaan Waktu (Utility of Time). Tejadi proses penyimpanan setelah berbentuk barang siap pakai dengan tujuan untuk menunggu pasar memerlukan produk tersebut. 3. Kegunaan Tempat (Utility of Place). Adanya pendistribusian barang sehingga memerlukan jasa transportasi. 4. Kegunaan Milik (Utility of Ownership). Melalui usaha perdagangan maka pengrajin memiliki dan bebas memperdagangkan hasil produksi yang diciptakannya untuk mendapatkan hasil atau keuntungan. Fungsi produksi yang dijalankan oleh pengrajin anyaman adalah berupa aktifitas menciptakan barang/jasa sesuai kebutuhan dengan mempertimbangkan waktu, harga, dan jumlah yang tepat. Terdapat
4 fungsi produksi dalam
kelembagaan produksi anyaman, yaitu :
14
1. Proses, meliputi berbagai metode dan teknik yang digunakan dalam pengolahan bahan baku. 2. Jasa, aktifitas yang dilakukan sehingga proses dapat dipergunakan secara efektif. Jasa sangat berhubungan dengan pengetahuan dan teknologi untuk menjamin berlangsungnya proses produksi. 3. Perencanaan, merupakan pedoman dari kegiatan produksi untuk waktu tertentu. Perencanaan dilakukan untuk pencapaian tujuan produksi agar dilaksanakan secara afektif. 4. Pengawasan, dilakukan untuk menjamin bahwa kegiatan dapat dilaksanakan semsestinya. Pengawasan diperlukan untuk membandingkan antara rencana dengan kenyataan, sehingga apabila terjadi penyimpangan akan dilakukan koreksi sebelum produk dipasarkan. Pembuatan kerajinan anyaman dari daun pandan sehingga menjadi sebuah hasil anyaman (tikar, topi, tas, sandal, dan lain-lain) yang siap pakai, banyak melibatkan faktor yang mendukung untuk terjadinya sebuah hasil produksi :. 1. Tenaga kerja yang mengerjakan pembuatan kerajinan yang berkaitan dengan sistem pengupahan, 2. Modal finansial untuk memperoleh kemudahan fasilitas dan sistem upah, 3. Bahan baku sebagai bahan dasar pembuat kerajinan, 4. Teknik keterampilan untuk membuat kerajinan sehingga menghasilkan produk yang beraneka ragam dengan kuantitas dan kualitas yang memadai. 5. Pola produksi yang dilakukan bersifat musiman atau menatap/konsisten. Usaha kecil yang dilakukan secara berkelompok, khususnya pada pengrajin anyaman, dikarenakan letak tempat tinggal pengrajin yang berdekatan. Lokasi para pengrajin yang berdekatan ternyata dapat membantu proses produksi dalam hal memperoleh tenaga kerja dan bahan baku yang cukup. Oleh karena itu, pengkaji lebih menitik beratkan kelembagaan produksi pada definisi operasional menurut Tambunan (2001) sebagai pola hubungan yang mengatur perilaku kelompok usaha kecil dari mulai pelibatan tenaga kerja, upah, keragaan produksi, perolehan bahan baku, permodalan, teknologi/keterampilan, dan pihak ketiga usaha kelompok kecil. Definisi operasional ini didasarkan pula pada hasil pangamatan di lapangan selama melakukan kajian. Pengkaji
melakukan
pengamatana pada tahapan definisi kelembagaan produksi karena kegiatan yang berhubungan denga produksi yang ditemukan di lapangan adalah seperti
15
tertera pada definisi operasional menurut Tambunan (2001). Oleh karena itu, bahasan kelembagaan produksi pada kajian ini pun selanjutnya akan lebih menekankan pada : 1). Tenaga kerja dan Upah, 2) Bahan Baku, 3) Permodalan, 4) Teknologi dan Keterampilan, dan 5) Pihak ketiga (mitra Kerja). Sistem kelembagaan produksi kerajinan anyaman akan menjadi input bagi tercapainya hasil pemasaran yang dapat meningkatkan kesejahteraan para pengrajin. Sistem upah tenaga kerja dan penentuan harga produksi dapat dipengaruhi oleh pola kelembagaan produksi yang selama ini dilakukan. Penggunaan teknologi pada proses produksi sangat memungkinkan dilakukan pada kelompok pengrajin anyaman. Tetapi karena pola hidup di pedesaan yang mengutamakan kekeluargaan dan gotong royong, bukan tidak mungkin untuk menggunakan teknologi, tetapi lebih pada pentingnya penyerapan tenaga kerja di desa dan pembagian hasil (upah) yang merata.
2. 1. 3. Kelembagaan Pemasaran Pemasaran merupakan kegiatan yang dapat menambah nilai ekonomi, berada antara produksi dan konsumsi, sehingga sehingga harus dapat menafsirkan tentang kebutuhan konsumen untuk dapat melakukan proses produksi
selanjuntnya.
Stanton
dalam
Nilasari
dan
Wiludjeng
(2006)
mengemukakan pengertian pemasaran sebagai sistem keseluruhan dari kegiatan usaha yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, memproduksi, dan mendistribusikan barang dan jasa yang dapat memuaskan kebutuhan pembeli. Aninditya (2004) berpandapat bahwa pemasaran merupakan suatu runtutan kegiatan atau jasa yang dilakukan untuk memindahkan suatu produk dari titik produsen ke titik konsumen. Maka dari definisi tersebut terdapat tiga hal penting, yaitu :1) Kegiatan (jasa) merupakan fungsi yang dilakukan dalam pemasaran, 2) Titik Produsen, dan 3) Titik Konsumen. Tujuan dari suatu pemasaran produk adalah konsumen yang merupakan akhir dari transaksi. Kegiatan jasa yang dilakukan oleh konsumen pun seringkali tidak masuk dalam kegiatan pemasaran. Hubungan
sosial
dalam
dunia
pemasaran
bersifat
tersekat-sekat
(disparsial). Umumnya seorang petani hanya mengenal pelaku setingkat di bawah dan di atasnya. Pedagang hasil pertanian tidak akan mengenal pedagang dalam seluruh jaringan atau saluran dari mulai pengumpul di desa sampai
16
dengan pengecer. Seorang pedagang hasil pertanian di pasar induk tidak pernah bertemu dengan konsumen langsung karena adanya pedagang keliling yang langsung bertemu dengan pembeli (konsumen). Demikian pula dengan pemasaran kerajinan anyamana, pedagang anyaman bisa langsung bertemu dengan produsen dan konsumen, atau hanya bagian dari saluran atau jaringan dari produsen tingkat paling pertama sampai konsumen tingkat akhir. Pemasaran merupakan kelembagaan yang komplek membentuk hirarki dan keterkaitan dalam transaksi yang melibatkan berbagai macam komoditi. Penampilan sebuah pemasaran dapat diwujudkan dengan integrasi pemasaran. Hasil dari tindakan pedagang-pedagang dan pengoperasian lingkungan yang ditentukan oleh infrastruktur yang tersedia untuk perdagangan dan kebijakan yang mempengaruhi transmisi dari satu pasar ke pasar yang lain. Interaksi suply dan demand didalamnya terdapat pola hubungan dan aturan antara konsumen dan produsen pada masyarakat pedesaan. Pola hubungan dan interaksi tersebut dapat menjadi ciri khas dari sebuah desa (daerah), seperti misalnya di Kabupaten Tasikmalaya yang terkenal dengan sistem perkriditan secara harian oleh pedagang keliling yang berhubungan langsung dengan konsumen. Kelembagaan pemasaran pada kajian ini menitik beratkan pada definisi operasional menurut Tambunan (2001)
yaitu sebagai pola hubungan yang
mengatur perilaku kelompok usaha kecil dari mulai aturan main sanksi, persaingan, pola hubungan dan dasar penentuan harga, serta hubungan dengan pihak ketiga, untuk mengembangkan usaha mereka. Definisi operasional ini didasarkan pada hasil pangamatan di lapangan selama melakukan kajian. Pengamatan yang dilakukan pada tahapan definisi kelembagaan pemasaran menekankan pada kegiatan yang memiliki hubungan denga pemasaran yang ditemukan di lapangan, seperti tertera pada definisi operasional di atas. Bahasan kelembagaan pemasaran pada kajian ini pun selanjutnya akan lebih menekankan pada : 1). Aturan Main dan Sanksi, 2) Persaingan, 3) Pola Hubungan dan dasar Penentuan Harga, dan 4) Bandar Pemasaran.
2. 1. 4. Pemberdayaan Ekonomi Lokal dan Pengembangan Masyarakat Pemberdayaan
merupakan
suatu
proses
membuat
berdaya
perseorangan, kelompok atau komunitas dari asalnya tidak atau kurang berdaya menjadi mempunyai daya untuk mencapai kondisi kehidupan yang lebih baik.
17
Pemberdayaan dilakukan dengan peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunkan daya yang dimilki. Menurut Shardow (1998) seperti dikutip Adi (2003), melihat pemberdayaan pada intinya bagaimana individu, kelompok dan
komunitas
berusaha
mengontrol
kehidupan
mereka
sendiri
dan
mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Pemberdayaan digambarkan sebagai suatu gagasan yang dikenal di bidang kesejahteraan sosial dengan istilah self determination. Yaitu kemampuan untuk menetukan diri sendiri yang harus dilakukan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi sehingga memilki kesadaran dan kekuasaan penuh dalam menentukan masa depan. Konsep pemberdayaan ini lebih dimaknai sebagai penguatan kapasitas komunitas lokal. Artinya, pemberdayaan lebih dipahami sebagai encouraging self-expression and self determination, menguatkan diri sendiri sehingga dapat menentukan dirinya sendiri. Pemberdayaan ekonomi lokal berupaya meningkatkan pendapatan kelompok
masyarakat
dengan
mengembangkan
usaha
ekonomi
yang
telah/sedang ditekuni masyarakat. Upaya pengembangan ekonomi lokal tersebut dilakukan dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Menurut Syaukat dan Sutara (2005), fokus pengembangan ekonomi lokal pada : 1) Peningkatan daya saing (competitiveness), 2) Penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat (job creation), 3) Pengembangan aspek pemerataan (equity), 4) Mencakup berbagai disiplin : perencanaan dan manajemen, ekonomi dan pemasaran. Maka proses produksi dan pemasaran anyaman yang terjadi pada sebagian masyarakat Desa Sawah Kulon dapat difokuskan pada pengembangan ekonomi lokal, karena : 2. Penciptaan produksi baik pertanian maupun non pertanian dalam jangka waktu tertentu ingin menciptakan competitiveness. 3. Penciptaan competitiveness akan membuka lapangan kerja bagi penduduk sekitar. 4. Terjadi pemertaan dalam hal memperluas lapangan kerja dan persaingan untuk menghasilkan produk unggulan. 5. Pada akhirnya untuk mencapai hasil yang diinginkan diperlukan perencanaan dan manajemen, ekonomi dan pemasaran. Pengembangan masyarkat pada
kelompok usaha kecil khususnya
pengrajin anyaman dengan melihat potensi yang dimiliki merupakan : 1. Kegiatan yang melibatkan anggota keluarga,
18
2. Dilakukan dalam unit kecil (rumah tangga, kelompok). 3. Sebagai mata pencaharian (sebagian kelompok menjadi mata pencaharian utama, sebagian lagi menjadi mata pencaharian sampingan). Pengembangan masyarakat melalui proses interaksi
kelembagaan
produksi dan pemasaran anyaman dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan di Desa Sawah Kulon. Pemenuhan kebutuhan dasar hidup penduduk pada kelompok ekonomi kecil dapat terpenuhi melalui kelembagaan produksi dan pemasaran anyaman. Tidak hanya itu, komunitas pengrajin anyaman dan masyarakat produsen (pertanian dan non pertnian) dapat meningkatkan kemampuan dalam usaha mereka. Usaha ekonomi lokal dan perdagangan untuk usaha ekonomi kecil di desa sangat rentan terhadap pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Tidak adanya pemisahan antara urusan rumah tangga dan manajemen yang baik dalam usaha ekonomi. Hal ini terjadi
pada kelompok usaha ekonomi lokal
pengrajin anyaman. Tambunan (2002) mengemukakan permasalahan pada kelompok penguaha kecil : 1) Kesulitan pemasaran, 2) Keterbatasan aspek finansial (modal awal dan modal kerja), 3) Keterbatasan SDM, 4) Masalah bahan baku, 5) Keterbatasan penggunaan teknologi. Kondisi tersebut dialami oleh kelompok pengrajin anyaman dan kelompok usaha ekonomi kecil lainnya, sehingga usaha yang mereka kelola sulit untuk dapat berkembang. Pemasaran hasil produksi bisa dilakukan jika jangkauannya tidak terlalu luas. Untuk tingkat desa, pemasaran produksi dapat dilakukan melalui pasar desa. Maka terjadilah hubungan antara peningkatan potensi produksi lokal (pertanian dan non pertanian) melalui jaringan pasar desa. Penggunaan SDM, akses terhadap bahan baku, dan teknologi, dapat memperluas peluang membuka lapangan kerja baru bagi penduduk sekitar pengrajin anyaman. Pengembangan masyarakat dapat dilakukan melalui entry point perluasan peluang membuka lapangan kerja baru. Dalam pengembangan masyarakat, konteks melihat masyarakat adalah sebagai kelompok besar dalam komunitas pedesaan. Untuk kepentingan kajian, maka kelompok kecil pengrajin anyaman menjadi subjek yang mudah untuk dikembangkan. Dalam
pengembangan
masayarakat,
paritisipasi
masyarakat
yang
didasarkan pada inisiatif dan swadaya masayarakat merupakan aspek yang sangat
penting.
Pengembangan
masyarakat
(community
development)
diperlukan untuk menggerakan partisipasi anggota masyarakat serta untuk
19
kelangsungan kegiatan suatu proyek pembangunan. Untuk itu diperlukan usaha pengembangan sehingga
masyarakat
tumbuh
yang
kemandirian
mengikutsertakan dalam
seluruh
mengatasi
dan
masyarakat memecahkan
permasalahan yang mereka hadapi. Strategi pengembangan masyarakat merupakan pergeseran pola pembangunan yang tadinya bersifat top-down menjadi bottom-up atau hasil dari inisiatif masyarakat akar rumput (grassroot). Usaha produksi dan pemasaran anyaman yang dilakukan jika mengalami perkembangan, maka absorbsi tenaga kerja tidak hanya dari lingkungan keluarga saja. Penciptaan lapangan kerja baru bagi masyarakat dapat menjadi peluang jika
sumber
kekuatan
ekonomi
lokal
dikembangkan.
Spesialisasi
dan
profesionalisme memberikan peluang bagi penduduk lainnya untuk dapat berpartisipasi
pada
pengembangan
usaha
ekonomi
lokal
tersebut.
Pengembangan masyarakat desa tidak semata-mata terbatas pada peningkatan sektor pertanian, juga tidak hanya mencakup peningkatan kesejahteraan sosial melalui perputaran uang dan jasa untuk mencukupi kebutuhan dasar. Lebih dari itu pengembangan masyarakat pedesaan merupakan upaya dengan spektrum kegiatan yang menyentuh berbagai sendi pemenuhan kebutuhan. Sehingga seluruh anggota masyarakat desa dituntut untuk dapat mandiri, percaya diri, tidak tergantung
dan
dapat
lepas
dari
belenggu
struktural
yang
membuat
kesengsaraan. Pengembangan ekonomi berbasis komunitas dalam kaitannya dengan kelompok pengrajin, secara konseptual mengandung pengertian pemanfaatan potensi sumber daya lokal, baik itu berupa SDA, SDM, atau kelembagaan dengan mengakomodasikan berbagai aspirasi dan kebijakan setempat, pertimbangan ilmiah, sehingga menjadi kegiatan produksi yang berkelanjutan. Pola produksi dan distribusi pemasaran pada pengrajin anyaman sebagaimana pendapat Sajogyo & Pudjiwati (1990) bahwa pola perdagangan anyaman berbeda sesuai dengan hal apakah anyaman dihasilkan dengan cara kecil-kecilan tetapi tersebar, atau oleh banyak pengrajin tetapi besar-besaran. Dan pola itu juga berbeda apakah produksi kerajinan anyaman yang dihasilkan hanya untuk konsumsi lokal atau untuk diangkut ke kota-kota besar. Dan pola ini tergantung dari mudah rusaknya kerajinan anyaman, maupun antara jumlah kerajinan anyaman yang dihasilkan dengan kapasitas absorbsi pasar lokal terhadap kerajinan anyaman. Pola perdagangan kerajinan anyaman juga akan berbeda sesuai dengan hal apakah kerajinan anyaman itu dijual eceran kepada
20
pemakai
ataukah
secara
besar-besaran
kepada
pedagang
lain.
Pola
perdagangan (pemasaran) tidak jauh dari pendapat Sojogyo dan Pudjiwati (1990) karena luas cakupan pemasaran atau konsumen pengrajin anyaman saat ini hanya
pada
masyarakat
lokal.
Tetapi
dalam
hal
ini
pengkaji
sangat
mempertimbangkan partisipasi kekuatan lokal yang ada pada masyarakat Desa Sawah Kulon.
2. 1. 5. Analisis SWOT Konsep dasar dalam analisis SWOT sangat sederhana, Tzu Sun (1992) dalam Rangkuti (2006) mengemukakan bahwa apabila kita telah mengenal kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dan mengetahui kekuatan dan kelemahan lawan, sudah dapat dipastikan kita akan dapat memenangkan pertempuran. Definisi pertempuran dalam kajian ini adalah mengembangkan kelembagaan produksi dan pemasaran produk anyaman. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan seperti pendapat Porter (1985) dalam Rangkuti bahwa strategi merupakan alat yang sangat penting untuk mendapatkan keunggulan bersaing. Dalam hal ini staretgi untuk menciptakan kelembagaan produksi dan pemasaran anyaman agar dapat memiliki keunggulan dari produk lain yang sejenis. Analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan secara strategis selalu berkaitan dengan tujuan. Dengan perencanaan strategis dilakukan analisis SWOT pada saat ini, sehingga analisis ini disebut sebagai analisis situasi yang membandingkan antara faktor eksternal (peluang/opportunities dan ancaman/threats) dan faktor internal (kekuatan/strenghts dan kelemahan/weakness).
2. 2. Kerangka Analisis Pengembangan aktivitas usaha pengrajin anyaman melalui penguatan kelembagaan produksi dan pemasaran berkorelasi dengan pengembangan potensi ekonomi lokal penduduk desa. Kegiatan usaha produktif pengrajin anyaman dapat dikembangkan melalui sistem produksi dan pemasaran dengan mengembangkan kelembagaan produksi dan pemasaran. Pengrajin anyaman
21
merupakan salah satu komunitas yang dapat menyerap tenaga kerja lokal, menggunakan bahan baku lokal, serta dapat menjadi produk khas. Dalam perkembangannya, aktifitas usaha pengrajin anyaman ini berjalan sangat lambat dan tidak ada peningkatan usaha. Posisi tawar dalam pemasaran, informasi harga dan bahan baku masih lemah karena pengetahuan mereka tentang kerajinan anyaman yang sangat terbatas pada pengetahuan lokal saja. Akibatnya sangat kecil sekali pengaruhnya terhadap perubahan kondisi perekonomian kelompok masyarakat pengrajin anyaman ini. Hal ini menarik untuk dikaji manakala suatu komunitas dalam posisi lemah akan berpengaruh terhadap banyak hal, sehingga perlu dipahami bagaimana karakteristik dan keragaman usaha tersebut. Program pengembangan masyarakat yang pernah ada belum dapat meningkatkan taraf kehidupan pengrajin anyaman ini. Keberlanjutan usaha kerajinan anyaman belum dapat diakses secara optimal oleh kelompok usaha ini. Program yang pernah ada masih bernuansa top-down dan kurang berbasis pada pengembangan
komunitas
sehingga
tidak
ada
keberlanjutan.
Kerangka
pemikiran dari analisis pengembangan kelembagaan produksi dan pemasaran kerajinan anyaman dapat dilihat pada Gambar 1. Untuk dapat mencapai kondisi pengembangan masyarakat pada usaha kelompok pengrajin anyaman diperlukan pengembangan kapasitas kelembagaan produksi dan pemasaran sehingga tercapai keberlanjutan dari usaha kerajinan anyaman. Alur kerja penguatan kelembagaan produksi dan pemasaran pada kelompok pengrajin anyaman dapat dilihat pada Gambar 2. Dengan melihat indikator kelompok (kepemimpinan, struktur kelompok, lamanya kelompok, dan lain-lain) dan indikator produksi dan pemasaran (tenaga kerja, upah, bahan baku, permodalan, teknologi, dan lain-lain) maka dapat dianalisi kelembagaan produksi dan pemasaran yang selama ini dilakukan oleh kelompok pengrajin anyaman. Kelembagaan produksi dan pemasaran yang selama ini dilakukan oleh kelompok pengrajin anyaman dianalisis dengan menggunakan anlisis SWOT. Analisis ditinjau dari kelemahan dan kekuatan pada kelembagaan tersebut. Hasil analisis SWOT tersebut yang dijadikan pengkaji untuk membuat stretgi penyusunan
bersama
program
penguatan
kelembagaan
produksi
dan
pemasaran yang akan dilakukan oleh kelompok pengrajin anyaman.
22
Program Pemberdayaan
Masyarakat
Karakteristik Kelompok Pengrajin Anyaman : - Lamanya usaha - Struktur kelompok - Kepemimpinan - Decision making
Kelembagaan Usaha Kerajinan Anyamani : 1. Produksi : - Tenaga kerja/upah - Bahan Baku - Teknologi - Permodalan 2. Pemasaran : - Harga - Tenaga kerja
Pengembangan Masyarakat : Keberlanjutan Dalam produksi dan pemasaran kerajinan anyaman
Modal sosial anggota (dl kelompok/antar klp pengrajin dl 1 desa) : - Kekeluargaan - Gotong royong - Tolong menolong - Trust (kepercayaan) - Persaingan (konflik) Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Secara sederhana alur kerja yang telah dilakukan pengkaji dalam penguatan kelembagaan ini dapat dilihat pada Gambar 2 berikut :
23
Indikator produksi dan pemasaran : - Pengrajin - Bahan Baku - Permodalan - Teknologi - Mitra kerja - Jejaring
Indikator kelompok : - Kepemimpinan - Struktur kelompok - Lamanya kelompok - Ikatan kelompok - Decision making
Mengidentifikasi Kelembagaan produksi dan pemasaran
Analisa faktor Eksternal : Peluang dan Ancaman
Analisa faktor Internal : Kekuatan dan Kelemahan
Strateg penyusunan program penguatan kelembagaan produksi dan pemasaran kerajinan anyaman
Gambar 2. Alur Kerja
24
III. METODE KAJIAN 3.1. Strategi Kajian 3.1.1. Batas-Batas Kajian Kajian
pengembangan
aktifitas
usaha
kecil
ini
adalah
dengan
memberdayakan kekuatan sumber daya lokal sebagai potensi dalam proses pengembangan masayarakat (community development) berbasis komunitas. Kajian pengembangan ini merupakan penelitian kualitatif dengan strategi studi kasus pada pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon Kecamatan Pasawahan Kabupaten Purwakarta. Pendekatan yang dilakukana dengan subyektif-mikro, yaitu upaya memperoleh gambaran yang utuh dan menyeluruh mengenai pola perilaku, persepsi, tindakan, interaksi dan realitas komunitas dari kelompok pengrajin anyaman. Penelitian kualitatif dalam kajian ini digunakan untuk mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang permasalahan pengrajin anyaman yang didasarkan pada pemahaman yang berkembang di antara orang-orang yang menjadi subjek kajian. Menurut Handari dan Martini (1995), data kualitatif merupakan pandangan atau pendapat, konsep-konsep, keterangan, kesankesan, tanggapan-tanggapan, dan lain-lain tentang suatu keadaan yang berhubungan dengan kehidupan manusia. Dengan penelitian kualiatif ini diharapkan dapat diperoleh gambaran dan kompleksitas permasalah yang dihadapi kelompok pengrajin anyaman. Kajian ini menerapkan pengembangan masyarakat pada aras mikro yaitu komunitas pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon. Dengan partisispasi dan memperhatikan potensi kekuatan lokal yang ada di masyarakat Desa Sawah Kulon, keberadaan kelompok pengrajin anyaman dapat mengarah pada pengembangan masyarakat. Kajian yang dilakukan penulis menggunakan studi kasus, merujuk pada pengertian studi kasus Stake (1994) dan Yin (1996) adalah Penerapan serangkaian metode kerja (multi metode) penelitian untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman atas satu atau lebih kejadian/gejala sosial. Kajian ini menerapkan konsep pengembangan masyarakat dengan menyesuaikan diri pada potensi, sumber daya, keswadayaan, yang ada di masyarakat. Tipe studi kasus yang dilakukan dalam kajian ini adalah tipe studi kasus instrumental, yaitu studi yang memperlakukan kasus kelompok pengrajin anyaman sebagai instrumen untuk memahami kondisi kehidupan di pedesaan 25
yang kaitannya dengan pengembangan masyarakat. Tipe kajian sosial yang digunakan adalah tipe kajian terapan deskriptif karena ingin menggambarkan situasi dan faktor penyebab suatu gejala sosial dari kehidupan kelompok pengrajin anyaman di desa.
3.1.2. Pengolahan dan Analisis Data Proses analisis data dimulai dengan menelaah dan mempelajari seluruh data yang telah terkumpul. Data diperoleh melalui wawancara dan pengamatan dikumpulkan dalam catatan lapangan, sedangkan data tertulis dari hasil pengisian kuesioner dibuatkan dokumen untuk keperluan analisis. Data-data tersebut dipelajari dengan membuat deskripsi sesuai dengan apa yang terjadi di lokasi kajian. Tahap akhir adalah membuat analisis data sebagai pedoman untuk membuat
rencana
program
bagi
pengembangan
mesyarakat.
Dalam
pemeriksaan keabsahan data, kajian pengrajian anyaman ini menggunakan teknik triangulasi dengan pemeriksaan sumber (Moleong, 2000). Triangulasi bertujuan untuk membandingkan dan mengecek tingkat kepercayaan informasi yang diperoleh dalam waktu dan teknik yang berbeda pada kajian kualitatif. Langkah yang dilakukan dalam pemeriksaan sumber atas data yang dikumpulkan dengan : 1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan wawancara, 2. Membandingkan apa yang dikatakan responden kepada pengkaji ketika di depan umum dan ketika secara pribadi, 3. Membandingkan apa yang dikatakan responden ketika ada hubungan dengan kepentingan kajian dan ketika terlepas dari kepentingan kajian, 4. Membandingkan perspektif anggota kelompok pengrajin dengan masyarakat umumnya, 5. Membanding hasil wawancara dengan hasil studi dokumentasi. Deskripsi hasi pengumpulan data di lapangan dilakukan selama kajian berlangsung, sehingga dapat diperoleh inti gambaran dari permasalahan yang dihadapi pengrajin anyaman. Proses deskripsi hasil kajian di lapangan dilakukan dengan menyederhanakan data yaitu membuang data yang tidak sesuai dengan hasil observasi kemudian mengelompokkan data sedemikian rupa sehingga kesimpulan dapat ditarik. Kesimpulan tersebut merupakan sebuah informasi untuk pengambilan tindakan dalam perencanaan program.
26
Kesimpulan yang diperoleh masih perlu dilakukan verifikasi selama kajian di lapangan. Peninjauan kembali dilakukan setelah pengkaji melakukan proses bimbingan dan diskusi baik dengan teman sejawat maupun penngrajin anyaman dan penduduk sekitar lokasi kajian. Dengan demikian tahapan pengolahan dan analisis data dilakukan sebagai berikut : 1. Data hasil wawancara dengan pengrajin, tokoh masyarakat, dan masyarakat sekitar
pengrajin
adalah
untuk
mengetahui
karakteristik
pengrajin,
permasalahan dan potensi yang terdapat pada kelompok pengrajin. Triangulasi dilakukan dengan membandingkian dan mengecek kembali derajat kepercayaan sebuah informasi melalui : a. Membandingkan data hasil wawancara dengan hasil pengamatan. b. Membandingkan apa yang dikatakan masyarakat sekitar pengrajin (informan) dengan apa yang dikatakan pengrajin. c. Memahami persepsi pengrajin dan informan tentang kondisi pengrajin yang sebenarnya untuk menemukan inti masalah. d. Membandingkan hasil wawancara dengan dokumen yang berkaitan dengan subyek kajian. 2. Data yang yang telah disusun dalam sebuah deskripsi sehingga kesimpulan dapat ditarik, tetap berdada dalam kerangka ilmiah untuk kepentingan kajian dan dijaga kerahasiaannya.
3.2. Metode Lapangan 3.2.1. Tempat dan Waktu Kajian Lokasi kajian pengambangan masyarakat kelompok pengrajin anyaman ini dilakukan di Desa Sawah Kulon Kecamatan Pasawahan yang berjarak 7 kilometer dari kota Kabupaten Purwakarta dan ditempuh dalam waktu 30 menit dengan kendaraan bermotor. Yang menjadi komunitas subyek kajian adalah : 1) Pengrajin anyaman baik secara individu, kelompok, maupun komunitas, 2) Orang lain yang terlibat dalam proses pemasaran kerajinan tetapi bukan bagian dari pengrajin, 3) Masyarakat di sekitar pengrajin anyaman (tokoh masyarakat, tokoh agama), 4) Kelompok pengusaha ekonomi kecil (produsen pertanian maupun non pertanian), 5) Pemerintah (Desa dan Kecamatan) sebagai pembuat kebijakan. Waktu pelaksanaan kajian dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
27
Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Kajian No 1 2 3
4 5 6 7
Kegiatan
2005 11 12
1
2
3
4
5
2006 6 7
8
9
10
11
Praktek Lapangan 1 Praktek Lapangan 2 Penyusunan Proposal Kajian Kolokium Pengumpula n data Analisis data
8
Penyusunan laporan Seminar
9
Perbaikan
10
Ujian
11
Perbaikan
3.2.2. Metode dan Teknik Pengumpulan Data Dalam upaya memperoleh gambaran dan informasi yang jelas mengenai situasi kehidupan pengrajin anyaman dan segala sumber aksesnya secara lebih terperinci, metode pengumpulan data yang digunakan melalui : 1) Sumber sekunder
: Dokumen (Desa, Kecamatan, Kabupaten), 2) Sumber primer :
Responden. Data sekunder diperoleh dari data statistik laporan, literatur, dan laporan atau publikasi yang diperoleh dari instani (Perindag, UKM, SPM, Bagian Perekonomian Setda), monografi desa dan data potensi desa. Data primer bersumber dari responden yaitu para pengrajin anyaman yang semuanya terdapat 12 kelompok dan 142 KK. Dalam proses pancarian data dari pengrajin, tidak semua pengrajin dilibatkan, tetapi hanya kepada yang dinggap sebagai ketua kelompok dan anggota kelompok yang paling tinggi tingkat partsisipasinya dan paling lama beraktifitas dalam pembuatan kerajinan anyaman. Jadi yang menjadi sumber data primer pada kelompok pengrajin hanya 6 kelompok dan 18 orang responden. Penetapan responden sebagai informan adalah orang-orang yang berkenaan langsung dengan pengrajin anyaman dari kalangan tokoh formal. Informal, dan masyarakat sekitar pengrajin yaitu :
28
12
1. Aparat Desa sebanyak 2 orang terdiri dari kepala desa, dan sekretaris desa. 2. Aparat Kecamatan sebanyak 2 orang yaitu kasi pemberdayaan dan staf bagian sosial. 3. Kepala dusun dari setiap kelompok pengrajin berada sebanyak 3 orang. 4. Pihak Badan Perwakilan Desa (BPD) yaitu ketua dan bendahara. 5. Instansi pemerintah terkait (Perindag, UKM, SPM, Bagian Perekonomian Setda). Pemilihan responden ditentukan berdasarkan : 1). Peran serta dalam kegiatan pengambangan usaha kerajinan anyaman, 2) Ketokohan dalam masyarakat, a. Formal : Jabatan dalam perekjaan di pemerintahan (PNS), b. Informal : tokoh agama, tokoh masayarakat, tokoh pemuda, tokoh perempuan, 3) Keaktifan dalam kegiatan bermasyarakat, 4) Pengetahuan tentang sejarah Desa dikaitkan dengan keberadaan Pengrajin anyaman. Pemilihan responden dengan mempertimbangkan bahwa mereka dianggap memiliki informasi yang diperlukan untuk menjawab permasalahan dalam kajian. Teknik yang dilakukan dalam pengumpulan data dengan metode : 1. Wawancara Mendalam Pengumpulan data dilakukan dengan tatap muka antara pengkaji dengan tineliti dengan menggunakan pedoman wawancara maupun wawancara tidak berstruktur tetapi berpusat pada satu pokok permasalahan. Cara ini dilakukan dengan tujuan untuk memahami pandangan subyek penelitian maupun informan tentang hidupnya, situasi sosial, dan pengalaman hidup 2. Pengamatan Bereparan Serta Pengamatan berperan serta dilakukan dengan pengkaji hadir untuk melakukan pengamatan dan pencatatan secara langsung di tengah-tengah subyek kajian maupun ketika mencari informasi dari informan. 3. Focus Group Discussion (FGD) Diskusi dilakukan untuk melengkapi data yang terpisah antara hasil wawancara dan pengamatan baik dari pengrajin maupun informan. FGD dilakukan untuk membagi informasi dan pengalaman yang telah diperoleh kepada setiap peserta diskusi terhadap suatu masalah yang telah teridentifikasi. Selain untuk klarifikasi dan kepentingan penyusunan rencana program, juga untuk menjalin kebersamaan dan memupuk rasa tnggung jawab akan permasalahan yang dihadapi sebagian anggota kelompok masyarakat.
29
Tabel 2. Teknik Pengumpulan Data Tujuan
Mengidentifikasi karakteristik kelompok pengrajin anyaman
Mengembangkan produksi dan distribusi pemasaran anyaman
Teknik Pengumpulan Data Data skunder & primer (pengamatan, wawancara, dan studi dokumentasi)
Observasi, wawancara, FGD.
Menyusun strategi Observasi, wawancara, FGD. produksi dan pemasaran sesuai partisipasi pengrajin dan masyarakat lokal
Sumber Data
Teknik Penyajian dan Analisis Data
Dokumen (Desa, Kecamatan, Kabupaten) Masyarakat, tokoh masyarakat, kelompok pengrajin, dan aparat desa Masyarakat, tokoh masyarakat, kelompok pengrajin, bandar, pedagang dan aparat desa Masyarakat, tokoh masyarakat, kelompok pengrajin, bandar, pedagang dan aparat desa
Analisis deskriptif tentang kelompok pengrajin anyaman
Analisis deskriptif tentang sistem kelembagaan produksi dan pemasaran Analisis deskriptif tentang sistem kelembagaan produksi dan pemasaran
3.3. Penyusunan Rancangan Program Pengembangan Masyarakat Penyusunan
rancangan
program
dilakukan
dalam
FGD
setelah
sebelumnya pengkaji memperoleh data permasalahan yang diungkapkan oleh pengrajin melalui metode Methode Participatory Assessment (MPA) yaitu metoda pengungkapan masalah melalui partisipasi subyek kajian. Data permasalahan dianalisis secara bersama-sama dengan subyek kajian dalam FGD dengan malakukan analisis SWOT. Analisis SWOT dilakukan untuk memudahkan penyusunan strategi program secara partisipasi dan merupakan suatu analisis kualitatif yang digunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis. Identifikasi berbagai faktor internal dan eksternal diidentifikasi dalam FGD yang disusun dalam matriks SWOT. Matriks SWOT merupakan alat yang dipakai untuk menyusun faktor-faktor strategis untuk mengembangkan sebuah kegiatan dengan menyusun alternatif strategi utama. Analisis SWOT didasarkan pada logika
yang
dapat
memaksimalkan
kekuatan
(Strengths)
dan
peluang
(Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan secara 30
strategis selalu berkaitan dengan tujuan.
Dengan perencanaan strategis
dilakukan analisis SWOT pada saat ini, sehingga analisis ini disebut sebagai analisis
situasi
yang
(peluang/opportunities
dan
membandingkan
antara
ancaman/threats)
dan
faktor faktor
eksternal internal
(kekuatan/strenghts dan kelemahan/weakness). Berdasarkan strategi yang diperolah, selanjutnya dirangkum strategi prioritas yang menjadi alternatif yang akan digunakan untuk merancang program partisipatif. Tahapan yang dilakukan dalam perencanaan strategi dan program partisipatif adalah : 1. Mengidentifikasi potensi dan permasalahan pada pengrajin anyaman serta menampung pendapat dan saran dari berbagai stakeholders untuk menentukan masalah prioritas. 2. Melakukan analisis SWOT dengan tahapan : a. Mengidentifikasi faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) yang dialami pengrajin anyaman. b. Mendiskusikan rencana strategi dengan menggunakan analisis matriks SWOT. c. Mendiskusikan strategi prioritas yang dapat merangkum alternatif strategi yang telah dihasilkan. d. Menyusun rencana program secara partisipatif. 3. Melakukan analisis pihak terkait yaitu analisis terhadap kekuatan dan keterbatasan pihak-pihak yang dipandang memiliki keterkaitan dengan pengembangan kelembagaan produksi dan pemasaran pengrajin anyaman.
31
IV. PETA SOSIAL KELOMPOK PENGRAJIN ANYAMAN DALAM KOMUNITAS DESA SAWAH KULON KECAMATAN PASAWAHAN 4. 1 . Gambaran Lokasi Desa Sawah Kulon adalah salah satu dari 12 desa yang ada di Kecamatan Pasawahan Kabupaten Purwakarta, diantara 11 desa lainnya letak Desa Sawah kulon merupakan desa yang paling dekat dengan Kecamatan Pasawahan. Tabel berikut menunjukan jarak Desa Sawah Kulon dari pusat pemerintahan : Tabel 3. Orbitasi, Jarak, dan Waktu Tempuh No. 1. 2 3. 4.
Orbitasi Ibukota Kecamatan Ibukota Kabupaten Ibukota Propinsi Ibukota Negara
Jarak (km) 0,001 6,000 70,000 120,000
Waktu Tempuh (jam) 0,08 0,50 2,00 3,50
Sumber : Profil Desa Sawah Kulon, 2005
Jarak yang dekat dengan ibukota Kecamatan, yang hanya dipisahkan oleh pasar desa, mempermudah kegiatan administrasi, arus komunikasi dan informasi, dengan kecamatan. Jalan protokol menuju desa ini dapat dilalui oleh kendaraan pribadi maupun kendaraan umum (Angkutan pedesaan), sedangkan untuk menuju ke dusun-dusun sebagian dapat dilalui angkutan pedesaan dan ojeg. Dari 1500 meter panjang jalan desa yang diaspal hanya 400 meter yang berkondisi baik yaitu 300 meter jalan protokol yang berdekatan dengan kecamatan dan 100 meter jalan di depan desa. Sisanya 800 meter jalan aspal rusak tetapi masih bisa dilalui kendaraan roda empat dan roda dua. Selain jalan aspal masih ada jalan makadam sepanjang 1200 meter dan 300 meter jalan tanah dan jalan ini menujun ke dusun-dusun. Pada lampiran terdapat gambaran peta lokasi kelompok pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon. Luas wilayah Desa Sawah Kulon 138 hektar terdiri dari luas lahan pertanian (sawah, ladang dan kebun) 80 hektar, tanah fasilitas umum (kantor pemerintah dan desa, sekolah, tempat ibadah, pasar) seluas 7 hektar, luas pemukiman penduduk 48 hektar, dan luas tanah yang digunakan untuk kolam ikan (baik untuk pemancingan maupun ternak ikan) sebesar 3 hektar. Tanah seluas 3 hektar yang digunakan untuk kolam pemancingan dan ternak ikan tersebut tidak dimiliki oleh warga Sawah Kulon, semuanya milik penduduk luar Sawah Kulon. Ini menunjukkan mereka hanya menyimpan infestasi berupa tanah yang diproduktifkan, sementara hasilnya dibawa keluar Desa Sawah Kulon.
32
Hal serupa terjadi pada pertanian, dari luas lahan pertanian 80 hektar 47,5 dimiliki oleh warga Sawah Kulon sedangkan 32,5 hektar dimiliki oleh penduduk luar Sawah Kulon. Artinya hasil kekayaan alam Desa Sawah Kulon sebagaian pendistribusiannya dinikmati oleh penduduk luar Desa Sawah Kulon. Tanah di Desa Sawah Kulon 80 hektar atau 57,9 persen adalah tanah pertanian. Dari tanah seluas itu tanah yang digunakan untuk pesawahan seluas 42 hektar atau 52 persen adalah pesawahan. 12 hektar (15persen) adalah lahan yang digunakan untuk penaman pohon pandan Bila ditinjau dari sejarah Kecamatan Pasawahan dahulu tempat ini merupakan areal pesawahan yang luas. Karena pengaruh pertumbuhan penduduk dan faktor lainnya, luas tanah pesawahan berkurang digunakan untuk pemukiman, sarana umum, dan lain-lain. Kondisi luasnya areal pesawahan ditunjang oleh iklim dengan curah hujan 24,94 mm, rata-rata bulan hujan 6 bulan setiap tahun, suhu rata-rata 24 derajat celcius, dengan bentang wilayah berbukit, warna tanah sebagin besar merah, tekstur lempungan dengan kedalaman 4 meter, dan ketinggian tempat 72 meter di atas permukaan laut. Kondisi tanah yang demikian sangat cocok untuk ditanami pohon pandan sebagai bahan baku kerajinan anyaman. Sistem irigasi di Desa Sawah Kulon ada dengan debit sungai 200.00 meter kubik per detik. Tedapat sungai-sungai kecil dan pesawahanan di sepanjang jalan menuju Desa Sawah Kulon. Air sungai berwarna coklat, volumenya sedikit dan mengandung sampah. Letak areal pertanian yang digunakan untuk tanaman pohon padan ada 2 hektar terletak di sebeleh utara, 4 hektar sebelah selatan, 3 hektar sebelah timur, dan 3 hektar sebelah barat. Tabel 4. Batas-Batas Desa Sawah Kulon No. 1. 2. 3. 4
Letak Utara Selatan Timur Barat
Wilayah Desa Lebak Anyar dan Desa Kertajaya Desa Situ Desa Pasawaha dan Desa Pasawahan Kidul Desa Cidahu dan Desa Pasawahan Anyar
(Sumber : Profil Desa Sawah Kulon 2005)
Penduduk Desa Sawah Kulon menggunakan air untuk MCK dari 1001 KK, 250 KK menggunakan sumur pompa, 40 KK menggunkana air dari PDAM, sisanya 211 KK menggunakan sungai dan MCK umum untuk keperluan air bersih. Penduduk kelompok pengrajin sebanyak 142 KK diantaranya 72 KK menggunakan air sumur dan 70 KK lainnya menggunakan MCK umum.
33
Melihat lokasi Desa Pasawahan Kulon yang luas tanahnya 57,9 persen adalah tanah pertanian, maka desa ini potensial sebagai produsen hasil pertanian jika sumber daya alam dimaksimalkan penggunaannya. Keberadaan kelompok pengrajin anyaman adalah sebagai konsumen bahan baku daun pandan yang dihasilkan wilayah tersebut. Maka akan terjadi hasil kekayaan alam yang distribuasinya dinikmati oleh warga setempat melalui produksi kerajinan anyaman. Kelompok pengrajin anyaman di Desa Sawah kulon yang berjumlah 142 KK tersebar pada 5 dusun. Sedangkan jumlah jiwa yang menikmati hasil dari produksi kerajinan anyaman ini sebanyak 468 jiwa dari 4025 jiwa penduduk Desa Sawah Kulon. Tabel 5. Jumlah Kelompok Pengrajin Anyaman di Desa Sawah Kulon Berdasarkan Letak Dusun pada Bulan Juli Tahun 2006 No. Dusun Jml Klp Jml KK Jml jiwa 154 36 3 Warung Kadu 1. 143 25 2 Sukahaji 2. 84 15 1 Pasir Angin 3. 172 36 4 Pasawahan 4. 116 30 2 Cihuni 5. Jumlah 12 142 468 4. 2. Kependudukan Dalam bulan Oktober 2005, penduduk Desa Sawah Kulon sebanyak 4.025 jiwa, terdiri dari jumlah laki-laki 2.020 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 2.005 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1001 KK. Adapun jumlah penduduk menurut umur dan jenis kelamin tersaji dalam Tabel 8. Melihat pada tabel 4 angka kelahiran pada lima tahun terakhir masih sangat tinggi, kelompok usia 0 – 4 tahun mencapai persentase terbesar dari semua kelompok umur yaitu 16.5 persen. 38,8 persen penduduk merupakan penduduk bukan usia kerja tetapi potensial sebagai penyedia tenaga kerja. Persentase usia produktif 51,3 persen menurut warga Sawah Kulon dipengaruhi oleh minat penduduk Desa Sawah Kulon untuk bekerja ke luar dari desanya, selain itu angka tersebut memberikan peluang yang tinggi untuk menambah angka kelahiran. Sedangkan jumlah penduduk lanjut usia (60 tahun ke atas) mencapai 9,9 persen menurut wawancara dengan kasi ekonomi di Kecamatan Pasawahan adalah warga pendatang sebagai pensiunan yang membeli tanah dengan harga murah dari penduduk asli.
34
Tabel 6. Jumlah Penduduk Desa Sawah Kulon Menurut Umur dan Jenis Kelamin pada Bulan Oktober Tahun 2005 No Golongan umur Jenis Kelamin (Jiwa) Jumlah Persentase (tahun) Laki-laki Perempuan (Jiwa) (%) 1. 0–4 310 357 667 16,5 2. 5–9 238 231 469 11,7 3. 10 – 14 214 209 423 10,6 4. 15 – 19 230 206 436 10,8 5. 20 – 24 185 150 335 8,3 6. 25 – 29 93 92 185 4,5 7. 30 – 34 90 82 172 4,2 8. 35 – 39 51 70 121 3,0 9. 40 – 44 68 53 121 3,0 10. 45 – 49 88 95 183 4,7 11. 50 – 54 120 117 237 5,9 12. 55 – 59 121 155 276 6,9 13. 60 – 64 152 106 258 6,4 14. 65 - ... 60 82 142 3.5 Jumlah 2.020 2.005 4.025 100 (Sumber : Laporan kependudukan Desa Sawah Kulon, Oktober 2005 )
Selain menunjukkan angka kelahiran yang cukup tinggi, terlihat pada jumlah penduduk kelompok umur 0 – 4 tahun, juga terjadi jumlah yang tinggi pada kelompok umur 60 tahun ke atas yang disebabkan salah satunya karena penduduk pendatang. Besarnya
rasio beban tanggungann penduduk yaitu besarnya jumlah
penduduk tidak produktif (0 – 14 tahun dan 64 tahun ke atas) dibandingkan jumlah penduduk usia produktif (15 – 64 tahun) adalah sebesar 73. Ini berarti setiap 100 orang produktif menanggung 73 orang yang tidak produktif, implikasinya dengan mengecilnya jumlah kelompok usia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun akan menurunkan rasio beban tanggungan usia muda dan tua di Desa Sawah Kulon, hal ini terjadi seiring dengan mengecilnya jumlah anggota keluarga. Perbandingan besarnya jumlah penduduk perempuan dan laki-laki di Desa Sawah Kulon pada bulan Oktober 2005 adalah sebesar 99, yang berarti pada setiap 100 penduduk laki-laki terdapat 99 penduduk perempuan. Angka ini menunjukan adanya kemungkinan mortalitas perempuan lebih tinggi dan kecenderungan migrasi pada perempuan lebih tinggi dibanding pada laki-laki. Penduduk usia kerja untuk menilai apakah seseorang termasuk angkatan kerja atau bukan yang digunakan pada pemetaan sosial di Desa Sawah Kulon memakai batas 15 – 59 tahun karena data yang ada, tertulis, dapat dipakai, menggunakan batas usia tersebut. Di Desa Sawah Kulon jumlah penduduk usia 35
kerja sebesar 2.066 jiwa atau 51,3 persen dari total jumlah penduduk, sedangkan jumlah angkatan kerja sebesar 1386 jiwa atau 45,6 persen dari jumlah penduduk merupakan angkatan kerja. Jika dibandingkan dengan jumlah usia kerja sebesar 2066 jiwa, maka ada angka pengangguran di wilayah ini sebesar 680 jiwa atau terdapat 33,56 persen pengangguran dari jumlah penduduk usia angkatan kerja. Angka tersebut merujuk pada kategori pengangguran tidak kentara yaitu mereka yang bekerja tidak tetap seperti buruh bangunan, pekerja borongan, ibu rumah tangga, atau mereka yang baru menyelesaikan pendidikan dan belum mendapatkan pekerjaan. Tabel 7. Komposisi Jumlah Penduduk Pengrajin Anyaman di Desa Sawah Kulon Menurut Umur dan Jenis Kelamin pada Bulan Juli Tahun 2006 No Golongan umur Jenis Kelamin (Jiwa) Jumlah Persentase (tahun) Laki-laki Perempuan (Jiwa) (%) 1. 0–4 2 2 0,04 2. 5–9 12 14 26 5,30 3. 10 – 14 17 22 39 8,00 4. 15 – 19 24 20 64 1,31 5. 20 – 24 20 21 41 8,40 6. 25 – 29 32 33 65 1,33 7. 30 – 34 30 35 65 1,33 8. 35 – 39 40 37 77 1,58 9. 40 – 44 38 47 85 1,74 10. 45 – 49 11 7 18 0,37 11. 50 – 54 5 2 7 1,44 12. 55 – 59 4 1 5 0,10 13. 60 – 64 1 2 3 0,06 14. 65 - ... 1 2 3 0,06 Jumlah 237 231 468 100,00 Besarnya
rasio beban tanggungann penduduk yaitu besarnya jumlah
penduduk tidak produktif (0 – 14 tahun dan 64 tahun ke atas) dibandingkan jumlah penduduk usia produktif (15 – 64 tahun) adalah sebesar 55. Ini berarti setiap 100 orang produktif menanggung 55 orang yang tidak produktif, implikasinya dengan mengecilnya jumlah kelompok usia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun akan menurunkan rasio beban tanggungan usia muda dan tua pada kelompok pengrajin anyaman, hal ini terjadi seiring dengan mengecilnya jumlah anggota dalam setiap keluarga pengrajin. Perbandingan besarnya jumlah penduduk perempuan dan laki-laki pada kelompok pengrajin bulan juli 2006 adalah sebesar 97, yang berarti pada setiap 100 penduduk laki-laki terdapat 97 penduduk perempuan. Angka ini dapat pula dijadikan petunjuk bahwa kegiatan menganyam banyak dilakukan oleh laki-laki.
36
Namun berkaitan dengan peran gender dan pola nafkah ganda, angka tersebut tidaklah mutlak. Penduduk usia kerja untuk menilai apakah seseorang termasuk angkatan kerja atau bukan yang digunakan pada pemetaan sosial kelompok pengrajin anyaman memakai batas 15 – 59 tahun karena data yang ada, tertulis, dapat dipakai, menggunakan batas usia tersebut. Pada kelompok pengrajin anyaman jumlah penduduk usia kerja sebesar 388 jiwa atau 81,3 persen dari total jumlah penduduk, sedangkan jumlah angkatan kerja sebesar 206 jiwa atau 45,6 persen dari jumlah penduduk merupakan angkatan kerja. Jika dibandingkan dengan jumlah usia kerja sebesar 388 jiwa, maka ada angka pengangguran pada kelompok pengrajin anyaman sebesar 162 jiwa atau terdapat 42,6 persen pengangguran dari jumlah penduduk usia angkatan kerja. Angka tersebut merujuk pada kategori pengangguran tidak kentara yaitu mereka yang bekerja tidak tetap seperti buruh bangunan, pekerja borongan, ibu rumah tangga. Komposisi kelompok pengrajin anyaman berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 8. Komposisi Penduduk Pengrajin Anyaman Desa Sawah Kulon Berdasarkan Tingkat Pendidikan pada Bulan Juli Tahun 2006 NO. Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa) % 1,5 7 Belum sekolah 1. 0,4 2 Tidak sekolah 2. 16,3 76 Tidak tamat SD 3. 22,0 103 Tamat SD 4. 31,6 148 SLTP 5. 28,3 132 SLTA 6. Akademi/Sarjana muda 7. Sarjana 8. S2 9. Jumlah 468 100,0 Tingkat pendidikan yang rendah, jumlah kelompok pengrajin yang menyelesaikan pendidikan SD (tidak melanjutkan ke SLTP) sangat tinggi yaitu 18,2 persen yang akan berpengaruh kepada tingkat pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman pengrajin. Menurut wawancara dengan setiap kepala dusun, migrasi pada kelompok pengrajin anyaman jarang sekali terjadi. Anggota keluarga dari para pengrajin yang telah menamatkan pendidikan baik pada tingkat SD, SLTP, maupun SLTA biasanya tetap tinggal di dusunnya. Pekerjaan yang mereka lakukan dengan mengerjakan apa yang telah ada, atau mengikuti jejak orang tua mereka. Hal ini
37
menunjukkan bahwa pada kelompok pengrajin anyaman lapangan pekerjaan yang tersedia diusahakan atau dipaksakan untuk dapat menampung usia angkatan
kerja
atau
lapangan
pekerjaan
yang
ada
walaupun
tidak
mendatangkan penghasilan yang memadai. Angka pengangguran yang mencapai 162 orang dari 388 usia kerja dapat memberikan peluang kepada kelompok pengrajin untuk menciptakan lapangan kerja dengan menambah omzet pembuatan kerajinan. Sehingga angka pengangguran yang ada pada kelompok pengrajin dapat di tampung pada lapangan pekerjaan ini, apalagi ditunjang oleh luasnya lahan untuk menanam bahan baku. Potensi produksi kerajinan anyaman apabila dikembangkan dapat memberikan peluang untuk terciptanya lapangan kerja.
4. 3. Kondisi Perekonomian Masyarakat Jenis mata pencaharian penduduk Desa Sawah Kulon dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 9. Komposisi Penduduk Desa Sawah Kulon Berdasarkan Mata Pencaharian pada Bulan Juli Tahun 2006 No. Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa) % 17,00 238 1. Petani 19,90 352 2. Buruh tani 3,20 45 3. PNS 13,40 214 4. Pertukangan & Pengrajin 12,20 170 5. Pedagang 8,60 120 6. Peternak 0,40 5 7. ABRI 18,60 258 8. Buruh/Pegawai swasta 1,10 15 9. Montir 0,14 2 10. Dokter 5,16 67 11. Wiraswasta Jumlah 1386 100,00 Data jenis mata pencaharian menurut hasil wawancara dengan pegawai desa selain diperoleh dari hasil sensus, juga dilihat dari data kartu keluarga yang ada di desa. Khusus pada jenis mata pencaharian pengrajin, dari 214 pertukangan dan pengrajin terdapat 142 sebagai pengrajin anyaman. Data sebesar 142 adalah dihitung berdasarkan kepala keluarga yang mekelakukan pekerjaan pengrajin anyaman sebagai mata pencaharian. Pola nafkah ganda dalam data pengrajin tidak terungkap, karena setiap melakukan pendataan jenis pekerjaan dan siapa saja yang bekerja untuk menambah penghasilan keluarga selalu mendapat jawaban tidak ada. Pada kenyataan di lapangan, yang
38
melakukan pekerjaan anyaman bisa dilakukan tidak oleh kepala keluarga saja tetapi anggota keluarga lain ikut membantu.
4. 4. Struktur Komunitas Lazimnya sebuah komunitas, sturktur dalam komunitas akan terbentuk seiring dengan terjadinya interaksi antara individu-individu dalam komunitas. Dari seringnya terjadi interaksi akan muncul ikatan sosial pada masing-masing individu. Pola interaksi yang memunculkan ikatan sosial pada kelompok pengrajin anyaman menimbulkan ciri karakteristik kelompok tersebut. A. Pelapisan Sosial Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi, pelapisan sosial yang terbentuk di kelompok pengrajin anyaman dapat dilihat secara fisik dan non fisik. Pelapisan sosial yang terjadi tidak menimbulkan kesenjangan karena adanya saling membutuhkan diantara lapisan sosial. Khusus pada kelompok pengrajin anyaman Di Desa Sawah Kulon pelapisan soial terbentuk karena didasarkan pada : 1) Kekayaan yang dimiliki Orang yang memiliki kekayaan berupa tanah yang luas biasanya memiliki beberapa pekerja sebagai penjaga sawah atau kebun. Dari interaksi seperti itulah terbentuk saling membutuhkan, yang kaya memberikan upah, penjaga memiliki tenaga. Dari 142 KK yang terlibat dalam produksi anyaman terdapat 32 KK yang memiliki lahan sawah tetapi tidak luas hanya berkisar 100 – 250 meter persegi. Juga diantaranya yang memiliki lahan pertanian yang digunakan untuk menanam bahan baku anyaman. 2) Tingkat pendidikan formal Orang yang berpendidikan tinggi berada pada lapisan atas pada struktur komunitas karena mereka memiliki cara berpikir yang lebih maju dibanding dengan yang berpendidikan rendah. Mereka dianggap bisa dijadikan rujukan untuk menyelesaikan permasahan yang timbul di masyarakat. Pada struktur kelompok pengrajin anyaman tingkat pendidikan yang tinggi hanya sampai pada SLTA. 3) Aktifitas dalam kegiatan organisasi kemasyarakatan/keagamaan Orang yang aktif dalam kegiatan organisasi kemasyarakatan/keagamaan dianggap memiliki pengetahuan yang lebih tinggi dan memiliki akses untuk dapat berhubungan dengan pejabat pemerintah baik tingkat kecamatan maupun
39
kabupaten. Anggota kelompok pengrajin anyaman rata-rata terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan terutama keagamaan. B. Kepemimpinan dan Sumber Kepemimpinan Kepemimpinan yang muncul pada kelompok pengrajin di dasarkan pada : 1) Jabatan dari pekerjaan seseorang (Kades, Sekdes, PNS, ABRI) 2) Pada kelompok mana tokoh tersebut berada (pemuda, agama, dll) 3) Aset kekayaan yang dimiliki seseorang Dari sumber kepemimpinan tersebut timbul kriteria tokoh kepemimpinan : 1). Tokoh Formal : Yang dibentuk karena jabatan dalam pekerjaan seperti Kepala Desa, sekretaris Desa, Pegawai KUA Kecamatan, Guru, dan lain-lain. 2). Tokoh Informal :Dibentuk karena kekayaan yang dimiliki, aktifitas dalam kegiatan keagamaan, pemuda, remaja, organisasi PKK, Pos Yandu, dan lainlain. C. Respon anggota kelompok pengrajin terhadap kepemimpinan Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, kelompoki pengrajin akan mengunjungi tokoh pemimpin informal dan formal secara kekeluargaan apabila mereka memiliki masalah. Kepatuhan terhadap tokoh formal juga menyangkut hal-hal yang bersifat prosedural seperti pembuatan KTP, KK, surat pindah, dan lain-lain. Pada pemilihan ketua RT atau RW saran dari tokoh formal sangat diperhatikan. Pemilihan dilakukan secara demokratis dengan memperhatikan wibawa, kharismatik dan kedekatan dengan masyarakat. Pemimpin informal kelompok pengrajin banyak berperan di masyarakat dalam kegiatan kemasyarakatan dan keagamaan. Tokoh informal tersebut banyak berperan dalam pengembangan usaha kerajinan. Seperti musyawarah yang dilakukan mendapat sumbang saran yang paling dominan dari tokoh informal tentang bagaimana mengembangkan usaha kerajinan anyaman agar diprioritaskan untuk diusulkan ke tingkat kecamatan. D. Jejaring Sosial kelompok pengrajin anyaman dalam Komunitas Tokoh formal diyakini kelompok pengrajin anyaman memiliki hubungan dengan pembuat dan pengambil kebijakan yaitu pemerintahan kabupaten. Seperti Camat, pegawai KUA, Guru, atau PNS lainnya. Oleh karena itu apabila anggota kelompok pengrajin di hadapkan pada masalah yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah, mereka akan mendatangi tokoh formal tersebut. Keberadaan
kelompok
pengrajin
anyaman
juga
terlibat
dalam
Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) sehingga jejaring sosial dapat terbentuk.
40
Keterlibatan kelompok pengrajina anyaman dalam BPD tidak terlepas dari peran pimpinan kelompok baik pimpinan formal dan informal. Untuk lebih jelasnya daoat dilihat pada gambar berikut.
Tokoh Masyarakat (formal dan informal)
Klp. pengrajin Desa & aparatnya MUSYAWARAH BPD (Badan Perwakilan Desa) Keputusan Bersama
Kecamatan
Gambar 3. Jejaring Sosial Kelompok Pengrajinn Anyaman dalam Masyarakat Desa Sawah Kulon : Memiliki kontribusi
Dalam kaitannya dengan pengembangan usaha kerajinan anyaman, tokoh formal dan informal perlu dilibatkan untuk menggali potensi dalam kelompok pengrajin anyaman. Keberadaan pengrajin akan menyangkut kepentingan masyarakat banyak, maka keterlibatan tokoh formal dan informal diperlukan sebagai orang yang dipercaya oleh masyarakat banyak.
4. 5. Organisasi dan Kelembagaan A. Lembaga Kemasyarakatan Lembaga kemasayarakatan di Desa sawah Kulon ada yang dibentuk oleh pemerintah dan atas aspirasi dan inisiatif masyarakat sendiri. Lembaga bentukan pemerintah diantaranya : 1) BPD (Badan Perwakilan Desa) beranggota 13 orang diketuai seorang sarjana, 2) PKK Desa beranggota 125 orang diketuai ibu kepala Desa dengan pendidikan SLTA, 3) Karang Taruna Desa dengan jumlah anggota 45 orang diketuai tokoh pemuda berpendidikan sarjana. Lembaga yang dibentuk atas inisiatif dan prakarsa penduduk dintaranya : 1) Majelis ta’lim (pengajian ibu-
41
ibu dan bapa), 2) Remaja masjid. Berdasarkan pengamatan dan wawancara, pada setiap pelaksanaan pengajian di RW 02 baik untuk ibu-ibu, bapa-bapa, maupun remaja, selalu ada pengumpulan dana jariyah dari anggota secara sukarela untuk digunakan menolong warga mendapat musibah (kematian, sakit, kebakaran, dll) maupun yang mendapat kebahagiaan (melahirkan, sunatan, perkawinan, dll). Pengrajin anyaman terlibat dalam kedua lembaga tersebut baik sebagai pengurus maupun anggota. Lembaga ekonomi yang aktif di desa adalah Koprasi Desa dengan kegiatan pokok simpan pinjam. Koprasi Desa awalnya mendapat bantuan dari Dinas Koprasi Kabupaten Purwakarta pada tahun 2001, karena pengelolaan baik dan proses simpan pinjam berjalan lancar, hingga kini koprasi desa masih aktif. Ketua koprasi desa adalah kepala desa sendiri dan bertempat di kantor desa. Kelompok pengrajin anyaman merupakan lembaga ekonomi rakyat karena aktifitasnya adalah prinsip ekonomi (pertukaran barang dan jasa) antar anggota masyarakat. Keberadaan Koperasi Desa dimanfaatkan oleh pengrajin anyaman dalam
hal
pemasaran
dan
sumber
untuk
membantu
pengrajin
dalam
permodalan. B. Fungsi Kontrol Sosial Lembaga Dalam pelaksanaan kegiatan, kegiatan lembaga kemasyarakatan berjalan baik. Adanya koordinasi baik diantara kelompok atau lembaga, maupun dengan pemerintah. Kontrol sosial dilakukan melalui musyawarah diantara pengurus organisasi maupun tokoh masyarakat. Kontrol sosial yang paling kuat adalah melalui agama (bersifat religius). Pada masayarakat pedesaan umumnya fungsi lembaga keagamaan memegang peranan yang dominan dibanding sistem kelembagaan lainnya. Setiap urusan dan permasalahan dicoba diselesaikan melalui kelembagaan ini. Demikian juga pada kelompok pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon. Musyawarah atau rembukan dilakukan melalui lembaga keagamaan. Media untuk melakukan kumpulan dalam membicarakan usaha kerajinan dilakukan di mushola setelah melakukan sholat berjamaah. Dengan cara seperti inilah mudah untuk mengumpulkan semua pengrajin. Pengrajin atau masyarakat lainnya berkumpul pada waktu melaksanakan sholat berjamaah (terutama subuh, maghrib, dan isya), maka dengan mudah informasi disampiakan pada forum ini. Secara tidak langsung pula fungsi kontrol banyak dilakukan oleh lembaga keagamaan.
42
C. Proses Sosialisasi dalam Komunitas Umumnya masyarakat pedesaan dimana tingkat kekerabatan sangat tinggi. Bisa terjadi dalam satu dusun/RW didiami oleh satu keluarga besar yang masih memiliki hubungan keluarga. Tetapi sebagai masyarakat transisi, proses sosialisasi di dalam masyarakat umumnya dilakukan oleh keluarga inti yaitu ayah dan ibu, atau kerabat dari pihak istri maupun suami. Pola pengasuhan dalam keluarga dilakukan oleh kedua orang tua. Dari 142 KK pada kelompok pengrajin melakukan pola pengasuhan yang dilakukan oleh keluarga. Apabila terjadi kedua orang tua bekerja, pengasuhan dilakukan oleh kerabat. Keterampilan mengayam pada kelompok pengrajin anyaman diperoleh secara turun temurun dari para orang tua mereka. Keterampilan juga diturunkan kepada kerabat dekat mereka. Sosialisasi diturunkan awalnya pada keluarga dekat atau lingkungan keluarga saja. Karena dalam satu wilayah biasanya terikat sebagai kerabat dekat, maka sosialisasi dimulai pada keluarga yang akhirnya menjadi pada kelompok tertentu yang terikat oleh pertalian darah.
4.6. Sumber Daya Lokal Hubungan kelompok pengrajin anyamana dengan ekosistem dapat dilihat dari bagaimana kelompok tersebut memanfaatkan sumber daya lokal yang ada di lingkungannya. Sumber daya lokal secara ekonomi yang dapat diakses oleh kelompok pengrajin di Desa Sawah Kulon adalah : A.Lahan Tanah di Desa Sawah Kulon 80 hektar atau 57,9 persen adalah tanah pertanian. Dari tanah seluas itu tanah yang dugunakan untuk pesawahan seluas 42 hektar atau 52 persen adalah pesawahan. 12 hektar (15 persen) adalah lahan yang digunakan untuk penaman pohon pandan. Bila ditinjau dari sejarah Kecamatan Pasawahan dahulu tempat ini merupakan areal pesawahan yang luas. Karena pengaruh pertumbuhan penduduk dan faktor lainnya, luas tanah pesawahan berkurang digunakan untuk pemukiman, sarana umum, dan lain-lain. Daun pandan yang digunakan sebagai bahan baku oleh kelompok pengrajin berasal dari lahan pertanian Desa Sawah Kulon. Lahan seluas 15 persen dari 80 hektar tanah pertanian, dijadikan sebagai sumber mata pencaharian bagi kelompok pengrajin anyaman. Kontribusi lahan pertanian juga dirasakan oleh penduduk yang mengandalkan lahan pertanian sebagai mata pencaharian.
43
B. Tenaga Kerja Usaha kerajinan anyaman yang dilakukan oleh semua anggota kelompok 72 persen adalah usaha sampingan sebagai mata pencaharian tambahan. Dari 72 persen tersebut, 58 persen adalah buruh (pekerja kasar seperti : Buruh bangunan, buruh tani), pedagang warungan, dan pekerja serabutan (apa saja yang bisa dikerjakan asal mendapat upah). Sebagian penduduk Desa Sawah Kulon yang melakukan proses produksi dan pemasaran dalam kerajinan anyaman dapat disebut sebagai pengrajin,
dalam sistem pengupahan
(pembagian keuntungan) yang mereka lakukan masih sangan tradisional. Pada kelompok pengrajin anyaman jumlah penduduk usia kerja sebesar 388 jiwa atau 81,3 persen dari total jumlah penduduk, sedangkan jumlah angkatan kerja sebesar 206 jiwa atau 45,6 persen dari jumlah penduduk merupakan angkatan kerja. Jika dibandingkan dengan jumlah usia kerja sebesar 388 jiwa, maka ada angka pengangguran pada kelompok pengrajin anyaman sebesar 162 jiwa atau terdapat 42,6 persen pengangguran dari jumlah penduduk usia angkatan kerja. Angka tersebut merujuk pada kategori pengangguran tidak kentara yaitu mereka yang bekerja tidak tetap seperti buruh bangunan, pekerja borongan, ibu rumah tangga. Tenaga kerja yang terlibat pada proses produksi dan pemasaran dilakukan oleh pengrajin dari Desa Sawah Kulon. C. Modal Modal terkait dengan modal fisik dan non fisik (modal sosial). Modal sosial yang ada pada masyarakat kelompok pengrajin, seperti : gotong royong, kepercayaan, saling tolong menolong yang membentuk sebuah perkumpulan, kelembagaan sosial, dan kelompok masyarakat lainnya. Modal fisik berupa aset produksi ada di masyarakat, kaitannya dengan usaha kelompok pengrajian modal fisik bisa berupa uang, lanah produksi pertanian,
bahan baku, alat
pemasaran (kendaraan), dan lain-lain. Modal sosial yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat kelompok pengrajin menjadi faktor pendukung tetap berjalannya usaha anyaman yang dilakukan. Modal sosial yang ditunjang oleh modal fisik, dapat mengarahkan usaha ini menjadi lebih berkembang. Dengan tersedianya sumber daya lokal pada masyarakat, maka bagaimana penduduk setempat mempergunakan dan mengambil manfaat dari sumber daya lokal dapat dilihat dari :
44
a. Penguasaan sumber daya lokal Tanah pertanian seluas 80 hektar diantaranya 47,5 hektar adalah milik penduduk Sawah Kulon sedangkan 32,5 hektar dimiliki penduduk luar Sawah Kulon tetapi pemeliharaannya oleh penduduk Sawah Kulon. Berarti ada kontribusi untuk penduduk setempat walaupun persentasenya tidak besar. Tanah di Desa Sawah Kulon 80 hektar atau 57,9 persen adalah tanah pertanian. Dari tanah seluas itu tanah yang dugunakan untuk pesawahan seluas 42 hektar atau 52 persen adalah pesawahan. 12 hektar (15 persen) adalah lahan yang digunakan untuk penaman pohon pandan. Daun pandan yang digunakan sebagai bahan baku oleh kelompok pengrajin berasal dari lahan pertanian Desa Sawah Kulon. Lahan seluas 15 persen dari 80 hektar tanah pertanian, dijadikan sebagai sumber mata pencaharian bagi kelompok pengrajin anyaman Tenaga kerja yang bekerja sebagai buruh/pegawai swasta sebagian besar memiliki terpat kerja di luar desa, artinya mereka membawa hasil ke Desa Sawah Kulon. Begitu juga dengan PNS dan ABRI, tetapi sebagian penduduk angkatan kerja ada yang bekerja dan menetap di luar desa dengan pertimbangan penghasilan yang diperoleh tidak akan mencukupi jika harus dibawa ke desanya. Pada kelompok pengrajin anyaman produksi dilakukan di desa mereka tetapi dalam pemasaran bisa dilakukan di luar desa mereka. Abaila usaha kerajinan anyaman ini dapat dikembangkan, maka tidak langsung dapat menyerap tenaga kerja. Terbuka lapangan kerja
baru dari
adanya usaha kerajinan anyaman, seperti pembuat kerajinan, pencari bahan baku, penanam bahan baku, petugas administrasi dan pembukuan keuangan, penjaga keamanan, membuka peluang untuk transportasi, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan usaha kerajinan anyaman merupakan sumber daya lokal dalam bentuk modal (aset). b. Tekanan penduduk terhadap sumber daya Jumlah penduduk 4025 jiwa ditampung dalam luas wilayah 138 hektar, maka tingkat kepadatan penduduknya sebesar 34-36 per km. Produksi pertanian Desa sawah kulon menurut data di Kecamatan dan wawancara dengan petugas pertanian kecamatan, menduduki peringkat 4 sebagai penghasil produsen bahan pertanian di Kecamatan. Dari luas lahan sawah 57 hektar dapat manghasilkan beras dalam setiap panen mencapai 98 ton, sedangkan panen yang menghasilkan beras yang bagus setahun rata-rata hanya 2 kali. Produksi pertanian yang dominan dihasilkan Desa Sawah Kulon adalah buah manggis dan
45
pala. Luas lahan pohon manggis 23 hektar, pohon pala 5 hektar dengan rata hasil keduanya 111 ton dan 72 ton per tahun. Tanah pertanian tersebut sebagian milik penduduk Desa sawah Kulon dan sebagain milik penduduk luar desa. Demikian juga lahan pertanian seluas 12 hertar yang digunakan untuk menanam bahan baku merupakan daya dukung alam terhadap kelompok pengrajin. 142 kk dan 468 jiwa yang menggantungkan mata pencaharian pada lahan seluas 12 hektar. Melihat daya dukung alam, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk, maka perlu perbaikan kualitas dan kuantitas pertanian untuk meningkatkan produksi hasil pertanian semua jenis termasuk bahan baku anyaman agar bisa mendukung jumlah penduduk. Daya dukung produksi kerajinan anyaman terhadap jumlah penduduk tidak memadai. Hal ini disebabkan tingkat produksi yang dihasilkan belum dapat memenuhi kebutuhan penduduk (kebutuhan primer, skunder dan tersier). Oleh karena itu kemampuan produksi kerajinan anyaman untuk dapat memenuhi kebutuhan penduduk perlu ditingkatkan, mengingat tingkat perekonomian kelompok pengrajin yang bertingkat. Salah satu upaya dengan mengembangkan potensi produksi dan pemasaran dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas faktor- faktor yang mendudkung berjalannya proses produksi dan pemasaran dengan baik.
4. 7. Masalah Kesejahteraan Sosial dalam kelompok pengrajin anyaman Secara umum di Desa Sawah Kulon tidak ada permasalahan kesejahteraan sosial yang menonjol, namun bukan berarti tidak ada permasalahan sosial. Berdasarkan hasil pendataan PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) di Desa Sawah Kulon tahun 2003, terdapat PMKS di Desa Sawah Kulon sebagai berikut : 1. Pengemis
: 3 orang
2. Eks Narapidana
: 1 orang
3. Penyandang Cacat
: 22 orang
4. Keluarga Miskin
: 222 KK
5. Keluarga Berumah tidak Layak Huni
: 114 KK
6. Wanita Rawan Sosial Ekonomi
: 26 orang
7. Keluarga yang tinggal di Daerah Kumuh : 126 KK Semua masalah kesejahteraan sosial yang dikemukakan di atas, bermuara dari kemiskinan. Apabila kemiskinan dapat dikurangi secara kuantitas dan
46
kualitas, maka PMKS di atas akan berkurang. Penyebab kemiskinan itu sendiri adalah rendahnya pendidikan yang berkorelasi dengan rendahnya keterampilan yang dimiliki, dan sulitnya mencari pekerjaan. Dari 142 KK kelompok pengrajin anyaman terdapat 92 KK tergolong pra KS, dan 50 KK termasuk KS 1. Berdasarkan hasil wawancara dengan aparat desa dan kecamatan serta pengamatan, PMKS rumah tidak layak huni, wanita rawan sosial ekonomi, dan rumah di daerah kumuh, adalah mereka yang menjadi bagian dari 222 keluarga miskin. Data 222 keluarga miskin termasuk 92 KK dari anggota kelompok pengrajin kategori pra KS. Terdapat angka 26 wanita rawan sosial ekonomi diantaranya termasuk 5 KK pengrajin dimana wanita sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah keluarga. Dari 92 KK kelompok pengrajin pra KS, termasuk 21 yang berada pada tinggal di daerah kumuh. Program pemerintah untuk menanggulangi masalah kemiskinan di Desa Sawah Kulon telah banyak dilakukan. Namun hasilnya tetap tidak dapat merubah kondisi kemiskinan mereka. Program P2WKSS, UP2K-PKK bagi wanita rawan sosial ekonomi yang di dapat pada tahun 2002, sampai saat ini tetap tidak merubah kondisi mereka. Usaha ekonomi produktif yang bertujuan untuk meningkatkan
pendapatan
mengalami
hambatan
karena
keterbatasan
pengetahuan dan memngakses sistem sumber. Pemugaran rumah tak layak huni yang sudah dialokasikan pada 15 rumah dari tahun 2002, tetap tidak merubah kondisi kemiskinan. Faktor dominan yang menyebabkan sebuah program tidak dapat
berkelanjutan
adalah
ketidakmampuan
penduduk
miskin
dalam
menjangkau akses. Kelompok pengrajin yang tergolong pra KS 1 yang tinggal di dusun Pasawahan dan Pasir angin pernah mendapatkan program tersebut dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian mereka. Berdasarkan hasil observasi, kemiskinan yang mereka alami sudah lama sehingga menjadi biasa hidup miskin. Pola penyebaran penduduk miskin di Desa sawah Kulon terkonsentrasi di pedalaman dususn-dusun. Dusun Pasir angin dan sukahaji memili daerah pedalaman yang sulit untuk dijangkau, termasuk 22 KK kelompok pengrajin yang tinggal di daerah tersebut. Dari 7 RW/4 dusun di Desa Sawah Kulon jumlah KK miskin hampir merata. Mencermati kemiskinan yang muncul di lokasi penyebabnya adalah kemiskinan struktural dimana sebagaian penduduk karena sturktur sosial yang dibentuk oleh lingkungan tidak dapat menikmati untuk ikut serta dalam memanfaatkan sumber yang tersedia.
47
Kekuatan lokal yang tumbuh di masyarakat yang dapat membantu keluarga miskin adalah kegiatan yang bersifat keagamaan (religi). Dari 18 masjid yang ada di Desa Sawah Kulon semuanya memiliki kegiatan untuk membantu fakir miskin, walupun pola kegiatannya masih tradisionil dan bersifat sukarela. Majelis ta’lim yang dibentuk di setiap pengajian ibu-ibu, bapak-bapak, dan remaja, juga memiliki dana untuk kepentingan keluarga miskin. Walaupun tidak besar dana yang mereka alokasikan, tetapi kepedulian terhadap keluarga miskin adalah nilai yang tertanam dalam masyarakat. Nilai dan norma agama pula lah yang kuat melandasi masyarakat mengatur hubungan sosial sehingga tidak timbul diskriminasi terhadap masyarakat miskin atau penyandang masalah sosial lannya.
48
V. TINJAUAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT
5.1. Program Pengembangan Kecamatan (PPK) 5.1.1. Gambaran Umum Program Pengembangan Kecamatan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang meliputi dana bantuan bergulir, bantuan sarana dan prasarana serta kelembagaan. Juga bantuan pendampingan merupakan program yang memiliki pendekatan yang berbeda. Keberhasilan PPK tergantung pada motivasi yang timbul dari masyarakat. Timbulnya motivasi karena adanya kebutuhan yang nyata dari masyarakat, adanya peluang bagi peran aktif masyarakat dan dibebaskannya masyarakat untuk memutuskan pilihan kegiatan secara demokratis. Dengan demikian masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab atas perencanaan, pelaksanaan dan pelestarian kegiatan. Hal ini merupakan perwujudan dari pemberdayaan masyarakat. Proses pemberdayaan masyarakat yang tengah berlangsung harus disertai dengan proses pemberdayaan kelembagaan, pengembangan
ekonomi
lokal,
perencanaan
dan
kebijakan,
dengan
memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat desa. Masyarakat desa terutama dari kelompok miskin, kelompok usaha ekonomi produktif, merupakan sasaran PPK sekaligus juga sebagai pelaku utama dari setiap tahapan dari pelaksanaan PPK. Pelaku lainnya dari aparat dan konsultan di tingkat desa, kecamatan, kabupaten, dan seterusnya lebih berperan sebagai fasilitator, pembimbing, dan pembina, agar tujuan, prinsip, kebijakan, prosedur dan mekanisme PPK dapat tercapai dan dilaksanakan secara benar dan konsisten. Penyaluran dana PPK adalah aliran Dana Bantuan Langsung (BLM) Kecamatan Pasawahan APBD Kabupaten Purwakarta melelui kantor kas daerah (Bank Jabar) dari dana cost sharing kabupaten, dan APBN melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Pencairan dana PPK di Desa Sawah Kulon adalah aliran dana PPK dari rekening kolektif di tingkat Kecamatan Pasawahan ke Desa Sawah Kulon melalui Tim Pengelola Kegiatan (TPK) sesuai dengan rencana kegiatan dan kebutuhan dalam jangka waktu tertentu. Kelompok pengrajin anyaman dipandang sebagai kelompok usaha ekonomi produktif yang mendapat dana bantuan bergulir dari PPK. Kelompok pengrajin yang mendapat bantuan adalah kelompok yang terdapat di dusun Sukahaji 1 kelompok, Cihuni 1 kelompok, dan 2 kelompok di Pasawahan.
49
Bantuan yang diberikan sebesar Rp. 2.000.000,-/kelompok
yang digunakan
untuk mengembangkan usaha kerajinan. Penggunan dana diantaranya untuk biaya produksi, pencarian bahan baku, dan proses pemasaran. Namun karena pemberian bantuan tidak disertai dengan pengetahuan dalam hal manajemen usaha, maka bantuan tersebut tidak mengalami keberlanjutan. Padahal bantuan diberikan kepada kelompok usaha yang telah mengakar pada masyarakat Sawah Kulon. Ketidakberlanjutan dari efek bantuan PPK dan ketidakberkembangan usaha sangat ditunjang oleh faktor intern pengrajin, diantaranya tingkat pengetahuan sebagai imbas dari pendidikan yang rendah. A. Penyelenggara dan Sumber Dana Pada prinsipnya, semua administrasi penyaluran dan pencairan dana PPK akan dikelola dan diadministrasi oleh Unit Pengelola Kegiatan (UPK). Termasuk kegiatan administrasi sarana dan prasarana, ekonomi simpan pinjam, pendidikan dan kesehatan, maupun untuk peningkatan kapasitas masyarakat. Kegiatan administrasi di desa dilakukan oleh Tim Pengelola Kegiatan (TPK). Sumber dana bantuan langsung PPK yang diperoleh kelompok pengrajin anyaman pada tahun 2003 meliputi dana APBD dari Pemerintah Daerah dan dana APBN dari Pemerintah Pusat. Dengan mengikuti ketentuan bahwa Kabupaten Purwakarta termasuk dalam kapasitas fiskal sedang. Adapun porsi pembiayaan pemerintah pusat sebesar 60 persen, dan porsi pemerintah daerah Kabupaten Purwakarta adalah 40 persen dari alokasi dana BLM. Kesepakatan porsi pembiayaan BLM dari Kabupaten Purwakarta dengan pusat dituangkan dalam Nota Perjanjian Hibah yang ditandatangani oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemberian besarnya dana bantuan berdasarkan banyaknya jumlah penduduk di kecamatan. Kecamatan dengan jumlah penduduk di bawah 50 ribu jiwa mendapat bantuan sebesar Rp. 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Untuk kecamatan dengan jumlah penduduk di atas 50 ribu jiwa akan mendapatkan bantuan sebesar satu milyar rupiah (Rp. 1.000.000.000,-). Kecamatan Pasawahan yang memiliki 10 Desa (diantaranya Desa Sawah Kulon) memiliki jumlah penduduk diatas 50 ribu jiwa sehingga mendapat bantuan langsung masyarakat untuk program PPK sebesar Rp 1 Milyar. B. Pendekatan dan Pengelolaan Program PPK meliputi bantuan dana bergulir, bantuan sarana dan prasarana serta kelembagaan. Juga ada bantuan pendampingan yang
50
merupakan program yang memiliki pendekatan yang berbeda dengan yang sebelumnya. Pendekatan tersebut adalah pemberdayaan masyarakat, dimana masyarakat penerima bantuan dalam wadah kelompok diberikan kebebasan dalam penentuan kegiatan yang akan dilaksanakan atas dasar kesepakatan dalam musyawarah kelompok. Program PPK yang sampai di Desa Sawah Kulon banyak ditujukan kepada masyarakat miskin melalui pengelola di kecamatan. Bentuk dari program PPK tersebut berupa pemberian dana bergulir untuk usaha ekonomi produktif dan dana pembangunan sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan ekonomi. Pendekatan dalam program PPK di Desa Sawah Kulon yang sampai kepada kelompok pengrajin anyaman adalah dengan : 1) Pemihakan kepada penduduk miskin, 4 kelompok pengrajin anyaman yang medapat bantuan termasuk dalam kategori Pra KS. 2) Pemberian kepercayaan kepada masyarakat untuk memilih kegiatan yang dibutuhkan. Kelompok pengrajin anyaman adalah usaha ekonomi produktif yang merupakan kekuatan ekonomi lokal dan kebutuhan kelompok ini adalah mengembangkan usaha kerajinan baik dalam produksi maupun pemasaran. 3) Pemberian akses informasi kepada penduduk miskin, kebebasan memilih dan memutuskan serta pelaksanaan kegiatan termasuk keuangan. Akses informasi yang didapat kelompok pengrajin anyaman menjadi terbatas karena tingkat kemampuan anggota kelompok pengrajin yang mengalami kesulitan dalam memanajemen keuangan. 4) Paritisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pelestarian program pengembangan masyarakat. Ketika bantuan akan digulirkan, tokoh masyarakat mengusulkan kelompok pengrajin anyaman sebagai bagian dari penerima program. 5) Kompetisi yang sehat dalam pengajuan usulan kegiatan (proposal) sehingga masyarakat lebih mampu menentukan prioritas kegiatan secara efektif dan efisien. Dalam kompetisi, dukungan dari tokoh masyarakat dan aparat desa menjadi diperlukan untuk menunjukkan bahwa usaha kerajinan anyaman adalah ada dan perlu mendapat bantuan dana bergulir. 6) Swadaya masyarakat dalam pelaksanan program PPK. Kegiatan selanjutnya setelah mendapat bantuan dana bergulir PPK, kelompok pengrajin anyaman melakukan pembenahan pada sistem produksi terutama penyediaan bahan baku, pengelolaan keuangan (upah, tranport, penerimaan hasil penjualan,
51
dan lain-lain), dan berusaha meperluas pemasaran dengan melakukan kerja sama dengan koperasi dan pasar desa. Prinsip pengelolaan program PPK pada kelompok pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon yaitu : 1) Mudah diterima dan didayagunakan oleh kelompok pengrajin anyaman. 2) Dikelola oleh seluruh anggota kelompok
secara terbuka dan dapat
dipertanggung-jawabkan 3) Meningkatkan pendekatan dengan kemampuan anggota kelompok pengrajin melalui pengelolaan kegiatan secara ekonomis. 4) Pelestarian kegiatan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat dengan tujuan keberlanjutan kegiatan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat. 5) Dana dapat dengan mudah digulirkan dan dikembangkan oleh kelompok dalam lingkup yang lebih luas melalui kerja sama dengan kelompok usaha ekonomi produktif lainnya.
5.1.2. PPK dan Pengembangan Ekonomi Lokal Kelompok Pengrajin Anyaman Penerima bantuan PPK di lokasi praktek lapangan II yang menjadi sasaran evaluasi program adalah aggota kelompok yang mempunyai kegiatan usaha ternak domba dan sapi, usaha bata merah, usaha warungan pasar desa, dan 4 kelompok pengrajin anyaman. Usaha yang dilakukan masyarakat yang tergolong kategori Pra KS dan Sejahtera I tersebut merupakan usaha ekonomi produktif yang diharapkan dapat membantu terhadap pertumbuhan kondisi ekonomi masyarakat. A. PPK dan Pertumbuhan Ekonomi Kelompok Pengrajin Anyaman Menurut anggota kelompok yang tergabung pengrajin anyaman, sebagian usaha yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan untuk mengangsur pinjaman. Empat kelompok pengrajin anyaman mendapat dana bantuan pinjaman uang dari dana PPK sebesar Rp. 2.000.000,-.
Pemberian
dana pinjaman tersebut dalam jangka waktu tertentu diharapkan dapat mempengruhi pertumbuhan ekonomi anggota kelompok pengrajin anyaman. Dengan dana sebesar itu anggota kelompok pengrajin bisa melakukan kegiatan produksi dan pemasaran yang diharapkan usaha anyaman dapat berkembang dengan baik dan memiliki nilai ekonomi yang lebih memadai.
52
Indikasi
sementara
yang
dapat
dipakai
dalam
melihat
adanya
pertumbuhan ekonomi pada anggota kelompok pengrajin anyaman adalah dari data pelunasan angsuran dana pinjaman PPK. Menururt informasi UPK Kecamatan Pasawahan, sampai bulan Desember 2005 pengguna bantuan dana PPK untuk kelompok pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon dari empat kelompok ternak dua kelompok diantaranya (Kelompok Dusun Pasawahan dan Cihuni) sudah melunasi pinjaman dana, dua kelompok lagi (Pasawahan dan Sukahaji) masih mencicil dan sampai saat ini belum ada laporan dari kelompoknya. Berdasarkan informasi dari bapak Diman yang merupakan anggota kelompok pengrajin yang masih mencicil mengeluhkan sebabai berikut : ” ... sepertinya saya tidak dapat melunasi pinjaman dana PPK itu karena pasaran anyamannya seret, susah, banyak saingan. Saya juga sekarang nyambi kerja jadi ikut bantu bikin kue simping di tempat lain. Repot ngandelin usaha anyaman makin banyak saingan di pasaran, dana yang dipinjam sedikit sekali karna dibagi dalam kelompok sedangkan keuntungan uang lama sekali diperoleh..” Dari pernyataan anggota kelompok ternyata dapat disimpulkan bahwa perguliran
dana
pinjaman
untuk
kelompok
pengrajin
anyaman
belum
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi keluarga pengrajin. Tetapi dari data pelunasan pinjaman dana juga dapat disimpulkan ternyata ada pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi pengrajin. Jika dibandingkan maka perguliran dana pinjaman dari PPK bisa berpengaruh bisa juga tidak terhadap pertumbuhan ekonomi kelompok pengrajin anyaman. Di sisi lain ada informasi dari pihak BPD bahwa keinginan kelompok pengrajin anyaman untuk melunasi segera pinjaman dana PPK karena ada prinsip dari anggota pengrajin untuk tidak berhutang bukan karena usaha yang mengalami kemajuan.
Bantuan yang bergulir menjadi macet dan tidak
berkembang karena anggapan dari masyarakat desa bahwa bantuan tersebut tidak harus dikembalikan. Hal ini timbul karena dua kemungkinan, pertama karena memang tidak mengerti akan bantuan tersebut, kedua sifat masyarakat yang cenderung konsumtif sehingga modal usaha tidak dapat digulirkan. Dalam jangka waktu tertentu dikhawatirkan muncul anggapan PPK sebagai lembaga kredit pemberi bantuan pijaman dari pemerintah. Pada tabel berikut dapat dilihat bagaiman tingkat kemajuan yang dicapai pengrajin anyaman dalam mengelola bantuan PPK. 53
Tabel 10. Perkembangan Bantuan PPK pada Kelompok Pengajin Anyaman di Desa Sawah Kulon pada Bulan Juli Tahun 2006 Kelompok Cihuni Pasawahan 1 Pasawahan 2 Sukahaji
Dana Awal (Rp) 600.000,700.000,500.000,500.000,-
Bantuan PPK (Rp) 2.000.000,2.000.000,2.000.000,2.000.000,-
Perkembangan (Rp) 2004 2005 3.000.000,3.300.000,2.700.000,3.000.000,2.700.000,2.700.000,2.000.000,2.000.000,-
B. PPK dan Pemanfaatan Potensi Ekonomi Lokal PPK yang dilaksanakan di Desa Sawah Kulon dilakukan melalui pemanfaatan potensi ekonomi lokal yang ada. Potensi ekonomi lokal tersebut berupa : kelompok ternak sapi dan domba, pengusaha bata merah, usaha warungan, pengusaha wajit dan gula, pengusaha simping, dan uasha kerajinan anyaman. Dikategorikan sebagai potensi ekonomi lokal karena kegiatan usaha produktif tersebut merupakan salah satu kekuatan ekonomi produktif yang dilakukan oleh masyarakat desa Sawah Kulon berdasarkan kemampuan dan kebutuhan mereka untuk meningkatkan taraf perekonomian mereka yang berdampak juga pada tingkat kesejahteraan atau kualitas hidup (quality of life) penduduk Desa Sawah kulon. Pembangunan ekonomi yang diprogramkan dalam kegiatanh PPK merupakan
pembangunan
yang
bertumpu
pada
kemampuan
ekonomi
masyarakat atau pada kemandirian masyarakat. Kemandirian mengandung arti bahwa proses pembangunan diciptakan dari setiap anggota masyarakat, oleh setiap anggota masyarakat, dan untuk setiap anggota masyarakat.
Dalam
kegiatan PPK yang menggulirkan bantuan dana pinjaman kepada kelompok usaha pengrajin anyaman tersebut bertujuan untuk meningkatkan taraf pertumbuhan ekonomi pengrajin secara khusus, dan berhubungan dengan tingkat kesejahteraan penduduk secara umum. Dengan menggunakan potensi ekonomi lokal yaitu kelompok pengrajin anyaman yang ada di desa Sawah Kulon, diharapkan kegiatan PPK dapat berkelanjutan walaupun bantuan dana pinjaman dudah dihentikan. Pada tabel berikut dapat dilihat bagaimana PPK menyalurkan dana bantuan pinjaman melalui potensi ekonomi lokal penduduk desa.
54
Tabel 11. Penyaluran Dana Bantuan Pinjaman PPK di Desa Sawah Kulon pada Bulan Juli Tahun 2006 Potensi Jenis Usaha ekonomi lokal a. Ternak Sapi 1. Usaha b. Ternak domba Ternak
Jumlah 3 Klp/15 KK 4 Klp/20 KK
Pembiayaan PPK Swadaya 51.000.000 45.000.000 23.000.000 20.000.000
Pengembalian
Perguliran
11.000.000
-
2.500.000 15.000.000
3.400.000 3.000.000
8.000.000
4.000.000
2. Usaha warungan
a. Warungan rumah b. Warungan pasar
2 Klp/12 KK 3 Klp/15 KK
3. Pembuat makanan
a. Pembuat Wajit dan gula merah b. Pembuat simping
1 KK
1.000.000
1.250.000
800.000
250.000
2 KK
1.500.000
2.000.000
1.000.000
1.000.000
Kerajinan anyaman
4 Klp/50 KK
8.000.000
11.000.000
4.000.000
4.000.000
2 KK
5.000.000
7.000.000
3.500.000
3.500.000
4. Pembuat Kerajinan 5. Usaha bata merah
Pembuat bata merah
A. PPK dan Program Ekonomi Lokal PPK yang digulirkan ke Desa Sawah Kulon melalui kelompok usaha ekonomi yang diharapkan produktif tidak konsumtif. Perguliran tersebut dapat dikatakan sebagai program untuk mengembangkan potensi ekonomi lokal karena merupakan bagian dari proses memperbaiki sumber daya masyarakat dalam menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat. Fokus pengembangan dalam ekonomi lokal adalah pembentukan usaha kecil dan menengah serta menciptakan lapangan kerja. PPK dengan sasaran kelompok pengrajin anyaman menekankan pada pemanfaatan SDM dan SDA secara optimal untuk mengembangkan lapangan kerja baru, penyerapan tenaga kerja (mengurangi pengangguran) dan menciptakan kesejahteraan masyarakat Desa Sawah Kulon. Agar PPK dapat berkelanjutan, maka titik masuk program tersebut melalui jenis usaha ekonomi yang sudah mengakar pada masyarakat Desa Sawah Kulon. Walaupun usaha mereka bersifat informal, tetapi dengan program ekonomi lokal dapat membantu memahami usaha sektor informal tersebut. Usaha kerajinan anyaman merupakan usaha yang diturunkan dalam keluarga pengrajin. Keterampilan yang dimilki pengrajin diperoleh secara turun temurun. Maka usaha ini merupakan sebuah potensi ekonomi lokal karena ada, tumbuh, dan berkembang dari dalam masyarakat sendiri. Usaha kerajinan anyaman dilakukan sebagai sebuah kegiatan ekonomi karena menjadi mata pencaharian hidup. Sebagai potensi ekonomi lokal karena apabila dapat dikembangkan akan berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi kelompok pengrajin anyaman secara khusus dan masyarakat Desa Sawah Kulon secara umum.
Jika usaha kerajinan anyaman mengalami perkembangan baik pada
55
kelembagaan produksi maupun pemasaran, maka penyerapan tenaga kerja dapat terjadi. Implikasi selanjutnya pada pengurangan tenaga kerja, menambah penghasilan penduduk, dan membuka lapangan kerja baru.
5.1.3.
PPK, Pengembangan Kelembagaan, Modal Sosial dan Gerakan Sosial Kelompok Pengrajin Anyaman PPK merupakan sebuah kelembagaan, karena
di dalam program
tersebut terdapat sebuah tata aturan, pola hubungan, nilai yang mengatur kegiatan PPK agar dapat berjalan sesuai dengan tujuan. Dapat juga dikatakan sebagai sebuah institusi (organisasi) karena adanya sturktur pembagian tugas, pembagian peran dan hubungan antar peran. A. PPK dan Proses Kelembagaan Proses kelembagaan dan kegiatan PPK terjadi dengan melihat prosedur dan aturan yang ditetapkan untuk dapat mangakses PPK. Dana bantuan pinjman yang diberikan oleh PPK kepada masyarakat melaui pola hubungan yang diatur dalam prosedur tertentu. PPK jika dilihat sebagai sebuah organisasi/institusi adalah organisasi modern. Di mulai pada tingkatan nasional, regional, dan daerah. Adanya proses transparansi, accountabilitas, dan democracy dalam proses pelaksanaan kegiatan PPK di masyarakat. Struktur keorganisasian dalam PPK disusun secara hirarki berdasarkan status kekuasaan dalam pemerintahan. Siatem kelembagaan produksi pada kelompok pengrajin anyaman akan menjadi input bagi tercapainya hasil pemasaran yang dapat meningkatkan kesejahteraan para pengrajin. Sistem upah tenaga kerja dan penentuan harga produksi dapat dipengaruhi oleh pola kelembagaan produksi yang selama ini dilakukan. Penggunaan teknologi pada proses produksi sangat memungkinkan dilakukan pada kelompok pengrajin anyaman. Tetapi karena pola hidup di pedesaan yang mengutamakan kekeluargaan dan gotong royong, bukan tidak mungkin untuk menggunakan teknologi, tetapi lebih pada pentingnya penyerapan tenaga kerja di desa dan pembagian hasil (upah) yang merata. Istilah kelembagaan (instituion) pada produksi dan pemasaran dapat diartikan sebagai tata aturan atau pola hubungan yang mengatur perilaku dalam sebuah sebuah sistem (abstark) untuk menghasilkan sebuah anyaman dan sampai pada konsumen. Dapat pula diartikan sebagai bentuk wujud berupa lembaga seperti organisasi tertentu (konkrit). Kelembagaan menurut Hayami dan Kikuchi (1982) seperti dikutip Syahyuti (2003) adalah suatu perangkat aturan
56
yang mengatur atau mengikat dan dipatuhi oleh masyarakat. Pengembangan kelembagaan dalam kaitannya dengan ekonomi lokal dapat didefinisikan sebagai proses
untuk
memperbaiki
kemampuan
lembaga
guna
mengefektifkan
penggunaan sumber daya manusia dengan keuangan yang tersedia (Israel, 1992). Pada pelaksanaan PPK di tingkat desa dengan peneriman bantuan kelompok pengrajin anyaman, pengrajin anyaman dituntut untuk mengorganisir kegiatan
agar
dapat
mengakses
dana
bantuan
pinjaman
dari
PPK.
Pembentukan kelompok usaha ekonomi produktif dibentuk dengan aturan, pola hubungan yang disusun berdasarkan susunan hirarki. Proses kelembagaan dalam kelompok pengrajin anyaman pada dasarnya untuk mengatur kegiatan agar mudah dalam mencapai tujuan. Untuk mengembangkan organisasi PPK maka peningkatan kapasitas kelembagaan melalui kerangka kerja pengembangan institusi (KKPI) karena PPK adalah kelembagaan yang cukup maju dan linier. KKPI dikembangkan untuk membantu penyempurnaan sistem manajemen organsiasi yang transparans untuk meningkatkan partisipasi. Dengan KKPI, PPK dapat mempertimbangkan berbagai faktor yang menentukan keberhasilan sebuah program.
B. PPK dan Modal Sosial Entry point PPK ke desa melalui modal sosial yang telah tumbuh dan berkembang di masyarakat desa. Gotong royong, kebersamaan, partisipasi, adalah wadah dimana kegiatan PPK dapat dilakukan. Bantuan yang diterima oleh kelompok pengrajin anyaman, kelompok ternak, pembuat makanan, pengrajin, dan lain-lain, dilaksanakan dalam situasi kekeluargaan, partisipasi aktif anggota kelompok, kebersamaan, gotong royong demi tercapainya kondisi pertumbuhann kondisi ekonomi secara kelompok. Situasi demikian merupakan modal sosial yang telah ada, tumbuh, dan berkembang pada setiap masyarakat desa. Sehingga setiap program pengembangan masyarakat yang masuk hanya tinggal memperkuat program yang akan didukung oleh modal sosial yang ada pada masyarakat. PPK bisa menjelma sebagai modal sosial untuk mengembangkan masyarakat apabila kegiatan yang dilaksanakan betul-betul menjadi kebutuhan dan mengakar pada masyarakat desa. Keberlanjutan kegiatan PPK dapat
57
tercipta jika modal sosial dimanfaatkan secara maksimal dalam pelaksanaan kegiatan. PPK dapat dikatakan sebagai modal sosial berupa : a. Modal fisik berupa modal materi dana bantuan pinjaman yang digulirkan b. Modal manusia berupa pengelola PPK dari tingkat pusat sampai desa. c. Modal sosial yaitu dapat dilihat adanya rasa kebersamaan, tolong menolong, gotong royong pada kelompok penerima dana bantuan. . Modal
sosial
pengelola
PPK
dibentuk
karena
adanya
trust
(kepercayaan) diantara pengelola PPK, dan diantara anggota kelompok penerima bantuan. Hubungan
timbal balik (resiprocity) yang terjalin pada
pelaksanaan PPK dan saling menguntungkan. Dilihat dari dimensi modal sosial, pemberian dana bantuan PPK kepada kelompok pengrajin anyaman di desa Sawah Kulon memiliki dimensi : a. Integrasi : adanya ikatan yang terjalin baik dalam pengelolaan PPK, baik intern PPK maupun masyarakat subjek PPK, dan dengan kelompok penerima bantuan. b. Linkage (pertalian) : kerja sama yang dibentuk antara kelompok penerima bantuan dan pengelola PPK dengan berbagai tingkatan. c. Integritas organisasi : merupakan kemampuan organisasi PPK untuk dapat memberikan
peluang
pengembangan
mengakses
usaha
ekonomi
fasiltas
masyarakat
dana Desa
bantuan
untuk
Sawah
Kulon.
Memberikan peluang kepada kelompok penerima bantuan untuk dapat mengakses sumber daya yang ada di luar kelompok mereka. d. Sinergi : adanya relasi yang terjalin antara organisasi PPK dengan institusi lain seperti koperasi, lembaga keuangan, dan lain-lain. C. PPK dan Gerakan Sosial Pelaksanaan kegiatan PPK di desa Sawah Kulon dapat dilihat sebagai gerakan sosial. Kegiatan PPK dilakukan secara kolektif oleh kelompok usaha ekonomi produktif, terorganisir melalui tata cara, aturan dan pola hubungan un tuk dapat mengakses PPK. Gerakan tersebut terlembaga dalam proses transparansi, accountability, dan democracy yang diharapkan membawa perubahan sosial pada masyarakat desa. PPK dapat dikatakan sebagai agen gerakan sosial dengan menyimak peran khas dari gerakan sosial yang dilakukan melalui program kegiatan PPK. Gerakan sosial yang dilakukan program PPK tersebut merupakan cara untuk
58
menata ulang sebuah masyarakat. Untuk mencapai keberhasilan dari program PPK ini harus dilakukan melalui kondisi yang kondusif, antara pelaku PPK dan sasaran PPK.
5.1.4. PPK dan Kebijakan Sosial PPK merupakan visi pemerintah yang di jabarkan dalam sebuah program bertujuan
untuk
mengembangkan
kecamatan.
Proses
pengembangan
kecamatan memiliki arti yang luas tidak hanya bersifat fisik tetapi non fisik. Tujuan dari PPK adalah untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan dan peningkatan
kemampuan
kelembagaan
masyarakat
dan
aparat
melalui
pemberian modal usaha dan pembangunan prasarana dan sarana yang mendukung kegiatan ekonomi pedesaan.
Kondisi ini sesuai dengan definisi
kebijakan sosial oleh Suharto (2005) yang menekankan pada seperangkat tindakan (courses of plain), kerangka kerja (framework), petunjuk (guideline), rencara (plan), peta (map), dan strategi yang dirancang untuk menterjemahkan visi politisi pemerintah atau lembaga pemerintah ke dalam program dan tidakan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang kesejahteraan sosial (social welfare). Sehubungan dengan definisi kebijakan sosial dan keterkaitan dengan tujuan PPK, maka jelas bahwa PPK merupakan kebijakan pemerintah dalam penanganan penanggulangan kemiskinan. Walaupun kebijakan tersebut sekilas bertujuan untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi, tetapi pada perkembangan selanjutnya pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan kesejahteraan sosial. Proses perencanaan yang dilakukan oleh masyarakat adalah dalam pembuatan pengajuan proposal permohonan bantuan dana pinjaman. Kebijakan pemerintah dalam menitikberatkan sasaran program PPK yaitu masyarakat miskin. Secara tidak langsung kebijakan tersebut merupakan keberpihakan
pemerintah
kepada
masyarakat
miskin
dalam
mengatasi
kemiskinannya. Memberikan akses kepada kelompok pengrajin anyaman untuk dapat menjangkau sistem sumber berupa bantuan dana bergulir untuk dapat mengembangkan usaha kerajinan anyaman. Dalam perumusan kebijakan PPK keterlibatan masyarakat sebagai subjek pengelola dana bantuan perlu dilibatkan. Aspirasi dan kebutuhan masyarakat atas kegiatan PPK dapat ditampung melalui wadah yang dapat dibentuk dalam UPK.
59
5.1.5. PPK dan Aspek Perilaku Manusia dalam Lingkungan Sosial Perilaku manusia berdasarkan teori konvergensi dibentuk karena pengaruh
faktor
internal
dan
eksternal.
Dalam
proses
pengembangan
masyarakat, maka setiap individu harus dipahami dari faktor internal yang mempengruhi terbentuknya individu tersebut. Juga dengan melihat lingkungan sekitar yang berinteraksi dengan individu yang mempengaruhi kepribadian individu tersebut. Begitu juga dengan melihat masyarakat sebagai kumpulan dari individuidividu yang memiliki karakteristik yang berbeda. Sebuah masyarakat memiliki ciri karakteristik yang berbeda dengan masyarakat lain karena faktor intern dan ekstern pada masyarakat. Pada pelaksanaan PPK masyarakat dipengaruhi oleh faktor ekstern dengan tujuan untuk merubah kondisi intern pada masyarakat. Motivasi kelompok pengrajin anyaman berdasarkan
adanya
kebutuhan
akan
untuk dapat menerima PPK
bantuan
untuk
meningkatkan
perekonomian. Berdasarkan hirarki kebutuhan Maslow (1943), maka kebutuhan kelompok pengrajin anyaman untuk mengakses PPK karena basic physiological needs yaitu untuk memenuhi kebutuhan dasar agar tetap dapat bertahan hidup. Pengrajin termotivasi untuk dapat mengakses PPK karna ingin mendapatkan ganjaran, dalam ilmu psikologi disebut symbolic process.
Melakukan suatu
tingkah laku agar mendapatkan dana bantuan walaupun bantuan tersebut membuat simbol bagi masyarakat bahwa mereka orang miskin.
5. 2. Program Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga (UP2K) 5. 2. 1. Gambaran Umum UP2K Dalam menciptakan masyarakat yang sejahtera sebagai prasyarat menaggulangi kemiskinan, maka keluarga dan masyarakat menjadi ujung tombak. Masyarakat terbentuk dari keluarga (rumah tangga) menjadi jaring pengaman sosial utama. Keluarga dapat dijadikan ujung tombak ekonomi yang kemudian diharapkan dapat berkembang pada keluarga yang lebih besar, lingkungan tetangga, ekonomi pasar, hingga asosiasi-asosiasi atau lembagalembaga lain yang lebih luas. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dilaksanakanlah program usaha peningkatan pendapatan keluarga (UP2K) yang dikelola oleh pemerintah yang berbasiskan masyarakat kota dan desa. Program UP2K diharapkan dapat mengentaskan masalah kemiskinan di pedesaan. Program UP2K merupakan
60
bagian dari program pemberdayaan keluarga miskin, dimana UP2K merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga melalui usaha ekonomi produktif
yang
diusahakan
oleh
wanita
dan
keluarga
sebagai
motor
penggeraknya. Kegiatan UP2K diselenggarakan oleh pemerintah masa orde baru sejak tahun 1985 hingga sekarang. Dalam pelaksanaannya program ini mengalami penyempurnaan pedoman pelaksanaan pada tahun 1993 A. Penyelenggara dan Sumber Dana Penyelenggara UP2K adalah Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) pada tingkat propinsi. Pada Tingkat Kabupaten di Kabupaten Purwakarta penyelanggra adalah Dinas Pemberdayaan dan Kesejahteraan Masyarakat (PKM). Pada tingkat propinsi sumber dana berasal dari Inpres Bantuan Pembangunan Desa (Inpres Bangdes), sedangkan pada tingkat kabupaten dana bersaral dari APBD (Anggrana Pendapatan dan Belanja Daerah). Pada tahun 2003, dua kelompok pengrajin anyaman di Desa Sawah kulom mendapat dana bantuan APBD sebesar Rp. .1.500.000,-. Besarnya dana bantuan yang diterima kelompok usaha tidak sama tergantung pada jebins usaha dan jumloah anggota dalam kelompok usaha. Dana sebesar Rp. 1.500.000,dikelola oleh kelompok pengrajin dengan jumlah anggota 10 orang (KK). Dana tersebut digulirkan dalam kegiatan usaha kerajinan anyaman yang diharapkan pada perkembangan selanjutnya dapat mengalami penambahan jumlah dana. Penyelenggara UP2K selanjutnya dikelola oleh PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga), mulai dari tingkat kepengurusan pusat sampai desa/kelurahan. Maka dibentuklah kelompok khusus UP2K-PKK yang secara operasional di bawah Pokja II yaitu bidang pendidikan dan keterampilan, pengembangan kehidupan berkoperasi. Adapun tugas dari kelompok khusus UP2K-PKK adalah : 1. Membimbing dan mengarahkan, mengawasi dan mengembangkan egiatankegiatan kelompok pelaksana dan perorangan. 2. Membantu
memecahkan
masalah-masalah
yang
dihadapi
kelompok-
kelompok pelaksana dan perorangan yang meliputi bidang prodiksi, pemasaran dan penambahan nilai. 3. Mengatur kelancaran, mencatat dan menyimpan penyisihan dana usaha. 4. Mengatur pemberian dana usaha kepada kelompok usaha atau perorangan.
61
5. Menetapkan ketua dan keanggotaan kelompok dengan mengutamakan musyawarah kelompok. Dasar hukum dari pelaksanaan UP2K meliputi : 1. Keputusan Menteri Dalam Negeri no. 53 B tahun 1993 tentang Pedoman Program UP2K-PKK. 2. Penyempurnaan Pedoman Pelaksanaan UP2K-PKK tahun 1994. 3. Panduan Pembinaan UP2K-PKK melalui Tim Penggerak PKK tahun 1994. Dasar hukum dari pelaksanaan UP2K di Kabupaten Purwakarta dan penunjukkan kelompok penerima program UP2K-PKK meliputi : 1. Keputusan Bupati Purwakrta No. 011 tahun 2003 tentang Pelaksanaan Program UP2K-PKK. 2. Keputusan Bupati Purwakarta no. 051
tahun 2003 tentang Pedoman
Program UP2K-PKK dan Penunjukkan Kelompok Usaha Ekonomi Produktif penerima bantuan program UP2K-PKK . 3. Keputusan Bupati Purwakarta No. 183 tentang Penunjukkan kelompok kerja PKK dalam pengelolaan kegiatan UP2K-PKK. B. Pendekatan dan Pengelolaan Pendekatan
yang
dilakukan
dalam
program
UP2K-PKK
adalah
pemberdayaan dan partisipasi, yaitu memberdayakan masyarakat khususnya para wanita dan keluarganya yang mengalami kemiskinan dengan pemberian bantuan modal usaha dan pelaksanaannya melalui peran aktif dari masingmasing anggota masyarakat. Pelaksanaan program UP2K-PKK di Desa Sawah Kulon dikelola oleh Tim Penggerak PKK dengan dibentuk kelompok khusus di bawah Pokja II yang kepengurusannya terdiri dari kader-kader PKK Desa. Kelompok pengrajin anyaman yang memperoleh dana bantuan dari program UP2K-PKK ada 2 kelompok yang berasal dari dusun Pasawahan dan Sukahaji. Kedua kelompok pengrajin ini diketuai oleh perempuan sebagai penggerak kegiatan usaha kerajinan anyaman. Kelompok pengrajin anyaman di Dusun Pasawahan dipimpin oleh ibu Diah (umur 42 tahun, pendidikan SLTA) terdiri dari 10 anggota kelompok, dan kelompok pengrajin anyaman Dusun Sukahaji dipimpin oleh ibu Aas (umur 52 tahun, pendidikan SLTP) terdiri dari 10 anggota kelompok. Ketentuan untuk menjadi anggota kelompok pengrajin anyaman sebagai pelaksana UP2K-PKK di Desa Sawah Kulon adalah :
62
1. Kelompok yang terdiri dari anggota yang sangat memerlukan dana usaha perbaikan pengembangan perajinan anyaman, baik yang telah atau belum mendapatkan bantuan dana dari program manapun, 2. Kelompok pengrajin anyaman yang terdiri dari anggota dengan keluarga yang memilki usaha belum tergabung pada kelompok usaha ekonomi produktif secara bersama. 3. Setiap kelompok terdiri dari 7 – 10 keluarga yang diwakili oleh 1 orang yang masuk dalam 1 kelompok pelaksana usaha. 4. Program UP2K-PKK memfokuskan pada wanita sebagai anggota kelompok usaha dengan pertimbangan wanita sebagai motor penggerak ekonomi keluarga. Kegiatan usaha yang dilaksanakan dalam UP2K-PKK di Kabupaten Purwakarta meliputi : 1. Usaha merupakan penyediaan/pengadaan kebutuhan masyarakat seharihari. 2. Hasil usaha (produksi) yang mudah untuk dipasarkan. 3. Bahan baku usaha mudah diperoleh dan tersedia sebagai kekayaan lokal yang dimilki warga anggota kelompok usaha. 4. Usaha produktif dapat menghasilkan dalam waktu singkat (3 – 6 bulan). 5. Usaha yang berkelanjutan, artinya usaha yang dirintis adalah usaha yang telah mengakar pada kelompok dan menjadi kebutuhan bagi anggota kelompok. 6. Kegiatan usaha yang dilakukan tidak bertentangan dengan tata nilai, norma, dan peraturan yang ada dan dengan kebudayaan setempat. 5. 2. 2. Dampak UP2K terhadap Pengembangan Ekonomi Lokal Kelompok Pengrajin Anyaman Pengembangan ekonomi lokal (local economic development) merupakan kerja sama seluruh komponen masyarakat di suatu daerah (local) untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable economic growth) yang akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi (economic welfare) dan kualitas hidup (quality of life) seluruh masyarakat di dalam komunitas. Pengembangan ekonomi lokal lebih menunjuk pada adanya aktivitas ekonomi lokal yang dilakukan secara bersama-sama oleh komunitas lokal dengan tujuan untuk mencapai perkembangan ekonomi secara berkelanjutan.
63
Usaha kelompok pengrajin anyaman merupakan lembaga ekonomi lokal masyarakat Desa Sawah Kulon. Aktivitas yang dilakukan pengrajin anyaman menunjuk pada usaha bersama untuk pertumbuhan ekonomi pengrajin dan masyarakat desa secara berkelanjutan. Aktifitas tersebut merupakan aktifitas bersama antara pengrajin dalam kelompok usaha, penyedia bahan baku, pedagang dan pembeli. A. UP2K dan Pertumbuhan Ekonomi Lokal Sasaran program UP2K-PKK adalah keluarga dengan penghasilan rendah, telah atau belum memilki kegiatan usaha, benar-benar menambahkan penambahan dana. Data tersebut diperoleh dari hasil pengamatan kelompok khusus pokja PKK desa. Bantuan yang diberikan kepada amnggota kelompok berupa stimulan yang harus dikembalikan kepada pengelola kegiatan kelompok untuk diputarkan atau digulirkan kepada anggota kelompok lainnya. Dari sistem kelembagaan perguliran dana bantuan UP2K-PKK nampak dengan jelas bahwa bantuan bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi anggota kelompok usaha. Kegiatan usaha kerajinan anyaman dilakukan dengan : 1. Merupakan usaha yang dilakukan secara berkelompok karena penggunaan bahan baku secara bersama-sama. 2. Kekuatan dan kohesifitas (Kebersamaan, gotong royong, kepercayaan) dalam kelompok menjadi penentu tetap berlangsungnya usaha tersebut. 3. Usaha bersama pada kelompok masyarakat yang masih dalam kondisi pra sejahtera dan sejahtera 1. 4. Kelompok usaha ini merupakan kekuatan ekonomi lokal yang dapat mengembangkan ekonomi lokal. 5. Memperluas kesempatan kerja dan berusaha melalui aktivitas produksi, perdagangan dan jasa. 6. Dapat meningkatkan pendapatan asli desa. Keberadaan usaha kelompok pengrajin anyaman dinilai mampu menjadi tulang punggung bagi pertumbuhan perekonomian masyarakat Desa Sawah Kulon. Usaha ini pun dapat menunjang pertumbuhan ekonomi masyarakat desa khususnya di Desa Sawah Kulon melaui kegiatan : a. Penyerapan tenaga kerja pada sistem produksi dan pemasaran. b. Pemerataan pendapatan/penghasilan/upah. c. Peningkatan hasil pertanian bahan baku utama kerajinan anyaman.
64
B. UP2k dan Pemanfaatan Potensi Ekonomi Lokal Pelaksanaan program UP2K-PKK lebih menekankan pada pemanfaatan potensi ekonomim lokal, sumber daya manusia, serta mendorong agar usaha berkelanjutan. Usaha kerajinan anyaman merupakan potensi ekonomi lokal yang dijalankan anggota kelompok dengan keterbatasan dalam keahlian, bahan baku, modal, pemasaran, maka kontribusi untuk pemasaran yang lebih luas pun cenderung sedikit. Potensi ekonomi lokal yang terdapat di Desa Sawah Kulon diantaranya berupa : 1. Kelompok pengrajin anyaman yang dilakukan oleh 12 kelompok (142 KK). 2. Pembuat makanan ringan (simping, wajit dan opak) yang dikerjakan oleh kelompok ibu-ibu yang tergabung dalam kegiatan usaha ekonomi produktif. 3. Pembuat gula aren yang dekerjakan oleh 5 kelompok ibu-ibu. 4. Pengrajin pembuat sapu injuk yang dikelola oleh 3 kelompok. 5. Pasar desa dan koperasi. Kelompok pembuat kerajinan anyaman dan pembuat makanan tersebut dapat dikatakan sebagai pengusaha skala kecil yang keuntunganya hanya memperhitungkan biaya produksi saja. Mereka menyalurkan hasil produksi sebagian ke pasar desa Sawah Kulon dan sebagian dipasarkan sendiri. Jika melihat perputaran anyaman mereka menjual di pasar desa, maka pasar desa sangat membantu memasarkan produk mereka. Artinya potensi ekonomi lokal dapat ditampung/dipasarkan melalui pasar desa. Kenyataan di lapangan adanya pasar desa tidak semua hasil produksi pertanian, industri rumah tangga dan kerajinan penduduk dapat ditampung di pasar desa. Seperti yang diungkapkan olah ketua kelompok pengrajin samak anyaman, ibu Diah yang menyatakan : “... kalaui samak ini di jual di pasar desa, harganya tidak bisa ditawar. Penjual pasar menginginkan kami menjual lebih murah supaya pedagang bisa menjual lagi dengan keuntungan yang lebih besar. Misalnya kami menjual seharga Rp. 25.000,- mereka tidak terima karena berapa mereka harus menjual, mereka terima kalau kita jual Rp. 15.000,-. Tapi kalau kami menitipkan di salah satu kios biasanya samak kami tidak dipajangkan malah disembunikan...” Ungkapan lain dikatakan oleh pak Haji Yasin, seorang pedagang di pasar Desa Sawah Kulon : “ ... samak anyaman dari daun pandan sudah jarang peminatnya palagi harga jualnya mahal. Karpet dari kota saja hanya Rp. 65
25.000,- lumayan bagus. Paling kalau ada pembeli yang menanyakan samak itu baru saya katakan ada dan mau pesan ukuran berapa da berapa banyak ...” Sementara untuk pembuat gula dan wajit, mereka tidak banyak mengeluhkan tentang barang produksi yang mereka titipkan di pasar desa. Beriktu penuturan ibu Ani pembuat gula aren dan wajit : “ Saya sudah lama menitipkan barang dagangan di beberapa kios di pasar, Alhamdulillah dalam semingggu hasil penjuialan sudah bisa diambil. Wajit dan gula aren sudah ada peminatnya sendiri. Harga yang saya jual juga tidak terlalu mahal, yang penting usaha saya jalan terus” Ternyata dalam
kenyataannya pasar desa Sawah Kulon dapat
menampung sebagain hasil produksi warga desa. Artinya pasar desa Sawah Kulon belum maksimal dapat menampung potensi ekonomi lokal Desa Sawah Kulon. Namun persaingan dalam menitipkan berbagai jenis barang dagangan melalui kios di pasar desa pun tidak dapat dihindari. Adanya kerja sama antar produsen dan pedagang pasar desa harus lebih dikuatkan agar tecipta hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme. Pada tabel berikut dapat dilihat bagaiman tingkat kemajuan yang dicapai pengrajin anyaman dalam mengelola bantuan UP2K. Tabel 12. Perkembangan Bantuan UP2K pada Kelompok Pengajin Anyaman di Desa Sawah Kulon pada Bulan Juli Tahun 2006 Kelompok Pasawahan Sukahaji
Dana Awal (Rp) 500.000,500.000,-
Bantuan UP2K (Rp) 1.500.000,1.500.000,-
Perkembangan (Rp) 2004 2005 1.700.00,2.200.000,2.00.000,2.700.000,-
C. UP2K dan Program Ekonomi Lokal Program UP2K-PKK dapat dikategorikan menjadi tiga kegiatan, yaitu : 1. Kegiatan ekonomi produktif, yang berkaitan dengan peningkatan pendapatan. 2. Penguatan kelembagaan yang dapat dilakukan melalui interaksi dan relasi antar anggota kelompok pengrajin. 3. Pengembangan
kapasitas
anggota
dan
pengurus
melalui
pelatihan
keterampilan praktis. Mengacu pada pelaksanaan program UP2K-PKK tahun 2003 dengan program ekonomi lokal, anggota kelompok yang terlibat adalah perempuan sebagai pencari nafkah tambahan bagi keluarga. Dua kelompok (Sukajahi dan Pasawahan) yang masing-masing terdiri dari 10 anggota (jadi 20 anggota
66
kelompok), 14 anggota diantaranya adalah perempuan. Program UP2K-PKK pada kelompok pengrajin ini mengutamakan peran gender dalam keluarga sebagai pencari nafkah dalam keluarga. Pengembangan
ekonomi
lokal
merupakan
pengembangan
dalam
komunitas yang menitikberatkan pada penciptaan kesempatan kerja dan menghasilkan pendapatan yang nyata bagi masyarakat. Pemilihan kegiatan usaha ekonomi disesuaikan dengan kondisi pada masyarakat. UP2K-PKK melihat adanya potensi pengrajin anyaman yang dapat dikembangkan melalui kegiatan program ini. Pengaruh program UP2K-PKK terhadap keberhasilan pengembangan ekonomi lokal, dapat dianalisis dengan melihat apakah program tersebut dapat mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan (sustainable economic), dapat meningkatkan kesejahteraan sosial (social welfare) dan kualitas hidup (quality of life). Bagaimana peran stakeholders dalam pelaksanaan program UP2K-PKK ini, dan yang juga penting bagaimana peran program ini dapat menciptakan peningkatan daya saing (competitveness). Competitive advantage timbul ketika jenis usaha mampu memasarkan produk dengan harga yang sama dengan yang dipasarkan pihak lain. Tetapi dengan tingkat biaya yang rendah dan kualitas yang sama atau bahkan lebih tinggi. Dengan adanya tingkat biaya yang rendah (cost advantages) akan menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi (differentiation advantages), sehingga jenis usaha tersebut mampu menciptakan nilai-nilai (value) yang lebih unggul di mata konsumen. Kesinambungan antara SDA dengan SDM dengan dukungan modal akan dapat meningkatkan pendapatan dari suatu jenis usaha. Tetapi masih banyak faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan sebuah usaha, antara lain manajemen, teknologi, pasar input, dan pasar produk. Sedangkan penerimaan pasar terhadap hasil produksi dipengaruhi oleh harga. Kondisi pasar dipengaruhi biaya dalam produksi. Apabila biaya produksi tinggi, untuk mendapatkan keuntungan yang signifikan, maka harga jual akan dinaikan. Kondisi produksi anyaman memiliki kendala dalam hal manajemen, produksi dan pemasaran. Keberhasilan usaha kerajinan anyaman perlu ditunjang oleh bahan baku, tenaga kerja, pengelolaam keuangan, teknologi dalam produksi, teknik pemasaran, sampai pada melakukan kemitraan dan jejaring (networking) dengan usaha yang lain. Selama ini usaha kerajinan anyaman
67
dilakukan secara tradisional sehingga prinsip yang mereka jalankan adalah asal barang laku, asal ada uang masuk.
5. 2. 3. UP2K, Pengembangan Kelembagaan, Modal Sosial, dan Gerakan Sosial Usaha kerajinan anyaman merupakan sebuah kelembagaan, karena di dalam kegiatan usaha dari produksi sampai pemasaran terdapat sebuah tata aturan, pola hubungan, nilai yang mengatur hubungan yang terjadi agar dapat mencapai tujuan. Dapat juga dikatakan sebagai sebuah institusi (organisasi) karena adanya sturktur pembagian tugas, pembagian peran dan hubungan antar peran dalam pembagian kerja di kelompok pengrajin anyaman. A. UP2K dan Proses Kelembagaan Proses kelembagaan dari program IP2K terjadi dengan melihat prosedur dan aturan yang mengatur bagaimana kelompom usaha ekonomi produktif dapat menjangkau progam UP2K, serta bagaimana pula program UP2K dapat sampai dan diterima oleh kelompok usaha ekonomi produktif. Program UP2K dapat dilihat sebagai sebuah bentuk pengorganisasian sebuah kegiatan pemberian bantuan kepada kelumpok usaha kecil. Oleh karena itu tedapat susunan kepengurusan dan prosedur yang ditetapkan dalam program UP2K. Dengan demikian perspektif kelembagaan sosial program UP2K dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama perspektif program UP2K merupakan sebauh bentuk kembaga yang memiliki tujuan spesifik. Perspektif kedua bahwa program UP2K adalah sebuah komplek peraturan dan paranan sosial secara abstrak. UP2K dilihat sebagai sebuah organisasi/institusi adalah organisasi semi modern. Pada tingkatan regional pengorganisasian program UP2K ini ada pada kelompok usaha kecil penerima bantuan program UP2K. Adanya proses transparansi, accountabilitas, dan democracy dalam proses pelaksanaan kegiatan pengelolaan program UP2K di masyarakat. Struktur keorganisasian dalam pengelolaan program UP2K pada kelompok peneriman bantuan disusun secara hirarki berdasarkan pertanggung jawaban dalam setiap peranan. Pengelolaan UP2K pada kelompok pengrajin anyaman dituntut untuk mengorganisir kegiatan agar dapat mencapai tingkat perkembangan sesuai dengan target yang telah dianjurkan oleh penanggung jawab program UP2K pada tingkat kabupaten. Pembentukan kelompok usaha ekonomi produktif dibentuk dengan aturan, pola hubungan yang disusun berdasarkan susunan
68
hirarki. Proses kelembagaan dalam pengelolaan program UP2K pada dasarnya untuk mengatur pengeloalaan kegiatan agar mudah dalam mencapai tujuan bersama. Untuk mengembangkan program UP2K diperlukan peningkatan kapasitas kelembagaan lokal melalui pengembangan jejaring. Jejaring kelembagaan dapat dikembangkan dengan menjalin hubungan berdasarkan prinsip kesetaraan antara stakeholders yang terlibat. Pengembangan program dengan kemitraan dan jejaring sebagai media untuk perumusan sebuah kebijakan tentang program UP2K menjadi sangat penting. Tujuan
dari
aktifitas
peningkatan
kapasitasa
kelembagaan
lokal
(kelompok usaha pengrajin anyaman) adalah untuk meningkatkan kemampuan warga pengrajin mengimplementasikan aksi-aksi kolektif dalam kegiatan konversi dan pemberdayaan ekonomi lokal (Desa Sawah Kulon). Output/keluaran yang diharapkan dari pengembangan jejaring adalah : a. Terwujudnya kelembagaan program UP2K yang bisa menjadikan kelompok sasaran program yang mandiri dan berkelanjutan. b. Dapat meningkatkan pelayan kepada kelompok sasaran program. c. Meningkatkan
peran
serta
kelompok
sasaran
program
dalam
pengorganisasian program kegiatan. UP2K yang dikelola oleh kelompok pengrajin anyaman dilakukan dengan manajemen tradisional. Tetapi memiliki akses langsung terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat desa. Untuk dapat menunjang proses
pengembangan
masyarakat, maka program UP2K yang diterima kelompok pengrajin anyaman dapat
membantu
menyempurnakan
sistem
kelembagaan
produksi
dan
pemasaran yang selama ini telah dilakukan. Tetapi kendala pengembangan potensi selalu muncul baik dari luar mapun dari dalam kelompok penrtajin maupun dari program yang digulirkan pemerintah. B. UP2K dan Modal Sosial Program UP2K dapat dikatakan sebagai modal sosial berupa : •
Modal fisik berupa dana bantuan yang digulirkan pada kelompok sasaran.
•
Modal manusia berupa anggota kelompok sasaran dan pengelola program UP2K.
•
Modal sosial yaitu dapat dilihat adanya rasa kebersamaan, tolong menolong, gotong royong antar anggota kelomopok. Juga dilihat dari adanya kegiatan dalam pelaksanaan program UP2K ini.
69
Modal sosial yang tumbuh pada komunitas pelaksanaan program UP2K dibentuk kareba adanya trust (kepercayaan) diantara pengelola kegiatan. Hubungan timbal balik (resiprocity) yang terjalin pada komunitas tersebut dan saling menguntungkan. Dilihat dari dimensi modal sosial, maka UP2K ini memiliki dimensi : •
Integrasi : adanya ikatan yang terjalin baik dalam pengelolaan program UP2K.
•
Linkage (pertalian) : dibentuk dengan menjalin hubungan antara dua sektor yaitu pemerintah sebagai pemilik program dan kelompok uasha kecil sebagai penerima program..
•
Integritas organisasi : merupakan kemampuan program UP2K untuk dapat memberikan
kesempatan
kepada
penerima
dana
bantuan
untuk
pengembangan usaha ekonomi. •
Sinergi : adanya relasi yang terjalin dalam pelaksanaan program dengan institusi lain seperti koperasi, lembaga keuangan, dan lain-lain.
C. UP2K dan Gerakan Sosial Program UP2K dapat dilihat sebagai sebuah gerakan sosial. Pendekatan yang dibangun berangkat dari adanya rasa diperlakukan tidak adil atas sebuah kebijakan yang mempersulit pengrajin untuk mengakses fasilitas lembaga keuangan. Rasa kebersamaan dalam kelompok, gotong royong, dapat mendorong pengrajin melakukan sebuah perubahan sosial. Perubahan ini bertujuan untuk mencapai sebuah situasi yang diinginkan sesuai dengan tujuan bersama. Perilaku kolektif yang merupakan bagian dari gerakan sosial dipicu oleh adanya suatu rangsangan yang sama akan adanya semacam kebutuhan kolektif. Menurut pengrajin anyaman peneriman bantuan UP2K, mereka manyadari akan adanya dorongan kebutuhan yang sama akan peningkatan kesejahteraan hidup. Maka kegiatan kelompok pengrajin anyaman dalam mengelola bantuan UP2K adalah tingkah laku yang muncul sebagai kesempatan melakukan sebuah gerakan sosial untuk mengubah kondisi kehidupan mereka.
5. 2. 4. UP2K dan Kebijakan Sosial Kebijakan sosial dari Suharto (2005) menekankan pada suatu rencana dasar atau pedoman untuk pengambilan keputusan di masa yang akan datang,
70
atau seperangkat tindakan yang dirancang untuk
menterjemahkan
visi
pemerintah ke dalam program untuk mencapai bidang kesejahteraan sosial. Adanya program UP2K adalah wujud adanya kebijakan pemerintah dan merupakan visi pemerintah yang dijabarkan dalam sebuah program yang bertujuan untuk mengembangkan potensi usaha ekonomi kecil. Keterkaitan definisi kebijakan sosial dengan tujuan program UP2K jelas bahwa prpgram UP2K merupakan kebijakan pemerintah dalam hal peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat pedesaan yang memiliki usaha ekonomim produktif dalam skala kecilo. Pada perkembangan selanjutnya pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan kesejahteraan sosial. Seorang pengembang masyarakat dapat berperan dalam kebijakan soaisl. Walaupun peran pengembang adalah tidak langsung dalam kebijakan sosial, namun melalui gerakan partisipatif yang dibangun dengan masyarakat dari bawah (bottom-up) dapat memunculkan sebuah kebijakan sosial yang berpihak pada masyarakat bawah. Langkah konkrit yang telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun swadaya komunitas dapat dikembangkan agar eksistensi program UP2K terhadap pertumbuhan usaha ekonomi kecil dapat berlanjut dan membawa pengaruh perkembangan kondisi ekonomi kelompok sasaran. Oleh karena dalam pengelolaan program UP2K khususnya dengan sasaran pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon selama ini perlu diadakan refisi agar potensi lebih dapat dikembangkan. Langkah-langkah tersebut antara lain : 1) Kebijakan pemerintah dalam menentukan sasaran program UP2K berdasar pada potensi ekonomi lokal dari setiap wilayah. 2) Pelaksaan program agar mengalami keberlanjutan bagi penerima program harus disertai kemampuan dalam mengelola usaha secara modern. 3) Menciptakan iklim comparative dan competitive advantages terhadap hasil produksi usaha kecil agar bisa bersaing dengan pasar lokal. 4) Iklim tersebut diciptakan atas aspirasi dan partisispasi komunitas pengelola usaha kecil yang dutunjang oleh dukungan pengelola program UP2K. 5) Peranan pemerintah baik desa maupun kabupaten masih diperlukan untuk keberpihakan pembangunan kelompok usaha kecil di setiap desa dengan mengadakan program yang tidak hanya sesaat dalam satu tahun anggaran, tetapi berlanjut dengan program lanjutan lainnya untuk pengembangan usaha yan g lebih nyata.
71
6) Pembagian peran antar stakeholders dalam melakukan pengembangunan usaha ekonomi kecil dilakukan secara terpadu dan penyeluruh agar tidak tejadi timpah tindish dan salah sasaran dalam pengelolaan program kegiatan. 7) Potensi ekonomi lokal lainnya yang mendukung bagi berkembangnya usaha ekonomi sakala kecil yang dilakukan warga masyarakat, perlu dujangkau pula oleh pemerintah.
5. 2. 5. UP2K dan Aspek Perilaku Manusia dalam Lingkungan Sosial Program UP2K ditinjau dari perspektif dalam psikologi maka termasuk kategori perspektif struktural dan interaksionis. Dalam perspektif struktural terdapat pembagian peranan. Pengrajin berperan sebagai produsen sebuah kebutuhan bagi konsumen, dan program UP2K memiliki kewenangan untuk memberi bantuan atau tidak terhadap kelompok usaha kecil. Adanya harapanharapan dari tingkah laku yang dimunculkan oleh individu yang berinteraksi dalam kelembagaan produksi dan pemasaran pada kelompok pengrajin anyaman, untuk mendapatkan reward sebuah bantuan permodalan bagi pengembangan usaha mereka. Dari perspektif interaksionis bahwa tingkah laku yang dimunculkan tersebut adalah hasil interaksi yang terjadi dalam produksi dan pemasaran anyaman dengan program UP2K yang merupakan kebijakan pemerintah. Perspektif lain dalam perilaku manusia dalam lingkungan sosial atau Human behaviuoral Social Environmental (HBSE) adalah perspektif ekologi dimana individu akan berguna apabila individu tersebut berguna bagi lingkungan dan ada kesesuaian peranan dengan lingkungan. Pengelolaan program UP2K pada kelompok pengrajin anyaman melihat individu dari perspektif ekologi. Secara sederhana prespektif ekologi dengan melihat pemanfaatan bahan baku tanaman pandan sebagai bahan dasar pembuatan kerajinan anyaman. Lingkungan alam memberi manfaat bagi manusia, dan manusia yang memberi nilai lebih pada sebuah produk alam.
72
VI. KELEMBAGAAN PRODUKSI DAN PEMASARAN PENGRAJIN ANYAMAN 6. 1. Karakteristik Pengrajin Anyaman Secara operasional, pengranijn anyaman dalam kajian ini didefinisikan sebagai orang-orang (penduduk Desa Sawah Kulon) yang terlibat dalam proses produksi dan pemasaran kerajinan anyaman. Adapun keterlibatan mereka tidak terbatas hanya pada partisipasi tenaga saja tetapi mereka yang memiliki modal maupun tidak, modal disini bisa berupa uang, tenaga, dan lahan. Gambaran mengenai karakterisitik pengrajin anyaman yang berjumlah 142 KK di Desa Sawah Kulon yang tersebar di 5 dusun diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap 142 pengrajin dan pengamatan disekitar lingkungan tempat tinggal pengrajin. Pengrajin anyaman berumur antara 25 – 64 tahun. Tabel berikut menunjukkan karakteristik pengrajin yang tersebar di 5 dusun. Tabel 13 Karakteristik Pengrajin Anyaman Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin di Desa Sawah Kulon pada Bulan Juni tahun 2006 Klp. Umur Jumlah Pendidikan (Jiwa) (Jiwa) Tdk tmt SD Tmt SD SMP SLTA ... < 30 43 8 32 2 30 – 50 89 4 53 27 3 50 < ... 10 2 8 Data tersebut di atas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan para pengrajin anyaman relatif masih rendah dengan hampir 50 persen berpendidikan SD. Kondisi ini akan berdampak pada tingkat keterampilan, pemahaman teknologi, dan pengembangan usaha anyaman selanjutnya. Terlebih data 50 persen tersebut berada pada usia produktif yang memiliki kesempatan sangat luas untuk dapat mengembangkan usaha anyaman ini. Pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon bekerja secara kelompok yang dibentuk oleh adanya perasaan saling memerlukan dan bahwa lahan yang mereka tempati dapat memberikan kehidupan kepada semuanya. Karenanya pada komunitas pengrajin ini timbul perasaan komunitas (community sentiment) antara lain seperasaan, sepenanggungan, dan saling memerlukan. 1. Kepemimpinan Pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon bekerja secara kelompok, kepemimpinan diantara pengrajin terjadi secara alamiah. Pemimpin kelompok adalah yang paling tua usianya diantara pengrajin yang lain. Dari 12 kelompok
73
pengrajin, 8 kelompok diantaranya dipimpin oleh orang yang paling tua usianya. Pertimbangan memilih yang tertua sebagai pemimpin kelompok adalah karena faktor pengalaman dan kearifan dalam mengambil keputusan. 4 kelompok lainnya (2 kelompok di Pasawahan, 1 kelompok di Sukahaji, dan 1 kelompok di Cihuni) dipilih berdasarkan keahlian yang dimiliki oleh ketua. Seperti ketua kelompok pengrajin di Dusun Pasawahan dan Cihuni diketuai oleh seorang guru madrasah. Proses pemilihan ketua dilakukan secara musyawarah dengan kesepakatan semua anggota pengrajin. Tabel 14. Alasan Pemilihan Ketua Kelompok Pengrajin Anyaman di Desa Sawah Kulon pada Bulan Juli 2006 Dusun
Jumlah kelompok
Tokoh
Alasan
pemilihan
Usia
Pekerjaan
Ketua Mufakat
Warung Kadu
3
v
v
v
-
Sukahaji
2
-
-
v
V
Pasir angin
1
-
v
-
-
Pasawahan
4
-
V (2 klp)
-
V (2 klp)
Cihuni
2
v
-
-
V
Pemilihan dengan pertimbangan bahwa orang yang memilki pendidikan lebih tinggi dari anggota lainnya, maka Ia dapat mewakili kelompoknya menyalurkan aspirasi kelompok di luar kelompoknya. Kelompok pengrajin anyaman di Dusun Sukahaji dipimpin oleh Bapak Ajo (umur 32 tahun, pendidikan Aliyah), seperti penuturan Pak Ihin salah satu anggota pengrajin di Dusun Sukahaji : Abdi mah percanten ka Ayi Ajo, tiasa janten guru ngaos di madrasah ge tos pinter. Mingpin usaha karajinan anyaman ge tiasaeun pisan. Buktosna, tos bade 5 warsih lancar wae. Kantos kenging bantosan ti Kecamatan, lancar. Pami aya pesenan ih tiasa pisan si Ayi Ajo mah ngordinirna, bubuhan guru atuda. Dina ngabagi hasil kauntungan ge estuning tara aya nu protes da tos kenging nginten-nginten si Ayi sakumaha-sakumahana. (Saya percaya pada saudara Ajo, bisa menjadi guru ngaji di madrasah tandanya pinter. Memimpin usaha kerajinan anyaman juga bisa. Buktinya, sudah 5 tahun lancar saja. Pernah mendapat bantuan dari Kecamatan, lancar. Kalau ada pesanan bisa sekali saudara Ajo mengkordinir, karena dia seorang guru. Dalam membagi hasil keuntungan tidak pernah ada yang protes karena sudah hasil menghitung berapa besarnya). Berbeda dengan kelompok pengrajin di Dusun Pasir Angin dan Warung Kadu yang semua pemimpin dipilih berdasarkan usia dan pengalaman . Ketua kelompok pengrajin di Dusun Pasir Angin adalah Bah Akun (umur 56 tahun, pendidikan SD). Berdasarkan hasil wawancara dengan Mak Eya (umur 50 tahun, 74
pendidikan tidak tamat SD) salah satu anggota pengrajin di Pasir Angin, beliau mengemukakan pendapat tentang kepemimpinan Abah Akun selama ini. Bah Akun tos biasa mingpin kagiatan, boh di masjid pangaosan atawa di kegiatan masyarakat, tujuhwelasan, gotong royong, pemilu, sagala bisa da geus kolot loba pangalamanna. Jadi ka kami ge dina ngolah karajianan anyaman nyieun samak, topi, kantong, sok alus wae katarima na teh. Tara loba cacarita, der-der digawean ku nu geus biasa migawena, jeung deuih lamun babagi hasil jujualan tara ngabeda-beda, ngeunah kakabehan. (Bah Akun sudah biasa memimpin kegiatan, di mesjid pengajian atau kegiatan kemasyarakatan, tujuhbelasan, gotong royong, panitia pemilu, serba bisa karena banyak pengalaman. Jadi pada pembuatan kerajin anyaman samak, topi, tas, selalu bagus diterima oleh anggota. Tidak pernah banyak cerita, langsung membuat dengan yang biasa membuat kerajinan, dan dalam membagi hasil tidak pernah membeda-bedakan, enak buat semua anggota). Kelompok pengrajin anyaman lainnya yang memilih ketua berdasarkan ketokohan adalah 3 kelompok di Dusun Warung Kadu. Salah satunya Pak Saudi (umur 54 tahun, pendidikan SMP, pekerjaan pesuruh di Kecamatan) adalah ketua kelompok karena ketokohan di masyarakat. Ibu Rani (umur 38 tahun, pendidikan Aliyah, ibu rumah tangga) mengemukakan pendapat tentang kepemimpinan Pak Saudi dalam wawancara. Walaupun Pak Saudi cuma upas di kantor Kecamatan, tapi beliau cukup bisa mengelola kegiatan pembuatan kerajinan anyaman. Bisa karena biasa Bu, kan sehari-harinya gaul dengan orang kecamatan. Kalau sedang banyak bahan baku atau pesanan, Pak Saudi bisa dan terbiasa mengkordinir kegiatan dan kami nurut aja sama dia karena selama ini tidak pernah mengecewakan baik dalam pembagian kerja maupun hasil keuntungan. 2. Ikatan dan Struktur terbentuknya kelompok Seperti kelompok yang terbentuk di desa-desa pada umumnya, maka kelompok pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon terbentuk secara tidak disengaja. Kelompok terbentuk karena : kedekatan tempat tinggal, kekerabatan, memiliki minat yang sama terhadap kerajinan anyaman, pertemuan yang kontinu setiap hari, sehingga terbentuklah kelompok pengrajin anyaman di lima dusun tersebut.
Namun karena mereka penduduk yang menetap selama bertahun-
tahun (penduduk asli Sawah Kulon), maka keanggotaan dalam kelompok pengrajin anyaman tersebut relatif tidak mengalami perubahan. Kecuali ada kematian atau pernikahan yang mengharuskan anggota keluar dari kelompok atau masuknya anggota kelompok baru.
75
Struktur keorganisasian dalam kelompok hanya terdapat di 4 kelompok pengrajin anyaman, yaitu : 2 kelompok di Dusun Pasawahan, 1 kelompok di Dusun Sukahaji, dan 1 kelompok di Dusun Cihuni. Kelompok tersebut memiliki struktur keorganisasian karena keempat kelompok tersebut pernah mendapat bantuan dari pemerintah. Syarat untuk mendapat bantuan adalah adanya struktur organisasi kelompok.
Oleh karenya mendorong anggota kelompok untuk
memilih ketua secara musyawarah dan mufakat. Sedangkan 8 kelompok pengrajin anyaman lainnya tidak memiliki strutur keorganisasian. Kelompok berjalan berdasarkan kepatuhan dan percaya (trust) pada orang yang dianggap sebagai pemimpin. Dari hasil wawancara dan observasi dapat dilihat bahwa keanggotaan pada 8 kelompok pengrajin tidak mengikat. Artinya, untuk ikut menjadi pengrajin atau tidak, tidak menjadi paksaan. Berbeda dengan kelompok yang memiliki struktur keorganisasian, bagi pengurus dan anggota ada keterikatan karena dalam keorganisasian ada tugas dan kewajiban sebagai pengurus maupun anggota. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan secara mendalam, dapat disimpulkan bahwa 12 kelompok pengrajin memiliki pemimpin/orang yang dianggap ketua dalam kelompok. Tabel berikut diperoleh dari pengamatan dan wawancara. Tabel 15. Karakteristik Ketua kelompok Pengrajin Anyaman di Tiap Dusun di Desa Sawah Kulon pada Bulan Juli Tahun 2006 No.
Dusun Ketua
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Warung Kadu Warung Kadu Warung Kadu Sukahaji Sukahaji Pasir Angin Pasawahan Pasawahan Pasawahan Pasawahan Cihuni Cihuni
Sd Adm Odg Aj Fdyh AA Eng I A Rkmt Dmn T
Karakteristik ketua kelompok Umur Jns klmn Pendidikan 54 P SD 50 L SD 38 L SLTP 32 L SLA 38 P SLA 56 L SD 36 P SLA 40 L SLTP 55 P SD 56 L SD 48 L SLTA 37 L SLTP
Pekerjaan Upas Pengrajin Pengrajin Guru Ngaji Pengrajin Pengrajin Usaha Warungan Tukang Ojeg Pengrajin Pengrajin Buruh Pabrik Pengrajin
3. Lamanya kelompok Terbentuknya kelompok pengarajin anyaman di Desa Sawah Kulon secara alamiah. Karena tempat tinggal yang berdekatan, kesamaan kebutuhan, pandangan hidup yang sama, dan lain-lain. Pengrajin anyaman adalah penduduk asli Desa Sawah Kulon, mereka tinggal turun temurun di tempat yang sama. Sebagai penduduk asli, jarang sekali ada anggota kelompok yang keluar dari
76
tempat asalnya. Hal ini berdampak pada jumlah anggota kelompok pengrajin tidak mengalami perubahan yang berarti. Karena mereka adalah penduduk asli, maka kelompok terbentuk selama mereka tinggal dan menetap di daerah tersebut. Kelompok yang terbentuk awalnya karena seperasaan, sepenangungan dan saling memerlukan sejak mereka berada di lahan tersebut. Menggunakan dukungan alam sebagai media untuk memenuhi kebutuhan hidup dilakukan secara bersama-sama. Karena rutinitas dilakukan akhirnya timbullah keterikatan satu sama lain dalam menggunakan alam sebagai media pemenuhan kebutuhan. 4. Pengambilan keputusan dalam kelompok Pengambilan keputusan dalam kelompok berkaitan dengan penentuan : Jenis anyaman yang diproduksi, pembagian upah bagi tenaga kerja, pencaian bahan baku, harga dan pemasaran. Pada kelompok yang ketuanya dipilih berdasarkan ketokohan, usia, dan pekerjaan, keputusan biasanya diserahkan kepada orang yang dianggap mewakili kelompok. Sedangkan kelompok yang ketuanya dipilih berdasarkan mufakat, pengambilan keputusan dilakukan dengan mufakat pula. Penentuan ini ternyata berlaku pada semua tenaga kerja yang terlibat dalam proses produksi dan pemasaran. Baik itu tenaga kerja menetap maupun tidak tetap.
6.2. Kelembagaan Produksi Anyaman Kelembagaan produksi pada kajian ini menitik beratkan pada definisi operasional sebagai tata aturan atau pola hubungan yang mengatur perilaku pengrajin anyaman dari mulai pelibatan tenaga kerja, upah, keragaan produksi, perolehan bahan baku, permodalan, teknologi/keterampilan, dan mitra kerja usaha anyaman. Definisi operasional ini didasarkan pada hasil pangamatan di lapangan selama melakukan kajian. Pengkaji
melakukan pengamatana pada
tahapan definisi kelembagaan produksi karena kegiatan yang berhubungan denga produksi yang ditemukan di lapangan adalah seperti tertera pada definisi operasional di atas. Bahasan kelembagaan produksi pada kajian ini pun selanjutnya akan lebih menekankan pada : 1). Tenaga kerja dan Upah,
2) Bahan Baku, 3)
Permodalan, 4) Teknologi dan Keterampilan, dan 5) Mitra Kerja.
77
1. Tenaga kerja (Pengrajin)/upah Usaha kerajinan anyaman yang dilakukan oleh semua anggota kelompok 48 persen
(69 KK) adalah usaha sampingan sebagai mata pencaharian
tambahan. Dari 48 persen tersebut adalah KK yang memiliki pekerjaan lain sebagai adalah buruh (pekerja kasar seperti : Buruh bangunan, buruh tani), pedagang warungan, dan pekerja serabutan (apa saja yang bisa dikerjakan asal mendapat upah). Menurut Undang-undang Nomor 14 tahun 2002 pasal
1
tentang Ketentuan Pokok mengenai tenaga kerja maka yang dimaksud tenaga kerja adalah tiap-tiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Adanya istilah yang menunjuk tenaga kerja seperti buruh, karyawan, atau pekerja, pada dasarnya memiliki pengertian yang sama. Sebagian penduduk Desa Sawah Kulon yang melakukan proses produksi dan pemasaran dalam kerajinan anyaman dapat disebut sebagai tenaga kerja. Hanya dalam sistem pengupahan yang mereka lakukan masih sangan tradisional. Pemberlakuan tenaga kerja dan pengupahan ini berlaku pada semua yang terlibat dalam proses produksi dan pemasaran anyaman dengan tidak mempertimbangkan kepemilikan lahan. Perhitungan penggunaan lahan dan bahan baku dilakukan setelah atau sebelum proses produksi dan pemasaran berlangsung. Tenaga Kerja (pengrajin) yang terlibat dalam kegiatan anyaman di Desa Sawah Kulon, dapat dibedakan menjadi dua jenis. Yaitu pengrajin tetap (matuh) dan tidak tetap (sambilan). a. Pengrajin tetap (matuh) Pengrajin yang terlibat secara menetap dan menjadikan usaha kerajinan sebagai matapencaharian utama terdapat 52 persen (83 KK)
dari 142 KK.
Mereka tidak mempunyai pekerjaan lain selain sebagai pembuat dan memasarkan kerajinan anyaman. Pengrajin tetap ini terbagi menjadi dua, yaitu pengrajin yang menganyam sangkar saja, pengrajin yang mencari bahan baku dan memasarkan, dan pengrajin yang membuat dan memasarkan hasil anyaman. Upah yang diterima oleh pengrajin tetap inipun berbeda tergantung pada jenis produk yang dihasilkan dan jumlah yang dibuat yang siap untuk dipasarkan. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dan observasi, dapat dilihat besarnya upah yang diterima pengrajin tetap.
78
Tabel 16. Perolehan Hasil yang Diterima Pengrajinan Anyaman di Desa Sawah Kulon yang Terlibat dalam Setiap Tahapan pada Bulan Juli Tahun 2006 Jenis produksi
Tikar : 1. Tanpa Warna a. Ukrn 1,25 m x 2 m b. Ukrn 1,25 m x 75 cm 2. Warna a. Ukrn 1,25 m x 2 m - Digulung - Dilipat b. Ukrn 1,25 m x 75 cm - Digulung - Dilipat Topi (berwarna, bercorak) Dompet kecil berwarna Sandal wanita 1. Polos/capit 2. Bercorak
Produksi (Rp)
Bahan Baku (Rp)
Pemasaran (Rp)
Terlibat Produksi & pemasaran (Rp)
Harga jual (Rp)
5.000 5.000
Borongan Borongan
2.500 2.500
10.000 10.000
15.000 15.000
7.500 7.500
Borongan Borongan
5.000 5.000
10.000 10.000
15.000 20.000
7.500 7.500 5.000 1.500
Borongan Borongan Borongan Borongan
5.000 5.000 2.500 1.000
10.000 10.000 10.000 2.5000
15.000 20.000 15.000 5.000
2.500 2.500
Borongan Borongan
1.000 1.000
2.500 2.500
7.500 12.500
Data pada tabel di atas menunjukkan terjadi perbedaan hasil bagi pengrajin yang terlibat dalam setiap tahapan proses. Hasil yang lebih besar diberikan kepada yang pengrajin yang terlibat produksi dan pemasaran. Harga jual setiap produk ternyata sangat kecil sekali untuk mempertimbangkan biaya yang telah dikeluarkan pada tahan produksi, bahan baku, dan pemasaran. Kondisi ini menunjukkan bahwa usaha yang dilakukan tidak didasarkan pada manajemen bisnis yang beroriektasi pada pencarian keuntungan uang sebesarbesarnya. Tingkat ketergantungan pengrajin tetap terhadap pasar sangat tinggi jika dibandingkan dengan pengrajin tidak tetap (sambilan). Alternatif pekerjaan yang mereka lakukan tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarga selain dari menjadi pengrajin. Mereka terus melakukan produksi kerajinan anyaman walaupun dalam jumlah sedikit hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok saja. Jika pembayaran, penjualan, pasokan bahan baku mengalami hambatan maka mereka tidak memiliki penghasilan lain karena mereka tidak memiliki akses dan terhadap sumber daya ekonomi lainnya. Pembayaran yang tidak tunai menjadi salah satu hambatan dalam meningkatkan taraf perekonomian pengrajin tetap ini, seperti penuturan Mak Eya (janda, 2 anak, umur 50 tahun, pendidikan SD). Abdi mah mung ngandelkeun tina ieu Neng, naon deui atuh kabisa ema nu ngadatangkeun duit. Digawe nulain ema mah teu bisa, jeung teu pada mercaya bubuhan geus kolot. Ah da kabutuhan ema mah saeutik ukur dahar da anak ema bisa buburuh saeutik-eutikeun mah. Nya ema mah ngendelkeun ka bah Akun we dina masalah 79
duduitan mah da geus lila gawe nyieun samak teh jeung si abah, percanten da tara ngabohongan salila ieu. Sapoe bisa setengah samak atawa 2 dompet ge lumayan, saminggu bisa meunang duit jang meuli beas jeung deungeunna. (Saya hanya mengandalkan dari hasil kerajinan, apalagi yang bisa saya perbuat yang bisa mendatangkan uang. Bekerja yang lain saya tidak bisa, dan tidak ada yang percaya karena saya suah tua. Kebutuhan saya sedikit hanya makan karena anak saya sudah bisa bekerja sedikit-sedikit. Dalam masalah keuangan saya menyerahkan pada Abah Akun karena saya sudah lama bekerja membuat tikar dengan Abah, percaya tidak pernah membohongi selama ini. Sehari bisa setengah tikar atau 2 dompet sudah lumayan, seminggu sudah dapat uang untuk beli beras dengan lauknya). b. Pengrajin tidak tetap (sambilan) Pengrajin tidak tetap memiliki pekerjaan lain sebagai mata pencaharian apabila tidak ada pesanan kerajinan anyaman atau pasokan bahan baku terhambat. 52 persen dari pengrajin anyaman ini memiliki pekerjaan sebagai tukang ojek, buruh tani, pekerja bangunan, pegawai desa, guru ngaji (penjaga mesjid) yang dapat dijadikan sebagai sumber mata pencaharian. Seperti yang dilakukan oleh
Ajo selain sebagai pengrajin anyaman, dia juga berprofesi
sebagai guru ngaji anak-anak di malam hari di masjid dan sebagai pegawai desa (tenaga kontrak). Demikian juga dengan Pak Saudi yang bekerja sebagai pesuruh di kantor kecamatan. Keterlibatan pengrajin yang pada proses produksi tetap berkisar pada anggota kelompok dan keluarga mereka. Penambahan pekerja pengrajin berasal dari lingkungan komunitas pengajin dengan dasar keterampilan yang diperoleh mereka adalah dari turun temurun. Maka peluang keterlibatan pekerja untuk menjadi pengrajin anyaman dari luar menjadi tertutup. Apabila usaha kerajinan anyaman ini dapat berkembang, maka peluang keterlibatan tenaga kerja dari luar untuk menjadi pengrajin sangat terbuka. Tetapi peluang tersebut harus disertai dengan keterampilan yang lebih baik, sehingga usaha kerajinan yang lebih comparative dan competitive dapat dicapai. Pada kenyataan di lapangan, dalam pembagian hasil kepada pengrajin sambilan sama saja dengan pengrajin tetap. Yang membedakan adalah jenis dan banyaknya kerajinan yang diproduksi. Kesamaan dalam pemberian hasil keuntungan (sama dengan upah) terhadap pengrajin tetap dan tidak tetap, selama ini tidak menimbulkan masalah. Hal ini dikarenakan adanya saling percaya (trust) diantara sesama pengrajin, kebersamaan, gotong royong, yang
80
merupakan modal sosial untuk dapat mengembangkan sebuah masyarakat. Sedangkan pembagian hasil bagi pemilik lahan dan bahan baku diperhitungkan terlebih dahulu sebelum proses pembagian hasil/upah dilakukan. Demikian juga apabila modal produksi dan pemasaran diperoleh dari pinjaman atau modal kelompok. Program pengembangan masyarakat untuk kelompok pengrajin anyaman ini dapat dikatakan belum menunjukkan hasil untuk kemandirian, keberlanjutan, dan peningkatan kesejahteraan bagi kelompok pengrajin anyaman. Program pemerintah yang pernah menyentuh kelompok pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon ini adalah UP2K dan PPK, dan itupun hanya 4 kelompok dari 12 kelompok yang ada. Pada
proses
produksi,
keterlibatan
pengrajin
anyaman
tanpa
memperhatikan profesionalitas. Hal ini karena pertimbangan bahwa usaha yang dilakukan adalah kekeluargaan, melibatkan pekerja dalam keluarga. Sehingga sistem pembagian hasil atau pengupahan lebih banyak didasarkan pada ucapan terima kasih bukan pada hasil kerja yang diperoleh. Terlebih pada pengrajin perempuan. Jika seorang pengrajin perempuan bisa membuat 1 buah tikar berukuran 1,25 cm x 1,75 cm dengan waktu 1 minggu, maka ia akan diupah tidak lebih dari Rp. 12.500,-. Sedangkan untuk pengrajin laki-laki dengan cara kerja yang sama ditambah penjemuran bahan baku, maka ia akan diupah sampai Rp. 17.500,-. Harga jual di pasaran untuk tikar dengan jenis seperti itu tanpa warna adalah Rp. 25.000,-. Sedangkan jika telah domodifikasi dengan warna dan bisa dilipat-lipat, harga jual mencapai Rp.35.000,- dengan pembayaran upah yang sama hanya waktu pembuatan yang lebih lama. Permasalahan pekerja akan pengupahan merupakan perwujudan dari kebutuhan manusia. Dari rasa puas terhadap upah yang diterimanya akan menimbulkan rasa aman karena adanya perlindungan, kepastian, keteraturan dari lingkungan pekerjaan dimana kebutuhan yang sifatnya pokok/dasar dari hidupnya dapat terpenuhi. Dalam mensikapi sistem pengupahan pada pengrajin anyaman, situasi kestabilan upah tidak terjadi. Sehingga hasil produksi yang diperoleh tidak mengalami perkembangan yang berarti. 2. Bahan Baku Bahan baku yang digunakan untuk kerajinan anyaman ini adalah dari daun pandan yang selama ini mengandalkan hampir 75 persen menggunakan bahan baku yang terdapat di Desa Sawah Kulun. Areal pertanian seluas 82
81
persen dari luas wilayah Sawah Kulon, 36 persen digunakan untuk ladang pertanian dan 15 persen digunakan untuk tanaman pandan. Selama ini areal seluas 12 hektar yang digunakan untuk menanam pohon pandan cukup untuk memenuhi kebutuhan kerajinan anyaman. Dalam setiap musim panen yang menghasilkan daun bermutu bagus rata-rata setiap hektar 100 kg. Setelah mengalami proses perendaman dan penjemuran rata-rata hanya tinggal 80 kg yang memiliki nilai jual Rp. 35.000 – 50.000/kg. Perbedaan harga ditentukan oleh panjang dan lebar daun yang dihasilkan. Dari setiap kilogram daun pandan yang telah siap pakai untuk dianyam, bisa diperoleh 5 sampai 7 buah tikar yang berukuran 1,26 m x 2 m yang memiliki harga jual Rp. 15.000 – Rp. 20.000/lembar. Dalam proses penyamana pun mengalami pengurangan karena sobek atau putus. Jadi daun yang betul-betul dapat diproses untuk pembuatan anyaman diperkirakan tinggal 70 kg. Berdaraskan hasil wawancara dan pengamatan, bahan baku yang dimilki kelompok pada kenyataannya tidak selalu tepat berdasarkan hasil hitungan rata-rata setiap panen. Tetapi mengalami penyusutan karena proses penyimpanan, cuaca/suhu, dan faktor kelalaian lainnya. Setelah berbentuk bahan baku yang siap diolah menjadi anyaman, dirataratakan harga perkilo sebagai awal dimulainya penentuan harga bahan baku. Harga tersebut nantinya akan berpengaruh terhadap harga pemasaran. Hasil penentuan harga bahan baku akan menjadi pemilik lahan setelah dikurangi upah pemelihara (tenaga kerja) dan biaya pemeliharaan. Pada kenyataan di lapangan kesemua penentuan harga tersebut dilakukan atas dasar kekeluargaan bukan atas dasar perhitungan bisnis. Apabila terjadi pengumpulan modal secara patungan, maka hasil perhitungan harga akan dibagi berdasar persentasi besarnya modal yang ditanam masing-masing anggota kelompok. Jika modal diperoleh dari bandar, maka pengrajin akan membayar dengan sejumlah hasil produksi. Kelembagaan seperti demikian telah dilakukan selama oleh kelompok pengrajin anyaman secara turun temurun, artinya telah berlangsung lama. Penggunaan lahan yang digunakan untuk menanam bahan baku dilakukan secara sewa dengan sistem pembagian hasil dengan cara 4 banding 1 atau 5 banding 1. Artinya hasil bahan baku daun pandan setelah dihitung total bersih berapa kilo kemudian kemudian dilakukan pembagian 5 atau 4 bagian untuk pemilik lahan dan 1 bagian untuk pengrajin lain yang terlibat dalam pemeliharaan tanaman bahan baku. Pemilik lahan yang memperoleh bagian
82
lebih besar selama ini melakukan pembagian lagi dengan para pemilik modal uang dengan cara
fifety-fifety atau cukup dengan mengembalikan besaran
modal yang dttanamkan. Namun pada kenyataan di lapangan, pengembalian modal uang dan upah pemeliharaan tanaman bahan baku baku selalu dilakukan setelah produk anyaman dihasilkan dan dipasarkan, mulailah dilakukan perhitungan. Apabila ada pesanan yang melebihi yang biasa diproduksi, maka setiap kelompok pengrajin akan melakukan kerja sama untuk mencari bahan baku dari daerah lain. Seperti yang pernah dilakukan oleh 4 kelompom pengrajin lainnya (Pasawahan, Cihuni, dan Sukahaji). Pencarian bahan baku dari daerah lain dilakukan oleh anggota kelompok secara bersama-sama. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pengkaji dan wawancara dengan dinas pertanian, apabila mengandalkan secara terus menerus bahan baku dari wilayah Sawah Kulon, maka tingkat kesuburan tanah akan berkurang. Hal ini akan berpengaruh pada kualitas daun pandan yang dihasilkan. Oleh karena itu tingkat kesuburan tanah harus tetap dijaga dengan pemupukan atau perputaran dalam menanam jenis tanaman lain di tempat yang sama. Perolehan bahan baku melalui bandar pernah dilakukan oleh semua kelompok, tetapi dalam harga pembelian bahan baku yang terlalu tinggi. Daya beli setiap kelompok apabila harus membeli dari bandar sangat tidak mampu. Menurut pendapat mayoritas kelompok, apabila membeli bahan baku dari bandar, maka biaya dari mulai proses produksi sampai pemasaran sangat tinggi dan keuntungan yang diperoleh sangat kecil. Oleh karena itu kelompok pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon sebisa mungkin menghindari membeli bahan baku dari bandar. Apabila ada pesanan dalam jumlah diluar kebiasaan produksi, maka mereka mencari sendiri bahan baku ke daerah lain. 3. Permodalan Berdasarkan data ekonomi yang diperoleh, 142 KK anggota kelompok pengrajin anyaman ini termasuk pada kategori KS 1 dan Pra KS. Apabila dikaitkan dengan usaha anyaman ini, maka dalam hal kepemilikan modal untuk pengembangan usaha anyaman sangat lemah. Penghasilan yang diperoleh pengrajin hanya akan cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup saja. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dalam permodalan untuk mengembangkan usaha sangat kecil kemungkinannya.
83
Selama ini permodalan diperoleh dengan mengumpulkan dari setiap anggota kelompok (patungan). Ada juga yang meminjam dari kas dusun atas izin kepala desa. Meminjam modal kepada rentenir belum pernah dilakukan karena katakutan akan bunga yang harus dibayar. Meminta bantuan permodalan kepada bandar seringkali dilakukan, terutama kepada bandar Oji (untuk pengrajin Pasawahan dan Pasir Angin) dan Haji Awod (pengrajin di Cihuni dan Pasawahan). Mereka meminjam sejumlah uang dan mengembalikan dengan sejumlah jenis kerajinan yang berdasarkan kesepakatan dapat melunasi pinjaman. Pinjaman yang dilakukan selama ini berdasarkan hasil wawancara adalah tanpa bunga, dengan syarat barang harus sudah dikirim dalam jangka waktu yang telah disepakati. Meminjam modal pada salah satu anggota kelompok pernah dilakukan, tetapi menimbulkan masalah ketika terjadi kekeliruan perhitungan dalam membedakan upah dan pengembalian pinjaman modal. Secara umum, permodalan dalan usaha anyama ini telah dilakukan dengan 3 cara, yaitu : 1. Meminjam modal uang dari bandar dengan cara pengembalian dibayar dengan hasil anyaman yang ditaksir sebesar jumlah pinjaman. 2. Modal yang diperolah secara patungan dari beberapa anggota kelompok dengan pengembalian setelah hasil kerajinan terjual, atau dengan membayar dengan hasil anyaman sejumlah besarnya modal. 3. Modal diperolah dari seorang anggota kelompok dimana anggota kelompok tersebut biasanya memiliki wewenang yang lebih dibanding anggota kelompok lainnya. Hasil anyaman yang diperolah pun menjadi wewenang pemilik modal untuk mengatur pemasarannya. Siatem permodalan yang selam ini dilakukan oleh pengrajin anyaman relatif jarang menimbulkan permasalahan. Adapun permodalan yang diperoleh dari bantuan bergulir dalam program pemerintah, tidak menjadi prioritas utama bagi pengrajin. Hal ini disebabkan karena bantuan pemerintah tidak setiap tahun ada memberikan bantuan kepada pengrajin anyaman. Kelompok pengrajin yang pernah mendapat bantuan modal dari program pemerintah melalui UP2K dan PPK mengalami kesulitan dalam hal manajemen dan pembukuan keuangan. Pemberian bantuan permodalan harus disertai dengan pelatihan dalam hal pembukuan.
84
4. Teknologi dan keterampilan Proses pembuatan kerajinan anyaman selama ini tidak menggunakan peralatan teknologi. Menganyam secara tradisional dengan menggunakan tangan. Pada proses akhir merapikan ujung anyaman menggukan alat yang mereka sebuah ”catok” untuk menguatkan ujung lipatan. Proses pembuatan seperti ini memerlukan ketelitian. Untuk proses pewarnaan pun mereka melakukan tanpa bantuan teknologi. Pengecatan dilakukan dengan merendam bahan baku dalam cairan pewarna yang kemudian dijemur. Setelah kering kemudian proses menganyam. Keterampilan yang diperoleh para pengrajin ini semuanya diperoleh secara turun temurun. Dimulai dengan melihat orang lain, kemudian mencoba meniru, dan akhirnya bisa membuat sendiri. Kualitas hasil anyaman yang diperoleh cukup memenuhi standar untuk dijual di pasaran. 5. Mitra kerja Pada penyediaan bahan baku, permodalan, dan pemasaran, kelompok pengrajin ini melakukan mitra kerja dengan koperasi dan bandar. Dalam perkembangan kelompok pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon, koperasi pasar desa, koperasi desa, dan koperasi kecamatan pernah memberikan bantuan dalam hal permodalan, bahan baku dan pemasaran. Pemberian modal yang diberikan koperasi desa dan kecamatan tidak menjangkau 12 kelompok yang ada. Tetapi dalam pemasaran kerajinan, koperasi pasar desa telah menjangkau semua kelompok pengrajin. Koperasi pada tingkatan yang lebih tinggi seperti koperasi yang ada di tingkat kabupaten hanya koperasi pada Dinas Koperasi dan UKM. Itupun tidak lama karena melakukan kemitraan apabila ada bantuan atau kegiatan pameran. Melakukan kemitraan dengan bandar hanya dilakukan oleh beberapa kelompok saja. Kemitraan dalam pemasaran dan bahan baku.
6. 3. Kelembagaan Pemasaran Seperti halnya kelembagaan produksi, kelembagaan pemasaran pun pada kajian ini menitik beratkan pada definisi operasional yaitu sebagai tata aturan atau pola hubungan yang mengatur perilaku pengrajin anyaman dari mulai aturan main sanksi, persaingan, pola hubungan dan dasar penentuan harga, serta hubungan dengan bandar. Definisi operasional pun didasarkan pada hasil pangamatan di lapangan selama melakukan kajian. Pengamatan yang dilakukan
85
pada tahapan definisi kelembagaan pemasaran menekankan pada kegiatan yang memilik hubungan denga pemasaran yang ditemukan di lapangan, seperti tertera pada definisi operasional di atas. Bahasan kelembagaan pemasaran pada kajian ini pun selanjutnya akan lebih menekankan pada : 1). Aturan Main dan Sanksi, 2) Persaingan, 3) Pola Hubungan dan dasar Penentuan Harga, dan 4) Bandar Pemasaran. 1. Aturan main dan sanksi Kegiatan usaha kelompok pengrajin anyaman di Desa Pasawahan dapat berlangsung sampai saat ini karena adanya peranan dari setiap anggota kelompok. Peranan yang dijalankan masing-masing individu dalam kelompok dilakukan melalui kesepakatan yang tidak tertulis. Hal ini karena kelompok yang terbentuk pun secara tidak sengaja atas dasar tempat tinggal, kesamaan kebutuhan, kesamaan pandangan dalam hidup. Kohesifitas dalam kelompok didasarkan pada adanya unsur kekerabatan. Pembagian tugas atau pelaksanaan kerja dalam proses produksi dan pemasaran dilakukan karena ketaatan dan kepatuhan pada orang yang dianggap sebagai pemimpin mereka. Penentuan harga, pemasaran, bahan baku, jenis produksi, dilakukan atas pertimbangan semua anggota kelompok dengan merujuk pada keputusan pimpinan kelompok. Kebebasan dalam kelompok pun ada, artinya keanggotaan dalam kelompok tidak mengikat. Apabila ada anggota kelompok yang sedang mengerjakan pekerjaan lain, seperti menjadi buruh bangunan atau buruh tani, maka keterlibatan mereka bisa digantikan oleh anggota keluarga yang lain dengan ketentuan pembayaran upah yang tidak berubah. Kelangsungan produksi kerajinan anyaman sangat tergantung pula pada tersedianya bahan baku daun pandan. Bahan baku yang selama ini digunakan oleh 8 kelompok pengrajin anyaman adalah dari pertanian yang ada di sekitar dusun mereka. Kecuali 4 kelompok pengrajin yang pernah melakukan kerja sama bahan baku dengan Kecamatan Campaka dan Kecamatan Cibatu. Jenis pemasaran yang selama ini dilakukan oleh kelompok pengrajin anyaman adalah dengan cara : 1) Memasarkan sendiri oleh salah satu anggota kelompok, 2) Menitipkan di kios pasar desa pasar, koperasi, dan 3) Melalui bandar. 2. Persaingan Khususnya di Kabupaten Purwakarta, pemasaran produk kerajijnan anyaman kalah bersaing dengan produk anyaman dari Tasikmalaya. Adanya
86
beragam produk jenis tikar, dompet, topi, yang dibuat dari bahan yang berbeda tetapi lebih diminati konsumen. Persaingan pemasaran dalam memikat konsumen sangat berhungan sekali dengan jenis, model, kualitas, dari anyaman yang diproduksi oleh kelompok pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon. Pemasaran yang selama ini dilakukan dengan cara (1) Dijual sendiri oleh pengrajin, (2) Melalui bandar, dan (3) Dititipkan pada toko. Semua cara yang dilakukan tersebut merasakan persaingan yang sama, yaitu kalah bersaing dengan produk yang sama tapi dari bahan baku yang berbeda dan keragaman model dan jenis dari produksi anyaman yang jauh tertinggal dari produk luar. Pak Amin (45 tahun, pendidikan SD) yang menjual sendiri anyaman menuturkan keluhannya. Ah Neng, tos seueur samak nu diical bahanna tina kaen, sararae teh jabi corak jeung modelna lalucu, matak resep anu nempo. Matak pami samak bapak diical awis teh moal kalersaeun dan samak karpet langkung dipikaresep ku nu meser. Ya Bapak ngical samak nu penting aya nu meser dari pada uih teu ngabantun artos. (Ah De, sudah banyak tikar yang dijual dari bahan kain, bagus dan corak serta modelnya lucu, jadi membuat senang yang melihat. Jadi kalauo tikar Bapak dijual mahal tidak akan mau karena tikar dari kain lebih diminati oleh pembeli. Ya Bapak ngejual tikar yang penting ada yang beli saja daripada pulang tak bawa uang) Demikian juga pendapat bandar Oji sebagai penampung kerajinan anyaman di beberapa dusun di Sawah Kulon yang memeiliki toko kerajinan dari tanah liat di daerah Plered Kecamatan Sukatani. Selama ini bandar Oji selain menjual tikar, dompet, topi, dan sandal dari anyaman pandan produksi Sawah Kulon, juga menjual produk yang sama dari bahan baku yang berbeda. Tetapi pada kenyataan pembeli dari luar kota lebih tertarik pada produk yang terbuat dari bahan lain, katanya lebih mengikuti mode. 3. Pola Hubungan dan dasar penentuan harga Pola penetuan harga yang selama ini dilakukan adalah dengan : 1) keputusan pemimpin kelompok apabila modal bersalal dari udunan, 2) ditentukan oleh pemilik modal tunggal, dan 3) ditentukan oleh pemimpin kelompok ketika harus mengembalikan modal kepada bandar. Pada pola hubungan dengan bandar, pengrajin tidak memiliki kemampuan untuk menentukan harga jual ketika hasil anyaman sudah ada di tangan bandar. Penetuan harga dalam pemasaran pun diserahkan pada pemimpin kelompok. Dalam pemasaran melalui bandar selama ini bandar membeli semua produksi anyaman kadang dibayar langsung atau ditunda beberapa hari. Hasil 87
pembayaran diberikan pada pimpinan kelompok, kemudian dibagikan seperti yang pernah dilakukan selama ini. Apabila bandar menjual harga yang sangat tinggi pada pemsaran kepada konsumen dan pengrajin tahu bahwa keuntungan yang diperoleh bandar berlipat, maka pengrajin tidak dapat melakukan complain karena pembayaran telah dilakukan dimuka. Disinilah posisi pengrajin anyaman yang lemah dimana bargaining posisi pengrajin yang tidak seimbang dengan bandar. Tetapi keuntungan bagi pengrajin adalah mereka tidak pernah meneriman kembali produksi anyaman yang tidak laku dipasaran. 4. Bandar Pemasaran Bandar pemasaran merupakan mata rantai distribusi yang memasarkan kerajinan anyaman dari produsen ke konsumen. Pemasaran yang pernah dilakukan oleh bandar pemasaran dengan menyalurkan produksi kerajinan ke toko, menjual langsung oleh pekerja di bawah bandar, dan menjual sendiri di pasar. Pemasaran yang dilakukan oleh bandar hanya di daerah Kabupaten Purwakarta.
Kelompok
pengrajin
di
Dusun
Pasawahan
selalu
menjual
produksinya pada bandar karena hubungan kerja yang sudah terjalin. Bandar tidak berasal dari kecamatan yang sama. Produsen/kelompok pengrajin menjual kepada bandar dengan harga jual yang telah ditentukan atau ditaksir dari sekian jumlah kerajinan yang dibayar tunai. Harga jual di pasar kemudian menjadi wewenang bandar. Bandar Oji menuturkan bahwa kerajinan anyaman ini asal proses produksinya bagus, akan tahan lama. Artinya kerajinan bisa disimpan dalam jangka waktu lama untuk kemudian dijual pada waktu yang berbeda. Bandar Oji menampung semua jenis produksi anyaman yang dihasilkan oleh kelompok pengrajin di Dusun Pasawahan. Selama ini hubungan baik
terjadi
antara kelompok pengrajin dengan bandar Oji. Ketika pengkaji melakukan observasi dan wawancara kepada Bandar Oji yang tinggal di luar kecamatan Pasawahan, didapat sesuatu hal yang mungkin tidak diketahui oleh kelompok pengrajin anyaman. Sisa kerajian anyaman apapun jenisnya, apabila tidak terjual dalam beberapa bulan di toko milik Bandar Oji, maka Bandar Oji akan melakukan modifikasi sendiri. Dengan bantuan rekanrekannya, bandar oji akan mengubah produksi kerajinan anyaman menjadi lebih menarik dan dijual ke luar daerah Purwakarta. Alasan bandar Oji tidak memberi tahu hal ini kepada pengrajin di Sawah Kulon karena Dia sudah melunasi semua barang yang Dia beli dari pengrajin. Karena bandar Oji mempunyai pengalaman
88
yang luas, hasil kerajinan anyaman itupun selalu Dia pakaikan label (merk) ”Berkah” ketika akan di jual di tempat lain. Kegiatan pemasaran lainnya yang selama ini dilakukan oleh kelompok pengrajin anyaman secara tradisional. Mereka melakukan pemasaran dengan memasarkan sendiri hasil produksi secara dor to dor, menitipkan di pasar kepada pedagang yang telah mereka kenal, atau melalui bandar. Pemasaran melalui bandar pernah dilakukan oleh 5 kelompok pengrajin (2 kelompok Dusun Pasir Angin dan 3 kelompok Dusun Pasawahan) namun tidak berkelanjutan karena bandar melakukan kecurangan harga, sehingga kelompok pengrajin merasa dirugikan. Penuturan Pak Aja anggota kelompok di Dusun Pasir Angin terhadap bandar : Kapok abdi mah Neng ngical ka bandar teh, margi benten pangaosna ageung teuing. Ku abdi diical sarebu perak, ari ku manehna tiasa dugi ka lima rebu perak. Sawios barang diborong oge ah kanggo bapak mah asa ditipu. Mending keneh ngical nyalira di pasar. (Kapok menjual kepada bandar, karena perbedaan harga terlalu besar. Saya menjual seribu rupiah, bandar bisa menjual lima ribu rupiah. Walaupun bandar mau memborong anyaman tetap kapok menjual pada bandar serasa ditipu. Lebih baik menjual sendiri di pasar) Berdasarkan hasil wawancara, pengamatan, dan hasil FGD, mereka lebih melakukan kegiatan pemasaran secara sendiri-sendiri tiap kelompok karena faktor : 1) Penentuan harga jual, 2) Jenis kerajinan yang diproduksi berbeda, 3) Waktu produksi berbeda, 4) Komunikasi yang tidak pernah dilakukan antar kelompok (kerjasama dalam hal produksi dan pemasaran). Jika dijual sendiri secara berkeliling atau dengan membuka lapak di pasar kabupaten, harga jual bisa ditentukan sendiri oleh penjual tanpa sepengetahuan anggota kelompok pengrajin lannya. Tetapi harga dasar yang ditetapkan adalah harga kesepakatan bersama. Maka keuntungan menjadi milik si penjual. Pada hari minggu di pasar kaget alun-alun atau pada waktu ada pameran, maka harga jual bisa tinggi
6 .4. Analisis Kelembagaan Produksi dan Pemasaran 6.4.1. Identifikasi Kelembagaan Produksi dan Pemasaran Anyaman Berdasarkan identifkasi karakteristik kelompok,
kelembagaan produksi
dan pemasaran yang selama ini dilakukan oleh kelompok pengrajin anyaman dapat dilihat dari : 1) Cara memperoleh modal, 2) Keterlibatan dalam proses 89
poduksi dan pemasaran, 3) Penentuan harga jual, 4) Pembagian upah kerja, 5) Penentuan cara pemasaran, dan 6) Penggunaan bahan baku. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 tipe kelembagaan produksi dan pemasaran, yaitu : A. Kelembagaan produksi dan pemasaran dilakukan oleh seluruh anggota dengan bantuan bandar. Kelembagaan ini dilakukan oleh 1 kelompok di Dusun Pasawahan karena adanya trust antara kelompok pengrajin dan bandar. Modal diperolah dengan pinjaman dari bandar secara penuh. Artinya dari mulai pencarian bahan baku, upah, produksi, sampai pemasaran, menggunakan dana pinjaman dari bandar. Pengrajin
membayar
pinjaman
dengan
sejumlah
hasil
kerajinan
yang
disesuaikan besarnya pinjaman. Keuntungan bagi pangrajin : 1) Apabila hasil kerajinan tidak terjual, maka resiko kerugian menjadi tanggung jawab bandar, 2) Pengrajin tidak adak dipusingkan dengan hasil produksi anyaman yang tidak terjual karena semua menjadi tanggung jawab bandar, 3) Bandar tidak akan mengembalikan anyaman kepada pengrajin, dan 4) Apabila pinjaman sudah terlunasi tetapi masih ada sisa kerajinan, maka pengrajin anyaman akan menjual sendiri anyaman tersebut. Posisi tawar menawar antara bandar dan pengrajin dapat dikatakan seimbang, karena bandar memiliki kewenangan untuk menjual anyaman kapanpun dan harga berapapun tanpa sepengetahuan pengrajin. Bagi pengrajin tidak akan dipusingkan dengan anyaman yang tidak laku dijual, dan dari sisa anyaman , pengrajin dapat menjual kemana saja dengan harga ditentukan sendiri. Kelemahannya adalah fungsi kontrol dari pengrajin terhadap proses pemasaran selanjutnya terhadap hasil kerajinan sangat lemah. Kenyataannya kewenangan bandar menjadi sangat luas atas hasil kerajinan yang telah dimiliki oleh bandar, tetapi pengrajin pun diuntungkan dengan pelunasan pinjaman yang sangat longgar. Posisi
ketua
atau
pemimpin
kelompok
sangat
dominan
pada
kelembagaan ini karena keputusan dalam setiap tahapan proses produksi dan pemasaran
terlihat
sangat
mengandalkan
pemimpin
kelompok.
Pada
kelembagaan ini pekerja pengrajin diupah sesuai dengan banyak dan jenis karajinan yang dihasilkan dan keterlibatan dalam pemeliharaan tanaman bahan baku. Apabila ada hasil produksi yang melebihi besarnya pinjaman kepada bandar, maka akan dipasarkan oleh kelompok pengrajin sendiri sehingga ada keuntungan finansial yang melebihi upah biasa. 90
Produksi Bandar
Kelompok Pengrajin : LahanÆ Bahan baku Tenaga kerja Æ pengrajin
Pemasaran Toko
Konsumen
Gambar 4. Kelembagaan Produksi dan Pemasaran dengan BantuanBbandar Modal Barang Pemasaran
B. Kelembagaan produksi dengan modal dari seorang anggota kelompok dan pemasaran dilakukan oleh anggota lainnya. Kelembagaan ini dilakukan oleh 3 kelompok pengrajin yaitu kelompok di Dusun Pasir Angin, Warung Kadu, dan Pasawahan. Kelembagaan ini dilakukan karena kondiasi sosial ekonomi pemimpin kelompok yang berbeda dengan anggota kelompok lainnya. Pemimpin kelompok berdasarkan status ekonomi. Jalinan kerjasama yang terjadi dalam kelompok pengrajin ini didasarkan pada trust, gotong royong, kebersamaan, dan tanggung jawab, yang sudah mengakar pada setiap anggota kelompok. Modal yang diperoleh dari seorang anggota kelompok untuk mendanai dari mulai penggunaan lahan, bahan baku, produksi, upah sampai pemasaran. Pada kenyataan di lapangan, apabila modal tidak mencukupi tetapi hasil produksi telah ada, maka hasil pemasaran produksi diharapkan dapat menutupi kekurangan biaya dalam kelembaan ini. Apabila terdapat kelebihan sisa produksi 91
yang tidak terjual tetapi seluruh biaya produksi sudah dapat tertutupi, maka pemasaran hasil produksi kerajina tersebut menjadi miliki pemilik modal. Keuntungan dari kelembagaan ini : 1) Kerugian hanya ditanggung oleh pemilik modal, 2) penentuan harga oleh satu orang, dan 3) manajemen atau pengelolaan usaha dilakukan oleh satu orang. Kelemahannya adalah : 1) Produksi menjadi tergantung hanya kepada seorang pemilik modal, dan 2) Produksi dan pemasaran mengandalkan wewenang satu pihak pemilik modal, sehingga posisi pengrajin lainnya menjadi lemah. Posisi pemilik modal nampak sangat kuat karena produksi dan pemasaran hanya akan berjalan jika ada pinjaman modal darinya. Tetapi menjadi tidak ada artinya jika pemilik modal tidak mendapat dukungan dari pengrajin lainnya yang memiliki lahan dan tenaga untuk disumbangkan sehingga proses produksi dan pemasaran dapat berjalan.
Produksi Pemilik modal (anggt klp)
Kelompok Pengrajin : LahanÆ Bahan baku Tenaga kerja Æ pengrajin
Pemasaran Toko/kios Koperasi Pasar Desa
Konsumen
Gambar 5. Kelembagaan Produksi dan Pemasaran dengan Pemilik Modal Tunggal Modal Barang Pemasaran Pengrajin
92
C. Kelembagaan produksi dengan modal secara patungan dari beberapa anggota kelompok, sedangkan pemasaran dilakukan oleh anggota kelompok lainnya. Kelembagaan ini dilakukan oleh 8 kelompok pengrajin anyaman atau sebagian besar melakukan kelembagaan dengan cara demikian. Cara ini dilakukan dengan dukungan modal sosial yang terdapat pada kelompok pengrajin anyaman. Urunan atau patungan modal diperoleh dari 5- 8 anggota kelompok dan biasanya diperoleh dari pemilik tanah yang dijadikan lahan untuk menanam bahan baku. Pembagian kerja pada kelembagaan ini dilakukan secara bersama-sama hanya berbeda dalam hal upah. Hasil produksi yang dapat dipasarkan digunakan terlebih dahulu untuk menutupi pinjaman modal. Pembagian upah kerja disesuaikan dengan banyak dan jenis kerajinan yang dibua, penggunaan lahan untuk menanam bahan baku, keterlibatan pada proses pemeliharaan tanaman bahan baku, dan pada pemasaran anyaman. Keuntungan atas hasil pemasaran juga sangat memperhatikan kepentingan pemilik lahan. Pemasaran dilakukan dengan menitipkan di kios pasar desa, toko, atau dijual dengan berkeliling. Penentuan harga dilakukan atas kesepakatan enggota
pemiliki
modal
dengan
keputusan
pada
pimpinan
kelompok.
Kepemimpinan pada kelembagaan ini didasarkan pada tingkat pendidikan, pekerjaan, dari anggota kelompok yang melebihi anggota kelompok lainnya. Keuntungan dari kelembagaan ini adalah : 1) Mudahnya memperoleh modal dalam kelompok, 2) Pengrajin termotivasi untuk memproduksi anyaman karena untuk mengembalikan modal, 3) Adanya pembagian tugas dan tanggung jawab, 4) Ada keuntungan lebih bagi penjual anyaman apabila mampu menjual dengan harga di atas harga jual yang ditentukan sebelumnya, dan 5) anggota kelompok lain sebaga pengrajin tidak dilibatkan dalam kerugian. Kelemahannya : 1) tidak selamanya anggota kelompok penbgrajin memiliki dana untuk modal usaha, 2) Pemasaran anyaman dapat mendatangkan kerugian apabila anyaman yang dititipkan tidak terjual, dan 3) Kerugian ditangung para pemilik modal. Posisi kelompok pemilik modal nampak sangat kuat karena produksi dan pemasaran hanya akan berjalan jika ada pinjaman modal mereka. Dukungan dari pengrajin lainnya yang memiliki lahan dan tenaga untuk disumbangkan sehingga proses produksi dan pemasaran dapat berjalan menjadi sangat penting, karena keterlibatan pengrajin lainpun sangat berpengaruh terhadap hasil produksi yang
93
akan dicapai. Hal ini berkaitan dengan luas lahan, pengrajin yang akan terlibat dalam produksi dan jangkauan pemasaran. Produksi Klp Pemilik modal (anggt klp)
Kelompok Pengrajin : LahanÆ Bahan baku Tenaga kerja Æ pengrajin
Pemasaran Toko/kios Koperasi Pasar desa
Konsumen
Gambar 6. Kelembagaan Produksi dan Pemasaran dengan Pemilik Modal Kelompok Modal Barang Pemasaran Pengrajin
6.4.2. Penguatan Kelembagaan Produksi dan Pemasaran Dari ketiga kelembagaan tersebut maka rancangan program yang akan dibuat harus mempertimbangkan pada penguatan kegiatan yang telah dilakukan oleh pengrajin untuk lebih mendorong produktifitas. Penguatan kegiatan dengan menitikberatkan pada :1) Keahlian dan keterampilan pengrajin, 2) Permodalan, 3) Pemasaran agar produk dapat dipasarkan secara luas, 4) Kemitraan dengan bandar, koperasi, dan pasar desa, dan 5) Pendampingan yang dapat mengatasi kesulitan pengrajin apabila pengrajin mendapat kesulitan dalam produksi dan pemasaran.
94
Kelembagaan yang terbentuk pada proses produksi dan pemasaran berpola pada komunitas. Pendapat Syahyuti (2003), komunitas pengrajin anyaman dengan melihat aspek yang menjadi karakteristik komunitas pengrajin anyaman berikut ini : 1. Orientasi
utama
pengrajin
anyaman
adalah
pemenuhan
kebutuhan
komunitas pengrajin. Dapat diartikan melakukan pekerjaan sebagai pengrajin sebagai mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup. 2. Sifat sistem kerja sosial sangat demokratis dan berdasar kesetaraan, juga didukung oleh adanya modal sosial yang telah melekat pada pengrajin. Hal poko dalam modal sosial tersebut adalah kepercayaan (trust), norma, dan jaringan sosial (Social network). Terdapat
sisi
kelemahan
dan
kekuatan
yang
menghambat
dan
mendukung proses perkembangan usaha yang dilakukan kelompok pengrajin anyaman. Demikian juga terdapat kesempatan dan peluang yang dapat mendukung bagi kemajuan usaha kelompok pengrajin anyaman ini. Selama ini kelembagaan produksi dan pemasaran yang dijalankan oleh kelompok pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon didasarkan pada insting dan tergantung pada peruntungan nasib. Aspek daya dukung produksi dengan tanpa memperhatikan minat konsumen dan permintaan pasar. Kelembagaan produksi dan pemasaran pada kelompok pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon terbentuk melalui aspek kelembagaan. Terjadinya kelembagaan produksi dan pemasaran tersebut bersifat pokok seolah tumbuh dengan sendirinya (cresscive institution). Kelembagaan produksi dan pemasaran terbentuk secala alamiah, bermula dari pematangan suatu norma dalam kelompok pengrajin anyaman. Norma atas perilaku dalam melakukan kegiatan produksi dan pemasaran terbentuk secara bertahap dalam kelompok pengrajin anyaman. Mulai dari cara berperilaku belaka (usage), meningkat menjadi kebiasaan (folkways) dalam produksi dan pemasaran, menjadi tata kelakuan (mores), dan menjadi menetap ketika menjadi custom. Itulah proses pelembagaan (institutionalizatioin) pada kelompok pengajin anyaman di Desa Sawah Kulon, dimana proses yang dialami norma baru untuk menjadi bagian dari kelembagaan produksi dan pemasaran. Syahyuti (2003) merumuskan aspek yang perlu diperhatikan untuk mengembangkan kelembagaan, yaitu :
95
1. Iklim makro yang sadar kelembagaan. 2. Objeknya adalah kelembagaan, bukan individu 3. Membangun kelembagaan baru (mengganti atau menambah) 4. Menggunakan dan memperkuat modal sosial 5. Memperbaiki kelembagaan yang rusak Pada kelembagaan produksi dan pemasaran usaha kelompok pengrajin anyaman, kelima aspek tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan kelembagaan produksi dan pemasaran yang sudah ada, yaitu dengan : 1. Iklim makro yang sadar kelembagaan. Pendekatan yang dilakukan dalam mengembangakan usaha kelompok pengrajin anyaman adalah dengan people driven. Artinya, peranan pengrajin adalah faktor penting, kelompok pengrajin bukanlah jumlah individu-individu yang saling bebas, tetapi mereka terikat dalam kelembagaan-kelembagaan yang merupakan wadah aktifitas mereka. Oleh karena itu untuk merubah individu pengrajin anyaman adalah melalui kelembagaan produksi dan pemasaran dalam usaha kerajinan anyaman sebagai tempat mereka beraktifitas. 2. Objeknya adalah kelembagaan, bukan individu Kelembagaan produksi dan pemasaran adalah wadah aktifitas para kelompok pengrajin anyaman. Kelembagaan produksi dan pemasaran secara fungsional menghidupkan sistem sosial pada kehidupan pengrajin anyaman. Oleh karena itu pendekatan melalui kelembagaan produksi dan pemasaran sangat rasional, efisien, dan ekonomis dalam mengembangkan usaha kelompok pengrajin anyaman ini. 3. Membangun kelembagaan baru (mengganti atau menambah) Pengaruh perubahan sosial cenderung menimbulkan proses penggantian karena pada masyarakat yang sudah hidup sekian lama, sudah mengembangkan dan menjaga struktur sosial dan kompleks nilai yang stabil. Pada kehidupan kelompok pengrajin anyaman sudah ada organisasi, individu, peran, nilai, norma, hukum, yang dijalankan secara harmonis. Masuknya program bantuan dari luar komunitas pengrajin anyaman ke dalam sistem kehidupan mereka, akan menimbulkan kelembagaan. Tetapi komunitas pun akan tetap menjaga kelembagaan yang sudah ada yang sedang mereka
jalani.
Soelaiman
dalam
Syahyuti
pengembangan
masyarakat
pengrajin
(2003),
anyaman
dalam
melalui
melakukan
pengembangan
kelembagaan produksi dan pemasaran ini harus memperhatikan
(1) tidak
96
merubah struktur, posisi, dan peran para tokoh, (2) pendekatan dengan partisipatif, (3) melibatkan ketokohan institusi bersangkutan, dan (4) Penyusunan model berlandaskan pertimbangan ilmiah dan praktis sesuai situasi, kondisi, dan penyaluran para petugas di lapangan. 4. Menggunakan dan memperkuat modal sosial Pada kelompok pengrajin anyaman modal sosial berisikan kepercayaan (trust), norma, dan jaringan sosial (social network). Modal sosial yang telah ada, tumbuh dan berkembang pada kehidupan kelompok pengrajin anyaman menjadi prasyarat berjalannya proses produksi dan pemasaran usaha anyaman ini. 5. Memperbaiki kelembagaan Kelembagaan baru yang akan diintroduksikan pada kelompok pengrajin anyaman, mungkin hanya merupakan pengulangan saja. Kelembagaan produksi dan pemasaran yang telah ada dan mengalami kerusakan, akan mendapat kesan yang berbeda bagi kelompok pengrajin jika dibandingkan dengan membuat sebuah kelembagaan yang baru. Memperbaiki kelembagaan produksi dan pemasaran yang telah ada merupakan cara yang ditempuh untuk mengembangkan kelembagaan pada usaha kelompok pengrajin anyaman ini. Kelembagaan produksi dan pemasaran yang dijalankan oleh 12 kelompok pengrajin anyaman mengandung kapasitas kelembagaan yang terdiri dari unsur peningkatan sumber daya manusia, restrukturisasi hubungan (pemerintah, swasta, dan masyarakat), serta kebijakan atau kemauan politik (political will) dari pemimpin. Kapasitas kelembagaan terdapat 7 komponen (Unicef, 199) dalam Syahyuti (2003), pengembangan kapasitas di tingkat komunitas yang dapat dikembangkan untuk dapat mendorong berbagai aktifitas ekonomi anggotanya melalui pembentukan kelompok-kelompok usaha ekonomi produktif, yaitu : 1. Community leader (kepemimpinan komunitas) Usaha kerajinan anyaman telah dilakukan secara berkelompok, hanya pembentukan kelompok tersebut tidak terstruktur secara hirarki. Kepemimpinan pada 8 kelompok pengrajin lebih bersifat ketokohan, penghormatan kepada yang lebih tua. Berbeda dengan 4 kelompok lainnya yang dibentuk secara hirarki atas dasar kesepakatan. Kepemimpinan dalam kelompok pengrajin anyaman ini sudah ada hanya tinggal menguatkan dalam proses produksi dan pemasaran agar usaha dapat berkembang. Usaha mendapat dukungan anggota keluarga, dimana anggota keluarga akan terlibat dalam proses produksi sebagai bantuan apabila ada permintaan pesanan dalam jumlah banyak.
97
2. Community technology (teknologi komunitas) Keterampilan membuatn kerajinan anyaman dari daun pandan ini diperoleh secara turun temurun atau dipelajari secara alamiah. Pelatihan atau penyuluhan dari pemerintah untuk meningkatkan yang pernah ada hanya pada peningkatan kualitas tanaman pohon pandan dari dinas pertanian. Sedangkan untuk peningkatan kualitas produksi anyaman belum pernah ada. Hal ini dikarenakan produksi anyaman daun pandan ini hanya dilakukan oleh minoritas penduduk kabupaten Purwakarta dan belum dapat dijadikan produk unggulan. Dengan demikian diperlukan peningkatan kapasitas kemampuan pengrajin dalam melakukan produksi anyaman melalui pelatihan dan pengenalan teknologi. 3. Community fund (dana komunitas) Keterbatasan pemilikan dana untuk permodalan adalah persoalan yang dialami dalam setiap produksi. Modal yang dimiliki digunakan untuk mencari bahan baku, upah tenaga kerja (anggota kelompok), dan biaya pemasaran. Mekanisme penghimpunan dana yang dilakukan melalui iuran dari setiap anggota kelompok pengrajin tidak dapat menutyupi semua kebutuhan dari proses produksi sampai pemasaran. 4. Community material (material komunitas) Peralatan yang digunakan untuk membuat anyaman jenis apapun sangat sederhana.
Selain
bahan
baku
daun
pandan,
pengrajin
melakukan
penganyaman dengan tangan. Alat bantu lain adalah gunting, pisau, anai-anai untu menghaluskan, lem, pewarna kain, dan catok untuk menguatkan ujung anyaman. Dalam pemasaran yang dilakaukan sendiri oleh pengrajin biasanya meraka menggunakan sepeda atau berjalan kaki dengan anyaman di simbap di bakul. 5. Community knowledge (pengetahuan komunitas) Pengrajin
anyaman
memiliki
sedikit
sekali
pengetahuan
tentang
bagaimana pemasaran, memahami konsumen, bahan baku, pembukuan, sistem pengupahan tenaga kerja, menjangkau sistem sumber yang ada di luar komunitas, dan lain-lain yang berkaitan dengan produksi dan pemasaran. Pengetahuan pengrajin yang rendah dalam mengembangkan usaha ini dimotifasi oleh pendapat asal ada pekerjaan, asal barang laku, usaha dilakukan dalam kelompok yang terikat kekerabatan. Pengetahuan pengrajin belum sampai pada bagaimana mengembangkan usaha kerajinan anyaman ini secara profesional.
98
6. Community decision making (pengambilan keputusan komunitas) Pengambilan keputusan dalam komunitas pengrajin dilakukan dengan cara diserahkan kepada orang yang dianggap sebagai pemimpin kelompok, dan dimusyawarahkan dengan semua anggota kelompok. Pengaruh ketua kelompok pada setiap
kelompok pengrajin anyaman
ini
sangat kuat.
Walaupun
musyawarah dilakukan, tetapi keputusan akhir tetap menjadi dominan pendapat ketua kelompok. Pada tataran pemerintahan karena pola top-down yang masih melekat, keputusan berada pada kepala dusun, kepala desa, atau kecamatan. Dapat dilihat bahwa keputusan yang tidak berpihak kepada kepentingan kelompok pengrajin
akan
terjadi.
Pihak
pemerintah
akan
mementingkan
kepada
berjalannya program dan tercapai tujuan program. 7. Community organizations (organisasi komunitas) Adanya 12 kelompok pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon tidak semuanya terbentuk dalam wadah organisasi. Hanya 4 kelompok (Pasawahan, Sukahaji dan Cihuni) yang memiliki struktur keorganisasian kelompok pengrajin anyaman.
Namun selama ini usaha yang dilakukan pengrajin secara
berkelompok.
6.4.3. Analisis SWOT Analisis terhadap kelembagaan produksi dan pemasaran yang selama ini dilakukan oleh kelompok pengrajin anyaman, pengkaji melakukan dengan analisi SWOT (Strenght, Weakness. Opportunities, Threats). Terdapat 2 faktor dalam yang mempengaruhi kelembagaan produksi dan pemasaran, faktor internal terdiri dari kekuatan (strengths) dan kelemahan (weakness), faktor eksternal terdiri dari peluang (opportunities) dan ancaman (threats). Berikut ini disajikan tabel matriks analisis SWOT hasil FGD terhadap kelembagaan pemasaran yang selama ini dilakukan oleh kelompok pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon.
99
Tabel 17. Matriks analisis SWOT terhadap kelembagaan produksi dan pemasaran yang selama ini dilakukan oleh pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon. Kondisi Internal Strengths (Kekuatan) Weakness (kelemahan) 1. Kebersamaan karena 1. Keterampilan yang tidak kekerabatan dalam kelompok. berkembang dan pendidikan yang 2. Pembagian upah yang belum rendah. pernah menimbulkan masalah. 2. Ketidakprofesionalan dalam 3. Ketaatan dan kepatuhan pada mengelola usaha kerajinan dari ketua kelompok. mulai produksi sampai pemasaran. 4. Pengetahuan pembuatan 3. Keterbatan modal dan mengakses anyaman secara turun temurun. bahan baku lain. 5. Tersedia tenaga kerja (80% 4. Kesulitan pemasaran. pengrajin usia produktif/usia 5. Pemasaran yang tidak tetap. kerja). 6. Daya dukung lahan yang berkurang 6. Lahan pertanian yang cocok untuk tanaman bahan baku anyaman. Kondisi Eksternal Opportunities (Kesempatan) 1. Dukungan dari tokoh masyarakat, pemerintah desa, dan instansi pemerintah daerah. 2. Adanya program pemerintah yang pernah menyentuh kelompok pengajin anyaman 3. Pasar desa, koperasi, dan bandar sebagai alternatif pemasaran yang juga sebagai salah satu kekuatan ekonomi lokal. 4. Kerjasama dengan pengrajin anyaman lain dalam mengembangkan usaha.
Threats (Ancaman) 1. Persaingan dalam pemasaran dengan produk yang sama hasil produksi dari daerah lain. 2. Akses terhadap informasi untuk pengembangan usaha yang terbatas. 3. Selera konsumen terhadap produksi anyaman yang berubah-ubah.
Hasil analisis matriks SWOT kemudian dikelompokan dalam diagram analisis matriks SWOT untuk melihat faktor-faktor mana saja yang dapat dijadikan sebagai pendukung untuk keberlanjutan usaha pengrajin anyaman. Diagram berikut menunjukkan faktor yang mendukung yang disimpulkan dari tabel matriks analisis SWOT.
100
Gambar 7.
Diagram Analisis SWOT Terhadap Kelembagaan Produksi dan Pemasaran yang Selama ini Dilakukan Pengrajin Anyaman Desa Sawah Kulon Berbagai Peluang
1. Keterampilan yang diperoleh turun temurun 2. Program pemerintah yang pernah ada sebagai awal dari dukungan pemerintah 3. Pasar desa, bandar, koperasi sebagai alternatif untuk mengatsi Kesulitan pemasaran 4. Kerjasama dengan kelompok lain dalam satu desa untuk mengatasi kekurangan modal dan bahan baku
1. Modal sosial yang ada pada masyarakat Desa Sawah Kulon dan pada kelompok pengrajin anyaman 2. Pengetahuan menganyam yang turun temurun 3. Daya dukung alam dan tenaga kerja 4. Program pemerintah yang pernah ada
Kelemahan Internal
Kekuatan Internal 1. Persaingan dalam pemasaran dan kesulitan memahami selera konsumen yang tidak ditunjang oleh profesionalisme dalam manajemen usaha anyaman 2. Daya dukung alam yang terbatas berpengaruh terhadap penyediaan bahan baku 3. Kelemahan dalam mengakses informasi permodalan yang menyulitkan perolehan modal 4. Daya dukung tenaga kerja yang memiliki keterampilan terbatas
1. Modal sosial sebagai kekuatan untuk mengatasi kesulitan persaingan dalam pemasaran 2. Daya dukung tenaga kerja dikembangkan untuk dapat mengolah daya dukung alam dan keprofesionalan dalam pengembangan usaha anyaman
Berbagai Ancaman
101
VII. STRATEGI PENGUATAN KELEMBAGAAN PRODUKSI DAN PEMASARAN 7. 1. Identifikasi Potensi dan Permasalahan Rancangan sebuah program untuk mengembangkan usaha kerajinan anyaman di Desa Sawah Kulon memfokuskan pada empat hal yang perlu mendapat
perhatian.
Pertama,
pengembangan
usaha
dapat
mengatasi
kemiskinan yang dialami anggota kelompok. Kedua, strategi pemberdayaan yang dilakukan disesuaikan dengan kemampuan para pengrajin anyaman. Ketiga, keberlanjutan
dari
program
yang
akan
dilaksanakan.
Keempat,
dapat
memberikan manfaat secara : ekonomi (meningkatkan pendapata kelompok pengrajin anyaman), sosial (adanya keberlanjutan usaha dan pengembangan jeringan serta mitra kerja), dan lingkungan (pelestarian lingkungan, karena bahan baku yang mengandalkan kekayaan alam). Program partisipatif yang disusun harus berbasis pada potensi yang dimiliki oleh pengrajin. Oleh karena itu diperlukan identifikasi kebutuhan dari para pengrajin anyaman. Usaha kerajinan anyaman yang diproduksi oleh 142 KK penduduk di Desa Sawah Kulon memang bukan merupakan produk uggulan bagi Kabupaten Purwakarta. Berbeda dengan usaha kerajian keramik dari tanah liat yang dilakukan oleh penduduk desa Sukatani (kawasan Plered) yang bisa menjadi produk unggulan bagi Kabupaten Purwakarta. Belajar dari keberhasilan industri keramik, maka pengrajin anyaman dapat maju dan berkembang dengan berbagai dukungan dari berbagai pihak. Selain faktor alam yang mendukung bagi tersedianya bahan baku, faktor manusia (skill) dan permodalan memegang peranan penting bagi perkembangan usaha ini. Berdasarkan tabel karakteristik anggota kelompok, usaha kerajinan anyaman yang dilakukan oleh semua anggota kelompok 52 persen adalah usaha sampingan sebagai mata pencaharian tambahan. Dari 52 persen tersebut adalah kepala keluarga yang bekerja sebagai buruh (pekerja kasar seperti : Buruh bangunan, buruh tani), pedagang warungan, dan pekerja serabutan (apa saja yang bisa dikerjakan asal mendapat upah). Wanita sebagai pekerja dalam pembuatan kerajinan anyaman ini mencapai 69 KK.
Angka tersebut
menunjukkan terdapat pekerjaan sampingan, dan mata pencaharian utama dimana. Terdapat 5 KK adalah wanita sebagai pencari nafkah utama (janda). Aktifitas usaha kerajinan anyaman memiliki permasalahan yang dapat dipecahkan melalui potensi yang dimilki oleh kelompok pengrajin maupun 102
lingkungan masyarakat sekitar. Berdasarkan potensi yang ada, maka untuk mengatasi permasalahan agar usaha kerajinan anyaman ini mengalami perkembangan, dirumuskan program untuk mengembangkan usaha kelompok pengrajin
anyaman
melalui
pengembangan
kelembagaan
produksi
dan
pemasaran. Karena permasalaha yang dihadapi kelompok pengrajin anyaman dimulai dari proses produksi (input) sampai pada pemasaran (output), maka pengkaji membagi dua program. Pertama, program penguatan kelembagaan produksi yang mencakup kegiatan untuk peningkatan keterampilan pengrajin, permodalan, penyediaan bahan baku, dan pendampingan untuk membantu proses produksi. Kedua, program penguatan kelembagaan pemasaran yang mencakup kegiatan promosi, kemitraan untuk pemasaran, dan pendampingan untuk membantu memperlancar proses pemasaran. Kedua program penguatan kelembagaan produksi dan pemasaran dilakukan melalui kelompok pengrajin anyaman dengan mempertimbangkan kekuatan sosial dan modal sosial yang telah ada pada kelompok maupun pada masyarakat Desa Sawah Kulon. Kelompok pengrajin anyaman yang telah ada merupakan modal sosial yang telah ada, dibantu dengan kekuatan soaial yang telah mengakar pada masyarakat Desa Sawah Kulon. Dari kelembagaan
tipe
kelembagaan
maka
produksi
rancangan
dan
program
pemasaran yang
akan
pada dibuat
analisis harus
mempertimbangkan pada :1) Keahlian dan keterampilan tenaga kerja, 2) Permodalan, 3) Pemasaran agar produk dapat dipasarkan secara luas, 4) Kemitraan dengan bandar, koperasi, dan pasar desa, dan 5) Pendampingan yang dapat mengatasi kesulitan pengrajin apabila pengrajin mendapat kesulitan. Hasil wawancara, FGD, dan observasi yang dilakukan
pada tingkat
kelompok pengrajin dengan menggunakan Methode Participatory Assessment (MPA), maka dapat diidentifikasi bahwa prioritas kebutuhan dan permasalahan yang muncul adalah sebagai berikut : 1. Kualitas pengrajin yang rendah Untuk menghasilkan produk kerajinan anyaman yang dapat bersaing di pasaran dan menarik konsumen, maka diperlukan hasil produksi yang dapat memiliki kualitas memadai. Produk anyaman yang dihasilkan harus lebih inovativ yang didukung oleh daya kreasi dan imajinasi yang tinggi. Pemikiran inovativ perlu ditunjang oleh pendidikan, tingkat keterampilan, dan penggunaan alat
103
teknologi.
Maka diperlukan sebuah kegiatan yang bertujuan meningkatkan
keterampilan para tenaga kerja pengrajin produksi anyaman. Peningkatan keterampilan dengan mengenal teknologi yang dapat membantu menghasilkan produk
kerajinan
meningkatkan
yang daya
dapat kreasi
bersaing yang
di
inovatif
pasaran. para
Pendidikan
pengrajin
untuk
anyaman,
keprofesionalan dalam menjalankan usaha, juga dalam penanaman pohon pandan (bahan baku) yang unggul. .Berdasarkan data identifikasi kelompok pengrajin dalam pemetaan sosial, diperoleh data 31 persen pengrajin berpendidikan rendah. Diantaranya tidak tamat SD 16 orang, tamat SD 82 orang, bahkan ada 1 0rang yang tidak pernah sekolah. Angka tersebut menunjukan bahwa tenaga kerja pengrajin anyaman tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang tinggi. Tabel 18. Tingkat Pendidikan Pengrajin Anyaman di desa Sawah Kulon pada Bulan Juli Tahun 2006 NO. Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa) % Belum sekolah 1. 0,007 1 Tidak sekolah 2. 0,113 16 Tidak tamat SD 3. 0,578 82 Tamat SD 4. 0,267 38 SLTP 5. 0,035 5 SLTA 6. Akademi/Sarjana muda 7. Sarjana 8. S2 9. Jumlah 142 100 2. Lemahnya permodalan untuk mengembangkan usaha dan terbatasnya bahan baku Untuk dapat memproduksi kerajinan dalam jumlah yang banyak dan fariasi jenis serta model, diperlukan modal dana. Penggunaan modal adalah untuk bahan baku yang baik, upah bagi tenaga kerja, membantu proses produksi dan pemasaran, yang dapat mengembangkan usaha kerajinan anyaman. Pengelolaan keuangan dalam usaha kerajinan anyaman ini belum berjalan dengan baik. Bantuan permodalan apapun apabila tidak dimanajemen dengan baik tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal. Apalagi jika keterlibatan investor dalam pengembangan usaha kerajinan sangat diperlukan manajeman bisnis yang standar (ada pembukuan/administrasi keuangan yang lengkap). Oleh karenanya diperlukan pelatihan dalam hal pengelolaan keuangan. Selama ini penggadaan bahan baku yang dilakukan oleh 8 kelompok hanya mengandalkan tanaman pandan yang tumbuh di dusun mereka. Berbeda 104
dengan 4 kelompok lainnya (Cihuni, Pasawahan, dan Sukahaji) yang sudah dapat menjangkau sumber bahan baku dari tempat lain di luar desa dan kecamatan. Keempat kelompok ini dapat menjangkau bahan baku karena pernah mendapat bantuan dari program pemerintah (UP2K dan PPK). Alasan 8 kelompok lainnya dalam lemahnya mengakses sumber bahan baku adalah kekurangan modal. Bahan baku yang pernah ditawarkan memiliki harga yang tinggi yang sulit dijangkau oleh mereka. Jika hanya mengandalkan bahan baku pohon pandan yang tumbuh disekitar dusun mereka. Maka tingkat produksi akan tetap atau menurun, karena tingkat kesuburan tanah yang berkurang yang menunjang tumbuh baik pohon pandan. Pada permasalahan bahan baku yang mengandalkan tanaman pohon pandan yang ada di sekitar Desa Sawah Kulon, untuk tetap dapat menghasilkan daun
yang
berkualitas
bagus,
diperlukan
informasi
cara
penanaman.
Keterlibvatan dinas pertanian dapat membantu komunitas pengrajin dalam menghasilkan daun pandan yang bagus. Manjaga agar kesuburan tanah tidak rusak karena penanaman yang terus menerus dengan jenis tanaman yang sama. 3. Pemasaran Pemasaran merupakan salah satu proses yang menentukan dalam kerajinan anyaman. Mendatangkan keuntungan atau tidak sangat tergantung pada pemasaran. Dalam pemasaran dilakukan cara bagaimana menjangkau konsumen, dan mengetahui apa keinginan konsumen terhadap produk ini. Dalam era ekonomi terbuka yang menunjang pasar bebas, kemitraan dalam pemasaran diperlukan dimana mitra kerja dapat mempromosikan produk anyaman pada konsumen atau mitra lainnya. Pemasaran yang dilakukan oleh bandar selama ini tidak menimbulkan kerugian bagi kedua belah pihak. Tetapi jika dilakukan secara profesional, keuntungan yang diperolah kedua belah pihak dapat melebihi seperti sekarang. Melakukan kemitraan dengan koperasi dan pasar desa dalam hal permodalan, bahan baku, dan pemasaran dapat dilakukan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, produksi anyaman selalu dipasarkan melalui pasar desa dengan menitipkan pada pedagang yang telah dikenal. Pemasaran melalui koperasi juga pernah dilakukan di koperasi kecamatan, kantor KUA, dan dinas pendidikan. Apabila keterlibatan dengan koperasi menjadi melembaga, hal ini dapat menjadi kekuatan ekonomi lokal yang dapat mengembangkan usaha mereka.
105
4. Keterlibatan stakeholders Keterlibatan pemerintah diperlukan untuk mendukung usaha yang dilakukan kelompok pengrajin anyaman. Pemerintah bertanggung jawab terhadap usaha yang dilakukan warganya dalam meningkatkan taraf hidup mereka. Demikian pula yang dilakukan oleh kelompok pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon perlu mendapat dukungan dari pemerintah. Keberpihakan pemerintah dapat berupa adanya program kegiatan dengan sasaran kelompok pengrajin anyaman. Bantuan permodalan melalui lembaga keuangan seperti koperasi. Dukungan dalam produksi berupa penyiapan bahan baku yang bagus, tenaga kerja yang terampil, pemasaran yang lancar, sehingga usaha ini dapat berkembang dan berkelanjutan. Kekuatan ekonomi lokal yang ada di Desa Sawah Kulon dapat dilibatkan dalam mengembangkan usaha kerajinan anyaman ini. Pasar desa, usaha ekonomi produktif, koperas merupakan potensi lokal yang dapat diandalkan untuk menunjang pengembangan usaha kerajinan anyaman. Adanya modal sosial dan kekuatan ekonomi loka jika disinergiskan dapat menjadi kekuatan untuk mengambangkan potensi kerajinan anyaman.
7.2. Analisis SWOT Identifikasi potensi dan permasalah dilakukan melalui FGD yang dilakukan bersama dengan para perwakilan kelompok pengrajin anyaman. Identifikasi dilakukan secara partisipasi aktif anggota FGD dengan menggunakan analisis SWOT (Strenght, Weakness. Opportunities, Threats) atas pendapat pengrajin terhadap usaha yang telah mereka lakukan selama ini. Terdapat 2 faktor dalam identifikasi potensi dan permasalahan. Faktor internal terdiri dari kekuatan (strengths) dan Kelemahan (weakness), faktor eksternal terdiri dari peluang (opportunities) dan ancaman (threats). Tabel berikut menyajikan matriks analisis SWOT terhadap identifikasi potensi dan permasalahan yang dilakukan melalui FGD dengan metoda Methode Participatory Assessment (MPA).
106
Tabel
a. b.
c. d. e.
19.
Matriks Analisis SWOT Terhadap Identifikasi Potensi dan Permasalahan yang Dihadapi Pengrajin Anyaman di Desa Sawah Kulon Kondisi Internal Strengths (Kekuatan) Weakness (kelemahan) Modal sosial : Kebersamaan, a. Keterampilan tidak berkembang gotong royong, kepercayaan. karena pendidikan yang rendah. Fleksibilitas waktu produksi dan b. Sistem kerja dan pengupahan pemasaran (tidak berdasar jam yang kurang memotifasi pengrajin kerja tapi ada target). untuk lebih berprsetasi . Keterampilan menganyam yang c. Keterbatasan modal. diperoleh secara turun temurun. d. Mencari dan mengolah bahan Daya dukung : Lahan, tenaga kerja, baku menjadi lebih baik. modal. e. Pemasaran yang tidak Usaha turun temurun yang telah berkembang dan terbatas. lama ditekuni pengrajin Kondisi Eksternal
Opportunities (Kesempatan) a. Adanya dukungan dari lingkungan masyarakat (tokoh masyarakat, pemerintah desa), dan memperluas dukungan dari instansi pemerintah daerah dan lembaga lainnya. b. Keberlanjutan program pemerintah yang pernah ada bagi kelompok yang pernah mendapat program bantuan, dan kemungkinan kelompok lainnya untuk memperoleh program bantuan lain. c. Pasar desa, koperasi di tingkat desa dan kecamatan, dan peran bandar sebagai alternatif pemasaran. d. Kerjasama dengan pengrajin lainmengembangkan usaha.
Threats (Ancaman) a. Persaingan dalam pemasaran dengan produk yang sama hasil produksi dari daerah lain. b. Akses terhadap informasi untuk pengembangan usaha yang terbatas. c. Kemampuan untuk membaca pasar yang lemah
Diagram analisis SWOT disusun pengkaji untuk dapat merumuskan faktor-faktor mana saja yang dapat dijadikan sebagai pendukung untuk keberlanjutan usaha pengrajin anyaman. Sedangkan untuk prioritas masalah dan kebutuhan yang telah dirumuskan melalui FGD, wawancara, pengamatan, dan MPA, dapat dilihat pada Tabel 20 analisis masalah serta gambar 9 tentang analisis pohon masalah.
107
Gambar 8.
Diagram Analisis SWOT Terhadap Identifikasi Potensi dan Permasalahan yang Dihadapi Pengrajin Anyaman di Desa Sawah Kulon Berbagai Peluang
1. Keterampilan yang diperoleh turun temurun dan kurang berkembang 2. Program pemerintah yang pernah ada sebagai awal dari dukungan pemerintah 3. Pasar desa, bandar, koperasi sebagai alternatif untuk mengatsi Kesulitan pemasaran 4. Kerjasama dengan kelompok lain dalam satu desa untuk mengatasi kekurangan modal dan bahan baku Intinya pada : Kualitas tenaga kerja pengrajin anyaman, dukungan stake holders, pemasaran, modal dan bahan baku.
1. Modal sosial yang ada pada masyarakat Desa Sawah Kulon dan pada kelompok pengrajin anyaman 2. Pengetahuan menganyam yang turun temurun 3. Daya dukung alam dan tenaga kerja 4. Program pemerintah yang pernah ada ditunjang oleh usaha pengrajin anyaman yang telah mengakar Intinya pada : kualitas tenaga kerja pengrajin anyaman, modal dan bahan baku, dan keterlibatan stakeholders.
Kelemahan Internal
Kekuatan Internal 1. Modal sosial sebagai 1. Persaingan dalam kekuatan untuk mengatasi pemasaran dan kesulitan kesulitan persaingan dalam memahami selera pemasaran konsumen yang tidak 2. Daya dukung tenaga kerja ditunjang oleh dikembangkan untuk dapat profesionalisme dalam mengolah daya dukung manajemen usaha alam dan keprofesionalan anyaman dalam pengembangan 2. Daya dukung alam yang usaha anyaman terbatas berpengaruh Intinya pada : Pemasaran, terhadap penyediaan modal dan bahan baku, kualitas bahan baku tega kerja pengrajin 3. Kelemahan dalam mengakses informasi permodalan yang menyulitkan perolehan modal 4. Daya dukung tenaga kerja yang memiliki keterampilan terbatas Intinya pada : Pemasaran, modal dan bahan baku, kualitas tenaga kerja pengrajin Berbagai Ancaman 108
109
110
7. 3. Strategi Penguatan Kelembagaan Produksi dan Pemasaran Pengrajin Anyaman Kelembagaan produksi dan pemasaran anyaman ini merupakan sebuah aturan, norma, nilai, dan pola-pola hubungan interaksi baik yang terjadi secara horizontal maupun vertikal. Hubungan interaksi horizontal terjadi di dalam kelompok sesama pengrajin anyaman, sedangkan hubungan interaski yang vertikal terjadi antara pengrajin anyaman dengan stakehlders yang terlibat dalam pengembangan pengrajin anyaman. Penguatan kelembagaan produksi dan pemasaran anyaman pada pengrajin anyaman ini dilakukan ketika pola hubungan yang bersifat horizontal dan vertikal berlangsung. Artinya semua aturan, norma, nilai, dan hubungan yang terjadi baik dalam kelompok pengrajin maupun dengan pihak luar adalah untuk memperkuat proses produksi dan pemasaran anyaman yang kedepannya dapat memberikan nilai ekonomi yang berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi pengrajin anyaman. Berdasarkan hasil analisis SWOT yang dilakukan dalam FGD antara pengkaji dengan pengrajin dan pihak yang terlibat lainnya akan dijadikan pedoman untuk membuat rancangan program pengembangan kelembagaan produksi dan anyaman. Adapun strategi yang digunakan adalah dengan : Pertama Strategi S-O (Strengths-Opportunities), artinya penyusunan rancangan program
dengan
melihat
kekuatan
dan
kesempatan
yang
pada
pada
kelembagaan produksi dan pemasaran yang selama ini dilakukan, serta pada potensi dan permasalahan. Kedua dengan melakukan Strategi W-T (WeaknessThreats), artinya penyusunan rancangan program dengan melihat kelemahan dan ancaman yang selama ini dijumpai pengrajin untuk dapat dieliminer sekecil mungkin. Maka langkah program pengembangan kelembagaan produksi dan pemasaran anyaman menitikberatkan pada : a. Adanya jumlah pengrajin anyaman yang banyak dengan keterampilan yang terbatas, namun dukungan dari pemerintah yang pernah ada dengan programnya
menjadi
peluang
untuk
dapat
mengambangkan
potensi
pengrajin. b. Dukungan stakeholders, potensi desa, masyarakat desa lainnya, dapat dijadikan modal untuk mendapatkan tanaman bahan baku, bantuan permodalan, dan perluasan pemasaran.
111
c. Melakukan kemitraan dengan potensi ekonomi lokal (koperasi. pasar desa, dan bandar) untuk mengembangkan usaha baik dalam bahan baku, permodalan, dan pemasaran. d. Perluasan cara pemasaran untuk lebih mengenalkan produk anyaman kepada khalayak umum sehingga diperlukan promosi atau ruang promosi bagi anyaman yang dapat menjangkau konsumen dari berbagai lapisan. e. Kelemahan dalam produksi dan pemasaran menjadikan ancaman dalam memasarkan hasil anyaman yang kalah bersaing dengan produk lain yang sejenis, sehingga diperlukan pendampingan dalam setiap tahapan yang akan membantu pengrajin apabila menghadapi permasalahan dalam setiap tahapan produksi dan pemasaran. f.
Dukungan pemerintah tetap diperlukan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas setiap kesejahteraan warganya, maka kebijakan pemerintah diharapkan dapat berpihak pada pengrajin.
g. Keterlibatan pihak swasta maupun LSM juga diperlukan untuk advocacy terhadap pemerintah dan memperluas jangkauan produksi dan pemasaran dari anyaman. Rencana program pada pengembangan kelembagaan produksi dan pemasaran diharapkan untuk dapat memperkuat posisi tawar menawar (bargaining position) pengrajin. Adapun strategi yang dilakukan dengan mempertimbangkan 4P, yaitu Product (produk), Price (Harga), Promotion (Promosi), dan Place (Tempat/Distribusi). 1. Merencanakan tentang produk Berbagai jenis anyaman adalah produk yang ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Jenis anyaman apakah yang paling banyak peminatnya. Merencanakan produk meliputi : keanekaragaman jenis anyaman (tikar, topi, sandal, dompet), model yang menarik, pelabelan, dan penampilan anyaman. 2. Merencanakan tentang harga Harga merupakan sejumlah uang yang harus dibayarkan oleh konsumen untuk mendapatkan produk. Dalam menentukan harga anyaman, beberapa hal harus diperhatikan : daya beli konsumen tetap, permintaan terhadap anyaman selama ini, adanya pesaing dari anyaman lain, dan pengawasan terhadap harga yang berlangsung selama ini.
112
3. Merencanakan tentang promosi Lebih jauh promosi diharapkan bisa menjangkau periklanan, namun langkah yang sederhana adalah dengan mengikuti berbegai event pameran yang diadakan baik oleh pemerintah maupun swasta. 4. Merencanakan tentang tempat/distribusi Tempat atau distribusi anyaman secara luas merupakan serangkaian kegiatan yang saling bergantungan dari pemasaran anyaman ini. Tujuannya adalah untuk membuat kemudahan dan kenyamanan baik bagi pengrajin maupun konsumen dalam menyalurkan dan memperoleh anyaman. Dengan demikian arah rancangan program yang diangkat harus berdasarkan skala prioritas dan kebutuhan kelompok pengrajin. Pengkaji mengarahkan bahwa rencana program yang dibuat dengan melihat pada analisis SWOT yang telah disepakati bersama. Maka rencana program berusaha mencari kegiatan yang dianggap dapat mengatasi permasalahan dengan merujuk pada strategi analisis SWOT dan strategi lain yang mendukung. Secara umum hasil FGD menyimpulkan bahwa upaya mengembangkan kelembagaan produksi dan pemasaran pengrajin anyaman harus berangkat dari diri pengrajin. Kekuatan sosial dan modal sosial yang ada pada kelompok pengrajin dapat dijadikan kekuatan untuk mengembangkan kelembagaan produksi dan pemasaran kerajian anyaman. Berdasarkan hasil analisis SWOT, wawancara, FGD, observasi, identifikasi potensi dan masalah, dipadukan strategi S-O (Strenghts-Opportunities) dan W-T (Weakness-Threats) maka rancangan program
pengembangan
disusun
menurut
prioritas
kebutuhan
dan
permasalahan yang muncul, yaitu : A. Peningkatan kualitas tenaga kerja pengrajin Pada pelaksanaan FGD di tingkat kelompok pengrajin anyaman, muncul pendapat bahwa keberhasilan adalam mengembangkan usaha sangat bertumpu pada kemampuan individu dan kelompok pengrajin anyaman. Kemampuan dalam menjalankan proses produksi dan pemasaran yang didukung oleh faktor internal dan eksternal setiap individu dalam kelompok. Dari hasil diskusi, muncul keinginan dari setiap anggota kelompok untuk dapat meningkatkan kualitas individu, yaitu dengan : 1. Pelatihan membuat tikar anyaman agar hasil produksi sesuai dengan strandarisasi, penggunaan teknologi agar hasil produksi berkualitas baik.
113
Pelatihan ini untuk memperkuat atau lebih meningkatkan keterampilan yang telah miliki secara turun temurun. 2. Memberikan pengetahuan untuk dapat mengakses sumber daya yang ada pada instansi pemerintah maupun lembagak ekonomi lainnya. Juga untuk dapat melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga tersebur. 3. Memahami pasar, sehingga tahu keinginan konsumen dan trend yang sedang digemari. 4. Melakukan latihan pengelaolaan usaha ekonomi lokal secara profesional melalui administrasi dan pembukuan yang lengkap. 5. Pengelolaan lahan pertanian agar kesuburan tanah tidak rusak ketika penanaman terus menerus dari pohon pandan. Kegiatan peningkatan kualitas tenaga kerja pengrajin anyaman tersebut diharapkan meningkatkan potensi dan kemampuan yang telah dimiliki oleh individu pengrajin. Karena individu pengrajin terdiri dari laki-laki dan perempuan baik yang memiliki pekerjaan lain maupun tidak, maka kegiatan peningkatan kualitas tenaga kerja harus memperhatikan waktu dan kesediaan anggota kelompok.
Untuk
mengatsi
keterbatasan
waktu
dan
kesibukann
dalam
pekerjaanlain perlu dilakukan (1) Pelatihan dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil,
(2)
Penggunaan
media
penyampai
yang
mudah
dipahami,
(3)
Meningkatkan kemampuan yang telah dimiliki, dan (4) Memahami keterbatasan yang ada pada pengrajin. B. Bantuan permodalan Kesulitan dalam mengakses lembaga keuangan yang dialami kelompok pengrajin adalah karena persyaratan yang tidak bisa dipenuhi oleh pengrajin. Selama ini permodalan yang dilakukan dengan meminjam kepada anggota kelompok. Bantuan permodalan lebih menekankan kepada peranan instansi pemerintah dalam memberikan dukungan dana bagi kelompok pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon. Apabila kelompok pengrajin dapat menjangkau lembaga keuangan selain bantuan dari pemerintah, maka kekhawatiran pengrajin bisa terjadi. Macet dalam pengembalian pinjaman kepada lembaga keuangan adalah kekhawatiran pengrajin. Harapan kelompok pengrajin kepada pemerintah dalam bantuan permodalan dengan keyakinan adanya flesibilitas dalam proses pengembalian. Adapun kegiatan yang dapat dilakukan dalam bantuan permodalan adalah :
114
1. Bantuan permodalan melalui program yang masuk ke desa pengrajin anyaman. 2. Bantuan permodalan diprioritaskan untuk pengembangan usaha dalam hal bahan baku, bantuan upah, dan biaya pemasaran. C. Work Shop Work shop merupakan bagian dari promosi untuk memasarkan kerajinan anyaman hasil produksi Desa Sawah Kulon. Keberadaan work shop pada tingkat kabupaten dan kecamatan dengan pertimbangan : 1) Pada tingkat Kabupaten work shop dapat mengakomodir seluruh produksi kerajinan yang dihasilkan oleh penduduk Kabupaten Purwakata. Tidak hanya kerajinan anyaman dari Desa Sawah Kulon, tetapi dari seluruh wilayah Purwakarta. 2) Pada tingkat Kecamatan work shop dapat menampilkan hasil produksi pada tingkat kecamatan. Berasarkan hasil FGD antara dinas instansi (Koperasi dan UKM, Perindag, Pertanian, dan Sosial dan PM), aparat Desa dan Kecamatan, dengan kelompok pengrajin anhaman, work shop adalah kegiatan yang dipandang sebagai wujud tanggung jawab pemerintah daerah dalam mempromosikan hasil produksi kerajinan penduduk kabupaten Purwakarta. Seperti penuturan Drs. H. Dadang
Rhomdoni
selaku
Kabag
TU
pada
Dinas
Perindustrian
dan
Perdagangan. Ide work shop dapat dipahami sebagai bagian dari promosi bagi produk asli Kabupaten Purwakarta untuk dapat menjangkau pasar yang lebih luas. Tetapi ide ini harus didukung oleh kualitas hasil produksi yang memadai, permodalan yang kuat, kontinuitas produk, yang tentunya berhubungan dengan tenaga kerja, bahan baku, dan yang lainnya. Oke work shop menjadi tanggung jawab kami sebagai leadingsector, tetapi instansi lainnya seperti Koperasi dan UKM, Pertanian, Sosial dan PM, harus bisa memperkuat terciptanya sebuah produk yang dapat diungulkan yang competitive dan comparative. Dalam jangka waktu dekat, mungkin tahun 2007, akan diusahan program work shop akan kami ajukan sebagai kegiatan aspiratif bottom-up dari pebgrajin anyaman di Desa Sawah Kulon. Tong PU jeung Binamarga wae nu boga work shop teh nya? Urang ge bisa gagah saeutik (Jangan PU dan Binamarga saja yang punya work shop ya? Kita juga bisa sedikit gagah). Ungkapan tersebut didukung oleh Dra. Heni Herlina sebagai kepala Dinas Koperasi dan UKM pada kesempatan lain ketika dikunjungi oleh pengkaji. Boleh juga ide work shop bagi para pengrajin kecil di Kabupaten Purwakarta. Selama ini kan promosi dilakukan kalau ada pameran saja, dan itu paling setahun hanya satu dua kali. Dinas Koprasi mungkin dapat membantu pada segi permodalan untuk usaha kecil
115
menengah, dan membengun kemitran dengan koperasi lain yang lebih besar untuk membantu pemasaran. Pada dasarnya kegiatan work shop adalah untuk promosi dan pemasaran produksi kerajinan. Secara umum kegiatan yang dilakukan dalam work shop adalah : 1. Memperkenalkan dan mempromosikan produk kerajinan anyaman yang ada di Desa Sawah Kulon, baik pada tingkat kabupaten maupun propinsi. 2. Melakukan atau mengikuti kegiatan pameran yang diselenggrakan pada berbagai tingkatan. 3. Berkoordinasi dengan koperasi melakukan pemasaran yang lebih luas tidak terbatas pada kabupaten Purwakarta saja. D. Kemitraan (koperasi, pasar desa) Menurut Soemarjan (1997) dalam Agribisnis Kemitraan Usaha Bersama (2002), kemitraan usaha adalah kerjasama antara dua pihak dengan hak dan kewajiban yang setara dan saling menguntungkan. Kemitraan yang dilakukan dalam pengembangan kelembagaan pemasaran kerajinan anyaman adalah antara kelompok pengrajin anyaman dengan koperasi dan pasar desa. Pada kegiatan pengembangan kelembagaan pemasaran kerajinan anyaman ini posisi kelompok pengrajin dengan koperasi dan pasar desa adalah sama. Posisi tawar menawar dan (bargaining position) adalah sama. Kemitraan partisipatif menjadi sebuah kebutuhan diperlukan kesadran semual pelaku dalam kemitraan untuk saling berbagi kelebihan dan menutupi kekurangan dalam konteks pemasaran. Hal ini sangat tepat untuk diterapkan pada pola hubungan yang terjadi pada kelompok pengrajin anyaman. Kemitraan partisipati menurut Js. Herman dan Eriyanto (2001) lebih menekankan pada bentuk hubungan bisnis yang masing-masing pelakunya memiliki komitment tinggi untuk membangun kondisi perekonomian masyarakat yang berbasis pada kepedulian untuk membantu sesama pelaku ekonomi guna mencapai derajat ekonomi yang lebih baik. Ekonomi kerakyatan menurut pendapat Sumodiningrat (1998) lebih kepada system
perekonomian
yang
mendukung/berpihak
kepada
rakyat.
Pada
dasasrnya tujuan utama dari kemitraan partisipatif dan ekonomi kerakyatan adalah
keuntungan
dari
sistem
perekonomian
yang
berjalan
akan
menguntungkan rakyat kecil.
116
Koperasi mitra sejahtera adalah koperasi bagi PNS yang ada di lngkungan pemerintah daerah Kabupaten Purwakarta. Sebagai wujud kepedulian kepada masyarakat Desa Sawah Kulon, maka koperasi ini akan bermitra dengan kelompok pengrajin anyaman dalam memasarkan produk kerajinan anyaman. Dari hasil FGD yang dilakukan, ketua koperasi mitra sejahtera, Drs. H. Endang Koeswara, Msi, menuturkan bahwa : Potensi kerajinan anyaman ini perlu dikembangkan. Koperasi ini akan membantu memasarkan hasil produksi kepada pegawai di lingkungan pemerintah daerah sebagai wujud kepedulian dan tanggung jawab untuk mengembangkan kekayaan lokal. Siapa tau nantinya bisa mendatangkan PAD jika berkembang dengan pesat. Cara pemasaran bisa bekerja sama dengan work shop nantinya. Kira-kira kerajinan berbentuk apa yang dapat diberikan pada PNS pemda pada waktu hari lebaran, ulang tahun kabupaten, ulang tahun kemerdekaan, cinderamata untuk tamu luar, dan lain-lain yang dapat merangsang para pengrajin untuk terus berproduksi yang diiringi dengan perbaikan kualitas. Di Purwakarta ini desa yang memiliki potensi kerajinan anyaman tidak hanya di Sawah kulon Pasawahan saja, tetapi di Kecamatan lain pun masih ada, jadi potensial untuk dikembangkan. Apalagi jika para kelompok oengrajin ini dapat bekerjasama dengan mereka, tentunya dibantu dinas Indag dan koperasi. Tujuan dari kemitraan dengan koperasi dan pasar desa dalam pengembangan kelembagaan pemasaran adalah agar setiap hasil produksi kerajina anyaman ada tempat untuk mamasarkan yang mudah dijangkau oleh konsumen. Selain itu agar tidak terjadi penumpukan hasil produksi, maka perputaran hasil produksi dapat berjalan dengan cepat. Poole (2000) dalam Sukoco (2006) menyatakan prinsip yang dibutuhkan dalam kemitraan terutama kemitraan dalam masyarakat (six action principles in the community partnerships models), antara lain : 1. Membangun agenda masyarakat : pihak-pihak yang akan diajak bermitra 2. Menetapkan srutktur kemitraan masyarakat : untuk mengimplementasikan agenda kerja masyarakat 3. Menganalisis : efektif atau tidak, menguntungkan atau merugikan 4. Pemilikan masyarakat : Memberi informasi kepada pihak yang bermitra sehingga ada kepemilikan terhadap program 5. Teknologi : Untuk keragaan usaha diperlukan penggunaan teknologi 6. Pengayoman : Perlunya komitmen, dukungan, evaluasi dalam kemitraan. Adapun kegiatan yang dapat dilakukan dalam kemitraan dengan koperasi maupun pasar desa adalah : 117
1. Koperasi dan pasar desa dapat membantu dalam pemasaran hasil produksi. 2. Bantuan permodalan dan penyediaan bahan baku dapat dilakukan melalui koperasi. 3. Membantu melakukan promosi melalui pameran-pameran pada berbagai tingkatan agar mengikutsertakan produk anyaman ini. Keberadaan pasar desa sebagai potensi desa diharapkan dapat menjadi akses bagi masyarakat lokal untuk menjual hasil produksi home industry maupun hasil bumi/pertanian, termasuk bagi kelompok pengrajin anyaman. Selain itu diharapkan keberadaan pasar desa dapat menciptakan lapangan kerja sektor informal untuk mengurangi tingkat pengangguran pada masyarakat lokal. E. Pendampingan Dalam proses produksi dan pemasaran yang dilakukan oleh kelompok pengrajin anyaman, diperlukan orang luar yang dapat membantu mereka untuk dapat mengembangkan usaha kerajinan anyaman. Pengkaji menganjurkan adanya pendampingan yang akan mendampingi para kelompok pengrajin dalam menjalankan usahanya. Pendamping akan membantu para pengrajin dalam menghadapi
kesulitan
selama
proses
produksi
dan
pemasaran.
Pada
pelaksanaannya pendamping dapat berperan sebagai mediator, fasilitator, bagi kelompok pengrajin anyaman.
Pendampingan ini dapat berperan dalam
penguatan kelompok pengrajin anyaman. Pembentukan kelompok sehingga pembagian kerja dapat terorganisir untuk menunjang pengembangan usaha kerajinan anyaman. Pembangunan berbasiskan masyarakat sangat memeerlukan adanya kehadiran orang atau kelompok yang mampu menekan berbagai sumber dan potensi masyarakat, yang dimaksud oleh pakar pembanguan adalah pendamping masyarakat. Pendampingan merupakan suatu adopsi dari konsep LSM dalam melakukan pemberdayaan masyarakat yang belum pernah tersentuh oleh program pembangunan. Kartjono (2000) berpendapat pendampingan masyarakat adalah suatu strategi pengembangan (cara untuk mencapai tujuan) dimana hubungan antara pendamping dengan yang didampingi adalah hubunganb dialogis (saling belajar)
diantara dua subjek. Ife (1995) pakar pembangtuan
masyarakat, juga mengedepankan peran pendamping dalam memberdayakan masyarakat, seperti dikemukakan : Community work trends to be about doing a lot of things at once, and in any single actifity or project a community worker is a likely to be feeling several of these roles, and will move between one and another all the time. (Ife, 1995: h. 202) 118
(Proses pendampingan masyarakat cenderung mengandung arti melakukan banyak hal dalam satu waktu, dan dalam setian aktifitas atau proyek, seorang pendamping kemungkinan dituntut untuk mengisi beberapa dari peran-peran tersebut, dan sepanjang waktu akan berpindah dari satu peran ke mperan yang lainnya) Pendampingan yang dapat dilakukan dalam mendampingi kelompok pengrajin anyaman meliputi peran : 1. Fasilitator Pendampingan pada kelompok pengrajin anyaman memiliki tanggung jawab untuk membantu pengrajin menjadi mampu menangani berbagai tekanan dalam usaha mengembangkan usaha kerajinan anyaman. Setiap perubahan ke arah perkembangan yang terjadi dikarenakan adanya usaha dari kelompok pengrajin sendiri. Pendampingan tidak
hanya memfasilitasi, tetapi mampu
memungkinkan pengrajin anyaman untuk dapat melakukan perubahan yang telah disepakati bersama. 2. Broker Peran sebagai broker mencakup menghubungkan komunitas pengrajin anyaman dengan akses sumber daya yang dapat mengembangkan usaha mereka. 3. Mediator Peran mediator diperlukan pada kelompok pengrajin terutama pada saat terjadi perbedaan yang mencolok yang mengarah peda terjadinya konflik. Artinya pendamping dapat melakukan fungsi untuk menjembatani antara anggota kelompok pengrajin dengan sistem lingkungan yang menghambat bagi pengembangan
usaha
anyaman.
Mediator
dapat
melakukan
negosiasi,
pendamaian, resolusi konflik. Dalam mediasi upaya yang dilakuakn adalah solusi menang menang (win win solution). 4. Pembela Pembelaan atau advokasi lebih menekankan pada hal yang bersentuhan dengan kebijakan dan politik. Dalam mengembangkan usaha kelompok pengrajin anyaman, seorang pendamping dapat mempengaruhi sebuah kebijakan pemerintah agar berpihak kepada kepentingan kelompok pengrajin anyaman. 5. Pelindung Tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh seorang pendamping adalah untuk kepentingan pengrajin anyaman. Sehingga karena adanya tanggung jawab terhadap komunitas, maka harus didukung oleh hukum.
119
Kegiatan pendampingan telah dilakukan oleh Dinas yang mengikuti FGD, yaitu Dinas Koperasi dan UKM, dan Dinas Sosial dan PM. Pada Dinas koperasi, pendamping di tingkat kecamatan memiliki tanggung jawab untuk mendampingi kegiatan koperasi pada tingkat desa. Sedangkan pada Dinas Sosial dan PM, pendamping
ada
pada
kegiatan
PPK.
Pendampingan
untuk
kegiatan
pengembangan usaha kerajinan anyaman ini menitik beratkan pada tugas untuk mendampingi para kelompok pengrajin anyaman pada setiap proses produksi dan distribusi pemasaran. Untuk menghemat tenaga, waktu dan materi, maka pendamipingan bagi kelompok pengrajin anyaman dapat dilakukan oleh petugas pendamping yang telah ada. Pendamping dalam pemasaran merupakan salah satu orang yang memiliki tanggung jawab untuk mencari sentra-sentra pemasaran bagi produksi hasil anyaman. Pada pelaksanaannya pendamping dapat berperan sebagai mediator, fasilitator, bagi kelompok pengrajin anyaman. Pendampingan ini dapat berperan dalam penguatan kelompok pengrajin anyaman. Pembentukan kelompok sehingga pembagian kerja dapat terorganisir untuk menunjang pengembangan usaha kerajinan anyaman. Tugas pendamping atau kegiatan pendampingan adalah : 1. Membantu penguatan pada kelompok agar tetap berusaha dengan kelompok. 2. Mendampingi proses produksi dari penyediaan bahan baku, tenaga kerja, menjangkau akses permodalan, dan melakukan kemitraan dengan lembaga ekonomi lokal dan yang lainnya. 3. Membantu dan mendampingi proses pemasaran baik melalui bandar, koperasi, atau pasar desa. 4. Mendamping proses promosi baik melalui work shop atau promosi dalam bentuk lain seperti pameran. 5. Membantu dan mendampingi pengrajin dalam pengolahan untuk penanaman bahan baku yang baik. Pada Tabel 21 kerangka kerja logis dapat dilihat secara terperinci tentang rancangan penyusunan program pengembangan kelembagaan produksi dan pemasaran. Dengan memperhatikan permasalhan yang dirasakan oleh setiap kelompok pengrajin anyaman, maka
disusun tartegi untuk mengatasi
permasalahan tersebut. Dari strategi dibuatlah program yang berlanjut pada berbagai kegiatan untuk mendukung sebuah program.
120
121
Pengembangan kelembagaan produksi dan pemasaran bertumpu pada pengembangan kapasitas kelembagaan tersebut untuk mencapai tujuan penguatan kelembagaan produksi dan pemasaran. Kapasitas kelembagaan produksi dan pemasaran pada pengrajin anyaman dapat dilihat dari 5 aspek (Syahyuti, 2003), yaitu : 1. Strategi kepemimpinan (strategic leadership). Memahami pola kepemimpinan yang selama ini dilakukan oleh kelompok pengrajin anyaman. 2. Perencanaan program (Program planning). Bagaimana proses perencanaan yang dijalankan dalam manajemen produksi dan pemasaran pada kelompok pengrajin anyaman. Hal ini dapat dilihat dari mulai penanaman bahan baku, penggunaan lahan, sampai pada bagaimana produk anyaman ini sampai pada konsumen. 3. Manajemen dan pelaksanaan (management and execution). Bagaimana pengaturann dan pengelolaan usaha yang selama ini dilakukan. Berdasar pada konsep bisnis atau kekeluargaan. Selama melakukan proses produksi dan pemasaran pertimbangan seperti apa yang diterapkan. 4. Alokasi sumber daya (resource allocation). Bagaimana penyediaan dan penyebaran sumber daya yang dimiliki oleh baik oleh anggota maupun kelompok pada setiap kelompok pengrajin. 5. Hubungan dengan pihak luar, artinya pihak mana saja yang telah terlibat pengembangan usaha kerajinan anyaman ini. Strategi pengembangan usaha kelompok pengrajin anyaman diperlukan agar dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi kelompok pengrajin anyaman. Kinerja dari strategi pengembangan kelembagaan produksi dan pemasaran
yang disusun adalah dengan memperhatikan 3 aspek (Syahyuti,
2003) : 1. Efektifitas : Keefektifitasan kelembagaan dalam mencapai tujuan. Hal ini berhubungan dengan pola kepemimpinan dan manajemen dalam setiap proses produksi dan pemasaran kerajinan anyaman. 2. Efisiensi : Dalam penggunaan sumber daya alam agar tidak habis dengan tetap menjaga kesuburan tanan agar dapat menghasilkan bahan baku yang konstan, atau jika mengalami pengurangan pun tidak terlalu sugnificant. Keefisiensienan ini dengan memperhatikan faktor alam atau lingkungan, todak mencemari dan merusak lingkungan.
122
3. Keberlanjutan : Untuk mencapai keberlanjutan usaha kerajinan anyaman ini, maka harus diperhatikan bahwa : a. Kebutuhan pengembangan kerajinan anyaman ini dirasakan oleh seluruh kelompok pengrajin, b. Kegiatan pembuatan kerajinan anyaman ini merupakan kegiatan yang sudah mengakar pada komunitas, dan c. Adanya dukungan seperti tenaga kerja, keterampilan, dan sumbae alam. Rancangan program yang disusun adalah untuk mengembangkan kelembagaan produksi dan pemasaran yang telah dilakukan oleh kelmpok pengrajin anyaman. Entry point program tersebut adalah melalui kelompok pengrajin, jadi ada aspek memberdayakan kelompok pengrajin. Hal tersebut sesuai dengan asas dalam pengembangan masyarakat yang salah satunya adalah pemberdayaan. Dalam merangrang keberdayaan kelompok pengrajin anyaman diperluikan strategi yang dapat menyelesaikan permasalahan pada kelompok
pengrajin
anyaman.
Strategi
yang
akan
dilakukan
dalam
memberdayakan kelompok pengrajin anyaman ini adalah : 1. Keberpihakan. Upaya pengembangan kelembagaan yang akan dilakukan harus terarah, dan
ditujukan
kepada
yang
memerlukan,
dirancang
unutk
mengatasi
permasalahan, dan sesuai dengan kebutuhan. Artinya semua usaha yang dilkukan mencerminkan keberpihakan pada kepentingan dan kebutuhan kelompok pengrajin anyaman. 2. Partisipasi Program yang ditujukan untuk mengembangkan usaha kelompok pengrajin anyaman ini harus mengikutsertakan kelompok tersebut. Sebanyak mungkin anggota kelompok dari setiap kelompok pengrajin dilibatkan dalam penyusunan maupun pelaksanaan program untuk pengembangan usaha pengrajin ini. 3. Kelompok Pendekatan yang paling efektif adalah dengan pendekatan kelompok. Melalui 12 kelompok pengrajin yang sudah ada setiap informasi dapat menyebar diantara anggota kelompok. 4. Sesuai dengan potensi lokal Agar program dapat didukung oleh seluruh komunitas dan seluruh anggota kelompok pengrajin, maka disesuaikan dengan potensi dan sumber daya yang tersedia di lingkungan komunitas. Dengan telah tersedianya dukungan
123
sumber daya dan potensi yang dimiliki, diharapkan proses pengembangan dapat mudah dilakukan. 5. Keterpaduan Artinya program pengembangan masyarakat dilakukan secara sinergis baik antara unit instansi maupun lintas sektoral dan lintas pelaku antar lembaga pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. 6. Keberlanjutan Pengembangan masyarakat yang dilakukan berkesinambungan secara terus menerus, tidak sesaat. Oleh karena itu, program pengembangan yang dilakukan harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan komunitas dan mengakar pada komunitas. Usaha kerajinan anyaman merupakan kekuatan ekonom lokal, maka dalam pengembangan usaha ekonoli lokal tersebut diperlukan dukungan dari komponen lembaga lainnya. Haeruman Js dan Eyiranto dalam Kemitraan Dalam Ekonomi
Lokal
mengemukakan
4
lembaga
yang
dapat
mendukung
berkembangnya sebuah usaha ekonomi lokal, yaitu lembaga usaha produksi, lembaga disribusi, lembaga pembiayaan usaha/keuangan, dan lembaga keswadayaan masyarakat. Dalam kaitannya dengan usaha kerajian anyaman dalam kajian ini, maka dukungan dari 4 lembaga tersebut dapat dilakukan dengan cara berikut : 1. Lembaga Usaha Produksi Lembaga Usaha produksi didukung oleh parameter teknologi, bahan baku, dan sumber daya manusia.
Teknologi yang digunakan dalam proses
produksi kerajinan anyaman dapat membantu mempercepat proses produksi. Pada sisi lain dapat mengurangi jumlah tenaga kerja produksi tetapi dapat diserap pada tahapan lain jika produksi dapat melebihi seperti biasa. Seperti pengepakan,
pemberian
label/merk,
pengecatan,
dan
lain-lain.
Untuk
mendapatkan bahan baku yang berkualitas baik perlu mendapat dukungan dari segala sektor, menjaga kesuburan tanah, pencegahan dari hama tanaman, tenaga kerja yang terampil atau menjangkau akses dimana bahan baku yang berkualitas baik tersedia. Faktor sumber daya menusia menjadi sangat penting karena manusia (dalam hal ini pengrajin) adalah pelaku utama dalam proses produks, tanpa manusia semua proses tidak akan ada yang melakukan.
124
2. Lembaga Distribusi/Pemasaran Keberlanjutan kelembagaan produksi adalah dengan kelembagaan pemasaran, dimana hasil produksi ada yang memerlukan atau menggunakan melaui jalur pemasaran. Infrastruktur dan sarana pemasaran sebagai media/alat yang membantu terjadinya sebuah pemasaran. Untuk lebih berkembang usaha sampai melewati batas sektoral, maka kemitraan diperlukan sebagai pendukung dari mekanisme produksi maupun pemasaran. 3. Lembaga Pembiayaan Usaha/Keuangan Akses terhadap lembaga keuangan yang sangat mungkin dapat dimanfaatkan oleh kelompok pengrajin anyaman berupa lembaga perbankan, kredit, lembaga keswadayaan masyarakat, dan lembaga kemitraan. Lembaga keuangan tersebut akan dapat dimanfaatkan oleh kelompok pengrajin anyaman apabila mendapat dukungan dari pemerintah dengan kebijakan yang berpihak pada kelompok pengrajin dalam mengakses lembaga keuangan tersebut. 4. Lembaga Keswadayaan Dalam lembaga keswadayaan dituntut adanya peran serta masyarakat di luar komunitas kelompok pengrajin anyaman. Sebagai satu kekuatan ekonomi lokal yang dapat mengembangkan tidak hanya kelompok pengrajin anyaman, tetapi seluruh masyarakat di sekitar pengrajin.
125
VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
8. 1. Kesimpulan Potensi dan sumber daya yang dimiliki oleh masayarakat pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon Kecamatan Pasawahan berawal dari keterampilan turun temurun yang dikembangkan oleh kelompok pengrajin anyaman
sebagai mata pencaharian. Tenaga kerja yang tersedia karena
keterampilan turun temurun, bahan baku yang diperoleh dari wilayah sendiri, pemasaran
melalui
pasar
desa,
sistem
upah
yang
masih
tradisional
mengandalkan nilai kekeluargaan, dan lain-lain yang menjadi faktor pendukung masih tetap berjalannya usaha anyaman ini. Faktor penghambat pun merintangi usaha kerajinan ini, seperti keterampilan dan pengetahuan yang rendah dari tenaga kerja, modal finansial yang kurang untuk mendukung berkembangnya usaha ini, terbatasnya bahan baku, pemasaran yang kuyrang menguntungkan, dan masih banyak lagi. Berdasarkan hasil kajian yang telah dilaksanakan pada kelompok pengrajin anyaman ini, maka pengembangan usaha dapat dilakukan melalui langkah-langkah strategis dalam penguatan sistem produksi dan pemasaran. Usaha pengembangan usaha kelompok pengrajin anyaman ini dapat mengikis atau mengurangi jumlah keluarga yang berada pada kondisi pra KS padsa kelompok mpengrajin khususnya dan masyarakat Desa Sawah Kulon pada umumnya. Bertolak dari pernyataan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan yang menjadi dasar untuk dirumuskannya rencana strategi pengembangan usaha kerajinan anyaman sebagai berikut : 1. Karakteristik pengrajin anyaman yang sangat didukung oleh modal sosial dan iklim kehidupan desa yang masih tradisionil, dapat dijadikan sebagai potensi untuk mengembangkan usaha anyaman. 2. Kelembagaan produksi dan pemasaran yang selama ini dilakukan oleh kelompok pengrajin anyaman, sangat didukung dan diperkuat oleh modal sosial. Untuk lebih memiliki nilai ekonomi, maka usaha anyaman ini selain perlu dukungan modal soaial juga memerlukan manajemen bisnis yang lebih mengarah kepada tujuan ekonomi.
126
3. Rencana strategi pegembangan kelembagaan produksi dan pemasaran dilakukan dengan memperkuat atau mendukung sistem yang sudah dilakukan oleh kelompok pengrajin. 4. Program pengembangan masyarakat yang pernah menyentuh kelompok pengrajin belum berhasil karena tidak ditunjang dengan kapsitas anggota kelompok dalam mengolah usaha kerajinan anyaman. 5. Masih
kurangnya
keterlibatan
atau
keberpihakan
pemerintah
selaku
penanggung jawab terhadap penduduk dan wilayah terhadap kelompok pengrajin anyaman. Faktor pendukung yang telah ada, tumbuh dan berkembang di kalangan anggota dan sesama kelompok pengrajin yang diperkuat oleh lingkungan masyarakat setempat dapat membantu upaya peningkatan usaha kerajinan anyaman. Modal sosial, sumber daya lokal, merupakan potensi untuk mendukung perkembangan usaha tersebut. Pada sisi lain, perkembangan yang akan diperoleh oleh kelompok pengrajin anyaman ini akan diikuti oleh aspek yang lainnya. Membuka lapangan kerja baru, meningkatkan kondisi pra KS dan KS 1, mengurangi pengangguran, dengan kata lain dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk Desa Sawah Kulon secara umum dan khususnya kelopmpok mpengrajin anyaman. Tujuan dari diadakannya rencana penyusunan program pengembangan usaha kerajinan anyaman melalui penguatan kelembagaan produksi dan pemasaran tidak lain adalah untuk : 1. Kekuatan kelompok sebagai prasyarat utama dalam menjalankan semua rencana
program.
Sehingga
kapasitas
anggota
kelompok
pengrajin
ditingkatkan untuk dapat membuka wawasan dan memunculkan kretifitas serta inovasi dalam berpikir. 2. Kelembagaan produksi dan pemasaran yang telah ada dapat didukung oleh rencana program sehingga pola tradisional diperkuat oleh sistem manajeman yang berorientasi ekonomis. Oleh karenanya rencana program yang disusun akan memperkuat proses kelembagaan produksi dan pemasaran yang telah ada. Agar program dapat meningkatkan kapasitas kelembagaan yang bertujuan pada keberpihakan, maka program dibuat harus memperhatikan efisiensi, efektifitas, dan keberlanjutan.
127
8. 2. Rekomendasi Kebijakan Program yang dibangun tetap mengupayakan pada membangun partisipasi, keswadayaan, dan kemandirian bagi kelompok pengrajin anyaman. Ketergantungan
pada
program
pemerintah
nantinya
perlu
dikurangi.
Rekomendasi secara khusus adalah untuk kelompok pengrajin anyaman. Kemampuan pengrajin dalam mengembangkan usaha anyaman adalah modal utama untuk upaya pengembangan kelembagaan produksi dan pemasaran selanjutnya. Dukungan dari luar pengrajin tidak akan berarti apa-apa apabila tidak
diperkuat
oleh
peranan
pengrajin
sendiri
dalam
mengupayakan
pengembangan usaha anyaman. Maka dari hasil kajian pengembangan masyarakat yang telah dilakukan, terdapat beberapa pokok rekomendasi yang akan diusulkan.
1. Pemerintah Daerah Seiring dengan berubahnya paradigma pembangunan nasional, dimana saat ini pembangunan lebih diarahkan pada pembangunan ekonomi kerakyatan dengan memperhatikan proses dan tujuan yang dihasilkan melalui partisispasi masyarakat dan kelompok-kelompok yang menjadi target kegiatan. Pemerintah daerah Kabupaten Purwakarta melalui perlu melakukan kebijakan-kebijakan dengan
mengeluarkan
Peraturan
Daerah
yang
mendukung
keberadaan
kelompok usaha pengrajin anyaman. Strategi yang dapat ditempuh oleh pemerintah daerah adalah dengan : 1. Memfasilitasi usaha yang dilakukan oleh kelompok pengrajin anyaman. Membangun lingkungan yang kondusif dalam melakukan aktifitas yang dapat dilakukan dengan pendekatan kepada masyarakat. Dukungan diharapkan muncul dari masyarakat luas sebagai konsumen atau bagian dari pasar, dan dari pihak lain yang memliki kepedulian dan perhatian terhadap keberlanjutan usaha kerajinan anyaman. Dukungan sangat penting dan diperlukan untuk membantu terjadinya perubahan kebijakan terhadap : a. Menyediakan sarana dan prasarana bagi keberlanjutan kelembagaan produksi dan pemasaran. b. Menciptakan jalur produksi dan distribusi pemasaran yang konsisten dan berlanjut. c. Meningkatkan perananan berbagai stakeholder yang bertanggung jawab terhadap pengembangan usaha ekonomi lokal.
128
2. Mempengaruhi kebijakan yang memungkinkan bagi berkembangnya usaha kerajinan
anyaman
melalui
penguatan
kelembagaan
produksi
dan
pemasaran. Kemudahan dalam mengakses sumber daya, dukungan kebijakan yang mendorong usaha kerajian anyaman memiliki ruang memadai bagi mobilitas ekonomi dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan produktif. Kebijakan yang diperlukan oleh usaha kelompok pengrajin anyaman ini adalah berupa : a. Membantu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pengrajin b. Bantuan
permodalan
dengan
menciptakan
iklim
permodalan
pengembangan usaha yang mudah dan manajemen bisnis yang berkembang. c. Kebijakan pertanian dengan budi daya tanaman pohon pandan. d. Menciptakan ruang pasar yang stabil dan luas bagi produk anyaman. 3. Mempengaruhi kebijakan yang mendorong tumbuhnya kesadaran hak-hak ekonomi dan berusaha bagi kelompok usaha kecil. Msyarakat khususnya kelompok pengrajin anyaman Desa Sawah Kulon, umumnya kelompok usaha ekonomi kecil dan menengah, menjadi mandiri yang dapat mengatasi permasalahan dan kebutuhannya. Adapun kebijakan secara umum yang dapat mendukung dalam pengembangan ekonomi lokal
yang dapat
dilakukan : a. Memasyarakatkan gerakan bekerja melalui aktifitas ekonomi yang menghasilkan pendapatan dalam lingkungan rumah tangga. b. Mengambangkan kawasan areal produktif sesuai dengan potensi dan keahlian yang dimiliki oleh setiap wilayah. c. Membantu mengembangkan tumbuhnya produk-produk lokal sehingga dapat memiliki competitif dan comparative advantage. d. Melindungi setiap kegiatan usaha ekonomi produktif dalam skala kecil dan menengah yang dilakukan oleh masyarakat yang dapat mendukung bagi perkembangan ekonomi regional. 2. Pemerintahan Desa Aktifitas yang dapat dilakukan oleh pemerintah desa dalam mendukung usaha kerajinan anyaman agar dapat berkembang dan berhasil, diantaranya : 1. Meningkatkan peran tokoh formal dan informal pada kelompok pengrajin anyaman dengan memperkuat kelembagaan produksi dan anyaman yang
129
telah berjalan sehingga menjadi sitem produksi dan pemasaran yang kuat. 2. Dukungan masyarakat lokal terhadap jalannya usaha kerajinan anyaman sehingga dalam perkembangannya dapat mendukung perkembangan ekonomi masayarakat lokal. 3. Memfasilitasi kegiatan yang dilakukan oleh kelompok pengrajin anyaman dalam produksi dan pemasaran. 3. Lembaga Swadaya Masyarakat atau swasta Program pengembangan masyarakat bukan hanya program pemerintah, tetapi juga memerlukan keterlibatan dan peran serta lembaga swadaya masyarakat dan swasta sebagai mitra pemerintah. Hal-hal yang dapat dilakukan oleh lembaga swadaya dan swasta ini adalah : 1. Membantu menjalin kerjasama kemitraan dengan pemerintah daerah dan ikut mendukung
program
pengembangan
ekonomi
lokal
dalam
upaya
mengembangkan kapasitas keluarga pengusaha kecil. 2. Memperkuat gerakan pembelaan (advocaty) untuk mengangkat persoalan yang dihadapi kelompok usaha
kecil agar menjadi agenda dalam
mempengaruhi penyusun kebijakan. 3. Melakukan kerjasama dengan kelompok usaha kecil dalam menciptakan hasil produksi yang berkualitas dan dapat bersaing dalam pasar bebas, sehingga dapat menjadi sebuah produk unggulan. 4. Menciptakan pasar yang stabil untuk mendukung keberlanjutan kelompok usaha kecil.
130
DAFTAR PUSTAKA Adi,
Rukminto. 2001, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan, Intervensi Komunitas (Pengantar pada pemikiran dan pendekatan praktis), Jakarta, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, UI.
Anindita, Ratya. 2004, Pemasaran Hasil Pertanian, Surabaya, Papyrus. Baharsyah, Yustika. 1999, Menuju Masyarakat yang Berkelanjutan : Pelajaran dan Krisis, Jakarta, Departemen Sosial. Dunham, Arthur, 1962, Community Welfare Organization, Principle and Practice, 3 rd Printing, New York, Thomas Y. Crowell Company Daft L, Richard, 2002, Manajemen, Edisi kelima, jilid 2, Jakarta, Erlangga Haeruman dan Eriyanti, 2001, Kemitraan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal, Jakarta, Yayasan Mitra Pembangunan Indonesia Ife, Jim. 1995, Community Development, Creating Community Alternative, Vision, Analysis and Practice, Australia, Longman Iskandar, Jusman. 1993, Strategi Dasar Membangun Kekuatan Masyarakat, Bandung, STKS Israel, Arturo, 1992. Pengembangan Kelembagaan, Jakarta, LP3ES Kartasapoetra, Ginanjar, 2001, Tenaga kerja di Inodonesia, Jakarta, Bina Aksara KPP-COREMAP, 2001, Buku Panduan Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM) COREMAP, Jakarta, Kantor Pengelola Program COREMAP-LIPI Moleong, J. Lxy, 2000, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosda Karya Martodireso, Sudadi, 2002, Agribisnis Kemitraan Usaha Bersama, Jakarta, Kanisius Nilasari, Irma, dan Wiludjeng, Sri, 2006, Pengantar Bisnis, Yogyakarta, Graha Ilmu Prawirokusumo, Soeharto, 2001, Ekonomi Rakyat : Konsep, Kebijakan dan Strategi, Yogyakarta, BPFE Press.
131
Rangkuti, Freddy, 2006, Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, Jakarta, Gramedia Sajogyo dan Pudjiwati, 1990, Sosiologi Pedesaan, jilid 1, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press Suharto, Edi, 2005. Membangun masyarakat memberdayakan rakyat, Bandung, Refika Aditama Suharto, Edi, 2003. Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial : Studi Kasus Rumah Tangga Miskin di Indonesia, STKS Bandung, Departemen Sosial Suharto, Edi, 2005, Analisis Kebijakan Publik, Bandung, Alfabeta
Sumodiningrat, Gunawan, 1999, Pemberdayaan Masyarakat dan JPS, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama Syahyuti, 2003, Bedah Konsep Kelembagaan Strategi Pengembangan dan Penerapannya dalam Penelitian, Bogor, Puslitbang Sosektan Balitbangtan Sztompka, Piotr. 2004, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta, Prenada Tambunan, Tulus, 2001, Pengembangan UKM dalam Persaingan Pasar Bebas, Jakarta, Salemba Empat Tambunan , Tulus, 1998, Peranan industri kecil dalam meningkatkan nilai tambah ekonomi di pedesaan, Jakarta, UKI Press Widyaningrum, dkk, 2003, Pola-pola Eksploitasi terhadap Pengusaha Kecil melalui rantai Hulu-hilir, Bandung, Akatiga Yin. K. Robert, 2002, Studi Kasus Desain dan Metode, Jakarta, PT Raja Grafindo Perkasa Zamroni, 1992, Pengantar Pengembangan Teori Sosial. Yogya, Tiara Wacana
132
LAMPIRAN
133
SOSIALISASI PENGEMBANGAN PENGRAJIN ANYAMAN DESA SAWAH KULON KECAMATAN PASAWAHAN KABUPATEN PURWAKARTA Pasawahan, 26 Juni 2006 Nomor : 01/VI/SPPA/06 : Biasa Sifat Perihal : Pertemuan dengan Mahasiswa
Kepada Yth. : Bapak/Ibu/Sdr : .......................... di Pasawahan
Dengan Hormat, Sehubungan dengan adanya kegiatan Kajian Pengembangan Masyarakat yang dilakukan oleh Mahasisiwa Pascasarjana IPB di Desa Sawah Kulon dengan mengkhususkan pada Pengembangan bagi Pengrajin Anyaman, maka kami mengundang Bapak/Ibu/Sdr. untuk hadir pada : Hari/Tanggal Waktu Tempat Acara
: Kamis/29 Juni 2006 : 09.30 WIB s.d selesai : Aula Desa Sawah Kulon : Sosialisasi KPM bagi Pengrajin Anyaman Desa Sawah Kulon
Demikian, atas perhatian dan kehadirannya kami ucapkan terima kasih.
Hormat Kami,
H. Adam Jaya Perwakilan Pengrajin
Tembusan Yth. : 1. Bapak Camat Pasawahan (sebagai laporan) 2. Kasi PMD Kec. Pasawahan 3. Kasi Ekbang Kec. Pasawahan 4. Kepala Desa Sawah Kulon 5. Ketua BPD Sawah Kulon
xv
Daftar Hadir : Peserta Sosialisa Pengembangan Pengrajin Anyaman Desa Sawah Kulon Kecamatan Pasawahan di Aula Desa Sawah Kulon pada : Hari/tanggal : Kamis/29 Juni 2006 Waktu : 09.30 – 12.00 WIB No. 1.
NAMA
ALAMAT
PEKERJAAN
TANDA TANGAN 1.
2. 3.
2. 3.
4. 5.
4. 5.
6. 7.
6. 7.
8. 9.
8. 9.
10. 11.
10. 11.
12. 13.
12. 13.
14. 15.
14. 15.
16. 17.
16. 17.
18. 19.
18. 19
20. 21.
20. 21.
Perwakilan Pengrajin,
H. Adam Jaya
xvi
Lampiran
: Hasil Pertemuan antara Mahasiswa, Pengrajin, Aparat Desa dan Kecamatan, serta Tokoh Masyarakat pada Sosialisasi Pengembangan Usaha Anyaman Desa Sawah Kulon Kec. Pasawhan Kab. Purwakarta
Hasil Sosialisasi : Kegiatan dilaksanakan di Aula Kantor Desa Sawah Kulon pada tanggal 29 Juni 2006 pada pukul 09.30 WIB sampai dengan 12.00 WIB dengan dihadiri oleh : sepuluh orang pengrajin dari lima dusun, Kasi Ekbang Kec. Pasawahan, Kepala Desa Sawah Kulon dan aparatnya, Tokoh Masayarakat, dan Mahasisiwa (pengkaji). 1. Pembukaan oleh perwakilan pengrajin Anyaman, yaitu Bapak Haji Adam jaya : Menjelaskan kondisi pengrajin anyaman yang tidak mengalami perkembangan yang berarti selama ini. Oleh karena itu diperlukan sebuah kegiatan untuk mengembangkan usaha dimana kegiatan tersebut harus sesuai dengan aspirasi pengrajin sendiri. 2. Mahasiswa/Pengkaji (Vinny Marliany) : Menjelaskan maksud dan tujuan mengapa tertarik unutk melakukan kajian yang mengambil subyek pengrajin anyaman Desa sawah Kulon dengan fokus pada pengembangan kelembagaan produksi dan pemasaran anyaman. 3. Kepala desa (Bapak Haji Dedi Ahmad) : Mendukung adanya kegiatan kajian yang dilakukan oleh pengkaji dan memohon kepada masyarakat dan pengrajin khususnya untuk dapat berpartisispasi aktif dalam kegiatan ini. Mohon tindak lanjutnya dan jangan berhenti begitu kajian selesai, minimal bisa membuat program yang realistis bagi pengembangan usaha pengrajin anyaman. 4. Kasi Ekbang Kecamatan (Drs. Mulyana Hasan) : Menunggu realisasi kegiatan ini walaupun sebatas pada rancangan program yang nantinya akan dijadikan acuan untuk mengembangkan usaha anyaman ini.
xvii
SOSIALISASI PENGEMBANGAN PENGRAJIN ANYAMAN DESA SAWAH KULON KECAMATAN PASAWAHAN KABUPATEN PURWAKARTA Pasawahan, 15 Juli 2006 Kepada Yth. : Bapak/Ibu/Sdr : .......................... di Pasawahan
Nomor : 03/VII/SPPA/06 : Biasa Sifat Perihal : Pertemuan dan Musyawarah
Dengan Hormat, Menindaklanjuti kegiatan Kajian Pengembangan Masyarakat yang dilakukan oleh Mahasisiwa Pascasarjana IPB di Desa Sawah Kulon dengan mengkhususkan pada Pengembangan bagi Pengrajin Anyaman, maka kami mengundang Bapak/Ibu/Sdr. untuk hadir pada : Hari/Tanggal Waktu Tempat Acara
: Selasa/18 Juli 2006 : 10.00 WIB s.d selesai : Aula Desa Sawah Kulon : Musyawarah dengan pengrajin dan para tokoh masyarakat Desa Sawah Kulon
Demikian, atas perhatian dan kehadirannya kami ucapkan terima kasih.
Hormat Kami,
H. Adam Jaya Perwakilan Pengrajin
Tembusan Yth. : 1. Bapak Camat Pasawahan (sebagai laporan) 2. Kasi PMD Kec. Pasawahan 3. Kasi Ekbang Kec. Pasawahan 4. Kepala Desa Sawah Kulon 5. Ketua BPD Sawah Kulon
xviii
Daftar Hadir : Musyawarah dengan pengrajin dan para tokoh masyarakat Desa Sawah Kulon dalam rangka Sosialisa Pengembangan Pengrajin Anyaman Desa Sawah Kulon Kecamatan Pasawahan di Aula Desa Sawah Kulon pada : Hari/tanggal : Selasa/18 Juli 2006 Waktu : 10.00 – 12.00 WIB No. 1.
NAMA
ALAMAT
PEKERJAAN
TANDA TANGAN 1.
2. 3.
2. 3.
4. 5.
4. 5.
6. 7.
6. 7.
8. 9.
8. 9.
10. 11.
10. 11.
12. 13.
12. 13.
14. 15.
14. 15.
16. 17.
16. 17.
18. 19.
18. 19
20. 21.
20. 21.
Perwakilan Pengrajin,
H. Adam Jaya
xix
Lampiran
: Hasil Pertemuan FGD (pertemuan dan musyawarah/diskusi) antara Mahasiswa, Pengrajin dan Tokoh Msyarakat.
Hasil FGD : Kegiatan dilaksanakan di Aula Kantor Desa Sawah Kulon pada tanggal 18 Juli 2006 pada pukul 10.00 WIB sampai dengan 12.00 WIB dengan dihadiri oleh : Perwakilan pengrajin dari lima dusun, tokoh Masayarakat, dan mahasisiwa (pengkaji). 1. Pemaparan FGD, oleh Mahasiswa/Pengkaji (Vinny Marliany) : Menjelaskan maksud dan tujuan diadakan FGD adalah untuk memperoleh informasi tentang potensi dan permasalahan yang dihadapi pengrajin anyaman dalam proses produksi dan pemasaran secara bersama-sama dengan peserta FGD. Bersama-sama peserta FGD melakukan pengelompokan faktor-faktor yang dianggap sebagai pendukung dan penghambat, kemudian dimasukan ke dalam matriks SWOT yang telah disiapkan pengkaji. Data yang telah ditulis dalam matriks SWOT didukung oleh hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan pengkaji sebelumnya. 2. Perwakilan pengrajin (Bapak Diman) : Melihat hasil perumusan potensi dan permasalahan yang tertera dalam matriks SWOT baru menyadari bahwa usaha yang telah dilakukan selama ini masih jalan di tempat dan belum memaksimalkan potensi yang ada, baik dari dalam maupun luar Desa Sawah Kulon. 3. Kepala desa (Bapak Haji Dedi Ahmad) : Memohon kepada para pengrajin anyaman untuk menyadari bahwa kondisi yang tertulis tersebut merupakan kondisi nyata pengrajin anyaman selama ini. Maka dari itu hal-hal yang mendukung perlu dikuatkan, dan hal-hal yang menghambat dicarikan alternatif pemecahan permasalahan oleh pengrajin juga karena ternyata pengrajin sendiri yang lebih mengetahuinya. Partisipasi pengrajin dan warga lainnya dalam merumuskan pemecahan masalah melalui perencanaan program pengembangan kelembagaan produksi dan pemasaran yang dilakukan pengkaji sangat diharapkan demi untuk kepentingan pengrajin dan warga Desa Sawah Kulon sendiri. 4. Kasi PMD Kecamatan (Bapak Dede) : Sangat berharap program yang nantinya akan disusun bisa direalisasikan karena program atau kebutuhan yang datangnya dari masyarakat (bottom-up) biasanya sangat sederhana.
xx
SOSIALISASI PENGEMBANGAN PENGRAJIN ANYAMAN DESA SAWAH KULON KECAMATAN PASAWAHAN KABUPATEN PURWAKARTA Pasawahan, 21 Juli 2006 Nomor : 05/VII/SPPA/06 : Biasa Sifat Perihal : Pemaparan hasil pertemuan dan musyawarah
Kepada Yth. : Bapak/Ibu/Sdr : .......................... di Pasawahan
Dengan Hormat, Sehubungan dengan telah dilaksanakan pertemuan dan musyawarah antara pengrajin anyaman dengan beberapa tokoh masyarakat, maka kami akan melakukan pemaparan terhadap hasil pertemuan tersebut. Oleh karena itukami mengundang Bapak/Ibu/Sdr. untuk hadir pada : Hari/Tanggal Waktu Tempat Acara
: Kamis/27 Juli 2006 : 10.00 WIB s.d selesai : Aula Desa Sawah Kulon : Pemaparan hasil pertemuan
Demikian, atas perhatian dan kehadirannya kami ucapkan terima kasih.
Hormat Kami,
H. Adam Jaya Perwakilan Pengrajin
Tembusan Yth. : 1. Bapak Camat Pasawahan (sebagai laporan) 2. Kasi PMD Kec. Pasawahan 3. Kasi Ekbang Kec. Pasawahan 4. Kepala Desa Sawah Kulon 5. Ketua BPD Sawah Kulon
xxi
Daftar
No. 1.
Hadir
:
Pertemuan untuk pemaparan hasil musyawarah untuk pengembangan usaha pengrajin anyaman Desa Sawah Kulon Kecamatan Pasawahan di Aula Desa Sawah Kulon pada : Hari/tanggal : Kamis/27 Juli 2006 Waktu : 10.00 – 12.00 WIB
NAMA
ALAMAT
PEKERJAAN
TANDA TANGAN 1.
2. 3.
2. 3.
4. 5.
4. 5.
6. 7.
6. 7.
8. 9.
8. 9.
10. 11.
10. 11.
12. 13.
12. 13.
14. 15.
14. 15.
16. 17.
16. 17.
18. 19.
18. 19
20. 21.
20. 21.
Perwakilan Pengrajin,
H. Adam Jaya
xxii
Lampiran
: Pemaparan hasil Pertemuan dan musyawarah atau diskusi (FGD) :
Hasil FGD : Kegiatan dilaksanakan di Aula Kantor Desa Sawah Kulon pada tanggal 27 Juli 2006 pada pukul 10.00 WIB sampai dengan 12.00 WIB dengan dihadiri oleh : Perwakilan pengrajin dari lima dusun, Kasi PMD Kec. Pasawahan, Kepala Desa Sawah Kulon dan aparatnya, Tokoh Masayarakat, dan Mahasisiwa (pengkaji). 1. Pemaparan hasil FGD oleh Mahasiswa/Pengkaji (Vinny Marliany) : Dari hasil pada matriks SWOT, disimpulkan pokok permasalahan untuk memudahkan kegiatan apa yang bisa mengatasi permaslahan tersebut. Tersusunlah program kegiatan, yang mengarah pada pemecahan masalah, yang dilakukan secara partisipati bersama-sama peserta FGD. 2. Perwakilan pengrajin (Bapak Saudi) : Diharapkan rencana kegiatan tersebut akan mudah diterima oleh pemerintah daerah. Memohon kepada pengkaji untuk dapat mensosialisakan rencana kegiatan tersebut kepada pihak-pihak yang terkait dengan rencana program. (Peran sebagai fasilitator dan advokat dituntut oleh pengrajin kepada pengkaji) 3. Kepala desa (Bapak Haji Dedi Ahmad) : Terlihat sederhana, namun pada pelaksanaan kegaiatn harus didukung oleh berbagai pihak. Tetapi yang lebih utama adalah keaktifan pengrajin anyaman sendiri yang tentunga akan didukung oleh aparat desa dan kecamatn dan tokoh-yokah lainnya di desa. 4. Kasi PMD Kecamatan (Bapak Dede) : Sangat berharap program yang nantinya akan disusun bisa direalisasikan karena program atau kebutuhan yang datangnya dari masyarakat (bottom-up) biasanya sangat sederhana. 5. Wahyu (Perwakilan Karang Taruna) : Sangat mendukung dan mohon untuk dilibatkan pada kegiatan karena melihat potensi anggota karang taruna yang bisa diandalkan jika diperlukan. 6. Bapak Bayu (Ketua BPD) : Sangat terkejut ternyata masyarakat Desa sawah Kulon, khususnya pengrajin anyaman, mampu berpartisipasi membuat rencana kegiatan untuk kepentingannya sendiri. Diharapkan partisipasi tersebut tidak hanya sebatas perencanaan, tetapi jika dapat terrealisasikan harus mau juga terlibat aktif. Sangat berharap kepada pengkaji untuk mensosialisasikan rencana kegiatan tersebut minimal untuk lingkungan tempat pengkaji bekerja.
xxiii
PEDOMAN FGD
xxiv