Digitally signed by FKIP-USM DN: cn=FKIP-USM, o=FKIP-USM, ou=http://www.serambimekkah.ac.id/download/juli-2012.pdf,
[email protected], c=US Date: 2012.11.24 00:20:03 +07'00'
/^^EϭϲϵϯͲϰϴϰϵ
:hZE>WE//<E ^ZD//>Dh ;tĂĚĂŚ/ŶĨŽƌŵĂƐŝ/ůŵŝĂŚĚĂŶ<ƌĞĂƚŝǀŝƚĂƐ/ŶƚĞůĞŬƚƵĂůWĞŶĚŝĚŝŬĂŶͿ sK>hDϭϮEKDKZϭ:h>/ϮϬϭϮ •
•
Pengintegrasian Konsep Biokonservasi Dalam Pembelajaran Biologi Sebagai Upaya Menumbuhkan Literasi Dan Kesadaran Lingkungan Di Kalangan Siswa Evi Apriana
(Hal 1 – 6)
Penguasaan Kosakata Baku Bahasa Indonesia Siswa Kelas Viii Smp Negeri Lhoknga Kabupaten Aceh Besar Ismawirna
(Hal 7 – 10)
•
Inplementasi
Jailani (Hal 11 – 15)
•
Pengawas Dan Kepala Madrasah Dalam Meningkatkan Prestasi Kerja Guru Mtsn Rukoh Kota Banda Aceh Riana Repina
(Hal 16 - 25)
dĞŚŶŝŬdŶK͛ƵŶƚƵŬŵĞŵďĂŶŐƵŶ͚ŽŶĨŝĚĞŶĐĞ^ƉĞĂŬŝŶŐ͛^ŝƐǁĂ ,ĂƐƌŝĂƚŝ;,ĂůϮϲʹϰϬͿ • /ŵƉůĞŵĞŶƚĂƐŝWĞŵďĞůĂũĂƌĂŶ/WdĞƌƉĂĚƵĚŝ^DW<ŽƚĂĂŶĚĂĐĞŚ ^ŽĞǁĂƌŶŽ^͕ƐŵĂƌŽů,ŝĚĂLJĂƚ;,ĂůϰϭͲϰϱͿ • Penggunaan DƵůƚŝƉůĞƌĞƉƌĞƐĞƚĂƐŝ dan Argumetasi Ilmiah dalam Pembelajaran Fisika Samsul Bahri ( Hal 46- 50) •
ŝƚĞƌďŝƚKůĞŚ &
,Ăů
ĂŶĚĂĐĞŚ :Ƶůŝ ϮϬϭϮ
PENGINTEGRASIAN KONSEP BIOKONSERVASI DALAM PEMBELAJARAN BIOLOGI SEBAGAI UPAYA MENUMBUHKAN LITERASI DAN KESADARAN LINGKUNGAN DI KALANGAN SISWA EVI APRIANA (Universitas Serambi Mekkah) ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan pengintegrasian konsep biokonservasi dalam pembelajaran biologi sebagai upaya menumbuhkan literasi dan kesadaran lingkungan di kalangan siswa SMA. Pengembangan pembelajaran biologi dengan pengintegrasian konsep biokonservasi dilakukan dengan pendekatan kontekstual Aceh melalui kegiatan pembelajaran yang mengkaji permasalahan biologi konservasi hutan dan lingkungan terestrial Aceh. Penelitian ini menerapkan desain penelitian kualitatif (Qualitative Research), dilakukan analisis pengembangan yang berhubungan dengan isu-isu lingkungan Aceh. Dari analisis pengembangan ini diperoleh hasil bahwa pengintegrasian konsep biokonservasi dalam pembelajaran biologi dapat dilakukan dengan pendekatan kontekstual Aceh. Kegiatan pembelajaran mengkaji permasalahan biologi konservasi hutan dan lingkungan terestrial Aceh; pembelajaran yang efektif, terintegrasi dalam pembelajaran dan kegiatan lapangan yang dapat memperjelas pembelajaran di kelas; fokus pembelajaran menekankan pada kemampuan pengetahuan dan keterampilan agar siswa peduli terhadap hutan dan lingkungan terrestrial; ditujukan untuk mengembangkan literasi lingkungan, kesadaran lingkungan, dan tindakan konservasi secara nyata; dan menggunakan metode dan media pembelajaran yang bervariasi. Kata kunci :
pengembangan pembelajaran biologi, pengintegrasian konsep biokonservasi, literasi lingkungan, kesadaran lingkungan, pendekatan kontekstual Aceh
Pendahuluan Berdasarkan penelitian Apriana, dkk. (2011a) dari analisis kebutuhan, studi dokumentasi, dan studi lapangan diperoleh hasil bahwa pembelajaran biologi konservasi mempelajari pengetahuan ekologi dan konservasi yang dilakukan melalui metode ceramah, diskusi, informasi, tanya jawab, dan penugasan tanpa praktikum dan kuliah lapangan. Ditemukan pula bahwa dosen tidak berupaya mengaitkan materi dengan situasi nyata kehidupan mahasiswa sesuai konteks kehidupan masyarakat Aceh (pendekatan kontekstual berbasis kearifan lokal Aceh tidak digunakan), sebagian besar mahasiswa kurang aktif (tidak mengajukan pertanyaan, dan tidak mengemukakan pendapat), dan bahan kuliah atau buku sulit didapat (terutama dalam bahasa Indonesia). Dari hasil penelitian Apriana, dkk. (2011a) tentang analisis kebutuhan ditemukan juga bahwa pembelajaran biologi konservasi seharusnya mempelajari pengetahuan (pengetahuan tentang sejarah alam dan ekologi, isu-isu lingkungan dan permasalahannya, sosial-politik-ekonomi), keterampilan (keterampilan kognitif), afektif (faktor-faktor lain yang mempengaruhi perilaku bertanggungjawab terhadap lingkungan), tindakan (perilaku 1
bertanggungjawab terhadap lingkungan) sebagai komponen dan sub komponen literasi lingkungan (Erdogan, et al., 2009). Upaya untuk melakukan konservasi alam dapat dilakukan melalui pendidikan dari mulai taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi (Munandar, 2009). Salah satu strategi yang dapat digunakan sekolah untuk meningkatkan SDM dan memiliki kapasitas siswa yang baik adalah melaksanakan pembelajaran biologi dengan pengintegrasian konsep biokonservasi. Agar keberlangsungan pembelajaran biologi konservasi di masa datang tetap terjaga maka perlu adanya respon positif pihak sekolah dalam menerapkan dan mengembangkan pembelajaran ini. Pendekatan kontekstual Aceh belum pernah digunakan dalam pembelajaran. Memasukkan konteks Aceh ke dalam pembelajaran biologi akan sangat membantu proses penyadartahuan siswa dan masyarakat tentang arti penting pelestarian alam, dapat memperjelas aturan-aturan adat dan kaidah-kaidah tentang hubungan manusia dengan alam lingkungannya. Dengan demikian sangat diperlukan adanya pengintegrasian konsep biokonservasi dalam pembelajaran biologi sebagai upaya menumbuhkan literasi dan kesadaran lingkungan di kalangan siswa.
Metode Penelitian Penelitian ini menerapkan desain penelitian kualitatif (Qualitative Research) (Creswell, 2008). Pengembangan pembelajaran biologi dengan pengintegrasian konsep biokonservasi dilakukan dengan pendekatan kontekstual Aceh melalui kegiatan pembelajaran yang mengkaji permasalahan biologi konservasi hutan dan lingkungan terestrial Aceh. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual Aceh yang efektif, terintegrasi dalam pembelajaran dan kegiatan lapangan yang mampu memperjelas pembelajaran di kelas. Pengembangan pembelajaran biologi dengan pendekatan kontekstual Aceh dilakukan menggunakan analisis pengembangan yang berhubungan dengan isu-isu
lingkungan Aceh.
Pengintegrasian konsep biokonservasi
dalam
pembelajaran biologi melalui pendekatan kontekstual Aceh dikembangkan berdasarkan studi pendahuluan melalui analisis kebutuhan, studi dokumentasi, dan studi lapangan. Dari hasil studi pendahuluan disusun draf pembelajaran biologi yang divalidasi oleh penimbang ahli. Validasi draf program menghasilkan program hipotetik. 2
Hasil dan Pembahasan Deskripsi pembelajaran biologi dengan pengintegrasian konsep biokonservasi dilakukan dengan pendekatan kontekstual Aceh dapat dilihat pada tabel sebagai berikut. Tabel 1. Pembelajaran Biologi dengan Pengintegrasian Konsep Biokonservasi Kompetensi Dasar Meningkatkan pemahaman siswa tentang keanekaragaman hayati dan manfaatnya.
Materi
PBM
Macam-macam keanekaragaman hayati Aceh.
Memutarkan film dokumenter tentang keanekaragaman hayati Aceh.
Kegunaan tumbuhan: sebagai sumber makanan. Kegunaan hewan: sebagai sumber makanan.
Observasi & eksperimen pada makanan sehari-hari di rumah yang berasal dari tumbuhan dan hewan Ceramah, tanya jawab, dan penugasan
Kegunaan tumbuhan: sebagai bahan papan.
Observasi & eksperimen ke panglong kayu dan lokasi pemaketan kayu olahan eksport di Krueng Raya Banda Aceh.
Kegunaan tumbuhan: sebagai bahan sandang.
Observasi & eksperimen pada pohon kapas dan pohon kapuk.
Krisis Keanekaragaman Biologis dan Laju Kepunahan. Konsep dasar lingkungan hidup.
Mendata & melaporkan contoh spesies hewan dan tumbuhan di Wil. Aceh yang terancam punah. Diskusi, tanya jawab, dan penugasan
Siswa dapat memahami kerusakan lingkungan yang Pencemaran ada didaerahnya. lingkungan.
Observasi & eksperimen pencemaran air di sungai Krueng Aceh. Membuat Desain Penelitian Sederhana tentang erosi, banjir, efek rumah kaca, pemanasan global, dll. Mengamati polusi lingkungan pertanian, rumah tangga, air, udara, tanah, sampah, dan limbah industri. Mengamati areal penebangan hutan, 3
Siswa mampu menjaga lingkungan agar tidak terjadi kerusakan.
Siswa mampu memahami konservasi dan manfaatnya.
Siswa mempunyai kepedulian terhadap lingkungan sekitar dengan tindakan konservasi.
pembukaan lahan baru, penangkapan ikan. Penghijauan sekolah, Ceramah, tugas kelompok, penugasan perorangan setiap siswa menanam dan merawat tumbuhan.
Reboisasi. P4LH (pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dan pengawasan terhadap lingkungan hidup). K3 (Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan) Pembuangan sampah pada tempatnya.
Menjaga kebersihan sekolah dan membuang sampah pada tempatnya
Penerapan IPTEK dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Mencari data tentang kearifan lokal yang berkaitan dengan menjaga lingkungan hidup Penghijauan di lingkungan tempat tinggal siswa Ceramah, tugas kelompok, penugasan perorangan Berkunjung ke hutan untuk melihat keindahan hutan Ceramah, diskusi kelompok dan diskusi kelas
Konservasi dan manfaatnya.
Mengumpulkan kliping tentang konservasi Mencari bahan pustaka dan mendiskusikan daerah konservasi di wilayah Aceh.
Konservasi pd tingkat populasi dan spesies. Konservasi pd tingkat komunitas, ekosistem dan bentang alam. Konservasi secara in situ. Konservasi secara ex situ.
Siswa melakukan wawancara terhadap ahli atau masyarakat tentang konservasi yang dilakukan di propinsi Aceh, lalu hasilnya dipresentasikan di depan kelas. Mengamati, mendata & melaporkan contoh spesies hewan & tumbuhan di Tahura Pocut Meurah Intan, Pusat Latihan Gajah Saree, Kawasan mangrove, Cagar Alam Pinus Jantho
4
Tampak pada Tabel 1. bahwa pembelajaran biologi dengan pengintegrasian konsep biokonservasi mempunyai kompetensi dasar (1) meningkatkan pemahaman siswa tentang keanekaragaman hayati dan manfaatnya; (2) siswa dapat memahami kerusakan lingkungan yang ada didaerahnya; (3) siswa mampu menjaga lingkungan agar tidak terjadi kerusakan; (4) siswa mampu memahami konservasi dan manfaatnya; (5) siswa mempunyai kepedulian terhadap lingkungan sekitar dengan tindakan konservasi. Pembelajaran biologi dengan pendekatan
kontekstual
Aceh
menggunakan
metode
pembelajaran
yaitu:
studi
kepustakaan, tugas kelompok, diskusi, pemutaran film dokumenter, penugasan, karya wisata, observasi dan wawancara, praktikum/ eksperimen, ceramah, dan tanya jawab. Hal ini memperkuat pendapat bahwa pembelajaran dapat dilakukan dengan berbagai metode yang bervariasi. Kegiatan praktikum dan kuliah lapangan dilaksanakan pada pembelajaran biologi. Kegiatan praktikum dilaksanakan di lingkungan dan halaman sekolah. Kuliah lapangan dengan metode karya wisata dilakukan di kawasan konservasi Aceh melalui perencanaan pembelajaran yang matang, didahului dengan survey lapangan, waktu khusus (misalnya hari minggu, waktu di luar jadwal belajar di kelas, waktu lebih panjang), biaya lebih tinggi (untuk transportasi dan konsumsi), dan persiapan ke lapangan (alat, bahan, dan media yang akan digunakan). Pemerintah Aceh sekarang sudah menyadari pentingnya konservasi lingkungan hidup dan mereka berupaya untuk mengikuti gerakan konservasi dengan membentuk beberapa wilayah kawasan konservasi di seluruh Aceh. Kawasan konservasi Aceh dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran biologi. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Apriana, dkk. (2011) bahwa kawasan konservasi Aceh terdiri dari Kawasan Konservasi Hutan Ulu Masen, Taman Wisata Alam dan Taman Wisata Laut Pulau Weh, Taman Wisata Alam Kepulauan Banyak, Taman Buru Lingga Isaq, Tahura Pocut Meurah Intan, Pusat Latihan Gajah Aceh Saree, Cagar Alam Serbajadi, Cagar Alam Pinus Jantho, Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Taman Nasional Gunung Leuser, dan Kebun Binatang Mini Jantho. Pemanfaatan kawasan konservasi Aceh dalam pembelajaran biologi konservasi dapat dilakukan dengan metode kerja ilmiah melalui observasi, wawancara, eksperimen pada laboratorium lapangan (field laboratorium), dan karya wisata agar mahasiswa mempunyai kapasitas dan tingkat kesadaran yang tinggi terhadap biologi konservasi. Pemilihan kawasan konservasi yang akan dikunjungi disesuaikan dengan lokasi sekolah (TK, SD, 5
SMP, SMA, PT) yang berdekatan dengan kawasan konservasi, atau disesuaikan dengan jenis keanekaragaman hayati yang ada di dalam kawasan konservasi untuk dapat diobservasi dan diamati secara langsung oleh siswa dan mahasiswa. Pembelajaran materi Macam-Macam Keanekaragaman Hayati Aceh dilakukan dengan memutarkan film dokumenter tentang keanekaragaman hayati Aceh. Komalasari (2010) mempertegas bahwa media film membantu proses pembelajaran lebih atraktif, menyenangkan, siswa dapat melihat secara langsung, menambah pengetahuan dan pengalaman belajarnya. Provinsi Aceh memiliki bermacam-macam keanekaragaman hayati yaitu buaya Woyla, kukang, gajah, burung madu ekor merah, harimau dan burung sempidan Aceh. Untuk melindungi satwa-satwa endemik tersebut, di Provinsi Aceh terdapat lima Taman Nasional, yaitu Taman Wisata Alam, Taman Wisata Laut Pulau Weh, Taman Wisata Alam Kepulauan Banyak, Taman Buru Lingga ISAQ, dan Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan. Di provinsi ini juga terdapat Cagar Alam Serbajadi yang melindungi burung rangkong dan suaka margasatwa yang melindungi ekosistem darat, Cagar Alam Pinus Jantho, Suaka Margasatwa Rawa Singkil, dan Pusat Latihan Gajah Aceh - Saree (Balai Konservasi Provinsi NAD, 2007). Dari Tabel 1. tersebut dapat dilihat bahwa pembelajaran biologi dengan pendekatan kontekstual Aceh meliputi : kegiatan pembelajaran mengkaji permasalahan biologi konservasi hutan dan lingkungan terestrial Aceh; pembelajaran yang efektif, terintegrasi dalam pembelajaran dan kegiatan lapangan yang dapat memperjelas pembelajaran di kelas; fokus pembelajaran menekankan pada kemampuan pengetahuan dan keterampilan agar siswa peduli terhadap hutan dan lingkungan terrestrial; ditujukan untuk mengembangkan literasi lingkungan, kesadaran lingkungan, dan tindakan konservasi secara nyata. Pengembangan pembelajaran biologi dengan pengintegrasian konsep biokonservasi dilakukan dengan pendekatan kontekstual Aceh mempelajari pengetahuan ekologi dan konservasi seperti pembelajaran biologi yang dilaksanakan selama ini. Namun pengetahuan (pengetahuan tentang sejarah alam dan ekologi, isu-isu lingkungan dan permasalahannya, sosial-politik-ekonomi daerah Aceh), keterampilan kognitif, afektif, tindakan disisipkan/diintegrasikan untuk meningkatkan literasi lingkungan, kesadaran lingkungan, dan tindakan konservasi. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Erdogan, et al. (2009) yang menyimpulkan bahwa analisis enam komponen dasar literasi lingkungan 6
menunjukkan banyak perhatian pada pengetahuan (pengetahuan ekologi, pengetahuan sosial-politik, pengetahuan isu-isu lingkungan), sedikit pada keterampilan kognitif dan sikap, beberapa untuk perilaku bertanggungjawab pada lingkungan. Pembentukan karakter siswa agar mempunyai kepedulian terhadap lingkungan sekitar dengan tindakan konservasi dapat dilakukan yaitu siswa mencari data tentang kearifan lokal yang berkaitan dengan menjaga lingkungan hidup, dan siswa melakukan wawancara terhadap ahli atau masyarakat tentang konservasi yang dilakukan di propinsi Aceh, lalu hasilnya dipresentasikan di depan kelas. Sesuai dengan temuan penelitian Apriana (2011) bahwa penerapan pendekatan sains teknologi masyarakat dengan metode bermain peran dapat meningkatkan aspek sikap kepedulian siswa terhadap pelestarian SDA hayati. Pembelajaran dapat mendorong dan memotivasi siswa mengungkapkan gagasangagasan atau pemikiran siswa yang diperoleh dari pengalamannya, juga menjadikan lingkungan sebagai sumber belajar, sehingga timbul keinginan siswa untuk memahami konsep secara mendalam tentang sains dan teknologi yang dapat berdampak pada perubahan sikap siswa terhadap sains dan teknologi tersebut. Amini (2010) dalam penelitiannya menemukan bahwa model pembelajaran pendidikan lingkungan berbasis outdoor pada calon guru SD dapat meningkatkan penguasaan konsep, kinerja dan sikap dalam melakukan percobaan, kemampuan dalam pembelajaran, sikap dan prilaku peduli terhadap lingkungan sekolah. Pembelajaran biologi dengan pengintegrasian konsep biokonservasi seharusnya dilakukan dengan memasukkan muatan lokal (mulok) Aceh. Hal ini didukung oleh Leksono (2008) yang menjelaskan bahwa pembelajaran pendidikan lingkungan, konservasi dan mitigasi bencana adalah mata pelajaran yang berdiri sendiri (metode block/pelajaran khusus). Ada dua cara dalam pembelajaran metode block ini, yaitu dengan memasukkan ke dalam kurikulum sekolah dan di luar kurikulum sekolah. Jika dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, biasanya berupa mata pelajaran muatan lokal (mulok). Untuk beberapa sekolah telah menerapkan mata pelajaran pendidikan lingkungan dan konservasi sebagai mata pelajaran tersendiri. Hal ini telah dilakukan di SMP Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang yang berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Temuan ini senada dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Nugroho (2009), bahwa Desa Kawasan Konservasi juga menjadi media pembelajaran sekaligus laboratorium alam 7
komunitas dalam melestarikan lingkungan hidup dengan memanfaatkan kearifan lokal sebagai pengikat keberlanjutan pembelajaran. Pengintegrasian konsep biokonservasi dalam pembelajaran biologi diharapkan dapat menumbuhkan literasi lingkungan siswa. Hal ini sejalan dengan pernyataan Meagher (2009) yang menemukan bahwa literasi lingkungan dapat memiliki beberapa arti (Stables, 1998). UU Nasional Pendidikan Lingkungan 1990 menyatakan literasi lingkungan dapat diidentifikasi dari pengetahuan dan keterampilan dalam konsep ekologi, kesadaran konseptual tentang efek perilaku terhadap lingkungan, pengetahuan dalam penyelidikan dan keterampilan tindakan siswa terhadap lingkungan (Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat, 1996). Diperlukan upaya penyadaran semua pihak untuk melaksanakan pembelajaran biologi
konservasi
untuk
meningkatkan
literasi
lingkungan.
Penelitian
tentang
pengembangan instrumen literasi lingkungan untuk mengukur pengetahuan, sikap, perilaku, dan ketrampilan telah dilakukan Chu, et al. (2007) dan menunjukkan bahwa adanya korelasi antara sikap dan perilaku paling kuat, sedangkan antara pengetahuan dan perilaku paling lemah; ditemukan gender, latar belakang sekolah orang tua, dan sumber informasi siswa tentang lingkungan mempengaruhi literasi lingkungan. Demikian juga Tumisem (2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa pelaksanaan program pendidikan lingkungan berbasis ekologi perairan melalui kegiatan pramuka di SD dapat meningkatkan literasi lingkungan sebesar 47% dan mengubah sikap siswa terhadap lingkungan perairan sebesar 52%. Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan biologi, untuk menarik dan meningkatkan minat serta motivasi siswa menjaga lingkungan, sebaiknya diterapkan pembelajaran biologi dengan pengintegrasian konsep biokonservasi melalui pendekatan kontekstual Aceh. Pengintegrasian konsep biokonservasi dalam pembelajaran biologi diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Dalam pembelajaran melalui pendekatan kontekstual Aceh sebaiknya guru melibatkan konteks yang sesuai isu-isu lingkungan Aceh, kearifan lokal/adat Aceh, komponen pendekatan kontekstual, dan metode yang bervariasi sehingga lebih memudahkan siswa dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan.
8
Kesimpulan Pengintegrasian konsep biokonservasi dalam pembelajaran biologi sebagai upaya menumbuhkan literasi dan kesadaran lingkungan di kalangan siswa SMA dapat dilakukan dengan pendekatan kontekstual Aceh. Kegiatan pembelajaran mengkaji permasalahan biologi konservasi hutan dan lingkungan terestrial Aceh; pembelajaran yang efektif, terintegrasi dalam pembelajaran dan kegiatan lapangan yang dapat memperjelas pembelajaran di kelas; fokus pembelajaran menekankan pada kemampuan pengetahuan dan keterampilan agar siswa peduli terhadap hutan dan lingkungan terrestrial; ditujukan untuk mengembangkan literasi lingkungan, kesadaran lingkungan, dan tindakan konservasi secara nyata; dan menggunakan metode dan media pembelajaran yang bervariasi.
Daftar Rujukan Amini, R. (2010). Pengembangan Pembelajaran Pendidikan Lingkungan Berbasis Outdoor untuk Calon Guru Sekolah Dasar. Disertasi Doktor pada SPs UPI. Bandung: tidak diterbitkan. Apriana, E. (2011). Penerapan Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat dengan Metode Bermain Peran untuk Meningkatkan Sikap Siswa SMU pada Konsep Pelestarian Sumber Daya Alam Hayati. Prosiding Seminar Nasional Biologi "Inovasi Biologi dan Pembelajaran Biologi untuk Membangun Karakter Bangsa". Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI Bandung. Jumat-Sabtu, 1-2 Juli 2011. Apriana, E., Munandar, A., Rustaman, N.Y., Surtikanti, H.K. (2011). Kawasan Konservasi Aceh dan Pemanfaatannya dalam Pembelajaran Biologi Konservasi. Prosiding Seminar! Nasional! Biologi! Meningkatkan! Peran Biologi dalam Mewujudkan National! Achievement! with! Global! Reach.! Departemen! Biologi! FMIPA! USU! Medan. Sabtu, 22 Januari 2011. ______. (2011a). Studi tentang Pembelajaran Biologi Konservasi di LPTK. Prosiding Seminar! Nasional! Pendidikan! III! Asesmen! Otentik! dalam! Implementasi! Pembelajaran! Aktif! dan! Kreatif.! FKIP! UNILA! Bandar! Lampung! dan! HEPI.! Halaman 136 143. ISBN 978-979-3262-04-8. Sabtu-Minggu, 29-30 Januari 2011. Balai Konservasi Provinsi NAD. (2007). Kawasan Konservasi Provinsi NAD. Banda Aceh. Chu, Hye-Eun. et al.! (2007).! Korean Year 3 Children's Environmental Literacy: A Prerequisite for a Korean Environmental Education Curriculum.! International Journal of Science Education. 29, (6), 731-746. 9
Creswell, J.W. (2008). Educational Research Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research. Third Edition. New Jersey: Pearson Education, Inc. Erdogan,!M.,!Kostova,!Z.!and!Marcinkowski,!T.!(2009).!Components!of!!Environmental Literacy! in! Elementary! Science! Education! Curriculum! in! Bulgaria! and! Turkey.! Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education. 5, (1), 15-26. Komalasari, K. (2010). Pembelajaran Kontekstual: Konsep dan Aplikasi. Bandung: PT. Refika Aditama. Leksono, S.M. (2008). Pengembangan Kurikulum Pembelajaran Konservasi, Lingkungan Hidup dan Mitigasi Bencana Alam (sebagai Upaya Pencegahan Kerusakan Lingkungan Hidup dan Mengatasi Bencana secara Global) [Online]. Tersedia: http://www.docstoc.com/docs/20999648/Pengembangan-Kurikulum-PembelajaranKonservasi-Lingkungan-Hidup. [4 April 2012]. Meagher,! T.! (2009).! Looking Inside! a! Students! Mind:! Can! An! Analysis! of! Student! Concept!Maps!Measure!Changes!in!Environmental!Literacy?.! Electronic Journal of Science Education. 13, (1), 1-28. Munandar, A., dkk., (2009). Konservasi Fauna Indonesia. Bandung: Rizqi Press. Nugroho, D. (2009). Desa Kawasan Konservasi Semoyo: Melestarikan Lingkungan dengan Kearifan Lokal [Online]. Tersedia: http://www.beritajogja.com/berita/200910/desa-kawasan-konservasi-semoyo-melestarikan-lingkungan-dengan-kearifanlokal. [16 Januari 2010]. Tumisem. (2007). Program Pendidikan Lingkungan Berbasis Ekologi Perairan sebagai Upaya Pengembangan Literasi Lingkungan dan Konservasi melalui Kepramukaan di Sekolah Dasar. Disertasi Doktor pada SPs UPI. Bandung: tidak diterbitkan.
10
PENGUASAAN KOSAKATA BAKU BAHASA INDONESIA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI LHOKNGA KABUPATEN ACEH BESAR Oleh Ismawirna*
ABSTRAK Penelitian ini berjudul “Penguasaan Kosakata Baku Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Lhoknga Kabupaten Aceh Besar”, Tujuannya untuk memperoleh infornasi tentang peberjumlah nguasaan kosakata baku siswa kelas VIII SMP Negeri Lhoknga Kabupaten Aceh Besar. Adapun hipotesis penelitian ini adalah tingkat penguasaan kosakata baku siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lhoknga Kabupaten Aceh Besar masih rendah. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII siswa SMP Negeri 1 Lhoknga Kabupaten Aceh Besar tahun ajaran 2011/2012 yang berjumlah 102 orang, dan dijadikan sampel 34 orang (30% ). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Data diperoleh dengan menggunakan teknik tes. Pengolahan data dilakukan dengan teknik kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penguasaan kosakata baku siswa SMP Negeri 1 Lhoknga Kabupaten Aceh Besar berada pada kategori cukup, dengan nilai rata-rata 59. Dengan demikian, hipotesis yang diajukan tidak dapat diterima kebenarannya. Kata kunci: penguasaan, kosakata baku
PENDAHULUAN Bahasa merupakan sarana komunikasi vital dalam kehidupan manusia. Dan hal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk hidup yang lain di muka bumi ini. Dengan bahasa kita dapat mengutarakan keinginan menjelaskan ide, mengungkapkan pikiran dan gagasan pada orang lain. Dengan bahasa pula kita dapat saling memahami perasaan dan mencurahkan gagasan pikiran dalam bentuk tulisan atau karya tulis. Selanjutnya, pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah bertujuan agar siswa terampil dalam berbahasa yang meliputi keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Di samping itu kualitas keterampilan berbahasa seseorang sangat bergantung pada kualitas kosakata yang dimilikinya atau perbendaharaan kata yang dikuasainya. Kosakata bahasa Indonesia adalah kosakata yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga tanpa kita sadari kosakata bahasa Indonesia tersebut selalu mengalami perkembangan yang sangat pesat sesuai dengan perkembangan dan kemajuan teknologi. Oleh karena itu, siswa juga dituntut untuk lebih memperkaya kosakata mereka agar
lebih mudah memahami bacaan dan memaparkan ide-idenya dalam bentuk tulisan. Dengan demikian, penguasaan kosakata dapat meningkatkan keterampilan berbahasa. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Keraf (1984:4) menerangkan sebagai berikut, “Kosakata memegang peranan penting sebagai unsur yang mendasar dalam kemampuan berbahasa, khususnya dalam karang mengarang karena menjadi petunjuk mengenai pengetahuan seseorang. Jumlah kata yang dikuasai akan menjadi petunjuk indikator bahwa orang itu menguasai sekian banyak pengetahuan”. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, pengetahuan, keterampilan, dan sikap belajar bahasa Indonesia telah dirumuskan dalam bentuk tujuan interaksional. Berdasarkan KTSP 2006, pengajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk mencapai tujuan keterampilan berbahasa yaitu mendengarkan, membaca, berbicara, dan menulis. Pencapaian keterampilan berbahasa sudah termasuk penguasaan kosa kata. Pengajaran kosakata terutama kosakata baku bertujuan agar siswa mengenal, memahami, dan dapat menginterpretasikan, serta dapat menggunakan
kosakata ke dalam bahasa sehari-hari dengan tepat. Dengan demikian,
dengan adanya penggunaan dan penguasaan kosakata baku oleh siswa perlu mendapat perhatian dan perlu dibuat suatu penelitian. Hal ini untuk melihat bagaimana prestasi siswa dalam menggunakan dan memahami bahasa baku dalam memahami bacaan dan juga dalam mengimplementasikan ide-ide dalam bentuk tulisan. Kosakata baku adalah kata yang cara pengucapan atau penulisannya sesuai dengan kaidah-kaidah standar atau kaidah yang telah dibakukan. Kaidah standar yang dimaksud dapat berupa pedoman ejaan yang disempurnakan (EYD), tata bahasa baku, atau kamus umum. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata baku memiliki pokok utama sewbagai tolok ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakata standar (KBBI, 1995:82). Menurut Mulyono (1995:7) sebutan bahasa baku lazim disebut dengan istilah bahasa standar atau ragam bahasa, sedangkan Tarigan (1984:30) menjelaskan tentang kosakata baku sebagai berikut. Kosakata baku adalah kata yang sesuai dengan EYD, atau kata yang biasa digunakan dalam forum resmi, misalnya rapat, diskusi. Kegiatan belajar mengajar, dan juga untruk penulisan karya ilmiah, sedangkan kata nonbaku adalah kata yang digunakan dalam kahidupan sehari-hari atau acara non-formal, misalnya percakapan antarteman akrab.
*Dra.Ismawirna,M.Pd. Dosen Kop.Wil I dpk pada FKIP USM Banda Aceh
Dengan demikian, penggunaan kosakata baku merupakan kosakata yang banyak digunakan oleh golongan masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan paling besar kewibawaannya. Bahasa baku juga mempunyai norma-norma yang telah dikodifikasikan dan diterima oleh semua golongan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk membicarakan masalah kosakata baku sehingga penelitian ini berjudul “Penguasaan Kosakata Baku Bahasa Indonesia Siswa Kelas VIIISMP Negeri 1 Lhoknga Kabupaten Aceh Besar”. Permasalahan dalam penelitian ini adalah, Aceh Besar?” Sesuai dengan permasalahan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran dan informasi tentang penguasaan kosakata baku siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lhoknga Kabupaten Aceh Besar. Di samping itu, penelitian ini berorientasi kepada kepentingan pendidikan dan pengajaran, khususnya dalam usaha pengembangan dan peningkatan mutu bahasa Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi usaha-usaha pengembangan pengajaran bahasa Indonesia.
METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian, sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan. Yang menjadi populasi dalam mpenelitian ini adalah semua siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lhoknga tahun ajaran 20011/2012 yang berjumlah 102 orang. Menurut Arikunto (1986:107) menyebutkan, “Apabila subjek penelitian kurang dari 100, lebih baikm diambil semua, sehingga penelitian merupakan penelitian populasi. Selanjutnya, bila subjekbya lebih besar dari 100, maka dapat diambil sebanyak 10-15% atau 20-25% atau lebih. Berdasarkan pendapat tersebut, sampel penelitian ini ditetapkan sebesar 30% dari jumlah populasi. Pangambilan sampel dilakukan secara acak (random sampling). Dalam hal ini, random dilakukan dengan mengundi nama siswa sehinggan kaluar 34 nama sebagai sampel.
Metode dan Teknik Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Metode ini dianggap tepat, karena penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran gambaran dan informasi tentang penguasaan kosakata baku dalam bahasa Indonesia.
Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik tes. Tes yang dilakukan dalam bentuk pilihan berganda (multiplt choise) yang terdiri atas 20 soal. Materi tes diambil dari bahan pelajaran bahasa Indonesia berdasarkan KTSP yang mencakup kosakata baku bahasa Indonesia. Pengolahan data penelitian ini dilakukan dengan teknik luantitatif, yaitu menghitung nilai rata-rata dengan menggunakan metode statistic. Proses pengolahan data mengikuti langkahlangkah sebagai berikut: (1) Menetapkan range (Rg); (2) Menetapkan interval (I); (3) menghitung kelas interval (K); (4) menysun tabel distribusi frekuensi; (5) menghiting rata-rata atau mean (M). Nilai rata-rata dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut.
M=
ࢳfx N
Keterangan: M = nilai rata-rata atau mean Ȉ = sigma atau jumlah f = frekuensi atau jumlah nilai yang sama x
= nilai tengah atau rentang tengah
N = jumlah sampel
Setelah diperoleh nilai rata-rata atau mean penguasaan kosakata baku bahasa Indonesia siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lhoknga, dalam hal ini penulis menggunakan nilai rata-rata sebagai data penelitian dan dikonsultasikan dengan skala pencapaian nilai dan kategori yang dikonsultasikan berpedoman pada nilai klasifikasi dan kategori yang dipergunakan Depdiknas sebagai berikut.
Kategori A B C D E
Nilai 86 – 100 71 -- 85 56 – 70 40 – 55 0 -- 39
Klasifikasi Baik sekali Baik Cukup Kurang Kurang Sekali
Berdasarkan klasifikasi nilai di atas, dapat diketahui tingkat penguasaan kosakata baku siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lhoknga, KabupatenAceh besar apakah termasuk dalam kategori nilai baik sekali, baik, cukup, kurang ataupun kurang sekali.
Hasil Penelitian Pengelompokan data Data penelitian ini dikelompokkan berdasarkan rumusan masalah yaitu tingkat penguasaan kosakata baku bahasa Indonesia. Adapun skor-skor yang diperoleh siswa dari hasil tes berdasarkan urutan sampel adalah sebagai berikut.
50
55
80
60
78
66
73
50
60
63
46
66
58
40
63
56
56
66
66
46
63
70
60
63
40
66
58
70
48
70
48
53
73
80
Untuk memudahkan pengolahan data, nilai-nilai ntersebut disusun secara berurutan dari nilai tertinggi sampai nilai terendah. 80
80
78
73
73
70
70
70
66
66
66
66
66
63
63
63
63
60
60
60
58
58
56
56
56
53
50
50
48
48
46
46
40
40
Pengolahan dan Analisis Data Langkah-langkah yang ditempuh untuk menolah dan menganalisis data penelitian terbagi atas lima langkah, yaitu sebagai berikut. (1) Penentuan range (R) (2) Penentuan lebar kelas Interval (I) (3) Penentuan jumlah kelas (K)
(4) Penyusunan tabel distribusi frekuensi (5) Pencarian nilai rata-rata (mean) Langkah pertama; Penentuan Range (Rg) Range merupakan selisih antara nilai tertinggi dengan nilai terendah. Untuk menentukan range ini digunakan rumus sebagai berikut. R = H – L+ 1 Keterangan; R = total range H = nilai tertinggi L = nilai terendah 1
= bilangan konstan
Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui bahwa nilai tertinggi (H) adalah 80 dan nilai terendah (L) adalah 40. Dengan demikian, range (Rg) data tersebut adalah sebagai berikut. R = H – L +1 = 80 – 40 + 1 = 40 + 1 = 41
Langkah Kedua: Penentuan Lebar Kelas (I) Penentuan lebar kelas (interval) nilai tes dalam penelitian ini dilakukan dengan cara memilih salah satu bilangan ganjil, misalnya 3,5,7,9. Untuk perhitungan ini biangan ganjil yang diplilih adalah 5.
Langkah Ketiga: Penentuan Jumlah Kelas (K) Penentuan jumlah kelas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Sudjiono (1994:50), yaitu sebagai berikut. K = Rg 1 Keterangan:
K = kelas yang dicari Rg = total range
Diketahui Rg = 41 dan I = 5, maka jumlah kelas yang diperoleh adalah: K = 41 = 8,2 dibulatkan menjadi 8. 5
Langkah keempat: Penyusunan Tabel Distribusi Frekuensi Tabel distribusi frekuensi disusun berdasarka data-data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kelompok Nilai 73 -- 80 65 -- 72 57 -- 64 49 -- 56 41 -- 48 33 -- 40
F 3 5 12 7 5 2 34
x 76 68 60 52 44 36
Fx 228 340 720 364 220 72 1944
Langkah kelima: Penyusunan Nilai Rata-Rata (Mean) Nilai rata-rata hasil tes penguasaan kosakata baku bahasa Indonesia siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut. M =
Ȉfx N
Keterangan: M F x fx N
= = = = =
mean (rata-rata) frekuensi nilai tengah nilai perkalian f dengan x banyak siswa
Diketahui
Ȉfx N Jadi, M
= 1994 = 34 = 1994 34
= 58,6 dibulatkan menjadi 59
Dilihat dari nilai rata-rata yang dicapai, dapat dikatakan bahwa tingkat penguasaan kosakata baku bahasa Indonesia siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lhoknga Kabupaten Aceh Besar berada pada kategori Cukup.
PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Kosa katabaku adalah kosakata yang digunakan oleh seseorang dalam berkomunikasi dalam situasi resmi baik secacara lisan maupun tulis yang sesuai dengan kaidah atau 2. Hasil tes tingkat penguasaan kosakata baku siswa kelas VIII SMP Negeri Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar yaitu nilai rata-rata yang diperoleh siswa adalah 59. 3. Apabila dilihat dari hasil pencapaian nilai tersebut, jika diklasifikasikan berdasarkan nilai yang ditetapkan Dinas Pendidikan Daerah maka nilai tersebut berada pada kategori nilai cukup yaitu berada pada rentang 56 – 70. Dengan demikian hipotesis yang diajukan tidak dapat diterima/ditolak. Saran Berdasarkan uraian di atas, penulis mengajukan saran, yaitu sebagai berikut. 1. Pembelajaran kosakata hendaknya lebih ditingkatkan lagi mengingat kosakata merupakan materi yang sukar dipahami oleh siswa, terutama menggunakan kosakata baku bahasa Indonesia, 2. PembelajĂƌĂŶ ŬŽƐĂŬĂƚĂ Ěŝ ^DW ŚĞŶĚĂŬŶLJĂ ůĞďŝŚ ĚŝĂƌĂŚŬĂŶ ƉĂĚĂ ƵŶƐƵƌ ƉƌĂŐŵĂƚŝŬ ƐĞŚŝŶŐŐĂƐŝƐǁĂĚĂƉĂƚŵĞŶŐŐƵŶĂŬĂŶŬŽƐĂŬĂƚĂďĂŬƵďĂŝŬĚĂůĂŵďĞŶƚƵŬůŝƐĂŶŵĂƵƉƵŶƚƵůŝƐ͘
DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan. Ed.1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Arikunto, Suharsimi. 1991. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Aksara.
Praktis. Jakarta: Bina
Badudu, J.S. 1987. Membina Bahasa Indonesia Baku. Bandung: Pustaka Prima.
Chaer, Abdul. 1998. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Prima. Depdikbud.2004. Kurikulum Bahasa Indonesia SMP 2006. Jakarta: Depdikbud. ---------------------. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Depdikbud Keraf, Gorys. 1984. Tata Bahasa Indonesia. Ende-Flores: Nusa Indah. Kridalaksana, Harimurti. 1982. Linguistik Umum. Jakarta: Pustaka Prima. Tarigan, H.G. 1983. Kosakata bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. ----------------. 1984. Pengajaran Kosakata. Jakarta: Bandung Angkasa.
----------------0000--------------
1 INPLEMENTASI CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING DALAM KTSP MATA PELAJARAN BIOLOGI Oleh Jailani* FKIP Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh Abstract: The competence based curriculum allows the regions or schools to develop their own syllabi that refer to the basic competence set by the curriculum center. Competence is to des cribe a person as competent in area of work if they have the knowledge, skill, and attitudes to be able to function at some minimum acceptable level. The competence based curriculum (CBC) must be followed up by developing its syllabi. Thereby the syllabi will be more relevant the condition and the interest of the regeonal stakeholders. The teaching method should be contextual. This article, concerns a critical analysis of how the learning experience and the teaching materials of biology subject are designed based on Contextual Teaching and Learning (CTL). The student must have contacts with the real world. Education quality will improve along with learning process improvement.
Kata-kata kunci: Pendekatan kontekstual, kurikulum tingkat satuan pendidikan, pembelajaran biologi
Langkah yang ditempuh untuk mewujudkan kualitas pendidikan dapat terlaksana jika proses pendidikan di sekolah benar-benar menjadikan siswa belajar dan belajar sebanyak mungkin. Novak & Gowin, 1984; dalam Arend, (2001) mengemukakan bahwa “mutu pendidikan harus dilihat dari meningkatnya kemampuan belajar siswa secara mandiri. Pengetahuan apapun yang mereka kuasai adalah hasil belajar yang mereka lakukan sendiri”. Pendekatan merupakan arah atau kebijaksanaan yang ditempuh seseorang untuk mencapai tujuannya. Pendekatan dalam pembelajaran merupakan arah atau kebijaksanaan yang ditempuh guru dan siswa dalam usaha mencapai pengalaman belajar siswa yang ditinjau dari cara materi itu disajikan. Pembelajaran merupakan upaya untuk membelajarkan siswa. Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (2003:7) “pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik (siswa) dengan pendidik (guru) dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Dengan demikian pembelajaran bukanlan proses memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan kegiatan yang
memungkinkan siswa untuk dapat membentuk pemahamannya terhadap pengetahuan yang sedang dipelajarinya. 2. Hakekat Pendekatan Kontekstual Dalam Pembelajaran Pengajaran dan pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengaitkan isi mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara dan tenaga kerja (U.S. Departement of Education and the National School to Work Office yang dikutip oleh Blanchard dalam Nur, 2002). Pendekatan kontekstual merupakan pendekatan pembelajaran yang memiliki landasan berpikir (filosofi) konstruktivisme. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, siswa mengkonstrusikan sendiri pengetahuannya. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep, atau kaedah yang siap untuk diambil dan diingat. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah,
2 menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya. Guru tidak mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mampu mengkonstruksikan pengetahuan dalam benaknya sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan menstransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain. Pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan para siswa mampu menguatkan, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademik mereka dalam berbagai macam tatanan dalam sekolah dan luar sekolah, agar dapat memecahkan masalah-masalah dunia nyata atau masalah-masalah yang disimulasikan. Selanjutnya Mc Ashan, dalam Anwar 2004 menyatakan bahwa pembelajaran berbasis kompetensi adalah program pembelajaran dimana hasil belajar atau kompetensi yang diharapkan dicapai oleh siswa, sistem penyampaian, dan indikator penyampaian hasil belajar dirumuskan secara tertulis sejak perencanaan dimulai. Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses ‘mengkostruksi’ bukan ‘menerima’ pengetahuan. Dalam proses pembelajran, siswa membangun sendiri pengetahuannya melalui kerterlibatan aktif dalam proses pembelajaran. Disini siswa yang menjadi pusat kegiatan, bukan guru. Hal ini didasarkan pada hakikat siswa sebagai individu yang mempunyai potensi untuk mencari dan mengembangkan dirinya. Dengan demikian lingkunganlah yang harus diciptakan untuk menunjang potensi siswa tersebut. Dalam rangka ini guru tidak perlu berdaya upaya menjejali siswa dengan segudang informasi, sehingga membuat anak didik tidak kreatif dalam mencari, menemukan, dan mengkonstruksikan pengetahuannya. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual lebih menekankan atau diutamakan pada ‘strategi memperoleh pengetahuan’ dibandingkan ‘seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan’. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan tansfer pengetahuan dari guru ke siswa. Jadi di sini strategi pembelajaran lebih diutamakan dari pada hasil yang didapat siswa. Pembelajaran dilakukan dengan menggunakan ‘dunia nyata’ siswa sebagai titik pangkal dan kegiatan guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimikilinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Tugas guru lebih banyak berurusan dengan strategi untuk
memberdayakan siswa sehingga dapat mengkonstrusikan pengetahuannya daripada memberikan informasi. Guru sebagai fasilitator, yang memfasilitasi agar informasi baru bermakna, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri. Ciri pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontekstual yaitu dengan filosofi belajar konstrutivisme, selalu ada unsur bertanya, pengetahuan dan pengalaman diperoleh dari kegiatan menemukan, terbentuk masyarakat belajar, ada model yang ditiru, dan penilaian dilakukan yang sebenarnya (Nur, M. 2002). Ciri pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual adalah menggunakan masalah kontekstual, menggunakan model, menggunakan hasil dan konstruksi siswa sendiri, terjadi interaksi optimal antara siswa dan guru. Ciri fisik pembelajaran dengan kontektual yaitu dinding kelas bahkan lorong-lorong sekolahpun dapat penuh dengan tempelan hasil karya siswa. Akibatnya dimanapun siswa berada selalu dikepung oleh informasi. Dalam kelaspun siswa selalu aktif dan gembira dalam belajar. Pendekatan kontekstual merupakan pendekatan pembelajaran yang menggunakan situasi dunia nyata sebagai titik pangkal pembelajaran. Pembelajaran dengan pendekatan ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar dengan strateginya melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan yang alamiah. Hal ini mengakibatkan siswa dapat menemukan dan mengkonstruksikan sendiri pengetahuannya tentang biologi, sehingga siswa memiliki pengertian konsep yang kuat. Dengan demikian akan membantu siswa dalam penerapan kembali konsep biologi untuk menyelelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari sebagai kehidupan jangka panjang. 3. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Gonczi (dalam Tola, 2002) mengatakan bahwa competence is to describe a person as competent in area of work if they have the knowledge, skill, and attitudes to be able to function at some minimum acceptable level. Selanjutnya Echols dan Shadly (dalam Tola, 2002) mengartikan competence sebagai kecakapan, kemampuan dan ketangkasan. Kurikulum berbasis kompetensi adalah kurikulum yng dikembangkan dengan prinsip: (a) mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan (berisi prinsip-prinsip pokok, bersifat fleksibel sesuai dengan perkembangan zaman dan IPTEK)., (b) pengembangannya melalui proses akreditasi yang memungkinkan mata pelajaran dimodifikasi. Adapun dasar pemikiran dalam menggunakan
3 konsep kompetensi dalam kurikulum adalah: (1) dengan kompetensi, kemampuan peserta didik memperi peluang untuk melakukan suatu pekerjaan, (2) dengan kompetensi, pengalaman peserta didik mampu menjelaskan kompetensinya menjadi kompeten, (3) dengan kompetensi, hasil belajar peserta didik mampu menjelaskan kompetensinya setelah ia melalui proses pembelajaran, dan (4) dengan kompetensi, kemampuan peserta didik mampu diukur sesuai dengan standar pencapaian kinerjanya. Pendekatan kontekstual memandang bahwa pengetahuan bukanlah seperangkat faktafakta, konsep, atau kaedah-kaedah yang siap untuk diambil dan diingat siswa. Tetapi CTL memandang bahwa manusia harus mengkonstruksi pengetahuan dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Filosofi inilah yang menjadi dasar penggunaan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran Pendekatan kontekstual merupakan pendekatan pembelajaran yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia ‘nyata’ siswa dan memotivasi siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Depdiknas, 2003:1). Pembelajaran dengan pendekatan ini dimulai dengan menggunakan masalah kontekstual (Context Problem) sebagai titik pangkal (starting point) dan ini sesuai dengan perkembangan intelektual siswa pada umumnya yang bergerak dari konkret ke abstrak. Urutan sajian materi pelajaran sesuai dengan perkembangan intelektual siswa mengingat objek studi dari biologi yang tidak hanya bersifat kongkrit, tapi ada juga yang bersifar abstrak. 4. Imlementasi Contextual Teaching and Learning Dalam KTSP Matapelajaran Biologi Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) dikembangkan oleh The Wasington State Concortium for Contextual Teaching and Learning, yang melibatkan 11 perguruan tinggi, 20 sekolah, dan lembagalembaga yang bergerak dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Dari Indonesia, melalui Direktorat SLTP Depdiknas telah mengirim guruguru dari enam propinsi untuk belajar pendekatan kontekstual. Ide utama dari pendekatan kontekstual adalah bahwa siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali (reinvent) konsep biologi dengan bimbingan orang dewasa (Anonimous, 2003). Dalam pendangan ini aktivitas anak merupakan hal yang penting. Oleh
karena itu guru harus menyediakan ide-ide biologi untuk siswa. Hal ini hanya mungkin jika guru memberikan reaksi kepada siswa sehingga memungkinkan mereka untuk dapat menguasai biologi. Pendekatan kontekstual dalam pembelajaran menggunakan ‘dunia nyata’ yang konkret sebagai titik pangkal pembelajaran. Hal ini sangat relevan dengan pembelajaran biologi yang dikembangkan oleh Freudenthal (dalam Suryanto, 2000:110) yang menurutnya, biologi harus dihubungkan dengan kenyataan, berada dekat dengan siswa dan relevan dengan kehidupan masyarakat agar memiliki nilai manusiawi. Pandangannya menekankan bahwa materi biologi harus dapat ditransmisikan sebagai aktifitas manusia (human activity). Pembelajaran harus memberikan kesempatan siswa untuk reinvent (menemukan/menciptakan) biologi melalui praktek (doing it). Belajar sambil melakukan aktifitas (learning by doing) pengalaman belajar yang didapat oleh siswa lebih tahan lama tersimpan dalam benak siswa. Dengan demikian dalam pendidikan biologi, seharusnya tidak sebagai sistem yang tertutup tetapi sebagai suatu aktifitas dalam proses biologi. Hal ini dapat dilakukan melalui penyajian materi secara realistik, dengan menggunakan ‘dunia nyata’ sebagai titik pangkal (starting point). Para pakar pendidikan biologi dan pakar biologi berusaha menyusun pelajaran biologi sebagai kegiatan manusia (siswa) menggunakan dunia ‘nyata’ bukan sebagai barang ‘jadi’ atau barang ‘siap saji’. Kenyataannya program pembelajaran pendidikan biologi dengan menggunakan dunia ‘nyata’ menunjukkan hasil yang baik, (Arend, 2004). Masalah nyata yang dimaksud bukan hanya karena titik tolak pembelajaran berhubungan dengan dunia nyata dalam arti sehari-hari, tetapi juga menekankan pembelajaran dengan menyajikan situasi yang dapat dibayangkan (to image ) oleh siswa itu sendiri. Jadi penekanannya pada membuat masalah itu menjadi nyata dalam pikiran siswa. Oleh karena itu situasi masalah yang digunakan untuk pembelajaran dengan pendekatan kontekstual harus mempunyai konteks atau kaitan dengan dunia nyata yang dipahami oleh siswa dalam arti sehari-hari, atau berkaitan dengan dunia yang dapat dibayangkan oleh siswa. Dalam hal ini Suryanto (2000:112) menyatakan bahwa dunia nyata yang dapat dibayangkan oleh siswa dapat berupa dunia pantasi, dunia dongeng, atau dunia biologi, asal saja dunia itu nyata dalam benak siswa. Penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran dalam buku “Pendekatan
4 Kontekstual (Contextual Teaching and Learning (CTL)) yang diterbitkan oleh Depertemen Pendidikan Nasional (2003:10) disebutkan bahwa, Penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran secara garis besar adalah sebagai berikut: (1) Kembangkan pikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mngkonstruksikan sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya, (2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik, (3) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya, (4) Ciptakan ‘masyarakat belajar’ (belajar dalam kelompok-kelompok), (5) Hadirkan ‘model’ sebagai contoh pembelajaran, (6) Lakukan refleksi di akhir pertemuan, (7) Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara. Kedudukan guru juga sebagai mediator yang dapat diartikan sebagai penengah atau pengatur jalannya diskusi, karena pembelajaran dengan pendekatan kontekstual disarankan pelaksanaannya melalui belajar kelompok. Melalui belajar kelompok diharapkan siswa yang sudah tahu memberitahu temannya yang belum tahu, dan siswa yang belum mengerti diharapkan menanyakan pada siswa yang sudah mengerti. Dalam kegiatan pembelajaran terjadi pola interaksi yang optimal. Melalui kegiatan diskusi diharapkan siswa dapat menemukan pengalaman belajar sebagai pengetahuan atau keterampilan yang berguna baginya. Sebagai mediator, jika diperlukan, guru harus mampu menghadirkan media (model) dalam pembelajaran untuk menjembatani dunia nyata ke dunia simbol sehingga proses pembelajaran biologi terjadi dalam situasi yang nyata bagi siswa, tidak terjadi dalam alam khayal. Mengingat objek dari biologi yang sangat komplek, maka pembelajaran biologi perlu dilakukan dengan pendekatan kontekstual atau realistik, yaitu dihubungkan dengan ‘dunia nyata’ kenyatan, berada dekat dengan siswa dan relevan dengan kehidupan masyarakat agar memiliki nilai manusiawi. Pandangannya menekankan bahwa materi biologi harus dapat ditranmisikan sebagai aktifitas manusia (human activity). Pembelajaran harus memberikan kesempatan siswa untuk reinvent (menemukan/menciptakan) biologi melalui belajar sambil bekerja (learning by doing). Dalam hal ini Djamarah (2000:67), menyatakan belajar sambil melakukan aktivitas lebih banyak mendatangkan hasil bagi siswa. Dengan demikian dalam pendidikan biologi, seharusnya tidak sebagai sistem yang tertutup tetapi sebagai suatu aktifitas dalam proses pebiologian. Dengan demikian kurikulum
berbasis kompetensi bila diintegrasikan dengan pengajaran dan pembelajaran kontekstual akan lebih bermakna bagi siswa, karena disamping memiliki kompetensi yang jelas setelah mengikuti proses pembelajaran, juga sesuai konteks dengan dunia nyata. 5. Penutup Kondisi daerah yang berbeda-beda, memungkinkan pengembangan silabus yang berbeda pula. KTSP menekankan kepada sejumlah kompetensi dasar siswa, maka di dalam pengembangan silabusnya perlu difokuskan prinsip pembelajaran yang bersifat kontekstual. Oleh karena itu KTSP perlu diintegrasikan dengan pembelajaran dan pengajaran kontekstual. Pendekatan kontekstual dalam pembelajaran biologi berorientasi pada proses dan pengalaman sehari-hari (dunia nyata), yang berarti siswa belajar biologi harus relevan dengan situasi hidup sehari-harinya dengan menggunakan strategi belajarnya masing-masing. Jika dikaitkan dengan sifat dari biologi yang mempunyai objek yang kongkrit dan daya kognitif manusia yang bergerak dari konkret ke abstrak, maka pembelajaran biologi sangat cocok/sesuai dengan menggunakan pendekatan kontekstual. Pembelajaran biologi dengan pendekatan kontekstual lebih memusatkan kegiatan belajar pada siswa dan dunia ‘nyata’ sebagai titik pangkal pembelajar sehingga memungkinkan siswa untuk kreatif mengkonstruksi sendiri pengetahuan biologinya yang memberikan kontribusi yang bermakna bagi pengembangan dan penerapan biologi siswa tersebut. Peran guru dalam pembelajaran dengan pendekatan kontekstual lebih sebagai fasilitator, mediator, dan sebagai motivator sehingga siswa dapat belajar dengan strateginya masing-masing untuk mengkonstruksi pengetahuannya daripada sebagai transfer pengetahuan Oleh karena itu para guru biologi harus tahu dan memahami dengan jelas tentang konsep dasar CTL dan mampu mengaplikasikannya dalam KTSP. DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2003. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning (CTL)). Jakarta: Depertemen Pendidikan Nasional. Anonimous. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
5 Anwar, M. 2004. Pengembangan Kurikulum Dan sistem Penilaian Berbasis Kompetensi. Makalah Disampaikan Pada Seminar Pendidikan Se NAD Ikatan Mahasiswa Biologi (IMABIO) FKIP-USM Banda Aceh.
and Learning). Surabaya: pusat Sain dan Matematika Sekolah, Unesa. Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Biologi di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Arends, I. R. 2001. Learning to Teach. (5thEd.). Boston: McGrwa-Hill. De Lange, J.1995. Assessment: No. Change without Problem. Dalam Romberg T.A. (ed.), Reform in School Mathematics and Authentic Assessment. New York: Suny Press.
Suryanto. 2000. Pendekatan realistik: Suatu Inovasi Pembelajaran Biologi. Jurnal Cakrawala Pendidikan. Juni 2000 tahun XIX No. 3 LPM Universitas Negeri Jogjakarta.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta
Tola, B. 2002. Pengembangan Kurikulum dan Sistem Penilaian Berbasis Kompetensi. Makalah Workshop di FMIPA Universitas Negeri Surabaya. Tgl. 30 Agustus 2002.
Nur, M. 2002. Pengajaran dan Pembelajaran Kontekstual (Contekstuan Teaching
KOORDINASI PENGAWAS DAN KEPALA MADRASAH DALAM MENINGKATKAN PRESTASI KERJA GURU MTsN RUKOH KOTA BANDA ACEH Oleh Riana Repina**)
Abstrak: Koordinasi pengawas dan kepala madrasah dilaksanakan dalam organisasi pendidikan untuk memperlancar pelaksanaan tugas dala rangka mencapai tujuan pendidikan dengan sumber daya pendidikan yang terbatas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis halhal yang berkenaan dengan koordinasi antara pengawas dan kepala madrasah dalam meningkatkan prestasi kerja guru, pelaksanaan koordinasi antara pengawas dan kepala madrasah dalam meningkatkan prestasi kerja guru, hambatan dalam berkoordinasi yang dialami pengawas dan kepala madrasah dalam meningkatan prestasi kerja guru MTsN Rukoh Kota Banda Aceh. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif analitis. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Subjek dari penelitiaan ini adalah Pengawas Madrasah, Kepala Madrasah, Wakil Kepala Madrasah Bidang Kurikulum, Kepala seksi Majelis Pendidikan Agama Daerah (Kasi Mapeda) Kantor Kementrian Agama Kota Banda Aceh, Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), dan Guru MTsN Rukoh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Program koordinasi pengawas dan kepala madrasah di MTsN Rukoh yang dirumuskan adalah program tahunan kegiatan supervisi terhadap kinerja guru dalam hal melaksanakan penampilan guru dalam proses belajar-mengajar, keterampilan guru menggunakan media, persiapan mengajar guru (Silabus, RPP). Menyusun waktu penjadwalan pembinaan dan pelayanan kemampuan mengajar guru intensitasnya 1 kali sebulan dilakukan pengawas dan kepala madrasah, kemudian menyusun hasil analisis evaluasi kedalam format program kegiatan yang telah ditentukan oleh Kantor Kementerian Agama Kota Banda Aceh. (2) Pelaksanaan koordinasi dilakukan pengawas dan kepala madrasah di MTsN Rukoh untuk keperluan supervisi dilakukan dengan cara individu, observasi kelas, kunjungan kelas dan bersifat kelompok, rapat supervisi, pelatihan guru. Kegiatan supervisi oleh pengawas dan kepala madrasah dilakukan didukung bukti fisik. Koordinasi berjalan baik karena adanya informasi, komunikasi dan pemahaman yang sama (3) Penghambat koordinasi disebabkan oleh faktor eksternal adalah persaingan mutu sekolah (madrasah) semakin terasa berat, pembinaan pembelajaran harus dilakukan semakin serius dan dilaksanakan semakin sungguh-sungguh. Kata kunci: Koordinasi dan prestasi kerja **) Riana Repina adalah Mahasiswi Program Studi Magister Administrasi Pendidikan Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
dan peningkatan kesejahteraan hidup manusia. Hal ini sesuai dengan keluarnya UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu mewujudkan manusia yang mampu mengusai ilmu pengetahuan berakhlaqul kharimah. Landasan yuridis tersebut mengandung makna kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang berpendidikan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama pemberdayaan pendidikan menjadi faktor kunci yang diupayakan untuk mendorong pendidikan dalam mencapai tujuan. Dengan demikian pendidikan memiliki peran strategis. Secara umum terbukti seseorang memiliki latar belakang pendidikan yang baik, maka tingkat kesejahteraan
I. PENDAHULUAN Pendidikan seutuhnya banyak dibicarakan, hidup membutuhkan belajar, orang yang belajar memerlukan bantuan dari proses pembelajaran. Pembelajaran mendambakan orang yang mampu mendapat bantuan, mendapat suport dan diajak untuk tukar pendapat. Dibidang pendidikan diperlukan supervisor yang dapat membantu pertumbuhan sumber daya guru dan profesi agar mengalami peningkatan prestasi kerja. Peningkatan kualitas guru harus dilakukan secara perumusan program yang berencana, efektif, efisien dilakukan, kualitas yang dimiliki guru sangat penting guna meningkatkan prestasi kerja guru yang dapat memberikan konstribusi dalam pendidikan
1
semakin baik pula, hal ini dimungkinkan karena orang berpendidikan lebih produktif. Produktifitas seseorang meningkat dikarenakan dimilikinya pengetahuan dari pendidikan. Oleh karena itu, salah satu tujuan yang dicapai dalam pelaksanaan pendidikan adalah mengembangkan kecakapan hidup meliputi penguasaan ranah cognitive, affective,dan psycomotoric secara proposional sesuai bidang keahlian masing-masing. Penguasaan keterampilan ilmu pengetahuan memiliki keterkaitan pada elemen memproduk dalam organisasi, sekolah (madrasah) merupakan kumpulan orang melaksanakan fungsinya dan saling berhubungan untuk meringankan tugas-tugas dalam organisasi pendidikan terintregrasi efektif dan efisien. Oleh karena itu organisasi sekolah (madrasah) berhasil memiliki citacita , visi dan misi yang jelas. Misi dirumuskan oleh pengelola sekolah (madrasah) berdasarkan masukan dari personil (guru) komite sekolah (madrasah) serta kebijakan pemerintah, yang paling penting bagi pengembangan dan implementasi misi sukses dengan melibatkan berbagai pihak secara aktif oleh penyelenggaraan pendidikan. Sehubungan dengan hal diatas, sebagian penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 yang berisi makna, visi dan misi serta strategi tentang pembangunan nasional. Karena itu para penyelenggara pendidikan hendaknya mengimplementasi ketentuan tersebut. Penyelenggara pendidikan seperti kepala madrasah, pengawas pendidikan mempunyai tugas yang sama membantu melayani guru di madrasah. Jadi penyelenggara pendidikan harus mencurahkan segala energi dan waktunya untuk menyusun program peningkatan sumber daya manusia secara maksimal untuk sekolah (madrasah) yang dipimpin dan dibinanya. Personal penyelenggara madrasah (sekolah) bertanggungjawab adalah kepala madrasah dan pengawas. Melihat realisasi tugas kepala madrasah dan tugas pengawas mempunyai relevan dan sinkron mempunyai konstribusi pendidikan (guru-guru) dalam upaya peningkatan prestasi kerja guru, melalui pendekatan supervisi terhadap guru, sesuai data dan analisis kebutuhan masing-masing guru yang ada di madrasah. Namun demikian pengawas dan kepala madrasah belum dapat melakukan supervisi efektif bahkan semakain
kurang keefektifannya, adapun alasan banyaknya beban tugas pengawas dan kepala madrasah, mereka keduanya tidak saling tahu apa yang mereka lakukan. Oleh karena itu dicari alternatif cara tepat bagi kondisi lapangan, baik langsung maupun tidak langsung mengarah kepada pencapaian tugas organisasi. Sehubungan itu penyelenggara pendidikan yang bermutu perlu pengaturan hubungan kerjasama untuk pencapaian tujan organisasi. Salah satu faktor pencapaian adalah koordinasi antara pengawas dan kepala madrasah dilaksanakan untuk memperlancar pelaksanaan tugas dalam rangka mencapai tujuan bersama dengan sumber daya pendidikan yang terbatas secara efektif dan efisien. Hal itu membawa implikasi terhadap pengembangan sumber daya guru. Koordinasi dilaksanakan untuk efektifitas, efesiensi dan produktifitas dalam merealisasi program yang ada di madrasah serta saling tahu apa yang dilakukan. Hal ini Hasibuan (2008:31) mengemukakan bahwa: “koordinasi dimaksudkan untuk mensinkronkan dan mengintegrasikan segala tindakan supaya terarah kepada sasaran yang diinginkan”. Pelaksanaan koordinasi Pengawas dan Kepala Madrasah secara efektif dilakukan supaya tahu apa yang sudah mereka lakukan, terlaksananya semua tugas-tugas pokok, ketepatan waktu dan adanya partisipasi aktif dari personil (guru,staf). Aspeknya dapat dilihat prestasi kerja guru, prestasi siswa (kelulusan), indikator mengacu pada produktivitas pengawas, kepala madrasah, peserta didik, kualitas program yang dihasilkan kinerja guru, peserta didik (kelulusan). Hasil observasi yang dilakukan terhadap dokumen program kerja Kepala MTsN Rukoh dan program kerja Pengawas interview terbatas dengan kepala MTsN Rukoh pada saat pra-survey diperoleh informasi bahwa secara realita dilapangan guru di MTsN Rukoh peningkatan sumber daya guru melalui perumusan program kegiatan supervisi berkunjung ke kelas dilakukan Pengawas dan Kepala MTsN Rukoh dalam satu semester rata-rata sebulan sekali, tetapi berdasarkan kenyataan untuk perkembangan madrasah harus dapat terpenuhi kebutuhannya proses pembelajaran sebagaimana mestinya. Terlaksananya pembelajaran yang bermutu adanya koordinasi
2
diperlukan berhubungan dengan kajian penelitian dengan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi, untuk menguji keabsahan data dilakukan kredibilitas adalah ukuran kebenaran hasil penelitian untuk menunjukkan seberapa jauh kebenaran hasil penelitian dapat dipercaya. Teknik analisis data dilakukan dengan reduksi data, display dan verifikasi..
antara Pengawas dan Kepala Madrasah dalam pelaksanaan pembinaan sumber daya guru dalam proses pembelajaran serta persiapan pengajaran (silabus, RPP) dan pengaturan waktu pembinaan dengan baik dengan mengidentifikasi data disinkronkan untuk upaya-upaya apa yang dilakukan berdasarkan data yang di dapat bersama, untuk pembinaan, efisien, efektif tentu akan menimbulkan dampak terhadap prestasi kerja guru serta kompetensi lulusan yang di hasilkan peserta didik. Dari uraian diatas dapat ditegaskan peningkatan prestasi kerja guru tidak terlepas dari pelaksanaan kordinasi pengawas dan kepala madrasah dalam kegiatan supervisi. Sehubungan dengan itu koordinasi Pengawas dan Kepala Madrasah dalam meningkatkan prestasi kerja guru, maka penulis tertarik merumuskan masalah “ bagaimanakah koordinasi Pengawas dan Kepala Madrasah dan meningkatkan prestasi kerja guru MTsN Rukoh Kota Banda Aceh ?”.
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa program koordinasi melalui kegiatan supervisi yang dirumuskan Pengawas dan Kepala Madrasah adalah program kerja tahunan, waktu dan tempat layanan, pengembangan sumber daya guru. Berdasarkan observasi dan hasil wawancara dengan Kasi Mapeda, Wakil Kepala Madrasah, Ketua MGMP, guru mengatakan bahwa Pengawas dan Kepala Madrasah ada merumuskan program tahunan kegiatan supervisi terhadap kinerja guru seperti melaksanakan proses belajar mengajar, ketrampilan guru menggunakan media, persiapan mengajar guru (silabus, RPP). Menyusun waktu penjadwalan pembinaan dan pelayanan kemampuan mengajar guru intensitasnya 1 kali sebulan dilakukan pengawas dan kepala madrasah. Gambaran tentang program supervisi guru-guru dilakukan adalah : 1) Identifikasi berdasarkan kebutuhan 2) Alternatif pemecahannya 3) Evaluasi 4) Revisi bila diperlukan. Program koordinasi Pengawas dan Kepala Madrasah untuk meningkatkan prestasi kerja guru melalui kegiatan supervisi di MTsN Rukoh Banda Aceh memperhatikan input proses dan output yang akan dihasilkan dari program tersebut. Dalam wawancara dengan Pengawas, Kepala Madrasah, Kasi Mapeda, Wakil Kepala Madrasah, ketua musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) dan guru MTsN Rukoh Kota Banda Aceh mengatakan bahwa: Dalam perumusan perumusan program kegiatan supervisi sebenarnya Pengawas dan Kepala Madrasah telah ada masing-masing program kegiatan supervisi yang tertuang dalam program kerja tahunan pengawas dan program kerja tahunan kepala madrasah sedangkan perumusan program yang perlu esensial adalah penggiliran atau penjadwalan
II. METODE A. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, karena pada hakekatnya adalah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan lingkungan mereka, dan berusaha memahami bahasa serta tafsiran tentang dunia sekitarnya. Dengan penelitian kualitatif peneliti secara langsung berhubungan dengan sumber data untuk melakukan pengamatan sambil berpartisipasi, sehingga dapat menghasilkan data yang lebih mendalam, lebih terinci, mengamati objek maupun subjek merupakan salah satu kegiatan penting yang harus dilakukan peneliti dalam penelitian kualitatif. Kegiatan ini harus dalam suasana wajar tanpa kondisi yang dimanipulatif, kegiatan penting lainnya, yaitu berinteraksi dengan lingkungan terutama dengan subjek penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti harus mampu menciptakan hubungan baik agar informasi yang dibutuhkan mudah diperoleh. Dalam penelitian ini, yang dijadikan subjek penelitian adalah Kasi Mapeda, Pengawas, Wakil Kepala Madrasah, Ketua MGMP, Guru MTsN Rukoh Kota Banda Aceh. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mendalami dan terjun langsung untuk mengumpulkan sejumlah informasi yang
3
kerja terfokus pada kinerja guru dan penentuan pengaturan waktu, pengawas dan kepala madrasah, secara bergiliran melakukan supervisi di kelas memberi bantuan pembinaan secara efektif dan efisien, hal ini dapat dilihat dari frekuensi pelaksanaannya. Berdasarkan data dokumentasi MTsN Rukoh yang diteliti, kunjungan kepala madrasah ke dalam kelas 1 kali sebulan untuk melihat guru dalam proses pembelajaran, dan kunjungan pengawas ke dalam kelas 1 kali sebulan. Kalau dirincikan pengawasan terhadap guru di kelas ada 2 kali dalam sebulan. Mengenai pelaksanaan jadwal supervisi kunjungan kelas sudah dikoordinasi dalam perumusan program bersama, tidak menjadi tumpang-tindih dalam waktu pelaksanaan supevisi. Hal ini menunjukkan pengawasan di MTsN Rukoh berjalan lancar. Dalam pelaksanaan koordinasi pengawas dan kepala madrasah melalui kegiatan supervisi untuk meningkatkan prestasi kerja guru yang didasarkan hasil wawancara dengan Kasi Mapeda, Pengawas, Kepala MTsN Rukoh, Wakil Kepala Madrasah, Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) serta Guru MTsN Rukoh Kota Banda Aceh telah dilaksanakan secara objektif mengawasi, memantau Pengawas dan Kepala Madrasah menggunakan teknik supervisi yang telah dilakukan seperti 1) teknik individual dengan cara dilakukan di MTsN Rukoh adalah: observasi kelas, kunjungan kelas, pertemuan pribadi, dan 2) teknik kelompok yang terdiri dari: rapat guru, diskusi, pelatihan-pelatihan. Penanganan pelayanan dilakukan pengawas dan kepala madrasah dalam menggunakan teknik individual dengan cara kunjungan kelas tujuannya memperoleh data objektif mengenai cara guru mengajar, pengawas dan kepala madrasah secara bergiliran melihat keadaan sebenarnya guru mengajar. Tujuan kunjungan kelas itu mendorong guru agar meningkatkan cara mengajar guru dan cara belajar peserta didik. Kunjungan kelas di MTsN Rukoh madrasah ada yang diberi tahu dan ada yang tidak diberi tahu, sehingga guru-guru selalu mempersiapkan administrasi dan kompetensi yang dimiliki. Pembinaan teknik observasi kelas pengawas dan kepala madrasah secara bergiliran hari yang berbeda melakukan observasi untuk mendapatkan data secara objektif, dianalisis kesulitan yang dihadapi guru, pembinaan pertemuan pribadi (percakapan pribadi)
alokasi waktu untuk membina guru-guru ini dikoordinasikan dengan baik untuk saling mensinkronkan dengan data yang dikumpulkan oleh kepala madrasah dan pengawas. Dari hasil wawancara dan observasi serta dokumentasi diperoleh keterangan perumusan program tahunan pada MTsN Rukoh ada dirumuskan setiap tahun. Data dokumentasi Pengawas dan Kepala Madrasah MTsN Rukoh Kota Banda Aceh menjelaskan bahwa pada umumnya bantuan binaan yang dirumuskan adalah pengembangan sumber daya guru MTsN Rukoh Kota Banda Aceh dalam hal kompetensi guru Tahun Pembelajaran 2011/2012. Program koordinasi dirumuskan sebagai rencana oprasional titik perhatian, pembinaan, pemantauan adalah (1) pemeriksaan administrasi proses pembelajaran (silabus/RPP), (2) pengaturan penggiliran supervisi antara Pengawas dan Kepala Madrasah atau penjadwalan dan tempat pembinaan seperti di kelas waktu istirahat, di ruang guru, di ruang kepala madrasah, pusat sanggar pelatihan bersama (PSPB). Perumusan program tahunan kegiatan supervisi telah disusun awal tahun pelajaran atau pada awal setiap semester. Untuk merumuskan program tersebut kepala madrasah dan pengawas, serta guru-guru dilibatkan dalam rapat. Program tahunan kepala madrasah dalam kegiatan supervisi ada, untuk itu keduanya merumuskan langkahlangkah alternatif sebagai berikut: Pengawas dan Kepala MTsN Rukoh menyusun rencana kerja untuk satu tahun, tentang kinerja guru: (1) aspek pembinaan sumber daya guru dalam hal kompetensi guru,(2) penjadwalan pelaksanaan supevisi mencakup lama waktu untuk setiap kegiatan pembinaan,(3) Teknik pembinaan, alteratif dan solusi pemecahan masalah. Dari data dokumentasi dan observasi lapangan serta hasil wawancara: perumusan program koordinasi antara Pengawas dan Kepala Madrasah dalam melakukan ada pengaturan intensitias pembinaan, pengawas dan kepala madrasah mengadakan kunjungan kelas dan observasi kelas tiap sebulan sekali. Kalau diperincikan 2 kali satu bulan di MTsN Rukoh ada yang melihat proses pembelajaran sekaligus membina guru. Sementara itu pelaksanaan koordinasi supervisi yang dilakukan Pengawas dan Kepala MTsN Rukoh berdasarkan perumusan
4
perlengkapan administrasi pembelajaran (silabus, RPP). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pengawas dan kepala madrasah dalam melaksanakan supervisi sudah sesuai dengan perumusan program bersama seperti pengembangan sumber daya guru dan penentuan waktu sehingga kegiatan supervisi di MTsN Rukoh Kota Banda Aceh tidak tumpang tindih atau kekacauan. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengawas dan kepala MTsN Rukoh mengatakan dalam koordinasi ini melalui kegiatan supervisi berorientasi pada membimbing untuk perbaikan pengajaran terhadap guru-guru MTsN Rukoh. Pengawas dan Kepala Madrasah bertanggung jawab dalam membuat laporan kegiatan dan hasil supervisi, sedangkan Kasi Mapeda menerima laporan kegiatan dan hasil supervisi setiap bulan, serta dievaluasi kinerja pengawas dan kepala madrasah dalam kegiatan supervisi. Program koordinasi Pengawas dan Kepala Madrasah dalam meningkatkan prestasi kerja guru melalui kegiatan supervisi difokuskan pada pengembangan sumber daya guru dalam proses belajar mengajar dan penentuan waktu penggiliran pembinaan. Namun implementasi di lapangan banyak terjadi keragaman dan memahami dan melaksanakan supervisi seperti faktor rintangan implementasi di lapangan ditemukan masalah yang menghambat dalam memberi bantuan terhadap guru sebagai suatu aspek yang tidak bisa dilepaskan dari seluruh keberhasilan upaya peningkatan prestasi kerja guru seperti pelaksanakan pengembangan sumber daya guru ini, berdasarkan wawancara dengan Kasi Mapeda, Pengawas, Kepala Madrasah, Wakil Kepala Madrasah, Ketua MGMP dan Guru MTsN Rukoh Kota Banda Aceh mengatakan bahwa hambatan koordinasi yang dialami pengawas dan kepala madrasah dalam berkoordinasi untuk peningkatan prestasi kerja guru adalah faktor eksternal yang dikeluhkan oleh kepala madrasah dari Kantor Dinas Kementerian Agama Kota Banda Aceh, yang adanya panggilan rapat mendadak yang berasal dari Kantor Kementerian Agama Kota Banda Aceh sehingga tugas dan jadwal pelaksanaan kegiatan supervisi tidak dapat dilaksanakan baik oleh pengawas maupun kepala madrasah . Penelitian menunjukkan bahwa MTsN Rukoh Kota Banda Aceh dalam kegiatan
setelah kunjungan kelas, bantuan penanganan bersifat khusus berdialog langsung lebih terarah, pendekatan langsung, guru MTsN Rukoh untuk dibina dalam teknik pertemuan pribadi pada waktu peserta didik istirahat, di kantor dewan guru atau di kantor kepala madrasah. Pelayanaan pembinaan yang dilakukan pengawas dan kepala madrasah Rukoh teknik kelompok biasanya dilakukan rapat supervisi, pelatihan-pelatihan, musyawarah guru mata pelajaran (MGMP), waktu dan lokasi sudah dirumuskan dalam program bersama yaitu 1 kali sebulan dan tempatnya di MTsN Rukoh dan pusat sanggar pelatihan belajar (PSPB). Dalam rapat ini para guru mengemukakan persoalan yang dihadapi dalam proses pembelajaran.Kepala MTsN Rukoh sebagai tempat konsul memberikan, binaan bantuan pengembangan sumber daya guru sesuai masalah yang dihadapi guru, pengawas dan kepala madrasah di MTsN Rukoh mengambil alternatif pemecahan masalah yang dihadapi guru seperti mendemonstrasi mengejar pada pembelajaran inovatif, mendemonstrasikan cara mengoperasikan teknologi. Melalui rapat supervisi yang dilakukan pengawas dan kepala madrasah bantuan diberikan kepada seluruh guru MTsN Rukoh dalam satu kali pertemuan dapat bertukar pikiran secara umum pembinaan teknik yang dilakukan untuk guru MTsN Rukoh dengan cara diskusi, intensitas diadakan dalam waktu 1 kali sebulan yang dihadiri kelompok guru mata pelajaran atau musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) bertujuan untuk penyamaan persepsi, metode pengajaran dan pengembangan materi pengajaran serta simulasi pengajaran . Indikator keberhasilan bantuan diberikan membimbing kelompok di MTsN ini dapat dilihat efektivitasnya musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) dan dokumen administrasi kegiatan musyawarah guru mata pelajaran (MGMP). Pengawas dan Kepala Madrasah dalam hal ini mengambil data objektif dianalisis problema kelompok guru mata pelajaran di MTsN Rukoh untuk diselesaikan solusi alternatif mengenai pengembangan sumber daya guru dalam metode proses pembelajaran. Tindakan lainnya membuat pelatihan dalam bentuk pengadaan pelatihan di tempat tugas (PPDT) dan sudah dilaksanakan terfokus pada kinerja guru dalam proses pembelajaran,
5
menyusun program terdiri dari mengolah dan menganalisis hasil pengawasan sebelumnya dan memperhatikan kebijaksanaan di bidang pendidikan. Program tersebut meliputi program tahunan dan program semester, memberikan arahan dan bmbingan dalam melaksanakan pembelajaran dan menyusun kisi-kisi instrumen penilaian. Dari data hasil penelitian menunjukkan bahwa program koordinasi pengawas dan kepala madrasah yang dirumuskan program supervisi untuk meningkatkan prestasi kerja guru telah ada disusun dengan baik. Karena telah ada menyusun program tahunan, pembinaan guru dalam pembelajaran, melaksanakan evaluasi juga telah diprogramkan oleh pengawas dan kepala madrasah. Hal ini sejalan ungkapan Sahertian (2005:55) bahwa perlunya program yang baik, bila dipersiapkan secara matang dan tujuantujuan ditentukan dengan jelas. Hal seperti ini telah nampak dalam koordinasi program yang dirumuskan pengawas dan kepala madrasah, misalnya Kepala MTsN Rukoh dan Pengawas, sehingga peningkatan prestasi kerja guru dapat berjalan baik. Seperti diungkapkan oleh Pidarta (2009:50) sebagai berikut: Setiap supervisor memiliki program dalam melaksanakan tugasnya, program tersebut adalah “1) analisis kemampuan guru, 2) pengembangan proses pembelajaran, 3) pembinaan guru secara preventif dan kuratif, 4) hubungan masyarakat analisis kebutuhan, 5) mengembangkan kurikulum”. Analisis hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan program pengawas dan kepala MTsN Rukoh yang telah dirumuskan dalam meningkatkan prestasi kerja kepala MTsN Rukoh, karena adanya informasi, komunikasi, pemahaman yang sama antara pengawas dan kepala madrasah berimplikasi peningkatan prestasi kerja guru, sehingga kompetensikompetensi dalam proses pembelajaran menjadi maksimal. Hal ini sesuai dengan Usman (2007:87) sebagai berikut: dalam proses pembelajaran guru harus memiliki 1)kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran, 2) kompetensi kepribadian adalah kemampuan yang mantap berakhlak mulia, arif dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik, 3) kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam, 4) kemampuan sosial adalah kemampuan guru
pelaksanaan supervisi telah ada koordinasi antara pengawas dan kepala madrasah untuk meningkatkan prestasi kerja guru. Program supervisi pengawas dan program supervisi kepala madrasah diperoleh dari data program supervisi yang mereka miliki yang disusun oleh Kantor Kementrian Agama Kota Banda Aceh. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa program koordinasi pengawas dan kepala madrasah yang dirumuskan adalah program tahunan kegiatan supervisi terhadap kinerja guru dan penentuan alokasi waktu untuk mengadakan supervisi kepada guru MTsN Rukoh Kota Banda Aceh. Program Koordinasi Pengawas dan Kepala Madrasah melalui kegiatan supervisi terhadap guru pengaturan tentang guru yang diobservasi sudah secara baik dikoordinasikan karena di antara pengawas dan keduanya sudah saling tau apa yang sudah mereka lakukan, sehingga koordinasi program pengawas dan kepala madrasah berjalan baik, efektif dan efisien. Sagala (2008:55) bahwa koordinasi merupakan aktivitas, menyatupadukan dan menyelaraskan orang-orang dan pekerjaannya sehingga berlangsung tertib menuju ke arah tercapainya tujuan. Untuk peningkatan prestasi kerja guru ada sinkron, berjalan baik seperti yang diungkapkan oleh Sagala. Berdasarkan data hasil penelitian program koordinasi pengawas dan kepala madrasah, untuk peningkatan prestasi kerja guru dalam program kerja telah ada disusun awal tahun pembelajaran berlangsung sebelum proses pembelajaran dimulai. Sehingga proses pelaksanaan peningkatan prestasi kerja guru dapat berjalan lancar dan terarah, hal ini menunjukkan program pengawasan di MTsN Rukoh dilakukun secara profesional. Hal ini sejalan dengan ungkapan Sahertian (2005:55) bahwa: “perlunya program yang baik bila dipersiapkan secara matang dan tujuan-tujuan ditentukan dengan jelas”. Program kerja berisi hal-hal yang telah dipersiapkan dalam jadwal kegiatan kerjanya sudah disusun lebih dahulu. Hal-hal seperti inilah telah tampak dalam program yang dirumuskan kepala madrasah dan program pengawas yang memperhatikan kebutuhan pembinaan untuk meningkatkan prestasi kerja guru melalui pelayanan supervisi. Sesuai prosedur yang ditetapkan, hal ini didasarkan pada Thaib (2006:104) : kepala madrasah dan pengawas sebelum kunjungan madrasah harus
6
pembelajaran, melakukan pemecahan masalah yang dihadapi guru dilakukan secara individu (khusus) dan secara kelompok (umum). Dengan adanya koordinasi pelaksanaan supervisi antara pengawas dan kepala madrasah dilakukan efektif sehingga kegiatan pembelajaran terlaksana dengan baik di MTsN Rukoh. Menurut Rochaety (2006:28) “strategi tersebut merupakan keputusan memiliki dan bagaimana merencanakan metode, dampak kemajuan melalui aktivitas analisis, implementasi yang telah ditetapkan”. Demi untuk tugas guru dalam pembelajaran menjadi baik, maka pengawas dan kepala madrasah melaksanakan koordinasi dengan menerapkan teknik-teknik supervisi yang baik. Bila dianalisis pembinaan dilakukan antara Pengawas dan Kepala MTsN Rukoh selama ini menurut teori telah dikembangkan adalah teknik individu serta kelompok. Pengawas dan Kepala Madrasah melakukan teknik pembinaan secara individu merupakan prioritas utama sebagaimana yang telah ditentukan dalam program kerja kepala madrasah. Hal ini dimulai dengan prosedur pengumpulan data, melakukan evaluasi pembinaan berdasarkan catatan pada format kunjungan kelas kepada guru tiap semester atau tahunan untuk dianalisis dan sebagai bahan masukan dalam melakukan pelaksanaan pembinaan terhadap guru selanjutnya. Untuk melaksanakan teknik supervisi tentu dilaksanakan sesuai program kerja sama seperti yang sudah dilakukan MTsN Rukoh dan sudah terwujud, maka peningkatan prestasi kerja guru dalam proses pembelajaran terwujud. Suhertian dkk (2005:96) mengemukakan bahwa “prosedur selain memerlukan data yang objektif harus dilakukan berencana dan kontinyu”. Oleh karena itu pengawas dan kepala madrasah MTsN Rukoh telah melakukan evaluasi pembinaan berdasarkan catatan-catatan pada format kunjungan kelas kepada guru, untuk bahan analisis dalam membuat program pembinaan guru pada tahun berikutnya. Dengan demikian peningkatan prestasi kerja guru akan lebih efektif dalam arti sesuai dengan apa yang dibutuhkan guru MTsN Rukoh dalam mengatasi permasalahan proses pembelajaran yang terjadi. Pelaksanaan koordinasi Pengawas dan Kepala Madrasah baik dalam merumuskan program , pelaksanaan teknik-teknik supervisi dalam meningkatkan prestasi kerja guru
untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat. Koordinasi yang dilakukan pengawas dan kepala madrasah dalam kegiatan supervisi untuk peningkatan prestasi kerja guru adalah berjalan dengan baik, maksimal, efisien dan kesamaan tindakan, hal ini terlihat dari jawaban guru-guru dan sikap guru. Adanya pembinaan guru secara intensif yang dilakukan oleh pengawas dan kepala madrasah, dilakukan secara langsung dalam proses pembelajaran di kelas, penentuan strategi mengajar, pembagian tugas jam mengajar terhadap guru mata pelajaran telah memiliki sasaran dan metode pembelajaran yang baik dan benar. Pelaksanakan koordinasi pengawas kepala madrasah dalam peningkatan prestasi kerja guru melalui kegiatan supervisi telah optimal. Pembinaan menyusun persiapan pembelajaran (silabus, RPP) dengan cara individu, kelompok diskusi, musyawarah guru dan pelatihan-pelatihan. Pernyataan di atas dari hasil penelitian di MTsN Rukoh Kota Banda Aceh menyatakan pelaksanaan koordinasi pengawas dan kepala madrasah dalam peningkatan prestasi kerja guru melalui kegiatan supervisi sudah sesuai dalam peraturan. Untuk merealisasi pelaksanaan supervisi antara Pengawas dan Kepala Madrasah sudah sesuai dengan langkah supervisi dengan Departemen Pendidikan Nasional (2007:6) tentang Peraturan Menteri Nomor 12/2007 tentang supervisi langkahlangkah yang ditempuh adalah sebagai berikut: (a).merencanakan program yang diajarkan, melaksanakan program dan mengadakan pengawasan, b) melakukan perencanaan dan pengawasan terhadap proses pembelajaran yang dilakukan guru.” Dalam pelayanan /pembinaan upaya dilakukan antara pengawas dan kepala madrasah telah selaras, efisien untuk peningkatan prestasi kerja guru. Pengawas dan Kepala Madrasah agar mampu menentukan alokasi waktu sehingga adanya intensitas yang teratur pembinaan. Pengawas masuk ke kelas satu kali sebulan dan kepala madrasah satu kali sebulan berarti sebulan ada 2 kali dipantau terhadap pelaksanaan proses pembelajaran, sehingga guru mengetahui bagaimana metode pembelajaran yang baik dan benar serta pengembangan materi
7
MTsN Rukoh Kota Banda Aceh. Masalah faktor rintangan pemberian bantuan supervisi kepada guru tampaknya disadari yang tidak bisa dilepaskan seperti faktor eksternal adalah persaingan mutu sekolah (madrasah) semakin terasa berat, pembinaan pembelajaran harus dilakukan semakin serius dan dilaksanakan semakin sungguh-sungguh. Usaha untuk pemecahan permasalahan yang ditempuh dalam bantuan peningkatan prestasi kerja guru oleh pengawas dan kepala madrasah adalah pelibatan guru secara individual dalam pelaksanaan supervisi. Faktor pendukung menurut Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2007 tentang supervisi Departemen Pendidikan Nasional (2007:6): 1) Memiliki tanggung jawab sebagai supervisor. 2) Kreatif memecahkan masalah terutama dalam tugas jabatannya. 3) Memiliki rasa ingin tahu tentang hal-hal baru tentang pendidikan dan ilmu pengetahuan, teknologi. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional tersebut memberi implikasi bagi terlaksananya proses pembelajaran pada MTsN Rukoh Kota Banda Aceh. Sikap Pengawas dan Kepala Madrasah dengan guru tetap kooperatif untuk terlaksananya proses pembelajaran dengan baik telah menjadi pendorong terwujudnya prestasi kerja guru MTsN Rukoh Kota Banda Aceh, hal ini sejalan dengan ungkapan Moeslichaton (2005:54) sebagai berikut: Kesepakatan kinerja untuk pemberdayaan pembelajaran, kesepakatan itu harus dimusyawarahkan antar pihak terkait, pengawas, kepala madrasah, guru-guru ditandatangani oleh pihak-pihak yang berwenang.
Dalam menyusun program pihak Pengawas dan Kepala Madrasah telah berkoordinasi dalam mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: 1)Identifikasi alternatif cara memenuhi kebutuhan guru, 2) Mengatasi kendala, 3) Melakukan evaluasi. 2) Pelaksanaan koordinasi Pengawas dan Kepala Madrasah di MTsN Rukoh untuk keperluan supervisi dilakukan dengan cara individu, observasi kelas, kunjungan kelas, bersifat kelompok, rapat supervisi, pelatihan guru. Pada setiap kegiatan supervise oleh pengawas dan kepala madrasah didukung oleh bukti fisik. Koordinasi berjalan dengan baik karena adanya informasi, komunikasi dan pemahaman yang sama. 3) Hambatan berkoordinasi Pengawas dan Kepala Madrasah dalam melaksanakan supervisi untuk meningkatkan prestasi kerja guru adalah persaingan mutu sekolah (madrasah) semakin terasa berat, pembinaan pembelajaran harus dilakukan semakin serius dan dilaksanakan semakin sungguh-sungguh. Usaha untuk pemecahan permasalahan yang ditempuh dalam bantuan peningkatan prestasi kerja guru oleh pengawas dan kepala madrasah adalah pelibatan guru secara individual dalam pelaksanaan supervisi.
DAFTAR PUSTAKA Depdiknas. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 12 Tahun 2007 Tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah, Jakarta: Depdiknas.
IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Program koordinasi Pengawas dan Kepala Madrasah melalui kegiatan supervisi telah dirumuskan seperti program tahunan terhadap kinerja guru dalam hal melaksanakan proses belajar mengajar, ketrampilan guru menggunakan media, persiapan mengajar (silabus, RPP), menyusun waktu penjadwalan pembinaan dan pelayanan kemampuan mengajar guru 1 kali sebulan dilakukan pengawas dan kepala madrasah. Kemudian menyusun hasil analisis evaluasi kedalam format program kegiatan supervisi yang telah ditentukan oleh Kantor Kementerian Agama Kota Banda Aceh.
Hasibuan. M. SP, (2008). Organisasi Motivasi Dasar Peningkatan Produktivitas, Jakarta: Bumi Aksara. Moeslichaton, R. 2005. Metode Pengajaran di Sekolah Menengah, Jakarta: Rineka Cipta. Rochaety. 2006. Sistem Informasi Manajemen Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara. Sahertian, PA, (2005). Supervisi Pendidikan Dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta
8
Sagala,
Thaib.
Usman,
H, Saiful. (2008). Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung: Alfabeta. 2006. Supervisi Pendidikan Kontekstual, Jakarta: Rineka Cipta.
Pidarta Made, (2009). Supervisi Pendidikan Konstektual. Jakarta: Rineka Cipta.
Nasir, (2007). Manajemen Peningkatan Kinerja Guru. Bandung: Mutiara Ilmu.
9
‘Tehnik TnO’ untuk membangun ‘Confidence Speaking’ Siswa Hasriati Abstrak Abstrak. English Fluent Speaking Proficiency adalah tahap potensi berbahasa yang paling puncak yang mendapat pengakuan dari LEP. Fluent Speaking merupakan satu kemampuan berbicara lancar dan mahir dalam mengungkapkan isi pikiran atau gagasan. Untuk mengembangkan kemampuan ini pembicara, selain menguasai kosakata dan frasa, pengucapan, harus percara diri berbicara (Confidence Speaking). Berbicara dengan percaya diri (Confidence Speaking) adalah kemampuan tahap awal berbicara dalam bentuk paparan atau gagasan secara detail dan lebih terurai. Penelitian ini adalah untuk mendapatkan satu model tehnik pembelajaran mengembangkan potensi ini. model itu ialah tehnik Three in One TnO). Untuk melihat kemungkinan efektif atau tidaknya tehnik ini dalam meningkatkan percaya diri siswa, sebuah Eksperimental Design telah dijalankan di SMP N 1 Sigli. Sampel terdiri dari satu lokal kelas 1 dan satu lokal kelas 2. Data dikumpulkan dengan menggunakan metodology Kuantitatif dan Kualitatif selama tiga siklus. Kuisioner dibagikan kepada sampel dan pre-test sebelum eksperiment dilaksanakan Setiap selesai satu siklus sampel diberikan postest kemampuan berbicara sederhana dan Confidence speaking. Tujuannya adalah untuk melihat kontribusi tehnik TnO terhadap Confidence speaking (CS) siswa dalam berbicara bahasa Inggris.
Fluent Speaking Proficiency adalah tahap potensi berbahasa yang telah mendapat pengakuan dari badan LEP (Stansfield, 1992). Menurut Stansfield tahap Fluent Speaking merupakan satu kemampuan dimana seseorang dalam speaking skill, mampu memaparkan atau menguraikan satu ide, pikiran, gagasan, maksud atau menyampaikan sebuah informasi dalam bahasa Inggris yang lancar tanpa diakomodasikan. Pembicara berbicara dengan percaya diri (self-confidence) dan berkesan. Confiden speaking atau berbicara dengan percaya diri atau PeDe adalah kemampuan berbicara panjang tanpa rasa takut salah dalam menguraikan ide fikiran, gagasan dan informasi. Tahap Confident Speaking juga tidak mudah. Para pelajar telah menghabiskan masa belajar disekolah dan ditambah dengan kursus bahasa Inggris bertahun-tahunselesai SMA atau Perguruan Tinggi masih belum mampu mencapai tahap Confidence Speaking. Akibatnya, beberapa pakar mengatakan,
banyak orang-orang profesional atau pakarpakar Indonesia hanya diam dan tidak dapat terlibat proaktif dalam acara-acara dan forum Internasional, kecuali mahasiswa jurusan bahasa Inggris (Lia Angelia dan Unika (2011). Paul Halim (2005) juga menemukan dalam pertemuan-pertemuan resmi dan eksekutif para profesional kita banyak sekali merasa ragu dalam mengemukakan pendapat bahkan ada kalanya bersikap pasif atau menjadi best listeners. Kendala mencapai tahap Fluent Speaking dan Confidence Speaking adalah lingkungan yang tidak berbahasa Inggris dan tidak adanya orang asing disekitar siswa menekuni bahasa Inggris. Ini membuat pembelajaran bahasa Inggris percuma dan membosankan. Hasriati (2011) mengatakan bila latihan berbicara dengan PeDe (confidence) dimulai dari awal (pelajar beginner) melalui tehnik dan strategi yang cermat potensi ini akan dapat dicapai oleh sebahagian besar lulusan.
Unsur bahasa dari segi Linguistic terdiri dari kosa kata (vocabulary), kalimat (sentence), suara (pronounciation) dan fungsi bahasa (language function). Artinya, permasalahan komunikasi berkisar penguasaan kosakata, pengucapan, ekspresi menurut fungsi, (Hockett, 1958). Ini sesuai dengan hasil kajian yang dijalankan oleh Parilah Shah (2000), Minah and Wong Fook (2000) dari juaga dari kuisioner yang dibagikan oleh Hasriati (2011) menemukan masalah ketidakmampuan mencapai tahap Confidence Speaking adalah; 1. tidak bisa mengingat kosakata dalam berbicara. 2. tidak mampu menyusun kata –kata menjadi kalimat yang benar dan bermakna, sehingga proses berkomunikasi berubah menjadi kaku dan tidak percaya (PeDe). Priyatno (2000), Parilah Shah (2000), Minah and Wong Fook (2000) dan Hasriati (2011) mengatakan kelupaan kosa-kata dan ketidakmampuan menyusun kosa-kata dalam kalimat disebabkan tidak terlatih berbicara panjang dalam bentuk menguraikan, memaparkan gagasan dan menyampaikan informasi. Dari kuisioner sampel Hasriati (2011) juga menemukan 50% siswa miskin kosa-kata, 80% tidak tahu pasti cara mengucapkan, 90% kesulitan menyusun kalimat. Dari jawaban kuisioner, aspek-aspek ini membuat sampel tidak PeDe berbicara bahasa Inggris. Sampel juga mengakui walaupun mereka belajar banyak kosakata dalam teks bacaan, mereka tidak bisa mengingat kosakata saat berbicara. Menurut sampel, mereka jarang berkesempatan mempraktekkan bahasa Inggris sesama teman, dengan guru atau dengan lingkungan. Menguasai kosakata tidak mudah. Ia perlu diucapkan berulang-ulang dan berlatih menyusunnya secara oral dan tulisan. Latihan menyusun kata-kata dalam percakapan dapat membentuk berbicara secara alami. Situasi ini perlu diciptakan dalam proses belajar. Strategi mengembangkan kosakata dapat dilakukan melalui banyak membaca, mendengar, mengucap-kan dan menuliskannya berulangkali. Sebuah teks bacaan memberi kontribusi yang besar terhadap keempat ketrampilan berbahasa Inggris. Selain memperoleh banyak kosakata baru, pembaca
belajar cara mengucap (pronounciation) yang benar dan memantapkan kosakata yang sudah diperoleh. Penggunaannya dapat diaplikasikan dalam percakapan seperti dalam diskusi, tanya jawab, mencari informasi, memberi laporan, game atau menceritakan kembali. Namun kebanyakan siswa tidak suka membaca terutama bila pembelajaran agak menantang dan rumit. Oleh karena itu, perlu dimanipulasi suasana belajar untuk memfasilitasikan siswa memfungsikan kosakata, frasa dan ungkapanungkapan yang sudah dipelajari. Tehnik tersebut ialah tehnik TnO yang memfasilitasi suasana yang melibatkan pembelajaran listening, reading, speaking dan writing secara sistematik. Potensi Confidence Speaking adalah tahap kemampuan berbahasa yang paling puncak dalam proses pembelajaran atau dilingkungan sekolah. Pada tahap ini siswa mampu memfungsikan kata-kata, kalimat dan frasa untuk memaparkan atau menguraikan satu pikiran, gagasan, maksud atau menyampaikan sebuah informasi tampa rasa takut, lancar dan berkesan. Namun ini belum lagi tahap fluency atau proficiency. Confidence Speaking walaupun tahap yang masih rendah, peserta didik masih sulit mencapainya. Pada tahap ini peserta didik mengalami kemajuan dalam berkomunikasi bahasa Inggris, baik sesamanya atau kepada orang asing. Pada tahap awal dalam bentuk tanya jawab pendek. Namun dalam waktu singkat siswa akan berbicara panjang dengan mudah. Bagaimanakah mengembangkan Confidence Speaking? Kajian Teori Tehnik TnO adalah tehnik yang menerapkan beberapa langkah kegiatan pembelajaran untuk mempersiapkan siswa mampu bercerita panjang dengan Percaya Diri (confidence) melalui pemberian input dan latihan berulang-ulang. Input disajikan melalui sebuah teks reading yang digunakan untuk latihan beberapa skill secara sistematik dan spesifik dalam satu proses pembelajaran Pembelajaran reading memberi peluang besar untuk memperbanyak kosakata dan menyumbangkan satu ide pikiran dan informasi yang disajikan secara sistematik.
Sekarang teks bacaan terdapat dimana-mana dengan ragam ide cerita yang kaya untuk dijadikan sumber pembelajaran yang menarik. Menurut Hasriati (2011) teks bacaan (reading text) ini dapat dimanfaatkan untuk membangun Confidence Speaking melalui tehnik TnO. Tehnik TnO mempolitisir satu situasi belajar menggunakan bahasa Inggris secara berulang-ulang melalui sebuah teks reading. Pembelajaran dimulai dengan pelajaran dikte. Fasilitator mendiktekan sebuah teks bacaan. Dalam proses dikte peserta didik belajar bagaimana menulis kata dan kalimat dengan spelling yang benar. Situasi ini mungkin membingungkan sampel karena mereka tidak dapat mengingat spelling kata. Peserta didik jadi ragu-ragu. Namun proses ini memberi kesan yang dalam. Ini sesuai dengan yang dianjurkan oleh Smilkstein (1999) bahwa satu pengajaran sebaiknya memberi kesempatan pada pelajar berusaha lebih dahulu dan membuat kesalahan dalam proses pembelajaran. Pelajar harus yakin bahwa kesalahan adalah bahagian dari proses belajar. Dengan pemahaman ini, memudahkan peserta didik memperoleh kemahiran ilmu. Selanjutnya pembelajaran membaca (Reading Comprehension) dengan teks yang sama. Reading comprehension dalam konteks tehnik TnO adalah pembelajaran membaca dalam arti belajar bagaimana membaca, mengucapkan kosakata dan dilanjutkan memahami isi teks. Selama proses membaca peserta didik memperoleh kosa kata baru dan cara mengucapkan. Dengan demikian tentu peserta didik tidak merasa ragu atau takut salah menggunakan kosakata dan ungkapan yang telah dipelajari. Sedangkan informasi yang ada dalam teks menjadi input atau topik pembicaraan (Mariam dan Rahmad, 2006) Confident Speaking. Dengan demikian sampel sudah dapat diajak bertanya jawab dan menceritakan kembali isi teks tersebut. Situasi percakapan adalah satu proses pembelajaran bercakapcakap dalam bentuk tanya jawab antara guru dengan sampel dan sesama sampel tentang isi teks. Percakapan seperti ini selalu terjadi dilingkungan peserta didik yang disebut Interpersonal communication. Ini adalah awal siswa belajar mengungkapkan pendapat dlam
kalimat pendek. Selain itu situasi ini sangat penting untuk membantu peserta didik memperoleh isi cerita secara sistematik. Melalui percakapan peserta didik mendapat gambaran cerita keseluruhan untuk digunakan dalam retell (menceritakan kembali). Percakapan seperti ini sangat bermakna karena selalu terjadi dalam kehidupan sehari-hari ketika seseorang mengemukakan pendapat, minta informasi, bertanya jawab tentang keadaan, sebab akibat, dan proses satu peristiwa, Mariam dan Rahmad (2006). Tanya jawab ini menggunakan hampir semua kata tanya ’What’, ’Where’, ’When’, ’Why’, ’Who’, Whom’, ’Which’ dan’How’. Tanya jawab ini sering disampaikan kepada teman, keluarga disekolah, dirumah sakit dipasar, dsb. Percakapan ini juga membantu peserta didik familiar dengan kosakata, frasa, dan ekpresi bahasa Inggris. Setelah bertanya jawab, keseluruhan isi teks di pertegas kembali. Peserta didik diberi latihan bercerita kembali. Peserta sudah sangat tahu isi teks dan paparan cerita yang sistematik. Pada sesi ini guru atau fasilitator sebaiknya menggunakan pendekatan MTLG. Pendekatan ini adalah penggunaan bahasa Indonesia untuk membimbing pembicara dalam mengekpresikan ide atau pikirannya. Pembelajaran dilanjutkan dengan menulis (Writing). Teks yang sama menjadi topik pembelajaran menulis atau mengarang dalam bahasa Inggris. Namun, waktu sering tidak cukup. Fasilitator dapat menyuruh peserta didik mengerjakannya dirumah. Menulis dengan tehnik TnO yaitu menulis setelah memperoleh bacaan dan percakapan dapat memberikan input dan pengalamann yang bermakna. Menurut Mariam dan Rahmad (2006) dengan strategi ini peserta didik akan menulis dengan sistematik dan berkesan. Tehnik TnO sesuai dengan teori Classical Conditioning yaitu membantu peserta didik mengingat dan menggunakan kosakata dalam kalimat dan membentuk perilaku tertentu melalui kondisi tertentu. Artinya agar siswa terbiasa berekspresi dalam bahasa Inggris perlu dilakukan latihan secara berulang-ulang menggunakan dan mengucapkan kosakata, frasa atau ekspresi dalam kondisi atau situasi tertentu dan
authentic. Tehnik TnO menerapkan strategi pembentukan tingkah laku dalam urutan atau komponen tingkah laku spesifik. Agar pembentukan tingkah laku dapat dijalankan dengan tuntas, tingkah laku spesifik yang telah direspon diberikan reinforcer (hadiah) atau penghargaan agar siswa termotivasi mengikuti komponen tingkah laku selanjutnya sehingga mencapai tingkah laku puncak yaitu berbicara dengan Percaya Diri (confidence speaking) dalam memaparkan atau menjelaskan satu topik pembicaraan atau diskusi. Gestald dalam Wina (2007) mengatakan kemampuan menguraian satu topik dalam bahasa berbicara demikian akan membuat pembelajaran bahasa akan berkesan dan efektif karena kosakata yang dipelajari mempunyai makna dalam kalimat dan kalimat juga memiliki makna karena ada dalam sebuah karangan atau percakapan. Oleh karena itu, selain pembelajaran berulang-ulang, kosakata serta kalimat atau frasa difungsikan dengan penuh makna. Tehnik TnO memfasilitasi pembelajaran berulang-ulang, menyambung kata, mengekspresikan gagasan secara oral dan tertulis. Permasalahan Diasumsikan Confidence Speaking dapat dikembangkan dengan satu tehnik TnO, yaitu pembelajaran yang memberi kesempatan memahami konteks, familiar dengan kosakata dan berbicara panjang agar terbiasa menggunakan bahasa Inggris dalam bentuk menguraikan, memaparkan pikiran dan gagasan, dan menyampaikan informasi. Latihan memaparkan gagasan dan pikiran, dan menyampaikan informasi dalam uraian yang panjang dapat dijalankan dengan menggunakan teks bacaan (rading text) dalam bentuk retell dan dikombinasi dengan ide dan pendapat sendiri. Tehnik TnO adalah urutan beberapa tingkah laku atau skill bahasasecara sistematik dalam satu periode waktu untuk membantu peserta didik menguasai kosakata, pengucapan dan menggunakanya dalam Confiden Speaking dan writing. Selama ini pembelajaran bahasa Inggris serirng terdiri dari satu skill atau dua skill dalam satu proses pembelajaran dan tidak sistematik dengan tehnik Integrated skill.
Permasalahan yang ingin dikaji adalah bagaimana tehnik TnO dilaksanakan untuk mempolitisir satu keadaan untuk membentuk beberapa tingkah laku sehingga dapat mencapai Confident Speaking? Berapa besarkah kontribusi tehnik ini dapat membangun Confident Speaking siswa dalam pembelajaran bahasa Inggris. Bagaimanakah tehnik ini dilaksanakan sehingga efektif untuk mengembangkan Confident Speaking siswa? Adakah tehnik ini mempunyai kelemahan disamping keunggulannya mempercepat kepintaran berbahasa Inggris dengan percaya diri? Ketrampilan bahasa apa sajakah yang dapat dikembangkan oleh tehnik ini? Bagaimanakah kelemahannya dari segi waktu; ukuran (size) kelas; peserta didik yang majemuk (bercampur)? Kepanjangan Tehnik TnO adalah tiga dalam satu. Adakah tehnik ini dapat memenuhi tujuan pembelajaran bahasa Inggris sebagaimana dirumuskan dalam kurikulum yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan Nasional? Tujuan dan Manfaat Studi Tehnik TnO adalah tehnik pembelajaran bahasa yang dapat menerapkan tiga skill sekaligus dalam satu sesi secara sistematik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pasti beberapa point berikut : 1. Bagaimanakah tehnik ini dilaksanaan agar efektif untuk pembelajaran bahasa Ingris sehingga dapat untuk mengembangkan confiden speaking peserta didik? 2. Sejauh manakah kontribusi tehnik TnO terhadap usaha membangun Confidence Speaking dan Daily Speaking siswa kelas 1 dan kelas 2 setelah mengikuti tehnik ini? 3. Bagaimanakah tehnik ini membangun Confidence Speaking peserta didik sehingga dapat dikembangkan sebagai dasar Fluent Speaking. 4. Apa kelemahan dan keunggulan tehnik ini dalam mempercepat kemampuan peserta didik berkomunikasi bahasa Inggris dengan PeDe? 5. Bagaimanakah kelemahan tehnik ini dari segi waktu; ukuran (size) kelas; peserta didik yang majemuk (bercampur)?
Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitiatif melalui ekperimental Design. Metode Kuantitatif adalah untuk mengetahui sejauhmana tehnik ini dapat meningkatkan Confidence Speaking peserta didik. Sedangkan kualititatif di fokuskan untuk menggali pengaruh-pengaruh dan kontribusi yang diberikan dari segi motivasi, kenyamanan/iklim, tingkat kesulitan, dan keefektifannya. Populasi kajian dilaksanakan disekolah SMP 1 Sigli selama 3 bulan setengah. Jenis disain eksperimental ini adalah ’Within Droup Design’(Creswell,2005). Sampel terdiri dua group satu kelas I dan satu kelas II. Tujuannya adalah untuk melihat pengaruh tehnik ini terhadap kelas pemula yang baru memulai belajar bahasa Inggris yaitu kelas 1, dan kelas kedua yang pembelajaran bahasa Inggrisnya sedang berjalan. Penelitian eksperimen dilaksanakan sebanyak tiga siklus yaitu selama tiga setengah bulan. Masing-masing siklus diseting dua pertemuan eksperimen dan satu kali post-test. Pada siklus kedua urutan tehnik TnO divariasikan. Bila pada siklus pertama tehnik TnO adalah dikte (writing) + reading + speaking + writing. Pada siklus kedua dan ketiga setting skuen terdiri dari Listening + speaking + writing. Sebelum eksperimen dilaksanakan sampel diberi pre-test dan interview. Pada setiap satu siklus selesai, penguasaan vocabulary, keberanian berkomunikasi, motivasi belajar dan Confiden Speaking sampel diukur dengan memberikan post-test. Setelah dua siklus, eksperimen pembelajaran dengan tehnik TnO divariasikan dengan skuen skill lain. Pengamatan atau observasi dan kajian dokumen digunakan untuk melihat dan mencatat; tinggi rendahnya motivasi belajar sampel, kesulitan-kesulitan yang dihadapi sampel, bahagian-bahagian yang dapat memotivasi sampel, pengaruh media. Tim peneliti membuat pengamatan terhadap kertelibatan dan keikutsertaan sampel selama proses pembelajaran. Untuk melengkapi perolehan data yang berhubungan dengan motivasi peneliti juga mengkaji dokumen sampel selama proses percobaan tehnik TnO.
Instrumen ini juga untuk melihat kelemahan dan keunggulan tehnik dalam proses pembelajaran; dan juga untuk mencatat bagaimana cara membangun rasa percaya diri sampel dalam Confiden Speaking. Untuk keperluan analisis data penguasaan kosakata dan percakapan, dan Confiden speaking, Analisa dilakukan dengan membuat perbandingan hasil postest yang dicapai pada siklus pertama, dua dan tiga. Bila dari daftar angka dalam grafik menunjukkan peningkatan maka dapat disimpulkan pembelajaran bahasa Inggris TnO dapat memberi sumbangan positif terhadap motivasi belajar dan Confidence Speaking sampel. Metode penelitian eksperimental ini sesuai dengan yang di anjurkan oleh Creswell (2005). Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian adalah SMP N 1 Sigli. Sampel yang diambil adalah satu lokal kelas satu dan satu lokal kelas dua. Kedua-dua kelas ini adalah kelas yang terbaik disekolah ini. Penelitian ini telah dijalankan selama satu semester pada semester I periode 2011-2012 disekolah SMP N I sigli. Sebelum Tsunami sekolah ini adalah sekolah favorit bagi seluruh pelajar kabupaten Pidie. Sekolah ini memainkan peranannya dengan baik sehingga berhasil membawa pelajar-pelajarnya menjadi juara dalam beberapa perlombaan mata pelajaran, Kesenian dan Olahraga ketingkat kabupaten dan propinsi. Sekolah ini mempunyai staf pengajar yang berkualitas dan fasilitas yang terbaik untuk kabupaten ini. Sehingga sebahagian besar lulusan sekolah ini adalah siswa-siswi yang cemerlang untuk kabupaten Pidie. Namun sejak paska tsunami sekolah ini kehilangan pamor karena lokasi dipinggir laut telah memberi dampak mengerikan kepada penduduk kota sigli. Sekarang ini warga belajar sekolah ini didominasi oleh anak-anak pinggiran pantai dengan pembauran yang terlalu tipis. Dari kuisioner yang dibagikan dan wawancara kajian menemukan pelajar kelas satu sebahagian besar adalah anak-anak yang lemah dalam mata pelajaran namun patuh dan mempunyai rasa menghargai yang tinggi, berakhlak baik serta menurut. Ini memberi kesempatan yang kuat mereka terpilih menjadi
anak-anak kelas yang terbaik untuk dibina menjadi anak-anak yang unggul. Hasil studi dan Pembahasan A. Study Kualitatif Percobaan tehnik TnO yaitu satu model pembelajaran yang mempolitisir satu situasi belajar melalui teks reading untuk membantu pelajar mencapai skill Confiden Speaking dengan efektif telah dijalankan. Pada pertemuan pertama agak menegangkan sampel karena peneliti banyak berbicara dalam bahasa Inggris. Ditambah lagi dengan pembelajaran dikte, sampel semakin putus asa. Namun setelah peneliti menggabungkan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia (kadang-kadang bahasa Aceh) sampel mulai rilek. Sampel di kedua kelas terkesan sangat pendiam, pasif dan tidak interest pada pelajaran bahasa Inggris. Kadang-kadang berkesan kurang menghargai. Ini mungkin salah satu penyebab mereka tidak mampu menguasai bahasa Inggris sehingga nila bahasa Inggris mereka rendah. Sebagaimana dikatakan Parilah Shah (2000) bahwa diantara penyebab rendahnya kemampuan bahasa Inggris pelajar adalah low self-esteem dan language attitude siswa. Oleh karena itu peneliti berusaha memberi semangat dan motivasi dengan mengatakan betapa beruntungnya mereka bila mereka pandai berbahasa Inggris. Namun sampel tetap mengeluh ’susah’ dengan wajah tidak peduli. Dari pengamatan tim peneliti, pada setiap sampel kelas satu dan kelas dua ditemukan hanya 3 % menunjukkan mau mencoba, 97% sampel menolak dan tidak antusias. Akhirnya peneliti berkata menghibur: Peneliti: ”Kalau kamu tidak bisa ...ya nggak apa-apa. Ini kan baru proses belajar, belum lagi ujian. Yang penting kamu mencoba dulu. Kalau sudah dicoba walaupun tidak bisa sekurang-kurangnya kamu sudah tahu. Tidak harus bisa. Gimana ..., mau nggak kamu mencobanya? Sampel: hnnnnng Nggak bisa.... hanjut buk hai ... (tidak bisa bu ...) Peneliti: Mencoba aja? Kalau ibu suruh baca, kamu baca ... ikuti aja ... Kalau nggak bisa yah nggak apa-apa. Sekali ....saja, boleh? (setelah beberapa kali tanya akhirnya sampel
menjawab ’mau’. Pembelajaran dimulai dengan pembelajaran dikte. Dikte adalah situasi yang sering ditemukan dalam percakapan seharihari, seperti menanyakan nama orang, nama benda, menulis surat dirumah atau dikantor dan cara membuat sesuatu dan sebagainya. Selama proses dikte kajian menemukan sampel sangat cemas dan sangat terkejut. Sampel ternyata tidak pernah menerima pembelajaran dikte. Suasana jadi riuh ribut. Sampel tidak mau. Peneliti coba merayu dan membujuk mereka. Sampel tetap mengatakan ’hanjeut.....’. akhirnya peneliti mengatakan kalau begitu kamu coba-coba aja. Kalau salah tidak apa-apa. Akhirnya sampel mengikuti apa yang dikatakan oleh guru. Dikte adalah proses belajar mendengar, menulis dan mengingat ejaan kosakata. Selama proses dikte, sampel menyadari spelling kata-kata baru dan yang sudah diketahui. Untuk merangsang atau memotivasi sampel dalam membentuk tingkah laku spesifik selanjutnya, sampel direspon dengan memberi nilai atau mark sebagai reinforcer (hadiah) agar termotivasi mengikuti komponen tingkah laku selanjutnya. Nilai rata-rata dikte rata-rata dibawah empat! Tahap kedua dilanjutkan dengan pembelajaran Membaca (Reading Comprehension). Reading Comprehension dalam konteks tehnik TnO adalah pelajaran dimulai dengan belajar membaca kosakata, kalimat dan frasa bhs. Inggris yang ada dalam teks baru dilanjutkan dengan memahami isi teks. Dalam proses belajar membaca kajian menemukan hampir semua sample membaca. Sample seperti sedang mendapatkan apa yang sedang mereka cari. Sampel mencoba meniru cara peneliti membaca. Mereka baru menyadari betapa penting latihan membaca. Apa lagi dalam pembelajaran dikte. Peneliti memberi kesempatan seluas-luasnya agar sampel mencoba dan mendengar sendiri suara mereka dalam bahasa Inggris. Ketika peneliti bertanya siapa yang mau membaca dengan keras, 80% sampel menunjuk tangan untuk mendapat kesempatan membaca keras. Kajian menemukan sesungguhnya sampel sangat suka bhs. Inggris. Berikutnya sampel belajar memahami isi teks. Memahami isi teks tidak saja untuk
mendapatkan informasi. Ia juga untuk mempersiapkan sampel terlibat aktif dalam sesi tanya jawab dan Confident Speaking. Untuk dapat menjawab tanya jawab pada sesi berikutnya sampel diberi waktu untuk mengingat cerita keseluruhan. Melalui teks, sampel memperoleh input atau ide untuk berbicara. Sekarang sampel sudah dapat diajak bertanya jawab. Situasi percakapan yang dipolitisir adalah satu proses belajar bercakapcakap tentang isi teks yang dipelajari secara sistematik. Tanya jawab secara oral dimulai dari guru dengan sampel. Sampel ternyata sangat senang dengan pertanyaan yang diajukan. Hampir semua sampel menunjuk tangan untuk memperoleh kesempatan menjawab pertanyaan. Suasana kadang riuh seperti dalam sebuah kompetisi. Setelah beberapa kali pertemuan sampel dilatih bertanya jawab antara sampel dengan sampel secara oral. Setelah peneliti yakin sampel telah memahami isi teks, selanjutnya pembelajaran dilanjutkan dengan pembelajaran Confident Speaking. Dengan demikian proses pembelajaran kosakata secara berulang-ulang terjadi dari tahap pertama yaitu sampel menulis kosaka dan dikte. Menurut Mariam da Rahmad (2006) kesalahan yang terjadi pada saat dikte dapat memberi kesan yang dalam ketika mengtahui spelling yang sesungguhnya. Pada tahap kedua yaitu ketika pembelajaran membaca atau reading comprehension. Sampel sering mengucapkan kata-kata ‘o....ooooooooooo lagenyo (ooo…gini…). Lalu tertawa-tawa terbahak-bahak karena mereka bandingkan spelling yang mereka tulis sangat aneh, jauh dari yang sebenarnya. Kedua pembelajaran membaca teks yaitu proses reinforce pembelajaran kosakata-kata baru dan yang sudah diperlajari. Sampel menulis kosakata dan belajar cara mengucapkannya berulang kali. Sampel diberi kesempatan membaca keras sehingga tau cara mengucapkan bunyi (sound) kata-kata yang sesungguhnya. Kemudian sampel belajar menterjemah teks bacaan yang terdiri katakata dan frasa (phrase). Pada sesi in sampel semangkin menguatkan pemahaman dan kesan kosa kata dalam memori dan lidah mereka.
Setelah sampel memahami isi teks, selanjutnya sampel mengapalikasikan kosakata, farasa, dan fungsinya melalui kalimat dalam percakapan, yaitu tanya jawab antara guru dan sampel atau sesama sampel. Ini adalah pengulangan ketiga. Dalam proses tanya jawab pertanyaan diajukan secara sistematik sesuai dengan arahan Hasriati (2011). Pemahaman sampel tentang gambaran keseluruhan isi teks semakin kuat. Sampel tidak diizinkan membuka buku bacaan. Peneliti mengawali dengan pertanyaan pendek, lambat dan berulang-ulang. Kajian menemukan 40% sampel mengerti pertanyaan dan tahu jawaban. Dan juga 40% sampel menunjuk tangan untuk memperoleh kesempatan menjawab pertanyaan. Dari hasil pengamatan dan catatan yang dibuat selama proses pembelajaran dapat disimpulkan grafik kemampuan Speaking Sederhana (daily speaking) sample meningkat dengan signifikan dari catatan yaitu siklus 1, siklus ke 2 dan ke 3. Namun pada siklus ke 4 kajian menemukan pada sesi tanya jawab motivasi menjawab sampel menurun. Sebabnya adalah suasana sekolah terlalu bising dan sangat mengganggu konsentrasi sampel. Bila sampel sudah menguasai isi teks, pembelajaran dilanjutkan ketahap yang paling maksimum yaitu sampel disuruh menceritakan kembali semua isi text yang sudah dibaca (Confident Speaking). Sebelum latihan Confident Speaking peneliti menegaskan kembali isi teks keseluruhan. Tahap ke empat ini sampel diberi kesempatan mengekspresikan ide, pengetahuan dan pendapat mereka dengan menggunakan kosakata, frasa dalam kalimat-kalimat panjang secara oral. Ini adalah puncak penggunaan kosakata dan frasa bahasa Inggris yang telah dipelajari. Sampel berbicara bahasa Inggris dalam uraian yang panjang dan semangkin komplet. Sampel berbicara secara alami mengggunakan pikiran, kosakata dan frasa yang telah dipelajari. Menurut Gestalt dalam Wina (2007) potensi ini boleh menjawab apa yang dikatakan’Sebuah kata akan bermakna manakala ada dalam sebuah kalimat. Dan kalimat akan memiliki makna apabila ada dalam sebuah karangan atau percakapan’.
Pada tahap ketiga Sesi Confident Speaking pada siklus ke 4 hanya ada satu sampel yang memperoleh kesempatan menceritakan kembali. Pada hari terakhir sekolah membuat acara perpisahan dengan guru-guru praktek sehingga waktu tidak cukup. Namun sampel ternyata sangat hebat!. Dia dapat menceritakan kembali dengan sangat baik dan tuntas. Namun setiap pertemuan waktu sering tidak cukup untuk dilanjutkan ketahap writing. Akhirnya peneliti menugaskan sampel untuk membuat laporan atau kesimpulan materi pembelajaran dirumah. Dari hasil tugasan writing sebagai pekerjaan dirumah kajian menemukan sampel yang mengerjakan tugas menulis (writing ) mampu menulis dengan karangan yang baik walaupun secara grammar masih lemah. Namun sebagai tahap awal sampel telah mampu memaparkan satu topik dengan sistematik secara tertulis. Ini disebabkan sampel telah memperoleh pengalaman bagaimana memaparkan satu cerita dengan sistematik pada pembelajaran Confidence Speaking. Namun kajian juga menemukan sampel kebanyakan malas mengerjakan tugasan rumah. Walaupun secara langsung peneliti tidak melihat sampel mengerjakan disekolah. Rata-rata jawaban sampel sama. Ini menunjukan sampel tidak mengerjakan sendiri dan pengerjaannya dibuat disekolah. Tahap demi tahap yang dilalui oleh sampel merupakan suatu penggunaan dan pengucapan kosakata yang berulang-ulang (repetation). Kajian menemukan bila kosakata
dan pengucapan ini telah dikuasai, dorongan untuk berbicara dan belajar bahasa Inggris semakin kuat dan rasa percaya diri sampel semakin tinggi. Jumlah sampel yang menunjuk tangan cukup tinggi dan konsisten sampai akhir siklus tiga. Hanya dari segi Confidence Speking walaupun tidak terlalu tinggi namun ditemukan confidence speaking beberapa sampel mulai berkembang dan bahkan cukup mapan dengan nilai 7.5-9.5. Percobaan ini berlangsung sangat pendek yaitu hanya 3 bulan setengah. Andaikata tehnik bisa diterapkan sepanjang tahun, siswa yang mempunyai potensi akan mencapai tahap confidence speaking yang baik. Berikut adalah gambaran pelaksanaan tehnik TnO dalam proses pembelajaran. Gambar 2 menunjukan proses pembelajaran yang dijalankan oleh tim peneliti di kelas satu dan kelas dua. Pelaksanaannya berbentuk urutan atau serangkaian komponen tingkah laku yang berulang-ulang dan spesifik. Pembelajaran secara spesifik terhadap tiga atau empat tingkah laku menciptakan satu pembelajaran kosa-kata dan pengucapan yang berulang-ulang pada satu materi. Gambar 3 di sebelah kanan adalah urutan atau sekwens dan komponen tingkah laku yang spesfik dalam satu pertemuan proses pembelajaran tehnik TnO.
Going to >ŝƐƚĞŶŝŶŐ
the zoo. (dictation )
ǁƌŝƚŝŶŐ
Going to ZĞĂĚŝŶŐ the zoo (Reading
)
Going to the zoo (speaking)
Going to the zoo. (writing)
ƐƉĞĂŬŝŶŐ Proses Insight
Proses berulang-ulang Gambar: 2 urutan dan komponen Tingkah laku pembelajaran tehnik TnO dalam satu materi
Gambar 3: Proses Keempat skill sekaligus
Data melalui metoda studi kuantitatif adalah skor aspek Berbicara PeDe (Confidence . ’Introducing’ sederhana, dan hanya 6 orang yang telah familiar sekitar 50 kosakata bahasa. Inggris dan 12 orang 25 kebawah. Dari data ini diketahui bahasa Inggris sample sangat dasar. Oleh karena itu, sampel kelas satu tidak diberikan pre-test speaking dan Confidence Speaking. Untuk mengevaluasi pencapain yang di peroleh sampel, pengukuran grafik tesspeaking dimulai dari post-test siklus1. Berikut ini adalah taburan skor yang diperoleh sampel setelah mengikuti pembelajaran tehnik TnO selama satu semester.
B. Studi Kuantitatif 1. Data Kemampuan Confident Speaking kelas Speaking). Data skor sampel kelas 1 dan kelas 2 dikelompokan dalam tabel dari angka terendah 3.5 sampai angka tertinggi 9.5. Masing-masing kelompok skor dibedakan dengan satu interval Kelas satu adalah kelas pemula. Dari jawaban kuisioner dan pengamatan tim peneliti kajian menemukan hanya 5% dari sampel yang telah belajar bahasa Inggris. Sampel mengatakan pembelajaran berbicara (speaking) yang mereka peroleh hanya berkisar kalimat ’Greeting’, ’Command (kalimat perintah)’, ’Request’ dan
1.1 Data Aspek ‘Confidence Speaking’ Kelas 1 Melalui Tehnik TnO Siklus
Jumlah sample
Nilai 8.5-9.5
I II III
24 24 25
2 1 2
7.68.5 2 2 1
6.67.5 1 3 6
5.66.5 1 3 6
Ket. 4.6-5.5
3.5-.45
10 4 3
4 12 7
Tabel 1. Skor Test post-test Confidence Speaking Kelas 1 selama tiga siklus tehnik TnO Begitu juga skor 6.6-7.5 diperoleh oleh 3 orang sampel. Sedangkan skor 7.6- 8.5 tetap bertahan yaitu dicapai oleh dua orang sampel. Skor tertinggi yaitu skor 8.6 -9.5 hanya berhasil dicapai oleh satu orang sampel saja. Pada siklus tiga kajian menemukan ada 25 sampel yang mengikuti post-tes Confidence Speaking. Sebanyak 7 orang sample mencapai skor 3.5-4.5 Sedangkan skor 4.6-5.5 hanya dicapai oleh 3 orang sampel. Skor 5.6-6.5 dapat dicapai oleh 6 orang sampel. Skor 6.67.5 dapat juga dicapai oleh 6 orang sampel. Sedangkan skor 7.6-8.5 dapat dicapai oleh satu orang sampel. Dan skor tertinggi yaitu skor 8.6-9.5 dapat dicapai oleh dua orang sample.
Table 3. menunjukkan grafik skor kemampuan ’Confidence Speaking’ sampel kelas satu menggambarkan taburan skor yang bervariasi. Pada siklus pertama kajian menemukan skor 3.-4.5 dicapai oleh 4 orang sample. Skor 4.65.5 dicapai oleh 10 orang sampel. Skor 5.6-6.5 diperoleh hanya oleh 1 orang sampel. Sebanyak 1 orang mampu mencapai skor 6.67.5. Sedangkan skor 7.6-8.5 dicapai hanya oleh satu sampel saja. Skor yang tertinggi dimana sampel dapat bercerita lancar dan PeDe atau confidence yaitu skor 8.6-9.5 pada siklus pertama ini berhasil dicapai oleh dua orang sampel. Pada siklus kedua skor 3.5-4.5 Confident Speaking dicapai oleh 12 orang sampel. Skor 4.6-5.5 diperoleh oleh 4 sampel. Skor 5.6-6.5 diperoleh oleh 3 orang sampel.
1.2 Skor Rata-Rata Confident Speaking Kelas 1 Melalui Tehnik TnO Jenis
Rata-rata pretest
Confidence speaking
Rata-rata Siklus 1 57,91
Rata-rata Siklus 2 53,54
Rata-rata Siklus 3 56,8
Jumlah sampel 25
Note
Table 2. Skor Rata-rata Confident Speaking dikelas 1 selama 3 siklus Melalui Tehnuk TnO namun dalam kelas satu ditemukan skor 7.6-9 berhasil dicapai sebanyak 9 orang sampel. Artinya kelas ini telah mempunyai 8-9 orang telah memahami cara bercerita panjang dalam bahasa Inggris. Dan kelas ini juga telah mempunyai 3 sampel mapan dalam Confidence Speaking. Dari tabel juga ditemukan nilai speaking dengan tingkat kesulitan yang semakin tinggi, tetap bertahan.
Dari tabel 5 dapat ditemukan skor Confidence Speaking kelas satu secara rata-rata tidak terlalu tinggi atau ketinggiannya tidak memuaskan. Kajian menemukan pada siklus pertama skor rata-rata Confidence Speaking hanya mencapai 57.91 Pada siklus kedua skor rata-rata turun menjadi 53.54. Namun pada siklus ketiga skor rata-rata Confidence Speaking meningkat kembali menjadi 56.8. Walaupun grafik skor ini tidak terlalu tinggi
1.3 Kalkulasi Data Skor ’Daily Speaking’ Tehnik TnO kelas 1 Siklus
Jumlah sample
Nilai 8.5-9.5
I II
24 24
2 1
7.68.5 2 3
6.67.5 1 2
5.66.5 8 3
Ratarata 4.6-5.5
3.5-.45
7 4
4 11
III
25
2
1
5
2
7
8
Tabel 3. Skor Post-test Daily Speaking selama tiga siklus melalui tehnik TnO Kls 1
Table 4 menunjukkan angka-angka bervariasi. Jumlah sampel yang mampu berbicara seharihari (daily speaking) setelah mengikuti tehnik TnO menunjukkan adanya peningkatan dibanding sebelum mereka mengikuti tehnik TnO. Walaupun tidak cukup signifikan namun dikelas satu sudah ada sebanyak 5 orang sampel mulai mampu berekspresi dalam bahasa Inggris. Pada siklus I kajian menemukan ada 4 sampel yang mencapai skor 3.6- 4-5. tujuh sampel mencapai skor 4.6-5.5 dan 8 orang mencapai skor 5.6-6.5. Satu orang memperoleh nilai 6.6-7.5. Sedangkan skor 7.6-8.5 dicapai oleh sebanyak dua orang dan sebanyak dua orang pula berhasil mencapai nilai 8.6-9.5. Pada siklus kedua
grafik nilai 3.6-4.5 meningkat mencapai 11 sampel, dan nilai 4.6-5.5 turun menjadi 4 orang. Sedangkan skor 5.6-6.5 dicapai oleh 3 sampel dan skor 6.6-7.5 dicapai oleh dua orang sampel. Skor 7.6-8.5 meningkat menjadi 3 orang. Sedangkan skor 8.6-9.5 dicapai oleh satu orang sampel. Pada siklus ke tiga dari total sampel sebanyak 25 orang, 8 orang sampel mencapai skor 4-3.6-4.5. Skor 4.6-5.5 naik menjadi 7 orang sampel. Sedangkan skor 5.6-6.5 menurun menjadi dua orang. Namun nilai 6.6-7.5 naik menjadi 5 orang sampel. Dan nilai 7.6-8.5 berhasil dicapai sebanyak satu orang sampel dan nilai 8.6-9.5 dapat dipertahankan oleh dua orang sampel.
Berikut adalah Grafik Kemampuan Confidence Speaking sample 15 14 13 12 11 10 98765 4-
kelas 1 melaluitehnik TnO
4-5. 5 3.5-4.5 4.6-5.5 5.6-6.5
4.5-5.5
7.6-
8.5 3 - 3.5-4.5
6.6-7.5
6..6-
7.5 216.6.5
7.6-8.5 8.6-9.5 5.6-6.5 66-7.5 8.5-9.5
7.6. 8.5 8.6-9. 5 8.6-9.5
Siklus 1
Siklus 2 Grafik 1. Kemampuan Confidence Speaking kelas 1 melaluitehnik TnO
Siklus 3
5-
Dari grafik 1. pencapaian skor Confidence Speaking tidak terlalu tinggi. Walaupun tidak menggambarkan satu perkembangan yang sangat signifikan, kajian menemukan setelah mengikuti proses tehnik TnO setiap sampel kelas 1 sekarang telah mempunyai sekitar 5-6 orang sampel berbicara dengan PeDe atau
Confidence Speaking. Artinya sampel-sample ini telah dapat berbicara memaparkan atau menjelaskan satu ide, pikiran, gagasan dan informasi dalam uraian yang panjang, terutama tentang topik-topik yang telah diajarkan.
1. Data Kemampuan Confident Speaking kelas 2 2.1 Kalkulasi skor ‘Confidence Speaking’ kelas dua melalui tehnik TnO Jenis Test Pretest Posttest
Siklus
I II III
Jumlah sample
Nilai
Ket.
25
8.6-9.5 -
7.6-8.5 -
6.6-7.5 -
5.6-6.5 -
4.6-5.5 -
3.6-4.5 25
23 23 17
1 2
1 1 1
2 4 1
10 6 2
4 9 2
5 3 9
Table 4. Skor Postest Confidence Speaking kelas 2 selama 3 siklus melalui tehnik TnO
Dari tabel 4. skor pre-test ’Confidence Speaking’ kelas 2 yang dijalankan sebelum percobaan atau eksperimen dilaksanakan kajian menemukan tidak satupun dari sampel mampu bercerita PeDe atau Confidence. Setelah sampel mengikuti pembelajaran tehnik TnO pada siklus pertama ditemukan 5 sampel mendapat Skor 3.6-4.5. Sedangkan Skor 4.65.5 dapat dicapai oleh 4 sampel. Skor 5.6-6.5 dapt dicapai oleh 10 sampel dan Skor 6.6-7.5 hanya mampu dicapai oleh 2 orang sampel. Skor 7.6-8.5 hanya di capai oleh satu sampel dan skor 8.6-8.9 berhasi dicapai oleh satu sampel. Pada siklus kedua jumlah sampel yang mencapai Skor 3.6-5.5 turun menjadi 3 orang. Pada skor 4.6-5.5 jumlah sampel naik menjadi 9 orang. Namun pada skor 5.6-6.5 jumlah sampel menurun menjadi 2 orang. Sedang skor 6.6-7.5 meningkat menjadi 4 orang. Pada skor 7.6-8.5 berhasil dicapai oleh satu (1) orang. Pada siklus ke dua tidak
satupun sampel mampu mencapai nilai tertinggi yaitu 8.6-9.5. Namun pada siklus ketiga jumlah sampel yang memperoleh skor 3.6-4.5 bertambah menjadi 9 orang. Sedangkan skor 4.6-5.5 turun menjadi 2 sampel. Skor 5.6-6.5 juga turun menjadi 2 orang. Sementara skor 6.6-7.5 turun menjadi satu (1) orang. Skor 7.6-8.5 tetap 1 orang dan yang memperoleh skor 8.6-9.5 juga hanya mampu dicapai oleh satu orang. Nilai-nilai ini tidak terlalu signifikan. Karena selain materi yang mulai semakin sulit juga ada gangguan, seperti ; sekolah tutup lebih awal karena beberapa kegiatan sekolah, ; dan kebisingan diluar kelas sehingga dalam proses bertanya jawab, dan berbicara PeDe sulit dilaksanakan. Namun dari segi jumlah yang mulai mengerti cara mengexpressikan fikiran dan gagasan dalam uraian yang panjang meningkat yaitu menjadi sebanyak 6 orang.
B.2.2 Skor Rata-Rata Confident Speaking Kelas 2 melalui tehnik TnO Jenis Confidence speaking
Rata-rata pretest 4
Rata-rata Siklus 1 5,58
Rata-rata Siklus 2 5,67
Rata-rata Siklus 3 5,44
Jumlah sampel 23
Note
Tabel 5. Skor rata-rata Confident Speaking Kelas 2 selama empat siklus tehnik TnO
Sampel kelas 2 adalah tahun kedua di sekolah SMP. Maknanya sampel ini telah mempelajari bahasa Inggris selama satu tahun. Untuk mengukur pengaruh tehnik TnO terhadap kemampuan berbicara (daily speaking) dan berbicara PeDe, sampel diberikan pre-tes Daily Speaking (Berbicara Sederhana) dan berbicara PeDe (Confidence Speaking). Dari tabel kajian menemukan pada pre-test ”Confidence Speaking” sampel tidak memperoleh nilai apapun. Mereka, walaupun telah diberikan pendekatan MTG, tetap tidak mau menjawab sama sekali. Mereka hanya diam atau tertawa dan mengatakan ’hanjut ( nggak bisa) buk/pak hai.....’. Dari table dapat dilihat skor rata-rata pre-test untuk ketrampilan Confidence Speaking adalah empat (4). Setelah mengikuti pembelajaran bahasa Inggris melalui tehnik TnO selama 1 siklus rata-rata ‘Confidence Speaking’ sampel mencapai 5.58. Pada siklus kedua skor ratarata Confidence Speaking sample mencapai 5,67. Sedangkan pada siklus ketiga skor rata-
rata ‘Confidence Speaking’ yang dapat diraih oleh sample mencapai 5.44. Menurunnya grafik skor rata-rata disebabkan selain banyak sampel tidak ikut dalam post-tes karena sakit dan izin, tingkat kesulitan materi semakin tinggi sehingga topik percakapan semakin sulit. Namun bila dilihat tabel uraian kalukulasi skor Daily Speaking, secara individu kajian menemukan motivasi sampel meningkat. 5-6 sampel bertahan dan dengan nilai 7-9. Sedangkan dari dari segi self-esteem, penghargaan terhadap pembelajaran bahasa Inggris semakin tinggi. Mereka tidak saja mulai menghargai tapi juga menyukai pelajaran bahasa Inggris. Pada pre-test Berbicara Sederhana (daily Speaking), sample memperoleh skor rata-rata mencapai 54.84. Pada siklus pertama skor rata-rata Berbicara Sederhana mereka 5,52. Pada siklus 2 skor rata sample naik menjadi 5.93 dan pada siklus ketiga sample memperoleh skor 5.48.
Berikut adalah grafik nilai Confidence Speaking sampel kelas 2.
15 14 - 4 13 12 11 10 98654 3 2 76.-7.5. 1.5.5
7.5-8.5
5..6-6.5
8.6-9.5
Pretest
5.6-6.5 4.6-6. 5 3.5-4.5 4.6-5.5
.
3.5-4.5 6.6.-5.5 7.6. 8.5 7.6-8.5 8.6-9.5
66-7. 5
Siklus 1
3.5-4.5
Siklus 2
7.6-8. 5
4.6-
Siklus 3
Grafik 2. Kemampuan Confidence Speaking kelas 2 tehnik TnO Grafik diatas menunjukkan bahwa pada setiap siklus ’Percobaan tehnik TnO” ditemukan satu empat sampai enam sampel secara konsisten berhasil mencapai nilai Confidence Speaking dengan skor tinggi.yaitu dari 7.6 sampai 9.5. Kesimpulan dan Saran Berbicara bahasa Inggris dengan percaya diri adalah proses menuju berbicara bahasa Inggris dengan lancar (Fluent Speaking Proficiency). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tehnik TnO sangat tepat digunakan untuk pembelajaran Confidence Speaking. Tehnik ini sangat tepat untuk pembelajaran bahasa Inggris pemula dan kelas yang sedang dalam proses belajar. Tehnik ini dapat mengembangkan ketrampilanketrampilan bahasa yang terlibat dalam proses yaitu Listening, Reading, Speaking confidently, dan Writing. Tehnik TnO dapat diterapkan dalam pembelajaran bahasa Inggris
di sekolah karena ditemukan suasana kelas sering gembira, seru karena suasana berwarna kompetisi. Proses pembelajaran kosakata, frasa, pronunciation dan kalimatri yang berulang-ulang mampu membuat sampel tidak merasa ragu menggunakan kosakata dan ungkapan bahasa Inggris dalam percakapan. Dari data-data yang ditampilkan pada setiap table dan grafik menunjukkan nilai kemampuan ’Confidence Speaking’ sampel kelas satu dan kelas dua setelah mengikuti tehnik TnO cukup signifikan. Pada setiap siklus sample kelas satu dan kelas dua kajian menemukan 4-5 orang sample berhasil mencapai nilai cukup ’berbicara dengan PeDe atau Confidence dan 3 orang mencapai nilai sangat tinggi yaitu nilai 8,5- 9 sekitar 5-6 orang. Artinya sampel-sample ini telah dapat berbicara memaparkan atau menjelaskan satu ide, pikiran, gagasan dan informasi dalam
uraian yang panjang dalam bahasa Inggris terutama tentang topik-topik yang telah diajarkan. Maka dapat disimpulkan bahwa tehnik TnO berpotensi meningkatkan kemampuan Confidence Speaking peserta didik dalam bahasa Inggris.Dengan demikian tehnik TnO dapat menunjang harapan misi pendidikan pemerintah Indonesi untuk membawa peserta didik Saran Tehnik TnO sesuai dengan kurikulum mata pelajaran bahasa Inggris di sekolah karena tehnik ini mempersiapkan peserta didik berbicara PD (confident). Bila tahap ini dapat dicapai, siswa akan dapat mencapai tahap berbicara bahasa Inggris lancer (Fluent Speaking). Ketrampilan ini tidak mudah dicapai oleh peserta didik bahasa Inggris. Berbicara dengan percaya diri sangat urgen dilingkungan sebagai tahap awal menuju berbicara lancar. Hal ini penting bagi sekolah karena sekolah perlu menerapkan pembelajaran presentasi dan project paper dalam bahasa Inggris terutama sekolahsekolah SBI. Dewasa ini potensi Confidence Speaking dan Fluent Speaking adalah untuk mempersiapkan pelajar dan calon pekerja berkiprah ditingkat Internasional. Oleh karena itu sarankan penulis agar penelitian membangun peserta didik berbicara dengan PeDe terus dilanjutkan oleh para pakar, guru dan peneliti bidang pendidikan bahasa Inggris sehingga ditemukan berbagai tehnik dan strategi yang lebih bervariasi dan efektif. Berdasarkan hasil kajian atau dapatan yang diperoleh oleh penelitian ini, bila kita berandai- andai, satu sekolah mempunyai 20 kelas. Pada setiap kelas ada 6 pelajar dapat bicara bahasa Inggris dengan Percaya Diri (PD) atau confidence, maka sekolah tersebut akan mempunyai kekayaan ’pelajar yang mampu berbicara bahasa Inggris dengan PeDe (confidence)’. Artinya sekolah tersebut sudah siap untuk melaksanakan pembelajaran presentasi dan tugas-tugas project dalam bahasa Inggris. Ini adalah bahagian dari ciriciri sekolah cluster.
Daftar Kepustakaan Creswell John W (2005) Educational Research. Pearson Education Australia. Dale, Paulette dan Wolf.C James (2006) Speech Communication Made Simple Person Longman. Miami Dade College Hasriati (2011) Tehnik TnO untuk meningkatkan rasa percaya diri siswa dalam speaking. Jurnal UNIGHA . Sigli. Aceh Harme Jerme (2007) How to teach english Pearson Longman England Hockett Charles F. (1958) A Course in Modern Linguistic.The Macmillan Company. United State of America. Lia Angelia Setiawati sofyan dan Unika Atmaja (2011) Pengajaran ESP pada tingkat perguruan Tinggi., lib.atmajaya.ac.id Marian Mohamed Nor dan Rahmad Shukor Abd Samad (2006) Teaching of Reading and Writingfor ESL. University of Malaya Press. Kuala Lumpur. Malaysia. Paul Halim (2005) Percaya diri Berbahasa Inggris. Puspa Suara. Jakarta Wina Sanjaya (2007) Strategi Pembelajaran. Jakarta Kencana. Smilkstein, R. (1999). How the brain learnsdeveloping and teaching competency. Paper presented at the workshop of the 3rd North American Conference on The Learning Paradigm, San Diego, USA.
Implementasi Pembelajaran IPA Terpadu di SMP Kota Banda Aceh
The Implementation Of Integrated Science Learning In Junior High Schools In Banda Aceh by Soewarno S, Asmarol Hidayat1) Abstract. The implementation of the integrated science learning is the application of science subjects that includes physics, chemistry, and biology that is being taught integratedly by emphasizing on science learning, environment, technology and society that aims to enable students to thinkscientifically, rationally and critically. This study purposes to investigated the implementation of science learning, compatibility between science learning implementation and the demand of School Unit Level Curriculum (KTSP) and the obstacles that causes the implementation of Integrated Science Learning has not been conducted in Junior High Schools in Banda Aceh. However, as the sample of research it was investigating only two teachers from each school, that are physics teacher and a teacher of biology. Research result and analysis showed that Integrated Science Learning has never been conducted based on the demands of KTSP in those schools. Most teachers have already had knowledge about Integrate Secience, but the application does not last long. This is due to differences of teachers’ scientific backgrounds, difficulty in the implementation of Integrated Science according to the demands of KTSP. Keywords : Learning implementation, Integrated Science. Secara nasional mutu pendidikan di tanah air masih rendah. indeks mutu pendidikan Bangsa Indonesia dapat dilihat dari Programme For International Student Assesment (PISA), misalnya perbandingan prestasi internasional literasi dibidang Science Achivement atau Ilmu Pengetahuan Alam, Indonesia menempati posisi 38 dari 41 negara. Posisi IPA tertinggi adalah Jepang dan terendah adalah Peru. Untuk Mathematical Achievment atau matematika, Indonesia pada posisi urutan 39 dari 41 negara. Posisi tertinggi adalah Hongkong dan terendah Peru (programme for international student assesment (PISA) 2003). Salah satu upaya pemerintah yang ditempuh guna meningkatkan mutu pendidikan adalah penyempurnaan kurikulum, dari kurikulum tahun 1994, menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang disebut kurikulum 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) disusun berdasarkan atas kebutuhan untuk mencapai standar kompetensi dan harus menjamin adanya hubungan antar jenjang komptensi. Dengan kata
lain, bahan ajar yang disusun harus menampilkan sosok utuh Standar Kompetensi. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Sejak tahun 2006 memberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang pada dasarnya adalah KBK yang dikembangkan oleh satuan pendidikan berdasarkan Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL). (Anonim; 2006:1). Dalam KTSP pada jenjang SMP/MTs menuntut pembelajaran IPA (Fisika, Biologi dan, kimia) secara terintegrasi dalam bentuk tema atau topik yang dikenal dengan nama IPA Terpadu. Pembelajaran IPA terpadu menuntut guru IPA yang professional, menguasai materi IPA secara terpadu (Fisika, Kimia dan Biologi), mampu mengemas dan mengembangkan materi dalam bentuk tema atau topik dengan menggunakan sarana dan prasarana yang memadai (Tim Pustakia Yustisia; 2008). Namun realitas di lapangan, bahwa guru–guru IPA SMP/MTs di NAD berlatar belakang pendidikan yang berbeda-beda yaitu Fisika, Biologi dan Kimia. Dengan kondisi ini
diasumsikan pembelajaran IPA terpadu tidak berjalan sebagaimana yang diamanatkan oleh KTSP. Untuk itu dirasa perlu untuk meneliti kondisi dan kinerja guru-guru IPA SMP dalam pembelajaran IPA Terpadu yang telah dilakukan selama ini. Temuan dalam penelitian ini menjadi penting, karena dengan terungkapnya kondisi dan kinerja guru-guru IPA dapat dipergunakan sebagai acuan untuk mencari solusi agar pembelajaran IPA Terpadu dapat terlaksana sesuai tuntutan KTSP, yang pada gilirannya akan meningkatkan mutu pendidikan itu sendiri.
I. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan : 1. Model-model pembinaan profesi guru yang berlangsung di sekolah selama ini. 2. Pengetahuan dan pemahaman guru terhadap IPA Terpadu. 3. Kinerja pembelajaran guru IPA selama ini,
(1) Model-model pembinaan profesi guru yang dilakukan selama ini adalah bentuk operasional pembinaan profesi guru yang dilakukan oleh pihak sekolah untuk meningkatkan profesionalisme guru. (2)
(3) Kinerja pembelajaran guru selama ini, adalah kondisi ril pembelajaran yang dilakukan oleh guru dalam pembelajaran IPA Terpadu di sekolah. B.4 Pengumpulan dan Analisis Data 1) Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan mempergunakan instrumen-instrumen sebagai berikut: D
METODE PENELITIAN 1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian diskriptif yaitu suatu metode penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan fenomenafenomena yang ada yang berlangsung pada saat ini atau saat yang lampau. Penelitian ini tidak mengadakan manipulasi atau pengubahan pada variable-variabel bebas, tetapi menggambarkan suatu kondisi apa adanya.. (Nana Syaodih Sukmadinata, 2004:72) 2 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh guru IPA di SMP Kota Banda Aceh. Sebagai sampel diambil seluruh guru-guru IPA dari tiga SMP dengan kategori baik, sedang , dan rendah dengan teknik stratified random sampling. 3 Variabel dan Definisi Operasional Variabel Variabel utama yang akan diselidiki dalam penelitian ini adalah model-model pembinaan profesi guru yang dilakukan selama ini, pengetahuan dan pemahaman guru terhadap model IPA Terpadu, kinerja pembelajaran guru selama ini. Definisi operasional masing-masing variabel tersebut adalah:
Pengetahuan dan pemahaman guru terhadap model pembelajaran IPA Terpadu, adalah kondisi pengetahuan konseptual guru tentang model pembelajaran IPA Terpadu.
E
F
Pedoman wawancara yang ditujukan kepada kepala sekolah, untuk memperoleh gambaran model-model pembinaan profesi guru IPA yang dilakukan sekolah. Angket yang ditujukan kepada guru IPA, untuk memperoleh gambaran tentang pengetahuan dan pemahaman guru IPA terhadap model pembelajaran IPA Terpadu. Pedoman observasi yang ditujukan kepada guru IPA, untuk memperoleh gambaran tentang kinerja guru. Observasi dilakukan terhadap proses pembelajaran dan portofolio guru.
2) Teknik Analisis Data dan Cara Penafsiran Hasil Penelitian Data tentang (1) model-model pembinaan profesi guru yang dilakukan sekolah selama ini, (2) pengetahuan guru terhadap IPA Terpadu, (3) kinerja pembelajaran guru selama ini. Hal ini dimaksudkan untuk melihat keterlaksanaan IPA Terpadu.
HASIL DAN PEMBAHAS Pada bagian ini akan dibahas secara berturut-turut tentang demografi guru, pengetahuan guru tentang IPA Terpadu, persiapan guru dalam pelaksaan pembelajaran IPA Terpadu, pelaksanaan pembelajaran IPA Terpadu, kendala
yang dialami guru dalam pembelajaran IPA Terpadu.
implementasi
1 Umum Pada umumnya guru IPA di SMP Negeri se kota Banda Aceh adalah Strata Satu (S1). dan berlatar belakang pendidikan fisika dan biologi serta mengajar berdasarkan latar belakang pendidikannya. Hasil pengolahan data pada tabel 4 dapat disimpulkan bahwa guru IPA SMP Negeri di Kota Banda Aceh belum menerapkan pembelajaran IPA Terpadu. Adapun penyebab pembelajaran IPA Terpadu belum diterapkan di sekolah adalah latar belakang guru yang berbedabeda sulit untuk beradaptasi kedalam pengintegrasian bidang kajian IPA, karena mereka memiliki latar belakang fisika tidak memiliki kemampuan yang optimal pada kimia dan biologi, begitu juga sebaliknya. Karena perbedaan latar belakang tersebut guru dan pihak sekolah belum melaksanakan pembelajaran IPA Terpadu, untuk memperkecil resiko kesalahan pengajaran pada siswa. 2 Pengetahuan Guru Tentang IPA Terpadu Hasil temuan di lapangan sebagaimana diungkapkan pada hasil penelitian menunjukkan pengetahuan responden tentang IPA Terpadu cukup baik hal ini dikarenakan pada umumnya responden telah mendapatkan informasi dan pernah mengikuti pelatihan atau seminar tentang pembelajaran IPA Terpadu. Namun dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa para guru IPA masih membutuhkan pelatihan tentang pembelajaran IPA Terpadu secara kontinu dan komprehensif, karena mereka merasa pengetahuannya tentang pelaksanaan pembelajaran IPA Terpadu masih minim. Mereka juga berharap seluruh guru IPA dapat mengikuti pelatihan tersebut, sehingga informasi tentang IPA Terpadu dapat langsung diterima, tanpa melalui perantara. Melihat kenyataan bahwa masih ada guru yang belum mendapat informasi tentang IPA Terpadu membuktikan bahwa kurang meratanya sosialisasi tentang pembelajaran IPA Terpadu di lingkungan guru IPA sendiri di kota Banda Aceh. 3 Kendala-kendala yang dialami guru dalam implementasi IPA Terpadu Melakukan sesuatu yang baru atau inovasi tentunya tidak mudah untuk dilaksanakan,
begitu pula dengan pembelajaran IPA Terpadu yang diharuskan oleh pemerintah untuk dilaksanakan di sekolah tingkat SMP/MTs sesuai dengan peraturan menteri yang dikeluarkan tahun 2006. Pembelajaran ini tentunya diharapkan dapat menigkatkan dan menaikkan mutu pendidikan di Indonesia umumnya dan di Banda Aceh khususnya, namun ternyata dalam pelaksanaanya pelaku pendidikan menenukan beberapa kendala yang menghambat terwujudnya proses implementasi pembelajaran IPA Terpadu ini, sehingga tidak dapat berjalan dengan optimal sebagaimana yang diharapkan. Berdasarkan hasil pengolahan data ditemukan 9 kendala umum yang di alami oleh guru dalam penerapan pembelajaran IPA Terpadu di sekolah. Kendala-kendala tersebut adalah : (1) kurang lengkapnya sarana belajar seperti laboratorium, (2) rendahnya motivasi belajar siswa, (3) kurang cukup tersedianya buku pelajaran yang menunjang PBM, (4) kompetensi guru yang kurang memadai, (5) rasio siswa perkelas yang melebihi kapasitas, (6) kuantitas guru masih kurang, (7) alokasi waktu yang tidak efektif, (8) kesukaran guru dalam mengaitkan konsep, dan (9) berkurangnya beban jam pelajaran yang diemban guru-guru yang tercakup kedalam bidang kajian IPA. Motivasi belajar siswa yang sangat rendah merupakan kendala dengan persentase terbesar dalam implementasi pembelajaran IPA Terpadu. Sebagus dan sebaik apapun rancangan suatu kurikulum, namun jika tidak diiringi oleh motivasi belajar yang tinggi, maka tujuan pendidikan akan sangat sulit dicapai. Kurangnya motivasi belajar ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya guru kurang dapat menarik minat siswa, dan guru jarang mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari sehingga siswa merasa tidak menemukan manfaat dari apa yang dipelajarinya. Selain itu terdapat faktorfaktor internal lainnya menyangkut kehidupan pribadi siswa. Masih adanya beberapa sekolah yang tidak memiliki laboratorium dan alat peraga untuk pembelajaran, padahal kelengkapan sarana merupakan salah satu faktor penting keberhasilan pembelajaran. Meskipun di beberapa sekolah sudah memiliki fasilitas laboratorium yang lengkap, masih banyak guru IPA yang tidak mampu menggunakan alat peraga tersebut. Bahkan di beberapa sekolah memiliki alat-alat peraga terbaru yang dapat menunjang PBM,
namun karena guru-guru IPA di sekolah yang bersangkutan belum mampu mengoperasikannya, alat-alat tersebut tidak digunakan sehingga hanya menjadi hiasan di laboratorium sekolah. Alangkah baiknya apabila pemerintah juga memberikan pelatihan khusus bagi guru-guru IPA dalam pengoperasian alat-alat praktikum, sehingga dapat mempermudah guru dalam melaksanakan PBM dan menambah minat siswa untuk menggali ilmu IPA lebih dalam lagi. Kompetensi guru yang kurang memadai pun ikut mewarnai terkendalanya pembelajaran IPA Terpadu di laksanakan di SMP Negeri se kota Banda Aceh. Berdasarkan hasil wawancara langsung, faktanya hampir semua guru mengeluhkan sulitnya pelaksanaan pembelajaran IPA Terpadu di karenakan latar belakang guru yang berbeda-beda. Dengan perbedaan tersebut guru-guru di tuntut untuk memepelajari kembali ilmu yang bukan bidangnya, bukannya tidak bisa, tetapi pastinya hasilnya tidak akan optimal. Jika Ipa Terpadu diajarkan oleh guru tunggal, pada saat mengajarkan sebuah TEMA, maka guru berkecenderungan menekankan atau mengutamakan substansi gabungan tersebut sesuai dengan pemahaman, selera, dan latar belakang pendidikan guru itu sendiri. Guru yang tercakup kedalam bidang kajian IPA merasa berkurangnya jam pelajarannya, dikarenakan tidak setiap semester ada pelajaran fisika, biologi maupun kimia di tiap tingkatan kelas. Dengan beberapa kendala seperti yang diuraikan di atas, sebagian besar guru-guru SMP negeri di Kota Banda Aceh, kembali mengajar seperti sebelumnya, yaitu berdasarkan disiplin ilmu masing-masing. Guru fisika tetap mengajar fisika dan guru biologi tetap mengajar biologi. Akan tetapi di beberapa sekolah masih ada guruguru yang mengajar semua pelajaran IPA atau guru dengan bidang studi biologi mengajar biologi dan kimia, demikian juga untuk guru fisika mengajar fisika dan biologi, atau sebaliknya. SIMPULAN DAN SARAN 1 Simpulan Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa : 1. Belum ada pembinaan guru IPA dalam hal pembelajaran IPA Terpadu.
2. Sebagian besar guru belun memahami tentang pelaksanaan pembelajaran IPA Terpadu yang sesuai dengan tuntutan KTSP. 3. Pembelajaran IPA Terpadu di SMP Negeri Kota Banda Aceh belum terlaksana sebagaimana tuntutan KTSP. 2 Saran 1. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya agar dapat menggunakan teknik pengumpulan data dengan portofolio sebagai sarana untuk melihat kelengkapan pelaksanaan pembelajaran IPA Terpadu yang sesuai dengan tuntutan KTSP. 2.
Diharapkan kepada guru IPA SMP di kota Banda Aceh agar dapat terus mengingkatkan pemahamannya tentang IPA Terpadu agar pengimplementasian IPA Terpadu dapat dilakukan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Mulyasa. 2008. Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Muslich, Masnur. 2007. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara. Nugraha, Ali. 2008. Pengembangan Pembelajaran Sains Pada Anak Usia Dini. Bandung: JILSI Foundation. Ratuman. 2003. Penilaian Portofolio, (online), (http://www.google.com., diakses 20 juli 2009). Sudjana. 2005. Metode Statistika Edisi Ke 7. Bandung: Tarsito. Suhendro, Bambang. 2006. Dalam Harian Suara Pembaharuan, Edisi Senin, 09 Januari 2006, (online), (http://pembelajaranfisika.blogspot.com/ 2009/02/ipa-terpadu.html. , diakses 11 Juli 2009).
Suparno, Paul. 2007. Kajian dan Pengantar Kurikulum IPA SMP dan MT. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Tim Penyusun Kamus. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edsi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Tim
Pustaka Yustisia. 2008. Panduan Lengkap KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Jogjakarta: Pustaka Yustisia.
PENGGUNAAN MULTIPLEREPRESETASI DAN ARGUMETASI ILMIAH DALAM PEMBELAJARAN FISIKA OLEH : SAMSUL BAHRI Abstrak. Ilmu fisika sebagai bahagian dari sains alam, diperoleh dari pengalaman ilmiahmemerlukan berbagai representasi dan argumentasi ilmiah dalam mengajarkannya untuk mencapai hasil yang optimal. Belajar sains tidak sekedar belajar informasi sains tentang fakta, konsep, prinsip, hukum dalam wujud ‘pengetahuan deklaratif’, akan tetapi belajar sains juga belajar tentang cara memperoleh informasi sains, cara sains dan teknologi bekerja dalam bentuk pengetahuan procedural. Untuk itu di tuntut termasuk kebiasaan bekerja ilmiah. Sains sebagai produk dan proses, hasil belajar siswa sangat tergantung kepada proses pembelajaran yang diciptakan guru di dalam kelas. Dalambelajar siswa seharusnya menyusun pengetahuan mereka sendiri dengan menggunakan berbagai presentasi dan argumentasi ilmiah agar pemahaman yang terbentuk lebih bermakna. Kata kunci : Multiplerepreset, Argumentasi dan Pembelajaran
Pembelajaran fisika bertujuan membentuk sikap positif terhadap fisika; memupuk sikap ilmiah (jujur, obyektif, terbuka, kritis); mengembangkan pengalaman melalui kegiatan merumuskan masalah; mengajukan dan menguji hipotesis, merancang dan merakit instrumen percobaan; mengumpulkan, mengolah, menafsirkan, dan mengkomunikasi-kan data; mengembangkan kemampuan bernalar, berpikir analisis induktif dan deduktif baik secara kualitatif maupun kuantitatif; dan menguasai konsep dan prinsip fisika serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (Depdiknas, 2004). Pembelajaran fisika idealnya difokuskan untuk mendorong siswa berpikir kritis dan mengembangkan argumentasi dengan menggunakan bukti, justifikasi, dan penjelasan praktis (Cross, 2008). Saat ini di lapangan, masih banyak siswa mengalami kesulitan dalam memecahkan persoalan-persoalan fisika, hal tersebutdapat dilihat dari hasil belajar fisika yang kurang memuaskan.Menurut Mundilarto (2002) Beberapa penyebabnya adalah, (1) fisika banyak menuntut intelektualitas yang relatif tinggi; (2) fisika terdiri atas banyak konsep dan prinsip yang sangat abstrak; (3) siswa mengalami kesulitan dalam menginterpretasikan berbagai konsep dan prinsip fisika. Kemampuan siswa dalam mengidentifikasi dan menginterpretasi konsep-
konsep fisika merupakan syarat penting bagi penggunaan konsep-konsep untuk membuat inferensi-inferensi yang lebih kompleks atau untuk pemecahan soal fisika yang berkaitan dengan konsep-konsep tersebut.Guru memegang peranan penting dalam pembelajaran. Rendahnya prestasi pelajaran fisika dapat digunakan sebagai indikator rendahnya kompetensi guru. Guru fisika di sekolah cenderung mengajar fisika seperti mereka diajar ketika kuliah. McDemott (1990) menemukan di USA rendahnya pendidikan fisika disebabkan tidak dipersiapkannya calon guru dengan baik. Banyak guru tidak dapat memisahkan ilmu fisika yang telah dipelajari dengan cara ilmu fisika tersebut diajarkan kepada siswa. Fisika merupakan kajian untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana prosesproses fenomena alam terjadi.Tujuan ini dapat menjadi kabur karena pembelajarannya yang terkesan monoton dengan hadirnya rumusrumus yang begitu banyak jumlahnya, padahal rumus hanyalah konsekuensi penyederhanaan pernyataan dari fenomena dan proses-proses yang terjadi di alam.Cara penyajian seperti ini menyebabkan konsep-konsep penting dalam fisika yang seharusnya mengajak siswa berpikir lebih dalam menjadi hilang.
A. Masalah Pembelajaran Fisika Hasil observasi pada beberapa sekolah di Banda Aceh menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam menguasai konsep fisika masih rendah, pelajaran fisika menjadi beban bagi sebagian besar siswa karena disajikan sangat matematis dalam rumus-rumus baku yang sudah jadi. Konsep fisika kurang dapat dimaknai oleh siswa karena tidak semua siswa memiliki kecerdasan dalam bidang angka atau logika (Logical-MathematicalIntelligence) yang memadai. Untuk itu diperlukan bentuk atau format representasi lain guna menginterpretasi dan menjelaskan fenomena fisika tersebut. Beberapa temuan tentang masalah yang dialami guru fisika di Jawa Barat diantaranya: guru fisika di sekolah mengalami kesulitan dalam merencanakan dan mengimplementasikan pembelajaran fisika berdasarkan Kurikulum 2004. Metoda yang dikembangkan guru masih didominasi metoda ceramah, struktur pembelajaran masih kurang memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran sains, dan teknik bertanya masih lemah, guru fisika lemah dalam hal memanfaatkan dan mengembangkan media pembelajaran fisika. Guru fisika di sekolah mengalami kesulitan mengembangkan materi ajar menjadi bahan ajar. Guru mengalami kesulitan dalam aspek penilaian terhadap hasil belajar siswa sesuai dengan saran kurikulum 2004 (Hera dan Iyon, 2008). Pembelajaran fisika sebagai wahana mengembangkan kemampuan intelektual tentang pengetahuan fisika merupakan syarat mutlak dalam mencapai keberhasilan belajar fisika. Guru fisika idealnya harus memahami fisika secara konseptual dan mendalam, mampu melakukan penalaran kualitatif maupun kuantitatif, memahami dan mampu mengembangkan berbagai representasi ilmiah seperti RGafik, diaRGam, dan persamaan matematis, mampu menggunakan teknik dan multimedia modern dalam pembelajaran, memiliki keterampilan dalam inkuiri sains, dan mampu mengantisipasi kesulitan konseptual yang dialami siswa (McDermott, 2004). B. Representasi Ganda dalam Fisika Parailmuan fisika umumnya menggunakan berbagai representasi (diaRGam, RGafik, gambar, dll) dalam argumentasi dan mengkomunikasikan teori dan hasil temuannya. Guru fisika ideal juga memiliki kompetensi tersebut agar mampu mengajarkan konsep fisika secara baik dan benar. Hal ini senada dengan Waldrip (1999), pembelajaran sains
memerlukan representasi verbal, visual dan matematika dalam membangun pemahaman secara ilmiah.Guru fisika idealnya memiliki kemampuan argumentasi ilmiah dan dapat menyampaikan materi fisika dalam berbagai bentuk representasi (multiple representations). Pemahaman dalam pembelajaran fisika sudah sejak lama menjadi isu penting dalam berbagai kajian dan penelitian.Pemahaman terhadap suatu proses/konsep direpresentasikan dalam memori manusia secara internal dan terstruktur.Untuk mengkomunikasikan suatu pemahaman ini dapat direpresentasikan secara eksternal, menggunakan satu bentuk representasi atau terkadang banyak bentuk representasi (multiple representations), seperti dalam bentuk ucapan bahasa, simbol tertulis, gambar, atau objek-objek nyata.Untuk memikirkan suatu gagasan fisika kita perlu merepresen-tasikannya secara internal agar pikiran kita mampu memahaminya.Representasi mental tidak dapat diobservasi secara langsung, maka representasi yang terjadi di dalam kepala biasanya berdasarkan pada inferensi tingkat tinggi. Dalam pembelajaran, terdapat keterkaitan secara fungsional antara representasi internal dan representasi eksternal.Representasi internal dapat distimulasi oleh representasi eksternal yang diamati, dan sebaliknya representasi eksternal dipengaruhi oleh representasi internal. Koneksi antar representasi eksternal dari informasi dapat dikonstruksi oleh siswa dalam bentuk-bentuk representasi yang berbeda untuk gagasan yang sama atau dengan representasi yang sama untuk gagasan yang berhubungan. Koneksi representasi ini dalam belajar fisika memiliki peran yang sangat penting. Diyakini bahwa konsep keterkaitan representasi dari pengetahuan akan bermanfaat dalam mengembangkan pemahaman. Suatu prosedur atau fakta dikatakan dipahami jika hal ini menjadi bagian dari jaringan internal.Lebih spesifik lagi dikatakan fisika dimengerti apabila representasi mentalnya merupakan bagian dari jaringan representasi. Tingkat pemahaman akan ditentukan oleh jumlah dan kekuatan dari keterkaitannya. Suatu gagasan fisika, prosedur, atau fakta dipahami dengan sempurna apabila terjalin dengan kuat dengan jaringan yang telah ada dan memiliki jumlah koneksi yang lebih banyak. Representasi eksternal merupakan gambaran dari representasi internal seperti model-model, analogi, persamaan, Grafik, diagram, gambar dan simulasi.Penggunaan RG dalam pembelajaran fisika dapat membantu dan
memperkaya pemahaman konseptual siswa (Guttersrud, 2008).Beberapa penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa penggunaan RG berperan penting dalam membantu siswa membangun pemahaman dengan lebih mudah dan lebih baik, karena konsep yang kompleks dan luas dapat disajikan lebih sederhana dan holistik (Ainsworth, 2006; Postek, 2008).Heuvelen & Xueli (2001) menemukan bahwa penggunaan RG membantu mahasiswa dalam memahami konsep. Kohl dan Noah (2005) menenemukan bahwa keberhasilan mahasiswa dalam memecahkan masalah dipengaruhi representasi soal yang diberikan. Kohl dan Noah (2006) menemukan ada pengaruh signifikan pendekatan pembelajaran terhadap kemampuan RG mahasiswa. Selanjutnya Kohl dan Noah (2007) menemukan lagi bahwa mahasiswa umumnya mengalami kesulitan menggunakan RGkhusus dalam membangun deskripsi verbal dan visual dari suatu masalah untuk dikonversikan menjadi representasi matematis dan ada perbedaan pola RG antara mahasiswa ahli dan mahasiswa pemula. Mahasiswa ahli lebih sukses dalam menyelesaikan masalah dengan menggunakan pola RG(Kohl danFinkelstein, 2008). C. Argumentasi dalam Sains Argumentasi dipandang sebagai hal penting dalam proses belajar sains karena merupa-kan aktivitas inti dari ilmuwan. Ada tiga alasan pentingnya argumentasi dalam pembelajaran, (1) ilmuwan menggunakan argumentasi dalam mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan ilmiahnya; (2) masyarakat menggunakan argumentasi dalam perdebatan ilmiah; dan (3) para siswa dalam pembelajaran membutuhkan argumentasi untuk memperkuat pemahamannya (Erduran, Osborne, & Simon, 2007). Argumentasi adalah proses memperkuat suatu klaim melalui analisis berpikir kritis berdasarkan dukungan dengan bukti-bukti dan alasan yang logis. Bukti-bukti ini dapat mengandung fakta atau kondisi objektif yang dapat diterima sebagai suatu kebenaran (Inch & Warnick, 2006).Kualitas argumentasi atau kuat lemahnya suatu argumentasi (klaim) ditentukan oleh pemahaman suatu konsep yang didukung data/bukti, warant, backing dan bagaimana kita mengkonstruk komponen-komponen tersebut sehingga dapat meyakinkan. Menurut Marttunen (2005), argumentasi dapat membantu mahasiswa dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis. Berargumentasi dapat meningkatkan hasil
belajar dan kinerja siswa.Penggunaan argumentasi dapat memperkokoh pemahaman konsep, memungkinkan siswa untuk mendapatkan ide-ide baru yang dapat memperluas pengetahuan, dan menghilangkan miskonsepsi yang dialami siswa (Cross, Hendricks, & Hickey, 2008). Dengan membangun argumentasi akan memberikan suatu pondasi yang kuat dalam memahami suatu konsep secara utuh dan benar.Selama ini, guru masih kurang menggunakan RG dan argumentasi dalam pembelajaran fisika, hal ini mungkin disebabkan masih rendahnya pemahaman konseptual yang dimiliki. Padahal RG dan argumentasi dapat mempermudah pemahaman dan memberikan pondasi yang kuat untuk mengajar efektif daripada belajar mengenai materi yang tinggi tetapi dangkal (McDermott, 2000). D. Penggunaan Representasi ganda dan Argumentasi Ilmiah (RG) dalam PembelajaranFisika. Representasi Ganda (RG) adalah upaya pengungkapan kembali suatu konsep yang sama dalam berbagai bentuk representasi yang berbeda. RG dapat digunakan untuk menggambarkan fenomena fisika dalam berbagai sajian agar lebih mudah dipahami. Penyajian dari satu representasi ke bentuk representasi yang lain menjadi tantangan tersendiri dalam pembelajaran fisika, khususnya dalam hal keterampilan menerjemahkan dan memahami hubungan konseptual antara representasi (Prain & Waldrip, 2006). Penggunaan RG dapat membantu kita mengidentifikasi suatu masalah dan menyelesaikannya dengan pamahaman, nalar dan argumentasi yang lebih kokoh. Kemampuan merepresentasikan konsep secara baik (ilmiah, logis dan masuk akal) akan sangat membantu peserta didik dalam memahami berbagai konsep yang diajarkan. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dialami siswa juga dapat dilihat dari representasi konsep yang mereka miliki. Kemampuan merepresentasikan konsep akan sangat membantu siswa dalam berargumen secara ilmiah dalam menyelesaikan masalahmasalah fisika. Fisika merupakan abstraksi terhadap berbagai sifat alam dalam wujud konsepkonsep, hubungan antara konsep dan dikomunikasikan dengan berbagai representasi sebagai media argumentasi agar mudah dipahami dan mudah diajarkan (teacble), ideide fisika perlu mengkomunikasikan dan merepresentasikannya dengan cara tertentu.
Suatu ide fisika sering dapat direpresentasikan dengan salah satu bentuk representasi atau dengan beberapa bentuk representasi.Representasi suatu konsep bukan hanya perwujudan eksternal melainkan suatu entitas kognitif suatu representasi internal yang merupakan representasi dan gambaran mental seseorang. Kemampuan pemecahan masalah sebagai salah satu keterampilan berpikir tingkat tinggi menggunakan berbagai bentuk representasi (multiple), dan kemampuan mengubah dari satu bentuk representasi ke bentuk representasi lain (Waldrip, 2006; Kozma, 2005). Dalam konteks pemecahan masalah, Bodner dan Domin (dalam RosenRGant, Van Heuleven, & Etkina, 2006) membedakan representasi internal dengan representasi eksternal. Representasi internal merupakan cara seseorang dalam memecahkan masalah dengan menyimpan atau mengkonstruk komponen-komponen internal dari masalah dalam pikirannya (model mental). Representasi eksternal adalah sesuatu yang berkaitan dengan simbolisasi atau menyajikan suatu obyek dan/atau proses. Dalam hal ini, representasi digunakan untuk memanggil kembali pikiran melalui deskripsi, penggambaran atau imajinasi (Chittleborough & Treagust, 2006 ). Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menyelidiki pengaruh representasi tunggal dan RGpada pembelajaran.Dengan menggunakan representasi yang berbeda dan mode pembelajaran yang berbeda dapat membuat konsep-konsep menjadi lebih mudah dipahami dan menyenangkan (intelligible, plausible dan fruitful) bagi pembelajar, sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar sains (Treagust, 2008).Ainsworth (dalam Treagust, 2008) menyatakan fungsi RG adalah sebagai instrumen untuk memberikan dukungan dan memfasilitasi terjadinya belajar bermakna (meaningfull learning) dan/atau belajar yang mendalam (depth learning). Isu kunci untuk mengembangkan RG dalam konteks belajar sains konsisten dengan prinsip-prinsip umum untuk mencapai pedagogi yang efektif di masa kini.Prinsip-prinsip ini memperkuat pentingnya menyediakan kebutuhan belajar melalui berbagai sumber daya representasional yang relevan seperti visualisasi, verbalisasi dan numerisasi sehingga pembelajar memiliki literasi sains.Pembelajar perlu memahami berbagai bentuk representasi konsep, proses sains, dan mampu menerjemahkan berbagai bentuk representasi yang berbeda ke bentuk representasi yang lainnya melalui kooordinasi pengetahuan yang
dimilikinya sehingga mampu merepresentasikan pengetahuan ilmiahnya. E. Argumentasi dalam Pembelajaran Sains Salah satu penyebab kesulitan belajar fisika karena fisika membutuhkan berbagai bentuk representasi dan kemampuan argumentasi untuk dapat berkomunikasi.Argumentasi adalah proses yang digunakan seseorang untuk menganalisis informasi kemudian dikomunikasikan kepada orang lain. Untuk terlibat dalam argumentasi diperlukan keterampilan penalaran dan pemahaman terhadap ilmu pengetahuan dengan lebih baik.Pentingnya peran argumentasi dalam pembelajaran telah ditemukan dalam penelitian pendidikan sains sebelumnya (Driver, Newton, & Osborne, 1998; Mortimer & Scott, 2003). Untuk terlibat dalam argumentasi dan mengembangkan argumentasi memerlukan keterampilan penalaran dan pemahaman terhadap ilmu pengetahuan dan fakta dengan baik. Penalaran adalah proses kognitif mencari alasan, keyakinan dalam suatu kesimpulan (klaim). Argumentasi dalam pendidikan memiliki dua perspektif, pertama guru datang dengan penjelasan ilmiah ke kelas untuk dan membantu melihat suatu secara wajar.Kedua, argumentasi dalam bentuk dialogis untuk mencapai kesepakatan agar klaim diterima.Kedua model tersebut dapat digunakan guru dalam pembelajaran. Untuk mengetahui sejauhmana kualitas argumentasi, diperlukan suatu kerangka analisis argumentasi. Eduran (2008) mengemukakan bahwa argumen yang kuat memiliki banyak pembenaran yang relevan dan spesifik untuk mendukung kesimpulan dengan bukti-bukti konsep yang akurat. Sedangkan ciri-ciri argumentasi yang lemah ditunjukkan dengan tidak adanya pertimbangan pengetahuan ilmiah, tidak akurat, tidak spesifik, dan tidak tepat. Penilaian kualitas suatu argumentasi dapat juga dilakukan dengan membuat koding skema dari dua dimensi kualitas argumentasi ilmiah yaitu kualitas konseptual dan kualitas epistemological. Kualitas konseptual diukur berdasarkan kemampuan dalam mengartikulasikan klaim kausal yang spesifik dan memberikan penjamin klaim dengan data yang memadai. Sedangkan kualitas epistemologikal diukur berdasarkan kemampuan menunjukkan data/fakta sebagai penjamin klaimnya, kemampuan menulis dan penjelasan kausal yang koheren terhadap suatu fenomena, serta menunjukkan berbagai referensi yang tepat tentang data (Erduran,
2008). Derry (2000) menjelaskan bahwa penilaian argumentasi individu dapat dilakukan melalui produk tertulis dan wawancara individual. Sementara untuk level RGup dapat dikembangkan produk tertulis serta transkrip diskusi kelompok. Suatu argumentasi sedikitnya mengandung satu klaim dan satu alasan yang mendukungnya. Derry (2006) mengemukakan bahwa terdapat beberapa karakteristik struktur logika argumentasi, penilaian klaim berdasarkan bukti-bukti, mempertimbangkan klaim alternatif, prosedur kognitif, perubahan retorika, pendapat partisipan dalam kelompok, serta tipe-tipe argumentasi. F. Penutup. Penggunaan Repersentasi ganda (RG) dapat membantu siswa mengidentifikasidan diskripsikan suatu masalah secara lebih utuh dan menyelesaikannya dengan pamahaman, nalar dan argumentasi yang lebih kokoh. Sedangkan dengan Argumentasidapat pemahaman sustu konsep karena diperoleh berdasarkan dukungan dengan bukti-bukti dan alasan yang logis. Daftar Pustaka Ainsworth,
S. (1999).The Functions of Multiple Representations.Computers &Education, 33, 131-152.
Ball, D.L., and McDiarmid, G.W. (1990).“The Subject Matter Preparation of Teachers”.
International Journal Of Science Education. 30 (6):837-861. Derri,(2000).Argumentatif Reasoning Assessments.http://www. alnresearch.Org/hmtl/assessmentstut orial/strategis/argumen. [11 Mei 2009] Dolin, J. (2001). Representational Forms in Physics. Paper Presented at theThird International Conference of the European Science Education ResearchAssociation, August. Erduran,
Cross, D., Taasoobshirazi, G., Hendricks, S., & Hickey, D., (2008). Argumentation: a Strategy for Improving Achievement and Revealing Scientific Identities.
(2008) Science Spinger
McDermott, L.C. & PEG.(2004). Physics by Inquiry[Online] Tersedia: http://www.phys.washington.edu/RG oups/peg/pbi.html. Mundilarto.(2002). Kapita Selekta Pendidikan Fisika. Yogyakarta: FMIPA UNY. Noah S. Podolefsky; Noah D. Finkelstein. (2006). Use of Analogy in Learning Physics: the Role of Representations. The American Physical Society 020101 (1-10). Patrick
Bassham, G., Irwin, W., Nardone, H, and Wallace, J.M. (2008).Critical Thinking AStudent's Introduction. Boston: McRGaw-Hill. Brudvik, C., (2006). Assesing the Impact of a Structured Argumentation Board on the Quality of Students’ Argumentatif Writing Skill. Proceeding of the 14th International Conference on Computer in Education, pp.141-148. Amsterdam: IOA Press.
S., & Maria, Pj., Argumentation in Education. London: Science.
B. Kohl and Noah D. Finkelstein.(2008).Patterns of Multiple Representation Use by Experts and Novices during Physics Problem Solving.The American Physical Society. 010111 (1-13).
Reimann, P. (1999). The Role of External Representations in Distributed ProblemSolving.Learning and Instruction, 9 (4), 411-418. Schworm, S., Renkl, A., (2007). Learning Argumenation Skills Through the Use of Prompts for Self-Explaining Examples. Journal of Educational Psychology, 99 (2), 85-296. Toulmin.,
(1984). An Introduction to Reasoning. New York: Macmillan.