Ringkasan Tugas Akhir sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik Elektro
Pengolahan Sinyal SFCW-GPR Kompresif dengan Menggunakan Kamus Basis Gabor Dodik Ichrom Resanto, NIM : 13204085 Program Studi Teknik Telekomunikasi, Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Jl. Ganesha 10 Bandung, Indonesia Email:
[email protected],
[email protected]
Abstraksi – Pengolahan sinyal Stepped Frequency Ground Penetrating Radar (SFCW-GPR) mempunyai kelemahan pada lamanya waktu untuk mengakuisisi data. Lamanya waktu ini disebabkan penerima SFCW-GPR harus melakukan sampling dengan teorema Shannon (lebih dari dua kali lebar pita sinyal) untuk setiap step frekuensi. Tugas akhir ini akan membahas suatu cara untuk mengatasi masalah tersebut dengan mengenalkan konsep Compressive Sampling (CS). CS mampu melakukan rekonstruksi sinyal SFCW-GPR dengan baik meskipun jumlah data frekuensi hasil akuisisi tidak lengkap (kompresif). Pembahasan pada tugas akhir ini difokuskan pada penggunaan fungsi Gabor sebagai kamus basis untuk melakukan CS. Hal ini dengan asumsi bahwa fungsi Gabor memiliki karakteristik yang sesuai dengan sinyal GPR yang kemudian diuji dengan simulasi rekonstruksi model turunan pertama dan kedua fungsi Gaussian. Pengujian CS pada SFCW-GPR dinilai secara kuantitatif berdasarkan nilai Peak Signal to Noise Ratio (PSNR) dan kualitatif (A-Scan dan BScan). Hasil simulasi menunjukkan bahwa fungsi Gabor layak dijadikan kamus basis untuk melakukan CS pada SFCW-GPR. Sedangkan hasil pengujian pada test range SFCW-GPR kompresif membuktikan bahwa pengolahan sinyal CS lebih baik daripada pengolahan sinyal IDFT baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Jumlah minimal sampel yang masih bisa digunakan untuk melakukan CS pada SFCW-GPR kompresif adalah 64 data dan dengan data sejumlah inipun masih bisa didapatkan B-Scan yang mampu memberikan informasi objek dengan jelas. Kata kunci – A-Scan, B-Scan, CS, Gabor, IDFT, PSNR, SFCW-GPR
I. PENDAHULUAN Ground Penetrating Radar (GPR) adalah radar untuk mengetahui objek di bawah permukaan tanah yang bekerja dengan cara mengirimkan impuls gelombang elektromagnetik dan kemudian menangkap pantulannya [1]. Pantulan tersebut kemudian diproses menjadi citra (image) yang merepresentasikan kondisi objek di bawah permukaaan tanah. Dilihat dari teknik pancaran gelombang elektromagnetiknya, terdapat dua jenis GPR yaitu pancaran impuls (pulse GPR) dan
pancaran sintesis frekuensi (Stepped Frequency Continous Wave-GPR) yang berdasarkan teknik pancaran gelombang kontinu. Kelemahan pulse GPR terletak pada kebutuhan untuk resolusi yang tinggi. Masalah ini dapat diatasi dengan teknik Stepped Frequency Continous Wave (SFCW), meskipun akan meningkatkan waktu akuisisi data dan pengolahan sinyal [2]. Selain itu, perkembangan teknologi komponen gelombang mikro (microwave) membuat implementasi SFCW-GPR menjadi lebih murah daripada sebelumnya [3]. Untuk mengatasi peningkatan waktu akuisisi data dan pengolahan sinyal pada SFCW-GPR, digunakan teknik frequency multiplexing yang memancarkan secara serempak beberapa frekuensi. Pendekatan lain dilakukan dengan menggunakan konsep pengolahan sinyal kompresif yang akan dibahas pada tugas akhir ini. Pengolahan sinyal kompresif atau yang dikenal dengan Compressive Sampling / Sensing (CS) merupakan konsep baru dalam hal teorema sampling. Tidak seperti sampling konvensional (Shannon–Whitaker Theorem) yang mengasumsikan bahwa informasi sinyal berada di keseluruhan lebar pita (bandwidth) frekuensinya, CS mengasumsikan bahwa informasi sinyal didefiniskan oleh derajat kebebasan sinyal atau sparsity. Dengan demikian untuk melakukan rekonstruksi yang tepat, CS tidak harus melakukan sampling rate lebih dari dua kali bandwidth seperti pada sampling konvensional. Pengolahan sinyal GPR dimaksudkan untuk menghasilkan citra yang dapat menunjukkan kondisi objek di bawah permukaan tanah. Citra objek yang diperoleh sistem radar pada dasarnya merupakan sekumpulan pantulan gelombang elektromagnetik sebagai fungsi dari posisi dan sifat benda pemantul.Ada beberapa bentuk citra yang dihasilkan dari pengolahan sinyal GPR, antara lain A-Scan (citra sinyal dalam domain waktu) dan B-Scan (citra dua dimensi yang menunjukkan posisi objek di dalam tanah) [4]. Pengolahan sinyal SFCW-GPR yang akan dibahas di dalam Tugas Akhir ini adalah menggunakan kamus basis Gabor untuk melakukan CS. Penggunaan kamus basis Gabor merupakan metode alternatif untuk pengolahan sinyal SFCW-
GPR kompresif selain total variance [5] yang masih belum jelas dasar penyusunan kamus basisnya. Secara umum, fungsi Gabor dipilih sebagai kamus basis karena sifatnya yang mirip dengan sinyal SFCW-GPR.
II. PRINSIP COMPRESSIVE SAMPLING DAN PENERAPANNYA PADA SFCW-GPR 2.1 Prinsip Compressive Sampling Compressive Sampling (CS) atau sering disebut juga dengan Compressed Sensing berbeda dengan prinsip kompresi konvensional karena mampu melakukan kompresi pada saat akuisisi data atau dengan kata lain mampu melakukan akuisisi data dan kompresi secara simultan. Kompresi konvensional dilakukan setelah akuisisi data yang berdasarkan teorema Shannon-Whitaker dimana sampling rate harus dilakukan sedikitnya dua kali bandwidth sinyal. Jumlah sampel / data yang diperoleh dalam akuisisi ini adalah sampling rate dikalikan dengan durasi sinyal. CS mampu melakukan akuisisi dengan sampling rate yang lebih kecil daripada Nyquist rate (teorema ShannonWhitaker) sehingga dengan asumsi durasi sinyal tidak berubah, jumlah sampel / data yang diperoleh lebih kecil daripada akuisisi konvensional. Jumlah sampel yang lebih kecil tentunya akan mempercepat waktu pengolahan sinyal. Misalkan sinyal x n adalah diskrit dalam domain waktu dengan panjang N dan dinyatakan dalam vektor kolom xr berdimensi-N. Maka dengan basis tertentu Ψ , sinyal tersebut dapat dituliskan secara matematis sebagai r r X = Ψ. x
(1)
adalah matriks yang dimana Ψ N×N merepresentasikan basis. (1) disebut dengan representasi sinyal dalam domain transformasi dengan basis tertentu. Pada kompresi sinyal, transformasi dilakukan untuk mendapatkan sifat kekompakan energi atau membuktikan bahwa sinyal tersebut mempunyai potensi untuk dikompresi (compressible / sparse). Sifat ini dapat ditunjukkan secara grafis dengan mengurutkan koefisien sinyal pada domain transformasi. Jika sinyal tersebut sparse, maka plot koefisien akan menunjukkan penurunan yang cepat atau kurva yang terbentuk menurun dengan tajam. Beberapa jenis transformasi seperti Discrete Cosine Transform (DCT), Discrete Wavelet Transform (DWT), Gabor Transform, dll dapat mengkonversi sinyal ke domain transformasi dengan koefisien dominan yang lebih sedikit. Yang dimaksud dengan koefisien dominan adalah koefisien yang nilainya jauh lebih besar daripada nol dan merupakan komponen penting pada representasi sinyal dalam domain waktu. Semakin besar nilai koefisien sinyal pada domain transformasi semakin
besar pula pengaruhnya pada domain waktu. Sebaliknya, semakin kecil nilai koefisien sinyal pada domain transformasi semakin kecil pula pengaruhnya pada domain waktu. Hal inilah yang menjadi dasar dilakukannya kompresi, yaitu membuang sebanyak mungkin koefisien yang bernilai kecil pada domain transformasi (koefisien non dominan) dengan harapan pembuangan tersebut tidak terlalu mempengaruhi sinyal saat direpresentasikan dalam domain waktu. Berdasarkan CS hanya sejumlah kecil X n (subscript n menunjukkan indeks koefisien X ) yang r diperlukan untuk membentuk kembali x [6]-[9]. Sejumlah kecil X n ini diperoleh dari proses subsampling yang direpresentasikan dengan matriks pengukuran Φ yang berdimensi M × N , dimana M << N. Dengan demikian matriks observasi Xˆ dapat dinyatakan sebagai r r Xˆ = Φ.Ψ.x = ∆.x
(2)
Matriks baru yang terbentuk ∆ = Φ.Ψ disebut dengan kamus basis (dictionary) yang merepresentasikan basis overcomplete. Basis overcomplete merupakan gabungan dari dua basis berbeda yang digunakan untuk meningkatkan efisiensi dekomposisi sinyal. (2) menunjukkan suatu sistem under-determined dari persamaan linear yang mempunyai solusi tidak unik karena jumlah variabel yang tidak diketahui lebih besar daripada persamaan linear yang diketahui. Untuk mencari solusi dari sistem tersebut, CS mengasumsikan suatu batasan bahwa sinyal yang sedang ditangani adalah sparse, yang berarti bahwa jumlah koefisiennya r x
L0
⎛ N ≡ ⎜ ∑ xn ⎝ n =1
0
⎞ ⎟ ⎠
(3)
minimum. Untuk memperoleh jumlah koefisien yang minimum seperti yang disyaratkan di atas perlu dilakukan minimisasi dari (3). Minimisasi menggunakan norm L0 seperti (3) ternyata menimbulkan masalah kombinasi yang kompleks dan membutuhkan sumber daya komputasi yang sangat tinggi. Penelitian yang dilakukan berhubungan dengan CS oleh berbagai pakar sampai saat ini telah menghasilkan suatu solusi minimisasi dengan menggunakan norm L1 yang hasilnya identik dengan minimisasi norm L0. Minimisasi norm L1 yang secara komputasi telah terbukti efisien dilakukan pada r x
L1
⎛ N 1 ⎞ ≡ ⎜ ∑ xn ⎟ ⎠ ⎝ n =1
(4)
dan solusinya dapat dicari dengan convex programming yang implementasinyapada komputasi numerik telah tersedia secara open source.
Hal penting yang harus diperhatikan berkaitan dengan CS adalah pemilihan Φ dan Ψ yang cukup inkoherensinya satu sama lain. Secara matematis perhitungan inkoherensi antara dua basis ( Φ dan Ψ ) didefinisikan sebagai µ (Φ, Ψ ) = max φ ,ψ
(5)
φ∈Φ ,ψ ∈Ψ
Beberapa hasil penelitian tentang CS sampai saat ini menunjukkan bahwa basis acak yang umum (general random basis) mempunyai derajat inkoherensi yang tinggi dengan sembarang basis, termasuk basis identitas I (basis identity). Oleh karena itu, basis acak digunakan sebagai matriks pengukuran Φ dengan harapan pemilihan basis transformasi Ψ lebih fleksibel. Matriks pengukuran dalam CS berperan sebagai subsampling atau pemilih beberapa sampel dari semua sampel yang tersedia. Jika matriks pengukuran berbasiskan acak, maka pemilihan dapat dilakukan dengan acak tanpa distribusi tertentu, misalnya permutasi acak (random permutation). Hal ini tentu saja akan memudahkan implementasi CS pada suatu sistem. Jumlah sampel minimal yang diperlukan untuk melakukan CS adalah M ≥ C.µ 2 (Φ, Ψ ).S . log( N )
(6)
dimana C adalah konstanta dengan nilai yang kecil dan S adalah derajat kebebasan sinyal atau jumlah koefisien tidak nol pada sinyal yang direpresentasikan dalam domain transformasi (sparsity basis) Ψ . Jika sampel yang diambil oleh matriks pengukuran memenuhi M seperti yang ditunjukkan pada (6), maka CS akan menjamin rekonstruksi sinyal dari domain transformasi ke domain waktu dapat dilakukan secara sempurna. Rekonstruksi sinyal dilakukan dengan optimisasi min x L s.t.Xˆ k = φk ,ψx , ∀k ∈ {1,2,...,M } N x∈R
harus sesuai dengan karakteristik sinyal yang akan diolah, apakah energinya terlokalisir atau tersebar di domain waktu, apakah bentuk sinyalnya berosilasi atau tidak, dan karakteristik-karakteristik lainnya. Untuk memastikan ketepatan pemilihan basis Ψ , proses pengujian (rekonstruksi ke domain waktu) harus dilakukan dengan memperhatikan indikator Peak Signal to Noise Ratio (PSNR) dari sinyal hasil rekonstruksi. 2.2 Penerapan Compressive Sampling pada SFCWGPR Pada umumnya terdapat dua acuan kasar untuk menentukan jenis basis yang digunakan untuk mendekomposisi sinyal berdasarkan konsentrasi energinya di domain waktu. Pertama, jika energi sinyal tersebar di seluruh domain waktu maka basis yang cocok digunakan untuk melakukan kompresi adalah Fourier. Kedua, jika energi sinyal terlokalisir di wilayah tertentu pada domain waktu maka basis yang cocok digunakan untuk melakukan kompresi adalah impuls atau wavelet. Masalahnya sinyal yang ada seringkali merupakan kombinasi dari dua kasus di atas, ada komponen sinyal yang energinya tersebar di domain waktu dan ada pula komponen lain yang energinya terlokalisir. Pada kasus sinyal SFCW-GPR kombinasi dari kedua kasus di atas juga terjadi namun komponen sinyal yang energinya terlokalisir jauh lebih signifikan daripada komponen sinyal yang energinya tersebar pada domain waktu. Karakteristik lain dari sinyal SFCW-GPR adalah adanya osilasi, khususnya pada daerah yang energi sinyalnya terlokalisir pada domain waktu. Dari berbagai pilihan yang ada, fungsi Gabor adalah basis yang paling mendekati karakteristik sinyal SFCW-GPR. Secara matematis fungsi Gabor dapat dinyatakan sebagai G (t , ω , µ ,σ ,φ ) = e
−
(t − µ )2 σ2
. cos(ω.t − φ )
(8)
(7)
1
dimana φ k adalah vektor baris dari Φ . (7) dapat diartikan dengan memilih vektor x paling jarang (sparse) dalam basis Ψ yang dapat menjelaskan hasil pengamatan Xˆ k . Seperti yang kita ketahui dari (6), jumlah sampel minimal M dapat dicari jika nilai konstanta C diketahui. Ternyata nilai C tidak konstan untuk setiap pasangan basis Φ dan Ψ dan nilai derajat kebebasan sinyal S juga dipengaruhi oleh jenis transformasi yang digunakan (bergantung pada Ψ ). Oleh karena itu, penentuan jumlah sampel minimal CS harus ditentukan dengan beberapa kali pengujian. Sebelum melakukan pengujian, pemilihan basis dilakukan dengan Ψ mempertimbangkan karakteristik sinyal yang akan diolah. Supaya hasil rekonstruksi ke domain waktu dapat dilakukan dengan baik, basis Ψ yang dipilih
dimana t menyatakan variabel fungsi (dalam kasus ini menyatakan waktu), ω adalah frekuensi, µ adalah center of the pulse, σ adalah standar
deviasi fungsi (lebar pulsa), dan φ menyatakan sudut fasa. Fungsi Gabor sebenarnya merupakan sinyal cosine yang dimodulasi secara Gaussian. Dengan demikian karakteristik sinyal SFCW-GPR yang berosilasi pada wilayah energi terlolakalisir dapat direpresentasikan oleh kombinasi linear dari fungsifungsi basis Gabor. Penerapan CS pada sistem SFCW-GPR konvensional hanya mencakup wilayah pengolahan sinyal, tidak mencakup akuisisi data. Hal ini dapat dilakukan untuk menguji kemampuan CS pada SFCW-GPR seperti yang akan dilakukan pada penelitian tugas akhir ini. Namun, untuk mendapatkan hasil yang optimal dari penerapan CS
pada SFCW-GPR dalam praktek (penggunaan di lapangan), sistem SFCW-GPR konvensional harus dimodifikasi. Bagian yang dimodifikasi terutama menyangkut pembentuk frekuensi (frequency synthesizer) dan modul pengolahan sinyal (signal processing). Modifikasi dari SFCW-GPR konvensional ini disebut dengan sistem Compressive SFCW-GPR. Gambar berikut adalah diagram blok dari sistem Compressive SFCW-GPR.
Gambar 1 Diagram Blok Sistem Compressive SFCW-GPR
Pada sistem Compressive SFCW-GPR, frequency synthesizer dengan bantuan Pseudorandom Number Generator (PNG) akan menghasilkan magnitude hanya pada data-data frekuensi tertentu yang selangnya acak dan tidak mematuhi teorema Shannon. Hal ini menyebabkan data yang ditransmisikan ke dalam tanah lebih sedikit daripada yang dilakukan oleh sistem konvensional dan penerima sistem Compressive SFCW-GPR pun hanya perlu mengakuisisi data yang dipancarkan oleh pemancarnya. Pengolahan sinyal pada sistem SFCW-GPR konvensional menggunakan Inverse Discrete Fourier Transform (IDFT). IDFT biasanya diimplementasikan dengan Inverse Fast Fourier Transform (IFFT) pada komputasi numerik karena algoritmanya yang lebih efisien. IDFT digunakan untuk merepresentasikan sinyal pantulan SFCWGPR ke dalam domain waktu karena data sinyal yang diakuisisi receiver adalah sinyal pada domain frekuensi. IDFT dapat merekonstruksi sinyal dengan baik ke dalam domain waktu jika data pada domain frekuensi (yang juga merupakan support sinyal) lengkap sesuai dengan teorema Shannon. Jika support sinyal pada domain frekuensi kurang (seperti pada sistem Compresive SFCW-GPR) maka hasil rekonstruksi sinyal pada domain waktu akan mengalami distorsi yang signifikan dibandingkan dengan sinyal aslinya. Untuk mengatasi hal ini, sistem Compressive SFCW-GPR tidak menggunakan IDFT yang menggunakan basis Fourier tetapi menggunakan prinsip CS dengan algoritma Basis Pursuit dan kamus basis Gabor. Dengan cara ini, data / support sinyal yang terbatas pada domain frekuensi dapat digunakan untuk
merekonstruksi sinyal pada domain waktu dengan distorsi kecil yang masih bisa ditoleransi.
III. SIMULASI REKONSTRUKSI MODEL SINYAL SFCW-GPR DENGAN KAMUS BASIS GABOR Sebelum melakukan pengujian CS dengan menggunakan kamus basis Gabor pada SFCW-GPR, akan dilakukan terlebih dahulu simulasi rekonstruksi model sinyal SFCW-GPR. Model sinyal SFCWGPR sebisa mungkin merepresentasikan semua komponen frekuensi yang digunakan oleh SFCWGPR. Ada dua macam model sinyal SFCW-GPR yang akan digunakan untuk simulasi pada kasus ini. Model yang pertama adalah menggunakan turunan pertama fungsi Gaussian yang merepresentasikan sinyal yang terlokalisir pada domain waktu (impuls). Model kedua adalah menggunakan turunan kedua fungsi Gaussian yang merepresentasikan kombinasi sinyal yang terlokalisir pada domain waktu (impuls) dengan sinyal yang tersebar pada domain waktu (Fourier). Secara kuantitatif, keberhasilan rekonstruksi sinyal diukur dengan Peak Signal to Noise Ratio (PSNR). PSNR dalam satuan dB dapat dihitung sebagai berikut.
PSNR =
⎛ ⎜ ⎜ 20 . log ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝
max
∑( N
yˆ
1 . yˆ ( k ) − y ( k ) N k =1
)2
⎞ ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠
(9)
dimana N menunjukkan jumlah komponen / data sinyal pada domain waktu, yˆ merupakan nilai komponen sinyal hasil rekonstruksi pada domain waktu, dan y merupakan nilai komponen sinyal asli (original) pada domain waktu. Sedangkan secara kualitatif atau visual hasil simulasi rekonstruksi kedua model sinyal SFCW GPR tersebut dapat dilihat dengan representasi A-Scan yang ditunjukkan oleh gambar 2 dan gambar 3 berikut.
Gambar 2 Simulasi Rekonstruksi Model Sinyal Turunan Pertama Fungsi Gaussian
Gambar 4 Set-Up Pengujian Test Range SFCW-GPR Gambar 3 Simulasi Rekonstruksi Model Sinyal Turunan Kedua Fungsi Gaussian
Hasil perhitungan PSNR untuk simulasi rekonstruksi model turunan pertama fungsi Gaussian adalah 30,8265 dB sedangkan untuk simulasi rekonstruksi model turunan kedua fungsi Gaussian adalah 32,1431 dB. Hasil ini menunjukkan bahwa kamus basis Gabor mampu merekonstruksi model turunan kedua fungsi Gaussian lebih baik daripada model turunan pertama fungsi Gaussian. Hal ini juga menunjukkan bahwa fungsi Gabor merupakan basis yang sesuai untuk kombinasi sinyal yang terlokalisir dan tersebar pada domain waktu seperti yang direpresentasikan oleh model turunan kedua fungsi Gaussian. Selain itu, bentuk sinyal model turunan kedua fungsi Gaussian lebih berosilasi sesuai dengan karakteristik sinyal Gabor. Hal penting yang dapat diperoleh dari simulasi ini adalah bahwa fungsi Gabor layak dijadikan sebagai kamus basis untuk pengolahan sinyal SFCW-GPR.
Dalam pengujian CS dengan kamus basis Gabor pada data test range SFCW-GPR ini digunakan parameter-parameter sebagai berikut. Range t adalah [0,1] dan di dalam range tersebut dibagi menjadi 500 center of the pulse, maka µ (k ) = 0,002.k dan k = 0,1,...,500 . Jumlah sinyal
basis menggunakan 30 frekuensi yang berbeda untuk fungsi sine ( ω = 5.n dimana n = 0,1,2,..,30 ) dan 31 frekuensi yang berbeda untuk fungsi cosine ( ω = 5.n dimana n = 1,2,..,30 ), Secara keseluruhan matriks kamus basis Gabor berukuran 501 x 61 dengan 30561 elemen basis. Berikut ini adalah hasil A-Scan pengujian CS pada data S21 VNA. Semua hasil A-Scan berdasarkan data pada trace 21.
IV. PENGUJIAN COMPRESSIVE SAMPLING DENGAN KAMUS BASIS GABOR PADA SFCW-GPR 4.1 Hasil A-Scan Pengujian Compressive Sampling pada SFCW-GPR Pada pengukuran test range ini, frekuensi yang digunakan adalah 300 kHz sampai dengan 3 GHz. Range frekuensi tersebut dilalui dengan 200 step dimana jarak antar step (kecuali step pertama) adalah 15 MHz. Oleh karena itu, jumlah data yang dihasilkan oleh VNA (S21) pada setiap trace adalah 201 data. Trace di sini maksudnya titik observasi dimana pemancar SFCW-GPR melakukan akuisi data. Pengukuran ini dilakukan di 36 titik yang artinya akan didapatkan 36 trace dan masing-masing trace berjumlah 201 data. Data yang diperoleh adalah magnitude sinyal pada frekuensi tertentu dalam bilangan real dan imajiner. Oleh karena itu, untuk mendapatkan representasi sinyal yang bernilai real dalam domain waktu, sebelum dilakukan IDFT, terlebih dahulu data frekuensi tersebut dijadikan ke dalam bentuk conjugate symmetric. Gambar 4 berikut menjelaskan set-up test range SFCW-GPR.
Gambar 5 A-Scan dengan Data Utuh (201 Data)
Secara kualitatif, gambar 5 menunjukkan bahwa kamus basis Gabor mampu merekonstruksi sinyal SFCW-GPR dengan data frekuensi yang lengkap secara baik. Secara kuantitatif, PSNR yang dihasilkan adalah 25,6998 dB, yang juga berarti hasil rekonstruksinya cukup baik. Pada kasus ini belum terjadi kompresi dan terbukti bahwa kamus basis Gabor mampu menggantikan peran basis Fourier yang sering digunakan pada pengolahan sinyal konvensional dalam domain frekuensi.
tersebut dapat dilihat bahwa PSNR CS selalu lebih baik daripada PSNR IDFT untuk kasus pengolahan sinyal kompresif. Dengan menggunakan 100 data frekuensi ( ½ kali total data dari output VNA ), PSNR CS yang dihasilkan masih di atas 20 dB. Performa pengolahan sinyal sebenarnya tidak hanya ditentukan oleh PSNR dan A-Scan tetapi juga citra dua dimensi objek yang diobservasi (B-Scan). Secara umum B-Scan terbentuk dari kumpulan A-Scan tiap trace yang berurutan. Jika terdapat objek di dalam tanah, maka pada A-Scannya akan terdapat bentuk impuls yang menunjukkan posisi dimana objek tersebut berada di dalam tanah. B-Scan akan menyambungkan impuls-impuls di tiap trace sehingga membentuk suatu garis lengkung (kurva hiperbola). Tingkat kelengkungan garis BScan bergantung pada jumlah titik observasi (luas/panjang daerah observasi) serta ukuran dan permukaan objek yang diobservasi. Berikut ini adalah tampilan B-Scan dari test range SFCW-GPR yang digunakan untuk mendeteksi bola besi yang dengan diameter 10 cm yang terkubur di dalam pasir sedalam 30 cm. Pada pengujian ini scanner SFCW-GPR bergerak dan melakukan akuisisi data ke arah sumbu-y positif sepanjang 1,75 m.
Gambar 6 A-Scan dengan 128 Data
Gambar 7 A-Scan dengan 64 Data
Pada gambar 6 dan 7, adanya pengambilan data frekuensi yang lebih sedikit daripada data lengkapnya menunjukkan bahwa proses kompresi telah terjadi. Berdasarkan pengujian yang dilakukan terhadap data output VNA (trace 21), jumlah minimal data yang masih bisa diproses dengan CS adalah 64 data. Jika sampel yang diproses kurang dari 64 data, dekomposisi sinyal berdasarkan kamus basis Gabor tidak menghasilkan koefisien dominan. Akibatnya rekonstruksi sinyal ke domain waktu (AScan) tidak dapat dilakukan. Berdasarkan pengujian yang diulang sebanyak 10 kali ternyata hasil transformasi Gabor untuk 64 data yang diambil secar acak hanya menghasilkan satu koefisien dominan. Hal ini juga terlihat pada gambar 7 dimana hasil rekonstruksi CS hanya terdiri dari satu komponen fungsi basis Gabor.
Gambar 8 B-Scan dengan Data Utuh (201 Data)
Tabel I Perbandingan Performa Pengolahan Sinyal SFCW-GPR Berdasarkan PSNR Jumlah Faktor PSNR PSNR CS Sampel / Kompresi IDFT (dB) Data (dB) frekuensi 128 1,57 19,9075 23,3781
100
2,01
15,8513
22,3857
64
3,14
14,1028
18,7133
Nilai-nilai PSNR pada tabel I adalah dari rata-rata dari 10 kali pengujian. Dari nilai-nilai
Gambar 9 B-Scan CS dengan 64 Data
Gambar 9 B-Scan IDFT dengan 64 Data
Berdasarkan gambar 7 sampai dengan gambar 9, dapat dilihat bahwa B-Scan CS menghasilkan tampilan yang lebih jelas daripada B-Scan IDFT. Jika dibandingkan dengan B-Scan original (tanpa kompresi dengan 201 data), B-Scan CS juga tidak berbeda secara signifikan. Hanya ada pengaburan kecil di bagian-bagian tertentu yang intensitasnya sebanding dengan faktor kompresi. Bahkan untuk kasus CS 64 data yang PSNR-nya di bawah 20 dB, hasil B-Scan-nya masih dapat memperlihatkan lengkungan dengan cukup jelas. Dengan demikian, penilaian performa pengolahan sinyal SFCW-GPR memang harus dilihat sampai dengan tahap visual (dalam kasus ini B-Scan). Hal ini disebabkan tidak adanya standar yang mengatur PSNR minimal dimana performa suatu pengolahan sinyal SFCWGPR dikatakan baik atau buruk. Kedalaman objek (bola besi) yang ditunjukkan oleh B-Scan (sekitar 3 m) tidak sesusai dengan kedalaman sesungguhnya yang sebesar 30 cm. Hal ini disebabkan oleh kalibrasi SFCW-GPR yang kurang tepat. Kalibrasi yang kurang tepat disebabkan oleh parameter-parameter yang mungkin terabaikan. Sebagai contoh, media yang digunakan untuk menanam bola besi adalah pasir jenis tertentu yang permitivitas dan permeabilitas relatifnya harus diketahui dengan tepat. Pada pengujian ini, permitivitas relatif yang dignakan mengacu pada permitivitas relatif untuk pasir yang umum yaitu sebesar 6, sedangkan permeabilitas relatifnya 1. Namun, angka ini mungkin kurang tepat untuk jenis pasir yang sudah tercampur dengan kerikil atau tanah atau apapun yang menyebabkan nilai permitivitas relatifnya berubah. Parameterparameter lain yang belum dapat disebutkan di tugas akhir ini mungkin dapat dijadikan bahan untuk penelitian lebih lanjut. Meskipun demikian, pengaruh ketidatepaan kalibrasi ini tetap tidak mengubah penilaian performa pengolahan sinyal CS yang memang lebih baik daripada pengolahan sinyal IDFT untuk kasus SFCW-GPR kompresif. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa sebenarnya waktu yang dibutuhkan untuk pengolahan sinyal CS lebih lama daripada
pengolahan sinyal IDFT. Hal ini disebabkan oleh komputasi numerik yang harus memberikan solusi untuk minimisasi (7) dengan convex programming. Meskipun demikian, hal ini tidak terlalu menjadi persoalan karena pada umumnya pengolahan sinyal SFCW-GPR dilakukan secara offline (tidak real time). Proses yang berlangsung secara real time pada kasus SFCW-GPR ini adalah akuisisi data, dan dalam hal ini CS jauh lebih efisien daripada akuisisi data konvensional. Oleh karena itu, sistem compressive SFCW-GPR yang akan digunakan di lapangan pada prakteknya akan lebih efisien daripada sistem SFCW-GPR konvensional meskipun pengolahan sinyal CS membutuhkan waktu yang lebih lama daripada pengolahan sinyal IDFT. V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan a. Secara kuantitatif (PSNR) dan kualitatif (A-Scan) , simulasi menunjukkan bahwa kamus basis Gabor dapat merekonstruksi model sinyal SFCW-GPR (turunan pertama dan turunan kedua fungsi Gaussian) dengan baik. Hal ini berarti bahwa fungsi Gabor layak dijadikan kamus basis untuk pengolahan sinyal CS pada SFCW-GPR. b. Pengujian pengolahan sinyal CS pada test range SFCW-GPR menghasilkan jumlah minimal sampel yang masih bisa digunakan untuk rekonstruksi adalah 64 data. c. Secara kuantitatif (PSNR) dan kualitatif (A-Scan dan B-Scan), pengujian pada test range SFCWGPR menunjukkan bahwa pengolahan sinyal CS selalu menghasilkan performa yang lebih baik daripada pengolahan sinyal IDFT untuk kasus pengolahan sinyal kompresif pada SFCW-GPR. d. Performa pengolahan sinyal SFCW-GPR tidak dapat diukur secara kuantitatif dengan indikator PSNR saja, tetapi harus dilihat juga secara kualitatif (A-Scan dan B-Scan). Pada kasus pengolahan CS 64 data, PSNR yang terukur memang relatif kecil (kurang dari 20 dB), namun B-Scan masih bisa menunjukkan lengkungan dengan jelas yang berarti mampu memberikan informasi tentang objek yang diobservasi. e. Pengolahan sinyal CS memang membutuhkan waktu yang lebih lama daripada pengolahan sinyal IDFT. Namun, hal ini tidak terlalu menjadi persoalan karena pengolahan sinyal SFCW-GPR pada umumnya dilakukan tidak secara real time. Proses akuisisi data yang harus dilakukan secara real time lebih cepat dilakukan oleh CS daripada akuisisi data konvensional. Oleh karena itu, sistem compressive SFCW-GPR yang nantinya menggunakan pengolahan sinyal CS lebih efisien dalam prakteknya dibandingkan sistem SFCW-GPR konvensional yang menggunakan pengolahan sinyal IDFT.
5.2 Saran a. Untuk melakukan penilaian performa pengolahan sinyal SFCW-GPR secara lebih akurat diperlukan C-Scan (tampilan citra tiga dimensi objek) dan penilaian pakar-pakar yang menggunakan display SFCW-GPR sebagai bahan analisisnya. b. Kalibrasi untuk menentukan posisi kedalaman objek yang ditunjukkan B-Scan dalam pengujian ini masih kurang akurat sehingga diperlukan parameter-parameter lain yang mungkin mempengaruhi kalibrasi. c. Untuk melakukan penilaian pengolahan sinyal CS secara lebih tepat dibutuhkan pengujian langung pada sistem Compressive SFCW-GPR.
DAFTAR PUSTAKA [1] Jendela Informasi Institut Teknologi Telkom, "Perancangan Sistem Ground Penetrating Radar (GPR)," April 2008, http://stttelkomnews .defhosting.net/2008/01/24/perancangan-sistemground-penetrating-radar-gpr/. [2] Chaotic Pearls, "Radar Frekuensi Kontinyu Penembus Permukaan," Juni 2008, http:// suksmono.wordpress.com/2008/06/09/radarfrekuensi-kontinyu-penembus-permukaan/. [3] N.Lubetsky, V.Mikhnev, A.Palto, International Symposium NDT-CE 2003, "Portable StepFrequency Radar for Non-Destructive Visualization of Building Constructions," Februari 2008, http://www.ultrasonic.de /article/ndtce03/. [4] Gravity Electromagnetic Environmental Geophysics, “Reflection Moveout,” Juni 2008, http://www.umt.edu/geosciences/faculty/sheriff/ 437-Seismology_Magnetics/Images/Reflection _Moveout.gif [5] A.B.Suksmono, Endon B., A.A.Lestari, A.Yarovoy, and L.P.Ligthart, “A Compressive SFCW-GPR System”, presented at 12th International Conference on Ground Penetrating Radar, Birmingham, UK, 2008. [6] D.Donoho, “Compressed sensing,” IEEE Trans.Inform.Theory, Vol.52, No.4, 2006. [7] E.Candes and J.Romberg, “Sparsity and incoherence in compressive sampling,” Inverse Problem, Vol.23, No.3, pp.969-985, 2007. [8] E.Candes and T.Tao, “Near optimal signal recovery from random projections: Universal encoding strategies ?," IEEE Trans.Inform.Theory, vol. 52, No.12, pp.54065425, Dec 2006. [9] E.Candes, J.Romberg, and T.Tao,” Robust uncertainty principles : Exact signal recovery from highly incomplete in-formation,“ IEEE Trans. Inform. Theory, Vol.52, No.2, pp.489509, Feb 2006.
[10] M.Barwinski, “Product-based metric for Gabor functions and its implications for the matching pursuit algorithm," Master thesis in Uniwersytet Warszawski, Warszawa 2004. [11] S.Boyd and L.Vandenberghe, “Convex Optimization”. Cambridge University Press, Cambridge, 2004, pp.334-336. [12] L.P.Ligthart, "Course Handout : A 3-Days Short Course on GPR," IRCTR-Delft. [13] A.B.Suksmono, “A graphical representation of the multi-domain signal processing,” Proc. IEEE SICE-ICCAS 2006.