Artikel Penelitian
Pengobatan Filariasis dengan Target Utama Endosymbiont Bakteri Wolbachia sp
Endang Srimurni K,* Soeyoko,** Sri Sumarni** *Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, **Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
Abstrak: Cacing filaria pertama kali diketahui mengandung bakteri endosymbiont intraseluler yang dikenal dengan bakteri Wolbachia pada tahun 1970-an. Bakteri tersebut diturunkan secara transovarial dari induk kepada keturunannya dan ditemukan dalam jumlah yang banyak di tubuh mikrofilaria dan cacing dewasanya. Keberadaan bakteri tersebut menguntungkan cacing filaria sebagai hospesnya dalam pertumbuhan mikrofilaria dan kemampuan bereproduksi serta lama hidup cacing dewasanya. Oleh karena itu, keberadaan bakteri tersebut sangat dibutuhkan oleh cacing filaria, sehingga dapat menjadi target pengobatan pada penderita filariasis. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian tetrasiklin dapat menurunkan populasi bakteri Wolbachia dan berpengaruh tidak baik terhadap cacing filaria. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tetrasiklin terhadap produksi mikrofilaria. Dosis tetrasiklin yang digunakan adalah 250 mg, sehari tiga kali selama 10 hari dan diulang sebanyak dua kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada seorang yang positif terdapat mikrofilaria Wuchereria bancrofti dalam darahnya, pemberian tetrasiklin dapat meniadakan mikrofilaria. Kata kunci: filaria, mikrofilaria, Wolbachia, Wuchereria bancrofti
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 10, Oktober 2008
377
Pengobatan Filariasis dengan Target Utama Endosymbiont Bakteri Wolbachia sp
Endosymbiotic Bacteria Wolbachia sp as Targets for a Novel Chemoterpy in Filariasis Endang Srimurni K,* Soeyoko,** Sri Sumarni** *Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto **Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Abstract: In mid-1970s it was observed for the first time that filarial nematodes contain intracellular bacteria of the genus Wolbachia. These bacteria were shown to be transovarially transmitted from the female worm to the offspring and present in a large numbers in the body at all stages of the nematode. These bacteria are thought to be beneficial for the development of microfilariae, reproduction and long-term survival of the adult worms. Therefore, Wolbachia bacteria are needed by the host nematode and could thus represent the target for therapy. The study showed that tetracycline treatments reduced the population of Wolbachia in filarial worm and had detrimental effects on the nematode. The aim of this research was to evaluate the effect of tetracycline on the production of microfilariae. Tetracycline 250 mg was given three times a day for 10 days, and replicated two times. We found a person with microfilariae Wuchereria bancrofti and tetracycline treatment eliminated the microfilariae from his peripheral blood. Key words: filaria, microfilariae, Wolbachia, Wuchereria bancrofti
Pendahuluan Filariasis atau penyakit kaki gajah adalah penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.1 Di Indonesia lymphatic filariasis tersebar luas hampir di seluruh propinsi. Gejala klinis penyakit tersebut, yaitu adanya peradangan dan pembengkaan yang bermanifestasi pada tungkai, lengan, scrotum dan ekstremitas lain, termasuk lymphadenophathy, acute fever dan debilitating chronic oedema (umum disebut elephantiasis), yang terakhir ini terjadi bila cacing menyumbat pembuluh limfe. Penyakit tersebut tidak mematikan tetapi menyebabkan kecacatan serta menurunkan produktivitas penderitanya dan merupakan beban sosial keluarganya maupun masyarakat. Program pengendalian filariasis yang dilakukan meliputi pengobatan penderita dan pengendalian vektornya. Pengobatan filariasis yang tersedia sampai saat ini hanya beberapa jenis obat yang telah diketahui aktivitasnya, yaitu kombinasi antara diethylcarbamazine citrate (DEC) dengan albendazol untuk membunuh cacing dewasanya serta ivermectin dan diethylcarbamazine untuk membunuh microfilaria.2 Namun sejauh ini tidak ada obat yang aman dan efektif untuk memberantas cacing filaria karena obat-obatan tersebut menimbulkan efek samping, misalnya panas badan meninggi, sakit kepala dan mialgia serta adanya peradangan
378
sistemik akut yang disebabkan oleh bakteri.3 Efek samping pada pemberian DEC disebabkan adanya pelepasan antigen dari bakteri yang dikeluarkan dari cacing dan atau mikrofilaria yang mati, hal ini menyebabkan reaksi peradangan yang parah, bahkan mungkin jauh lebih parah jika dibandingkan dengan penderita yang tidak diobati.4 Pada tahun 1970-an pertama kali dilaporkan bahwa di dalam mikrofilaria dan cacing dewasa terdapat bakteri endosimbiont Wolbachia.5 Beberapa peneliti berikutnya menunjukkan bahwa hampir semua cacing filaria mengandung bakteri Wolbachia, kecuali spesies Acanthocheilonema vitae, Dipetalonema setariosum dan Onchocerca flexuosa.6-9 Bakteri tersebut diketahui berfungsi pada proses moulting dan pertumbuhan mikrofilaria, serta fertilitas dan daya hidup cacing dewasanya. Penelitian menunjukkan bahwa bakteri Wolbachia dapat dibunuh dengan antibiotik,10,11 sehingga bila bakteri tersebut dihilangkan akan menurunkan pertumbuhan dan reproduksi cacing dewasanya, bahkan dapat mematikannya.12,13 Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian tetrasiklin pada A. vitae yang bebas/tidak mengandung endosimbiont bakteri Wolbachia memperlihatkan tidak ada pengaruhnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa antibiotik tidak berpengaruh langsung terhadap cacing filaria, namun antibiotik menyebabkan hilangnya bakteri endosimbiont Wolbachia yang menyebabkan
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 10, Oktober 2008
Pengobatan Filariasis dengan Target Utama Endosymbiont Bakteri Wolbachia sp gangguan pada cacing filaria yang terinfeksi oleh endosimbiont tersebut. Hoerauf14 dan Taylor et al.15 melaporkan bahwa endotoksin Lipopolysaccharida/LPS dari Wolbachia adalah penyebab utama adanya respons peradangan yang disebabkan oleh parasit, sehingga dengan membunuh bakteri endosimbiont, berarti juga mengurangi patologis penderitanya, karena LPS yang diproduksi oleh bakteri tersebut dan menyebabkan respons peradangan ditiadakan. Pengetahuan tersebut membawa suatu pemikiran baru bahwa pengobatan filariasis tidak ditujukan pada mikrofilaria dan cacing dewasanya tetapi pada bakteri Wolbachia. Dengan adanya paradigma baru dalam pengobatan filariasis dengan menggunakan antibiotik tetrasiklin tersebut, pengobatan filariasis menjadi lebih mudah karena obat tersebut telah ada di daerah-daerah endemis baik di kota sampai di daerah terpencil, telah diketahui aktivitasnya, murah, dan tidak ada efek samping sehingga pengobatan individu maupun masal dapat berhasil. Tujuan jangka panjang penelitian adalah digunakannya pendekatan baru dalam pengobatan filariasis menggunakan tetrasiklin dengan target utama bakteri endosymbiont Wolbachia, bukan mikrofilaria atau cacing dewasanya. Tujuan khusus adalah penggunaan obat antibakteri tetrasiklin untuk penderita filariasis diharapkan dapat mempunyai pengaruh positif terhadap penurunan jumlah mikrofilaria, membunuh cacing dewasanya, dan menurunkan patogenitas yang ditimbulkan oleh cacing kepada hospesnya. Metode Teknik Pengambilan Sampel Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey. Penentuan lokasi secara purposive random sampling. Tempat yang dijadikan objek penelitian adalah daerah yang dijumpai penderita filariasis kronis di beberapa daerah di Jawa Tengah (Kabupaten Banyumas, Cilacap, dan Pekalongan). Pengambilan sampel darah secara random sampling. Variable yang diamati adalah pengaruh tetrasiklin terhadap penurunan mikrofilaremia, sedang parameter yang diamati adalah jumlah mikrofilaria darah tepi sebelum dan sesudah diberi tetrasiklin. Data hasil penelitian tentang jumlah mikrofilaria sebelum dan sesudah pemberian tetrasiklin di uji dengan T test. Adapun urutan kerjanya adalah sebagai berikut: 1. Survei parasitologis Survei untuk menemukan penderita filariasis di daerah Jawa Tengah, (Cilacap, Pekalongan, dan Banyumas) dilakukan dengan bekerjasama dengan Dinas Kesehatan setempat. Pada awalnya darah hanya diambil dari penderita kronis, namun dari semuanya tidak didapatkan mikrofilaria dalam darah, sehingga selanjutnya pengambilan darah juga dilakukan pada penduduk di sekitar penderita kronis. Pengambilan darah dilakukan pada malam hari sesuai dengan sifat periodisitas cacing filaria Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 10, Oktober 2008
2. Pengaruh antibiotik pada produksi mikrofilaria Antibiotik yang digunakan adalah tetrasiklin hidroklorida, diberikan pada penderita filariasis dengan dosis 250 mg, 3 kali per hari selama 10 hari. Kemudian, mikrofilaria dalam darah tepi kembali diperiksa jumlah serta penampakan patogenitasnya. Pengobatan diulang sekali lagi dengan dosis dan durasi yang sama, untuk pemeriksaan mikrofilaria dilakukan pembuatan preparat darah apus tebal yang dilakukan dengan pengambilan darah tepi sebanyak 40 µl dari ujung jari dilakukan pada malam hari mulai pukul 20.00. Kemudian dibuat sediaan darah tebal dan dihemolisis dengan menggunakan aquades, ditunggu sampai kering angin selanjutnya difiksasi dengan mencelupkan sediaan ke dalam ethanol 70% ditunggu sampai kering, kemudian diwarnai dengan larutan Giemsa + buffer fosfat pH 7,2 dengan perbandingan 1:15 selama 15 menit. Kemudian dicuci dengan air mengalir, dikeringkan, diamati dengan mikroskop dan dihitung microfilariae rate.16 Mikrofilaria yang didapat, dibandingkan sebelum dan sesudah pengobatan dengan tetrasiklin, pengobatan dilanjutkan lagi dengan dosis dan lama waktu yang sama bila masih ditemukan mikrofilaria. 3. Pengamatan bakteri Wolbachia pada mikrofilaria dengan uji PCR Ekstraksi DNA Sebanyak 200 ml darah yang diambil dari penderita mikrofilaremia dimasukkan ke dalam microcentrifuge 1,5 ml, kemudian ditambahkan 700ml buffer lisis (50 mM Tris HCL pH 8; 100 mM EDTA; 100 mM NaCL; dan 1% SDS), dan 10 ml Proteinase K (20mg/ml). Diinkubasikan pada suhu 55oC selama 2 jam, dan divortex sampai hancur. Ditambahkan fenol-CIAA (fenol 25 bagian, chloroform 24 bagian, dan isoamil alkohol 1 bagian) dengan volume yang sama, kemudian digoyang menggunakan shaker selama 30 menit. Selanjutnya dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 12 000 rpm selama 5 menit dan supernatan dipindahkan ke tabung baru. DNA diendapkan dengan Na Acetat (2,5 M pH 5.2) 0,1 x volume dan ethanol absolute 2-2.5 x volume, digoyang pelan-pelan, disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 12 000 rpm. Pelet DNA kemudian dicuci dengan 500 ml ethanol 70%, disentrifugasi pada 12 000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang dan kemudian dikeringkan dari sisa-sisa alkohol. Endapan DNA dilarutkan dalam 20 µl TE (10 mM Tris-HCl pH 8 dan 1 mM EDTA), dan diinkubasikan pada suhu 4oC semalam. Larutan DNA disimpan dalam -20oC. PCR dan Elektroforesis Genomic DNA yang didapat diuji dengan menggunakan PCR, dengan primer Wsp 81 forward dan Wsp 691 reverse dengan panjang 610 bp.17 Prosedur di bawah ini merupakan instruksi dari panduan Promega Manufacture. Master mix dibuat berdasarkan komponen-komponen larutan yang terdiri dari: H2O (UHQ), 10x buffer polimerase (Promega), 25 mM MgCL2, (20 µM) primer F, (20 µM) primer R, (10 mM) dNTP (deoxynucleotide triphosphate), IU/µl Tag polimerase. 379
Pengobatan Filariasis dengan Target Utama Endosymbiont Bakteri Wolbachia sp Komponen di atas ditambahkan 1 µl template DNA genomik kemudian dimasukkan ke thermocycle dengan temperatur 95oC selama 5 menit untuk permulaan denaturasi, diikuti 35 siklus dengan temperatur 95oC selama 1 menit, 55oC selama 1 menit, 72oC selama 2 menit diikuti 72oC selama 10 menit dan terakhir 4oC dengan waktu tak terbatas. PCR product diberi loading buffer (15% Ficol, 0,5% bromophenol blue dan 0,5% xylene cyanol) kemudian di-running pada agarose gel 1%. Pembuatan gel 1% dengan melarutkan agarose 2 g diberi aquadest sampai 200 ml dipanaskan pada microwave sampai mendidih dan larut, dikeluarkan dari microwave dan didinginkan beberapa menit menunggu sampai agak dingin kemudian, setelah diberi 7 ml ethidium bromide (pada gel yang baru) atau 2 ml pada gel yang telah beberapa kali dipakai, gel dituang pada electrophoresis gel tray yang diisi dengan buffer 1X TBE (Tris-borax EDTA), di running dengan voltage 130V selama 1 jam pada temperatur kamar. Gel kemudian diambil dan difoto dengan ultra violet light untuk menentukan adanya dan panjang dari DNA yang diamplifikasi. Hasil Survei Mikrofilaremia Survei mikrofilaria pada penderita kronis dengan elefantiasis dari tiga Kabupaten yaitu Cilacap, Banyumas, dan Pekalongan ternyata sudah tidak ditemukan mikrofilaria dalam darah tepi. Keadaan ini dapat disebabkan penderita telah lama (lebih dari lima tahun bahkan ada yang lebih dari 10 tahun) menderita elefantiasis sehingga cacing dewasanya sudah mati dan tidak memproduksi mikrofilaria. Pada umumnya penderita filariasis kronis tersebut merupakan penduduk miskin yang tinggal di pedesaan dan mereka tidak mampu untuk membiayai pemeriksaan kesehatannya. Penderita filariasis di daerah Pekalongan diberi sarana oleh Dinkes Pekalongan untuk perawatan berupa ember, gayung, handuk, sabun, bedak, revanol, salep, dan bangku pendek. Penderita di daerah Banyumas dan Cilacap tidak diberi bantuan dalam hal yang sama. Ember, gayung, sabun, revanol, salep, handuk, diberikan untuk merawat bagian tubuh yang membengkak dengan membersihkan menggunakan sabun dan apabila ada luka atau gatal diberi revanol atau salep antibiotik setelah dikeringkan menggunakan handuk. Sedangkan ember dan gayung untuk menyediakan air dan mengguyur kaki atau bagian yang membengkak, dan bangku pendek dipakai untuk duduk pada saat membersihkan bagian tubuh yang membengkak. Bagian tubuh yang membengkak harus dibersihkan dengan baik, karena daerah yang berlipat-lipat tersebut kalau tidak dirawat dengan baik dengan dicuci dan dilap menggunakan handuk sampai kering setelah habis mandi atau setelah dibersihkan, akan menjadi lembab, memudahkan ditumbuhi jamur serta mikroorganisme lain yang menyebabkan infeksi sekunder.
380
Survei berikutnya dilakukan pada masyarakat di sekitar penderita filariasis kronis. Dari 184 orang yang diambil darah jarinya, ditemukan satu penderita dengan mikrofilaremia dari desa Dadirejo, Kec. Tirta, Kab. Pekalongan. Penderita tersebut seorang laki-laki baru berumur 20 tahun, yang merupakan usia produktif. Meskipun dalam 40 µl darahnya ditemukan 24 mikrofilaria -jumlah yang cukup sebagai sumber infeksinamun tidak menunjukkan gejala sehingga penderita tidak menyadari bahwa di dalam tubuhnya terdapat cacing filaria yang bila tidak diobati akan dapat berkembang menjadi elefantiasis. Dengan hanya ditemukan satu penderita filariasis tersebut kemungkinan memang daerah tersebut merupakan daerah dengan low incidence. Kemungkinan lain adalah pada penderita dengan jumlah mikrofilaria rendah kadang microfilaria tidak terdeteksi, karena hanya diambil sejumlah 40 µl darah pada pemeriksaan darah jari. Jenis filaria yang ditemukan, yaitu Wuchereria bancrofti, dengan ciri mikrofilarianya mempunyai selubung dan inti teratur tidak sampai ke ujung ekor. Filariasis bancrofti tersebut selain menyebabkan elefantiasis pada alat ektremitas juga dapat menyebabkan elefantiasis pada alat kelamin. Pengobatan Penderita Filariasis dengan Tetrasiklin Penderita yang diketahui positif mikrofilaria diberi tetrasiklin dosis 250 mg tiga kali sehari selama 10 hari kemudian diambil darahnya kembali, ternyata jumlah mikrofilaria yang ditemukan sudah turun dari 24 menjadi 3 ekor per 40 µl. Selanjutnya pengobatan diulang satu kali lagi dengan dosis yang sama, hasil berikutnya menunjukkan bahwa ketika darah tepi diamati sudah tidak ditemukan mikrofilaria dalam darahnya. Pengamatan Bakteri Wolbachia pada Mikrofilaria dengan Uji PCR Pada uji PCR belum didapatkan hasil yang baik pada pengamatan bakteri Wolbachia. Hal ini mungkin disebabkan ekstrasi DNA seharusnya tidak dilakukan bersamaan dengan darah tepi, tetapi hanya pada mikrofilarianya. Akibatnya dihasilkan genomic DNA dan hasil elektroforesis yang tidak baik. Diskusi Hasil penelitian ini membuktikan bahwa tetrasiklin dapat meniadakan mikrofilaria yang diproduksi oleh cacing dewasanya. Hilangnya mikrofilaria pada pasien yang ditemukan mikrofilaia di dalam darahnya disebabkan oleh kematian bakteri endosymbiont Wolbachia setelah diberi obat tetrasiklin yang menyebabkan terhambatnya daya hidup dan reproduksi cacing dewasa atau bahkan menyebabkan kematian cacing dewasanya. Hasil tersebut sesuai dengan peneliti-peneliti terdahulu, dimulai dari Bosshardt et al 18 yang secara kebetulan memberikan tetrasiklin pada jirds yang diinfeksi oleh Brugia
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 10, Oktober 2008
Pengobatan Filariasis dengan Target Utama Endosymbiont Bakteri Wolbachia sp pahangi dan terinfeksi oleh bakteri Staphylococus penyebab dermatitis, ternyata memberikan hasil tidak hanya sembuh dari dermatitis, tetapi diketahui pula bahwa pertumbuhan larva 3 mikrofilaria menjadi dewasa terhambat. Selanjutnya Bandi et al8 melaporkan bahwa pemberian tetrasiklin sangat efektif dalam menghambat pertumbuhan microfilaria B. pahangi dan Dirofilaria immitis. McCall et al19 meneliti Litosmosoides sigmodontis yang diberi tetrasiklin, hasil yang diperoleh bahwa densitas dari bakteri Wolbachia menurun dibandingkan dengan jumlah bakteri dari cacing yang tidak beberi tetrasiklin. Pengamatan densitas bakteri Wolbachia tersebut ditunjukkan dengan pengamatan menggunakan immunohistologi dan mikroskop elektron. Namun tetrasiklin tidak mempunyai pengaruh negatif ketika diberikan kepada species nematoda A. vitae yang tidak terinfeksi oleh Wolbachia.9 Hasil tersebut menunjukkan bahwa pemberian tetrasiklin tidak mempunyai effek langsung terhadap cacing filaria, tetapi pengaruhnya terhadap bakteri simbion Wolbachia. Townson et al20 melaporkan bahwa rifampisin, oksitetrasiklin dan kloramfenikol yang diberikan kepada Onchocerca gutturosa secara in vitro dengan dosis 50,0 µM, menunjukkan rifampisin memberikan penurunan viabilitas yang tertinggi 84% dibandingkan antibiotik yang lain (viabilitas diukur dengan formasan-based colorimetry) dan pengamatan secara ultrastruktur menunjukkan hampir semua endosimbiont Wolbachia hilang dari jaringan cacing filaria. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa tetrasiklin dan antibiotik lain berhasil dalam pengobatan filariasis pada binatang. Sedangkan laporan Smith dan Rajan12 menunjukkan bahwa tetrasiklin dan antibiotik lain juga berhasil dalam pengobatan filariasis pada manusia. Mereka melaporkan bahwa pemberian tetrasiklin secara in vitro pada B. malayi dapat menurunkan viabilitas, motilitas dan produksi mikrofilaria. Sedang pemberian rifampisin dapat menghambat moulting mikrofilaria. Langworthy et al21 dan Hoerauf et al22 melaporkan pemberian doksisiklin pada penderita Onchocerciasis dapat menghambat pertumbuhan larva dan viabilitas cacing dewasa serta hilangnya Wolbachia. Hasil penelitian tersebut mendasari suatu paradigma baru pada pengobatan filariasis, tidak ditujukan pada mikrofilaria atau cacing dewasanya, melainkan ditujukan pada bakteri endosymbiontnya yaitu bakteri Wolbachia. Langkah tersebut merupakan pendekatan yang baik karena obat ini telah diketahui aktivitasnya, aman, murah dan mudah didapat di daerah endemik sehingga pengobatan massal ataupun individu akan berhasil. Kesimpulan Ditemukan satu sampel positif mikrofilaria Wuchereria bancrofti, tanpa gejala pada laki-laki usia 20 tahun di daerah Pekalongan. Pemberian tetrasiklin pada penderita mikrofilaremia dengan pengulangan dua kali dosis 3 kali 250mg/ hari selama 10 hari dapat meniadakan mikrofilaria.
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 10, Oktober 2008
Ucapan Terimakasih Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak Purwono dari Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada atas kerja samanya, Bapak Suwondo dari Dinas Kesehatan Kab. Pekalongan, Bapak Andi dari Dinas Kesehatan Kab. Banyumas, dan Bapak Amin dari Dinas Kesehatan Kab. Cilacap yang telah memberikan informasi tentang daerah yang ditemukan adanya penderita filariasis kronis di wilayah masing-masing serta segala bantuannya. Penelitian ini dibiayai oleh Proyek Hibah Bersaing XV Tahun 2007-2008. Daftar Pustaka 1.
2.
3.
4. 5. 6. 7.
8.
9. 10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Brown H.W. Dasar Parasitologi Klinis (Diterjemahkan oleh Rukmono, Hoedoyo, Djakaria, Soeprihatin, Margono, Oemijati, et al., 1979). Jakarta: PT. Gramedia; 196-9. Rao, R.U., Moussa, H. and Weil, G.J. Brugia malayi: effects of antibacterial agents on larval viability and development in vitro. Exp Parasitol. 2002;101:77-81. Haarbrink M, Abadi GK, Buurman WA. Strong association of IL6 and LBP with severity of adverse reaction following diethylcarbamazine (EDC) treatment of microfilariae patiens. J Infect Dis 2000; 182:564-9. Filariasis. Ciba Foundation Symposium 127. A Wiley Interscience Publication. Singapore: John Wiley and Sons; 1987. Kozek WJ, Marroquin HF. Intracytoplasmic bacteria in Onchocerca volvulus Am J Trop Med Hyg 1977;26:663-78. Franz M, Copeman DB. The fine structure of male and female Onchocerca gibsoni. Trop Med Parasitol 1988;39:466-8. Henkle-Dührsen K, Eckelt VHO, Wildenburg G, Blaxter ML, Walter RD. Gene structure, activity and localization of a catalase from intracellular bacteria in Onchocerca volvulus. Mol Biochem Parasitol 1998;96:69-81. Bandi C, McCall JW, Genchi C, Corona S, Luigi V, Sacchi L. Effect of tetracycline on the filarial worms Brugia pahangi and Dirofilaria immitis and their bacterial endosymbionts Wolbachia. Int J Parasitol. 1999;29:357-64. Taylor MJ, A Hoerauf. Wolbachia bacteria of filarial nematodes. Parasitol Today 1999;15:437-42. Min KT, Benzer S. Wolbachia, normally a symbiont of Drosophila, can be virulent, causing degeneration and early death. Proc Nat Acad Sci USA. 1997;94:10792–6. Endang-Srimurni K. Biology of Interspecies Wolbachia Infection. [dissertation]. United Kingdom. School of Biological Sciences, University of Wales, Bangor; 2003. Smith HL, Rajan TV. Tetracycline inhibits development of the infective-stage larvae of filarial nematodes in vitro. Exp Parasitol 2000;95:265-70. Partono F, Purnomo A, Soewarto A, Oemijati S. Low dosage diethylcarbamazine administered by villagers for the control of Timorian filariasis. Trans R Soc Trop Med Hyg 1984;78:370-2. Hoerauf A, Nissen-Pahle K, Schmetz C, Henkle-Dührsen K, Blaxter ML, Buttner DW, et al. Tetracycline therapy targets intracellular bacteria in the filarial nematode Litomosoides sigmodontis and results in filarial infertility. J Clin Invest 1999; 103:11-8. Taylor MJ, Bilo K, Cross HF, Archer JP, Underwood AP. 16S rDNA phylogeny and ultra structural characterization of Wolbachia intracellular bacteria of the filarial nematodes Brugia malayi, B. pahangi and Wuchereria bancrofti. Exp Parasitol 1999;91:356-61. Langworthy NG, Renz A, Mackenstedt U, Henkle-Duhrsen Kim, Bronsvoort Mark B. de C, Tanya -Vincent N, et al. Microfilaricidal
381
Pengobatan Filariasis dengan Target Utama Endosymbiont Bakteri Wolbachia sp activity of tetracycline against the filarial nematode Onchocerca ochengi: elimination of Wolbachia precedes worm death and suggests a dependent relationship. Proc R Soc L B-Biol Sci. 2000; 267:1063-9. 17. Braig HR, Zhou W, Dobson SL, O’Neill SL. Cloning and characterization of a gene encoding the major surface protein of the bacterial endosymbiont Wolbachia pipientis. J Bact 1998; 180:2373-8. 18. Bosshardt SC, McCall JW, Coleman SU, Jones KL, Petit TA, Klei TR. Prophylactic activity of tetracycline against Brugia pahangi infection in jirds (Meriones ungulatus). J Parasitol. 1993;79:7757. 19. McCall JW, Jun JJ, Bandi C. Wolbachia and the antifilarial properties of tetracycline. An untold story. Italian J Zool. 1999;66:710.
382
20. Townson S, Hutton D, Siemenska J, Scanton T, Tagboto SK. Antibiotics and Wolbachia in filarial nematodes: antifilarial activity of rifampicin, oxytetracycline and chloramphenicol against Onchocerca gutturosa, Onchocerca linealis and Brugia pahangi. Ann Trop Med Parasitol. 2000;94:801-16. 21. Hoerauf A, Volkmann L, Hamelmann C, Adjei O, Autenrieth IB, Fleischer B, Buttner DW. Endosymbiotic bacteria in worms as a target for a novel chemotherapy in filariasis. Lancet. 2000; 355:1242-3. 22. Hoerauf A, Mand S, Adjei O, Fleischer B, Buttner DW. Depletion of Wolbachia endobacteria in Onchocerca volvulus by doxycycline and microfilaridermia after ivermictin treatment. Lancet 2001;357:1415-6. EV
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 10, Oktober 2008