262 Pengembangan Inovasi Pertanian 4(4), 2011: 262-278
Agus Kardinan
PENGGUNAAN PESTISIDA NABATI SEBAGAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENGENDALIAN HAMA TANAMAN MENUJU SISTEM PERTANIAN ORGANIK1) Agus Kardinan Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Jalan Tentara Pelajar No. 3, Bogor 16111 Telp. (0251) 8321879, Faks. (0251) 8327010 e-mail:
[email protected] Diajukan: 4 Agustus 2011; Disetujui: 25 Oktober 2011
ABSTRAK Penggunaan biopestisida, khususnya pestisida nabati merupakan kearifan lokal bangsa Indonesia. Pemanfaatan pestisida nabati mendapat perhatian penting seiring dengan munculnya dampak negatif penggunaan pestisida sintetis terhadap kesehatan dan lingkungan. Permintaan akan pestisida nabati meningkat seiring dengan berkembangnya pertanian organik maupun adanya larangan penggunaan pestisida kimia sintetis. Indonesia merupakan negara kedua terbesar di dunia setelah Brasil yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati, termasuk tanaman bahan pestisida nabati. Beberapa formula pestisida nabati yang terbukti manjur untuk mengendalikan OPT telah diproduksi dan sebagian diekspor ke negara tetangga. Namun, pengembangan pestisida nabati menghadapi beberapa kendala, antara lain: (1) daya kerjanya lambat sehingga petani lebih memilih pestisida sintetis yang cara kerjanya cepat terlihat; (2) banyaknya pestisida sintetis yang beredar di pasaran sehingga petani mempunyai banyak pilihan dan kemudahan untuk memperoleh pestisida dan tidak tertarik pada pestisida nabati; (3) sulitnya memperoleh bahan baku dalam jumlah banyak karena masyarakat enggan mengembangkannya dan hanya mengandalkan pada alam; dan (4) sulitnya proses pendaftaran dan perizinan karena umumnya pestisida nabati dikembangkan oleh pengusaha kecil. Oleh karena itu, perlu menjadi pemikiran bersama agar penggunaan pestisida nabati dapat berkembang sehingga selain mengurangi ketergantungan pada pestisida sintetis serta menjaga lingkungan dan kesehatan, petani dapat memenuhi kebutuhan sendiri akan pestisida dan Indonesia mampu memenuhi kebutuhan pestisida di dalam negeri. Kata kunci: Pestisida nabati, pengendalian hama, kearifan lokal, pertanian organik
ABSTRACT The Use of Botanical Pesticide as a Local Wisdom in Pest Management Towards Organic Agriculture The use of biopesticide, especially botanical pesticide is a local wisdom or indigenous knowledge of Indonesian people. Lately, botanical pesticide has special attention from the public due to the awareness of the public to the harmfull and negative impacts of using synthetic chemical pesticide, both to the environment and human health. The demand for eco-friendly pesticides such as botanical pesticide 1)
Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 1 April 2009 di Bogor.
Penggunaan pestisida nabati sebagai kearifan lokal ...
263
increased lately, since the practice of organic farming in Indonesia as well as in the world is developed well. In organic farming practice, the use of syhthetic chemical pesticide is prohibited, and botanical pesticide is an alternative to substitute synthetic pesticides. Indonesia as a mega-biodiversity country possesses abundant plants with pesticide properties. Some botanical pesticides have been formulated and ready to use. However, there are some constraints in developing botanical pesticide in Indonesia, i.e. (1) generally, botanical pesticide is not rapid in action, so that the farmers preferred to use synthetic chemical pesticide which possesses knock down action; (2) abundance of synthetic chemical pesticide in the market makes the farmers preferred to purchase it due to easy to obtain; (3) sometimes, the raw material of botanical pesticide is difficult to obtain when it is needed in a big amount because farmers are not willing to plant and cultivate them and just harvesting them from the surrounding area; and (4) registration is difficult, since botanical pesticide is generally developed by small industries with limited budget. Some efforts need to be done to develop botanical pesticide in Indonesia, so that Indonesia will not be relied anymore to big countries that produce synthetic chemical pesticide, more over the farmers or Indonesia can be pesticide self-sufficiency. Keywords: Botanical pesticide, pest control, local wisdom, organic agriculture
PENDAHULUAN Kualitas produk pertanian antara lain dapat ditingkatkan melalui cara bertani yang baik (good agricultural practice GAP). Di beberapa negara, GAP juga diimplementasikan dalam bentuk pertanian organik. Secara sederhana, pertanian organik didefinisikan sebagai kegiatan bertani yang menggunakan asupan bahan alami, tanpa bahan kimia sintetis, khususnya pupuk dan pestisida serta benih hasil rekayasa genetik. Produk organik banyak diminati kalangan menengah ke atas, terutama di perkotaan dan di negara maju. Pertanian organik bukan saja bertujuan untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan sehat, tetapi juga untuk memperbaiki dan menghasilkan lingkungan yang bersih, dengan mempertimbangan faktor ekonomi dan sosial, termasuk kearifan lokal. Pada tahun 1980, tercatat 65% lahan sawah di Indonesia mengandung karbon organik di bawah 1,5% (kritis) dan pada 1999 meningkat menjadi 80%. Apabila penggunaan pupuk organik tidak digalakkan maka lahan kritis akan makin meluas dan berakibat terhadap menurunnya pro-
duktivitas. Hal ini sudah dirasakan, misalnya penambahan dosis pupuk pada tanaman padi cenderung tidak meningkatkan hasil, bahkan menurun. Pada tahun 1980, dengan dosis pupuk 268 kg/ha, hasil padi 3,8 t/ha. Pada tahun 1990, hasil padi mencapai 5,1 t/ha dengan dosis pupuk 403 kg/ha. Namun pada tahun 1999, pemberian pupuk dengan dosis 417 kg/ha, hasil padi turun menjadi 4,8 t/ha (Damardjati 2006). Masalah utama yang sering dihadapi dalam kegiatan pertanian organik adalah adanya organisme pengganggu tanaman (OPT), terutama di daerah tropis karena kondisi iklim tropis akan sangat mendukung perkembangan OPT. Oleh karena itu, diperlukan pengendalian OPT yang intensif, antara lain dengan menggunakan pestisida. Penggunaan pestisida kimia sintetis dilarang dalam sistem pertanian organik sehingga penggunaan pestisida nabati menjadi sangat strategis. Dampak negatif penggunaan pestisida sintetis meliputi polusi lingkungan (kontaminasi tanah, air, dan udara), serangga hama menjadi resisten, resurgen maupun toleran terhadap pestisida, serta dampak negatif lainnya.
264
Agus Kardinan
DINAMIKA PENGGUNAAN PESTISIDA Pra-Revolusi Hijau Sejak 1945, pertanian di Indonesia umumnya masih bersifat subsisten atau tradisional, dengan asupan bahan kimia sintetis seperti pupuk dan pestisida minimal. Namun, pertambahan jumlah penduduk menuntut penyediaan pangan yang makin meningkat. Oleh karena itu, dituntut sistem bertani yang intensif sehingga dimulailah usaha untuk meningkatkan produksi pangan yang didukung oleh penggunaan pestisida untuk menekan kehilangan hasil yang disebabkan oleh OPT. Pestisida yang masuk ke Indonesia saat itu adalah jenis organoklorin, yaitu DDT, BHC, heptaklor, aldrin, dan dieldrin (Gunandini 2006). Selama beberapa tahun penggunaan pestisida tersebut cukup sukses dan OPT dapat dikendalikan dengan baik. Namun, penggunaan satu jenis pestisida secara terus-menerus atau lebih dari 10 tahun dapat menimbulkan resistensi pada hama sasaran (Brown 1958). Hal ini terjadi pada DDT, yang menyebakan beberapa jenis hama menjadi resisten terhadap DDT. Pestisida golongan organoklorin ini memiliki persistensi yang cukup panjang di alam, dapat bertahan sampai puluhan tahun, sehingga mencemari lingkungan.
Era Revolusi Hijau Dengan berjalannya waktu dan berkembangnya ilmu pengetahuan tentang pestisida dan dampak negatifnya terhadap lingkungan, Carson (1962) dalam bukunya yang berjudul “Silent Spring” telah membuka mata dunia akan bahaya pesti-
sida, khususnya DDT. Dampak negatif pestisida tidak hanya terbatas pada daerah tempat pestisida tersebut digunakan, namun meluas melalui rantai makanan yang dikenal dengan istilah magnification effect atau efek bola salju; binatang kecil seperti plankton yang tercemar pestisida akan dikonsumsi oleh predator yang lebih besar dan seterusnya, yang akhirnya sampai ke hewan besar, termasuk manusia. Dari isu tersebut, pada tahun 1969 penggunaan DDT dan sejenisnya dihentikan (Kardinan dan Iskandar 1999d; Kardinan 2000a). Setelah generasi pestisida DDT dan sejenisnya dianggap mencemari lingkungan, muncul pestisida generasi baru yang dianggap lebih ramah lingkungan, yaitu golongan organofosfat. Walaupun masuk ke Indonesia pada awal 1970, sebenarnya jenis pestisida ini sudah diperkenalkan di dunia sejak 1950, di antaranya diklorfos, parathion, malathion, dimeton, schradan, dan TEPP. Pada saat ini diperkenalkan beberapa jenis pestisida baru, antara lain golongan karbamat, yaitu karbaril dan propoxur. Sebenarnya jenis ini telah diperkenalkan di dunia sejak 1960 dan baru saat itu masuk ke Indonesia (Gunandini 2006). Kebutuhan pangan yang makin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk mendorong pemerintah terus berusaha meningkatkan produksi pangan, khususnya beras, dengan berbagai usaha, yang dikenal dengan era Revolusi Hijau. Pada saat itu, subsidi pestisida mencapai 80% sehingga pestisida murah dan mudah didapat, selain adanya dorongan pemerintah (political will) dalam penggunaan pestisida untuk meminimalkan kehilangan hasil oleh OPT. Petani menggunakan pestisida secara berjadwal, 2-3 kali per minggu. Pestisida merupakan garansi keberhasilan bertani
265
Penggunaan pestisida nabati sebagai kearifan lokal ...
sehingga ketergantungan petani pada pestisida sangat tinggi. Pada tahun 1985, Indonesia berhasil berswasembada beras. Namun, keadaan ini tidak bertahan lama karena munculnya dampak negatif penggunaan pestisida yang tidak terkendali, yaitu terjadinya pencemaran lingkungan yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekologi, residu pestisida pada tanah, air, dan tanaman, resistensi dan resurgensi pada hama sasaran, terbunuhnya musuh alami dan serangga bukan sasaran, serta dampak negatif lainnya. Terjadinya resistensi pada suatu jenis hama akan meningkatkan dosis dan frekuensi insektisida yang digunakan sehingga terjadi pemborosan dan pencemaran serius terhadap lingkungan. Perkembangan resistensi lebih cepat terjadi pada insektisida tunggal dibandingkan dengan insektisida ganda atau campuran (Sutrisno 1987). Resurgensi mengakibatkan hama semakin meledak akibat penggunaan insektisida karena terstimulasi untuk memproduksi keturunan. Jumlah telur meningkat, daur hidup lebih singkat sehingga populasi meningkat cepat. Serangga dewasa dapat hidup lebih lama dengan kemampuan makan yang meningkat dan pesaing (limiting factor/ competitor) seperti musuh alami terbunuh sehingga pertumbuhan populasi semakin tinggi (Harnoto et al. 1983; Mochida 1986).
tersebut, pemerintah mengambil beberapa kebijakan, antara lain mengeluarkan Inpres No. 3/1986 yang melarang penggunaan 57 formula insektisida, disusul kebijakan pada tahun 1989 yang mencabut subsidi pestisida sehingga pestisida menjadi mahal. Selain itu, pemerintah meluncurkan peraturan tentang batas maksimum residu (BMR) suatu pestisida pada suatu produk (Ditjentanhorti 1997). Pada era ini, diperkenalkan jenis pestisida yang dianggap lebih ramah lingkungan, yaitu piretroid, yang merupakan sintetis dari piretrin yang dihasilkan oleh tanaman piretrum (Chrysanthemum cinerariaefolium) (Kardinan 1997d; Kardinan et al. 1999b; Kardinan 2000c). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa piretrin dari bunga piretrum sangat efektif mengendalikan beberapa jenis hama tanamam (Kardinan 1995, 1996b, 1997b). Tren penggunaan pestisida di dunia sudah mengarah ke pestisida alami sehingga pemanfaatan tumbuhan sebagai pestisida nabati pun mulai dilirik. Hal ini ditunjang oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pestisida nabati cukup efektif dan ramah lingkungan (Kardinan et al. 1994; Kardinan 1996a, 1998b). Pada saat itu, banyak petani yang beralih ke kearifal lokal, dengan memanfaatkan tumbuhan sebagai pestisida, atau dikenal dengan pestisida nabati.
Pascaswasembada Beras
Era Revolusi Hijau Lestari
Suatu penelitian pada tahun 1983 menduga bahwa sekitar 1.000 orang meninggal setiap tahun di negara-negara berkembang akibat keracunan pestisida dan sekitar 400 ribu orang mengalami penderitaan akut (World Commission on Environment and Development 1987). Menanggapi masalah
Beberapa pemberitaan, di antaranya internet, menyebutkan bahwa delapan jenis pestisida yang digunakan dalam budi daya hortikultura ditengarai dapat menimbulkan kanker (karsinogenik). Hampir 1,4 juta kasus kanker di dunia disebabkan oleh pestisida. Efek terberat dialami anak-anak
266
dengan risiko empat kali lipat dibanding orang dewasa. Pestisida dapat menimbulkan cacat lahir, kerusakan syaraf, dan mutasi genetik. Satu juta orang mengalami keracunan pestisida setiap tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa residu insektisida seperti organoklorin, heptaklor, endrin, dieldrin, dan endrin masih ditemukan setelah 25 tahun aplikasi (Ardiwinata dan Djazuli 1992). Hingga saat ini petani sayuran masih bergantung pada pestisida kimia sintetis untuk mengendalikan hama (Untung 2007). Kasus residu pestisida pada beberapa produk hortikultura dapat terlihat secara kasat mata, baik di lapangan maupun di pasaran (Kardinan dan Wikardi 1994; Kardinan 2004). Penggunaan pestisida yang tidak terkendali di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan politik dagang negara-negara maju. Hal ini dapat dipahami karena mereka ingin memasarkan produknya yang berupa bahan kimia. Pada tahun 1983, volume pemakaian bahan kimia mencapai seperempat investasi langsung negara industri di negara berkembang dalam produk manufaktur, di antaranya pestisida, yaitu Jepang (23%), Amerika Serikat (23%), Inggris (27%), dan Republik Federal Jerman (14%) (Sumantri 1988). Di negara-negara industri, komunikasi mengenai bahan kimia, termasuk pestisida yang sudah tidak digunakan, berlangsung dengan baik, namun tidak demikian halnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini berpeluang terjadinya pelemparan produk kimia, khususnya pestisida yang sudah dilarang atau dibatasi penggunaannya di negara industri ke negara berkembang sehingga mengakibatkan makin terjadinya kerusakan lingkungan.
Agus Kardinan
POTENSI, PELUANG, DAN KENDALA PEMANFAATAN PESTISIDA NABATI Potensi Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati terluas kedua di dunia setelah Brasil. Tumbuhan merupakan gudang berbagai senyawa kimia yang kaya akan kandungan bahan aktif, antara lain produk metabolit sekunder (secondary metabolic products), yang fungsinya dalam proses metabolisme tumbuhan kurang jelas. Kelompok senyawa ini berperan penting dalam proses berinteraksi atau berkompetisi, termasuk melindungi diri dari gangguan pesaingnya (Kardinan dan Wikardi 1995a). Produk metabolit sekunder dapat dimanfaatkan sebagai bahan aktif pestisida nabati (Grainge dan Ahmed 1987; Kardinan dan Wikardi 1997a). Pestisida nabati tidak hanya mengandung satu jenis bahan aktif (single active ingredient), tetapi beberapa jenis bahan aktif (multiple active ingredient). Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa jenis pestisida nabati cukup efektif terhadap beberapa jenis hama, baik hama di lapangan, rumah tangga (nyamuk dan lalat), maupun di gudang (Kardinan dan Iskandar 1999a, 1999c). Beberapa jenis pestisida nabati efektif mengendalikan hama gudang (Kardinan dan Wikardi 1995b), seperti pestisida dari biji bengkuang, akar tuba, abu serai dapur, kayu manis, dan brotowali (Kardinan 1997c; Kardinan dan Wikardi 1997b; Kardinan dan Iskandar 1998). Tidak hanya terhadap hama serangga, pestisida nabati juga efektif terhadap keong mas (Kardinan 1997e) dan sebagai rodentisida (Kardinan
267
Penggunaan pestisida nabati sebagai kearifan lokal ...
1997a, 1998a, 2000b). Manfaat pestisida nabati juga dapat dirasakan di rumah tangga, yaitu untuk mengendalikan rayap (Kardinan dan Jasni 2001).
Peluang Kesejahteraan suatu bangsa yang makin baik akan meningkatkan kebutuhan, baik kuantitas maupun kualitasnya. Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah makanan yang berkualitas, sehat, dan aman dikonsumsi, termasuk bebas dari cemaran bahan kimia beracun seperti pestisida. Untuk menghasilkan pangan sehat dan aman (toyiban food), antara lain dapat dilakukan melalui pengembangan pertanian organik, yang melarang penggunaan pestisida kimia sintetis dan menggantinya dengan pestisida nabati dan cara-cara pengendalian alami lainnya. Hal ini merupakan peluang bagi pengembangan pestisida nabati yang ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan. Pestisida nabati tidak hanya dibutuhkan dalam bidang pertanian, tetapi telah meluas ke rumah tangga, seperti untuk mengendalikan nyamuk. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang menyatakan bahwa pestisida nabati dapat digunakan untuk mengendalikan hama pemukiman (urban pest) (Kardinan 1999f, 2005a, 2007b). Saat ini sudah dirintis proteksi massal produksi antinyamuk demam berdarah dengan bahan aktif dari tanaman (pestisida nabati). Pestisida nabati juga dapat digunakan sebagai bahan pembersih lantai, kaca, antiseptik, dan lainnya untuk kebersihan rumah tangga, rumah sakit, gedung perkantoran, dan lainnya melalui kerja sama dengan PT Petrokimia Gresik yang mulai peduli dengan kesehatan lingkungan.
Pestisida nabati sudah banyak digunakan untuk pertanian di dalam dan luar negeri, misalnya pestisida nabati mimba (Azadirachta indica) yang diekspor ke Taiwan dan Jepang, dan akhir-akhir ini Thailand berminat pula. Hal ini tidak terlepas dari kemanjuran pestisida tersebut terhadap beberapa jenis hama tanaman (Kardinan 1999b, 1999c; Kardinan dan Iskandar 1999b). Dari sekian jenis pestisida nabati, minyak atsiri selasih (Ocimum spp.) dan Melaleuca bracteata merupakan atraktan nabati pengendali hama lalat buah paling diminati. Hal ini karena lalat buah merupakan hama utama pada tanaman hortikultura dan sampai saat ini masih sulit dan mahal pengendaliannya (Kardinan 2003). Apabila pestisida nabati ini dikembangkan, selain dapat mengendalikan lalat buah, petani juga mendapat penghasilan tambahan dari penjualan pestisida nabati.
Kendala Pemanfaatan pestisida nabati dalam kegiatan bertani dianggap sebagai cara pengendalian hama yang ramah lingkungan sehingga diperkenankan penggunaannya dalam pertanian organik. Namun, pengembangan pestisida nabati di Indonesia menghadapi beberapa kendala, antara lain: (1) reaksinya relatif lambat dalam mengendalikan hama, berbeda dengan pestisida kimia sintetis yang berlangsung relatif cepat sehingga petani lebih memilih pestisida kimia sintetis dalam pengendalian OPT; (2) membanjirnya produk pestisida ke Indonesia, antara lain dari China yang harganya relatif murah serta longgarnya peraturan pendaftaran dan perizinan pestisida di Indonesia. Hal
268
Agus Kardinan
ini menyebabkan jumlah pestisida yang beredar di pasaran semakin bervariasi, hingga saat ini tercacat sekitar 3.000 jenis pestisida yang beredar di Indonesia. Kondisi ini membuat petani mempunyai banyak pilihan dalam menggunakan pestisida kimia sintetis karena bersifat instan sehingga menghambat pengembangan penggunaan pestisida nabati; (3) bahan baku pestisida nabati relatif terbatas karena kurangnya dukungan pemerintah dan rendahnya kesadaran petani terhadap penggunaan pestisida nabati sehingga enggan menanam atau memperbanyak tanamannya; (4) peraturan perizinan pestisida nabati disamakan dengan pestisida kimia sintetis sehingga pestisida nabati sulit mendapat izin edar dan diperjualbelikan. Akibatnya, bila pengguna memerlukan pestisida dalam jumlah banyak, pilihan akan jatuh pada pestisida kimia sintetis karena salah satu persyaratan dalam pembelian adalah sudah terdaftar dan diizinkan penggunaannya.
PERAN PESTISIDA NABATI DALAM SISTEM PERTANIAN ORGANIK Salah satu faktor pembatas produksi dalam bidang pertanian adalah hama tanaman. Hama dapat menurunkan hasil panen 3040%, bahkan pada beberapa kasus dapat mengakibatkan gagal panen. Pada tanaman hortikultura, biaya produksi untuk pengendalian hama dapat mencapai 40%, bahkan lebih karena pada tanaman hortikultura ada hama penting yang saat ini menjadi isu nasional dan menjadi faktor pembatas perdagangan (trade barrier), yaitu lalat buah. Komoditas ekspor suatu negara dapat ditolak oleh negara lain dengan alasan terdapat lalat buah.
Untuk menuju sistem pertanian organik, pestisida nabati merupakan alternatif untuk mengurangi dampak negatif pestisida sintetis. Uraian berikut menyajikan satu contoh permasalahan dalam bidang hortikultura, yaitu serangan hama lalat buah.
Jenis Lalat Buah di Indonesia Drew et al. (1978) menyatakan bahwa lalat buah yang banyak terdapat di Indonesia adalah dari genus Bactrocera dan salah satu jenis yang sangat penting dan ganas adalah Bactrocera dorsalis Hendel kompleks. Disebut B. dorsalis kompleks karena jenis ini diketahui sebagai B. papayae dan B. carambola, yang satu dengan lainnya sulit dibedakan secara kasat mata (Siwi et al. 2006). B. dorsalis merupakan lalat buah yang bersifat polifag, mempunyai sekitar 26 jenis inang (Balai Karantina Pertanian Jakarta 1994), seperti belimbing, jambu biji, tomat, cabai merah, melon, apel, nangka kuning, mangga, dan jambu air. Selain merusak buah-buahan, seperti jatuhnya buah muda yang terserang, serangan hama ini juga menyebabkan buah menjadi busuk dan dihinggapi belatung (Putra 1997; Kardinan 2000a, 2003). Lalat buah juga merupakan vektor bakteri Escherichia coli, penyebab penyakit pada manusia (Paimin 2000) sehingga dapat dijadikan alasan untuk menghambat perdagangan. Untuk mencegah masuknya spesies baru lalat buah ke Indonesia, pemerintah mengeluarkan Permentan No.37/2006 yang menetapkan hanya tujuh pintu masuk buah segar ke Indonesia, yaitu Batu Ampar, Batam; Ngurah Rai, Bali; Makassar; Belawan, Medan; Tanjung Priok, Jakarta;
269
Penggunaan pestisida nabati sebagai kearifan lokal ...
Tanjung Perak, Surabaya, dan Cengkareng, Jakarta. Intensitas serangan lalat buah di beberapa daerah di Jawa Timur dan Bali sangat bervariasi, berkisar antara 6,4-70,0% (Sarwono 2003). Intensitas serangan lalat buah pada mangga berkisar antara 14,823,0% (Sodiq 1993). Pada belimbing dan jambu biji, kerusakan yang diakibatkan lalat buah mencapai 100% (Kardinan 2003).
Pengendalian Lalat Buah Pengendalian hama lalat buah membutuhkan biaya besar. Jepang menghabiskan biaya sekitar Rp94 miliar dalam suatu usaha pengendalian. Apabila tidak dikendalikan, kerugian akan lebih besar. Di Australia, lalat buah dapat menyebabkan kerugian Rp146 miliar apabila tidak dilakukan pengendalian (Balai Karantina Pertanian Jakarta 1994). Di Indonesia, kerugian akibat serangan lalat buah pada komoditas hortikultura mencapai Rp250 miliar per tahun (Daryanto 2003). Di Hawaii, pengendalian lalat buah memadukan beberapa teknik pengendalian, antara lain dengan atraktan dalam perangkap, yang dapat menekan penggunaan pestisida kimia sintetis hingga 75-95% (Vargas 2007). Beberapa teknik pengendalian telah banyak dikembangkan, seperti penggunaan gibberellic acid (GA), yaitu membuat penampilan buah-buahan tidak matang sehingga lalat buah enggan meletakkan telur pada buah (Jessica 2007). Selain itu, pelepasan serangga mandul, khususnya jantan mandul, telah dikembangkan pula dan memberi hasil yang memuaskan. Teknik lain yang berhasil dikembangkan di Australia adalah penggunaan umpan beracun (foliage baiting),
penyemprotan tanaman dan buahnya dengan insektisida (cover spraying), dan perangkap dengan atraktan (trapping), selain menjaga sanitasi kebun (Broughton et al. 2004).
Pengendalian dengan Atraktan (Zat Pemikat) Penggunaan atraktan metil eugenol merupakan cara pengendalian yang ramah lingkungan dan terbukti efektif (Metcalf dan Flint 1951). Atraktan dapat digunakan untuk mengendalikan lalat buah dalam tiga cara, yaitu: (1) mendeteksi atau memantau populasi lalat buah; (2) menarik lalat buah untuk kemudian diperangkap; dan (3) mengacaukan lalat buah dalam perkawinan, berkumpul, dan cara makan (Metcalf dan Luckmann 1982). Atraktan merupakan zat yang bersifat menarik (lure), mengandung bahan aktif metil eugenol (C12H24O2). Penggunaan metil eugenol sebagai atraktan lalat buah tidak meninggalkan residu pada buah dan mudah diaplikasikan pada lahan yang luas. Karena bersifat mudah menguap, daya jangkau atau radiusnya cukup jauh, mencapai ratusan bahkan ribuan meter, bergantung pada arah angin. Daya tangkap atraktan bervariasi, bergantung pada lokasi, cuaca, komoditas, dan keadaan buah di lapangan. Beberapa penelitian menunjukkan, penggunaan atraktan metil eugenol dapat menurunkan intensitas serangan lalat buah pada mangga sebesar 39-59% (Sarwono 2003; Priyono 2004). Atraktan berbahan aktif metil eugenol tergolong food lure, artinya lalat jantan tertarik datang untuk keperluan makan, bukan untuk seksual. Selanjutnya, metil eugenol diproses dalam tubuh lalat jantan untuk menghasilkan feromon seks yang
270
diperlukan saat perkawinan guna menarik lalat betina (Nishida dan Fukami 1988; Nishida 1996).
Agus Kardinan
beberapa lokasi pada beberapa komoditas menunjukkan, atraktan dari daun M. bracteata memiliki efektivitas yang cukup tinggi dalam mengendalikan lalat buah (Kardinan 1998c, 1999a, 1999d, 1999e).
Tanaman Penghasil Atraktan Nabati Di alam, metil eugenol terdapat pada beberapa jenis tumbuhan, antara lain daun melaleuca (M. bracteata) dan selasih (Ocimum spp.) (Kardinan dan Iskandar 2000, 2001; Kardinan 2006). Selasih dan melaleuca dapat menghasilkan minyak atsiri yang mengandung metil eugenol melalui proses penyulingan. Minyak atsiri dari daun melaleuca mengandung metil eugenol sekitar 80%, sedangkan dari selasih 63% (Kardinan 2005b). Selasih memiliki beberapa spesies, bahkan dalam satu spesies terdapat beberapa bentuk sehingga dikenal sebagai tanaman yang bersifat polimorfis. Terdapat dua kelompok tanaman selasih dengan kandungan utama yang berbeda, yaitu kelompok penghasil eugenol (O. basilicum, O. gratisimum dan lainnya) dan kelompok penghasil metil eugenol (O. tenuiflorum, O. sanctum, O. minimum, dan lainnya). Hasil penelitian di lapangan menunjukkan, selasih sangat efektif sebagai perangkap hama lalat buah (Kardinan 1999g; Kardinan et al. 1999a; Kardinan dan Iskandar 2006). Melaleuca merupakan genus dari famili Myrtaceae dan biasanya tumbuh di sepanjang sungai, sekitar rawa atau danau. Semakin tinggi tempat tumbuh, semakin baik pertumbuhannya. Rendemen minyak dari daunnya sekitar 1,3% dan minyaknya memiliki daya tangkap yang lebih baik (491 ekor/perangkap/minggu) dibandingkan dengan atraktan sintetis yang beredar secara komersial (315 ekor/perangkap/ minggu) (Djatmiadi 2004). Pengujian di
Aplikasi Atraktan Nabati Aplikasi atraktan nabati cukup sederhana, yaitu dengan menempatkannya dalam perangkap. Jumlah perangkap berkisar antara 15-20 buah/ha yang dipasang tersebar merata di area kebun. Atraktan dapat dicampur dengan insektisida nabati lainnya, seperti mimba, sehingga dalam pemakaiannya tidak diperlukan perangkap karena lalat yang telah menempel pada atraktan akan teracuni dan mati oleh mimba (atractant bait). Selain itu, penggunaannya dapat dicampur dengan perekat sehingga lalat yang mendekat akan menempel dan mati (sticky trap). Hasil penelitian terhadap metil eugenol dari tanaman melaleuca dan selasih pada belimbing, jambu biji, jambu air, nangka kuning, mangga, cabai merah, tomat, dan lainnya menunjukkan bahwa atraktan nabati ini efektif memerangkap hama lalat buah (Kardinan 2002, 2007a). Daya tangkap atraktan berkisar antara puluhan hingga ribuan lalat tiap perangkap per minggu, bergantung pada musim, lokasi, dan jenis tanaman. Dari hasil pengujian, atraktan dari M. bracteata pada awalnya memiliki daya tangkap yang lebih baik daripada atraktan dari selasih, namun atraktan selasih lebih tahan dan stabil dalam menjebak lalat buah dalam perangkap sehingga total tangkapan tiap bulan tidak berbeda nyata. Kedua atraktan nabati ini mempunyai efektivitas yang tidak berbeda nyata dengan atraktan sejenis yang beredar di pasaran (Kardinan dan Iskandar 2000).
271
Penggunaan pestisida nabati sebagai kearifan lokal ...
Penggunaan atraktan nabati dapat menekan kerusakan tanaman budi daya hingga 30%, dan diharapkan akan terus meningkat jika penggunaannya dilakukan secara terus-menerus dan serempak di beberapa daerah. Dengan demikian, populasi lalat buah di alam dapat ditekan sampai pada tingkat yang tidak merugikan (Kardinan 2002). Penurunan tingkat kerusakan tidak langsung terjadi pada panen pertama setelah dipasang perangkap, namun baru terlihat pada panen kedua atau ketiga setelah pemasangan perangkap dan penurunannya pun secara perlahan dan bertahap. Hasil survei di Jagakarsa, Jakarta Selatan, menunjukkan pendapatan petani belimbing meningkat Rp13.600/pohon/ musim. Keuntungan setiap keluarga bergantung pada jumlah pohon yang dimiliki. Apabila satu keluarga di Jagakarsa ratarata memiliki lima pohon belimbing maka peningkatan pendapatan setiap keluarga mencapai Rp68.500/musim. Belimbing dapat dipanen tiga kali dalam setahun sehingga peningkatan pendapatan setiap keluarga (bagi yang memiliki lima pohon belimbing) mencapai Rp204.000/tahun. Kenyataannya, satu keluarga di Jagakarsa memiliki lebih dari lima pohon, bahkan puluhan pohon belimbing (Zahara et al. 1998).
TEKNOLOGI PENGEDALIAN LALAT BUAH Untuk menekan kerugian akibat lalat buah dapat dilakukan beberapa pendekatan pengendalian, sesuai dengan tujuan akhir dari tindakan pengendalian itu sendiri. Di beberapa negara yang telah melaksanakan tindakan pengendalian terdapat dua tujuan akhir pengendalian, yaitu memusnahkan
populasi lalat buah atau menjaganya agar populasinya berada di bawah ambang batas yang tidak merugikan.
Pemusnahan Populasi (Eradikasi) Pengendalian lalat buah dengan tujuan memusnahkan populasi memerlukan biaya besar. Selain itu diperlukan persyaratan yang spesifik, antara lain lokasi pengendalian harus terisolasi, seperti dipisahkan oleh lautan (pulau) atau ada suatu barrier yang mencegah re-infestasi atau migrasi lalat buah dari daerah lain ke daerah yang sudah dikendalikan. Melihat letak geografis Indonesia, sulit untuk menerapkan cara ini, kecuali pada kawasan pulau kecil yang terisolasi. Pemusnahan populasi memerlukan dua tahapan pendekatan. Pertama, menurunkan populasi lalat buah jantan di alam untuk mengurangi pesaing jantan mandul yang akan dilepas. Kedua, jantan mandul yang dihasilkan dengan radiasi sinar gama cobalt-60 dipelihara di laboratorium (Nasroh 2004). Oleh karena itu, diperlukan proses adaptasi sebelum dilepas ke alam, khususnya dalam mendapatkan lalat betina untuk proses perkawinan. Sering kali jantan mandul yang dilepas kalah bersaing dengan jantan yang sudah ada di alam. Dengan aplikasi atraktan nabati berbahan aktif metil eugenol yang lebih spesifik memerangkap lalat buah jantan, khususnya B. dorsalis, penurunan populasi jantan yang ada di alam akan efektif (Nasroh et al. 2004). Hal ini sesuai dengan pendapat Decker dan Messing (2007) yang menyatakan bahwa hingga saat ini hanya atraktan berbahan aktif metil eugenol yang mampu memerangkap dan sekaligus mematikan lalat buah jenis
272
Agus Kardinan
Bactrocera spp. Di Australia Selatan, sekitar lima juta pupa yang sudah dimandulkan per minggu dikirim ke lokasi untuk dilepas di lapangan (Department of Agriculture and Food, State of Western Australia 2006).
Menjaga Populasi pada Taraf Tidak Merugikan Untuk mencapai tujuan ini, lokasi pengendalian tidak perlu terisolasi, namun cara pengendaliannya harus serempak dan terintegrasi pada hamparan yang luas (wide area control), serta terus-menerus secara berkala. Apabila dilakukan secara sendiri-sendiri (parsial), lokasi yang tidak dikendalikan akan menjadi sumber infeksi bagi yang dikendalikan sehingga tindakan pengendalian menjadi kurang efektif. Teknik pengendalian dapat menggunakan semua tindakan, seperti atraktan, atractant bait, protein bait, sticky trap, musuh alami, sanitasi lingkungan, pembungkusan buah, pengasapan, dan tindakan lain yang dianggap dapat menurunkan populasi.
Pencegahan melalui Karantina Walaupun Indonesia berhasil mengendalikan lalat buah, apabila jenis atau spesies lalat buah baru masuk ke Indonesia melalui komoditas impor maka usaha pengendalian akan makin sulit. Tindakan pencegahan melalui karantina akan lebih mudah daripada pemberantasan. Untuk itu, koleksi spesimen lalat buah yang telah ada di Indonesia serta pengetahuan jenis dan identifikasi lalat buah perlu dikuasi oleh petugas karantina. Sedikitnya ter-
dapat 18 jenis lalat buah di Indonesia (Siwi et al. 2006).
Sosialisasi dan Pemasyarakatan Teknologi Teknologi atraktan telah dikaji di beberapa sentra produksi hortikultura, khususnya buah-buahan, dengan melibatkan petani atau stakeholder lainnya bekerja sama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), seperti pengkajian di Kabupaten Sumedang dan Indramayu pada komoditas mangga. Di Sumedang, para petani melalui kelompok tani berhasil menekan kerusakan mangga dan komoditas buah-buahan lainnya berkisar antara 1030%. Petani berhasil pula memproses atraktan dengan alat penyuling sederhana yang mereka buat sendiri. Walaupun hasil minyak atsirinya masih berbentuk emulsi yang keruh (campuran minyak dan air), namun masih efektif memerangkap lalat buah. Kelompok tani ini sering dikunjungi kelompok tani lain untuk studi banding cara penanggulangan lalat buah, bahkan sempat ditayangkan di televisi yang diinisiasi oleh Kementerian Pertanian. Diseminasi hasil penelitian tidak hanya menyebarkan teknologi, tetapi juga bahan tanaman (melaleuca dan selasih), alat pengolah, maupun teknologi pengolahannya.
ARAH DAN STRATEGI PENGEMBANGAN Arah dan Sasaran 1. Pengurangan penggunaan pestisida sintetis sampai pada tingkat terendah sehingga tidak menimbulkan eksternalitas negatif terhadap lingkungan.
273
Penggunaan pestisida nabati sebagai kearifan lokal ...
2. Pengembangan pestisida nabati secara in situ untuk memenuhi kebutuhan pestisida bagi petani secara berkelanjutan (pesticide self-sufficiency). 3. Peningkatan produksi pertanian, khususnya pangan yang bebas residu pestisida sehingga aman dan sehat bagi konsumen (toyiban food).
Strategi Pengembangan ke Depan 1. Penyiapan bahan baku pestisida nabati sehingga tidak bergantung pada alam, tetapi harus sudah mulai dibudidayakan dan dimasyarakatkan agar petani mau menanam bahan baku pestisida. 2. Teknik pengolahan yang mudah dan murah agar pestisida nabati dapat disediakan sendiri oleh petani guna memenuhi kebutuhannya. 3. Peningkatan pemahaman masyarakat terhadap pestisida nabati agar tidak bergantung pada pestisida sintetis dan sadar bahwa masih ada alternatif pengendalian, yaitu pemanfaatan pestisida nabati. 4. Distribusi dan pemasaran agar pestisida nabati terdistribusi ke daerah sehingga petani mudah memperolehnya pada saat memerlukan. 5. Penelitian dan pengembangan untuk mengatasi kelemahan pestisida nabati selain memperoleh temuan baru. 6. Pengembangan indikator keberlanjutan, antara lain dapat dilihat dari: (a) keuntungan petani; (b) penurunan pasokan pestisida kimia sintetis; (c) rendahnya residu pestisida kimia pada tanaman, tanah, dan air; serta (d) penerimaan masyarakat terhadap pestisida nabati.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan 1. Pestisida nabati merupakan kearifan lokal di Indonesia yang sangat potensial untuk dimanfaatkan dalam pengendalian OPT guna mendukung sistem pertanian organik. 2. Pemanfaatan pestisida nabati oleh petani dengan menggunakan alat sederhana dan bahan tanaman yang ada di sekitar petani dapat mengendalikan hama utama tanaman hortikultura, khususnya lalat buah. 3. Beberapa jenis pestisida nabati, seperti mimba dan atraktan lalat buah sudah siap dikomersialkan dengan harga yang kompetitif dan sudah digunakan oleh petani sehingga pestisida nabati dapat menjadi komoditas ekspor nonmigas sebagai penghasil devisa negara.
Implikasi Kebijakan 1. Perlunya sosialisasi pestisida nabati untuk mengurangi ketergantungan pada pestisida sintetis. 2. Perlunya aturan khusus mengenai kebijakan perizinan dan peredaran pestisida nabati di Indonesia (tidak disamakan dengan pestisida sintetis). 3. Pelatihan terhadap petugas dan petani mengenai pengenalan dan budi daya tanaman penghasil pestisida nabati serta cara membuatnya sehingga bahan baku tersedia dan petani dapat membuat sendiri pestisida untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 4. Perlunya dukungan pemerintah dalam penelitian dan pengembangan pesti-
274
Agus Kardinan
sida nabati, khususnya dalam perizinan dan pemasyarakatan/sosialisasi pestisida nabati ke masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Ardiwinata, A.N. dan M. Djazuli. 1992. Dampak penggunaan insektisida organoklorin di masa silam di Jawa Barat. hlm. 313-317. Prosiding Simposium Penerapan PHT. Balai Penelitian Tanaman Pangan, Sukamandi. Balai Karantina Pertanian Jakarta. 1994. Hasil pemantauan daerah sebar hama lalat buah (Diptera: Tephritidae) berikut tanaman inangnya. Makalah Seminar Nasional Hasil Pemantauan Hama Lalat Buah, Jakarta, 10-11 Februari 1994. 30 hlm. Broughton, S., F.D. Lima, and B. Woods. 2004. Control of Fruit Fly in Backyards. Dept. of Agric. State of Western Australia Publication, London. 368 pp. Brown, A.W.A. 1958. Insecticides Resistance in Arthopods. WHO, Geneva. 240 pp. Carson, R. 1962. Silent Spring. Houghton Mifflin Harcourt, Boston. 378 pp. Damardjati, D.S. 2006. Kebijakan Departemen Pertanian dalam Pengembangan Produk Pangan Organik. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Jakarta. Daryanto. 2003. Petani rugi Rp250 milyar akibat OPT. Bisnis Indonesia XVIII (5869), 12 Maret 2003. Decker, L. and R. Messing. 2007. Introduction to managing fruit flies in Hawaii. Dept. of Entomology, University of Hawaii. http://www. extento.hawaii. edu/kbase/reports/fruit.pest.htm. Department of Agriculture and Food, State of Western Australia. 2006. Fly, be free
and reduce your population. http:// www.agric.wa.gov.av.pls/portal30/ docs/folder.IKMP/EDCFRUIT. Ditjentanhorti (Direktotar Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura). 1997. Batas Maksimum Residu Pestisida pada Hasil Pertanian. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman, Ditjentanhorti, Jakarta. 117 hlm. Djatmiadi, D. 2004. Perkembangan serangan hama lalat buah pada tanaman buah-buahan di Wilayah Indonesia Bagian Barat. 30 hlm.Prosiding Lokakarya Masalah Kritis Pengendalian Layu Pisang, Nematoda Sista Kuning pada Kentang dan Lalat Buah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Jakarta. Drew, R.A.I., G.H.S. Hooper, and M.A. Bateman. 1978. Economic Fruit Flies of the South Pacific Region. Dept. of Primary Industries, Queensland. 133 pp. Grainge, M. and S. Ahmed. 1987. Handbook of Plants with Pest-Control Properties. A Wiley-Interscience Publ., New York. 470 pp. Gunandini, D.J. 2006. Bioekologi dan pengendalian nyamuk sebagai vektor penyakit. hlm. 43-48. Prosiding Seminar Nasional Pestisida Nabati III. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor. Harnoto, Mujiono, dan A. Naito. 1983. Pengaruh insektisida pada konsentrasi sublethal terhadap keperidian Spodoptera litura Fabricus. hlm. 2428. Prosiding Kongres Entomologi II. Jessica, S. 2007. Tougher peel repells fruit flies. http://www.encyclopedia.com/ doc/IGI.13418916.htm. Kardinan, A. dan E.A. Wikardi. 1994. Pengaruh abu limbah serai dapur dan tepung bawang putih terhadap hama
Penggunaan pestisida nabati sebagai kearifan lokal ...
gudang Callosobruchus analis. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat 9(1): 3-7. Kardinan, A., M. Iskandar, dan E.A. Wikardi. 1994. Uji toksisitas ekstrak daun Aglaia odoratalour. Prosiding Simposium Penelitian Bahan Obat Alami VIII, Bogor 24-25 November 1994. Kardinan, A. 1995. Effect of pyrethrum, Pachyrhyzus and Vitex on the adult of Callosobruchus analis. J. Spice Med. Crops 3(3): 37-41. Kardinan, A. dan E.A. Wikardi. 1995a. Uji hayati produksi metabolit sekunder tumbuhan sebagai insektisida nabati terhadap serangga gudang. Proc. Seminar on Chemistry of Natural Products of Indonesian Plants. Unesco - Universitas Indonesia. Kardinan, A. and E.A. Wikardi. 1995b. The prospect of botanical insecticides on stored food insects management. Proc. the Symposium on Pest Management for Stored Food. SEAMEO-BIOTROP, Bogor. Kardinan, A. 1996a. Pemanfaatan limbah buah srikaya (Annona squamosa) sebagai bahan insektisida botani. hlm. 54-57. Prosiding Seminar dan Pameran Ilmiah. Universitas Pakuan, Bogor. Kardinan, A. 1996b. Penampilan beberapa klon piretrum terhadap beberapa aspek biologi serangga Callosobruchus analis. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 3(2): 78-84. Kardinan, A. 1997a. Potensi kunyit, kecubung, gadung dan senggugu sebagai bahan rodentisida nabati. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 3(1): 31-36. Kardinan, A. 1997b. Toksisitas ekstrak piretrum (Chrysanthemum cinerariaefolium) pada serangga Tribolium castaneum. hlm. 295-301. Prosiding
275
Seminar Nasional PEI XXI. PEI (Perhimpunan Entomologi Indonesia), Jakarta. Kardinan, A. 1997c. Pengaruh daun salam (Eugenia polyantha) terhadap beberapa aspek biologi serangga Carpophilus sp. hlm. 331-338. Prosiding Seminar Nasional PEI XXI. Perhimpunan Entomologi Indonesia, Jakarta. Kardinan, A. 1997d. Preliminary study of the pyrethrum flower toxicity (Chrysanthemum cinerariaefolium). Jurnal Fakultas Pertanian UMY 5(1): 25-32. Kardinan, A. 1997e. Pengaruh beberapa jenis ektrak tanaman sebagai moluskisida nabati terhadap keong mas (Pomacea canaliculata). Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 3(2): 8693. Kardinan, A. dan E.A. Wikardi. 1997a. Pengaruh ekstrak akar tuba terhadap imago dan telur Callosobruchus analis. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 3(1): 13-19. Kardinan, A. dan E.A. Wikardi. 1997b. Uji hayati ekstrak biji bengkuang (Pachyrhyzus erosus) pada serangga Sitophilus sp. hlm. 493-497. Prosiding Seminar Nasional PEI XXI. Perhimpunan Entomologi Indonesia, Jakarta. Kardinan, A. 1998a. Prospek gadung (Dioscorea composita) sebagai bahan rodentisida nabati yang bekerja sebagai antifertilitas. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 4(3): 3-4. Kardinan, A. 1998b. Prospek penggunaan pestisida nabati di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 17(1): 1-9. Kardinan, A. 1998c. Pengaruh cara aplikasi minyak suling Melaleuca bracteata dan metil eugenol terhadap daya pikat
276
lalat buah Bactrocera dorsalis. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 4(1): 38-46. Kardinan, A. dan M. Iskandar. 1998. Pengaruh ekstrak batang brotowali terhadap aktivitas biologi serangga Tribolium castaneum. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 4(2): 17-22. Kardinan, A. 1999a. Prospek minyak daun Melaleuca bracteata sebagai pengendali populasi hama lalat buah Bactrocera dorsalis di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 18(1): 10-18. Kardinan, A. 1999b. Mimba (Azadirachta indica) pestisida nabati yang sangat menjanjikan. Perkembangan Teknologi Penelitian Tanaman Rempah dan Obat 11(2): 5-13 Kardinan, A. 1999c. Pengaruh azadirachtin A terhadap serangga Dolleschalia polibete. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 5(1): 8-13. Kardinan, A. 1999d. Pengaruh beberapa konsentrasi metil eugenol dari daun Melaleuca bracteata sebagai atraktan hama lalat buah. 7 hlm. Prosiding Seminar Kimia Bahan Alam. Universitas Indonesia-Unesco. Kardinan, A. 1999e. Pengaruh daya pikat ekstrak sederhana daun Melaleuca terhadap lalat buah. Prosiding Seminar Nasional Entomologi, Perhimpunan Entomologi Indonesia 1: 259265. Kardinan, A. 1999f. Pengaruh CNSL terhadap imago dan larva Sitophilus sp. Prosiding Seminar Nasional Entomologi, Perhimpunan Entomologi Indonesia 1: 217-223. Kardinan, A. 1999g. Daya tangkap dan daya tahan metil eugenol dari daun selasih sebagai atraktan nabati hama lalat buah. hlm. 29-34. Prosiding Forum
Agus Kardinan
Komunikasi Ilmiah Pestisida Nabati. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Kardinan, A. dan M. Iskandar. 1999a. Potensi Tephrosia vogelii sebagai insektisida nabati. Prosiding Seminar Nasional Entomologi, Perhimpunan Entomologi Indonesia 1: 207-217. Kardinan, A. dan M. Iskandar. 1999b. Pengaruh ekstrak daun dan biji mimba terhadap pertumbuhan serangga. hlm. 255-260. Prosiding Seminar Nasional Kimia Bahan Alam. Universitas Indonesia-Unesco. Kardinan, A. dan M. Iskandar. 1999c. Uji pendahuluan potensi akar wangi (Vetivera zizaniodes). Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Pestisida Nabati, Badan Litbang Pertanian. hlm.13-17 Kardinan, A. dan M. Iskandar. 1999d. Sinergisme beberapa insektisida nabati piretrum, serai wangi, nilam dan jeringau. hlm. 58-63. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Pestisida Nabati. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Kardinan, A., M. Iskandar, S. Rusli, dan Ma’mun. 1999a. Potensi daun selasih sebagai atraktan nabati untuk pengendali hama lalat buah Bactrocera dorsalis. Makalah pada Forum Komunikasi Ilmiah Pemanfaatan Pestisida Nabati. Bogor, 9-10 November 1999. 10 hlm. Kardinan, A., J.T. Juhono, dan E.A. Wikardi. 1999b. Kajian aplikasi insektisida nabati piretrum pada pertanaman kubis petani. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat 10(1): 9-14. Kardinan, A. 2000a. Pestisida Nabati, Ramuan dan Aplikasi. Cetakan ke-2. Penebar Swadaya, Jakarta. 80 hlm. Kardinan, A. 2000b. Penelitian pendahuluan pengaruh daun manggis sebagai rodentisida nabati pada mencit Mus musculus. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 4(1): 7-12.
Penggunaan pestisida nabati sebagai kearifan lokal ...
Kardinan, A. 2000c. Piretrum, bahan insektisida nabati potensial. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 19(4): 122-130. Kardinan, A. dan M. Iskandar. 2000. Kemampuan atraktan nabati selasih dan melaleuca dalam memerangkap lalat buah pada jambu batu, belimbing dan cabai merah. Jurnal Penelitian Pertanian UISU 19(2): 141-147. Kardinan, A. and M. Iskandar. 2001. Ocimum sanctum (Labiatae) and Melaleuca bracteata (Myrtaceae) the most promising botanical attractants for fruit flies. p. 305-311. Proc. International Seminar on Natural Products Chemistry and Utilization of Natural Resources. Unesco-University of Indonesia. Kardinan, A. and Jasni. 2001. Effect of some botanical insecticides against dry wood termites Cryptotermes cynocephalus. p. 238-243. Proc. International Seminar on Natural Products Chemistry and Utilization of Natural Resources. Unesco-University of Indonesia. Kardinan, A. 2002. Beberapa jenis tanaman penghasil atraktan nabati pengendali hama lalat buah. Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat 16 (1): 17-25. Kardinan, A. 2003. Tanaman Pengendali Hama Lalat Buah. Agromedia Pustaka, Jakarta. 80 hlm. Kardinan, A. 2004. Pengaruh minyak biji mimba (Azadirachta indica) sebagai daya penolak makan dan insektisida pada serangga Dolleschalia pollibete. Jurnal Ilmiah Pertanian Gakuryoku 10(2): 153-156. Kardinan, A. 2005a. Daya proteksi zodia terhadap nyamuk Aedes aegypti. Jurnal Ilmiah Pertanian Gakuryoku 11(1): 49-53.
277
Kardinan, A. 2005b. Penggunaan atraktan nabati untuk mengendalikan hama lalat buah dalam sistem pertanian organik. hlm.145-155. Prosiding Workshop Masyarakat Pertanian Organik Indonesia. Kardinan, A. 2006. Bioekologi dan strategi pengendalian lalat buah. hlm. 49-59. Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Pestisida Nabati III. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Kardinan, A. dan M. Iskandar. 2006. Pengaruh beberapa jenis sinergis minyak selasih terhadap daya tangkap pada lalat buah. hlm.121-125. Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Pestisida Nabati III. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Kardinan, A. 2007a. Pengaruh campuran beberapa jenis minyak nabati terhadap daya tangkap lalat buah. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat 18(1): 15-21. Kardinan, A. 2007b. Potensi selasih sebagai repellent terhadap nyamuk Aedes aegypti. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 13(2): 39-42 Metcalf, R.L. and W.P. Flint. 1951. Destructive and Useful Insects: Their habits and control. Mc. Graw-Hill Book Co., Inc. p. 760-762. Metcalf, R.L. and W.H. Luckmann. 1982. Introduction to Insect Pest Management. 2 nd Ed. A Wiley-Interscience Publ., New York. p. 279-314. Mochida, O. 1986. A Review of BPH Resugence Induced by Application of Insecticide. IRRI, the Philippines. Nasroh, A. 2004. Teknik iradiasi untuk pengendalian hama lalat buah pascapanen melalui perlakuan keselamatan tumbuhan. 7 hlm. Prosiding Lokakarya Masalah Kritis Pengendalian Layu
278
Pisang, Nematoda Sista Kuning pada Kentang dan Lalat Buah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Jakarta. Nasroh, A., Herdrajat, dan D. Djatmiadi. 2004. Aplikasi teknik serangga mandul untuk pengendalian lalat buah di Indonesia. Lokakarya Masalah Kritis Pengendalian Layu Pisang, Nematode Sista Kuning pada Kentang dan Lalat Buah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Jakarta. 9 hlm. Nishida, R. and H.Fukami. 1988. Cis-3,4dimethoxy cinnamyl alcohol from the rectal glands of male oriental fruit fly Dacus dorsalis. Chem. Express 3: 207210. Nishida, R. 1996. Pheromone communication in the oriental fruit moth and oriental fruit fly. p.102-113. Proc. International Symposium on Insect Pest Control with Pheromone, Suwon, Korea, 18-19 October 1996. Korean Society of Applied Entomology. Paimin, F.R. 2000. Lalat buah penyebab Escherichia coli. Trubus 31(365): 75. Priyono, D. 2004. Evaluasi dan pengembangan peramalan dan pengendalian lalat buah pada tanaman mangga skala luas di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Lokakarya Masalah Kritis Pengendalian Layu Pisang, Nematoda Sista Kuning pada Kentang dan Lalat Buah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Jakarta. 11 hlm. Putra, N.S. 1997. Hama Lalat Buah dan Pengendaliannya. Kanisius, Yogyakarta. 44 hlm. Sarwono. 2003. PHT lalat buah pada mangga. Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian. hlm. 142-149. Siwi, S.S., P. Hidayat, dan Suputa. 2006. Lalat Buah Penting di Indonesia.
Agus Kardinan
Cetakan ke-2. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. 65 hlm. Sodiq, M. 1993. Aspek Biologi dan Sebaran Populasi Lalat Buah pada Tanaman Mangga dalam Kaitan dengan Pengembangan Model Pengendalian Hama Terpadu. Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga. Sumantri, B. 1988. Hari Depan Kita Bersama. Terjemahan dari Our Common Future. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 516 hlm. Sutrisno. 1987. Resistensi Wereng Coklat, N. lugens (Stal.) terhadap Insektisida di Indonesia. Edisi Khusus No. 1 Wereng Coklat. Balai Penelitian Tanaman Pangan, Bogor. hlm. 55-68. Untung, K. 2007. Kebijakan Perlindungan Tanaman. Gadjah Mada Univ. Press, Yogyakarta. 256 hlm. Vargas, R. 2007. Local research, but everyone watching. Agriculture Research Service – Hawaii Area Wide Fruit Fly Control Program. 4 pp. http:// www. findarticles.com/p/articles/ mi.m3741/is.2.52/ai.113457520. World Commission on Environment and Development. 1987. Our Common Future, Report of the World Commission on Environment and Development. Development and International Cooperation: Environment. Zahara, H., M. Kasim, dan R. Indrasti. 1998. Pengkajian Teknologi untuk Meningkatkan Produktivitas dan Kualitas Belimbing Manis. Instalasi Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Jakarta. 15 hlm.