Penggunaan Obat Anti Amuba Pengalaman Di Bangsal Anak Rumah Sakit Pirngadi Medan Chairuddin P. Lubis Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Pendahuluan Amubiasis tersebar hampir di seluruh bagian di dunia, diperkirankan 10% dari penduduk di dunia terkena infeksi dengan amuba, walaupun prevalensi dan keganasannya berbeda dari satu tempat dengan tempat lainnya dan meningkat pada daerah tertentu. Di Jakarta penyakit ini dijumpai secara endemik. Pada pemeriksaan tinja penderita yang tidak menceret di RS Cipto Mangunkusumo dijumpai berkisar antara 9,3% - 13,3%[1] Cross pada penelitian yang diadakan di 7 kampung di Kalimantan Selatan, pada pemeriksaan tinja menemukan 12% dari tinja tersebut positif terhadap E. histolytica. Pada anak di Medan penyakit ini dijumpai secara endemik. Pada pengunjung Poli Anak Sakit RS Pirngadi Medan (RSUPP) diperkirakan 500 kasus pertahunnya atau lebih kurang 3,2%[4]. Pada tahun 1976 dan 1977 kejadian disentri amuba adalah 0,745% dan 0,587% dari semua pengunjung atau 6,25% dan 5,58% dari penderita muntah menceret yang datang berobat di PoIiklinik Anak RS Pirngadi Medan [13]. Pada akhir abad yang lalu disentri amuba dan abses hati oleh amuba merupakan penyakit yang fatal. Pada saat itu Ipecacuanha digunakan untuk pengobatan. Pada tahun 1912 Roger memperkenalkan Emetine hydrochloride yang pada saat itu menjadi obat yang paling efektif, walaupun pada saat sekarang obat itu diketahui mempunyai toksisitas pada dosis terapi dan sering dijumpai relaps. Pada tahun 1915 Du Menz memperkenalkan persenyawaan emetine oral yang ternyata memberikan angka penyembuhan yang tinggi pada pengobatan amubiasis usus. Sekitar tahun 1920-1940 perkembangan obat anti amuba usus semakin banyak dan pada saat itu sering digunakan preparat Quinline dan Arsen. Pada tahun 1945 adalah era Antibiotika untuk pengobatan amubiasis dan pada tahun 1948 Conan melihat Chloroquine mempunyai efek pada penderita abses hati oleh amuba, tetapi efektifitasnya lebih rendah dari Emetine. Brossi dan kawan-kawan pada tahun 1959 memperkenalkan Dehydroemetine yang pada saat tersebut diterima dengan baik oleh banyak orang, tetapi toksisitasnya masih diragukan apakah lebih rendah dari emetine sendiri[2]. Baru pada tahun 1966, Metronidazole suatu turunan dari Nitro-imidazlole dilaporkan sangat baik untuk pengobatan amubiasis[l5]. Pada saat sekarang ini pilihan terhadap obat yang digunakan untuk penderita amubiasis haruslah mempunyai sifat: bekerja sebagai tissue amoebicide, setelah diabsorbsi langsung berdifusi ke dalam mukosa usus dan segera membunuh amuba, bekerja sebagai lumen amoebicide dan sangat efektif untuk membunuh kista dan trofozoit. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RS Pirngadi Medan, percobaan dengan obat anti-amuba telah dimulai oleh Jo dan kawan-kawan sejak tahun 1967. Dimulai
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
1
dengan penggunaan Mexaform dan Entobex (Jp 1969), kemudian oral Dehydro-emetine (Jo 1970), Flagyl dengan berbagai dosis (Jo 1971, 1972), Tinidazole (Lubis 1978), Tinidazole dan Omidazole (Panggabean 1979, Sitepu 1980) dan terakhir Metronidazole dan Secnidazole (Sinuhaji 1984). Tujuan dari tulisan ini adalah untuk memberikan gambaran tentang pengalaman penggunaan obat anti-amuba pada penderita amubiasis usus pada anak yang berobat di RS Pirngadi, Medan. Penggunaan obat anti-amuba Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RS Pirngadi Medan sejak tahun 1967 sampai dengan sekarang ini oleh beberapa penulis telah dilakukan 10 kali penelitian mengenai khasiat obat anti-amuba pada anak penderita disentri amuba. (Tabel-1 ). Tabel-1 Jenis obat anti-amuba dan peneliti sejak 1976-1991 No. Tahun Peneliti Anti Amuba Mexaform dan Entobex Jo dkk 1969 1. Dehydroemetine Jo dkk 1970 2. Metronidazole Jo dkk 1971 3. Metronidazole Jo dkk 1971 4. Metronidazole Jo dkk 1972 5. Metronidazole Jo dkk 1976 6. Tinidazole Lubis dkk 1978 7. Tinidazole dan ornidazole Panggabean dkk 1979 8. Tinidazole dan ornidazole Sitepu dkk 1980 9. Metronidazole dan secnidazole Sinuhaji dkk 1984 10. Uraian Mengenai Penggunaan obat Anti Amuba 1. Mexaform[5] Pada 23 anak penderita amubiasis usus usia dibawah 6 tahun telah dilakukan pemberian Mexaform dengan dosis 3 tablet perhari untuk anak usia 3-6 tahun sedang untuk anak usia 1-3 tahun dengan dosis separohnya. 10 anak mendapat pengobatan selama 7 hari berturut sedang 13 anak selama 2 minggu. Pada pemeriksaan hari ke 5, didapati hasil 12 (52,15%) penderita telah negatip terhadap E. histolytica, tetapi 8 diantaranya kembali positip pada pemeriksaan minggu berikutnya. 2. Entobex[5] Pada 18 anak penderita amubiasis usus diberikan pengobatan dengan Entobex dengan dosis 3 tablet perhari selama 7-15 hari. Pada pemeriksaan hari ke 5, didapati hasil 11 (61,1 %) penderita telah negatip terhadap E. histolytica, tetapi 6 diantaranya kembali positip pada pemeriksaan minggu berikutnya. 3. Oral Dehydroemetine[6] Pada 68 penderita amubiasis usus diberikan pengobatan dengan Dehydroemetine 1mg/kg BB/hari selama 5 hari. Pada hari ke 5 dilakukan pemeriksaan tinja ulangan. 34 dari penderita ini pengobatan dilanjutkan lagi selama 5 hari dengan dosis yang sama,
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
2
sedang 10 penderita lainnya diberikan pengobatan lanjutan selama 10 hari dengan dosis 2mg/kg BB/hari. Pada 11 penderita yang tinjanya masih positip terhadap E. histolytica pada pemeriksaan hari ke 5, diberikan pengobatan lanjutan dengan dosis 2mg /kg BB/hari selama lima hari lagi. Dari 68 penderita yang dilakukan pengobatan sejak awal selama 5 hari, pada pemeriksaan hari ke 5 hanya 33 (47,1 %) yang tinjanya negatif terhadap E. histolytica. Pada 34 dari penderita yang pengobatan dilanjutkan selama 5 hari lagi, dijumpai 74% tinjanya telah negatif terhadap E.histolytica pada pemeriksaan hari ke 10, sedang 10 penderita yang mendapat pengobatan dengan dosis 2mg/kg BB/hari pada pemeriksaan tinja ulangan dijumpai hanya 60% yang tinjanya telah menjadi negatip. Pada 11 penderita yang masih positip terhadap E. histolytica pada hari ke 5 dan pengobatan dilanjutkan dengan dosis 2mg/kg BB/hari selama 5 hari lagi, dijumpai 7 (64%) dari tinjanya telah negatip terhadap E. histolytica pada pemeriksaan hari ke 10. 4. Metronidazole[7.8.9.10.11] Pengobatan dengan Metronidazole telah dilakukan dengan berbagai dosis dan dengan lama pengobatan serta follow up yang berbeda. Pada 56 anak dengan disentri amuba telah diberikan pengobatan dosis tunggal 50 mg/kg BB/hari selama 3 hari berturut di jumpai hasil sebagai berikut (Tabel-2) Evaluasi hari Ke 2 Ke 3 Ke 4 Ke 7 Ke 14
Jumlah anak 45 47 43 32 17
Penyembuhan parasitologik 73% 83% 91% 89% 100%
Pada pengobatan dengan dosis 25 mg/kg BB/hari dosis tunggal selama 3 hari berturut dijumpai hasil sebagai berikut (Tabel-3) Evaluasi hari Ke 2 Ke 3 Ke 4 Ke 7 Ke 14
Jumlah Anak 41 40 40 39 23
Penyembuhan Parasitologik 85% 95% 88% 87% 87%
Pada pengobatan dengan dosis 25 mg/kg BB/hari dosis tunggal selama 3 hari berturut dengan follow up lebih dari 2 minggu dijumpai hasil sebagai berikut (Tabel-4)
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
3
Evaluasi minggu Ke 3 Ke 4
Jumlah anak 55 55
Penyembuhan parasitologik 88% 80%
Pada pengobatan dengan dosis 25 mg/kg BB/hari, dosis tunggal dijumpai hasil sebagai berikut (Tabel-5) Evaluasi minggu Ke 1 Ke 2 Ke 3 Ke 4
Jumlah anak 162 83 47 14
Penyembuhan parasitologik 96,9% 97,5% 97,8% 85,7%
5. Tinidazole[l2] Pada 33 anak dengan amubiasis usus telah diberikan pengobatan dengan Tinidazole dengan dosis 50 mg/kg BB/hari dosis tunggal selama 3 hari berturut. Evaluasi pada hari ke 2 dijumpai penyembuhan parasitologik 66,6% sedang pada evaluasi hari ke 4 (satu setelah selesai makan obat), dijumpai penyembuhan parasitologik 93,9%. 6. Tinidazole versus Ornidazole[l4] Pada 40 anak dengan disentri amuba telah dilakukan uji banding dengan penggunaan Tinidazole dan Ornidazole dengan dosis 50 mg/kg BB/hari dosis tunggal selama 3 hari berturut-turut diberikan pada 20 anak sedang 20 anak lagi mendapat Ornidazole dengan cara yang sama. Hasil pemberian kedua obat ini terlihat pada Tabel-6. (Tabel-6) Evaluasi Hari Hari ke 2 Hari ke 3 Hari ke 7 Minggu I Minggu II Minggu III
Jumlah Anak Tinidazole Ornidazole 15 14 17 16 13 12 7 10 6 5 1 5
Penyembuhan Parasitologik Tinidazole Ornidazole 66,6% 85,7% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%
7. Tinidazole versus Ornidazole[16] Pada 50 anak dengan disentri amuba telah dilakukan uji banding dengan penggunaan Tinidazole dan Omidazole diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari dosis tunggal pemberian 1 hari saja dilakukan pada 24 anak sedang 26 anak dengan dosis dan cara yang sama mendapat Omidazole. Hasil pengobatan ini terlihat pada Tabel-7.
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
4
(Tabel-7) Evaluasi Hari Ke 2 Ke 3 Ke 4 Ke 11
Jumlah Anak Tinidazole Ornidazole 22 19 22 19 17 13 10 8
Penyembuhan Parasitologik Tinidazole Ornidazole 82% 58% 95,45% 100% 100% 100% 100% 100%
8. Metronidazole versus Secnidazole [17] Pada 28 anak dengan disentri amuba telah diberikan Metronidazole dengan dosis 50 mg/kg BB/hari dosis tunggal selam 1 hari pada sebagian dari anak dan sebagian lagi mendapat pengobatan dengan Secnidazole 30 mg/kg BB/hari dosis tunggal selama 1 hari. Pada evaluasi yang dilakukan dijumpai pada kedua kelompok penyembuhan parasitologik sebesar 100%. Pembicaraan dari Kesimpulan Dari 10 kali penelitian yang telah dilakukan pada anak dengan disentri amuba di RS Pimgadi Medan terlihat bahwa obat anti amuba dari golongan Metronidazole, Tinidazole, Omidazole maupun Secnidazole memberikan hasil yang sangat memuaskan dan tidak dijumpai efek samping yang berarti pada saat pemberian obat maupun pada saat evaluasi. Pemberian dosis tunggal selama 1 hari memungkinkan obat ini dapat menjadi obat pilihan dalam pengobatan disentri amuba pada anak. Disamping itu dosis tunggal ini akan menghemat biaya dan memperpendek waktu pengobatan.
Kepustakaan 1. Bintari Rukmono, Penyakit parasit sebagai masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Pidato diucapkan pada upacara pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam llmu Parasit dan Penyakit Umum di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pada tanggal 2 September 1972. 2. Bunnag, D., Suntharasamai Pravan, Review of Chemotherapy. In Tropical Medicine of South East Asia and The Far East, Tenth Seameo-Tropmed Seminar on Tropical medicine and Public Health, Bangkok 26-30 Oktober 1971. 3. Cross, J.H.Clarks M.D., Irving G.S., Taylor J., Partono F., Joesoel A Hadoyo, Oemijati. 'Parasitology survey and seroepidemiology of Amoebiosis in South Kalimantan (Borneo), Indonesia'. The South East Asian Journal of Tropical Medicine and public Health, Vol. 6 No. 1 March 1975 pp. 55-54. 4. Jo KT., Pidato pengukuhan diucapkan pada penerimaan Jabatan Guru Besar biasa dalam Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU, Medan, 1965. 5. Jo KT., Noersida Raid, Tjoet Irawati, Siregar Djundjung, Kwo EH. Tan Bwee Eng. 'Mexaform and Entobex therapy in Amebic dysentryin children'. Paediatrica Indonesiana. Vol. 9 No. 5 Oktober 1969, pp. 310-315. 6. Jo KT., Noersida Raid, Sutanto AH. 'Clinical studies of oral dehydroemetine tablets (Ro 1-19334/10) in ametic dysentry in children'. Paediatrica Indonesiana, Vol. 10 No. 4 July-August 1970, pp. 130-145.
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
5
7. Jo KT., Noersida Raid, Sutanto A.H., 'Flagyl (metronidazole) in the treantment if intestinal amobiasis (part one)'. Paediatrica Indonesiana, Vol. 11, No.1-12, JanFeb 1971. 8. Jo. KT., Noersida Raid, Sutanto A.H. 'Flagyl (metronidazole) in the treatment of intestinal amoebiasis (Part two)'. The Journal of Singapore Paediatric Society, Vol. 13, No 1 Apr 1971, pp. 1-6. 9. Jo KT., Noersida Raid, Sutanto A.H. 'Flagyl (metronidazole) in the treatment of intestinal amoebiasis (Part three)', Paediatrica Indonesiana, Vol. 12:82-86, Feb 1972. 10. Jo KT., Sutanto A.H., Simatupang J. 'Flagyl (metronidazole) in the treatment of intestinal amoebiasis (part four)', Paediatrica Indonesiana, Vol. 16 Sep-oct 1976, No. 9-10, pp. 412. 11. Jo KT, Noersida Raid, Sutanto A.H. Trials with amoebicide on intestinal amoebiasis. Prensented at 13th International Kongress for Pediatric Colloqium on "Amoebiasis in children" Vienna. 12. Lubis, C.P., Napitupulu A, Rusdidjas, Sutanto A.H., Siregar Helena, Tinidazole pada pengobatan disentri amoeba. Kumpulan naskah Pertemuan Ilmiah Tahunan BKGAI, Parapat 9-12 Desember 1977, hal. 385-589. 13. Lubis, C.P., Rangkuti S.M., Sutanto AH., Siregar H., Kejadian muntah menceret pada bayi dan anak di Poliklinik Anak RSUPP tahun 19761977. Dipresentasikan di PIB VI BKGAI Ujung Pandang, 11-12 April 1979. 14. Panggabean, A, Soetjipto A, Aldy D., Sutanto A.H., Siregar Helena, Penelitian double blind antara Tinidazole dan Ornidazole pada anak dengan disentri amuba. Dipresentasikan di PIB VI BKGAI Ujung Pandang, 11-12 April 1979. 15. Powell, S.J, Therapy of Amoebiasis. Bull. N. Y. Acad. Med., 47:469. 16. Sitepu, N., Lubis C.P., Sutantu A.H., Siregar Helena. Minute treatment dengan Tinidazole dan Ornidazole pada anak dengan disentri amuba. Pertemuan Ilmiah Berkala VII BKGAI dan Simposium Nasional II Peningkatan Penggunaan ASI, Manado 27-30 Agustus 1980. 17. Sinuhaji, A.B., Lubis C.P., Daulay RM., Hamid E.D., Lubis I.T., Ahmad Jufri, Sutanto A.H. Uji coba banding tersamar ganda antara Metronidazole dan Secnidazole pada disentri amuba akut. (Laporan pendahuluan), PIB IX BKGAI, Palembang 7-8 Desember 1984. 18. WHO, Techn. Rep. Ser., 421, 1969.
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
6