HUBUNGAN ANTARA TITIK PANAS DENGAN PERUBAHAN PENUTUPAN/PENGGUNAAN LAHAN (Studi Kasus: Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah)
MERINA JAYANTIKA
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan antara Titik Panas dengan Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan (Studi Kasus: Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2013 Merina Jayantika NIM A14080064
ABSTRAK MERINA JAYANTIKA. Hubungan antara Titik Panas dengan Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan (Studi Kasus: Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah). Dibimbing oleh MUHAMMAD ARDIANSYAH dan KOMARSA GANDASASMITA. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menjadi masalah serius sejak tahun 1982/1983. Setiap tahunnya areal yang terbakar semakin meluas, hal ini salah satunya disebabkan oleh semakin banyaknya hutan yang dikonversi menjadi perkebunan, pertanian, permukiman, dan lain sebagainya. Indikator yang umum digunakan sebagai deteksi dini kebakaran hutan dan lahan adalah titik panas (hot spot), yang diperoleh dari satelit pengindraan jauh meteorologi. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pola sebaran titik panas di Kabupaten Kapuas, menganalisis perubahan penutupan/penggunaan lahan Kabupaten Kapuas, menganalisis hubungan antara titik panas dengan perubahan penutupan/ penggunaan lahan di Kabupaten Kapuas, dan menganalisis hubungan antara titik panas dengan anomali curah hujan di Kabupaten Kapuas. Sebaran titik panas selama tahun 2005 sampai 2011 terindikasi maksimum pada tahun 2006 dan 2009, hal ini diduga karena adanya pengaruh kekeringan panjang (El-Nino), sehingga intensitas kebakaran meningkat. Selama tahun 2005 sampai 2011, titik panas banyak teridentifikasi pada belukar rawa, belukar, perkebunan, hutan rawa sekunder, dan hutan lahan kering sekunder. Titik panas yang teridentifikasi pada lokasi tersebut, kemungkinan karena adanya kebakaran akibat persiapan lahan pertanian atau perkebunan. Hal itu ditandai dengan adanya peningkatan perubahan tutupan lahan menjadi perkebunan sekitar 49.5%, sedangkan luas hutan rawa sekunder dan hutan lahan kering sekunder menurun masing-masing sebanyak 19.02% dan 7.83%. Anomali curah hujan juga diduga dapat mempengaruhi jumlah titik panas. Ketika curah hujan dalam kondisi di bawah normal, maka titik panas yang teridentifikasi akan lebih banyak dibandingkan saat curah hujan berada di atas normal. Kata kunci : Titik Panas, Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan, Anomali Curah Hujan
ABSTRACT MERINA JAYANTIKA. Relationship between Hotspot and Land Cover/Use Change (A Case Study: Kapuas District, Central Kalimantan Province). Supervised by MUHAMMAD ARDIANSYAH and KOMARSA GANDASASMITA. Land and forest fires in Indonesia have become a serious problem since 1982/1983. Annually the area that was burned widespread, which is caused by the increasing number of forest converted to plantations, agriculture, settlements, and so forth. Indicator commonly used for early detection of forest and land is hotspots, obtained from a meteorology satellite remote sensing. The objectives of this research are to analyze the distribution pattern of hotspots in Kapuas District, analyzed land cover/use change in Kapuas District, analyzed the relationship between hotspots and land cover/use change in Kapuas District, and analyzed the relationship hotspots and rainfall anomaly in Kapuas District. The maximum distribution of hotspots during 2005 to 2011 was indicated in 2006 and 2009; it was expected because of the effect of long term dryness (El-Nino), so the intensity of the fire increased. During 2005 to 2011, many hotspots identified in shrub swamps, shrub, plantations, secondary swamp forest, and secondary upland forest. Hotspots are identified on the site, possibly due to a fire caused by the preparation of agriculture or plantation. It is marked by an increase in land cover change to plantation up to 49.5%, while the secondary swamp forest and secondary upland forest decreased up to 19.2% and 7.83%. The rainfall anomaly is also expected to be able to affect the number of hotspots. When rainfall in the condition of subnormal, then hotspot identified more than when rainfall was above normal. Keywords: Hotspots, Land Cover/Use Change, Rainfall Anomaly
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penilisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
HUBUNGAN ANTARA TITIK PANAS DENGAN PERUBAHAN PENUTUPAN/PENGGUNAAN LAHAN (Studi Kasus: Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah)
MERINA JAYANTIKA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
Judul Skripsi
: Hubungan antara Titik Panas dengan Perubahan Penutupan/ Penggunaan Lahan (Studi Kasus: Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah) : Merina Jayantika : A14080064
Nama NIM
Disetujui oleh
Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah Pembimbing I
Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, MSc Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc. Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Tanggal Lulus:
PRAKATA Alhamdulillah. Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April sampai Desember 2012 ini ialah pola titik panas, dengan judul Hubungan antara Titik Panas dengan Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan (Studi Kasus: Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah). Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. M. Ardiansyah selaku pembimbing akademik dan pembimbing skripsi utama serta Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, MSc selaku pembimbing dua yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan saran, arahan, dan bimbingannya kepada penulis. 2. Dr. Khursatul Munibah, MSc selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran. 3. Keluarga tercinta bapak, ibu, dan dede Arif Wahyu Suhada atas doa, kasih sayang, motivasi serta dukungan moral dan spiritual yang tak kunjung berhenti kepada penulis. 4. Proyek Columbia University and Institut Pertanian Bogor Partnership to Build Capacity for Adaptation to Climate Risk in Indonesia yang telah memberikan dukungan data dan dana dalam penelitian ini. 5. Bang Ikhsan Aditya yang telah membantu selama pengumpulan data dan dengan sabar membimbing penulis dalam pengolahan data. 6. Kak Hanna Aditya Januarisky dan Chaida Chairunnisa yang selalu direpotkan dan menjadi teman diskusi penulis. 7. M. Khairi Fuad A. Jambak, saudara-saudara SOIL 45 terutama teman seperjuangan Bagian Pengindraan Jauh dan Informasi Spasial, sahabat Pink House Perwira (Rani, Risty, Fitri, dan Nimas), serta sahabat panjen yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu terima kasih atas canda tawa, masukan, dukungan, dan kebersamaannya selama ini, senang bisa menjadi bagian dari kalian. 8. Semua pihak yang telah membantu kegiatan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis menyadari penulisan karya ilmiah ini tidak luput dari kekurangan, untuk itu penulis sangat berterima kasih atas kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca. Bogor, Juni 2013
Merina Jayantika
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
I
II
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1
1.2 Tujuan
2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Titik Panas
3
2.1.1 NOAA-AVHRR
3
2.1.2 MODIS
4
2.1.3 Mekanisme Penentuan Titik Panas
6
2.2 Kebakaran Hutan
10
2.2.1 Bahan Bakar
10
2.2.2 Cuaca
11
2.2.3 Waktu
11
2.2.4 Topografi
12
2.3 Interpretasi Citra
12
2.4 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan
14
2.5 Citra Satelit Landsat 7 ETM+
15
III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat
16
3.2 Alat dan Bahan
16
3.3 Metode Penelitian
16
3.3.1 Tahap Persiapan
17
3.3.2 Tahap Pengolahan dan Pemrosesan Data
17
3.3.3 Tahap Analisis Data Spasial
18
IV KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis
20
4.2 Topografi
20
4.3 Iklim
21
4.4 Jumlah Penduduk
21
4.5 Perekonomian
21
V
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kepadatan Titik Panas di Kabupaten Kapuas Tahun 2005 - 2011
23
5.2 Perubahan Penutupan/Pengggunaan Lahan di Kabupaten Kapuas Tahun 2005 – 2011
24
5.3 Sebaran Titik Panas pada Penutupan/Penggunaan Lahan
31
5.4 Analisis Hubungan antara Sebaran Titik Panas dengan Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan
38
5.5 Analisis Hubungan antara Sebaran Titik Panas dengan Curah Hujan
41
VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan
44
6.2 Saran
44
DAFTAR PUSTAKA
45
LAMPIRAN
47
RIWAYAT HIDUP
62
DAFTAR TABEL 1
Karakteristik panjang gelombang satelit NOAA-AVHRR
4
2
Karakteristik panjang gelombang satelit MODIS
5
3
Karakteristik panjang gelombang satelit Landsat 7 ETM+
15
4
Bahan yang digunakan dalam penelitian
16
5
Akuisisi citra Landsat 7 ETM+ Kabupaten Kapuas
17
6
Luas penutupan/penggunaan lahan tahun 2005-2011
25
DAFTAR GAMBAR 1
Diagram alir penelitian
19
2
Peta lokasi studi
20
3
Jumlah titik panas tahun 2005-2011
23
4
Perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan tahun 2005-2006
26
5
Perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan tahun 2006-2007
27
6
Perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan tahun 2007-2008
27
7
Perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan tahun 2008-2009
28
8
Perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan tahun 2009-2010
29
9
Perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan tahun 2010-2011
29
10 Perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan selama rentang waktu tahun 2005 sampai tahun 2011
30
11 Sebaran titik panas masing-masing penutupan/penggunaan lahan pada satelit NOAA-AVHRR dan MODIS
31
12 Sebaran titik panas satelit NOAA-AVHRR dan MODIS tahun 2005
32
13 Sebaran titik panas satelit NOAA-AVHRR dan MODIS tahun 2006
33
14 Sebaran titik panas satelit NOAA-AVHRR dan MODIS tahun 2007
33
15 Sebaran titik panas satelit NOAA-AVHRR dan MODIS tahun 2008
34
16 Sebaran titik panas satelit NOAA-AVHRR dan MODIS tahun 2009
35
17 Sebaran titik panas satelit NOAA-AVHRR dan MODIS tahun 2010
35
18 Sebaran titik panas satelit NOAA-AVHRR dan MODIS tahun 2011
36
19 Titik panas pada atap permukiman dilihat pada citra DigitalGlobe
37
20 Titik panas teridentifikasi pada tubuh air
37
21 Hutan lahan kering sekunder beralih fungsi menjadi perkebunan
38
22 Hutan rawa sekunder dan belukar rawa beralih fungsi menjadi perkebunan
39
23 Pertanian lahan kering tetap menjadi pertanian lahan kering dan sawah tetap menjadi sawah
40
24 Sebaran titik panas bulanan satelit MODIS dan NOAA-AVHRR tahun 2005 – 2011
41
25 Hubungan titik panas satelit MODIS dan NOAA-AVHRR dengan anomali curah hujan tahun 2005- 2009
42
DAFTAR LAMPIRAN 1
Sistem klasifikasi penggunaan lahan menurut Badan Planologi Kementerian Kehutanan
47
Peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, 2010, dan tahun 2011
52
3
Data perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun 2005-2006
54
4
Data perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun 2006-2007
55
5
Data perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun 2007-2008
56
6
Data perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun 2008-2009
57
7
Data perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun 2009-2010
58
8
Data perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun 2010-2011
59
9
Data titik panas dan curah hujan
60
2
10 Data curah hujan rata-rata selama 20 tahun dan anomali curah hujan
61
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan telah menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan, ekonomi, sosial dan politik, karena dianggap sebagai ancaman potensial bagi pembangunan berkelanjutan yang hingga saat ini belum juga dapat ditangani secara tuntas. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menjadi masalah serius sejak tahun 1982/1983, berawal di Kalimantan Timur mencapai luas 3.6 juta ha, yang terjadi karena adanya musim kering panjang yang disebabkan oleh El-Nino (Suratmo 2003). Sejak tahun 1991 peristiwa El-Nino lebih sering terulang dan makin panjang, yaitu setiap tiga tahun sehingga menimbulkan kebakaran yang makin meluas. Beberapa pakar berpendapat bahwa makin meluasnya areal yang terbakar sejak tahun 1991 disebabkan oleh makin banyaknya hutan alam yang diubah menjadi hutan produksi (HPH dan HTI), perkebunan, pertanian, permukiman, dan lain sebagainya. Perubahan penggunaan lahan tersebut merupakan kebijakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akibat peningkatan jumlah penduduk (Suratmo 2003). Kebakaran disebabkan oleh faktor alami dan faktor buatan. Aktivitas vulkanis seperti adanya aliran lahar atau awan panas dari letusan gunung berapi dan sambaran petir saat musim kemarau adalah faktor alami. Faktor buatan dibedakan menjadi isengaja dan tidak disengaja. Faktor buatan yang disengaja misalnya adalah aktivitas manusia dalam mempermudah perburuan, pembukaan lahan untuk pertanian, perkebunan, dan industri. Sementara, faktor buatan yang tidak disengaja seperti kecerobohan membuang puntung rokok secara sembarangan atau lupa mematikan api di perkemahan. WWF-Indonesia menyebutkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan dan lahan adalah faktor aktivitas manusia, antara lain adalah pembukaan dan konversi lahan untuk perladangan dan perkebunan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat dan perusahaan dengan cara dibakar (Pamungkas 2012). Dampak dari kebakaran hutan antara lain adalah kerusakan lingkungan hidup flora dan fauna; pencemaran udara; gangguan kesehatan manusia yang disebabkan oleh asap; gangguan terhadap kegiatan transportasi, pendidikan, dan ekonomi; serta menimbulkan banyak keluhan dari negara tetangga akibat asap kiriman. Mengingat dampak buruk yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dan lahan, perlu dilakukan deteksi dini sebagai upaya pengendalian agar kebakaran dapat dicegah atau tidak semakin meluas. Salah satu upaya pengendalian tersebut dengan pemantauan titik panas. Titik panas merupakan sebuah istilah untuk titik yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ambang batas yang telah ditentukan oleh data digital satelit. Data setelit tersebut dapat diperoleh dari sensor yang terpasang pada sebuah satelit, seperti sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer) yang terpasang pada satelit NOAA (Nasional Oceanic Atmospheric Administration) dan sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) pada satelit Terra dan Aqua. Selama ini titik panas banyak dimanfaatkan untuk kegiatan penelitian, mengenai pemantauan atau monitoring kebakaran hutan/lahan, penduga terjadinya kebakaran hutan/lahan, pengendalian
2 kebakaran hutan/lahan, prediksi kebakaran hutan/lahan berdasarkan pola penyebaran titik panas. Bulan Agustus 2009 titik panas di Kabupaten Kapuas, Kalimantan tengah meningkat tiga kali lipat yaitu sebanyak 108 titik dari bulan sebelumnya yang berjumlah 48 titik. Data tersebut diperoleh dari pantauan satelit NOAA 19. Peningkatan titik panas tersebut diduga karena adanya pembakaran lahan terlantar, perkebunan maupun lahan pertanian yang dilakukan orang yang tidak bertanggung jawab (Titik Api di Kapuas Meningkat 3 Kali Lipat 2009). Titik panas hanya memberikan sedikit informasi apabila tidak didukung oleh analisa dan interpretasi lanjutan. Data titik panas bermanfaat apabila dikombinasikan dengan informasi seperti jaringan jalan, jaringan sungai, penggunaan dan penutupan lahan, jenis tanah, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan analisis lebih lanjut untuk mengidentifikasi apakah sebaran titik panas berhubungan erat dengan penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan dan hutan, dan bagaimana pula hubungannya dengan kondisi iklim saat itu.
1.2 Tujuan 1. 2. 3. 4.
Menganalisis pola sebaran titik panas di Kabupaten Kapuas tahun 2005 sampai 2011. Menganalisis perubahan penutupan/penggunaan lahan Kabupaten Kapuas tahun 2005 sampai 2011. Menganalisis hubungan antara titik panas dengan perubahan penutupan/penggunaan lahan di Kabupaten Kapuas. Menganalisis hubungan antara titik panas dengan anomali curah hujan di Kabupaten Kapuas.
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Titik Panas Titik panas adalah indikator kebakaran hutan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu disekitarnya (PERMENHUT No. P. 12/Menhut-II/2009 pasal 1 angka 9). Istilah untuk menunjukan titik yang memiliki suhu lebih tinggi dari nilai ambang batas. Data titik panas dapat diperoleh dari satelit penginderaan jauh yaitu sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer) pada satelit NOAA (National Oceanic Atmospheric Administration) dan Sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) yang terpasang pada satelit Terra dan Aqua. Titik panas yang ditangkap oleh satelit akan diproyeksikan menjadi suatu pixel yang juga akan menunjukkan koordinat geografisnya. Pixel merupakan unit terkecil dari citra satelit/foto. Satu pixel pada citra satelit NOAA, Aqua, dan Terra setara dengan ±1 km2. Namun 1 pixel tidak selalu setara dengan 1 km2. Jika terjadi kebakaran pada koordinat tertentu, koordinat tersebut akan ditampilkan di tengah pixel, meskipun kebakaran yang terjadi berada di pinggir pixel, sehingga untuk mengetahui lokasi terjadinya kebakaran harus menelusuri kurang lebih 1 km2 dari lokasi koordinat titik panas tersebut (Purwanto 2012). Oleh sebab itu, titik panas dari lokasi kebakaran di lapang dapat bergeser hingga radius ±1 km di sekeliling koordinat titik panas tersebut. 2.1.1 NOAA-AVHRR NOAA adalah satelit cuaca dengan orbit polar, yang didesain untuk memperoleh informasi tentang hidrologi, kelautan, dan studi iklim untuk kepentingan meteologi. Satelit ini milik Amerika Serikat, yang diluncurkan oleh NASA (National Aeronautics and Space Administration) dan dioperasikan oleh NOAA (National Oceanic Atmospheric Administration). Satelit ini mengorbit pada ketinggian orbit 833±18.5 km, inklinasi sekitar 98.7°–98.9°, dan mempunyai kemampuan mengindera suatu daerah yang sama setiap 12 jam, serta data direkam dengan resolusi radiometrik 10 bit (Geoscience Australia 2013). NOAA merupakan satelit yang dapat diandalkan untuk memperoleh informasi mengenai keadaan fisik lautan/samudera dan atmosfer. Satelit ini dilengkapi dengan 6 (enam) sensor utama, yaitu : AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer), TOVS (Tiros Operational Vertical Sonde), HIRS (High Resolution Infrared Sounder) bagian dari TOVS, DCS (Data Collection System), SEM (Space Environment Monitor), dan SARSAT (Search And Rescue Sattelite System). Sensor yang relevan untuk pemantauan bumi adalah sensor AVHRR, sensor ini mampu mendeteksi adanya anomali panas permukaan bumi untuk mendapatkan titik panas. AVHRR memiliki lima saluran (band) yang dimulai dari saluran tampak (visible band) sampai dengan saluran inframerah jauh (Tabel 1). Kebakaran yang diindikasikan dengan adanya titik panas dapat dipantau harian dengan menggunakan saluran infra merah dekat (saluran 3) dan thermal (saluran 4). Dalam mendeteksi kebakaran hutan, satelit ini tidak mendeteksi kebakaran (suhu) secara langsung namun yang dideteksi adalah hotspot. Nilai ambang batas untuk menentukan nilai titik panas dapat berbeda-beda. Menurut
4 Kementerian Kehutanan nilai ambang batas yang ditangkap oleh satelit NOAAAVHRR yaitu 315 K (42 oC) untuk siang hari dan 310 K (37 oC) untuk malam hari. Tabel 1 Karakteristik panjang gelombang satelit NOAA-AVHRR
1
Panjang Gelombang (µm) 0.58-0.68
2 3A 3B
0.725-1.00 1.58-1.64 3.55-3.93
4
10.30-11.30
5
11.50-12.50
Band
Kegunaan Pemetaan awan siang dan permukaan bumi Batas daratan dan perairan Deteksi Salju dan es Pemetaan awan malam hari dan suhu permukaan laut Pemetaan awan malam hari dan suhu permukaan laut Suhu permukaan laut
Sensor AVHRR-NOAA mampu mendeteksi permukaan bumi dengan resolusi spasial sebesar 1,1 km x 1,1 km atau sekitar 100 ha. Meskipun demikian, untuk kondisi suhu yang sangat tinggi, misalnya pembukaan lahan dengan pembakaran atau kebakaran hutan akan terdeteksi meskipun luasannya belum mencapai 100 ha, kerana sensor AVHRR sangat peka (sensitif) terhadap panas. Pada kebakaran hutan, ada yang disebut fase bara dan fase api. Menurut Jaya (2003), pada fase bara luas minimal yang dapat terdeteksi oleh satelit adalah sekitar 35 x 35 m2, sementara pada fase api luas minimal yang bisa terdeteksi adalah 11 x 11 m2, sehingga jika kebakaran yang terjadi seluas 4 sampai 5 ha, dapat dideteksi oleh satelit ini. 2.1.2 MODIS MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) merupakan sensor yang dibuat untuk menyediakan data darat, laut, dan atmosfer secara berkesinambungan. Satelit Terra diluncurkan pada 18 Desember 1999 dan satelit Aqua diluncurkan pada 4 Mei 2002. Satelit ini merupakan satelit dengan orbit selaras dengan matahari, dengan tinggi orbit 705 km, lebar sapuan 2330 km. Lintasan orbit Satelit Terra adalah dari utara ke selatan memotong garis khatulistiwa pada jam 10.30 dan 22.30 setiap hari. Satelit Aqua melintas dari selatan ke utara melewati garis khatulistiwa pada jam 13.30 dan 01.30, sehingga dapat menghasilkan data tampilan secara global setiap 1 sampai 2 hari. Sensor MODIS memiliki 36 band (36 panjang gelombang). Satelit ini memiliki resolusi radiometrik 12 bit coding dan memiliki resolusi spasial 250 m (band 1-2), 500 m (band 3-7), dan 1000 m (band 8-36). Secara lengkap karakteristik panjang gelombang sensor MODIS dapat dilihat pada Tabel 2. Sama halnya dengan NOAA-AVHRR, MODIS juga dapat mendeteksi suatu objek di permukaan bumi yang memilki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu sekitarnya. Nilai ambang batas untuk menentukan sebuah hotspot oleh satelit MODIS adalah suhu lebih dari 360 K (87 oC) untuk siang hari dan
5 suhu 320 K (47 oC) untuk malam hari (Kaufman et al. 1998 dalam Giglio et al. 2003). Titik panas MODIS terdeteksi pada ukuran 1 km x 1 km atau 1 km2 sehingga setiap titik panas atau kebakaran yang terdeteksi diwakili oleh 1 pixel. Jika kondisi pengamatan optimal (dekat nadir, asap sedikit/tidak ada, permukaan bumi yang homogen) kebakaran hutan/lahan dengan kondisi 100 m2 akan dapat dideteksi, bahkan dalam kondisi bebas awan/asap/polusi (jarang sekali terjadi) kebakaran seluas 50 m2 juga dapat terdeteksi (FIRMS 2012 dalam Purwanto 2012). Tabel 2 Karakteristik panjang gelombang satelit MODIS Band (saluran) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 a
Panjang Gelombang a 620-670 841-876 459-479 545-465 1230-1250 1628-1652 2105-2155 405-420 438-448 483-493 526-536 546-556 662-672 673-683 743-753 862-877 890-920 931-941 915-965 3.660-3.840 3.929-3.989 3.929-3.989 4.020-4.080 4.433-4.498 4.482-4.549 1.360-1.390 6.535-6.895 7.175-7.475 8.400-8.700 9.580-9.880 10.780-11.280 11.770-12.270 13.185-13.485 13.485-13.785 13.785-14.085 14.085-14.385
Radiasi Spektral (Wm-2-µm-sr) 21.8 24.7 35.3 29.0 5.4 7.3 1.0 44.9 41.9 32.1 27.9 21.0 9.5 8.7 10.2 6.2 10.0 3.6 15.0 0.45(300K) 2.38(335K) 0.67(300K) 0.79(300K) 0.17(250K) 0.59(275K) 6.00 1.16(240K) 2.18(250K) 9.58(300K) 3.69(250K) 9.55(300K) 8.94(300K) 4.52(260K) 3.76(250K) 3.11(240K) 2.08(220K)
Band 1-19 (nm), Band 20-36 (µm)
Kegunaan Batas daratan/awan/aerosol Karakteristik daratan/awan/aerosol
Warna laut/fitoplankton/ biokimia
Uap air/atmosfir
Permukaan/suhu awan
Suhu awan Awan sirus/uap air
Karakteristik awan Ozon Lapisan/suhu awan Ketinggian awan
6 2.1.3 Mekanisme Penentuan Titik Panas Mendeteksi terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah dengan cara melakukan pengamatan terhadap jumlah dan sebaran titik panas. Jumlah dan sebaran titik panas dapat diperoleh dengan melakukan pengolahan terhadap data citra satelit. Pengolahan dilakukan dengan menggunakan metode deteksi titik panas, dimana untuk mendapatkan sebaran titik panas pada suatu citra berbedabeda sesuai dengan karakteristik dari sensor yang digunakan. Menurut Hiroki dan Prabowo (2003), metode deteksi titik panas ada tiga, yaitu (1) perolehan data dan prapemrosesan, (2) metode sederhana, dan (3) metode algoritma kontekstual. 1. Perolehan data dan prapemrosesan Metode ini merupakan metode yang membuat perencanaan perolehan data (planning) terlebih dahulu. Tahap planning meliputi, pemilihan daerah yang akan diambil datanya, dan menentukan cakupan liputannya. Ketika saat perekaman tiba, dilakukan proses penangkapan (capturing). Setelah data diterima, selanjutnya dilakukan proses kalibrasi, navigasi, dan overlay citra tersebut untuk memberikan referensi geografisnya. 2. Metode sederhana Metode ini dilakukan dengan menetapkan batas nilai ambang suhu kecerahan tertentu, pada matriks citra. Titik panas akan terdeteksi jika nilai suhu kecerahan suatu pixel pada citra lebih besar atau sama dengan nilai ambang batas, begitu pula sebaliknya, jika nilai suhu kecerahan pada pixel tersebut lebih kecil dari nilai ambang, maka pixel tersebut bukan merupakan titik panas. Menurut bentuk Logika Boolean pernyataan diatas dinyatakan dengan : IF nilai citra THEN nilai citra ELSE nilai citra
> α = titik panas, = bukan titik panas
dimana nilai citra adalah suhu kecerahan saluran yang digunakan dan α nilai ambang. Nilai ambang bukanlah suatu nilai yang kaku, tetapi dapat diubah-ubah sesuai dengan kondisi iklim atau daerah yang dideteksi. Kelebihan metode ini adalah pada kesederhanaan proses perhitungannya, yaitu waktu pemrosesannya lebih singkat. Kelemahannya adalah tidak dapat mengeliminasi efek kilau surya (sunglint), karena pada kondisi-kondisi tertentu dapat terjadi efek kilau surya. Misalnya jika sudut perekaman terlalu rendah dan mengenai objek air atau atap rumah pemukiman yang terbuat dari seng, ataupun pada lahan gundul yang berpasir. 3. Metode algoritme kontekstual Metode ini dikembangkan untuk mengatasi kelemahan pada metode sederhana. Jika pada metode sederhana digunakan hanya satu saluran saja, maka pada metode ini digunakan lebih dari satu saluran untuk memproses data titik panas yang ditangkap oleh citra agar data yang diperoleh lebih akurat. Menurut Musawijaya et al. (2001), pengolahan algoritme kontekstual pada NOAA-AVHRR berdasarkan pada perhitungan temperatur pada saluran 3 dan saluran 4. Konversi suhu yang disebut suhu kecerahan (temperatur brightness)
7 dari fluxs radiance yang diterima oleh sensor satelit didasarkan formulasi dari Planck dengan persamaan mempertimbangkan nilai radiance saluran ke j. Karena data yang dipancarkan satelit dalam bentuk digital yang disebut radiometer count, maka konversi radiance dari radiometer count dapat dilakukan melalui persamaan linier sebagai berikut : 𝐿𝑗 = 𝐺𝑗 𝐷𝑁𝑗 + 𝐼𝑗 dimana: Lj Gj DNj Ij
= = = =
Radiance pada saluran ke j (Wm-3 sr –1) Koefisien Gain Radiometer count Intercept untuk saluran j=3 dan saluran j= 4
Menurut Singh (1984) dalam Musawijaya et al. (2001) konversi temperatur kecerahan dari radiasi dikembangkan dengan persamaan sebagai berikut :
Tbj =
β ln (Lj) − α
dimana: Tbj = suhu kecerahan saluran j α dan β = suatu konstanta
Pada keadaan normal brightness temperatur dari pixel citra NOAAAVHRR saluran 3 (Tb3) selalu lebih kecil dari pada brightness temperatur dari pixel citra NOAA-AVHRR saluran 4 (Tb4). Apabila Tb3 > Tb4 maka terjadi anomali yang disebabkan karena adanya sumber panas (seperti kebakaran hutan) atau dapat juga karena efek sunglint. Untuk mengetahui adanya efek sunglint perlu digunakan data saluran 4 dengan membandingkan pixel anomali dengan pixel yang berada disekitarnya. Apabila Tb3 – Tb4 > konstanta, maka pixel tersebut adalah hotspot. Sensor MODIS menerapkan algoritma yang berbeda untuk mendapatkan sebaran titik panas. Giglio et al. (2003) menyebutkan, algoritma titik panas sensor MODIS berasal dari suhu kecerahan pada saluran 4 µm dan 11 µm, yang masingmasing dilambangkan dengan T 4 dan T 11 . Instrumen MODIS memiliki dua saluran 4-µm, yaitu saluran 21 dan 22 yang keduanya digunakan dalam penerapan algoritma. Saturasi saluran 21 hampir 500K, sementara saluran 22 pada 331 K. Saluran saturasi rendah (saluran 22) memiliki noisy sedikit dan kesalahan kuantitasinya lebih kecil, sehingga T 4 berasal dari saluran ini. Namun, ketika saluran tersebut datanya hilang atau tidak ada, maka diganti dengan saluran saturasi tinggi (saluran 21). Sementara T 11 dihitung dari saluran 31, yang saturasinya sekitar 400 K untuk Terra MODIS, dan 340 K untuk Aqua MODIS. Terdapat dua cara mengidentifikasi piksel titik panas, yang pertama adalah simple absolute threshold test. Ambang batas ini harus diatur cukup tinggi agar hanya piksel titik panas yang teridentifikasi, sehingga mengurangi kesempatan untuk menjadi piksel titik panas palsu. Nilai ambang batas titik panas pada siang hari: T 4 > 360 K (320 K pada malam hari)
(1)
8 Cara kedua terdiri dari serangkaian pengujian yang dirancang kontekstual (contextual algorithm) untuk mengidentifikasi piksel titik panas yang kurang jelas, dan untuk memperkecil piksel titik panas palsu. Persamaannya adalah: ∆T > ∆Ť + 3.5δ ∆T (2) ∆T > ∆Ť + 6 K T 4 > Ť 4 + 3δ 4 T 11 > Ť 11 + δ 11 – 4 K δ′ 4 > 5 K
(3) (4) (5) (6)
Dimana : ∆T = T 4 - T 11 ∆Ť = mean ∆T = Mean suhu kecerahan latar belakang saluran 4 µm, yaitu suhu Ť4 kecerahan dari pixel-pixel sekitarnya (21 x 21 pixel) Ť 11 = Mean suhu kecerahan latar belakang saluran 11 µm, yaitu suhu kecerahan dari pixel-pixel sekitarnya (21 x 21 pixel) δ4 = Standard deviasi suhu kecerahan latar belakang saluran 4 µm δ 11 = Standard deviasi suhu kecerahan latar belakang saluran 11 µm δ ∆T = Standard deviasi ∆T δ′ 4 = Standard deviasi suhu kecerahan latar belakang saluran 4 µm yang dieliminasi Faktor 3.5 dalam persamaan (2) lebih sesuai dari faktor 3 di persamaan (4) untuk membantu menyesuaikan korelasi parsial antara 4 µm dan 11 µm. Persamaan (5) dibatasi untuk piksel siang hari, terutama digunakan untuk menolak piksel awan panas yang dapat muncul hangat di saluran 4 µm (karena pantulan sinar matahari) namun dingin di saluran saluran termal 11µm. Selanjutnya, pixel titik panas sementara ini pada siang hari akan diklasifikasikan sebagai pixel titik panas jika: {tes (1) is true } Or {tests (2) – (4) are true and [test (5) or tes (6) is true]}, otherwise = non-hotspot Pada malam hari pixel api akan diklasifikasikan sebagai kebakaran jika: {tes (1) is true} Or {tests (2) – (4) are true}, otherwise = non-hotspot Jika suatu daerah terpantau oleh satelit memiliki suhu diatas ambang batas tersebut, maka areal tersebut terdeteksi sebagai titik panas. Suhu kecerahan dari saluran 21, 22, dan saluran 31, didapat dengan algoritma sebagai berikut :
9 T=
ln
𝐶2 ⁄λ 𝐶1
(λ5 ∙B)+1
Dimana : T = Brightness temperature (K) C 1 = Konstanta radiasi pertama = 2 hc2 = 1,1910439 x 10-16 Wm-2 C 2 = Konstanta radiasi kedua = hck-1 = 1,4387686 x 10-2 mK B = Radiance (W·m-2·sr-1·m-1) λ = Median panjang gelombang dari saluran (m) h = Konstanta Plank (Joule second) c = Kecepatan cahaya (m/s) k = Konstanta Boltzman (Joule/Kelvin) Perhitungan nilai radiasi spektral dilakukuan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : Bi = αi x (DNi - βi) Dimana: Bi = αi = βi = DNi =
Radiasi spektral saluran ke i (W·m-2·sr-1·m-1) Nilai gain saluran ke i (W·m-2·sr-1·m-1·count-1) Nilai offset saluran ke i (W·m-2·sr-1·m-1) Nilai digital saluran ke i (count)
Hasil pengolahan data citra satelit yang diperoleh masih memiliki ketidakakuratan. Hal tersebut dipengaruhi oleh kelemahan satelit. Kelemahan dari satelit NOAA-AVHRR salah satunya yaitu sensor tidak mampu menembus awan, asap atau aerosol. Kelemahan pada satelit MODIS yaitu sensornya tidak dapat menembus awan, asap dan kanopi tajuk, sehingga akan sangat merugikan apabila kebakaran besar terjadi karena wilayah tersebut tertutup asap. Kejadian ini sering terjadi pada musim kebakaran, sehingga jumlah titik panas yang terdeteksi jauh lebih rendah dari yang seharusnya. Kedua satelit tersebut juga memiliki kelemahan dalam keakuratan posisi (sudut) saat melintas dengan stasiun penerima. Dikarenakan adanya kelemahan-kelemahan pada kedua satelit tersebut, maka adanya analisis lanjutan sangat diperlukan untuk mengidentifikasi apakah titik panas merupakan kebakaran atau pembakaran, atau terletak di wilayah yang beresiko tinggi mengalami kebakaran, seperti pada lahan gambut. Analisis dapat dilakukan dengan melakukan overlay antar data titik panas dan data peta penggunaan lahan atau data penutupan lahan dengan Sistem Informasi Geografis. Biasanya titik panas yang terletak di areal permukiman atau transmigrasi hanya merupakan pembakaran untuk penyiapan ladang. Dalam hal ini, titik panas hanya mengidentifikasikan terjadinya panas atau bila titik panas terjadi di wilayah seperti HPH (Hak Pengusaha Hutan), HTI (Hutan Tanaman Industri), atau perkebunan, maka kemungkinan besar kebakaran (dengan asumsi, perusahaan tidak melakukan pembakaran karena dilarang) (Fire Fight South East Asia 2002 dalam Heryalianto 2006).
10 2.2 Kebakaran Hutan Kebakaran hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan (PERMENHUT No. P. 12/Menhut-II/2009 pasal 1 angka 2). Peningkatan kebakaran hutan dan lahan sebagian besar disebabkan oleh kegiatan manusia dalam mengelola hutan dan lahan. Teknik tebang bakar (slash and burn) merupakan metode yang telah umum digunakan dalam pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan, karena dianggap sebagai metode yang murah, cepat, dan praktis dibanding dengan teknik tanpa bakar. Masyarakat juga masih menilai bahwa abu sisa pembakaran dapat meningkatkan kesuburan tanah. Namun di sisi lain, hal tersebut beresiko tinggi karena dapat menyebabkan kebakaran hutan dan lahan yang meluas. Selain itu, faktor iklim berperan dalam menentukan kejadian kebakaran hutan dan lahan, meskipun bukan sebagai penyebab utama terjadinya kebakaran. Menurut Purbawaseso (2004) faktor yang menimbulkan kebakaran hutan adalah bahan bakar, cuaca, waktu, dan topografi. 2.2.1 Bahan Bakar a. Ukuran Bahan bakar Ukuran bahan bakar berkaitan dengan kelakuan sifat kebakaran yang terjadi. Semakin halus bahan bakar, akan semakin mudah mengering, namun akan mudah pula dalam menyerap air. Api akan lebih cepat menjalar bila luas permukaan bahan bakar semakin besar. Oleh karena itu, bahan bakar yang lebih halus apabila terbakar akan lebih cepat meluas, tetapi akan cepat padam. Bahan bakar kasar, kadar air yang terkandung lebih stabil, tidak cepat mengering, sehingga sulit terbakar. Namun, apabila terbakar tidak mudah padam. Misalnya rumput kering, rumput kering akan lebih mudah terbakar namun akan lebih cepat mati dibandingkan dengan tunggak pohon. b. Susunan Bahan Bakar Bahan bakar yang terdapat di alam tersusun secara horizontal maupun vertikal. Susunan horizontal akan berpengaruh terhadap luasan penyebaran kebakaran, sementara susunan vertikal akan mempengaruhi ukuran dan kemampuan menyalanya api. Susunan bahan bakar horisontal misalnya, bahan bakar yang letaknya terpisah jauh-jauh akanterbakar lebih lambat dan penjalaran apinya juga akan lebih lambat. Sementara susunan bahan bakar secara vertikal, yaitu bahan bakar yang tersusun bersambung mulai permukaan tanah sampai ujung tajuk pohon yang dapat menimbulkan gejala “mengobor”, yang artinya pohon itu dapat terbakar secara individual mulai dari pangkal batang sampai ke ujung tajuk pohon. c. Volume Bahan Bakar Volume bahan bakar dalam jumlah besar akan menyebabkan nyala api lebih besar, temperatur sekitar lebih tinggi, sehingga api lebih sulit dipadamkan. Begitu pula sebaliknya, volume bahan bakar sedikit maka nyala api yang dihasilkan lebih kecil dan lebih mudah dipadamkan.
11 d. Jenis Bahan Bakar Bahan bakar berasal dari berbagai macam komponen vegetasi, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Komponen tersebut dikelompokkan menjadi rumput, semak-belukar, pohon-pohon atau tegakan, dan sisa-sisa (sisa limbah eksploitasi kayu atau sisa limbah kayu dari hasil land clearing dalam rangka penyiapan lahan). Jenis bahan bakar bisa digunakan untuk memprediksi intensitas kebakaran yang terjadi. Tumbuhan yang berdaun jarum (misalnya: pinus) akan lebih mudah terbakar dibandingkan dengan tumbuhan berdaun lebar. e. Kandungan Air Bahan Bakar Kandungan air akan berpengaruh terhadap kemudahan bahan bakar menyala serta kecepatan menyebarnya api. 2.2.2 Cuaca a. Angin Angin akan menurunkan kelembapan udara, sehingga mempercepat pengeringan bahan bakar dan memperbesar ketersediaan oksigen, sehingga api dapat berkobar dan merambat cepat. Angin juga dapat mengarahkan lidah api ke bahan bakar yang belum terbakar. b. Suhu Suhu yang tinggi akan menyebabkan bahan bakar lebih cepat mengering, sehingga lebih rawan kebakaran. Pada siang hari, suhu lebih tinggi karena adanya sinar matahari, sehingga kebakaran akan lebih mudah terjadi dibandingkan pada malam hari. Awal kebakaran hutan biasanya mulai siang hari terutama antara jam 10.00 – 15.00 dengan puncak pada pukul 14.00 - 15.00. c. Curah Hujan Curah hujan akan berpengaruh terhadap kelembaban udara dan kadar air bahan bakar. Curah hujan tinggi akan menyebabkan bahan bakar memiliki kandungan kadar air tinggi serta kelembaban udara tinggi, maka akan sulit terjadi kebakaran. d. Keadaan Air Tanah Faktor air tanah akan terlihat pengaruhnya pada kebakaran lahan gambut. Pada musim kemarau, kondisi air tanah bisa menurun sehingga menyebabkan permukaan air tanah juga menurun. Turunnya permukaan air tanah menyebabkan lapisan permukaan atas gambut menjadi kering, sehingga lebih rentan terjadi kebakaran. e. Kelembapan Nisbi (Kelembaban Udara Relatif) Kelembapan udara yang tinggi akan mempengaruhi kandungan air bahan bakar, dimana bahan bakar tersebut akan menyerap air dari udara yang lembab tersebut sehingga bahan bakar menjadi sulit untuk terbakar. 2.2.3 Waktu Waktu terkait dengan kondisi cuaca yang menyertainya. Pada waktu siang hari, umumnya kondisi cuaca yang terjadi adalah kelembaban udara rendah, suhu udara tinggi dan angin bertiup kencang. Sementara, pada waktu malam hari
12 kondisi cuaca umumnya justru sebaliknya yaitu kelembapan udara tinggi, suhu udara rendah dan angin bertiup lebih tenang. 2.2.4 Topografi a. Kemiringan Faktor ini merupakan faktor yang mempengaruhi tingkah laku api. Pada lereng curam api akan cepat ke arah puncak dan melambat ke arah bawah. Semakin curam kemiringannya akan semakin cepat pula api menjalar. b. Arah Lereng Arah lereng yang langsung menghadap matahari akan mengeringkan bahan bakar lebih cepat, sehingga menyebabkan kondisi yang rentan terhadap kebakaran dibandingkan dengan wilayah yang arah lerengnya tidak menghadap matahari. c. Medan Medan merupakan kondisi lapang, yang bersifat khas. Kondisi medan berperan dalam sebagai penghalang yang mampu mengendalikan aliran angin.
2.3 Interpretasi Citra Interpretasi citra merupakan kegiatan mengkaji foto udara atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek tersebut (Estes dan Simonett, 1975 dalam Sutanto, 1986). Kegiatan interpretasi ini terdiri atas 3 tahap, yaitu deteksi, identifikasi, dan klasifikasi. Deteksi merupakan pengamatan atas keberadaan suatu objek pada citra. Identifikasi merupakan upaya mencirikan objek yang telah dideteksi dengan menggunakan keterangan yang cukup yang dapat dilakukan dengan memperhatikan unsur interpretasi citra. Klasifikasi merupakan proses deleniasi untuk membatasi dan membagi kelas penutupan/penggunaan lahan. Teknik penafsiran citra penginderaan jauh diciptakan agar penafsir dapat melakukan pekerjaan penafsiran citra secara mudah dengan mendapatkan hasil penafsiran pada tingkat keakuratan dan kelengkapan yang baik. Menurut Sutanto (1986), teknik penafsiran citra penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan komponen penafsiran yang meliputi data acuan, kunci interpretasi citra, metode pengkajian, penerapan konsep multispektral. 1.
Data Acuan Data acuan diperlukan untuk meningkatkan kemampuan dan kecermatan seorang penafsir, data ini bisa berupa laporan penelitian, monografi daerah, peta, dan yang terpenting di sini data di atas dapat meningkatkan local knowledge pemahaman mengenai lokasi penelitian. 2.
Kunci Interpretasi Citra Kunci interpretasi citra mempunyai sembilan unsur yaitu rona/warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, tinggi, bayangan, situs, asosiasi. - Rona, menunjukkan adanya tingkatan keabuan yang teramati pada foto udara hitam putih dan dapat diwujudkan dengan nilai densitas cara logaritmik antara hitam dan putih dengan berpedoman skala keabuan. - Warna, dapat dipresentasikan terhadap 3 unsur (hue, value, chroma), dan mengelompokkannya dalam berbagai kelas. Perbedaan warna pada kertas
13
-
-
-
-
-
-
cetakan atau transparansi lebih mudah dikenali daripada perbedaan rona pada foto udara hitam putih. Ukuran, memiliki dua aspek dan biasanya memerlukan sebuah streoskop untuk pengamatan tiga dimensional. Ukuran objek bermanfaat dalam pengenalan objek tertentu seperti pohon tua, dewasa, muda, pohon anakan, dan semak. Bentuk, bentuk dan ukuran sering berasosiasi sangat erat. Bentuk menunjuk pada konfigurasi umum suatu objek sebagaimana terekam pada citra penginderaan jauh. Tekstur, perbedaan tekstur dapat dikenali pada semua skala foto udara dengan resolusi spasial citra satelit yang semakin baik. Tekstur merupakan frekuensi perubahan rona dalam citra foto udara. Bayangan, berasosiasi dengan bentuk dan tinggi objek. Pola, sebuah karakteristik makro yang digunakan untuk mendeskripsikan tata ruang pada citra, termasuk didalamnya pengulangan kenampakankenampakan alami. Sering berasosiasi dengan geologi, topografi, tanah, iklim, dan komunitas tanaman. Situs, menjelaskan tentang posisi muka bumi dari objek yang diamati berkaitan dengan kenampakkan disekitarnya atau berkonotasi terhadap gabungan faktor lingkungan yang mempengaruhi karakteristik makro objek. Asosiasi. menunjuk suatu komunitas objek yang memiliki keseragaman tertentu atau beberapa objek yang berdekatan secara erat dimana masingmasing membentuk keberadaan yang lainnya.
3.
Metode Pengkajian Penafsiran citra pengindraan jauh lebih mudah apabila dimulai dari pengkajian dengan pertimbangan umum ke pertimbangan khusus / lebih spesifik dengan metode konvergensi bukti. 4.
Penerapan Konsep Multispectral Konsep ini menganjurkan untuk menggunakan beberapa alternatif penggunaan beberapa band secara bersamaan, yang berguna dalam memudahkan interpretasi dengan mempertimbangkan kelebihan masing-masing penerapan komposit band tersebut. Pada citra dengan komposit band 543, dapat membedakan antara obyek vegetasi dengan non vegetasi, obyek bervegetasi dipresentasikan dengan warna hijau, tanah kering dengan warna merah, komposit ini paling popular untuk penerapan di bidang kehutanan (Kementrian Kehutanan). Selain itu, komposit 543 juga dapat digunakan untuk membedakan obyek yang mempunyai kandungan air atau kelembapan tinggi. Obyek dengan tingkat kelembapan atau kandungan air tinggi akan dipresentasikan dengan rona yang lebih gelap secara kontras. Contoh obyek tambak akan tampak berwarna biru kehitaman dengan bentuk kotak teratur, komposit ini membantu dalam pembedaan hutan rawa dengan hutan lahan kering, sawah dengan padi tua ataupun sawah dengan awal penanaman. Citra dengan komposit band 432, mempunyai kelebihan untuk membedakan obyek kelurusan seperti jalan dan kawasan perkotaan. Jaringan jalan dipresentasikan dengan warna putih.
14 2.4 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Penggunaan lahan (land use) adalah semua bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup baik materiil maupun spiritual (Arsyad, 2010). Penggunaan lahan (land use) berhubungan dengan kegiatan manusia pada bidang tertentu, sedangkan penutupan lahan (land cover) berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada dipermukaan bumi tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap objek-objek tersebut (Lillesand and Kiefer 1997). Perubahan penggunaan lahan dapat diartikan sebagai peralihan fungsi lahan yang semula untuk peruntukan tertentu berubah menjadi peruntukan tertentu pula (yang lain). Perubahan penggunaan lahan juga dapat diartikan sebagai bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda (Martin 1993 dalam Wahyunto et al. 2001). Perubahan penggunaan lahan umumnya bersifat irreversible (tidak dapat balik), karena untuk mengembalikannya dibutuhkan modal yang sangat besar. Perubahan tersebut akan terus berlangsung sejalan dengan meningkatnya jumlah dan aktifitas penduduk dalam menjalankan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya, yang pada akhirnya dapat berdampak positif maupun negatif. Perubahan penggunaan lahan dari hutan ke non-hutan misalnya, dapat mengakibatkan menurunnya daya kemampuan hutan untuk menjalankan fungsi ekologisnya sehingga dapat menimbulkan dampak pada lingkungan yang serius seperti perubahan iklim, berkurangnya keanekaragaman hayati dan ketersediaan sumber daya air serta terjadinya erosi tanah (Basyar 2009). Pada umumnya perubahanperubahan tersebut dapat diamati dengan menggunakan data spasial dari peta penutupan/penggunaan lahan dari titik tahun yang berbeda. Data Penginderaan Jauh seperti citra satelit, radar, dan foto udara sangat membantu dalam pengamatan perubahan penutupan/penggunaan lahan. Pemetaan penutupan/penggunaan lahan sangat berkaitan dengan studi vegetasi, tanaman pertanian, dan tanah. Bagi seorang planner yang harus membuat keputusan yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya lahan, data penutupan/penggunaan lahan merupakan data yang paling penting, sehingga biasanya data dipresentasikan dalam bentuk peta dan bersifat ekonomi. Penggunaan citra pengindraan jauh sesuai untuk membuat peta-peta penutupan/penggunaan lahan. Menurut Lillesand and Kiefer (1997), ketersediaan data citra satelit dalam bentuk yang berbeda-beda (salinan kertas, volume data digital) menyebabkan melimpahnya aplikasi untuk pemetaan penggunaan/ penutupan lahan. Menurut Lo (1995), perhitungan perubahan penutupan/penggunaan lahan dapat dilakukan dengan pendekatan deteksi perubahan perbandingan pascaklasifikasi, dimana pendekatan ini dapat menghasilkan statistik perubahan dengan detail. Pada pendekatan ini, pengklasifikasian dilakukan secara terpisah setiap scene Landsat. Untuk menyakinkan kesesuaian, kategori kelas pengklasifikasian yang digunakan harus sama. Kemudian hasilnya ditumpangtindihkan dan dibandingkan, sehingga areal perubahan penutupan/penggunaan lahan dapat diidentifikasi. Hasil tumpang tindih tersebut adalah perubahan
15 persentase areal diantara dua waktu dan matriks perubahan yang menunjukkan bagaimana perubahan yang terjadi untuk kelas tertentu dari satu tahun ke tahun berikutnya.
2.5 Citra Satelit Landsat 7 ETM+ Satelit Landsat 7 sensor Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) merupakan satelit observasi permukaan bumi yang masih digunakan hingga sekarang. Satelit ini diluncurkan pada tanggal 15 April 1999, dengan orbit pada ketinggian 705 ± 5 km, dengan siklus 16 hari. Sensor ETM memiliki pengamatan spektral menggunakan 7 band dengan penembahan pankromatik band-8, dan resolusi radiometrik 8 bit. Karkteristik panjang gelomnbang sensor ini dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Karakteristik panjang gelombang satelit Landsat 7 ETM+ Band 1 2 3 4 5 6 7 8
Panjang Gelombang (µm) 0.45-0.52 0.52-0.60 0.63-0.69 0.77-0.90 1.55-1.75 10.40-12.50 2.09-2.35 0.52-0.90
Resolusi Spasial (m) 30 x 30 30 x 30 30 x 30 30 x 30 30 x 30 60 x 60 30 x 30 15 x 15
Spektral/radiasi Visibel – biru Visible – hijau Visibel – merah Infra merah dekat Infra merah menengah Thermal infra merah Infra merah menengah Visibel
Pada tanggal 31 Mei 2003, Scan Line Corrector (SCL) yang berfungsi mengatur arah perekaman citra landsat 7 mengalami kegagalan kerja (rusak) secara permanen, sehingga menyebabkan arah perekaman sensor ETM+ menjadi zigzag. Hal itu menyebabkan hasil citra yang terekam setelah tanggal tersebut, terdapat sebagian data yang hilang (DN=0) yang sering disebut celah/gap.
III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai Desember 2012 dengan memilih Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah sebagai lokasi studi. Persiapan, pengolahan dan analisis data secara digital dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
3.2 Alat dan Bahan Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer terdiri atas Citra Landsat 7 ETM+ tahun 2005 sampai 2011. Data sekunder terdiri atas peta administrasi, peta pengggunaan/penutupan lahan Kabupaten Kapuas tahun 2010, data titik panas, dan data curah hujan (TRMM). Data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Bahan yang digunakan dalam penelitian No. Data Sumber Data 1. Citra Landsat part/row : 118/60, Usgs.glovis.com 118/61, 118/62 yang diakuisisi tahun 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, 2010, dan 2011 2. Peta Administrasi Kabupaten Kapuas Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional 3. Peta Penutupan/Penggunaan Lahan Columbia University and Institut Kabupaten Kapuas Tahun 2010 Pertanian Bogor Partnership to Build Capacity for Adaptation to Climate Risks in Indonesia. 4. Data Titik Panas KLH tahun 2005 Badan Kementrian Lingkungan Hidup hingga tahun 2011 yang bersumber dari citra satelit NOAAAVHRR 5. Data Titik Panas Modis tahun 2005 modis.gsfc.nasa.gov hingga tahun 2011 6. Data Curah Hujan tahun 1990 hingga TRMM (Tropical Rainfall Measuring tahun 2009 Kab. Kapuas Mission)
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat komputer dengan perangkat lunak berupa ArcGIS 9.3 dan Erdas Imagine 9.2.
3.3 Metode Penelitian Penelitian ini terdiri atas 3 (tiga) tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pengolahan dan pemrosesan data, dan tahap analisis data spasial. Secara ringkas tahap penelitian disajikan pada Gambar 1.
17 3.3.1 Tahap Persiapan Tahapan ini meliputi studi literatur dan pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penelitian. Studi literatur dilakukan untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan topik penelitian. Selanjutnya dilakukan pengumpulan data spasial yang meliputi data titik panas, citra Landsat, peta administrasi, serta data curah hujan. 3.3.2 Tahap Pengolahan dan Pemrosesan Data Tahap pengolahan data dari citra Landsat 7 ETM+ yaitu meliputi pengunduhan citra untuk wilayah penelitian, layer stacking (penggabungan band), mozaic (penggabungan citra), interpretasi citra, dan penyajian hasil dalam bentuk penutupan lahan. Kemudian dilakukan verifikasi penutupan/penggunaan lahan dan pengolahan data titik panas. a. Proses pengunduhan citra Pengunduhan citra Landsat dilakukan di URL glovis.usgs.gov. Kabupaten Kapuas mencakup tiga scene citra yaitu dengan part/row: 118/60, 118/61, 118/62 dengan akuisisi seperti pada tabel dibawah ini. Tabel 5 Akuisisi citra Landsat 7 ETM+ Kabupaten Kapuas Tahun 2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Part/row 118/60 118/61 118/62 118/60 118/61 118/62 118/60 118/61 118/62 118/60 118/61 118/62 118/60 118/61 118/62 118/60 118/61 118/62 118/60 118/61 118/62
Tanggal Citra 3 November 7 Agustus 7 Agustus 18 Agustus 3 September 3 September 15 April 5 Agustus 4 Juli 28 Januari 19 Mei 19 Mei 7 Juni 22 Mei 25 Juli 10 Februari 10 Februari 10 Februari 20 November 15 Juli 13 Juni
b. Layer stacking (penggabungan band) Proses menggabungkan band pada masing-masing scene citra Landsat kecuali band 6 untuk mempermudah dalam proses pengolahan awal dan interpretasi citra.
18 c. Mozaic (penggabungan citra) Proses menggabungkan sejumlah scene citra. Scene dapat di-mozaic jika memiliki jumlah band dan sistem proyeksi yang sama. d. Interpretasi citra Interpretasi citra merupakan proses untuk mengidentifikasi dan memberi makna objek. Tahap ini terdiri atas 3 tahap, yaitu deteksi, identifikasi, dan klasifikasi. Deteksi dilakukan untuk mengamati atas keberadaan suatu objek, yang selanjutnya diidentifikasi, sebagai upaya mencirikan objek yang telah di deteksi dan pada tahap analisis dikumpulkannya keterangan yang lebih lanjut. Hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan unsur interpretasi. Tahap selanjutnya yaitu klasifikasi, proses deleniasi untuk membatasi dan membagi kelas penutupan/penggunaan lahan. Pada tahap ini mengacu berdasarkan Petunjuk Teknis Penafsiran Citra Resolusi Sedang untuk Menghasilkan Data Penutupan Lahan Tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Badan Planologi Kementerian Kehutanan dan mengacu pada hasil interpretasi penggunaan lahan tahun 2010. Hasil pada tahap interpretasi citra adalah peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, 2010, dan 2011 dengan kelas penggunaan/ penutupan lahan sebanyak 20 kelas. e. VerifikasiPenutupan/Penggunaan Lahan Ketelitian interpretasi penutupan/penggunaan lahan dilakukan dengan ground truth survey dan dengan membandingkan hasil interpretasi dengan data Google Earth. Kelemahan pada data Google Earth ini adalah tidak semua wilayah Kabupaten Kapuas memiliki citra resolusi tinggi. f. Pengolahan data titik panas Data titik panas berupa data tabular hasil pantauan satelit NOAA AVHRR dan satelit MODIS diubah kedalam bentuk vektor sehingga dapat ditampilkan dan dianalisis secara spasial. Transformasi data tabular menjadi data vektor tersebut dilakukan dengan memetakan data titik panas sesuai dengan koordinat geografisnya, sehingga diperoleh distribusi spasial sebaran titik panas. 3.3.3 Tahap Analisis Data Spasial a. Analisis perubahan penutupan/penggunaan lahan Untuk mengetahui perubahan penutupan/penggunaan lahan, maka dilakukan proses tumpang tindih data vector penutupan/penggunaan lahan untuk 6 (enam) periode tahun, yaitu antara penutupan/penggunaan lahan tahun 2005 dengan 2006, 2006 dengan 2007, 2007 dengan 2008, 2008 dengan 2009, 2009 dengan 2010, dan tahun 2010 dengan 2011. Analisis ini mendapatkan peta perubahan penggunaan/ penutupan lahan, yang kemudian dilakukan analisis pola sebaran titik panas pada penutup lahan tertentu dan lokasi perubahannya. b. Analisis sebaran titik panas pada penutupan/penggunaan lahan tahun 2005 hingga 2011 Untuk mengetahui hubungan sebaran titik panas dengan penutupan/ penggunaan lahan dilakukan proses tumpang tindih antara peta sebaran titik panas dengan peta penutupan/penggunaan lahan pada tahun 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, 2010, dan 2011. Dari tahapan tersebut, dapat diketahui distribusi spasial sebaran titik panas dan distribusi temporal dengan menganalisis atribut pada data vektor titik panas.
19 c. Analisis hubungan antara sebaran titik panas dengan perubahan penutupan/penggunaan lahan Untuk mengetahui hubungan sebaran titik panas dengan perubahan penutupan/penggunaan lahan dilakukan proses tumpang tindih antara peta sebaran titik panas dengan peta perubahan penutupan/penggunaan lahan pada periode tahun 2005-2006, 2006-2007, 2008-2009, 2009-2010, dan 2010-2011. Dari proses ini dapat diketahui distribusi spasial sebaran titik panas dan distribusi temporal yang mempengaruhi dalam perubahan penutupan/penggunaan lahan. d.
Analisis hubungan antara sebaran titik panas dengan anomali curah hujan. Tahap ini menghitung rata-rata dan anomali curah hujan bulanan di Kabupaten Kapuas selama 20 tahun (1990–2009). Anomali curah hujan bulan dihitung dengan membandingkan curah hujan bulanan dengan curah hujan ratarata selama 20 tahun. Hasil tersebut dibandingkan dengan titik panas tahun 2005, 2006, 2007, 2008, dan 2009. Jika curah hujan rata-rata bulanan lebih tinggi dibandingkan dengan curah hujan bulanan (misalnya Agustus tahun 2005), maka anomali curah hujannya adalah negatif (bulan kering), begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, dimungkinkan bahwa pada anomali curah hujan negatif jumlah titik panas yang teridentifikasi lebih banyak dibandingkan jika anomali curah hujan positif (basah). Citra Landsat Tahun 2005-2011
Peta Administrasi
Data Titik PanasSatelit NOAA-AVHRR dan MODISTahun 2005-2011
Data Curah Hujan (CH) Bulanan Tahun 1990-2009
Mengubah data tabular menjadi data vektor
Curah Hujan Bulanan (rata-rata CH)
Layer Stack
Mozaic Verifikasi penggunaan / Penutupan Lahan
Interpretasi Citra
Distribusi Spasial
Peta Penggunaan Lahan Tahun: 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Anomali CH 2005, 2006, 2007, 2008, 2009
Menganalisis Pola Sebaran Titik Panas pada Penutupan/Penggunaan Lahan (Tahun 2005- 2011)
Tumpang Tindih
PerubahanPenutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2005-2011
Menganalisis Hubungan antara Titik Panas dengan Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan
Gambar 1 Diagram alir penelitian
Menganalisis Hubungan Titik Panas dengan Anomali Curah Hujan
IV KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Kapuas adalah salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah dengan ibukota kabupaten ini terletak di Kuala Kapuas. Secara geografis Kabupaten Kapuas terletak di antara 0o8'48" sampai dengan 3o27'00" Lintang Selatan dan 113o2'36" sampai 114o44'00" Bujur Timur. Batas administrasi wilayah Kabupaten Kapuas berbatasan dengan kebupaten-kabupaten: sebelah utara dengan Kabupaten Barito Utara dan Murung Raya, sebelah selatan dengan Laut Jawa dan Kabupaten Barito Kuala Provinsi Kalimantan Selatan, sebelah barat dengan Kabupaten Pulang Pisau, Kota Palangkaraya, dan Gunung Mas, dan sebelah timur dengan Kabupaten Barito Selatan dan Provinsi Kalimantan Selatan. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Secara Administrasi Kabupaten Kapuas terbagi menjadi 17 kecamatan yaitu Basarang, Bataguh, Dadahup, Kapuas Barat, Kapuas Hilir, Kapuas Hulu, Kapuas Kuala, Kapuas Murung, Kapuas Tengah, Kapuas Timur, Mandau Talawang, Mantangai, Pasak Talawang, Pulau Petak, Selat, Tamban Catur, dan Timpah.
Gambar 2 Peta lokasi studi
4.2 Topografi Topografi daerah secara umum terbagi menjadi dua bagian kawasan besar, yaitu kawasan pasang surut (sebelah selatan yang berpotensi untuk pertanian tanaman pangan) dan kawasan non pasang surut (bagian utara yang berpotensi untuk perkebunan karet rakyat dan perkebunan besar swasta). Bagian selatan
21 merupakan daerah pesisir, dataran rendah, dan rawa-rawa dengan ketinggian antara 0 - 50 meter dari permukaan air laut dan kemiringan lereng 0 - 8%. Sementara bagian utara merupakan daerah dataran tinggi yang berbukit dengan ketinggian antara 50 - 500 meter dari permukaan air laut dan memiliki kemiringan lereng 8 - 15%. Selain itu daerah Kabupaten Kapuas memiliki daerah/wilayah perairan yang meliputi danau, rawa dan beberapa sungai besar, yaitu: 1. Sungai Kapuas Murung dengan panjang ± 66.38 km 2. Sungai Kapuas dengan panjang ± 600 km 3. Daerah Pantai/Pesisir Laut Jawa dengan panjang ± 189.85 km
4.3 Iklim Kabupaten Kapuas umumnya termasuk daerah beriklim tropis dan lembab dengan temperatur pada tahun 2010 berkisar antara 21-23 oC dan maksimal mencapai 36 oC. Intensitas penyinaran matahari selalu tinggi dan sumber daya air yang cukup banyak, sehingga menyebabkan tingginya penguapan yang menimbulkan awan aktif/tebal. Curah hujan terbanyak jatuh pada bulan April berkisar 491 – 586 mm, sedangkan bulan kering/kemarau jatuh pada bulan Juli sampai September.
4.4 Jumlah Penduduk Jumlah penduduk Kabupaten Kapuas sekitar 329 440 jiwa dengan klasifikasi 167 937 laki-laki dan 161 503 perempuan (Kapuas dalam Angka tahun 2010). Tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Kapuas rata-rata sebanyak 21.96 orang per km2. Komposisi penduduk serta penyebaran yang belum merata dan keberadaan penduduk masih banyak yang bertempat tinggal di sekitar ibukota kabupaten dan kecamatan. Tingkat pendidikan di kabupaten ini yaitu, kemampuan baca tulis masyarakat Kapuas cukup tinggi. Lebih dari 95% penduduknya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar, namun kurang dari 50% yang berlanjut sampai ke jenjang Sekolah Lanjut Tingkat Atas. Penduduk laki-laki memiliki kemampuan baca tulis lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan, dan penduduk yang tinggal didaerah perkotaan memiliki kemampuan baca tulis yang lebih baik dibandingkan penduduk perdesaan. Pasar tenaga kerja di Kapuas masih dalam kondisi tingginya angkatan kesempatan kerja. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya persentase penduduk usia kerja yang bekerja yang besarnya mencapai lebih dari 90%. Berdasarkan perbandingan menurut kelompok sektor tahun 2010, pilihan bekerja disektor primer mendominasi tenaga kerja (73.25%), diikuti sektor tersier (19.67%), dan sisanya bekerja disektor sekunder. Sebagian besar penduduk Kapuas menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.
22 4.5 Perekonomian Sektor pertanian tanaman pangan dengan komoditi utama padi merupakan salah satu andalan kabupaten yang merupakan lumbung pangan Kalimantan Tengah, yang dapat menjadi penopang perekonomian masyarakat Kapuas. Tak kurang dari 52% produksi beras Kalimantan Tengah dipasok oleh Kabupaten Kapuas. Kabupaten ini memang didukung lahan pertanian seluas 76.80 ribu ha dari potensi lahan 277 ribu ha. Prospek perluasan areal persawahan di daerah ini masih terbuka lebar. Misalnya di Kecamatan Selat, Kapuas Hilir, Kapuas Murung, Pulau Petak, Basarang, Kapuas Barat, dan Kecamatan Mantangai. Inilah kawasan yang termasuk dalam program Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar tempo dulu yang kini tengah dibangkitkan lagi. Selain padi, komoditi pertanian lainnya yang cukup potensial adalah ubi kayu, usaha perikanan laut, plywood, karet (crumb rubber), sabut kelapa dan anyaman rotan, industri meubeler, hasil kerajinan purun, perahu kayu, karet sirap ulin dan balok ulin. Sektor pertambangan juga cukup menjanjikan. Sektor pertambangan di Kapuas adalah pertambangan non migas, dimana pertambangan batubara yang paling dominan.
V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kepadatan Titik Panas di Kabupaten Kapuas Tahun 2005 - 2011
Jumlah Titik Panas
Satelit NOAA-AVHRR dan MODIS pada periode 2005 sampai 2011 (7 tahun) dapat merekam kemunculan titik panas di Kabupaten Kapuas dengan kepadatan yang berbeda setiap tahunnya seperti terlihat pada Gambar 3. 3000
2 406
NOAA-AVHRR
MODIS 2 603
2000 748
1000
835 408 406
200 0
2005
2006
2007
622
621 38
183
2008 Tahun
78 44
2009
2010
143
2011
Gambar 3 Jumlah titik panas tahun 2005-2011 Jumlah titik panas tahunan yang dapat diidentifikasi oleh satelit NOAAAVHRR pada tahun 2005 sebanyak 200 titik, tahun 2006 meningkat cukup drastis menjadi 835 titik. Tahun 2007 mulai mengalami penurunan hingga tahun 2008. Tahun 2009 kembali menunjukan adanya peningkatan, turun kembali tahun 2010 dan tahun 2011 sedikit meningkat. Sementara titik panas yang teridentifikasi oleh satelit MODIS jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan NOAA-AVHRR, namun masih menunjukan pola yang tidak jauh berbeda. Tahun 2005 tercatat 748 titik, meningkat drastis di tahun 2006 dan tahun 2007 mengalami penurunan hingga tahun 2008. Tahun 2009 titik panas meningkat drastis kembali, tahun 2010 menurun kembali, dan tahun 2011 menunjukan adanya peningkatan meskipun jumlahnya tidak sebanyak tahun 2006 dan 2009. Pada kedua satelit terlihat bahwa kemunculan titik panas maksimum terjadi pada tahun 2006 dan 2009. Hal ini diduga karena adanya pengaruh dari fenomena anomali iklim, yaitu El-Nino yang menyebabkan kekeringan panjang, sehingga intensitas dan frekuensi kebakaran meningkat seperti pada tahun 2002, 2004, 2006, dan 2009 (Suwarsono et al. 2010). Titik panas di Kabupaten Kapuas banyak ditemukan di bagian selatan, dimana daerah tersebut merupakan dataran rendah, daerah pesisir, dan rawa-rawa dengan ketinggian antara 0-50 meter dari permukaan air laut. Berdasarkan kemiringan lereng bagian selatan memiliki lereng 0-8%. Wilayah ini merupakan kawasan budidaya dengan penggunaan lahan utama perkebunan dan pertanian termasuk Ex Proyek Lahan Gambut 1 juta Ha tempo dulu yang sekarang mulai dimanfaatkan kembali. Sebagian masyarakat Kapuas juga masih melakukan sistem pertanian lokal, dimana penyiapan lahan untuk pertanian atau perkebunan cenderung dilakukan dengan pembakaran lahan karena dianggap lebih mudah, murah, dan cepat, sehingga pada lokasi ini banyak teridentifikasi titik panas.
24 5.2 Perubahan Penutupan/Pengggunaan Lahan di Kabupaten Kapuas Tahun 2005-2011 Pada penelitian ini dilakukan pemetaan penutupan/penggunaan lahan Kabupaten Kapuas dalam rentang waktu 7 (tujuh) tahun (2005-2011) yang diperoleh dari interpretasi citra Landsat tahun 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, 2010, dan 2011. Berdasarkan hasil interpretasi, Kabupaten Kapuas memiliki 20 kelas penutupan/penggunaan lahan, yaitu air, belukar,belukar rawa, hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, hutan tanaman, lahan terbuka, perkebunan, permukiman, pertambangan, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, rawa, sawah, tambak, dan transmigrasi (Tabel 6). Selama tahun 2005 sampai 2011, penutupan/penggunaan lahan di Kabupaten Kapuas didominasi oleh hutan lahan kering sekunder, hutan rawa sekunder, belukar rawa, dan belukar. Hutan lahan kering sekunder selalu mengalami penurunan dari 34.81% (tahun 2005) menjadi 32.09% (tahun 2011). Disusul oleh hutan rawa sekunder yang juga selalu mengalami penurunan dari 18% (tahun 2005) menjadi 14.57% (tahun 2011). Sementara belukar rawa berubah secara fluktuatif dengan luasan tertinggi pada tahun 2008 (15.27%) dan terendah pada tahun 2005 (13.92%) yaitu mengalami peningkatan hingga tahun 2008, dan tahun 2009 mengalami penurunan hingga tahun 2011. Lahan belukar juga berubah secara fluktuatif dengan luasan tertinggi tahun 2011 (13.35%) dan terendah tahun 2005 (12.83%). Tahun 2006 luas belukar sedikit meningkat, namun tahun 2007 mengalami penurunan dan meningkat kembali tahun 2008 hingga tahun 2011. Penutupan/penggunaan lahan lainnya, seperti air, hutan lahan kering primer, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, hutan rawa primer, hutan tanaman, lahan terbuka, perkebunan, permukiman, pertambangan, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, rawa, sawah, tambak, dan transmigrasi luasanya kurang dari 10% dari total luas wilayah Kabupaten Kapuas. Pola pemukiman pada kabupaten ini umumnya menyebar dan luasannya hanya 0.13% dan 0.18% masing-masing pada tahun 2005 dan 2011 atau hanya meningkat 807 ha (36.71%). Penggunaan lahan belukar, belukar rawa, dan lahan terbuka ditemukan secara menyebar, berbeda dengan hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, dan tambak yang hanya ditemukan di wilayah pesisir. Lahan air merupakan penutupan lahan dengan luasan yang tetap. Peta penutupan/penggunaan lahan di Kabupaten Kapuas pada tahun 2005 hingga tahun 2011 dapat dilihat pada Lampiran 2 dan luas masing-masing penutupan/penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 6. Perubahan penutupan/penggunaan lahan dapat dideteksi dengan perbandingan pascainterpretasi, dimana untuk memperoleh hasil perubahan penggunaan lahan, peta penutupan/penggunaan lahan masing-masing tahun dilakukan tumpang tindih, yaitu tahun 2005 dengan 2006, tahun 2006 dengan 2007, tahun 2007 dengan 2008, tahun 2008 dengan 2009, tahun 2009 dengan 2010, dan tahun 2010 dengan 2011. Dari proses ini diperoleh matrik transisi/perubahan lahan dalam 6 (enam) periode tahun. Matriks perubahan lahan yang menunjukkan perubahan penutupan/penggunaan lahan yang terjadi dari satu tahun ke tahun berikutnya.
Tabel 6 Luas penutupan/penggunaan lahan tahun 2005-2011 Penutupan/ Penggunaan 2005 2006 Lahan Ha % Ha 22 211 1.32 22 211 A 216 318 12.83 216 919 B 234 579 13.92 236 488 BR 12 945 0.77 12 945 HLKP 586 799 34.81 583 121 HLKS 307 0.02 307 HMP 1 727 0.10 1 727 HMS 22 108 1.31 22 096 HRP 303 358 18.00 302 383 HRS 9 169 0.54 9 183 HT 60 092 3.56 60 146 LT 117 048 6.94 117 102 Pk 2 198 0.13 2 241 Pmk 5 699 0.34 5 911 Pt 24 750 1.47 24 750 PLK 4 316 0.26 6 024 PLKC 6 509 0.39 6 509 Rw 55 169 3.27 55 169 Sw - 0.00 71 Tm 362 0.02 362 Tr 1 685 663 100 1 685 663 Total Keterangan kode penutupan/penggunaan lahan: A : Air HMP B : Belukar HMS BR : Belukar Rawa HRP HLKP : Hutan Lahan Kering Primer HRS HLKS : Hutan Lahan Kering Sekunder HT
% 1.32 12.87 14.03 0.77 34.59 0.02 0.10 1.31 17.94 0.54 3.57 6.95 0.13 0.35 1.47 0.36 0.39 3.27 0.00 0.02 100
2007 Ha % 22 241 1.32 216 534 12.85 244 629 14.51 12 945 0.77 578 799 34.34 307 0.02 1 727 0.10 21 928 1.30 281 231 16.68 9 183 0.54 69 241 4.11 125 400 7.44 2 241 0.13 6 212 0.37 24 750 1.47 6 024 0.36 6 669 0.40 55 169 3.27 71 0.00 362 0.02 1 685 663 100
Tahun 2008 Ha % 22 241 1.32 217 885 12.93 257 318 15.27 12 945 0.77 567 939 33.69 274 0.02 1 760 0.10 21 610 1.28 269 277 15.97 9 183 0.54 62 375 3.70 141 157 8.37 2 383 0.14 7 219 0.43 24 750 1.47 4 835 0.29 6 280 0.37 55 799 3.31 71 0.00 362 0.02 1 685 663 100
: Hutan Mangrove Primer : Hutan Mangrove Sekunder : Hutan Rawa Primer : Hutan Rawa Sekunder : Hutan Tanaman
LT Pk Pmk Pt PLK
2009 Ha 22 217 220 070 248 065 12 945 556 271 224 1 823 21 136 260 268 14 888 62 735 161 342 2 511 8 826 24 751 4 835 6 514 55 810 71 362 1 685 663
% 1.32 13.06 14.72 0.77 33.00 0.01 0.11 1.25 15.44 0.88 3.72 9.57 0.15 0.52 1.47 0.29 0.39 3.31 0.00 0.02 100
: Lahan Terbuka : Perkebunan : Permukiman : Pertambangan : Pertanian Lahan Kering
2010 Ha 22 256 223 373 247 545 12 945 544 380 224 1 559 20 747 248 337 17 101 69 902 169 114 2 593 9 759 24 751 4 835 9 485 56 325 71 362 1 685 663
% 1.32 13.25 14.69 0.77 32.29 0.01 0.09 1.23 14.73 1.01 4.15 10.03 0.15 0.58 1.47 0.29 0.56 3.34 0.00 0.02 100
2011 Ha 22 256 225 018 245 180 12 945 540 858 224 1 559 20 545 245 669 17 162 69 202 174 989 3 005 10 519 5 400 4 835 9 485 56 380 71 362 1 685 663
% 1.32 13.35 14.55 0.77 32.09 0.01 0.09 1.22 14.57 1.02 4.11 10.38 0.18 0.62 1.51 0.29 0.56 3.34 0.00 0.02 100
PLKC : Pertanian Lahan Kering Campur Rw : Rawa Sw : Sawah Tm : Tambak Tr : Transmigrasi
25
26 Hasil analisis menunjukan bahwa pada rentang waktu tahun 2005-2006 penutupan/penggunaan lahan yang dominan mengalami penambahan luas adalah belukar rawa sebanyak 1 909 ha (0.81%), dan diikuti oleh pertanian lahan kering campur sebanyak 1 708 ha (39.57%), sedangkan penutupan/penggunaan lahan yang paling banyak mengalami penurunan luas adalah hutan lahan kering sekunder sebanyak 3 679 ha (0.63%). Perubahan setiap masing-masing penutupan/penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 4. 2000
Tr
Tm
Sw
Rw
PLKC
PLK
Pt
Pmk
Pk
LT
HT
HRS
HRP
HMS
HMP
HLKS
HLKP
BR
-1000
B
0
A
Luas (Ha)
1000
-2000 -3000 -4000
Penggunaan/Penutupan Lahan
Keterangan kode penutupan/penggunaan lahan: A B BR HLKP HLKS HMP HMS
: Air : Belukar : Belukar Rawa : Hutan Lahan Kering Primer : Hutan Lahan Kering Sekunder : Hutan Mangrove Primer : Hutan Mangrove Sekunder
HRP HRS HT LT Pk Pmk Pt
: Hutan Rawa Primer : Hutan Rawa Sekunder : Hutan Tanaman : Lahan Terbuka : Perkebunan : Permukiman : Pertambangan
PLK : Pertanian Lahan Kering PLKC : Pertanian Lahan Kering Campur Rw : Rawa Sw : Sawah Tm : Tambak Tr : Transmigrasi
Gambar 4 Perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan tahun 2005-2006 Penutupan/penggunaan lahan lainnya yang luas lahannya bertambah adalah belukar sebanyak 601 ha (0.28%), pertambangan 212 ha (3.37%), lahan terbuka 54 ha (0.09%), perkebunan 53 ha (0.05%), permukiman 43 ha (1.94%), dan hutan tanaman 14 ha (0.16%). Selain itu, terdapat pembukaan lahan tambak sebesar 71 ha yang pada tahun 2005 belum ditemukan. Hutan rawa sekunder mengalami penurunan sebesar 975 ha (0.32%), begitu pula hutan rawa primer 12 ha (0.06%), sedangkan untuk penutupan/penggunaan lahan lainnya tidak mengalami perubahan yang signifikan. Periode tahun 2006-2007, luasan penutupan/penggunaan lahan yang dominan meningkat adalah lahan terbuka 9 095 ha (15.12%), disusul perkebunan sebesar 8 298 ha (7.09%), dan belukar rawa sebesar 8 141 ha (3.44%). Sementara, luasan penutupan/penggunaan lahan yang mengalami penurunan adalah hutan rawa sekunder 21 252 ha (7.00%). Perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 5. Penambahan luas penutupan/penggunaan lahan lainnya yaitu terjadi pada penggunaan lahan pertambangan 301 ha (5.09%), rawa 160 ha (2.46%), dan air yang meningkat 30 ha (0.14%). Penurunan luas lahan terjadi pada hutan lahan kering sekunder sebanyak 4 321 ha (0.74%), hutan rawa primer 168 ha (0.76%), belukar 385 ha (0.18%), dan penggunaan/ penutupan lahan lainnya tidak mengalami perubahan.
27 10000
Tr
Tm
Sw
Rw
PLKC
PLK
Pt
Pmk
Pk
LT
HT
HRS
HRP
HMS
HMP
HLKS
-10000
HLKP
BR
-5000
B
0
A
Luas (Ha)
5000
-15000 -20000 -25000
Penggunaan/Penutupan Lahan Keterangan kode penutupan/penggunaan lahan: A B BR HLKP HLKS HMP HMS
: Air : Belukar : Belukar Rawa : Hutan Lahan Kering Primer : Hutan Lahan Kering Sekunder : Hutan Mangrove Primer : Hutan Mangrove Sekunder
HRP HRS HT LT Pk Pmk Pt
: Hutan Rawa Primer : Hutan Rawa Sekunder : Hutan Tanaman : Lahan Terbuka : Perkebunan : Permukiman : Pertambangan
PLK : Pertanian Lahan Kering PLKC : Pertanian Lahan Kering Campur Rw : Rawa Sw : Sawah Tm : Tambak Tr : Transmigrasi
Gambar 5 Perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan tahun 2006-2007 Luas penutupan/penggunaan lahan pada periode tahun 2007-2008 yang dominan mengalami peningkatan adalah perkebunan 15 757 ha (12.57%) dan diikuti oleh belukar rawa 12 689 ha (5.19%). Sementara luas lahan yang dominan mengalami penurunan adalah hutan rawa sekunder 11 954 ha (4.25%) disusul oleh hutan lahan kering sekunder 10 861 ha (1.88%) dan lahan terbuka 6 866 ha (9.92%). Perubahan masing-masing penutupan/penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 6. 16000 12000
Luas (Ha)
8000 4000
-12000
Tr
Tm
Sw
Rw
PLKC
PLK
Pt
Pmk
Pk
LT
HT
HRS
HRP
HMS
HMP
HLKS
BR
HLKP
-8000
B
-4000
A
0
Penggunaan/Penutupan Lahan
Keterangan kode penutupan/penggunaan lahan: A B BR HLKP HLKS HMP HMS
: Air : Belukar : Belukar Rawa : Hutan Lahan Kering Primer : Hutan Lahan Kering Sekunder : Hutan Mangrove Primer : Hutan Mangrove Sekunder
HRP HRS HT LT Pk Pmk Pt
: Hutan Rawa Primer : Hutan Rawa Sekunder : Hutan Tanaman : Lahan Terbuka : Perkebunan : Permukiman : Pertambangan
PLK : Pertanian Lahan Kering PLKC : Pertanian Lahan Kering Campur Rw : Rawa Sw : Sawah Tm : Tambak Tr : Transmigrasi
Gambar 6 Perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan tahun 2007-2008 Luas penutupan/penggunaan lainnya yang bertambah adalah belukar 1 351 ha (0.62%), pertambangan 1 007 ha (16.22%), sawah 630 ha (1.14%), permukiman 143 ha (6.36%), dan hutan manggrove sekunder 33 ha (1.91%).
28 Penutupan/penggunaan lahan yang mengalami penurunan adalah pertanian lahan kering campur 1 189 ha (19,74%), 389 ha (5.83%), hutan rawa primer 318 ha (1.45%), hutan mangrove primer 33 ha (10.77%), rawa dan penutupan/ penggunaan lahan lainnya tidak mengalami perubahan yang signifikan. Luas penutupan/penggunaan lahan pada tahun 2008-2009 yang dominan mengalami peningkatan adalah perkebunan 20 185 ha (14.30%) dan diikuti hutan tanaman 5 705 ha (62.12%), sedangkan luas lahan yang dominan menurun adalah hutan lahan kering sekunder 11 667 ha (2.50%), belukar rawa 9 253 ha (3.60%), dan hutan rawa sekunder 9 009 ha (3.35%). Perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 7. 20000 15000
Luas (Ha)
10000 5000
-15000
Tr
Tm
Sw
Rw
PLKC
PLK
Pt
Pmk
Pk
LT
HT
HRS
HRP
HMS
HMP
HLKS
BR
HLKP
-10000
B
-5000
A
0
Penggunaan/Penutupan Lahan
Keterangan kode penutupan/penggunaan lahan: A B BR HLKP HLKS HMP HMS
: Air : Belukar : Belukar Rawa : Hutan Lahan Kering Primer : Hutan Lahan Kering Sekunder : Hutan Mangrove Primer : Hutan Mangrove Sekunder
HRP HRS HT LT Pk Pmk Pt
: Hutan Rawa Primer : Hutan Rawa Sekunder : Hutan Tanaman : Lahan Terbuka : Perkebunan : Permukiman : Pertambangan
PLK : Pertanian Lahan Kering PLKC : Pertanian Lahan Kering Campur Rw : Rawa Sw : Sawah Tm : Tambak Tr : Transmigrasi
Gambar 7 Perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan tahun 2008-2009 Perubahan penutupan/penggunaan lahan lainnya pada periode 2008-2009 yang mengalami peningkatan luas adalah belukar sebesar 2 184 ha (1%), pertambangan 1 607 ha (22.26%), lahan terbuka 361 ha (0.58%), rawa 234 ha (3.37%), permukiman 127 ha (5.35%), hutan mangrove sekunder 63 ha (3.58%), dan sawah 11 ha (0.02%). Sementara, yang mengalami penurunan luas adalah hutan rawa primer 475 ha (2.20%), hutan mangrove primer 50 ha (18.10%), air 24 ha (0.11%), dan penutupan/penggunaan lahan lainnya tetap. Tahun 2009-2010 luas perkebunan meningkat 7 772 ha (4.82%) dan diikuti lahan terbuka sebanyak 7 166 ha (11.42%), sementara hutan rawa sekunder menurun sebanyak 11 931 ha (4.58%) dan hutan lahan kering sekunder menurun sebanyak 11 891 ha (2.14%). Perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 8. Penutupan/penggunaan lahan lainnya pada periode tahun 2009-2010 yang mengalami peningkatan luas adalah belukar 3 303 ha (1.50%), rawa 2 971 ha (45.60%), hutan tanaman 2 212 ha (14.86%), pertambangan 933 ha (10.57%), sawah 515 ha (0.92%), permukiman sebesar 83 ha (3.29%), dan air 39 ha (0.18%). Sementara penutupan/penggunaan lahan yang menurun adalah belukar rawa 520 ha (0.21%), hutan rawa primer 389 ha (1.84%), dan hutan mangrove sekunder 264 ha (14.47%). Penutupan/penggunaan lahan lainnya tidak mengalami perubahan pada periode tahun ini.
29 8000
Luas (Ha)
4000
Tr
Tm
Sw
Rw
PLKC
PLK
Pt
Pmk
Pk
LT
HT
HRS
HRP
HMS
HMP
HLKS
HLKP
-4000
BR
B
A
0
-8000 -12000
Penggunaan/Penutupan Lahan
Keterangan kode penutupan/penggunaan lahan: A B BR HLKP HLKS HMP HMS
: Air : Belukar : Belukar Rawa : Hutan Lahan Kering Primer : Hutan Lahan Kering Sekunder : Hutan Mangrove Primer : Hutan Mangrove Sekunder
HRP HRS HT LT Pk Pmk Pt
: Hutan Rawa Primer : Hutan Rawa Sekunder : Hutan Tanaman : Lahan Terbuka : Perkebunan : Permukiman : Pertambangan
PLK : Pertanian Lahan Kering PLKC : Pertanian Lahan Kering Campur Rw : Rawa Sw : Sawah Tm : Tambak Tr : Transmigrasi
Gambar 8 Perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan tahun 2009-2010 Periode tahun 2010-2011, luas penutupan/penggunaan lahan yang dominan meningkat adalah perkebunan 5 875 ha (3.47%), sedangkan lahan yang dominan menurun adalah hutan lahan kering sekunder 3 522 ha (0.65%), hutan rawa sekunder 2 668 ha (1.07%), dan belukar rawa 2 365 ha (0.96%). Penutupan/ penggunaan lahan lain, yang mengalami peningkatan luas adalah belukar 1 645 ha (0.74%), pertambangan 760 ha (7.79%), pertanian lahan kering sebesar 649 ha (2.62%), permukiman 412 ha (15.87%), hutan tanaman 61 ha (0.36%), dan sawah 55 ha (0.10%). Penurunan luas juga terjadi pada lahan terbuka 699 ha (1%) dan hutan rawa primer 202 ha (0.97%). Sementara penutupan/penggunaan lahan lainnya pada periode ini tidak mengalami perubahan luas. Perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 9. 6000
2000
Tr
Tm
Sw
Rw
PLKC
PLK
Pt
Pmk
Pk
LT
HT
HRS
HRP
HMS
HMP
HLKS
HLKP
BR
-2000
B
0
A
Luas (Ha)
4000
-4000
Penggunaan/Penutupan Lahan Keterangan kode penutupan/penggunaan lahan: A B BR HLKP HLKS HMP HMS
: Air : Belukar : Belukar Rawa : Hutan Lahan Kering Primer : Hutan Lahan Kering Sekunder : Hutan Mangrove Primer : Hutan Mangrove Sekunder
HRP HRS HT LT Pk Pmk Pt
: Hutan Rawa Primer : Hutan Rawa Sekunder : Hutan Tanaman : Lahan Terbuka : Perkebunan : Permukiman : Pertambangan
PLK : Pertanian Lahan Kering PLKC : Pertanian Lahan Kering Campur Rw : Rawa Sw : Sawah Tm : Tambak Tr : Transmigrasi
Gambar 9 Perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan tahun 2010-2011
30
Perubahan penutupan/penggunaan lahan jika dilihat hanya dengan rentang waktu satu tahun tidak terlihat secara signifikan. Perubahan penutupan/ penggunaan lahan dalam rentang waktu 2005 – 2011 disajikan pada Gambar 10. Luas perkebunan mengalami peningkatan sebanyak 57 941 ha (49.5%), sedangkan disisi lain hutan rawa sekunder dan hutan lahan kering sekunder masing-masing menurun sebesar 57 689 ha (19.02%) dan 45 941 ha (7.83%). Peningkatan penggunaan lahan perkebunan dalam jumlah besar tersebut dapat terjadi, karena nilai ekonomi perkebunan lebih tinggi dibanding hutan lahan kering sekunder ataupun hutan rawa sekunder. 60000
Luas (Ha)
40000 20000 0 -20000
Tr
Tm
Sw
Rw
PLKC
PLK
Pt
Pmk
Pk
LT
HT
HRS
HRP
HMS
HMP
HLKS
HLKP
BR
B
-60000
A
-40000
Penggunaan/Penutupan Lahan Keterangan kode penutupan/penggunaan lahan: A B BR HLKP HLKS HMP HMS
: Air : Belukar : Belukar Rawa : Hutan Lahan Kering Primer : Hutan Lahan Kering Sekunder : Hutan Mangrove Primer : Hutan Mangrove Sekunder
HRP HRS HT LT Pk Pmk Pt
: Hutan Rawa Primer : Hutan Rawa Sekunder : Hutan Tanaman : Lahan Terbuka : Perkebunan : Permukiman : Pertambangan
PLK : Pertanian Lahan Kering PLKC : Pertanian Lahan Kering Campur Rw : Rawa Sw : Sawah Tm : Tambak Tr : Transmigrasi
Gambar 10 Perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan selama rentang waktu tahun 2005 sampai tahun 2011 Peningkatan lahan pertambangan disebabkan karena sektor pertambangan di Kapuas cukup menjanjikan. Kabupaten ini kaya intan, emas, batubara, batu kapur, dan pasir kuarsa (Kalimantan Tengah Minning 2011). Belukar ataupun belukar rawa merupakan lahan yang tidak dikelola atau tidak diusahakan dalam waktu yang lama karena kendala muka air (rawa). Kemungkinan lain adalah lahan ini merupakan lahan transisi dari hutan sekunder yang dikonversi menjadi lahan pertanian dan belum dimanfaatkan oleh masyarakat. Badan air pada penelitian ini meliputi sungai dan danau. Berdasarkan hasil interpretasi, penutupan/penggunaan lahan air sedikit mengalami perubahan luas dan dapat dikatakan konstan.
31 5.3 Sebaran Titik Panas pada Penutupan/Penggunaan Lahan Berdasarkan penutupan/penggunaan lahan, selama rentang waktu 20052011 titik panas baik yang direkam oleh NOAA-AVHRR maupun MODIS umumnya berada pada penutupan/penggunaan lahan: belukar rawa, perkebunan, hutan rawa sekunder, hutan lahan kering sekunder, belukar, lahan terbuka, pertanian lahan kering, sawah, rawa, pertanian lahan kering campur, air, permukiman, pertambangan, hutan tanaman, hutan rawa primer, hutan mangrove sekunder, hutan lahan kering primer dan transmigrasi. Sementara, pada hutan mangrove primer dan tambak tidak teridentifikasi adanya titik panas. Sebaran titik panas yang terdapat pada masing-masing penggunaan lahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 11 dibawah ini. NOAA-AVHRR
MODIS
Tr
Tm
Sw
Rw
PLKC
PLK
Pt
1 27 18 19 63 211 26 30 15 87 77 184 0 0 1 0 Pmk
Pk
LT
HT
HRS
HRP
HMS
0 0 0 2 10 4 316 HMP
HLKS
3 0 HLKP
BR
0
B
500
13 30
1000
368 449
347 442 592
1500
13 13 127 430 333
1 098
2000
1 143
2 843
2500
A
Jumlah Titik Panas
3000
Penggunaan/Penutupan Lahan Keterangan kode penutupan/penggunaan lahan: A B BR HLKP HLKS HMP HMS
: Air : Belukar : Belukar Rawa : Hutan Lahan Kering Primer : Hutan Lahan Kering Sekunder : Hutan Mangrove Primer : Hutan Mangrove Sekunder
HRP HRS HT LT Pk Pmk Pt
: Hutan Rawa Primer : Hutan Rawa Sekunder : Hutan Tanaman : Lahan Terbuka : Perkebunan : Permukiman : Pertambangan
PLK : Pertanian Lahan Kering PLKC : Pertanian Lahan Kering Campur Rw : Rawa Sw : Sawah Tm : Tambak Tr : Transmigrasi
Gambar 11 Sebaran titik panas masing-masing penutupan/penggunaan lahan pada satelit NOAA-AVHRR dan MODIS Gambar di atas memperlihatkan bahwa sebaran titik panas pada periode 2005-2011 paling banyak (dominan) ditemukan pada tutupan lahan belukar rawa, kemudian hutan lahan kering sekunder, belukar, perkebunan, dan hutan rawa sekunder. Sebuah titik panas dapat mencerminkan sebuah areal lahan yang mungkin terbakar, namun tidak dapat menunjukkan secara pasti seberapa luas areal yang terbakar. Kelemahan pada kedua satelit juga menjadi kendala, jika terjadi kebakaran besar maka wilayah tersebut tertutup oleh asap, sehingga jumlah titik panas yang terdeteksi jauh rendah dari yang seharusnya. Hal ini sering terjadi pada musim kemarau. Sebaran titik panas menurut penutupan/penggunaan lahan tahun 2005 dapat dilihat pada Gambar 12. Dari satelit NOAA-AVHRR diidentifikasi 87 titik panas pada tutupan lahan belukar rawa dan 35 titik panas pada penggunaan lahan perkebunan, sedangkan satelit MODIS merekam 327 dan 109 titik panas masingmasing pada tutupan lahan belukar rawa dan lahan perkebunan.
32
Gambar 12 Sebaran titik panas satelit NOAA-AVHRR dan MODIS tahun 2005 Sebaran titik panas menurut penutupan/penggunaan lahan 2006 disajikan pada Gambar 13. Seperti tahun sebelumnya (2005), kedua satelit NOAA-AVHRR dan MODIS masih merekam titik panas terbanyak pada balukar rawa dan hutan rawa sekunder. Satelit MODIS menangkap titik panas lebih banyak dibandingkan dengan satelit NOAA-AVHRR dan secara konsisten pada belukar rawa lebih banyak dibandingkan dengan hutan rawa sekunder. Kemunculan titik panas pada tahun 2006 meningkat cukup drastis dibandingkan tahun sebelumnya atau sesudahnya. Hal ini dimungkinkan karena adanya pengaruh fenomena El-Nino, yaitu musim kering panjang yang biasanya dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat untuk membuka dan mengkonversi lahan untuk berladang dan berkebun dengan cara membakar. Hal ini dapat dilihat dengan adanya perubahan penutupan/penggunaan lahan pada periode tahun 20062007, dimana hutan lahan kering sekunder dan hutan rawa sekunder dominan berkurang, sedangkan lahan terbuka, belukar rawa, dan perkebunan dominan bertambah. Sebaran titik panas menurut penutupan/penggunaan lahan tahun 2007 dapat dilihat pada Gambar 14. Tahun 2007 kemunculan titik panas masih dikatakan cukup banyak, namun tidak sebanyak tahun 2006. Satelit NOAA-AVHRR merekam 120 titik panas pada tutupan lahan belukar dan penggunaan lahan hutan lahan kering sekunder. Sementara, satelit MODIS menangkap 144 titik panas pada belukar rawa dan 64 titik panas pada belukar.
33
Gambar 13 Sebaran titik panas satelit NOAA-AVHRR dan MODIS tahun 2006
Gambar 14 Sebaran titik panas satelit NOAA-AVHRR dan MODIS tahun 2007 Sebaran titik panas menurut penutupan/penggunaan lahan tahun 2008 dapat dilihat pada Gambar 15. Jumlah titik panas pada 2008 menurun dari tahun sebelumny. Satelit NOAA-AVHRR hanya mengidentifikasi 38 titik panas, 14 titik
34 diantaranya berada di perkebunan. Sementara MODIS menangkap 183 titik panas, 58 titik panas diantaranya berada di belukar dan 53 titik panas berada di hutan lahan kering sekunder.
Gambar 1 Sebaran titik panas satelit NOAA-AVHRR dan MODIS tahun 2008 Sebaran titik panas pada tahun 2009 berdasarkan penutupan/penggunaan lahan 2009 dapat dilihat pada Gambar 16. Titik panas pada tahun ini kembali meningkat seperti tahun 2006. Fenomena El-Nino (medium) merupakan salah satu faktor pendorong tingginya jumlah dan kerapatan titik panas pada tahun ini. Pada satelit NOAA-AVHRR diidentifikasi 134 titik panas pada tutupan lahan belukar rawa dan 118 titik panas pada hutan lahan kering sekunder, sedangkan pada satelit MODIS dapat diidentifikasi 1 149 titik panas pada tutupan lahan bulukar rawa dan 466 titik panas pada hutan rawa sekunder. Pada perubahan lahan periode 20082009 terjadi peningkatan luas perkebunan yang besar (20 185 ha), sementara pada periode yang sama terjadi penurunan hutan lahan kering sekunder (11 667 ha), belukar rawa (9 253 ha), dan hutan rawa sekunder (9 009 ha). Contoh hutan lahan kering sekunder yang dikonversi menjadi perkebunan pada periode 2008-2009 (seluas 5249 ha), dapat dilihat pada Gambar 22. Pada periode 2009-2010 juga masih terjadi peningkatan penggunaan lahan perkebunan (7 772 ha) dan lahan terbuka (7 166), yang diikuti dengan penurunan luasan hutan rawa sekunder (11 931 ha) dan hutan lahan kering sekunder (11 891 ha). Sebaran titik panas tahun 2010 menurut penutupan/penggunaan lahan tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 17. Titik panas yang direkam oleh kedua satelit kembali mengalami penurunan. NOAA-AVHRR dan MODIS merekam titik panas terbanyak pada penggunaan lahan hutan lahan kering sekunder masingmasing 31 dan 11 titik panas.
35
Gambar 16 Sebaran titik panas satelit NOAA-AVHRR dan MODIS tahun 2009
Gambar 17 Sebaran titik panas satelit NOAA-AVHRR dan MODIS tahun 2010 Sebaran titik panas menurut penutupan/penggunaan lahan 2011 disajikan pada Gambar 18. Jumlah titik panas pada tahun ini sedikit meningkat dibandingkan tahun 2010 tetapi tidak sebanyak tahun 2006 atau 2009.
36 Kemunculan titik panas terbanyak terjadi pada penggunaan lahan perkebunan, dimana NOAA-AVHRR menangkap 55 titik panas dan MODIS menangkap 209 titik panas. Titik panas pada penggunaan lahan ini diduga berasal dari persiapan lahan untuk perkebunan, karena pada periode 2010-2011 luas perkebunan meningkat sebanyak 5 875 ha.
Gambar 2 Sebaran titik panas satelit NOAA-AVHRR dan MODIS tahun 2011 Ada hal yang menarik, yaitu ditemukannya kemunculan titik panas pada tutupan tubuh air dan permukiman. Pada kenyataannya titik panas yang biasanya diindikasikan sebagai peristiwa kebakaran hutan/lahan, maka kemungkinan kecil dapat ditemukan pada tubuh air. Kondisi ini menunjukkan kelemahan dari penggunaan data titik panas pada satelit. Jika dilihat menggunakan citra dengan resolusi tinggi (Google Earth), titik panas yang berada pada permukiman (Gambar 19) bukanlah kebakaran, sedangkan titik panas pada Gambar 20 merupakan titik panas yang teridentifikasi pada tubuh air.
37
a
b
Keterangan : Titik Panas Gambar 19 Titik panas pada atap permukiman dilihat pada citra DigitalGlobe
Keterangan :
Titik Panas
Gambar 20 Titik panas teridentifikasi pada tubuh air Hal tersebut dikarenakan adanya adanya efek kilau matahari (sunglint). Menurut Hiroki dan Prabowo (2003), efek sunglint dapat teridentifikasi pada badan air, jika sudut perekaman yang terlalu rendah dan mengenai obyek air sehingga dapat menyebabkan nilai pantulan menjadi tinggi dan hampir sama dengan nilai pancaran. Sementara menurut Wihardandi (2012), titik panas yang terletak di
38 daerah pemukiman adalah efek yang terjadi pada atap rumah yang terbuat dari lembaran seng yang memiliki nilai pantulan hampir sama dengan nilai pancaran. Efek sunglint juga dapat terjadi pada lahan gundul yang berpasir dan permukaan bumi yang mengandung metal cukup tinggi.
5.4 Analisis Hubungan antara Sebaran Titik Panas dengan Perubahan Penutupan/penggunaan Lahan Selama tahun 2005-2011 diketahui bahwa titik panas dominan ditemukan pada belukar rawa (NOAA 592 titik; MODIS 2 843 titik), belukar (NOAA 347 titik; MODIS 442 titik), perkebunan (NOAA 333 titik; MODIS 1 143 titik), hutan rawa sekunder (NOAA 316 titik; MODIS 1 098 titik) dan hutan lahan kering sekunder (NOAA 368 titik; MODIS 449 titik). Berdasarkan data perubahan penutupan/penggunaan lahan periode 2005-2011 diketahui bahwa luas perkebunan di Kabupaten Kapuas meningkat 49.5%, belukar rawa meningkat 4.5%, dan belukar meningkat 4.02% sementara hutan rawa sekunder mengalami penurunan 19.02% dan hutan lahan kering sekunder menurun 7.83%. Diduga titik panas yang muncul pada belukar rawa, belukar, hutan rawa sekunder, perkebunan dan hutan lahan kering sekunder bukanlah kebakaran liar namun kebakaran terkontrol yang dilakukan untuk penyiapan lahan perkebunan atau pertanian. Sebagai contoh, hutan lahan kering sekunder dikonversi menjadi perkebunan, hutan rawa sekunder dikonversi menjadi perkebunan, atau pertanian lahan kering tetap pertanian lahan kering dan sawah tetap sawah, persiapan atau pembukaan lahannya mungkin menggunakan api.
Gambar 21 Hutan lahan kering sekunder beralih fungsi menjadi perkebunan Transisi konversi hutan lahan kering sekunder menjadi perkebunan disajikan pada Gambar 21. Transisi penutup lahan dimulai dari pembukaan hutan (lahan terbuka) tahun 2006, selanjutnya tahun 2007 lahan terbuka tersebut menjadi perkebunan dan di lokasi yang tidak jauh dari perkebunan sebagian hutan dibuka kembali menjadi lahan terbuka, dan akhirnya tahun 2008-2011 perkebunan
39 menjadi semakin luas. Setiap perubahan dari hutan menjadi lahan terbuka, hutan menjadi perkebunan atau perkebunan tetap perkebunan selalu diikuti dengan kenampakan titik panas yang semakin banyak mengikuti luasan lahan terbuka yang dikonversi menjadi perkebunan. Oleh karena itu, titik panas yang teridentifikasi pada transisi lahan merupakan pembakaran untuk pernyiapan lahan perkebunan. Hal serupa pun terjadi pada hutan rawa sekunder dan belukar rawa yang dikonversi menjadi perkebunan (Gambar 22). Pada tahun 2007 muncul perkebunan baru setelah tahun 2006 pada lokasi tersebut teridentifikasi titik panas yang cukup banyak. Luasan perkebunan setiap tahun bertambah hingga tahun 2011. Di sebelah barat perkebunan terdapat belukar rawa yang beralih fungsi menjadi hutan tanaman di tahun 2009, dan titik panas teridentifikasi diantara perkebunan dan hutan tanaman. Oleh karena itu, titik panas tersebut diduga kebakaran yang disengaja untuk mempersiapkan hutan tanaman dan atau perkebunan.
Gambar 22 Hutan rawa sekunder dan belukar rawa beralih fungsi menjadi perkebunan Titik panas yang teridentifikasi pada pertanian lahan kering atau sawah (Gambar 23) diduga sebagai adanya pembakaran yang dilakukan masyarakat untuk menyiapkan lahan pertanian, karena pada kawasan tersebut tidak terjadi konversi lahan atau perubahan luasan lahan. Sebuah titik panas dapat mencerminkan sebuah areal lahan yang mungkin terbakar, namun tidak dapat menunjukkan secara pasti seberapa luas areal yang terbakar. Kelemahan pada kedua satelit juga menjadi kendala, jika terjadi kebakaran besar maka wilayah tersebut tertutup oleh asap, sehingga jumlah titik panas yang terdeteksi jauh rendah dari yang seharusnya. Hal ini sering terjadi pada musim kemarau.
40
Gambar 23
Pertanian lahan kering tetap menjadi pertanian lahan kering dan sawah tetap menjadi sawah
41 5. 5 Analisis Hubungan antara Sebaran Titik Panas dengan Anomali Curah Hujan
Jumlah Titik Panas
Data curah hujan yang digunakan adalah curah hujan rata-rata bulanan dari satelit TRMM pada 19 titik grid yang berada dalam Kabupaten Kapuas dan sekitarnya. Satelit tersebut merupakan hasil kerjasama dua badan antariksa nasional, yaitu NASA dengan Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) yang dikhususkan untuk mengamati curah hujan. Buffer titik grid dilakukan sejauh 50 km, agar mewakili keterkaitan antara titik panas dengan curah hujan. Bagian ini akan menganalisis mengenai hubungan kondisi curah hujan dengan sebaran titik panas yang terjadi selama periode 2005-2009. Pola titik panas bulanan periode 2005-2011 disajikan pada Gambar 24. 2005
2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
2006
2007
2008
2009
A
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
Nov
Des
Bulan 2005
Jumlah Titik Panas
400
2006
2007
2008
2009
300 200 100 0 Jan
Gambar 24
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun Jul Bulan
Ags
Sep
Okt
Sebaran titik panas bulanan satelit (A) MODIS dan (B) NOAAAVHRR tahun 2005 – 2011
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa jumlah titik panas yang teridentifikasi setiap awal tahun (Januari - Juni) selalu rendah. Jumlah titik panas mulai meningkat bulan Juli dan mencapai puncaknya pada bulan September dan mulai mengalami penurunan di bulan Oktober. Hal ini terkait erat dengan puncak musim kemarau, seperti di bulan Agustus, September, dan Oktober, dimana curah hujan pada bulan ini lebih rendah dibandingkan dengan bulan lainnya. Oleh karena itu, pada musim ini titik panas banyak terpantau oleh satelit, karena udara iklim kering dan panas. Kondisi seperti ini dapat memicu lahan, seperti belukar atau lahan pertanian, lebih mudah terbakar. Sebagian besar kegiatan pembakaran
42
200.0 100.0 0.0 -100.0
2005
2006
Titik Panas
400
2007
2008
2009
Curah Hujan Anomali
-200.0
A
200.0
300
100.0
200
0.0
100
-100.0
0
-200.0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Jumlah Titik Panas
Curah Hujan Anomali
2005
2006
2007
2008
2009
Curah Hujan Anomali (mm)
Titik Panas
Curah Hujan Anomali (mm)
2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Jumlah Titik Panas
dilakukan selama musim ini karena petani dan pemilik lahan membersihkan lahan sebelum melakukan aktivitas penanaman pada bulan Oktober atau November. Anomali curah hujan adalah penyimpangan curah hujan dari rata-rata curah hujan (kondisi normal). Anomali curah hujan bulanan dihitung dari beda curah hujan bulanan terhadap rata-rata curah hujan bulanan selama 20 tahun (19902009). Jika anomali curah hujan berada di atas normal (positif), berarti curah hujannya lebih basah. Sebaliknya yaitu jika anomali curah hujan berada dibawah normal (negatif) berarti curah hujannya lebih sedikit. Hubungan antara titik panas dan anomali curah hujan bulanan dapat dilihat pada Gambar 25.
B
Gambar 25 Hubungan titik panas satelit (A) MODIS dan (B) NOAA-AVHRR dengan anomali curah hujan tahun 2005- 2009 Berdasarkan gambar di atas, titik panas yang teridentifikasi pada kedua satelit mulai meningkat pada bulan Juli dan mencapai kondisi maksimum pada September, kemudian turun di bulan Oktober. Sementara anomali curah hujan pada bulan-bulan dimana ditemukan titik panas biasanya berada dibawah nol (negatif). Titik panas terjadi pada anomali curah hujan dibawah -15 mm. Pada tahun 2005 titik panas mulai meningkat pada bulan Juli dan mencapai kondisi maksimum pada September, kemudian turun di bulan Oktober. Akan tetapi anomali CH befluktuatif, dimana bulan Juni -76.6 mm dan Juli naik menjadi 2.7
43 mm, kemudian Agustus turun ke -24.6 mm dan September naik kembali menjadi 5.1 mm. Berbeda dari tahun 2005, pada tahun 2006 jumlah titik panas lebih banyak. Titik panas juga teridentifikasi mulai bulan juli, kemudian mencapai maksimum pada September dan mulai menurun di bulan Oktober dan November. Anomali curah hujan bulan Juli adalah -32.2 mm dan Agustus naik sedikit menjadi -29.1 mm tetapi jumlah titik panas naik drastis. Titik panas tahun 2007 mulai teridentifikasi pada Agustus, mencapai maksimum pada September dan pada Oktober mulai menurun, seiring dengan kondisi anomali curah hujan yang mulai merurun dari bulan Juli 63.9 mm ke Agustus -15.5 mm, hingga mencapai minimun pada September -54.5 mm dan mulai meningkat kembali pada Oktober 23.6 mm. Kondisi seperti tahun 2007 terjadi kembali pada tahun 2009. Titik panas mulai meningkat dari bulan Juni hingga maksimum pada September, dan kembali menurun pada Oktober, seiring dengan menurunnya anomali curah hujan yang mencapai minimum pada September -105.7 mm dan mulai meningkat pada Oktober -24.2 mm. Titik panas di tahun 2008 merupakan titik panas dengan jumlah terendah, dimana anomali curah hujan musim kemaraunya berada di atas normal. Kondisi diatas menggambarkan bahwa terdapat hubungan antara titik panas dengan anomali curah hujan. Ketika curah hujan di atas normal (positif), maka titik panas yang teridentifikasi akan lebih sedikit dibandingkan ketika curah hujan di bawah normal (negatif).
VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan 1.
2.
3.
4.
Pola sebaran titik panas selama 2005 sampai 2011, jumlah titik panas maksimum terjadi pada tahun 2006 dan 2009. Sebaliknya, titik panas terendah pada tahun 2008 dan 2010. Sementara berdasarkan pola sebaran spasial, titik panas teridentifikasi maksimum pada penutupan/penggunaan lahan belukar rawa, belukar, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa sekunder, dan perkebunan. Perubahan penutupan/penggunaan lahan pada Kabupaten Kapuas tahun 2005 sampai 2011 didominasi oleh bertambahnya luas perkebunan, dan berkurangnya luasan hutan rawa sekunder dan hutan lahan kering sekunder. Titik panas yang dominan teridentifikasi pada belukar rawa, belukar, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa sekunder, dan perkebunan adalah kebakaran yang mungkin terjadi pada pembukaan lahan perkebunan atau pertanian. Jumlah titik panas akan meningkat saat intensitas curah hujan menurun (musim kemarau), seperti di bulan Agustus, September, dan Oktober. Sebaliknya, titik panas akan menurun ketika memasuki musim hujan (bulan November). Anomali curah hujan mempengaruhi jumlah titik panas, saat curah hujan berada pada kondisi di bawah normal, maka titik panas yang teridentifikasi akan lebih banyak dibanding saat kondisi curah hujan diatas normal.
6.2 Saran Perlu adanya pengawasan yang lebih ketat dari pemerintah daerah, terutama ketika musim kemarau menjelang musim hujan atau pada kemarau panjang (El Nino), agar pembukaan lahan untuk pertanian atau perkebuan tidak dilakukan menggunakan api. Selain itu, perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut dengan mengkombinasikan faktor fisik, ekonomi, dan sosial sebagai penyebab aktivitas pembakaran lahan yang dapat memicu kemunculan titik panas.
DAFTAR PUSTAKA Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Pr. Basyar AH. 2009. Evaluasi Penerapan Kebijakan Konversi Hutan untuk Perkebunan Kelapa Sawit. [diunduh 2012 Mar 19]. Tersedia pada: http://www.bappenas.go.id/node/48/2333/evaluasi-penerapan-kebijakankonversi-hutan-untuk-perkebunan-kelapa-sawit-oleh-a-hakim-basyar. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kapuas. 2011. Kapuas dalam angka 2011. [diunduh 2012 Mar 19]. Tersedia pada: http://kapuaskab.go.id/images/buku/ kda2011/index.html. Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. 2010. Petunjuk Teknis Penafsiran Citra Resolusi Sedang untuk Menghasilkan Data Penutupan Lahan Tahun 2009. Jakarta (ID): Kementrian Kehutanan. Geoscience Australia. 2013. NOAA-National Oceanic Atmospheric Administration. [diunduh 2013 Mar 18]. Tersedia pada: www.ga.gov.au/ earth-observation/satelite-and-sensor/noaa.html. Giglio L, Descloitres J, Justice CO, Kaufman YJ. 2003. An Enhanced Contextual Fire Detection Algorithm for MODIS. Remote Sensing of Environtment [internet]. [diunduh 2013 Jun 9]; 87(2003): 273-282. Tersedia pada: http://sciencedirect.com. Heryalianto SC. 2006. Studi tentang Sebaran Titik Panas sebagai Penduga Kebakaran Hutan dan Lahan Di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 20032004 [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hiroki I, Prabowo D. 2003. Hasil Penggunaan Citra Satelit NOAA-AVHRR dan Himawari untuk Deteksi Hotspot di Stasiun Bumi Satelit NOAAAVHRR/Himawari FFPMP. Di dalam: Suratmo FG, Husaeni EA, Jaya NS, editor. Pengendalian Kebakaran Hutan. 2003. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan. IPB Pr. hlm 264-267. Jaya INS. 2003. Pemanfaatan Teknologi Pengindraan Jauh Satelit dan GIS. Di dalam: Suratmo FG, Husaeni EA, Jaya NS, editor. Pengendalian Kebakaran Hutan. 2003. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan. IPB Pr. hlm 297-298. Kalimantan Tengah Minning. 2011. Bahan Tambang Potensial di Kalimantan Tengah. [diunduh 2013 Mar 11]. Tersedia pada: www.kaltengminning.com. Kementrian Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan. Jakarta (ID): Kementrian Kehutanan. Lillesand TM, Kiefer RW. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Lo CP. 1995. Penginderaan Jauh Terapan. Universitas Georgia. Bambang Purbowaseso, penerjemah. Jakarta (ID): UI Pr.
46 Musawijaya M, Hidayat A, Kustiyo, Khomarudin MR, Siahaan Y, Maswardi. 2001. Pemantauan Titik Panas Indikator Kebakaran Hutan/Lahan di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan [Internet]. Jakarta (ID): Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. [diunduh 2013 Apr 19]. Tersedia pada: http://lapan_smba.tripod.com/homepage/hotspot/bulanan.htm Pamungkas A. 2012. Mencari Solusi di Tengah Kebakaran Hutan di Indonesia. [diunduh 2013 Jan 9]. Tersedia pada: http://www.wwf.or.id. Purbowaseso B. 2004. Pengendalian Kebakaran Hutan. Jakarta (ID): PT Rineka Cipta. Purwanto UY. 2012. Pengolahan Spasial hotspot kebakaran hutan dan lahan menggunakan DBSCAN dan ST-DBSCAN [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Suratmo FG. 2003. Masalah Kebakaran Hutan. Di dalam: Suratmo FG, Husaeni EA, Jaya NS, editor. Pengendalian Kebakaran Hutan. 2003. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan. IPB Pr. hlm 1-3. Sutanto. 1986. Pengindraan Jauh Jilid 1. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Suwarsono, Yulianto F, Parwati, Suprapto T. 2010. Analisis Persebaran Titik Panas Indikasi Kebakaran Hutan dan Lahan di Wilayah Kalimantan Sepanjang Tahun 2001-2009. Berita Inderaja. 9(16). Jakarta (ID): LAPAN. Titik Api di Kapuas Meningkat 3 Kali Lipat. 2009. [diunduh 2012 Mar 19]. Tersedia pada: http://www.inilah.com/read/detail/148914/titik-api-dikapuasmeningkat-3-kali-lipat. Wahyunto, Abidin MZ, Priyono A, Sunaryo. 2010. Studi Perubahan Penggunaan Lahan di Sub DAS Citarik, Jawa Barat dan DAS Kaligarang, Jawa Tengah. Seminar Nasional Multifungsi Sawah; 2001 Mei 1; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanah. hlm 39-40. Wihardandi A. 2012. Satelit NOAA: 13 Titik Panas Terpantau di Kalimantan Tengah. [diunduh 2013Feb 23]. Tersedia pada: http://www.mongabaya.co.id.
64
LAMPIRAN
47 Lampiran 1 Sistem klasifikasi penggunaan lahan Kabupaten Kapuas menurut Badan Planologi Kementerian Kehutanan No Kelas Keterangan Monogram Citra Landsat 7 ETM+ 1 Hutan lahan Seluruh kenampakan hutan dataran kering primer rendah, perbukitan dan pegunungan yang belum menampakkan bekas penebangan. Rona gelap, warna hijau tua, tekstur kasar, pola tidak teratur, ukurannya relatif besar.
2
Hutan lahan kering sekunder / bekas tebangan
3
Hutan rawa primer
4
Hutan rawa sekunder
Seluruh kenampakan hutan dataran rendah, perbukitan dan pegunungan yang telah menampakkan bekas penebangan (alur aksesbilitas dan bekas penebangan). Rona gelap-agak terang, warnanya hijau tua-kekuningan, teksturnya sedang-kasar, pola tidak teratur dan tersebar, adanya jaringan jalan dan bercak-bercak seperti bekas eksploitasi, ukurannya sedang. Seluruh kenampakan hutan di daerah berawa, termasuk rawa payau dan rawa gambut yang belum menampakkan bekas penebangan atau aksesbilitas. Rona agak gelap (lahan basah), warnanya hijau, tekstur sedang-halus, ukuran sedang, pola tidak teratur.
Seluruh kenampakan hutan di daerah berawa, termasuk rawa payau dan rawa gambut yang telah menampakkan bekas penebangan. Rona agak gelap-agak terang, warnanya hijau, tekstur agak halusagak kasar, pola tersebar, adanya jaringan jalan dan bukaan aktivitas manusia.
48 Lampiran 1 Sistem klasifikasi penggunaan lahan Kabupaten Kapuas menurut Badan Planologi Kementerian Kehutanan (lanjutan) No Kelas 5 Hutan mangrove primer
Keterangan Monogram Citra Landsat 7 ETM+ Hutan bakau dan nipah yang berada di sekitar pantai yang belum menampakkan bekas penebangan. Rona agak gelap, warna hijau tua, tekstur agak halus, berada didaerah pantai dan muara sungai-sungai besar.
6
Hutan mangrove sekunder
Hutan bakau dan nipah yang berada di sekitar pantai yang telah memperlihatkan bekas penebangan dengan pola alur dan genangan atau bekas terbakar. Rona agak gelap-terang, warna hijaukekuningan, tekstur sedang-kasar, berada didaerah pantai dan muara sungai-sungai besar, terdapat bukaan, tambak, dan lahan terbuka.
7
Hutan tanaman
Seluruh kawasan hutan tanaman yang sudah ditanami. Rona terang, warna hijau terang, pola teratur, ada aksesbilitas alur jalan.
8
Perkebunan / Kebun
Seluruh kawasan perkebunan, yang sudah ditanami, beralur dan aksesbilitas jalan, pola tanaman sejenis, dataran rendah. Rona terang, warna hijau muda sampai tua, tekstur agak halus-agak kasar, bentuk petak-petak beraturan, pola seragam, terdapat alur jaringan jalan.
49 Lampiran 1 Sistem klasifikasi penggunaan lahan Kabupaten Kapuas menurut Badan Planologi Kementerian Kehutanan (lanjutan) No Kelas 9 Belukar
Keterangan Monogram Citra Landsat 7 ETM+ Kawasan bekas hutan lahan kering yang telah tumbuh kembali atau kawasan dengan liputan pohon jarang (alami) atau kawasan dengan dominasi vegetasi rendah (alami). Rona agak terang, warnanya hijau muda - kekuningan, teksturnya kasar, bentuk tidak beraturan, pola tidak teratur, ukurannya besar, di dataran rendah.
10
Belukar rawa
Kawasan bekas hutan rawa / mangrove yang telah tumbuh kembali atau kawasan dengan liputan pohon jarang (alami) atau kawasan dengan dominasi vegetasi rendah (alami). Rona hijau terang, warna hijau mudaagak kecoklatan, tekstur halus-kasar, bentuk tidak beraturan, pola tidak seragam.
11
Pertanian lahan kering
Semua aktivitas pertanian di lahan kering seperti tegalan, kebun campuran dan ladang. Adanya aksesbilitas jalan, rona agak terang, warna hijau bercak-bercak merah muda, tekstur agak kasarkasar, bentuk pematang, dan dekat dengan permukiman.
12
Pertanian lahan kering campur
Semua jenis pertanian lahan kering yang berselang-seling dengan semak, belukar dan hutan bekas tebangan dan selalu berpindah-pindah dengan rotasi tanam. Rona agak terang, warna hijau, tekstur kasar, bentuk tidak beraturan, terdapat aksesbilitas jalan dan dekat dengan permukiman.
50 Lampiran 1 Sistem klasifikasi penggunaan lahan Kabupaten Kapuas menurut Badan Planologi Kementerian Kehutanan (lanjutan) No Kelas 13 Sawah
Keterangan Monogram Citra Landsat 7 ETM+ Semua aktivitas pertanian lahan basah yang dicirikan oleh rona terang-agak gelap, warna hijau tuamuda, pola seragam, bentuk petakpetak, ukuran sedang, dekat dengan aliran sungai, permukiman, dan berada di dataran rendah.
14
Tambak
Aktivitas perikanan di pesisir pantai (ikan / udang) atau penggaraman yang tampak dengan pola teratur, bentuk petak-petak, ronanya gelap, tekstur kasar, asosiasi di pesisir pantai dan pulau.
15
Permukiman / Kawasan permukiman, baik Lahan perkotaan, perdesaan, industry, dll. terbangun Yang memperlihatkan pola alur rapat, rona terang, warnanya merah muda, pola seragam, bentuk tidak teraturteratur, tekstur bercak-bercak, terdapat aksesbilitas (jalan atau di sepanjang aliran sungai), di dataran rendah-tinggi.
16
Transmigrasi
Kawasan permukiman transmigrasi beserta pekarangan di sekitarnya. Adanya aksesbilitas jalan, rona terang, warna hijau tua-muda, pola teratur, tekstur kasar, di dataran rendah.
51 Lampiran 1 Sistem klasifikasi penggunaan lahan Kabupaten Kapuas menurut Badan Planologi Kementerian Kehutanan (lanjutan) No Kelas 17 Lahan terbuka
18
19
20
Keterangan Monogram Citra Landsat 7 ETM+ Seluruh kenampakan lahan terbuka tanpa vegetasi, lahan terbuka bekas kebakaran, dan lahan terbuka yang ditumbuhi alang-alang/rumput. Rona terang, warna kemerahan, tekstur kasar-halus, pola tidak teratur, dataran rendah-tinggi.
Pertambangan Lahan terbuka yang digunakan untuk aktivitas pertambangan terbuka-open pit (spt : batubara, timah, tembaga dll), serta lahan pertambangan tertutup diasosiasi kenampakan objeknya, termasuk tailing ground (penimbunan limbah penambangan). Rona agak terang, warna ungukemerahan, tekstur kasar-halus, berasosiasi dengan akses jalan dan sungai. Tubuh air Semua kenampakan perairan, termasuk laut, sungai, danau, dan waduk. Rona gelap, warnanya biru-hitam, tekstur halus, pola tidak teratur, ukurannya dari kecil-besar, dekat dengan sawah, tambak, mangrove.
Rawa
Kenampakan lahan rawa yang sudah tidak berhutan dan selalu tergenang air. Rona gelap, warnanya hijaukehitaman, tekstur halus, pola tidak teratur, dekat dengan jaringan sungai, topografi dataran rendah.
52 Lampiran 2 Peta Penutupan/Penggunaan Lahan (a) Tahun 2005, (b) Tahun 2006, (c) Tahun 2007, (d) Tahun 2008, (e) Tahun 2009, (f) Tahun 2010, dan (g) Tahun 2011
(a)
(c)
(b)
(d)
53 Lampiran 2 Peta Penutupan/Penggunaan Lahan (a) Tahun 2005, (b) Tahun 2006, (c) Tahun 2007, (d) Tahun 2008, (e) Tahun 2009, (f) Tahun 2010, dan (g) Tahun 2011 (lanjutan)
(e)
(g)
(f)
55
Lampiran 3 Data perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun 2005-2006 (dalam hektar)
Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2005
Penutupan/ Penggunaan Lahan
A B BR HLKP HLKS HMP HMS HRP HRS HT LT Pk Pmk Pt PLK PLKC Rw Sw Tr
Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2006 A 22 211
B
BR
HLKP
HLKS
HMP
HMS
HRP
HRS
HT
215 638
LT 351 336
234 131
Pk
Pmk 43
Pt
PLK
205
PLKC
Rw
Sw
Tm
Grand Total
Tr
22 211 216 318 234 579 12 945 586 799 307 1 727 22 108 303 358 9 169 60 092 117 048 2 198 5 699 24 750 4 316 6 509 55 169 362
81
41
71
12 945 716
583 121
14
2 765
28
156
20
1 470
307 1 727 12 975
22 096 302 383 9 169
525
1 369
56 694
13 117 048 2 198
40
5 659 24 750 4 316 6 509 55 169
Grand 22 211 216 919 236 488 12 945 583 121 307 1 727 22 096 302 383 9 183 60 149 117 102 2 241 5 911 24 750 6 024 6 509 55 169 Total Keterangan kode penutupan/penggunaan lahan: A : Air HMP : Hutan Mangrove Primer LT : Lahan Terbuka PLKC : Pertanian Lahan Kering Campur B : Belukar HMS : Hutan Mangrove Sekunder Pk : Perkebunan Rw : Rawa BR : Belukar Rawa HRP : Hutan Rawa Primer Pmk : Permukiman Sw : Sawah HLKP : Hutan Lahan Kering Primer HRS : Hutan Rawa Sekunder Pt : Pertambangan Tm : Tambak HLKS : Hutan Lahan Kering Sekunder HT : Hutan Tanaman PLK : Pertanian Lahan Kering Tr : Transmigrasi
362
71 362 1 685 663
54 55
56
Lampiran 4 Data perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun 2006-2007 (dalam hektar)
Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2006
Penutupan/ Penggunaan Lahan
A B BR HLKP HLKS HMP HMS HRP HRS HT LT Pk Pmk Pt PLK PLKC Rw Sw Tm Tr
Grand Total
Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2007 A 22 211 30
B
BR
HLKP
HLKS
HMP
HMS
HRP
HRS
HT
215 794 234 933
LT
Pk
983 297
1 258
2 663
1 040
168 7 274
4 021
Pmk
Pt
PLK
PLKC
Rw
Sw
Tm
Grand Total
Tr
22 211 216 919 236 488 12 945 583 121 307 1 727 22 096 302 383 9 183 60 146 117 102 2 241 5 911 24 750 6 024 6 509 55 169 71 362
112
12 945 430
578 799
189
307 1 727 21 928 9 696
281 231
160
9 183 311
57 856
1 979 117 102 2 241 5 911 24 750 6 024 6 509 55 169 71 362
22 241
216 534
244 629
12 945
Keterangan kode penutupan/penggunaan lahan: A : Air HMP B : Belukar HMS BR : Belukar Rawa HRP HLKP : Hutan Lahan Kering Primer HRS HLKS : Hutan Lahan Kering Sekunder HT
578 799 307
1 727
21 928
: Hutan Mangrove Primer : Hutan Mangrove Sekunder : Hutan Rawa Primer : Hutan Rawa Sekunder : Hutan Tanaman
281 231
LT Pk Pmk Pt PLK
9 183
69 241
125 400
: Lahan Terbuka : Perkebunan : Permukiman : Pertambangan : Pertanian Lahan Kering
2 241 6 212
24 750
6 024
6 669
55 169
71 362 1 685 663
PLKC : Pertanian Lahan Kering Campur Rw : Rawa Sw : Sawah Tm : Tambak Tr : Transmigrasi
53 55 56
57
Lampiran 5 Data perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun 2007-2008 (dalam hektar)
Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2007
Penutupan/ Penggunaan Lahan
A B BR HLKP HLKS HMP HMS HRP HRS HT LT Pk Pmk Pt PLK PLKC Rw Sw Tm Tr
Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2008 A
B
BR
HLKP
HLKS
HMP
HMS
HRP
HRS
HT
LT
Pk
Pmk
Pt
PLK
PLKC
Rw
Sw
Tm
Tr
22 241 215 849 242 537
209 23
31 1 940
445 59
1 589
7 789
270
318 40
4 780
71
1 248 125 400
163
70
12 945 1 201
567 939 274
12
33 1 727 21 610
6 391
269 277
672
9 183 835
8 000
58 995
2 241 6 212 24 750 1 201
4 823
389
Grand 22 241 217 885 257 318 12 945 Total Keterangan kode penutupan/penggunaan lahan: A : Air HMP B : Belukar HMS BR : Belukar Rawa HRP HLKP : Hutan Lahan Kering Primer HRS HLKS : Hutan Lahan Kering Sekunder HT
6 280 112
55 057 71 362
567 939 274
1 760
21 610 269 277 9 183
: Hutan Mangrove Primer : Hutan Mangrove Sekunder : Hutan Rawa Primer : Hutan Rawa Sekunder : Hutan Tanaman
LT Pk Pmk Pt PLK
62 375 141 157
: Lahan Terbuka : Perkebunan : Permukiman : Pertambangan : Pertanian Lahan Kering
2 383 7 219
24 750 4 835
6 280 55 799
Grand Total 22 241 216 534 244 629 12 945 578 799 307 1 727 21 928 281 231 9 183 69 241 125 400 2 241 6 212 24 750 6 024 6 669 55 169 71 362
71 362 1 685 663
PLKC : Pertanian Lahan Kering Campur Rw : Rawa Sw : Sawah Tm : Tambak Tr : Transmigrasi
56 54
58
Lampiran 6 Data perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun 2008-2009 (dalam hektar)
Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2008
Penutupan/ Penggunaan Lahan
A B BR HLKP HLKS HMP HMS HRP HRS HT LT Pk Pmk Pt PLK PLKC Rw Sw Tm Tr
Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2009 A
B
BR
HLKP
HLKS
HMP HMS
22 217
HRP
HRS
HT
LT
Pk
Pmk
Pt
PLK
536 2 086
23 81
948
5 558
1 206 5 189
123
1 771
5 249
23
632
PLKC
Rw
Sw
Tm
Tr
24 215 173 243 904
499
12 945 3 869
556 271 224
38 1 760
11 21 136
554 49 979
3 080
260 268 9 135 74
158 526
316 7 773
53 885
4 224 141 157
27
129 133
2 383 7 219 24 751 4 835 527
5 753 55 799 71
Grand 22 217 220 070 248 065 12 945 556 271 224 1 823 21 136 260 268 14 888 62 735 161 342 2 511 8 826 24 751 4 835 6 514 55 810 71 Total Keterangan kode penutupan/penggunaan lahan: A : Air HMP : Hutan Mangrove Primer LT : Lahan Terbuka PLKC : Pertanian Lahan Kering Campur B : Belukar HMS : Hutan Mangrove Sekunder Pk : Perkebunan Rw : Rawa BR : Belukar Rawa HRP : Hutan Rawa Primer Pmk : Permukiman Sw : Sawah HLKP : Hutan Lahan Kering Primer HRS : Hutan Rawa Sekunder Pt : Pertambangan Tm : Tambak HLKS : Hutan Lahan Kering Sekunder HT : Hutan Tanaman PLK : Pertanian Lahan Kering Tr : Transmigrasi
362
Grand Total 22 241 217 885 257 318 12 945 567 939 274 1 760 21 610 269 277 9 183 62 374 141 157 2 383 7 219 24 751 4 835 6 280 55 799 71 362
362 1 685 663
57 55 58
59
Lampiran 7 Data perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun 2009-2010 (dalam hektar)
Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2009
Penutupan/ Penggunaan Lahan
A B BR HLKP HLKS HMP HMS HRP HRS HT LT Pk Pmk Pt PLK PLKC Rw Sw Tm Tr
Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2010 A B 22 217 39 217 922
BR
HLKP
HLKS
HMP HMS
HRP
HRS
234 879
HT
LT
Pk
Pmk
378 4 272
67
2 335
1 407 2 403 6 082
1 858
16
143 3 652
229 609
Pt
PLK
PLKC
Rw
Sw
Tm
Tr
257 3 804
371
12 945 3 717
544 380
218
224 120 17 7 366
1 559
143 20 747 248 337
303
14 765 1 617
4 026
56 215
123 453
426 161 342 2 511
117
8 709 24 751 4 835 1 136
Grand 22 256 223 373 247 545 12 945 544 380 224 1 559 20 747 248 337 17 101 69 902 169 114 2 593 Total Keterangan kode penutupan/penggunaan lahan: A : Air HMP : Hutan Mangrove Primer LT : Lahan Terbuka B : Belukar HMS : Hutan Mangrove Sekunder Pk : Perkebunan BR : Belukar Rawa HRP : Hutan Rawa Primer Pmk : Permukiman HLKP : Hutan Lahan Kering Primer HRS : Hutan Rawa Sekunder Pt : Pertambangan HLKS : Hutan Lahan Kering Sekunder HT : Hutan Tanaman PLK : Pertanian Lahan Kering
5 378 55 810 71 362 9 759
24 751
4 835
9 485
56 325
Grand Total 22 217 220 070 248 065 12 945 556 271 224 1 823 21 136 260 268 14 888 62 735 161 342 2 511 8 826 24 751 4 835 6 514 55 810 71 362
71 362 1 685 663
PLKC : Pertanian Lahan Kering Campur Rw : Rawa Sw : Sawah Tm : Tambak Tr : Transmigrasi
58 56 43
59
60
Lampiran 8 Data perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun 2010-2011 (dalam hektar)
Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2010
Penutupan/ Penggunaan Lahan
A B BR HLKP HLKS HMP HMS HRP HRS HT LT Pk Pmk Pt PLK PLKC Rw Sw Tm Tr
Grand Total
Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2011 A 22 256
B
BR
HLKP
HLKS
HMP HMS
HRP
HRS
HT
LT
222 761
Pk 29
244 205
207
Pmk
98 2 985
245 16
Pt
PLK
PLKC
Rw
Sw
Tm
Tr
239 133
12 945 1 463
540 858
1 517
210
332
224 1 559 20 545 161
202 1 747
245 669
91
16 954 794
814
67 657
615 169 114
20 146 23
649
2 593 9 759 24 751 4 835 9 485 18
59
56 247 71 362
22 256 225 018 245 180 12 945 540 858 224 1 559
Keterangan kode penutupan/penggunaan lahan: A : Air HMP B : Belukar HMS BR : Belukar Rawa HRP HLKP : Hutan Lahan Kering Primer HRS HLKS : Hutan Lahan Kering Sekunder HT
20 545
245 669
: Hutan Mangrove Primer : Hutan Mangrove Sekunder : Hutan Rawa Primer : Hutan Rawa Sekunder : Hutan Tanaman
17 162
LT Pk Pmk Pt PLK
69 202 174 989
3 005
: Lahan Terbuka : Perkebunan : Permukiman : Pertambangan : Pertanian Lahan Kering
10 519
25 406
4 835 9 485
56 380
Grand Total 22 256 223 373 247 545 12 945 544 380 224 1 559 20 747 248 337 17 101 69 902 169 114 2 593 9 759 24 751 4 835 9 485 56 325 71 362
71 362 1 685 663
PLKC : Pertanian Lahan Kering Campur Rw : Rawa Sw : Sawah Tm : Tambak Tr : Transmigrasi
59 57 60
60 Lampiran 9 Data titik panas dan curah hujan Tahun Bulan 2005 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des 2006 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des 2007 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des 2008 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Titik Panas CHc (mm) MODISa NOAAb 0 0 249.5 0 0 268.0 1 0 314.6 0 0 180.7 1 0 234.9 3 3 100.4 15 10 117.7 128 19 97.0 428 139 178.5 162 29 252.4 10 0 305.3 0 0 302.3 6 2 277.9 3 1 277.6 1 1 296.0 0 0 286.7 3 4 272.6 0 2 320.6 37 19 82.8 345 106 92.5 1 154 358 204.3 601 236 90.3 234 104 239.6 22 2 358.1 7 0 335.1 1 0 344.1 3 0 265.1 1 0 291.5 8 0 274.8 1 0 265.4 1 0 178.9 7 6 106.1 189 261 118.8 179 134 162.3 7 4 292.6 2 3 297.1 0 2 229.8 1 9 263.5 2 1 363.6 2 1 313.6 10 3 189.8 3 7 275.7 4 9 222.5 2 6 166.5 69 0 276.4 85 0 298.4 4 0 447.1 1 0 420.0
Tahun Bulan 2009 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Titik Panas CHc (mm) MODISa NOAAb 0 2 338.0 1 0 309.1 0 3 293.9 2 2 304.4 6 4 250.8 2 18 161.4 52 31 92.7 400 110 78.7 1 942 289 67.7 158 154 161.7 39 8 283.8 1 0 276.8
a
Sumber : modis.gsfc.nasa.gov Sumber : Badan Kementrian Lingkungan Hidup yang bersumber dari satelit NOAA-AVHRR c Sumber : Diolah dari satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) b
60
62
Lampiran 10 Data curah hujan rata-rata selama 20 tahun dan anomali curah hujan (dalam mm) Bulan 1990 1991 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
555.2 211.0 220.6 280.9 183.6 132.4 99.3 55.2 96.5 146.9 133.2 379.4
203.6 184.7 323.7 317.9 317.7 135.3 51.7 38.1 64.4 62.1 241.1 456.0
1992 1993
1994 1995 1996
1997 1998 1999
2000
2001
2002
2003
2004 2005 2006 2007 2008 2009
209.7 179.3 262.5 414.1 192.5 165.9 107.3 197.6 323.0 133.0 282.6 455.4
419.4 372.5 348.8 306.7 232.8 230.2 81.0 133.9 33.7 71.7 150.5 377.9
257.0 343.4 220.0 263.8 162.8 63.1 20.6 39.2 40.6 121.0 187.5 385.4
294.8 315.7 358.4 224.7 198.6 188.9 130.2 145.1 198.6 255.3 510.3 330.0
410.4 203.4 305.6 332.5 192.3 153.2 104.4 77.5 240.0 214.6 319.0 308.0
247.9 251.4 350.5 357.6 185.8 153.1 113.0 122.9 149.6 155.9 264.7 292.9
352.6 218.7 435.4 274.5 301.3 195.0 89.4 150.2 210.9 170.7 322.6 549.4
336.5 313.3 314.0 288.9 288.6 114.1 114.8 27.4 191.6 99.1 310.5 410.4
281.6 190.2 316.5 216.9 445.5 125.5 103.4 68.8 111.5 244.5 252.2 236.7
329.0 271.2 311.7 381.7 207.0 136.8 134.0 186.6 284.1 188.8 393.8 354.5
252.8 269.6 249.1 277.6 204.4 213.5 104.1 305.4 126.2 362.0 329.4 389.1
231.7 214.2 193.7 260.9 185.5 231.1 203.4 225.0 358.0 208.4 357.0 336.5
406.8 291.0 248.9 219.3 256.7 179.1 147.9 118.8 192.3 318.7 261.7 244.7
249.5 268.0 314.6 180.7 234.9 100.4 117.7 97.0 178.5 252.4 305.3 302.3
277.9 277.6 296.0 286.7 272.6 320.6 82.8 92.5 204.3 90.3 239.6 358.1
335.1 344.1 265.1 291.5 274.8 265.4 178.9 106.1 118.8 162.3 292.6 297.1
229.8 263.5 363.6 313.6 189.8 275.7 222.5 166.5 276.4 298.4 447.1 420.0
338.0 309.1 293.9 304.4 250.8 161.4 92.7 78.7 67.7 161.7 283.8 276.8
Rata2 (20th) 311.0 264.6 299.6 289.7 238.9 177.0 115.0 121.6 173.3 185.9 294.2 358.0
Anomali CH (Rata-rata 20th)
61
Bulan 2005 2006 2007 2008 2009 24.1 27.0 Jan -61.5 -33.1 -81.2 3.4 13.0 79.5 44.5 Feb -1.1 14.9 64.0 Mar -3.7 -34.6 -5.7 1.8 23.8 14.7 Apr -109.1 -3.1 33.7 35.9 11.9 Mei -4.0 -49.1 88.4 98.6 Jun -76.6 143.6 -15.6 2.7 -32.2 63.9 107.6 Jul -22.2 44.9 Ags -24.6 -29.1 -15.5 -43.0 5.1 31.0 Sep -54.5 103.0 -105.7 66.5 -95.6 Okt -23.6 112.5 -24.2 11.0 -54.7 Nov -1.6 152.9 -10.5 0.1 62.0 Des -55.8 -60.9 -81.3 Keterangan : CH Anomali + : CH di atas normal CH Anomali : CH di bawah normal
63 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 18 Mei 1990 di Cirebon. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bambang Wachyono dan Erlinda Diah. Penulis mengawali pendidikan formal di TK Aisyiyah Joho yang diselesaikannya pada tahun 1996. Kemudian melanjutkan ke SD Muhammadiyah I/IV Banjarnegara yang diselesaikan pada tahun 2002. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 4 Bawang dan selesai pada tahun 2005. Penulis meneruskan pendidikan di SMA Negeri 1 Bawang dan meyelesaikannya pada tahun 2008. Pada tahun 2008, penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah periode 2009-2010 dan 2010-2011 pada Divisi Penelitian dan Pengembangan (LITBANG). Pada tahun 2011 penulis juga aktif dalam kegiatan Goes to Field IPB dalam rangka “Peduli Merapi” yang dilakukan di Dusun Pule, Desa Tegal Randu, Kabupaten Magelang. Dalam kegiatan akademik, penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum mata kuliah Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial pada tahun 2010-2011 dan 2011-2012, asisten praktikum mata kuliah Geomorfologi dan Analisis Lanskap pada tahun 2011-2012, asisten praktikum mata kuliah Sistem Informasi Geografis pada tahun 2011-2012, serta asisten praktikum Pengantar Ilmu Tanah pada tahun 2012-2013. Selain itu penulis juga pernah aktif dalam berbagai kepanitiaan yang diselenggarakan IPB.
63