WP/15/2013
WORKING PAPER
PENGGUNAAN INDEKS STABILITAS SISTEM KEUANGAN (ISSK) DALAM PELAKSANAAN SURVEILANS MAKROPRUDENSIAL
Iman Gunadi Aditya Anta Taruna Cicilia A. Harun
2013
Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank 0 Indonesia.
PENGGUNAAN INDEKS STABILITAS SISTEM KEUANGAN (ISSK) DALAM PELAKSANAAN SURVEILANS MAKROPRUDENSIAL1 Iman Gunadi2, Aditya Anta Taruna3, Cicilia Anggadewi Harun4 Abstrak Indeks stabilitas sistem keuangan merujuk pada pengembangan indikator sistem keuangan di beberapa negara dengan cakupan yang lebih luas. Indeks yang diberi nama Indeks Stabilitas Keuangan (ISSK) merupakan suatu indeks yang mencerminkan kondisi kestabilan sistem keuangan yang lebih baik dan dapat melihat sumber-sumber instabilitas. Indeks dibangun dengan melihat sistem keuangan yang terdiri atas institusi keuangan dan pasar. Metode normalisasi yang telah dikembangkan Bordo dan Illing Liu dengan beberapa modifikasi dengan tahun dasar 2001–2010 dipergunakan dalam pembentukan indeks ini. Untuk menemukan model yang lebih robust, paper ini menggunakan kalibrasi dari data statistik, event analysis dalam menentukan bobot-bobot indikator dari indeks komposit, dan model matematika untuk dapat lebih menggambarkan kondisi tekanan di pasar keuangan. Pembentukan indeks komposit ini menggunakan data-data ekonomi dan keuangan Indonesia dari bulan Januari 2000 hingga bulan November 2013. Key word
: Financial Stability Index, Stabilitas Sistem Keuangan, Event Analysis
JEL Classification : C01, C15, C51, G01, G17, G21
Pandangan dan pendapat dalam paper ini merupakan pandangan penulis, merupakan pendapat resmi Bank Indonesia. 2 Peneliti Senior di Departemen Kebijakan Makroprudensial. Jalan M.H. Thamrin Jakarta, Indonesia. Email:
[email protected] 3 Peneliti Ekonomi di Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia.
[email protected] 4 Peneliti Senior di Departemen Kebijakan Makroprudensial. Jalan M.H. Thamrin Jakarta, Indonesia. Email:
[email protected] 1
bukan No. 2, Email: No. 2,
1
I. PENDAHULUAN
Sistem keuangan dapat didefinisikan sebagai sistem yang memfasilitasi simpan pinjam dana atau uang (fungsi intermediasi). Dari komponennya sistem keuangan terdiri atas sejumlah institusi keuangan, sekumpulan pasar keuangan, infrastruktur sistem keuangan, dan sejumlah prosedur dan peraturan yang menjamin terlaksananya simpan pinjam secara baik. Stabilitas sistem keuangan tergantung pada kesehatan institusi keuangan dan stabilitas pasar keuangan. Dalam hal ini, kesehatan institusi keuangan dikaitkan dengan kemampuannya melaksanakan fungsi intermediasi atau fungsi jasa keuangan lainnya (misalnya, sistem pembayaran) dengan lancar, baik dalam kondisi normal maupun dalam kondisi sistem keuangan mengalami tekanan. Sementara itu, stabilitas pasar keuangan diartikan sebagai kemampuan pasar memfasilitasi jual beli aset dengan harga yang sedekat mungkin dengan nilai fundamentalnya. Sistem keuangan memiliki peran yang penting dalam perekonomian. Sistem itu membantu realokasi sumber daya, terutama dana, sehingga dana yang berlebihan di unit yang surplus dapat dimanfaatkan oleh unit yang defisit. Sistem keuangan
dapat
meningkatkan
kapasitas
perekonomian
nasional
dengan
meningkatkan efisiensi penggunaan dana di perekonomian, selain membantu lalu lintas dana melalui jasa sistem pembayaran. Oleh karena itu, stabilitas sistem keuangan
terkait
erat
dengan
keberlangsungan
dan
stabilitas
suatu
perekonomian. Dengan melihat peran strategis sistem keuangan dalam perekonomian, perlu dilakukan pengkajian berbagai tools untuk pemantauan dan penilaian stabilitas sistem keuangan. Salah satunya adalah pembuatan indeks stabilitas sistem keuangan, yaitu suatu indikator dalam memantau perkembangan serta mengidentifikasi
faktor-faktor
yang
dapat
mempengaruhi
stabilitas
sistem
keuangan suatu perekonomian. Sebelumnya, Indonesia telah mempunyai suatu indeks yang mencerminkan kinerja sistem keuangan, Financial Stability Index (FSI). Mengapa dikembangkan satu indeks? Mengapa tidak digunakan sejumlah pengukuran
dengan
indikator
yang
merepresentasikan
komponen
sistem
keuangan yang berbeda-beda? Adanya satu indeks akan membantu otoritas keuangan untuk memperoleh gambaran mengenai kinerja sistem keuangan secara utuh dengan mengumpulkan sejumlah indikator menjadi satu indikator yang merepresentasikan
keseluruhan
kinerja
sistem
keuangan.
Adanya
satu 2
pengukuran itu akan mempermudah penelusuran mengenai kinerja sistem keuangan dari waktu ke waktu, terutama terhadap kondisi episode krisis keuangan. Selain FSI yang telah dikembangkan oleh Bank Indonesia, Danareksa Research Institute (DRI) juga telah mengembangkan suatu indeks dalam menginterpretasikan keadaan sistem keuangan yang disebut coincident economic index. Untuk melihat keadaan sistem perbankan, dRi telah mengembangkan suatu indikator yang disebut dengan Banking Pressure Index (BPI). BPI merupakan suatu indikator untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya krisis di sektor perbankan. Selain itu, IMF mendefinisikan suatu indeks yang dibangun dari komponenkomponen
yang
mencerminkan
risiko
pada
sektor
keuangan.
Komponen-
komponen pembentuk indeks berasal dari catatan laporan keuangan yang dikelompokkan berdasarkan jenis risiko, seperti credit risk, liquidity risk, dan market risk. Paper Bordoet et al. (2000) menjelaskan studi empiris terhadap hipotesis aggregate
price
disturbance
dapat
menyebabkan
atau
memperburuk
ketidakstabilan sistem keuangan. Studi Illing dan Liu (2003) mengelaborasi sistem keuangan di Kanada untuk membangun financial stress index (FSI). Indikatorindikator sektor keuangan, seperti banking sector, foreign exchange market, debt market, dan equity market diestimasi dengan pendekatan metode time series analysis (seperti GARCH) dan CMAX method. Studi lainnya dilakukan oleh Van den End (2006) untuk kasus di Belanda yang disebut sebagai Monetary Conditions Index (MCI), Financial Conditions Index (FCI), dan Financial Stability Condition Index (FSCI). Indikator itu dibangun berdasarkan solvency buffers dari institusi keuangan
dan
tingkat
stress
pada
pasar
keuangan.
Dasar
pemikiran
pengembangan indeks itu berawal dari FCI, yang di-extend dengan data-data perbankan, dana pensiun, dan asuransi. Studi pengembangan ISSK ini merujuk pada pengembangan indikator sistem keuangan di beberapa negara dengan cakupan yang lebih luas. Studi ini menggunakan suatu model yang dikonstruksi untuk menjelaskan fenomena dari institusi keuangan dan pasar. Variabel-variabel yang mencerminkan perilaku dari sektor institusi keuangan dan pasar terdiri atas data-data berfrekuensi tinggi (daily atau monthly). Studi ini melakukan banyak perubahan dari penelitian sebelumnya, di antaranya adalah faktor-faktor pembentuk sistem keuangan seperti institusi keuangan dan pasar, normalisasi indeks yang digunakan dengan
3
membandingkan kondisi sistem keuangan saat ini dengan rata-rata kondisi sistem keuangan selama periode tertentu (misalnya 2 tahun terakhir), dan proporsi setiap indeks pembentuk institusi keuangan dan pasar yang beragam sehingga dapat mencerminkan kinerja sistem keuangan. Pembahasan awal mengenai penelitian ini akan berbicara mengenai sistem keuangan di Indonesia yang terbagi menjadi dua, yaitu institusi keuangan dan pasar. Kedua komponen sistem itu dianggap penting untuk merepresentasikan kondisi stabilitas sistem keuangan. Selanjutnya, pembahasan berlanjut mengenai event analysis yang membahas berbagai peristiwa (event) sistem keuangan yang mempengaruhi kinerjanya pada masa lalu. Pada Bab 3 akan dijelaskan tinjauan literatur mengenai bagaimana pembentukan indeks komposit menurut negaranegara lain dan apa saja indikator-indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kestabilan sistem keuangan. Pada bab 4 akan dibahas model konstruksi ISSK, pemilihan data sebagai indikator, penentuan bobot indikator dalam indeks, hasil pembentukan ISSK, persepsi eksternal terhadap sistem keuangan di Indonesia, analisis sensitivitas setiap indikator terhadap indeks, dan proyeksi indeks pada masa mendatang. Terakhir, simpulan dan penelitian lanjutan mengenai ISSK ini akan dituangkan pada Bab 5.
4
II. SISTEM KEUANGAN DI INDONESIA
Sistem
keuangan
di
Indonesia
mengalami
beberapa
dinamika
yang
kompleks. Penjagaan stabilitas sistem keuangan bukanlah merupakan suatu hal yang mudah. Apalagi Indonesia telah mengalami krisis moneter yang memiliki pengaruh yang cukup besar pada tahun 1997–1998. Respons yang cukup baik oleh sistem keuangan dan perbankan Indonesia setelah krisis 1997–1998 telah menjadi suatu langkah koreksi yang lebih baik dalam menghadapi krisis dalam periode berikutnya. Sejak krisis Asia sekitar 10 tahun yang lalu, perbankan di Indonesia telah mengalami perubahan dalam segi positif dari sisi kinerja operasional, penerapan good governance, penerapan risk management yang lebih ketat, serta reformasi sistem aturan ke arah standar internasional. Sistem keuangan yang tidak stabil cenderung rentan terhadap berbagai gejolak sehingga dapat mengganggu perputaran roda perekonomian. Secara umum dapat dikatakan bahwa ketidakstabilan sistem keuangan dapat mengakibatkan timbulnya beberapa kondisi yang tidak menguntungkan seperti: (a) transmisi kebijakan moneter tidak berfungsi secara normal sehingga kebijakan moneter menjadi tidak efektif; (b) fungsi intermediasi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya akibat alokasi dana yang tidak tepat sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi; (c) ketidakpercayaan publik terhadap sistem keuangan yang umumnya akan diikuti perilaku panik para investor untuk menarik dananya sehingga mendorong terjadinya kesulitan likuiditas; dan (d) biaya penyelamatan terhadap sistem keuangan yang sangat tinggi apabila terjadi krisis yang bersifat sistemik. Atas dasar kondisi di atas, upaya untuk menghindari atau mengurangi risiko
kemungkinan
terjadinya
ketidakstabilan
sistem
keuangan
sangatlah
diperlukan, terutama untuk menghindari kerugian yang bertambah besar. Frederic S. Mishkin (Mishkin 2013) membagi sistem keuangan menjadi dua komponen, yaitu financial markets (pasar modal) dan financial intermediaries (lembaga intermediasi keuangan). Fungsi utama financial market dan financial intermediaries dalam sistem keuangan adalah untuk menyalurkan dana dari lenders-savers (rumah tangga, perusahaan, atau pemerintah) yang memiliki
5
kelebihan dana kepada borrowers-spenders yang membutuhkan dana (rumah tangga, perusahaan, atau pemerintah). Teori dan kenyataan di lapangan yang terkait dengan insitusi keuangan dan pasar menunjukkan bahwa kedua lembaga tersebut mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Menurut teori ekonomi Neo-Klasik yang berasumsi pada bekerjanya pasar sempurna, besarnya tingkat suku bunga menentukan investasi yang layak dilaksanakan. Namun, pada kenyataannya dunia ini tidak selamanya mengikuti aturan tersebut. Meskipun tingkat tabungan nasional suatu negara relatif besar, sistem keuangan yang tidak dapat mengumpulkan tabungan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan tidak dapat mengalokasikan dana pada sektor-sektor produktif yang maksimal. Akan tetapi, jika dipandang dengan aspek yang lebih luas, risiko keuangan juga tergantung pada struktur sistem keuangan. Sistem keuangan merupakan suatu sistem yang terintegrasi. Artinya adalah bahwa instabilitas yang timbul dari salah satu sistem akan segera berimbas pada bagian-bagian yang lain. Oleh karena itu, istilah instabilitas sistem keuangan sering juga digambarkan sebagai berbagai hal yang dapat mengganggu pasar keuangan akibat menurunnya harga aset secara tajam, kegagalan pada lembaga keuangan nonbank, bangkrutnya perusahaan
nonlembaga keuangan, atau
kombinasi dari berbagai kejadian di atas. Struktur sistem keuangan di berbagai negara berbeda-beda dan cenderung mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan perekonomian negara masing-masing. Terdapat negara yang struktur sistem keuangannya didominasi oleh perbankan atau didominasi oleh pasar modal. Beberapa studi empiris yang pernah dilakukan menunjukkan adanya kecenderungan bahwa negara yang belum maju lebih banyak mengandalkan perbankan daripada pasar modal. Masih rendahnya
transparansi
kinerja
perusahaan
di
negara-negara
berkembang
mengakibatkan para pemilik dana cenderung lebih mempercayakan penyaluran dana miliknya kepada bank. Di
negara-negara
berkembang,
perbankan
dipandang
lebih
mampu
menyeleksi dan mengawasi penggunaan dana melalui penerapan persyaratan yang cukup ketat. Sebaliknya, semakin maju perekonomian suatu negara semakin besar pula peran pasar modal di dalam sistem keuangannya. Berikut ini akan dijelaskan struktur sistem keuangan di Indonesia yang terdiri atas
institusi
keuangan dan pasar.
6
2.1
Institusi Keuangan Institusi keuangan merupakan institusi yang kekayaannya terutama
diwujudkan dalam bentuk aset keuangan daripada aset riil. Institusi keuangan merupakan bagian dari sistem keuangan dalam ekonomi modern yang melayani masyarakat pemakai jasa-jasa keuangan. Dominasi komposisi aset institusi keuangan saat ini di Indonesia dikuasai oleh perbankan 77%. Hal itu dapat kita lihat komposisi aset lembaga keuangan di Indonesia pada grafik di bawah ini.
0.1% 2.5%
0.7%
2.8% 0.1%
0.4%
5.5% Bank Umum BPR Asuransi
9.8%
Dana Pensiun
1.2%
Perusahaan Pembiayaan Perusahaan Modal Ventura Perusahaan Sekuritis
76.9%
Mutual Funds Perusahaan Pinjaman Kredit Pegadaian
Sumber: Bank Indonesia, Kajian Sistem Keuangan No.18 Maret 2012
Gambar 1. Komposisi Aset Lembaga Keuangan
Perbankan Terlihat pada Gambar 1 bahwa industri perbankan saat ini cukup dominan dengan menguasai total aset 77% dari sistem keuangan di Indonesia. Begitu besar volume usaha, mobilisasi dana masyarakat atau pemberian kredit membuat industri perbankan menjadi institusi keuangan yang paling berkembang saat ini. Hal itu berawal dari adanya deregulasi dalam dunia perbankan yang dilakukan oleh pemerintah pada tahun 1983 sehingga mempengaruhi pola dan strategi manajemen perbankan, baik dari sisi aktiva maupun pasiva. Selanjutnya akan dilakukan pembahasan mengenai institusi keuangan yang aset-asetnya memiliki
7
pangsa yang cukup besar di Indonesia seperti perbankan, asuransi, reksadana, dana pensiun, dan perusahaan pembiayaan. Stabilitas
dan
kesehatan
sektor perbankan
merupakan
bagian
dari
stabilitas sektor keuangan terkait erat dengan kesehatan suatu perekonomian (Crocket, 1997). Keterkaitan itu tampak pada fungsi sistem perbankan sebagai lembaga
intermediasi
keuangan.
Terganggunya
fungsi
intermediasi
akan
mengakibatkan alokasi dana perbankan untuk investasi dan pembiayaan sektorsektor produktif dalam perekonomian menjadi sangat terbatas. Bank merupakan lembaga keuangan yang kegiatan utamanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Dari pengertian itu diketahui bahwa bank berfungsi sebagai lembaga intermediasi yang memberikan jasa kepada unit surplus atau unit defisit. Unit surplus adalah pihak yang memiliki kelebihan dana, sedangkan unit defisit adalah pihak yang membutuhkan dana. Perkembangan bisnis perbankan memaksa bank untuk lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan dan memperoleh sumber dana. Bertambahnya jumlah bank menyebabkan persaingan untuk menarik dana dari masyarakat semakin meningkat. Setiap bank berlomba untuk menarik dana dari masyarakat sebanyak-banyaknya dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat yang membutuhkan.
Asuransi Perusahaan
asuransi
merupakan
lembaga
keuangan
nonbank
yang
mempunyai peranan yang tidak jauh berbeda dari bank, yaitu bergerak dalam bidang layanan jasa yang diberikan kepada masyarakat dalam mengatasi risiko yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Perusahaan asuransi mempunyai perbedaan karaketeristik dengan perusahaan nonasuransi, seperti kegiatan underwriting—aktuaria, klaim, dan reasuransi-retrosesi. Industri asuransi di Indonesia akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang cukup pesat setelah pemerintah mengeluarkan deregulasi pada tahun 1980an dan dipertegas lagi dengan keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Dengan adanya deregulasi dan undang-undang tersebut pemerintah memberikan kemudahan dalam hal perizinan yang bertujuan untuk memacu tumbuhnya perusahaan-perusahaan baru sehingga akan meningkatkan hasil produksi/premi nasional.
8
Dengan
semakin
berkembangnya
industri
asuransi
di
Indonesia,
diharapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun ketahun akan semakin berkembang dan semakin meningkat. Pada era globalisasi seperti ini kebutuhan masyarakat terhadap asuransi semakin meningkat sehingga pertumbuhan atau perkembangan industri asurasi di indonesia akan terus meningkat. Saat ini, kekuatan permodalan dalam perusahaan asuransi merupakan faktor penting. Faktor kecukupan modal pada industri asuransi dikenal sebagai risk based capital (RBC). Risk based capital (RBC) menjadi acuan yang tak dapat ditawar. Oleh karena itu, Departemen Keuangan menetapkan perusahaan asuransi di Indonesia saat
ini
wajib
memiliki
rasio
kesehatan
RBC
minimal
120
persen
(www.depkeu.go.id). Rasio Kesehatan RBC merupakan rasio untuk mengukur kesehatan
dan
keamanan
perusahaan
asuransi
berdasarkan
kemampuan
modalnya untuk menutup seluruh kerugian yang ada. Rasio Kesehatan RBC suatu perusahaan asuransi pada dasarnya adalah rasio dari nilai buku kekayaan bersih atau net worth perusahaan bersangkutan yang dibagi dengan nilai kekayaan bersih yang memperhitungkan risiko kerugian yang mungkin terjadi. Faktor yang lain yang perlu diperhatikan adalah profitabilitas, likuiditas, stabilitas premi, dan teknis.
Reksadana Pertumbuhan reksadana yang sangat pesat di Indonesia disinyalir sebagai akibat adanya capital inflow dari dana-dana yang masuk dari luar ke dalam sistem keuangan nasional. Arus modal masuk terjadi karena kondisi ekonomi Indonesia yang semakin membaik dan iklim politik yang semakin kondusif sehingga mendorong mereka untuk menanamkan dananya di Indonesia dalam bentuk reksadana. Di samping itu, faktor pembebasan pajak atas pendapatan bunga yang diterima dari reksadana selama 5 (lima) tahun juga dianggap sebagai faktor kunci maraknya pertumbuhan reksadana yang sangat pesat tersebut. Di Indonesia reksadana pertama kali muncul saat pemerintah mendirikan PT Danareksa pada tahun 1976. Pada waktu itu PT Danareksa menerbitkan reksa dana yang disebut dengan Sertifikat Danareksa. Pada tahun 1995 pemerintah mengeluarkan peraturan tentang pasar modal yang mencakup pula peraturan mengenai reksadana melalui UU No. 8 Tahun 1995 mengenai Pasar Modal. Adanya UU tersebut menjadi momentum munculnya reksadana di Indonesia yang diawali dengan diterbitkannya reksadana tertutup oleh PT BDNI Reksa Dana. Reksadana 9
merupakan suatu wadah untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal yang selanjutnya
akan
diinvestasikan
oleh
manajer
investasi
untuk
kemudian
diinvestasikan ke aset finansial lainnya, seperti saham, obligasi, dan instrumen pasar uang lainnya. Pada reksadana seluruh dana yang ada tidak disimpan oleh manajer investasi, tetapi disimpan di pihak yang bernama bank kustodian. Selain itu, bank kustodian juga berfungsi sebagai pencatat (administrator) yang mencatat dan memberikan
konfirmasi
atas
seluruh
transaksi
pembelian
dan
penjualan
reksadana serta menghitung nilai aktiva bersih (NAB) reksadana setiap harinya. Nilai aktiva bersih merupakan suatu tolok ukur dalam memantau hasil dari suatu reksadana. Dengan kata lain, NAB merupakan suatu indikator dalam menentukan harga beli atau harga jual dari setiap unit penyertaan reksadana. Ketika memasuki tahun 2000, industri jasa pembiayaan mengalami perkembangan yang pesat sehingga menuntut industri jasa pembiayaan dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan jasa keuangan yang kompleks. Perkembangan perusahaan pembiayaan tidak lepas dari perbankan konvensional dan perbankan syariah. Perbankan dan perusahaan pembiayaan bersinergi dalam menyalurkan dana yang dihimpun dari masyarakat karena perusahaan pembiayaan kebanyakan merupakan anak perusahaan bank. Perkembangan industri jasa pembiayaan ini secara keseluruhan telah mampu menjadikannya sebagai suatu industri yang cukup menonjol dalam dunia bisnis, khususnya sektor keuangan yang diperlukan dalam menunjang pembangunan ekonomi secara nasional.
Dana Pensiun Perusahaan dana pensiun merupakan perusahaan yang memungut dana dari karyawan suatu perusahaan dan memberikan pendapatan kepada peserta pensiun sesuai dengan perjanjian. Hal itu berarti bahwa dana pensiun dikelola oleh suatu lembaga dan memungut dana dari pendapatan karyawan suatu perusahaan, kemudian membayarkan kembali dana tersebut dalam bentuk pensiun setelah jangka waktu tertentu sesuai dengan perjanjian antara kedua belah pihak. Menurut Kasmir (2000: 306), dana pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun.
10
Dengan demikian, jelas bahwa yang mengelola dana pensiun adalah perusahaan yang memiliki badan hukum, seperti bank umum dan asuransi jiwa. Berkembangnya jasa pensiun sekarang ini telah menarik beberapa lembaga untuk mendirikan dana pensiun. Lembaga dana pensiun merupakan lembaga yang penting dalam sistem “keamanan sosial” di setiap negara. Hal itu disebabkan pengelolaan
dana
pensiun—jika
dilihat
dari
kaca
mata
bisnis—sangat
menguntungkan dan pengelolaan dana pensiun merupakan jaminan sosial hari tua bagi setiap pekerja. Dapat dibayangkan keuntungan yang akan diperoleh tanpa bunga yang kemudian diinvestasikan kembali dalam bentuk berbagai bidang investasi. Dalam siklus perekonomian setiap bangsa dan negara, di dalamnya selalu ada unsur-unsur investasi dan terdapat juga unsur untuk penciptaan lapangan kerja. Menurut Achmad (2003: 23), pengelola dana pensiun di Indonesia dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu pengelola negara (BUMN) dan pengelola masyarakat (swasta). Lembaga dana pensiun negara adalah PT TASPEN yang mengelola pensiun pegawai negeri sipil dan PT ASABRI yang mengelola dana pensiun pegawai negeri militer. Oleh karena itu, pihak swasta, baik pemberi kerja maupun bukan pemberi kerja, diberi izin untuk menyelenggarakan lembaga dana pensiun. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa sistem pemberian dana pensiun, terutama bagi karyawan dalam suatu perusahaan, memainkan peran yang sangat penting dalam pemberian kepastian penghasilan pada masa depan. Sistem pemberian dana pensiun merupakan suatu hal yang vital dalam pencapaian perekonomian Indonesia yang lebih baik.
2.2
Pasar Berdasarkan penelitian terdahulu (Levine dan Zervos, 1998; Demirguc-Kunt
dan Maksimovic, 1999) dapat disimpulkan bahwa pasar yang telah berkembang dapat meningkatkan kinerja ekonomi. Secara teoretis pasar modal (capital market) didefinisikan
sebagai
perdagangan
instrumen
keuangan
(sekuritas)
jangka
panjang, baik dalam bentuk modal sendiri (stocks) maupun utang (bonds), baik yang diterbitkan oleh pemerintah (public authorities) maupun oleh perusahaan swasta (Hidayati, 2009).
11
Pasar modal menjalankan dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi ekonomi dan fungsi keuangan (Husnan, 1993) sehingga pasar modal berperan besar dalam perekonomian suatu negara. Pasar modal memiliki fungsi ekonomi karena pasar modal menyediakan fasilitas yang mempertemukan dua kepentingan, yaitu pihak yang memiliki kelebihan dana (investor) dan pihak yang memerlukan dana (issuer). Dengan adanya pasar modal, pihak yang memiliki kelebihan dana dapat menginvestasikan dana tersebut dengan harapan memperoleh return, sedangan pihak issuer (dalam hal ini perusahaan) dapat memanfaatkan dana tersebut untuk kepentingan investasi tanpa harus menunggu tersedianya dana dari operasi perusahaan. Pada dasarnya instrumen surat berharga yang diperjualbelikan di pasar modal dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, yaitu surat berharga yang bersifat penyertaan atau ekuitas dan surat berharga yang bersifat utang. Surat berharga yang bersifat ekuitas umumnya dikenal dengan saham, sedangkan surat berharga yang bersifat utang dikenal dengan obligasi. Sementara itu, surat berharga lainnya merupakan turunan dari kedua bentuk tersebut, seperti saham preferen, obligasi konversi, waran, right, dan lain-lain. Dalam Undang-Undang Pasar Modal No. 8 Tahun 1995, istilah yang digunakan untuk menyatakan surat berharga adalah efek. Dalam UU tersebut dengan tegas dinyatakan bahwa efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek. Dalam praktik sehari-hari penyebutan surat berharga atau efek sering juga disebut dengan sekuritas. Pada periode sebelum tahun 1990 pasar modal di Indonesia belum berkembang karena pada umumnya perusahaan menerima dana dari bank, terutama bank pemerintah. Hal itu terbukti dari perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) sampai akhir tahun 1988 baru berjumlah 24 perusahaan. Pasar modal di Indonesia baru berkembang setelah pemerintah mengeluarkan Pakto 1988 dan Pakdes 1988 yang berisi tentang kebijakankebijakan untuk mendorong perkembangan pasar modal. Pada akhir tahun 1989 sebanyak 56 perusahaan mencatatkan saham di BEI dan terus meningkat dari tahun ke tahun hingga menjadi 330 perusahaan pada akhir tahun 2005 (Sa’adah dan Panjaitan, 2006).
12
Sudut pandang pasar yang akan dikaji dalam sistem keuangan di Indonesia adalah aktivitas dalam pasar uang, pasar saham, dan pasar obligasi.
Pasar Uang Pada sisi pasar uang akan dilakukan pengkajian mengenai spread antara pasar uang antarbank (PUAB) dan BI rate. BI rate merupakan suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan diumumkan kepada publik. BI rate diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia setiap Rapat Dewan Gubernur bulanan. Pasar uang antarbank (PUAB) merupakan kegiatan pinjam-meminjam dalam rupiah dan/atau valuta antarbank konvensional dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun. PUAB terdiri atas PUAB rupiah pagi, PUAB rupiah sore, dan PUAB valas. Jika spread antara PUAB kian lebar, hal tersebut memiliki pengertian likuiditas semakin banyak yang masuk ke pasar uang.
Pasar Saham Fluktuasi pasar saham berdampak penting dalam perekonomian. Pengaruh pasar saham terhadap perekonomian dapat dilihat dari empat sisi (Mishkin, 2013). Pertama, efek pasar saham terhadap investasi. Kedua, efek laporan neraca perusahaan. Ketiga, efek kekayaan rumah tangga. Keempat, efek likuiditas rumah tangga. Nilai indeks harga saham gabungan (IHSG) yang diperoleh dari Jakarta Composite Index (JCI) merupakan cerminan pasar modal terhadap stabilitas sistem keuangan. Indeks harga saham gabungan mengalami peningkatan yang semakin pesat sejak krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1998. Hal itu ditunjukkan dari perkembangan nilai IHSG dan nilai transaksi. Kondisi tersebut juga diikuti nilai transaksi yang terus semakin meningkat. Nilai IHSG yang semakin tinggi merupakan bentuk kepercayaan investor atas kondisi ekonomi Indonesia yang semakin kondusif. Ekspektasi investor atas kondisi fundamental negara atau global sangat mempengaruhi pergerakan IHSG. Informasi baru yang muncul akan berpengaruh pada ekspektasi investor sehingga akan mempengaruhi pergerakan IHSG. Secara garis besar ada tiga faktor utama yang berpengaruh terhadap pergerakan IHSG, yaitu faktor domestik, faktor asing, dan faktor aliran modal ke Indonesia.
13
Pasar Obligasi Salah satu sekuritas yang diperdagangkan di pasar modal adalah obligasi. Obligasi merupakan surat pengakuan utang yang diterbitkan oleh pemerintah atau perusahaan swasta kepada investor. Obligasi yang diterbitkan pemerintah Republik Indonesia adalah goverment bond, sedangkan obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan, baik perusahaan berbentuk badan usaha milik negara (BUMN) maupun badan usaha swasta adalah obligasi korporasi (corporate bond). Utang obligasi akan dibayarkan pada masa yang telah ditentukan. Atas pinjaman tersebut investor diberi imbalan berupa bunga sebagai salah satu instrumen yang dikenal di pasar modal. Sebagai salah satu instrumen pasar modal, penerbitan obligasi lebih menguntungkan dibandingkan dengan pinjaman bank karena beban bunga yang ditanggung emiten lebih kecil dan dapat dibayar secara berkala. Akan tetapi, instrumen obligasi ini akan dapat merugikan jika investor kurang mengerti dan tidak memperhatikan informasi tentang obligasi yang diinvestasikan. Ketika memutuskan untuk membeli obligasi, investor akan kehilangan peluang
berinvestasi
dengan
bunga
bebas
risiko
tanpa
memikirkan
pengelolaannya, sedangkan investasi pada obligasi mengandung risiko seperti kegagalan penerimaan bunga obligasi (coupon). Oleh karena itu, yield obligasi yang diperoleh investor harus lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat bunga SBI. Obligasi
mengalami
perkembangan
yang
berarti
sebagai
instrumen
keuangan sejak tahun 2000. Hal ini terjadi karena semakin ketatnya prosedur peminjaman di lembaga keuangan. Akhirnya, kalangan pebisnis beralih minat terhadap instrumen pendanaan lain, yaitu ke dana masyarakat. Penerbitan obligasi harus melalui prosedur yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM). Yield sangat tergantung pada jumlah penerbitan, rating, tingkat likuiditas data, apakah penerbitan baru atau reopening, dan timing (waktu). Yield obligasi yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia ini menjadi suatu ukuran yang penting dalam menilai kestabilan sistem keuangan.
Pasar Valas Pasar valas merupakan suatu bentuk pasar keuangan tempat mata uang asing diperdagangkan satu sama lain. Pelaku pasar yang terlibat aktif dalam pasar valas, antara lain, adalah perusahaan yang bertindak sebagai perusahaan 14
multinasional yang bertindak sebagai eksportir/importir, fund managers, brokers, dan foreign exchange dealers, baik dari bank devisa maupun bank sentral. Perdagangan valuta asing dunia mulai berkembang pesat pada tahun 1973 sejak terjadinya perubahan mendasar pada sistem moneter internasional, yaitu ketika sebagian besar negara-negara di dunia mengubah sistem nilai tukar dari fixed rate menjadi sistem nilai tukar yang lebih fleksibel dengan menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas. Pasar valuta asing berkembang sangat cepat sejalan dengan kemajuan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi serta sejalan dengan meningkatnya nilai perdagangan internasional. Selain itu, adanya deregulasi sektor finansial di banyak
negara
yang
memberi
kebebasan
atas
keluar
masuknya
modal,
mengakibatkan semakin besar dan cepatnya arus modal antarnegara milik investor global yang mencari return yang maksimal pada berbagai portofolio di seluruh dunia.
2.3
Event yang Terjadi dalam Sistem Keuangan Event analysis merupakan suatu kajian analisis berdasarkan waktu
mengenai beberapa berita sistem perekonomian dan keuangan di Indonesia yang terdaftar dan mulai dikumpulkan sejak tahun 2000. Event yang tercatat merupakan event yang secara eksplisit mempengaruhi sistem keuangan di Indonesia secara signifikan. Krisis Mini 2005 Dapat kita ambil contoh mini crisis yang terjadi pada tahun 2005. Pada sekitar bulan September, sektor perbankan mengalami krisis yang ditandai oleh tingginya nilai NPL. Selain itu, dalam sisi pasar, IHSG menurun dari beberapa periode sebelumnya. Reksadana juga mengambil andil dalam hal turunnya nilai aktiva bersih (NAB). Yield obligasi pemerintah juga mengalami kenaikan dalam segi levelnya. Liqudity risk yang tercermin dalam spread antara PUAB dan BI rate juga memiliki nilai yang cukup tinggi di bulan September 2005. Event seperti naiknya harga BBM juga memiliki andil dalam memburuknya sistem keuangan di Indonesia pada tahun 2005 sebagai imbas dari naiknya harga minyak dunia. Pasar obligasi secara umum masih menunjukkan perkembangan yang positif meskipun melambat dari periode sebelumnya. Peningkatan suku bunga yang cukup signifikan telah menekan harga obligasi sehingga meningkatkan potensi risiko
15
pasar dan kredit. Sensitivitas suku bunga cenderung lebih signifikan terjadi pada pasar obligasi pemerintah yang lebih likuid dan aktif jika dibandingkan dengan obligasi korporasi. Namun, momentum penurunan harga obligasi tersebut digunakan oleh emiten korporasi atau pemerintah untuk melakukan buy-back. Implikasi lebih lanjut dari kondisi di pasar obligasi tersebut telah menimbulkan panic selling kembali di pasar reksadana yang mendorong terpuruknya NAB. Di sisi
lain,
perkembangan
kegiatan
usaha
perusahaan
pembiayaan
masih
menunjukkan peningkatan meskipun cenderung melambat akibat melonjaknya suku bunga domestik. Namun, risiko kredit perusahaan pembiayaan cenderung meningkat, antara lain, karena kurangnya kehati-hatian dalam pembiayaan.
Gambar 2. Indikator Pada Mini Krisis 2005
Krisis Keuangan Global 2008 Salah satu tolok ukur lain sebagai event analysis yang mempengaruhi sistem keuangan di Indonesia adalah krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2008. Krisis ekonomi global berawal dari permasalahan kegagalan kredit perumahan di Amerika Serikat. Krisis yang kemudian merusak sistem perbankan itu menyebar hingga ke Eropa dan Asia. Dampak krisis di Amerika tersebut
16
mengakibatkan penurunan pertumbuhan global karena pilar-pilar ekonomi dunia dikuasai oleh Amerika Serikat. Secara umum tekanan terbesar terhadap sistem keuangan selama semester II 2007 lebih banyak ditimbulkan oleh gejolak lingkungan eksternal. Hal itu terutama terlihat dari semakin bergejolaknya pasar keuangan global. Bahkan, bursa saham global semakin sering terkoreksi secara signifikan yang dipicu oleh meningkatnya ketidakpastian dan menurunnya kepercayaan di antara sesama pelaku bisnis di pasar keuangan dunia sebagai dampak lanjutan dari krisis subprime mortgage. Sekalipun NPL perbankan tidak terpengaruh oleh krisis ekonomi global, beberapa indikator dalam pasar seperti spread PUAB, volatiliitas IHSG, dan yield obligasi pemerintah mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Jika kita lihat kondisi para pemain di pasar uang di Indonesia yang umumnya berasal dari luar negeri yang memiliki kisaran 60–70%, kondisi ekonomi kita berarti masih dipengaruhi oleh pihak asing. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan indikator pasar seperti spread PUAB dan BI rate, IHSG, dan yield obligasi pemerintah mengalami kenaikan yang cukup signifikan saat terjadi krisis global tahun 2008. Selain itu, nilai credit default swap (CDS) yang merupakan potensi gagal bayar milik Indonesia mempunyai nilai yang meningkat tajam. Indikator CDS menjadi gambaran terhadap kondisi keuangan suatu negara. Semakin tinggi angka CDS, potensi gagal bayar utang negeri tersebut akan semakin tinggi.
17
Gambar 3. Indikator Pada Krisis Keuangan Global 2008
Event lainnya Dinamika sistem keuangan global pada tahun 2010 sangat berpengaruh terhadap kinerja pasar keuangan Indonesia. Derasnya arus masuk modal asing ke Indonesia, di samping akibat adanya kesenjangan kebijakan antara negara-negara maju
dan
negara-negara
emerging
markets,
juga
didukung
oleh
kuatnya
fundamental ekonomi domestik dan meningkatnya peringkat investasi Indonesia yang semakin mengarah pada peringkat layak investasi (investment grade). Kondisi itu berdampak positif terhadap kinerja pasar keuangan Indonesia. Pasar modal Indonesia mengalami perbaikan dengan adanya peningkatan harga saham yang cukup tinggi serta penurunan imbal hasil surat berharga negara (SBN). Kinerja pasar saham sejak awal tahun 2010 terus berada dalam tren yang meningkat. Hal itu didukung oleh prospek keuangan emiten yang relatif lebih baik daripada negara kawasan. Di pasar uang jangka pendek, derasnya arus modal masuk mengakibatkan tingginya likuiditas pasar uang rupiah dan mendorong turunnya suku bunga PUAB. Kondisi sistem keuangan yang baik didukung oleh kinerja perbankan dan pasar keuangan yang cukup stabil. Kinerja positif yang ditunjukkan oleh perbankan, antara lain, terlihat pada aspek permodalan dan profitabilitas yang semakin kuat. Meningkatnya kualitas intermediasi dan penyaluran kredit produktif merupakan suatu faktor pendukung lain dalam menunjang
kinerja
positif
perbankan. Kinerja
reksadana dan
perusahaan
pembiayaan juga mengalami peningkatan seperti dalam meningkatnya nilai aktiva bersih (NAB) atau pun rasio-rasio profitabilitas dan ketahanannya. Selain dua krisis pada tahun 2005 dan 2008, terdapat krisis Eropa yang melanda pada awal tahun 2011. Meskipun kondisi ekonomi global dalam kewaspadaan tinggi, pengaruh ketidakstabilan perekonomian dunia terhadap
18
Indonesia paling jelas terlihat dari sisi perdagangan, terutama pada ekspor dan impor. Hasil penilaian terhadap kondisi sistem keuangan selama tahun 2011 menunjukkan bahwa selama periode laporan stabilitas sistem keuangan tetap terjaga di tengah dinamika perkembangan perekonomian global. Kondisi sistem keuangan yang baik didukung oleh kinerja perbankan dan pasar keuangan yang cukup menggembirakan sepanjang paruh pertama 2011. Kinerja positif perbankan antara lain tercermin dari aspek permodalan dan profitabilitas yang semakin kuat. Di samping itu, kualitas intermediasi juga semakin baik yang ditunjukkan dari meningkatnya penyaluran kredit produktif lebih dari yang diperkirakan. Meski demikian, perbankan tetap mampu mengelola risiko kredit dengan baik seiring dengan penurunan rasio NPL. Kinerja reksadana dan perusahaan pembiayaan juga menunjukkan peningkatan.
19
III.
3.1
TINJAUAN LITERATUR
Pembentukan Beberapa Indeks Sistem Keuangan Berdasarkan Literatur Pada paper Q-Index sebelumnya (Gunadi et al., 2011) telah diulas
pembentukan indeks sistem keuangan di beberapa negara, di antaranya komposit indeks yang dikembangkan oleh Bordo et al. (2000) dan Illing dan Liu (2003). Pada tinjauan literatur ISSK ini penulis melakukan studi lebih mendalam lagi dengan melihat pembentukan sistem keuangan di Rumania dan Macau. Berikut akan diulas kembali tinjauan literatur dari paper Q-Index sebelumnya dan beberapa studi literatur tambahan. Pembentukan FSI di Indonesia dibangun berdasarkan pola perkembangan dari dua jenis elemen, yaitu perbankan dan pasar keuangan. Elemen perbankan dikembangkan dari tiga pilar Stabilitas Sistem Keuangan yang masing-masing dibentuk dari tiga risiko. Ketiga risiko tersebut kemudian dirangkai menjadi sebuah komposit indeks. Teknik yang digunakan adalah pembentukan komposit indeks yang dikembangkan oleh Bordo et al. (2000) dan Illing Liu (2003). Komposit FSI dapat dilihat seperti berikut ini.
xt j x j I t j j
j 1
a ,b
………………………………………………………………………………(1)
Keterangan: I t merupakan financial stability index (FSI),
j merupakan nilai bobot untuk setiap sektor j X t j merupakan nilai Xj di waktu t
X j merupakan median Xj ˆ a ,b merupakan standar deviasi dari variabel Xj Bentuk normalisasi indeks ini tidak menggunakan nilai rerata karena datadata bulanan yang diperoleh bersifat skewness ke salah satu arah sehingga untuk mengatasi masalah tersebut digunakan median data keseluruhan. Hanya saja untuk suatu data yang berada di atas median yang diperoleh akan dibagi dengan standar deviasi data-data yang berada di bawah median data keseluruhan. Begitu pula halnya jika terjadi sebaliknya.
20
Beberapa indeks dalam literatur membagi beberapa krisis yang terjadi dalam sistem keuangan seperti banking crisis, debt crisis, foreign exchange crisis, equity crisis, dan overall financial crisis. Bank Credit Analyst di Amerika Serikat (AS) menghasilkan financial stress index bulanan berdasarkan variabel, antara lain, performa harga share dari bank-bank besar AS, spread kredit jangka pendek dan panjang, utang sektor privat, pengaruh pasar saham, performa pasar saham keseluruhan, consumer confidence (menangkap siklus ekonomi dan consumer stress, McClellan 2001), slope dari yield curve (ukuran kebijakan moneter), dan pengeluaran saham/bond (mengukur seberapa baik fungsi pasar). Financial stress index Kanada terdiri atas komposit risiko, antara lain, banking sector, foreign exchange market, debt market, dan equity market. BPI merupakan indeks komposit yang dibentuk dari real effective exchange rate, indeks harga saham, money multiplier, PDB riil, ekspor, dan suku bunga jangka pendek. Sementara itu, Danareksa Research Institute (dRi) yang juga membuat suatu indeks untuk menunjukkan keadaan ekonomi pada setiap saat, yaitu coincident economic index (CEI). Indeks itu tersusun oleh informasi penjualan mobil, konsumsi semen, impor, suplai uang, dan penjualan ritel. CEI yang bergerak naik menggambarkan bahwa perekonomian sedang berekspansi, sedangkan CEI yang bergerak turun menunjukkan aktivitas perekonomian yang turun. Untuk melihat proyeksi perekonomian dalam kurun waktu 6–12 bulan ke depan, dRi telah mengembangkan leading economic index (LEI). LEI disusun dengan menggunakan informasi izin mendirikan bangunan, kedatangan turis mancanegara, persetujuan investasi asing, nilai tukar rupiah efektif riil, IHSG, ekspor, dan inflasi sektor jasa. Dalam mendeteksi perubahan posisi ekonomi Indonesia pada siklus bisnis, dRi menggunakan metode sequential signaling (memanfaatkan CEI dan LEI) yang dikembangkan oleh Zarnowitz dan Moore. Dalam metode ini, terdapat pendeteksian terhadap fase perlambatan ekonomi
ataupun
fase
kontraksi
(resesi).
Pendeteksian
dihitung
melalui
pendekatan statistik yang cukup rumit. Sementara itu, indeks stabilitas sistem keuangan di Rumania yang diberi nama Aggregate Financial Stability Index (AFSI) disusun dengan menggunakan 20 indikator yang dikelompokkan ke dalam empat kelompok besar, yaitu financial development index (FDI), financial vulnerability index (FVI), financial soundness index (FSI), dan world economic climate index (WECI). AFSI ini dibuat dengan maksud
bukan
hanya
untuk
melengkapi
sistem
peringatan
dini
dalam
21
mengevaluasi kemungkinan munculnya krisis keuangan di Rumania, melainkan untuk melengkapi stress-test yang menunjukkan ketahanan sistem terhadap kemungkinan ketidakstabilan yang mungkin terjadi. Dalam membentuk indeks, Albulescu (2010) menggunakan metode min-max. Berikut adalah formula yang digunakan. 𝐼𝑖𝑡 𝑛 =
𝐼𝑖𝑡 − 𝑀𝑖𝑛(𝐼𝑖 ) 𝑀𝑎𝑥 (𝐼𝑖 ) − 𝑀𝑖𝑛(𝐼𝑖 )
……………………………………………………………………….(2)
Keterangan: Iitn merupakan nilai indeks dari setiap indikator yang telah dinormalisasi It merupakan nilai dari setiap indikator selama periode t Min (Ii) merupakan nilai minimum dari setiap indikator pada periode waktu tertentu Max (Ii) merupakan nilai maksimum dari setiap indikator pada periode waktu tertentu
AFSI dibentuk dengan memberikan bobot yang sama pada masing-masing indikator (20 indikator). Apabila AFSI bergerak naik, sistem keuangan Rumania semakin membaik. Namun, apabila AFSI bergerak turun, sistem keuangan Rumania berada dalam kondisi menurun. Indeks stabilitas keuangan di Macau yang diberi nama AFSI dibentuk dengan
menggunakan
empirical
normalisation
(min-max)
dan
statistical
normalisation (standard deviation dan nilai rata-rata). AFSI Macau dibentuk dari 19 indikator yang dikelompokkan dalam 3 kelompok besar, yaitu financial soundness index (FSI), financial vulnerability index (FVI), dan regional economic climate index (RECI). Pemilihan 19 indikator AFSI mengacu pada paper Cheang (2009) dan kerangka FSIs IMF yang biasa digunakan dalam studi literatur untuk membangun early warning system (EWS). Menurut Cheang dan Choy (2011), normalisasi indeks dengan metode min-max memiliki kekurangan, yaitu apabila terdapat outlier, akan terjadi
distorsi
menggunakan
pada metode
indikator
yang
min-max,
dinormalisasi.
akan
diperoleh
Di
batas
sisi yang
lain,
dengan
jelas
untuk
menginterpretasikan nilai indeks. Nilai 0 menunjukkan kondisi yang paling buruk dan nilai 1 yang menunjukkan kondisi yang paling baik (stability situation). Selain itu, tren AFSI yang dibetuk dengan empirical normalisation tampak lebih konsisten jika
dibandingkan
dengan
hasil
AFSI
yang
dibentuk
dengan
statistical
normalisation.
22
3.2
Variabel-Variabel Pengukur Sistem Keuangan Indikator sitem keuangan di berbagai negara berbeda-beda. Hal tersebut
dipengaruhi oleh karakteristik negara masing-masing. Seperti halnya FSI di Indonesia, indeks itu memiliki tiga variabel komposit sebagai indikator yang mencerminkan risiko perbankan, risiko pasar saham, dan risiko pasar obligasi (Cardalelli, 2006). Variabel pengukur yang mencerminkan risiko perbankan dalam FSI adalah NPL Gross Level yang di-update tiap bulan. Risiko pasar saham dicerminkan oleh IHSG level. Hanya saja dilakukan pengolahan data untuk mencari return dan memperoleh nilai volatility IHSG melalui metode GARCH (1,1). Terakhir, risiko pasar obligasi diukur dari nilai yield obligasi pemerintah 5 tahun. Sementara itu, beberapa metode kuantitatif dalam literatur mengukur banking crisis dengan menggunakan rasio non-performing loan (NPL) terhadap total aset (Corsetti, Pesenti, dan Roubini, 1998; Gonzales-Hermosillo, 1999), bank deposit sebagai persentase dari GDP (Hardy dan Pazarbasioglu, 1998), dan lending rate sebagai persentase dari GDP (Hardy dan Pazarbazioglu 199;, Sachs, Tornell, dan Velasco, 1996). Foreign exchange rate diinterpretasikan dengan model GARCH (1,1) dan menggunakan metode Black-Scholes dalam menentukan implied volatility dari
real
exchange
rate.
Untuk
equity
crisis,
Patel
dan
Sarkar
(1998)
mengidentifikasikannya dengan menggunakan CMAX method. Financial stress index yang dimiliki Kanada juga mempunyai karakteristik berbeda dalam mengukur tingkat stress sistem keuangannya. Banking sector menggunakan data total return dari aggregate bank di Kanada. Foreign exchange market menggunakan metode CMAX yang mempunyai bentuk rumus perhitungan berikut ini.
CMAX
xt
max x xt j j 0,1,..., T
………………………………….………………………(3)
Debt market menggunakan data risk spread dari yield bond. Turnover ratio dan bid-offer spread digunakan dalam menghitung proxy liquidity risk. Monetary conditions index (MCI) di Belanda dibentuk De Nederlandsche Bank (DNB) untuk memperoleh pengamatan dalam transmisi kebijakan moneter dengan menggunakan variabel suku bunga jangka pendek/panjang dan real effective exchange rate. Bobot-bobotnya ditentukan oleh pengaruh suku bunga dan exchange rate dalam GDP/inflasi. Financial condition index (FCI) juga dibentuk oleh variabel-variabel seperti real interest rate, real effective exchange rate, house price, 23
dan stock price. FCI berguna dalam stabilitas keuangan karena dapat mendeteksi perkembangan asset price yang dapat mempengaruhi perekonomian. Bobot-bobot dalam FSCI ditentukan dengan estimasi IS curve. Semua variabel dikonversikan dalam indeks dalam log. Variabel yang digunakan sebagai indikator pada AFSI di Rumania dipilih berdasarkan studi literatur stabilitas keuangan yang sering digunakan. Karena sektor perbankan merupakan sektor yang paling berpengaruh signifikan terhadap sistem keuangan, kebanyakan indikator mengacu pada institusi kredit. Dari empat kelompok besar indikator yang membentuk AFSI di Rumania (FDI, FSI, FVI, dan WECI), indikator yang digunakan FSI mengacu pada kerangka FSIs IMF. Indikator yang digunakan, antara lain, adalah rasio NPL yang mencerminkan kualitas kredit, own capital to total assets yang menggambarkan tingkat kapitalisasi sistem perbankan, dan general risk indicator yang digunakan untuk menganalisis kinerja aktivitas pinjaman, kecukupan modal, profitability, dan solvability. Pada AFSI Rumania juga dimasukkan indikator world inflation, world economic growth rate, dan economic climate index untuk menggambarkan world economic climate (WECI). Selain itu, untuk menganalisis financial system development dapat digunakan banking assets to GDP dan total credit to GDP sebagai indikatornya. Dalam hal ini, Rumania memilih untuk menggunakan total credit to GDP karena dapat memberikan informasi terkait dengan tingkat intermediasi keuangan. Untuk menggambarkan financial vulnerability, AFSI juga dibentuk oleh inflation rate. Inflation rate mampu menggambarkan stabilitas keuangan. Kestabilan harga yang dapat dicapai akan menarik investor untuk berinvestasi. Hal tersebut merupakan salah satu variabel yang penting dalam menjaga kestabilan sistem keuangan. Selain itu, AFSI di Macau mengukur financial soundness index (FSI) dengan beberapa kategori, yaitu kecukupan modal, kualitas aset, likuiditas, dan profitabilitas yang berfokus pada sektor perbankan. Pada kategori FSI, terdapat 8 indikator, di antaranya ialah return on assets (ROA) yang digunakan untuk mengukur profitabilitas bank; rasio NPL terhadap total pinjaman yang digunakan untuk mengukur kualitas aset; rasio kecukupan modal, dan rasio liquid assets terhadap total assets yang digunakan untuk mengukur likuiditas bank. AFSI di Macau memperhitungkan pertumbuhan ekonomi negara-negara tetangga Macau, terutama yang memiliki hubungan ekonomi, seperti Mainland China, Hong Kong SAR, dan Chinese Taiwan. Bobot yang diberikan untuk 19 indikator adalah sama, tetapi bobot yang berbeda diberikan pada 3 kelompok besar pembetuk indeks (FSI,
24
FVI, dan RECI). Cheang dan Choy (2011) memberikan bobot 60% untuk FSI dan 40% untuk FVI dan RECI. Hal tersebut disebabkan nilai tukar Macau Pataca (MOP) dan Hong Kong Dollar (HKD) tidak terdapat (non-existence) pada pasar ekuitas Macau Special Administrative Region (SAR) sehingga membuat beberapa indikator yang terdapat pada FVI tidak dapat menggambarkan sistem keuangan di Macau.
25
IV. PEMBENTUKAN ISSK
4.1
Model Konstruksi ISSK Bank Indonesia Indeks Stabilitas Sistem Keuangan (ISSK) merupakan
penyempurnaan dari indeks stabilitas keuangan sebelumnya (Q-Index). Dalam paper sebelumnya, Q-Index dibentuk dengan menggunakan metode statistical normalisation rolling 2 tahun. Q-Index membandingkan kondisi stabilitas sistem keuangan saat ini dengan rata-rata kondisi kestabilan sistem keuangan selama 2 tahun terakhir dari waktu aktual. Metodologi ini hampir sama dengan yang digunakan oleh FSI, tetapi terdapat perbedaan spesifikasi teknik, antara lain, adalah: (a) penambahan jumlah indikator yang digunakan; (b) penghilangan tanda harga mutlak (absolut) pada formula pembentukan indeks; (c) penggunaan tahun dasar 2001–2010 untuk menghitung rata-rata dan standar deviasi; dan (d) pembuatan bobot nilai indeks didasarkan pada turning point analysis (TPA). Penghilangan
tanda
mutlak
dapat
memperbaiki
kekurangan
dalam
interpretasi grafik ketika beberapa level indikator yang berbeda dengan volatilitas dan rerata yang sama akan menyebabkan nilai indeks akan berbeda. Penggunaan tahun dasar 2000–2010 disebabkan tahun itu dianggap telah menggambarkan kondisi perekonomian Indonesia saat kondisi krisis, periode recovery, dan kondisi normal. ISSK dibentuk dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan statistical normalisation tahun dasar 2001–2010 dan konversi menggunakan empirical normalisation min-max. ISSK dengan pendekatan statistical normalisation tahun dasar 2001–2010 digunakan sebagai pembentuk indeks utama dan empirical normalisation min-max digunakan dalam mengonversi skala pada ISSK. Pembacaan ISSK dilakukan dengan pendekatan tahun dasar 2001–2010 dan minmax sama yang keduanya memberikan vektor yang sama. Semakin kecil nilai ISSK dengan pendekatan tahun dasar 2001–2010 semakin membaik kondisi sistem keuangan. Semakin besar nilai ISSK dengan pendekatan tahun dasar 2001–2010 semakin memburuk kondisi stabilitas sistem keuangan (SSK), dengan kata lain, SSK semakin tertekan.
26
Metodologi
perhitungan
ISSK
menggunakan
pendekatan
statistical
normalisation tahun dasar 2001–2010 yang dibentuk dengan perhitungan berikut. 𝑛
𝑗
𝑄𝑡 = ∑ 𝜔𝑗 𝑗=1
𝑥𝑡 − 𝑥̅(2001−2010) 𝜎̅(2001−2010)
…..………………………………………………………………..(4)
Keterangan:
Qt j
: nilai bobot tiap variabel
xt j
: nilai variabel x
: indeks komposit
j
pada periode t
x2 years : rataan variabel dari tahun 2001 sampai dengan 2010
ˆ 2 years
: standar deviasi variabel dari tahun 2001 sampai dengan 2010
Hasil normalisasi setiap indikator dari institusi keuangan dan pasar keuangan selanjutnya akan digabung menjadi sebuah indeks dengan bobot tertentu. Penentuan bobot akan ditentukan melalui statistik, kalibrasi, dan event analysis yang menjadi kekuatan dalam interpretasi ISSK ini. Pembentukan ISSK dengan kedua pendekatan tersebut diharapkan dapat melakukan sinkronisasi antara persepsi kondisi stabilitas sistem keuangan dan pergerakan indeks. Data untuk membangun ISSK akan dikumpulkan dengan basis bulanan. Tidak semua data yang didapat diperoleh dari rentang waktu yang sama, misalnya data government bond yield 5 years yang bermula dari tahun 2003, dan data perusahaan pembiayaan yang mulai terdata dari tahun 2007. Sementara itu, datadata lain diperoleh dan dikumpulkan dari bulan Januari 2000 hingga November 2012. Untuk mempertajam dan memudahkan analisis pada ISSK, ISSK dengan pendekatan statistical normalisation kemudian dikonversi dengan menggunakan pendekatan min-max untuk mengubah skala. Metode min-max ini mengambil nilai minimum dan maksimum dari ISSK pada periode waktu tertentu. ISSK dengan pendekatan min-max membandingkan kondisi sistem keuangan saat ini dengan nilai maksimum dan minimum kondisi kestabilan sistem keuangan periode dasar, yaitu dari tahun 2001 hingga tahun 2010. Periode dasar tahun 2001–2010 dipilih sebagai benchmark karena data perekonomian dan sistem keuangan Indonesia pada periode tersebut mengalami episode yang lengkap mulai dari kondisi normal sampai kondisi krisis. Oleh karena itu, periode tersebut dapat dijadikan pelajaran yang baik untuk melakukan analisis saat kondisi sistem keuangan buruk (krisis)
27
dan saat kondisi sistem keuangan stabil. Adapun perhitungan konversi ISSK dengan pendekatan min-max dapat digambarkan pada formula berikut ini. 𝑛
𝐾𝑡 = ∑ 𝑗=1
………………………………………..(5)
𝑗
𝑄𝑡 − 𝑀𝑖𝑛(𝑄(2001−2010) ) 𝑀𝑎𝑥(𝑄(2001−2010) ) − 𝑀𝑖𝑛(𝑄(2001−2010) )
∗2
Keterangan: 𝐾𝑡 𝑄𝑡 𝑀𝑖𝑛(𝑄(2001−2010) ) 𝑀𝑎𝑥(𝑄(2001−2010) )
4.2
: : : :
indeks komposit konversi indeks komposit nilai minimum dari setiap nilai variabel 𝑄𝑗 pada tahun 2001–2010 nilai maksimum dari setiap nilai variabel 𝑄𝑗 pada tahun 2001–2010
Pemilihan Data Sebagai Indikator
4.2.1 Institusi Keuangan (Perbankan) Indikator yang digunakan pada ISSK pada dasarnya sama dengan yang digunakan dalam indeks-indeks sebelumnya yang telah dibentuk oleh Bank Indonesia, sebagai contoh adalah Q-index. Namun, untuk menyempurnakan indeks agar indeks dapat lebih menggambarkan kondisi sistem keuangan, beberapa perubahan dilakukan terhadap indikator pembentuk Q-index. Dari sisi pasar keuangan, Q-index pasar valuta asing belum dimasukkan sebagai indikator pasar keuangan, sedangkan pada ISSK pasar valuta asing telah dimasukkan ke dalam perhitungan dengan indikator volatilitas nilai tukar (USD IDR currency). Selain itu, pada ISSK digunakan indikator credit default swap (CDS) untuk menggambarkan persepsi eksternal terhadap sistem keuangan. R-index yang digunakan pada Q-index tidak digunakan lagi. Alat likuid institusi perbankan juga dimasukkan ke dalam perhitungan ISSK untuk melihat kemampuan bank dalam menyediakan alat likuid guna memenuhi kewajibannya. Dalam institusi keuangan penulis menggunakan trinity stabilitas sistem keuangan untuk menggambarkan kondisi yang memungkinkan sistem keuangan dapat bekerja secara efektif dan efisien serta mampu bertahan terhadap gejolak internal dan eksternal sehingga alokasi pendanaan atau pembiayaan dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian nasional. Tekanan, intermediasi, dan efisiensi menjadi tujuan utama dalam pemilihan indikator tersebut.
28
Gambar 4. Trinity Stabilitas Sistem Keuangan
Variabel indikator yang mencerminkan tingkat tekanan dari institusi keuangan perbankan, yaitu NPL, CAR, ROA, dan delta (∆) alat likuid bank. Hasil bentukan dari indikator tekanan itu kemudian akan disebut dengan indeks tekanan institusi perbankan atau ITP. Dipilihnya keempat variabel di atas terkait dengan cerminan ketahanan perbankan dari risiko kredit, permodalan, profitabilitas, dan likuiditas. Pemilihan bobot-bobot untuk indeks perbankan akan ditentukan dengan kalibrasi secara statistik yang berdasar pada event analysis (turning point analysis/TPA). Penggunaan indikator tersebut akan diolah dengan nilai levelnya untuk NPL, CAR, dan ROA. Sementara itu, likuiditas perbankan diolah dengan menggunakan perubahan (y-o-y) rasio antara alat likuid yang telah dikurangi dengan GWM primer terhadap total aset. Hal itu didasarkan pada grafik dari keempat variabel tersebut yang mencerminkan tingkat krisis dalam sistem keuangan di Indonesia (terlampir). Indikator NPL merupakan hal yang paling dominan dalam mencerminkan risiko kredit. NPL merupakan rasio yang dipergunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam menyanggah risiko kegagalan pengembalian kredit oleh debitur. Makin tinggi jumlah kredit bermasalah, makin besar kemungkinan bank untuk tidak dapat berfungsi sebagai perantara keuangan dengan baik. Dengan demikian, semakin tinggi pula ketidakstabilan bank tersebut.
29
Indikator berikutnya yang mencerminkan tingkat ketahanan perbankan dari sisi internal (tekanan) adalah capital adequacy ratio (CAR). Indikator CAR merupakan
rasio
meningkatnya permodalan
permodalan
modal
sendiri,
semakin
untuk
mengukur
kesehatan
meningkat.
bank
Dalam
segi
kesehatan yang
bank.
terkait
profitabilitas,
Dengan
dengan
rasio
kita
dapat
menggunakan data return on asset (ROA). Indikator ROA merupakan pengukur efektivitas perbankan di dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Semakin besar ROA menunjukkan kinerja perbankan semakin baik. Semakin besar NPL perbankan, semakin tidak baik kondisi sistem keuangan perbankan. Hal itu bertolak belakang dengan CAR dan ROA. Semakin tinggi kedua variabel tersebut, semakin stabil kondisi sistem keuangan perbankan. Sementara itu, untuk melihat kondisi likuiditas perbankan, digunakan perubahan (y-o-y) rasio antara alat likuid yang telah dikurangi GWM primer terhadap total aset. Alat likuid yang digunakan terdiri atas kas, giro pada BI, SBI, penempatan pada BI lainnya, SUN HTM, SUN Trading, dan SUN AFS. Semakin positif perubahan rasio (AL-GWM Primer/TA), semakin baik likuiditas perbankan. Pemilihan indikator berikutnya menitikberatkan sisi efisiensi perbankan. Indikator efisiensi secara umum dibagi menjadi dua. Bagaimana perbankan dalam menjalankan fungsi bisnisnya dalam mencari untung dan melakukan penyesuaian antara
pendapatan
dan
biaya
yang
harus
dikeluarkan
dalam
mencapai
keuntungan sebesar-besarnya dengan pengeluaran sekecil-kecilnya. Net interest margin (NIM) dipilih sebagai indikator untuk menunjukkan berapa besar profit yang didapat oleh bank dalam menjalankan bisnisnya. Secara kasar
NIM
menggambarkan
performa
dari
perbankan
dalam
menerapkan
keputusan berinvestasi dibandingkan dengan kondisi utang atau kondisi efisiensi intermediasi perbankan. Indikator kategori berikutnya dalam efisiensi perbankan (indeks efisiensi perbankan) menggambarkan biaya operasional. Terdapat tiga indikator yang digunakan untuk menggambarkan kondisi itu, rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO), cost-to-income ratio (CIR), dan overhead cost terhadap pendapatan operasional (OHC/PO). Secara individu ketiga indikator tersebut mencerminkan hal yang berbeda, BOPO efisiensi operasional perbankan, CIR efisiensi perbankan sebagai entitas bisnis, dan OHC/PO efisiensi perbankan dalam menggunakan sumber daya, baik manusia maupun infrastuktur.
30
Secara perhitungan CIR dan OHC/PO didapat dengan rumus persamaan (6) dan (7) di bawah ini.
CIR
( BOSB BNO ) PL PBB PNO POSB
………………………………………...…………………………(6)
Keterangan: CIR
: cost-to-income ratio
BOSB : beban operasional selain bunga BNO
: beban non-operasional
PL
: provision loss
PBB
: pendapatan bunga bersih
PNB
: pendapatan non-operasional
POSB : pendapatan operasional selain bunga
OHC PA Pdd PP Pr Pjk Sw BNO Pm BJ BTK PO PO
……………….………(7)
Keterangan: OHC : overhead cost
Pjk
: pajak
PO
: pendapatan operasional
Sw
: sewa
PA
: premi asuransi
BNO : beban nonoperasional
Pdd : pendidikan
Pm
: pemeliharaan
PP
: penelitian dan pengembangan
BJ
: barang dan jasa
Pr
: promosi
BTK : biaya tenaga kerja
Untuk sisi intermediasi, indeks intermediasi perbankan dibentuk dengan dua aspek. Aspek pertama adalah aspek idiosyncratic, yaitu aspek yang berkaitan dengan perilaku individual bank dalam melakukan intermediasi, yaitu dalam penyaluran dana dan penghimpunan dana sebagai bentuk bisnis perbankan. Sementara itu, aspek yang kedua adalah aspek horizontal, yaitu fungsi intermediasi perbankan secara keseluruhan dikaitkan dengan perekonomian nasional. Dua indikator merepresentasikan perbankan dari aspek idiosyncratic dipilih spread antara suku bunga kredit dan suku bunga DPK serta digunakan suku bunga deposito 1 bulan karena suku bunga deposito 1 bulan masih yang tertinggi di Indonesia. Makin tinggi spread antara suku bunga kredit dan deposito menandakan bahwa perbankan makin tidak ingin menyalurkan dana. Indikator yang kedua dari indikator idiosyncratic adalah GWM-LDR. Indikator itu dihitung
31
dengan melihat selisih antara LDR perbankan dan ketentuan batas disinsentif GWM-LDR. Detail perhitungan indikator itu adalah sebagai berikut. LDR > 90% = LDR – 90% 90% > LDR > 78% = 0% LDR < 78% = LDR - 78% Perbankan yang LDR-nya berada di bawah batas bawah GWM-LDR akan diberi sanksi berupa GWM primer. Hal itu diharapkan dapat mendorong perbankan untuk menyalurkan kredit; sedangkan perbankan yang LDR-nya di atas 92% akan dikenai sanksi penambahan GWM untuk menjaga cadangan likuiditas. Batas atas yang digunakan pada perhitungan indikator digunakan 90% sebagai warning untuk stabilitas bahwa penyaluran kredit industri perbankan perlu mendapat perhatian (Muljawan, 2013). Batas GWM-LDR mengacu pada PBI No.12/19/PBI/2010. Indikator vertikal dicerminkan oleh gap antara kredit/GDP dengan long term trend. Indikator itu menunjukkan kondisi pertumbuhan kredit dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan kredit yang tinggi jika tidak didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang sesuai dapat menyebabkan masalah pada masa yang akan datang, peningkatan kualitas pengumpulan kredit pada masa
yang
akan
datang
dapat
menyebabkan
tekanan
pada
perbankan
(diindikasikan oleh peningkatan nilai ITP) dan berujung pada peningkatan ATMR dan menyebabkan menurunnya CAR. Sebaliknya, kondisi pertumbuhan ekonomi yang tidak didukung oleh pertumbuhan kredit akan berakhir pada kondisi yang disebut disintermediation. Berdasarkan kedua sudut pandang di atas, gap kredit/GDP terhadap long term trend dipilih sebagai cerminan kondisi intermediasi dari sisi makro ekonomi. Gap yang semakin tinggi dapat menjadi indikator awal untuk melihat arah perkembangan kredit, apakah berada pada kondisi boom, over heating, atau leading to crisis.
4.2.2 Pasar Keuangan Dalam institusi pasar ada lima sektor yang menjadi pusat perhatian penulis dalam membentuk indeks, yaitu pasar uang (interbank money market), pasar saham (stock market), pasar obligasi (bond market), pasar valas (valuta asing/forex
32
market), dan persepsi eksternal terhadap sistem keuangan. Variabel pengukur pasar uang dilihat dari spread antara suku bunga PUAB dan deposit facility rate (DF rate); pasar saham dicerminkan oleh IHSG; pasar obliasi dicerminkan yield obligasi pemerintah 5 tahun; dan pasar valas dicerminkan oleh nilai tukar dolar Amerika
terhadap
Indonesia.
Untuk
menggambarkan
kondisi
pasar
uang
antarbank, digunakan suku bunga PUAB sebagai suku bunga indikasi penawaran dalam transaksi pasar uang di Indonesia. Makin besar selisih antara PUAB dan DF rate, makin likuid pasar yang menginterpretasikan makin buruknya sistem keuangan. Variabel selanjutnya yang menjadi pembentuk ISSK adalah credit default swap (CDS). CDS merupakan indikator terkait persepsi eksternal terhadap sistem keuangan. Persepsi itu mempertimbangkan risiko investor asing terhadap kondisi sistem keuangan Indonesia. Data yang digunakan adalah par spread CDS Indonesia 5 tahun dengan mengambil nilai rata-rata untuk satu bulan dari CDS harian. Indikator CDS untuk negara Indonesia sebagai cerminan dari pihak luar mulai terdata dari tahun 2005. Makin besar nilai CDS, makin tidak stabil sistem keuangan di Indonesia. Kombinasi Kondisi Normal dan Krisis Dalam menghitung indikator pasar saham, pasar obligasi, dan pasar valas, penulis
menggunakan
menggunakan
dua
kombinasi persamaan
kondisi
normal
matematika
dan
yang
krisis.
Metode
digabungkan
ini
dengan
menggunakan probabilitas terjadinya dua kondisi yang berbeda. Kedua persamaan matematika menggambarkan probabilitas kondisi pasar keuangan—dilihat dari ketiga pasar—yang mungkin terjadi. Persamaan matematika yang pertama menggambarkan
kondisi
normal
(normal
condition)
yang
diperoleh
dengan
mengambil rata-rata nilai indikator selama sebulan. Persamaan matematika kedua menggambarkan kondisi krisis (crisis sensitive) yang hanya mengambil kondisi nilai ekstrim krisis dalam satu bulan. Pada bagian awal telah dijelaskan bahwa persamaan tersebut menggambarkan probabilitas terjadinya kondisi normal dan krisis. Dengan probabilitas 75% setiap harinya, kondisi pasar keuangan—dilihat dari sisi tiga pasar—berada pada kondisi normal. Dengan kata lain, probabilitas kemungkinan terjadinya krisis setiap harinya adalah 25%.
33
Kondisi Normal (Normal Condition) Untuk pasar saham IHSG level akan diolah terlebih dahulu dengan
menggunakan return. Setelah itu, akan ditentukan nilai variance bulanan untuk volatilitas IHSG harian. Makin besar nilai volatilitas IHSG, makin tidak stabil sistem keuangan pasar. Sementara itu, untuk pasar obligasi penulis menggunakan data yield obligasi pemerintah selama 5 tahun untuk menggambarkan instabilitas keuangan dengan nilai level-nya yang akan diindekskan setiap bulannya. Makin besar yield obligasi, makin tidak stabil sistem keuangan. Dalam pasar obligasi tidak digunakan selisih antara yield obligasi pemerintah dan risk-free rate. Perspektif yang penulis gunakan dalam pasar obligasi ini adalah sebagai regulator. Dengan semakin besarnya yield obligasi pemerintah, kestabilan sistem keuangan akan terganggu. Namun, dari sisi investor, makin besar selisih antara yield obligasi pemerintah dan risk-free rate, makin menguntungkan bagi investor. Untuk melihat kondisi finansial di pasar valas, digunakan indikator volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Sejak diberlakukannya UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, pergerakan sistem nilai tukar tidak lagi diintervensi oleh BI. Hal tersebut berakibat pada fluktuasi nilai tukar tidak dapat dihindari dan sulit diprediksi. Peran kestabilan nilai tukar ini sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Nilai tukar akan berdampak pada investasi dan perdagangan internasional. Apabila nilai tukar tidak stabil, eksportir tidak memiliki kepastian dalam berinvestasi untuk menjalankan bisnisnya.
Kondisi Krisis (Crisis Sensitive) Untuk
mencerminkan
kondisi
krisis,
ketiga
pasar
dihitung
dengan
pertimbangan nilai terburuk yang bisa terjadi pada hari itu (waktu t). IHSG dihitung dengan mengambil nilai minimum dari rasio delta nilai pada t dengan t-1. Nilai delta tersebut kemudian dibandingkan dengan nilai minimum pada satu bulan yang dihitung dan rasio delta dengan nilai min satu bulan.
CS IHSG
min IHSG (IHSGt t 1,2,..., T )
………………….…………………………(8)
min IHSG ( IHSGt t 1,2,..., T )
Keterangan: 𝐶𝑆𝐼𝐻𝑆𝐺 : nilai crisis sensitive IHSG (pasar saham) ∆𝐼𝐻𝑆𝐺 : selisih nilai IHSG sekarang dengan hari sebeumnya
34
IHSG
: IHSG pada hari t
Perhitungan nilai crisis sensitive pada IHSG menggambarkan kondisi delta (perubahan nilai harga) yang mungkin didapat dengan kondisi harga IHSG terendah yang mungkin terjadi dalam satu bulan. Makin kecil nilai rasio,makin rendah kemungkinan keuntungan akan didapat investor pada saat krisis terjadi. Indikator berikutnya adalah indikator pasar obligasi. Indikator pasar ini dihitung dengan melihat selisih nilai maksimum dan nilai minimum yield obligasi pemerintah lima tahunan (bond 5 year yield spread) pada bulan dihitung. Makin besar nilai spread selama satu bulan menunjukkan kerugian yang akan diderita oleh investor apabila terjadi krisis. Kemungkinan nilai krisis pada pasar valas dihitung dengan menggunakan nilai rata-rata volatilitas satu bulan, bulan dihitung, dan dari spread antara nilai tukar tertinggi USDIDR dan nilai tukar terendah USDIDR selama satu bulan dan telah disetahunkan.
CSUSDUIDR 100 * 261
1 n MA5 D (max USDIDRt min USDIDRt ) n t 1 MA5 D
…………..….(9)
Keterangan: 𝐶𝑆𝑈𝑆𝐷𝐼𝐷𝑅
: nilai crisis sensitive nilai tukar USDIDR
𝑀𝐴5𝐷
: moving average 5 days (nilai rata-rata berjalan selama 5 hari) dari nilai tukar USDIDR
𝑚𝑎𝑥𝑈𝑆𝐷𝐼𝐷𝑅𝑡 : nilai tukar tertinggi USDIDR pada hari dihitung 𝑚𝑖𝑛𝑈𝑆𝐷𝐼𝐷𝑅𝑡 : nilai tukar terendah USDIDR pada hari dihitung
Penghitungan nilai indikator tersebut digunakan faktor jumlah hari trading dalam 1 hari. Diasumsikan bahwa selama satu tahun, jumlah hari trading adalah 261. Makin tinggi nilai volatilitas menandakan bahwa makin tinggi risiko yang harus ditanggung oleh investor. Volatilitas spread menggambarkan risiko dari sisi kemungkinan perubahan harga dalam 1 hari. Tabel 1 menjelaskan arah vektor dari tiap-tiap indikator pembentuk ISSK. Tanda (+) akan menunjukkan makin tinggi nilai indikator tersebut berarti stabilitas meningkat, sedangkan tanda (-) menunjukkan makin tinggi nilai indikator tersebut berarti makin besar tekanan.
35
Tabel 1. Vektor indikator pembentuk ISSK Indikator Pembentuk ISSK Indeks Stabilitas Sistem Keuangan (ISSK)
Kontribusi Terhadap Indeks
Dampak Terhadap Indeks
(+)
Indeks Stabilitas Institusi Keuangan membaik, stabilitas sistem keuangan membaik, dan sebaliknya
(+)
Indeks Stabilitas Pasar Keuangan membaik, stabilitas sistem keuangan membaik, dan sebaliknya
(+)
Indeks Tekanan Institusi Perbankan meningkat, stabilitas institusi keuangan memburuk, dan sebaliknya
Intermediasi Perbankan
(+)
Intermediasi Perbankan meningkat, stabilitas institusi keuangan memburuk, dan sebaliknya
Efisiensi Perbankan
(-)
Efisiensi Perbankan meningkat, stabilitas institusi keuangan membaik, dan sebaliknya
Delta (AlGWM)/TA yoy
(-)
Delta (Al-GWM)/TA yoy membesar, tekanan perbankan membesar, dan sebaliknya
NPL
(+)
NPL meningkat, tekanan perbankan membesar, dan sebaliknya
ROA
(-)
ROA meningkat, tekanan perbankan mengecil dan sebaliknya
CAR
(-)
CAR meingkat, tekanan perbankan mengecil, dan sebaliknya
ISIK
ISPK Indeks Stabilitas Institusi Keuangan (ISIK)
Indeks Tekanan Institusi Perbankan (ITP)
Intermediasi Perbankan
ITP
Spread suku bunga kredit dengan suku bunga DPK Gap LDR
(-)
(+)
Spread suku bunga kredit dengan suku bunga DPK membesar, intermediasi perbankan menurun, dan sebaliknya Gap LDR membesar, intermediasi perbankan meningkat, dan sebaliknya
36
Tabel 1. (lanjutan) Indikator Pembentuk ISSK
Efisiensi Perbankan
Kontribusi Terhadap Indeks
Dampak Terhadap Indeks
Gap Kredit/ GDP terhadap Long Term Trend
(+)
Gap Kredit/GDP terhadap long term trend membesar, intermediasi perbankan meningkat, dan sebaliknya
NIM
(-)
NIM meningkat, efisiensi perbankan menurun, dan sebaliknya
BOPO
(-)
BOPO meningkat, efisiensi perbankan menurun, dan sebaliknya
CIR
(-)
CIR meningkat, efisiensi perbankan menurun, dan sebaliknya
OHC/PO
(-)
OHC/PO meningkat, efisiensi perbankan menurun, dan sebaliknya
Liquidity risk
(+)
Liquidity risk meningkat, tekanan pasar keuangan meningkat, dan sebaliknya
Obligasi
(+)
Indikator obligasi meningkat, tekanan pasar keuangan meningkat, dan sebaliknya
(+)
Indikator IHSG meningkat, tekanan pasar keuangan meningkat, dan sebaliknya
Nilai tukar
(+)
indikator Nilai Tukar meningkat, tekanan pasar keuangan meningkat, dan sebaliknya
CDS
(+)
CDS meningkat, tekanan pasar keuangan meningkat, dan sebaliknya
Indeks Stabilitas Pasar Keuangan (ISPK) Normal Condition and Crisis Sensitive
IHSG
Untuk melihat detail indikator yang digunakan pada pembentukan ISSK dengan lebih jelas, perhatikan Gambar 5 berikut.
37
Gambar 5. Indikator Pembentuk ISSK
4.3 Penentuan Bobot Setiap Indikator dalam Index Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian awal, penentuan bobot yang dipilih menggunakan metode turning point analysis. Penggunaan bobot dengan menggunakan TPA lebih dapat menangkap kondisi yang terjadi di Indonesia daripada menggunakan metode penentuan bobot lainnya, seperti principal component analysis dan distribusi deviasi (standard deviation). TPA
dapat
memberikan
pengaruh
tidak
linear
terhadap
indikator
pembentuk. Salah satu hal yang menjadi kelebihan TPA dibandingkan dengan metode lain adalah perubahan bobot akibat ketersediaan data dan kondisi. Sebagai contoh, indikator pembentuk pada pasar keuangan dapat disesuaikan saat penambahan indikator obligasi negara, pertama kali issue pada tahun 2003. Apabila kondisi yang sama diterapkan dengan metode lain, bobot akan diberikan secara linear kepada seluruh indikator pembentuk sehingga bobot linear ini akan menjadikan faktor pengali pada data yang belum ada. Dari sisi kondisi, penggunaan TPA juga dapat membuat bobot disesuaikan dengan skenario yang telah ditetapkan pada awal pembentukkan indikator. Salah satu contoh adalah saat isu CAR menjadi titik utama yang perlu diperhatikan,
38
bobot pada CAR dapat dinaikkan sesuai dengan kondisi. Sebagai contoh kondisi CAR kurang dari X%, bobot CAR akan naik sebesar Y%. Penentuan bobot setiap indikator diperlukan untuk menggabungkan indikator yang telah dinormalisasi menjadi indeks tunggal (ISSK). Untuk pasar keuangan bobot yang diberikan adalah 0,55, sedangkan bobot yang lebih kecil diberikan untuk institusi keuangan, yaitu 0,45. Pemberian bobot tersebut telah dikalibrasi dan disesuaikan dengan kondisi sistem keuangan Indonesia dengan berdasarkan data historis. Dari grafik indeks yang dihasilkan, bobot tersebut telah mampu menangkap terjadinya krisis pada tahun 2005 dan 2008. Pemberian bobot yang lebih tinggi pada sisi pasar keuangan didasarkan pada kapitalisasi pasar keuangan yang mencapai 40% didominasi oleh perbankan sehingga terganggunya stabilitas
(tekanan
meningkat)
pasar
keuangan
akan
berdampak
pada
terganggunya stabilitas pada institusi keuangan. Institusi keuangan pembentuk ISSK, dari sisi perbankan, digambarkan melalui tiga pilar, yaitu tekanan (ketahanan) perbankan, intermediasi perbankan, dan efisiensi perbankan. Pemberian bobot untuk tiap-tiap pilar didasarkan pada impact ketika terjadi krisis. Berdasarkan kejadian yang telah ada dan berdasarkan analisis data historical, bobot terbesar diberikan kepada ITP, yaitu 0,60. Selanjutnya untuk efisiensi dan intermediasi masing-masing diberi bobot 0,20. Pemberian bobot yang sama pada kedua pilar didasarkan pemikiran bahwa untuk meningkatkan intermediasi, bank akan mengorbankan efisiensi dan sebaliknya, untuk meningkatkan efisiensi, bank akan mengorbankan intermediasi. Pembobotan lebih detail dari setiap indikator pembentuk ISSK dapat dilihat pada Gambar 6 untuk ITP, Gambar 5 untuk indeks intermediasi perbankan, dan Gambar 6 untuk indeks efisiensi perbankan.
Gambar 6. Bobot Indikator Pembentuk ITP
39
Dalam hal ini, alat likuid adalah kas, giro bank pada BI, SBI, penempatan pada BI lainnya, dan SUN (SUN HTM, SUN Trading, SUN AFS). GWM adalah giro wajib minimum. Salah satu keunggulan dari TPA adalah bobot dapat disesuaikan dengan kondisi. Untuk ITP penyesuaian bobot dilakukan dengan mengacu pada kondisi CAR industri. Semakin rendah CAR industri perbankan, bobot dari indikator tersebut akan dibesarkan. Hal itu dilakukan untuk melihat pengaruh rendahnya CAR dengan tekanan pada perbankan. Perubahan kondisi CAR perbankan mengacu pada standar CAR yang dikeluarkan pada BASEL II, yaitu CAR minimum yang harus dimiliki oleh bank adalah 8%, kemudian dengan penambahan conservation buffer 2,5% menjadi 10%. Untuk perubahan gradasi pada bobot ITP dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perubahan Bobot ITP Indikator
CAR ≥ 10,5 8 ≤ CAR < 10,5 CAR < 8
NPL
0,35
0.,325
0,30
CAR
0,20
0,25
0,30
ROA
0,10
0.10
0,10
Alat Likuid
0,35
0,325
0,30
Gambar 7. Bobot Indikator Pembentuk Indeks Intermediasi Perbankan
40
Gambar 8. Bobot Indikator Pembentuk Indeks Efisiensi Perbankan
Dalam membangun ISSK, bobot yang diberikan selanjutnya digabungkan menjadi indeks komposit. Berikut adalah persamaan indeks komposit pembentuk ISSK untuk metode CIFiS. 𝐼𝑆𝑆𝐾 = 0,45(𝐼𝑛𝑠𝑡𝑖𝑡𝑢𝑠𝑖)𝑡 + 0,55(𝑃𝑎𝑠𝑎𝑟)𝑡
……………………………………………………(10)
Indeks institusi keuangan untuk metode CIFiS diperoleh dari formula berikut ini. 𝐼𝑛𝑠𝑡𝑖𝑡𝑢𝑠𝑖𝑡 = 0,6(𝐼𝑇𝑃)𝑡 − 0,2(𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖)𝑡 + 0,2(𝐼𝑛𝑡𝑒𝑟𝑚𝑒𝑑𝑖𝑎𝑠𝑖)𝑡
..…………….…….…...(11)
Sementara itu, indeks tekanan institusi perbankan, indeks efisiensi perbankan, dan indeks intermediasi berasal dari formula berikut ini. 𝐼𝑇𝑃𝑡 = 0,35(𝑁𝑃𝐿)𝑡 − 0.2(𝐶𝐴𝑅)𝑡 − 0.1(𝑅𝑂𝐴)𝑡 − 0.3(∆ (𝐴𝐿 − 𝐺𝑊𝑀/𝑇𝐴))𝑡
………………(12)
𝑂𝐻𝐶 𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡 = −(0,30(𝑁𝐼𝑀)𝑡 − 0,23(𝐵𝑂𝑃𝑂)𝑡 − 0,23(𝐶𝐼𝑅)𝑡 − 0,23( )) 𝑃𝑂 𝑡
…….……….(13)
𝐼𝑛𝑡𝑒𝑟𝑚𝑒𝑑𝑖𝑎𝑠𝑖𝑡 = −0,2(𝑆𝑝𝑟𝑒𝑎𝑑 𝑠𝑏 𝐾𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡 𝑑𝑔 𝐷𝑃𝐾)𝑡 + 0,4(𝐺𝑎𝑝 𝐿𝐷𝑅)𝑡
……………...(14)
+ 0,4(𝐺𝑎𝑝 𝐾𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡/𝐺𝐷𝑃)𝑡 Indeks stabilitas pasar keuangan dibentuk dari formula berikut ini. 𝑁𝐶𝑡 = 0,35(𝐿𝑖𝑘𝑢𝑖𝑑𝑖𝑡𝑎𝑠)𝑡 + 0,2(𝐼𝐻𝑆𝐺)𝑡 + 0,15(𝐵𝑜𝑛𝑑)𝑡 + 0,25(𝑉𝑎𝑙𝑎𝑠)𝑡
..………………(15)
+ 0,1(𝐶𝐷𝑆)𝑡 𝐶𝑆𝑡 = 0,25(𝐿𝑖𝑘𝑢𝑖𝑑𝑖𝑡𝑎𝑠)𝑡 + 0,25(𝐼𝐻𝑆𝐺)𝑡 + 0,15(𝐵𝑜𝑛𝑑)𝑡 + 0,25(𝑉𝑎𝑙𝑎𝑠)𝑡
…………..……(16)
+ 0,1(𝐶𝐷𝑆)𝑡 𝐼𝑆𝑃𝐾𝑡 = 0,75(𝑁𝐶)𝑡 + 0,25(𝑆𝐶)𝑡
...………………………………………………………(17)
41
Penggunaan tanda positif dan negatif menunjukkan arah vektor dari setiap indikator terhadap indeks yang dibentuk. Pengaruh positif menunjukkan semakin tinggi tekanan pada indeks dan sebaliknya. Khusus untuk indeks intermediasi perbankan, tanda positif menunjukkan peningkatan intermediasi dan tanda negatif menunjukkan adanya penurunan intermediasi.
4.4 Ambang Batas (Threshold) Dalam mengintepretasikan kondisi pada indeks yang telah dibentuk, diperlukan suatu ambang batas (threshold) sehingga mempermudah penentuan kondisi dan langkah yang akan dilakukan. Penentuan kondisi ambang batas mengacu
pada
aturan
terhadap
indikator
terkait,
sebagai
contoh
dalam
menentukan ambang batas NPL, digunakan ambang batas ketentuan BASEL II, yaitu NPL dikatakan telah mencapai kondisi mengkhawatirkan pada nilai 5%. Ketentuan itu diterjemahkan dengan penambahan ± 2% sehingga didapat threshold untuk NPL adalah 3%, 5%, dan 7%. Ambang batas kemudian diterjemahkan menjadi empat kondisi, yaitu (i) kondisi normal, (ii) kondisi waspada, (iii) kondisi siaga, dan (iv) kondisi krisis. Kondisi normal adalah kondisi yang indikator pembentuknya menghasilkan ISSK berada di bawah nilai 1,3. Kondisi itu digambarkan dengan daerah warna hijau pada grafik. Apabila terjadi tekanan pada beberapa indikator pembentuk yang menyebabkan ISSK berada pada nilai antara 1,3 dan 1,7, kondisi itu disebut kondisi siaga yang digambarkan dengan daerah warna kuning pada grafik. Tekanan lebih tinggi dalam indikator pembentuk yang menghasilkan ISSK berada pada nilai di antara 1,7 dan 2 yang digambarkan dalam grafik dengan daerah warna merah. Hal itu berarti kondisi siaga. Sementara itu, untuk kondisi krisis, yaitu tekanan lebih besar dialami indikator pembentuk ISSK dan nilai ISSK di atas 2 yang digambarkan oleh warna merah pada grafik. Pembentukan threshold untuk indikator pembentuk ISSK menggunakan metoda min-max untuk mendapat kondisi yang sama dengan nilai threshold ISSK yang telah dikonversi dengan menggunakan metode emphirical normalisation minmax. Namun, metode itu dimodifikasi dengan melakukan inverse terhadap hasil threshold bentukan yang telah ditentukkan nilai threshold kondisi normal dan krisis.
42
Gambar 9. Skema Pembentukan Threshold Indikator Pembentuk
Perhitungan threshold yang digunakan dapat mengacu pada rumus berikut
t = ix × s + x
……………………………………………………….………….(18)
ix t k imax imin / 2 imin
………………………………………………………….……….(19)
imax xmax x /
…………………………………………………………………..(20)
imin ( xmin x ) /
……………………………………………………………….….(21)
Keterangan: 𝑡
: threshold hasil konversi
𝑡𝑘
: threshold ISSK
𝑖𝑥
: indeks threshold awal
𝑖𝑚𝑎𝑥 : indeks threshold maksimum 𝑖𝑚𝑖𝑛 : indeks threshold minimum 𝜎
: standar deviasi tahun 2001 sampai dengan 2010
𝑥
: nilai indikator (threshold awal)
𝑥̅
: rata-rata tahun 2001 sampai dengan 2010
4.5 Trace Back dengan Menggunakan Heat Map Salah satu kelemahan dalam indeksasi indikator adalah kesulitan dalam melakukan trace back untuk melihat sumber tekanan pada indeks. Heat map atau tabel indikator dengan indikasi warna sebagai penunjuk tingkat kerentanan dari
43
indikator tersebut. Heat map dari ISSK akan menampilkan seluruh indeks hasil bentukkan, baik bentukan institusi keuangan maupun bentukan pasar keuangan. Untuk setiap indeks komposit akan disusun dari indeks komposit pembentuknya, sebagai contoh ISSK dibentuk oleh ISIK dan ISPK, kemudian indikator
penyusun
akan
ditampilkan.
Tabel
3
menunjukkan
kondisi
perkembangan ISSK dan indeks pembentuk ISSK selama 1 tahun terakhir. Adanya heat map mempermudah melihat sumber kerentanan.
Tabel 3. Heat Map ISSK dan Indeks Pembentuk ISSK
Penggunaan gradasi warna pada heat map ISSK mengacu pada ambang batas (threshold). Secara keseluruhan ada tiga warna pada heat map ISSK, yaitu warna hijua, kuning, dan oranye. Warna hijau menggambarkan kondisi normal, indikator dengan warna ini berada pada nilai lebih baik dari threshold pertama. Warna kuning menggambarkan kondisi siaga, nilai indikator pada kondisi ini berada
antara
threshold
pertama
dan
threshold
kedua.
Warna
oranye
menggambarkan kondisi siaga, indikator pada warna ini berada pada nilai antara threshold kedua dan ketiga. Kondisi krisis digambarkan dengan warna merah, indikator pada kondisi ini memiliki nilai lebih buruk daripada threshold ketiga. Trace back pada seluruh indikator dapat dilakukan pada seluruh tahun hitung dari ISSK, rata-rata indikator pembentuk ISSK berawal dari tahun 2001 sebagai awal dari tahun dasar. Heat map pada tahun 2005 dan 2008 menggambarkan indikator sumber kerentanan dari masa krisis tersebut. Jika dibandingkan dengan indikator pembentuk selama tahun 2013, dapat diketahui kondisi pada tahun 2013 lebih baik. 44
Tabel 4. Heat Map Indikator Pembentuk ISSK
Sesuai dengan kondisi dari event analysis, mini crisis pada tahun 2005 disebabkan oleh meningkatnya nilai NPL perbankan. Pada Tabel 4 indikator NPL sepanjang tahun 2005 dan tahun 2006 berwarna merah serta beberapa indikator institusi keungan dan pasar keuangan berada pada kondisi siaga. Krisis global pada tahun 2008 dimulai dari masalah pada pasar keuangan dan efeknya berdampak pada institusi keuangan yang ditransmisikan oleh likuiditas. Tabel 5 menunjukkan keadaan tekanan pasar keuangan akibat krisis global, spread antara suku bunga JIBOR dan PUAB, serta yield obligasi dan CDS mencapai kondisi krisis (per indikator) yang ditunjukkan oleh warna merah. 45
Tabel 5. Heat Map ISSK tahun 2005–2006
Tabel 6. Heat Map ISSK tahun 2008–2009
46
4.6 Hasil ISSK untuk Sistem Keuangan di Indonesia 4.6.1 Hasil ISSK dengan Pendekatan Statistical Normalisation Rolling Window 2 Tahun Pembentukan ISSK dengan pendekatan statistical normalisation tahun dasar 2001–2010 menggunakan data bulanan mulai dari Januari 2001 sampai Oktober 2013. Hal tersebut disesuaikan dengan ketersedian data yang ada. Setelah ditentukan metode normalisasi indeks, pemilihan indikator, dan pembobotan pembentuk ISSK, serta konversi pada indeks bentukan, diperoleh hasil ISSK yang ditunjukkan pada Gambar 10 berikut ini.
Gambar 10. ISSK Pendaketan Statistical Tahun Dasar 2001–2010 (Konversi Skala dengan Metode Min-Max 2001–2010)
Dari Gambar 10 di atas tampak bahwa tekanan pada ISSK terjadi pada tahun 2005 dan 2008. Hal tersebut telah sesuai dengan data historis dan kondisi sistem keuangan Indonesia, yaitu pada tahun 2005 terjadi mini krisis dan pada tahun 2008 terjadi krisis global. Selain itu, ISSK pada akhir tahun 2006 menunjukkan kondisi yang membaik. Hal tersebut ditunjukkan dari membaiknya beberapa indikator ekonomi. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa ISSK yang dibangun dengan pendekatan statistical normalisation tahun dasar 2001–2010 47
telah mampu menangkap dan menggambarkan kondisi sistem keuangan di Indonesia. Untuk menginterpretasikan ISSK terhadap kondisi sistem keuangan, hal yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah cara membaca nilai ISSK. Jika nilai ISSK berada pada daerah hijau, kondisi sistem keuangan berada pada kondisi lebih baik dari kondisi rata-rata selama tahun 2001 sampai dengan 2010 (kondisi stabilitas sistem keuangan baik). Jika nilai ISSK berada pada daerah waspada, kondisi sistem keuangan sudah menuju ke arah yang perlu diwaspadai karena telah terjadi tekanan pada beberapa indikator pembentuk dan menuju ke rata-rata saat terjadinya kondisi krisis tahun 2005 dan 2008. Makin besar nilai indeks menandakan bahwa kondisi tekanan makin tinggi dan menuju ke arah tekanan terbesar yang pernah terjadi pada mini crisis 2005 dan global financial crisis 2008.
Semakin besar Indeks, semakin tinggi tekanan pada SSK (Stabilitas Memburuk) Semakin kecil Indeks, semakin kecil tekanan pada SSK (Stabilitas membaik)
Gambar 11. Pembacaan ISSK
Seperti telah dijelaskan di atas, ISSK dibentuk dari dua pasar, yaitu institusi keuangan dan pasar keuangan. Untuk mendapatkan analisis lebih komprehensif terhadap penyebab stabilitas atau tekanan pada ISSK, ISSK dapat didisagregasi ISSK terdiri atas dua elemen sistem keuangan, yaitu institusi keuangan dan pasar keuangan. Dalam menginterpretasikan ISSK, kita dapat melihat penyebab naik turunnya nilai ISSK dari kedua elemen tersebut. Oleh karena itu, penting juga untuk dilakukan observasi apa yang terjadi pada institusi keuangan atau
48
pada pasar keuangan. Gambar 12 menunjukkan plot dari indeks stabilitas institusi keuangan.
Gambar 12. Indeks Stabilitas Institusi Keuangan
Dalam grafik di atas tampak bahwa pada tahun 2005, stabilitas institusi keuangan mengalami tekanan indeks yang signifikan yang ditandai dengan besarnya nilai NPL. Tekanan akibat krisis pada tahun 2008 juga ditunjukkan ISIK. Berbeda dengan krisis tahun 2005, tekanan pada tahun 2008 kepada perbankan disebabkan oleh tekanan pada likuiditas. Selanjutnya, penulis melakukan observasi pada pasar keuangan yang hasilnya dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Gambar 13. Indeks Stabilitas Pasar Keuangan
49
Dari Gambar 13 di atas dapat dilihat bahwa pasar keuangan mengalami penurunan yang signifikan terhadap krisis mini yang terjadi pada tahun 2005 dan krisis global pada tahun 2008. Tekanan pada pasar kembali tercermin pada ISPK pada akhir bulan Mei 2013 sampai dengan pertengahan bulan Juni 2013. Tekanan yang berdampak pada depresiasi nilai tukar USDIDR dan IHSG serta peningkatan yield obligasi disebabkan oleh pernyataan The Fed Chairman Ben Bernanke mengenai rencana tapering off The Fed.
4.6.2 Perkembangan ISSK, ISIK, dan ISPK Perkembangan kondisi stabilitas sistem keuangan Indonesia lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi krisis tahun 2005 dan tahun 2008, tetapi kondisi SSK sedikit lebih tertekan jika dibandingkan dengan tahun 2012 karena tekanan di
pasar
akibat
kebijakan
tapering
off
The
Fed.
Berikut
grafik
yang
menggambarkan kondisi perkembangan SSK Indonesia.
Gambar 14. Perkembangan Indeks Stabilitas Sistem Keuangan
Gambar 15. Perkembangan Indeks Stabilitas Institusi Keuangan
50
Gambar 16. Perkembangan Indeks Stabilitas Pasar Keuangan
51
V. PENUTUP
5.1
Simpulan Paper ini membangun sebuah indeks yang mencerminkan stabilitas sistem
keuangan. Dengan beberapa tambahan indikator yang dibangun oleh dua elemen, yaitu institusi keuangan dan pasar, ISSK dapat lebih mudah menunjukkan sektor mana yang paling berpengaruh jika terjadi krisis melanda di Indonesia. Seperti halnya ketika mengalami krisis pada tahun 2005 dan 2008, ISSK dapat didisagregasi untuk melihat elemen signifikan yang menyebabkan krisis. Bobot-bobot setiap indikator pembentuk ISSK dapat disesuaikan dengan event analysis dan juga statistik kalibrasi sehingga akan diperoleh hasil grafik yang lebih akurat dalam mencerminkan kestabilan sistem keuangan. Dalam ISSK digunakan threshold yang menyatakan posisi sistem keuangan di Indonesia secara prompt.
5.2
Penelitian Lanjutan Untuk menyempurnakan hasil studi pada masa yang akan datang, sangat
perlu dilakukan pengembangan melalui penyempurnaan struktur model yang lebih cocok bagi karakteristik Indonesia yang diikuti adanya ketersediaan data yang lebih memadai. Pengenalan karakteristik data menjadi suatu peranan penting dalam menentukan penggunaan volatilitas, level, dan treatment data stock dan flow. Di samping itu, pemilihan indikator yang lebih mencerminkan ketahanan institusi keuangan atau pasar dapat menangkap krisis yang terjadi di Indonesia. Beberapa model forecast yang telah ada juga perlu dikalibrasi ulang sehingga pada masa yang akan datang akan diperoleh proyeksi yang lebih akurat. Indeks ini juga akan menjadi lebih baik jika data gap yang berasal dari lembaga keuangan nonbank dapat segera ditutup sehingga ISSK dapat mencakup seluruh institusi keuangan. Saat ini masih sulit diperoleh data time series untuk merepresentasikan indeks stabilitas institusi keuangan (ISIK) untuk institusi keuangan nonbank (IKNB). Hingga saat ini, dominasi institusi perbankan pada sistem keuangan masih menjustifikasi tidak dimasukkannya indikator untuk IKNB dalam ISIK. Namun, sistem keuangan yang makin berkembang akan membuat
52
IKNB memiliki peran yang makin besar dalam sistem sehingga indikator kinerja IKNB perlu diikutsertakan dalam ISSK.
53
DAFTAR PUSTAKA
Albulescu, C., (2010), “Forecasting The Romanian Financial Sector Stability Using a Stochastic Simulation Model”, Romanian Journal of Economic Forecasting, Vol. 1/2010, 81-98. Biro Stabilitas Sistem Keuangan (Maret 2003), “Kajian Stabilitas Keuangan”, Bank Indonesia. Biro Stabilitas Sistem Keuangan (September 2003), “Kajian Stabilitas Keuangan”, Bank Indonesia. Biro Stabilitas Sistem Keuangan (Maret 2005), “Kajian Stabilitas Keuangan”, Bank Indonesia. Biro Stabilitas Sistem Keuangan (September 2005), “Kajian Stabilitas Keuangan”, Bank Indonesia. Biro Stabilitas Sistem Keuangan (Maret 2008), “Kajian Stabilitas Keuangan”, Bank Indonesia. Biro Stabilitas Sistem Keuangan (September 2008), “Kajian Stabilitas Keuangan”, Bank Indonesia. Biro Stabilitas Sistem Keuangan (Maret 2010), “Kajian Stabilitas Keuangan”, Bank Indonesia. Biro Stabilitas Sistem Keuangan (September 2010), “Kajian Stabilitas Keuangan”, Bank Indonesia. Biro Stabilitas Sistem Keuangan (Maret 2011), “Kajian Stabilitas Keuangan”, Bank Indonesia. Biro Stabilitas Sistem Keuangan (September 2011), “Kajian Stabilitas Keuangan”, Bank Indonesia. Bordo, M.D., Michael Dueker, dan David C. Wheelock, (2000),” Aggregate Price Shocks and Financial Instability: An Historical Analysis”, NBER Working Paper 7652, http://www.nber.org/papers/w7652 Brainard, W.C. dan J. Tobin, (1968), “Pitfalls in Financial Model Building”, American Economic Review Vol.58, pp.99-122. Corsetti, Giancarlo, Paolo dan Nouriel Roubini, (1998), “What Caused The Asian Currency and Financial Crisis?”, paper dipresentasikan di The CEPR/World Bank Conference “Financial Crises: contagion and market volatility,” London, 8-9 Mei. Deriantino. Elis (2010), “Indonesia Development”, Bank Indonesia.
Financial
Stability
and
Macroeconomic
Direktorat Riset Ekonomi dan Moneter (2003), “Laporan Perekonomian Indonesia”, Bank Indonesia. Direktorat Riset Ekonomi dan Moneter (2005), “Laporan Perekonomian Indonesia”, Bank Indonesia. Direktorat Riset Ekonomi dan Moneter (2008), “Laporan Perekonomian Indonesia”, Bank Indonesia.
54
Cardalelli, R., (2006), “How Do Financial Systems Affect Economic Cycle”, World Economics Outlook IMF. Crocket, Andrew (1977), “The Theory and Practice Of Financial Stability”, Princeton University Essay on International Finance. Demirguc-Kunt, Asli dan Ross Levine, (1999),” Bank-based and Market-based Financial Systems: Cross-country Comparison”, Mimeo, World Bank. Fair, Ray C., (1979), ”An Analysis of a Macro-Econometric Model with Rational Expectations in the Bond and Stock Markets”, American Economic Review, Vol. 69, No.4, pp. 539-552. Goodhart, C., (2005), “What Can Academics Contribute to the Study of Financial Stability”, The Economic and Social Review, Vol.36,No.3,pp.189-203. Gonzalez-Hermosillo, Brenda, (1999), “Determinants of Ex-Ante Banking System Distress: A Macro-Micro Empirical Exploration of Some Recent Episodes”, IMF Working Paper. Gunadi et al, (2011). “Pengembangan Composite Indicator of Financial System (CIFiS)”. Bank Indonesia Research Paper. Hadad, M.D., Santoso, W., Santoso, B., Besar, D.S., and Rulina, I. (2006), “Macroeconomic Stress Testing for Indonesian Banking System”, Bank Indonesia Research Paper. Hardy, Daniel and Ceyla Pazarbasioglu, (1998), “Leading Indicators of Banking Crises: Was Asia Different?”, IMF Working Paper. Hidayati, Siti, (1999). “Analisia Hubungan Kinerja Sistem Keuangan (Perbankan dan Pasar Modal) Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Periode 19992008”. Tesis Universitas Indonesia. Husnan, Suad, (1993). “Dasar-dasar Teori Portofolio: Analisa Sekuritas di Pasar Modal”, Yogyakarta, UPP AMP YKPN. Illing, M., dan Y. Liu, (2003), “An Index of Financial Stress for Canada”, Bank of Canada Working Paper 2003-14. Levine, Ross and Sara Zervos, (1998), “Stock Markets, Banks, and Economic Growth”, American Economic Review 88, 537-558. Mishkin, Frederic S. (2013), “The Economics of Money, Banking, and Financial Markets”, Global Edition - Tenth Edition, Pearson. Muljawan, Dadang dan Aditya A Taruna, (2013), “Kebijakan GWM-LDR Untuk Mendukung Counter-cyclicality Dalam Optimalisasi Proses Intermediasi dan Meminimalkan Risiko Likuiditas”, Bank Indonseia Research Paper. Sa’adah dan Yunia Panjaitan, (2006). “Interaksi Dinamis Antara Harga Saham dengan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis. Sachs, Jeffrey, Tornell dan Velasco, (1996), “Financial Crises in Emerging Markets: The Lessons from 1995”, NBER Working Paper. Subianto, Ahmad, (2003), “Setelah Pensiun”, Penerbit RBI Research, Jakarta. Van den End, J.W., (2006), “Indicator and Boundaries of Financial Stability”, De Nederlandsche Bank. Vermeulen and Gobat (2011), “Macro Stress testing A Large Emerging Market Banking System – An Application to Indonesia”, IMF Working Paper. 55