Gambar 1: Postur wanita hamil
Postural ini merupakan kunci untuk pengkajian. Hal Ini harus mencakup beberapa pengkajian dari tampilan anterior, lateral dan posterior tubuh. Pengkajian Ini perlu mencakup pemahaman tentang struktur fisik seperti sendi dan otot serta bagaimana jalur meridian. Postur wanita akan menunjukkan gerakan yang signifikan untuk mengubah di bidang yang paling memiliki fleksibilitas. Studi Fisioterapi (Polden & Mantle, 1990) menunjukkan bahwa peningkatan kiposis dan lordosis di tulang belakang akan berbertambah seiring dengan kemajuan kehamilan.8 Hiperlordosis Lordosis progresif merupakan gambaran yang khas pada kehamilan normal. Untuk mengkompensasi posisi anterior uterus yang membesar, lordosis menggeser pusat gravitasi ke belakang pada tungkai bawah. Terdapat peningkatan mobilitas sendi sakroiliaka, sakrokoksigeal, dan sendi pubis selama kehamilan, kemungkinan akibat perubahan hormonal. Mobilitas tersebut mungkin menyebabkan perubahan postur ibu, dan selanjutnya mengakibatkan rasa tidak nyaman di punggung bagian bawah, terutama pada akhir kehamilan. Selama trimester akhir kehamilan, rasa pegal, mati rasa, dan lemah kadangkala dialami pada ekstremitas atas. Hal ini kemungkinan merupakan akibat lordosis nyata yang disertai dengan fleksi anterior leher dan merosotnya gelang bahu, yang kemudian akan menimbulkan traksi pada nervus ulnaris dan medianus (Crisp dan DeFrancesco, 1964) cit: Cunningham et.al., 20014. Berat badan meningkatkan beban kerja tambahan pada tulang belakang bagian bawah, bagian bawah erectae spinae dan kelompok
28 BALABA Vol. 8, No. 01, Jun 2012 : 26-29
transversospinalis. Respon otot terhadap hal ini dengan memperpanjang kontraksi dan pengencangan otot. Berarti bahwa lordosis dari punggung bawah semakin meningkat. Posisi panggul dan berat badan akan mempengaruhi posisi kaki dan sendi. Otot gastrocnemus dan soleus, gluteus maximus dan minimus, fleksor pinggul (psoas mayor dan iliacus), rektus femoris, fascia lata tensor, kuadratus lumborum, erector spinae lumbal, dan ikatan iliotibial cenderung hipertonik disamping fasia latae rektus femoris dan tensor. Otot adductors, rektus abdominis, abdominis transversal, oblikua internal dan eksternal dan otot-otot dasar panggul cenderung hipotonik. Perubahan berat badan memerlukan adaptasi dengan perubahan pusat gravitasi melalui peregangan atau kontraksi otot rangka dan beban yang tidak proporsional pada isi perut atau struktur fasia maka keseimbangan dapat menjadi masalah bagi wanita hamil. Sendi lutut cenderung sedikit hiperekstensi, sendi pergelangan kaki cenderung sedikit plantarfleksi. Dapat juga terjadi penyempitan foramen dan diskus intervertebralis, sehingga memungkinkan menyebabkan iritasi serabut saraf. Beberapa wanita merespon berat ini dengan membawa berat kembali ke tumit untuk mengimbangi tarikan depan tubuhnya.8 Hiperkiposis Peningkatan bobot payudara memberikan kontribusi terhadap ketidakseimbangan postural selama bersalin. Mereka cenderung menarik ke bagian depan tubuh bagian atas yang akhirnya jatuh menjadi hiperkiposis dan mungkin menjadi masalah. Paru-paru dan tubuh bagian depan (tulang rusuk dan interkostalis, serta diafragma) cenderung tertekan sehingga mengganggu pernafasan. Dengan peningkatan ketegangan fasia anterior toraks, meningkatkan ketegangan jalan masuknya udara toraks. Perbaikan respirasi yang menggunakan diafragma perut akan mendorong kembang kempis dada dan membantu sirkulasi tulang belakang dan drainase, secara bertahap meningkatkan mekanisme kompensasi postural. (Averril Morgan, komunikasi 8 pribadi, 2008). Pola otot Hiperkiposis: Hipertonik terdapat pada otot sternocleidomastoids, trapezius atas, suboccipitals, levator skapula, scalenes, pectoralis mayor dan minor, subclavius??, seratus anterior, intercostalis anterior, splenii, supraspinatus, infraspinatus, teres minor. Hipotonik terdapat pada otot rhomboids, trapezius,
ARTIKEL ARTIKEL
EVALUASI DAN IMPLEMENTASI SISTEM SURVEILANS DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA SINGKAWANG, KALIMANTAN BARAT, 2010 Frans Yosep Sitepu*, Antonius Suprayogi**, Dibyo Pramono*** ABSTRACT
Introduction: Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) is still a public health problem in Singkawang Municipality which was an endemic area. DHF surveillance is expected to inform endemicity of an area, season of transmission and disease progression that can be use to make the system more effective and efficient. Methods: Observational study by using a structured questionnaire. Interview was conducted to all DHF surveillance officers. Evaluated had been done to the variable of input, process, and output of the surveillance system. We conducted an on the job training to all DHF surveillance officers after the evaluation. Results: 66.7% officers never got any trainings of surveillance, 83.3% had double duty, budgeting limited to physical needs, facilities and infrastructures. Process variable, data collection was late; analysis and recommendation had not been directed to the distribution of cases, the relationship between risk factors and the mortality of DHF incidence, and environment changing, feedback; data distribution had not been implemented optimally. Output variable was still weak, no surveillance epidemiology profile. Attribute surveillance such as simplicity, flexibility, and positive predictive value were good, but still weak in acceptability, sensitivity, representativeness, and timeliness. Short-term evaluation resulted that there was an increasing knowledge of surveillance officers (p value <0.05). Mid-term evaluation resulted that there was an increasing of completeness and accuracy of DHF report from 80% to 100%, active case finding, epidemiology investigation conducted to all DHF cases. Discussion and Conclusions : DHF surveillance system in Singkawang needs to be improved, there were many attributes of surveillance system that had not done well. Training of surveillance system is needed to improve capability and capacity of the surveillance officers. Keywords: Evaluation, Surveillance, DHF, Singkawang PENDAHULUAN Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular yang masih tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyebaran penyakit ini cenderung semakin meluas terutama di negara-negara berkembang 1,2. Serangan DBD dapat berakibat luas yang dapat menimbulkan kerugian material dan moral yang paling fatal dapat mengakibatkan kehilangan nyawa atau 3,4 kematian . DBD sering terjadi di negara-negara tropis 5 dan sub tropis termasuk di Indonesia . DBD di Indonesia merupakan salah satu emerging disease dengan insiden yang meningkat dari tahun ke tahun. DBD pertama kali dilaporkan di Surabaya dan Jakarta tahun 1968 dengan Case Fatality Rate (CFR) 41,3% dan pada tahun 1997 DBD telah menyerang semua provinsi di Indonesia. Kota Singkawang merupakan daerah endemis DBD dimana kasus DBD terjadi setiap tahun 6. Pada tahun 2007 Incidence Rate (IR) DBD : 106,74/100.000
penduduk, CFR: 0.53%, tahun 2008 IR : 77,63/100.000 penduduk, CFR : 1,47%, tahun 2009 mengalami peningkatan IR : 538,52/100.000 penduduk, CFR : 1,06%, dan tahun 2010 IR: 58,57/100.000 penduduk, CFR: 2,80% (gambar 1).
Gambar 1. Incidence Rate (IR) dan Case Fatality Rate (CFR) DBD dari Tahun 2007-2010
*Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara ** Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat *** Field EpidemiologyTraining Program (FETP) Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta
5
Untuk menunjang upaya pengendalian DBD di Kota Singkawang sejak lama telah dikembangkan sistem surveilans khusus yaitu berupa kegiatan pengamatan DBD. Dari pengamatan sepintas, pelaksanaan pengamatan DBD di Kota Singkawang telah berjalan cukup baik, tetapi masih ada yang perlu mendapat perhatian yaitu ketidaklengkapan, ketidaktepatan, dan ketidakteraturan data surveilans DBD di DKK Singkawang dan Puskesmas. Melihat kegawatan penyakit ini, maka sudah seharusnyalah sistem pencatatan dan pelaporan guna keperluan perencanaan, pencegahan dan pemberantasan DBD harus didukung oleh suatu sistem yang handal pula, yakni suatu sistem surveilans yang dapat menyediakan data dan informasi yang akurat, valid dan up to date. TUJUAN Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan kegiatan, hambatan, tantangan dan kelemahankelemahan sistem surveilans DBD di Kota Singkawang Kalimantan Barat. BAHAN DAN CARA a. Evaluasi Rancangan Evaluasi Rancangan evaluasi sistem surveilans DBD di Kota Singkawang adalah observasional deskriptif yang dilakukan dengan cara melakukan wawancara menggunakan alat bantu kuesioner. Subjek Evaluasi Subjek penelitian adalah seluruh petugas pengelola program Pencegahan dan Pemberantasan (P2) DBD di DKK Singkawang dan Puskesmas. Variabel yang Dievaluasi Variabel yang dievaluasi meliputi variabel input, process, dan output dan atribut-atribut surveilans. Variabel input: tenaga, sarana dan dana, variabel process: aktifitas pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data serta penyebaran informasi, variabel output: hasil-hasil dari proses manajemen data seperti adanya tabel, grafik, dan rekomendasi. Sedangkan atribut sistem surveilans meliputi: akseptabilitas, sensitivitas, nilai prediktif positif, kerepresentatifan, dan ketepatan waktu. Alat Ukur Menggunakan kuesioner terstruktur dengan melakukan wawancara dan observasi langsung kepada subjek penelitian.
6 BALABA Vol. 8, No. 01, Jun 2012 : 5-10
Cara Analisis Data Analisis dengan cara deskriptif untuk masingmasing variabel. b. Intervensi Rancangan Intervensi Melakukan review surveilans epidemiologi DBD kepada petugas surveilans DKK Singkawang dan Puskesmas. Penekanan pada review adalah dengan menyepakati alur sistem surveilans, pengumpulan data, pengolahan dan penyajian serta analisis data. Untuk pengolahan, penyajian serta analisis data ditekankan pada pengolahan data individu berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin, tempat tinggal dengan analisis wilayah sebaran. Untuk meningkatkan jangkauan akseptabilitas, sensitivitas, spesifisitas dan representatif di dalam review tersebut petugas dibekali informasi tentang DBD dan cara analisis berhubungan dengan DBD. Metode Intervensi Metode intervensi yang dilakukan berupa on the job training kepada petugas di DKK Singkawang dan Puskesmas. Materi yang diberikan berupa sistem surveilans DBD, pengumpulan, pengolahan dan penyajian, serta analisis data DBD. Cara Evaluasi 1. Evaluasi Jangka Pendek Evaluasi jangka pendek dilakukan dengan cara melaksanakan pre test dan post test kepada petugas pengelola program P2 DBD DKK Singkawang dan Puskesmas, bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan rata-rata tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi. Tingkat keberhasilan dilihat dari adanya peningkatan pengetahuan petugas surveilans sebelum dilakukan review DBD dibandingkan dengan setelah dilakukan review DBD. Kemudian hasilnya dilakukan analisis dengan menggunakan uji statistik paired t test. Hasil evaluasi dapat dikatakan berhasil jika terjadi peningkatan pengetahuan dengan membandingkan nilai rata-rata (mean) keduanya. 2. Evaluasi Jangka Menengah Evaluasi jangka menengah dilakukan dengan cara melaksanakan observasi dan wawancara terhadap petugas pengelola program P2 DKK Singkawang dan Puskesmas, kegiatan dilaksanakan setelah 2 (dua) bulan setelah intervensi dilakukan, dengan tujuan untuk melihat hasil
wanita dengan berat badan normal kenaikannya diharapkan 0,4 kg per minggu. Untuk wanita dengan berat badan lebih, kenaikan berat badannya adalah 0,3 kg dan untuk wanita dengan berat badan kurang 4 kenaikannya adalah 0,5 kg. Kenaikan berat badan selama kehamilan normal umumnya sekitar 10 sampai 13 kg, terdiri dari sekitar 3 kg dari bayi, 1 kg untuk rahim, 0.5 kg untuk plasenta, 4 kg untuk penyediaan darah meningkat dan sekitar 4 kg untuk jaringan meningkat dan cadangan lemak dalam antisipasi untuk menyusui. Tuntutan dan kelelahan pada otot tulang belakang dan panggul, stress pada ligamen tulang belakang dan panggul akan mempengaruhi terjadinya misalignment tulang belakang dan sendi sacroiliaca yang dapat menambah kurva vertebrae 5 lumbar maupun thoraks . Rumusan Masalah Pertambahan berat badan pada wanita hamil baik dari perkembangan uterus maupun payudara pada umumnya terjadi di bagian frontal tubuh, wanita hamil sering tidak menyadari bahwa berat yang sebagian besar di depan tersebut, namun seorang wanita hamil ketika berdiri masih tetap dapat mempertahankan sikap (postur) sehingga tidak tertelungkup. Berdasarkan uraian dimaksud maka dapat dirumuskan permasalahan: Mengapa wanita hamil tidak telungkup (terjatuh) ke depan ? Bahan dan Metode Bahan penulisan artikel ini adalah literatur dan cara yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi literatur dan telaah literatur dari berbagai sumber yang berhubungan dengan kehamilan dan postur tubuh wanita hamil. Pembahasan Sikap berdiri biasa (fundamental) adalah tubuh dalam keadaan keseimbangan labil. Pada sikap ini hampir tidak ada otot-otot yang bekerja. Keseimbangan ini terjadi karena titik berat badan dan garis berat badan terdapat dalam satu bidang frontal yang melalui tengahtengah kedua articulatio atlanto occipitalis, kedua articulatio humeri, kedua articulatio coxae, kedua articulatio genus, dan kedua articulatio talocruralis. Titik berat badan pada bidang frontal ini terletak di atas garis penyokong berat badan (garis transversal yang menghubungkan articulatio coxae kanan dan kiri, dan sekaligus merupakan axis transversal articulatio coxae). Garis berat berjalan lurus ke caudal dalam bidang frontal tersebut dimulai dari vertex (tempat tertinggi dari kranium) diteruskan pada bagian tengah articulatio atlanto occipitalis, terus ke caudal pada columna vertebra cervicalis, terus ke caudal di sebelah ventral columna vertebrae thoraxales, kemudian ke
caudal lewat corpus columna vertebrae lumbalis sampai bagian depan promontorium kemudian ke caudal di ventral os sacrum. Pada daerah setinggi vertebrae sacralis ke 2 didapati titik berat badan, selanjutnya ke caudal di antara articulatio coxae kanan dan kiri di tengah-tengah axis transversal (garis penyokong badan), kemudian ke caudal di antara kedua articulatio genus, kemudian ke caudal di antara kedua articulatio talocruralis, selanjutnya berakhir pada bidang tumpuan di antara telapak kaki kanan dan kiri. Pada sikap ini inklinasi pelvis (miring panggul) adalah kurang-lebih 6 sebesar 60 derajat. Postur diartikan sebagai stabilitas tegak tubuh manusia saat berdiri di atas dua kaki. Postur tubuh sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : vertebrae (ruas tulang belakang), M. paraspinalis (otot punggung) dan proyeksi berat badan tubuh. Dalam mendukung kemampuan bediri tegak, tubuh membutuhkan keseimbangan. Sistem tuas pertama merupakan pinsip yang diaplikasikan pada postur tubuh tegak manusia. Vertebrae sebagai pengumpil (o) berada diantara gaya otot paraspinal (m) dengan proyeksi gaya berat tubuh (w/ cg). Kualitas gaya tarik otot paraspinal (m) sangat menentukan stabilitas postur tubuh. Penambahan berat badan yang disertai dengan perubahan proyeksi central gravity ke depan meningkatkan beban yang ditanggung otot paraspinal dan vertebrae sebagai pengumpil. Inilah awal dari keluhan nyeri punggung saat berdiri. Pada kondisi kronis, tubuh melakukan kompensasi dengan menggeser posisi vertebrae sebagai pengumpil (o) lebih ke depan mengikuti pergeseran central gravity dan penambahan berat tubuh (w). Sudut antara ruas vertebrae berubah sehingga postur tubuh juga berubah meski tetap mampu berdiri tegak. Contoh nyata adalah pada penderita obesitas sentral, wanita hamil 7 dan tumor abdomen. Peningkatan distensi abdomen yang membuat panggul miring ke depan, penurunan tonus otot perut dan peningkatan beban berat badan pada akhir kehamilan membutuhkan penyesuaian ulang (realignment) kurvatura spinalis. Pusat gravitasi wanita bergeser ke depan. Kurva lumbosakrum normal harus semakin melengkung dan di daerah servikodorsal harus membentuk kurvatura (fleksi anterior kepala berlebihan) untuk mempertahankan keseimbangan. Gambar postur wanita hamil seperti tampak pada gambar 1.
Postur Pada Wanita Hamil.........(Paryono)
27
ARTIKEL ARTIKEL
pelaksanaan kegiatan surveilans di DKK Singkawang dan Puskesmas.
POSTUR PADA WANITA HAMIL *Paryono
Petugas di DKK Singkawang mengumpulkan data kasus DBD dari rumah sakit (RS) dengan cara dijemput langsung. Laporan dari RS akan ditabulasi untuk diteruskan kepada masing-masing petugas di tingkat Puskesmas agar segera dilakukan Penyelidikan Epidemiologi (PE). Pengumpulan dan pengolahan data telah dilakukan dengan menggunakan komputer. Tidak ada software khusus untuk pengolahan data, hanya menggunakan microsoft excel dan microsoft words.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Evaluasi Variabel Input a. Ketenagaan
ABSTRACT Introduction: Pregnancy effects in changes on all body systems leading to a new balance women and maternal adaptation. Weight gain in pregnant women from both the uterus and breast development generally occurs at the front of the body, but when standing they were still able to maintain a posture that does not face. The purpose of this article is to examine the reasons why pregnant women do not fall to front and how the good attitude of the pregnant woman's body. Materials and Methods: Material of this article are literatures related to pregnancy and the pregnant woman's body p o s t u re , a n d t h e y w e re c o l l e c t e d b y l i t e r a t u re ' s s t u d y a n d l i t e r a r y s t u d y. Discussion: Increased abdominal distension that makes tilting the pelvis forward, decreased abdominal muscle tone and increase weight gain in late pregnancy requires a readjustment spinal curvature. Woman's center of gravity shifts forward. Lumbosakrum normal curve should be more curved and the curvature of the servikodorsal be formed to maintain balance. Assessment of anterior view, lateral and posterior body should include an understanding of the physical structures such as joints and muscles as well as how the meridian pathways. To compensate for the anterior position of the enlarged uterus, lordosis shifting center of gravity to the back of the lower limbs. There is an increased sacroiliac joint mobility, sakrokoksigeal, and pubic joints during pregnancy, possibly due to hormonal changes. Individual assessments will be required to determine the pattern of muscle for every person, especially for those who have musculoskeletal problems. Conclusions and Recommendations: The size of the stomach in a pregnant woman, then the gravity of the body changes. Body to be biased toward the rear, but this position makes your back hurt. Advice for pregnant women in order to maintain your posture as follows: head up
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap subjek penelitian diketahui bahwa pendidikan tertinggi adalah Diploma III (50%), hanya sebesar 33,3% petugas yang sudah pernah mendapat pelatihan mengenai surveilans DBD, selebihnya (66,7%) petugas belum pernah mendapatkan pelatihan sama sekali. Sebesar 83,3% petugas mengerjakan tugas rangkap, hal ini membuat kegiatan surveilans tidak sesuai dengan semestinya dan menyebabkan waktu mereka menjadi terbagi sehingga menyebabkan pelaksanaan semua komponen dari sistem 7 surveilans mejadi kurang optimal . b. Sarana Ketersediaan larvasida untuk pengendalian jentik nyamuk Aedes aegypti belum mencukupi kebutuhan. Ketersediaan swingfog mencukupi dimana setiap Puskesmas terdapat 2 (dua) buah mesin yang dapat dioperasikan dengan baik. Seluruh Puskesmas dan juga DKK Singkawang telah memiliki semua jenis buku pedoman dan formulir program P2 DBD. Ketersediaan alat pengolah data (komputer) masih kurang. Sebanyak 66,7% puskesmas belum memiliki komputer tersendiri untuk pengolahan data DBD, masih menggunakan komputer Puskesmas yang digunakan oleh semua program. Sarana transportasi masih menggunakan kendaran roda 2 (dua) atau sepeda motor. Ketersediaan sarana transportasi dirasakan masih kurang, hanya petugas pengelola program P2 DBD di DKK Singkawang dan 1 (satu) buah Puskesmas yang memiliki sarana transportasi.
Keyword : Posture, Pregnancy, Women. Pendahuluan Pada saat seorang wanita dirinya merasa hamil akan terjadi beberapa perubahan. Kehamilan menyebabkan terjadinya perubahan seluruh sistem tubuh wanita akibat meningkatnya hormonal yang dikeluarkan oleh plasenta sehingga terjadi keseimbangan baru dan adaptasi ibu. Perubahan yang paling besar terjadi pada sistem genetalia perempuan, karena merupakan tempat tumbuh-kembangnya hasil konsepsi yang terus berlanjut 1 sampai aterm di dalam uterus. Pada wanita yang tidak hamil, uterus merupakan struktur yang hampir padat dengan berat kurang lebih 70 gram serta rongga bervolume 10 mililiter. Uterus akan mengalami perkembangan yang dahsyat, dapat membesar menjadi seberat 1000 – 1100 gram setelah hamil sehingga mampu menampung janin dengan berat rata-rata 3000 – 3500 gram. Selama hamil uterus berubah bentuk menjadi sebuah organ muskular berdinding relatif lebih tipis dengan kapasitas yang mampu untuk menampung janin, plasenta dan cairan amnion. Volume total uterus saat aterm rata-rata sekitar 5 liter, tetapi dapat mencapai 20 liter atau lebih, sehingga pada akhir * Dosen Poltekkes Surakarta
26 BALABA Vol. 8, No. 01, Jun 2012 : 26-29
kehamilan kapasitas uterus dapat mencapai 500 2 sampai 1000 kali lebih besar daripada saat tidak hamil. Setelah konsepsi payudara meningkat ukurannya dan pigmentasi areolar makin gelap. Kelenjar sebacea pada permukaan areolar (tuberkel Montgomery) menjadi makin menonjol, yang menghasilkan sekresi protektif yang melumasi puting susu dan areolar. Perubahan akibat kehamilan ini mengakibatkan peningkatan berat rata-rata 360 gram.3 Selama trimester kedua dan ketiga, pertumbuhan kelenjar mamae membuat ukuran payudara meningkat secara progresif. Kadar hormon luteal dan plasenta pada masa hamil miningkatkan proliferasi duktus laktiferus dan jaringan lobulus-alveolar, sehingga pada palpasi payudara teraba penyebaran nodul kasar. Kenaikan berat badan optimal tergantung pada tahapan kehamilan. Pada trimester pertama dan kedua kenaikan berat badan banyak disebabkan oleh kenaikan organ pendukung kehamilan, sedangkan pada trimester ketiga yang mempengaruhi kenaikan berat badan adalah pertumbuhan janin. Pada trimester pertama kenaikan berat badan rata-rata adalah antara 1 sampai dengan 2 kg pada wanita. Untuk trimester kedua dan ketiga pada
c.
Kelemahan yang terjadi adalah kurangnya koordinasi dan kerja sama dari RS untuk dapat melaporkan kasus DBD kepada DKK Singkawang, sehingga sering terjadi keterlambatan penanganan oleh Puskesmas. Penyajian hasil data yang telah dikumpulkan dan diolah belum baik karena masih terbatas pada tabel dan grafik saja belum menggunakan spotmap dikarenakan keterbatasan kemampuan petugas dalam menggunakan software spotmap seperti epi info, belum dilakukan pengolahan berdasarkan stratifikasi kelurahan DBD, musim penularan, kecenderungan situasi DBD, grafik maksimal-minimal kasus DBD. Data belum disajikan berdasarkan orang (person), 8 tempat (place) dan waktu (time) . b.
Analisis serta rekomendasi tindak lanjut
Dana
Telah dilaksanakan analisis perkembangan penyakit dalam bentuk tabel dan grafik menurut tempat kejadian dan menginformasikan hasilnya ke semua unit pelayanan Puskesmas. Hal yang sama juga dilakukan oleh petugas di Puskesmas, yaitu melaksanakan analisis berdasarkan kelurahan/desa sebagai pelaksanaan Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) atau sistem kewaspadaan dini DBD di daerahnya. Namun analisis data belum ditampilkan dalam bentuk peta (map) berdasarkan IR menurut area geografis maupun peta klasifikasi daerah rawan DBD.
Untuk menunjang kegiatan surveilans DBD di Kota Singkawang didanai oleh APBD Pemerintah Kota Singkawang. Besaran dana belum sesuai dengan yang dibutuhkan. Dana APBD yang dialokasikan dari tahun ke tahun fluktuatif, dana tersebut juga lebih banyak diprioritaskan kepada hal-hal teknis berupa peralatan tetapi kurang kepada pengembangan kemampuan petugas berupa pelatihan-pelatihan.
Petugas surveilans telah melaksanakan analisis tahunan DBD, namun belum diarahkan kepada transisi epidemiologi, distribusi kasus, kematian dan hubungannya dengan faktor risiko, perkembangan program, perubahan lingkungan, dan hasil penelitian/penyelidikan. Analisis dan interpretasi data oleh petugas masih perlu ditingkatkan agar dapat membuat rekomendasi tindak lanjut yang lebih tajam7,9,10. c. Umpan balik
Hasil Evaluasi Variabel Process a.
Pengumpulan dan pengolahan data
Dalam hal ini adalah adanya kerja sama antara unit surveilans baik DKK Singkawang maupun Evaluasi dan Implementasi Sistem Surveilans................(Sitepu, et.al)
7
Puskesmas dengan unit terkait untuk melaksanakan validasi data. Yang terjadi selama ini kurangnya koordinasi dan sharing data antara setiap program yang ada. Kurangnya umpan balik ini mengakibatkan sistem surveilans DBD berjalan 7,10 kurang baik . d.
Distribusi data Data jumlah kasus DBD telah didistribusikan ke level Puskesmas dan juga kepada Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat dengan rutin dalam bentuk laporan bulanan. Masih belum dilaksanakan penyebarluasan informasi dengan membuat laporan/tulisan dalam bentuk buletin epidemiologi yang diterbitkan secara berkala minimal 4 (empat) kali setahun dalam bentuk buletin baik dalam bentuk cetak maupun elektronik 10.
Hasil Evaluasi Variabel Output
Singkawang terjadi setiap 3 (tiga) tahun sekali. Bila memiliki sensitivitas yang baik maka KLB DBD tersebut dapat diprediksikan sebelumnya sehingga mengalami penanganan yang lebih baik 7,9. c. Nilai prediktif positif Nilai prediktif positif sistem surveilans DBD di Kota Singkawang sudah baik. Pemastian diagnosis kasus DBD dilakukan oleh dokter di RS dengan memperhatikan gejala klinis dan pemeriksaan 11 laboratorium sesuai dengan kriteria WHO . d. Keterwakilan Dilihat dari aspek keterwakilan, sistem surveilans DBD di Kota Singkawang masih banyak data pasien yang kurang lengkap, seperti nama pasien, nama orang tua (ayah), alamat pasien, tanggal dirawat dan tanggal keluar dari RS. Hal ini mengakibatkan proses tindak lanjut berupa penyelidikan epidemiologi (PE) yang dilakukan oleh petugas surveilans Puskesmas terhadap kasus DBD menjadi terkendala dikarenakan kesulitan menemukan tempat tinggal yang jelas.
Evaluasi yang dilakukan terhadap variabel output adalah hasil-hasil dari proses manajemen data seperti adanya tabel, grafik, rekomendasi. Berdasarkan hasil evaluasi diketahui bahwa telah dilaksanakan penyajian dalam bentuk tabel dan grafik DBD namun untuk hal rekomendasi masih kurang. Penyajian masih dilakukan secara manual dan juga masih belum dilaksanakan secara maksimal.
e. Ketepatan waktu
Hasil Evaluasi Atribut-atribut Sistem Surveilans
Hasil Evaluasi Intervensi Jangka Pendek
a. Akseptabilitas
Hasil evaluasi sesaat dari review surveilans epidemiologi DBD yang dilakukan terhadap petugas DKK Singkawang dan Puskesmas, menunjukkan hasil bahwa mean post test meningkat dibandingkan dengan mean pre test. Untuk melihat apakah memang terdapat perbedaan antara nilai 2 mean maka dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji paired t test. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai sig. (2tailed) sebesar 0,001 (p<0,05), hal ini berarti terdapat perbedaan pengetahuan petugas sebelum dilakukan intervensi dengan sesudah dilakukan intervensi.
Dalam hal akseptabilitas masih perlu ditingkatkan mengingat masih rendahnya informasi mengenai DBD yang diperoleh Puskesmas. Pihak Puskesmas hanya mendapatkan informasi mengenai kasus DBD berdasarkan laporan dari DKK Singkawang. Informasi tersebut kemudian ditabulasi dan didesiminasi oleh petugas kepada masingmasing puskesmas untuk mendapat tindak lanjut. b. Sensitivitas Belum memiliki sensitivitas yang baik dalam mengetahui kasus DBD yang terjadi. Kasus DBD yang terjadi diketahui berdasarkan laporan dari RS, bukan dari hasil pelacakan oleh petugas surveilans di masyarakat (active case finding). Belum baiknya sensitivitas surveilans DBD di Kota Singkawang terlihat dengan terjadinya KLB DBD pada tahun 2009 dengan IR: 538,52/100.000 penduduk, CFR : 1,06% padahal bila dilihat dari pengalaman tahuntahun sebelumnya pola peningkatan kasus DBD di
8
BALABA Vol. 8, No. 01, Jun 2012 : 5-10
Untuk atribut ketepatan waktu diketahui bahwa sudah cukup baik karena laporan baik dari segi ketepatan maupun kelengkapan yang dilakukan selama ini telah mencapai 100%.
Petugas surveilans merupakan ujung tombak terhadap pelaksanaan program surveilans, maka peningkatan pengetahuan dan keterampilan petugas merupakan kebutuhan yang prioritas sehingga dapat melaksanakan tugasnya dengan optimal berupa mengumpulkan data, analisis, interpretasi dan penyajian informasi yang dapat dijadikan acuan pengembilan tindakan/respons, baik respons segera maupun respons 7,9 terencana .
yang lebih lama untuk menghindari timbulnya hasil positif palsu. Selama ini, surveilan vektor Dengue khususnya di Indonesia hanya didasarkan pada indeks entomologis, sedangkan deteksi virus pada vektor belum banyak dikembangkan. Di sisi lain, deteksi virus Dengue pada tubuh vektor sebetulnya merupakan salah satu bagian yang penting dalam kegiatan survei epidemiologi penyakit Demam Berdarah Dengue. Uji imunositokimia SBPC dengan antibodi DSSE10 dapat dijadikan salah satu metode deteksi virus pada spesies vektor virus Dengue. Metode ini terbukti akurat dan handal serta memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi untuk mendeteksi virus Dengue3 pada nyamuk Ae.aegypti. Pemeriksaan ini juga relatif lebih mudah dan murah, serta dapat dilakukan di laboratorium sederhana. Dengan mengetahui tingkat kepadatan dan juga infection rate vektor Dengue di suatu area diharapkan dapat membantu dalam menentukan potensi penularan virus Dengue di area tersebut. Selain itu dengan mengetahui infection rate pada spesies vektor Dengue juga dapat digunakan sebagai panduan dalam menyusun Sistem Kewaspadaan Dini untuk mencegah KLB Demam Berdarah Dengue. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa teknik imunositokimia menggunakan antibodi DSSE10 mampu mendeteksi antigen virus Dengue-3 pada nyamuk Aedes aegypti yang diinfeksi secara intrathorakal. Antigen virus Dengue-3 dapat terdeteksi mulai hari ke-2 pasca inokulasi. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kemungkinan penyebab positif palsu misalnya dengan penambahan biotin blocking kit atau menambah durasi pencucian pada waktu proses pewarnaan sediaan head squash.
4. Samuel, P.P and Tyagi, B.K.,. Diagnostic methods for detection & isolation of dengue viruses from vector mosquitoes. Indian J Med Res 123: 615-628. 2006 5. Haematological Malignancy Diagnosis Service (HMDS). Histology and Immunocytochemistry. Available from: www.hmds.org.uk/histology.html. 2003. 6. Umniyati, S.R,. Teknik Imunositokimia dengan Antibodi Monoklonal DSSC7 untuk Kajian Patogenesis Infeksi dan Penularan Transovarial Virus Dengue serta Surveilansi Virologis Vektor Dengue, Disertasi untuk derajat Doktor dalam Ilmu Kedokteran, Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2009. 7. Rosen, L., and D.J. Gubler. The use of mosquitoes to detect and propagate Dengue viruses. Am. J. trop. Med. Hyg. 21:1153-1160. 1974. 8. Mendoza, MY., Benito, J.S.S., Mendoza, H.L., Martinez, S.H. and Del Angel, R.M. A Putative Receptor for Dengue Virus in Mosquito Tissue: Localization of a 45-KDA Glycoprotein. Am.J.Trop.Med. Hyg; 67(1): 76-84. 2002. 9. Leake, C.J. 1992. Arbovirus-vector interactions and vector specificity. Parasitol. Today. (8): 123-7 10. Taylor, C.R., and Shi, S.R. Practical issues: fixation, processing and antigen retrieval. In: C.R. Taylor and Richard J.C. (ed.), Immunomicroscopy A Diagnostic Tool for the Surgical Pathologist, 3rd edition, p. 71-74. Elsevier Inc, Philadelphia, USA. 2006. 11. Miller, R.T. True positive vs. false positive staining. The Focus Immunohistochemistry. p. 1-2. 2001. 12. Mount, S.L., and Cooper, K. Beware of biotin: a source of false-positive immunohistochemistry. Current Diagn Pathol. 7: 161-167. 2001. 13. Singh, A.P. Use of immunohistochemistry. A v a i l a b l e f r o m : http://boneandspine.com/musculoskeletalpatholog y/immunohistochemisty/. 2008.
Daftar pustaka 1. World Health Organization. Vector Control for Containment of Epidemics. WHO Regional Office for South-East Asia. 2001 2. Wuryadi, S. Surveillance Virus Dengue di Beberapa Kota di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan. Jakarta. 2004 3. Sungkar S. Bionomik Aedes aegypti, vektor Demam Berdarah Dengue. Majalah Kedokteran Indonesia; 4 (55): 384-389. 2005. Pemeriksaan Virus Dengue-3..............(Widiastuti, et al)
25
Gambar 2 di atas memperlihatkan bahwa pada sediaan A, juga terdapat bercak-bercak berwarna coklat yang seolah-olah merupakan imuno reaksi positif dari antigen Dengue. Namun bila dibandingkan dengan sediaan B, dapat teramati bahwa bercak coklat pada sediaan A tidak terdapat pada lapisan yang sama dengan sel jaringan otak. Berbeda dengan sediaan B, dimana bercak coklat yang timbul terlihat menempel dengan selsel jaringan otak. Sedangkan pada Gambar 2C warna granula coklat yang timbul terlihat tidak spesifik sebagaimana yang timbul pada sediaan yang positif antigen pada gambar 2D. Pembahasan Deteksi antigen Dengue pada sediaan head squash pertama kali dikembangkan oleh Rosen dan Gubler7 dengan berbasis direct fluorescensce antibody technique (DFAT). Hasil positif antigen Dengue dapat berupa gambaran granula fluorescens yang menyebar dan adanya fluorescens kehijauan di bagian sitoplasma sel otak. Pada penelitian ini deteksi antigen Dengue-3 pada sediaan head squash dilakukan dengan metode imunositokimia SBPC. Gambaran positif antigen yang dihasilkan antara lain berupa granula-granula coklat 6 yang menyebar di sekitar sel-sel otak . Deteksi antigen Dengue-3 dengan metode imunositokimia SBPC ini menggunakan organ caput dari nyamuk Ae.aegypti. Hal yang mendasari adalah adanya reseptor untuk virus Dengue pada sel-sel yang berada di organ caput nyamuk dari genus Aedes. Mendoza mengemukakan bahwa dari hasil penelitiannya diketahui reseptor spesifik untuk virus Dengue, yang berupa protein dengan berat molekul 45 kDa ditemukan pada organ caput, thorax dan abdomen dari nyamuk Ae.aegypti.8 Pada uji imunositokimia SBPC yang dilakukan di penelitian ini, antigen Dengue-3 yang terlokalisir di sel-sel jaringan otak akan berikatan dengan antibodi monoklonal anti dengue DSSE10. Uji klasifikasi berdasarkan metode ELISA menunjukkan bahwa antibodi monoklonal DSSE10 termasuk klas IgG1. Antibodi ini menunjukkan imunoreaktivitas yang kuat terhadap antigen Dengue-1, Dengue-2, Dengue-3, dan Dengue-4, dan tidak menunjukkan reaksi silang dengan antigen Japenese encephalitis, maupun antigen 6 Chikungunya berdasarkan metode ELISA . Adanya antibodi DSSE10 yang berikatan dengan antigen Dengue-3 ini akan dikenali oleh antibodi sekunder berlabel biotin. Selanjutnya dengan penambahan konjugat streptavidin yang dilabel enzim horse radish peroxidase dan larutan substrat kromogen, maka antigen tersebut dapat terdeteksi dengan munculnya granula berwarna kecoklatan di sekitar sel
24 BALABA, Vol. 8, No.01, Jun 2012: 21-25
yang terinfeksi. Nyamuk betina dewasa dapat terinfeksi virus dari manusia selama aktivitas blood feeding. Virus yang teringesti oleh nyamuk betina pertama kali akan bereplikasi di midgut kemudian menuju ke hemocoele dan hemolymph yang memiliki akses ke jaringan nyamuk yang lain. Selanjutnya, virus akan bereplikasi di kelenjar saliva dan setelah beberapa hari nyamuk yang terinfeksi tersebut akan menularkan virus ke manusia yang lain selama proses blood feeding berikutnya (Leake). Hasil positif antigen Dengue-3 dengan deteksi imunositokimia SBPC mulai dapat terlihat pada inkubasi hari ke-2. Hal ini menunjukkan bahwa imunositokimia SBPC dengan antibodi DSSE10 (1:50) dapat mendeteksi antigen Dengue pada nyamuk Ae.aegypti secara lebih awal sebelum siklus hidup virus dalam tubuh nyamuk berlangsung secara sempurna. Foote menyatakan bahwa virus Dengue memerlukan masa inkubasi paling sedikit 8 hari di dalam tubuh nyamuk sebelum dapat ditularkan dalam bentuk yang virulen kepada inang manusia. Pada penelitian ini hasil positif palsu yang ditemukan tidak terlalu banyak (Tabel 1), namun timbulnya hasil positif palsu tetap harus diperhatikan dan dikaji secara lebih dalam untuk menghindari kesalahan dalam identifikasi sediaan hasil pewarnaan imunositokimia. Hasil positif palsu pada uji imunositokimia dapat terjadi karena beberapa faktor, yang pertama adanya reaksi warna yang tidak spesifik yang disebabkan oleh keberadaan peroksidase endogen 10 yang dihasilkan oleh jaringan dan sel normal . Pada penelitian ini telah dilakukan usaha meminimalisasi reaksi tersebut dengan menambahkan peroxidase blocking solution untuk menghilangkan aktivitas peroksidase endogen, namun kemungkinan pada beberapa sampel aktivitas peroksidase endogen belum dapat dihilangkan sepenuhnya. Faktor kedua, yang mungkin menjadi penyebab hasil positif palsu, adalah terjadinya ikatan yang tidak spesifik antara komponen streptavidin dengan biotin endogen yang terdapat pada sel11,12,13. Biotin merupakan vitamin yang berperan sebagai koenzim dan terlibat dalam transfer CO2. Ziegler menyatakan bahwa enzim yang mengandung biotin ditemukan dalam sel-sel neurosekretori pada corpora cardiaca dan di otak serangga. Faktor ketiga yang kemungkinan berpengaruh pada timbulnya hasil positif palsu adalah faktor pencucian. Sediaan head squash nyamuk cenderung lebih tebal dan banyak terkotori oleh artifak dari sisa-sisa jaringan, berbeda dengan sediaan apus darah dan kultur sel yang monolayer. Sehingga untuk preparat head squash mungkin membutuhkan durasi waktu pencucian
mengetahui distribusi kasus DBD/ kasus tersangka DBD per RW/dusun, menentukan musim penularan dan mengetahui kecenderungan penyakit. Analisis data DBD dilakukan bertujuan untuk memprediksi trend DBD yang terjadi di masyarakat, dengan demikian dapat dilakukan upaya pencegahan serta penanggulangan DBD. Analisis dan interpretasi data yang baik sebaiknya disamping melihat faktor-faktor risiko juga menggunakan perbandingan data tahun sebelumnya atau data pencapaian tingkat provinsi maupun nasional 10.
Hasil Evaluasi Intervensi Jangka Menengah Evaluasi jangka menengah dilakukan dengan cara pengamatan langsung kepada petugas di DKK Singkawang dan Puskesmas serta melakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner. Berdasarkan hasil evaluasi, maka didapatkan hasil sebagai berikut : 1.
Pengumpulan data Petugas surveilans lebih aktif dalam mengumpulkan data kasus DBD dan menginformasikan kepada petugas Puskesmas. Petugas puskesmas melaksanakan active case finding di masyarakat di sekitar tempat tinggal kasus, aktif melaksanakan PE dan pelaksanaan 7,910 fogging focus bila diperlukan .
2.
4.
Sistem surveilans DBD telah mengumpulkan data DBD dan mengolahnya menjadi informasi yang dilaporkan secara rutin ke Puskesmas, DKK Singkawang dan Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat. Penyebarluasan informasi mengenai DBD sangat penting dilaksanakan baik secara lintas program maupun lintas sektor untuk dapat meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan DBD di Kota Singkawang. Te r d a p a t p e n i n g k a t a n p e n y e b a r l u a s a n informasi/pemanfaatan data yang dilakukan oleh petugas surveilans DBD Kota Singkawang dibandingkan sebelum dilakukan intervensi.
Pengolahan dan penyajian data Petugas surveilans telah melakukan pengolahan dan penyajian data baik dalam bentuk grafik maupun tabel, namun belum melakukan penyajian data dalam bentuk peta (map). Penyajian data dalam bentuk grafik berdasarkan kasus DBD hanya sebatas berdasarkan umur, waktu minggu/bulan/tahun, sedangkan dalam bentuk tabel berupa kasus DBD per kelurahan/desa namun belum membuat grafik maksimal minimal. Dalam hal penggunaan teknologi, pengolahan dan penyajian data masih menggunakan software yang sederhana yaitu menggunakan microsoft excel belum menggunakan epi info maupun SPSS.
Penyebarluasan informasi/pemanfaatan data (diseminasi) dalam bentuk laporan kepada atasan, feedback kepada sumber data maupun kepada siapa saja yang membutuhkan, termasuk lintas sektor, lintas program dan kepada masyarakat luas. Dengan diseminasi informasi, masing-masing pihak akan dapat mengetahui dan sadar akan kondisi DBD di wilayahnya, sehingga dapat membantu mengurangi kemungkinan penyebaran DBD.
Pengolahan dan penyajian data telah dilakukan oleh seluruh petugas hal ini berguna untuk meningkatkan kualitas dari sistem surveilans. Dalam hal pengolahan data masih belum maksimal dilakukan dengan pendekatan prinsip-prinsip surveilans epidemiologi yaitu analisis kependudukan berdasarkan tempat, waktu, orang dan golongan risiko tinggi serta menggunakan indakator-indikator rate, proporsi, ratio. 3.
Data, informasi dan rekomendasi yang merupakan hasil dari kegiatan surveilans DBD sebaiknya disampaikan kepada pihak-pihak yang dapat melakukan tindakan penanggulangan DBD atau upaya peningkatan program kesehatan, pusatpusat penelitian dan pusat-pusat kajian serta pertukaran data dalam jejaring surveilans 7,12 epidemiologi .
Analisis dan interpretasi data Walaupun masih belum maksimal namun petugas telah melaksanakan analisis dan interpretasi data DBD. Analisis dilakukan berdasarkan orang (person) dan tempat (place) sementara berdasarkan waktu (time) belum dilaksanakan dengan baik. Analisis dan interpretasi data ini dapat membantu untuk pemantauan mingguan, laporan mingguan wabah, laporan bulanan program P2DBD, penentuan desa/kelurahan rawan,
Penyebarluasan informasi/pemanfaatan data
SIMPULAN 1.
Pelaksanaan sistem surveilans DBD di Kota Singkawang Kalimantan Barat masih perlu ditingkatkan antara lain dengan meningkatkan sumber informasi lain mengenai DBD di
Evaluasi dan Implementasi Sistem Surveilans................(Sitepu, et.al)
9
puskesmas tidak hanya dari DKK Singkawang, perlu peningkatan pencarian kasus secara aktif, serta diperlukan kelengkapan data pasien, termasuk kejelasan tempat tinggal. 2.
Faktor penyebab kelemahan sistem surveilans DBD di Kota Singkawang antara lain masih terdapat tenaga surveilans yang sama sekali belum pernah mendapat pelatihan mengenai surveilans (66,7%), banyak petugas yang memiliki tugas rangkap (83,3%), ketersediaan alat pengolah data masih kurang (66,7%), sarana transportasi masih kurang (66,7%), belum semua petugas melaksanakan rangkaian kegiatan surveilans terutama komponen sistem surveilans.
SARAN 1.
2.
Perlu dilakukan bimbingan teknis tentang surveilans epidemiologi, P2M, khususnya DBD secara berjenjang yaitu dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat ke DKK Singkawang dan puskesmas serta unit pelayanan kesehatan yang terdapat di Kota Singkawang. Dengan melakukan bimbingan teknis maka akan lebih cepat diketahui permasalahan sistem surveilans yang ada di lapangan misalnya pelatihan software analisis data, software pemetaan/Geographical Information System (GIS). Tetap melakukan koordinasi dengan petugas Puskesmas secara periodik dan berkesinambungan, sehingga setiap permasalahan yang ada di lapangan dapat diketahui secara dini dan dilakukan upaya pemecahan masalahnya.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada Kepala Dinkes Kab. Singkawang, Ka. Bidang P2P, dan Ka.Sie P2 beserta staf dan seluruh kepala Puskesmas. Seluruh subjek penelitian yang turut membantu jalannya penelitian. DAFTAR PUSTAKA 1. Endy, T.P., Chunsuttiwat, S., Nisalak, A., Libraty, D.H., Green, S., Rothman, A.L., Vaughn, D.W., Ennis, F.A. (2002) Epidemiology of inapparent and symptomatic acute dengue virus infection: a prospective study of primary school children in Kamphaeng Phet, Thailand. American Journal of Epidemiology, vol. 156, No.1, pp. 40-51. 2. Freitas, M.G.R., Tsouris, P., Sibajev, A., Weimann, E.T.S., Marques, A.U., Ferreira, R.L., Moura,
10 BALABA Vol. 8, No. 01, Jun 2011 : 5-10
J.F.L.(2003) Explatory temporal and spatial distribution analysis of dengue notifications in Boa Vista, Roraima, Brazilian Amazon, 1999-2001. Dengue Buletin, vol. 27, pp. 63-80. 3. Chinnock, P. (2008) Alternate hypothesis on the pathogenesis of dengue hemorrhagic fever (DHF)/dengue shock syndrome (DSS) in dengue v i r u s i n f e c t i o n . Av a i l a b l e f r o m : http://www.tropika.net/svc/review/Chinnock2008 0710ReviewDHF [Accessed 22 August 2010]. 4. Lloyd, L.S (2003) Strategic report 7. Best practices for dengue prevention and control in the Americas. Environmental health project. Office of Health, Infectious Diseases and Nutrition Bureau for Global Health, US Agency for International Development, Washington DC. 5. Supartha, I.W. (2008) Pengendalian terpadu vektor virus demam berdarah dengue, Aedes aegypti (Linn.) dan Aedes albopictus (Skuse) (Diptera: Culicidae). Makalah dipresentasikan dalam pertemuan ilmiah 36 September 2008, Denpasar. 6. Dinkes Kota Singkawang (2011) Laporan surveilans dinas kesehatan kota singkawang tahun 2010. Singkawang. 7. Teutsch, S.M., Churchill, R.E. (2000), Principles and Practice of Public Health Surveillance, Oxford University Press, New York. 8. Gordis, L. (2004) Epidemiology third edition. Elsevier Saunders, Philadelphia. 9. Gubler, D.J. (2010) The global threat of emergent/reemergent vector-borne diseases. In: Atkinson, P.W. ed. Vector Biology, Ecology and Control. New York : Springer, pp. 39-62. 10. Depkes (2003), Keputusan Menteri Kesehatan R e p u b l i k I n d o n e s i a N o . 1116/MENKES/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta 11. Depkes (2005), Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia, Departemen Kesehatan RI, Jakarta 12. Depkes (2003), Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1479/MENKES/SK/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
A
B
C
D
Tabel 1. Hasil pemeriksaan Imunositokimia SBPC pada nyamuk Ae.aegypti yang diinfeksi intrathorakal dengan virus Dengue-3. Inkubasi (hari)
E
F
G
H
Jumlah
Hasil Imunositokimia SBPC
sampel
Positif
Negatif
0 (nyamuk normal)
35
3
32
1
5
0
5
2
5
1
4
3
5
2
3
Gambar 1. Foto mikroskopis pada perbesaran 100x10 hasil
4
5
2
3
pengecatan menggunakan metode
5
5
1
4
imunositokimia SBPC dengan antibodi primer
6
5
4
1
DSSE10 (1:50) memperlihatkan reaksi positif
7
17
17
0
pada nyamuk Ae.aegypti yang diinfeksi virus Dengue-3 dengan masa inkubasi 2 hari (A), 3 hari (B), 4 hari (C), 5 hari (D), 6 hari (E) 7 hari (F) serta kontrol positif yaitu sel C6/36 yang diinfeksi virus Dengue-3 dengan masa inkubasi 4 hari (DSSE10 1:5) (G) dan reaksi negatif pada kontrol negatif nyamuk Ae.aegypti yang tidak diinfeksi virus Dengue (H)
Gambar 1 menunjukkan bahwa pada sediaan head squash nyamuk yang diinfeksi virus Dengue-3 terlihat adanya reaksi positif yang berupa butiranbutiran seperti pasir yang berwarna coklat dan tersebar di antara jaringan otak. Sediaan kontrol negatif dan head squash nyamuk yang tidak diinfeksi virus Dengue-3 memperlihatkan reaksi negatif berupa sitoplasma sel yang berwarna biru dan tidak ada butiran pasir berwarna coklat di sekitar sel-sel jaringan otak. Pemeriksaan imunositokimia SBPC dengan antibodi primer DSSE10 (1:50) mampu mendeteksi infeksi virus Dengue-3 mulai masa inkubasi hari ke-2 . Hasil pemeriksaan imunositokimia SBPC pada nyamuk yang diinfeksi virus Dengue-3 disajikan pada Tabel 1.
Pada pem eri ksaan imunosi t o k im i a dalam penelitian ini juga ditemukan beberapa sediaan yang menunjukkan hasil positif palsu (Tabel 1), yaitu sediaan head squash dari nyamuk yang tidak diinfeksi virus Dengue-3 namun menunjukkan imunoreaksi positif. Meskipun demikian, secara detil sediaan head squash yang memperlihatkan hasil positif palsu tetap dapat dibedakan dengan sediaan yang positif mengandung antigen. Sediaan yang menunjukkan hasil positif palsu disajikan dalam Gambar 2.
A
B
C
D
Gambar 2. Foto mikroskopis pada perbesaran 100x10 sediaan head squash yang menunjukkan hasil positif palsu dari nyamuk yang tidak diinfeksi virus Dengue (A);(C), dan positif antigen dari nyamuk yang diinfeksi virus Dengue dengan masa inkubasi 7 hari (B);(D).
Pemeriksaan Virus Dengue-3..............(Widiastuti, et al)
23