Penggunaan Bahasa dalam Keluarga Kawin Campur Indonesia—Korea* Sonezza Ladyanna** · Kim Jang Gyem*** · Normaliza Abd Rahim****
1. Pendahuluan Perkembangan kerjasama antara Indonesia dan Korea dalam berbagai hal turut berdampak kepada bertambahnya perkawinan antara warga Indonesia dengan Korea. Peningkatan kerjasama dalam hal perdagangan, industri, pendidikan, sumber daya alam dan manusia, serta bidang lainnya mendorong asimilasi budaya kedua negara. Salah satunya, kerja sama di bidang sumber daya manusia dan industri mendukung terjadinya kawin campur antara kedua negara. Kawin campur terjadi antara lelaki Indonesia dengan perempuan Korea
*
This work was supported by the Hankuk University of Foreign Studies Research Fund 2012 ** Sonezza Ladyanna is foreign lecture at the Department of Malay-Indonesian Interpretation and Translation Hankuk University of Foreign Studies, Yongin, Korea and member of Andalas University *** Kim Jang Gyem is an Associate Professor at the Department of MalayIndonesian Interpretation and Translation Hankuk University of Foreign Studies, Yongin, Korea **** Normalizah is a foreign lecture at the Department of Malay-Indonesian Interpretation and Translation Hankuk University of Foreign Studies, Yongin, Korea and member of Putra Malaysia University
atau sebaliknya. Kemudian, mereka menetap di salah satu negara asal dan menghasilkan keturunan. Dalam hal ini, terjadilah pertemuan budaya yang berbeda dalam berbagai hal. Salah satunya adalah dalam hal bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Salah satu contoh penggunaan bahasa dalam keluarga kawin campur adalah pada salah satu keluarga kawin campur yang menetap di Korea Selatan. Pada keluarga ini, suami merupakan warga negara Korea, namun istri merupakan Warga Negara Indonesia. Pasangan ini memiliki satu orang anak perempuan yang masih berumur 9 tahun dan sudah bersekolah. Hasil pengamatan awal, terjadi campur kode dan alih kode dalam komunikasi pada keluarga kawin campur ini. Campur kode terjadi pada tuturan ibu dan anak ketika mereka berdua berkomunikasi. Sementara, alih kode akan terjadi jika suami ikut dalam peristiwa tutur tersebut. Bahasa Indonesia dan Korea merupakan bahasa yang
berbeda dan
berasal dari rumpun bahasa yang berbeda. Bahasa Indonesia merupakan salah satu dari dialek bahasa Melayu dan termasuk dalam rumpun Austronesia. Sementara, bahasa Korea merupakan rumpun bahasa Altaik. Jadi, bahasa Indonesia dan bahasa Korea jelas merupakan bahasa yang sangat jauh berbeda. Namun, dalam salah satu keluarga kawin campur, berdasarkan pengamatan awal, terjadi pemertahanan bahasa pada istri dan pewarisan bahasa ibu kepada anak. Padahal, mereka tinggal di Korea Selatan dengan lingkungan bahasa adalah bahasa Korea. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa juga terdapat keluarga kawin campur yang tinggal di Korea, tidak lagi mempertahankan dan mewariskan bahasa ibunya kepada anaknya. Penelitian mengenai penggunaan bahasa maupun pergeseran bahasa hingga pemertahanan pada keluarga migran telah banyak diteliti bahkan Fishman telah meneliti terhadap kaum Imigran di Amerika (dalam Fishman,
174 東南亞硏究 22 권 3 호
1991). Dijelaskan bahwa kaum Imigran di Amerika mengalami beberapa fase pergeseran bahasa. Bermula dari monolingual (bahasa daerahnya atau b1) hingga menjadi bahasa Inggris (b2) dan tidak lagi menggunakan b1, bahkan keturunannya pun tidak menguasai lagi b1. Selain itu, juga ditemukan penggunaan bahasa pada keluarga migran asal Indian di Finlandia (Haque, 2011). Haque menyatakan bahwa terjadi pergeseran bahasa dari keluarga migran Indian di Finlandia. Pada generasi pertama, mereka masih menggunakan bahasa ibu mereka yaitu bahasa Indian dalam interaksi interen keluarga. Lalu, mereka menggunakan bahasa Inggris dengan orang lain. Namun, pada generasi selanjutnya yang lahir dan sekolah di Finlandia, digunakan bahasa Finlandia. Namun, penelitian terhadap penggunaan bahasa pada keluarga kawin campur antara warga Korea dan warga Indonesia belum penulis temukan hingga penelitian ini dilakukan. Berdasarkan pengamatan awal tersebut, penelitian ini sangat menarik dilakukan. Jadi, dalam artikel ini, dibahas mengenai penggunaan bahasa dalam keluarga kawin campur dengan studi kasus dalam beberapa keluarga kawin campur yang menetap di Korea. Pembahasan dilanjutkan kepada alasan penggunaan bahasa tersebut.
2. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Data dikumpulkan dengan menyimak dan wawancara (Sudaryanto, 1993). Jadi, peristiwa tutur dalam keluarga tersebut akan direkam. Sementara, alasan dan hal penunjang lainnya didapat melalui wawancara. Dalam wawancara, juga dilakukan pengecekan data yang didapat melalui rekaman. Subjek penelitian adalah keluarga kawin campur antara orang Indonesia dengan Korea. Namun, dibatasi dengan kategori, istri dari Indonesia, sudah
Penggunaan Bahasa dalam Keluarga Kawin Campur Indonesia—Korea 175
mempunyai anak yang telah bisa berkomunikasi dengan baik, dan menetap di Korea. Objek penelitian ini adalah penggunaan bahasa dalam ranah keluarga inti. Jadi, metode menyimak dilakukan pada saat komunikasi dalam ranah keluarga inti. Metode menyimak yang dilakukan dengan teknik rekam ini dilakukan terhadap tiga keluarga yang pada masingmasing keluarga dilakukan selama sehari pada hari libur karena semua anggota keluarga memiliki waktu lebih banyak untuk berinteraksi. Keluarga ini dipilih secara acak berdasarkan kemudahan peneliti dalam mendapatkan izin dan akses penelitian. Narasumber pertama merupakan keluarga kawin campur yang tinggal di Kota Yongin, Provinsi Gyeonggi. Suami sudah berumur 45 tahun dan merupakan Warga Negara Korea yang belum pernah tinggal di luar negeri. Namun, telah beberapa kali datang berkunjung ke Indonesia yaitu ke kampung istrinya tapi tidak pernah tinggal lebih dari satu bulan. Dia juga tidak bisa berbahasa Indonesia ataupun bahasa daerah istrinya. Selanjutnya, istri merupakan kewarganegaraan Indonesia dan tidak mau pindah kerwarganegaraan. Subjek penelitian ini berasal dari Suku Minangkabau, Sumatera Barat. Bahasa yang dikuasainya adalah bahasa Indonesia, Korea, dan Minangkabau. Dia telah tinggal di Korea selama 12 tahun. Namun, masih rutin pulang ke kampung halaman satu kali dalam dua tahun. Pasangan ini menikah 10 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2002. Mereka telah mempunyai seorang anak perempuan yang berumur 9 tahun. Anak mereka pernah lahir di Indonesia dan ketika berumur satu tahun dibawa ke Korea Selatan hingga saat ini. Anak ini bersekolah di sekolah dasar negeri Korea Selatan dengan lingkungan dan bahasa pengantar bahasa Korea. Jadi, bahasa yang dikuasai anak ini adalah bahasa Indonesia, Korea, dan Minangkabau. Narasumber kedua adalah pasangan kawin campur yang tinggal di Kota
176 東南亞硏究 22 권 3 호
Seoul. Pasangan ini telah menikah semenjak tahun 2008. Suami yang sudah berusia 47 tahun merupakan warga Negara Korea yang pernah bertugas di Indonesia selama tiga bulan. Suami tidak dapat berbahasa Indonesia dengan lancar. Awalnya, istri juga tidak bahasa Korea. Setelah menikah, istri (36 tahun) diajak tinggal di Korea. Lalu, istri belajar bahasa Korea. Jadi, mereka berkomunikasi menggunakan bahasa Korea. Ketika akan melahirkan, istri pulang ke Indonesia. Setelah anak berumur satu tahun, istri dan anak kembali ke Korea. Mereka tinggal dalam lingkungan Korea. Saat penelitian ini dilakukan, anak baru berusia 36 bulan dan sudah mulai bersekolah di pendidikan anak usia dini untuk anakanak Korea di Korea. Jadi, anaknya sudah lancar berbicara dalam bahasa Korea. Akan tetapi, anak belum begitu mengenal bahasa Indonesia. Narasumber ketiga adalah keluarga kawin campur yang tinggal di Kota Suwon. Suami telah berusia 45 tahun dan istri berusia 38 tahun. Suami belum pernah tinggal lebih dari satu bulan di Indonesia dan juga tidak dapat berbahasa Indonesia. Istri merupakan Warga Negara Indonesia yang telah 17 tahun tinggal di Korea. Sebelumnya, istri merupakan seorang tenaga kerja Indonesia di Korea. Lalu, 10 tahun yang lalu, mereka menikah. Istri dapat berbahasa Indonesia, Korea, dan Jawa (bahasa ibunya). Pasangan ini memiliki seorang anak yang telah berusia 9 tahun dan telah bersekolah di Sekolah Dasar yang terletak di Kota Suwon, Provinsi Gyeonggi. Anak berbahasa Korea dengan sangat lancar. Namun, tidak dapat berbahasa Indonesia. Selain itu, juga dilakukan pengambilan data pada keluarga lain dengan hanya melalui wawancara saja. Wawancara dilakukan dengan istri saja melalui kegiatan sosial perempuan Indonesia yang menikah dengan orang asing dan menetap di Korea. Kegiatan ini dilakukan satu kali dalam satu bulan. Selain itu, wawancara juga dilakukan melalui surat elektronik. Jadi, peneliti mengirimkan pertanyaan melalui surat elektronik kepada warga
Penggunaan Bahasa dalam Keluarga Kawin Campur Indonesia—Korea 177
Indonesia yang menikah dengan laki-laki dari Korea Selatan dan menetap di Korea Selatan. Analisis data dilakukan dengan metode kualitatif melalui teori sosiolingusitik (Muhadjir, 2000). Data yang didapatkan melalui wawancara digunakan sebagai pendukung data yang didapat secara rekam. Lalu, datadata yang didapat akan diperbandingkan dan dideskripsikan. Selanjutnya, dilaporkan dengan deskriptif.
3. Sosiolinguistik, Campur Kode, dan Alih Kode Sosiolinguistik merupakan Sosiolinguistik merupakan ilmu yang mengkaji hubungan perilaku bahasa dan perilaku sosial (Kridalaksana, 1993: 201). Chaer dan Leony (2004:4) menyatakan bahwa sosiolinguistik merupakan cabang ilmu yang bersifat interdisipliner dan meneliti bahasa kaitannya dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur. Bahasa merupakan gejala sosial. Dalam hal ini, bahasa dan pemakaiannya ditentukan oleh faktor linguistik dan faktor nonlinguistik seperti faktor sosial dan faktor situasional (Wijana dan Rohmadi, 2006:167). Faktor sosial merupakan faktor-faktor sosial yang memengaruhi penggunaan bahasa, misalnya status sosial, tingkat perekonomian, dan tingkat pendidikan. Selanjutnya, dijelaskan
bahwa faktor situasional
tersebut antara lain; siapa yang bicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa. Berdasarkan segi keformalannya, Joss dalam Chaer dan Leony (2004: 70-2); Ohoiwutun (1996: 46) membagi variasi bahasa atau ragam bahasa atas lima macam. Kelima macam tersebut adalah ragam beku, ragam resmi atau formal, ragam usaha atau ragam konsultatif, ragam santai atau kasual, dan ragam akrab atau intim.
178 東南亞硏究 22 권 3 호
Pada ragam beku, pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara mantap dan tidak dapat diubah. Ragam ini digunakan pada undang-undang, surat resmi, dan situasi khidmat. Selain itu, Gleason (dalam Aslinda dan Leni Syafyahya, 2007:20) menyatakan bahwa ragam beku ini digunakan pada dokumen sejarah. Sementara, ragam resmi atau formal juga sudah memiliki pola dan kaidah yang mantap sebagai suatu standar dan digunakan pada situasi resmi. Ragam bahasa usaha berada di antara ragam bahasa formal dan santai. Ragam bahasa santai dipenuhi oleh unsur leksikal dialek. Selanjutnya, ragam bahasa akrab memiliki ciri banyaknya pemakaian kode bahasa yang bersifat pribadi, tersendiri, dan relatif tetap dalam kelompoknya. Ragam informal digunakan untuk mengikuti dan menyesuaikan dengan keadaan dan situasi komunikasi (Wijana dan Rohmadi, 2006:169). Situasi komunikasi yang dimaksud adalah siapa, kepada siapa, masalah apa, dan tujuannya. Dengan demikian, dalam ragam informal dapat ditemukan beberapa bentuk aspek kebahasaan seperti penggunaan bahasa asing dan bahasa daerah. Singkatan merupakan hasil proses pemendekan yang berupa huruf atau gabungan huruf (Kridalaksana, 1993:167). Akronim adalah kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang sesuai dengan kaidah fonotaktik bahasa bersangkutan (Kridalaksana, 1993:53), sehingga simbol yang baru itu mudah untuk dilafalkan dan terlihat menarik. Menurut
Chaer
dan
Leony
(2004:120),
campur
kode
adalah
digunakannya serpihan-serpihan dari bahasa lain, yang dapat berupa kata atau frase, dalam menggunakan suatu bahasa yang mungkin memang diperlukan, sehingga tidak dianggap suatu kesalahan atau penyimpangan. Sementara, alih kode merupakan pengalihan penggunaan suatu bahasa ke bahasa lain dalam suatu peristiwa tutur.
Penggunaan Bahasa dalam Keluarga Kawin Campur Indonesia—Korea 179
4. Penggunaan Bahasa pada Keluarga Kawin Campur Indonesia-Korea di Korea Selatan Perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi mempengaruhi mobilitas manusia. Perjalanan jauh bahkan lintas benua bukanlah suatu masalah lagi. Transportasi yang cepat dan tidak lagi mahal merupakan bentuk perkembangan yang memberikan dampak luas terhadap berbagai ranah kehidupan. Demikian juga dengan perkembangan komunikasi, contohnya perkembangan media internet yang sudah menembus teknologi 4G sehingga komunikasi lintas benua sekalipun tidak memiliki masalah dan biaya yang tinggi. Salah satu bentuk pengaruh perkembangan teknologi dan transportasi ini adalah dalam bidang kerja sama antarnegara. Kerjasama antarnegara yang baik biasanya juga ditandai dengan terjadinya perpindahan sementara ataupun tetap dari warga negara antarnegara tersebut. Alasan migrasi tersebut beraneka ragam, misalnya karena pekerjaan, duta negara, pendidikan, perdagangan, wisata, dan perkawinan. Dalam hal perkawinan, tentu saja akan menimbulkan asimilasi dua budaya. Salah satunya adalah dalam perkawinan (kawin campur) antara warga negara Korea Selatan dengan Indonesia. Korea Selatan dan Indonesia memiliki latar budaya yang berbeda. Penduduk Korea Selatan mayoritas merupakan keturunan Suku Han. Sementara, penduduk Indonesia sangat beragam dari sabang sampai merauke dengan karakteristik suku yang berbeda. Begitu juga halnya dengan bahasa, penduduk Korea Selatan menggunakan bahasa Korea, baik sebagai bahasa resmi maupun bahasa keseharian. Namun, penduduk Indonesia menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dan penghubung antarsuku bangsa dan bahasa daerah cenderung digunakan dalam komunikasi sesama etnis.
180 東南亞硏究 22 권 3 호
Namun, perbedaan itu tidak selalu menjadi penghambat terjadinya perkawinan antarnegara ini. Kerja sama yang baik antara Indonesia dan Korea Selatan dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, dan industri mengakibatkan
tingginya
mobilitas
antarnegara
ini.
Hal
tersebut
berpengaruh terhadap peningkatan perkawinan antarpenduduknya. Salah satu contoh perkawinan tersebut adalah antara tenaga kerja wanita Indonesia dengan lelaki Korea Selatan. Tenaga kerja wanita Indonesia yang bekerja di Korea Selatan menikah dengan lelaki Korea Selatan. Lalu, mereka cenderung menetap di salah satu negara pasangan. Perkawinan
tersebut
tentu
mengakibatkan
terjadinya
asimilasi
kebudayaan. Salah satunya dalam bidang bahasa yang teraktualisasikan dalam penggunaan bahasa sehari-hari di ranah keluarga. Dalam artikel ini, analisis difokuskan kepada pasangan kawin campur yang tinggal di Korea Selatan dengan kondisi istri adalah warga Indonesia dan sudah memiliki keturunan. Penggunaan bahasa dalam keluarga kawin campur antara warga negara Indonesia dan Korea Selatan sangat menarik diperhatikan karena memiliki variasi antarkeluarga meskipun telah dibatasi dalam hal istri yang berkewarganegaraan
Indonesia
dan
menetap
di
Korea
Selatan.
Keanekaragaman ini dipengaruhi oleh konsep pemikiran dari pasangan ini yang cenderung didominasi oleh pemikiran istri. Pertama, ditemukan penggunaan bahasa yang kompleks. Dalam suatu keluarga, ditemukan terjadinya campur kode dan alih kode. Campur kode dan alih kode tersebut terjadi dalam satu peristiwa tutur. Campur kode dan alih kode terjadi antara bahasa Korea, bahasa Indonesia, dan bahasa Ibu (bahasa daerah). Berikut peristiwa tutur yang memperlihatkan hal tersebut.
Penggunaan Bahasa dalam Keluarga Kawin Campur Indonesia—Korea 181
Peristiwa tutur ini terjadi dalam ranah keluarga inti. Suami
: Appa watda!
(bahasa Korea)
Appa pulang Bapak, pulang! Istri dan anak
: Da nyeo oseooteoyo
(bahasa Korea)
Sudah pulang? Bapak pulang. Istri
: Juae, bukakan Appa pintu!
(bahasa Indonesia)
Juae, tolong bukakan pintu untuk Bapak! Anak
: Mama sajalah.
(bahasa Indonesia)
Silakan Mama yang buka. Suami
: Appa watda!
(bahasa Korea)
Appa pulang Bapak, pulang! Istri:
(kepada suami) Jankanmangidaryeoyo! Tunggu sebentar! (bahasa Korea) (kepada anak) Capeklah Juae. Beko Appa tu hwanesyeo. (bahasa Minangkabau)
(bahasa Korea)
Cepatlah, Jue. Nanti, Appa itu marah. Cepatlah, Jue. Nanti, Bapak marah. Anak
: iyo, yo. Ko Juae bukaan pintu. (bahasa Minangkabau) Ya, Juae akan bukakan pintu.
Pada peristiwa tutur tersebut, tampak bagaimana penggunaan bahasa dalam keluarga ini. Suami hanya menggunakan bahasa Korea karena tidak menguasai bahasa ibu istri dan anaknya. Istri dan anak secara aktif menggunakan ketiga bahasa. Berikut model penggunaan bahasa dalam
182 東南亞硏究 22 권 3 호
keluarga ini. Penggunaan Bahasa dalam Keluarga Kawin C ampur Model 1 Suami
Istri
Anak
Jadi, dalam peristiwa tutur antara suami dan istri secara timbal balik menggunakan bahasa Korea. Lalu, antara suami dan anak secara timbal balik juga menggunakan bahasa Korea. Namun, antara anak dan istri menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Korea, dan bahasa Minangkabau. Penggunaan bahasa yang multi inilah mengakibatkan timbulnya campur kode dan alih kode. Peristiwa campur kode tampak pada tuturan istri. Dalam tuturan, Capeklah Jue. Beko Appa tu hwanesyeo. digunakan bahasa Minangkabau. Namun, penutur juga mencampurkan serpihan berbahasa Korea ke dalam tuturan tersebut, yaitu kata hwanesyeo. Selanjutnya, peristiwa alih kode terjadi pada tuturan istri dan anak. Ketika menjawab tuturan suami, mereka menggunakan bahasa Korea. Lalu, istri meminta anak membukakan pintu dengan
menggunakan
bahasa
Indonesia.
Tapi,
anak
tidak
juga
melakukannya. Lalu, suami bertutur kembali. Istri kembali menjawab
Penggunaan Bahasa dalam Keluarga Kawin Campur Indonesia—Korea 183
tuturan tersebut dengan bahasa Korea. Setelah itu, istri kembali menyuruh anak dengan menggunakan bahasa Minangkabau. Istri dalam keluarga ini tetap mempertahankan penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa ibu (bahasa Minangkabau) kepada anaknya. Alasannya adalah agar anak tersebut tetap merasa menjadi orang Indonesia, khususnya orang Minangkabau, meskipun bapaknya adalah orang Korea dan mereka tinggal di Korea. Dia berharap dengan mempertahankan bahasa, anaknya juga tetap bisa memahami dan setia dengan budaya Minangkabau. Jadi, jika dalam peristiwa tutur tersebut hadir bersamaan seluruh keluarga inti, maka kecenderungannya adalah penggunaan bahasa Korea secara tunggal akan lebih tinggi. Begitu juga jika peristiwa tutur hanya melibat suami dengan salah satu anggota keluarga lain baik istri ataupun anak, kecenderungannya adalah menggunakan bahasa Korea. Namun, jika suami tidak terlibat dalam peristiwa tutur tersebut secara langsung, maka akan muncullah penggunaan bahasa secara multi. Dengan demikian, dapat terjadi campur kode dan alih kode. Pada peristiwa tutur tersebut, suami terlibat dalam peristiwa tutur. Akan tetapi, suami tidak berada dalam ruangan yang sama. Jadi, terjadilah situasi multilingual dalam suatu peristiwa tutur yang mengakibatkan munculnya campur kode dan alih kode. Selain dalam keluarga ini, juga ditemukan keluarga yang menggunakan bahasa daerah lain, yaitu bahasa Jawa. Bahasa yang digunakan dalam keluarga ini lebih sederhana. Suami dan istri menggunakan bahasa Korea dalam berkomunikasi. Lalu, suami kepada anak, dan sebaliknya, juga menggunakan bahasa Korea. Begitu juga dengan istri dan anak. Namun, istri mulai mengajarkan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa kepada anak karena ingin memertahankan dan mewariskan bahasa ibunya kepada keturunannya. Hasilnya, anaknya telah mulai bisa memahami tuturan sederhana dalam bahasa Indonesia dan Jawa. Namun, hanya sebatas
184 東南亞硏究 22 권 3 호
memahami dan menjawab dalam bahasa Korea dengan tuturan sederhana (karena anak masih berusia 36 bulan). A. Peristiwa tutur ini terjadi dalam ranah keluarga inti. Ibu
: Makan ya.
(bahasa Indonesia)
Ayo makan. Anak
: Ne.
(bahasa Korea)
Ya. (Ibu mengulang dengan pelan) Ibu
: Ma-kan.
Anak
: Ne.
(Anak makan nasi yang disuapkan oleh Ibu)
B. Peristiwa tutur ini terjadi ketika anak sedang bermain dengan Ibu. Ibu
: igo hana
(bahasa Korea)
Ini satu. Anak
: igo hana
(bahasa Korea)
Ini satu. Ibu
: iki siji
(bahasa Jawa)
Ini satu. Anak
: iki siji
(bahasa Jawa)
Ini satu. Ibu
: Iki piro?
(bahasa Jawa)
Ini berapa? Anak
: siji (sambil tertawa) (bahasa Jawa) Satu.
Penggunaan Bahasa dalam Keluarga Kawin Campur Indonesia—Korea 185
Ibu tersebut mengajarkan anaknya bahasa Indonesia
dengan
menggunakan media lagu anak-anak sederhana. Lagu yang diajarkan adalah lagu anak-anak yang lazim diajarkan kepada anak-anak di Indonesia, seperti Balonku Ada Lima, Satu-satu Aku sayang Ibu, dan Cicak-cicak di Dinding. Selanjutnya, juga ditemukan keluarga kawin campur yang hanya menggunakan bahasa Korea dan Indonesia. Kecenderungannya hampir sama pada setiap keluarga, bahwa bahasa Korea lebih dominan digunakan dengan alasan karena mereka menetap di Korea dengan lingkungan berbahasa Korea. Penggunaan Bahasa dalam Keluarga Kawin Campur model 2 suami
anak
istri
Bahasa Korea digunakan jika semua jenis penutur berperan dalam peristiwa tutur tersebut. Maksudnya, suami, istri, dan anak turut bertutur dalam peristiwa tutur tersebut. Jika yang berperan dalam peristiwa tutur itu hanya suami dengan istri, dan suami dengan anak, maka juga digunakan bahasa Korea. Lain halnya, jika dalam peristiwa tutur itu hanya ada istri (ibu) dan anak maka digunakan bahasa Indonesia.
186 東南亞硏究 22 권 3 호
Peristiwa tutur ini terjadi di rumah. Situasi: sebelum ada suami. Istri
: Nak, tisu mana?
(bahasa Indonesia)
Anak
: Tidak tahu.
(bahasa Indonesia)
Lalu, suami datang. Suami
: Moa?
(bahasa Korea)
Istri
: Hyuji odiga?
(bahasa Korea)
… Pemilihan penggunaan bahasa Korea secara dominan dalam lingkungan keluarga ditujukan untuk kepraktisan. Mungkin, jika mereka menetap di Indonesia mereka akan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang dominan digunakan baik secara sadar maupun spontanitas. Hal ini disebabkan oleh faktor sosial masyarakat tempat mereka berada pada saat itu. Berdasarkan hasil penelitian, juga ditemukan keluarga kawin campur yang hanya menggunakan satu bahasa saja, yaitu bahasa Korea. Suami dengan istri, suami dengan anak, bahkan anak dengan ibu hanya monolingual. Istri tidak lagi menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa ibu kepada anaknya. Penyebabnya adalah kurangnya pengetahuan mereka tentang psikologi anak. Menurut mereka, jika anak mereka belajar banyak bahasa maka anak mereka akan menjadi bodoh.
Penggunaan Bahasa dalam Keluarga Kawin Campur Indonesia—Korea 187
Penggunaan Bahasa dalam Keluarga Kawin C ampur 3 suami
anak
istri
Selain itu, juga ada disebabkan oleh pemikiran yang salah mengenai bahasa. Menurut mereka, bahasa di negara maju merupakan bahasa yang lebih baik. Padahal, tidak ada bahasa yang baik dan buruk. Semua bahasa sama-sama baik dan memiliki kearifan lokal tersendiri. Penggunaan bahasa ibu (bahasa daerah) yang cenderung ditiadakan dalam beberapa keluarga disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, istri tidak menguasai bahasa daerah. Dengan demikian, otomatis tidak menggunakan bahasa daerah. Sama halnya dengan kasus beberapa keluarga di Indonesia yang bukan keluarga kawin campur antarnegara. Pemahaman yang kurang tepat membuat mereka meniadakan penggunaan bahasa daerah (bahasa ibu) dalam ranah keluarga. Kedua, istri kurang pengetahuan mengenai bahasa sehingga muncullah beberapa alasan lain. Pertama, anggapan bahwa bahasa daerah tidak baik untuk pendidikan. Kedua, bahasa daerah tidak memiliki nilai gengsi yang tinggi. Kedua faktor ini jelas merupakan pemikiran yang salah jika ditilik dari ilmu linguistik. Ketiga, faktor masalah individual dengan identitas etnik. Faktor ini lebih diakibatkan oleh masalah sosial, psikologis, dan
188 東南亞硏究 22 권 3 호
traumatis individu. Sebagian pasangan kawin campur yang diwawancarai merupakan mantan tenaga kerja wanita Indonesia di Korea yang memiliki pendidikan hanya setingkat SMA. Tidak semua dari mereka berkeinginan untuk terus belajar sehingga muncullah pemahaman yang salah tentang bahasa dan budaya. Berdasarkan pengamatan, dapat diketahui bahwa untuk keluarga kawin campur mereka juga mempunyai komunitas baik dalam jejaring sosial maupun acara sosial lainnya. Sebagai contoh, dapat ditemukan tempat mereka saling berkomunikasi dalam facebook dan para istri juga mengadakan arisan yang diadakan perwilayah. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia dan bahasa daerah bagi yang berasal dari daerah yang sama di Indonesia. Namun, juga ada yang enggan menggunakan bahasa Indonesia dan lebih senang menggunakan bahasa Korea. Umumnya, mereka yang selalu berbahasa Korea inilah yang tidak mau lagi mengajarkan anaknya bahasa Indonesia dan/atau bahasa daerah. Untuk penggunaan bahasa Inggris dalam ranah keluarga, belum ditemukan selama penelitian ini dilakukan. Pengamatan awal, jika istri Korea dan suami Indonesia, mungkin akan ditemukan. Namun, mengenai hal ini belum dilakukan penelitian mendalam karena belum difokuskan dalam artikel ini.
5. Penutup Kerja sama yang baik antara Indonesia dan Korea Selatan dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, dan industri mengakibatkan tingginya mobilitas antarnegara ini. Hal tersebut berpengaruh terhadap peningkatan perkawinan antarpenduduknya. Perkawinan tersebut tentu mengakibatkan
Penggunaan Bahasa dalam Keluarga Kawin Campur Indonesia—Korea 189
terjadinya asimilasi kebudayaan. Salah satunya dalam bidang bahasa yang teraktualisasikan dalam penggunaan bahasa sehari-hari di ranah keluarga. Penggunaan bahasa dalam keluarga kawin campur antara warga negara Indonesia dan Korea Selatan memiliki 3 model meskipun telah dibatasi dalam hal istri yang berkewarganegaraan Indonesia dan menetap di Korea Selatan. Keanekaragaman ini dipengaruhi oleh konsep pemikiran dari pasangan ini yang cenderung didominasi oleh pemikiran istri. Model pertama adalah penggunaan tiga bahasa yang bahkan digunakan dalam satu peristiwa tutur, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Korea, dan bahasa daerah. Dengan demikian, muncullah campur kode dan alih kode. Model kedua adalah penggunaan bahasa Indonesia dan Korea saja. Model ketiga adalah penggunaan bahasa Korea saja. Penggunaan bahasa ibu (bahasa daerah) yang cenderung ditiadakan dalam beberapa keluarga disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, istri tidak menguasai bahasa daerah. Kedua, istri kurang pengetahuan mengenai bahasa sehingga muncullah beberapa alasan lain. Pertama, anggapan bahwa bahasa daerah tidak baik untuk pendidikan. Kedua, bahasa daerah tidak memiliki nilai gengsi yang tinggi. Kedua faktor ini jelas merupakan pemikiran yang salah jika ditilik dari ilmu linguistik. Ketiga, faktor masalah individual dengan identitas etnik. Faktor ini lebih diakibatkan oleh masalah sosial, psikologis, dan traumatis individu. Penelitian mengenai penggunaan bahasa dalam keluarga kawin campur sangat menarik dilakukan. Apalagi, kecenderungan kawin campur semakin tinggi karena kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi. Terutama, karena hasil penelitian tersebut sekiranya dapat digunakan untuk tujuan praktis resolusi konflik.
190 東南亞硏究 22 권 3 호
Aslinda dan Leni Syafyahya. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: Refika Aditama. Chaer, Abdul dan Leony Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Depdiknas. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V. Jakarta: Balai Pustaka. Fishman, Joshua A. 1991. Reversing Language Shift (Multilingual Matters). Massachusetts: Newbury House Publishers. Haque, Shahzaman. 2011. “Migrant Family Language Practices and Language Policies in Finland” dalam Apples-Journal of Applied Language Studies Vol. 5, 1, 2011, 49-64 diunduh dari http://apples.jyu.fi/article_files/ad3b237e404b1f1497bd79800de1f3 1b.pdf. Keraf, Gorys. 2006. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia. Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Muhadjir, Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV. Yogyakarta: Rake Sarasin. Ohoiwutun, Paul. 1997. Sosiolinguistik. Jakarta: Kesaint Blanc. Sudaryanto.
1993.
Metode
dan
Aneka
Teknik
Analisis
Bahasa.
Yogyakarta : Duta Wacana University Press.
Penggunaan Bahasa dalam Keluarga Kawin Campur Indonesia—Korea 191
ABSTRACT
Penggunaan Bahasa dalam Keluarga Kawin Campur Indonesia—Korea Sonezza Ladyanna (Hankuk University of Foreign Studies)
Kim Jang Gyem (Hankuk University of Foreign Studies)
Normaliza Abd Rahim (Hankuk University of Foreign Studies)
This article discusses the language using in the mixed marriage family (husband is a Korean and wife is an Indonesian) with the case study in several mixed marriage families who are in Korea. The study using qualitative method. Data collection is carried out by means of observation and interviews which are then analyzed with a qualitative method through the theory of sociolinguistics and is reported descriptively. Based on this study, the mixed marriage families use their mother tongue and the national language of both spouses. In addition, there are also mixing code and switch code. However, it also found families use only one language that is Korean language Key Words : Mixed Marriage, Indonesia, Korea, mixed code, switch code
192 東南亞硏究 22 권 3 호
▸ 논문접수일 2012. 11. 19 ▸ 논문심사일 2012. 12. 18 ▸ 게재확정일 2013. 01. 07
Penggunaan Bahasa dalam Keluarga Kawin Campur Indonesia—Korea 193
194 東南亞硏究 22 권 3 호