PENGGUNAAN BAHASA DALAM RANAH KELUARGA MUDA JAWA DI KABUPATEN BLORA
TESIS Untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan pada Universitas Negeri Semarang
Oleh Marnoto NIM 2101504005
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2007
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Tesis ini telah disetujui Pembimbing untuk diajukan ke Sidang Panitia Ujian Tesis.
Semarang, 27 Februari 2007 Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. B.Karno Ekowardono NIP. 130237395
Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum. NIP.131962590
PENGESAHAN KELULUSAN
Tesis ini telah dipertahankan di hadapan Sidang Panitia Ujian Tesis Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang pada hari : Kamis tanggal
: 8 Maret 2007
Panitia Ujian Ketua,
Sekretaris,
A. Maryanto, Ph.D NIP 130529509
Prof. Dr. Dandan Supratman, M.Pd. NIP 130366361
Penguji I
Penguji II
Prof. Dr. Rustono, M.Hum NIP 131281222
Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum NIP 131962590
Penguji III
Prof. Dr. B. Karno Ekowardono NIP 130237395
PERNYATAAN
Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini benar-benar hasil karya penulis sendiri, bukan jiplakan karya orang lain. Pendapat atau temuan yang dirujuk dalam tesis ini ditulis berdasarkan kode etik ilmiah.
Semarang, 27 Februari 2007
Marnoto
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO Barang siapa bertambah ilmunya, tetapi tidak bertambah zuhudnya di dunia, dia hanya bertambah jauh dengan Allah. (Hadis Riwayat Ad Dailami dari Ali)
PERSEMBAHAN Kupersembahkan kepada guruku, istri dan anak-anakku, dan peminat bahasa.
PRAKATA
Dengan selesainya tesis ini, penulis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah swt. Penulis dapat menyelesaikan tesis ini karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya dan penghargaan kepada berbagai pihak sebagai berikut. 1. Prof. Dr. B. Karno Ekowardono, Pembimbing I, yang memberikan bimbingan kepada penulis hingga selesainya tesis ini. 2. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum., Pembimbing II, yang memberikan motivasi dan mengarahkan penulis hingga selesainya tesis ini. 3. Prof. Dr. Dandan Supratman, M.Pd., Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, yang senantiasa memberikan semangat, dan saran yang sangat berharga. 4. Seluruh dosen dan karyawan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang yang telah banyak memberikan masukan dan bantuan selama penulis menempuh pendidikan. 5. Kepala SMP Negeri 2 Banjarejo, Blora yang telah memberikan kemudahan, semangat, dan motivasi yang sangat berguna bagi penulis. 6. Adik Hj. Siti Hidayani, istri penulis, dan Anindhiya Ulhaq, Miftakhul Abror, serta Alaudin Fa’iq Siddha, anak-anak tersayang yang dengan keikhlasan
dan
kesabaran
mereka
merelakan
meninggalkannya untuk menyelesaikan tesis ini.
penulis
sering
7. Para informan utama dan informan pembantu yang membantu proses pengumpulan data. 8. Pejabat terkait yang memberikan izin penelitian ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan pendidikan bahasa.
Semarang, 27 Februari 2007 Penulis
SARI
Marnoto. 2007. Penggunaan Bahasa dalam Ranah Keluarga Muda Jawa di Kabupaten Blora. Tesis. Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing: I. Prof. Dr. B. Karno Ekowardono, II. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M. Hum. Kata Kunci: penggunaan bahasa, keluarga muda Jawa.
Sehubungan dengan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, pembinaan dan pengembangan bahasa Jawa diarahkan kepada penggunaan bahasa yang fungsional. Hal ini perlu dilakukan bertolak dari kenyataan bahwa pada saat ini kemampuan anak berbahasa Jawa sebagai alat komunikasi belum maksimal. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya generasi muda yang tidak bisa berbahasa Jawa dengan baik dan benar sesuai dengan unggah-ungguh. Belum lagi adanya dialek-dialek bahasa Jawa di antaranya bahasa Jawa dialek Solo, bahasa Jawa dialek Banyumas, bahasa Jawa dialek Surabaya dan bahasa Jawa dialek Blora. Masalah pokok dalam penelitian ini mencakupi: (1) Ragam bahasa apakah yang digunakan dalam ranah keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora? (2) Karak-teristik apa sajakah dalam bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi orang tua de-ngan anak dalam ranah keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora? (3) Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi penggunaan ragam bahasa untuk berkomunikasi dengan anak dalam ranah keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora? Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif.Teknik pengum-pulan data dalam penelitian ini mencakupi: (1) teknik wawancara, (2) teknik rekam, dan (3) teknik observasi. Data dalam penelitian ini mencakupi: (1) data primer berupa penggalan teks percakapan atau bagian tutur lisan dari berbagai peristiwa tutur di dalam ranah keluaraga muda Jawa, dan (2) data sekunder berupa informasi atau keterangan tentang latar belakang sosial budaya dan situasional sebagai hasil pengamatan dan wawancara. Pemerian hasil penelitian ini adalah hasil analisis yang berupa ragam bahasa, karakteristik, dan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa dalam ranah keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora. Ragam bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Bahasa Jawa mencakupi ragam ngoko lugu, ngoko alus (tak baku), krama lugu (tak baku), dan krama alus (tak baku). Bahasa Indonesia yang digunakan adalah ragam nonformal. Karakteristik bahasa Jawa dalam ranah keluarga muda Jawa di Blora sebagai berikut: (1) segi fonologi ditandai dengan pengucapan –eh pada katakata bJS yang berakhir dengan –ih, misalnya kata ngeleh ’lapar’ : ngelih (bJS)
dan muleh ‘pulang’: mulih (bJS), pengucapan kosakata dengan bunyi akhir – oh pada kata-kata bJS yang berakhir dengan –uh, misalnya kata lawoh ‘lauk’ dan wisoh ‘cuci tangan’ yang dalam bJS adalah lawuh dan wisuh, (2) segi leksikal ditandai dengan penggunaan leksikon yang khas, di antaranya kata gung ’belum’(durung, bJS), kethilna ’ambilkan’(ju-pukna, bJS), sedhilit ’sebentar’(sedhiluk, bJS), ora lah apa lah apa ’tidak mengerjakan apa pun’ (ora ngapa-ngapa, bJS), marik-marik (rena-rena/ke mana-mana, bJS), nggenjongi ’mengangkat’ (njunjungi, bJS), (3) segi sintaktis ditandai dengan penggunaan (a) enklitik –em atau –nem, yang dalam bJS adalah enklitik –mu misalnya kancaem ’temanmu’(kancamu, bJS), wetengem ’perutmu’ (wetengmu, bJS), sangunem ’uang sakumu’ (sangumu, bJS), (b) kata fatis leh misalnya pada kalimat, Thik ngono leh! (c) proklitik tak- dan enklitik –e yang berbeda dengan bJS, dalam bJS tidak diikuti pelaku, dalam bJB diikuti pelaku misalnya pada kata takkancani Ibu dan bapake kula (bJS takkancani ’saya temani’ dan bapak kula ’bapak saya’), (4) alih kode, dan (5) campur kode. Karakteristik bahasa Indonesia sebagai berikut: (1) segi fonologi ditandai dengan penyederhanaan diftong ai (ramai, bIS) diucapkan e (rame), (2) segi sintaktis yang mencakupi: (a) pelesapan prefiks meng-, interferensi proklitik bahasa Jawa tak- dan enklitik -e, (b) penggunaan kata fatis, dan (c) penggunaan struktur kalimat bahasa Jawa (3) alih kode, dan (4) campur kode. Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa dalam ranah keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora mencakupi: ranah pemilihan bahasa (ranah keluarga dan ranah pergaulan dalam masyarakat), aspirasi, jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, tujuan tutur, pokok tutur, dan norma tutur. Untuk keperluan pemelajaran bahasa Jawa di sekolah dapat disarankan: (1) penggunaan bJN yang cukup dominan dalam ranah keluarga perlu diimbangi pemelajaran bJK di sekolah untuk menanamkan unggahungguh basa, (2) dengan adanya fenomena perembesan diglosia pada keluarga terpelajar, pemelajaran bahasa Jawa di sekolah diharapkan dapat menumbuhkan perasaan bangga menggunakan bahasa Jawa sehingga memperkuat pemertahanan bahasa Jawa, (3) penelitian lanjutan berkaitan dengan penelitian ini dapat dilakukan, misalnya berkaitan dengan metode dan strategi pemelajaran bahasa di sekolah sebagai sarana pembinaan bahasa Jawa.
ABSTRACT Marnoto. 2007. Using Language in Young Family in Blora Region.Thesis of Education of Indonesian Language in Post-Degree Semarang State University ( UNNES ). Fist advisor Prof. Dr. B. Karno Ekowardono and second advisor Prof. Dr. Fathur Rokhman, M. Hum. Keyword: Using language in Java young family
In connection with language function as instrument of communication, establisment anda divelopment Java language is directed to using language in functional. Based of reallity this case necesarry done because capability of child on using Java language as communication instrument is not maximal to day. This conditions can shown by many of young generation unable speaking right and well conform to etiquette. Still not yet. There are many kinds of Java dialect among others Java with Solo, Banyumas, Surabaya, and Blora dialect. Condition language of Blora’s community different with others. Language in this region is called ”leh dialect”. Which spreading in Rembang, Bojonegooro, Babat, North Ngawi, Purwodadi/Grobogan, and a few part of Pati region. The special caracteristic of Blora’s dialect is shown on lexicon, fonologis, morfologis, and sintactis. Based of the beckgrown above this research parpused examine using Java language for communication with child in society Java young familly in Blora. A young familly meant is, the familly has still young age, not in how long his/her marriage. The main problem in this research are: 1. How realization of kind of language on Java young familly in Blora region. 2. How caracteristic of language for communication among parents and children in Java yaong familly in ablora region. 3. What factors influence using language for communication with chil in society Jawa young familly in Blora region. This research hope can give benefit practise: 1. As matrial thinking for teacher effart to in create lesson cuality of Java langage at SD, SMP, SMA. 2. Giving ilustration factors beckgrowning using Java language for communication with child in sociaty of Java ayoung familly, next, hope that teacher can improve speaking false student done. Tehnic is collecting data in this research are: (1) tehnic interfiew, (2) tehnic record, and (3) tehnic observasion. Datas in this research are: (1) primary datas is speaking or part of speak from many situation speaking in society of Java young familly and (2) secundary datas is information about
beckgrown of social culture and situasional as usult of observation and interview. Giving the result of research is result of analis in variety code language used in society of Java young familly in Blora region. Variety code language above inclode three code: 1. Variety Java language with ngoko lugu, ngoko alus, krama lugu, krama alus. 2. Indonesian language 3. Code mixing, code swiching based Indonesian language, code swiching based java language, code mixing based Java language, code mixing based Indonesian language. Caracteristic using language for communication witth child in the society of Java young familly in Blora include. 1. Fonologis: know by change of sound ih become eh in the end syllabe. Change last syllabe uh in bJS become oh in bJB. 2. Know by change of klitik mu become em or nem. 3. Leksikon: known by using it’s leksikon among others, leh, gung :not yet (durung bJS) as comfirmstion. Kethilna ”being me” (jupukna, bJS), sedhilit ”aminute” (sedhiluk bJS), ora lah apa lah apa ” not doing anything (ora ngapa-ngapa bJS) marik-marik (rena-rena bJS) nggenjongi ”to lift” (njunjung bJS) mbalek ”clever” (pintar bJS). 4. Sintaktis: known by using klitik followed with possesive personal pronoun for example ”tak kancani ibu” let me a company your mother and ”Bapake kula” my father. Background using language in society of Java young familly in Blora include: domain choosing llanguage, social intercourse in society, aspiraasion, garden age, knowlage, job, speech parpose, main parpose, and norm speech. For teaching Java language in the school could we give sugestion. 1. Using quite dominan bJN in the domain familly need baalanced by teaching bJK in the school to implant language etiquette. 2. Ther is a fenomenon renetrasing diglosia in educated familly, teaching bahasa Jawa in the school hope ableto make feeling prowd graw to use bahasa Jawa. So ableto suported to maintain Java laanguage. Advenced of this research can be done for example: concerning about the metode of teaching Java language in the school as instrument of establising Java language.
DAFTAR ISI
Halaman PERSETUJUAN PEMBIMBING.......................................................................
ii
PENGESAHAN KELULUSAN ........................................................................ iii PERNYATAAN.................................................................................................. iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN .....................................................................
v
PRAKATA ......................................................................................................... vi SARI ................................................................................................................... viii ABSTRACT .........................................................................................................
x
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xii DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvii BAB I
BAB II
PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah .........................................................
1
1.2
Rumusan Masalah ..................................................................
8
1.3
Tujuan Penelitian ....................................................................
9
1.4
Manfaat Penelitian .................................................................. 10
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS 2.1
Kajian Pustaka ......................................................................... 11
2.2
Kerangka Teoretis ................................................................... 16 2.2.1 Keluarga ................................................................. ....... 16 2.2.2 Lingkungan (Masyarakat Sekitar). ............................... 18
2.2.3 Pendidikan (Formal) ..................................................... 19 2.2.4 Pemilihan Bahasa .......................................................... 21 2.2.5 Pemertahanan Bahasa .................................................... 25 2.2.6 Alih Kode dan Campur Kode ........................................ 27 2.2.7 Interferensi .................................................................... 28 2.2.7 Ragam Bahasa Jawa ...................................................... 30 BAB III
METODE PENELITIAN 3.1
Pendekatan Penelitian ............................................................. 36
3.2
Lokasi Penelitian .................................................................... 36
3.3
Data dan Sumber Data ............................................................ 37
3.4
Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 39 3.4.1 Teknik Wawancara ........................................................ 39 3.4.2 Teknik Rekam ............................................................... 40 3.4.3 Teknik Observasi........................................................... 40
BAB IV
3.5
Teknik Pengolahan Data ......................................................... 41
3.6
Teknik Analisis Data ............................................................. 41
3.7
Teknik Penyajian Hasil Analisis Data .................................... 42
RAGAM BAHASA DALAM RANAH KELUARGA MUDA JAWA DI BLORA 4.1
Ragam Bahasa yang Digunakan ............................................. 43 4.1.1 Bahasa Jawa ................................................................. 44 4.1.1.1 Ragam Ngoko Lugu ....................................... 45 4.1.1.2 Ragam Ngoko Alus (Tak Baku) ................... 55
4.1.1.3 Ragam Krama Lugu (Tak Baku) ..................... 61 4.1.1.4 Ragam Krama Alus (Tak Baku) ...................... 65 4.1.1.5 Karakteristik Bahasa Jawa di Blora ................ 69 4.1.1.5.1 Fonologis ........................................ 69 4.1.1.5.2 Leksikal .......................................... 71 4.1.1.5.3 Sintaktis .......................................... 76 4.1.1.5.4 Alih Kode ....................................... 79 4.1.1.5.5 Campur Kode .................................. 82 4.1.2 Bahasa Indonesia ........................................................... 95 4.1.2.1 Bahasa Indonesia Ragam Nonformal .............. 95 4.1.2.2 Karakteristik Bahasa Indonesia ....................... 99 4.1.2.2.1 Fonologis ........................................ 199 4.1.2.2.2 Sintaktis .......................................... 100 4.1.2.2.3 Alih Kode ...... ............................... 104 4.1.2.2.4 Campur Kode .. .............................. 107 BAB V
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUH PENGGUNAAN BAHASA DALAM RANAH KELUARGA MUDA JAWA 5.1 Ranah Pemilihan Bahasa ............................................................ 109 5.1.1 Ranah Keluarga ............................................................... 109 5.1.2 Ranah Pergaulan dalam Masyarakat ............................... 110 5.2
Aspirasi ................................................................................... 113
5.3
Jenis Kelamin.......................................................................... 116
5.4
Usia ......................................................................................... 116
BAB VI
5.5
Pendidikan .............................................................................. 119
5.6
Pekerjaan................................................................................. 124
5.7
Tujuan Tutur ........................................................................... 125
5.8
Pokok Tutur .......................................................................... 129
5.9
NormaTutur .......................................................................... 133
PENUTUP 6.1
Simpulan ................................................................................ 138
6.2
Saran ...................................................................................... 141
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 143 LAMPIRAN ........................................................................................................ 146
DAFTAR SINGKATAN
akbJKA : alih kode bahasa Jawa Krama Alus akbJN
: alih kode bahasa Jawa Ngoko
akbI
: alih kode bahasa Indonesia
bI
: bahasa Indonesia
bIS
: bahasa Indonesia Standar
bINF
: bahasa Indonesia nonformal
bJ
: bahasa Jawa
bJB
: bahasa Jawa Blora
bJK
: bahasa Jawa Krama
bJKA
: bahasa Jawa Krama Alus
bJKi
: bahasa Jawa Krama inggil
bJN
: bahasa Jawa Ngoko
bJNA
: bahasa Jawa Ngoko Alus
bJS
: bahasa Jawa Standar
ckbI
: campur kode bahasa Indonesia
ckbJN
: campur kode bahasa Jawa Ngoko
ckK
: campur kode Krama
ckNA
: campur kode Ngoko Alus
TP
: Titik Pengamatan
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Instrumen Penelitian ...................................................................... 146 Lampiran 2 Transkrip Wawancara tentang Penggunaan Bahasa dalam Ranah Keluarga Muda Jawa di Kabupaten Blora .......................... 154 Lampiran 3 Transkrip Tuturan tentang Penggunaan Bahasa dalam Ranah Keluarga Muda Jawa di Kabupaten Blora ..................................... 158 Lampiran 4 Kartu Data ...................................................................................... 160 Lampiran 5 Peta Dasar Kabupaten Blora .......................................................... 163 Lampiran 6 Surat Izin Penelitian ....................................................................... 164
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Bahasa berfungsi sebagai sarana untuk berkomunikasi dan informasi.
Dengan sarana bahasa memungkinkan manusia untuk saling berkomunikasi, saling berbagi pengalaman, saling belajar dari yang lain, dan meningkatkan kemampuan intelektual dan kesusastraan. Oleh karena itu, setiap orang ditun-tut untuk terampil berbahasa sehingga komunikasi antarsesama akan berlang-sung dengan baik. Komunikasi yang dimaksud adalah suatu proses penyam-paian pikiran, gagasan, ide, pendapat, persetujuan, keinginan, informasi tentang suatu peristiwa, dan lain-lain kepada orang lain dengan menggunakan sarana bahasa (Depdiknas 2003: 5). Sehubungan dengan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi tersebut, pembinaan dan pengembangan bahasa, bahasa Jawa misalnya, pada anakanak/generasi muda seharusnya diarahkan kepada penggunaan bahasa yang fungsional. Artinya bahasa Jawa digunakan sebagai sarana komunikasi antara anak dengan orang tua dan sebaliknya, antara anak dengan anak dalam satu keluarga, antara anak dengan temannya, atau antara anak dengan orang lain di luar keluarga. Hal ini perlu dilakukan bertolak dari kenyataan bahwa pada saat ini kemampuan anak berbahasa Jawa sebagai alat komunikasi belum maksimal. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya anak usia sekolah/generasi muda yang tidak bisa berbahasa Jawa dengan baik dan benar sesuai dengan unggah-ungguh. 1
2
Bahasa Jawa memiliki kaidah yang berbeda dari bahasa-bahasa lain baik mengenai tata bahasa, tingkatan-tingkatan bahasa maupun perbenda-haraan katanya. Keadaan ini kadangkala menjadikan bahasa Jawa sangat rumit untuk dipelajari. Kesulitan ini bukan hanya dialami dan dirasakan oleh orang luar Jawa tetapi juga dialami oleh orang Jawa sendiri. Oleh karena itu, orang enggan untuk mempelajarinya. Bahkan ada yang menyimpulkan bahwa bahasa Jawa terlalu berbelit-belit, tidak praktis, dan tidak sesuai dengan tun-tutan zaman (Sujamto 1992:199). Pandangan demikian tidaklah semuanya benar. Bahasa Jawa tidak serumit atau terlalu berbelit-belit terutama untuk ragam ngoko. Ragam ngoko mudah digunakan dan lebih komunikatif. Akan tetapi karena dibatasi oleh kaidah-kaidah maka ragam ngoko ini tidak bisa digunakan oleh setiap orang. Untuk maksud menghormati mitra tutur, digunakanlah ragam krama lugu bahkan krama alus. Ragam ini menggunakan kosakata krama atau krama inggil dan ada kaidah penggunaannya. Anggapan inilah yang menyebabkan bahasa Jawa dirasa rumit untuk dipelajari. Kerumitan dalam bahasa Jawa inilah yang diduga menyebabkan tidak banyak orang pandai berbahasa Jawa ragam krama alus yang penggu-naanya terikat kaidah-kaidah unggah-ungguh. Kesulitan bertambah dengan adanya dialek-dialek bahasa Jawa; di antaranya bahasa Jawa dialek Solo, bahasa Jawa dialek Banyumas, bahasa Jawa dialek Surabaya dan bahasa Jawa dialek Blora. Bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat di Blora berbeda de-ngan bahasa Jawa di daerah lain. Bahasa di daerah ini disebut “dialek leh” dan
3
penyebarannya meliputi daerah Rembang, Bojonegoro, Babad, Ngawi bagian utara, Purwodadi/Grobogan, dan sebagian Pati. Disebut “dialek leh” karena bahasa Jawa di Blora memiliki ciri khusus dengan kata penegas “leh”, dan kosakata yang lain, misalnya kata-kata bJS putih ‘putih’, mulih ‘pulang’, ngelih ‘lapar’, dan getih ‘darah’ dalam bJB diucapkan puteh, muleh, ngeleh, dan geteh. Selain itu, enklitik -mu bJS, dalam bJB enklitik –em atau -nem (Hutomo 1996:1). Hal tersebut dapat dilihat dalam contoh kalimat berikut. (1) Aja ngono leh, Le karo dulurem sing rukun! ‘Jangan begitulah, Nak dengan saudaramu yang rukun!’ (2) Sandhalem lehem tuku neng endi? ‘Sandalmu kamu beli di mana?’ (3) Wis jam lima kok adhiem gak muleh-muleh! ‘Sudah jam lima adikmu tidak pulang juga!’ (4) Ndhuk, bukunem gawa rene taksamaki! ‘Nak (perempuan), bukumu bawalah ke sini saya berikan sampul!’ Sebagai alat interaksi verbal, bahasa dapat dikaji secara internal mau-pun secara eksternal. Secara internal kajian dilakukan terhadap struktur internal bahasa itu, mulai dari struktur fonologi, morfologi, sintaksis, sampai struktur wacana. Kajian secara eksternal berkaitan dengan hubungan bahasa itu dengan faktorfaktor yang ada di luar bahasa, seperti faktor sosial, psikologi, etnis, seni, dan sebagainya. Kajian eksternal bahasa melahirkan disiplin ilmu baru yang merupakan kajian antara dua bidang ilmu atau lebih, misalnya sosiolinguistik. Ilmu ini merupakan kajian antara sosiologi dan linguistik (Chaer 2003:1).
4
Dalam interaksi verbal, dwibahasawan maupun multibahasawan dihadapkan pada pemilihan bahasa kepada mitra tutur. Dengan bahasa apa bahkan dengan ragam apa ia berbicara kepada mitra tutur. Demikian pula ekaba-hasawan bahasa Jawa menghadapi pilihan bahasa dalam hal ragam bahasa; ragam ngoko atau ragam krama. Pemilihan bahasa tersebut dipengaruhi oleh faktor peserta, situasi, isi pembicaraan, dan fungsi interaksi (Kamaruddin 1989:51). Pemilihan bahasa merupakan fenomena yang unik untuk dikaji. Kajian pemilihan bahasa dalam masyarakat di Indonesia berkaitan dengan permasalahan pemakaian bahasa dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa. Situasi kebahasaan di dalam masyarakat Indonesia sekurang-kurangnya ditandai oleh pemakaian dua bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Jadi, pemilihan bahasa dalam masyarakat seperti ini lebih mengutamakan aspek tutur daripada aspek bahasa. Sebagai aspek tutur, pemakaian bahasa relatif berubah-ubah sesuai dengan perubahan unsurunsur dalam konteks sosial budaya (Rokhman 1998:231). Pemilihan bahasa tidak hanya memilih sebuah bahasa secara keseluruhan dalam suatu komunikasi. Misalnya seseorang yang menguasai bahasa Jawa dan bahasa Indonesia harus memilih salah satu di antara dua bahasa ketika berbicara dengan orang lain dalam peristiwa komunikasi. Namun, kenyataannya terdapat tiga jenis pilihan. Pertama, ia memilih satu variasi dalam bahasa yang sama. Kedua, dengan alih kode, artinya menggunakan satu bahasa pada suatu keperluan, dan menggunakan bahasa lain pada keperluan lain. Ketiga, dengan campur kode,
5
artinya menggunakan satu bahasa tertentu dengan dicampuri serpihan-serpihan dari bahasa lain. Demikian halnya dengan penggunaan bahasa Jawa dalam ranah keluarga muda Jawa di Blora juga banyak disisipi kode bahasa Indonesia (campur kode) dan kode bahasa Jawa ragam krama. Hal ini dapat dilihat dalam contoh kalimat berikut ini. (1) Mbak Nisa wayahe belajar, belajar riyin! ‘Mbak Nisa waktunya belajar, belajar dulu!’ (2) Nek tangane kotor, cuci tangan riyin! ‘Jika tangannya kotor, cucilah dahulu!’ (3) Sudah jam enam kok isuk. Ayo, gek mandi sana! ‘Sudah jam enam pagi. Ayo, segera mandi sana! (4) Ayo, ndang dikerjakan sing tenanan! ‘Ayo, segera dikerjakan dengan sungguh-sungguh!’ Berdasarkan beberapa contoh kalimat di atas tampak jelas bahwa bahasa Jawa yang digunakan dalam ranah keluarga muda Jawa di Blora telah disisipi kode bahasa Indonesia sehingga menghasilkan campur kode. Dengan kata lain, bahasa Jawa yang digunakan sebagai sarana komunikasi dalam ranah keluarga muda Jawa telah mengalami pergeseran ke dalam bahasa Indonesia. Setiap anggota masyarakat mau tidak mau harus memilih salah satu bahasa atau ragam bahasa untuk dipakai dalam interaksi tertentu. Pilihan bahasa ini tidak bersifat acak, tetapi harus mempertimbangkan berbagai faktor seperti
6
siapa yang berbicara, kepada siapa, dengan bahasa apa, kapan peristiwa itu berlangsung dan tujuan apa yang diharapkan (Chaer 1995:143). Masyarakat Blora yang merupakan bagian dari penutur bahasa Jawa mempunyai karakteristik dialek Blora. Wilayah itu terletak di bagian timur Provinsi Jawa Tengah. Daerah tersebut terletak di antara 111°16’ s.d. 111°338’ BT dan 6°582’ s.d. 7°248’ LS. Luas daerah itu adalah 1.820,59 km². Batas administratif Kabupaten Blora di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Grobogan dan di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur (BPS Kabupaten Blora 2005:1). Situasi kebahasaan di Kabupaten Blora ditandai dengan pemakaian bahasa Jawa dan bahasa Indonesia beserta ragam-ragamnya. Pada pemakaian dalam ranah keluarga, ranah ketetanggaan, dan ranah agama didominasi oleh bahasa Jawa ragam ngoko dialek Blora dan krama dalam situasi-situasi tertentu. Ada beberapa keluarga menggunakan bahasa Jawa dengan campur kode bahasa Indonesia dalam berkomonikasi antaranggota keluarga dan dalam hal pekerjaan. Sebagai alat komunikasi bagi masyarakat Blora, bahasa Jawa juga digunakan dalam komunikasi formal apalagi penutur adalah masyarakat pedesaan atau pelosok. Hal itu terbukti dari pengguanaan bahasa Jawa dalam rapat-rapat desa, komite sekolah, bahasa komunikasi di kantor-kantor pelayanan masyarakat. Bahasa Jawa juga digunakan sebagai bahasa pengantar pemelajaran di kelas rendah sekolah dasar, dalam upacara adat, dan sebagai media kesenian.
7
Kekhasan bahasa Jawa dialek Blora tampak dalam hal leksikal, fonologis, dan sintaktis. Dalam hal leksikal ada beberapa kata yang hanya dijum-pai dalam dialek Blora antara lain: sarasan ‘saja’, nggenjong ‘mengangkat’, mbarik ‘tampan’, jobel ’enggan menasihati lagi’, mbalek ’pintar’, kethil ‘am-bil’, ndak iya leh ‘betulkah’. Dalam hal fonologis, karakteristik bahasa Jawa dialek Blora adalah penggunaan kosakata dengan bunyi akhir -ih pada bJS, dalam bJB -eh. Con-toh : batih - batèh ‘warga’, gurih - gurèh ‘lezat’, mulih - mulèh ‘pulang’, su-gih - sugèh ‘kaya’, dan putih - putèh ‘putih’. Dalam hal sintaktis, karakteristik bahasa Jawa Blora antara lain: (1) penggunaan enklitik -mu pada bJS, dalam bJB -em atau -nem. Contoh: omahem ‘rumahmu’, klambiem ‘bajumu’, anakem ‘anakmu’, sepatunem ‘sepatumu’, bukunem ‘bukumu’, (2) penggunan klitik tak- dan klitik -e atau –ne yang diikuti pelaku (dalam bJS tidak diikuti pelaku) misalnya bapake kula ‘bapak saya’, bojone kula ‘istri saya’, tase tak gawane aku ‘tas saya bawa’, tak pangane aku ‘saya makan’, putrane kula sekolah teng Solo ‘anak saya sekolah di Solo’. Dalam hubungannya dengan pemertahanan bahasa, kecenderungan penggunaan bahasa dalam ranah keluarga muda pada masyarakat multibahasa di Kabupaten Blora merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud mengkaji ihwal penggunaan bahasa Jawa untuk berkomunikasi dengan anak dalam ranah keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora. Keluarga muda yang dimaksud adalah keluarga (suami–istri) yang masih berusia muda, bukan muda masa perkawinannya.
8
Penelitian ini akan mendeskripsi ragam, karakteristik, dan faktor-faktor yang melatarbelakangi penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi orang tua dengan anak dalam keluarga muda Jawa. Hal ini dikaitkan dengan adanya gejala bahwa akhir-akhir ini anak usia sekolah/generasi muda banyak yang tidak bisa berbahasa Jawa dengan baik dan benar terutama berkaitan dengan santun berbahasa. Keadaan tersebut apakah disebabkan oleh gagalnya pemelajaran bahasa Jawa di sekolah ataukah orang tua yang sudah tidak lagi mendidik anak berbahasa Jawa di dalam keluarga karena berbagai sebab.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, masalah yang diteliti dalam
penelitian ini adalah bagaimana wujud ragam bahasa yang digunakan dalam ranah keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora. Masalah pokok dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Ragam bahasa apakah yang digunakan untuk berkomunikasi orang tua dengan anak dalam ranah keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora? 2) Karakteristik apa sajakah dalam bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi orang tua dengan anak dalam ranah keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora? 3) Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi penggunaan bahasa untuk berkomunikasi orang tua dengan anak dalam ranah keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora?
9
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan penelitan ini adalah
mendeskripsi wujud penggunaan bahasa Jawa dalam ranah keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora. Adapun tujuan khusus penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut: (1) mendeskripsi ragam bahasa untuk berkomunikasi orang tua dengan anak dalam ranah keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora. (2) mengidentifikasi karakteristik
bahasa untuk berkomunikasi orang tua
dengan anak dalam ranah keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora. (3) memaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa untuk berkomunikasi orang tua dengan anak dalam ranah keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora. 1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara praktis
maupun teoritis. Secara teoretis, hasil penilitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa: (1) deskripsi ragam bahasa untuk berkomunikasi orang tua dengan anak dalam ranah keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora, (2) identifikasi karakteristik penggunaan bahasa untuk berkomunikasi orang tua dengan anak dalam ranah keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora (3) paparan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa untuk berkomunikasi orang tua dengan anak dalam ranah keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora,
10
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat: (1) menjadi bahan masukan bagi guru dalam upaya peningkatan mutu pemelajaran bahasa Jawa di sekolah baik SD, SMP, maupun SMA. (2) memberikan gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa untuk berkomunikasi orang tua dengan anak dalam ranah keluarga muda Jawa. Selanjutnya, diharapkan guru dapat memperbaiki kesalahan berbahasa yang dilakukan siswa.
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS
2.1
Kajian Pustaka Penelitian tentang pemilihan bahasa telah dilakukan oleh Greenfield
(1972). Ia meneliti pilihan bahasa di kalangan guyup Spanyol Puerto Rico yang dwibahasawan Spanyol dan Inggris, dengan memperhatikan tiga komponen, yaitu orang (partisipan), tempat, dan topik. Greenfield menemukan bahwa bahasa Spanyol ternyata dipilih oleh guyup Spanyol di dalam penggunaan bahasa dalam ranah yang bersifat intim, yaitu ranah keluarga dan kekariban(antarteman); bahasa Inggris dipakai dalam ranah agama, pendidikan, dan lapangan kerja (Sumarsono 2004: 205). Pada tahun 1980, Parasher dengan ancangan sosiologi meneliti 350 orang terdidik di India. Ia menyebarkan kuesioner yang mengarah ke pengakuan dari para subjek penelitiannya. Subjek diminta untuk menentukan bahasa apa yang dipakai dalam tujuh ranah, yaitu ranah keluarga, kekariban, ketetanggaan, transaksi, pendidikan, pemerintahan, dan lapangan kerja. Parasher menemukan bahwa B1 (bahasa ibu) menjadi bahasa yang dominan di ranah rendah L (low) dan bahasa Inggris, bahasa Hindi, atau bahasa resmi di tingkat provinsi menjadi dominan di tingkat tinggi H (high). Penelitian tentang pemilihan bahasa Jawa telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian tersebut antara lain dilakukan oleh Setiyawati (1998),
11
12
Supriyanto et al. (2000), Rokhman (2001), Prastyorini (2002), Setyani (2002), Fitri (2004), Sukarsih (2004), dan Rokhman (2005). Setiyawati (1998) meneliti pemilihan bahasa pada ranah rumah dan kebertetanggaan di Perumnas Salatiga Permai, Kodia Salatiga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa yang dominan digunakan oleh masyarakat tutur Jawa di Perumnas Salatiga Permai, Kodia Salatiga dalam ranah rumah tangga dan berketetanggaan. Kedudukan dan fungsi bahasa Jawa telah mengalami pergeseran karena aspek-aspek sosial (usia, tingkat pendidikan, dan status) dan karena adanya mobilitas sosial yang tinggi. Supriyanto et al. (2000) juga telah meneliti loyalitas bahasa keluarga Jawa di Kodia Semarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat tutur Jawa masih memiliki loyalitas yang tinggi terhadap bahasa daerahnya. Loyalitas tercermin dari pemakaian bahasa Jawa pada komunikasi dalam ranah keluarga. Faktor sosial yang menjadi determinan loyalitas bahasa keluarga Jawa meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan, dan domisili. Rokhman (2001) meneliti pemilihan dan loyalitas bahasa Jawa pada masyarakat tutur Jawa dialek Banyumas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat tutur Jawa dialek Banyumas memiliki
kecenderungan yang kuat
dalam mempertahankan bahasa Jawa. Kecenderungan ini ditandai dengan pengalihan bahasa Jawa kepada generasi berikutnya. Prastyorini (2002) meneliti pilihan ragam bahasa Jawa pedagang ikan dalam interaksi jual beli di TPI Tasikagung Rembang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pilihan bahasa pedagang ikan dalam percakapan adalah
13
ragam tunggal bahasa ( ngoko lugu, ngoko alus, krama lugu ), alih kode, dan campur kode. Ragam ngoko lugu sangat dominan dalam interaksi jual beli di TPI Tasikagung Rembang. Setyani (2002) meneliti pemertahanan bahasa Jawa masyarakat Wonoroto pada ranah keluarga di Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang. Penelitian ini mengkaji pola pemertahanan bahasa Jawa masyarakat Wonoroto pada ranah keluarga, wujud pemertahanan bahasa Jawa masyarakat Wonoroto pada ranah keluarga dilihat dari faktor jenis kelamin, faktor usia, dan faktor pendidikan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan bahasa da-lam ranah keluarga
dalam
masyarakat
Wonoroto
memiliki
kecenderungan
pola
pemertahanan bahasa dilihat dari hubungan peran kekerabatan pada kelompok anak dan orang tua walaupun terdapat perbedaan dalam pemer-tahanan bahasa. Faktor jenis kelamin laki-laki menunjukkan adanya perubahan bahasa yang dapat mempengaruhi pemertahanan bahasa asli mereka, sedang-kan pada para wanita terdapat pemertahanan bahasa. Penutur yang tidak berpendidikan cenderung kepada upaya pemertahanan bahasa asli. Indikator pemertahanan bahasa adalah upaya pemakaian bahasa asli pada tuturan sehari-hari. Faktor yang mempengeruhi pergeseran bahasa adalah seringnya penutur bertemu dengan penutur lain, pendidikan yang tinggi, malu menggunakan bahasa asli, dan usia muda. Keunikan dari penelitian ini adalah lebih memfo-kuskan pada pemertahanan bahasa Jawa dialek Wonoroto. Fitri (2004) meneliti pemertahanan bahasa Jawa masyarakat bilingual pada ranah keluarga di desa Mrayun, Rembang. Simpulan penelitian ini me-
14
nunjukkan bahwa pola anak kepada orang tua dan sebaliknya, pola kakak dan adik, pola suami dan istri menunjukkan adanya pemertahanan bahasa dengan pemakaian bahasa Jawa. Penutur yang berjenis kelamin perempuan, penutur yang berusia tua (41-60), penutur yang tidak tamat SD, penutur yang berpen-didikan SD, dan penutur yang berprofesi sebagai petani melakukan pemer-tahanan bahasa. Berdasarkan pola dan wujud pergeseran bahasa disimpulkan bahwa pola adik kepada kakak, penutur yang berusia 9-40 tahun, penutur yang berpendidikan SMP dan perguruan tinggi, penutur yang berprofesi sebagai pedagang, PNS, dan buruh mengalami pergeseran bahasa yang ditandai dengan adanya campur kode. Sukarsih (2004) meneliti pemilihan bahasa pekerja rokok di Kudus. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa wujud pilihan bahasa pekerja rokok di Kudus pada ranah pekerjaan adalah bahasa Jawa dengan ragam ngoko, krama, dan bahasa Indonesia. Bahasa yang paling dominan adalah bahasa Jawa ragam ngoko. Rokhman (2005) meneliti pemilihan bahasa masyarakat dwibahasa di Banyumas. Hasil penelitian menunjukkan masyarakat Banyumas merupakan masyarakat yang diglosik, yang ditandai dengan kehadiran bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, serta bahasa lain yang memiliki peran masing-masing dalam berbagai ranah pemilihan bahasa. Namun demikian, perembesan diglosia tampak terjadi terutama pada ranah keluarga. Adapun penelitian yang berkaitan dengan penggunaan bahasa Jawa di Blora juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti, di antaranya Sugiyarto dan Marlina. Sugiyarto (2002) meneliti tentang perubahan makna kata bahasa Jawa dalam tataran semantik dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan
15
makna kata bahasa Jawa dalam wacana percakapan masyarakat Samin di Kabupaten Blora. Dalam penelitian ini ditemukan jenis perubahan makna kata bahasa Jawa:(1) perluasan makna, (2) penyempitan makna, (3) amelioratif, (4) peyoratif, (5) penghalusan makna, (6) asosiasi, dan (7) perubahan total makna. Marlina (2005) meneliti variasi leksikon pemakaian bahasa Jawa dalam aspek sosial budaya pada masyarakat Samin dengan kajian sosiodialektologi di Kecamatan Kradenan, Blora. Hasil penelitian ini menemukan ada 132 leksikon yang menunjukkan gejala onomasiologis dan 12 gejala semasiologis dalam pemakian bahasa masyarakat Samin sehari-hari. Berdasarkan penelitian terdahulu tersebut diketahui bahwa penelitian tentang pemilihan bahasa sudah banyak dilakukan. Beberapa penelitian memaparkan hasil kajian tentang pemilihan dan loyalitas bahasa dalam ranah keluarga, berketetanggaan, maupun pekerjaan beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu tersebut, fokus dalam penelitian ini adalah penggunaan bahasa dalam ranah keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora. Berdasarkan kajian pustaka tersebut dapat disimpulkana bahwa penelitian ini belum pernah dilakukan dan merupakan hal yang baru baik sasarannya (keluarga muda) maupun karakteristik bahasa tuturan yang menjadi objek penelitian.
2.2
Kerangka Teoritis Dalam penelitian ini teori yang digunakan mengacu kepada teori
sosiolinguistik yang mempelajari ciri dan berbagai variasi bahasa, serta hubungan
16
antara para bahasawan dengan fungsi ciri variasi bahasa. Adapun konsep-konsep teoretis yang digunakan sebagai landasan kerja penelitian ini mencakupi (1) keluarga, (2) lingkungan, (3) pendidikan, (4) pemilihan bahasa, (5) pemertahanan bahasa, (6) alih kode dan campur kode, dan (7) ragam bahasa Jawa.
2.2.1
Keluarga Keluarga adalah kelompok primer yang paling kecil di dalam
masyarakat. Keluarga murni merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri atas suami, istri, dan anak-anak. Keluarga besar merupakan kesatuan kelompok dan hubungan perkawinan (hubungan darah) yang mencakupi saudara dari pihak ayah dan pihak ibu termasuk kakek, nenek, bibi, mertua, saudara ipar dan saudara sepupu (Ahmadi 1991: 209). Dalam keluargalah anak mula-mula mendapat pendidikan termasuk pemerolehan bahasa ibu. Oleh karena itu, orang tua harus mengusahakan anakanaknya agar bisa berkembang dengan wajar. Di dalam hal ini status orang tua memegang peranan yang penting karena kebiasaan sehari-hari dipengaruhi oleh status sosial orang tua. Secara sederhana di dalam masyarakat Indonesia terdapat status berdasarkan pekerjaan yakni keluarga petani, keluarga pegawai, keluarga pedagang, dan swasta. Besar kecilnya keluarga turut mempengaruhi pemerolehan bahasa. Di dalam keluarga besar anak memiliki kesempatan yang besar untuk bergaul dengan saudara-saudaranya. Ia belajar menerima pendapat orang lain, menghormati orang lain, dan belajar mengemukakan pendapatnya dengan bahasa. Keluarga
17
merupakan tempat yang pertama dan utama seorang anak belajar berbahasa. Dari orang tualah, seorang anak pertama kali mengenal bahasa. Karena orang pertama kali yang mengajarkan bahasa dalam lingkungan keluarga adalah ibu, maka bahasa pertama disebut juga sebagai bahasa ibu. Apabila orang tua mengajarkan bahasa Jawa sejak pertama kali anak mengenal bahasa, bahasa Jawalah yang ia kuasai. Di dalam keluarga, orang tua mendidik anaknya meliputi norma-norma, sikap, adat istiadat, maupun keterampilan sosial lainya menggunakan bahasa sebagai sarana utama. Sebaliknya, pada keluarga kecil kesempatan anak untuk bergaul dengan saudaranya menjadi berkurang. Akan tetapi hal tersebut dapat diatasi dengan meningkatkan pergaulan dengan teman sepermainan dalam masyarakat. Anak memperoleh banyak pengalaman berbahasa dari teman-teman di lingkungan masyarakat sekitar.
2.2.2
Lingkungan (Masyarakat Sekitar) Lingkungan di luar keluarga adalah masyarakat. Masyarakat terdiri atas
sekelompok manusia yang menempati daerah tertentu, menunjukkan integrasi berdasarkan pengalaman bersama berupa kebudayaan, memiliki sejumlah lembaga yang melayani kepentingan bersama, mempunyai kesadaran akan kesatuan tempat tinggal dan bila perlu dapat bertindak bersama (Nasution 2004:150).
18
Tiap warga masyarakat mempunyai sesuatu yang khas, lain daripada yang lain, walaupun tampaknya sama dari luar misalnya hal-hal fisik seperti bentuk rumah, pakaian, bentuk rekreasi, dan sebagainya. Yang memberi kekhasan pada suatu masyarakat adalah hubungan sosialnya. Hubungan sosial ini antara lain dipengaruhi oleh besar kecilnya masyarakat itu. Dalam masyarakat kecil orang berusaha berkenalan seperti dalam satu keluarga dan hubungan sosial bersifat primer. Dalam masyarakat yang luas seperti kota, kebanyakan terdapat hubungan sekunder. Di samping itu masyarakat mempunyai perbedaan lain seperti kota industri berbeda dengan daerah pertambangan atau kampung nelayan, kota universitas berbeda dengan kampung pertanian, daerah perkotaan berbeda dengan daerah pemukiman, dan sebagainya. Dalam masyarakat kota yang mempunyai universitas dan penduduk yang intelektual, sikap orang lebih liberal, lebih terbuka bagi modernisasi dan pemikiran yang baru, perilaku yang baru seperti pakaian, pergaulan, dan sebagainya. Sebaliknya, dalam masyarakat pedesaan yang mempunyai tradisi yang kuat dan yang sangat taat kepada agama, sikap dan pikiran orang lebih homogen. Penyimpangan dari yang lazim segera akan mendapat kecaman dan kelakuan setiap orang diawasi oleh orang di sekitarnya (Nasution 2004: 151). Berkaitan dengan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa adat istiadat orang tua dalam masyarakat pedesaan di Blora mempunyai sikap dan pikiran yang sama untuk mewariskan bahasa Jawa yang biasa dipakai secara turun temurun kepada
19
anaknya. Dengan demikian apabila ada seorang anak di pedesaan yang tidak bisa berbahasa Jawa seperti bahasa yang biasa dipakai oleh masyarakat sekitar ketika bergaul dengan temannya tentu akan mendapat kecaman. Ia tidak bisa berbahasa Jawa karena orang tuanya tidak mengajarkannya di dalam keluarga. Akan tetapi masyarakat tidak mau peduli dan tetap mengecam sebagai anak yang tidak bisa basa (berbahasa Jawa) dan ora ngerti unggah-ungguh ‘tidak tahu sopan santun’. Hal ini disebabkan sikap dan pikiran masyarakat pedesaan yang menganggap bahwa anak yang tahu tata krama, unggah-ungguh adalah yang bisa berbahasa Jawa dengan baik sesuai dengan unggah-ungguh, leres ‘betul’dan laras ‘tepat penggunaannya’.
2.2.3
Pendidikan (Formal) Kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat menyebabkan ilmu cepat
menjadi usang. Oleh karena itu, pendidikan (formal – sekolah) perlu lebih banyak menekankan penguasaan konsep-konsep, prinsip-prinsip kemampuan berpikir, dan keterapilan memecahkan masalah. Masalah yang lebih sulit dihadapi adalah soal nilai-nilai dalam dunia yang cepat berubah ini. Ada bahayanya bahwa dengan mengutamakan sains, aspek moral dan sosial diabaikan. Demikian pula penekanan pada teknologi dan material dapat mengurangi tanggung jawab atas akibatnya terhadap kehidupan manusia. Oleh karena itu, pembelajaran di sekolah harus mengaitkan antara ilmu dan etika, antara pengetahuan dan moral. Kepandaian, ilmu, harus senantiasa
20
dilihat dalam hubungannya dengan kesejahteraan manusia. Demikian pula pendidikan harus memungkinkan komunikasi dengan bangsa atau budaya asing. Perlu pula mempertimbangkan menggalakkan pemelajaran bahasa asing untuk keperluan pergaulan dengan bangsa-bangsa di dunia (Nasution 2004: 10) Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa pemelajaran bahasa sangat dibutuhkan sebagai sarana berkomunikasi atau mengenal budaya. Bahasa Indonesia yang diajarkan di sekolah merupakan bahasa kedua bagi anak yang berbahasa ibu bahasa Jawa. Penguasaan bahasa Indonesia dalam pendidikan formal (di sekolah) turut mempengaruhi penggunaan bahasa ibu dalam keluarga. Hal ini tampak dari tuturan keluarga muda Jawa di Blora yang berbahasa Jawa dengan campur kode bahasa Indonesia, terutama bagi anak-anak usia sekolah dasar kelas rendah yang orang tuanya berpendidikan SMP ke atas.
2.2.4 Pemilihan Bahasa Pada setiap masyarakat bahasa, penutur yang memiliki situasi sosial yang lain dari partisipan, penutur biasanya mempunyai repertoire ujaran alternatif yang berubah menurut situasi ( Tripp dalam Kamaruddin 1989:50 ). Pada latar dwibahasa terlibat dua bahasa atau lebih sehingga situasinya lebih rumit. Kalau pada ekabahasawan hanya mengubah variasi bahasa ke variasi lain dari bahasa yang sama juga maka pada dwibahasawan mungkin bukan saja mengubah dari variasi yang satu ke variasi lain bahasa tertentu malahan dapat pula mengubah bahasa yang digunakannya.
21
Beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan bahasa pada latar dwibahasa adalah sebagai berikut: (1) peserta (partisipan), (2) situasi, (3) isi wacana, dan (4) fungsi interaksi.
(1) Peserta (Partisipan) Penguasaan bahasa pembicara atau mitra wicara (interlokutor) sangat penting. Seorang pembicara harus menguasai bahasa yang digunakannya dan mempertimbangkan bahasa yang dikuasai mitra wicara. Selain itu, pilihan bahasa di antara peserta tutur juga menentukan pilihan bahasa yang digunakan. Alasan seseorang menggunakan bahasa yang lain bergantung kepada pilihan masing-masing. Status sosial ekonomi peserta juga merupakan faktor penting. Di Kenya umpamanya, orang Afrika yang berstatus sosial ekonomi tinggi akan berbicara dengan bahasa Swahili kepada orang Afrika yang status sosial ekonominya rendah dan menggunakan bahasa Inggris kepada yang mempunyai status sosial ekonomi yang sama dengannya. Tingkat keakraban peserta juga merupakan faktor penting. Dwibahasawan Guarani-Spanyol menggunakan bahasa Spanyol kepada orang asing atau kenalan sepintas lalu, tetapi menggunakan bahasa Guarani kepada sahabat ketika minum teh, marah, membicarakan sesuatu secara akrab, dan bergurau. Rubin memberikan pula faktor tekanan dari luar yang turut menentukan pemilihan bahasa. Orang tua di Paraguay menggunakan bahasa Spanyol kepada anak-anaknya di rumah guna membiasakan mereka mempraktikkan
22
bahasa tersebut. Apabila anak-anak mereka tidak berada di sekitarnya maka mereka menggunakan bahasa Guarani atau Guarani dan Spanyol. Sikap peserta bahasa juga turut menentukan pemilihan bahasa. Anak golongan minoritas pada saat tertentu mungkin tidak menggunakan bahasa aslinya terhadap orang tua atau familinya guna mempersamakan dirinya dengan anak kelompok mayoritas. Faktor peserta (partisipan) juga berkaitan dengan usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, latar belakang etnis, hubungan kekerabatan, dan hubungan kekuasaan. Semua ini turut memberi corak pemilihan bahasa bagi peserta tutur.
(2) Situasi Pemakaian bahasa juga dapat ditentukan oleh tempat dan lokasi berinteraksi. Menurut penelitian Rubin (1968) di Paraguay, kebanyakan penduduk di pedesaan menggunakan bahasa Guarani dan hampir semua kegiatan di tempat itu dilakukan di dalam bahasa tersebut. Akan tetapi lokasi interaksi tidaklah terlalu penting bagi beberapa masyarakat dwibahasawan. Situasi resmi berperan di dalam pemilihan bahasa. Dwibahasawan akan memilih bahasa tertentu pada situasi resmi yang berbeda dan bahasa yang digunakan pada situasi yang tidak resmi. Pada situasi resmi orang akan menggunakan bahasa Indonesia sedangkan pada situasi tidak resmi kemungkinan besar menggunakan bahasa daerah atau ragam bahasa tak resmi.
23
Kehadiran ekabahasawan di dalam interaksi juga menjadi faktor di dalam pemilihan bahasa. Menurut kebiasaan kalau ada orang yang sedang berbicara dan tiba-tiba ada orang ketiga yang ekabahasawan dan tidak mengerti bahasa orang yang sedang berbicara tadi maka bahasa orang yang berinteraksi tadi diubah menjadi bahasa yang dapat dimengerti oleh ekabahasawan tadi guna melibatkannya ke dalam kegiatan berbicara. Pelanggaran terhadap kebiasaan ini dianggap sesuatu yang aib.
(3) Isi Wacana Isi wacana merupakan faktor pemilihan bahasa juga. Topik pembicaraan menentukan jenis bahasa yang tepat untuk itu, umpamanya pelajaran di sekolah, undang-undang atau hukum, dan kegiatan dagang dilakukan dalam bahasa Indonesia dan bukan bahasa daerah. Demikian pula halnya dengan topik-topik tertentu, atau bidang-bidang tertentu, menuntut kosakata tersendiri yang hanya ada di dalam perbendaharaan bahasa tertentu, seperti istilah kedokteran, teknik, dan sebagainya.
(4) Fungsi Interaksi Fungsi atau tujuan berinteraksi merupakan faktor penting di dalam pemilihan bahasa. Salah satu fungsi umpamanya untuk meningkatkan status yang tampak dalam peran pada sejumlah situasi. Seorang menggunakan bahasa tertentu di dalam rangka ia meningkatkan martabatnya.
24
Salah satu cara untuk menguji pilihan bahasa (language choice) adalah dengan teori ranah. Adapun pengertian ranah adalah konteks-konteks sosial yang melembaga (institutional context) dalam penggunaan bahasa; lebih cocok menggunakan ragam atau bahasa yang mana. Ranah itu merupakan konstelasi antara lokasi, topik, dan partisipan (Fishman dalam Sumarsono 1993:14 ). Jumlah ranah dalam suatu masyarakat tidak dapat ditentukan secara pasti. Fishman menyebut empat ranah, yaitu ranah keluarga, ketetanggaan, kerja, dan agama. Schmith Rohr menyebut sepuluh ranah yaitu ranah keluarga, tempat bermain, sekolah, gereja, sastra, pers, militer, pengadilan, dan aministrasi pemerintah. Frey menyebut tiga ranah yaitu ranah rumah, sekolah, dan gereja. Greenfield menyebut lima ranah yaitu ranah keluarga, kekariban, agama, pendidikan, dan kerja. Parasher menyebut tujuh ranah yaitu ranah keluarga, kekariban, transaksi, pendidikan, pemerintahan, dan kerja (Sumarsono 1993:14). Analisis ranah ini dikaitkan dengan konsep diglosia tentang ranah prestise tinggi (H) dan prestise rendah (L). Greenfield dan Parasher menggolongkan ranah menjadi dua ragam prestise, yaitu ranah keluarga, kekariban, ketetanggaan digolongkan dalam prestise ranah rendah (L), dan ranah agama, pendidikan, kerja, dan pemerintahan digolongkan dalam ragam prestise tinggi (H), sedang ranah transaksi dapat masuk golongan H atau L bergantung jenis transaksinya. Pemahaman tentang pemilihan bahasa dalam ranah yang terkait dalam konsep H-L tersebut penting dalam kajian pemilihan bahasa (Sumarsono 1993:14).
25
2.2.5
Pemertahanan Bahasa Sejalan dengan pemilihan bahasa, pemertahanan bahasa terjadi manakala
guyup bahasa secara kolektif menghendaki untuk melanjutkan memakai bahasa yang sudah biasa dipakai (Sumarsono 2004:231). Mereka akan mengajarkan bahasa yang dipakainya kepada anak-anak sebagai bahasa ibu. Pemertahanan bahasa dengan sendirinya akan terjadi pada ekabahasawan. Akan tetapi, guyup dwibahasa terjadi pemertahanan bahasa apabila guyup itu
diglosik, artinya
menggunakan bahasa atau ranah yang berbeda pada situasi kebahasaan yang berbeda. Namun dalam situasi diglosik sering terjadi adanya kebocoran doglosia. Mengacu pada konsep yang dikemukakan oleh Fishman (1978) tentang ranah pemakaian bahasa, kebocoran diglosia terjadi apabila terdapat tumpang tindih ranah pemakaian bahasa, artinya bahasa yang satu merambah atau merembes ke ranah penggunaan bahasa lain. Sebagai contoh dalam konteks pemakaian bahasa Indonesia situasi kebocoran diglosia yang terjadi dalam ranah keluarga di Lampung (Gunarwan dalam Rokhman 2005:3). Secara sosiolinguistik kebocoran diglosia bukanlah masalah yang sederhana, sebab masalah tersebut akan menimbulkan berbagai akibat seperti pergeseran bahasa bahkan kepunahan bahasa. Pergeseran bahasa terjadi apabila suatu bahasa atau ragam bahasa mengalami pergeseran pemakaian yang disebabkan oleh terdesaknya bahasa atau ragam bahasa tertentu oleh bahasa atau ragam lain dalam ranah pemakaian bahasa. Apabila suatu bahasa atau ragam bahasa yang semula dikuasai tidak lagi
26
diturunkan kepada anak-anaknya, dan anak-anaknya kelak lebih tidak mampu menurunkan kepada generasi berikutnya, maka dalam masyarakat tersebut dimungkinkan terjadi kepunahan bahasa (Rokhman 2005: 3-4) Kepunahan bahasa terjadi bila penutur tidak mengalihkan bahasa ibu kepada anak-anak mereka. Contoh kasus pengguna bahasa Gaelik yang merasa malu digolongkan sebagai warga nelayan. Mereka enggan mengajarkan bahasa Gaelik sebagai bahasa ibu, akibatnya anak-anak menjadi dwibahasawan pasif. Anak-anak
yang
menjadi
dwibahasawan
pasif
ini
lama-lama
menjadi
ekabahasawan.
2.2.6
Alih Kode dan Campur Kode Dalam peristiwa tuturan ada kalanya penutur melakukan pilihan-pilihan
bahasa di antaranya adalah alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing). Istilah kode adalah istilah yang netral yang bisa mengacu kepada bahasa, dialek, sosiolek, atau ragam bahasa (Sumarsono 2004: 201). Alih kode dan campur kode
bisa terjadi pada ekabahasawan,
dwibahasawan atau multibahasawan. Apabila seorang penutur berbicara kepada mitra tutur tentang masalah keluarga dengan bahasa Jawa dan topik pembicaraan bergeser pada masalah dinas misalnya, lalu penutur menggunakan bahasa Indonesia, penutur telah melakukan alih kode. Kode mana yang dipilih bergantung kepada banyak faktor, antara lain lawan bicara, topik, dan suasana. Alih kode sering terjadi karena kehadiran mitra tutur ketiga yang tidak menguasai bahasa keduanya demi alasan kesopanan.
27
Pilihan bahasa yang kedua adalah alih kode yang berupa tingkat tutur karena faktor lawan bicara. Sebagai contoh, pembicaraan dua orang santri dan kiyai yang berbicara dalam bahasa Jawa. Santri akan berbicara dengan bahasa Jawa tingkat tutur ngoko kepada temannya dan akan berbahasa Jawa krama alus kepada kiyai. Peristiwa alih kode tersebut karena faktor mitra tutur. Pilihan bahasa yang ketiga adalah campur kode (code mixing) yaitu penutur memasukkan unsur-unsur bahasa yang lain namun tetap menggunakan bahasa yang semula dipakainya. Unsur-unsur yang dimasukkan itu bisa berupa kata, frase, atau klausa menurut pertimbangan lawan bicara, topik, dan suasana. Sebagai contoh, apabila topik pembicaraan tentang agama maka bahasa yang digunakan bisa campur kode dengan bahasa Arab, atau campur kode bahasa daerah untuk menunjukkan rasa persahabatan.
2.2.7
Interferensi Interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich untuk menyebut
adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Dalam peristiwa interferensi digunakan unsur bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa yang dianggap suatu kesalahan karena menyimpang dari kaidah atau aturan bahasa yang digunakan. Interferensi biasanya terjadi dalam menggunakan bahasa kedua (B2), dan yang berinterferensi ke dalam bahasa kedua adalah bahasa pertama atau bahasa ibu (Chaer 2004: 120).
28
Sejalan dengan hal di atas, Nababan menyebut interferensi sebagai ”pengacauan”, sedangkan Hartman dan Stork tidak menyebut sebagai ”pengacauan” atau ”kekacauan” melainkan ”kekeliruan” yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa kedua. Interferensi dalam studi sosiolinguistik yang banyak dibicarakan adalah interferensi yang tampak dalam perubahan sistem suatu bahasa, baik mengenai sistem fonologi, morfologi, maupun sintaksis. Dalam bahasa Indonesia interferensi pada sistem fonologi dilakukan, misalnya, oleh para penutur bahasa Indonesia yang berasal dari Jawa selalu menambahkan bunyi nasal yang homorgan di depan kata-kata yang dimulai dengan konsonan /b/, /d/, /g/, dan /j/, misalnya pada kata [mBlora], [nDemak], [ngGresik], dan [nJember]. Interferferensi dalam bidang morfologis, antara lain, terdapat dalam pembentukan kata dengan afiks. Afiks-afiks suatu bahasa digunakan untuk membentuk kata dalam bahasa lain. Dalam bahasa Indonesia, misalnya penggunaan bentuk-bentuk kata seperti ketabrak, kejebak, kekecilan, dan kemahalan dalam bahasa Indonesia baku juga termasuk interferensi sebab imbuhan yang digunakan berasal dari bahasa Jawa, imbuhan –ke (ka) yang dalam bahasa Indonesia, ter-. Bentuk yang baku seharusnya tertabrak, terjebak, terlalu kecil, dan terlalu mahal. Di samping itu juga ada contoh lain, misalnya dalam kalimat berikut ini. (1) “Belajar kok ngingatkan terus itu lho!” (2) “Tapi kan nggak terus-terusan, Yah.”
29
Penggunaan bentuk-bentuk kata seperti ngingatkan dan terus-terusan dalam bahasa Indonesia juga termasuk interferensi sebab kata terus-terusan yang digunakan dalam kalimat tersebut berasal dari bahasa Jawa. Bentuk baku dalam bahasa Indonesia kata tersebut adalah terus-menerus. Begitu juga kata ngingatkan yang berasal dari bahasa Jawa, ngelingke, bentuk baku dalam bahasa Indonesia adalah mengingatkan. Jadi, dalam hal ini penutur menghilangkan prefiks –meng ketika berbicara. Dengan kata lain terjadi pelesapan pada imbuhan –meng. Dengan demikian dalam bahasa Indonesia baku kalimat tersebut seharusnya seperti berikut: (1) “(Waktu) belajar tidak perlu diingatkan!” (2) ”Tetapi tidak terus-menerus, Yah.” Interferensi dalam bidang sintaksis, misalnya kalimat bahasa Indonesia dari seorang bilingual Jawa – Indonesia dalam berbahasa Indonesia. Kalimat tersebut misalnya, ”Bagus-bagus, besok kalau terlambat gimana kamu?” Kalimat bahasa Indonesia di atas berstruktur bahasa Jawa, sebab berasal dari kalimat bahasa Jawa ragam ngoko, ”Apik-apik, sesuk nek telat piye kowe?” Dengan demikian dalam bahasa Indonesia baku, kalimat yang benar adalah, ”Bagus-bagus, bagaimana jika kamu terlambat?”
2.2.8
Ragam Bahasa Jawa Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa daerah yang hidup dan
dipakai oleh masyarakat suku Jawa yang berada di Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Menurut Wahab (1991: 57-58) ditinjau dari segi sosiolinguistik,
30
bahasa Jawa memiliki tiga stratifikasi pokok. Pertama adalah ngoko yang dipakai oleh setiap penutur bahasa Jawa. Ngoko terdiri atas ngoko lugu dan ngoko alus. Ngoko lugu biasanya dipakai mengenai diri sendiri, sedangkan ngoko alus itu pada dasarnya adalah campuran antara ngoko dengan krama inggil. Stratifikasi yang kedua adalah krama madya atau biasa dikenal madya saja. Madya ini biasanya dipergunakan bertutur kata dengan orang yang tingkat sosialnya rendah, tetapi usianya lebih tua dari penuturnya. Stratifikasi yang ketiga adalah krama sebagai tingkat tutur yang halus. Stratifikasi ini biasanya dipergunakan untuk menunjukkan rasa hormat kepada mitra tutur yang menurut perasaan penutur memiliki tingkatan sosial yang lebih tinggi. Chaer (1995: 52) mengemukakan variasi bahasa, dalam hal ini ragam bahasa yang penggunaannya didasarkan pada tingkat-tingkat sosial ini dikenal dalam bahasa Jawa dengan istilah undak usuk. Dengan adanya tingkat-tingkat bahasa yang disebut undak usuk ini penutur masyarakat tutur bahasa Jawa harus mengetahui lebih dahulu kedudukan tingkat sosial lawan bicaranya. Sehubungan dengan undak usuk ini bahasa Jawa terbagi dua, yaitu krama untuk tingkat tinggi dan ngoko untuk tingkat rendah. Namun, di antara keduanya masih terdapat tingkat-tingkat antara. Uhlenbeck (dalam Chaer 1995: 52-53) membagi tingkat variasi bahasa Jawa menjadi tiga, yaitu krama, madya, dan ngoko. Kemudian masing-masing
31
dirinci lagi menjadi mudha krama, kramantara, dan wredha krama, madya ngoko, madyantara, dan madya krama; ngoko sopan dan ngoko andhap. Clifford Geertz (dalam Chaer 1995: 53) membagi menjadi dua bagian pokok, yaitu krama dan ngoko. Krama dirinci menjadi krama inggil, krama biasa dan krama madya; sedangkan ngoko dirinci lagi menjadi ngoko madya, ngoko biasa, dan ngoko sae. Pada zaman sekarang yang sering dipakai oleh masyarakat dalam bergaul hanya ada empat macam, yaitu basa ngoko yang dibagi menjadi basa ngoko lugu dan basa ngoko alus (andhap), dan basa krama yang dibagi menjadi basa krama lugu dan basa krama inggil (Abikusno 1994: 28). Ekowardono (1993) mengelompokkan unggah ungguh menjadi dua, yaitu ngoko dan krama. Jika unggah ungguh ditambah krama inggil, unggah ungguh tersebut akan berubah menjadi krama alus. Tanpa pemunculan krama inggil, unggah ungguh itu hanya berupa ngoko lugu atau krama lugu. Unggah ungguh Bahasa Jawa menurut Sudaryanto (1989) atau Ekowardono (1993) dapat dilihat dalam bagan berikut ini.
Tingkat Tutur
Ngoko
Ngoko
Ngoko Alus
(Ngoko Lugu)
Krama
Krama (Krama Lugu)
Krama Alus
32
Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing ragam bahasa Jawa tersebut. a.
Ngoko Lugu Tingkat tutur kata ngoko lugu adalah tingkat tutur yang semua kosa
katanya berbentuk ngoko (Sasangka 1994: 46). Ciri-ciri dari basa ngoko ini adalah kata-katanya ngoko semua, awalan dan akhiran ngoko. Ragam ngoko ini digunakan oleh orang tua kepada anaknya, orang tua kepada orang muda, seorang guru kepada muridnya, orang yang berbicara kepada dirinya sendiri, anak kepada temannya, majikan kepada pembantunya (Abikusno 1994: 28-29).
b.
Ngoko Alus Tingkat tutur ini kosa katanya terdiri atas kata-kata ngoko, krama
inggil, krama andhap, dan krama (Sasangka 1994: 48). Krama inggil dan krama yang muncul pada tingkat tutur ini hanya digunakan untuk penghormatan kepada lawan bicara, sedangkan untuk diri sendiri digunakan bentuk ngoko dan krama andhap. Ciri-ciri dari basa ngoko alus ini adalah kata-katanya ngoko dan krama inggil, awalan dan akhiran tidak di-krama-kan, dan kata kowe menjadi sliramu atau panjenengan. Basa ngoko alus ini digunakan oleh orang tua kepada orang muda yang perlu dihormati, orang muda kepada orang tua yang lebih tua karena menghormati (Abikusno 1994: 29).
33
c
Krama Lugu Tingkat tutur krama lugu kosa katanya terdiri atas kata-kata krama,
madya, dan ngoko. Tingkat tutur ini adalah tingkat tutur yang kadar kehalusannya rendah, tetapi bila dibandingkan dengan tingkat tutur ngoko alus, tingkat tutur krama ini lebih halus (Sasangka 1994: 53). Ciri-ciri dari tingkat tutur krama lugu ini adalah kata-katanya krama semua, awalan dan akhiran di-krama-kan, kata aku menjadi kula, dan kata kowe menjadi sampeyan. Tingkat tutur krama lugu ini digunakan oleh sesama teman yang belum akrab, orang tua kepada orang muda yang belum akrab, dan orang yang baru dikenal (Abikusno 1994: 30).
d.
Krama Alus Tingkat tutur ini kosa katanya terdiri atas kata-kata krama, krama
inggil, dan krama andhap. Yang menjadi leksikon inti hanyalah yang berbentuk krama (Sasangka 1994: 56). Ciri-ciri dari tingkat tutur ini adalah kata-katanya krama dan krama inggil, awalan dan akhiran di-krama-kan, dan kata aku menjadi kula, kawula, dalem, dan kata kowe menjadi panjenengan. Tingkat tutur ini digunakan oleh murid kepada gurunya, anak kepada orang tuanya, orang muda kepada orang tua karena menghormati, bawahan kepada pimpinannya, dan pembantu kepada majikannya (Abikusno 1994: 30-31). Sejalan dengan Abikusno, Sudaryanto (1989: 103)
membagi tingkat
tutur menjadi empat yaitu (a) ngoko, (b) ngoko alus, (c) krama, dan (d) kra-ma
34
alus. Perbedaanya hanya terdapat pada ngoko lugu dan krama lugu, se-dangkan Sudaryanto menyebut ngoko dan krama saja. Jadi, pada prinsipnya bahasa Jawa memiliki sistem tatanan yang kita kenal dengan ngoko dan krama. Penggunaan bahasa Jawa, khususnya ragam krama dalam komunikasi dengan orang tua akan lebih santun dibandingkan dengan ragam ngoko. Oleh karena itu, ragam krama itu merupakan bentuk atau ragam alus yang ber-hubungan dengan pemakai kata-kata yang khusus untuk memperhalus tuturan itu. Hal ini merupakan ciri ketakziman, penghormatan, dan pengagungan dalam bahasa Jawa.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Pendekatan Penelitian Dalam penelitian ini digunakan dua pendekatan adalah pendekatan secara
teoritis dan pendekatan secara metodologis. Pendekatan secara teoritis menggunakan sosiolinguistik. Sosiolinguistik mengkaji tentang bahasa berkaitan dengan penggunaannya dalam masyarakat (Chaer 1995: 3). Pendekatan penelitian secara metodologis menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif. Metode kualitatif sebagai prosedur penelitian menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Badgon dan Taylor dalam Meloeng 2004: 4). Menurut Arikunto (1999: 245) data kualitatif digambarkan dengan kata-kata atau kalimat yang dipisahkan menurut kategori untuk memperoleh simpulan.
3.2
Lokasi Penelitian Penelitian ini berlokasi di Kabupaten Blora. Kabupaten Blora. terbagi
dalam 16 kecamatan yang terdiri atas 271 desa dan 24 kelurahan, mencakupi 941 dusun (BPS Kabupaten Blora Tahun 2005: 1 ). Kabupaten Blora terletak di Provinsi Jawa Tengah paling timur berbatasan dengan Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur di sebelah timur, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Grobogan dan berbatasan dengan Kabupaten Pati dan Kabupaten Rembang di sebelah utara.
35
36
Lokasi ini dipilih karena mempunyai karakteristik kebahasaan yang unik. Di lokasi ini masyarakatnya menggunakan bahasa yang bervariasi karena faktor sosial budaya, tingkat ekonomi, pekerjaan, status sosial, pendi-dikan, dan usia. Lokasi penelitian ditentukan pada enam titik pengamatan di pusat kota kabupaten (urban area) dan daerah pedesaan (rural area). Kota Blora (TP1) dan Cepu (TP2) sebagai titik pengamatan yang mewakili keluarga masyarakat perkotaan. Di daerah pedesaan diambil lokasi: Kecamatan Todanan (TP3) di wilayah barat, Kecamatan Doplang / Jati (TP4) di wilayah baratdaya, di wila-yah selatan, Kecamatan Randublatung (TP5), dan wilayah utara Kecamatan Tunjungan (TP6).
3.3
Data dan Sumber Data Data dalam penelitian ini mencakupi dua macam data, yaitu: (1) data
primer berupa penggalan percakapan atau bagian tutur lisan dari berbagai peristiwa tutur di dalam ranah keluarga muda Jawa, dan (2) data sekunder berupa informasi atau keterangan latar belakang sosial budaya dan situasional sebagai hasil pengamatan dan wawancara. Perolehan data tersebut ditulis dalam kartu data seperti tampak dalam contoh berikut ini.
37
Contoh Kartu Data Data C (no. 1) No. Data
Penutur
1 TP1 no.1
Nama : Bu Pujiati Umur : 38 tahun Pekerjaan : Tani Pendidikan : SMP
Ragam Bahasa yang Digunakan 1. Ngoko Lugu
KONTEKS : BU PUJIATI MENASIHATI ANAKNYA, RIZKI SEPTIANI UNTUK BELAJAR MALAM DI RUMAH Bu Pujiati Septiani Bu Pujiati
Septiani
: “Ayo, tv-ne dipateni dhisik !” : “Emoh, pileme apik!” : “Ayo, Riz sinau dhisik !” “Sesuk jadwale apa ?” “PR-em wis digarap rung ?” : “Ya, urung !” “Akehe emboh !”
Analisis: Dalam tuturan di atas ragam yang digunakan adalah ragam ngoko lugu karena semua kosa katanya ngoko semua, tidak ada yang krama. Di samping itu antara ibu dan anak terjadi hubungan yang sangat akrab. Hal ini sudah biasa dalam keluarga Bu Pujiati. Justru kalau anak menggunakan basa (krama) terasa asing dan tidak akrab, seperti dengan orang lain. Penggunaan ragam ini juga dipengaruhi latar belakang pekerjaannya sebagai keluarga petani yang cocok dengan ragam bahasa tersebut sebagai alat berkomunikasi sehari-hari dalam keluarga.
Sumber data penelitian ini diambil dari masyarakat tutur dalam ranah keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora. Keluarga yang dijadikan sumber data adalah ayah, ibu, dan anak. Informan diambil secara perwakilan dari ke-luarga muda Jawa yang tinggal di Kabupaten Blora, yaitu yang bertempat tinggal di pusat kota dan pedesaan yang memenuhi persyaratan penelitian.
38
Adapun kriteria informan yang dipilih adalah sebagai berikut: (1) lakilaki atau perempuan, (2) berusia antara 22-49 tahun dan memiliki anak, (3) lahir dan besar di daerah setempat, (4) bisa berbahasa Jawa, (5) sehat jasmani dan rohani. Selain itu informan yang dipilih untuk perwakilan tiap-tiap titik pengamatan didasarkan pada latar belakang pekerjaan yang meliputi petani, pedagang, swasta, tukang, maupun pegawai (negeri).
3.4
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini mencakupi: (1) teknik
wawancara, (2) teknik rekam, dan (3) teknik observasi. Penggunaan ketiga teknik tersebut dimaksudkan untuk memudahkan memperoleh data lengkap sesuai dengan tuturan yang dipakai keluarga muda.
3.4.1
Teknik Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Kegiatan ini
bertujuan untuk mengetahui latar belakang penggunaan bahasa sebagai alat berkomunikasi dengan anak dalam ranah keluarga muda Jawa. Instrumen dalam wawancara ini berupa daftar pertanyaan wawancara yang terdiri atas daftar pertanyaan berkaitan dengan identitas informan dan daftar pertanyaan yang berkaitan dengan penggunaan bahasa Jawa dalam ranah keluarga muda Jawa. Daftar pertanyaan ini menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indo-nesia. Digunakan pertanyaan bahasa Indonesia jika informannya pegawai atau swasta yang dipandang fasih berbahasa Indonesia. Sebaliknya, digunakan pertanyaan
39
bahasa Jawa jika ingin menghilangkan kesan formal agar tidak tampak kaku dan untuk menjalin keakraban dengan informan. Wawancara dilakukan secara bertatap muka langsung dengan infor-man. Peneliti mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan peng-gunaan bahasa untuk berkomunikasi dengan anak dalam keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora.Untuk memudahkan pelaksanaan wawancara, peneliti di-bantu oleh informan pembantu yang juga penduduk setempat.
3.4.2
Teknik Rekam Teknik rekam digunakan untuk melengkapi teknik observasi dan teknik
wawancara. Perekaman dilakukan dengan alat bantu tape recorder. Perekaman diatur peneliti sehingga perekaman tidak diketahui informan. Hal ini dimaksudkan agar tidak mempengaruhi kewajaran tuturan informan. Dari hasil rekaman peneliti dapat memutar ulang dan mencatatnya. Hasil rekaman kemudian disalin dalam tulisan latin (Sudaryanto 1993:135).
3.4.3 Teknik Observasi Teknik observasi digunakan untuk mengamati tuturan keluarga muda di lokasi penelitian. Pengamatan itu dilengkapi dengan panduan pengamatan sebagai instrumen penelitian yang selanjutnya dimasukkan dalam kartu data (Arikunto 1996: 234). Adapun contoh panduan pengamatan tersebut adalah sebagai berikut.
40
Contoh Panduan Pengamatan: No
3.5
Nama
Usia
Bahasa yang Digunakan
Keterangan
Teknik Pengolahan Data Setelah data penelitian terkumpul, dilakukan verifikasi data untuk
memperoleh keabsahan data. Verifikasi dilakukan dengan mengadakan trianggulasi yaitu memeriksa kebenaran data yang diperoleh kepada fihak-fihak lain yang dapat dipercaya (Usman 2003: 88). Dalam hal ini data tuturan di-cros check dengan hasil wawancara dan bila terdapat perbedaan data, dikonfirmasi ulang dengan informan pembantu atau teman sejawat. Selanjutnya dilakukan analisis data.
3.6
Teknik Analisis Data Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah teknik pilah. Teknik ini
dilakukan dengan memilahkan tuturan penggunaan bahasa sebagai alat
41
komunikasi oleh pemakai bahasa beserta sebab-sebab yang melatarbelakangi penggunaan bahasa itu (Sudaryanto 1993: 33). Langkah-langkah dalam analisis data dalam penelitian ini adalah: (1) memilah data berdasarkan ragam bahasa, (2) memilah data berdasarkan karakteristik penggunaan bahasa di Blora, (3) menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi penggunaan bahasa. Selanjutnya dilakukan interpretasi dengan (1) diskusi, (2) pengecekan ulang, dan (3) konsultasi baik dengan dosen pembimbing, pakar yang terkait dan teman sejawat.
3.7
Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode
informal yaitu dengan cara merumuskan hasil penelitian dengan kata-kata biasa (Sudaryanto 1993:145-146). Penyajian hasil analisis berisi paparan hasil penelitian dengan ejaan bahasa Jawa yang disempurnakan yang mencakupi: (1) ragam bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan anak dalam ranah keluarga muda Jawa, (2) karakteristik penggunaan bahasa dalam ranah keluarga muda Jawa, dan (3) faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa dalam ranah keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora.
42
BAB IV RAGAM BAHASA DALAM RANAH KELUARGA MUDA JAWA DI BLORA
Masyarakat di Kabupaten Blora adalah masyarakat bilingual yang umumnya menguasai bahasa Jawa sebagai bahasa pertama dan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Ada pula yang multilingual yaitu mereka yang bisa berbahasa Arab karena telah cukup belajar di pesantren, dan jumlah mereka tidak banyak. Akan tetapi masih ada pula yang ekabahasawan yang hanya menguasai bahasa Jawa. Mereka pada umumnya adalah orang-orang tua yang tidak sempat menempuh pendidikan formal. Dengan kecepatan mobilisasi dan informasi sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan ekonomi, diduga ada perubahan pemerolehan bahasa ibu terutama pada kalangan keluarga muda. Bertalian dengan keadaan tersebut, penelitian ini berusaha mendeskripsi penggunaan bahasa dalam ranah keluarga muda di Kabupaten Blora. Selengkapnya bab IV ini mencakupi (1) deskripsi penggunaan ragam bahasa dalam ranah keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora, dan (2) identifikasi karakteristik bahasa yang digunakan dalam ranah keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora.
4.1
Ragam Bahasa yang Digunakan Pemerian hasil penelitian ini adalah hasil analisis yang berupa variasi
ragam bahasa yang digunakan dalam ranah keluarga muda Jawa di Kabupaten
43
44
Blora. Temuan variasi ragam bahasa tersebut diklasifikasikan menjadi dua bagian yakni (1) ragam bahasa Jawa dan (2) ragam bahasa Indonesia
4.1.1
Bahasa Jawa Berdasarkan pengamatan terhadap sejumlah peristiwa tutur yang terjadi
dalam ranah keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora yang mencakupi enam TP tampak penggunaan bahasa Jawa sangat dominan. Hal itu disebab-kan oleh kenyataan situasi kebahasaan di Kabupaten Blora dengan penutur bJ lebih dominan dibandingkan dengan penutur yang menggunakan bahasa lain-nya. Sebagai penutur asli bJ, penggunaan bJ sebagai sarana berkomunikasi dalam ranah keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora dipandang menunjukkan lambang identitas sosial. Sistem kemasyarakatan pada masyarakat pedesaan di Kabupaten Blora yang umumnya hidup sebagai petani berkelompok dengan keluarga dekat secara turun-temurun turut mendukung penggunaan bJ dalam interaksi sosial. Bahasa Jawa digunakan untuk berkomunikasi orang tua dengan anak dalam ranah keluarga muda Jawa di Blora. Bahasa tersebut sebagai sarana komunikasi untuk mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari di dalam ke-luarga. Orang tua mendidik anak berkaitan dengan adab sopan santun, baik sesama anggota keluarga maupun dengan orang di luar keluarga. Ragam baha-sa Jawa yang digunakan dalam keluarga mencakupi (1) ngoko lugu, (2) ngoko alus, (3) krama lugu tak baku, dan (4) krama alus tak baku. Secara rinci ragam bahasa tersebut diuraikan sebagai berikut.’
45
4.1.1.1 Ragam Ngoko Lugu Ragam bahasa Jawa yang berwujud ragam ngoko lugu digunakan di seluruh TP dalam ranah keluarga muda Jawa di Blora dengan sebaran tingkat pendidikan SD hingga sarjana. Hal tersebut dapat dilihat pada tuturan dengan ragam ngoko lugu, di antaranya seperti yang dituturkan oleh keluarga muda petani yang berpendidikan SD dan SMP berikut ini. (1) PENUTUR
: PAK SUPARJO, 40 TAHUN, TANI, SD (TP3)
KONTEKS
: PAK SUPARJO (PETANI) MENYURUH EKO (ANAKNYA) BANGUN PAGI DAN SEGERA MANDI UNTUK BERANGKAT KE SEKOLAH
Pak Suparjo
: “Le, tangi-tangi ndang salat!” ‘Nak, bangun-bangun cepat salat’ : “Kosik, Pak.” ‘Nanti, Pak.’ : “Ndang sekolah!” ‘Cepat sekolah!’ : “Kosik-kosik.” ‘Nanti-nanti.’ : “Thik rung tangi, leh!” ‘Belum bangun juga!’ : “Sik anyepe emboh.” ‘Masih dingin sekali.’ : “Sarungem gek ndang dicopot nek bar salat!” ‘Segera lepaslah sarungmu selesai salat!’ : “Kanyepen, Pak.” ‘Kedinginan, Pak.’ : “Thik ngono leh, malah njongok. Ra ndang adus!” ‘Jangan jongkok begitu. Tidak segera mandi!’ : “Jam pira, Pak?” ‘Jam berapa, Pak?’ : “Sengengene wis dhuwur kae, setengah pitu!” ‘Matahari telah tinggi, (jam) setengah tujuh!’ : “Mbodhoni, Pake.” ‘Bapak bohong.’ : “Deloken dhewe jame. Telat emboh kowe!” ‘Lihatlah jamnya. Jika terlambat rasakan sendiri!’
Eko Pak Suparjo Eko Pak Suparjo Eko Pak Suparjo Eko Pak Suparjo Eko Pak Suparjo Eko Pak Suparjo
(Data B, TP3 no. 1)
46
Tuturan (1) di atas terjadi pada situasi santai dan akrab dalam ranah keluarga muda Jawa petani berpendidikan SD dengan topik bangun pagi. Peserta tutur yang terlibat dalam peristiwa tutur tersebut memiliki hubungan peran akrab antara bapak dan anak sebagai anggota keluarga. Dalam peristiwa tutur tersebut tampak hubungan peran akrab seorang bapak dengan anak dalam mendidik anak untuk membiasakan bangun pagi, salat, mandi, dan ke sekolah. Hubungan akrab ini tampak ketika seorang bapak membangunkan anaknya (Eko) yang sudah kelas IX SMP untuk salat, mandi, dan sekolah. Hal ini menunjukkan kepedulian dan kasih sayang bapak kepada anaknya. Bahasa Jawa ragam ngoko lugu dipilih oleh peserta tutur dalam peristiwa tutur tersebut. Penggunaan leksikon seperti thik, leh, sarungem ‘sa-rungmu’, njongok ‘jongkok’, mbodhoni ‘menipu’, dan emboh ‘entah/terserah’ menunjukkan bahwa bJ dialek Blora dengan tingkat tutur ngoko lugu digu-nakan dalam peristiwa tutur tersebut. Salah satu ciri ragam ngoko lugu di antaranya menggunakan kosakata ngoko semua, tidak ada yang krama atau krama inggil. Hal ini dapat terlihat dalam tuturan Pak Suparjo, “Le, tangi-tangi ndang salat!” ‘Nak, bangun-bangun cepat salat!’ Anaknya pun menjawab dengan bJN, “Ko sik, Pak” ‘Nanti dulu, Pak.’ Penggunaan ragam bJN ini disebabkan hubungan antara bapak dan anak dalam keluarga sangat akrab sehingga lebih terasa santai bila menggunakan ngoko lugu/tidak basa.
47
(2) PENUTUR
: BU PUJIATI, 38 TAHUN, TANI, SMP (TP 1)
KONTEKS
: PERCAKAPAN ANTARA BU PUJIATI (PETANI) YANG MENASIHATI ANAKNYA, RIZKI SEPTIANI UNTUK BELAJAR DI RUMAH
Bu Pujiati
: “Rizki, sinau!” ‘Rizki, belajar!’ : “Ko sik, ah.” ‘Nanti dulu, ah.’ : “Ayo, tv-ne dipateni dhisik!” ‘Ayo, tv-nya dimatikan dulu!’ : “Emoh, fileme apik.” ‘Tidak mau, filemnya bagus.’ : “Ayo, Riz, sinau dhisik!” Sesuk jadwale apa ?” “PR-em wis digarap rung ?” ‘Ayo, Riz, belajar dulu!’ Jadwal besok apa?’ ‘PR sudah dikerjakan, belum?’ : “Ya, urung. Akehe emboh.” ‘Belum. Banyak sekali.’ : “Bukunem gawa rene ! Endi PR-em?” ‘Bukumu bawa sini! Mana PR-mu?’ : “Ki lo Bu, matematika.” ‘Ini Bu, matematika.’ : “Ya, gek digarap. Nek ra isa engko takwarahi ibu!” ‘Ya, cepat kerjakan. Kalau tidak bisa nanti ibu ajari!’ : “Ya, ya.” ‘Ya, ya.’ (Data B, TP 1 no. 1)
Septiani Bu Pujiati Septiani Bu Pujiati
Septiani Bu Pujiati Septiani Bu Pujiati Septiani
Dalam tuturan (2) di atas ragam yang digunakan adalah ragam ngoko lugu karena semua kosakatanya ngoko lugu seperti dhisik, apik, sesuk, urung, akehe, gawa, isa, engko, atau ya. Ragam ini digunakan karena adanya hu-bungan yang sangat akrab antara ibu dan anak. Hal ini sudah biasa dalam keluarga Bu Pujiati yang berpendidikan SMP. Justru kalau berkomunikasi dengan anak menggunakan basa (krama) terasa asing dan tidak akrab, seperti dengan orang lain. Ragam ngoko lugu yang ditandai semua kosa katanya ngoko, tidak krama atau krama inggil dianggap paling mudah dipahami se-hingga selalu digunakan
48
setiap waktu di dalam keluarga. Bu Pujiati ketika berkomunikasi dengan anak dengan pokok tutur belajar, makan, mau tidur, bangun pagi, berangkat sekolah, minta uang jajan, dan berpamitan sekolah selalu menggunakan ragam ngoko lugu. Penggunaan ragam ini juga dipe-ngaruhi latar belakang pekerjaannya sebagai keluarga petani yang cocok de-ngan ragam bahasa tersebut sebagai alat berkomunikasi sehari-hari dalam keluarga. (3) PENUTUR
: PAK KUSLAN, 45 TAHUN, TANI, SMP (TP 4)
KONTEKS
: FIANA TRIA DISURUH TIDUR BAPAKNYA SETELAH BELAJAR MALAM.
Pak Kuslan
: “Ndhuk, yen wis bar ndang turu!” ‘Nak, bila sudah selesai cepat tidur!’ : “Ya, nonton tv sik.” ‘Ya, lihat tv dulu.’ : “Ndang ta.” ‘Cepatlah.’ : ” Sedhilit, leh.” ‘Sebentar.’ : “Kok ngono leh kon turu.” ‘Begitukah disuruh tidur.’ : ”Rung ngantuk.” ‘Belum mengantuk.’
Fiana Tria Pak Kuslan Fiana Tria Pak Kusnan Fiana Tria
(Data C, TP 4 no.2) Dalam tuturan (3) di atas ragam yang digunakan Pak Kuslan maupun Fiana adalah ragam ngoko lugu dengan kosa kata ngoko semua yang sudah umum seperti pada kata turu. Pak Kuslan memilih kata tersebut dengan alasan anaknya sudah bukan lagi bayi atau kanak-kanak yang biasanya dengan kosa kata khusus seperti bubuk, mimik, atau pakpung. Di samping itu, antara Pak Kuslan dan anaknya terjadi hubungan yang sangat akrab sehingga lebih cocok dengan ngoko lugu. Penggunaan ragam ini sudah biasa dalam keluarga Pak Kuslan yang bekerja
49
sebagai petani berpendidikan SMP. Justru kalau anak menggunakan basa (krama) terasa aneh, dianggap tidak biasa sehingga terasa ada jarak antara anak dengan orang tua. Ragam ngoko lugu dianggap paling cocok untuk keluarganya. Ragam tersebut digunakan pada setiap kesempatan baik saat santai atau melakukan aktivitas sehari-hari dalam mendidik anaknya berkaitan dengan waktu belajar, mandi, makan, tidur malam, bangun pagi, berangkat sekolah, maupun minta uang. (4) PENUTUR
: BU PURWANINGSIH, 33 TAHUN, TANI, SD (TP 5)
KONTEKS
: BU PURWANINGSIH (PETANI) MENYURUH USWATUN KHASANAH (ANAKNYA) MANDI SORE HARI.
Bu Purwaningsih : “Us, adhine ndang dijak pakpung!” ‘Us, adik segera diajak mandi!’ Uswatun : “Sik ah.” ‘Nanti.’ Bu Purwaningsih : “Ndang gage. Kon pakpung kok sak -sik!” ‘Cepat. Disuruh mandi nanti-nanti dulu!’ Uswatun : “Sik awan.” ‘Masih siang.’ Bu Purwaningsih : “Ndang gage ah, wis sore ngono kok!” ‘Cepat, sudah sore!’ Uswatun : “Ya ya, Bu.” ‘Ya ya, Bu.’ (Data C, TP 5 no. 2) Dalam tuturan (4) di atas ragam yang digunakan ngoko lugu dengan topik mandi sore. Semua kosa kata yang digunakan ngoko, tidak krama atau krama inggil seperti kata adhine, pakpung, sik, awan, atau sore. Bu Purwa-ningsih dengan anaknya
terjalin hubungan yang sangat akrab sehingga peng-gunaan
bahasa ragam ini dalam keluarga sudah menjadi kebiasaan. Justru kalau anak menggunakan basa (krama) terasa asing dan tidak akrab, seperti dengan orang lain. Bu Purwaningsih mengakui bahwa bahasa tersebut yang lebih ia kuasai. Ia
50
pun menyadari kedudukannya yang hanya seorang petani desa dan tamatan SD sehingga bahasa ngokolah yang dianggap paling cocok untuk keluarganya. Ragam ini digunakan dalam setiap kesempatan, baik ketika santai maupun saat mendidik anak dalam hal belajar, makan, mandi, tidur, minta uang, bangun pagi, maupun berpamitan ke sekolah. (5) PENUTUR
: BU PURWATI, 29 TAHUN, TANI, SD (TP 2)
KONTEKS
: IBU PURWATI MEMBANGUNKAN WIDIA ARINTA SEGERA MANDI DAN BERANGKAT SEKOLAH.
Bu Purwati
: “Ndhuk, ndang tangi, ndang sekolah!” ’Nak, segera bangun, segera ke sekolah!’ : “Engko.” ‘Nanti.’ : “Lho, wis jam nem iki. Ayo, gek tangi!” ’Lho, sudah jam enam ini. Ayo, cepat bangun!’ : “Kosik ah, sik ngantuk!” ’Nanti dulu, masih (me)ngantuk!’ : “Ndang, mbak-aem wis bar adus kae!” ‘Cepat, itu kakakmu sudah selesai mandi!’ : “Ibu ki, aja dioyog-oyog, leh!” ‘Ibu ini, jangan diguncang-guncanglah!’
Widia Bu Purwati Widia Purwati Widia
(Data C, TP 2 no. 1) Dalam tuturan (5) di atas ragam yang digunakan Bu Purwati dan Widia adalah ragam ngoko lugu karena semua kosa katanya ngoko, tidak ada yang krama. Di samping itu antara ibu dan anak terjadi hubungan yang sangat akrab. Tuturan tersebut terjadi pagi hari dengan topik bangun pagi. Bu Purwati menyadari statusnya yang hanya seorang petani berpendidikan rendah (SD) dan hidup sederhana. Hal inilah yang menyebabkan keluarga Bu Purwati lebih senang menggunakan ragam ngoko lugu. Bahasa Jawa ngoko lugu inilah yang dianggap
51
paling cocok untuk keluarganya. Di samping sudah menjadi kebiasaan, ragam ngoko lugu juga mudah dipahami.
(6) PENUTUR
: BU LASTRI, 30 TAHUN, TANI, SD (TP 6)
KONTEKS
: BU LASTRI MENYURUH MARFUAH MANDI SORE HARI.
Bu Lastri
: “Ndhuk, ndang adus!” ’Nak, cepat mandi!’ : “Sik ah.” ’Nanti ah.’ : “ Kon adus ra gelem, meh lah apa!” ’Disuruh mandi tidak mau, mau apa!’ : “Alah-alah, sik awan.” ’Masih siang.’ : “Awan piye, leh. Ndang adus kana, wis sore!” ’Siang bagaimana. Cepat mandi sana, sudah sore!’ : “Iya-iya.” ’Iya-iya.’ (Data C, TP 6 no.6)
Marfuah Bu Lastri Marfuah Bu Lastri Marfuah
Dalam tuturan (6) di atas ragam yang digunakan Bu Lastri dan Mar-fuah adalah ngoko lugu karena antara ibu dan anak terjadi hubungan yang sangat akrab. Tuturan tersebut terjadi pada sore hari dengan topik mandi sore. Kata yang digunakan pun sifatnya umum, biasa dipakai oleh kebanyakan orang seperti adus, bukan pakpung yang tidak tepat bila digunakan untuk anak seusia Siti Marfuah. Hal ini jelas bahwa penggunaan kata ngoko lugu juga dipengaruhi oleh umur pemakainya. Siti pun menanggapi perintah ibunya dengan kata sik ah atau alahalah sik awan dengan maksud untuk meminta penangguhan waktu. Tuturan dengan ragam ngoko lugu juga digunakan oleh keluarga muda yang mempunyai latar belakang pekerjaan selain petani, misalnya ibu rumah
52
tangga (swasta), guru, perangkat desa, atau tukang. Hal itu dapat dilihat dalam tuturan Bu Sukarti, Bu Siti Rohimah, Pak Dudung, dan Elsanda berikut ini. (7) PENUTUR
: BU SUKARTI, 39 TAHUN, SWASTA, SD (TP1)
KONTEKS
: BU SUKARTI (SWASTA) MENYURUH ANGGUN PATMARINI SEGERA TIDUR SETELAH BELAJAR MALAM.
Bu Sukarti
: “Ayo, ndang dha bubuk wis wengi, wis jam sanga!” ‘Ayo, segera tidur sudah malam jam sembilan!’ : ”Sik, Bu tipine sik apik.” ’Sebentar, Bu tivinya bagus.’ : “Ndang ta, ndang bubuk ndhak kerinan nek sekolah!” ’Cepatlah, cepat tidur bisa kesiangan ke sekolahnya!’ : “Ya ya.” ’Ya ya.’ (Data C, TP 1 no. 25)
Anggun Bu Sukarti Anggun
Tuturan (7) di atas digunakan oleh Bu Sukarti dan Anggun pada ma-lam hari dengan topik tidur malam. Hal itu menunjukkan peran penting se-orang ibu dalam mendidik anak agar disiplin waktu. Bu Sukarti, seorang ibu rumah tangga (swasta) menyuruh tidur malam anaknya dengan ragam ngoko lugu karena kata yang digunakan ngoko semua, tidak ada yang krama atau krama inggil. Di samping itu antara ibu dan anak terjadi hubungan yang sangat akrab. Penggunaan ragam tersebut sudah biasa dalam keluarga Bu Sukarti. Justru kalau ibu dan anak menggunakan basa (krama) terasa aneh, tidak sesuai dengan keadaan ekonomi keluarga yang tergolong pas-pasan dan status sosial sebagai wong cilik. (8) PENUTUR
: BU SITI ROHIMAH, 36 TAHUN, GURU, D2 (TP 3).
KONTEKS
: BU SITI ROHIMAH (GURU) SAMBIL MENIDURKAN ANAKNYA YANG BUNGSU MENYURUH ANAKNYA (IMAM SAFII) BELAJAR.
Bu Siti
: “Mas Imam, ayo dha sinau kono!” “Mas Imam, ayo belajar sana!’
53
Imam Bu Siti Imam Bu Siti Imam Bu siti Imam Bu Siti
: “Ngko sik.” ’Nanti dulu.’ : “Thik ngono leh!” ’Begitukah!’ : “Emoh sinau dhewe.” ’Nggak mau belajar sendirian.’ : “Ngko takkancani, Ibu, Le!” ’Nanti ibu temani!’ : “Emoh ya emoh!” ’Nggak mau ya nggak mau!’ : “Engko sik ga, Le, Ibu nembe ngeloni adhik!” ’Nanti dulu, Nak. Ibu sedang menidurkan adik!’ : “Emoh sinau dolenan ae, ben!” ’Nggak mau belajar bermain aja, biar!’ : “Lae, bocah kok mbelere ngene!” ’Beginilah nakalnya anak(ku)!’ (Data C, TP 3 no. 9)
Dalam tuturan (8) di atas ragam yang digunakan adalah ragam ngoko lugu pada malam hari dengan topik belajar. Semua kata yang digunakan ngoko, tidak krama, atau krama inggil. Di samping itu antara ibu dan anak terjadi hubungan yang sangat akrab. Bu Siti Rohimah yang bekerja sebagai guru menyadari perannya mendidik anak yang juga harus lebih dekat dengan anakanaknya. Hal inilah yang menyebabkan keluarga Bu Siti Rohimah lebih senang menggunakan ragam ngoko lugu. Ragam ini dianggap paling mudah untuk sarana menanamkan/mendidik budi pekerti kepada anak-anaknya. (9) PENUTUR
: PAK DUDUNG TURYANTO, 41 TAHUN, SEKDES, SARJANA (TP 4)
KONTEKS
: PAK DUDUNG TURYANTO (PERANGKAT DESA/SEKDES) MENYURUH ANAKNYA (DIAH SYAFIRA RANTI) MANDI SORE HARI.
Pak Dudung
: “Yo, Ndhuk pakpung!” ’Yo, Nak mandi!’ : “Engko sik ah.” ’Nanti dulu ah.’
Diah
54
Pak Dudung Diah Pak Dudung Diah
: “Ayo, ah!” ’Ayo, ah!’ : “Sik awan.” ’Masih siang.’ : “Lha, wis sore.” ‘Lha, sudah sore.’ : “Sik dolanan.” ’Masih bermain.’ (Data C, TP 4 no. 20)
Tuturan (9) di atas menunjukkan penggunaan ragam ngoko lugu oleh Pak Dudung maupun Diah pada sore hari dengan topik mandi sore. Ragam tersebut dipilih karena antara bapak dan anak terjadi hubungan yang sangat akrab sehingga kata-kata yang digunakan ngoko semua seperti kata pakpung ’mandi’, engko ’nanti’, sik ’sebentar’, awan ’siang’, wis ’sudah’, dan sore. Sudah menjadi kebiasaan penggunan ragam ngoko lugu untuk berkomunikasi dalam keluarga Pak Dudung Turyanto. Hal ini karena pengaruh lingkungan sekitar yang pada umumnya menggunakan ragam ngoko lugu. Walaupun ia berpendidikan tinggi (sarjana) namun karena pengaruh lingkungan, ia merasa lebih wajar ketika menggunakan ngoko lugu. (10) PENUTUR : ELSANDA DIKA ALFIAN, 15 TAHUN, PELAJAR, SMEA KONTEKS
: PAK EKO DIDIK WALUYO MENGINGATKAN ANAKNYA, ELSANDA UNTUK TIDAK SERING KELUAR MALAM/SEGERA TIDUR.
Pak Didik
: “Ape lah apa, Le?” ’Mau apa, Nak?’ : “Nggone kancaku.” ’Ke tempat temanku.’ : “Wis wengi.” ’Sudah malam.’ : “Sedhilit ae.” ’Sebentar saja.’
Elsanda Pak Didik Elsanda
55
Pak Didik Elsanda Pak Didik Elsanda
: “Wis wengi, gek turu ora kene ngluyur!” ’Sudah malam, cepat tidur tidak boleh pergi!’ : “Sedhilit ae gak oleh.” ’Sebentar saja tidak boleh.’ : “Turu ben ngesuk ora kerinan!” ’Tidur biar besok tidak kesiangan!’ : “Iya-iya.” ’Iya-iya.’ (Data C, TP 5 no.12)
Dalam tuturan (10) di atas tampak hubungan yang sangat akrab antara Elsanda dengan bapaknya sehingga untuk menanggapi perintah bapaknya ia menggunakan ragam ngoko lugu dengan kata sedhilit. Hal ini dimaksudkan agar bapaknya memberi waktu untuk tidak tidur saat itu. Elsanda sudah terbiasa tidak basa (ngoko) dengan ayah dan ibunya. Ketika ia masih kecil kedua orang tuanya juga mengajarkan basa (krama) pada kata-kata tertentu seperti enggih, boten, dereng dan sebagainya. Akan tetapi, semakin besar justru tidak mau basa. Karena tidak biasa inilah yang menyebabkan merasa malu bila ia harus basa dengan orang tuanya.
4.1.1.2 Ragam Ngoko Alus (Tak Baku) Penggunaan ragam ngoko alus tak baku dalam ranah keluarga muda di Blora ditemukan di semua TP dengan karakteristik orang tua berpendidikan sekurang-kurangnya SMP. Tidak ditemukan data penggunaan ngoko alus pada penutur dengan pendidikan SD. Transkrip tuturan yang menggunakan bahasa Jawa ngoko alus di antaranya adalah sebagai berikut. (11) PENUTUR : PAK TRIMO, 37 TAHUN, GURU, SARJANA (TP 1). KONTEKS
: PAK TRIMO (GURU) BARU PULANG DARI SEKOLAH. IA MENYURUH ANAKNYA, ANUNG PRA-
56
MUDITA UNTUK MENGAMBILKAN TAS DI SEPEDA MOTORNYA. Pak Trimo Anung Pak Trimo
Anung Pak Trimo
: “Nung, pundhutna tas neng motor! Bapak wis rawuh!” ’Nung, ambilkan tas di motor! Bapak sudah datang.’ : “Sik- sik ah.” ’Nanti-nanti ah.’ : “Kok sik-sik. Diutus bapak kok ngono leh? Anung lagi lah apa, leh?” ’Nanti-nanti. Disuruh bapak begitu? Anung sedang apa?’ : “Dolanan ki le, karo adhik.” ’Bermain dengan adik ini.’ : “Ndang, selak didhisiki adhik ngko!” ’Cepat, keburu didahului adik nanti!’ (Data C, TP 1 no.35)
Dalam tuturan (11) di atas Pak Trimo menggunakan ragam ngoko alus, terdapat campur kode bJN dengan bJKi. Dasar bahasa yang digunakan dalam tuturan tersebut bJN. Namun, penutur memasukkan kode bJKi yang berupa pundhutna, rawuh, dan diutus. Alasan penutur melakukan campur kode adalah untuk mendidik anaknya menghormati orang tua. Penggunaan kode bJKi pundhutna, rawuh, dan diutus biasa dilakukan orang tua untuk lebih menghormati dibandingkan dengan kode bJN yang berupa jupukna, teka, dan dikongkon yang tepat dilakukan oleh anak atau sesama yang sederajat dan sudah sangat akrab. Di samping itu, penggunaan ngoko alus ini juga dipengaruhi oleh latar belakang pendididikannya yang sarjana dan pekerjaannya sebagai pendidik yang setiap waktu dituntut menanamkan nilai budi pekerti kepada anak didiknya. Begitu juga di dalam lingkungan keluarga, ia juga melatih anaknya lebih dini untuk menggunakan kata krama inggil kepada yang harus dihormati, orang tua misalnya.
57
Tuturan dengan ragam ngoko alus juga terdapat pada keluarga Bu Marcicik yang bekerja sebagai pegawai tata usaha tampak seperti berikut ini. (12) PENUTUR : BU MARCICIK, 37 TAHUN, TU, SMA (TP 2). KONTEKS
: BU MARCICIK MENGAJAK NUROSI SEGERA MAKAN MALAM BERSAMANYA KARENA PAK NGADI BELUM PULANG KERJA
Bu Marcicik
: “Osi, ayo gek maem!” ‘Osi, ayo cepat makan!’ : “Ngko sik, nunggu Bapak” ‘Nanti dulu, menunggu Bapak.’ : “Bapak nggak usah ditunggu, kondure bengi!” ‘Bapak tak usah ditunggu, pulang malam!’ : “Bapak lah apa, leh?” ‘Bapak sedang apa?’ : “Nglembur ing kantor.” ‘Kerja lembur di kantor.’ : “Bapak ora dhahar?” ‘Bapak tidak makan?’ (Data C, TP 2 no.13)
Nurosi Bu Marcicik Nurosi Bu Marcicik Nurosi
Dalam tuturan (12) di atas Bu Marcicik dan Nurosi menggunakan ragam ngoko alus, terdapat campur kode bJN dengan bJKi. Dasar bahasa yang digunakan dalam tuturan tersebut bJN. Namun, penutur memasukkan kode bJKi yang berupa kondure pada tuturan Bu Marcicik dan dhahar pada Nurosi. Penggunaan kode bJKi
kondure dan dhahar yang biasa dilakukan orang tua dipandang lebih
menghormati dibandingkan dengan kode bJN mulihe dan mangan yang hanya tepat dilakukan oleh anak atau sesama teman yang sudah sangat akrab. (13) PENUTUR : BU SARIATUN, 39 TAHUN, GURU, SARJANA (TP 2). KONTEKS
: BU SARIATUN SEBELUM BERANGKAT PENGAJIAN BERPESAN KEPADA RIZQIYA AGAR TETAP DI RUMAH TIDAK BOLEH KE MANA-MANA.
Rizqiya
: “Bapak kondure jam pira?”
58
‘Bapak pulang jam berapa?’ : “Sore, jam limanan.” ‘Sore jam limaan.’ Rizqiya : “Nek enten tamu, pripun?” ’Kalau ada tamu, bagaimana?’ Bu Sariatun : “Matur nek Bapak Ibu tindak!” ’Katakan kalau Bapak Ibu pergi!’ Rizqiya : “Enggih. Aja suwe-suwe, Bu kondure!” ’Iya. Ibu jangan lama-lama pulang!’ Bu Sariatun : “Boten-boten. Tenan, lho ora pareng marik-marik!” ’Tidak-tidak. Sungguh, lho tidak boleh ke mana-mana!’ Rizqiya : “Enggih-enggih.” ‘Iya-iya. (Data C, TP 2 no.18)
Bu Sariatun
Dalam tuturan (13) di atas Rizqiya dan Bu Sariatun menggunakan ragam ngoko alus tak baku, terdapat campur kode bJN dengan bJKi. Dasar bahasa yang digunakan dalam tuturan tersebut bJN. Namun, penutur memasukkan kode bJKi yang berupa kondure, matur, tindak, dan pareng. Penggunaan kode bJKi kondure, matur, tindak, dan pareng dipandang lebih menghormati diban-dingkan dengan kode bJN yang berupa mulihe, omong, lunga, dan oleh/entuk yang hanya cocok untuk sesama teman yang sudah sangat akrab. Di samping itu Rizqiya juga menyisipkan kode bJK kata enggih dan beralih kode bJK, Nek enten tamu, pripun? ’Kalau ada tamu, bagaimana?’ Bu Sariatun juga menyi-sipkan kode bJK boten-boten ’tidak-tidak.’ Jadi, ragam ini termasuk ngoko alus tak baku atau juga dapat digolongkan dalam campur kode bJK atau alih kode bJK. Dengan alasan yang sama yaitu menanamkan sikap hormat kepada orang yang dihormati, para orang tua melakukan campur kode bJN dengan bJKi yang merupakan ragam ngoko alus antara lain juga tampak dalam tuturan berikut ini.
59
(14) PENUTUR : PAK IMAM SABARI, 30 TAHUN, PEDAGANG, SMA (TP3). KONTEKS
: PAK IMAM TIDAK MEMBERI UANG KEPADA WAHYU KETIKA IA BARU PULANG SEKOLAH DAN MAU MEMBELI JAJAN. WAHYU DISURUH MAKAN DAHULU.
Pak Imam
: “Aja ngono ga, boten pareng. Maem sik ae!” ’Jangan begitu, tidak boleh. Makan dulu saja!’ : “Emoh. Tumbas jajan.” ‘Tidak mau. Beli jajan.’ : “Ngko nek bar maem, pareng tumbas!” ‘Nanti setelah makan, boleh beli!’ : “Iya, Pak!” ‘Iya, Pak!’ (Data C, TP 3 no. 8)
Wahyu Pak Imam Wahyu
Dalam tuturan di atas Pak Imam dan Wahyu menggunakan ragam ngo-ko alus, terdapat campur kode bJN dengan bJKi. Dasar bahasa yang digu-nakan dalam tuturan tersebut bJN. Namun, penutur memasukkan kode bJKi yang berupa boten pareng dan pareng. Sedangkan kata boten pareng dalam ragam ngoko alus adalah ora pareng. Penggunakan kata boten dan tumbas dalam ragam ngoko alus di atas tidak tepat, mestinya menggunakan ora dan tuku sehingga ragam ini termasuk ngoko alus tak baku. (15) PENUTUR : KHUSNUL ESTININGTYAS, 7 TAHUN, PELAJAR SD (TP4). KONTEKS
: KHUSNUL MINTA UANG UNTUK MEMBELI JAJAN KEPADA IBUNYA.
Khusnul
: “Bu, nyuwun dhuwit!” ‘Bu, minta uang!’ : “Dienggo apa, leh?” ‘Untuk apa?’ : “Tuku jajan.” ‘Beli jajan.’ : “Pira?” ‘Berapa?’
Ibu Khusnul Ibu
60
Khusnul
: “Sewu.” ‘Seribu.’ (Data C, TP 4 no. 29)
Dalam tuturan di atas Khusnul menggunakan ragam ngoko alus, ter-dapat campur kode bJN dengan bJKi. Dasar bahasa yang digunakan dalam tuturan tersebut bJN. Namun, penutur memasukkan kode bJKi yang berupa nyuwun ‘minta’ yang dalam bJN njaluk. (16) PENUTUR : PAK WAKIDIN, 43 TAHUN, GURU, SPG (TP 6). KONTEKS
: PAK WAKIDIN MENGAJARKAN KEPADA FATMA CARA MENERIMA TAMU YANG SOPAN.
Fatma
: “Nek ra gelem ngenteni, Pak?” ‘Bila tidak mau menunggu, Pak?’ : “Nek ora kersa, kowe matura kersane apa!” ‘Bila tidak mau, kamu tanya apa perlunya!’ : “Enggih. Bapak aja suwe-suwe tindake!” ‘Iya. Bapak jangan pergi lama-lama!’ (Data C, TP 6 no. 24)
Pak Wakidin Fatma
Dalam tuturan di atas Pak Wakidin dan Fatma menggunakan ragam ngoko alus, terdapat campur kode bJN dengan bJKi. Kosakata dalam ragam ngoko alus adalah ngoko untuk diri sendiri dan krama inggil untuk orang yang diajak bicara. Karena Fatma menyisipkan kode bJK enggih, ragam ini termasuk ngoko alus tak baku. Tuturan tersebut terjadi pada keluarga Pak Wakidin yang berlatar belakang pekerjaan sebagai guru ketika mau pergi berpesan kepada Fatma dengan topik etika menerima tamu. Dasar bahasa yang digunakan dalam tuturan tersebut bJN. Namun, penutur memasukkan kode bJKi yang berupa kata kersa ‘mau’, matura kersane ’tanyakan keperluannya’, dan tindake ‘perginya’.
61
4.1.1.3 Ragam Krama Lugu (Tak Baku) Penggunaan bahasa Jawa ragam krama lugu tak baku dalam ranah keluarga muda di Blora digunakan di semua TP dengan karakteristik orang tua yang berpendidikan serendah-rendahnya SMP. Transkripsi tuturan yang menyatakan hal tersebut di antaranya seperti berikut ini. (17) PENUTUR : PAK SUWARNO, 43 TAHUN, PEDAGANG, SMEA (TP1). KONTEKS
: KETIKA AKAN BERANGKAT BERJUALAN DI PASAR, MOH. ZAENAL YUSUF BERTANYA KEPADA BAPAKNYA, PAK SUWARNO. PAK SUWARNO PUN MENJAWAB DAN MENASIHATINYA.
Pak Suwarno
: “Bapak medamel, dodolan. Yusuf teng griya kalih buke, nggih!” ’Bapak bekerja, jualan. Yusuf di rumah dengan ibu, ya!’ : “Nggih.” ’Ya.’ : “Yusuf boten angsal nakal!” ’Yusuf tidak boleh nakal!’ : “Nggih. Tumbas jajan!” ’Ya. Beli jajan!’ (Data C, TP 1 no. 16)
Yusuf Pak Suwarno Yusuf
Dalam tuturan (17) di atas ragam yang digunakan Pak Suwarno dan Yusuf adalah krama lugu tak baku karena menggunakan kode krama madya teng (dhateng, bJK) dan kode bJN dodolan (sadeyan, bJK). Ciri ragam krama lugu adalah kosakatanya krama semua. Penggunaan kode bJK medamel, teng griya kalih buke, boten angsal nakal, dan tumbas jajan dipandang lebih halus atau menghormati dibanding dengan kode bJN mergawe, neng omah karo buke, ora oleh nakal, dan tuku jajan. Penggunaan kata-kata krama ini dimaksudkan untuk mengenalkan bJK kepada anaknya walaupun hanya terbatas pada kata-kata tertentu yang sering
62
digunakan. Di samping itu, juga untuk melatih anak menghargai orang lain. Dengan demikian, diharapkan agar kelak anaknya juga bisa dan terbiasa menghormati orang lain, lebih-lebih yang belum dikenal akrab dengan berbicara basa atau krama. Penggunaan krama lugu ini juga dipengaruhi oleh faktor pekerjaan dan status sosial pemakai sebagai pedagang kecil (bakul). (18) PENUTUR : WIDIA ARINTA, 8,5 TAHUN, PELAJAR SD KELAS 4 (TP2). KONTEKS
Tamu Widia Tamu Widia Tamu Widia
: KEDUA ORANG TUA WIDIA TIDAK BERADA DI RUMAH KETIKA ADA SEORANG TAMU YANG MENCARINYA. WIDIA PUN MENJAWAB DENGAN BAHASA KRAMA KETIKA DITANYA TAMUNYA.
: “Pak-aem ana, Ndhuk?” ’Bapakmu ada, Nak?’ : “Bapake kula boten enten.” ’Bapak saya tidak ada.’ : “Neng endi?” ‘Di mana?’ : “Bapake kula medal.” ‘Bapak saya keluar.’ : “Metu ning endi?” ‘Keluar ke mana?’ : “Boten ngertos.” ‘Tidak tahu.’ (Data C, TP 2 no. 5)
Dalam tuturan (18) di atas ragam yang digunakan Widia Arinta adalah krama lugu tak baku. Penggunaan kode bJK bapake kula boten enten, bapake kula medal, dan boten ngertos dipandang lebih halus atau menghormati dibanding dengan kode bJN bapakku ora ana, bapakku metu, dan ora ngerti. Penggunaan kode bJK ini dimaksud untuk menghormati tamu/orang lain yang belum dikenal akrab dengan berbicara basa atau krama. Penggunaan krama lugu ini juga
63
dipengaruhi oleh faktor pekerjaan dan status sosial keluarga pemakai sebagai petani yang cocok bila berbicara krama lugu dan bukan krama inggil (alus).
(19) PENUTUR : FIANA TRIA PRATIWI, 8 TAHUN, PELAJAR SD (TP 4). KONTEKS
: FIANA TRIA MENERIMA TAMU YANG MENCARI BAPAKNYA KETIKA IA TIDAK BERADA DI RUMAH.
Tamu
: ”Bapakem endi?” ‘Bapakmu mana?’ : ”Bapake kula boten enten.” ’Bapak saya tidak ada.’ : ”Neng endi?.” ‘Ke mana?’ : “Teng Blora.” ‘Ke Blora.’ : ”Lah apa?” ‘Mengapa?’ : ”Mendhet akte.” ‘Mengambil akte.’ : ”Mulih jam pira.” ‘Pulang jam berapa?’ : ”Kalih.” ‘Dua.’
Fiana Tria Tamu Fiana Tria Tamu Fiana Tria Tamu Fiana Tria
(Data C, TP 4 no. 7) Dalam tuturan (19) di atas ragam yang digunakan Fiana adalah krama lugu tak baku. Penggunaan kode bJK bapake kula boten enten, teng Blora, dan mendhet akte, dipandang lebih halus atau menghormati dibanding dengan kode bJN bapakku ora ana, neng Blora, dan njupuk akte. Penggunaan kode bJK ini dimaksudkan untuk menghormati tamu atau orang lain yang belum dikenal akrab dengan berbicara basa atau krama. Penggunaan ini juga dipe-ngaruhi oleh faktor pekerjaan dan status sosial keluarga pemakai sebagai petani yang cocok bila berbicara krama lugu tak baku, bukan krama inggil (alus).
64
(20) PENUTUR : PAK SUWOTO, 48 TAHUN, GURU, SARJANA KONTEKS
: PAK SUWOTO MENYURUH YOGA SEGERA MANDI SETELAH PULANG BERMAIN SEPAK BOLA.
Pak Suwoto
: “Nek mpun sat kringete mrika gek pakpung!” ’Bila sudah kering keringatmu segera mandi sana!’ : “Mengkin riyin!” ’Nanti dulu!’ : “Selak sonten, selak peteng, selak maghrib!” ’Keburu sore, keburu petang, keburu maghrib!’ : “Boten, boten!” ’Tidak, tidak!’ : “Mpun ngoten ga, Le. Mengke kadhemen!” ‘Jangan begitu, Nak. Nanti kedinginan!’
Yoga Pak Suwoto Yoga Pak Suwoto
(Data C, TP 3 no. 15) Dalam tuturan di atas ragam yang digunakan Pak Suwoto dan Yoga adalah krama lugu tak baku karena tidak semua kosakatanya krama misalnya kata kringete (kringetipun, bJK) dan kadhemen (kasrepen, bJK). Penggunaan kode bJK nek mpun sat, selak sonten, dan mpun ngoten ga, Le dipandang lebih halus dibanding dengan kode bJN nek wis sat, selak sore, dan aja ngono ga, Le. Penggunaan kode bJK ini dimak-sudkan untuk memberi contoh dan membiasakan berbahasa krama kepada siapa saja yang harus dihargai. Pak Suwoto tetap krama tidak pernah ngoko apalagi kasar kepada anaknya. Berbahasa krama adalah salah satu cara meng-hargai orang lain. Penggunaan ini juga dipengaruhi oleh faktor pekerjaan sebagai guru, usianya yang relatif tidak muda (48 tahun) berpendidikan tinggi, dan status sosial ekonomi tergolong keluarga yang berkecukupan.
65
4.1.1.4 Ragam Krama Alus (Tak Baku) Penggunaan bahasa Jawa ragam krama alus tak baku ditemukan pada keluarga muda di Blora dengan orang tua berpendidikan serendah-rendahnya SMP yang berada di TP2, TP3, dan TP5. Akan tetapi ragam krama alus tersebut tidak baku dengan ditandai penggunaan prefiks di- dan sufiks –ne yang tidak dikramakan. Sedangkan dalam ragam krama alus prefiks di- dan sufiks -ne tersebut dikramakan menjadi prefiks dipun- dan sufik -ipun. Trans-krip tuturan yang menunjukkan hal tersebut seperti berikut ini. (21) PENUTUR : BU SARTI NURFARIKHAH, 27 TAHUN, PEDAGANG, SMA (TP 2). KONTEKS
Nisa Bu Sarti Nisa Bu Sarti Nisa Bu Sarti
: NISA BERPAMITAN AKAN BERANGKAT KE SEKOLAH SETELAH TERLEBIH DAHULU MINTA UANG JAJAN KEPADA IBUNYA.
: “Sangune pundi, Bu?” ‘Uang sakunya mana, Bu?’ : “Niki, lho!” ‘Ini, lho.’ : “Matur nuwun!” ‘Terima kasih.’ : “Ngatos-atos, nggih?” ‘Hati- hati, ya.’ : “Enggih.” ’ Ya.’ : “Boten pareng nakal. Boten pareng tukaran, sing rukun kalih kancane!” ’Tidak boleh nakal.Tidak boleh bertengkar, yang rukun dengan temannya.’ (Data C, TP 2 no. 11)
Dalam tuturan di atas semula Bu Sarti menggunakan ragam bahasa Jawa krama alus (bJKA) tak baku, “Boten pareng nakal, boten pareng tu-karan, sing rukun kalih kancane!” Ragam tersebut ditandai dengan peng-gunaan kata sing ‘yang’ yang dalam ragam bJKA baku ‘ingkang’ dan sufik -ne yang dalam ragam
66
bJKA baku –nipun. Penggunaan kode bJKA ini dimak-sudkan untuk memberi contoh dan membiasakan berbahasa krama alus
kepada orang yang harus
dihargai. Kepada anaknya, Bu Sarti sering menggunakan kata-kata krama atau krama inggil untuk melatih keterampilan berbahasa agar anaknya bisa basa dengan baik. Penggunaan ini juga dipe-ngaruhi oleh faktor pekerjaannya sebagai pedagang, usianya yang relatif muda (27 tahun) dan berpendidikan SMA. Keberadaan keluarganya dalam ling-kungan pondok pesantren dan tinggal satu rumah dengan Bu Nyai sebagai nenek asuhnya dan tergolong keluarga terhormat juga turut mempengaruhi penggunaan bahasanya. (22) PENUTUR : PAK SUWOTO, 48 TAHUN, GURU, SARJANA (TP3). KONTEKS
: PAK SUWOTO BARU DATANG DARI SEKOLAH MENGINGATKAN YOGA UNTUK MAKAN SIANG.
Pak Suwoto
: “Adhik wau mpun maem, dereng?” ’Adik tadi sudah makan, belum?’ : “Sampun, Pak. Bapak sampun dhahar?” ’Sudah, Pak. Bapak sudah makan?’ : “Mangke riyin, bapak nembe kondur. Ibu mpun rawuh?” ’ Nanti dulu, Bapak baru pulang. Ibu sudah datang?’ : “Sampun wau. Dereng dhahar, ngentosi Bapak.” ’Sudah tadi. Belum makan, menunggu Bapak.’
Yoga Pak Suwoto Yoga
(Data C, TP 3 no. 18) Dalam tuturan (22) di atas Pak Suwoto menggunakan ragam krama alus tak baku, “Mangke riyin, Bapak nembe kondur, Ibu mpun rawuh.” Kata mpun dalam tuturan tersebut termasuk tidak baku, seharusnya menggunakan kosakata krama, sampun. Kepada anaknya, Pak Suwoto selalu menggunakan kata-kata krama alus atau krama inggil untuk dirinya sendiri guna membe-rikan contoh dan melatih keterampilan berbahasa Jawa agar anaknya bisa basa (krama) dengan
67
baik. Yoga pun menggunakan ragam krama alus dengan me-ngatakan, “Sampun, Pak. Bapak sampun dhahar?” Penggunaan ini juga dipengaruhi oleh faktor pekerjaan kedua orang tuanya sebagai guru, usianya yang relatif tidak muda (48 tahun) pendidikan yang tinggi, dan status sosial yang dapat digolongkan sebagai orang terpelajar. Pilihan ragam bJKA yang juga dimaksudkan memberi contoh dan melatih keterampilan berbahasa krama kepada anaknya agar bisa basa krama dengan benar juga dilakukan oleh keluarga selain guru, di antaranya seperti tuturan berikut. (23) PENUTUR : FELA SUTIANA, 12 TAHUN, PELAJAR SMP (TP 5). KONTEKS
: PAK SABAR MENYURUH FELA TIDUR MALAM SETELAH BELAJAR.
Pak Sabar
: “Ayo, wis bengi ndang bubuk!” ‘ Ayo, sudah malam segera tidur.’ : “Mengkin, Pak dereng ngantuk!” ’Nanti, Pak belum ngantuk.’ : “Yen wis bar bukune ditata. Ndang bubuk!” ‘Kalau sudah selesai bukunya ditata. Segera tidur.’ : “Bapak nggih sare?” ’ Bapak ya tidur?’ (Data C, TP 5 no. 22)
Fela Pak Sabar Fela
Dalam tuturan (23) di atas Fela menggunakan ragam krama alus (bJKA) tak baku, ”Bapak nggih sare.” Kata nggih dalam tuturan tersebut me-nandakan ragam tak baku. Fela menggunakan ragam tersebut ketika disuruh ayahnya tidur malam. Ayah Fela berpendidikan SMA bekerja sebagai pegawai di Departemen Pertanian. Penggunaan kode bJKA ini dikarenakan didikan kedua orang tuanya yang selalu mengajarkan dan melatih berbicara basa (krama), lebih-lebih kepada orang tua atau orang lain yang harus dihormati.
68
(24) PENUTUR : YOGA ILMU NUSA INDRAWAN, 10 TAHUN, PELAJAR, SD (TP3) KONTEKS
: YOGA MINTA UANG SAKU KEPADA IBUNYA TAPI DISURUH MINTA KEPADA AYAHNYA
Yoga
: “Bu, nyuwun arta kangge sangu!” ’Bu, minta uang saku!’ : “Ibu artane telas!” ’Uang ibu habis!’ : “Ngendikanipun Bapak diutus nyuwun Ibu mawon kados biasane.” ’Kata Bapak disuruh minta Ibu saja seperti biasanya.’ : “Enggih, ning artane ibu pas telas. Niki lo kantun sing utuh!” Sing pecahan mpun dipundhutke blanjan ibu!” ’Ya, tapi uang ibu habis. Ini lho tinggal yang utuh (besar)!’ Yang recehan sudah ibu belanjakan!’ : “Niki, mriki diparingi arta bapak mawon!” ’Ini, sini Bapak beri uang!’
Ibu Yoga
Ibu
Pak Suwoto
(Data C, TP 3 no. 20) Dalam tuturan di atas Yoga menggunakan ragam krama alus (bJKA) tak baku, ditandai dengan penggunaan prefik di- dan sufik -ne pada kalimat Bu, nyuwun arta kangge sangu? dan Ngendikanipun Bapak diutus nyuwun Ibu mawon kados biasane. Penggunaan kode bJKA ini dikarenakan didikan kedua orang tuanya yang selalu mengajarkan dan melatih berbicara basa (krama), lebih-lebih kepada orang tua atau orang lain yang harus dihormati. Pak Suwoto selalu menggunakan kata-kata krama atau krama inggil untuk memberikan contoh dan melatih keterampilan berbahasa Jawa agar anaknya bisa basa (krama) dengan baik.
4.1.1.5 Karakteristik Bahasa Jawa di Blora Penutur bahasa Jawa di Blora menggunakan dialek Blora (dialek leh) dalam tuturannya. Beberapa ciri khusus bahasa Jawa di Blora dapat diiden-
69
tifikasikan antara lain dalam hal (1) fonologis, (2) leksikal, (3) sintaktis, (4) alih kode, dan (5) campur kode.
4.1.1.5.1 Fonologis Karakteristik bahasa Jawa di Blora dalam segi fonologi ditandai de-ngan pengucapan –eh pada kata-kata bJS yang berakhir dengan –ih, misalnya kata ngeleh ’lapar’ : ngelih (bJS) dan muleh ‘pulang’: mulih (bJS). Hal ini da-pat dilihat dalam tuturan berikut. (25) KONTEKS : PAK IMAM TIDAK MEMBERI UANG KEPADA WAHYU KETIKA IA BARU PULANG SEKOLAH DAN MAU MEMBELI JAJAN. WAHYU DISURUH MAKAN DAHULU. Wahyu Pak Imam Wahyu Pak Imam Wahyu Pak Imam
: “Pak, aku teka.” ’Pak, saya datang.’ : “Iya, Nang. Kene sepatune dilepas Bapak!” ‘Iya, Nak. Sini sepatunya bapak lepas!’ : “Enggih.” ‘Iya.’ : “Ngeleh apa ora?” ‘Lapar apa tidak?’ : “Ya.” ‘Ya.’ : “Gek maem!” ‘Cepat makan.’ (Data C, TP 3 no. 8)
(26) PENUTUR : USWATUN KHASANAH, 10 TAHUN, PELAJAR SD. KONTEKS
Uswatun
: USWATUN KHASANAH MINTA PAMIT KEPADA IBUNYA MAU PERGI KE SEKOLAH.
: “Bu, budhal!” ‘Bu, berangkat!’ Bu Purwaningsih : “Ya. Sing ati-ati aja liwat sor greng. Liwat dalan gedhe ae!”
70
Uswatun
:
Bu Purwaningsih : Uswatun
:
Bu Purwaningsih : Uswatun
:
Bu Purwaningsih :
‘Ya. Berhati-hatilah jangan lewat bawah rumpun bambu. Lewat jalan besar saja!’ ”Ya.” ‘Ya.’ “Nek diulang ndhungokne gurune ben isa!” ‘Jika diberi pelajaran oleh gurumu dengarkan agar bisa!’ “Enggih.” ‘Ya.’ “Nek wayahe muleh ndang muleh!” ‘Jika waktunya pulang cepat pulang!’ “Enggih.” ‘Ya.’ “Aja ngluyur marik-marik!” ‘Jangan pergi ke mana-mana!’ (Data C, TP 5 no. 5)
Bahasa Jawa di Blora juga ditandai dengan pengucapan kosakata dengan bunyi akhir –oh pada kata-kata bJS yang berakhir dengan –uh, misalnya kata lawoh ‘lauk’ dan wisoh ‘cuci tangan’ yang dalam bJS adalah lawuh dan wisuh. Berikut ini adalah tuturan yang menunjukkan hal tersebut. (27) PENUTUR : RIZKI SEPTIANI, 8 TAHUN, PELAJJAR SD KONTEKS
: RIZKI BARU PULANG SEKOLAH, BU PUJIATI MENYURUHNYA BERGANTI PAKAIAN, MENCUCI TANGAN, TERUS MAKAN SIANG.
Bu Pujiati
: “Kana, salin sik, Riz!” ’Sana, ganti pakaian dulu, Riz!’ : “Ya ya.” ’Ya ya.’ : “Yen bar wisoh, maem sik!” ’Bila telah selesai cuci tangan, makan dulu!’ : “Lawohe apa?” ’Lauknya apa?’ : “Tempe! Ndang maema!” ’Tempe! Cepat makanlah!’ : “Emoh, ra enak!” ’Tidak mau, tidak enak!’
Rizki Bu Pujiati Rizki Bu Pujiati Rizki
(Data C, TP 1 no. 6)
71
4.1.1.5.2
Leksikal
Bahasa Jawa dialek Blora dapat dikenali dari penggunaan leksikonnya, di antaranya penegas leh, dan kosakata lain seperti gung ’belum’(durung, bJS), kethilna ’ambilkan’(jupukna, bJS), sedhilit ’sebentar’(sedhiluk, bJS), ora lah apa lah apa ’tidak mengerjakan apa pun’ (ora ngapa-ngapa, bJS), marik-marik (renarena/ke mana-mana, bJS), nggenjongi ’mengangkat’ (njun-jungi, bJS), mbalek ’pintar’ (pinter, bJS), kata sapaan cung atau kacung ‘sapaan kesayangan untuk anak laki-laki’(le, thole, nang, bJS). Adapun contoh penggunaan leksikon tersebut tampak dalam tuturan berikut. (28) KONTEKS : SALSABILA SELESAI BELAJAR MALAM MINTA KEPADA IBUNYA UNTUK MENEMANI TIDUR. Salsabila Ibu Erna Salsabila Ibu Erna Salsabila Ibu Erna Salsabila
: ”Bu, Dhik Caca bubuk!” ’Bu, Dik Caca mau tidur!’ : ”Bubuk dhewe, Ndhuk!” ’Tidur sendiri, Nak!’ : ”Dikeloni!” ’Ditemani.’ : ”Enek apa re, Ndhuk.” ’Ada apa, Nak?’ : ”Wedi, Bu.” ’Takut, Bu.’ : ”Wedi apa leh?” ’Takut apalah?’ : ”Peteng.” ’Gelap.’ (Data C TP 4 no. 16)
(29) KONTEKS : EKO BARU SAJA PULANG SEKOLAH. PAK SUPARJO MENYURUHNYA SEGERA MAKAN SIANG. NAMUN EKO MALAH BANYAK MINUM. Pak Suparjo Eko
: “Le, kana ndang mangan!” ’Nak, sana segera makan!’ : “Kosik.” ’Nanti.’
72
Pak Suparjo Eko Pak Suparjo Eko Pak Suparjo Eko Pak Suparjo Eko
: “Kon ndang mangan kok kosak-kosik!” ’Disuruh segera makan kok nanti-nanti.’ : “Gung lesu, aku!” ’Belum lapar, saya!’ : “Kowe mangan apa neng sekolahan?” ’Kamu makan apa di sekolah?’ : “Bar olah raga sik ngorong.” ’Selesai olah raga masih haus.’ : “Karepem nek gak mangan malah ngombe ae!” ’Maumu kalau tidak makan malah minum saja.’ : “Sithik leh, Pak.” ’Sedikit kan, Pak.’ : “Ya, wis, ndang mangan!” ’Ya sudah segera makan!’ : “He eh.” ’Iya.’
(Data C TP 3 no. 2) (30) KONTEKS : BU SITI ROHIMAH MENGAJAK ANAK-ANAKNYA MAKAN MALAM BERSAMA-SAMA. Bu Siti Imam Bu Siti Winarti Bu Siti Winarti Bu Siti Winarti Pak Wito
Bu Siti Winarti
: “Ayo, Mas Imam dha maem bareng-bareng!” ‘Ayo, Mas Imam segera makan bersama-sama.’ : “Ngko sik, sik wareg.” ’Nanti dulu, masih kenyang.’ : “Ayo, ta, bareng Mbak Win barang!” ’Ayolah segera, bersama Mbak Win sekalian.’ : “Iya, Bu, Dik Imam mau jajan.” ’Iya, Bu, Dik Imam tadi jajan.’ : “Bapak karo Ibu mau ya durung dhahar kok.” ’Bapak dan Ibu tadi juga belum makan kok.’ : “Iki, lho Bu ajange adhik!” ’Ini, lho Bu piring adik!’ : “Iya, kene. Win, kethilna piringi Imam kae!” ‘Iya, sini. Win, ambilkan piring Imam itu!’ : “Iya, Bu.” : “Ayo, sebelum makan berdoa dulu!”
: “Mas Imam, Mbak Win gek ndonga!” ‘Mas Imam, Mbak Win segera berdoa!’ : “Iya-iya, Bu.” (Data C TP 3 no. 12)
73
(31) KONTEKS : EKO BARU DATANG DARI RUMAH TEMANNYA. PAK SEPARJO TIDAK SUKA IA TERLALU LAMA BERMAIN DI RUMAH TEMANNYA PADA SAATNYA BELAJAR MALAM DI RUMAH Pak Suparjo Eko Pak Suparjo Eko Pak Suparjo Eko Pak Suparjo Eko Pak Suparjo Eko
: “Teka ngendi, Le, bengi-bengi?” ’Dari mana, Nak, malam-malam?’ : “Nggene kanca.” ’Di tempat teman.’ : “Lah apa bengi-bengi nglayap?” ’Ada apa malam-malam pergi?’ : “Dolenan ae.” ’Main saja.’ : “Bengi-bengi aja ngluyur ae, wayahe sinau!” ’Malam-malam jangan main saja, waktunya belajar!’ : “Sedhilit kok.” ’Sebentar kok.’ : “Kana, ndang sinau selak wengi!” ’Sana segera belajar keburu malam!’ : “Yah mene, wengi.” ’Waktu begini, malam.’ : “Sinau butoh-butohem dhewe!” ’Belajar untuk keperluanmu sendiri.’ : “Ya, ya.”
(Data C TP 3 no. 3) (32) KONTEKS : PAK TRIMO MENYURUH ANUNG MANDI DULU SEBELUM BERANGKAT SEKOLAH. ANUNG PUN BANYAK BERALASAN KARENA UDARA PAGI YANG MASIH DINGIN Pak Trimo Anung Pak Trimo Anung Pak Trimo Anung
: “Nung, ndang mandi!” ’Nung, segera mandi!’ : “Sik sik ah.” ’Nanti dulu, ah’ : ”Anung arep lah apa?” ’Anung mau apa?’ : “Ora lah apa lah apa, Pak. Sik isuk.” ”Tidak mengerjakan apa-apa, Pak. Masih pagi.’ : “Mumpung isih esuk, Nung, ben seger!” ’Selagi masih pagi, Nung, biar segar!’ : “Emoh, adhem. Bapak wis siram?” ‘Tidak mau, dingin. Bapak sudah mandi?’
74
Pak Trimo
Anung Pak Trimo Anung
: “Wis, isuk mau. Ndang ta nek bar mandi malah ra krasa adhem.” ’Sudah, pagi tadi. Segeralah kalau selesai mandi tidak terasa dingin.’ : “Bar mandi nyuwun dhuwite lo, Pak!” ‘Selesai mandi minta uangnya lo, Pak!’ : “Iya ya ngko diparingi bapak nggo sangu pisan.” ‘Iya, ya nanti diberi bapak untuk uang saku sekalian.’ : “Nggih.” ’Iya.’ (Data C TP 1 no. 37)
(33) KONTEKS : USWATUN KHASANAH MINTA PAMIT KEPADA IBUNYA MAU PERGI KE SEKOLAH Uswatun Bu Purwaningsih
Uswatun Bu Purwaningsih Uswatun Bu Purwaningsih Uswatun Bu Purwaningsih Uswatun
: “Bu, budhal!” ’Bu, berangkat!’ : “Ya. Sing ati-ati aja liwat sor greng. Liwat dalan gedhe ae!” ’Ya. Hati-hati jangan lewat di bawah rumpun bambu. Lewat jalan besar saja.’ : ”Ya.” : “Nek diulang ndhungokne gurune ben isa!” ’Kalau diajar mendengarkan gurunya biar bisa.’ : “Enggih.” ’Iya.’ : “Nek wayahe muleh ndang muleh!” ’Kalau waktunya pulang segera pulang.’ : “Enggih.” ’Iya.’ : “Aja ngluyur marik-marik!” ’Jangan pergi ke mana-mana!’ : “Enggih.” ’Iya.’ (Data C TP 3 no. 3)
(34) KONTEKS : KETIKA MAU MENJEMUR PADI BU PUJIATI MELIHAT NUGRAHENI MAU PERGI BERMAIN KE RUMAH TEMANNYA. NUGRAHENI DISURUH MEMBANTUNYA SEBELUM PERGI. Bu Pujiati Nugraheni Bu Pujiati
: “Arep neng endi, Hen?” ’Akan ke mana, Hen?’ : “Ameh dolan nggone kanca!” ’Akan main ke tempat teman.’ : “Neng omah ae, Minggu-minggu!”
75
’Di rumah saja, Minggu-minggu.’ : “Wis janjian.” ’Sudah janjian.’ : “Buke ewangi mepe gabah! Ngko nek bar ngetokke gabahe dolana!” ’Ibu dibantu mengeringkan padi! Nanti kalau selesai mengeluarkan padi boleh pergi.’ : “Kon ngewangi nggenjongi? ’Disuruh membantu mengangkati?’ : “Lha sapa, ndak ra sing gedhe leh?” ’Siapa lagi, kan yang besar?’ (Data C TP 1 no. 7)
Nugraheni Bu Pujiati
Nugraheni Bu Pujiati
(35) KONTEKS : PAK IMAM TIDAK MEMBERI UANG KEPADA WAHYU KETIKA IA BARU PULANG SEKOLAH DAN MAU MEMBELI JAJAN. WAHYU DISURUH MAKAN DAHULU. Wahyu
: “Pak, nyuwun dhuwit!” ‘Pak, minta uang!’ : “Nggo apa?” ‘Untuk apa.’ : “Nggo tumbas jajan.” ‘Untuk membeli jajan.’ : “Aja ngono ga, boten pareng. Maem sik ae!” ‘Jangan begitu, tidak boleh. Makan dulu!’ : “Emoh. Tumbas jajan.” ‘Tidak mau. Beli jajan.’ : “Ngko nek bar maem, pareng tumbas!” ‘Nanti kalau sudah makan, boleh beli!’ : “Iya, Pak?” : “Enggih!” ‘Iya.’ : “Nyuwun maem, Pak!” ‘Minta makan, Pak!’ : “Lha, ngono cah mbalek jenenge!” ‘Lha, begitu anak pintar namanya!’ (Data C TP 3 no. 8)
Pak Imam Wahyu Pak Imam Wahyu Pak Imam Wahyu Pak Imam Wahyu Pak Imam
4.1.1.5.3
Sintaktis
Kekhasan bJB dalam bidang sintaktis ditandai dengan penggunaan: (1) enklitik –em atau –nem, (2) kata fatis leh, dan (3) proklitik tak- dan enklitik –e yang diikuti pelaku.
76
(1) Enklitik –em atau –nem Karakteristik bJB ditandai dengan penggunaan enklitik –em atau –nem, yang dalam bJS adalah enklitik –mu. Enklitik –em digunakan jika mengikuti kata yang berakhir dengan konsonan misalnya kancaem ’temanmu’ (kancamu, bJS), wetengem ’perutmu’ (wetengmu, bJS), karepem ’terserah kamu’ (karepmu, bJS), sedangkan enklitik –nem bergabung dengan kata yang berakhir dengan vokal misalnya sangunem ’uang sakumu’ (sangumu, bJS). Ciri khusus ini dapat dilihat dalam tuturan berikut ini. (36) KONTEKS : MARFUAH MINTA PAMIT KE SEKOLAH KEPADA IBUNYA. Marfuah Bu Lastri Marfuah Bu Lastri Marfuah
: “Mak, budhal. Assalamualaikum.” ’Mak, berangkat. Assalamualaikum.’ : “Ya. Waalaikum salam. Sing ngati-ati!” ’Ya. Waalaikum salam. Hati-hatilah!’ : “Ya ya.” ’Ya ya.’ : “Aja nakal, sing rukun karo kancaem!” ’Jangan nakal, yang rukun dengan teman!’ : “Ya ya!” (Data C TP 6 no. 3)
(37) KONTEKS : KETIKA MAU MENJEMUR PADI BU PUJIATI MELIHAT NUGRAHENI MAU PERGI BERMAIN KE RUMAH TEMANNYA. NUGRAHENI DISURUH MEMBANTUNYA SEBELUM PERGI. Bu Pujiati Nugraheni Bu Pujiati Nugraheni Bu Pujiati
: “Arep neng endi, Hen?” ’Mau ke mana, Hen?’ : “Ameh dolan nggone kanca!” ’Mau main ke tempat teman!’ : “Neng omah ae, Minggu-minggu!” ’Di rumah saja, hari Minggu!’ : “Wis janjian.” ’Sudah janjian.’ : “Buke ewangi mepe gabah!” “Ngko nek bar ngetokke gabahe dolana!”
77
Nugraheni
:
Bu Pujiati
:
Nugraheni Bu Pujiati
: :
Nugraheni
:
Bu Pujiati
:
’Bantulah ibu menjemur gabah! ’Nanti setelah selesai mengeluarkan gabah bermainlah!’ “Kon ngewangi nggenjongi?” ’Disuruh membantu mengangkati?’ “Lha sapa, ndak ra sing gedhe leh?” ’Siapa lagi, bukankah yang besar?’ “Lha, bapak?” “Pakanem wis ning sawah!” ’Bapakmu sudah ke sawah!’ “Ya, ning ngewangi nggenjongi ae. Sing ngeleri buke ae!” ’Ya, tapi membantu mengangkati saja. Yang menjemur ibu saja!’ “Ya, karepem.” Ngko taklerane buke!” ’Ya, terserah. Nanti ibu jemur!’ (Data C TP 1 no. 7)
(38) PENUTUR : RIZKI SEPTIANI, 8 TAHUN, SD KONTEKS
: BU PUJIATI MENYURUH RIZKI SEPTIANI MAKAN PAGI SEBELUM BERANGKAT SEKOLAH.
Bu Pujiati
: “Ndhuk, ayo mangan sik! ’Nak (perempuan), ayo makan dulu!’ : “Selak awan, telat.” ’Keburu siang, terlambat.’ : “Ngko tuku sega neng sekolahan, ora kena pedhespedhes!” ’Nanti beli nasi di sekolah, tidak boleh terlalu pedas!’ : “Ya ya.” ’Ya ya.’ : “Wetengem lara yen pedhes!” ‘Perutmu sakit jika pedas!’ : “Gak-gak!” ‘Tidak- tidak!’ : “Aja dientekna sangunem!” ‘Jangan kauhabiskan uang sakumu!’ : “ Ya entek leh nggo tuku sega!” ‘Ya habislah untuk beli nasi!’ : “Ra sah tuku tekan marik-marik!” ‘Tidak usah beli yang macam-macam!’
Rizki Bu Pujiati
Rizki Bu Pujiati Rizki Bu Pujiati Rizki Bu Pujiati
(Data C, TP 1 no. 4)
78
(2) Kata Fatis leh Kata fatis leh merupakan ciri khas bahasa Jawa dialeg Blora dengan intonasi yang khas pula, misalnya pada kalimat, Thik ngono leh! Lha sapa, ndak ra sing gedhe leh? Hal ini dapat dilihat dalam tuturan (43) dan (31). (3) Proklitik tak- dan Enklitik –e yang Diikuti Pelaku Penggunaan proklitik tak- dan enklitik –e ini berbeda dengan bJS, dalam bJS tidak diikuti pelaku, sedangkan dalam bJB diikuti pelaku. Misalnya pada kata takkancani Ibu dan bapake kula yang alam bJS adalah takkancani ’saya temani’ dan bapak kula ’bapak saya’ seperti terdapat dalam tuturan berikut ini. (39) KONTEKS : BU SITI ROHIMAH (GURU) SAMBIL MENIDURKAN ANAKNYA YANG BUNGSU MENYURUH ANAKNYA (IMAM SAFII) BELAJAR. Bu Siti Imam Bu Siti Imam Bu Siti Imam Bu siti
: “Mas Imam, ayo dha sinau kono!” ‘Mas Imam, ayo belajar sana!’ : “Ngko sik.” ‘Nanti dulu.’ : “Thik ngono leh!” ‘Kok begitu?’ : “Emoh sinau dhewe.” ‘Tidak mau belajar sendiri.’ : “Ngko dakkancani, Ibu, Le!” ‘Nanti ditemani Ibu.’ : “Emoh ya emoh!” ‘Tidak mau ya tidak mau.’ : “Engko sik ga, Le, Ibu nembe ngeloni adhik!” ‘Nanti dulu, Nak, Ibu baru menidurkan adik.’ (Data C TP 3 no. 9)
79
(40) KONTEKS : KEDUA ORANG TUA WIDIA TIDAK BERADA DI RUMAH KETIKA ADA SEORANG TAMU YANG MENCARINYA. WIDIA PUN MENJAWAB DENGAN BAHASA KRAMA KETIKA DITANYA TAMUNYA. Tamu Widia Tamu Widia Tamu Widia Tamu Widia
: “Assalamu alaikum!” : “Wa alaikum salam.” : “Pak-aem ana, Ndhuk?” ‘Bapakmu ada, Nak?’ : “Bapake kula boten enten.” ’Bapak saya tidak ada.’ : “Neng endi?” ‘Di mana?’ : “Bapake kula medal.” ‘Bapak saya keluar.’ : “Metu ning endi?” ‘Keluar ke mana?’ : “Boten ngertos.” ’Tidak tahu.’ (Data C TP 2 no. 5)
4.1.1.5.4 Alih Kode Alih kode dengan dasar bJ terdapat pada keluarga muda yang menggunakan bJ sebagai sarana komunikasi dalam ranah keluarga. Peristiwa alih kode bJ ke bI dimaksudkan untuk melatih keterampilan bI supaya anak tidak mengalami kesulitan dalam pelajaran di sekolah. Tuturan dengan dasar bJN yang beralih kode bI tersebut tampak dalam contoh berikut ini. (41) KONTEKS : ANUNG DISURUH BELAJAR OLEH PAK TRIMO. IA PUN SELALU BANYAK ALASAN. PAK TRIMO TETAP MENYURUHNYA BELAJAR DENGAN TEKUN Pak Trimo Anung
: “Diutus sinau kok ngono leh!” ‘Disuruh belajar begitukah!’ : “Ora dikancani ya emoh.” ‘Tidak ditemani ya tidak mau.’
80
Pak Trimo Anung Pak Trimo Anung Pak Trimo Anung Pak Trimo Anung
: “Ya, mengko takkancani bapak!” “Ya, nanti bapak temani!’ : “Tenan, ngko bapak mbodhoni?” ‘Sungguh, nanti bapak bohong?’ : “Ora-ora yen mbodhoni.” ‘Tidak-tidak kalau bohong.’ : “Eneng PR, Pak ajari mengerjakan!” ’Ada PR, Bapak ajari mengerjakan!’ : “Dikerjakan dulu nanti dikoreksi bapak!” : “PR-nya sulit kok, Pak.” : “Nggak sulit, kamu pasti bisa asal mau belajar! Coba kerjakan dulu!” : “Emoh, nggak bisa!” ’Tidak mau, tidak bisa!’ (Data C, TP 1 no. 36)
Dalam tuturan (41) di atas ragam yang digunakan ngoko lugu yang beralih kode bI, Dikerjakan dulu nanti dikoreksi bapak untuk menggantikan kode bJN, Digarap sik mengko dikoreksi bapak. Penggunaan kode bI ini dimaksudkan untuk mengenalkan kosa kata dalam belajar dan sekaligus melatih anaknya agar terampil menggunakan bI selain bJ. Dengan demikian, alih kode tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh faktor topik pembicaraan dan adanya maksud pemelajaran bI untuk menunjang pendidikan di sekolah. Penggunaan ragam ngoko lugu dikarenakan hubungan antara bapak dan anak sangat akrab dan sudah menjadi kebiasaan dalam keluarga Pak Trimo. Ditemukan pula penggunaan bahasa Jawa ngoko lugu dengan alih kode bahasa Jawa krama alus seperti dalam tuturan ini. (42) PENUTUR : BU SARTI NURFARIKHAH, 27 TAHUN, PEDAGANG, SMA (TP2). KONTEKS
: ANISA DIBANGUNKAN IBUNYA UNTUK MANDI PAGI DAN PERGI KE SEKOLAH.
Bu Sarti
: “Ayo, bangun jame wis wayahe sekolah!” ‘Ayo, bangun sudah waktunya sekolah!’
81
Nisa Bu Sarti
Nisa
: “Sik ngantuk!” ’Masih ngantuk!’ : “Mpun didhawuhi ibu ta boten pareng wengi-wengi. Nek kewengen mbangkong tangine!” ’Sudah diberitahu ibu kan tidak boleh malam-malam. Jika kemalaman bangunnya kesiangan!’ : “Enggih-enggih.” ’Iya-iya.’ (Data C, TP 2 no.10)
Dalam tuturan (42) di atas semula Bu Sarti menggunakan ragam ngoko lugu dalam kalimat, ”Ayo, bangun jame wis wayahe sekolah!” lalu beralih kode ke bJKA, ”Mpun didhawuhi ibu ta boten pareng wengi-wengi. Nek kewengen mbangkong tangine!” Penggunaan kosa kata didhawuhi ’diberi tahu’ dan boten pareng ’tidak boleh’ dalam kalimat tersebut sebagai ciri alih kode ke ragam bJKA. Hal
ini dilakukan Bu Sarti untuk memberi contoh dan membiasakan
anaknya berbahasa krama alus
kepada orang yang harus dihormati. Ia sering
menggunakan kata-kata krama atau krama inggil untuk melatih keterampilan berbahasa anaknya agar bisa basa dengan baik. Penggunaan ini juga dipengaruhi oleh faktor pekerjaannya sebagai pedagang, usianya yang relatif muda (27 tahun) dan berpendidikan SMA. Keberadaan keluarganya dalam lingkungan pondok pesantren dan satu rumah dengan Bu Nyai sebagai nenek asuhnya dan tergolong keluarga terhormat juga turut mempengaruhi penggunaan bahasanya.
4.1.1.5.5 Campur Kode Campur kode dengan dasar bJ terdapat beberapa variasi berupa penyisipan bJK dan penyisipan bI dengan kata belajar. Variasi campur kode dengan dasar bJN yang disisipi bJK nembe lah napa ’sedang apa’ dan pripun
82
’bagaimana’ dimaksudkan mengenalkan unggah-ungguh bJ kepada anak sedini mungkin seperti tampak dalam tuturan Bu Sarti yang bekerja sebagai pedagang dan berpendidikan SMA berikut ini. (43) KONTEKS : BU SARTI MENYURUH BELAJAR NISA YANG MASIH TK BESAR. NAMUN IA MASIH TETAP ASYIK BERMAIN SEHINGGA BU SARTI HARUS MEMBUJUKNYA. Bu Sarti Nisa Bu Sarti Nisa Bu Sarti
: “Mbak Nisa nembe lah napa?” ’Mbak Nisa sedang apa?’ : “Main pasar-pasaran, Bu.” : “Mbak Nisa wayahe belajar, belajar riyin!” ’Mbak Nisa waktunya belajar, belajar dulu!’ : “Emoh.” ’Tidak mau.’ : “Lho, kok emoh, pripun nek ketinggalan kancane!” ’Lho, tidak mau, bagaimana kalau tertinggal dengan temannya!’ (Data C, TP 2 no. 7)
Variasi campur kode dengan dasar bJN yang disisipi bI mandi dalam kalimat, “Wis gek mandi kana, kancanem selak mrene ngko!” dimaksudkan mengenalkan bI kepada anaknya sehingga tidak mengalami kesulitan pelajaran di sekolah seperti tampak dalam tuturan Pak Ngadi, karyawan swasta berikut ini. (44) KONTEKS : PAK NGADI (KARYAWAN SWASTA) MENYURUH NUROSI (ANAKNYA) SEGERA MANDI SORE HARI KARENA SUDAH WAKTUNYA MENGAJI Pak Ngadi : “Osi, ndang pakpung selak sore!” ’Osi, cepat mandi keburu sore!’ Nurosi : “Ape lah apa, Pak diutus pakpung? ‘Mau apa, Pak disuruh mandi?’ Pak Ngadi : “Ini kan sudah waktunya ngaji!” Nurosi : “Jam berapa, Pak?” Pak Ngadi : “Setengah empat.” Nurosi : “O, iya lupa aku?” Pak Ngadi : “Ndak iya leh. Ngaji kok lali leh!” ’Betulkah. Ngaji lupa!’ Nurosi : “Tenan, Pak!” ’Betul, Pak!’
83
Pak Ngadi Nurosi
: “Wis gek mandi kana, kancanem selak mrene ngko! ’Sudah cepat mandi sana, temanmu keburu ke sini!’ : “Ya, ya.” ’Ya, ya.’ (Data C, TP 2 no. 12)
Variasi campur kode dengan dasar bJN disisipi bJK dan bI dimak-sudkan untuk mengenalkan unggah-ungguh bJ dan mengenalkan bI kepada anaknya sehingga tidak mengalami kesulitan pelajaran di sekolah seperti tuturan berikut. (45) KONTEKS : PAK WIJI MENGINGATKAN ANGGUN YANG BELAJAR MALAM HARI AGAR BELAJAR SUNGGUH-SUNGGUH, TIDAK BERGURAU DENGAN KAKAKNYA. Pak Wiji Anggun Pak Wiji Anggun Pak Wiji Anggun Pak Wiji Anggun Pak Wiji Anggun Pak Wiji
Anggun Pak Wiji Anggun
: “Ayo, Nggun, belajar dulu!” : “Ya, ya, Pak.” ’Ya, ya, Pak.’ : “Ada PR, nggak?” : “Enek, matematika.” ’Ada, matematika.’ : “Ayo, ndang dikerjakan sing tenanan!” ’Ayo, cepat dikerjakan yang sungguh-sungguh!’ : “Ya, warahi, Pak!” ’Ya, Bapak ajari!’ : “Tapi teruse latihan dhewe!” ’Tapi selanjutnya latihan sendiri!’ : “Iya, ya, Pak.” ’Iya, ya, Pak.’ : “Lho, kok malah cekikikan.” ’Lho, malahan tertawa.’ : “Iki lho, Pak, kakak mbeda ae.” ’Ini, Pak, kakak mengganggu saja.’ : “Nek sinau aja sambil guyon. Yen guyon ana wektune dhewe. Mengko nek guyon ora masuk!” ’Kalau belajar jangan sambil bergurau. Bergurau ada waktunya. Nanti kalau bergurau tidak paham! : “Kakak kok sing marahi.” ’Kakak yang memulai.’ : “Sekarang sudah malam. Habis belajar tidur!” : “Enggih.” ’Iya.’ (Data C, TP-1 no. 24)
84
Selain itu ditemukan penggunaan ragam ngoko lugu dengan campur kode bahasa Jawa krama pada semua TP. Penutur menggunakan ragam bahasa Jawa ngoko lugu dengan disisipi serpihan kode bahasa Jawa krama seperti pada tuturan berikut. (46) PENUTUR : BU SITI ROHIMAH, 36 TAHUN, GURU, D2 (TP 3). KONTEKS
: BU SITI ROHIMAH MENYURUH IMAM SEGERA MANDI SORE KETIKA IA MENGGANGGU ADIKNYA.
Bu Siti
: “Aja gudag-gudagan. Ngati-ati adhik mengko nek dhawah!” ’Jangan kejar-kejaran saja. Hati-hatilah adik nanti jatuh!’ : “Ora-ora.” ’Tidak-tidak.’ : “Adhike ampun ditangis!” ’Adik jangan dibuat menangis!’ : “Ora-ora.” ’Tidak-tidak.’ : “Wis, ndang, Le gek adusa!” ’Sudah, cepat, Nak cepat mandi!’ : “Iya, Bu.” ’Iya, Bu.’ (Data C, TP 3 no.10)
Imam Bu Siti Imam Bu Siti Imam
Dalam tuturan (46) di atas ragam yang digunakan Bu Siti Rohimah ngoko lugu dengan campur kode krama kata dhawah ’jatuh’ dan ampun ’jangan’. Penggunaan ragam ngoko lugu ini karena sudah menjadi kebiasaan dan antara ibu dengan anak terjadi hubungan yang sangat akrab. Penggunaan kata-kata krama tertentu dimaksudkan untuk mengenalkan kepada anaknya lebih dini, walaupun hanya pada kata-kata tertentu yang frekuensi peng-gunaannya tinggi. Dengan demikian, diharapkan agar kelak anaknya juga bisa basa krama dengan orang lain walaupun hanya terbatas pada kata-kata ter-tentu seperti kata dhawah dan ampun.
85
Selain itu penggunaan bahasa Jawa ngoko lugu di Blora diwarnai dengan campur kode ngoko alus yang ditemukan di TP3 dalam tuturan berikut ini. (47) PENUTUR : BU NGATIYEM, 40 TAHUN, PENJAHIT, SD (TP 6). KONTEKS
: BU NGATIYEM MENGAJARKAN KEPADA EFA CARA MENERIMA TAMU YANG SOPAN.
Bu Ngatiyem
: “Ndhuk, mengko nek ana tamu njikuk jahitan ongkose sakmene!” ’Nak, nanti kalau ada tamu mengambil jahitan ongkosnya sekian!’ : “Enggih.” ’Iya.’ : “Engko basa lho , ora pareng ngoko!” ‘Nanti berbahasa yang halus lho, tidak boleh ngoko!’ : “Nggih.” ’Ya.’ (Data C, TP 6 no.18)
Efa Bu Ngatiyem Efa
Dalam tuturan (47) di atas ragam yang digunakan Bu Ngatiyem ngoko lugu dengan campur kode ngoko alus (ckNA) kata ora pareng bukan ora oleh. Kata ini dipilih dengan maksud menegaskan pesannya bahwa ora basa dengan orang lain di luar keluarga itu adalah tabu sehingga dipilih kata ora pareng. Karena hubungannya dengan anaknya sangat akrab dan untuk menya-takan kesungguhan pesannya dipilihlah kata tersebut. Dengan demikian, pe-milihan kata pada campur kode ini dikarenakan adanya maksud menegaskan pesannya. Tuturan dengan bahasa Jawa dalam ranah keluarga muda Jawa yang berlatar belakang pendidikan menengah ke atas cenderung mengalami campur kode, baik dengan bahasa Jawa krama atau krama inggil maupun campur kode dan alih kode dengan bahasa Indonesia. Tuturan yang menggunakan dasar bJN yang disisipi kode bJK tampak pada peristiwa tutur berikut ini.
86
(48) KONTEKS : PAK ROHMAD (PEDAGANG) MENGINGATKAN ANAKNYA, RODHATUL ILMI YANG ASYIK BERMAIN UNTUK SEGERA MANDI. Pak Rohmad Rodhatul Pak Rohmad Rodhatul Pak Rohmad Rodhatul
: “Pak pung riyin, Ndhuk wayah sekolah!” ‘Mandi dulu, Nak waktunya sekolah!’ : “Engko sik, Pak.” ‘Nanti dulu, Pak.’ : “Mpun awan lho! Kok dolanan ae!” ‘Sudah siang! Bermain saja!’ : “Sik, Mas Hakim sik.” ‘Mas Hakim dulu.’ : “Mas mpun. Ayo dipakpungi bapak!” ‘Mas sudah. Ayo dimandikan bapak!’ : “Sik adhem.” ‘Masih dingin.’ (Data B, TP1 no. 17)
Dalam tuturan (48) di atas ragam yang digunakan Pak Rohmad adalah bJ ngoko lugu campur kode bJK kata riyin ‘dulu’ dan mpun ‘sudah’. Peng-gunaan ragam ngoko lugu ini dikarenakan sudah menjadi kebiasaan dan antara bapak dengan anak terjadi hubungan yang sangat akrab. Penggunaan kata-kata krama tertentu dimaksudkan untuk mengenalkan kata-kata tersebut kepada anaknya sedini mungkin, walaupun hanya pada kata-kata tertentu yang sering digunakan. Dengan demikian, diharapkan agar kelak anaknya juga bisa basa krama dengan orang lain walaupun hanya terbatas pada kata-kata ter-tentu seperti kata riyin dan mpun (empun) yang dalam ragam ngoko lugu dhisik dan wis (uwis). Tuturan yang menggunakan dasar bJN yang disisipi kode bI sehingga memunculkan campur kode juga terjadi pada penutur yang berpendidikan menengah ke atas. Berikut ditampilkan tuturan yang terjadi dalam ranah keluarga muda Jawa berpendidikan SMA yang berwujud campur kode bI beserta analisis datanya.
87
(49) PENUTUR
: PAK IMAM SABARI, 30 TAHUN, PEDAGANG, SMA
KONTEKS
: PAK IMAM TIDAK MEMBERI UANG KEPADA WAHYU KETIKA IA BARU PULANG SEKOLAH DAN MAU MEMBELI JAJAN. WAHYU DISURUH MAKAN DAHULU.
Wahyu
: “Pak, aku teka!” ‘Pak, saya datang!’ : “Iya, Nang. Kene sepatune dilepas Bapak!” ‘Ya, Nak. Ke sinilah sepatunya Bapak lepas!’ : “Enggih.” ‘Ya.’ : “Ngeleh apa ora?” ‘Lapar, tidak?’ : “Ya.” ‘Ya.’ : “Gek maem!” ‘Cepat makan!’ : “Ngko sik.” ‘Sebentar lagi.’ (Data B, TP3 no. 8)
Pak Imam Wahyu Pak Imam Wahyu Pak Imam Wahyu
Dalam tuturan (49) di atas ragam yang digunakan Pak Imam adalah ngoko lugu yang disisipi kode bI, dilepas untuk menggantikan kode bJN dicopot. Penggunaan kode bI ini dimaksudkan untuk mengenalkan kosa kata dalam bI lebih dini kepada anaknya sehingga kelak di sekolah tidak mengalami kesulitan dalam belajar bI. Dengan demikian campur kode tersebut terjadi karena alasan maksud penutur mengenalkan bI lebih dini. Selain itu juga dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan SMA dan pekerjaannya sebagai pedagang. Mitra tutur yang masih kanak-kanak juga menjadi faktor penyebab penggunaan campur kode bI tersebut. Penggunaan ragam ngoko lugu dikarenakan hubungan antara bapak dan anak sangat akrab dan sudah menjadi kebiasaan dalam keluarga. Ditemukan pula penggunaan bahasa Jawa ragam krama lugu tak baku dengan campur kode bahasa Indonesia seperti dalan transkripsi tuturan berikut ini.
88
(50) PENUTUR : BU SARTI NURFARIKHAH, 27 TAHUN, PEDAGANG, SMA (TP 2). KONTEKS
: BU SARTI (PEDAGANG) MENYURUH ANAKNYA (KHOIRUN NISA) MAKAN, NAMUN SEBELUM MAKAN IA DISURUH MENCUCI TANGAN TERLEBIH DAHULU
Bu Sarti
: “Mbak Nisa maem riyin!” ’Mbak Nisa makan dulu!’ : “Enggih.” ’Iya.’ : “Nek tangane kotor cuci tangan riyin!” ’Kalau tangannya kotor cucilah dulu!’ : “Enggih. Dicuci Ibu ae!” ’Iya. Dicuci Ibu saja!’ : “Ya, cuci sendiri ta mpun gedhe, kok. Cuci tangan pakai sabun!” ’Ya, cuci sendiri, sudah besar. Cuci tangan pakai sabun!’ : ”Nyuwun dulang, Ibu!” ’Minta disuapi, Ibu!’ (Data C, TP 2 no. 6)
Nisa Bu Sarti Nisa Bu Sarti
Nisa
Dalam tuturan di atas ragam yang digunakan Bu Sarti adalah krama lugu tak baku. Dalam ragam krama lugu seharusnya dipilih kata nedha, bukan maem, dan kata tangane seharusnya tanganipun. Penggunaan kode bJK riyin dan mpun dirasakan lebih halus atau lebih menghormati dibanding dengan kode bJN dhisik dan wis. Penggunaan kode bJK ini dimaksudkan untuk memberi contoh dan membiasakan berbahasa krama kepada siapa saja yang harus dihargai. Bu Sarti sering menggunakan kata-kata krama kepada anaknya. Bu Sarti menanggapi tuturan Nisa dengan menyisipkan kode bI: kotor, cuci tangan, cuci sendiri, dan cuci tangan pakai sabun, sebagai variasi atau untuk menggantikan kode bJN reged, wisuh, wisuh dhewe, dan wisuh nganggo sabun. Penggunaan kode bI ini dimaksudkan untuk mengenalkan kosa kata dan melatih keterampilan berbahasa Indonesia anaknya.
89
Dengan demikian, campur kode bI tersebut terjadi karena alasan penutur untuk menggunakan istilah populer dan melatih keterampilan berbahasa. Penggunaan ragam ini juga dipengaruhi oleh faktor pekerjaannya sebagai pedagang, usianya yang relatif muda (27 tahun) berpendidikan SMA. Keluarganya berada dalam lingkungan pondok pesantren dan satu rumah dengan Bu Nyai sebagai nenek asuhnya yang tergolong keluarga terhormat. (51) PENUTUR : YAYUK WINARSIH, 30 TAHUN, PEDAGANG, SMA (TP 4). KONTEKS
: YAYUK WINARSIH (PEDAGANG) MENYURUH ANAKNYA (NABILA AULIA) BELAJAR.
Yayuk Winarsih : ”Jadwale napa? Besok apa?” ‘Jadwalnya apa? Besok apa?’ Nabila : ”Matematika, bahasa Indonesia.” ‘Matematika, bahasa Indonesia.’ Yayuk Winarsih : ”Enten PR?” ‘Ada PR?’ Nabila : ”Enten, Mah.” ‘Ada, Mah.’ (Data C, TP 4 no. 9) Dalam tuturan di atas Bu Yayuk menggunakan ragam krama lugu tak baku dengan campur kode bI. Penggunaan kode bJK jadwale napa, dan enten PR dirasakan lebih halus atau lebih menghormati dibanding dengan kode bJN jadwale apa, dan ana PR. Bu Yayuk menyisipkan kode kode bJK ini kepada anaknya, walaupun terbatas pada kata-kata tertentu. Bu Yayuk menyisipkan kode bI besok apa sebagai variasi atau untuk menggantikan kode bJN sesuk apa. Penggunaan kode bI ini dimaksudkan untuk melatih keterampilan berbahasa Indonesia anaknya. Penggunaan ini juga dipengaruhi oleh faktor pekerjaannya sebagai pedagang, usianya yang relatif muda (30 tahun), dan berpendidikan SMA.
90
(52) PENUTUR : BU SARIATUN, 39 TAHUN, GURU, SARJANA (TP 2). KONTEKS
: BU SARIATUN (GURU) BERTANYA KEPADA ANAKNYA (RIZQIYA) TENTANG SOAL ULANGAN YANG DIKERJAKAN DI SEKOLAH.
Bu Sariatun
: “Dhik Rizqi, pripun dhek wau ulangane saget nggarap?” ‘Dik Rizqi, bagaimana tadi bisa mengerjakan ulangannya?’ : “Saged, Bu!” ’Bisa, Bu!’ : “Angel, boten?” ’Sulit, tidak?’ : “Boten kok, Bu.” ’Tidak, Bu.’ : “Asal mau belajar Dik Rizqi mesthi saged!” ‘Asal mau belajar Dik Rizqi pasti bisa!’ (Data C, TP 2 no. 17)
Rizqiya Bu Sariatun Rizqiya Bu Sariatun
Dalam tuturan di atas ragam yang digunakan Bu Sariatun adalah krama lugu dengan campur kode bI. Penggunaan kode bJK pripun dhek wau ulangane saged, angel boten, dan mesthi saged
dirasakan lebih halus atau lebih
menghormati dibanding dengan kode bJN piye dhek mau ulangane isa, angel ora, dan mesthi isa. Penggunaan kode bJK ini dimaksudkan untuk memberi contoh dan membiasakan berbahasa krama kepada siapa saja yang harus dihargai. Kepada anaknya, Bu Sariatun sering menggunakan kata-kata krama. Penyisipan kode bI asal mau belajar untuk menggantikan kode bJN anggere gelem sinau. Penggunaan kode bI ini dimaksudkan untuk meng-gunakan istilah populer yang biasa dipakai berkaitan dengan hal belajar anak-anak. Di samping itu, pekerjaannya sebagai guru yang sering berhubungan dengan kata-kata bI dan pendidikannya yang sarjana turut menjadi faktor timbulnya campur kode bI ini.
91
(53) PENUTUR : BU MUTINI, 40 TAHUN, TU, SMA (TP 6). KONTEKS
: FATMA PULANG DARI SEKOLAH MINTA MAKAN KEPADA IBUNYA (BU MUTINI)
Fatma
: “Bu, nyuwun maem, lesu!” ’Bu, minta makan, lapar!’ : “Nggih, cuci tangan sik!” ’Ya, cuci tangan dulu!’ : “Mpun. Pundi maeme?” ’Sudah. Mana makannya?’ : “Njupuk dhewe!” ’Ambil sendiri!’ : “Nggih.” ’Ya.’ : “Sebelum makan berdoa dulu. Bismillah riyin, Ndhuk!” ’Sebelum makan berdoa dulu. Bismillah dulu, Nak!’ : “Mpun.” ’Sudah.’ (Data C, TP 6 no. 22)
Bu Mutini Fatma Bu Mutini Fatma Bu Mutini Fatma
Dalam tuturan (53) di atas ragam yang digunakan Bu Mutini adalah krama lugu. Penggunaan kode bJK nggih dan riyin dirasakan lebih halus atau lebih menghormati dibanding dengan kode bJN ya dan dhisik. Penggunaan kode bJK ini dimaksudkan untuk memberi contoh dan membiasakan berbahasa krama kepada siapa saja yang harus dihargai. Bu Mutini menanggapi tuturan Fatma dengan menyisipkan kode bI cuci tangan dan sebelum makan berdoa dulu sebagai variasi atau untuk menggantikan kode bJN wisuh dan sadurunge mangan ndonga dhisik. Penggunaan kode bI ini dimaksudkan untuk menggunakan istilah populer dan untuk melatih keterampilan berbahasa Indonesia anaknya. Dengan demikian, campur kode bI tersebut terjadi karena alasan penutur untuk menggunakan istilah populer dan melatih keterampilan berbahasa. Penggunaan ini juga dipengaruhi oleh faktor pekerjaannya sebagai pegawai di Diknas kecamatan yang sehari-
92
harinya juga sering menggunakan kata-kata bI. Di samping itu, juga karena faktor tingkat pendidikan yang SMA dan pekerjaan suaminya sebagai guru. Penggunaan bahasa Jawa ragam krama alus juga diwarnai dengan campur kode bahasa Indonesia sebagaimana transkrip tuturan berikut ini. (54) PENUTUR : BU SARTI NURFARIKHAH, 27 TAHUN PEDAGANG, SMA (TP 2). KONTEKS
: NISA DIBANGUNKAN IBUNYA KETIKA ADZAN SUBUH BERKUMANDANG. SETELAH IKUT SHALAT NISA TIDUR LAGI.
Bu Sarti
: “Ayo, gek ndherek shalat subuh! ’Ayo, cepat ikut salat subuh!’ : “Emoh-emoh!’ ’ Tidak mau.’ : “Ben, mengke didukani eyang, lho!” ’Biar, nanti dimarahi kakek, lho.’ : “Enggih-enggih. Mengkin bubuk malih, nggih!” ’Iya-iya. Nanti tidur lagi, ya.’ : “Enggih. Mengke nek wayahe sekolah bangun, lho!” ’Iya. Nantoi kalau waktunya sekolah bangun, ya.’ : “Enggih!” ’Ya.’ (Data C, TP 2 no. 9)
Nisa Bu Sarti Nisa Bu Sarti Nisa
Dalam tuturan (54) di atas ragam yang digunakan Bu Sarti adalah kra-ma alus. Penggunaan kode bJKi ndherek, mengke, dan didukani dirasakan lebih halus atau lebih menghormati dibanding dengan kode bJN melu, meng-ko, dan diseneni. Penggunaan kode bJKA ini dimaksudkan untuk memberi contoh dan membiasakan berbahasa krama alus kepada orang yang harus dihargai. Bu Sarti menanggapi tuturan Nisa dengan menyisipkan kode bI bangun sebagai variasi atau untuk menggantikan kode bJN tangi. Penggunaan kode bI ini dimaksudkan untuk menggunakan istilah populer dan untuk mela-tih keterampilan berbahasa Indonesia anaknya. Penggunaan ini juga dipe-ngaruhi oleh faktor
93
pekerjaannya
sebagai pedagang, usianya yang relatif muda (27 tahun)
berpendidikan SMA. Keluarganya berada dalam lingkungan pondok pesantren satu rumah dengan Bu Nyai sebagai nenek asuhnya yang tergolong keluarga terhormat. (55) PENUTUR : PAK IMAM SABARI, 30 TAHUN, PEDAGANG, SMA (TP3). KONTEKS
: PAK IMAM SABARI (PEDAGANG) MENYURUH ANAKNYA (WAHYU SANTIKA AJI) MANDI DULU SEBELUM MENGAJAK JALAN-JALAN
Pak Imam
: “Nang, ndherek Bapak napa boten?” ’Nak, ikut Bapak apa tidak?’ : “Ape lah apa, Pak?” ‘Mau apa, Pak?’ : “Bapak ajeng jalan-jalan” ’Bapak mau jalan-jalan.’
Wahyu Pak Imam
(Data C, TP 3 no. 5) Dasar bahasa yang digunakan pada tuturan (55) di atas adalah bJKA dalam kalimat, Nang ndherek bapak napa boten? Pada tuturan ini tampak terjadi campur kode karena penutur menyisipkan kode bI ”jalan-jalan” pada kalimat: Bapak ajeng jalan jalan, untuk menggantikan kode bJKA, tindak-tindak. Penyisipan kode bI ini dimaksudkan untuk mengenalkan istilah-istilah umum bI dan melatih keterampilan berbahasa Indonesia lebih dini. Penggunaan kode bJKA dimaksudkan untuk memberi contoh dan membiasa-kan berbahasa krama alus kepada siapa saja yang harus dihargai. Penggunaan kode bI ini dipengaruhi oleh usia penutur yang relatif muda, tingkat pendi-dikan yang SMA dan mitra tutur yang masih kanak-kanak.
94
4.1.2
Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia yang digunakan sebagai alat komunikasi dalam
keluarga muda Jawa di Blora adalah ragam bahasa Indonesia nonformal dan tidak ditemukan ragam formal. Selain itu terdapat karakteristik bahasa Indonesia yang digunakan pada keluarga muda Jawa di Blora antara lain dalam hal fonologis, interferensi sintaktis, alih kode, dan campur kode. Kajian dan contoh tuturannya disajikan sebagai berikut.
4.1.2.1 Bahasa Indonesia Ragam Nonformal Peristiwa tutur dalam ranah keluarga muda di Blora juga ditandai dengan penggunaan bahasa Indonesia ragam nonformal yang digunakan dalam percakapan. Penggunaan bahasa Indonesia tersebut didominasi oleh keluarga muda dengan pendidikan sarjana dan sebagian kecil berpendidikan SMA serta SMP. Dari enam titik pengamatan, penggunaan bahasa Indonesia hanya terdapat pada dua TP yakni TP1 Blora kota dan TP3 Todanan. Tidak ditemu-kan data tuturan berbahasa Indonesia pada keluarga muda yang orang tuanya berpendidikan SD. Sebagian data penggunaan bahasa Indonesia dalam ranah keluarga muda dapat dilihat dari tuturan berikut. (56). PENUTUR : PAK TRIHADI KRIS PUJIANTORO, 37 TAHUN, GURU, SARJANA (TP1) KONTEKS
: FARIZ DITEGUR PAK TRIHADI KETIKA WAKTU BELAJAR JUSTRU MEMPERBAIKI LAYANG-LAYANG KESAYANGANNYA.
Pak Trihadi
: “Dik, sedang apa di situ?”
95
Fariz Pak Trihadi Fariz Pak Trihadi
: “Masang tali goci, Yah.” : “Dik Fariz ada PR tidak kok nggak belajar, malah main layangan?” : “Kelihatannya ada, Yah. Sebentar tak lihatnya!” : “Lha, itu ada gitu kok.” (Data C, TP1 no. 31)
Bahasa yang digunakan pada tuturan (56) di atas adalah bI. Pada tutur-an tersebut mereka menggunakan bINF dengan adanya interferensi dari bahasa Jawa, tampak pada kata nggak dan taklihatnya yang dalam bI baku tidak dan saya lihat. Penggunaan bI dalam keluarga Pak Trihadi ini dipengaruhi latar belakang pekerjaannya sebagai guru bI di SMP dan pendidikannya yang sarjana. Oleh karena itu, ia menganggap bahwa bI perlu digunakan untuk berkomunikasi seharihari dengan anak di dalam keluarga. (57) PENUTUR : PAK TRIHADI KRIS PUJIANTORO, 37 TAHUN, GURU, SARJANA. KONTEKS
: PAK TRIHADI MENGAJARKAN SOPAN SANTUN KEPADA FARIZ TENTANG TATACARA MENERIMA TAMU JIKA ORANG TUANYA SEDANG ADA KEPERLUAN ATAU TIDAK BERADA DI RUMAH.
Pak Trihadi
: “Dik, bila bapak ibu sedang tidak di rumah, terus ada tamu yang mencari bapak atau ibu, apa yang kamu lakukan?” : “Ditanya nama dan perlunya, Yah.” : “Betul. Bila bertanya dengan bahasa Jawa kamu suruh masuk dulu, “Mangga pinarak rumiyin, Pak/Bu!” ’Mari silakan duduk, Pak/Bu!’ Tanyakan siapa namanya dengan, “Panjenengan asmanipun sinten?” ’Nama Bapak/Ibu siapa?’ Apa keperluannya, “Wonten kersa napa, atau madosi sinten?” ’mencari siapa?’ : “Kalau Bapak nggak di rumah, sedang pergi?” : “Ya, kamu jawab, “Bapak boten ing dalem, nembe tindak.” ’Bapak tidak di rumah, baru pergi.’ : “Kemarin siang ada yang mencari Ayah, saya jawab, “Ayah tindak ting sekolahan.” ’Bapak pergi ke sekolah.’
Fariz Pak Trihadi
Fariz Pak Trihadi Fariz
96
Pak Trihadi
Fariz Pak Trihadi
: “Ya, betul. Pokoknya kalau yang nanya orang tua kamu jawab dengan basa jangan ngoko, saru, tidak sopan. Misalnya, ”Bapak dereng rawuh, Bapak nembe sare, Bapak nembe dhahar, ’Bapak belum datang, Bapak baru tidur, Bapak baru makan,’ dan sebagainya.” : “Kenapa begitu, Yah?” : “Lebih menghormati.”
(Data C, TP 1 no. 34) Dari tuturan (57) di atas tampak jelas bahwa orang tua (Pak Trihadi) juga mengajarkan bahasa Jawa krama, dan krama inggil kepada anaknya tetapi sebatas pengetahuan, dan menanamkan unggah–ungguh berbahasa Ja-wa, tidak sebagai alat komunikasi sehari-hari di rumah. Bahasa Jawa hanya digunakan ketika berkomunikasi dengan orang di luar keluarga yang meng-gunakan bahasa Jawa, tamu misalnya. (58) PENUTUR : WIJI LESTARI, 46 TAHUN ,TUKANG BECAK, ST KONTEKS
: PAK WIJI MENGINGATKAN ANGGUN YANG BELAJAR MALAM HARI AGAR BERSUNGGUHSUNGGUH, TIDAK BERGURAU DENGAN KAKAKNYA.
Pak Wiji Anggun
: “Ayo, Nggun, belajar dulu!” : “Ya, ya, Pak.” ’’Ya, ya, Pak.” : “Ada PR, nggak?” : “Enek, matematika.” ’Ada, matematika.’ : “Ayo, ndang dikerjakan sing tenanan!” ’Ayo, segera dikerjakan dengan sungguh-sungguh!’
Pak Wiji Anggun Pak Wiji
(Data C, TP 1 no. 24) Dasar bahasa yang digunakan Pak Wiji pada tuturan (58) di atas adalah bI, ”Ayo, Nggun, belajar dulu!” Pada tuturan ini tampak terjadi campur kode karena penutur menyisipkan kode bJN ndang dan sing tenanan pada kalimat,
97
”Ayo, ndang dikerjakan sing tenanan!” untuk menggantikan kode bI, cepat dan yang sungguh-sungguh. Penyisipan kode bJN ini untuk memudahkan komunikasi agar lebih akrab dan lancar serta kebiasaan berbahasa Jawa masyarakat di lingkungannya. Penggunaan bI dimaksudkan untuk melatih keterampilan berbahasa Indonesia kepada anaknya lebih dini sehingga di sekolah tidak mengalami kesulitan belajar. (59) PENUTUR : BU ARI DWI ASTUTI , 32 TAHUN, SWASTA, SARJANA. KONTEKS
: BU ARI DWI ASTUTI (SWASTA) SEHABIS MEMANDIKAN ANAKNYA (MOH RAMADANI SURYANTO) BERTANYA MENGAPA TIDAK MAU MANDI SENDIRI.
Bu Ari Ramadani Bu Ari Ramadani Bu Ari
: : : : :
“Kenapa Dik Rama nggak mau mandi sendiri?” “Rama kan masih kecil.” “Lho, katanya sudah besar?” “Rama kan belum sekolah, Bu.” “Kemarin bilang sama Mbah Kakung kalau Rama sekarang sudah besar.” (Data C, TP 3 no. 13)
Bahasa yang digunakan pada tuturan (59) di atas adalah bI. Pada tutur-an ini tampak penggunaan bINF yang terpengaruh interferensi pada kata nggak yang dalam bI baku tidak. Di samping itu juga digunakan kata lho yang biasa digunakan dalam bJN. Hal ini dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat yang sehari-hari terbiasa menggunakan bahasa Jawa ngoko lugu. Penggunaan bI ini mencakupi semua kegiatan Ramadani di rumah, seperti makan, mandi, tidur, dan bermain. Latar belakang pekerjaan ayahnya sebagai karyawan pa-brik di kota besar (Surabaya) dan pendidikan kedua orang tuanya yang sarjana ikut mempengaruhi penggunaan bI sehari-hari dalam lingkup keluarganya.
98
Dalam kehidupan sehari-hari di dalam keluarga Bu Ari selalu berbicara menggunakan bI kepada Ramadani. Penutur berpandangan bahwa bI sebaran pemakainya lebih luas dan lebih sederhana sehingga dapat dipakai sebagai bahasa pergaulan di mana saja, tidak hanya di Jawa. Kakek dan nenek Ramadani juga berkomunikasi menggunakan bI kepada Ramadani, seperti tuturan berikut ini. (60) PENUTUR : MOH. RAMADANI S., 3,5 TAHUN, BELUM SEKOLAH KONTEKS
: RAMADANI DITANYAI MBAH PUTRINYA TENTANG SEKOLAHNYA KALAU IA KELAK SUDAH BESAR
Mbah Putri Ramadani Mbah Putri Ramadani Mbah Putri Ramadani Mbah Putri Ramadani Mbah Putri Ramadani
: : : : : : : : : :
“Besok kalau sudah besar sekolah di mana?” “Di Surabaya.” “Kenapa tidak di sini saja.” “Tidak enak, tidak rame.” “Kok bisa?” “Di Surabaya ikut Ayah.” “Ayah kan tidak pulang sini.” “Diantar Ibu saja.” “Kalau Ibu nggak mau?” “Ibu mau kok. Ayah kan sendiri di sana.”
`
(Data C, TP 3 no. 14)
4.1.2.2 Karakteristik Bahasa Indonesia di Blora Dari penelitian ditemukan karakteristik bahasa Indonesia yang digunakan dalam keluarga muda Jawa di Blora antara lain dalam hal (1) fonologis, (2) interferensi sintaktis, (3) alih kode, dan (4) campur kode.
4.1.2.2.1 Fonologis Penggunaan bahasa Indonesia pada keluarga muda Jawa di Blora dilihat dari aspek fonologis ditemukan karakteristik dalam hal penyederhanaan
99
diftong, misalnya pada kata rame yang dalam bIS ramai. Tuturan yang menunjukkan hal tersebut tampak dalam tuturan berikut. (61)KONTEKS
: RAMADANI DITANYAI MBAH PUTRINYA TENTANG SEKOLAHNYA KALAU IA KELAK SUDAH BESAR.
Mbah Putri Ramadani Mbah Putri Ramadani Mbah Putri Ramadani Mbah Putri Ramadani Mbah Putri Ramadani
: : : : : : : : : :
“Besok kalau sudah besar sekolah di mana?” “Di Surabaya.” “Kenapa tidak di sini saja.” “Tidak enak, tidak rame.” “Kok bisa?” “Di Surabaya ikut Ayah.” “Ayah kan tidak pulang sini.” “Diantar Ibu saja.” “Kalau Ibu nggak mau?” “Ibu mau kok. Ayah kan sendiri di sana.” (Data C, TP 3 no. 14)
4.1.2.2.2 Sintaktis Karakteristik bahasa Indonesia di Blora dalam segi sintaktis di antaranya: (1) pelesapan prefik meng-, proklitik bahasa Jawa tak- dan enklitik -e, (2) penggunaan kata fatis, dan (3) penggunaan struktur kalimat bahasa Jawa. (1) Pelesapan Prefik meng-, Proklitik Bahasa Jawa tak-, dan Enklitik -e Ciri khusus yang berupa
pelesapan prefik meng- ditemukan pada
keluarga Pak Trihadi dalam penggunaan kata masang yang mengalami pelesapan meng- dari kata bIS memasang. Selain itu juga ditemukan interferensi sintaktis penggunaan proklitik bahasa Jawa tak-, yang dalam bahasa Indonesia adalah proklitik saya-. Contohnya pada kata taklihatnya yang dalam bIS saya lihat. Tuturan berikut menunjukkan keadaan tersebut.
100
(62) KONTEKS : FARIZ DITEGUR PAK TRIHADI KETIKA WAKTU BELAJAR JUSTRU MEMPERBAIKI LAYANG-LAYANG KESAYANGANNYA Pak Trihadi Fariz Pak Trihadi Fariz Pak Trihadi
: “Dik, sedang apa di situ?” : “Masang tali goci, Yah.” : “Dik Fariz ada PR tidak kok nggak belajar, malah main layangan?” : “Kelihatannya ada, Yah. Sebentar taklihatnya!” : “Lha, itu ada gitu kok.” (Data C, TP 1 no. 31)
Contoh lain interferensi sintaktis adalah penggunaan enklitik bahasa Jawa –e pada kata tempate yang dalam bIS enklitik –nya pada kata tempatnya. Hal tersebut dapat dilihat pada tuturan berikut. (63) KONTEKS : PAK WIJI LESTARI (TUKANG BECAK) MEMANGGIL ANGGUN PATMARINI KETIKA BERMAIN DENGAN TEMANNYA UNTUK MEMBELI MINYAK TANAH DI WARUNG. Pak Wiji Anggun Pak Wiji Anggun Pak Wiji Anggun Pak Wiji
: : : : : : :
“Nggun, pulang dulu!” “Lah apa leh, Pak?” “Disuruh ibu beli minyak, Nggun!” “Neng endi, Pak?” “Di tempate Pak Warno.” “Pira beline?” “Lima liter aja.” (Data C, TP 1 no. 23)
(2) Penggunaan Kata Fatis Bahasa Jawa Interferensi dalam aspek sintaksis bahasa Jawa terhadap ragam bahasa Indonesia di Blora juga ditandai dengan penggunaan kata fatis bJ lha, lho, dan kok dengan intonasi bJ. Hal ini dapat dilihat pada tuturan berikut.
101
(64) KONTEKS : FARIZ DITEGUR PAK TRIHADI KETIKA WAKTU BELAJAR JUSTRU MEMPERBAIKI LAYANG-LAYANG KESAYANGANNYA Pak Trihadi Fariz Pak Trihadi Fariz Pak Trihadi
: “Dik, sedang apa di situ?” : “Masang tali goci, Yah.” : “Dik Fariz ada PR tidak kok nggak belajar, malah main layangan?” : “Kelihatannya ada, Yah. Sebentar tak lihatnya!” : “Lha, itu ada gitu kok.” (Data C, TP 1 no. 31)
(65) KONTEKS : FARIZ ASYIK MENONTON FILEM DI TV SETELAH BELAJAR. PAK TRIHADI MENGINGATKANNYA UNTUK SEGERA TIDUR AGAR TIDAK MENGANTUK PADA PAGI HARINYA. Pak Trihadi Fariz Pak Trihadi Fariz Pak Trihadi
: “Dik, bagus ya filemnya?” : “Bagus, Yah, petualangan!” : “Ya, tapi udah malam. Kamu ndak tidur besok sekolah lho!” : “Sebentar, Yah, filemnya bagus, kok.” : “Bagus- bagus, besok kalau terlambat gimana kamu?” (Data C, TP 1 no. 32)
(3) Penggunaan Struktur Kalimat Bahasa Jawa Ciri khusus lain dalam bidang sintaktis bahasa Indonesia yang digunakan dalam ranah keluarga muda Jawa di Blora juga ditandai dengan penggunaan ragam bahasa Indonesia berstruktur bahasa Jawa. Hal tersebut tampak dalam tuturan berikut. (66) KONTEKS : FARIZ DITEGUR PAK TRIHADI KETIKA WAKTU BELAJAR JUSTRU MEMPERBAIKI LAYANG-LAYANG KESAYANGANNYA Pak Trihadi Fariz Pak Trihadi Fariz
: “Dik, sedang apa di situ?” : “Masang tali goci, Yah.” : “Dik Faris ada PR tidak kok nggak belajar, malah main layangan?” : “Kelihatannya ada, Yah. Sebentar tak lihatnya!”
102
Pak Trihadi Fariz Pak Trihadi Fariz Pak Trihadi Fariz
: : : : :
“Lha, itu ada gitu kok.” “Saya kira pelajarannya tidak untuk besok, Yah.” “Belajar kok ngingatkan terus itu lho!” “Maaf, Yah, aku lupa!” “Ya, udah belajar yang rajin. Kalau ada yang sulit tanya ayah!” : “Ya, Yah.” (Data C, TP 1 no. 32)
(67) KONTEKS : PAK TRIHADI (PNS/GURU) MENGINGATKAN ANAKNYA, FARIZ UNTUK SEGERA MAKAN SIANG AGAR PERUTNYA TIDAK SAKIT LAGI Pak Trihadi Fariz Pak Trihadi Fariz Pak Trihadi Fariz Pak Trihadi Fariz
: “Dik, ini udah jam berapa kok belum makan, nanti kalau perutnya sakit, gimana?” : “Nanti dulu, Yah, belum lapar.” : “Ya udah terserah, nanti kalau sakit rasakan sendiri, lho!” : “ Ayah itu kok senang kalau anaknya sakit, ya!” : “Ya ndak ta. Habis Dik Fariz kalau dibilangi ayah gitu kok.” : “Tapi kan nggak terus-terusan, Yah.” : “Betul. Dik Fariz mestinya nurut kalau dinasihati ayah.” : “Ya ya.” (Data C, TP 1 no. 30)
Berdasarkan tuturan di atas ditemukan beberapa kalimat yang mengalami interferensi sintaksis di antaranya sebagai berikut. (1) ”Lha, itu ada gitu kok.” (2) ”Ayah itu kok senang kalau anaknya sakit, ya!” (3) ”Ya, ndak ta. Habis Fariz kalau dibilangi ayah gitu kok.” (4) ”Betul. Dik Fariz mestinya nurut kalau dinasihati ayah.” Kalimat-kalimat di atas berstruktur bahasa Jawa, sebab berasal dari bahasa Jawa ragam ngoko seperti berikut: (1) ”Lha, iku ana ngono kok.” (2) ”Bapak iku kok seneng nek anake lara, ya!”
103
(3) ”Ya, nggak ta. Merga Fariz nek dikandhani bapak ngono kok.” (4) Bener. Dik Fariz kudune nurut nek dikandhani bapak.’ Dengan demikian dalam bahasa Indonesia baku kalimat di atas seharusnya seperti berikut. (1) ”Ada, bukan.” (2) ”Ayah senang jika anak sakit!” (3) ”Tidak. Karena Fariz tidak mengindahkan nasihat ayah.” (4) ”Betul. Dik Fariz mestinya mematuhi nasihat ayah.” 4.1.2.2.3 Alih Kode Alih kode dengan dasar bI terdapat pada keluarga muda yang menggunakan bI sebagai sarana komunikasi dalam ranah keluarga dan peristiwa alih kode dimaksudkan untuk mengajarkan
nilai-nilai budaya Jawa kepada anak.
Tuturan demikian terdapat pada keluarga yang mempunyai aspirasi kehidupan moderen. Beberapa tuturan yang demikian itu dapat dicontohkan sebagai berikut. (68) KONTEKS : HAKIM DISURUH BELAJAR PAK ROHMAD. HAKIM BARU PULANG MENGAJI (MADRASAH). BU ISMIYATI PUN MENGINGATKAN PR-NYA. Pak Rohmad Hakim Pak Rohmad Hakim Pak Rohmad Bu Ismiyati Hakim Bu Ismiyati
: “Belajar dulu Mas Hakim.” : “Engko, sik! Dhiluk engkas.” ’Nanti dulu. Sebentar lagi.’ : “Selak wengi, ngko ngantuk.” ’Keburu malam,nanti mengantuk.’ : “Si ah, lagi teka ngaji, sik kesel.” ’Sebentar ah, baru dari mengaji, masih lelah.’ : “Ndak kesel leh ngaji ae.” ’Apa lelah, mengaji saja?’ : “Ada PR nggak, Mas?” : “Enek, be-i (bahasa Indonesia)” ‘Ada, bahasa Indonesia.’ : “Ndang digarap ben tenang!”
104
Hakim Pak Rohmad Hakim
’Segera dikerjakan biar tenang!” : “Mpun, sithik.” ’Sudah, sedikit.’ : “Dibarke, gek belajar liyane!” ’Diselesaikan, segera belajar lainnya!’ : “Enggih-nggih.” ’Iya-ya.' (Data C, TP 1 no. 20)
Dalam tuturan (68) tersebut Pak Rohmad mengatakan, “Belajar dulu Mas Hakim,” adalah kode bI dan diikuti “Selak wengi, ngko ngantuk” sebagai kode bJN. Demikian pula tuturan Bu Ismiyati, “Ada PR nggak, Mas?” sebagai kode bINF yang kemudian diikuti, “Ndang digarap ben tenang!” sebagai kode bJN. Penggunaan bI dalam ranah keluarga dan peristiwa alih kode tersebut dimaksudkan untuk melatih keterampilan bI supaya anak tidak mengalami kesulitan dalam pelajaran di sekolah. (69) KONTEKS : PAK WIJI MENGINGATKAN ANGGUN YANG BELAJAR MALAM HARI AGAR BELAJAR SUNGGUHSUNGGUH, TIDAK BERGURAU DENGAN KAKAKNYA. Pak Wiji Anggun Pak Wiji Anggun
: : : :
Pak Wiji
:
Anggun
:
Pak Wiji
:
Anggun Pak Wiji
: :
Anggun
:
Pak Wiji
:
“Ayo, Nggun, belajar dulu!” “Ya, ya, Pak.” “Ada PR, nggak?” “Enek, matematika.” ’Ada, matematika.’ “Ayo, ndang dikerjakan sing tenanan!” ’Ayo, segera dikerjakan yang sungguh-sungguh.’ “Ya, warahi, Pak!” ’Ya, diajari, Pak.’ “Tapi teruse latihan dhewe!” ’Tapi terus latihan sendiri.’ “Iya, ya, Pak.” “Lho, kok malah cekikikan.” ’Lhokok malah bergurau saja.’ “Iki lho, Pak, kakak mbeda ae.” ’Ini lho, Pak, kakak menggoda saja.’ “Nek sinau aja sambil guyon.Yen guyon ana wektune dhewe. Mengko nek guyon ora masuk!”
105
Anggun Pak Wiji Anggun
’Kalau belajar jangan sambil bergurau. Kalau bergurau ada waktunya sendiri. Nanti kalau bergurau tidak masuk.’ : “Kakak kok sing marahi.” ’Kakak kok yang memprakarsai.’ : “Sekarang sudah malam. Habis belajar tidur!” : “Enggih.” ’Ya.’ (Data C, TP 1 no. 24)
Dalam tuturan tersebut Pak Wiji menggunakan kode bI “Ayo, Nggun, belajar dulu!”, “Ada PR, nggak?” lalu beralih kode bJN “Ayo, ndang dikerja-kan sing tenanan!”, “Tapi teruse latihan dhewe!” dan seterusnya. Hal itu dila-kukan Pak Wiji untuk mengenalkan kode bI kepada Anggun sehingga tidak mengalami kesulitan dalam pelajaran di sekolah. Berbeda dengan keluarga muda di Blora pada umumnya, keluarga Pak Trihadi selalu menggunakan bI dalam berkomunikasi dengan anaknya. Akan tetapi untuk mendidik anaknya berkaitan dengan sopan santun menerima ta-mu yang berbahasa Jawa, mereka beralih kode bJKi. Hal itu tampak dalam tuturan berikut. (70) KONTEKS : PAK TRIHADI MENGAJARKAN SOPAN SANTUN KEPADA FARIZ TENTANG TATACARA MENERIMA TAMU JIKA ORANG TUANYA SEDANG ADA KEPERLUAN ATAU TIDAK BERADA DI RUMAH. Pak Trihadi
Fariz Pak Trihadi
Fariz Pak Trihadi
: “Dik, bila bapak ibu sedang tidak di rumah, terus ada tamu yang mencari bapak atau ibu, apa yang kamu lakukan?” : “Ditanya nama dan perlunya, Yah.” : “Betul. Bila bertanya dengan bahasa Jawa kamu suruh masuk dulu, “Mangga pinarak rumiyin, Pak/Bu.” Tanyakan siapa namanya dengan, “Panjenengan asmanipun sinten?” Apa keperluannya, “Wonten kersa napa, atau madosi sinten?’” : “Kalau Bapak nggak di rumah, sedang pergi?” : “Ya, kamu jawab, “Bapak boten ing dalem, nembe tindak.”
106
Fariz Pak Trihadi
Fariz Pak Trihadi
: “Kemarin siang ada yang mencari Ayah, saya jawab, “Ayah tindak ting sekolahan.” : “Ya, betul. Pokoknya kalau yang nanya orang tua kamu jawab dengan basa jangan ngoko, saru, tidak sopan. Misalnya, Bapak dereng rawuh, Bapak nembe sare, Bapak nembe dhahar, dan sebagainya.” : “Kenapa begitu, Yah?” : “Lebih menghormati.” (Data C, TP 1 no. 34)
4.1.2.2.4 Campur Kode Campur kode dengan dasar bI terdapat pada keluarga muda Jawa yang menggunakan bI untuk berkomunikasi dalam ranah keluarga. Variasi campur kode tersebut dapat berwujud penyisipan bJN atau bJK. Variasi campur kode dengan dasar bI yang disisipi bJN karepem, engko nek ditinggal buke ’ter-serah, nanti kalau ibu tinggal’ dalam kalimat, ”Karepem, engko nek ditinggal buke berangkat sendiri!” misalnya untuk menyatakan perasaan, di antaranya seperti tampak dalam tuturan berikut. (71) KONTEKS : BU MARCICIK MEMBANGUNKAN NUROSI UNTUK MANDI DAN BERANGKAT SEKOLAH. Bu Marcicik Nurosi Bu Marcicik Nurosi Bu Marcicik Nurosi Bu Marcicik Nurosi Bu Marcicik Nurosi
: “Osi, ayo bangun sudah pagi!” : “Ngko sik ah, sik isuk.” ’Nanti dulu ah, masih pagi!’ : “Sudah jam enam kok isuk?” Ayo, gek mandi sana!” ’Sudah jam enam pagi? Ayo, cepat mandi sana!’ : “Sik-sik. Sik ngantuk.” ’Nanti-nanti, masih mengantuk.’ : “Disuruh mandi kok ngantuk!” : “Emoh, sik adhem!” ’Tidak mau, masih dengin!’ : “Nanti terlambat lho sekolahnya!” : “Nggak-nggak!” ‘Tidak-tidak!’ : “Osi kan belum sarapan juga!” : “Gak apa-apa leh!” ‘Tidak apa-apa!’
107
Bu Marcicik Nurosi
: “Karepem, ngko nek ditinggal buke berangkat sendiri!” ‘Terserah, nanti kalau ibu tinggal berangkat sendiri!’ : “Ya, ben, nggak masuk leh!” ’Ya, biarlah, tidak masuk!’ (Data C, TP-2 no. 15)
Contoh peristiwa campur kode dengan dasar bI yang disisipi kode bJK seperti tuturan Bu Sariatun kepada anaknya, Rizqiya. Dalam tuturan, Bu Sariatun menyisipkan kode bJK saged ‘bisa’ untuk melatih keterampilan berbahasa Jawa Krama kepada ibunya, di samping menggunakan kosakata bI. Berikut penggalan tuturan tersebut . Bu Sariatun Rizqiya Bu Sariatun Rizqiya
: : : :
“Asal mau belajar Dik Rizqi mesthi saged!” “Enggih, Bu.” “Enjing mata pelajarane napa?” “PAI, Bu?”
(Data C, TP-2 no. 17)
BAB V FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGGUNAAN BAHASA DALAM RANAH KELUARGA MUDA JAWA DI KABUPATEN BLORA
Faktor-faktor yang melatarbelakangi penggunaan bahasa dalam ranah keluarga muda Jawa di Blora mencakupi (1) ranah pemilihan bahasa (ranah keluarga dan ranah pergaulan dalam masyarakat), (2) aspirasi, (3) jenis kela-min, (4) usia, (5) pendidikan, (6) pekerjaan, (7) tujuan tutur, (8) pokok tutur, dan (9) norma tutur.
5.1
Ranah Pemilihan Bahasa Ranah pemilihan bahasa mencakupi ranah keluarga, ranah pergaulan
dalam masyarakat, ranah keagamaan, ranah upacara adat, dan ranah kedinasan. Sesuai dengan maksud penelitian, penelitian ini membatasi pada ranah keluarga dan ranah pergaulan dalam masyarakat dalam hal menerima tamu.
5.1.1
Ranah Keluarga Penggunaan bahasa dalam ranah keluarga muda Jawa di Blora dalam
penelitian ini terfokus pada konteks kegiatan di dalam rumah. Hasil penelitian menunjukkan kecenderungan penggunaan bJN, bJK, dan bI dalam ranah L (low), sedangkan dalam ranah H (high) menggunakan bJK dan bI. Secara rinci penggunaan bahasa dalam ranah keluarga muda dapat ditabulasikan sebagai berikut. 108
109
Tabel 1: Penggunaan Bahasa dalam Ranah Keluarga Muda di Blora bJK RANAH TINGGI (H) bI
RANAH KELUARGA
bJN RANAH RENDAH (L)
bJK bI
5.1.2
Ranah Pergaulan dalam Masyarakat Cakupan ranah pergaulan dalam masyarakat sangatlah luas. Oleh karena
itu, penelitian ini membatasi diri pada pergaulan dalam masyarakat dalam hal anak menerima tamu. Data tuturan menunjukkan bahwa semua orang tua menganjurkan kepada anaknya menggunakan bJK kepada tamu, kepada orang yang belum dikenal dan kepada orang tua. Ternyata data tuturan pergaulan dalam masyarakat dengan konteks anak menerima tamu pada keluarga muda di Blora menunjukkan semua anak menggunakan bJK ketika menerima tamu sebagaimana yang dianjurkan oleh orang tuanya. Berikut ini tuturan anak ketika menerima tamu.
(72) PENUTUR : WIDIA ARINTA, 8,5 TAHUN, PELAJAR, SD KELAS 4 (TP2). KONTEKS
: KEDUA ORANG TUA WIDIA TIDAK BERADA DI RUMAH KETIKA ADA SEORANG TAMU YANG MENCARINYA. WIDIA PUN MENJAWAB DENGAN BAHASA KRAMA KETIKA DITANYA TAMUNYA.
Tamu
: “Pak-aem ana, Ndhuk?” ’Bapakmu ada, nak?’ : “Bapake kula boten enten.” ’ Bapak saya tidak ada.’
Widia
110
Tamu
: “Neng endi?” ‘Di man?’ : “Bapake kula medal.” ‘ Bapak saya keluar.’ : “Metu ning endi?” ‘Keluar ke mana?’ : “Boten ngertos.” ‘Tidak tahu.’
Widia Tamu Widia
(Data C, TP 2 no. 5) Dalam tuturan di atas ragam yang digunakan Widia Arinta adalah krama lugu. Penggunaan kode bJK bapake kula boten enten ’bapak saya tidak ada,’ bapake kula medal
‘bapak saya keluar,’
dan
boten ngertos ‘tidak tahu’
dipandang lebih halus atau lebih menghargai dibanding dengan kode bJN bapakku ora ana, bapakku metu, dan ora ngerti. Penggunaan kode bJK ini dimaksudkan untuk menghormati tamu atau orang lain yang belum dikenal akrab. Penggunaan krama lugu ini juga dipengaruhi oleh faktor pekerjaan dan status sosial keluarga pemakai sebagai petani yang lebih cocok berbicara krama lugu, bukan krama inggil (alus). (73) PENUTUR : FIANA TRIA PRATIWI, 8 TAHUN, PELAJAR, SD (TP 4). KONTEKS
: FIANA TRIA MENERIMA TAMU YANG MENCARI BAPAKNYA KETIKA IA TIDAK BERADA DI RUMAH.
Tamu
: ”Bapakem endi?” ‘ Bapakmu mana?’ : ”Bapake kula boten enten.” ’Bapak saya tidak ada.’ : ”Neng endi?” ‘Di mana?’ : “Teng Blora.” ‘Ke Blora.’ : ”Lah apa?”
Fiana Tria Tamu Fiana Tria Tamu
111
Fiana Tria Tamu Fiana Tria
‘Ada perlu apa?’ : ”Mendhet akte.” ‘Mengambil akte.’ : ”Mulih jam pira?” ‘Pulang jam berapa?’ : ”Kalih.” ‘Dua.’ (Data C, TP 4 no. 7)
Dalam tuturan di atas ragam yang digunakan Fiana adalah krama lugu. Penggunaan kode bJK bapake kula boten enten ‘bapak saya tidak ada,’ teng Blora ‘ke Blora’, dan mendhet akte ‘mengambil akte,’ dipandang lebih halus atau lebih menghormati dibanding dengan kode bJN bapakku ora ana, neng Blora, dan njupuk akte. Penggunaan ini juga dipengaruhi oleh faktor pekerjaan dan status sosial keluarga pemakai sebagai petani yang biasa berbicara krama, bukan krama inggil (alus). (74) PENUTUR : DIAH SYAFIRA RANTI, 8 TAHUN, PELAJAR, SD (TP4). KONTEKS
: DIAH MENERIMA TAMU KETIKA BAPAKNYA TIDAK BERADA DI RUMAH.
Tamu
: “Kula nuwun.” ’Permisi.’ : “Mangga. Pinarak riyin!” ’Mari. Silakan duduk!’ : “Ya. Bapak ana, Ndhuk?” ’Ya. Bapak ada, Nak?’ : “Bapake kula boten teng dalem.” ’Bapak saya tidak di rumah.’ : “Neng endi?” ’Ke mana?’
Diah Tamu Diah Tamu
Diah
: “Tindak kantor.” ’Ke kantor.’ (Data C, TP 2 no. 5)
112
Dalam tuturan di atas ragam yang digunakan Diah adalah krama alus. Penggunaan kode bJKA, Bapake kula boten teng dalem, dan tindak kantor dipandang lebih halus atau lebih menghormati dibanding dengan kode bJK, Bapak kula boten teng griya, dan kesah kantor. Penggunaan ragam ini juga dipengaruhi oleh faktor pekerjaan dan status sosial keluarga pemakai sebagai pegawai /perangkat desa (sekdes) yang berpendidikan tinggi yang cocok bila berbicara krama inggil (alus).
5.2
Aspirasi Aspirasi mengacu kepada harapan seseorang pada kehidupan yang akan
datang. Setidaknya ada dua golongan yakni yang tetap ingin mem-pertahankan kehidupan tradisional dan yang menginginkan kehidupan modern. Aspirasi keluarga muda di Blora dalam hal penggunaan bahasa menunjukkan pemertahanan bahasa Jawa. Data wawancara menunjukkan bahwa mereka bangga menggunakan bahasa Jawa dan tidak merasa terpaksa menggunakannya. Hal itu tercermin dari jawaban informan atas pertanyaan peneliti tentang perasaannya menggunakan bahasa Jawa, seperti dituturkan berikut ini. (a) Penutur : Pujiati, 38 tahun/ Sutarji, 40 tahun , Petani (TP 1). Penutur : Remen, bangga, wis adat-istiadate turun-temurun. ‘Senang, bangga, sudah menjadi adat istiadat turun temurun.’
(b) Penutur : Eko Didik Waluyo, 39 tahun/ Siti Masamah, 35 tahun, Swasta (TP5). Penutur : Bangga, mergi basane dhewe, basa Jawa, boten kepeksa.
113
Genah, gampang ditampi, kurang pas yen ngangge basa mlithit (krama alus). Sebab kula niki sanes tiyang pangkat yen basane dakik-dakik (alus) kok isin kalih awak kula dhewe. ’Bangga, karena bahasa sendiri, bahasa Jawa, tidak terpaksa. Jelas, mudah diterima, kurang tepat kalau menggunakan bahasa yang halus. Karena saya ini bukan orang berpangkat kalau berbahasa halus malu kepada diri sendiri.’ (c) Penutur : Trimo S.Pd, 37 tahun/ Tining Wiswati, 35 tahun(PNS/Guru) Penutur : Bangga, karena saat sekarang ini bahasa Jawa lebih mengenal tingkatan-tingkatan, mengenal unggah-ungguh, rasa hormatnya lebih daripada bahasa Indonesia yang penggunaan kosakatanya sama. (d) Penutur : Yusron, 42 tahun/ Sariatun, 39 tahun, PNS (TP2). Penutur : Bangga, karena bisa ikut melestarikan (nguri-uri) bahasa Jawa. (e) Penutur : Dudung Turyanto, 41 tahun, Sekdes, Sarjana (TP 4). Penutur : Bangga, karena tinggalan nenek moyang basa Jawa saged bertahan. ’Bangga, karena peninggalan nenek moyang bahasa Jawa bisa bertahan.’ Untuk pertanyaan yang sama, dua orang informan menjawab biasa-biasa saja seperti dituturkan berikut ini. (f) Penutur : Bapak Satyo Budi, 34 tahun/ Purwati, 29 tahun, Petani (TP 2). Penutur : Biasa mawon, sagede Jawa. ’Biasa saja, bisanya Jawa.’ (g) Penutur : Ngadi, 46 tahun, karyawan swasta/ Marcicik, 37 tahun, TU. Penutur : Biasa-biasa saja karena sudah terbiasa berbahasa Jawa. Aspirasi bangga berbahasa Jawa dan menggunakannya bukan karena terpaksa tersebut dikuatkan dengan upaya mengajarkan bahasa Jawa kepada anakanaknya dalam interaksi verbal pada ranah keluarga dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut tergambar pada respon semua informan atas per-tanyaan tentang bahasa yang digunakan dalam mendidik anaknya, di antara-nya seperti dituturkan dalam transkrip berikut ini.
114
(a) Penutur : Pujiati, 38 tahun/ Sutarji, 40 tahun, Petani (TP 1). Penutur : Basa ngoko. Kalih tiyang sanes basa krama yen boten ketingal saru. Yen ditimbali njawabe “dalem”, “napa” utawa “enggih.” ’Bahasa ngoko. Dengan orang lain bahasa krama kalau tidak kelihatan tabu. Kalau dipanggil menjawab dalem ’saya’, napa ’apa’ atau enggih ’iya.’ (b) Penutur : Ibu Sarti Nurfarikhah, 27 tahun, Pedagang (TP 2). Penutur : Bahasa Jawa krama. Kadang ngoko, tapi mendidik anak banyak krama. (c) Penutur : Bapak Wiji Lestari, 46 tahun (Tukang becak)/ Ibu Sukarti, 39 tahun (Swasta) Penutur : Basa Jawa biasa (ngoko), kadang Indonesia.
Perkecualian dari keadaan tersebut, dua penutur menyatakan mendidik anaknya sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia, seperti dituturkan dalam transkrip berikut ini. (a) Penutur : Trihadi Kris Pujiantoro, 37 tahun(Guru) / Prihantari Handayani, 37 tahun (Swasta) Penutur : Bahasa Indonesia. Karena di lembaga pendidikan yang digunakan secara formal adalah bahasa Indonesia. (b) Penutur : Ari Dwi Astuti, 32 tahun, Swasta (TP 3). Penutur : Basa Indonesia. Bahasa Indonesia luas, dalam pergaulan di mana saja. Berdasarkan aspirasi penutur dapat dibedakan (1) penutur aspirasi tradisional menggunakan bJN dan bJK dan (2) penutur aspirasi moderen menggunakan bJN, bJK dan bI. Penggunaan bahasa berdasarkan aspirasi penutur dapat ditabulasikan sebagai berikut.
115
Tabel 2: Penggunaan Bahasa Berdasarkan Aspirasi Penutur bJN TRADISIONAL bJK
ASPIRASI
bJN MODEREN
bJK bI
5.3
Jenis Kelamin Penggunaan bahasa dalam ranah keluarga di Blora dengan penanda jenis
kelamin peserta tutur dengan sebutan honorifik. Sebutan honorifik yang mengacu kepada laki-laki di antaranya adalah pak, pake, pak-aem, bapake kula, le, cung dan sebutan honorifik yang mengacu perempuan di antaranya adalah make, bu, buke, ndhuk, dan mbak.
5.4
Usia Selain sebagai penanda jenis kelamin, sebutan honorifik juga menjadi
penanda usia peserta tutur. Sebutan: pak, pake, pak aem, bapake kula, yah, mbah, yang, make, bu, buk, mbak adalah penanda usia mitra tutur yang lebih tua. Sedangkan sebutan: ndhuk, cung, dhik, le, sebagai penanda mitra tutur lebih muda. Selain itu penanda usia tercermin dari penggunaan leksikon: maem, bubuk, pakpung, nyuwun dulang, dan ndherek untuk peserta tutur anak-anak.
116
Peserta tutur dewasa menggunakan leksikon: dhahar, sare, siram, tindak. Penanda usia tersebut antara lain dapat dilihat dalam tuturan berikut ini. (75) KONTEKS : PAK SUWOTO MENYURUH YOGA SEGERA MANDI SETELAH PULANG BERMAIN SEPAK BOLA. Pak Suwoto
: “Nek mpun sat krengete mrika gek pakpung!” ’Kalau sudah keringatnya sana cepat mandi!’
(76) KONTEKS : BU TINING MENGAJAK KEDUA ANAKNYA UNTUK MAKAN MALAM BERSAMA. Bu Tining
: “Ayo, Cung gek maem bareng adhik barang!” ’Ayo, Nak cepat makan bersama adik!’
(77) KONTEKS : SETELAH BELAJAR NABILA MERASA MENGANTUK. IA PUN MENGAJAK IBUNYA TIDUR. Nabila Bu Yayuk
: ”Mamah, bubuk!” ’Mamah, tidur!’ : ”Engko sik. Taksih dhahar.” ’Nanti dulu. Masih makan.’
Penanda usia juga dapat dilihat dari penggunaan kode yang berwujud tingkat tutur. Bahasa Jawa mengenal stratifikasi sebagai bagian dari unggahungguh yakni: tingkat tutur krama digunakan peserta tutur yang lebih muda kepada peserta tutur yang lebih tua dan tingkat tutur ngoko digunakan peserta tutur yang lebih tua kepada peserta tutur yang lebih muda. Tuturan berikut ini menunjukkan penanda usia yang berwujud tingkat tutur.
(78) PENUTUR : BU SARIATUN, PAK YUSRON, DAN RIZQIYA KONTEKS
: BU SARIATUN DAN PAK YUSRON MENGAJAK RIZQIYA MAKAN MALAM BERSAMA-SAMA. BU SARIYATUN MEMBERIKAN NASIHAT TENTANG TATACARA MAKAN YANG SOPAN.
117
Bu Sariatun Pak Yusron Rizqiya Bu Sariatun Rizqiya Bu Sariatun Rizqiya Bu Sariatun Rizqiya Bu Sariatun Rizqiya Bu Sariatun Rizqiya Bu Sariatun Pak Yusron Rizqiya Bu Sariatun
Pak Yusron Bu Sariatun
Rizqiya Bu Sariatun
: “Ayo, Dik Rizqi kene maem karo Bapak ibu dhahar!” ‘Ayo, Dik Rizqi sini makan bersama Bapak Ibu makan!.’ : “Dienteni Bapak, Ndhuk!” ‘Ditunggu Bapak, Nak!’ : “Mengkin, Pak.” ‘Nanti, Pak.’ : “Selak dingin lho sayure!” ‘Keburu dingin lho sayurnya!’ : “Enggih-enggih, Bu!” ‘ Iya-iya, Bu.’ : “Mpun cuci tangan napa dereng?” ‘Sudah cuci tangan belum?. : “Dereng.” ‘ Belum.’ : “Cuci tangan dhisik!” ‘Cuci tangan dulu!’ : “Enggih.” ‘Ya.’ : “Iku unjukane bapak bekta mriki!” ‘Itu minumannya Bapak bawa kemari.’ : “Niki le, Bu.!” ‘Ini, Bu!’ : “Iki mimikmu, nya!” ‘Ini minummu!’ : “Ibu pundi?” ‘Ibu mana?’ : “Unjukane ibu iki!” ‘Minuman Ibu ini!’ : “Saderenge dimulai ayo berdoa dhisik!” ‘Sebelum dimulai ayo berdoa dulu.’ : “Enggih.” ‘Iya.’ : “Dhik Rizqi nek maem boten pareng ngomong ae. Nek tutuke kebak ditelaske riyen nek arep matur.” ‘Dik Rizqi kalau makan tidak boleh berbicara saja. Kalau mulutnya penuh dihabiskan dulu.’ : “Tutuke ora kena nyuwara, kecap, saru!” ‘Mulutnya tidak boleh bersuara, berkeciap, tabu’ : “Nek arep tanduk dicedhakke boten pareng ngranggehngranggeh, saru!” ‘Kalau akan tambah didekatkan tidak boleh meraih-raih, tabu!’ : “Nek boten telas?” ‘Kalau tidak habis.” : “Nggih sithik-sithik mawon ta tanduke, ben boten nyisa!” ‘Ya sedikit-sedikit saja mengambilnya, biar tidak tersisa.’
118
Rizqiya
: “Enggih, Bu.” ‘Iya, Bu.’
(Data C, TP 2 no. 19)
5.5
Pendidikan Data penelitian ini menunjukkan dari 140 data tuturan, 84 di antaranya
menggunakan bJN antara orang tua-anak. Semua orang tua yang berpen-didikan SD menggunakan bJN dalam ranah keluarga untuk berkomunikasi dengan anaknya. Akan tetapi mereka menganjurkan kepada anaknya untuk menggunakan bJK dalam interaksi verbal dengan orang yang lebih tua di luar keluarga. Hal tersebut di antaranya tercermin dari transkrip tuturan berikut ini. (79) PENUTUR : BU NGATIYEM, 40 TAHUN, PENJAHIT, SD (TP 6). KONTEKS
: BU NGATIYEM MENGAJARKAN KEPADA EFA CARA MENERIMA TAMU YANG SOPAN.
Bu Ngatiyem
: “Ndhuk, mengko nek ana tamu njikuk jahitan ongkose sakmene!” ’Nak, nanti kalau ada tamu mengambil jahitan ongkosnya sekian!’ : “Enggih.” ‘Iya.’ : “Engko basa lho, ora pareng ngoko!” ‘Nanti basa lho, tidak boleh ngoko!’ : “Nggih.” ‘Ya.’
Efa Bu Ngatiyem Efa
(Data C, TP 6 no. 18) Dalam tuturan di atas ragam yang digunakan Bu Ngatiyem ngoko lugu dengan campur kode ngoko alus (ckNA) kata ora pareng bukan ora oleh. Kata ini
119
dipilih dengan maksud menegaskan pesannya bahwa ora basa dengan orang lain di luar keluarga itu adalah tabu. (80) PENUTUR : PAK SUTRISNO, 34 TAHUN, TUKANG BECAK, SD (TP1). KONTEKS
: ANDIKA DIBERI TAHU BAPAK DAN IBUNYA TENTANG CARA MENERIMA TAMU YANG BAIK DAN SOPAN.
Bu Suparti
: “Wingi takdhungokne aku muni, Pake ora enek!” ’Kemarin saya dengarkan berkata, Bapak tidak ada!’ : “Suk neh yen enek tamu basa, saru yen ora basa. Ditakoni, Sampeyan sinten? Enten damele napa? Mangga mlebet!” ’Besok lagi kalau ada tamu basa, tabu kalau tidak basa. Ditanya, Anda siapa? Ada perlu apa? Silakan masuk!’ : “Nek ditakoni?” ’Kalau ditanya?’ : “Nek pake lunga ya dijawab, Pake kesah. Nek make neng pasar ya dijawab, Make ting peken.” ‘Kalau bapak pergi ya dijawab, Bapak pergi. Kalau Ibu ke pasar ya dijawab, Ibu ke pasar.’ : “Nek ora eroh?” ’Kalau tidak tahu?’ : “Boten ngertos.” ’Tidak tahu.’
Pak Sutrisno
Andika Pak Sutrisno
Andika Pak Sutrisno
(Data C, TP 1 no. 22) Dalam tuturan di atas tampak Pak Sutrisno menggunakan ragam ngoko lugu disisipi campur kode krama (ckK) dalam mengajarkan tata cara menerima tamu yang baik kepada anaknya, misalnya pada kalimat, Sampeyan sinten? Walaupun sehari-hari tidak digunakan ragam krama (basa) antarse-sama anggota keluarga, namun untuk berbicara dengan orang lain di luar keluarga sebisabisanya harus basa. Hal ini dimaksudkan untuk menanamkan nilai budi pekerti menghargai orang lain.
120
Sebanyak 40 tuturan dari 140 tuturan menggunakan bJK dalam interaksi verbal dengan anaknya. Pilihan ini dimaksudkan untuk mengajarkan sopan santun (unggah- ungguh) kepada anaknya melalui media bahasa. Hal tersebut tercermin dalam transkrip tuturan berikut ini. (81) PENUTUR : YOGA ILMU NUSA PELAJAR, SD (TP 6).
INDRAWAN,10
TAHUN,
KONTEKS
: YOGA MINTA UANG SAKU KEPADA IBUNYA TAPI DISURUH MINTA KEPADA AYAHNYA
Yoga
: “Bu, nyuwun arta kangge sangu!” ’Bu, minta uang untuk uang saku!’ : “Ibu artane telas!” ’Uang ibu habis!’ : “Ngendikanipun Bapak diutus nyuwun Ibu mawon kados biasane.” ’Kata Bapak disuruh minta Ibu saja seperti biasanya.’ : “Enggih, ning artane ibu pas telas. Niki lo kantun sing utuh!” Sing pecahan mpun dipundhutke blanjan ibu!” ’Iya, tapi uang ibu habis. Ini lho tinggal yang utuh (besar)!’ : “Niki, mriki diparingi arta bapak mawon!” ’Ini, sini Bapak beri saja!’ (Data C, TP 3 no. 20)
Ibu Yoga
Ibu
Pak Suwoto
Dalam tuturan di atas Yoga menggunakan ragam krama alus (bJKA), Bu, nyuwun arta kangge sangu? dan ngendikanipun Bapak diutus nyuwun Ibu mawon kados biasane. Penggunaan kode bJKA ini dikarenakan didikan kedua orang tuanya yang selalu mengajarkan dan melatih berbicara basa (krama), lebih-lebih kepada orang tua atau orang lain yang harus dihormati. Kepada anaknya, Pak Suwoto selalu menggunakan kata-kata krama atau krama inggil untuk memberi contoh dan melatih keterampilan berbahasa Jawa agar anaknya bisa basa (krama) dengan baik. Penggunaan ini juga dipengaruhi oleh faktor pekerjaan kedua orang tuanya sebagai guru, usianya yang relatif tidak muda (48 tahun) pendidikan yang
121
tinggi, dan status sosial yang dapat digolongkan sebagai orang terpelajar dan priyayi. Sedangkan penggunaan bI ditemukan 15 tuturan dari 140 tuturan yang berasal dari kalangan berpendidikan SMP, SMA, dan sarjana. Kelompok ini menggunakan bI dalam interaksi verbal dengan anaknya dalam ranah kelu-arga. Menurut mereka, hal itu dimaksudkan supaya anaknya tidak mengalami kesulitan dalam belajar di sekolah. Sedangkan interaksi verbal dengan bJ diperoleh anakanak dalam pergaulannya dengan teman di sekolah dan masyarakat. Akan tetapi mereka menganjurkan kepada anaknya untuk menggunakan bJK kepada orang lain yang lebih tua. Kelompok ini, misalnya mengajarkan kepada anaknya cara menerima tamu dengan bJK dengan pengantar bI, seperti tampak dalam transkrip tuturan berikut ini. (82) PENUTUR : PAK TRIHADI KRIS PUJIANTORO, 37 TAHUN, GURU, SARJANA (TP1). KONTEKS
: PAK TRIHADI MENGAJARKAN SOPAN SANTUN KEPADA FARIZ TENTANG TATACARA MENERIMA TAMU JIKA ORANG TUANYA SEDANG ADA KEPERLUAN ATAU TIDAK BERADA DI RUMAH.
Pak Trihadi
: “Betul. Bila bertanya dengan bahasa Jawa kamu suruh masuk dulu, “Mangga pinarak rumiyin, Pak/Bu.” ’Mari, duduk dulu, Pak/Bu.’Tanyakan siapa namanya dengan, “Panjenengan asmanipun sinten?” ’Nama Anda siapa?’Apa keperluannya, “Wonten kersa napa, atau madosi sinten?” ’mencari siapa?’ : “Kalau Bapak nggak di rumah, sedang pergi?” : “Ya, kamu jawab, “Bapak boten ing dalem, nembe tindak.” ’Bapak tidak di rumah, baru pergi.’
Fariz Pak Trihadi
(Data C, TP 1 no. 34)
122
Bahasa yang digunakan pada tuturan di atas adalah bI. Penutur menyisipkan kode bJKi “Mangga pinarak rumiyin, Pak/Bu.” “Panjenengan asmanipun sinten?” “Wonten kersa napa,” atau ”madosi sinten?” Penggu-naan kode bJKi bertujuan untuk menanamkan unggah-ungguh berbahasa Jawa sehingga anak dapat basa dengan benar ketika berhadapan dengan orang yang lebih tua di luar keluarga atau yang harus dihormati yang sehari-harinya berbahasa Jawa. Pada tuturan di atas tampak penggunaan bahasa Indonesia nonformal, misalnya pada kata nggak yang dalam bI baku ”tidak”. Penggunaan bI ini bertujuan untuk melatih anak agar memiliki keterampilan berbahasa Indonesia lebih dini sehingga di sekolah tidak mengalami kesulitan. Latar belakang pekerjaannya sebagai guru bI di SMP dan pendidikannya yang sarjana ikut mempengaruhi penggunaan bI sehari-hari dalam lingkup keluarganya. Bahasa Jawa ngoko, krama, dan krama inggil juga diajarkan kepada anaknya tetapi sebatas pengetahuan, dan untuk menanamkan unggah–ungguh berbahasa Ja-wa, tidak sebagai alat komunikasi sehari-hari di rumah. Bahasa Jawa hanya digunakan ketika berkomunikasi dengan orang di luar keluarga yang meng-gunakan bahasa Jawa. Secara garis besar penggunaan bahasa dalam ranah keluarga berdasarkan tingkat pendidikan dapat ditabulasikan sebagai berikut.
123
Tabel 3: Penggunaan Bahasa dalam Ranah Keluarga Muda di Blora Berdasarkan Pendidikan Banyaknya Tuturan
bJN
bJK
bI
Prasekolah
2
1
0
1
SD
50
50
0
0
SMP, SMA, dan Sarjana
88
33
40
15
Pendidikan
5.6
Pekerjaan Dari analisis data diketahui bahwa semua penutur yang berlatarbe-lakang
pekerjaan sebagai petani menggunakan bJN untuk berkomunikasi dengan anaknya. Sedangkan yang berlatarbelakang pekerjaan swasta, peda-gang, dan pegawai menggunakan ragam bJN, bJK, bI untuk berkomunikasi dengan anaknya. Penggunaan bJN oleh kalangan petani tersebut berkaitan dengan latar belakang pendidikan yang hanya setingkat SD yang merasa bJN adalah bahasa yang mudah dipahami dan menjadi kebiasaan yang turun-temurun. Hal ini sesuai dengan pengakuan Bapak Satyo Budi seperti dalam wawancara berikut ini. Peneliti Penutur Peneliti Penutur
: Basa napa sing panjenengan remeni ing keluarga? ‘Bahasa apa yang Anda sukai di keluarga??’ : Nggih niku wau, Jawa biasa. ‘Ya itu tadi, Jawa biasa.’ : Napa sebabe? ‘Apa sebabnya.’ : Kebiasaan, gampil. ‘Kebiasaan, gampang.’ (Data A TP 2 no.1)
124
Kalangan dengan berlatarbelakang pekerjaan swasta, pedagang, dan pegawai menggunakan ragam salah satu dari bJN, bJK, atau bI terkait dengan latar belakang pendidikan. Jenis ragam bahasa yang digunakan keluarga muda Jawa berdasarkan latar belakang pekerjaan dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 4: Penggunaan Bahasa dalam Ranah Keluarga Muda di Blora Berdasarkan Pekerjaan Pekerjaan Petani Swasta Pedagang Pegawai 5.7
bJN √ √ √ √
bJK ─ √ √ √
bI ─ √ √ √
AK ─ √ √ √
CK √ √ √ √
Tujuan Tutur Setiap tuturan mempunyai tujuan tertentu. Maksud tuturan itu dapat
dikategorikan menjadi lima yakni representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan establisif (Fraser 1978). Pertama, tuturan representatif orang tua dalam ranah keluarga dimaksudkan untuk menyatakan atau menunjukkan suatu kebenaran. Penggunaan tuturan representatif dalam ranah keluarga muda di Blora sering dimaksudkan sebagai perlukosi, yaitu mempengaruhi perilaku mitratutur. Tuturan berikut adalah tuturan representatif yang berfungsi sebagai perlukosi. (83) KONTEKS : PAK WIJI BERPESAN KEPADA ANAKNYA YANG MAU BERANGKAT KE SEKOLAH AGAR BERHATIHATI DI JALAN Pak Wiji
: “Cedhak jembatan kae kerep ana kecelakaan. Wingi bocah SD siji disrempet motor. Untunge ora dhah dheh mung lecet sithik.”
125
Anggun
’Dekat jembatan sana sering ada kecelakaan. Kemarin, anak SD satu diserempet motor. Untung tidak apa-apa hanya lecet sedikit.’ : “Ndak iya, leh Pak!. Jadhuk man aku ngerti nek bareng Pake.” ’Apakah betul, Pak! Aku tahu seandainya bersama ayah.’ (Data C, TP 1 no. 29)
(84) KONTEKS : BU ARI DWI ASTUTI (SWASTA) SEHABIS MEMANDIKAN ANAKNYA (MOH RAMADANI SURYANTO) BERTANYA MENGAPA TIDAK MAU MANDI SENDIRI. Bu Ari Ramadani
: “Kemarin bilang sama Mbah Kakung kalau Rama sekarang sudah besar.” : “Iya, tapi kan belum bisa kalau mandi sendiri.” (Data C, TP 3 no. 13)
Kedua, tuturan direktif adalah tuturan yang dimaksudkan penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu. Tuturan ini sangat menonjol frekuensi kemunculannya dalam ranah keluarga muda di Blora. Hal ini karena sifat anak yang belum menyadari kewajibannya sehingga masih sering diarahkan orang tua. Tuturan direktif tersebut di anta-ranya seperti contoh berikut ini.
(85) KONTEKS : SEPULANG SEKOLAH FIANA TRIA DISURUH MAKAN SIANG OLEH IBUNYA. Bu Sidem
: ”Ndhuk, gek ndang salin, gek maem!” ’Nak, segera ganti pakaian, segera makan.’
Fiana Tria
: ”Kosik.” ’Nanti dulu.’ (Data C, TP 4 no. 6)
126
(86) KONTEKS : PAK SUWARNO MENYURUH ARIF MEMBANTU MENJEMUR BARANG DAGANGANNYA (KRECEK) KETIKA IA MINTA UANG UNTUK MEMBELI SEPATU. Pak Suwarno Arif
: “Cung, Bapak ewangi mepe kreceke!” ’Nak, Bapak bantu mengeringkan krecek-nya.’ : “Emoh. Njaluk dhuwit ra diweki!” ’Tidak mau. Minta uang tidak diberi!’ (Data C, TP 1 no. 14)
Ketiga, tuturan ekspresif adalah tuturan yang dimaksudkan penuturnya untuk menyatakan perasaannya terhadap suatu keadaan. Termasuk jenis tutur-an ini adalah kecewa, memuji, menolak, dan heran. Tuturan berikut merupa-kan contoh bentuk tuturan ekspresif. (87) KONTEKS : PAK SUWARNO MENGINGATKAN ANAKNYA (ARIF) UNTUK BELAJAR PADA MALAM HARI. Pak Suwarno Arif
: “Wis gedhe kok sinau ndadak diprentah!” ’Sudah besar kok belajar harus diperintah!’ : “Ora ana PR ae, kok.” ‘Tidak ada PR saja, kok.’ (Data C, TP 1 no. 9)
(88) KONTEKS : YOGA ILMU NUSA INDRAWAN DISURUH MANDI DAN IKUT BAPAKNYA (PAK SUWOTO) JUMATAN SETELAH BERMAIN BOLA Pak Suwoto Yoga Pak Suwoto Yoga Pak Suwoto
: “Balbalan kalih sinten?” ’Bermain sepakbola dengan siapa?’ : “Wawan, Pak.” : “Nglebokke, boten?” ’Memasukkan, tidak?’ : “Enggih.” ’Iya.’ : “Pinten?”
127
Yoga Pak Suwoto
’Berapa?’ : “Kalih.” ’Dua.’ : “Wah, hebat, Adhik. Mrika gek pakpung!” ’Wah hebat. Adik. Sana segera mandi.’ (Data C, TP 3 no. 15)
Keempat, tuturan komisif adalah tuturan yang bermaksud membuat janji atau penawaran. Penggunaan tuturan komisif dalam ranah keluarga muda di Blora sering dimaksudkan sebagai sarana mendidik anak. Tuturan berikut merupakan contoh bentuk tuturan komisif. (89) KONTEKS : PAK TRIMO (GURU) BARU PULANG DARI SEKOLAH. IA MENYURUH ANAKNYA, ANUNG PRAMUDITA UNTUK MENGAMBILKAN TAS DI SEPEDA MOTORNYA. Pak Trimo Anung Pak Trimo
: “Ben, mengko ra dijak tindak Bapak lo. Adhik ae.” ’Biar, nanti tidak diajak pergi Bapak lo. Adik saja.’ : “Bapak arep tindak endi?” ’Bapak mau pergi ke mana?’ : “Mubeng-mubeng neng alun-alun karo ibu barang ngko” ’Putar-putar di alun-alun dengan ibu sekalian nanti.’ (Data C, TP 1 no. 35)
(90) KONTEKS : BU SITI ROHIMAH (GURU) SAMBIL MENIDURKAN ANAKNYA YANG BUNGSU MENYURUH ANAKNYA (IMAM SAFII) BELAJAR. Imam Bu Siti Imam
: “Lha, Ibu ra gelem ngancani.” ‘Lha, Ibu tidak mau menemani.’ : “Iya-iya nek adhiem wis bubuk ngko takkancani Ibu!” ‘Iya-iya kalau adik sudah tidur nanti ibu temani!’ : “Tenan, lho aja mbodhoni!” ‘Sungguh, lho jangan bohong!’ (Data C, TP 2 no. 9)
128
Kelima, tuturan establisif adalah tuturan yang dimaksudkan penuturnya menciptakan keadaan yang baru. Termasuk tuturan jenis ini adalah tuturan dengan maksud melarang, mengizinkan, memaafkan dan memutuskan. Berikut ini contoh tuturan establisif dalam ranah keluarga muda di Blora. (91) KONTEKS : PAK IMAM TIDAK MEMBERI UANG KEPADA WAHYU KETIKA IA BARU PULANG SEKOLAH DAN MAU MEMBELI JAJAN. WAHYU DISURUH MAKAN DAHULU. Wahyu Pak Imam Wahyu Pak Imam
: “Pak, nyuwun dhuwit!” ’Pak, minta uang.’ : “Nggo apa?” ’Untuk apa?’ : “Nggo tumbas jajan.” ’Untuk membeli jajan.’ : “Aja ngono ga, boten pareng. Maem sik ae!” ’jangan begitu lah, tidak boleh. Makan dulu saja.’ (Data C, TP 3 no. 8)
(92) KONTEKS : BU SITI ROHIMAH MENYURUH IMAM SEGERA MANDI.SORE KETIKA IA MENGGANGGU ADIKNYA. Bu Siti
Imam Bu Siti Imam
5.8
: “Aja gudag-gudagan ae. Ngati-ati adhik mengko nek dhawah!” ’Jangan kejar-kejaran saja.hati-hati adik nanti kalau jatuh.’ : “Ora-ora.” ‘Tidak-tidak.’ : “Adhike ampun ditangis!” ‘Adik jangan ditangis.’ : “Ora-ora.” ‘Tidak-tidak.’ (Data C, TP 3 no. 10)
Pokok Tutur
129
Pokok tutur dalam ranah keluarga muda Jawa di Blora meliputi belajar, menerima tamu, minta uang, tidur malam, bangun pagi, etika makan, mandi, dan berangkat sekolah. Masing-masing pokok tutur menuntut penutur untuk menentukan ragam bahasa yang sesuai. Dalam pokok tutur menerima tamu, penutur anak-anak menggunakan ragam bJK yang tujuannya menghormati tamu. Hal itu telah diajarkan oleh orang tuanya walaupun kepada orang tua sendiri anak-anak menggunakan ragam bJN. Berikut ini penggunaan ragam bJK yang dipilih anak-anak ketika menerima tamu. (93) KONTEKS : KEDUA ORANG TUA WIDIA TIDAK BERADA DI RUMAH KETIKA ADA SEORANG TAMU YANG MENCARINYA. WIDIA PUN MENJAWAB DENGAN BAHASA KRAMA KETIKA DITANYA TAMUNYA. Tamu Widia Tamu Widia Tamu Widia Tamu Widia Tamu Widia Tamu Widia
: “Assalamu alaikum!” : “Wa alaikum salam.” : “Pak-aem ana, Ndhuk?” ‘Bapakmu ada, nak?.’ : “Bapake kula boten enten.” ’Bapak tidak ada.’ : “Neng endi?” ‘Ke mana?’ : “Bapake kula medal.” ‘Bapak keluar.” : “Metu ning endi?” ‘Keluar ke mana?’ : “Boten ngertos.” ‘Tidak tahu.’ : “Mau ora ngomong, ora pesen?” ‘Tadi tidak bilang, tidak meninggalkan pesan?’ : “Boten.” ’Tidak.’ : “Mak-aem ya lunga?” ’Ibumu ya pergi?’ : “Enggih.” ’Iya.’ (Data C, TP 2 no. 5)
130
(94) KONTEKS : DIAH MENERIMA TAMU KETIKA BAPAKNYA TIDAK BERADA DI RUMAH. Tamu Diah Tamu Diah Tamu Diah
: “Kula nuwun.” ”Permisi.’ : “Mangga. Pinarak riyin!” ’Mari. Duduk dulu!’ : “Ya. Bapak ana, Ndhuk?” ’Ya. Bapak ada, Nak?’ : “Bapake kula boten teng dalem.” ’Bapak tidak di rumah.’ : “Neng endi?” ’Ke mana?’ : “Tindak kantor.” ’Pergi ke kantor.’ (Data C, TP 4 no. 26)
Sedangkan pada pokok tutur selain menerima tamu, anak-anak menggunakan ragam bJN , bJK, dan bI menurut bahasa yang diturunkan oleh orang tuanya. Berikut ini contoh peristiwa tutur dengan pokok tutur selain menerima tamu yang dilakukan oleh Elsanda, Rizqiya, dan Fariz. (95) KONTEKS : PAK DIDIK WALUYO MENGINGATKAN ANAKNYA ELSANDA DIKA ALFIAN UNTUK BELAJAR MALAM. Pak Didik Elsanda Pak Didik Elsanda Pak Didik Elsanda
: “Le, nggak sinau ta?” ’Nak, nggak belajar?’ : “Ora, Pak.” ’Tidak, Pak.’ : “Lah apa kok nggak sinau?” ’Mengapa tidak belajar?’ : “Ora lah apa lah apa!” ‘Tidak mengerjakan apa pun!’ : “Sinau nggo awake dhewe ora nggo bapak.” ‘Belajar untuk diri sendiri bukan untuk bapak.’ : “Iya-iya ngerti, Pak.” ’Iya-iya mengerti, Pak.’ (Data C, TP 4 no. 11)
131
Dalam tuturan (95) di atas Elsanda menggunakan bJN ketika ayahnya mengingatkan belajar dengan jawaban, “Ora, Pak,” dan “ Ora lah apa lah apa,” dan “Iya iya ngerti Pak” Semua kosakata dalam tuturan tersebut adalah ngoko semua, tidak ada yang krama. Hal ini sudah biasa dilakukan oleh Elsan-da dengan kedua orang tuanya. Ayah Elsanda (Pak Didik) menganggap bJN sudah tepat digunakan keluarganya yang hanya seorang tukang bangunan. Elsanda menggunakan bJN karena sangat akrab dengan ayahnya sehingga ia menganggap ayahnya sebagai teman yang enak untuk diajak berbicara. (96) KONTEKS : BU SARIATUN (GURU) BERTANYA KEPADA ANAKNYA (RIZQIYA) TENTANG SOAL ULANGAN YANG DIKERJAKAN DI SEKOLAH.
Bu Sariatun Rizqiya Bu Sariatun Rizqiya
: “Dhik Rizqi, pripun dhek wau ulangane saget nggarap?” ‘Dik Rizqi, bagaimana tadi bisa mengerjakan ulangan?’ : “Saged, Bu!” ’Bisa, Bu!’ : “Angel, boten?” ’Sulit, tidak?’ : “Boten kok, Bu.” ’Tidak, Bu.’ (Data C, TP2 no. 17)
Bahasa yang digunakan Rizqiya ketika menjawab pertanyaan ibunya tentang soal ulangan di sekolah adalah bJK. Ia juga dibiasakan berbicara krama kepada kedua orang tuanya walaupun tidak semua kata di-krama-kan. Kata saged ‘bisa’, dan boten ‘tidak’ yang ia tuturkan termasuk kosa kata krama. (97) KONTEKS : FARIZ ASYIK MENONTON FILEM DI TV SETELAH BELAJAR. PAK TRIHADI MENGINGATKANNYA UNTUK SEGERA TIDUR AGAR TIDAK MENGANTUK PADA PAGI HARINYA. Pak Trihadi Fariz
: “Dik, bagus ya filemnya?” : “Bagus, Yah, petualangan!”
132
Pak Trihadi Fariz Pak Trihadi
: “Ya, tapi udah malam. Kamu ndak tidur besok sekolah lho!” : “Sebentar, Yah, filemnya bagus, kok.” : “Bagus- bagus, besok kalau terlambat gimana kamu?” (Data C, TP1 no. 32)
Bahasa yang digunakan Fariz pada tuturan (97) di atas adalah bI. Pada tuturan ini tampak interferensi bahasa Jawa ngoko dalam pembentukan kata bI misalnya pada kata ndak yang dalam bI baku tidak. Di samping itu juga digunakan kata kok dan lho yang biasa digunakan dalam bJN. Hal ini dipengaruhi oleh lingkungan dan kebiasaan sehari-hari penutur bahasa Jawa ngoko lugu di luar keluarganya, masyarakat sekitarnya.
5.9
Norma Tutur Norma tutur merupakan salah satu penanda pilihan bahasa berkaitan
dengan latar belakang sosial budaya di masyarakat. Sebagai masyarakat de-ngan dasar budaya Jawa, keluarga muda di Blora memiliki norma yang tidak banyak berbeda dengan masyarakat Jawa yang lain. Norma-norma itu antara lain norma tenggang rasa, norma kerja sama, dan norma rendah hati. Keluarga muda di Blora berpegang pada norma tenggang rasa dalam pemilihan bahasa dan diajarkan kepada anak-anaknya yaitu menghormati tamu yang diwujudkan dengan penggunaan bJKa atau bJKi. Pada masyarakat Blora berlaku norma tepo saliro yang artinya kalau tidak senang diremehkan orang lain, maka jangan sekali-kali meremehkan orang lain. Tuturan Bu Puji-ati dan Bu
133
Sukarti berikut ini mencerminkan norma tenggang rasa dengan pokok tutur menerima tamu.
(98) KONTEKS : BU PUJIATI MENGAJARI NUGRAHENI CARA MENERIMA TAMU JIKA KEDUA ORANG TUANYA TIDAK ADA DI RUMAH. Nugraheni Bu Pujiati Nugraheni Bu Pujiati Nugraheni Bu Pujiati
Nugraheni Bu Pujiati
Nugraheni
: “Buke mau ana tamu, nggoleki Buke!” ’Bu, tadi ada tamu, mencari Ibu!’ : “Kowe muni piye ?” ’Kamu bilang apa?’ : “Madosi sinten ?” ’Mencari siapa?’ : “Ora boktakoni sapa jenenge?” ’Tidak kamu tanya namanya?’ : “Gak, lali! Sesuk ameh rene neh.” ’Tidak, lupa! Besok mau ke sini lagi.’ : “Suk neh yen ana tamu dimanggakne, “Mangga, pinarak!” ’Besok kalau ada tamu lagi dipersilakan, Mari, duduk!’ : “Nek nggak gelem?” ’Kalau tak mau?’ : “Takona, “Panjenengan sinten ? Madosi sinten ?” “Ngono carane, dadi ngerti sopan santun. Kowe ning omah karo buke pake ora basa kena nanging yen ditimbali wong liya utawa Bu Guru kudune basa,”Dalem, Bu; Enggih, Bu; Boten, Bu.” ’Tanyalah, Anda siapa? Mencari siapa?’ ’Begitu caranya, jadi tahu sopan santun. Kamu di rumah dengan ibu bapak boleh tidak basa tapi bila dipanggil orang lain atau Bu Guru harus basa, ’Saya Bu; Iya, Bu; Tidak, Bu.’ : “Ya ya.” ’Ya ya.’ (Data C, TP 1 no. 8)
(99) KONTEKS : BU SUKARTI BERPESAN KEPADA ANGGUN BILA ADA TAMU YANG MENCARINYA AGAR DISURUH MASUK MENUNGGU. Bu Sukarti
: “Ndhuk, engko nek ana tamu nakokke buke apa pake ken pinarak riyin, ngentosi!”
134
Anggun
:
Bu Sukarti
:
Anggun
:
Bu Sukarti
:
Anggun
:
’Nak, nanti kalau ada tamu menanyakan ibu atau bapak persilakan masuk dulu, menunggu!’ “Nek ra gelem, Bu?” ’Kalau tak mau?’ “Takonana sapa jenenge, ana keperluan apa, omahe ngendi!” ’Tanyakan siapa namanya, ada perlu apa, mana rumahnya!’ “Ya, Bu.” ’Ya, Bu.’ “Nganggo basa, Panjenengan sinten, wonten perlu napa, daleme pundi, ngono!” ’Menggunakan basa, Anda siapa, ada perlu apa, rumahnya di mana, begitu!’ “Ya ya, ngerti.” ’Ya ya, mengerti.’ (Data C, TP 1no. 27)
Dua tuturan tersebut mencerminkan upaya Bu Sukarti mendidik anak untuk menjunjung tinggi norma tenggang rasa yaitu mendidik anak (Anggun) agar menghormati tamu dengan pilihan ragam bJK, walaupun dalam interaksi verbal sehari-hari di dalam keluarga mereka menggunakan bJN.
Nasihat Bu
Pujiati,”Kowe ning omah karo buke pake ora basa kena nanging yen ditim-bali wong liya utawa Bu Guru kudune basa,”Dalem, Bu; Enggih, Bu; Boten, Bu.” mencerminkan pentingnya norma tenggang rasa dalam menghormati tamu. Berikut ini contoh tuturan yang mencerminkan norma kerjasama antaranggota keluarga pada keluarga Pak Wiji yang bekerja sebagai tukang becak. (100) KONTEKS : PAK WIJI LESTARI (TUKANG BECAK) MEMANGGIL ANGGUN PATMARINI KETIKA BERMAIN DENGAN TEMANNYA UNTUK MEMBELI MINYAK TANAH DI WARUNG Pak Wiji Anggun Pak Wiji
: “Nggun, pulang dulu!” : “Lah apa leh, Pak?” 'Ada apa, Pak?’ : “Disuruh ibu beli minyak, Nggun!”
135
Anggun Pak Wiji Anggun Pak Wiji Anggun Pak Wiji Anggun Pak Wiji Anggun
: “Neng endi, Pak?” ‘Ke mana, Pak?’ : “Di tempate Pak Warno.” ‘Di rumah Pak Warno.’ : “Pira beline?” : “Lima liter aja.” : “Sama apa, Pak?” : “Udah itu aja.” : “Mana uangnya?” : “Ini, lho, jangan sampe jatuh!” : “Gak, gak.” ’Tidak-tidak.’ (Data C, TP 1 no. 23)
Pada tuturan (100) di atas menunjukkan ada kerjasama antarpeserta tutur yaitu Pak Wiji, tukang becak dan Anggun dengan pokok tutur berbelanja. Pak Wiji memanggil pulang Anggun untuk membeli minyak. Anggun pun menuruti perintah bapaknya dengan dengana terlebih dulu menjawab, ”Neng endi, Pak?” Norma rendah hati juga dijumpai dalam tuturan oleh anggota keluarga muda di Kabupaten Blora. Hal ini di antaranya tampak pada tuturan Widia, keluarga petani Pak Satyo Budi berikut. (101) KONTEKS : KEDUA ORANG TUA WIDIA TIDAK BERADA DI RUMAH KETIKA ADA SEORANG TAMU YANG MENCARINYA. WIDIA PUN MENJAWAB DENGAN BAHASA KRAMA KETIKA DITANYA TAMUNYA. Tamu Widia Tamu Widia Tamu Widia Tamu
: “Pak-aem ana, Ndhuk?” ‘Bapakmu ada, Nak?’ : “Bapake kula boten enten.” ‘Bapak tidak ada.’ : “Neng endi?” ‘Ke mana?’ : “Bapake kula medal.” ‘Bapak keluar.’ : “Metu ning endi?” ‘Keluar ke mana?’ : “Boten ngertos.” ‘Tidak tahu.’ : “Mau ora ngomong, ora pesen?”
136
Widia Tamu Widia
‘Tadi tidak bilang, tidak tinggalkan pesan?’ : “Boten.” ‘Tidak.’ : “Mak-aem ya lunga?” ‘Ibumu juga pergi?’ : “Enggih.” ‘Iya.’ (Data C, TP 2 no. 5)
Dalam tuturan (101) di atas tampak norma rendah hati karena Widia mengatakan, “Bapake kula medal”, bukan, “Bapake kula miyos” atau “Ba-pake kula tindak”. Dalam unggah ungguh basa kata medal ’keluar’ termasuk kosakata krama lebih rendah tingkatannya daripada kata krama inggil, miyos ’keluar’atau tindak ’pergi’. Kosakata krama inggil, miyos dan tindak hanya untuk orang lain yang harus dihormati karena tua usianya atau tinggi kedu-dukannya dalam status sosial. Jadi, jelaslah bahwa Widia telah diajari orang tuanya (Pak Satyo Budi dan Bu Purwati) sebagai petani berpendidikan SD un-tuk mengikuti norma rendah hati seperti orang ”biasa”lainnya yang biasa ber-bahasa krama lugu untuk merendahkan diri sendiri dan ”meninggikan” ’menghormati’ orang yang diajak bicara.
BAB VI PENUTUP
5.1
Simpulan Atas dasar pembahasan sebagaimana yang telah dipaparkan dalam bab
IV dan bab V penggunaan bahasa dalam ranah keluarga muda Jawa di Blora dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Ragam bahasa yang digunakan untuk mendidik anak dalam ranah keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora adalah bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Bahasa Jawa mencakupi ragam ngoko lugu, ngoko alus (tak baku), krama lugu (tak baku), dan krama alus (tak baku). Semua orang tua yang berpendidikan SD menggunakan bJN dalam ranah keluarga untuk mendidik anaknya. Selain menggunakan bJN, orang tua yang berpendidikan SMP, SMA, atau sarjana menggunakan bJK. Ada dua keluarga berpendidikan sarjana yang menggunakan bI untuk mendidik anaknya yakni keluarga Ari Dwi Astuti dan keluarga Trihadi. Ari Dwi Astuti berlatar belakang pekerjaan sebagai ibu rumah tangga (swasta) dan suami karyawan pabrik di Surabaya. Trihadi bekerja sebagai guru bI di SMP. Bahasa yang digunakan kedua keluarga tersebut ragam bI nonformal. 2. Karakteristik bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan anak dalam ranah keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora menunjukkan penggunaan bJ dialek Blora, kecuali keluarga Ari Dwi Astuti dan keluarga Trihadi yang menggunakan bI nonformal. Karakteristik bahasa Jawa dalam ranah keluarga muda Jawa di Blora sebagai berikut: (1) segi fonologi ditandai dengan pengucapan –eh pada kata-kata bJS yang berakhir dengan –ih, misalnya kata ngeleh ’lapar’ : ngelih (bJS) dan muleh
137
138
‘pulang’: mulih (bJS), pengucapan kosakata dengan bunyi akhir –oh pada kata-kata bJS yang berakhir dengan –uh, misalnya kata lawoh ‘lauk’ dan wisoh ‘cuci tangan’ yang dalam bJS adalah lawuh dan wisuh, (2) segi leksikal ditandai dengan penggunaan leksikon yang khas, di antaranya kata gung ’belum’(durung, bJS), kethilna ’ambilkan’(ju-pukna, bJS), sedhilit ’sebentar’(sedhiluk, bJS), ora lah apa lah apa ’tidak mengerjakan apa pun’ (ora ngapa-ngapa, bJS), marik-marik (rena-rena/ke mana-mana, bJS), nggenjongi ’mengangkat’ (njunjungi, bJS), mbalek ’pintar’ (pinter, bJS), kata sapaan cung atau kacung ‘sapaan kesayangan untuk anak lakilaki’(le, thole, nang, bJS), (3) segi sintaktis ditandai dengan penggunaan (a) enklitik –em atau –nem, (b) kata fatis leh, (c) proklitik tak- dan enklitik –e. Enklitik –em atau –nem dalam bJS adalah enklitik –mu. Enklitik –em digunakan jika mengikuti kata yang berakhir dengan konsonan misalnya kancaem ’temanmu’(kancamu, bJS), wetengem ’perutmu’ (wetengmu, bJS), karepem ’terserah kamu’ (karepmu, bJS). Digunakan enklitik –nem jika bergabung dengan kata yang berakhir dengan vokal misalnya sangunem ’uang sakumu’ (sangumu, bJS). Kata fatis leh juga merupakan ciri khas bahasa Jawa dialeg Blora dengan intonasi yang khas pula, misalnya pada kalimat, Thik ngono leh! Lha sapa, ndak ra sing gedhe leh? Penggunaan proklitik tak- dan enklitik –e berbeda dengan bJS, dalam bJS tidak diikuti pelaku, sedangkan dalam bJB diikuti pelaku, misalnya pada kata takkancani Ibu dan bapake kula (takkancani ’saya temani’ dan bapak kula ’bapak saya’, bJS), (4) alih kode, dengan dasar bJN beralih kode ke
139
bI atau bJKA, dan (5) campur kode, dengan dasar bJN disisipi kode bJK, bJNA, atau bI. Karakteristik bahasa Indonesia sebagai berikut: (1) segi fonologi ditandai dengan penyederhanaan diftong ai (ramai, bIS) diucapkan e (rame, bI dalam keluarga muda di Blora), (2) segi sintaktis mencakupi: (a) pelesapan prefiks meng-, interferensi proklitik bahasa Jawa tak- dan enklitik -e, (b) penggunaan kata fatis, dan (c) penggunaan struktur kalimat bahasa Jawa. Ciri khusus yang berupa pelesapan prefiks mengditemukan dalam tuturan keluarga Pak Trihadi dalam penggunaan kata masang yang mengalami pelesapan meng- dari kata bIS memasang. Interferensi sintaktis berupa penggunaan proklitik bahasa Jawa tak-, yang dalam bahasa Indonesia adalah proklitik saya, misalnya pada kata taklihatnya yang dalam bIS saya lihat. Contoh lain interferensi sintaktis adalah penggunaan enklitik bahasa Jawa –e pada kata tempate yang dalam bIS enklitik –nya pada kata tempatnya. Interferensi dalam bidang sintaktis bahasa Jawa terhadap ragam bahasa Indonesia di Blora juga ditandai dengan penggunaan kata fatis bJ lha, lho, dan kok dengan intonasi bJ. Di samping itu,
interferensi sintaktis
juga ditandai dengan penggunaan
ragam bahasa Indonesia berstruktur bahasa Jawa, misalnya pada kalimat, Lha, ada gitu kok yang dalam bJS Ada, bukan, (4) alih kode, dengan dasar bI beralih kode ke bJN atau bJKi, dan (5) campur kode, dengan dasar bI disisipi kode bJN atau bJK. 3. Latar belakang yang mempengaruhi penggunaan bahasa untuk mendidik anak dalam ranah keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora mencakupi:
140
ranah pemilihan bahasa (ranah keluarga, ranah pergaulan dalam masyarakat), aspirasi, jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, tujuan tutur, pokok tutur, dan norma tutur. Penggunaan bahasa dalam ranah keluarga muda Jawa di Blora menunjukkan kecenderungan menggunakan bJN, bJK, dan bI dalam ranah rendah L (low), menggunakan bJK dalam ranah tinggi H (high), misalnya dalam menerima tamu. Dalam mendidik anaknya keluarga muda Jawa di Kabupaten Blora yang beraspirasi tradisional menggunakan bJN dan bJK, sedangkan yang beraspirasi moderen menggunakan bJN, bJK dan bI. Jenis kelamin dan usia turut mempengaruhi penggunaan bahasa yang ditandai dengan sebutan honorifik dan leksikon khusus untuk anak-anak seperti maem, bubuk, pakpung, nyuwun dulang, dan ndherek. Semua keluarga muda Jawa di Blora yang berpendidikan SD menggunakan bJN dalam mendidik anaknya dan yang berpendidikan SMP, SMA, atau sarjana menggunakan bJN, bJK, atau bI. Penggunaan
bahasa
dalam
ranah
pergaulan
dalam
masyarakat
menunjukkan bahwa anak-anak menggunakan bJK dalam pokok tutur menerima tamu. Sedangkan norma tutur yang turut mempengaruhi penggunaan bahasa adalah norma tenggang rasa, norma kerja sama, dan norma rendah hati.
5.2
Saran Berdasarkan simpulan tersebut di atas, untuk keperluan pemelajaran
bahasa Jawa di sekolah dapat disarankan sebagai berikut.
141
1. Penggunaan bJN yang cukup dominan dalam ranah keluarga perlu diimbangi pemelajaran bJK di sekolah untuk menanamkan unggah-ungguh basa. 2. Dengan adanya fenomena perembesan diglosia pada keluarga terpelajar, pemelajaran bahasa Jawa di sekolah diharapkan dapat menumbuhkan perasaan bangga menggunakan bahasa Jawa sehingga memperkuat pemertahanan bahasa Jawa. 3. Penutur bahasa Jawa yang bukan dialek Blora dan berhubungan dengan orang Blora perlu mengenali dialek Blora sehingga tidak terjadi hambatan bahasa dalam berkomunikasi. 4. Penelitian lanjutan berkaitan dengan penelitian ini dapat dilakukan, misalnya berkaitan dengan metode dan strategi pemelajaran bahasa di sekolah sebagai sarana pembinaan bahasa Jawa.
DAFTAR PUSTAKA
Abikusno. 1994. Widya Basa. Surabaya: Exspress Ahmadi, Abu. 1991. Psikologi Sosial (edisi revisi). Jakarta: Rineka Cipta. Arikunto, Suharsimi. 1996. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Azhari, Akyas. 2004. Psikologi Umum dan Perkembangan. Jakarta: Teraju. Badan Pusat Statistik Kabupaten Blora. 2005. Profil Investasi Kabupaten Blora Tahun 2005. Blora: BAPPEDA Kabupaten Blora. Chaer, Abdul. 2003. Psikilinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1999. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: PT Eresco. Effendi, S. et al. 1981. Singkatan Penelitian Sosiolinguistik 1976/1977. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Ekowardono, B. Karno et al. 1991. Tata Bahasa Transformasi Bahasa Jawa Tingkat Krama (Tata Kalimat). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. ______ 1993. Kaidah Penggunaan Ragam Krama Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. ______ 2003. Strategi Panyinaone Basa Jawa : Tambahing Sangu tumrap Guru Basa Jawa. Makalah disajikan dalam Workshop Guru Muatan Lokal Bahasa Jawa SMP Propinsi Jawa Tengah. Semarang: Dinas P dan K Propinsi Jawa Tengah. Kamaruddin. 1989. Kedwibahasaan dan Pendidikan Dwibahasa (Pengantar). Jakarta: Depdikbud
142
143
Mahadjir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi III. Yogyakarta: Rake Rasarin. Marlina, Eny. 2005. Variasi Leksikon Pemakaian Bahasa Jawa dalam Aspek Sosial Budaya pada Masyarakat Samin: Kajian Sosiodialektologi di Kecamatan Kradenan Blora. Skripsi. Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. Moleong, J.Lexy. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya. Nababan. 1993. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramadia Pustaka Utama. Nasir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nasution, S. 2003. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. ______ 2004. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Pateda, Mansoer. 1992. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa. Prastyorini, Henri. 2002. Pilihan Ragam Bahasa Jawa Pedagang Ikan dalam Interaksi Jual Beli di TPI Tasikagung Rembang. Skripsi. Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. Rokhman, Fathur. 1998. “Fenomena Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat Multibahasa: Paradigma Sosiolinguistik” dalam Lingua Artistika. Semarang: FPBS IKIP Semarang. _______ 2001. Pemilihan dan Loyaliatas Bahasa Jawa: Kajian Sosiolinguistik Masyarakat Tutur Jawa Dialek Banyumas. Laporan Penelitian. Semarang Pusat Penelitian Sosial dan Humaniora Lembaga Penelitian Unnes. _______ 2005. Pemilihan Bahasa Jawa Masyarakat Dwibahasa di Banyumas: Kajian Sosiolinguistik. Semarang: Rumah Indonesia. Sadi Hutomo, Suripan. 1996. Tradisi dari Blora. Semarang: Penerbit Citra Almamater. Sasangka, Sry Satriya Tjatur Wisnu. 1994. Tingkat Tutur Bahasa Jawa Berdasarkan Leksikon Pembentuknya. Surabaya: PT. Citra Jayamurti.
144
Setiyawati, Siti. 1998. Pemilihan Bahasa pada Ranah Rumah dan Kebertetanggaan di Perumnas Salatiga Permai Kodya Salatiga. Skripsi. Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. Setyani, Ria. 2002. Pemertahanan Bahasa Jawa Masyarakat Wonoroto pada Ranah Keluarga di Kecamatan Windusari Kabupaten Magelang: Kajian Sosiolinguistik. Skripsi. Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik : Bagian Kedua Metode dan Aneka Teknik Pengumpulan Data. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ______ 1989. Pemanfaatan Potensi Bahasa. Yogyakarta: Kanisius. ______ 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Pendidikan wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sugiyarto. 2002. Perubahan Makna Kata Bahasa Jawa dalam Tataran Semantik dan Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perubahan Makna Kata Bahasa Jawa dalam Wacana Percakapan Masyarakat Samin di Kabupaten Blora. Skripsi. Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. Sujamto. 1992. Refleksi Budaya Jawa. Semarang: Dahara Prize. Sukarsih. 2004. Pemilihan Bahasa Pekerja Rokok di Kudus: Kajian Sosiolinguistik. Skipsi. Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. Sumarsono.1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Depdikbud Sumarsono dan Paina Partana. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda. Supriyanto, Teguh et al. 2000. Loyalitas Bahasa Keluarga Jawa: Studi Sosiolinguistik di Kodya Semarang. Laporan Penelitian. Semarang Pusat Penelitian Sosial dan Humaniora Lembaga Penelitian Unnes. Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. 2003. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. Wahab, Abdul. 1991. Isu Linguistik: Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: Airlangga University Press.
Lampiran 1
INSTRUMEN PENELITIAN 1. Panduan Pengamatan No Nama
Usia
Jenis Bahasa
Keterangan
2. Panduan Wawancara Daftar pertanyaan wawancara kepada Orang Tua tentang Penggunaan Bahasa dalam Ranah Keluarga Muda Jawa di Kabupaten Blora. 1. Data Pribadi 1. Siapakah nama Anda? 2. Berapakah usia Anda? 3. Berapa lama Anda menikah? 4. Berapa lama Anda tinggal di sini? 5. Apakah pendidikan Anda terakhir ? 6. Apakah pekerjaan Anda? 7. Berapakah anak anda? 8. Sekolah di manakah mereka? 9. Berapakah umur mereka? 10. Siapakah anggota keluarga Anda satu rumah selain Anda, suami/istri, dan anak ? 2. Daftar Pertanyaan
145
146
1. Bahasa apakah yang pertama kali diajarkan orang tua katika Anda masih anak-anak? 2. Bahasa apakah yang Anda kuasai selain bahasa daerah? 3. Sejak kapan Anda dapat berbahasa Indonesia? 4. Apakah Anda dapat membaca dan menulis dalam bahasa daerah Anda? 5. Bahasa apakah yang Anda pakai dengan kedua orang tua Anda atau saudara yang lebih tua di dalam keluarga? 6. Mengapa Anda gunakan bahasa itu? 7. Bahasa apakah yang Anda gunakan sehari-hari untuk mendidik anak-anak Anda di dalam keluarga? 8. Sejak kapan anak-anak Anda Anda didik untuk menggunakan bahasa Jawa dalam keluarga? 9. Jenis bahasa apakah yang sering Anda gunakan di dalam keluarga? 10. Mengapa ragam bahasa itu Anda gunakan? 11. Bahasa apakah yang Anda gunakan jika melayani tamu orang Jawa? 12. Bahasa apakah yang Anda gunakan ketika
berdiskusi dengan
anggota keluarga? 13. Bahasa apakah yang lebih Anda sukai dalam keluarga? 14. Mengapa Anda lebih menyukainya? 15. Bahasa apakah yang Anda gunakan jika marah kepada anak-anak? 16. Bahasa apakah yang Anda gunakan jika bersenda gurau dengan anggota keluarga? 17. Bahasa apakah yang Anda gunakan di rumah ketika Anda bersenda gurau dengan teman-teman Anda? 18. Bahasa apakah yang Anda gunakan ketika berkomunikasi dengan atasan Anda? 19. Apakah anda bangga menggunakan bahasa daerah Anda? Atau sebaliknya, karena keterpaksaan?
147
Daftar pertanyaan wawancara kepada anak tentang Penggunaan Bahasa dalam Ranah Keluarga Muda Jawa di Kabupaten Blora 1. Data Pribadi 1. Siapakah nama Anda? 2. Berapakah usia Anda? 3. Di manakah sekolah Anda? Kelas berapa? 4. Siapakah nama orang tua Anda? 5. Berapakah saudara Anda? Anda nomor berapa?
2. Daftar Pertanyaan 1. Bahasa apakah yang pertama kali kamu pelajari di rumah? 2. Apakah kamu dapat menggunakan bahasa daerah lain selain bahasa daerah kamu sendiri? 3. Apakah Kamu dapat membaca dan menulis dalam bahasa daerah Kamu? 4. Bahasa apakah yang kamu gunakan sehari-hari di rumah? 5. Bahasa apakah yang kamu gunakan ketika berkomunikasi dengan kedua orang tuamu di rumah? 6. Bahasa apakah yang kamu gunakan sehari-hari dengan temanteman di rumah 7. Bahasa apakah yang kamu gunakan di rumah ketika kamu menerima tamu? 8. Bahasa apakah yang kamu gunakan ketika bersenda gurau dengan anggota keluarga di rumah? 9. Bahasa apakah yang kamu gunakan ketika berdiskusi dengan anggota keluarga di rumah? 10. Bahasa apakah yang kamu gunakan ketika kamu marah kepada saudaramu di rumah? 11. Bahasa apakah yang lebih kamu sukai ketika berkomunikasi dengan anggota keluarga di rumah 12. Bahasa apakah yang lebih kamu sukai ketika kamu berkomunikasi dengan teman-teman kamu di rumah.
148
13. Bahasa apakah yang Kamu gunakan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari dengan teman-teman di sekolah? 14. Bahasa apakah yang kamu gunakan untuk berkomunikasi dengan bapak/ibu guru di sekolah? 15. Bahasa apakah yang lebih kamu sukai ketika berkomunikasi dengan teman-teman di lingkungan sekolah? 16. Bahasa apakah yang digunakan Bapak/ibu Guru kamu sebagai bahasa pengantar pendidikan di dalam kelas? 17. Sejak kamu kelas berapakah Bapak/Ibu Gueu menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar? 18. Apakah kamu dapat berbahasa Indonesia dengan baik? 19. Sejak kapan kamu dapat berbahasa Indonesia? 20. Bahasa daerah atau bahasa Indonesia yang lebih kamu kuasai dalam berkomunikasi? 21. Mengapa kamu lebih menguasai bahasa tersebut?
DAFTAR NAMA INFORMAN UTAMA
No
Nama
Umur
Pekerjaan
1
Sutarji/Pujiati Rizki Septiani
Tani Pelajar
2
Suwarno/Sudarmi Moh. Arif Eko Fidianto
40 th/38 th 8 th
Pendidikan STM/SMP SD
Pedagang Pelajar
SMEA/SD SMP
Pedagang
MAN/SD SD
3
Rohmad/ Siti Ismiyati
43 th/43 th 16 th
Alamat
Ket.
Kel. Kauman, Blora Kel. Kauman, Blora
TP1
Kel. Jetis Blora
149
Moh. Hakim Rois 4
Sutrisno/Suparti
Triska Andikapu-tra Wiji Lestari/ Su-karti
Pelajar 38 th/35 th
Tukang Becak/ Swasta Pelajar
10 th
Tukang Becak/ Swasta Pelajar
ST/SD
PNS/ Wiyata
SD
6
8 th
Pelajar
Sarjana/ D3
46 th/39 th
PNS/PNS
Kel. Kauman, Blora
SD
5 Anggun Patma-rini Trihadi Kris Pujiantoro, S.Pd./ Prihantari Handayani Fariz fajar Rizki Pratama Trimo, S.Pd./Ti-ning Wiswati Anung Pramudita
SD/SD
34 th/31 th
Kel. Kauman, Blora
Kel. Jetis, Blora
SD Pelajar
7
Sarjana/ D3 SD
Kel. Jetis, Blora
Tani/Tani
SD/SD
Pelajar
SD
Kel. Karangboyo, Cepu
11 th 37 th/37 th
9 th 37 th/35 th 8 th 8
9
Satiyo Budi/Pur-wati Widia Arinta
Sarti Nurfarikhah Khoirun Nisa
34 th/29 th 8,5 th
Pedagang 27 th
SMA TK
Kel. Karangboyo, Cepu Kel.
TP2
150
Ngadi/Marcicik
5,5 th
10 Aditya Nurosi Ghozali Yusron/Sariatun 11 Rizqiya
Peg. Swasta 46 th/37 th
Guru Swasta/ PNS Pelajar
SMA SMA SD
Karangboyo, Cepu Kel. Karangboyo, Cepu
Sarjana
7 th SD 42 th/39 th
12
Suparjo/Tasmi
13
Imam Sobari/ Ida Yuliani
14
Ari Dwi Astuti
15
Suwito/Siti Rohimah
16
Suwoto,S.Pd./Retno Handayani
10 th 40 th/38 th
30 th/27 th
Tani
SD
Pedagang/PNS
SMA SMA
Swasta Sarjana Wiyata/ PNS
32 th PNS/PNS
Sarjana D2
42 th/36 th
17
Kuslan/Sidhem Fiana Tria Pratiwi
18
Yayuk Winarsih Nabila Auliya Fi-dia Nurjanah Erna Kartika Wahyuningsih
19
Sarjana D2
48 th/44 th 45 th/43 th 8 th 30 th 6,5 th
Tani Pelajar
SMP/SD SD
Pedagang -
SMA SD
Swasta
SMA
Ds. Todanan, Todanan Ds. Todanan, Todanan Ds. Todanan, Todanan Ds. Todanan, Todanan Ds. Todanan, Todanan
TP3
Ds. Doplang, Jati Ds. Doplang, Jati Ds. Doplang,
TP4
151
20
21
Salsabila Lita Dewita Dudung Turyan-to/ Rumiyati Diah Syafira Ran-ti Sutikno/Ambar Susilowati Khusnul Estiningtyas
27 th
-
SD
Jati
7 th.
Sekdes/ Swasta -
Sarjana/ Sarjana SD
Ds. Doplang, Jati
PNS/PNS Pelajar
Sarjana/ D2 SD
Ds. Doplang, Jati
Tani/tani
SMP/SD
TP5
Pelajar
SD
Pedagang/Pedagang -
SMA/MA
Ds Randublatung, Randublatung Ds Randublatung, Randublatung Ds. Randublatung, Randublatung Ds. Randublatung, Randublatung
Ds.
TP6
41 th/34 th 8 th 48 th/43 th
22
23
24
Moh. Arifin/ Purwaningsih Uswatun Khasa-nah Sumarlan/ Khoirussaadah Moh. Falah Alfi Razaki Eko Didik Walo-yo/ Siti Masamah Elsanda Dika Al-fian
7th 35 th/33 th 10 th
33 th/28 th 6 th
SD Tukang/ Swasta Pelajar
SMP/ SMA SMEA
Sabar/Fauziah 25 Fela Sutiana
39 th/35 th
Pegawai Deptan/ Swasta Pelajar
15 th
SMA
SMP
38 th/40 th
12 th 26
Kasmin/Lastri
35
Tani
SD
152
Siti Marpuah 27
28
th/30 th 10 th
Suyoto/Ngatiyem Eva Tri Astutik Nursodik/Siti Ukhti Neilatul Fauziah
Pelajar
SD
Tukang
SD/SD SD
46 th/40 th 8 th.
Pedagang/ Pedagang Pelajar
MAN / Sarjana SD
47 th/39 th
PNS/ Wiyata Pelajar
SPG/SMA
Tunjungan Tunjungan Ds. Tunjungan Tunjungan Ds. Tunjungan Tunjungan
Wakidin/Muntini 29 Fatma Masita
SD
Ds. Tunjungan Tunjungan
7 th 43 th/40 th 10 th
DAFTAR NAMA INFORMAN PEMBANTU No Nama 1 Drs.Endro Suwarno 2 Sutikno, S.Pd.
Umur Pekerjaan 40 th. PNS
3
Suwoto, S.Pd.
48 th. PNS
4
Sunarto, S.Pd.
42 th. PNS
5
Purwantoro
54 th. PNS
38 th. PNS
Pendidikan Alamat Sarjana Kel. Kunden, Blora Sarjana Kel. Karangboyo, Cepu Sarjana Desa Todanan, Todanan Sarjana Desa Doplang, Jati D2 Desa
Ket. TP 1 TP 2
TP3 TP4 TP 5
153
6
Sutikno
54 th. PNS
SMA
Randublatung, Randublatung Desa Tunjungan, Tunjungan
TP 6
Lampiran 2
TRANSKRIP WAWANCARA TENTANG PENGGUNAAN BAHASA DALAM RANAH KELUARGA MUDA JAWA DI KABUPATEN BLORA TP6 (TUNJUNGAN) 6.8 Penutur : Wakidin, 43 tahun (PNS) / Muntini, 40 tahun (Wiyata) Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur
: : : : : :
Berapakah usia Bapak? Empat puluh tiga tahun. Berapa usia Ibu? Empat puluh tahun. Berapa lama Bapak menikah? Lima belas tahun.
154
Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti
: : : : : : : : : : :
Penutur Peneliti
: :
Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti
: : : : : :
Penutur Peneliti Penutur Peneliti
: : : :
Penutur Peneliti
: :
Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur
: : : : :
Peneliti
:
Penutur Peneliti
: :
Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur
: : : : :
Berapa lama Bapak tinggal di sini ? Sejak kecil. Apakah pendidikan terakhir Bapak dan Ibu? SPG/SMA Apakah pekerjaan Bapak? Pegawai Negeri Sipil/ Guru/Wiyata Berapakah putra Bapak? Dua. Sekolah di manakah mereka? SMP satu kelas satu, SD Tunjungan satu kelas lima. Adakah anggota keluarga satu rumah selain Bapak, istri, dan anak? Tidak ada. Bahasa apakah yang pertama kali diajarkan orang tua ketika Bapak masih anak-anak? Bahasa Jawa ngoko. Bahasa apakah yang Bapak kuasai selain bahasa daerah? Bahasa Indonesia dan Arab. Sejak kapan Bapak dapat berbahasa Indonesia? SD kelas tiga. Bahasa apakah yang Bapak pakai dengan kedua orang tua bapak atau saudara yang lebih tua di dalam keluarga? Bahasa Jawa ngoko dan krama. Mengapa Bapak menggunakan bahasa itu? Bahasa nenek moyang harus menghargai yang lebih tua. Bahasa apakah yang Bapak gunakan sehari-hari untuk mendidik anak-anak di dalam keluarga? Bahasa Indonesia dan bahasa Jawa lebih banyak Jawa ngoko. Sejak kapan anak-anak bapak didik untuk menggunakan bahasa Jawa dalam keluarga? Sejak latihan berbicara. Jenis bahasa apakah yang sering Bapak gunakan dalam keluarga? Jawa ngoko. Mengapa ragam bahasa itu Bapak gunakan? Cepat ditrima anak, cepat paham. Anak diajari bahasa Jawa agar paham betul, tidak salah kaprah. Bahasa apakah yang Bapak gunakan jika melayani tamu orang Jawa? Jawa krama, kadang Indonesia, lihat tamunya. Bahasa apakah yang Bapak gunakan ketika berdiskusi dengan anggota keluarga? Jawa campuran (ngoko – krama). Bahasa apakah yang lebih Bapak sukai dalam keluarga? Lebih suka ngoko. Mengapa Bapak lebih menyukainya? Lebih mudahnya diterima anak.
155
Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur
: Bahasa apakah yang Bapak gunakan jika marah kepada anakanak? : Jawa ngoko. : Bahasa apakah yang Bapak gunakan jika bersenda gurau dengan anggota keluarga? : Jawa ngoko. : Bahasa apakah yang Bapak gunakan di rumah ketika bersendau gurau dengan teman-teman? : Campuran ngoko nggih krama, melihat yang diajak bicara (teman). : Bahasa apakah yang Bapak gunakan ketika berkomunikasi dengan atasan? : Bahasa Indonesiadan Jawa krama (alus), kadang ngoko alus. : Apakah Bapak bangga menggunakan bahasa daerah (Jawa)? Atau sebaliknya, karena keterpaksaan? : Bangga, karena: 1. orang Jawa harusnya mau nguri-uri bahasanya sendiri; 2. perlu pelestarian bahasa Jawa oleh generasi penerusnya.
6.9 Penutur : Fatma Masita, 10 tahun Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur
: Namamu siapa? : Fatma Masita. : Umurmu berapa? : Sepuluh tahun. : Sekolahmu di mana? Kelas berapa? : SD Tunjungan satu, kelas lima. : Siapa nama orang tua kamu? : Bapak Wakidin dan Ibu Muntini. : Saudaramu berapa? Kamu nomer berapa? : Satu. Nomer dua . : Bahasa apakah yang pertama kali kamu pelajari? : Jawa biasa : Apakah kamu dapat menggunakan bahasa daerah lain selain bahasa daerahmu sendiri? : Tidak : Apakah kamu bisa membaca dan menulis dalam bahasa Jawa? : Bisa. : Bahasa apakah yang kamu gunakan dengan kedua orang tuamu di rumah? : Jawa biasa (ngoko), kadang krama. : Bahasa apakah yang kamu gunakan sehari-hari dengan temanteman di rumah : Jawa biasa.
156
Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur Peneliti Penutur
: Bahasa apakah yang kamu gunakan di rumah ketika kamu menerima tamu? : Jawa krama, tidak pernah Indonesia. : Bahasa apakah yang kamu gunakan ketika bersenda gurau dengan anggota keluarga di rumah? : Jawa biasa. : Bahasa apakah yang kamu gunakan ketika berdiskusi dengan anggota keluarga di rumah? : Jawa biasa. : Bahasa apakah yang kamu gunakan ketika kamu marah kepada saudaramu di rumah? : Jawa biasa. : Bahasa apakah yang lebih kamu sukai ketika berbicara dengan anggota keluarga di rumah? : Jawa biasa. : Bahasa apakah yang lebih kamu sukai ketika kamu berbicara dengan teman-teman kamu di rumah? : Jawa biasa karena lebih mudah. : Bahasa apakah yang kamu gunakan sebagai bahasa sehari-hari dengan teman-teman di sekolah? : Jawa biasa. : Bahasa apakah yang kamu gunakan untuk berbicara dengan Bapak/Ibu Guru di sekolah? : Jawa krama dan Indonesia. : Kamu pernah berbahasa krama dengan gurumu. Contohnya bagaimana? : Dipunutus napa, Bu? : Bahasa apakah yang lebih kamu sukai ketika berbicara dengan teman-teman di lingkungan sekolah? : Jawa biasa. : Bahasa apakah yang digunakan Bapak/Ibu Guru kamu sebagai bahasa pengantar pendidikan di dalam kelas? : Bahasa Indonesia, kadang bahasa Jawa. : Sejak kamu kelas berapakah Bapak/Ibu Guru mengajar menggunakan bahasa Indonesia ? : Kelas satu. : Apakah kamu bisa berbahasa Indonesia dengan baik? : Bisa. : Sejak kapan kamu bisa berbahasa Indonesia? : Kelas tiga : Bahasa Jawa atau bahasa Indonesia yang lebih kamu kuasai dalam berbicara? : Bahasa Jawa. : Mengapa kamu lebih menguasai bahasa Jawa? : Sering digunakan di rumah.
157
Lampiran 3
TRANSKRIP TUTURAN TENTANG PENGGUNAAN BAHASA DALAM RANAH KELUARGA MUDA JAWA DI KABUPATEN BLORA DATA B TP1 (BLORA) 1. KONTEKS
: PERCAKAPAN ANTARA BU PUJIATI (PETANI) YANG MENASIHATI ANAKNYA, RIZKI SEPTIANI UNTUK BELAJAR DI RUMAH
Bu Pujiati
: “Rizki, sinau!”
158
Septiani Bu Pujiati Septiani Bu Pujiati
: : : :
Septiani Bu Pujiati Septiani Bu Pujiati Septiani
: : : : :
2. KONTEKS
: PERCAKAPAN ANTARA BU PUJIATI YANG MENYURUH ANAKNYA, SEPTIANI BERANGKAT MENGAJI.
Bu Pujiati Septiani Bu Pujiati Septiani Bu Pujiati Septiani Bu Pujiati Septiani Bu Pujiati
: : : : : : : : :
Septiani
“Ko sik, ah.” “Ayo, tv-ne dipateni dhisik!” “Emoh, fileme apik.” “Ayo, Riz, sinau dhisik!” Sesuk jadwale apa ? PR-em wis digarap rung ? “Ya, urung. Akehe emboh.” “Bukunem gawa rene ! Endi PR-em? “Ki lo Bu, matematika.” “Ya, gek digarap. Nek ra isa engko takwarahi ibu!” “Ya, ya.”
“Rizki, ngaji dhisik !” “Ko sik, ah.” “Dolanane diringkesi sesuk dolanan neh !” “Ya, ya.” “Ayo, ta, ngaji sik ae ! Kae wis diparani kancaem !” “Ya, ya, Bu!” “Kana adus dhisik !” “Ya, Bu. Sangune lho !” “Ati-ati ting dalan, yen nyabrang inget-inget. Dhungokna gurunem yen marahi !” : “Ya, Bu !”
3. KONTEKS
: BU PUJIATI SEDANG MEMBANGUNKAN ANAKNYA, RIZKI SEPTIANI UNTUK MANDI PAGI DAN PERSIAPAN KE SEKOLAH
Bu Pujiati Rizki Bu Pujiati Rizki Bu Pujiati Rizki Bu Pujiati Rizki
: : : : : : : :
“Riz, ayo, tangi wis awan, sekolah !” “Engko sik, sik ngantuk.” “Iki wis awan telat ngko !” “Sik-sik, Bu !” “Gage ta wis awan !” “Sik tak pakpung sik !” “Ditinggal kanca-em, ngko!” “Ndak ra dienteni, leh.”
159
4. KONTEKS
: BU PUJIATI MENYURUH ANAKNYA, RIZKI SEPTIANI MAKAN PAGI SEBELUM BERANGKAT KE SEKOLAH
Bu Pujiati Rizki Bu Pujiati Rizki Bu Pujiati
: : : : :
Rizki Bu Pujiati Rizki Bu Pujiati Rizki Bu Pujiati Rizki
: : : : : : :
5. KONTEKS
: RIZKI SEPTIANI MINTA UANG IBUNYA (BU PUJIATI) UNTUK MEMBELI JAJAN PADA SORE HARI.
Rizki Bu Pujiati Rizki Bu Pujiati Rizki Bu Pujiati Rizki Bu Pujiati Rizki Lampiran 4
: : : : : : : : :
“Ndhuk, ayo mangan sik! “Selak awan, telat.” “Engko nek lesu piye ? “Aku wis wareg, njajan.” “Ngko tuku sega neng sekolahan, ora kena pedhespedhes!” “Ya ya.” “Wetengem lara yen pedhes!” “Gak-gak!” “Aja dientekna sangunem!” “ Ya entek leh nggo tuku sega!” “Ra sah tuku tekan marik-marik!” “Ya ya.”
“Bu, nyuwun dhuwit.” “Nggo apa ?” “Nggo njajan.” “Lho, mau wis diparingi ibu no!” “Entek, nggo njajan neng sekolahan.” “Wong kok dhuwit ae. Pira?” “Limangatus ae.” “Nyoh, aja tuku jajan rena-rena.” “Gak, gak!
KARTU DATA Data C (no. 1) No. Data
Penutur
Ragam Bahasa yang Digunakan
Nama : Bu Pujiati 1
Umur : 38 tahun
TP-1 no.1
Pekerjaan : Tani
1. Ngoko Lugu
160
Pendidikan : SMP
KONTEKS : BU PUJIATI MENASIHATI ANAKNYA, RIZKI SEPTIANI UNTUK BELAJAR MALAM DI RUMAH
Bu Pujiati
: “Ayo, tv-ne dipateni dhisik !”
Septiani
: “Emoh, pileme apik!”
Bu Pujiati
: “Ayo, Riz sinau dhisik !” “Sesuk jadwale apa ?” “PR-em wis digarap rung ?”
Septiani
: “Ya, urung !” “Akehe emboh !”
Analisis : Dalam tuturan di atas ragam yang digunakan adalah ragam ngoko lugu karena antara ibu dan anak terjadi hubungan yang sangat akrab. Hal ini sudah biasa dalam keluarga Bu Pujiati. Justru kalau anak menggunakan basa (krama) terasa asing dan tidak akrab, seperti dengan orang lain. Penggunaan ragam ini juga dipengaruhi latar belakang pekerjaannya sebagai keluarga petani yang cocok dengan ragam bahasa tersebut sebagai alat berkomunikasi sehari-hari dalam keluarga. Data C (no. 24) No. Data
Penutur
Ragam Bahasa yang Digunakan
Nama : Bu Siti Rohimah 24
Umur : 36 tahun
TP-3 no.9
Pekerjaan : Guru
1. Ngoko Lugu
Pendidikan : D2
KONTEKS
: BU SITI ROHIMAH (GURU) SAMBIL MENIDUR-
161
KAN ANAKNYA YANG BUNGSU MENYURUH ANAKNYA (IMAM SAFII) BELAJAR
Bu Siti
: “Mas Imam, ayo dha sinau kono!”
Imam
: “Ngko sik.”
Bu Siti
: “Thik ngono leh!”
Imam
: “Emoh sinau dhewe.”
Bu Siti
: “Ngko takkancani, Ibu, Le!”
Imam
: “Emoh ya emoh!”
Bu siti
: “Engko sik ga, Le, Ibu nembe ngeloni adhik!”
Imam
: “Emoh sinau dolenan ae, ben!”
Bu Siti
: “Lae, bocah kok mbelere ngene!”
Analisis : Dalam tuturan di atas ragam yang digunakan adalah ragam ngoko lugu karena antara ibu dan anak terjadi hubungan yang sangat akrab. Bu Siti Rohimah menyadari perannya mendidik anak yang juga harus lebih dekat dengan anakanaknya. Hal inilah yang menyebabkan keluarga Bu Siti Rohimah lebih senang menggunakan ragam ngoko lugu. Ragam ini dianggap paling mudah untuk sarana menanamkan/mendidik budi pekerti kepada anak-anaknya. Hal ini sesuai dengan latar belakang pekerjaannya sebagai seorang pendidik/guru. Data C (no. 108) No. Data
108 TP-6 no. 22
Penutur Nama : Bu Mutini Umur : 40 tahun Pekerjaan : Wiyata Pendidikan : SMA
Ragam Bahasa yang Digunakan 1. Krama Lugu +ckbI
KONTEKS : FATMA PULANG DARI SEKOLAH MINTA MAKAN KEPADA IBUNYA (BU MUTINI) Fatma
: “Bu, nyuwun maem, lesu!”
162
Bu Mutini Fatma Bu Mutini Fatma Bu Mutini Fatma
: : : : : :
“Nggih, cuci tangan sik!” “Mpun. Pundi maeme?” “Njupuk dhewe!” “Nggih.” “Sebelum makan berdoa dulu. Bismillah riyin, Ndhuk!” “Mpun.”
Analisis : Dalam tuturan di atas ragam yang digunakan Bu Mutini adalah krama lugu. Penggunaan kode bJK nggih dan riyin dirasakan lebih halus/lebih menghargai dibanding dengan kode bJN ya dan dhisik. Penggunaan kode bJK ini dimaksudkan untuk memberi contoh dan membiasakan berbahasa krama kepada siapa saja yang harus dihargai. Bu Mutini menanggapi tuturan Fatma dengan menyisipkan kode bI cuci tangan dan sebelum makan berdoa dulu sebagai variasi atau untuk menggantikan kode bJN wisuh dan sadurunge mangan ndonga dhisik. Penggunaan kode bI ini dimaksudkan untuk menggunakan istilah populer dan untuk melatih keterampilan berbahasa Indonesia anaknya. Dengan demikian, campur kode bI tersebut terjadi karena alasan penutur untuk menggunakan istilah populer dan melatih keterampilan berbahasa. Penggunaan ini juga dipengaruhi oleh faktor pekerjaannya sebagai pegawai pengabdian di Diknas kecamatan yang kesehariannya juga sering menggunakan kata-kata bI. Di samping itu, juga karena faktor tingkat pendidikan yang SMA dan pekerjaan suaminya sebagai guru.
Lampiran 5 PETA DASAR KABUPATEN BLORA Skala 1 : 250.000