eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2014,2 (2 ): 427-438 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2014
PENGGUNAAN ALPHABET KOREA (HANGEUL) DI KALANGAN ETNIS CIA-CIA DI KOTA BAU-BAU DALAM PERSPEKTIF KONSTRUKTIVISME
Sefti Mauliana Nim. 0902045166
eJournal Ilmu Hubungan Internasional Volume 2, Nomor 2, 2014
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2014, 2 (2): 427-438 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2014
PENGGUNAAN ALPHABET KOREA (HANGEUL) DI KALANGAN ETNIS CIA-CIA DI KOTA BAU-BAU DALAM PERSPEKTIF KONSTRUKTIVISME SEFTI MAULIANA1 NIM. 0902045166
Abstract
The primary purposes of this thesis is to identify of the using of Korean Alphabet among in Cia-Cia Ethnic in Bau-Bau City with constructivist perspective. The type of in this research is a descriptive analysis and using three methods which is interview, observation, and documentation. Source of data used are of two types namely primary data source where the source data obtained through informants by means of direct interview and guided by questions as a focus of research. Secondary data sources where the source data obtained by researchers indirectly through intermediaries such as the media records in the archives or structured manual. This research was conducted in Bau-Bau City where in the Dinas Pariwisata and Kantor Lurah Bugi in Kecamatan Sorawolio, Bau-Bau. The data shows that Cia-Cia Ethnic in Bau-Bau City, using of Korean Alphabet in every writing system of their native language. The using of that Korean Alphabet made a support and an opposite action from some people. Besides all of that, the phenomena can be explain in constructivism perspective. What happened among in Ethnic Cia-Cia was interaction who made of by Korean delegation and Bau-Bau City Government based rescue mission of CiaCia language. In perspective of constructivism, both sides want to their common interests happen. This makes a new identity of Ethnic Cia-Cia and there was a social construction that is built between Bau-Bau and South Korea which based of idea, value and norms. Keywords: Cia-Cia Ethnic, Korean Alphabet, Constructivism.
Pendahuluan Cia-Cia adalah salah satu etnis atau suku yang ada di Kepulauan Buton, Sulawesi Tenggara. Suku Cia-Cia banyak tersebar di beberapa wilayah namun masyarakat Cia-Cia lebih banyak di Kabupaten Buton dan Kota Bau-Bau. Di Kota Bau-Bau, penduduk Etnis Cia-Cia lebih banyak berdiam di Kecamatan Sorawolio dimana 1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2014, Volume 2, Nomor 2: 427-438
ada empat kelurahan yaitu Kelurahan Karya Baru, Bugi, dan Kelurahan Gonda merupakan wilayah suku Cia-Cia di Kota Bau-Bau. Sementara Kelurahan Kaisabu Baru merupakan wilayah yang masyarakatnya terdiri dari beragam suku. Suku Cia-Cia tentu memiliki bahasa daerah sendiri layaknya suku-suku lain yang ada di Kota Bau-Bau dan di wilayah Buton maupun di setiap daerah Indonesia. Tetapi suku Cia-Cia berbeda karena bahasa daerahnya tidak memiliki alphabet dalam penulisannya. Cia-Cia pernah menggunakan Alphabet Arab Gundul sejak datangnya agama Islam, tetapi penulisan dan penyebutannya menimbulkan makna yang berbeda. Jika ditulis dalam alphabet melayu atau latin, ada banyak kalimat atau kata yang tidak bisa ditulis. Oleh karena itu, bahasa asli Cia-Cia terancam punah karena kekurangan sistem penulisan yang tepat. Menghindari kepunahan terhadap bahasa Cia-Cia maupun bahasa-bahasa daerah di Indonesia lainnya, di saat yang sama, Kota Bau-Bau menjadi tuan rumah dalam penyelenggaraan Simposium Pernaskahan Internasional pada tahun 2005 yang bekerjasama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa). (http://sosbud.kompasiana.com) Dalam simposium ini, seorang pemakalah asal Korea Selatan Prof. Chun Tae Hyun, tertarik dengan paparan tentang keragaman bahasa dan adat istiadat di wilayah bekas Kesultanan Buton. Ia melakukan penelitian terhadap bahasa-bahasa daerah di wilayah Kota Bau-Bau sebelum kembali ke Korea Selatan dan memilih Cia-Cia dikarenakan wilayah ini belum memiliki alphabet sendiri, serta adanya kesamaan pelafalan dan struktur bahasa dengan Korea Pada tahun 2009, Pemerintah Kota Bau-Bau akhirnya memutuskan agar Alphabet Korea digunakan untuk menulis bahasa Cia-Cia dan sistem tulisan baru ini berpandukan buku teks yang dihasilkan oleh Hunminjeongeum Research Institute. Huruf ini dipelajari di tingkatan pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Pemerintah Kota Bau-Bau memiliki tujuan dalam diambilnya kebijakan tersebut. Langkah itu akan memberikan efek kerjasama yang sangat luas, terutama di bidang investasi dan kebudayaan. Selain itu, peluang untuk mendapatkan keuntungan dari kerjasama tersebut ada di bidang pendidikan dimana Korea Selatan dapat memberikan bantuan berupa beasiswa pada pelajar Cia-Cia maupun pelajar-pelajar yang ada di Kota Bau-Bau. Baik beasiswa untuk meningkatkan mutu pendidikan mereka ketika bersekolah di Bau-Bau maupun janji Korea Selatan untuk memberikan beasiswa pada pelajar-pelajar tersebut untuk bersekolah di Korea Selatan. Di bidang lainnya terletak pada keuntungan di bidang pertanian, IT, kesempatan bekerja di Korea Selatan, dan di bidang pariwisata. Kota Bau-Bau yang dikenal dengan kota yang menghasilkan sandang pangan di wilayah Buton, bisa belajar dari Korea Selatan dalam pengembangan teknologi pertanian yang modern.
428
Penggunaan Hangeul di Kalangan Cia-Cia di Bau-Bau (Sefti Mauliana)
Sementara di bidang IT dan pariwisata pun, Bau-Bau ingin menjadi kota yang menguasai teknologi dan mengembangkan peirwisatanya lebih luas lagi. Hal ini bisa diwujudkan dengan belajar dari Korea Selatan dan berharap Korea Selatan bisa memberikan bantuan untuk Kota Bau-Bau. Kerjasama yang dilakukan oleh Bau-Bau dan Korea Selatan ini juga memberikan keuntungan bagi Korea Selatan sendiri. Dengan digunakannya Alphabet Korea di kalangan Etnis Cia-Cia, Korea Selatan menunjukkan bahwa mereka memiliki kekuatan yang dapat menunjukkan eksistensi mereka di dunia internasional. Ada rasa bangga pada kebudayaan mereka sendiri bahwa salah satu etnis di kota kecil menggunakan dan mempelajari Alphabet Korea untuk bahasa daerahnya. Dengan hal tersebut, Korea Selatan membuka peluang untuk melakukan investasi baik di bidang pertanian, pariwisata dan pengembangan ekonomi Bau-Bau. Kerjasama tersebut menuai dukungan dan pertentangan bagi beberapa orang. Etnis Cia-Cia maupun Kota Bau-Bau tidak memiliki ikatan dengan Korea Selatan sebelumnya. Tetapi, jika dilihat dalam perspektif konstruktivisme yang memandang bahwa ada beberapa hal yang tidak bersifat material dan power struggle yang membuat satu negara dapat berhubungan dengan yang lainnya. (http://alyaletta-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-82291Teori%20Hubungan%20InternasionalKonstruktivisme;%20Prespektif%20Berbagi%20Gagasan.html). Yaitu kerjasama antara Bau-Bau dan Korea Selatan dalam pentransformasian Alphabet Korea ke Bahasa Cia-Cia dimana mereka memiliki kepentingan bersama untuk mewujudkan keuntungan-keuntungan dalam segi apapun. Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini tentang bagaimana penggunaan Alphabet Korea di kalangan Etnis Cia-Cia di Kota Bau-Bau jika dilihat dalam perspektif konstruktivisme. Inti tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk menjelaskan serta menggambarkan tentang penggunaan Alphabet Korea di kalangan Etnis Cia-Cia, padahal Cia-Cia dan Korea Selatan tidak memiliki ikatan sebelumnya. Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut, penulis menggunakan tipe penelitian deskriptif analisis. Dimana penulis akan menggambarkan dan menganalisis penggunaan Alphabet Korea tersebut dalam perspektif konstruktivisme. Metode Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian analisis deskriptif, penelitian ini bersifat bivariat atau dikenal sebagai penelitian dengan dua variabel. Dengan kata lain, penelitian ini menganalisis fenomena hubungan internasional yang diteliti. Judul yang dipilih penulis berfokus pada penggunaan Alphabet Korea di kalangan Etnis CiaCia di Kota Bau-Bau dalam perspektif konstruktivisme. Penulis memfokuskan permasalahan yang diantaranya, kerjasama, keuntungan dan kepentingan kedua pihak, dukungan dan pertentangan, implementasi teori konstruktivisme dalam fenomena Bahasa CiaCia dan Alphabet Korea. Teknik pengumpulan datanya
429
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2014, Volume 2, Nomor 2: 427-438
adalah telaah pustaka (library research) yaitu dengan cara mengumpulkan data dari literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas, dan kemudian menganalisanya. Literatur ini berupa buku-buku, dokumen, jurnaljurnal, majalah, surat kabar, dan situs-situs internet ataupun laporan-laporan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan penulis teliti. Landasan Teori Teori Konstruktivisme Konstruktivisme muncul ketika perspektif-perspektif tradisonal seperti realisme, liberalisme maupun marxisme tidak bisa menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi di dunia internasional. Perdebatan antara perspektif tradisional [(neo) realisme, (neo) liberalisme dll] dengan perspektif yang lebih modern seperti reflektivis [critical theory, postmodernisme, dll] membuat perspektif konstruktivisme menunjukkan eksistensinya. Konstruktivisme merupakan sebuah varian dan alternatif baru serta jalan tengah dalam menjembatani jurang pemisah antara perspektif-perspektif dominan yang ada pada saat itu. (Scott Burchill. Theories of International Relation Third Edition. New York: Palgrave Macmillan. 2005). Pemikiran konstruktivisme diadopsi dari ilmu sosiologi dimana obyek utamanya adalah manusia dan bagaimana mereka berinteraksi. Fakta sosial dipahami melalui interaksi dan bagaimana penggunaan bahasa membentuk maknanya. Peran bahasa dalam konstruktivisme sangatlah penting dikarenakan nantinya akan menjadi cara memahami sebuah tindakan. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana seorang aktor sosial menggunakan bahasa dalam mengkonstruksikan sesuatu. (http://fauziah-r-m-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-81768Teori%20Hubungan%20InternasionalKonstruktivisme:%20Kenyataan%20Sosial%20adalah%20Buah%20Hasil%20Inte raksi.html). Dunia sosial termasuk hubungan internasional, bagi kontruktivis merupakan sebuah konstruksi manusia dimana dunia sosial bukanlah sesuatu yang given; dunia sosial bukan sesuatu “di luar sana” yang hukum-hukumnya dapat ditemukan melalui penelitian ilmiah dan dijelaskan melalui teori ilmiah. Tetapi, dunia sosial merupakan wilayah intersubjektif; dunia sosial sangat berarti bagi masyarakat yang membuatnya dan hidup di dalamnya, dan yang memahaminya. Dunia sosial dibuat atau dibentuk oleh masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. (Robert Jackson dan George Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional, terj Dadan Suryadipura. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009) Konstruktivisme digolongkan ke dalam teori idealis dimana pemikiran ini dibangun melalui ide, nilai, norma, dan budaya sebagai sesuatu yang utama yang menentukan bentuk identitas, kepentingan dan perilaku aktor (negara). Identitas merupakan dasar dari sebuah kepentingan dan kepentingan akan menentukan bentuk tingkah laku, aksi ataupun kebijakan dari aktor. Menurut Nicholas Onuf, kepentingan dan identitas aktor terkonstruksi secara sosial dengan cara tertentu
430
Penggunaan Hangeul di Kalangan Cia-Cia di Bau-Bau (Sefti Mauliana)
dimana mereka berinteraksi satu sama lain dengan persepsinya masing-masing. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa identitas, tingkah laku dan kepentingan seorang individu dipengaruhi oleh masyarakat tempat ia bersosialisasi. Jadi identitas, perilaku, dan kepentingan individu tidak secara alamiah ada dengan sendirinya dan murni muncul dari dalam individu itu sendiri, akan tetapi merupakan bentuk dari pengaruh lingkungan sosial terhadap individu tersebut. Jadi, kesimpulan dari teori konstruktivisme adalah mereka dibangun oleh ide, nilai, norma, dan budaya sebagai sesuatu yang utama yang menentukan bentuk identitas, kepentingan, dan perilaku aktor (negara). Identitas merupakan dasar dari sebuah kepentingan dan kepentingan akan menentukan bentuk tingkah laku, aksi ataupun kebijakan dari aktor. Pembahasan: A. Penggunaan Alphabet Korea (Hangeul) di Kalangan Etnis Cia-Cia di Kota Bau-Bau Etnis Cia-Cia di Kota Bau-Bau berhasil menarik perhatian masyarakat dunia karena berani menggunakan Alphabet Korea (Hangeul) untuk bahasa daerahnya. Ini dikarenakan Bahasa Cia-Cia tidak memiliki sistem penulisan yang tepat dan Alpabet Korea dinilai cocok dengan pelafalan Bahasa Cia-Cia. Penggagas ide tersebut adalah Prof. Chun Tae Hyun dari Korea Selatan yang tertarik dengan kenyataan bahwa Etnis Cia-Cia merupakan salah satu etnis di wilayah Buton yang tidak memiliki aksara atau alphabet dalam setiap penulisannya. Beliau melakukan penelitian dan menemukan bahwa Bahasa Cia-Cia memiliki pelafalan yang sama dengan Bahasa Korea. Alphabet Korea (Hangeul) di kalangan Etnis Cia-Cia terlihat jelas dalam bentuk pendokumentasian nama-nama plang jalan di Kecamatan Sorawolio, nama-nama sekolah yakni di SD Negeri Karya Baru dan SMAN 6 Bau-Bau, dan penerapan pelajaran penulisan Hangeul di sekolah dalam mata pelajaran Muatan Lokal. Generasi muda Cia-Cia yang mempelajari Alphabet Korea tersebut dimudahkan dengan adanya buku yang berjudul Cia-Cia Text Book. Buku tersebut diterbitkan oleh Hunmingjongeum Reserach Institute yang bekerjasama dengan salah satu orang Cia-Cia yakni Bapak Abidin yang ikut membantu proses buku tersebut. Adanya Alphabet Korea (Hangeul) di kalangan Etnis Cia-Cia, tentu membuat setiap orang bertanya-tanya mengapa hal tersebut bisa terjadi. Tetapi, ketika hal ini diihat dalam perspektif konstruktivisme, ini semua terjadi karena adanya konstruksi sosial antara Bau-Bau dan Korea Selatan. Padahal jika dilihat dalam hubungan sejarah, saudara, maupun kedekatan geografis (negara tetangga), BauBau dan Korea Selatan tidak memiliki itu semua. Tetapi perspektif konstruktivisme yang memandang bahwa ada hal-hal yang tidak bersifat material dan power struggle yang membuat satu negara dapat berhubungan dengan yang lainnya, membuat kerjasama antara Bau-Bau dan Korea Selatan terjalin dengan baik. Kerjasama tersebut dilatar belakangi oleh pentransformasian Alphabet Korea
431
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2014, Volume 2, Nomor 2: 427-438
ke Bahasa Cia-Cia dimana mereka memiliki kepentingan bersama untuk mewujudkan keuntungan-keuntungan dalam segi apapun. Dalam hal ini, apa yang terjadi antara Kota Bau-Bau dan Korea Selatan dibangun dengan ide yang datang dari Prof. Chun Tae Hyun setelah menghadiri Simposium Internasional yang diselenggarakan di Kota Bau-Bau. Beliau tertarik dengan Bahasa Cia-Cia yang tidak memiliki alphabet dalam setiap penulisan bahasanya. Ide ini lalu diyakini oleh Pemerintah Kota Bau-Bau. Mereka percaya bahwa dengan ide ini, mereka bisa membangun Kota Bau-Bau di bidang pariwisata dan di bidang ekonomi maupun di bidang lainnya. Dengan ide ini, dengan bantuan nama besar Korea Selatan, nama Bau-Bau akan terangkat ke dunia internasional. Amirul Tamim sebagai walikota yang menjabat saat itu, menyatakan bahwa dengan menggunakan Hangeul dia perlu mempersiapkan masyarakatnya menjadi bagian dari masyarakat dunia. Dengan cara mengenal bangsa lain melalui satu media komunikasi yakni Alphabet Korea, motivasi lainnya dilatarbelakangi kepentingan di bidang ekonomi. Menurutnya, Korea Selatan merupakan salah satu negara yang banyak berinvestasi di Indonesia dengan perusahaan-perusahaan yang banyak di negeri ini. Jika masyarakat Cia-Cia maupun Bau-Bau mampu mengenal bahasa asing salah satunya Bahasa Korea, ini dapat dikatakan peluang besar untuk memudahkan masyarakatnya mencari kerja di perusahaan-perusahaan Korea atau kemungkinan bekerja di Korea Selatan. Dengan berlandaskan sebuah nilai, Etnis Cia-Cia dan Pemerintah Kota Bau-Bau pun menyetujui penggunaan Alphabet Korea di kalangan Etnis Cia-Cia. Keputusan itu diambil atas dasar nilai budaya dimana nilai-nilai yang tertanam pada setiap individu yang peduli pada Bahasa Cia-Cia dinilai akan punah jika tidak ada sistem penulisan atau pendokumentasian terhadap Bahasa Cia-Cia. Etnis Cia-Cia yang merupakan salah satu etnis yang menjadi bagian dari orang-orang yang ikut mendirikan Kesultanan Buton, memiliki ketakutan apabila bahasa mereka yaitu Bahasa Cia-Cia tidak memiliki alphabet dalam setiap penulisan bahasanya. Mereka percaya bahwa jika Bahasa Cia-Cia punah karena disebabkan tidak adanya sistem penulisan yang tepat, maka generasi muda nanti dari masyarakat Cia-Cia akan melupakan bahasa daerahnya dan beralih ke bahasa modern di era globalisasi yang sekarang. Cia-Cia yang ada di dalamnya, baik bahasa, adat istiadat, kesenian, hingga warisan nenek moyang terdahulu, merupakan hal yang harus mereka pertahankan bagaimanapun caranya karena sudah menjadi pedoman dan petunjuk dalam kehidupan mereka kesehariannya. Tanpa sistem penulisan yang tepat untuk Bahasa Cia-Cia, Etnis Cia-Cia kesulitan untuk mendokumentasikan warisan-warisan budaya mereka dalam bentuk naskah kepada anak-cucu mereka nanti. Hal ini sangat bernilai bagi masyarakat Cia-Cia maupun masyarakat Kesultanan Buton. Setelah ada sistem penulisan yang tepat yakni menggunakan Alphabet Korea, Etnis Cia-Cia yakin bahwa bahasa ibu mereka bisa dipertahankan demi budaya yang ada sejak dahulu. Alphabet Korea di kalangan Etnis Cia-Cia ini pun menjadi sebuah nilai yang disepakati bersama
432
Penggunaan Hangeul di Kalangan Cia-Cia di Bau-Bau (Sefti Mauliana)
dan tertanam dalam masyarakat Cia-Cia di Kota Bau-Bau sebagai sebuah media untuk menuliskan bahasa mereka agar tetap ada dan terus digunakan oleh generasi muda Cia-Cia. B. Pertentangan dan Dukungan Terhadap Etnis Cia-Cia yang Menggunakan Alphabet Korea (Hangeul) Untuk Bahasa Daerahnya. Alphabet Korea (Hangeul) di kalangan Etnis Cia-Cia di Kota Bau-Bau sontak memberi reaksi bagi beberapa masyarakat yang mengetahui hal tersebut. Ada yang memberikan komentar bernada pertentangan, ada juga yang memberikan dukungan. Komentar-komentar pertentangan dalam permasalahan kerjasama dengan Bau-Bau dan Korea Selatan adalah; Korea Selatan sebenarnya juga mendapatkan keuntungan. Alasan mereka menawarkan alphabetnya bukan berarti mereka membantu Etnis Cia-Cia dalam misi penyelamatan bahasa daerah yang hampir punah. Korea Selatan seperti menyebarkan kebudayaannya dan membuat negara mereka akan semakin dikenal dan usaha Korea dalam mempromosikan Korean Wave ke seluruh dunia akan dinilai serius oleh semua kalangan. Ini akan membuktikan bahwa Korea Selatan merupakan negara adidaya dalam segi budaya, kesenian, pariwisata, fashion, alat-alat elekronik, kuliner maupun entartainment di Asia yang hampir semua digemari masyarakat Asia bahkan semua masyarakat di dunia. Belum lagi anggapan beberapa orang bahwa kerjasama tersebut membuat BauBau maupun Etnis Cia-Cia tidak menghormati bahasa negaranya sendiri. Nasionalisme mereka sangat dipertanyakan karena mau mengadopsi tulisan alphabet negara lain. Pernyataan-pernyataan pun banyak yang bernada sinis dimana Alphabet Korea tidak sepenting itu dibutuhkan oleh Etnis Cia-Cia dan pernyataan yang paling umum tergambarkan secara jelas bahwa yang terjadi di Kota Bau-Bau dengan Korea Selatan merupakan sebuah penjajahan model baru. Beberapa kalangan juga menyatakan bahwa langkah yang diambil oleh pemerintah Bau-Bau adalah langkah yang kurang bijak. Alasannya ialah Kota Bau-Bau melanggar pasal dari Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan pasal 42 ayat 2. (http://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/2010/09/15/belajardari-kasus-bahasa-cia-cia/). Selain itu, mengenai status Kota Bau-Bau yang bisa dibilang bukan kota besar membuat beberapa orang bertanya-tanya bagaimana kota yang yang kecil, baik diukur secara geografis maupun usia bisa bekerjasama dengan ibu kota dari negara Korea Selatan yaitu Seoul. Negara yang sangat digemari oleh masyarakat dunia karena eksistensinya di bidang teknologi, hiburan dan pariwisata. Sebagian kalangan menilai bahwa Bau-Bau tidak akan mampu memanfaatkan kerjasama tersebut untuk mengembangkan kotanya sendiri dan membiarkan begitu saja budaya asing masuk ke dalam budaya Cia-Cia.
433
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2014, Volume 2, Nomor 2: 427-438
Pertentangan lainnya terletak pada awal kerjasama dimana Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan yakni Nicholas T. Dammen mengatakan pada The Korea Times bahwa Walikota Bau-Bau Amirul Tamim tidak hanya tidak memiliki otoritas untuk mendeklarasikan Hangul sebagai alphabet resmi Etnis Cia-Cia, tapi juga gagal melakukan kontak pada pemerintah sebelum mengumumkan rencana kontroversial tersebut. Karena hal ini berlawanan dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 mengenai Perjanjian Internasional dimana seharusnya pemerintah daerah harus berkonsultasi terlebih dahulu pada pemerintah pusat dalam melakukan kerjasama internasional. (http://www.koreatimes.co.kr). Dammen juga mengatakan bahwa jika Cia-Cia mengadopsi Hangul sebagai penulisan bahasa resmi mereka, mereka akan menjadi orang asing di tengah 240 juta orang. Ia juga memberi peringatan kepada Hunmingjongeum Research Institute untuk tidak terlalu jauh. Selain itu, ada hal lain yang mewarnai fenomena di Kota Bau-Bau tersebut. Jepang misalnya, negara yang paling serius memantau keberadaan Korea di salah satu wilayah bekas Kesultanan Buton yang terkenal dengan keindahan alamnya. Mereka mengirimkan jurnalis-jurnalisnya untuk sekedar mendapatkan informasi mengenai Korea di kalangan Etnis Cia-Cia maupun di Kota Bau-Bau. Tercatat ada TV Nasional Jepang, Harian Mainichi Simbun, dan korea The Asahi Simbun Tokyo, yang gencar menurunkan jurnalis-jurnalisnya hanya untuk mengetahui lebih banyak informasi terkait Bau-Bau dan Korea Selatan, serta keiistimewaan mempelajari huruf Hangeul. Banyak yang menilai ada persaingan Jepang dan Korea Selatan dalam merebut pengaruh di Asia, khususnya di Indonesia. Paling tidak, dalam memasarkan produk industrinya. Apalagi saat ini, produk Korea seperti Samsung, Hyundai dan lain-lain, sudah membanjiri Indonesia, tidak terkecuali Kota Bau-Bau, yang mulai mengambil peran sebagai salah satu pintu gerbang ekonomi di kawasan Timur Indonesia. Ada pula yang berpendapat bila Jepang punya ‘harga diri lebih’ dibandingkan Korea, sehingga ketika peran-peran sosialnya diambil alih Korea di Asia, maka Jepang pasti bergeliat.(http://kominfo.baubaukota.go.id) Di samping pertentangan, ada juga dukungan yang datang dari beberapa kalangan. Kota Bau-Bau dapat memanfaatkan keuntungan dari segi apapun dengan bekerjasama dengan Korea Selatan. Dengan bantuan Korea Selatan, Kota BauBau bisa dipromosikan besar-besaran untuk memperkenalkan kotanya dan pariwisata kepada masyarakat dunia. Selain itu, dukungan lainnya tersirat rasa bangga pada daerah ini karena mereka satu-satunya daerah di Indonesia yang berhasil menjalin kerjasama pada Korea Selatan dalam hal pertukaran dan kerjasama di bidang pendidikan dan budaya, kesenian, IT, maupun di bidang pertanian. Kekaguman masyarakat Buton pada Etnis Cia-Cia dan Pemerintah Kota Bau-Bau pun menuai dukungan positif dan meminta agar kerjasama yang sudah terjalin bisa dimanfaatkan baik guna membangun wilayah bekas Kesultanan Buton lebih baik lagi.
434
Penggunaan Hangeul di Kalangan Cia-Cia di Bau-Bau (Sefti Mauliana)
Kebanggaan sebagai Suku Cia-Cia yang mempelajari Hangeul dan menyenangkan untuk dipelajari membuktikan dukungan dari salah satu anak Cia-Cia. Dengan kerjasama tersebut, mereka mengharapkan masyarakat dunia maupun masyarakat di Indonesia bisa mengenal mereka lebih jauh. Mereka juga berharap, masyarakat luar bisa mengenal budaya-budaya dan pariwisata yang ada di wilayah Buton. C. Keuntungan-Keuntungan yang Dapat Diperoleh dan Dimanfaatkan Etnis Cia-Cia maupun Bau-Bau dari Korea Selatan. Tawaran kerjasama yang datang dari Korea Selatan, merupakan peluang emas bagi Bau-Bau karena dengan kerjasama tersebut Bau-Bau akan meningkatkan mutunya sebagai kota yang masih berkembang. Saat Korea Selatan menawarkan ide pentransformasian alphabet kepada Bau-Bau, Korea Selatan menjanjikan beasiswa, pemberian fasilitas-fasilitas teknologi seperti komputer-komputer yang tidak pernah mereka dapatkan sebelumnya, dan kesempatan untuk mendapatkan karir di Korea Selatan. Kota Bau-Bau pun tidak lepas dari janji-janji yang ditawarkan oleh Korea Selatan. Salah satunya dengan terjalinnya kerjasama tersebut, diharapkan adanya pusat pendidikan Bahasa Korea dan tenaga kerja dari Bau-Bau yang akan diterima untuk dipekerjakan pada perusahaan-perusahaan Korea Selatan. Selain itu, dapat memfasilitasi pengusaha dari Korea Selatan untuk berinvestasi di Bau-Bau. Dengan adanya investasi tersebut, masyarakat Bau-Bau juga memiliki peluang kerja di kotanya sendiri. Siswa-siswi Bau-Bau juga mendapatkan bantuan pendidikan berupa beasiswa untuk menempuh pendidikan di Korea Selatan. Di bidang pariwisata, pihak dari Korea Selatan menjanjikan untuk mempromosikan Kota Bau-Bau, Etnis Cia-Cia dan bahasanya kepada publik Korea lewat media cetak maupun elektronik secara besar-besaran agar dapat menarik wisatawan Korea untuk berkunjung Kota Bau-Bau. Dr. Lee Ko Nam dan pihaknya juga sedang memikirkan untuk membantu Walikota Bau-Bau yang menjabat saat itu, yaitu Amirul Tamim, dengan sebuah proyek guna menjadikan Bau-Bau sebagai pusat pendidikan pemeliharaan bahasa dan budaya. Dengan proyek tersebut dan partisipasi masyarakat Bau-Bau, Dr. Lee Ko Nam optimis kalau Bau-Bau akan semakin dikenal dan diperhatikan di seluruh dunia. (http://baubaukota.go.id). Banyaknya dukungan maupun pertentangan mengenai fenomena di Kota Bau-Bau justru harus dimanfaatkan Bau-Bau dengan semaksimal mungkin. Kota Bau-Bau yang dinilai hanya kota kecil yang belum maju dan kota yang berani mengambil resiko untuk menjalin kerjasama dengan ibukota raksasa yakni Seoul, Korea Selatan, harus mengambil peluang besar ini untuk memajukan kotanya dan menjadikan kotanya sebagai kota kecil yang luar biasa. Ini dapat dimulai dari Etnis Cia-Cianya. Janji Korea Selatan untuk menawarkan beasiswa untuk bersekolah di Korea Selatan bagi anak-anak Cia-Cia merupakan kesempatan yang sangat baik bagi anak-anak yang ingin pendidikan lebih tinggi.
435
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2014, Volume 2, Nomor 2: 427-438
Diharapkan dengan beasiswa untuk bersekolah di sana, anak-anak Cia-Cia akan kembali ke kota mereka dan membantu pembangunan di Kota Bau-Bau bahkan di wilayah Cia-Cianya yakni di Kecamatan Sorawolio. Tidak hanya anak-anak CiaCia saja, anak-anak di Kota Bau-Bau yang ingin dapat beasiswa untuk bersekolah di sanapun bisa membantu perkembangan kota kelahiran mereka sendiri. Selain janji bersekolah di Korea Selatan, masyarakat Cia-Cia maupun Bau-Bau pun memiliki kesempatan untuk bekerja di perusahaan-perusahaan di sana. Dalam hal ini, Bau-Bau harus meminta ketegasan pada Korea Selatan apakah masyarakat Cia-Cia ataupun Bau-Baunya mendapatkan tempat yang bagus dalam bekerja di perusahaan Korea tersebut. Pemerintah Bau-Bau harus bisa menegosiasikan hal ini kepada Korea Selatan agar masyarakat Cia-Cia dan Bau-Baunya memiliki posisi yang bagus dalam bekerja di sana. Bau-Bau harus berani dan percaya diri dalam menunjukkan kota ini merupakan kota kecil yang berani bermain dengan Korea Selatan, negara yang sedang berada puncak ketenarannya di dunia internasional. Selain itu, Bau-Bau harus menggalakkan pendidikan untuk persiapan masyarakat Cia-Cia dan Bau-Bau agar mampu mengambil peran dalam pendidikan dan karir di Korea Selatan. Perjanjian dalam bidang pertanian harus juga dimanfaatkan oleh petani-petani di Bau-Bau untuk meningkatkan mutu pertanian dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat diikuti dari Korea Selatan. Begitu juga di bidang pariwisata, IT dan lainnya. Fenomena mengenai Etnis Cia-Cia yang menggunakan Alphabet Korea sebagai sistem penulisannya dan kerjasama yang semakin luas antara Pemkot Bau-Bau dan Korea Selatan ini pun betentangan dengan asumsi realisme dan liberalisme yang menyatakan bahwa tindakan negara dipengaruhi oleh norma internasional yang berlaku di tingkat internasional. Nilai-nilai budaya yang menjadi salah satu dasar penerimaan ide yang ditawarkan oleh Korea Selatan dari Pemkot Bau-Bau pun menunjukkan identitas Etnis Cia-Cia maupun Kota Bau-Bau di mata internasional sebagai etnis yang menggunakan alphabet dari negara lain yakni Alphabet Korea. Dunia sosial yang berlangsung di kalangan Etnis Cia-Cia dibuat oleh masyarakatnya sendiri dan ada dukungan dari pemerintah kotanya. Pada kenyataannya, penggunaan Alphabet Korea di kalangan Etnis Cia-Cia berasal dari interaksi sosial yang dilakukan oleh actors yakni Korea Selatan dengan Bau-Bau dan diterima oleh Ketua Adat dan masyarakat Cia-Cianya. Ini adalah hasil dari interaksi tersebut bahwa perilaku manusia atau hasil dari konstruksi sosial tidak lepas dari ide, nilai dan norma, identitas serta kepentingan tertentu. Fenomena ini sudah terstruktur dengan segala sistem yang sudah sedemikian rupa dan bukan sesuatu yang given dan pembentukannya membentuk sebuah identitas baru dan membentuk kepentingan. Identitas tersebut terlihat jelas bahwa Etnis Cia-Cia merupakan sebuah etnis di Indonesia dengan sistem penulisan yang berasal dari negara lain. Identitas baru yang disandang Cia-Cia pun tidak lepas dari keberadaan nama Korea di wilayahnya.
436
Penggunaan Hangeul di Kalangan Cia-Cia di Bau-Bau (Sefti Mauliana)
Kesimpulan 1. Kota Bau-Bau merupakan salah satu daerah di wilayah Sulawesi Tenggara yang memiliki sejarah budaya dan pusat Kerajaan Buton. Di kota ini, terdapat etnis yang menggunakan Alphabet Korea untuk sistem penulisan bahasa daerahnya yakni Etnis Cia-Cia. Penggunaan Alphabet Korea di kalangan Etnis Cia-Cia didasari kerjasama Korea Selatan dengan Pemerintah Kota Bau-Bau yang memiliki ide untuk mentransformasikan Alphabet Korea ke dalam Bahasa Cia-Cia. 2. Alasan penerimaan Alphabet Korea agar digunakan oleh Etnis Cia-Cia dipilih karena Pemerintah Kota Bau-Bau memiliki landasan nilai budaya. Karena jika tidak ada sistem penulisan yang tepat, maka ada ketakutan kalau Etnis Cia-Cia tidak akan eksis lagi di wilayah bekas Kesultanan Buton. 3. Kerjasama Bau-Bau dan Korea Selatan menuai dukungan dan pertentangan mengenai penggunaan Alphabet Korea oleh Etnis Cia-Cia. Dukungan dimulai dengan reaksi masyarakat bahwa dengan bekerja di Korea Selatan adalah salah satu cara agar mutu Kota Bau-Bau lebih baik lagi. Sedangkan pertentangan timbul dengan komentar yang beragam dimana salah satunya menggunakan Alphabet Korea hanya membuat Etnis Cia-Cia cenderung ke“korea”an. 4. Jika dilihat dengan perspektif konstruktivisme, fenomena di Kota Bau-Bau tercipta karena ada konstruksi sosial yang dilakukan Bau-Bau maupun Ketua Adat Cia-Cia dan Korea Selatan. Walaupun tidak ada hubungan sejarah, kedekatan geografis dan budaya, Bau-Bau mampu menjalin kerjasama dengan Korea Selatan karena adanya kepentingan bersama untuk mewujudkan keuntungan-keuntungan di dalam banyak bidang yang diyakini mampu membangun Kota Bau-Bau menjadi lebih baik lagi. Identitas yang disandang baik Cia-Cia dan Bau-Bau pun tidak lepas dari keberadaan Korea.
REFERENSI Buku: Burchill, Scott, et al. 2005. Theories of International Relation Third Edition. New York: Palgrave Macmillan. Jackson, Robert dan George Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional. (diterjemahkan oleh: Dadan Suryadipura). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Palalloi, Hamzah dan Sadarman. 2011. Dari Timur Membangun Peradaban. Jakarta: PT. Semarak Tata Warna. Media Internet: Yusran Darmawan, “Kampung Korea di Pulau Buton”, terdapat dalam
437
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2014, Volume 2, Nomor 2: 427-438
http://sosbud.kompasiana.com/2010/02/27/kampung-korea-di-pulaubuton-82768.html diakses pada tanggal 29 Maret 2013. Korea Times, “Quest to Globalize Hangeul Raises Questions” terdapat dalam http://www.koreatimes.co.kr/www/news/issues/2014/01/242_59789.html diakses pada tanggal 04 Februari 2014. Mayangsari, Fauziah Rohmatika, “Konstruktivisme: Kenyataan Sosial adalah Buah Hasil Interaksi” terdapat dalam http://fauziah-r-mfisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-81768Teori%20Hubungan%20InternasionalKonstruktivisme:%20Kenyataan%20Sosial%20adalah%20Buah%20Hasil% 20Interaksi.html diakses pada tanggal 02 November 2013. Sutrisno, Alya Triska. “Konstruktivisme: Perspektif Berbagi Gagasan”. Dalam http://alyaletta-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-82291Teori%20Hubungan%20InternasionalKonstruktivisme;%20Prespektif%20Berbagi%20Gagasan.html diakses pada tanggal 20 Februari 2014. Alfian, Heri. “Kostruktivisme Dalam Hubungan Internasional” http://alfianheri.blogspot.com/2009/11/konstruktivisme-dalamhubungan.html diakses pada tanggal 17 Februari 2014.
dalam
Iqbal Nurul Azhar, “Belajar Dari Kasus Bahasa Cia-Cia”, terdapat dalam http://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/2010/09/15/belajar-dari-kasusbahasa-cia-cia/ diakses pada tanggal 22 Juli 2013. Hamzah, “Korea di Baubau, Ada Apa Dengan Jepang?” terdapat dalam http://kominfo.baubaukota.go.id/newsview/261/ diakses pada tanggal 24 Mei 2014. Berita
438
Bau-Bau, “Baubau-Korea Jalin Kerjasama”, terdapat dalam http://www.baubaukota.go.id/newsview/720/baubau.korea.jalin.kerjasam a.html diakses pada tanggal 04 Februari 2014.